Download - Ujian Hukum Lingkungan
UJIAN HUKUM LINGKUNGAN
ANALISIS LINGKUNGAN
STUDI KASUS
PERUSAHAAN PERTAMBANGAN MANGAN
(PT. RAKHSA INTERNATIONAL MINING)
DI DESA LANTE, NUSA TENGGARA TIMUR DITUNTUT WARGA
OLEH
HALVINA GRASELA SAIYA
11/326433/PMU/07312
DOSEN PENGAMPU: Dr. Harry Supriyono, S.H., M.Si
SEKOLAH PASCASARJANA MAGISTER PENGELOLAAN LINGKUNGAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2013
ANALISIS LINGKUNGAN
STUDI KASUS
PERUSAHAAN PERTAMBANGAN MANGAN (PT. RAKHSA INTERNATIONAL MINING)
DI DESA LANTE, NUSA TENGGARA TIMUR DITUNTUT WARGA
LATAR BELAKANG KASUS
Warga Lante menuntut perusahaan pertambangan yang beroperasi di desa mereka segera
berhenti beroperasi. Adapun beberapa hal yang melatarbelakangi tuntutan warga ini adalah:
1. Ternak sapi warga yang minum air pada sumber air yang teraliri limbah tambang menjadi mati
dan sumber air banyak yang hancur. Sehingga warga harus mencari sumber air yang tentunya
jaraknya lebih jauh yakni berkilo-kilo meter dari jarak sumber air yang telah tercemar tersebut.
2. Menurut salah seorang warga: PT Raksha International Mining (RIM) beroperasi sejak
September 2012, dan sejak saat itu dua sumber mata air yang penting untuk pertanian hancur.
3. Warga menyampaikan keberatan secara lisan ke perusahaan, tetapi tidak diperhatikan. Warga
juga menyampaikan keberatan secara tertulis, tetapi tidak ada tanggapan.
4. Menurut salah satu anggota DPRD: persoalan tambang memecah belah warga karena pro-
kontra soal tambang.
5. Saat ini tambang di NTT dianggap sebagai sumber pemiskinan masyarakat. Hal ini dikarenakan
sebagian besar tambang dilakukan di dataran tinggi tempat sumber air dan di kawasan pesisir
tempat sumber penghidupan banyak orang terutama nelayan.
6. Permintaan ganti rugi dari warga desa belum ditanggapi oleh pihak PT. RIM. Padahal sebenarnya
permintaan ganti rugi dari warga ini tidak
sebanding dengan keuntungan yang
diperoleh PT RIM karena mereka telah
mengangkut batu mangan dari tempat itu
sebanyak 40 truk atau sekitar 7.000 ton bat
mangan ke Pelabuhan di Kedindi, Reo.
Keuntungan dari 7.000 ton sekitar Rp 100
miliar.
7. Rencana moratorium yang dikemukakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) yang menyatakan bahwa pertambangan di NTT akan dihentikan sementara, hanya
sebatas janji dan belum dilakukan.
8. Salah satu tokoh pemuda dan masyarakat mengemukakan bahwa: pertambangan di NTT
berlawanan/bertentangan dengan kebijakan nasional dalam Master plan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3E), yang menetapkan Koridor Bali-
Nusa Tenggara (Bali, NTB, NTT) sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan
nasional, dengan kegiatan utamanya adalah pariwisata, peternakan, dan perikanan. Di banyak
tempat, lahan untuk pertanian dan peternakan telah dikonversi secara besar-besaran menjadi
lahan tambang. Di tempat lain, lokasi pertambangan di garis pantai bakal
menghancurkan/mencemari laut dan kawasan pariwisata bahari. Bahkan industri pertambangan
ini telah membawa korban jiwa (46 orang tertimbun tambang mangan), meresahkan
masyarakat dan menyulut gelombang aksi protes yang bermuara pada konflik, baik horizontal
maupun vertikal sampai pada kriminalisasi masyarakat lingkar tambang.
Tabel. Kronologis konflik warga Lante dengan PT Raksha International Mining
Tanggal Peristiwa
3 Desember 2012
warga menghentikan aktivitas dan mengusir perusahaan
serta meminta ganti rugi. Sebagai jaminannya warga
menahan alat berat perusahaan di lokasi.
5 Desember 2012
ada pertemuan warga dengan perusahaan. Hasilnya,
warga berikan jumlah kerugian kepada perusahaan, dan
perusahaan menyatakan kesanggupan untuk
mengurusnya.
6 Desember 2012 dibuat kesepakatan untuk verifikasi di lapangan. Namun
perusahaan tidak datang.
17 Desember 2012
perusahaan minta bantuan anggota polsek Reo untuk
kawal keluarnya alat-alat, tetapi warga tidak mengizikan.
Kapolres Manggarai datang ke lokasi, tapi tidak berdialog
dengan warga.
20 Desember 2012 Alat-alat berat telah dikeluarkan secara paksa oleh polisi.
Beberapa warga yang melakukan aksi tidur dijalan
dipindahkan secara paksa oleh polisi. Sekitar 10 orang
warga Lante telah dibawa paksa oleh polisi dengan mobil
dalmas menuju Ruteng. Pihak kepolisian tidak
menggubris permintaan masyarakat untuk berdialog
dengan pihak perusahaan.
ANALISIS HUKUM
Berdasarkan latar belakang kasus yang dialami warga desa Lante terhadap kondisi
pertambangan yang merugikan warga, maka dapat dilakukan analisis hukum sebagai berikut:
(1) Strategi Penaatan
Menurut G.A. Biezeveld (1995): penerapan kekuasaan pemerintah hukum untuk
memastikan kepatuhan terhadap peraturan lingkungan dengan cara: a) pengawasan
administrasi, b) langkah-langkah administratif atau sanksi, c) pendugaan penyidikan dalam kasus
pelanggaran, d) tindakan pidana atau sanksi, e) tindakan sipil.
Menurut H.C. Kelman, ketaatan hukum menjadi 3 jenis, yaitu yang bersifat: 1)
compliance, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hanya karena ia takut terkena
sanksi; 2) identification, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hanya karena takut
hubungan baiknya dengan seseorang menjadi rusak; dan 3) Internalization, yaitu jika seseorang
taat terhadap suatu aturan benar-benar karena ia merasa aturan-aturan itu sesuai dengan nilai-
nilai intrinsik yang dianutnya.
Sistem Amerika (anglo saxon): sebelum dilakukan penegakan hukum didahului dengan
diadakannya persuasi, supervisi, negosiasi agar peraturan hukum atau syarat-syarat izin ditaati
(compliance).
Sistem Belanda (continental): penegakan hukum adalah meliputi kegiatan pengawasan
dan penerapan instrumen administrasi, perdata dan pidana untuk memaksakan pemenuhan
atau ketaatan (compliance) atas persyaratan dan kewajiban izin serta peraturan yang berlaku
umum.
Terdapat dua teori perilaku penaatan hukum, yaitu teori rasional dan teori normatif:
- Teori rasional: mengusulkan agar masyarakat yang diatur mengikuti logika konsekuensi.
Teori ini menuntut penegakan hukum berdasakan pencegahan yang efektif melalui
pengawasan, respon yang cepat dan tepat serta sanksi yang memadai.
- Teori normatif: mengusulkan agar masyarakat yang diatur itu mengikuti logika kepatutan
dan lebih bertindak dengan kejujuran. Teori ini menuntut untuk peningkatan penaatan yang
lebih dalam, wujud bantuan, insentif dan aktivitas lain.
Strategi penaatan terbagi menjadi:
- Behaviour Approach (pendekatan melalui tingkah laku)
- Economic Approach (pendekatan melalui ekonomi)
- Deterrent Approach (pendekatan melalui cara-cara pencegahan)
- Public Pressure Approach (pendekatan melalui tekanan publik)
(2) Penyelesaian Ganti Kerugian, mediasi atau pengadilan
Hal-hal tentang penyelesaian ganti rugi, mediasi atau pengadilan dapat dilihat pada beberpa UU
(Undang-undang) dan PP (Peraturan pemerintah) yang mengatur tentang hal-hal tersebut,
diantaranya:
UU no 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, khususnya
pada BAB VIII yang membahas tentang Hubungan Kuasa Pertambangan Dengan Hak-Hak Tanah.
Pasal 25: (1) Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengganti kerugian akibat dari
usahanya pada segala sesuatu yang berada di atas tanah kepada yang berhak atas tanah di
dalam lingkungan daerah kuasa pertambangan maupun di luarnya, dengan tidak memandang
apakah perbuatan itu dilakukan dengan atau tidak dengan sengaja, maupun yang dapat atau
tidak dapat diketahui terlebih dahulu. (2) Kerugian yang disebabkan oleh usaha-usaha dari dua
pemegang kuasa pertambangan atau lebih, dibebankan kepada mereka bersama.
Pasal 26: Apabila telah didapat izin pertambangan atas sesuatu daerah, atau wilayah menurut
hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan
pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat
kepadanya: a. sebelum pekerjaan dimulai, dengan diperlihatkannya surat kuasa pertambangan
atau salinannya yang sah, diberitahukan tentang maksud dan tempat pekerjaan-pekerjaan itu
akan dilakukan; b. diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih dahulu.
Pasal 27: (1) Apakah telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan dengan
wilayah kuasa pertambangan, maka kepada yang berhak diberikan ganti rugi yang jumlahnya
ditentukan bersama antara pemegang kuasa pertambangan dan yang mempunyai hak atas
tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk pengantian sekali atau selama hak
itu tidak dapat dipergunakan. (2) Jika yang bersangkutan tidak dapat mencapai kata mufakat
tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, maka penentuannya
diserahkan kepada Menteri. (3) Jika yang bersangkutan tidak dapat menerima penentuan
Menteri tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, maka penentuannya
diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi daerah/wilayah yang
bersangkutan. (4) Ganti rugi yang dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) pasal ini beserta segala
biaya yang berhubungan dengan itu dibebankan kepada pemegang kuasa pertambangan yang
bersangkutan. (5) Apabila telah diberikan kuasa pertambangan pada sebidang tanah yang
diatasnya tidak terdapat hak tanah, maka atas sebidang tanah tersebut atau bagian-bagiannya
tidak dapat diberi hak tanah kecuali dengan persetujuan Menteri.
UU no 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada Pasal 145: (1)
Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak:
a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan
pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. mengajukan
gugatan kepada pengadjlan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang
menyalahi ketentuan. (2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangn.
PP no 24 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara pada Pasal
112B: Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi: a. pernyataan
kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;…
Untuk bidang pertambangan, saat ini peraturan yang berlaku adalah PP no 24 tahun
2012. Maka dengan mengacu pada pernyataannya pada pasal 112B ayat (3) bahwa: … mematuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup’, maka inipun mensyaratkan setiap aktifitas bidang pertambangan untuk kembali
mengacu pada UUPPLH no 32/2009 yang mengandung sejumlah peraturan dan sanksi yang jelas
terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk penyelesaian ganti rugi,
mediasi atau pengadilan yang dapat dilihat pada UUPPLH Pasal 70 – 92 (lampiran).
(3) Strict Liability atau Liability Based on Fault
Strict Liability, menurut pasal 8 UUPPLH menyatakan bahwa: Tindakannya, usahanya,
dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas
kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
(4) Class action dan legal standing LSM
Class action atau gugatan perwakilan, menurut pasal 91 UUPPLH: 1) Masyarakat berhak
mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan: (a) Dilakukan oleh kelompok kecil masyarakat,
(b) Ada kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena
pencemaran atau perusakan lingkungan hidup; 2) Masyarakat berhak melaporkan ke penegak
hukum; dan 3) Instansi pemerintah yang bertanggung jawab adadi bidang lingkungan dapat
bertindak untuk kepentingan masyarakat, bila dampak pencemaran mempengaruhi
perikehidupan pokok masyarakat.
Class Action (Gugatan Perwakilan Kelompok) adalah suatu tata cara pengajuan gugatan,
dalam nama satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau
diri‐sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki
kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Perwakilan kelompok dapat dibagi dalam :
1. Wakil kelompok yaitu satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan
gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.
2. Anggota kelompok yaitu sekelompok orang dalam jumlah banyak yang menderita kerugian
yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan
3. Sub kelompok yaitu pengelompokan anggota kelompok ke dalam kelompok yang lebih kecil
dalam satu gugatan berdasarkan perbedaan tingkat penderitaan dan / atau jenis kerugian.
Manfaat Class action : (1) lebih ekonomis yakni mencegah pengulangan gugatan serupa
secara individual; (2) akses pada keadilan yakni apabila gugatan diajukan secara individual akan
menyebabkan beban bagi calon penggugat; (3) perubahan sikap perilaku pelanggaran yakni ada
efek penjara bagi pencemar atau perusak lingkungan; (4) putusan konsisten yakni putusan yang
bertentangan satu sama lain atau tidak konsisten mengenai tuntutan sejenis dapat dihindarkan.
Sedangkan, Legal standing LSM atau organisasi lingkungan, menurut pasal 92 UUPPLH
menyatakan bahwa: 1) Berhak mengajukan gugatan demi perlindungan dan pelestarian fungsi
lingkungan; 2) gugatan yang diajukan ditujukan untuk melakukan tindakan tertentu dan tidak
berupa tuntutan membayar ganti kerugian; 3) kecuali tuntutan membayar untuk
biaya/pengeluaran ril yang telah dikeluarkan oleh organisasi lingkungan yang bersangkutan; dan
4) LSM harus memenuhi syarat sebagai penggugat: (a) berbentuk badan hukum, (b) menegaskan
di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian
fungsi lingkungan, (c) telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai anggaran dasar paling singkat
selama dua tahun.
Standing dapat diartikan secara luas yaitu akses orang perorangan, kelompok/organisasi
di pengadilan sebagai Pihak Penggugat. Adapun pengertian Standing kelompok masyarakat yang
bertindak untuk mewakili kepentingan umum (publik) dan kepentingan lingkungan. Hak gugat
organisasi lingkungan merupakan salah satu bagian dari hukum standing (standing law) yang
berkembang banyak dibelahan dunia dan pada dasanya dapat dipilah menjadi :
a. Hak Gugat Warga Negara (Citizen Suit);
Bahwa warga negara tidak perlu membuktikan dirinya atau mereka memiliki
kepentingan hukum atau pihak yang mengalami kerugian riil. Citizen suit ini banyak
diatur dalam peraturan perundangan lingkungan di : (1) Amerika Serikat ; Clean Air Act
(pasal 304), Clean Water Act (pasal 505), Comprehensive Environmental Response,
Resource Conservation and Recovery Act (RCRA pasal 310) yang menjamin secara
hukum bahwa setiap orang dapat meminta pemerintah di pengadilan untuk
menjalankan kewajiban yang diwajibkan oleh undang‐undang. Bahkan setiap orang juga
dapat bertindak sebagai penuntut umum untuk mengajukan tuntutan pidana lingkungan
dalam bentuk pidana denda dalam hal penuntut umum negara (public prosecutor) tidak
menjalankan tugasnya, (2) India ; Pengertian standing dikategorikan dalam 3 bentuk
yaitu : (1) Private/citizen prosecution (pasal 19 Environmental Protection Act); (2) Citizen
standing (Hak gugat warga negara mengatasnamakan dirinya sebagai pembayar pajak
atau warga negara yang haknya dijamin dalam konstitusi untuk mempersoalkan
pelanggaran konstitusi atau peraturan perundangan); (3) Representative standing (Hak
gugat warga negara atau kelompok warga negara mengatasnamakan the powerless
untuk memperjuangkan hak konstitusi dan hak‐hak hukum lainnya dari orang‐orang
yang diatasnamakannya)
b. Hak Gugat LSM/Organisasi Lingkungan ;
Kecakapan LSM tampil dimuka pengadilan didasarkan pada suatu asumsi bahwa
LSM sebagai wali (gurdian) dari lingkungan. Pendapat ini berangkat dari teori yang
dikemukan oleh Profesor Cristoper Stone, dimana dalam artikelnya yang dikenal luas di
Amerika Utara yang berjudul Sholud Tress Have Standing. Dalam teori ini memberikan
hak hukum (legal right) kepada objek‐objek alam (natural objects) dan menurut Stone
hutan, laut, atau sungai sebagai objek alam layak memiliki hak hukum dan adalah tidak
bijaksana jika dianggap sebaliknya hanya karena sifatnya yang inanimatif(tidak dapat
berbicara). Dalam dunia hukum sendiri sudah sejak lama mengakui hak hukum obyek
inanimatif, seperti pada perseorangan, negara dan anak dibawah umur. Untuk
penasehat hukum, kuasa atau walinya bertindak mewakili kepentingan hukum mereka.
Urgensi Standing bahwa diterimanya pengembangan teori dan penerapan standing ini
setidak‐tidaknya didasarkan pada dua :
1. Faktor Kepentingan Masyarakat Luas;
Beberapa kasus seperti kasus perlindungan konsumen dan pelestarian daya dukung lingkungan
adalah kasus‐kasus publik yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, dengan kasus ini akhirnya
mendorong lahirnya dan tumbuhnya organisasi – organisasi advokasi seperti Sierra Club Defense Fund
(USA), Pollution Probe (Kananda), Environmental defenders Office (Australia), YLBHI, YLKI, Walhi
(Indonesia). Bahwa selain untuk kepentingan masyarakat organisasi ini efektif dalam mendorong
pembaruan kebijak dan merubah sikap serta perilaku birokrasi dan kalangan penguasa melalui
tekanan‐tekanan (pressures) yang dilakukan .Salah satu tekanan yang dapat dilakukan dalam kerangka
negara hukum (rule of law) adalah melalui gugatan di Pengadilan.
2. Faktor Penguasaan Sumber Daya Alam oleh Negara ;
Berkenaan dengan kasus‐kasus sumber daya alam, objek sumber daya alam (sungai, hutan dan
mineral atau tambang) biasanya secara konstitusional dikuasai oleh negara. Penguasaan oleh negara
mengandung koensekuensi bahwa sifat keberlanjutan sumber daya alam lebih banyak ditentukan dan
bergantung pada konsekuensi, aktifisme, dan keberanian pemerintah sebagai aparatur negara, tetapi
dalam prakteknya sering kali mengabaikan kewajibannya untuk menjaga keberlanjutan sumber daya
alam dengan tidak menerapkan perijinan atau menjalankan atau menjalankan fungsi pengawasan.
Di Indonesia pada saat itu ada beberapa kasus legal standing LSM dalam gugatan perdata di
pengadilan, gugatan ini menarik pada saat dilakukan karena hukum positif yang berlaku (tertulis) belum
mengatur mengenai gugatan standing. Adapun kasus‐kasus tersebut seperti :
1. Walhi vs Inti Indorayon Utama;
Dasar yang diberikan dalam pertimbangan hukum bersifat pokok yang menjadi dasar
pemberian standing adalah : (1) Hak atas setiap orang lingkungan yang baik dan sehat, yaitu
terpeliharanya lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem yang baik dan sehat,
merupakan tanggungjawab yang menuntut peran serta setiap anggota masyarakat; (2) Hak dan
kewajiban setiap orang berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, yaitu bahwa setiap
orang mempunyai kewajiban untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan; (3) Hak‐hak
subjektif melahirkan hak untuk menuntut secara hukum agar hak‐hak tersebut dihormati, yaitu
bahwa hak subjektif memberikan hak kepada pemiliknya untuk menuntut melalui prosudur
hukum termasuk melalui pengadilan.
2. Walhi vs Kejaksaan Negari Mojokerto;
Jika kita melihat dari kasus ini dimana pertimbangannya yaitu : (1) Adanya keterkaitan
pihak ketiga yang berwenang ; (2) LSM sebagai penunjang pengelolaan lingkungan hidup dan hal
ini merujuk pada putusan majelis hakim dalam kasus Walhi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ;
3. Walhi vs Presiden RI;
Dalam menetapkan hak standing LSM dalam kasus ini, Majelis hakim menetapkan
kriteria sebagai berikut: (1) bahwa tujuan organisasi tersebut adalah benar‐benar melindungi
lingkungan hidup atau menjaga kelestarian alam, dimana tujuan tersebut harus tercantum dan
dapat dilihat dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan; (2) bahwa organisasi yang
bersangkutan haruslah berbentuk badan hukum ataupun yayasan; (3) bahwa organisasi tersebut
haruslah secara berkesinambungan menunjukan adanya kepedulian terhadap lingkungan hidup
yang nyata di masyarakat; (4) bahwa orang tersebut harus cukup representatif;
(5) ORES (One Roof and Enforcement System) dalam penegakan hukum pidana lingkungan
One Roof and Enforcement System (ORES) merupakan sebuah sistem penegakan hukum satu
atap yang mulai terdengar saat Undang-undang R.I tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 mulai diundangkan. Sebelumnya dikenal Integrated
Criminal Justice System atau Penegakan Hukum Pidana Terpadu. Kata “Terpadu” merupakan
penegasan dilakukannya kinerja yang berjalan secara berkesinambungan, saling mempengaruhi,
adanya sinkronisasi gerak aparatur penegak hukum dalam mewujudkan sebuah proses peradilan
dan terutama juga saling mengawasi. Sistem ini juga merupakan jawaban kritik atas terkotak-
kotaknya fungsi tugas penegak hukum kita sebagai akibat implementasi prinsip differensiensi
fungsional di lapangan yang kaku, dan menimbulkan celah tidak berfungsinya sistem check and
balanced.
ORES merupakan konsep mempersatukan unsur penegak hukum ke dalam jalinan kerjasama
yang baik. Penyidik mengawasi Jaksa, Jaksa mengawasi Penyidik, dan keduanya bersama-sama
mempunyai satu tujuan, yakni menggolkan kasus lingkungan ke dalam gawang pengadilan.
Kerjasama semacam ini walaupun tidak secara jelas disebut dalam UULH yang lalu No. 23 Tahun
1999. Dikenal juga istilah Triangle Integrated Environmental Criminal Justice System yang
merupakan model spesifik sistem segitiga terpadu antara Polisi, Jaksa dan Saksi Ahli untuk saling
berkoordinasi dari tahap penyidikan hingga penuntutan. Namun sayang dalam pelaksanaannya,
penerapan prinsip differensiensi fungsional tanpa diimbangi prinsip koordinasi dan saling
mengawasi, tampaknya sering disalahgunakan, sehingga para penegak hukum yang disebut
sebagai segitiga terpadu itu tampak bekerja sendiri-sendiri yang pada akhirnya di persidangan
dapat dengan mudah dipatahkan pembuktiannya oleh saksi ahli lawan atau pihak penasehat
hukum terdakwa. Kurangnya keahlian, pemahaman dan multi disiplin ilmu yang terlalu banyak
dalam kasus-kasus lingkungan hidup juga membuat para penegak hukum yang tidak memiliki
keteguhan, kesabaran dan pemahaman yang cukup dalam penanganan perkara Lingkungan
Hidup masih harus meraba untuk menangani perkara yang memang memiliki banyak sifat
khusus dan rumit ini.
Kasus Lingkungan tidak pernah menjadi primadona di kalangan penegakan hukum. Kasus ini
jarang sekali dimenangkan masyarakat atau elemen organisasi lingkungan dan juga susah untuk
menuntutnya. Ada beberapa hal yang menjadi biang kurangnya perhatian terhadap kasus
Lingkungan Hidup, yakni:
1. Kasus Lingkungan memerlukan pemahaman multi disiplin ilmu, bukan hanya ilmu hukum
namun berkembang ke ilmu-ilmu lain khususnya ilmu pasti dan teknologi, sehingga para
penegak hukum yang malas belajar, malas bekerja terlalu rumit sementara segudang kasus
lain juga menunggu untuk diselesaikan bekerja dengan setengah hati
2. Kasus Lingkungan termasuk dalam penyelesaian perkara berbiaya tinggi sehubungan dengan
keterlibatan saksi ahli dan laboratorium yang sangat tidak murah, sedangkan anggaran
operasional penanganan perkara cukup terbatas, sedangkan jika diajukan oleh masyarakat,
jelas masyarakat akan sulit memperoleh saksi ahli atau berhubungan dengan pengumpulan
bukti-bukti ilmiah kecuali diwakili oleh elemen organisasi Lingkungan yang cukup bonafit.
3. Kasus Lingkungan pada intinya adalah masyarakat korban kerusakan/pencemaran versus
Kekuasaan yang besar sehingga apabila penegakan hukum lingkungan tidak dijalankan oleh
para penegak hukum yang mempunyai dedikasi dan komitmen terhadap penegakan hukum
lingkungan akan sulit bersikap adil dan arif.
4. Ketentuan perundang-undangan lingkungan terlalu tersebar serta bersifat sektoral, sehingga
menangani kasus lingkungan berarti harus mencari rujukan peraturan-peraturan pelaksana
lain dari tingkat PP sampai Keputusan. Hal ini tidak bisa dihindari karena lingkungan terdiri
dari 4 elemen alam yang kesemuanya harus diatur sedemikian rupa agar tercipta
pengelolaan yang baik, apalagi ketika Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk
melakukan pengendalian lingkungan hidup di dalam UU Pemerintahan Daerah melalui
Peraturan daerah (Perda) untuk mengendalikan keadaan lingkungan di provinsinya.
Sementara kasus-kasus lingkungan tidak menjadi primadona, kerusakan dan pencemaran
lingkungan terus terjadi dengan lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum yang
nyata. Kasus Lapindo dan Teluk Buyat merupakan contoh kegagalan penegakan hukum
lingkungan. Sebaliknya Kasus Mandalawangi merupakan contoh keberhasilan penegakan hukum
lingkungan dan sayangnya jauh lebih sedikit dibanding kegagalannya. Kedua contoh kasus di
atas, harus dipahami sebagai suatu perbedaan nyata, dimana penegakan hukum lingkungan
tentunya harus mengambil pelajaran dari keduanya. Ke depan diharapkan penegakan hukum
lingkungan akan lebih melibatkan: (1) Hakim, Jaksa, Polisi/PPNS yang telah dilatih khusus dan
berkecimpung aktif dalam hukum lingkungan. Sertifikasi keahlian masing-masing penegak
hukum ini sangat diperlukan; (2) Peningkatan kemampuan sumber daya teknis penegakan
hukum lingkungan harus konstan dan frekuentif; (3) ORES dapat lebih efektif; (4) Triangle Justice
System terus dibina; (5) Mahkamah Agung, Kejaksaan R.I, dan Kepolisian R.I harus memiliki
hubungan yang kuat dengan laboratorium pemerintah berlisensi untuk penangangan kasus-
kasus lingkungan serta menjalin hubungan dengan para ahli lingkungan yang disertifikasi untuk
menjadi saksi ahli Kejaksaan.
SARAN TINDAK LANJUT
Berdasarkan analisis hukum yang telah dilakukan maka saran yang dapat diberikan untuk kasus
penuntututan warga Lante terhadap perusahaan tambang PT. RIM adalah:
1. Warga, LSM dan pemerintah desa bahkan daerah harus Lebih mengefektifkan lagi usaha Strict
Liability atau Liability based on fault. Hal ini dikerenakan limbah PT. RIM terindikasi
menghasilkan limbah B3, dan tentunya tindakan ini harus disertai dengan pembuktian
laboratorium. Dimana uji laboratorium harus dilakukan pad di laboratorium yang ditetapkan dan
sedapat mungkin yang terakreditasi, kemudian pengujian harus mengikuti metode uji standar
yang ditetapkan serta laporannya yang bersifat kuantitatif harus diterjemahkan ke dalam bahasa
yang dapat dimengerti untuk kepentingan peradilan.
2. Warga memerlukan pendampingan khusus dari organisasi-organisasi lingkungan hidup lainnya
bahkan lembaga bantuan hukum agar terus melangkah sesuai dengan peraturan UUPPLH no
32/2009 yakni dimulai dengan penyelesaiann ganti rugi, mediasi bahkan jika harus mengajukan
perkara ke pengadilan, hal tersebut pun harus dilakukan.
3. Usaha masyarakat perlu tetap dibantu dengan Class action dan legal standing dari LSM, karena
hal ini akan semakin menjadi tekanan bagi pemerintah bahkan PT. RIM sendiri agar tidak
menganggap remeh masalah ini dan segera menyelesaikannya dengan warga.
4. Penyelesaian kasus ini dan kasus-kasus lingkungan lainnya perlu diberdayakan dengan sistim
One Roof and Enforcement System (ORES), agar dalam penanganannya tidak terkotak-kotak
sehingga arah hukumnya jelas dan tidak membingungkan masyarakat.
REFERENSI
Supriyono, H, 2012, Ringkasan Bahan Ajar Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum – UGM.
Warga Desa Lante Minta Ganti Rugi kepada PT RIM . http://www.suarapembaruan.com/
nasional/warga-desa-lante-minta-ganti-rugi-kepada-pt-rim/28283. Diakses 11 Januari 2013.
Tambang NTT: Warga Lante Tuntut Perusahaan Hengkang. http://omahkendeng.org/2013-
01/931/tambang-ntt-warga-lante-tuntut-perusahaan-hengkang/. Diakses 11 Januari 2013.
JPIC OFM: Polres Manggarai Jangan Berpihak pada Perusahaan Tambang.
http://www.theindonesianway.com/jpic-ofm-polres-manggarai-jangan-berpihak-pada-perusahaan-
tambang/. Diakses 11 Januari 2013.
Mustikasari, E. Jangan Kesampingkan Masalah Lingkungan Hidup.
http://www.kejaksaan.go.id/kabar_insan_adhyaksa.php. Diakses 11 Januari 2013.
Roeboek, et al, Arbitration, Volume 74 No 1, Sweet and Maxwell Ltd.
Sulistyono, 2007, Legal Standing, Kursus HAM.
UU no 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
UU no 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
UU no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
PP no 24 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara.
L A M P I R A N
UUPPLH NO 32 TAHUN 2009
PASAL 70 – 123