Download - UJIAN FRAKTUR MANDIBULA
Presentasi Kasus Ujian Bedah Plastik
SEORANG LAKI-LAKI USIA 17 TAHUN DENGAN FRAKTUR ANGULUS MANDIBULA SINISTRA DAN VULNUS EKSKORIASI REGIO FRONTAL SINISTRA
Periode : 31 Agustus – 5 September 2015
Oleh:
Shinta Andi Sarasati G99141026
Pembimbing:
dr. Amru Sungkar, SpB, SpBP-RE
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Norowangsan, Laweyan , Surakarta
Tanggal Masuk : 1 September 2015
Tanggal Periksa : 2 September 2015
Status Pembayaran : BPJS
No. RM : 01312415
2. Keluhan Utama
Nyeri pada pipi kiri setelah KLL
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Satu hari SMRS saat pasien sedang mengendarai sepeda motor tanpa
menggunakan helm, pasien tergelincir pada saat akan belok. Pasien terjatuh dengan
posisi kepala membentur aspal lalu tidak sadarkan diri, kejang (-),muntah (-). Oleh
penolong pasien kemudian dibawa ke RS Brayat minulya diinfus dan diinjeksi obat-
obatan dan di ronsen kepala. Lalu pasien dibawa pullang oleh keluarganya, karena
nyeri tidak berkurang, oleh keluarga pasien di bawa ke RSDM.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
1
Riwayat diabetes : disangkal
Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat diabetes : disangkal
6. Riwayat kebiasaan
Nutrisi : pasien makan 3 kali sehari dengan gizi seimbang.
Olahraga : pasien olahraga 1 minggu sekali
Merokok : (-)
7. Riwayat sosial ekonomi
Pasien adalah seorang pelajar yang berobat menggunakan BPJS.
GENERAL SURVEY
1. Primary Survey
a. Airway : bebas
b. Breathing : tidak spontan, frekuensi pernafasan 10 x/menit
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri, krepitasi (-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
c. Circulation : tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 88 x/menit, CRT<2 detik
d. Disability : GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/
3mm), lateralisasi (-/-)
e. Exposure : suhu 36,5ºC, Jejas (+) lihat status lokalis
2
2. Secondary Survey
a. Keadaan umum : compos mentis, tampak sakit sedang
b. Kepala : mesocephal, jejas (+) lihat status lokalis
c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), hematom supraorbital
(-/-), diplopia (-/-), subkonjugtival bleeding (-/+)
d. Telinga : sekret (-/-), darah (+/+), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri
tragus (-/-)
e. Hidung : bloody rhinorrhea (-/-)
f. Mulut : maloklusi (+), lihat status lokalis
g. Leher :pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-), nyeri tekan
(-), JVP tidak meningkat.
h. Thorak : bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-).
i. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis teraba, tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising
(-).
j. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri, nyeri tekan
(-/-).
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan
(-/-).
k. Abdomen
Inspeksi : distended (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
3
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defance muscular (-)
l. Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK(-).
m. Muskuloskletal : jejas (-), nyeri (-)
n. Ekstremitas
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -
3. Status Lokalis
Regio Frontal (D) :
Inspeksi : Vulnus eskoriasi 3x1cm
R.Midfacial (S) :
Inspeksi : Pendataran malar iminens (-/-)
Palpasi : hipoestesi (-/-)
R. Intra Oral
Inspeksi : Maloklusi Crossbite (+)
Palpasi : Gigi goyang (-)
Foto klinis pasien
4
B. ASSESMENT 1
Fraktur angulus mandibular sinistra
Vuknus ekskoriasi regio frontal sinistra
C. PLANNING 1
1. Inf. RL 20 tpm
2. Inj. Metamizole 1g/8 jam
3. Inj. Ranitidin 50mg/12 jam
4. Cek DL
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hasil pemeriksaan laboratorium (25 Agustus 2015)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Darah Rutin
Hemoglobin 14.3 g/dl 14.0 – 17.5
Hematokrit 42 % 33 – 45
5
Leukosit 11.3 ribu/ul 4.5 – 14.5
Trombosit 243 ribu/ul 150 – 450
Eritrosit 4.82 ribu/ul 4.50 – 5.90
Golongan darah O
HBsAg Non reactive Non reactive
Hemostasis
PT 16.0 detik 10.0 – 15.0
APTT 34.9 detik 20.0 – 40.0
INR 1.360
KIMIA KLINIK
Gula darah sewaktu 106 mg/dl 60 - 100
E. ASSESMENT II
Fraktur angulus mandibular sinistra
Vuknus ekskoriasi regio frontal sinistra
F. PLANNING II
- Mondok bangsal
- ORIF Elektif
- Oral higiene
- Diet cair
-
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. FRAKTUR MANDIBULA
DEFINISI
Fraktur mandibula adalah rusaknya kontinuitas tulang mandibular yang dapat
disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau tidak langsung. Fraktur mandibula
dapat terjadi pada bagian korpus, angulus, ramus maupun kondilus.
ANATOMI
Mandibula adalah tulang rahang bawah pada manusia dan berfungsi sebagai tempat
menempelnya gigi geligi rahang bawah. Mandibula berhubungan dengan basis kranii
dengan adanya temporo-mandibular joint dan disangga oleh otot – otot mengunyah.
7
Mandibula dipersarafi oleh saraf mandibular, alveolar inferior, pleksus dental inferior
dan nervus mentalis.
Sistem vaskularisasi pada mandibula dilakukan oleh arteri maksilari interna, arteri
alveolar inferior, dan arteri mentalis.
KLASIFIKASI
Menurut R. Dingman dan P.Natvig pada tahun 1969 fraktur pada mandibula dibagi
menjadi beberapa kategori, yakni :
A. Menurut arah fraktur (horizontal/vertikal) dan apakah lebih menguntungkan dalam
perawatan atau tidak
B. Menurut derajat keparahan fraktur (simpel/tertutup/mengarah ke rongga mulut atau
kulit).
C. Menurut tipe fraktur (Greenstick/kompleks/kominutiva/impaksi/depresi)
8
D. Menurut ada atau tidaknya gigi dalam rahang (dentulous, partially dentulous,
edentulous)
E. Menurut lokasi (regio simfisis, regio kaninus, regio korpus, angulus, ramus,
prosesus kondilus, prosesus koronoid)
9
FREKUENSI
Secara umum, paling sering terjadi pada korpus mandibula, angulus dan kondilus,
sedangkan pada ramus dan prosesus koronoideus lebih jarang terjadi.
Berdasarkan penelitian, dapat diurutkan seperti berikut :
Korpus 29 %
Kondilus 26%
Angulus 25%
Simfisis 17%
Ramus 4%
Proc.Koronoid 1%
ETIOLOGI
Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian besar adalah
pengendara sepeda motor. Sebab lain yang umum adalah trauma pada muka akibat
kekerasan, olahraga. Berdasarkan penelitian didapatkan data penyebab tersering fraktur
mandibula adalah :
Kecelakaan berkendara 43%
Kekerasan 34%
Kecelakaan kerja 7%
Jatuh 7%
Olahraga 4%
Sebab lain 5%
Fraktur mandibula dapat juga disebabkan oleh adanya kelainan sistemik yang dapat
menyebabkan terjadinya fraktur patologis seperti pada pasien dengan osteoporosis
imperfekta.
10
PATOFISIOLOGI
Derajat keparahan fraktur sangat bergantung pada kekuatan trauma. Karena itu
fraktur kominutiva dapat dipastikan terjadi karena adanya kekuatan energi yang besar
yang menyebabkan trauma. Berdasarkan penelitian pada 3002 pasien dengan fraktur
mandibula, diketahui bahwa adanya gigi molar 3 bawah meningkatkan resiko terjadinya
fraktur angulus mandibula sampai 2 kali lipat.
MANIFESTASI KLINIS
Pasien dengan fraktur mandibula umumnya datang dengan adanya deformitas pada
muka, baik berupa hidung yang masuk kedalam, mata masuk kedalam dan sebagainya.
Kondisi ini biasa disertai dengan adanya kelainan dari fungsi organ – organ yang
terdapat di muka seperti mata terus berair, penglihatan ganda, kebutaan, anosmia,
kesulitan bicara karena adanya fraktur mandibula, maloklusi sampai kesulitan bernapas
karena hilangnya kekuatan untuk menahan lidah pada tempatnya sehingga lidah
menutupi rongga faring.
GEJALA & TANDA
Tanda – tanda patah pada tulang rahang meliputi :
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi rahang yg menyebabkan maloklusi atau tidak
berkontaknya rahang bawah dan rahang atas
2. Pergerakan rahang yang abnormal, dapat terlihat bila penderita menggerakkan
rahangnya atau pada saat dilakukan .
3. Rasa sakit pada saat rahang digerakkan
4. Pembengkakan pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur.
5. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang
yang fraktur bila rahang digerakkan.
6. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
7. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
8. Disability, terjadi gangguan fungsional berupa penyempitan pembukaan mulut.
11
9. Hipersalivasi dan Halitosis, akibat berkurangnya pergerakan normal mandibula dapat
terjadi stagnasi makanan dan hilangnya efek “self cleansing” karena gangguan fungsi
pengunyahan.
10. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di bawah
nervus alveolaris.
DIAGNOSIS
Diagnosis pasien dengan fraktur mandibula dapat dilakukan dengan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pertama – tama melakukan inspeksi
menyeluruh untuk melihat adanya deformitas pada muka, memar dan pembengkakan.
Langkah berikut yang dilakukan adalah dengan mencoba merasakan tulang rahang
dengan palpasi pada pasien. Setelah itu lakukan pemeriksaan gerakan mandibula.
Setelah itu dilanjutkan dengan memeriksa bagian dalam mulut. Pasien dapat diminta
untuk menggigit untuk melihat apakah ada maloklusi atau tidak. Setelah itu dapat
dilakukan pemeriksaan satbilitas tulang mandibula dengan meletakkan spatel lidah
diantara gigi dan lihat apakah pasien dapat menahan spatel lidah tersebut.
Untuk pemeriksaan penunjang, yang paling penting untuk dilakukan adalah adalah
rontgen panoramik, sebab dengan foto panoramik kita dapat melihat keseluruhan tulang
mandibula dalam satu foto. Namun pemeriksaan ini memberikan gambaran yang
kurang detil untuk melihat temporo-mandibular joint, regio simfisis dan alevolar.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan foto rontgen polos. Dapat
dilakukan untuk melihat posisi oblik-lateral, oklusal, posteoanterior dan periapikal. Foto
oblik-lateral dapat membantu mendiagnosa fraktur ramus, angulus dan korpus posterior.
Namun regio kondilus, bikuspid dan simfisis seringkali tidak jelas. Foto oklusal
mandibula dapat memperlihatkan adanya diskrepansi pada sisi medial dan lateral
fraktur korpus mandibula. Posisi posteroanterior Caldwell dapat memperlihatkan
adanya dislokasi medial atau lateral dari fraktur ramus, angulus, korpus maupun
simfisis.
12
Pemeriksaan CT-scan juga dapat digunakan untuk membantu diagnosa fraktur
mandibula.CT-scan dapat membantu untuk melihat adanya fraktur lain pada daerah
wajah termasuk os.frontal, kompleks naso-ethmoid-orbital, orbital dan seluruh pilar
penopang kraniofasial baik horizontal maupun vertikal. CT-scan juga ideal untuk
melihat adanya fraktur kondilus.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada fraktur mandibula mengikuti standar penatalaksanaan fraktur
pada umumnya. Pertama periksalah A(airway), B(Breathing) dan C(circulation). Bila
pada ketiga topik ini tidak ditemukan kelainan pada pasien, lakukan penanganan
terhadap fraktur mandibula pasien. Bila pada pasien terdapat perdarahan aktif,
hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri maka dapat diberi
analgetik untuk membantu menghilangkan nyeri. Setelah itu cobalah ketahui
mekanisme cedera dan jenis fraktur pada pasien berdasarkan klasifikasi oleh Dingman
dan Natvig.
Bila fraktur pada pasien adalah fraktur tertutup dan tidak disertai adanya dislokasi
atau ada dislokasi kondilus yang minimal, maka dapat ditangani dengan pemberian
analgetik, diet cair dan pengawasan ketat. Pasien dengan fraktur prosesus koronoid
dapat ditangani dengan cara yang sama. Pada pasien ini juga perlu diberikan latihan
mandibula untuk mencegah terjadinya trismus.
Kunci utama untuk penanganan fraktur mandibula adalah reduksi dan stabilisasi.
Pada pasien dengan fraktur stabil cukup dengan melakukan wiring untuk menyatukan
gigi atas dan bawah. Untuk metode ini dapat dilakukan berbagai tindakan. Yang paling
banyak dilakukan adalah dengan menggunakan wire dengan Ivy loops dan dilakukan
MMF (maxillomandibular fixation).
13
Dapat juga dipasang archbar dan dilakukan IMF (intermaxillary fixation), dilakukan
fiksasi eksternal, dipasang screw, pemasangan Gunning splint juga banyak dilakukan
karena bisa memfiksasi namun pasien tetap dapat menerima asupan makanan.
14
Pada fraktur kominutiva maupun fraktur – fraktur yang tidak stabil atau fraktur
dengan dislokasi segmen ditangani dengan pembedahan dengan ORIF (open reduction
internal fixation) baik yang rigid maupun non rigid.
15
KOMPLIKASI
Komplikasi setelah dilakukannya perbaikan pada fraktur mandibula umumnya
jarang terjadi. Komplikasi yang paling umum terjadi pada fraktur mandibula adalah
infeksi atau osteomyelitis, yang nantinya dapat menyebabkan berbagai kemungkinan
komplikasi lainnya.
Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering mengalami gangguan
penyembuhan fraktur baik itu malunion ataupun non-union. Ada beberapa faktor risiko
yang secara spesifik berhubungan dengan fraktur mandibula dan berpotensi untuk
menimbulkan terjadinya malunion ataupun non-union. Faktor risiko yang paling besar
adalah infeksi, kemudian aposisi yang kurang baik, kurangnya imobilisasi segmen
fraktur, adanya benda asing, tarikan otot yang tidak menguntungkan pada segmen
fraktur. Malunion yang berat pada mandibula akan mengakibatkan asimetri wajah dan
dapat juga disertai gangguan fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat diperbaiki dengan
melakukan perencanaan osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi bentuk lengkung
mandibula.
Faktor – faktor lain yang dapat mempengaruhi kemungkinan terjadinya komplikasi
antara lain sepsis oral, adanya gigi pada garis fraktur, penyalahgunaan alkohol dan
penyakit kronis, waktu mendapatkan perawatan yang lama, kurang patuhnya pasien dan
adanya dislokasi segmen fraktur.
B. VULNUS
Luka adalah rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat
substansi jaringan yang rusak atau hilang. Vulnus dapat dibedakan berdasarkan
penyebabnya antara lain: disebabkan oleh trauma benda tajam (paku, sisa pohon, kawat
pagar dan sebagainya) atau benda tumpul (batu, batang pohon, tali pelana dan
sebagainya). Vulnus saddle druck (luka dipunggung akibat pemasangan pelana yang tidak
sempurna), vulnus strackle (luka di bagian medial kaki), vulnus punctio (luka akibat
16
tusukan benda tajam), vulnus serrativa (luka akibat goresan kawat), vulnus incisiva (luka
akibat tusukan benda tajam), vulnus traumatica (luka akibat hantaman benda tajam).
Gejala yang tampak di lapang berupa robeknya sebagian kulit, pengerasan daerah
sekitar kulit dan kadang berbau busuk dan eksudat di daerah vulnus menjadi mukopurulen
jika telah berlangsung lama. Eksudat di daerah vulnus yang telah mukopurulen merupakan
indikasi telah terjadi infeksi sekunder dari bakteri lingkungan yang menghasilkan nanah,
misalnya Streptococcus dan Stahpylococcus. Gejala-gejala yang muncul jika tidak segera
ditangani dapat memicu terjadinya miasis.
1. Mekanisme terjadinya luka
Luka insisi (Incised Vulnus), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal
yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura seterah
seluruh pembuluh darah yang luka diikat (ligasi). Luka memar (Contusion Vulnus), terjadi
akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak,
perdarahan dan bengkak. Luka lecet (Abraded Vulnus), terjadi akibat kulit bergesekan
dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam. Luka tusuk
(Punctured Vulnus), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk
kedalam kulit dengan diameter yang kecil. Luka gores (Lacerated Vulnus), terjadi akibat
benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat. Luka tembus (PenetratingVulnus),
yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya
kecil tetapi pada bagian ujung biasanya lukanya akan melebar.
2. Klasifikasi luka
Menurut Tingkat Kontaminasi Terhadap Luka
a. Clean Vulnus (Luka bersih)
Clean Vulnus (Luka bersih) yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak terjadi
proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan
urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan
dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson – Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka
sekitar 1% – 5%.
17
b. Clean-contamined Vulnus (Luka bersih terkontaminasi)
Clean-contamined Vulnus (Luka bersih terkontaminasi) merupakan luka pembedahan
dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol,
kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.
c. Contamined Vulnus (Luka terkontaminasi)
Contamined Vulnus (Luka terkontaminasi) termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat
kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi
dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen.
Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.
d. Dirty or Infected Vulnus (Luka kotor atau infeksi)
Dirty or Infected Vulnus (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme
pada luka.
Berdasarkan Kedalaman dan Luasnya Luka, dibagi menjadi
Stadium I
Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan
epidermis kulit.
Stadium II
Luka Partial Thickness yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan
bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti
abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
Stadium III
Luka Full Thickness yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau
nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati
jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan
fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang
yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
18
Stadium IV
Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan
adanya destruksi/kerusakan yang luas.
Proses Penyembuhan Luka
Tubuh secara normal akan berespon terhadap cedera dengan jalan proses
peradangan, yang dikarakteristikkan dengan lima tanda utama: bengkak (swelling),
kemerahan (redness), panas (heat), Nyeri (pain) dan kerusakan fungsi (impaired function).
3. Proses penyembuhannya luka
a. Fase Inflamasi
Fase inflamasi adalah adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat
perlukaan yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah
menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan
bakteri untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini
kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi sebagai
hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga
mengeluarkan substansi vasokonstriksi yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler
vasokonstriksi. Selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup pembuluh
darah. Periode ini berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler
akibat stimulasi saraf sensoris (Local sensory nerve endding), local reflex action dan
adanya substansi vasodilator (histamin, bradikinin, serotonin dan sitokin). Histamin juga
menyebabkan peningkatan permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari
pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi oedema jaringan dan
keadaan lingkungan tersebut menjadi asidosis.
Secara klinis fase inflamasi ini ditandai dengan: eritema, hangat pada kulit, oedema dan
rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.
b. Fase Proliferatif
19
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan
menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besar pada
proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur
protein yang akan digunakan selama proses reonstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat
jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka,
fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian
akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin,
hyaluronic acid, fibronectin dan proteoglycans) yang berperan dalam membangun
(rekontruksi) jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal
bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannya substrat oleh
fibroblas, memberikan pertanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas
sebagai kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah
baru yang tertanam didalam jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi.
Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk,
terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth faktor yang dibentuk
oleh makrofag dan platelet.
c. Fase Maturasi
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang
lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan
baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai
meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringa mulai berkurang karena
pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat
jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10
setelah perlukaan.
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara
kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi
penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan
menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.
20
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan
parut mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktifitas normal. Meskipun proses
penyembuhanluka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai
sangat tergantung pada kondisi biologis masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka.
Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang
gizi, diserta penyakit sistemik (diabetes mielitus).
4. Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
a. Usia
Semakin tua seseorang maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan jaringan.
b. Infeksi
Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga
menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah ukuran
dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka.
c. Hipovolemia
Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya
ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
d. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap
diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar
hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat
proses penyembuhan luka.
e. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu
abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel
mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang
disebut dengan nanah (Pus).
f. Iskemia
21
Iskemi merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian
tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan
pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi
pada pembuluh darah itu sendiri.
g. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi
tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-
kalori tubuh.
5. Pengobatan
Steroid akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap
cedera. Antikoagulan dapat mengakibatkan perdarahan, Antibiotik : efektif diberikan
segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika
diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi
intravaskular.
6. Klasifikasi Penyembuhan
a. Penyembuhan Primer (sanatio per primam intentionem)
Penyembuhan Primer tertunda atau Penyembuhan dengan jaringan
tertunda yaitu
1. Luka dibiarkan terbuka.
2. Setelah beberapa hari ada granulasi baik dan tidak ada infeksi.
3. Luka dijahit.
4. Penyembuhan.
b. Penyembuhan sekunder (sanatio per secundam intentionem)
1. Luka diisi jaringan granulasi dimulai dari dasar terus naik sampai penuh
2. Ephitel menutup jaringan granulasi mulai dari tepi.
3. Penyembuhan .
22
DAFTAR PUSTAKA
Courtney Pendleton, Shaan M. Raza, Gary L. Gallia, Alfredo Quinones-Hinojosa (2014). Harvey Cushing’s Early Operative Treatment Of Skull Base Fractures. J Neurol Surg B 2014;75:27–34.
Dodson TB, Jafek WB. Zygomatic, maksillary and orbital fractures. In: Jafek WB, Murrow WB eds. ENT Secrets 3rd ed. Elsevier. Philadelphia; 2005: 334-340 7.
Gao W, Xi JH, Ju NY, Cui GX (2014). Ropivacaine via trans-cricothyroid membrane injection inhibits the extubation response in patients undergoing surgery for maxillary and mandibular fractures. Genetics and Molecular Research, 13(1): 1635-1642.
Guilherme Brasileiro De Aguıar, João Miguel De Almeıda Sılva, Rodrigo Becco De Souza, Marcus André Ac Ioly (2015). Skull Base Fracture Involving The Foramen Spinosum – An Indirect Sign Of Middle Meningeal Artery Lesion: Case Report And Literature Review. Turk Neurosurg 2015, Vol: 25, No: 2, 317-319
Harasen G (2008). Maxillary and mandibular fractures. CVJ, 49: 819-820.
Ji Hwan Jang., Jung Soo Kim. (2014). Pontomedullary Laceration, A Fatal Consequenceof Skull Base Ring Fracture. J. Korean Neurosurg Soc 56 (6) : 534-536, 2014
Kellman MR, Tatum AS. Complex facial trauma with plating. In: Bailey JB, Johnson TJ eds. Head and Neck Surgery - Otolaryngology. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia; 2006 : 1027-1044 8.
Murr HA. Maxillofacial trauma. In: Lalwani KA ed. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2nd ed. Lange Mc Graw Hill. New York; 2003: 203-213 5.
Prein J. Manual of Internal Fixation in the Cranio-Facial Skeleton. Springer-Verlag.Berlin Heidelberg, New York; 1998 10. Lore MJ, Klotch WD. Fracture of facial bones. In: Lore MJ, Medina EJ eds. An Atlas of Head & Neck Surgery. 4th ed. Elsevier Inc. Philadelphia; 2005: 595-652
Rostini, Intang A, Darwis (2013). Pengaruh penggunaan larutan nacl 0,9% terhadap lama hari rawat pada pasien vulnus laceratum di rumah sakit umum daerah h. Andi sulthan daeng radja kabupaten bulukumba. E-library STIKES Nani Hasanuddin, 2(4): 1-6.
23
SJ Mathes ed. Facial fracture. In: Plastic Surgery Vol.3, 2nd ed. Elsevier Inc.Philadelphia; 2006: 229-255 4.
Wulandari A, Azis A, Aryanti N. Efektifitas Kesembuhan Luka Pada Penggunaan Rivanol Dengan Povidone Iodine Terhadap Vulnus Laseratum.
Wood R. J, Jurkiewicz M.J. Plastic and Reconstructive Surgery. In: Schwartz S.I, Shires G.T, Spencer F.C, Daly J.M, Fischer J.E, Galloway A.C. Schwartz Principles of Surgery 7th ed. United States of America:McGraw-Hill Companies Inc. 1999
24