i UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI PENGARUH EKSTRAK ETANOL 90% DAUN
KELOR (Moringa oleifera Lam.) TERHADAP KADAR
SERUM TESTOSTERON, BOBOT TESTIS,
MORFOLOGI SPERMATOZOA SERTA MOUNTING
FREQUENCY DAN MOUNTING LATENCY TIKUS
JANTAN GALUR SPRAGUE-DAWLEY
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
VISHILPY DIMALIA
NIM 1113102000040
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
AGUSTUS 2017
ii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
v UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama : Vishilpy Dimalia
Program Studi : Farmasi
Judul : Uji Pengaruh Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor (Moringa
oleifera) Terhadap Kadar Serum Testosteron, Bobot Testis,
Morfologi Spermatozoa Serta Mounting Frequency dan
Mounting Latency Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley
Kelor (Moringa oleifera Lam.) merupakan tanaman dari keluarga
moringaceae yang dikenal memiliki banyak manfaat, tidak hanya sebagai bahan
makanan dan penambah nutrisi, tetapi juga digunakan sebagai obat untuk beragam
penyakit. Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hasil yang kontradiktif pada
kelor dalam mempengaruhi reproduksi pria. Penelitian ini dilakukan untuk menguji
kembali pengaruh pemberian ekstrak daun kelor terhadap parameter kadar hormon
testosteron, bobot testis, morfologi spermatozoa serta mounting frequency dan
mounting latency. Sebanyak 20 ekor tikus jantan galur Sprague-Dawley dibagi
menjadi empat kelompok, kelompok 1 (kontrol) diberikan Na-CMC 0,25%
sebanyak 1 ml sedangkan kelompok 2-4 (kelompok perlakuan) diberikan ekstrak
etanol 90% daun kelor dengan dosis 50, 200, 800 mg/kgBB selama 15 hari secara
oral. Hasil analisa paired sample T-test menunjukkan bahwa ekstrak daun kelor
tidak mempengaruhi serum testosteron secara bermakna (p≥0,05). Serum
testosteron dalam rentang konsentrasi normal (0,66-0,54 ng/ml). Hasil analisa one
way ANOVA bobot testis menunjukkan tidak adanya perbedaan bobot testis secara
bermakna (p≥0,05), sedangkan analisa terhadap morfologi spermatozoa
menunjukkan adanya peningkatan morfologi spermatozoa abnormal secara
bermakna (p≤0,05) pada dosis 200 mg/kgBB dan 800 mg/kgBB. Uji Kruskal-Wallis
menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna terhadap mounting frequency
dan mounting latency tikus jantan. Berdasarkan hasil penelitian ini maka diperoleh
kesimpulan bahwa ekstrak etanol 90% daun kelor tidak mempengaruhi hormon
testosteron, bobot testis dan mounting secara bermakna (p≥0,05), namun dapat
mempengaruhi morfologi spermatozoa secara bermakna (p≤0,05).
Kata kunci: Moringa oleifera Lam., reproduksi tikus jantan, etanol 90%,
testosteron, bobot testis, morfologi spermatozoa, mounting.
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name : Vishilpy Dimalia
Study Program : Pharmacy
Title : Study of The Effect of 90% Ethanolic Extract of Moringa
oleifera Lam. Leaves on Testosterone Serum Level, Testicular
Weight, Spermatozoa Morphology, Mounting Frequency and
Mounting Latency in Sprague-Dawley Male Rats
Moringa oleifera Lam. is a plant from moringaceae family that has been
known to have a lot of benefits, not only as a foodstuff and nutrient addition is also
used as medicine for various ailments. Previous studies showed that there were
contradictory results of Moringa oleifera Lam. in male reproduction. This study
was conducted to investigate the effect of Moringa oleifera Lam. extract on
testosterone hormone, testicular weight, spermatozoa morphology, mounting
frequency and mounting latency. Twenty Sprague-Dawley male rats were divided
into four groups: group 1 (control group) were administered 1 ml of Na-CMC
0,25% orally, while those in group 2 to 4 (experimental groups) were administered
50, 200, 800 mg/kg body weight doses of 90% ethanolic extract of Moringa oleifera
Lam. leaves for 15 days orally. The result of paired sample T-test analysis showed
that there was no significant effect on testosterone serum levels (p≥0,05).
Testosterone serum was still in normal concentration range (0,66-5,5 ng/ml). The
result of one way ANOVA analysis on testicular weight showed no significant
difference, while on the spermatozoa morphology analysis showed a significant
enhancement of abnormal spermatozoa morphology at 200 mg/kg body weight and
800 mg/kg body weight doses. Kruskal-Wallis test showed no significant difference
in mounting frequency and mounting latency of male rats. Based on the result of
this research, it can be concluded that 90% ethanolic extract of Moringa oleifera
leaves did not affect testosterone hormone, testicular weight and mounting
significantly (p≥0,05), but significantly affected the morphology of spermatozoa
(p≤0,05).
Keywords: Moringa oleifera Lam., male rat reproduction, 90% ethanol,
testosterone, testis weight, spermatozoa morphology, mounting.
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Uji Pengaruh
Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor (Moringa oleifera) Terhadap Kadar Serum
Testosteron, Bobot Testis, Morfologi Spermatozoa Serta Mounting Frequency
dan Mounting Latency Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley”. Shalawat serta
salam penulis curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat, serta kita para umatnya yang setia hingga akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak
akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM., M. Kes., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Azrifitria, M.Si., Apt. dan Ibu Suci Ahda Novitri, M.Si., Apt. selaku
pembimbing yang telah dengan sabar memberikan waktu, ilmu, bimbingan
serta dukungan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi
ini.
4. Ayahanda Chaerul dan Ibunda Dimroh tercinta yang telah memberikan
dukungan, doa, kesabaran, kasih sayang dan pengertiannya bagi penulis.
Semoga keberkahan, kesehatan dan keselamatan selalu dilimpahkan Allah
untuk mereka.
5. Adik tersayang, Miftahan Khoiron, yang telah memberikan semangat dan
membantu peneliti selama penelitian ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmu dan bimbingan hingga
penulis dapat menyelesaikan studi di Prodi Farmasi FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Sahabat dan teman terbaik, Yuni Rahmi, Fitrahtunnisah, Nur Rizqiatul A.,
dan Ratih Dara S. atas persahabatan, kebersamaan, pengalaman dan segala
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kekonyolan yang diberikan selama 4 tahun ini, sukses selalu dan semoga
persahabatan ini berjalan selamanya dan diridhoi-Nya.
8. Sahabat dan teman tersayang, Fairuza Ajeng P., Isra M. A., Ummum Nada,
Dini F., Ambar L., Najmah Mumtazah dan Almira R. atas canda dan tawa
yang diberikan selama kuliah dan di tengah penelitian. Semoga Allah
membalas segala kebaikan kalian.
9. Kawan seperjuangan Farmakologi, Citra Lilis A., Silviana A., Badriatun
Ni’mah, Faris M., dan Lisa I., untuk segala keseruan dan perseteruan selama
penelitian bersama di Animal House.
10. Kakak – kakak farmasi terkasih, Ka Deni, Ka Hari, Ka Afin, Ka Ami, Ka
Nita, dan Ka Noni, untuk waktu, tenaga dan ilmu nya dalam membatu
selama proses penelitian. Semoga sukses dan Ridho-Nya selalu bersama
kakak sekalian.
11. Kawan penelitian bersama di lab Penelitian I, Nurul, Muzi, Hanum, Akbar,
Tika, Aisyah dan Hasan, terimakasih atas kebersamaan, ilmu dan
pengalaman yang telah diberikan selama penelitian.
12. Teman-teman Farmasi 2013 yang luar biasa, terimakasih untuk segala
keseruan, perseteruan, kenangan, pengalaman dan kekeluargaan selama
kuliah di farmasi yang akan selalu dikenang penulis. Semoga Allah selalu
memberikan kemudahan dan kesuksesan bagi kita semua.
13. Kakak laboran, Ka Eris, Ka Lisna, Ka Yaenap, Ka Walid, Ka Tiwi, Mba
Ayi, Mba Lilis, Ka Rahmadi dan Mba Rani untuk segala kemudahan dalam
penggunaan alat dan bahan selama penelitian.
14. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung
dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini yang namanya tidak dapat
penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna
dan banyak kekurangan. Oleh karena itu saran serta kritik yang membangun sangat
diharapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis pada
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amiiin Ya Rabbal’alamin.
Jakarta, Agustus 2017
Penulis
ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Vishilpy Dimalia
NIM : 1113102000040
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan dan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/ karya
ilmiah saya dengan judul:
UJI PENGARUH EKSTRAK ETANOL 90% DAUN KELOR (Moringa
oleifera Lam.) TERHADAP KADAR SERUM TESTOSTERON, BOBOT
TESTIS, MORFOLOGI SPERMATOZOA SERTA MOUNTING
FREQUENCY DAN MOUNTING LATENCY TIKUS JANTAN GALUR
SPRAGUE-DAWLEY
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital
Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang- Undang Hak Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada Tanggal : 9 Agustus 2017
Yang menyatakan,
(Vishilpy Dimalia)
x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
ABSTRACT .................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 3
1.3.1. Tujuan Umum .................................................................... 3
1.3.2. Tujuan Khusus ................................................................... 3
1.4. Hipotesis ........................................................................................ 4
1.5. Manfaat Penelitian ........................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 5
2.1. Tanaman Kelor .............................................................................. 5
2.1.1. Sinonim ............................................................................... 5
2.1.2. Taksonomi .......................................................................... 5
2.1.3. Deskripsi Tanaman ............................................................. 6
2.1.4. Kandungan Kimia dan Nutrisi Kelor .................................. 7
2.1.5. Kegunaan ............................................................................ 10
2.1.6. Penelitian Kelor .................................................................. 11
2.2. Ekstrak .......................................................................................... 12
2.2.1. Simplisia ............................................................................. 12
2.2.2. Ekstrak ................................................................................ 12
2.2.3. Ekstraksi ............................................................................. 13
2.2.3.1. Definisi Ekstraksi ...................................................... 13
2.2.3.2. Tujuan Ekstraksi ........................................................ 13
2.2.3.3. Metode Ekstraksi ....................................................... 13
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3. Tinjauan Pustaka Hewan Uji ......................................................... 14
2.3.1. Klasifikasi Taksonomi ........................................................ 14
2.3.2. Biologi Tikus Putih ............................................................. 15
2.3.3. Karakteristik Tikus ............................................................. 16
2.3.4. Sistem Reproduksi Tikus Jantan ......................................... 17
2.3.5. Spermatozoa ....................................................................... 19
2.3.6. Proses Spermatogenesis ...................................................... 21
2.3.7. Regulasi Hormon Tikus Jantan dan Betina ........................ 24
2.3.8. Hormon dalam Spermatogenesis ........................................ 26
2.4. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) ........................... 27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 29
3.1. Waktu dan Tempat ........................................................................ 29
3.2. Alat dan Bahan .............................................................................. 29
3.2.1. Alat ..................................................................................... 29
3.2.2. Bahan .................................................................................. 29
3.2.2.1. Tanaman Uji .............................................................. 29
3.2.2.2. Bahan Uji ................................................................... 29
3.2.2.3. Hewan Uji .................................................................. 30
3.3. Rancangan Penelitian .................................................................... 30
3.3.1. Desain Penelitian ................................................................ 30
3.3.2. Dosis Perlakuan .................................................................. 30
3.4. Prosedur Kerja ............................................................................... 32
3.4.1. Persiapan Simplisia dan Pembuatan Ekstrak ...................... 32
3.4.2. Penapisan Fitokimia ........................................................... 32
3.4.3. Pengujian Parameter Spesifik dan Non-Spesifik ................ 34
3.4.4. Persiapan Hewan Uji .......................................................... 35
3.4.5. Pembuatan Preparat ............................................................ 35
3.4.6. Pengukuran Parameter Fertilitas ......................................... 36
3.5. Analisis Data ................................................................................. 38
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 39
4.1. Hasil Penelitian ............................................................................. 39
4.1.1. Determinasi Tanaman ......................................................... 39
4.1.2. Ekstraksi ............................................................................. 39
4.1.3. Penapisan Fitokimia ........................................................... 39
4.1.4. Parameter Spesifik dan Non-Spesifik ................................. 40
4.1.5. Pengukuran Bobot Badan Tikus ......................................... 40
4.1.6. Pengukuran Konsentrasi Serum Testosteron ...................... 41
4.1.7. Pengukuran Proporsi Bobot Testis ..................................... 43
4.1.8. Pengukuran Morfologi Spermatozoa .................................. 44
4.1.9. Pengamatan Mounting Frequency dan Mounting Latency . 45
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2. Pembahasan ................................................................................... 46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 60
5.1. Kesimpulan ................................................................................... 60
5.2. Saran .............................................................................................. 60
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 61
LAMPIRAN .................................................................................................... 69
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Kandungan Kimia Kelor .............................................................. 9
Tabel 2.2. Kandungan Mineral Daun Kelor .................................................. 9
Tabel 2.3. Perbandingan 100 gram Daun Kelor Segar ................................. 10
Tabel 2.4. Data Fisiologi dan Reproduktif Rattus norvegicus ...................... 16
Tabel 3.1. Rancangan Percobaan .................................................................. 31
Tabel 4.1. Hasil Uji Parameter Standar Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor .... 40
Tabel 4.2. Bobot Badan Awal dan Akhir Tikus ............................................ 41
Tabel 4.3. Rerata Konsentrasi Testosteron ................................................... 42
Tabel 4.4. Rerata Proporsi Bobot Testis Hewan Uji ..................................... 43
Tabel 4.5. Rerata Abnormalitas Morfologi Spermatozoa ............................. 44
Tabel 4.6. Data Pengamatan Mounting Frequency dan Mounting Latency
Tikus Jantan ................................................................................. 46
Tabel 5.1. Hasil Pengukuran Konsentrasi Standar Testosteron .................... 97
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Daun, Bunga, Buah, Biji, Akar, Kulit batang tanaman kelor ... 6
Gambar 2.2. Struktur Senyawa dari Tanaman Kelor .................................... 8
Gambar 2.3. Organ Reproduksi Tikus Jantan ............................................... 18
Gambar 2.4. Struktur Spermatozoa Manusia ................................................ 20
Gambar 2.5. Sperma Normal Perbesaran 400x Dengan Mikroskop Digital . 20
Gambar 2.6. Morfologi Sperma Tikus .......................................................... 21
Gambar 2.7. Tahap Siklus Spermatogenesis Sel Pada Tikus ........................ 23
Gambar 2.8. Regulasi Hormon Reproduksi .................................................. 25
Gambar 2.9. Jenis Enzyme Linked Immunosorbent Assay ............................ 28
Gambar 4.1. Grafik Bobot Badan Tikus ....................................................... 40
Gambar 4.2. Grafik Perbandingan Bobot Badan Awal dan Akhir Tikus...... 41
Gambar 4.3. Grafik Konsentrasi Testosteron H-0 dan H-16 ........................ 42
Gambar 4.4. Grafik Proporsi Bobot Testis.................................................... 43
Gambar 4.5. Grafik Abnormalitas Morfologi Spermatozoa ......................... 45
Gambar 5.1. Daun Kelor Segar ..................................................................... 80
Gambar 5.2. Pengeringan Daun Kelor .......................................................... 80
Gambar 5.3. Penghalusan Daun Kelor .......................................................... 80
Gambar 5.4. Penimbangan Serbuk Daun Kelor ............................................ 80
Gambar 5.5. Perendaman Serbuk Daun Kelor .............................................. 80
Gambar 5.6. Penyaringan Maserat ................................................................ 80
Gambar 5.7. Pemekatan Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor............................ 80
Gambar 5.8. Ekstrak Kental Daun Kelor ...................................................... 80
Gambar 5.9. Aklimatisasi Hewan Uji ........................................................... 81
Gambar 5.10. Penimbangan Hewan Uji ........................................................ 81
Gambar 5.11. Pemberian Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor .......................... 81
Gambar 5.12. Terminasi Hewan Uji ............................................................. 81
Gambar 5.13. Pengamatan Fase Estrus ......................................................... 81
Gambar 5.14. Pertemuan Tikus Jantan dengan Tikus Betina ....................... 81
Gambar 5.15. Pengamatan Mounting Tikus Jantan ...................................... 81
Gambar 5.16. Pengambilan Darah Tikus ...................................................... 82
Gambar 5.17. Serum Testosteron .................................................................. 82
Gambar 5.18. Larutan Standar Testosteron dan Pereaksi ELISA ................. 82
Gambar 5.19. Penambahan Standard an Sampel ke dalam Wells ................. 82
Gambar 5.20. Penambahan Enzyme Conjugate ke dalam Wells ................... 82
Gambar 5.21. Pembilasan dengan Wash Solution ......................................... 82
Gambar 5.22. Penambahan Substrate Solution ke dalam Wells ................... 82
Gambar 5.23. Penambahan Stop Solution ke dalam Wells ........................... 82
Gambar 5.24. Pembacaan Kadar Hormon Testosteron ................................. 82
xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 5.25. Pengambilan Sperma dari Kauda Epididimis......................... 83
Gambar 5.26. Pewarnaan Spermatozoa dengan Eosin Y 1%........................ 83
Gambar 5.27. Pembuatan Preparat Apus ...................................................... 83
Gambar 5.28. Pengamatan Morfologi Spermatozoa ..................................... 83
Gambar 5.29. Spermatozoa Normal .............................................................. 83
Gambar 5.30. Spermatozoa Tanpa Kepala .................................................... 83
Gambar 5.31. Spermatozoa Ekor Bengkok ................................................... 83
Gambar 5.32. Spermatozoa Kepala Ganda ................................................... 83
Gambar 5.33. Pembedahan Hewan Uji ......................................................... 83
Gambar 5.34. Pengambilan Testis Kanan dan Kiri Tikus ............................. 83
Gambar 5.35. Penimbangan Bobot Testis ..................................................... 83
Gambar 5.36. Kurva Kalibrasi Standar Testosteron ..................................... 97
xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Alur Penelitian .......................................................................... 69
Lampiran 2. Perhitungan Dosis Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor ................ 71
Lampiran 3. Surat Hasil Determinasi Tanaman ............................................ 73
Lampiran 4. Surat Keterangan Kesehatan Hewan Uji .................................. 74
Lampiran 5. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik ............................................. 75
Lampiran 6. Hasil Perhitungan Rendemen, Kadar Air dan Kadar Abu ........ 76
Lampiran 7. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor ... 78
Lampiran 8. Dokumentasi Kegiatan Penelitian ............................................ 80
Lampiran 9. Hasil Pengukuran Bobot Badan Hewan Uji ............................. 84
Lampiran 10. Hasil Pengukuran Bobot Testis .............................................. 87
Lampiran 11. Hasil Perbandingan Bobot Badan Awal dan Akhir Tikus ...... 88
Lampiran 12. Hasil Pengukuran Proporsi Bobot Testis ................................ 89
Lampiran 13. Hasil Analisa Data Proporsi Bobot Testis .............................. 90
Lampiran 14. Hasil Pengamatan Morfologi Spermatozoa ............................ 92
Lampiran 15. Hasil Analisa Abnormalitas Morfologi Spermatozoa ............ 93
Lampiran 16. Pengukuran Konsentrasi Serum Testosteron .......................... 97
Lampiran 17. Hasil Analisa Data Konsentrasi Testosteron .......................... 99
Lampiran 18. Pengamatan Mounting Frequency dan Mounting Latency ..... 101
Lampiran 19. Hasil Statistik Mounting Frequency & Mounting Latency ..... 102
Lampiran 20. Hasil Perbandingan Bobot Badan Awal dan Akhir ................ 103
Lampiran 21. Review Hasil Penelitian Kelor dalam Reproduksi Pria .......... 106
xvii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu bahan alam yang memiliki banyak khasiat dan berpotensi
sebagai obat alami yaitu tanaman kelor (Moringa oleifera Lam.). Kelor adalah
tanaman dari keluarga moringaceae yang sering dihubungkan dengan hal mistis
dalam menangkal makhluk ghaib di kalangan masyarakat Indonesia. Tanaman
yang memiliki daun berukuran kecil ini kaya akan nutrisi dan tiap bagiannya
memiliki beragam manfaat dalam kesehatan, sehingga tanaman ini disebut juga
sebagai “A Miracle Tree”.
Tanaman kelor tidak hanya dikenal sebagai sayuran untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi namun telah dikenal luas oleh masyarakat sebagai suplemen
makanan dan obat. Tiap bagian tanaman kelor berkhasiat sebagai obat seperti
daun, biji, akar, kulit kayu, bunga dan polongnya (Razis et al., 2014). Tanaman
kelor telah digunakan untuk mengobati beragam penyakit seperti infeksi kulit,
anemia, ansietas, asma, darah kotor, bronkitis, dan kolera (Razis et al., 2014).
Kelor juga dilaporkan memiliki aktivitas sebagai anti-inflamasi, antioksidan,
antihiperlipidemia, antikanker, antiulkus, anti-diabetes, anti-asma, analgetik
dan hepatoprotektor (Shah, 2016).
Bagian tanaman kelor yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
adalah daun. Daun kelor berbentuk menyirip dua (bipinnate) dengan ukuran
daun 1-2 cm (Shah, 2016). Daun kelor selain digunakan sebagai obat juga
dikonsumsi sebagai sayuran di Indonesia. Kandungan nutrisi yang terdapat di
dalam daun kelor diantaranya asam amino, vitamin A, vitamin B, vitamin C,
kalsium, magnesium, kalium, protein dan polifenol. Setiap 100 gram daun kelor
segar telah diketahui mengandung vitamin A yang 4 kali lebih banyak dari
wortel dan 13 kali lebih banyak dari bayam, vitamin C yang 7 kali lebih banyak
dari jeruk, vitamin E yang 6 kali lebih banyak dari rapeseed oil, kalsium yang
4 kali lebih banyak dari susu, kalium yang 3 kali lebih banyak dari pisang, dan
polifenol yang 8 kali lebih banyak dari anggur merah. Kandungan fitokimia
daun kelor yang telah dilaporkan adalah pterygospermin,
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
isotiosianatometilbenzen, alkaloid moringin, quercetin, kamferol, niazimicin,
dan niazirin (Tejas et al., 2012).
Salah satu efek farmakologi daun kelor yang pernah dilaporkan adalah
dalam hal kesehatan reproduksi pria. Cajuday dan Poscidio pada tahun 2010,
melaporkan bahwa pemberian ekstrak n-heksan daun kelor kepada mencit
jantan selama 21 hari mampu meningkatkan bobot testis, diameter tubulus
seminiferus serta ketebalan dan bobot epididimis namun tidak mempengaruhi
hormon LH dan FSH. Pada tahun 2013, Afolabi pun melaporkan bahwa
pemberian ekstrak metanol daun kelor dengan dosis 200 mg/kgBB selama dua
minggu pada tikus jantan yang mengalami cryptorchidism dapat meningkatkan
jumlah sperma dan mampu meningkatkan jumlah sel germinal pada testis tikus.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Priyadarshani dan Varma pada tahun 2014
juga melaporkan bahwa pemberian 200 mg/kgBB serbuk daun kelor pada
mencit yang mengalami hiperglikemia menunjukkan adanya peningkatan bobot
testis, mobilitas sperma, konsentrasi sperma serta bobot epididimis. Selain itu
penelitian yang dilakukan oleh Dafaalla pada tahun 2015 menunjukkan bahwa
pemberian ekstrak etanol 85% daun kelor dengan dosis 200 mg/kgBB pada
tikus jantan selama 30 hari dapat meningkatkan bobot testis, epididimis,
motilitas spermatozoa, jumlah spermatozoa serta menurunkan abnormalitas
spermatozoa. Selain itu dilaporkan juga terjadi peningkatan kadar serum
hormon testosteron, FSH dan LH.
Hasil yang kontradiktif dilaporkan oleh beberapa penelitian. Owolabi
dan Ogunnaike (2014) melaporakan bahwa pemberian ekstrak etanol daun kelor
dosis 200 mg/kgBB selama 28 hari pada tikus wistar jantan memberikan hasil
yang baik terhadap semua jaringan kecuali jaringan testis dan epididimis,
sehingga dianggap memberikan efek antifertilitas. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Bachtiar dan Ghasani (2016) pun melaporkan bahwa pemberian
ekstrak etanol 90% daun kelor pada dosis 200, 400 dan 600 mg/kgBB selama
15 hari pada tikus jantan dapat menurunkan konsentrasi sperma dan diameter
tubulus seminiferus serta meningkatkan abnormalitas morfologi spermatozoa.
Motilitas sperma dan jumlah spermatosit pakiten juga dilaporkan mengalami
perubahan.
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Perbedaan hasil dari beberapa penelitian daun kelor terhadap reproduksi
pria tersebut menarik untuk diteliti lebih lanjut, sehingga pada penelitian kali
ini peneliti bermaksud untuk menguji kembali pengaruh pemberian ekstrak
etanol 90% daun kelor dengan peningkatan dan penurunan dosis menjadi empat
kalinya dari dosis 200 mg/kgBB (50 mg/kgBB, 200 mg/kgBB, 800 mg/kgBB)
terhadap konsentrasi serum testosteron, bobot testis, dan morfologi
spermatozoa serta dengan mengamati mounting frequency dan mounting
latency tikus jantan galur Sprague-Dawley. Pada akhir penelitian diharapkan
dapat diketahui pengaruh pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor terhadap
reproduksi pria dan diperoleh informasi dosis ekstrak daun kelor dalam
mempengaruhi reproduksi pria.
1.2. Rumusan Masalah
1. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya diketahui
bahwa tanaman kelor merupakan tanaman dengan beragam manfaat selain
sebagai suplemen dan nutrisi juga digunakan sebagai obat.
2. Penggunaan tanaman kelor sebagai obat telah diteliti memberikan beragam
aktivitas dalam kesehatan, salah satu nya terhadap reproduksi pria.
3. Pengaruh daun kelor terhadap reproduksi pria memberikan hasil yang
kontradiktif. Selain itu belum diketahui dosis optimum daun kelor dalam
mempengaruhi reproduksi pria.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol 90% daun kelor terhadap
tikus jantan galur Sprague-Dawley.
1.3.2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor
terhadap kadar serum testosteron, bobot testis, morfologi spermatozoa serta
mounting frequency dan mounting latency tikus jantan Galur Sprague-Dawley.
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.4. Hipotesis
Ekstrak etanol 90% daun kelor mempengaruhi kadar serum testosteron,
bobot testis, morfologi spermatozoa serta mounting frequency dan mounting
latency tikus jantan Galur Sprague-Dawley.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan, pengetahuan serta
wawasan mengenai pengaruh ekstrak etanol 90% daun kelor terhadap
reproduksi pria.
2. Manfaat Metodologi
Penelitian ini dapat menjadi sumber referensi bagi peneliti lain maupun
akademisi dalam mempelajari aktivitas tanaman kelor.
3. Manfaat Aplikatif
Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi dan ilmu bagi masyarakat luas
mengenai penggunaan daun kelor dalam kesehatan reproduksi pria.
5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Kelor
2.1.1. Sinonim
Kelor memiliki beberapa sinonim diantaranya: Moringa oleifera Lam.
(Latin), Subhanjana (Sanskrit), Saguna, Sainjna, Gujarati (Hindi), Suragavo
(Gujarat), Morigkai (Tamil), Mulaga, Munaga (Telugu), Murinna, Sigru
(Malayalam), Sainjna, Soanjna (Punjabi), Haritasaakha Tikshnagandhaa,
Raktaka, Akshiva (Ayurveda), Rawag (Arab), Moringe à graine ailèe,
Morungue (Prancis), Àngela, Ben, Moringa (Spanyol), Moringa, Moringueiro
(Portugis), Drumstick Tree, Horseradish Tree, Ben Tree (Inggris), La Ken
(Cina) (Tejas et al., 2012).
Menurut Kurniasih (2013), tanaman kelor memiliki beberapa sebutan di
beberapa daerah di Indonesia, diantaranya kelor (Sunda dan Melayu), kero,
wori, kelo, keloro (Sulawesi), murong (Aceh), kelo (Ternate), kawona
(Sumbawa) dan munggai (Minang).
2.1.2. Taksonomi (Tejas et al., 2012)
Adapun sistematika dari tumbuhan kelor adalah:
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Super Division : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub kelas : Dilleniidae
Ordo : Capparales
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa
Spesies : oleifera
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.3. Deskripsi Tanaman
Gambar 2.1. (a) Daun; (b) Bunga; (c) Buah; (d) Biji; (e) Akar; (f) Kulit batang
tanaman kelor (Tejas et al., 2012)
Kelor adalah tanaman yang berumur panjang dan berbunga sepanjang
tahun. Tanaman kelor tumbuh mencapai ketinggian hingga 10 atau 12 m. Daun
kelor berbentuk bulat telur dengan tepi daun rata dan ukuran kecil bersusun
majemuk dalam satu tangkai. Daun kelor muda berwarna hijau muda dan
berubah menjadi hijau tua pada daun yang sudah tua. Daun muda bertekstur
lembut dan lemas sedangkan daun tua kaku dan keras. Kelor memiliki bunga
yang berwarna putih, putih kekuning kuningan (krem) atau merah bergantung
spesiesnya. Bunga kelor memiliki panjang 0,7- 1 cm dan lebar 2 cm. Tudung
pelepah bunganya berwarna hijau dan mengeluarkan aroma bau semerbak.
Buah kelor berbentuk panjang dan segitiga dengan panjang sekitar 20-60 cm,
berwarna hijau ketika masih muda dan berubah menjadi coklat ketika sudah
tua. Buah kelor menyerupai polong yang bergantung, berwarna coklat dan
terbagi menjadi tiga bagian saat kering. Masing – masing buah kelor
mengandung 26 biji kelor. Biji kelor berbentuk bulat, ketika muda berwarna
hijau terang dan berubah warna coklat kehitaman ketika polong matang dan
kering. Masing-masing pohon dapat menghasilkan sekitar 15.000 hingga
25.000 biji per tahun dengan rata-rata berat biji 0,3 mg/ biji. Akar kelor
memiliki bau yang tajam dan akar lateral yang sangat tipis. Akar tunggang
berwarna putih, membengkak dan tuberous. Kulit batang tanaman kelor
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berwarna abu-abu keputihan, tebal, lunak, bercelah dan berbintil menghasilkan
tekstur yang kasar. Kulit batang mengeluarkan getah berwarna putih dan
berubah menjadi coklat kemerahan saat keluar (Tejas et al., 2012 dan Aminah
et al., 2015).
2.1.4. Kandungan Kimia dan Nutrisi Kelor
Senyawa bioaktif pada bagian daun kelor telah diketahui, beberapa
senyawa diantaranya yaitu kelompok vitamin, karotenoid, polifenol, asam
fenolat, flavonoid, alkaloid, glukosinolat, isotiosianat, tannin, saponin dan
phytate. Senyawa kimia kelor yang telah dilaporkan memiliki aktivitas sebagai
hipotensif, antikanker dan antibakteri diantaranya senyawa 4-(4'-O-acetyl-α-
L-rhamnopyranosyloxy) benzyl isothiocy-anate, 4-(α-L-rhamnopyranosyloxy)
benzyl isothiocy-anate, niazimicin, pterygospermin, benzyl isothiocyanate, dan
4-(α-L-rhamnopyranosyloxy) benzyl glucosinolate (Sharif et al.. 2016).
1 2
3 4
5 6
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.2. Struktur Senyawa dari Tanaman Kelor
Keterangan: Niazinin A [1]; 4-(4'-O-acetyl-α-L-rhamnopyranosyloxy)benzyl isothiocy-anate
[2]; 4-(L-rhamnopyranosyloxy) benzyl isothiocyanate [3]; Niazimicin [4]; 4-(α-L-
rhamnopyranosyloxy) benzyl glucosinolate [5]; benzyl isothiocyanate [6]; Aglikon dari deoxy-
niazimicine (N-benzyl, S-ethylthioformate) [7]; pterygospermin [8]; Niaziminin [9 +10]; o-
ethyl-4- (α-L-rhamnosyloxy)benzyl carbamate [11]; niazirin [12]; glycerol-1-(9-octadecanoat)
[13]; β-sitosterol [14]; 3-O’-(6’-oleoyl-β-D-glucopyranosyl)-β-sitosterol [15]; β-sitosterol-3-
O-β-D-glucopyranoside [16] (Anwar et al., 2007).
7 8
9 10
11 12
14: R= H
15: R= 6’-O-oleoyl-β-D-
glucopyranosyl
16: R= β-D-glucopyranosyl
13
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2.1. Kandungan Kimia Kelor (Bhargave et al., 2015)
Bagian
Tanaman Kandungan Kimia
Daun Pterygospermin, 4 - (4’-o-acetyl–a–L-
rhamnopyranosy - loxy) benzyl isothiocyanate, 4
(a–L-rhamnopyranosyloxy) benzyl isothiocyanate,
nizimicin, isothiocyanate dan 4 (a-L-
rhamnopyranosyloxy) benzyl Glucosinolate,
anthonine dan spirochinall. Alkaloid moringin,
nitril, mustard oil glycosides dan thiocarbamate
glycosides, b-sitesterol, polifenol, quecetin dan
kaempferol, niazimicin, 4 (alpha-L-
rhamnopyranosyloxy) - o-methyl thiocarbamate,
niazinin A, niazinin B, niazimicin.
Kulit Batang Alkaloid moringin dan moringinin, vanillin, beta-
sitosterol, beta-sitostenon, 4-hydro-xymelline,
octacosanoic acid.
Bunga Bunga mengandung sembilan asam amino,
sukrosa, D-glucose, lilin, quercetin, kamferat,
kalium dan kalsium, dilaporkan juga mengandung
beberapa pigmen flavonoid dan alkaloid, kamferol
rhamnetin, isoquercirine dan kaempleritin.
Biji Tiokarbamat, glikosida isotiosianat, polipeptida,
dan sterol pada bagian minyak.
Akar Ekstrak etanol-air akar kelor mengandung o-
sitosterol dan alkaloid moringinin.
Getah Getah dari batang mengandung L- arabinosa,
galaktosa, asam glukoronat, L-rhamnosa, mannosa
dan xylose, L- galaktosa, asam glukoronat dan L-
Mannosa.
Tanaman kelor kaya akan kandungan nutrisi. Bagian daun kelor kaya
akan pati, mineral, besi, vitamin A, B dan C, kalsium dan protein. Daun kelor
dinilai berpotensi mengatasi gangguan nutrisi pada orang yang kekurangan
nutrisi dan dianggap sebagai asupan protein dan kalsium (Tejas et al.,2012).
Tabel 2.2. Kandungan Mineral Daun Kelor (Tejas et al., 2012)
Makroelemen (g/kg serbuk kering) Mikroelemen (mg/kg serbuk kering)
Ca P Mg Na K Fe Mn Zn Cu
26.4 1.36 0.11 2.73 21.7 175 51.8 13.7 7.1
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 2.3. Perbandingan 100 gram Daun Kelor Segar (Tejas et al., 2012)
Nutrien Daun Kering
Vitamin A 4 kali wortel dan 13 kali bayam
Vitamin C 7 kali jeruk
Vitamin B 4 kali daging
Vitamin B3 50 kali kacang
Vitamin E 6 kali rapeseed oil
Kalsium 4 kali susu
Magnesium 36 kali telur
Kalium 63 kali susu dan 3 kali pisang
Besi 25 kali bayam
Protein 2 kali yogurt/susu
Polifenol 8 kali anggur merah
Asam amino 2 kali black vinegar
R-Asam amino 30 kali brown rice dan 4 kali teh GABA
Klorofil 4 kali rumput gandum
2.1.5. Kegunaan
Tanaman kelor berpotensi tinggi menguntungkan dalam bidang gizi dan
pengobatan. Sejarah membuktikan bahwa Raja dan Ratu zaman dahulu
menggunakan daun dan buah kelor dalam makanan sehari hari untuk menjaga
mental, kewaspadaan, kesehatan kulit dan sebagai sumber tenaga. Sejak 1998,
World Health Organization (WHO) telah mempromosikan tanaman kelor
sebagai alternatif makanan untuk mengatasi malnutrisi di negara miskin
(Bhargave et al., 2015).
Kelor memiliki banyak kegunaan sebagai obat dan telah lama dikenal
dalam sistem pengobatan Ayurveda dan Unani. Serbuk kering daun kelor dapat
digunakan sebagai produk pembersih tangan. Tanaman kelor kaya akan
sumber vitamin, makro dan mikro elemen, asam amino, minyak esensial dan
protein (Bhargave et al., 2015). Tanaman kelor digunakan untuk mengatasi
malnutrisi khususnya pada bayi dan ibu menyusui (Tejas et al., 2012).
Secara tradisional kelor digunakan di India selain sebagai bahan
makanan juga dapat menurunkan resiko penyakit degeneratif. Kelor memiliki
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
potensi sebagai obat yang sangat besar, semua bagian dari tanaman kelor
meliputi akar, kulit, getah, daun, buah, bunga, biji dan minyak biji telah
digunakan untuk beragam penyakit ringan (Farooq et al., 2012). Studi
farmakologi menunjukkan bahwa ekstrak dari tanaman kelor memiliki
aktivitas sebagai antioksidan, antikarsinogenik, antiinflamasi, antispasmodik,
antidiuretik, antiulkus, antibakteri, insektisida, analgetik, alexeteric,
antihelmintik, perubahan profil lemak dalam darah, antimikroba, antidepresan,
antidiabetik dan penyembuh luka (Bhargave et al., 2015).
Ekstrak heksan, kloroform, etil asetat dan metanol dari daun kelor
menunjukkan efek antibakteri melawan seluruh bakteri patogen yang diuji.
Oleh sebab itu, daun kelor dapat menjadi sumber antimikroba alami yang
berpotensi dalam industri farmasi untuk mengontrol bakteri coliform (Sharif et
al., 2016).
2.1.6. Penelitian Kelor
Kelor telah diteliti memiliki sejumlah aktivitas bagi kesehatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Sulistyorini dkk pada tahun 2015 menunjukkan
bahwa pemberian ekstrak etanol daun kelor pada tikus yang diinduksi
hiperglikemia dengan dosis 250 mg/kgBB dan 500 mg/kgBB selama 21 hari
dapat menyebabkan ekspresi insulin lebih tinggi dan derajat insulitis lebih
rendah dibanding kelompok kontrol.
Penelitian Romadhoni et al. pada tahun 2013 melaporkan bahwa ekstrak
air daun kelor dengan dosis 150, 300, 600 mg/kgBB yang diberikan pada tikus
yang telah diberi makan diet aterogenik selama 8 minggu, menujukan bahwa
ekstrak air daun kelor pada dosis 300 dan 600 mg/kgBB dapat menurunkan
kadar LDL dan meningkatkan kadar HDL dalam serum tikus putih.
Penelitian aktivitas analgetik dan antiinflamasi daun kelor yang
dilakukan oleh Sulistyawati dan Pratiwi pada tahun 2015 menunjukkan bahwa
ekstrak etanol kelor pada dosis 25 dan 50 mg/kgBB dapat menurunkan geliat
pada tikus yang diuji aktivitas analgetik, dengan daya analgetik 76,41 ± 2,73%
dan 80,41 ± 5,20%, sedangkan pada dosis 140 mg/kgBB memberikan daya
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
antiinflamasi sebesar 24,30 ± 2,960% dan penurunan ekspresi COX- 2 sebesar
46,37 ± 6,434%.
Penelitian yang dilakukan Dima dkk pada tahun 2016 memperlihatkan
bahwa ekstrak daun kelor memiliki aktivitas antibakteri. Di mana dilaporkan
bahwa aktivitas antibakteri ekstrak daun kelor terhadap Eschericia coli dan
Staphylococcus aureus pada konsentrasi 5%, 10%, 20%, 40%, dan 80%
memiliki Kadar Hambat Minimum (KHM) yaitu 13 mm pada E. coli dan 12
mm pada Staphylococcus aureus.
Penelitian lain, dilakukan oleh Restriani dkk melaporkan bahwa ekstrak
etanol daun kelor memiliki potensi efek antihipertensi dengan dosis yang
paling efektif pada dosis 337,9 mg/200g BB.
2.2. Ekstrak
2.2.1. Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati,
simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral) (Depkes RI, 2000). Simplisia
menurut Farmakope Herbal Indonesia tahun 2009, adalah bahan alam yang
telah dikeringkan yang digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami
pengolahan. Kecuali dinyatakan lain suhu pengeringan simplisia tidak lebih
dari 60o.
2.2.2. Ekstrak
Ekstrak menurut Farmakope Indonesia Edisi IV adalah sediaan kental
yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau
simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau
hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.3. Ekstraksi
2.2.3.1. Definisi Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes
RI, 2000). Definisi lain dari ekstraksi adalah proses pemisahan bahan dari
campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Muhkriani, 2014).
2.2.3.2. Tujuan Ekstraksi
Tujuan ekstraksi adalah memisahkan suatu komponen dari
campurannya dengan menggunakan pelarut (Purwani, 2008). Proses ekstraksi
bertujuan untuk memperoleh kandungan aktif dari suatu bahan alam dengan
menggunakan pelarut yang sesuai (Supriyati, 2011).
2.2.3.3. Metode Ekstraksi
Metode Ekstraksi menurut Parameter Standar Umum Ekstrak
Tumbuhan Obat tahun 2000, dibagi menjadi ekstraksi dengan menggunakan
pelarut dan distilasi uap. Metode ekstraksi menggunakan pelarut dibagi
menjadi cara dingin dan cara panas. Ekstraksi dengan cara dingin diantaranya:
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruang (kamar) (Depkes RI, 2000).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada
temperatur ruangan (Depkes RI, 2000).
Ekstraksi dengan cara panas diantaranya:
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk
ekstraksi sempurna (Depkes RI, 2000).
b. Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru
yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya
pendingin balik (Depkes RI, 2000).
c. Infus dan Dekok
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur
96-98 oC selama waktu tertentu (15-20 menit)). Dekok adalah infus pada
waktu yang lebih lama (≥30 oC) dan temperatur sampai titik didih air
(Depkes RI, 2000).
2.3. Tinjauan Pustaka Hewan Uji
2.3.1. Klasifikasi Taksonomi
Klasifikasi taksonomi tikus menurut Integrated Taxonomic Information
System adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Bilateria
Infrakingdom : Deuterostomia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Infraphylum : Gnathostomata
Superclass : Tetrapoda
Class : Mammalia
Subclass : Theria
Infraclass : Eutheria
Order : Rodentia
Suborder : Myomorpha
Superfamily : Muroidea
Family : Muridae
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Subfamily : Murinae
Genus : Rattus
Species : Rattus norvegicus
2.3.2. Biologis Tikus Putih
Tikus putih (Rattus norvegicus) yang memiliki nama lain Norway rat,
termasuk ke dalam hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri – ciri
galur ini yaitu bertubuh panjang dan kepala lebih sempit. Telinga tikus ini tebal
dan pendek dengan rambut halus. Mata tikus putih berwarna merah. Ciri yang
paling terlihat adalah ekornya yang panjang. Bobot badan tikus jantan pada
umur dua belas minggu mencapai 240 gram sedangkan betinanya mencapai
200 gram. Tikus memiliki lama hidup berkisar antara 4-5 tahun dengan berat
badan umum tikus jantan berkisar antara 267-500 gram dan betina 225-325
gram (Adiyati, 2011).
Menurut Smith & Mangkoewidjojo (1988) dalam Adiyati (2011), tikus
memiliki masa kawin pada saat umur delapan sampai sembilan minggu.Tikus
merupakan hewan poliestrus dan berkembangbiak sepanjang tahun. Periode
estrus berlangsung selama dua belas jam dan lebih sering terjadi pada malam
hari dibandingkan dengan siang hari.
Tikus putih yang digunakan untuk percobaan laboratorium yang dikenal
ada tiga macam galur yaitu Sprague-Dawley, Long Evans, dan Wistar (Akbar,
2010). Tikus putih memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sebagai
hewan uji penelitian diantaranya perkembangbiakan cepat, memiliki ukuran
yang lebih besar dari mencit, mudah dipelihara dalam jumlah yang banyak.
Tikus putih juga memiliki ciri – ciri morfologis seperti albino, kepala kecil dan
ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya cepat dan
tempramennya baik, kemampuan laktasi tinggi, dan tahan terhadap arsenik
tiroksid (Akbar, 2010).
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3.3. Karakteristik Tikus
Tabel 2.4. Data fisiologi dan Reproduktif Rattus norvegicus (Sengupta, 2012)
Data Fisiologi Umum
Temperatur Tubuh 37o C
Laju Respirasi 75 - 115 hembusan/menit
Detak Jantung 260 - 400 detak/menit
Konsumsi air/hari 10 - 12 ml/100g BB
Konsumsi makanan/hari 10 g/100 g BB
Litter Size 6 – 12
Berat kelahiran 5 g
Usia penyapihan 21 hari
Kematangan Seksual 7 Minggu
Lama Pembiakan 12 - 16 bulan
Berat Tikus Jantan Dewasa 450 – 550 g
Berat Tikus Betina Dewasa 250 – 300 g
Masa Hidup 2,5 - 3,5 tahun
Parameter Reproduksi
Tikus Jantan
Usia dikawinkan 8 - 10 minggu
Bobot saat kawin 250 – 300 g
Tikus Betina
Usia dikawinkan 8 - 10 minggu
Bobot saat kawin 180 – 225 g
Panjang Siklus Estrus 4 - 5 hari
Durasi estrus 10 - 20 jam
Waktu ovulasi 8 - 11 jam setelah onset estrus
Menopause 15 - 18 bulan
Kehamilan
Waktu kopulasi Mendekati titik tengah sebelum
dark cycle
Waktu sperma terdeteksi di vagina Hari ke-1
Waktu implantasi Hari ke-5 akhir
Panjang kehamilan 21 - 23 hari
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3.4. Sistem Reproduksi Tikus Jantan
Sistem reproduksi jantan merupakan suatu proses kompleks yang
melibatkan testis, epididimis, kelenjar aksesori, dan hormon-hormon terkait.
Testis merupakan kelenjar utama dalam sistem reproduksi jantan yang
bertanggung jawab terhadap produksi gamet jantan atau spermatozoa
(spermatogenesis) dan sintesis hormon jantan atau androgen (steroidogenesis).
Testis berjumlah sepasang, terletak di inguinal dan tersimpan di dalam kantung
skrotum (Fitria, 2015). Testis dibungkus oleh kapsula fibrosa tebal yang disebut
tunika albugenia. Pada bagian posterior jaringan ikat mengalami penebalan
yang disebut mediastinum testis. Dari mediastenum testis terbentuk sekat-sekat
yang membagi lobus secara radier menjadi lobuli testis. Sekat ini disebut
septula testis. Di dalam lobuli testis terdapat banyak saluran yang berliku-liku,
disebut tubulus seminiferus, tempat berlangsungnya proses spermatogenesis.
Saluran ini kemudian bergabung di bagian mediastinum testis tempat
terdapatnya rete testis. Rete testis berhubungan langsung dengan duktus eferen
yang akan membentuk bagian kaput epididimis (Akbar, 2010).
Produksi spermatozoa terjadi di tubulus seminiferus testis yang
dikontrol oleh testosteron yang dihasilkan oleh sel-sel leydig (interstitial) testis.
Tubulus seminiferus mengandung banyak sel epitel germinativum yang
berukuran kecil hingga sedang yang dinamakan spermatogonia, yang terletak
dalam dua sampai tiga lapisan sepanjang tepi luar epitel tubulus. Sel ini terus
mengalami proliferasi dan sebagian berdiferensiasi melalui stadium – stadium
definitif perkembangan untuk membentuk sperma (Guyton, 1990). Pada jantan
yang masih muda struktur tubulus seminiferus masih sederhana. Epitel lembaga
hanya terdiri atas sel-sel spermatogonia dan sel sertoli. Pada jantan yang sudah
dewasa, spermatogenik lebih beraneka ragam (Akbar, 2010).
Testis berperan sebagai kelenjar eksokrin maupun kelenjar endokrin.
Sebagai kelenjar eksokrin testis berperan menghasilkan sel sperma yang
diproduksi dari tubulus seminiferus testis, sedangkan sebagai kelenjar endokrin
testis memiliki sel leydig dan sel sertoli. Sel leydig berfungsi mensekresikan
androgen, mencakup testosteron. Sel sertoli berfungsi memelihara sel germinal
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang sedang berkembang selama beberapa tahap spermatogenesis (Agarwal,
2014).
Epididimis adalah suatu struktur memanjang yang bertaut rapat dari
bagian bawah testis sampai bagian atas testis dan di dalamnya terdapat duktus
epididimis yang berliku-liku (Akbar, 2010). Epididimis dibagi menjadi tiga
bagian utama: kaput, korpus, dan kauda. Kaput epididimis berada di superior
testis dan bagian kauda berada di inferior testis. Bagian yang mengintervensi
disebut korpus (Goldstein & Schlegel, 2013). Saluran epididimis
menghubungkan kelenjar testis dan vas deferens. Epididimis berfungsi untuk
pematangan spermatozoa dan sekaligus tempat penyimpanan spermatozoa yang
sudah matang (dewasa). Vas deferens atau duktus deferens mengangkut sperma
dari kauda epididimis ke uretra (Akbar, 2010).
Gambar 2.3. Organ Reproduksi Tikus Jantan (Suckow, 2006)
Ginjal
Kelenjar
Koagulasi
Ureter
Kelenjar Vesikular
Kelenjar Prostat
Kelenjar Cowpers
Kelenjar Ampulari
Kandung Kemih
Kelenjar Preputial Vas Deferens
Uretra
Testis
Penis
Kaput Epididimis
Kauda Epididimis
Korpus Epididimis
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Selain testis, terdapat kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap (accessory
sex glands), yaitu: vesikula seminalis, kelenjar koagulasi, prostat, bulbouretralis
(kelenjar cowper), dan ampula. Kelenjar-kelenjar ini menghasilkan berbagai
sekret yang berperan dalam transportasi spermatozoa, buffer, suplai nutrien dan
substrat metabolik untuk kehidupan spermatozoa terutama motilitas dan
fertilitas, fungsi lubrikasi, dan membentuk vaginal plug. Sekret yang dihasilkan
oleh accessory sex glands bersama-sama dengan spermatozoa dan sekret
epididimis disebut semen (Fitria, 2015).
2.3.5. Spermatozoa
Sperma dibentuk melalui proses spermatogenesis di tubulus
seminiferus. Setiap spermatid mulai memanjang menjadi spermatozoa yang
terdiri atas kepala, leher, badan dan ekor. Di depan kepala sperma terdapat
struktur kecil yang dinamakan akrosom, yang dibentuk dari apparatus golgi
serta mengandung hialuronidase dan protease yang memegang peranan penting
untuk masuknya sperma ke dalam ovum. Sentriol mengelompok pada leher
sperma dan mitokondria tersusun berbentuk spiral dalam badan. Ekor hampir
memiliki struktur yang hampir sama seperti silia. Ekor mengandung dua pasang
mikrotubulus yang turun ke tengah dan sembilan mikrotubulus ganda yang
tersusun di tepi. Ekor diliputi oleh perluasan membran sel dan mengandung
banyak adenosine trifosfat, yang memberikan energi dalam pergerakan ekor
(Guyton, 2006).
Kepala sperma tikus memiliki panjang 2,5 μm dan menyerupai kail.
Kepala sperma berisi inti padat dan memiliki bagian ujung yang kurang padat
disebut akrosom. Kepala sperma mengandung materi genetik pada nukleus.
Bagian tengah berisi sentriol dan dilingkari oleh bahan mitokondria yang
memberikan energi untuk pergerakan sperma. Ekor berisi filamen aksial yang
panjang dan menjadi vibratil ketika spermatozoon matang (Computer Asissted
Sperm Analysis, 2000 dan Abbiramy & Shanthi, 2010).
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.4. Struktur Spermatozoa Manusia (Guyton, 2006)
Sperma memiliki beberapa bentuk. Sperma yang normal memiliki
bentuk kepala yang oval, bagian tengah yang lengkap dan uncoiled serta
memiliki ekor tunggal. Beberapa sperma namun memiliki bentuk kepala dan
ekor yang abnormal. Bentuk kepala sperma yang tidak normal diantaranya
small head, pin head, dan double head. Keseluruhan abnormalitas pada
tampilan sperma disebut amorphous change. Bentuk ekor yang tidak normal
diantaranya broken tail, coiled sperm tail, ekor berjumlah double, triple dan
quadruple. WHO menyebutkan bahwa kualitas semen yang baik harus
mengandung 60% morfologi sperma yang normal (Abbiramy & Shanthi, 2010).
Gambar 2.5. Sperma normal perbesaran 400x dengan mikroskop digital
(Alias, 2011)
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.6. Morfologi Sperma Tikus.
Keterangan: A-Bentuk kepala sperma normal; B- Kepala Sperma terlipat; C dan D-
amorphous; E dan F- Bentuk kail kecil; G-Kepala bergelombang; H-Kepala memanjang; I dan
J- Bentuk kail abnormal; K dan L- Kepala double (Ostrowska et al., 2012)
2.3.6. Proses Spermatogenesis
Spermatogenesis adalah suatu proses diferensiasi sel yang kompleks
diakhiri dengan perkembangan spermatozoa haploid yang motil (Goldstein and
Schlegel, 2013). Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus, yang dalam
prosesnya spermatogonia yang primitif dan diploid berdiferensiasi dan menjadi
spermatozoa haploid (sperma) (OECD, 2008). Spermatozoa sebagai produk
spermatogenesis mengalami migrasi dari tubuli seminiferi testis menuju
epididimis untuk maturasi dan disimpan sementara (Fitria et al., 2015).
Proses spermatogenesis menurut Rex A. Hess (1999) dibagi menjadi tiga tahap:
1. Proliferasi
Spermatogonium adalah sel yang paling matang dan terletak di
sepanjang tepi dasar epitel seminiferus. Spermatogonium berproliferasi dengan
pembelahan mitosis dan berkembang berulang kali untuk terus mengisi epitel
germinal. Spermatogonium mampu memperbarui diri (self-renewal) dan
dengan demikian dapat menghasilkan sel induk yang tetap (Hess, 1999).
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahap pertama ini disebut pula tahap spermatocytogenesis, selama tahap
ini stem cell terbagi untuk menghasilkan populasi sel yang akan menjadi sel
sperma matang dan merubah diri mereka sendiri. Spermatosytogenesis terjadi
di dalam kompartemen basal (Agarwal, 2014).
Spermatogonium memiliki tiga bentuk fungsional diantaranya
Tipe Ad “dark”
Tipe Ap “pale”
Tipe B
Tipe sel Ad memelihara permulaan spermatogonium. Sel ini tidak
mempengaruhi secara langsung pembentukan spermatid namun memastikan
ketersediaan stem cell untuk spermatogenesis. Spermatogonia tipe Ap
mengalami pembelahan secara mitotik untuk menghasilkan sel kloning. Sel-sel
ini kemudian ditambatkan bersama, sel yang dihasilkan berdiferensiasi menjadi
spermatogonia tipe B (Agarwal, 2014).
2. Meiosis
Reduksi adalah mekanisme biologis dimana sebuah sel germinal tunggal
dapat meningkatkan kandungan DNA-nya, kemudian membagi dua kali untuk
menghasilkan empat sel germinal individu yang berisi untai tunggal dari
masing-masing kromosom atau setengah jumlah kromosom yang biasanya
ditemukan dalam sel-sel tubuh. Proses meiosis diperpanjang selama periode
waktu yang panjang. Oleh karena itu, spermatosit ditemukan di setiap tahap
spermatogenesis (Hess, 1999).
Sintesis DNA terjadi pada spermatosit preleptoten. Profase dari
pembelahan meiosis pertama dapat berlangsung selama hampir 3 minggu.
Kromosom homolog menjadi dipasangkan dalam sel zigoten, membentuk
kompleks synaptonemal. Spermatosit pakiten dimulai dari sel kecil namun
bagian inti membesar bersama kromosom menjadi lebih pendek dan menebal.
Spermatosit diploten memisahkan kompleks synaptonernal dan kromosom
tersebar terpisah dalam inti. Spermatosit sekunder (2n) yang diproduksi oleh
meiosis I kemudian dengan cepat membelah lagi oleh meiosis II. Meiosis II
menghasilkan (n) sel haploid sangat kecil yang disebut spermatid yang
memasuki fase berikutnya yaitu diferensiasi (Hess, 1999).
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Spermatogonia tipe B mengalami mitosis menghasilkan sel diploid,
spermatosit primer. Spermatosit primer mengalami pembagian meiosis hingga
pubertas dan memiliki masa hidup yang paling panjang dari semua tipe
spermatogonia. Pada saat pubertas, spermatosis primer diploid (2n) memasuki
meiosis I dan terbagi spermatosit sekunder haploid (n). Spermatosit sekunder
memiliki masa hidup sangat pendek dari semua tipe spermatogonia.
Spermatosit sekunder lalu mengalami meiosis II dan menghasilkan
spermatozoa dengan setengah materi DNA (Agarwal, 2014).
Gambar 2.7. Tahap Siklus Spermatogenesis Sel Pada Tikus.
Keterangan: A, Dimulai pada Spermatogonium tipe A; ln, Spermatogonium tipe intermediet;
B, Spermatogonium Tipe B; R, Spermatosit primer keadaan istirahat; L, Spermatosit Leptoten;
Z, Spermatosist Zigoten; P(I), P(VII), P(XII), Spermatosit pakiten awal, tengah dan akhir; Di,
Diploten; II, Spermatosit sekunder; 1-19, Tahap Spermiogenesis. Tabel ditengah memberikan
informasi komposisi seluler pada tiap tahap siklus epitel seminiferus (I-XIV). Simbol m
menunjukkan adanya mitosis (Krinke, 2000).
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Diferensiasi
Sel-sel germinal haploid mengalami fase diferensiasi terminal yang
dikenal sebagai spermiogenesis. Sel-sel mengalami perubahan, termasuk tiga
modifikasi utama diantaranya: (i) Inti memanjang dan kromatin mengembun
menjadi struktur pewarnaan sangat gelap memiliki bentuk unik yang spesifik;
(ii) Aparat golgi menghasilkan granula lisosom. Sistem acrosomic berisi enzim
hidrolitik yang diperlukan untuk interaksi sperma-sel telur dan fertilisasi; dan
(iii) Sel membentuk ekor panjang dilapisi dengan mitokondria di wilayah
proksimal dan kehilangan kelebihan sitoplasma. Perubahan dalam differensiasi
spermatid dikenal sebagai spermiogenesis (Hess, 1999).
Pada tikus, siklus spermatogenesis berlangsung 14 tahap di tubulus
seminiferus. Tikus memerlukan waktu 12 hari untuk menyelesaikan 14 tahap
spermatogenesis. Spermatogonium pada tikus memerlukan 4 siklus hingga
akhirnya membentuk spermatozoa. Sehingga 48 hari dibutuhkan untuk
menyelesaikan seluruh rangkaian tahap spermatogenik (Krinke, 2000).
2.3.7. Regulasi Hormon Tikus Jantan dan Betina
Spermatogenesis diregulasi oleh hormon yang disekresikan oleh
hipotalamus dan kelenjar pituitary serta diregulasi oleh mekanisme umpan balik
negatif. Hipotalamus mensekresikan Gonadotrophin Releasing Hormone
(GnRH) di dalam sirkulasi hipotalamus-hipofisial yang menstimulasi sintesis
dan pelepasan gonadotropin, FSH dan LH dari kelenjar pituitari ke sirkulasi
sistemik (Agarwal, 2014). GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone)
merupakan hormon yang disintesis di hipotalamus dan disekresikan ke hipofisis
anterior melalui vena porta hipotalamus-hipofisial (Akbar, 2010).
Pada pria, LH bekerja menstimulasi sel leydig untuk memproduksi
testosteron. FSH mempengaruhi sel sertoli untuk mensekresi androgen binding
protein (ABP), inhibin dan plasminogen activator. Androgen Binding Protein
(ABP) berperan penting dalam memelihara kadar androgen agar tinggi yang
berguna dalam spermatogenesis. Plasminogen activator membantu spermiasi
dan inhibin memberikan efek umpan balik negatif dalam sekresi FSH oleh
kelenjar pituitari anterior (Agarwal, 2014).
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pada wanita, FSH dan LH akan merangsang ovarium untuk
mensekresikan hormon estrogen dan progesteron yang akan mempengaruhi
siklus estrus. Pada fase proestrus folikel-folikel ovarium masih dalam ukuran
kecil. Adanya FSH yang disintesis di hipofisa anterior menyebabkan sel-sel
granulosa yang terdapat di dalam folikel akan cepat menjadi banyak. Folikel
yang matang akan terus memproduksi estrogen, akibatnya estrogen dalam darah
menjadi tinggi. Kadar estrogen yang tinggi dalam darah menandakan terjadinya
fase estrus pada mencit dan akan merangsang GnRH untuk memproduksi LH.
Lonjakan LH menyebabkan folikel berubah menjadi korpus luteum dan
menghasilkan progesteron (Akbar, 2010).
Gambar 2.8. Regulasi Hormon Reproduksi.
Keterangan: GnRH dilepaskan dari hipotalamus dan berjalan ke pituitari melalui
hypothalamophyseal tract lalu menstimulasi pelepasan FSH dan LH ke dalam sirkulasi perifer.
FSH mempengaruhi sel sertoli dan memodulasi spermatogenesis sedangkan LH mempengaruhi
sel leydig untuk menstimulasi biosintesis testosteron. Umpan balik negatif oleh testosteron dan
inhibin (disekresikan oleh sel sertoli sebagai respon FSH) menyebabkan down regulated
pelepasan LH dan GnRH dari pituitari dan hipotalamus. Sebagai tambahan dalam regulasi
endokrin, beragam sel pada testis saling meregulasi satu sama lain melalui paracrine pathway.
Proses ini melibatkan sekresi peptide dan growth factors yang mengatur fungsi selular antara
sel sertoli (SC), sel germinal (GC), peritubular myoid cells (M), sel leydig (LC) dan sel
endothelial pembuluh darah (BV) (OECD, 2008)
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3.8. Hormon dalam Spermatogenesis
Hormon-hormon yang terkait dalam proses spermatogenesis (Senger,
2003) yaitu:
1. GnRH dari hipotalamus, yaitu FSH-RH dan LH-RH
2. FSH dan LH dari hipofisis anterior.
Hormon FSH berfungsi untuk merangsang pembentukan sperma secara
langsung serta merangsang sel sertoli untuk menghasilkan ABP
(Androgen Binding Protein) untuk memacu spermatogonium
melakukan spermatogenesis. Hormon LH berfungsi merangsang sel
Leydig untuk mensekresikan testosteron.
3. Steroid dari gonad jantan (testis), yaitu testosteron dan estrogen.
Testosteron sebagai androgen utama yang diproduksi oleh sel-sel
interstitial leydig berperan dalam regulasi spermatogenesis, yaitu memacu
pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel spermatogenik. Di samping itu, testosteron
juga berperan dalam menstimulasi pertumbuhan serta memelihara struktur dan
fungsi organ-organ reproduksi (termasuk saluran dan kelenjar), serta
memunculkan dan mempertahankan ciri kelamin jantan sekunder (Fitria et al.,
2015). Sekresi testosteron dirangsang oleh LH dari kelenjar hipofisis.
FSH (Folicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone)
adalah hormon yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior. Kedua
hormon ini memegang peranan utama dalam mengatur fungsi seksual pria. FSH
merangsang perubahan spermatogonia menjadi spermatosit dalam tubulus
seminiferus serta merangsang sel sertoli untuk mengubah spermatid menjadi
sperma dalam spermiogenesis. LH berfungsi menstimulasi sel leydig di
interstisial testis untuk mensekresikan testosteron (Guyton, 2006).
Hormon lain yaitu estrogen dan GH (Growth Hormone). Estrogen
dibentuk dari testosteron oleh sel sertoli pada saat stimulasi oleh FSH. GH
berperan dalam mengontrol fungsi metabolik testis sehingga dapat
meningkatkan proses pembagian spermatogonia (Guyton, 2006).
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
ELISA atau Enzyme Linked Immunosorbent Assay digunakan sebagai
perangkat untuk mendiagnosa dalam dunia pengobatan dan pengendali mutu
dalam industri. ELISA juga digunakan sebagai alat menganalisa dalam
penelitian biomedis untuk mendeteksi dan mengkuantifikasi antigen atau
antibodi spesifik dalam sampel yang diberikan (Gan dan Patel, 2013).
Prinsip dasar ELISA adalah reaksi kompleks antigen-antibodi dengan
melibatkan peran enzim konjugasi yang anti-spesien immunoglobulin dan
substrat sebagai indikator dalam pereaksi. Teknik ini merupakan uji serologik
kuantitatif dan dilakukan dengan menggunakan plate mikrotiter (Layla dan
Poerwadikarta, 1993). ELISA digunakan untuk menemukan antibodi. Dalam
hal ini antigen mula-mula diikat pada benda padat kemudian ditambahkan
antibodi yang akan dicari. Setelah itu ditambahkan antigen bertanda enzim,
seperti peroksidase dan fosfatase. Terakhir ditambahkan substrat
kromoforgenik yang bila bereaksi dengan enzim dapat menimbulkan perubahan
warna. Perubahan warna yang terjadi sesuai dengan jumlah enzim yang diikat
dan sesuai pula dengan kadar antibodi yang dicari (Bratawidjaja dan Rengganis,
2012).
1. Direct ELISA
Direct ELISA merupakan metode ELISA yang paling sederhana. Pada
direct ELISA, antigen dilekatkan pada plate mikrotiter. Sementara enzim
berikatan dengan antibodi dalam reaksi terpisah, kemudian kompleks enzim-
antibodi ditambahkan untuk menyerap antigen. Kompleks enzim-antibodi
yang berlebih dicuci, dan enzim-antibodi terikat ke antigen yang tersisa.
Substrat enzim ditambahkan kemudian enzim terdeteksi menggambarkan
sinyal dari antigen (ELISA Encyclopedia).
2. Indirect ELISA
Pada indirect ELISA sampel yang akan dianalisa untuk antigen spesifik
dilekatkan pada wells dalam plate mikrotiter. Antibodi primer yang mengikat
antigen spesifik kemudian ditambahkan diikuti dengan antibodi sekunder
terkonjugasi enzim. Substrat dan enzim dikenali untuk menghitung antibodi
primer yang muncul melalui perubahan warna. Konsentrasi antibodi primer
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
muncul pada serum secara langsung dan berkorelasi dengan intensitas warna
(Gan dan Patel, 2013).
3. Sandwich ELISA
Sandwich ELISA digunakan untuk mengidentifikasi sampel antigen
spesifik. Permukaan wells disiapkan dengan sejumlah antibodi yang telah
diketahui untuk menangkap antigen yang diinginkan. Kemudian antigen sampel
dimasukan ke dalam wells. Antibodi primer spesifik kemudian ditambahkan
dan membentuk sandwich dengan antigen. Antibodi sekunder yang terikat
enzim lalu ditambahkan untuk mengikat antibodi primer. Antibodi yang tidak
terkonjugasi dengan enzim dibersihkan. Substrat ditambahkan dan perubahan
warna terjadi, kemudian jumlah dihitung (Gan dan Patel, 2013).
4. Competitive ELISA
ELISA kompetitif adalah reaksi kompetisi antara antigen sampel dan
antigen yang terikat dengan antibodi primer pada wells. Antibodi primer
pertama-tama diinkubasi dengan antigen sampel, lalu komplek antigen-antibodi
yang terbentuk ditambahkan ke wells yang sudah ditutupi oleh antigen yang
sama. Setelah masa inkubasi, antibodi yang tidak berikatan dibersihkan.
Semakin banyak antigen pada sampel maka semakin banyak juga antibodi
primer yang akan berikatan dengan antigen sampel. Antibodi sekunder
terkonjugasi enzim ditambahkan dan diikuti substrat untuk memperoleh sifat
kromogenik. Ketidakmunculan warna mengindikasikan kehadiran antigen
sampel (Gan dan Patel, 2013).
Gambar 2.9. Jenis Enzyme Linked Immunosorbent Assay
( www.bosterbio.com)
29 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2016 hingga Juni 2017
di laboratorium penelitian I, laboratorium penelitian II, Laboratorium Kimia
Obat, Laboratorium Biokimia dan Animal House Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender, timbangan
analitik, alcoholmeter, botol maserasi, vacuum rotary evaporator, kertas
saring, corong, botol timbang, kurs silikat, oven, tanur, timbangan hewan,
sonde oral, alat bedah minor, kaca objek, cover glass, mikropipet, effendrof
tube, centrifuge, mikrohematokrit, mikroskop cahaya, freezer, waterbath,
desikator, ELISA Reader.
3.2.2. Bahan
3.2.2.1. Tanaman Uji
Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelor, dengan
bagian yang digunakan yaitu daun. Daun kelor diperoleh dari Kampung
Tegalwaru, Kelurahan Cinangneng, Kecamatan Ciampea, Bogor pada pukul
03.45 WIB, tanggal 30 November 2016 dengan ketinggian tumbuh 800 mdpl.
Daun kelor yang digunakan yaitu daun kelor usia 3-12 bulan, bagian daun tua
dan muda. Sebelum dilakukan penelitian daun kelor terlebih dahulu
dideterminasi di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia – LIPI Cibinong.
3.2.2.2. Bahan Uji
Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ekstrak etanol
90% daun kelor, pereaksi dalam penapisan fitokimia meliputi etanol 70%, HCl
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pekat, HCl 2N, pereaksi Mayer, pereaksi dragendorf, pereaksi Liberman-
Bouchard, asam asetat anhidrat, asam sulfat pekat, magnesium, kloroform,
aquadest, kit testosteron ELISA, H2SO4 pekat, FeCl3 1%, Na CMC 0,25% b/v
dan NaCl fisiologis.
3.2.2.3. Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan
galur Sprague-Dawley yang sehat berumur 2-3 bulan dengan berat badan 250-
350 gram yang diperoleh dari Animal Facility and Modeling Provider, Institut
Pertanian Bogor (IPB).
3.3. Rancangan Penelitian
3.3.1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian
eksperimental. Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih jantan galur
Sprague-Dawley yang terbagi ke dalam 4 kelompok perlakuan. Setiap
kelompok terdiri dari 5 ekor tikus putih jantan galur Sprague-Dawley (WHO,
2000). Hewan uji dilebihkan 20% atau dilebihkan 1 ekor tikus pada tiap
kelompok dengan tujuan untuk mengatasi drop out.
3.3.2. Dosis Perlakuan
Dosis ekstrak etanol 90% daun kelor yang digunakan dalam penelitian
ini mengacu pada dosis 200 mg/kgBB dalam penelitian Bachtiar dan Ghasani
(2016) dengan peningkatan dan penurunan dosis, sehingga dosis yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga dosis berbeda, diantaranya yaitu
50 mg/kgBB, 200 mg/kgBB, 800 mg/kgBB. Pemberian ekstrak etanol 90%
daun kelor dilakukan secara oral selama 15 hari sesuai dengan protokol WHO
dalam Dehghan (2005). Perlakuan yang dilakukan terdiri dari:
Kelompok I : Kelompok kontrol (tanpa perlakuan), sebanyak 5 ekor tikus
diberikan Na-CMC 0,25% b/v, serta makan dan minum ad
libitum
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kelompok II : Sebanyak 5 ekor tikus diberikan suspensi Na-CMC 0,25%
b/v ekstrak etanol 90% daun kelor dengan dosis 50
mg/kgBB, serta makan dan minum ad libitum.
Kelompok III : Sebanyak 5 ekor tikus diberikan suspensi Na-CMC 0,25%
b/v ekstrak etanol 90% daun kelor dengan dosis 200
mg/kgBB, serta makan dan minum ad libitum.
Kelompok IV : Sebanyak 5 ekor tikus diberikan suspense Na-CMC 0,25%
b/v ekstrak etanol 90% daun kelor dengan dosis 800
mg/kgBB, serta makan dan minum ad libitum.
Tabel 3.1. Rancangan Percobaan
Kelompok Perlakuan Lama
Pemberian
Pengukuran/bagian
yang digunakan
I
(Kontrol)
Tikus diberikan
Na-CMC 0,25%
b/v
15 hari Darah diambil dari
sinus orbital mata
Bobot testis
ditimbang
Sperma dikeluarkan
dari kauda
epididimis
Pengamatan
mounting frequency
dan mounting
latency
II
(50mg/kgBB)
Tikus diberikan
suspensi ekstrak
etanol 90% daun
kelor dengan dosis
50 mg/kgBB
15 hari Darah diambil dari
sinus orbital mata
Bobot testis
ditimbang
Sperma dikeluarkan
dari kauda
epididimis
Pengamatan
mounting frequency
dan mounting
latency
III
(200 mg/kgBB)
Tikus diberikan
suspensi ekstrak
etanol 90% daun
kelor dengan dosis
200 mg/kgBB
15 hari Darah diambil dari
sinus orbital mata
Bobot testis
ditimbang
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sperma dikeluarkan
dari kauda
epididimis
Pengamatan
mounting frequency
dan mounting
latency
IV
(800 mg/kgBB)
Tikus diberikan
suspensi ekstrak
etanol 90% daun
kelor dengan dosis
800 mg/kgBB
15 hari Darah diambil dari
sinus orbital mata
Bobot testis
ditimbang
Sperma dikeluarkan
dari kauda
epididimis
Pengamatan
mounting frequency
dan mounting
latency
3.4. Prosedur Kerja
3.4.1. Persiapan Simplisia dan Pembuatan Ekstrak
Sebanyak 18 kg daun kelor segar dicuci kemudian dikeringkan. Daun
kelor lalu dihaluskan dengan menggunakan blender, sehingga diperoleh serbuk
halus sebanyak 2,4 kg. Serbuk daun kelor lalu dimasukan ke dalam botol
maserasi, kemudian ditambahkan pelarut etanol 90% hingga pelarut merendam
serbuk setinggi tiga jari dari permukaan serbuk. Serbuk daun kelor direndam
selama tiga hari, sambil setiap hari diaduk. Maserat dipisahkan dengan cara
disaring. Proses penyaringan diulang sekurang-kurangnya dua kali dengan
jenis dan jumlah pelarut yang sama. Maserat dikumpulkan dan diuapkan
dengan menggunakan Vacuum Rotary Evaporator hingga diperoleh ekstrak
kental. Rendemen ekstrak dihitung dalam persen dengan membandingkan
bobot ekstrak kental dengan bobot serbuk simplisia yang digunakan.
3.4.2. Penapisan Fitokimia
a. Alkaloid
Sebanyak 100 mg ekstrak ditambahkan 1 ml etanol 70% kemudian
dilarutkan dengan 1 mL HCl 2N dan 9 ml air, dipanaskan dalam penangas air
dan didinginkan. Campuran kemudian disaring dan ditampung filtratnya.
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Filtrat yang didapat dibagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung pertama
ditambahkan dengan asam encer yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua
ditambahkan 3 tetes pereaksi Dragendrof dan tabung ketiga ditambahkan 3
tetes pereaksi Mayer. Terbentuknya endapan jingga pada tabung kedua dan
endapan putih atau kuning yang larut dalam metanol pada tabung ketiga
menunjukkan adanya alkaloid (Farnworth 1966 dan Susanti et al., 2014).
b. Flavonoid
Sebanyak 100 mg ekstrak ditambahkan 1 ml etanol 70%. Filtrat
ditambahkan 0,5 mL HCl dan logam Mg kemudian diamati perubahan warna
yang terjadi (metode Wilstater). Warna merah sampai jingga diberikan oleh
senyawa flavon, warna merah tua diberikan oleh flavonol atau flavonon, warna
hijau sampai biru diberikan oleh aglikon atau glikosida (Marliana et al., 2005).
c. Saponin
Sebanyak 100 mg ekstrak ditambahkan 1 ml etanol 70% kemudian
ditambahkan 10 ml air panas dan didinginkan. Campuran kemudian dikocok
vertikal selama 10 detik. Pembentukan busa setinggi 1-10 cm yang stabil
selama tidak kurang dari 10 menit menunjukkan adanya saponin. Pada
penambahan 1 tetes HCl 2N, busa tidak hilang (Depkes RI, 1995).
d. Tanin dan Polifenol
Larutan uji sebanyak 2 ml direaksikan dengan larutan besi (III) klorida
10%, warna biru tua atau hitam kehijauan menunjukkan adanya tanin dan
polifenol (Susanti et al., 2014).
e. Steroid dan Triterpen
Sebanyak 100 mg ekstrak ditambahkan 1 ml etanol 70%, kemudian
direaksikan dengan pereaksi Liebermen-Buchard. Adanya steroid
menunjukkan warna biru - kehijauan sedangkan triterpenoid menunjukkan
warna merah, merah muda, atau ungu (Farnsworth, 1966).
f. Terpenoid
Sebanyak 100 mg ekstrak ditambahkan 1 ml etanol 70% kemudian
dilarutkan di dalam eter. Selanjutnya campuran diuapkan hingga kering.
Larutan pereaksi terdiri dari 10 tetes asam asetat anhidrat dan 5 tetes asam
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sulfat ditambahkan ke dalam residu. Terbentuknya warna merah-hijau-violet-
biru menandakan bahwa ekstrak mengandung terpenoid (Farnsworth, 1966).
3.4.3. Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik
1. Parameter Spesifik
a. Parameter Identitas Ekstrak (Depkes RI, 2000)
Deskripsi tata nama:
Nama ekstrak
Nama latin tumbuhan
Bagian tumbuhan yang digunakan
Nama Indonesia Tumbuhan
b. Organoleptik Ekstrak (Depkes RI, 2000)
Parameter menggunakan pancaindra untuk mendiskripsikan bentuk, warna,
bau, dan rasa sebagai berikut:
Bentuk : Padat, serbuk kering, kental, cair
Warna : Kuning, Coklat, dll
Bau : Aromatik, tidak berbau, dll
Rasa : Pahit, manis, kelat, dll
2. Parameter Non-Spesifik
a. Kadar Air
Botol timbang disiapkan, dipanaskan pada suhu 105 °C selama 30
menit, lalu ditimbang. Hal tersebut dilakukan sampai memperoleh bobot botol
timbang yang konstan atau perbedaan hasil antara 2 penimbangan tidak
melebihi 0,005 g. Sebanyak 1 g bahan uji ditimbang, dimasukkan ke dalam
botol timbang. Bahan uji kemudian dikeringkan pada suhu 105 °C selama 5
jam dan ditimbang kembali. Proses pengeringan dilanjutkan dan timbang
kembali selama 1 jam hingga perbedaan antara penimbangan berturut turut
tidak lebih dari 0,25% (Indrasuari et al., 2014). Kadar air dapat dihitung
dengan persamaan,
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kadar Air (%) =
𝑎−𝑏
𝑎 x 100%
Keterangan : a = berat awal simplisia (g); b =berat akhir simplisia (g)
b. Kadar Abu
Bahan uji ditimbang dan dimasukkan dalam krus porselin yang telah
dipijar dan ditara. Krus porselin dipijar pada suhu 600°C kemudian
didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung
terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 2000).
3.4.4. Persiapan Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan yaitu tikus jantan galur Sprague – Dawley.
Tikus diaklimatisasi sebelum diberikan perlakuan di Laboratorium Animal
House, FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 2 minggu. Tikus diberi
makan dan minum ad libitum. Ekstrak etanol 90% daun kelor diberikan secara
oral menggunakan sonde sekali tiap pagi (Pukul 09.00 WIB) selama 15 hari,
dengan dosis sebagai berikut:
1. Kelompok I diberikan Na-CMC 0,25% b/v.
2. Kelompok II diberikan ekstrak etanol 90% daun kelor dengan dosis 50
mg/kgBB yang disuspensikan ke dalam Na-CMC 0,25% b/v.
3. Kelompok III diberikan ekstrak etanol 90% daun kelor dengan dosis 200
mg/kgBB yang disuspensikan ke dalam Na-CMC 0,25% b/v.
4. Kelompok IV diberikan ekstrak etanol 90% daun kelor dengan dosis 800
mg/kgBB yang disuspensikan ke dalam Na- CMC 0,25% b/v.
3.4.5. Pembuatan Preparat
Pembuatan preparat dilakukan pada hari ke-16. Masing – masing hewan
uji dikorbankan untuk diambil organ reproduksi tikus. Hewan uji dibius
dengan eter kemudian di bedah dan organ testis dan kauda epididimis
dikeluarkan. Pengambilan sperma dari kauda epididimis dilakukan dengan
meletakan kauda epididimis ke dalam cawan petri yang berisi NaCl 0,9%.
Sperma dari dalam kauda epididimis dilarutkan dengan NaCl 0,9% sehingga
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
larutan sperma tersebut dikatakan sebagai larutan stok yang dapat digunakan
dalam pengamatan morfologi spermatozoa (CASA, 2000).
3.4.6. Pengukuran Parameter Fertilitas
1. Pengukuran Kadar Serum Testosteron
Tikus diberikan ekstrak etanol 90% daun kelor selama 15 hari. Pada hari
ke-0 dan hari ke- 16 dilakukan pengambilan darah sebanyak 2 ml melalui sinus
orbital mata tikus. Darah kemudian dimasukan ke dalam tube dan dibiarkan
selama 1 jam. Tube kemudian di sentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama
15 menit untuk memisahkan serum. Serum kemudian disimpan dalam freezer
bersuhu -20 oC hingga hari ke-16 (Dafaalla, 2015 dan Bachtiar, 2016).
Pengukuran konsentrasi kadar serum testosteron dilakukan dengan
menggunakan kit ELISA testosteron yang diperoleh dari DRG Internasional.
Pengukuran kadar serum testosteron mengunakan metode ELISA sesuai
dengan prosedur yang tertera dalam manual kit ELISA testosteron. Prosedur
kerja dengan kit ELISA testosteron menggunakan metode ELISA kompetitif,
diantaranya: sebanyak 25 μl standar, kontrol, dan sampel masing - masing
dimasukan ke dalam wells yang berbeda dengan menggunakan tips yang
berbeda-beda. Sebanyak 200 μl konjugat enzim dipipet ke dalam setiap sumur,
pencampuran dilakukan selama 10 detik untuk mendapatkan campuran yang
tepat. Campuran diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruang tanpa diberi
penutup. Inkubasi tersebut berfungsi agar sampel dan konjugat saling
berikatan. Wells dibilas sebanyak 3 kali dengan wash solution (400 μl/sumur)
dan langsung dikeringkan dengan cara membalikkan sumur. Selanjutnya
ditambahkan 200 μl larutan substrat atau kromogen pada setiap sumur.
Substrat rentan terhadap cahaya, maka larutan disimpan di dalam ruangan
bebas cahaya. Inkubasi dilakukan selama 15 menit pada suhu ruang. Reaksi
enzimatik kemudian dihentikan dengan menambahkan 100 μl dengan
menggunakan stop solution. Selanjutnya, microtitter plate dimasukkan ke
dalam ELISA reader dengan pembacaan panjang gelombang pada 450±10 nm.
Pembacaan dilakukan dalam waktu 10 menit setelah penambahan stop solution
(Solihati, 2013).
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Perhitungan Abnormalitas Morfologi Spermatozoa
Sebanyak 1 ml suspensi sperma dari larutan stok dimasukan ke dalam
tube. Eosin Y 1% ditambahkan kedalam tube sebanyak 2 tetes lalu dikocok
perlahan. Sperma diinkubasi selama 45-60 menit di dalam tube kemudian
dibuat sediaan oles dengan meletakan satu sampai dua tetes suspensi sperma
yang telah diwarnai ke atas kaca objek. Kaca objek kemudian digeserkan
dengan kaca objek lain di atasnya hingga terbentuk sediaan oles sperma. Kaca
objek digeser membentuk sudut 45° dan digeserkan hanya sekali geser.
Sediaan oles spermatozoa selanjutnya dikeringanginkan. Pengamatan
dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 400-1000 kali (CASA,
2000). Perhitungan dilakukan terhadap spermatozoa berbentuk abnormal yaitu
sperma dengan ekor melingkar dan kepala putus, kemudian dibandingkan
dengan jumlah spermatozoa yang ada dalam lapang pandang dan dinyatakan
dalam persen (Solihati, 2013).
% Abnormalitas = Jumlah Spermatozoa Abnormal
Jumlah Spermatozoa Abnormal dan Normal x 100%
3. Pengukuran Bobot Testis
Pengukuran bobot testis dilakukan dengan membuka isi perut tikus
hingga nampak prostat dan vesika seminalis. Testis dibuka dengan membuka
skrotum dan menarik testis dari lapisan pembungkusnya. Bobot testis diukur
dengan menimbang organ testis menggunakan timbangan analitik, kemudian
hasil bobot testis tikus yang diberi perlakuan dibandingkan dengan bobot testis
tikus kontrol. Bobot testis kemudian dibandingkan dengan bobot badan tikus
setelah perlakuan untuk mendapatkan proporsi bobot testis tikus terhadap
bobot badan tikus (Bachtiar, 2016).
% Proporsi Bobot Testis = Bobot Testis Tikus (g)
Bobot Badan Tikus (g) x 100%
4. Pengukuran Mounting frequency dan Mounting latency
Aktivitas seksual tikus jantan diamati pada hari ke-15. Pengamatan
aktivitas seksual tikus jantan dilakukan mengacu pada penelitian Deshmukh
dan Bhagat (2016), pengamatan aktivitas seksual dilakukan dengan
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mempertemukan tikus jantan dengan tikus betina dalam satu kandang dengan
perbandingan tikus jantan dan betina 1:1. Tikus betina diperiksa apusan vagina
untuk menentukan fase estrus. Pengamatan mounting frequency dan mounting
latency diamati pada sore hari selama 30 menit setelah perlakuan seluruh
kelompok uji. Pengamatan dilakukan terhadap Mounting Latency (ML), waktu
dari mulai perkenalan (introduction) tikus betina ke dalam kandang tikus
jantan hingga mounting atau tunggangan pertama dan Mounting Frequency
(MF), jumlah tunggangan tikus jantan ke betina sebelum ejakulasi. Jumlah dan
waktu mounting lalu dicatat.
3.5. Analisis Data
Data hasil pengamatan konsentrasi serum testosteron, morfologi
spermatozoa, bobot testis serta mounting frequency dan mounting latency pada
tiap kelompok perlakuan selanjutnya diolah secara statistik dengan
menggunakan software SPSS 20. Uji statistik yang dilakukan meliputi uji
normalitas, uji homogenitas, uji parametrik (one-way ANOVA dan Paired
Sample T-Test), atau uji non-parametrik (Kruskal Wallis). Jika hasil uji one-
way ANOVA maupun Kruskal Wallis menunjukkan hasil yang signifikan
(p≤0,05) maka uji dilanjutkan dengan uji multiple comparison tipe LSD (Least
Significant Different).
39 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Determinasi Tanaman
Determinasi tanaman kelor dilakukan di Herbarium Bogoriense
Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor. Hasil determinasi
menunjukkan bahwa tanaman uji yang diperoleh dari Kampung
Tegalwaru, Kelurahan Cinangneng, Kecamatan Ciampea, Bogor adalah
benar tanaman kelor. Surat hasil determinasi tanaman uji dapat dilihat
pada Lampiran 3.
4.1.2. Ekstraksi
Serbuk daun kelor kering diperoleh sebanyak 2,4 kg dari hasil
pengeringan dan penghalusan 18 kg daun kelor segar. Serbuk kering
daun kelor kemudian dimaserasi secara berulang dengan pelarut etanol
90% sebanyak 20, 5 L hingga maserat bening. Maserat kemudian di
pekatkan dengan vacuum rotary evaporator dan diperoleh ekstrak
kental sebanyak 527,433 gram. Ekstrak kental dilakukan freeze dry di
LIPI Cibinong selama 10 jam untuk mengurangi kadar air pada ekstrak.
Rendemen ekstrak dihitung dengan membandingkan bobot ekstrak
terhadap bobot serbuk kelor kering dan diperoleh rendemen sebesar
21,97%. Perhitungan rendemen dapat dilihat pada Lampiran 6.
4.1.3. Penapisan Fitokimia
Hasil penapisan fitokimia ekstrak etanol 90% daun kelor
menunjukkan bahwa ekstrak mengandung senyawa alkaloid, flavonoid,
saponin, tanin, steroid dan terpenoid. Hasil penapisan fitokimia ekstrak
etanol 90% daun kelor dapat dilihat pada Lampiran 7.
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.4. Parameter Spesifik dan Non-Spesifik
Hasil pengujian parameter spesifik dan non-spesifik ekstrak
etanol 90% daun kelor dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Hasil Uji Parameter Standar Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor
Pengujian Parameter Hasil
Parameter
Spesifik
Identitas Ekstrak
a. Nama Ekstrak a. Ekstrak Etanol 90%
Daun Kelor (Moringa
oleifera Lam.)
b. Nama Latin b. Moringa oleifera Lam.
c. Bagian Yang
Digunakan
c. Daun
d. Nama Indonesia
Tumbuhan
d. Kelor
Organoleptik Ekstrak
a. Bentuk a. Kental
b. Warna b. Coklat
c. Bau c. Khas
d. Rasa d. Pahit
Parameter
Non-Spesifik
Kadar Air 12,04%
Kadar Abu 8,39%
4.1.5. Pengukuran Bobot Badan Tikus
Hasil pengukuran bobot badan tikus seluruh kelompok selama
15 hari menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan bobot badan
tikus (Gambar 4.1.).
Gambar 4.1. Grafik Bobot Badan Tikus
0
100
200
300
400
Bo
bo
t (g
ram
)
Hari
Bobot Badan Tikus
Kontrol 50mg/kgBB 200mg/kgBB 800mg/kgBB
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bobot badan tikus mengalami peningkatan dari bobot awal.
Hasil statistik perbandingan bobot badan awal dan akhir tikus
menunjukkan adanya peningkatan bobot badan secara bermakna
(p≤0,05) pada kelompok kontrol dan dosis 50 mg/kgBB, sedangkan
pada kelompok dosis 200 dan 800 mg/kgBB tidak ada pebedaan bobot
badan awal dan akhir yang bermakna (p≥0,05). Hasil pengukuran bobot
badan tikus dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Bobot Badan Awal dan Akhir Tikus
Kelompok Bobot Badan
Awal (gram)
Bobot Badan
Akhir (gram)
Kontrol 331.6 347.4*
50 mg/kgBB 286.2 302.2*
200 mg/kgBB 281.4 282.6
800 mg/kgBB 333.4 316.8
Keterangan *= Ada perbedaan secara bermakna bobot badan awal
dan akhir tikus pada taraf kepercayaan 95% (p≤0,05).
Gambar 4.2. Grafik Perbandingan Bobot Badan Awal dan Akhir Tikus
4.1.6. Pengukuran Konsentrasi Serum Testosteron
Hasil pengukuran konsentrasi testosteron hari ke-0 dan hari ke-
16 pada seluruh kelompok uji dapat dilihat pada Table 4.3. Konsentrasi
Testosteron kelompok kontrol maupun kelompok uji menunjukkan
adanya peningkatan dan penurunan konsentrasi testosteron pada hari ke-
0 dan hari ke-16 (Gambar 4.3.).
0
100
200
300
400
Kontrol 50mg/kgBB 200mg/kgBB 800mg/kgBB
Bo
bo
t (g
ram
)
Perbandingan Bobot Badan Tikus
Bobot Badan Awal Bobot Badan Akhir
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.3. Rerata Konsentrasi Testosteron
Kelompok Konsentrasi Testosteron (ng/ml) ± SD*
Hari Ke-0 Hari Ke-16
Kontrol 2.2417 ± 0.8239 2.1243 ± 1.0540
50 mg/kgBB 1.4535 ± 0.8768 2.3948 ± 1.0132
200 mg/kgBB 2.8305 ± 1.7163 1.3552 ± 0.8653
800 mg/kgBB 1.2465 ± 0.6139 1.9998 ± 1.3763
Keterangan * n=5
Gambar 4.3. Grafik Konsentrasi Testosteron H-0 dan H-16
Data konsentrasi testosteron hari ke-0 dan hari ke-16 diuji
menggunakan Paired Samples T-Test. Hasil menunjukkan adanya
penurunan konsentrasi testosteron pada kelompok kontrol dan dosis 200
mg/kgBB antara hari ke-0 dan hari ke-16 secara tidak bermakna
(p≥0,05), sedangkan pada kelompok dosis 50 mg/kgBB dan dosis 800
mg/kgBB terjadi peningkatan konsentrasi testosteron secara tidak
bermakna (p≥0,05). Penurunan dan peningkatan konsentrasi testosteron
seluruh kelompok pada hari ke-0 dan hari ke-16 masih dalam rentang
konsentrasi testosteron normal (0,66 – 5,4 ng/ml), oleh karena itu
pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor tidak mempengaruhi
konsentrasi testosteron. Hasil analisa statistik konsentrasi testosteron
dapat dilihat pada Lampiran 17.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Kontrol 50mg/kgBB 200mg/kgBB 800mg/kgBB
Ko
nse
ntr
asi
Tes
tost
ero
n
(ng
/ml)
Konsentrasi Testosteron
H-0 H-16
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.7. Pengukuran Proporsi Bobot Testis
Hasil pengukuran bobot testis pada kelompok kontrol dan
kelompok uji yang diberikan ekstrak etanol 90% daun kelor dapat dilihat
pada Table 4.4.
Tabel 4.4. Rerata Proporsi Bobot Testis Hewan Uji
Kelompok Bobot Testis
(gram) ± SD*
Bobot Badan
H-15 (gram)
± SD*
Proporsi Bobot
Testis (%)
± SD*
Kontrol 1.381 ± 0.0703 338.4 ± 14.51 0.408 ± 0.0273
50 mg/kgBB 1.292 ± 0.0846 309.6 ± 32.53 0.420 ± 0.0440
200mg/kgBB 1.256 ± 0.0297 291.2 ± 40.27 0.439 ± 0.0702
800 mg/kgBB 1.363 ± 0.1315 316.8 ± 40.40 0.433 ± 0.0385
Keterangan * n=5
Hasil perhitungan rerata proporsi bobot testis menunjukkan
adanya peningkatan proporsi bobot testis kelompok uji dibandingkan
dengan kelompok kontrol (Gambar 4.4.). Peningkatan proporsi bobot
testis kelompok uji tidak sebanding dengan adanya peningkatan dosis
ekstrak etanol 90% daun kelor.
Gambar 4.4. Grafik Proporsi Bobot Testis
Data proporsi bobot testis kelompok kontrol dan kelompok uji
diolah secara statistik. Hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan
Uji homogenitas Levene menunjukkan hasil data terdistribusi normal
dan homogen (p≥0,05). Data proporsi bobot testis kemudian dilanjutkan
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Kontrol 50mg/kgBB 200mg/kgBB 800mg/kgBB
Pro
po
rsi
Proporsi Bobot Testis
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan analisa statistik parametric one way ANOVA. Hasil analisa one
way ANOVA menunjukkan hasil tidak adanya perbedaan secara
bermakna dari data proporsi bobot testis (p≥0,05). Dari hasil tersebut
disimpulkan bahwa ekstrak etanol 90% daun kelor tidak mempengaruhi
bobot testis tikus jantan.
4.1.8. Pengukuran Morfologi Spermatozoa
Hasil pengukuran abnormalitas morfologi spermatozoa
kelompok kontrol dan kelompok uji dapat dilihat pada Table 4.5.
Pengukuran abnormalitas morfologi spermatozoa menunjukkan adanya
peningkatan abnormalitas morfologi spermatozoa kelompok uji seiring
dengan peningkatan dosis ekstrak etanol 90% daun kelor (Gambar 4.5.).
Tabel 4.5. Rerata Abnormalitas Morfologi Spermatozoa
Kelompok Rerata Abnormalitas Morfologi
Spermatozoa (%) ± SD
Kontrol 11.097 ± 5.086
50 mg/kgBB 12.659 ± 2.298
200 mg/kgBB 18.378* ± 2.256
800 mg/kgBB 19.239* ± 2.614 Keterangan *= Ada perbedaan secara bermakna terhadap kelompok
kontrol dan kelompok dosis 50 mg/kgBB pada taraf kepercayaan
95% (p≤0,05).
Data abnormalitas morfologi spermatozoa diuji normalitas
Kolmogorov-Smirnov dan homogenitas Levene. Hasil menunjukkan
bahwa data abnormalitas morfologi spermatozoa terdistribusi normal
dan homogen. Analisa kemudian dilanjutkan dengan analisa statistik
parametrik one way ANOVA. Hasil one way ANOVA menunjukkan
adanya perbedaan secara bermakna (p≤0,05) dari hasil pengukuran
abnormalitas morfologi spermatozoa, maka uji dilanjutkan dengan
menggunakan uji Least Significant Difference (LSD).
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.5. Grafik Abnormalitas Morfologi Spermatozoa
Hasil uji LSD menunjukkan bahwa abnormalitas morfologi
spermatozoa kelompok dosis 200 dan 800 mg/kgBB berbeda secara
bermakna (p≤0,05) terhadap kelompok kontrol (p≤0,05). Hasil LSD
abnormalitas morfologi spermatozoa antara kelompok uji menunjukkan
hasil perbedaan secara bermakna (p≤0,05) pada kelompok dosis 200
mg/kgBB dan dosis 800mg/kgBB terhadap dosis 50 mg/kgBB namun
tidak ada perbedaan yang bermakna antara abnormalitas morfologi
spermatozoa kelompok dosis 200 mg/kgBB dengan kelompok dosis 800
mg/kgBB. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol 90% daun kelor
pada dosis 200 mg/kgBB dan dosis 800 mg/kgBB dapat meningkatkan
abnormalitas spermatozoa.
4.1.9. Pengamatan Mounting Frequency dan Mounting Latency
Hasil pengamatan mounting frequency dan mounting latency
tikus jantan menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan mounting
frequency dan mounting latency kelompok uji dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Berdasarkan Tabel 4.6., mounting frequency pada
dosis 50 mg/kgBB lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol
dan kelompok uji lainnya. Mounting latency pada kelompok dosis 50
mg/kgBB juga menunjukkan waktu mounting yang lebih cepat
dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok lainnya.
0
5
10
15
20
25
Kontrol 50mg/kgBB 200mg/kgBB 800mg/kgBB
Per
sen
tase
Ab
norm
al
(%)
Abnormalitas Morfologi Spermatozoa
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.6. Data Pengamatan Mounting Frequency dan Mounting
Latency Tikus Jantan
Kelompok Mounting
Frequency
Mounting Latency
(detik)
N
Kontrol 3.5 712.75 4
50 mg/kgBB 18 127 1
200 mg/kgBB 1 1195 1
800 mg/kgBB 5 148 1
Keterangan: N= Jumlah tikus yang teramati melakukan mounting
Hasil uji normalitas Kolomogorov-Smirnov menunjukkan bahwa
data mounting frequency dan mounting latency tikus jantan terdistribusi
tidak normal (p≤0,05). Maka uji statistik dilanjutkan dengan uji
Kruskal-Wallis untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data
mounting frequency dan mounting latency. Hasil uji Kruskal-Wallis
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan secara bermakna mounting
frequency dan mounting latency tikus jantan pada tiap kelompok uji.
Hasil uji statistik dapat dilihat pada Lampiran 12.
4.2. Pembahasan
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian
ekstrak etanol 90% daun kelor selama 15 hari terhadap parameter bobot
testis, morfologi spermatozoa, kadar serum testosteron serta mounting
frequency dan mounting latency pada tikus jantan galur Sprague-
Dawley. Penilaian fertilitas dilakukan dengan mengukur bobot testis,
kadar testosteron dan morfologi spermatozoa serta pengaruhnya
terhadap libido melalui pengamatan mounting frequency dan mounting
latency.
Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman
kelor. Tanaman yang disebut sebagai a miracle tree ini telah diteliti
memiliki banyak potensi dalam kesehatan diantaranya sebagai
antidiabetes, antiinflamasi dan antimikroba. Tanaman kelor pada
penelitian ini diperoleh dari Kampung Tegalwaru, Kelurahan
Cinangneng, Kecamatan Ciampea, Bogor. Tanaman kelor yang diambil
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berusia 3-12 bulan. Bagian tanaman yang digunakan yaitu daun, baik
daun muda maupun daun tua. Tanaman kelor sebelum digunakan dalam
penelitian dilakukan determinasi di Pusat Penelitian Biologi Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia – LIPI Cibinong. Hasil determinasi
menunjukkan bahwa tanaman tersebut adalah benar tanaman kelor.
Daun kelor sebanyak 18 kg kemudian dibuat menjadi simplisia.
Daun kelor disortasi basah tujuannya yaitu untuk memisahkan kotoran
dan bahan lain dari daun kelor. Daun kelor kemudian dicuci dengan
menggunakan air mengalir untuk membersihkan daun dari sisa kotoran
yang menempel. Daun kelor dikeringkan dengan cara kering angin,
tujuannya untuk meminimalkan kerusakan atau hilangnya senyawa
yang terkandung di dalam daun kelor. Daun kelor kering kemudian
disortasi kembali sebelum dihaluskan tujuannya untuk menghilangkan
sisa kotoran yang ada. Penghalusan daun kelor dilakukan dengan
menggunakan blender dan diperoleh serbuk daun kelor sebanyak 2,4 kg.
Sebanyak 2,4 kg serbuk daun kelor dimaserasi dengan
menggunakan pelarut etanol 90%. Alasan penggunaan etanol sebagai
pelarut yaitu etanol merupakan pelarut yang mudah menguap, murah
dan cukup aman. Etanol dipilih sebagai pelarut dalam uji pendahuluan
suatu obat karena aman untuk dikonsumsi serta merupakan pelarut yang
baik untuk ekstraksi pendahuluan dan dapat mengekstraksi senyawa
polar dan non-polar. Pemilihan konsentrasi etanol 90% sebagai pelarut
dalam penelitian ini didasari pada kemampuan etanol 90% yang dapat
menarik senyawa alkaloid, flavonoid, tannin, saponin, steroid daun
kelor (Patel et al., 2014). Maserasi serbuk daun kelor dilakukan secara
berulang dengan menggunakan 20, 5 L etanol 90% hingga maserat
menjadi bening. Maserasi dilakukan selama 3 hari dengan dilakukan
pengadukan tiap harinya. Pengadukan menjadi salah satu faktor yang
berpengaruh dalam proses maserasi, hal ini dikarenakan pengadukan
dapat memperbanyak kontak antara bahan dengan pelarut sehingga
didapatkan derajat homogenitas yang tinggi dan diperoleh hasil
ekstraksi yang tinggi (Dewi K. H., et al., 2010). Hasil maserasi disaring
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan kapas dan kertas saring, kemudian filtrat ditampung dan
dipekatkan dengan menggunakan Vacum Rotary Evaporator.
Pemekatan dilakukan dengan kecepatan rotor 5-7 dan suhu
penangas air 50o C tujuannya untuk mencegah hilangnya senyawa
bioaktif yang tidak tahan panas atau dapat terdegradasi akibat
pemanasan (Handoko, 2007). Pemekatan dilakukan dengan vacuum
rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak etanol 90% daun kelor
dengan konsistensi yang kental. Hasil ekstraksi diperoleh ekstrak kental
daun kelor sebanyak 527,433 gram dengan hasil rendemen yaitu 21.9%.
Rendemen ekstrak dapat digunakan sebagai parameter standar mutu
ekstrak, besar kecilnya rendemen suatu ekstrak menunjukkan ke-
efektifan proses ekstraksi. Ekstrak kental daun kelor kemudian di-freeze
dry tujuannya untuk menghilangkan sisa zat cair yang berada di dalam
ekstrak.
Uji parameter spesifik dan non-spesifik ekstrak etanol 90% daun
kelor dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kualitas ekstrak sesuai
standar kimia dan biologi serta batas-batas aman dari suatu ekstrak.
Parameter spesifik yang diuji meliputi identitas ekstrak dan organoleptis
ekstrak. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak memiliki bentuk
yang kental berwarna kecoklatan dengan rasa pahit dan bau yang khas.
Parameter non-spesifik yang diuji diantaranya yaitu kadar abu dan kadar
air.
Pengujian kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran
kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal
sampai terbentuknya ekstrak, hasil pengujian kadar abu ekstrak etanol
90% daun kelor yaitu sebesar 8,39%. Persyaratan kadar abu ekstrak
yang baik menurut Materia Medika Indonesia adalah ≤ 10%. Hasil
kadar abu pada ekstrak ini menunjukkan bahwa kadar abu ekstrak masih
dalam batas yang dipersyaratkan. Kadar abu total digunakan sebagai
indikator adanya cemaran logam yang tidak mudah hilang pada suhu
tinggi.
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengujian kadar air dilakukan untuk memberikan batasan
minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan.
Pada ekstrak yang tidak mengandung minyak atsiri, susut pengeringan
identik dengan kadar air. Pada penelitian ini pengujian kadar air
dilakukan dengan metode gravimetri. Persyaratan kadar air suatu
ekstrak menurut BPOM RI tahun 2014 adalah ≤ 10%. Hasil pengujian
kadar air ekstrak etanol 90% daun kelor yaitu 12,04%, hasil ini lebih
besar dari persyaratan yang ditentukan. Kadar air yang besar
berpengaruh pada stabilitas ekstrak, ekstrak dengan kadar air yang
tinggi dapat dengan mudah ditumbuhi jamur. Penelitian yang dilakukan
oleh Alegentina (2012) juga menunjukkan kadar air ekstrak etanol daun
kelor yang tinggi sebesar 15,68%. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Bachtiar dan Ghasani (2016) juga menunjukkan hasil kadar air ekstrak
etanol daun kelor yang tinggi yaitu 15,17%. Pada penelitian ini ekstrak
tidak menunjukkan perubahan selama 4 bulan penyimpanan di dalam
lemari pendingin dengan suhu 4 oC, walaupun hasil kadar air melebihi
persyaratan yang telah ditentukan. Ekstrak etanol 90% daun kelor
berdasarkan kadar air yang dimilikinya termasuk ke dalam jenis ekstrak
kental (5-30%)(Voigt, 1994).
Ekstrak etanol 90% daun kelor dilakukan penapisan fitokimia.
Tujuan skrining fitokimia pada ekstrak yaitu sebagai tahap awal
mengindentifikasi kandungan kimia dari ekstrak etanol 90% daun kelor.
Pada penelitian ini skrining fitokimia diujikan terhadap senyawa
alkaloid, flavonoid, tannin, saponin, steroid dan triterpenoid. Hasil
penapisan fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanol 90% daun kelor
positif mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, tannin, saponin dan
steroid. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Patel P. et
al pada tahun 2014 yang menyatakan bahwa ekstrak etanol daun kelor
mengandung senyawa tersebut. Daun kelor telah diketahui mengandung
senyawa pterygospermin, alkaloid moringin, polifenol, quersetin, dan
niazimicin (Bhargave et al., 2015). Senyawa tersebut telah dilaporkan
memiliki aktivitas sebagai antikanker, agen hipotensif, dan antibakteri,
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
namun belum diketahui senyawa di dalam daun kelor yang
mempengaruhi reproduksi pria.
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus jantan
galur Sprague-Dawley usia 3-4 bulan dengan bobot 250-350 gram
sebanyak 20 ekor tikus. Hewan uji kemudian dibagi secara acak menjadi
4 kelompok uji diantaranya kelompok kontrol, kelompok dosis 50, 200
dan 800 mg/kgBB. Pengelompokkan dilakukan dengan jumlah tikus
tiap kelompok yaitu 5 ekor, hal ini sesuai dengan pedoman WHO tahun
2000 dalam Research Guidelines for Evaluation The Safety and Efficacy
of Herbal Medicine, dimana untuk penelitian menggunakan hewan
pengerat maka masing-masing kelompok perlakuan harus terdiri dari
sekurang-kurangnya 5 ekor hewan. Pemilihan tikus galur Sprague-
Dawley didasari oleh sifat tikus yang tenang dan mudah dalam
penanganannya. Hewan uji diaklimatisasi selama 2 minggu sebelum
dilakukan pengujian. Aklimatisasi hewan uji bertujuan untuk
menyesuaikan kondisi hewan uji dengan kondisi lingkungan yang baru
serta menjadi bagian seleksi terhadap hewan uji yang memenuhi syarat
dalam penelitian. Bobot badan tikus ditimbang dan dicatat tiap hari serta
diamati perilakunya selama masa aklimatisasi.
Pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor pada hewan uji
dilakukan secara oral dengan menggunakan sonde oral. Pemberian
ekstrak dilakukan selama 15 hari berdasarkan protokol WHO dalam
Dehghan (2005). Ekstrak etanol 90% daun kelor diberikan dengan tiga
dosis berbeda diantaranya dosis 50, 200, 800 mg/kgBB. Dosis ini dipilih
berdasarkan dosis 200 mg/kgBB dari penelitian yang dilakukan oleh
Bachtiar dan Ghasani (2016) yang kemudian dilakukan peningkatan dan
penurunan dosis sebesar empat kalinya. Ekstrak etanol daun kelor
diketahui memiliki LD50 lebih besar dari 6616,7 mg/kgBB pada hewan
tikus (Osman et al., 2015), hal ini menunjukkan bahwa pemilihan dosis
uji pada penelitian ini aman untuk hewan uji. Ekstrak etanol 90% daun
kelor diberikan dalam bentuk suspensi dalam Na-CMC 0,25% b/v.
Pemilihan Na-CMC 0,25% b/v sebagai pensuspensi dikarenakan Na-
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
CMC dengan konsentrasi 0,1-1% dapat dengan baik digunakan sebagai
suspending agent pada sediaan oral (Allen, 2009), selain itu Na-CMC
merupakan pembawa yang sesuai untuk digunakan sebagai suspending
agent secara oral pada penelitian tentang reproduksi pada tikus (Fritz &
Becker, 1981).
Pengukuran bobot tikus dilakukan selama masa aklimatisasi dan
masa perlakuan. Hasil menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan
berat badan selama masa aklimatisasi dan perlakuan. Berat badan tikus
menunjukkan adanya peningkatan bobot badan akhir tikus dari bobot
badan awal. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun kelor dengan
dosis tersebut tidak memiliki efek yang berbahaya dan tidak
mempengaruhi proses metabolik tikus. Penelitian yang dilakukan oleh
Bais (2014) juga melaporkan bahwa pemberian ekstrak daun kelor
selama dua minggu dengan dosis 200 mg/kgBB dan dosis 400 mg/kgBB
dapat mencegah pertambahan berat badan. Namun penelitian yang
dilakukan oleh Osman et al (2012) melaporkan bahwa ekstrak daun
kelor selama 21 hari dengan dosis 200 mg/kgBB dan 300 mg/kgBB
dapat meningkatkan bobot badan tikus. Peningkatan bobot badan tikus
ini dapat disebabkan oleh fakta bahwa daun kelor kaya akan kandungan
asam amino, vitamin, dan mineral.
Pada hari ke-0 dan hari ke-16 darah tikus diambil untuk dibuat
menjadi serum. Tikus dibius dengan eter hingga setengah sadar,
kemudian darah diambil melalui vena supraorbital. Pengambilan darah
melalui vena supraorbital bertujuan agar tidak terlalu menyakiti hewan
uji. Pada hari ke-16 tikus dikorbankan dengan cara dibius dengan eter.
Kemudian tikus dibedah dan dipisahkan bagian testis dan kauda
epididimis untuk diamati. Pengamatan parameter kemudian dilakukan,
diantaranya:
1. Pengukuran Kadar Serum Testosteron
Pengukuran kadar serum testosteron dilakukan dengan
mengambil darah tikus sebanyak 2 ml pada hari ke-0 dan hari ke-16
melalui vena supraorbital tikus. Darah dibuat menjadi serum dengan
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menggunakan sentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 15
menit. Serum yang terbentuk dipisahkan dan disimpan di dalam
freezer dengan suhu -20 oC tujuannya agar serum tetap dalam
keadaan stabil hingga waktu pengujian.
Pada hari ke-16 perlakuan, serum darah hari ke-0 dan hari
ke-16 dilakukan pengujian kadar testosteron dengan menggunakan
kit ELISA testosteron. Hasil menunjukkan adanya peningkatan dan
penurunan kadar testosteron hari ke-0 dan hari ke-16. Peningkatan
kadar serum testosteron secara tidak bermakna terjadi pada dosis 50
mg/kgBB dan 800 mg/kgBB, penurunan kadar testosteron secara
tidak bermakna terjadi pada dosis 200 mg/kgBB. Peningkatan dan
penurunan kadar testosteron ini tidak berbeda secara bermakna pada
seluruh kelompok uji serta masih berada dalam batas rentang kadar
testosteron normal yaitu 0,66 - 5,4 ng/ml. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor tidak
mempengaruhi kadar testosteron hewan uji.
Penelitian yang dilakukan oleh Cajuday dan Poscidio (2010)
menunjukkan hasil bahwa pemberian ekstran heksan daun kelor
selama 21 hari tidak mempengaruhi kadar hormon FSH dan LH
secara signifikan. Hormon FSH dan LH merupakan hormon yang
berperan dalam proses spermatogenesis dan berkaitan dalam sekresi
hormon testosteron. Penelitian Bachtiar (2016) juga melaporkan
bahwa pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor pada dosis 200,
400, dan 600 mg/kgBB selama 15 hari tidak memberikan pengaruh
terhadap kadar serum testosteron tikus jantan.
Testosteron merupakan hormon steroid yang disintesis oleh
sel leydig dan memiliki efek mempengaruhi prilaku seksual pria,
membentuk otot dan integritas tulang. Jumlah kadar serum
testosteron akan menurun dipengaruhi oleh usia dan dengan diiringi
peningkatan serum FSH (ALPCO, 2013). Testosteron diketahui
terlibat dalam perkembangan sel sperma dalam spermatogenesis.
Gangguan produksi testosteron disebabkan karena tidak
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berfungsinya sel leydig dan juga gangguan steroidogenesis testis.
Testosteron diproduksi dengan jumlah maksimal 5 mg tiap hari.
Produksi hormon testosteron mengikuti pola diurnal, dimana kadar
puncak hormon testosteron terjadi pada awal pagi dan kadar
terendah terjadi pada malam hari (McClure, 2013).
Peningkatan serum testosteron disebabkan karena adanya
stimulasi sintesis hormon androgen oleh sel leydig (Parhizkar et al.,
2013). Hasil serum testosteron konsisten dengan aktivitas enzim
hydroxysteroidodehydrogenase (HSDH) pada testis, enzim ini
merupakan enzim yang mengatur biosintesis androgen yang
aktivitasnya diatur di dalam testis (Chamundaiah et al., 2014).
Peningkatan testosteron berperan dalam peningkatan gairah seksual
dan aktivitas libido (Parhizkar et al., 2013). Hormon lain yang
mempengaruhi proses spermatogenesis yaitu estrogen. Estradiol
merupakan hormon estrogen yang utama pada reproduksi pria dan
berperan penting dalam modulasi libido, fungsi erektil, dan
spermatogenesis. Reseptor estrogen merupakan enzim yang
mengkonversi testosteron menjadi estrogen dan jumlahnya
melimpah di otak, penis dan testis. Reseptor estrogen pada organ
luar pria terdapat di korpus cavernosum dengan konsentrasi tinggi
dan tersebar mengelilingi pembuluh darah. Jumlah testosteron yang
rendah dan meningkatnya kadar estrogen dapat menyebabkan
peningkatan kejadian disfungsi erektil (Schulster et al., 2016).
Beberapa senyawa aktif yang terdapat di dalam ekstrak daun
kelor kemungkinan memberikan pengaruh terhadap kadar hormon
testosteron. Senyawa flavonoid diketahui mempengaruhi perubahan
androgen dan dapat meningkatkan aktivitas seksual pria dengan
meningkatkan sintesis testosteron atau menghambat degradasi
testosteron. Alkaloid dapat merelaksasi vascular dengan
meningkatkan produksi NO terhadap ROS. Saponin bekerja dengan
mengikat reseptor hormon yang dapat menyebabkan perubahan
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
konformasi sehingga dapat meningkatkan fungsi fisiologis hormon
(Jiangfeng et al., 2012 dan Lee et al., 2016).
2. Pengukuran Bobot Testis
Hasil pengukuran bobot testis menunjukkan adanya
peningkatan bobot testis seluruh kelompok uji secara tidak
bermakna dibandingkan kelompok kontrol. Peningkatan bobot testis
kelompok uji tidak sebanding dengan adanya peningkatan dosis
ekstrak. Hasil uji statistik memperlihatkan tidak adanya perbedaan
secara bermakna bobot testis antar kelompok uji dan kontrol, hal ini
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor tidak
mempengaruhi bobot testis hewan uji.
Tubulus seminiferus merupakan bagian utama yang
mempengaruhi bobot testis. Proses spermatogenesis terjadi di
tubulus seminiferus testis dan hormon testosteron juga diproduksi
oleh sel di dalam tubulus seminiferus. Menurut Ibtisham dan Jinjun
(2016), penurunan densitas tubulus seminiferus yang disebabkan
karena adanya degenerasi bagian spermatogenik akan
mempengaruhi bobot testis melalui penurunan jumlah sel
spermatogenik. Penurunan atau peningkatan yang terjadi pada bobot
suatu organ setelah pemberian oral suatu zat dapat mengindikasikan
adanya efek toksik dari suatu zat (Izunya et al., 2010). Berat organ
reproduksi biasanya memberikan penilaian terhadap suatu penelitian
reproduksi pria. Ukuran testis adalah penilaian utama dalam
spermatogenesis, karena jumlah tubulus dan bagian sel germinal
diperkirakan memenuhi 98% dari masa testis (Izunya et al., 2010).
Pada penelitian ini tidak terjadi perubahan pada bobot testis, hal ini
menandakan bahwa pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor tidak
memberikan efek toksik.
Peningkatan bobot testis seluruh kelompok uji secara tidak
bermakna terhadap kelompok kontrol memperlihatkan bahwa
pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor selama 15 hari tidak
mempengaruhi bobot testis hewan uji. Penelitian yang dilakukan
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
oleh Dehghan pada tahun 2005 juga melaporkan bahwa pemberian
ekstrak alkohol biji Iranian neem selama 15 hari tidak
mempengaruhi bobot organ reproduksi tikus. Selain itu, pemberian
ekstrak daun kelor dosis 200 mg/kgBB tidak memberikan hasil yang
berbeda bermakna terhadap bobot testis tikus (Afolabi et al., 2013).
Pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor pada dosis 200, 400, dan
600 mg/kgBB selama 15 hari dilaporkan juga tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap bobot testis tikus (Bachtiar,
2016).
3. Pengamatan Morfologi Spermatozoa
Abnormalitas morfologi spermatozoa dapat digunakan
sebagai salah satu indikator dalam menentukan kualitas
spermatozoa. Struktur sel sperma yang abnormal dapat
menyebabkan gangguan dan juga hambatan pada saat fertilisasi
(Afiati et al., 2015).
Pada penelitian ini, sperma diperoleh dari kauda epididimis.
Kauda epididimis merupakan tempat pematangan sperma, transfer
sperma dan tempat penyimpanan sperma (Costabile, 2013). Sperma
kemudian dikeluarkan dari kauda epididimis dengan menusuk kauda
epididimis dengan spuit. Sperma diwarnai dengan menggunakan
larutan eosin kemudian dibuat preparat apus. Morfologi sperma
diamati terhadap spermatozoa dengan morfologi yang abnormal
diantaranya sperma tanpa kepala, sperma ekor bengkok, dan sperma
kepala ganda. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan
mikroskop pada perbesaran 400x dan diamati terhadap 200-500
sperma. Jumlah spermatozoa abnormal kemudian dibuat menjadi
bentuk persentase abnormalitas morfologi spermatozoa dengan
membandingkan spermatozoa abnormal terhadap total spermatozoa
yang diamati.
Hasil menunjukkan adanya peningkatan abnormalitas
spermatozoa seiring dengan peningkatan dosis. Pada kelompok
dosis 200 mg/kgBB dan dosis 800 mg/kgBB menunjukkan adanya
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
peningkatan abnormalitas spermatozoa yang berbeda secara
bermakna dengan kelompok kontrol dan dosis 50 mg/kgBB. Hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak etanol 90% daun kelor pada dosis 200
dan 800 mg/kgBB dapat meningkatkan abnormalitas morfologi
spermatozoa.
Spermatozoa yang normal memiliki bagian kepala, bagian
tengah yang lengkap dan tidak terpilin, serta satu ekor. Spermatozoa
yang abnormal dapat terdiri dari abnormalitas pada ekor maupun
kepala. Beberapa bentuk abnormalitas spermatozoa diantaranya
sperma tanpa kepala, kepala ganda, kepala pipih, leher bengkok,
ekor bengkok dan ekor ganda (Abbiramy et al., 2010; CASA, 2000).
Abnormalitas spermatozoa dibagi menjadi abnormalitas primer dan
abnormalitas sekunder. Abnormalitas primer disebabkan karena
adanya penyimpangan yang terjadi selama sperma dalam proses
spermatogenesis di tubulus seminiferus, sedangkan abnormalitas
sekunder terjadi saat sperma melewati epididimis (Saba et al., 2009).
Morfologi spermatozoa merupakan hasil akhir
spermatogenesis. Pemeriksaan morfologi spermatozoa penting
dilakukan untuk mengevaluasi fungsi sperma (Pawar et al., 2016).
Parameter morfologi sperma biasa digunakan untuk menilai
fertilitas pria, jumlah morfologi sperma normal minimal yang
menjadi persyaratan penilaian fungsi sperma menurut WHO (1992)
adalah 30%, sedangkan menurut Manuals WHO edisi ke-5 (2009)
syarat tersebut diturunkan menjadi setidaknya masih terdapat
minimal 4% sperma bentuk normal pada pria. Jumlah abnormalitas
morfologi spermatozoa yang meningkat kemungkinan merupakan
hasil dari adanya gangguan endokrin atau gangguan pada proses
spermatogenesis.
Perubahan abnormalitas morfologi spermatozoa pada sel
spermatogenik dan spermatozoa berhubungan dengan adanya
penurunan motilitas, hal ini disebabkan adanya penurunan jumlah
tubulin dan dynein pada spermatosit dan spermatid yang dapat
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menghambat transformasi normal dari spermatid matang menjadi
spermatozoa (Adienbo et al., 2013).
Pada penelitian ini pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor
pada dosis 200 dan 800 mg/kgBB dapat meningkatkan jumlah
abnormalitas morfologi spermatozoa secara bermakna. Hasil
penelitian sebelumnya juga menyebutkan bahwa pemberian ekstrak
etanol 90% daun kelor pada dosis 200, 400 dan 600 mg/kgBB
selama 15 hari dapat meningkatkan abnormalitas morfologi
spermatozoa secara bermakna (Ghasani, 2016). Peningkatan
abnormalitas morfologi spermatozoa pada penelitian ini namun
masih dalam kriteria fertil menurut WHO (<30% sperma abnormal).
4. Pengamatan Mounting Frequency dan Mounting Latency
Pengujian aktivitas seksual yang diujikan dalam penelitian
ini meliputi uji mounting frequency dan mounting latency. Mounting
frequency adalah jumlah tuggangan tikus jantan terhadap tikus
betina dalam waktu 30 menit. Mounting latency adalah waktu dari
awal tikus betina dimasukan ke dalam kandang hingga tunggangan
(Mount) pertama tikus jantan (Parhizkar et al., 2013). Jumlah dan
waktu mount dicatat. Jumlah mount dipertimbangkan sebagai
petunjuk adanya libido.
Pengamatan dilakukan terhadap tikus jantan dikarenakan
aktivitas seksual tikus jantan dipengaruhi oleh libidonya sedangkan
aktivitas seksual pada tikus betina dipengaruhi oleh fase estrus.
Tikus betina dilakukan pengamatan apusan vagina sebelum
dipertemukan dengan tikus jantan, tujuannya untuk mengetahui fase
estrus pada tikus betina sehingga tikus betina dapat menerima tikus
jantan. Pengamatan Mounting dilakukan pada malam hari pukul
20.00 WIB. Tikus jantan ditempatkan dengan tikus betina dengan
perbandingan 1:1 dalam kandang terpisah. Pengamatan dilakukan
pada hari ke-15 pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor selama 30
menit.
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol 90%
daun kelor tidak memperlihatkan adanya perbedaan secara
bermakna pada mounting frequency dan mounting latency (p≥0,05).
Hal ini memperlihatkan bahwa pemberian ekstrak etanol 90% daun
kelor selama 15 hari tidak mempengaruhi aktivitas seksual dan
libido tikus jantan. Pemberian Hypoxis hemerocallidea pada dosis
150 dan 300 mg/kgBB selama 17 hari tidak mempengaruhi aktivitas
seksual tikus jantan (Tiya, Rusike, & Shauli, 2016). Penelitian yang
dilakukan oleh Lentz (2007) menunjukkan bahwa pemberian
ekstrak Maca pada dosis 25 dan 100 mg/kgBB secara akut selama 7
hari juga tidak memberikan efek yang besar dalam aktivitas seksual.
Jiangfeng (2012) juga melaporkan bahwa tidak ada perbedaan
Mounting frequency dan mounting latency yang bermakna pada hari
ke-3 setelah pemberian ekstrak Arctium lappa L. Durasi pemberian
kemungkinan dalam hal ini mempengaruhi efek ekstrak terhadap
aktivitas seksual tikus jantan.
Pengamatan prilaku tikus jantan memperlihatkan terjadinya
kejar mengejar dan kissing vagina tikus betina pada kelompok
kontrol dan dosis 50 mg/kgBB, sedangkan pada kelompok dosis 200
dan 800 mg/kgBB tikus jantan memperlihatkan prilaku yang tenang
dan cendrung tertidur. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya efek
lain dari ekstrak daun kelor yang dapat mempengaruhi perilaku tikus
jantan. Daun kelor dilaporkan memiliki efek anxiolitik secara
bermakna pada dosis 200 dan 400 mg/kgBB (Bhattacharya et al.,
2016) dan efek penurunan aktifitas system saraf pusat serta relaksasi
otot pada dosis 100, 200 dan 400 mg/kgBB (Bhattacharya et al.,
2014).
Libido dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
kesehatan tubuh, kadar testosteron, stress dan anxiety (Lents et al.,
2007). Faktor lain meliputi faktor lingkungan (suara, diet,
pencahayaan, kerapatan populasi), faktor tingkah laku pasangan
(pheromon) dan faktor hormon (androgen/testosteron) (Pringgenies,
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Yoram & Ridho, 2013). Peningkatan kadar testosteron dapat
mempengaruhi peningkatan libido. Libido dan aktivitasnya
dimediasi oleh reseptor testosteron pada sistem saraf pusat
(Jamshidzadeh et al., 2016). Peningkatan Mounting frequency dan
diikuti penurunan mounting latency menunjukkan adanya potensi
peningkatan libido (Jiangfeng et al., 2012). Pada tikus jantan,
latency untuk mount dan intromission dipertimbangkan sebagai
indikator motivasi aktivitas seksual, sedangkan jumlah intromission
dan ejaculation dipertimbangkan sebagai tingkah laku yang
mengindikasikan adanya aktivitas seksual.
Berdasarkan uraian hasil pengukuran parameter tersebut dapat
disimpulkan bahwa pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor dapat
mempengaruhi morfologi spermatozoa namun tidak mempengaruhi kadar
serum testosteron, bobot testis serta mounting frequency dan mounting
latency tikus jantan. Maka hipotesis bahwa pemberian ekstrak etanol 90%
daun kelor dapat mempengaruhi bobot testis, kadar serum testosteron dan
mounting frequency serta mounting latency tikus jantan ditolak, sedangkan
hipotesis bahwa pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor dapat
mempengaruhi morfologi sperma, diterima. Peningkatan abnormalitas
morfologi spermatozoa masih dalam kriteria fertil menurut WHO (<30%
sperma abnormal). Hal ini menandakan bahwa ekstrak etanol 90% daun
kelor berpotensi mengganggu fungsi sperma dalam fertilisasi namun tidak
mempengaruhi proses spermatogenesis tikus disebabkan aktivitas hormonal
yang normal (Onyeka et al., 2012). Hasil pengukuran parameter
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor selama 15
hari dapat berpotensi menyebabkan penurunan fungsi sperma pada dosis
200 dan 800 mg/kgBB tanpa mempengaruhi hormon dan libido tikus jantan.
Secara keseluruhan, disimpulkan bahwa pemberian ekstrak etanol 90%
daun kelor pada dosis 50, 200 dan 800 mg/kgBB selama 15 hari masih
memberikan pengaruh fertil terhadap reproduksi pria.
60 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor (Moringa oleifera Lam.) tidak
mempengaruhi kadar serum testosteron tikus jantan galur Sprague-
Dawley secara bermakna (p≥0,05), kadar serum testosteron masih dalam
kisaran normal (0,66-5,4 ng/ml).
2. Pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor (Moringa oleifera Lam.)
tidak mempengaruhi bobot testis tikus jantan galur Sprague-Dawley
secara bermakna (p≥0,05).
3. Pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor (Moringa oleifera Lam.)
dosis 200 dan 800 mg/kgBB dapat meningkatkan morfologi abnormal
spermatozoa tikus jantan galur Sprague-Dawley secara bermakna
(p≤0,05) namun masih dalam kriteria fertil (<30% sperma abnormal).
4. Pemberian ekstrak etanol 90% daun kelor (Moringa oleifera Lam.)
tidak mempengaruhi mounting frequency dan mounting latency tikus
jantan galur Sprague-Dawley secara signifikan (p≥0,05).
5.2. Saran
1. Perlu dilakukan isolasi senyawa bioaktif pada daun kelor yang
bertanggung jawab dalam mempengaruhi reproduksi pria.
2. Perlu dilakukan pengamatan lebih lanjut pengaruh pemberian ekstrak
daun kelor dengan penambahan waktu pengamatan (48 hari).
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Abbiramy, V.S. dan Shanthi, V. 2010. Spermatozoa Segmentation and
Morphological Parameter Analysis Based Detection of
Teratozoospermia. International Journal of Computer Applications
(0975-8887), Volume 3-No 7, June 2017, pp:19-23.
Adiyati, Pradipta Nuri. 2011. Ragam Jenis Ektoparasit Pada Hewan Coba Tikus
Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague-Dawley. Bogor: Skripsi.
Institut Pertanian Bogor.
Afiati et al. 2015. Abnormalitas Spermatozoa Domba dengan Frekuensi
Penampungan Berbeda. Bogor: PROS SEM NAS MASY BIODIV
INDON Volume 1, Nomor 4, ISSN: 2407-8050 pp : 930-934.
Afolabi et al. 2013. Effect of Methanolic Extract of Moringa oleifera Leaves on
Semen and Biochemical Parameters in Cryptorchid Rats. Nigeria: AfrJ
Tradit Complement Altern Med. (2013) 10 (5): 230-235.
Agarwal, Ashok. 2005. Role of Oxidative Stress in Male Infertility and Antioxidant
Supplementation. Business Briefing: US Kidney and Urological Disease
2005, pp: 122-123.
Agarwal, Ashok. 2014. Male Reproductive System- Anatomy and Physiology. USA.
https://www.researchgate.net/publication/259687319_Male_Reproduct
ive_System-Anatomy_and_Physiology,
Akbar, Budhi. 2010. Tumbuhan Dengan Kandungan Senyawa Aktif Yang
Berpotensi Sebagai Bahan Antifertilitas. Jakarta: Adabia Press. 14-19.
Alegantina et al., 2013. Kualitas Ekstrak Etanol 70% Daun Kelor (Moringa oleifera
Lam.) dalam Ramuan Penambah ASI. Badan Litbangkes Kemenkes RI.
Jurnal Kefarmasian Indonesia Vol 3.1.2013:1-8.
Alias, Mohd Fauzi et al. 2011. Sprague Dawley Rat Sperm Classification Using
Hybrid Multilayered Perception Network. Malaysia: School of Medical
Science. WSEAS TRANSACTIONS on INFORMATION SCIENCE AND
APPLICATIONS, Issue 2, Volume 8, February 2011.
Allen, L. V. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients, Sixth Edition, Rowe R.
C., Sheskey, P. J., Queen, M. E. (Editor). London: Pharmaceutical
Press and American Pharmacists Assosiation, pp: 118-119.
ALPCO. 2013. Mouse/ RatSS Testosterone ELISA. Catalog 55-TESMS-E01
Aminah, Syarifah et al. 2015. Kandungan Nutrisi dan Sifat Fungsional Tanaman
Kelor (Moringa oleifera). Jakarta: Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jakarta. Buletin Pertanian Perkotaan Volume 5 Nomor 2.
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Anwar, Farooq et al. 2007. Moringa oleifera: A Food Plant with Multiple
Medicinal Uses. Pakistan: Phytother.Res.21.17-25 (2007).
Bachtiar, Denny. 2016. Uji Aktifitas Antifertilitas Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor
(Moringa oleifera) Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley Secara
In-Vivo. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Bais et al., 2014. Antiobesity and Hypolipidemic Activity of Moringa oleifera
Leaves Against High Fat Diet-Induced Obesity in Rats. India: Hindawi
Publishing Corporation, Advances in Biology, Volume 2014, Article ID
162914, pp:9.
Bassey, Rosemary B. et al. 2013. The Effect Of Ethanolic Extract Of Moringa
oleifera on Alcohol Induced Testicular Histopathologies In Pre-Pubertal
Albino Wistar Rat. Nigeria: Biology and Medicine, 5: 40–45, 2013.
Bhargave, Ajay et al. 2015. Moringa oleifera Lam-Sanjana (Horseradish Tree)- A
Miracle Food Plant with Multipurpose Uses In Rajasthan India- An
Overview. India: International Journal of Pure and Applied Bioscience.
Int. J.PureApp.Biosci.3(6): 237-248 (2015).
Bhattacharya et al. 2014. CNS Depressant and Muscle Relaxant Effect of Ethanolic
Leaf Extract of Moringa oleifera on Albino Rats. India: International
Journal of PharmTech Research, Vol. 6, No. 5, pp 1441-1449.
Bhattacharya et al. 2016. Study of Anxiolytic Effect of Ethanolic Extract of
Drumstick Tree Leaves on Albino Mice in A Basic Neuropharmacology
Laboratory of A Postgraduate Teaching Institute. India: Journalof
Health Research and Reviews,3:41-7.
BPOM RI. 2014. Persyaratan Mutu Obat Tradisional. Indonesia: Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, pp 9-11.
Bratawidjaja, Karnen Garna dan Rengganis, Iris. 2012. Imunologi Dasar. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp 664-665.
Cajuday, Lilibeth A. 2010. Effect of Moringa oleifera Lam. (Moringaceae) on The
Reproduction of Male Mice (Mus musculus). Filipina: Biology
Department, ColIege of Science, Bicol University. Journal of Medicinal
Plants Research Vol. 4(12), pp. 1115-1121.
CASA (Computer Asissted Sperm Analysis). 2000. Industrial Reproductive
Toxicology Discussion Group: Rat Sperm Morphological Assessment,
Edition 1, pp 5-9.
Chamundaiah et al., 2014. Fertility Supression by The Fruit Extract of Opuntia
elatior in The Male Rat: Possible Extragonadal Action. India: J
Endocrinol Reprod 18 (2014) 1: 7-16.
Dafaalla et al. 2015. Effect of Ethanol Extract of Moringa oleifera Leaves on
Fertility Hormone and Sperm Quality of Male Albino Rats. Sudan:
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
World Journal of Pharmaceutical Research, Volume 5, Issue 1, 01-11,
ISSN 2277-7105.
Dehghan, Mohammad Hossein. 2005. Antifertility Effect of Iranian Neem Seed
Alcoholic Extract on Epididymal Sperm of Mice. Iran: Iranian Journal
of Reproductive Medicine, Vol. 3. No. 2. pp:83-89,2005.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1977. Materia Medika Indonesia Jilid
I. Jakarta: Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan, pp 100-105.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, pp 7 .
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Direktorat Jendral POM- Depkes RI.
pp 14-17.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Farmakope Herbal Indonesia.
Jakarta: Diktorat Jendral POM-Depkes RI.
Deshmukh C.K. dan Bhagat,S.K. 2016. Butea monosperma (Lam.) Induce Sexual
Activity in Male Albino Rat, Rattus rattus (Wistar). International
Journal In Physical and Applied Science, Vol.03 Issue-04
(April,2016),ISSN:2394-5710, pp 58-59.
Dewi K. H., et al. 2010. Ekstraksi Teripang Pasir (Holothuria Scabra) Sebagai
Sumber Testosteron Pada Berbagai Kecepatan dan Lama Pengadukan.
Yogyakarta: Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”,
ISSN 1693-4393, pp 4-6.
Dima, Lusi L.R.H.; Fatimawali; Lolo, Widya Astuty. 2016. Uji Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Daun Kelor (Moringa olefera) terhadap Bakteri
Eschericia coli dan Staphylococcus aureus. Manado: Program Studi
Farmasi FMIPA UNSTRAT Manado.
ELISA encyclopedia. Direct ELISA, Simple and Time-Saving. Diakses pada 2 April
2017 dari http://www.elisa-antibody.com/ELISA-Introduction/ELISA-
types/direct-elisa
Farnsworth, N. R.. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plants.
J.Pharm. Sci., 55(3), 225-276.
Farooq, Fozia et al. 2012. Review Medicinal Properties of Moringa oleifera: An
Overview of Promising Healer. India: Journal of Medicinal Plants
Research Vol.6 (27), pp. 4368-4374, 18 july,, 2012.
Fitria, Laksmindra et al. 2015. Profil Reproduksi Jantan Tikus (Rattus norvegicus
Berkenhout, 1769) Galur Wistar Stadia Muda, Pradewasa, dan Dewasa.
Papua: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Cenderawasih. Jurnal
Biologi Papua, Volume 7, Nomor 1, pp 29-23.
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fritz & Becker. 1981. The Suitability of Carboxymethylcellulose as A Vehicle In
Reproductive Studies. Arzneim. Forsch./Drug.Res. 31, pp 813.
Gan, Stephanie D. dan Patel, Kruti R. 2013. Enzyme Immunoassay and Enzyme
Linked Immunosorbent Assay. USA: Journal of Investigative
Dermatology (2013) 133, e12. doi:10.1038/jid.2013.pp. 287.
Ghasani, Afina A. 2016. Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor (Moringa
oleifera Lam.) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa, Morfologi
Spermatozoa, dan Diameter Tubulus Seminiferus Pada Tikus Jantan
Galur Sprague-Dawley. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Goldstein M., and Schlegel, Peter N. 2013. Surgical and Medical Management of
Male Infertility. Cambridge: Cambridge University Press, pp 2-6.
Guyton, Arthur C. 1990. Human Physiology and Mechanism of Disease. Jakarta:
EGC, pp 729-740.
Guyton, Arthur C. 2006. Textbook of Medical Physiology. Mississippi: University
of Mississippi Medical Center, pp 996-1008.
Handoko, Dodo. 2007. Pengaruh Tekanan dan Suhu Pada Kondisi Evaporasi
Ekstrak Daun The Hijau. Bogor: Departemen Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, pp
5-7.
Haryani, Yuli et al. 2013. Uji Parameter Non-Spesifik dan Aktifitas Antibakteri
Ekstrak Metanol dari Umbi Tanaman Dahlia ( Dahlia variabilis). Riau:
Jurnal Penelitian Farmasi Indonesia 1(2), Maret 2013. 43-46.
Hess, Rex A. 1999. Spermatogenesis Overview. Encyclopedia of Reproduction
Volume 4. Urbona. Academic Press diakses dari
http://www.ansci.wisc.edu/jjp1/pig_case/html/library/Spermatogenesis
%20overview.pdf pada 6 Maret 2017.
Ibtisham, F. dan Jinjun, C. 2016. Aspirin Affect on Male Reproduction of Male Rat
an-Overview. China: Pharmacy &Pharmacology International Journal,
Volume 4 Issue 4, pp 1-4
Indrasuari et al. 2014. Standardisasi Mutu Simplisia Kulit Buah Manggis (Garcinia
mangostana L. ). Bali: Universitas Udayana, pp 99-100.
Indriyani, Reni. 2016. Pengaruh Penggunaan Minyak Buah Makasar (Brucea
javanica) terhadap Kualitas Spermatozoa Tikus. Bandar Lampung:
Tesis, Program Teknologi Industri Pertanian, Universitas Lampung, pp
25-26.
ITIS. Integrated Taxonomic Information System, Taxonomic Hierarchy: Rattus
norvegicus [online]. 8 Februari 2017. Diakses dari
https://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&
search_value=180363#null
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Izunya et al. 2010. Body and Testicular Weight Changes in Adult Wistar Rats
Following Oral Administration of Artesunate. Nigeria: Research
Journal of Applied Sciences, Engineering and Technology, 2(3):302-
306
Jamshidzadeh et al. 2006. Effects of Camphor on Sexual Behaviours in Male Rats.
Iran: Iranian Journal of Pharmaceutical Sciences, Autumn 2006: 2(4):
209-214, www.ijps.ir.
JianFeng et al. 2012. Effect of Aqueous Extract of Arctium lappa L. (Burdock)
Roots on The Sexual Behaviour of Male Rats. China: BMC
Complementary and Alternative Medicine 2012, 12:8.
Khalifa et al. 2016. Safety and Fertility Enhancing Role of Moringa oleifera Leaves
Aqueos Extract In New Zealand Rabbit Buck. Mesir: Int J Pharm 2016;
6 (1):156-168.
Krinke, George J. 2000. The Handbook of Experimental Animal The Laboratory
Rat. New York: Academic Press.
Kurniasih. 2013. Khasiat dan Manfaat Daun Kelor.Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.
Layla, Z dan Poerwadikarta, M.B. 1993. Teknik Uji Aglutinasi Cepat dan Enzyme
Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk Mendeteksi Antibodi
Mycoplasma gallisepticum. Balai Penelitian Veteriner. Bogor. 156-161.
Lentz et al. 2007. Acute and Chronic Dosing of Lepidium meyenii (Maca) on Male
Rat Sexual Behaviour. USA: International Society for Sexual Medicine,
4, pp: 332-340.
Marliana et al. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis Kromatografi Lapis Tipis
Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edule Jacq. Swartz.) dalam
Ekstrak Etanol. Surakarta: Jurusan Kimia FMIPA UNS, Biofarmasi 3
(1): 26-31, Pebruari 2005.
McClure. 2013. Contemporary Endocrinology, Chapter 2 Endocrinology of Male
Infertility. Humana Press Inc. pp 21-22.
Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa dan Identifikasi Senyawa Aktif.
Makassar: UIN Alauddin Makassar. Jurnal Kesehatan Volume VII No.
2/2014.
OECD. 2008. Male Reproductive System, In: Endocrine Disruption: A Guidance
document for Histologic Evaluation of Endocrine And Reproductive
Test. European Society Of Toxicologic. Diakses dari
http://www.oecd.org/chemicalsafety/testing/40580640.pdf pada 6
Maret 2017.
Onyeka et al.2012. Antifertility Effect of Ethanolic Root Bark Extract of
Chrysophyllum Albidum in Male Albino Rats Nigeria: International
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Journal of Applied Research in Natural Products Vol. 5 (1), pp. 12-17.
April-May 2012.
Osman et al. 2015. Assesment of Acute Toxicity and LD50 of Moringa oleifera
Lam. Ethanolic Leave Extract in Albino Rats and Rabbits. Sudan:
Journal of Medical and Biological Science Research, Vol 1 (4), pp 38-
43, June 2015.
Ostrowska et al. 2012. Silver Nanoparticles Effect on Epididymal Sperm In Rat.
Poland: Toxicology Letters 214 (2012) 251-258.
Owolabi J. O. dan Ogunnaike P.O. 2014. Histological Evaluation Of The Effect Of
Moringa oleifera Leaf Extract Treatment On Vital Organ Of Murine
Models. Nigeria: Ben Carson Sr. School of Medicine. Merit Research
Journal of Medicine and Medical Science (ISSN: 2354-323X) Vol.2 (10)
pp. 245-257, October 2014.
Parhizkar et al. 2013. Effect of Phaleria macocarpa on Sexual Function of Rats.
Avicenna Journal of Phytomedicine, Vol. 3, No. 4, Autumn 2013, pp:
371-377.
Patel P. et al. 2014. Phytochemical Analysis and Antifungal Activity of Moringa
oleifera Lam. India: International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Science, ISSN 0975-1491, Vol 6 Issue 5. pp 144-147.
Pawar et al. 2016. Semen Quality and Sperm Morphology Among Occupational
Solvent Exposed Worker. India:Biotechnology and Microbiology,
Volume 1 Issue 1, pp 1-3.
Pringgenies, Yoram & Ridho. 2013. Prilaku Seksual dan Kadar Testosteron Darah
Tikus Putih (Rattus norvegicus) Strain Wistar Akibat Pemberian Pakan
Gonad Bulu Babi (Diadema setosum).Semarang: Prosiding, Seminar
Nasional Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Tahunan Ke-1, Volume
1
Priyadarshani dan Varma. 2014. Effect of Moringa oleifera Leaf Powder on Sperm
Count, Histology of Testis and Epididymis of Hyperglicemic Mice (Mus
musculus). India: American International Journal of Research in
Formal, Applied and Natural Science, pp 7-13.
Purwani, MV et al. 2008. Ekstraksi Konsentrat Neodimium Memakai Asam Di-2-
Etil Heksil Fosfat. Yogyakarta: Pusat Teknologi Akselerator dan Proses
Bahan –BATAN. Seminar Nasional IV. Pp 439-447.
Razis et al., 2014. Health Benefit of Moringa oleifera Lam. Malaysia: Asian Pacific
Journal of Cancer Prevention, Vol 15,2014, pp 8571-8576.
Romadhoni et al. 2013. Efek Pemberian Ekstrak Air Daun Kelor (Moringa oleifera)
Terhadap Kadar LDL dan HDL Serum Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Strain Wistar Yang Diberi Diet Aterogenik. Jawa Timur: Universitas
Brawijaya, pp 1-11.
67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Saba et al. 2009. Spermatozoa Morphology and Characteristics of Male Wistar Rat
Administered with Ethanolic Extract of Lagenaria Breviflora Roberts.
Nigeria: African Journal of Biotechnology Vol. 8 (7), pp. 1170-1175, 6
April, 2009.
Schulster et al. 2016. The Role of Estradiol in Male Reproductive Function. USA:
Asian Journal of Andrology (2016) 18, pp 435–440.
Senger P. L. 2003. Pathways to Pregnancy and Parturition. 2nd edition.
Washington (US): Current Conceptions, pp 215-232.
Sengupta, Pallav. 2012. The Laboratory Lab: Relating Its Age with Human’s. India:
International Journal of Preventive Medicine, Vol 4, No 6, June, 2013,
pp 627.
Shah, Sunil K., Jhade,DN., dan Chouksey, Rajendra. 2016. Moringa oleifera Lam.
A Study of Ethnobotany, Nutrients, and Pharmacological Profile. India:
Department of Pharmaceutics, College of Pharmacy, Sri Satya Sai
University of Technology and Medical Sciences. Research Journal of
Pharmaceutical, Biological and Chemical Science, pp. 2158.
Sharif, Imdadul Haque et al. 2016. A Review Of Phytochemical and
Pharmacological Profile Of Moringa oleifera Lam. Bangladesh:
Department of Biotechnology and Genetic Engineering, Islamic
University, Kushtia. Journal of Life Science and Biotechnology, pp 75-
88.
Solihati, Nurcholidah. 2013. Antifertilitas Ekstrak Pegagan (Cantella asiatica) dan
Reversibilitas Fungsi Reproduksi Pada Tikus (Rattus norvegicus)
Jantan. Bogor: Institut Pertanian Bogor, pp 5-8.
Subandrate et al. 2016. Potensi Antioksidan Ekstrak Biji Duku (Lansium
domesticum Corr) Pada Tikus Putih (Rattus novergicus) Jantan Yang
Diinduksi Alkohol. Palembang: Molekul, Vol. 11. No. 1. Mei, 2016: 1 –
8.
Suckow, Mark A. 2006. The Laboratory Rat. USA: Elsevier Academic Press.
Sulistyawati, Rini dan Pratiwi, Pramita. 2015. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol
Daun Kelor (Moringa oleifera) Terhadap Aktivitas Analgetik dan
Antiinflamasi melalui Ekspresi Enzim Siklooxigenase. Yogyakarta:
Pharmaciana, Vol. 6, No.1 2016: 31-38.
Sulistyorini et al. 2015. Pengaruh Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera)
Pada Ekspresi Insulin dan Insulitis Tikus Diabetes Melitus. MKB,
Volume 47 No. 2 Juni 2015, pISSN :0126-074X, eISSN : 238-6223, pp
69-76.
Supriyati, Nita dan Sholikhah, Ika Yanti M. 2011. Pengaruh Cara Ekstraksi
Terhadap Kadar Sari dan Kadar Sylimarin dalam Biji Sylibum
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
marianum (L.) Gaertn. Karanganyar: Balai Besar Litbang Tanaman
Obat dan Obat Tradisional, pp 1-6.
Susanti et al. 2014. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol 90% Daun Katuk (Sauropus
androgynous (L.) Merr.). Bali: Universitas Udayana, pp 84-86.
Tejas H, Genatra et al. 2012. A Panoramic View On Pharmacognostic,
Pharmacological, Nutritional, Therapeutic and Prophylactic Value of
Moringa oleifera Lam. India: International Research Journal of
Pharmacy Vol 3. No.6, pp 1-7.
Tiya S. et al. 2016. Effect of Treatment With Hypoxis hemerocallidea Extract on
Sexual Behaviour and Reproductive Parameters in Male Rats. Africa:
Andrologia 2016, pp: 1–8.
Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi.Terjemahan : S. Noerono.
Indonesia: Gadjah Mada University Press.
World Health Organization. 2000. General Guidelines For Methodologies on
Research and Evaluation of Traditional Medicine. Geneva: WHO,
2000, pp 34.
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Alur Penelitian
A. Alur Kerja Pembuatan Ekstrak
Pengambilan Sampel
Daun Kelor Segar
Pencucian Daun Kelor
el Daun Kelor Segar
Pencucian Daun Kelor
Pengeringan Daun Kelor
Penghalusan Daun Kelor
Perendaman/Maserasi
Serbuk Daun Kelor
Dengan Etanol 90%
Secara Berulang
Maserat
Pemekatan dengan
Vacuum Rotary
Evaporator dilanjut
Freeze Dry
Ekstrak Kental
Pembuatan Suspensi
Determinasi
Sampel
Sortasi Basah
Sortasi Kering
Penyaringan
Penapisan Fitokimia
dan Pengujian
Parameter Spesifik dan
Non Spesifik
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
B. Alur Kerja Pengujian Ekstrak
20 Tikus Jantan galur Sprague-Dawley
Aklimatisasi selama 2 minggu
Pengelompokan Tikus menjadi 4
Kelompok secara acak (@ 5 ekor)
Kelompok
Kontrol Kelompok Perlakuan
Dosis 50 mg/kgBB
Dosis 200 mg/kgBB
Dosis 800 mg/kgBB
Pengambilan Darah H-0 melalui sinus orbitalis mata
Pemberian
larutan Na-CMC
0,25% b/v per
oral selama 15
hari
Pemberian Suspensi
ekstrak daun kelor
peroral selama 15 hari
Pengamatan
Mounting
frequency dan
Mounting latency
pada H-15
Pengambilan darah H-16 dari
sinus orbitalis mata, lalu tikus
dikorbankan dan diambil organ
reproduksinya
Darah
ditampung
pada tube
effendorf
Sentrifugasi
Serum
diambil dan
disimpan
dalam
freezer suhu
-20oC
Testis Kauda Epididimis
Pengukuran
Bobot Testis
Pengukuran morfologi
spermatozoa
Analisis Data
Pengukuran
konsentrasi
serum
testosteron
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Perhitungan Dosis Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor
Rumus VAO (Volume Administrasi Obat) digunakan untuk perhitungan dosis uji
ekstrak etanol 90% daun kelor. Rumus tersebut yaitu:
VAO = Dosis (mg/kgBB) x Berat Badan (kg)
Konsentrasi (mg/ml)
1. Dosis 400 mg/kgBB
VAO = Dosis (mg/kgBB) x Berat Badan (kg)
Konsentrasi (mg/ml)
1ml = 400mg x 0.3
Konsentrasi (mg/ml)
Konsentrasi = 120 mg/ml
Sediaan dibuat menjadi 50 ml. Sehingga ekstrak yang ditimbang sebanyak:
Ekstrak (mg) = Volume (ml) x Konsentrasi (mg/ml)
Ekstrak = 50 ml x 120 mg/ml
= 6.000 mg (6 g)
2. Dosis 600 mg/kgBB
VAO = Dosis (mg/kgBB) x Berat Badan (kg)
Konsentrasi (mg/ml)
1ml = 600mg x 0.3
Konsentrasi (mg/ml)
Konsentrasi = 180 mg/ml
Sediaan dibuat menjadi 50 ml. Sehingga ekstrak yang ditimbang sebanyak:
Ekstrak (mg) = Volume (ml) x Konsentrasi (mg/ml)
Ekstrak = 50 ml x 180 mg/ml
= 9.000 mg (9 g)
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Dosis 800 mg/kgBB
VAO = Dosis (mg/kgBB) x Berat Badan (kg)
Konsentrasi (mg/ml)
1ml = 800mg x 0.3
Konsentrasi (mg/ml)
Konsentrasi = 240 mg/ml
Sediaan dibuat menjadi 50 ml. Sehingga ekstrak yang ditimbang sebanyak:
Ekstrak (mg) = Volume (ml) x Konsentrasi (mg/ml)
Ekstrak = 50 ml x 240 mg/ml
= 12.000 mg (12 g)
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Surat Hasil Determinasi Tanaman
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Surat Keterangan Kesehatan Hewan Uji
Keterangan:
Hewan Uji yang digunakan dalam penelitian sama dengan hewan uji yang
digunakan oleh Ratih Dara Syadillah
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Hasil Perhitungan Rendemen, Kadar Air dan Kadar Abu
1. Perhitungan Rendemen
Berat Ekstrak = 527,443 gram
Berat Simplisia = 2400 gram (2,4kg)
% Rendemen = Berat Ekstrak
Berat Simplisia x 100%
% Rendemen = 527,443 gram
2400 gram x 100%
% Rendemen = 21,9767 %
2. Perhitungan Kadar Air
% Kadar Air = W1-W2
W1 x 100%
Keterangan:
W1 = Berat Ekstrak
W2 = Berat Ekstrak setelah dioven
a. Kadar Air Sebelum Freeze Dry
Pengujian dibuat sebanyak dua kali (duplo)
Ke-1 Ke-2
W1 1,03 gram 1,04 gram
W2 0,78 gram 0,79 gram
% Kadar Air 24,22% 24,17%
% Rerata Kadar Air 24, 20 %
b. Kadar Air Sesudah Freeze Dry
Pengujian dibuat sebanyak dua kali (duplo)
Ke-1 Ke-2
W1 1,05 gram 1,15 gram
W2 0,92gram 1,01 gram
% Kadar Air 12,11% 11,97%
% Rerata Kadar Air 12,04%
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Perhitungan Kadar Abu
% Kadar Abu = W1-W3
W2 x 100%
Keterangan:
W1= Berat cawan dan ekstrak setelah di tanur
W2= Berat ekstrak
W3= Berat cawan kosong
Pengujian dibuat sebanyak dua kali (duplo)
Ke-1 Ke-2
W1 42,48 gram 27,64 gram
W2 2,16 gram 2,05 gram
W3 42,23 gram 27,53 gram
% Kadar Abu 11,25 % 5.54 %
% Kadar Abu Rerata 8,39%
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor
No Identifikasi
Golongan
Senyawa
Perlakuan Gambar Hasil
Uji
Keterangan
1. Alkaloid 100mg ekstrak
dalam 1ml etanol
70% + 1ml HCl
dan 9ml Aquadest,
dipanaskan,
disaring dan
diperoleh filtrat.
Filtrat dibagi ke
dalam dua tabung.
Tabung 1 +
Pereaksi
dragendrof
Tabung 2 +
Pereaksi
Mayer
+ Kiri: Setelah
penambahan
pereaksi
dragendrof
terbentuk
endapan
jingga
Kanan:
Setelah
penambahan
pereaksi
mayer
berubah
menjadi
keruh
2. Flavonoid 100mg ekstrak
dalam 1ml etanol
70% + 0,5ml HCl
dan logam Mg
+ Terjadi
perubahan
warna dari
hijau ke
jingga
3. Tanin 100mg ekstrak
dalam 1ml etanol
70% + FeCl3
+ Terbentuk
warna hitam
kehijauan
79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Saponin 100mg ekstrak
dalam 1ml etanol
70% + 10ml
Aquades panas,
dikocok secara
vertical selama 10
detik, + 1 tetes
HCl 2N,
didiamkan selama
10 menit
+ Terbentuk
busa setinggi
1cm yang
stabil selama
± 10 menit
5. Terpenoid 100mg ekstrak
dalam 1ml etanol
70% + eter,
diuapkan hingga
kering, + 10 tetes
asam asetat
anhidrat dan 5
tetes H2SO4
+
Terbentuk
warna
kehijauan
6. Steroid 100mg ekstrak
dalam 1ml etanol
70% + pereaksi
Liebermann-
Burchard
+ Terbentuk
warna biru-
kehijauan
80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Dokumentasi Kegiatan Penelitian
Persiapan Simplisia dan Pembuatan Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor
(Moringa oleifera Lam.)
Gambar 5.1.
Daun Kelor Segar
Gambar 5.2.
Pengeringan Daun Kelor Gambar 5.3.
Penghalusan Daun
Kelor
Gambar 5.4. Penimbangan Serbuk
Daun Kelor
Gambar 5.5.
Perendaman Serbuk Daun Kelor
Gambar 5.6. Penyaringan
Maserat
Gambar 5.7.
Pemekatan Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor
Gambar 5.8.
Ekstrak Kental
Daun Kelor
81
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Persiapan Hewan Uji
Gambar 5.9.
Aklimatisasi Hewan Uji
Gambar 5.10.
Penimbangan Hewan Uji
Gambar 5.11.
Pemberian Ekstrak Etanol
90% Daun Kelor
Gambar 5.12.
Terminasi Hewan Uji
Pengamatan Mounting frequency dan Mounting Latency
Gambar 5.13.
Pengamatan Fase
Estrus
Gambar 5.14.
Pertemuan Tikus
Jantan dengan Tikus
Betina
Gambar 5.15.
Pengamatan Mounting
82
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengukuran Kadar Serum Testosteron
Gambar 5.16.
Pengambilan Darah
Tikus
Gambar 5.17.
Serum Testosteron
Gambar 5.18.
Larutan Standar Testosteron
dan Pereaksi ELISA
Gambar 5.19.
Penambahan Standar
dan Sampel ke dalam
Wells
Gambar 5.20.
Penambahan Enzyme
Conjugate ke dalam
wells
Gambar 5.21.
Pembilasan dengan Wash
Solution
Gambar 5.22. Penambahan
Substrate Solution ke
dalam Wells
Gambar 5.23.
Penambahan Stop
Solution ke dalam
Wells
Gambar 5.24.
Pembacaan Kadar Hormon
Testosteron
83
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengamatan Morfologi Spermatozoa
Gambar 5.25.
Pengambilan Sperma
dari Kauda Epididimis
Gambar 5.26.
Pewarnaan Spermatozoa
dengan Eosin Y 1%
Gambar 5.27.
Pembuatan Preparat
Apus
Gambar 5.28.
Pengamatan Morfologi
Spermatozoa
Gambar 5.29.
Spermatozoa Normal
Gambar 5.30.
Spermatozoa Tanpa
Kepala
Gambar 5.31.
Spermatozoa Ekor Bengkok
Gambar 5.32.
Spermatozoa Kepala Ganda
Pengukuran Bobot Testis
Gambar 5.33.
Pembedahan Hewan Uji
Gambar 5.34.
Pengambilan Testis
Kanan dan Kiri Tikus
Gambar 5.35.
Penimbangan Bobot
Testis
84
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9. Hasil Pengukuran Bobot Badan Hewan Uji
Hari Hewan
Uji
Rata-Rata Berat (gram)
Kontrol 50mg/kgBB 200mg/kgBB 800mg/kgBB
Aklimatisasi
1 316.35 234.14 242.76 295.63
2 270 264.35 245.15 322.18
3 321.92 235.5 211 275.90
4 270.64 251.78 213.61 258.54
5 307.64 249.92 279.61 202.90
Rerata ± SD
297.31
±
25.16
247.14
±
12.55
238.43
±
27.96
271.03
±
44.83
Hari Ke-1
1 352 281 304 345
2 315 291 298 360
3 352 283 265 290
4 299 315 242 322
5 340 261 298 350
Rerata ± SD
331.6
±
23.67
286.2
±
19.52
281.4
±
26.84
333.4
±
27.97
Hari Ke-2
1 358 288 306 343
2 335 300 297 356
3 383 278 268 288
4 309 318 237 320
5 358 263 290 245
Rerata ± SD
348.6
±
27.89
289.4
±
20.97
279.6
±
27.64
310.4
±
44.75
Hari Ke-3
1 360 290 301 343
2 334 291 295 361
3 374 278 269 289
4 314 313 238 315
5 360 260 291 246
Rerata ± SD
348.4
±
24.05
286.4
±
19.42
278.8
±
25.81
310.8
±
45.41
Hari Ke-4
1 361 295 327 343
2 330 291 295 363
3 374 282 270 286
4 317 322 235 317
5 360 261 294 250
Rerata ± SD
348.4
±
23.83
290.2
±
22.10
284.2
±
34.15
311.8
±
45.01
85
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hari Ke-5
1 361 295 299 344
2 333 291 296 367
3 376 282 273 282
4 319 322 235 318
5 352 261 292 253
Rerata ± SD
348.2
±
22.55
290.2
±
22.10
279
±
26.59
312.8
±
45.99
Hari Ke-6
1 364 296 300 344
2 330 297 297 366
3 371 278 271 283
4 319 317 237 318
5 351 260 287 255
Rerata ± SD
347
±
22.10
289.6
±
21.54
278.4
±
25.76
313.2
±
44.88
Hari Ke-7
1 366 297 305 344
2 333 297 300 365
3 372 289 273 283
4 323 324 240 315
5 355 363 293 253
Rerata ± SD
349.8
±
21.11
314
±
30.43
282.2
±
26.54
312
±
45.17
Hari Ke-8
1 358 302 304 344
2 331 294 295 366
3 374 285 271 282
4 320 327 237 316
5 353 263 291 254
Rerata ± SD
347.2
±
21.62
294.2
±
23.42
279.6
±
26.69
312.4
±
45.32
Hari Ke-9
1 356 297 304 344
2 330 297 295 367
3 373 289 274 278
4 323 324 240 309
5 355 263 293 251
Rerata ± SD
347.4
±
20.52
294
±
21.81
281.2
±
25.48
309.8
±
47.19
Hari Ke-10
1 350 300 308 342
2 330 297 296 367
3 373 282 276 283
4 323 326 238 317
86
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5 356 267 287 256
Rerata ± SD
346.4
±
20.18
294.4
±
22.02
281
±
26.75
313
±
44.50
Hari Ke-11
1 355 303 305 343
2 326 295 298 368
3 373 285 278 285
4 323 331 238 322
5 355 267 286 260
Rerata ± SD
346.4
±
21.32
296.2
±
23.64
281
±
26.21
315.6
±
43.48
Hari Ke-12
1 360 307 307 344
2 327 296 303 369
3 370 286 283 284
4 325 327 239 324
5 348 269 286 263
Rerata ± SD
346
±
19.86
297
±
21.82
283.6
±
27.01
316.8
±
43.26
Hari Ke-13
1 355 307 308 340
2 332 296 304 357
3 374 284 281 288
4 328 327 239 322
5 346 267 285 265
Rerata ± SD
347
±
18.57
296.2
±
22.73
283.4
±
27.42
314.4
±
37.63
Hari Ke-14
1 357 311 308 339
2 328 298 308 368
3 377 288 282 289
4 328 336 240 318
5 346 265 286 263
Rerata ± SD
347.2
±
20.75
299.6
±
26.40
284.8
±
27.80
315.4
±
41.14
Hari Ke-15
1 361 313 307 340
2 329 296 300 368
3 372 290 281 295
4 330 337 238 318
5 345 275 287 263
Rerata ± SD
347.4
±
18.95
302.2
±
23.74
282.6
±
26.96
316.8
±
40.40
87
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Hasil Pengukuran Bobot Testis
Kelompok Hewan
Uji
Bobot Testis
(gram)
Rerata
Bobot
Testis
Tiap
Hewan
Uji
(gram)
Rerata
Bobot
Testis
Tiap
Kelompok
(gram)
Standar
Deviasi
Kanan Kiri
Kontrol 1 1.40 1.35 1.37 1.38 0.0703
2 1.33 1.30 1.31
3 1.36 1.28 1.32
4 1.44 1.38 1.41
5 1.45 1.52 1.48
50 mg/kgBB 1 1.35 1.34 1.34 1.29 0.0846
2 1.21 1.16 1.18
3 1.37 1.39 1.38
4 1.30 1.36 1.33
5 1.26 1.18 1.22
200 mg/kgBB 1 1.14 1.34 1.24 1.25 0.0297
2 1.26 1.29 1.27
3 1.22 1.19 1.21
4 1.25 1.31 1.28
5 1.17 1.34 1.25
800 mg/kgBB 1 1.35 1.35 1.35 1.36 0.1315
2 1.61 1.49 1.55
3 1.43 1.40 1.41
4 1.16 1.36 1.26
5 1.28 1.16 1.22
88
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Hasil Perbandingan Bobot Badan Awal dan Akhir Tikus
Kelompok Hewan
Uji
Bobot Awal
(gram)
Bobot Akhir
(gram)
Kontrol
1 352 361
2 315 329
3 352 372
4 299 330
5 340 345
Rerata 331.6 347.4
50 mg/kgBB
1 281 313
2 291 296
3 283 290
4 315 337
5 261 275
Rerata 286.2 302.2
200 mg/kgBB
1 304 307
2 298 300
3 265 281
4 242 238
5 298 287
Rerata 281.4 282.6
800 mg/kgBB
1 345 340
2 360 368
3 290 295
4 322 318
5 350 263
Rerata 333.4 316.8
89
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 12. Hasil Pengukuran Proporsi Bobot Testis
Kelompok
Hewan
Uji
Bobot
Testis
(gram)
Bobot
Tubuh
(gram)
Proporsi
Bobot
Testis
(%)
Rerata
Proporsi
Bobot
Testis
Kelompok
(%)
Standar
Deviasi
Kontrol
1 1.375 361 0.3808
0.4086 0.0273
2 1.315 329 0.3996
3 1.32 330 0.4000
4 1.41 345 0.4086
5 1.485 327 0.4541
50 mg/kgBB
1 1.345 313 0.4297
0.4202 0.0440
2 1.185 309 0.3834
3 1.38 290 0.4758
4 1.33 361 0.3684
5 1.22 275 0.4436
200 mg/kgBB
1 1.2439 300 0.4146
0.4390
0.0702
2 1.2799 281 0.4554
3 1.2122 350 0.3463
4 1.2860 238 0.5403
5 1.2585 287 0.4385
800 mg/kgBB
1 1.3538 340 0.3981
0.4330 0.0385
2 1.5553 368 0.4226
3 1.4197 295 0.4812
4 1.2647 318 0.3977
5 1.2242 263 0.4654
90
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13. Hasil Analisa Data Proporsi Bobot Testis
1. Uji Normalitas dan Homogenitas Proporsi Bobot Testis
Uji Normalitas
Tujuan :
Melihat normal atau tidaknya distribusi data proporsi bobot
testis
Hipotesis:
- Ho: Data proporsi bobot testis terdistribusi normal
- Ha: Data proporsi bobot testis tidak terdistribusi normal
Pengambilan Keputusan:
- Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
- Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak
Keputusan:
Data proporsi bobot testis seluruh kelompok terdistribusi
normal (p ≥ 0,05)
Uji Homogenitas
Tujuan:
Melihat data proporsi bobot testis homogen atau tidak
Hipotesis:
- Ho: Data proporsi bobot testis homogen
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Proporsi_Bobot
_Testis
N 20
Normal Parametersa,b Mean .4252579
Std. Deviation .04541709
Most Extreme Differences
Absolute .111
Positive .111
Negative -.072
Kolmogorov-Smirnov Z .496
Asymp. Sig. (2-tailed) .966
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
91
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Ha: Data proporsi bobot testis tidak homogen
Pengambilan Keputusan:
- Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
- Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak
Test of Homogeneity of Variances
Proporsi_Bobot_Testis
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.925 3 16 .451
Keputusan:
Uji homogenitas data proporsi bobot testis seluruh kelompok
homogen (p≥ 0,05), sehingga uji dapat dilanjutkan dengan
uji ANOVA
2. Analysis of Variance (ANOVA)
Tujuan :
Mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data proporsi bobot testis
Hipotesis:
- Ho:Data proporsi bobot testis tidak berbeda secara bermakna
- Ha:Data proporsi bobot testis berbeda seccara bermakna
Pengambilan Keputusan:
- Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
- Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak
ANOVA
Proporsi_Bobot_Testis
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .003 3 .001 .404 .752
Within Groups .036 16 .002
Total .039 19
Keputusan:
Data proporsi bobot testis tidak berbeda secara bermakna (p≥ 0,05)
92
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 14. Hasil Pengamatan Morfologi Spermatozoa
Kelompok Hewan
Uji
Jumlah
Spermatozoa
Abnormal
Abnormalitas
Spermatozoa
(%)
Rerata
Abnormalitas
Spermatozoa
(%)
Rerata
Abnormalitas
Spermatozoa
± SD Kanan Kiri Kanan Kiri
Kontrol
1 18.5 10.00 9.939 8.523 9.231
11.097
± 5.086
2 38.0 37.00 17.351 17.050 17.201
3 23.0 11.00 16.083 14.666 15.375
4 2.00 16.00 8.695 9.039 8.867
5 6.00 9.00 2.197 7.430 4.8135
50 mg/kgBB
1 29.5 16.68 16.68 6.339 11.509
12.659
± 2.298
2 21.5 15.00 11.35 14.420 12.885
3 20.5 19.50 14.95 15.711 15.330
4 9.50 10.50 9.790 9.070 9.4300
5 30.0 28.00 12.209 16.076 14.142
200 mg/kgBB
1 11.5 14.00 8.33 21.07 14.700
18.378
± 2.256
2 43.0 26.00 18.84 19.288 19.064
3 35.0 29.00 22.92 18.568 20.744
4 46.5 33.50 19.347 16.969 18.158
5 25.5 39.5 18.961 19.489 19.225
800 mg/kgBB
1 31.5 34.00 23.54 19.599 21.569
19.239
± 2.614
2 46.5 35.50 21.05 18.192 19.621
3 11.5 13.50 11.154 18.678 14.916
4 23.0 31.00 18.1462 23.829 20.988
5 30.0 31.00 14.995 23.212 19.103
93
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 15. Hasil Analisa Abnormalitas Morfologi Spermatozoa
1. Uji Normalitas dan Homogenitas Abnormalitas Morfologi Spermatozoa
Uji Normalitas
Tujuan :
Melihat normal atau tidaknya distribusi data abnormalitas
morfologi spermatozoa
Hipotesis:
- Ho: Data abnormalitas morfologi spermatozoa
terdistribusi normal
- Ha: Data abnormalitas morfologi spermatozoa tidak
terdistribusi normal
Pengambilan Keputusan:
- Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
- Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Abnormalitas_
Morfologi_Sper
matozoa
N 20
Normal Parametersa,b Mean 15.34375180
Std. Deviation 4.704149024
Most Extreme Differences
Absolute .135
Positive .096
Negative -.135
Kolmogorov-Smirnov Z .606
Asymp. Sig. (2-tailed) .856
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Keputusan:
Uji normalitas seluruh kelompok terdistribusi normal (p≥
0,05)
94
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Uji Homogenitas
Tujuan:
Melihat data abnormalitas morfologi spermatozoa homogen
atau tidak
Hipotesis:
- Ho: Data abnormalitas morfologi spermatozoa homogen
- Ha: Data abnormalitas morfologi spermatozoa tidak
homogen
Pengambilan Keputusan:
- Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
- Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak
Test of Homogeneity of Variances
Abnormalitas_Morfologi_Spermatozoa
Levene Statistic df1 df2 Sig.
2.839 3 16 .071
Keputusan:
Uji homogenitas data abnormalitas morfologi spermatozoa
seluruh kelompok homogen (p≥ 0,05), sehingga uji dapat
dilanjutkan dengan uji ANOVA
2. Analysis of Variance (ANOVA)
Tujuan :
Mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data abnormalitas
morfologi spermatozoa
Hipotesis:
- Ho: Data abnormalitas morfologi spermatozoa tidak berbeda
secara bermakna
- Ha: Data abnormalitas morfologi spermatozoa berbeda
seccara bermakna
Pengambilan Keputusan:
- Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
- Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak
95
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ANOVA
Abnormalitas_Morfologi_Spermatozoa
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 248.108 3 82.703 7.678 .002
Within Groups 172.344 16 10.771
Total 420.451 19
Keputusan:
Data abnormalitas morfologi spermatozoa berbeda secara bermakna
(p≤ 0,05), sehingga uji dapat dilanjutkan dengan uji LSD
3. Uji Least Significant Difference (LSD)
Tujuan:
Menentukan data abnormalitas morfologi spermatozoa kelompok
mana yang memberikan hasil berbeda secara bermakna dengan data
abnormalitas morfologi spermatozoa kelompok lainnya.
Hipotesis:
- Ho: Data abnormalitas morfologi spermatozoa tidak berbeda
secara bermakna
- Ha: Data abnormalitas morfologi spermatozoa berbeda
seccara bermakna
Pengambilan Keputusan:
- Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
- Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak
96
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Multiple Comparison
Dependent Variable: Abnormalitas_Morfologi_Spermatozoa
LSD
(I) Kelompok (J) Kelompok Mean Difference
(I-J)
Std. Error Sig. 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Kontrol
Rendah -1.561912782 2.075713825 .463 -5.96222952 2.83840396
Sedang -7.280612782* 2.075713825 .003 -11.68092952 -2.88029604
Tinggi -8.142132782* 2.075713825 .001 -12.54244952 -3.74181604
Rendah
Kontrol 1.561912782 2.075713825 .463 -2.83840396 5.96222952
Sedang -5.718700000* 2.075713825 .014 -10.11901674 -1.31838326
Tinggi -6.580220000* 2.075713825 .006 -10.98053674 -2.17990326
Sedang
Kontrol 7.280612782* 2.075713825 .003 2.88029604 11.68092952
Rendah 5.718700000* 2.075713825 .014 1.31838326 10.11901674
Tinggi -.861520000 2.075713825 .684 -5.26183674 3.53879674
Tinggi
Kontrol 8.142132782* 2.075713825 .001 3.74181604 12.54244952
Rendah 6.580220000* 2.075713825 .006 2.17990326 10.98053674
Sedang .861520000 2.075713825 .684 -3.53879674 5.26183674
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Keputusan:
Data abnormalitas morfologi spermatozoa pada dosis 200 dan 800
mg/kgBB memberikan hasil yang berbeda secara bermakna
terhadap kelompok kontrol (p≤0,05).
97
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 16. Pengukuran Konsentrasi Serum Testosteron
Tabel 5.1. Hasil Pengukuran Konsentrasi Standar Testosteron
Konsentrasi Absorbansi Rerata
Absorbansi
1/Rerata
Absorbansi 1 2
0 1.868 2.0596 1.9638 0.5092
0.2 1.5927 1.4343 1.5135 0.6607
0.5 1.5029 1.4933 1.4981 0.6675
1 1.2997 1.1907 1.2452 0.8030
2 0.8581 0.8448 0.8514 1.1744
6 0.3413 0.3441 0.3427 2.9180
16 0.187 0.1644 0.1757 5.6915
Hasil pengukuran standar testosteron kemudian dibuat menjadi kurva
kalibrasi testosteron dengan sumbu x = 1/Abs terhadap sumbu y = konsentrasi
testosteron (ng/ml). Sehingga diperoleh persamaan regresi y = 3.0232x – 1.6945
Gambar 5.36. Kurva Kalibrasi Standar Testosteron
Dari persamaan regresi y = 3.0232x – 1.6945 ditentukan konsentrasi testosteron
sampel sebagai berikut:
y = 3.0232x - 1.6945R² = 0.9918
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
0 1 2 3 4 5 6Ko
nse
ntr
asi
Tes
tost
ero
n (
ng/m
l)
1/Absorbansi
Kurva Kalibrasi Testosteron
98
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kelompok Hewan
Uji
Absorbansi 1/Absorbansi
Konsentrasi
Testosteron
(ng/ml)
Rerata
Konsentrasi
Testosteron
(ng/ml) ± SD
H-0 H-16 H-0 H-16 H-0 H-16 H-0 H-16
Kontrol
1 0.792 1.253 1.261 0.798 2.120 0.718
2.241
±
0.823
2.124
±
1.054
2 0.784 0.639 1.274 1.563 2.158 3.033
3 0.922 0.698 1.084 1.432 1.584 2.635
4 0.890 1.010 1.122 0.986 1.700 1.286
5 0.566 0.651 1.766 1.535 3.644 2.947
50 mg/kgBB
1 1.158 1.091 0.863 0.915 0.915 1.074
1.453
±
0.867
2.394
±
1.013
2 1.403 0.722 0.712 1.384 0.459 2.489
3 0.962 0.891 1.039 1.121 1.447 1.697
4 0.676 0.587 1.479 1.702 2.777 3.451
5 0.899 0.610 1.111 1.639 1.666 3.261
200 mg/kgBB
1 0.555 1.174 1.799 0.851 3.744 0.880
2.830
±
1.716
1.355
±
0.865
2 1.120 0.698 0.892 1.432 1.004 2.636
3 0.466 1.201 2.145 0.832 4.790 0.822
4 0.573 1.327 1.743 0.753 3.576 0.582
5 1.106 0.851 0.903 1.173 1.036 1.854
800 mg/kgBB
1 1.058 0.581 0.945 1.720 1.162 3.508
1.246
±
0.613
1.999
±
1.376
2 0.764 0.603 1.308 1.656 2.261 3.314
3 1.319 0.855 0.757 1.169 0.597 1.841
4 1.054 1.296 0.948 0.771 1.172 0.636
5 1.106 1.263 0.904 0.791 1.038 0.698
99
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 17. Hasil Analisa Data Konsentrasi Testosteron
1. Uji Normalitas
Tujuan:
Melihat normal atau tidak nya distribusi data konsentrasi
testosteron seluruh kelompok
Hipotesis:
- Ho: Data konsentrasi testosteron terdistribusi normal
- Ha: Data konsentrasi testosteron tidak terdistribusi normal
Pengambilan keputusan:
- Jika nilai p > 0,05 maka Ho diterima
- Jika nilai p < 0,05 maka Ho ditolak
Tests of Normality
Hari Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Konsentrasi_
Testosteron_
Kontrol
Hari Ke-0 .340 5 .060 .807 5 .092
Hari Ke-16 .286 5 .200* .847 5 .184
Hari Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Konsentrasi_
Testosteron_
Sedang
Hari Ke-0 .268 5 .200* .853 5 .203
Hari Ke-16 .308 5 .136 .869 5 .264
Hari Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statisti
c
df Sig. Statist
ic
df Sig.
Konsentrasi
_Testostero
n_Tinggi
Hari Ke-0 .348 5 .048 .860 5 .228
Hari Ke-16 .230 5 .200* .851 5 .198
Hari Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Konsentrasi_
Testosteron_
Rendah
Hari Ke-0 .204 5 .200* .964 5 .835
Hari Ke-16 .204 5 .200* .933 5 .617
100
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keputusan:
Data konsentrasi testosteron seluruh kelompok terdistribusi normal
(p > 0,05)
2. Paired Samples T-Test
Tujuan :
Mengetahui ada atau tidaknya perbedaan konsentrasi testosteron
seluruh kelompok pada hari ke-0 dan hari ke-16
Hipotesis:
- Ho: Konsentrasi testosteron tidak berbeda secara bermakna
- Ha: Konsentrasi testosteron berbeda secara bermakna
Pengambilan Keputusan:
- Jika nilai p ≥ 0,05 maka Ho diterima
- Jika nilai p ≤ 0,05 maka Ho ditolak
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig.
(2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 H0_Kontrol -
H16_Kontrol .11746 1.05180 .47038 -1.18853 1.42345 .250 4 .815
Pair 2 H0_Rendah -
H16_Rendah -.34770 1.38348 .61871 -2.06552 1.37012 -.562 4 .604
Pair 3 H0_Sedang -
H16_Sedang 1.47530 2.51767 1.12594 -1.65080 4.60140 1.310 4 .260
Pair 4 H0_Tinggi -
H16_Tinggi -.75324 1.19616 .53494 -2.23848 .73199
-
1.408 4 .232
Keputusan:
Konsentrasi testosteron seluruh kelompok pada hari ke-0 dan hari
ke-16 tidak berbeda secara bermakna (p>0,05)
101
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 18. Pengamatan Mounting Frequency dan Mounting Latency
Kelompok Hewan
Uji
Mounting
Latency (detik)
Mounting
Frequency
Kontrol
1 1022 3
2 279 2
3 - 0
4 1020 2
5 530 7
Rerata ± SD 712.75 ± 370.39 3.5
50 mg/kgBB
1 - 0
2 - 0
3 - 0
4 - 0
5 127 18
Rerata ± SD 127 18
200 mg/kgBB
1 - 0
2 - 0
3 - 0
4 1195 1
5 - 0
Rerata ± SD 1195 1
800 mg/kgBB
1 - 0
2 - 0
3 148 5
4 - 0
5 - 0
Rerata ± SD 148 5
102
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 19. Hasil Statistik Mounting Frequency dan Mounting Latency
1. Uji Normalitas
Tujuan:
Melihat normal atau tidak nya distribusi data Mounting
frequency dan Mounting Latency
Hipotesis:
- Ho: Data Mounting frequency dan Mounting latency
terdistribusi normal
- Ha: Data Mounting frequency dan Mounting latency tidak
terdistribusi normal
Pengambilan keputusan:
- Jika nilai p ≥ 0,05 maka Ho diterima
- Jika nilai p ≤ 0,05 maka Ho ditolak
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Mounting_Frequency MountingLatency
N 7 7
Normal Parametersa,b Mean 5.4286 617.2857
Std. Deviation 5.91205 455.04422
Most Extreme Differences
Absolute .252 .240
Positive .252 .200
Negative -.227 -.240
Kolmogorov-Smirnov Z .668 .636
Asymp. Sig. (2-tailed) .764 .813
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Keputusan:
Data Mounting frequency dan Mounting latency tikus jantan
terdistribusi normal (P ≤ 0,05).
2. Uji Kruskal-Wallis
Tujuan : Mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data Mounting
frequency dan Mounting latency tikus jantan.
103
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hipotesis :
- Ho: Data Mounting frequency dan Mounting latency tidak
berbeda bermakna
- Ha: Data Mounting frequency dan Mounting latency berbeda
bermakna
Pengambilan keputusan:
- Jika nilai p ≥ 0,05 maka Ho diterima
- Jika nilai p ≤ 0,05 maka Ho ditolak
Test Statisticsa,b
Mounting_Frequency MountingLatency
Chi-Square 4.200 4.929
Df 3 3
Asymp. Sig. .241 .177
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Kelompok
Keputusan:
Data Mounting frequency dan Mounting latency tikus jantan tidak
berbeda secara bermakna (P ≥ 0,05).
Lampiran 20. Hasil Perbandingan Bobot Badan Awal dan Akhir
1. Uji Normalitas
Tujuan:
Melihat normal atau tidak nya distribusi data bobot badan awal dan
akhir tikus
Hipotesis:
- Ho: Data bobot badan awal dan akhir terdistribusi normal
- Ha: Data bobot badan awal dan akhir tidak terdistribusi
normal
Pengambilan keputusan:
- Jika nilai p > 0,05 maka Ho diterima
- Jika nilai p < 0,05 maka Ho ditolak
104
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Bobot_
Awal_K
ontrol
Bobot_
Akhir_
Kontrol
Bobor
_Awal
_Dosis
_Rend
ah
Bobot_
Akhir_
Dosis_
Renda
h
Bobot_
Awal_
Dosis_
Sedan
g
Bobot_
Akhir_
Dosis_
Sedan
g
Bobot_
Awal_
Dosis_
Tinggi
Bobot
_Akhir
_Dosis
_Tingg
i
N 5 5 5 5 5 5 5 5
Normal Parametersa,b
Mean 331.6 347.4 286.20 302.2 281.4 282.60 333.40 316.80
Std.
Deviation
23.6706
6
18.955
21
19.524
34
23.742
37
26.847
72
26.968
50
27.978
56
40.406
68
Most Extreme
Differences
Absolute .239 .221 .203 .203 .332 .276 .261 .117
Positive .194 .221 .203 .203 .200 .183 .171 .108
Negative -.239 -.166 -.195 -.129 -.332 -.276 -.261 -.117
Kolmogorov-Smirnov Z .534 .493 .454 .454 .742 .618 .583 .262
Asymp. Sig. (2-tailed) .938 .968 .986 .986 .641 .840 .886 1.000
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Keputusan:
Data bobot badan awal dan akhir seluruh kelompok terdistribusi
normal (p≥0,05)
2. Paired Samples T-Test
Tujuan :
Mengetahui ada atau tidaknya perbedaan bobot badan awal dan
akhir tikus pada seluruh kelompok
Hipotesis:
- Ho: Bobot badan tidak berbeda secara bermakna
- Ha: Bobot badan berbeda secara bermakna
Pengambilan Keputusan:
- Jika nilai p > 0,05 maka Ho diterima
- Jika nilai p < 0,05 maka Ho ditolak
105
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig.
(2-
tailed)
Mean Std.
Deviation
Std.
Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 Bobot_Awal_Kontrol -
Bobot_Akhir_Kontrol -15.80 10.18332 4.5541 -28.4442 -3.15574 -3.469 4 .026
Pair 2 Bobor_Awal_Dosis_Rendah -
Bobot_Akhir_Dosis_Rendah -16.00 11.15796 4.9899 -29.8544 -2.14557 -3.206 4 .033
Pair 3 Bobot_Awal_Dosis_Sedang -
Bobot_Akhir_Dosis_Sedang -1.20 9.98499 4.4654 -13.5980 11.19800 -.269 4 .801
Pair 4 Bobot_Awal_Dosis_Tinggi -
Bobot_Akhir_Dosis_Tinggi 16.60 39.7529 17.778 -32.7598 65.95985 .934 4 .403
Keputusan:
Bobot badan awal dan akhir kelompok kontrol dan kelompok dosis
50 mg/kgBB berbeda secara bermakna (p≤0,05), sedangkan bobot
badan awal dan akhir kelompok dosis 200 dan 800 mg/kgBB tidak
ada perbedaan secara bermakna (p≥0,05).
106
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 21. Review Hasil Penelitian Kelor dalam Reproduksi Pria
Penelitian
(Tahun)
Jenis
Ekstrak
Lama
Pemberian
Dosis Hasil Penelitian
Cajuday dan
Poscidio
(2010)
Ekstrak
Heksan
21 hari 0,5; 5; 50
mg/30gBB
(Mencit)
Terjadi peningkatan
secara signifikan
pada bobot testis,
epididimis, vesika
seminal, diameter
tubulus seminiferus,
tebal dinding
epididimis
Tidak terdapat
pengaruh yang
signifikan terhadap
LH dan FSH
Afolabi et al
(2013)
Ekstrak
Metanol
14 hari 200 mg/kgBB Tidak ada pengaruh
terhadap bobot testis
Terjadi peningkatan
secara signifikan
pada jumlah sperma,
sel germinal, SOD
testis.
Priyadarshani
&Varma
(2014)
Serbuk
daun
kelor
21 hari 200 mg/kgBB Terjadi peningkatan
jumlah sperma,
mobilitas sperma.
Owolabi &
Ogunnaike
(2014)
Ekstrak
Etanol
28 hari 200 mg/kgBB Hasil yang
positif/baik pada
seluruh jaringan
kecuali testis dan
epididimis, efek yaitu
antifertil
Dafaalla et al.
(2015)
Ekstrak
Etanol
85%
30 hari 100, 200, 400
mg/kgBB
Terjadi peningkatan
secara signifikan
pada organ
reproduksi dan
hormon testosteron,
FSH dan LH
107
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bachtiar dan
Ghasani
(2016)
Ekstrak
Etanol
90%
15 hari 200, 400, 600
mg/kgBB
Tidak ada pengaruh
yang signifikan pada
bobot tetis dan serum
testosteron
Terjadi penurunan
secara signifikan
pada konsentrasi
spermatozoa,
diameter tubulus,
motilitas sperma dan
jumlah spermatosit
pakiten.
Terjadi peningkatan
jumlah spermatozoa
abnormal
Hasil
Penelitian
dalam Skripsi
(Dimalia &
Syadillah,
2017)
Ekstrak
etanol
90%
15 hari 50, 200, 800
mg/kgBB
Tidak ada pengaruh
yang signifikan pada
bobot testis, diameter
tubulus seminiferus,
serum testosteron
serta mounting dan
intromission tikus
jantan
Terjadi peningkatan
secara bermakna
pada konsentrasi
spermatozoa,
abnormalitas
spermatozoa
Terjadi penurunan
secara signifikan
pada motilitas
spermatozoa