Download - Tugas Isu Politik Kontemporer
UJIAN MATRIKULASI
KONSEP DASAR ILMU POLITIK
DOSEN : Dr. RENI WINDIANI, MS.
oleh
NAMA : LISMAN SETIAWAN
NPM : 14010113410002
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
MAGISTER ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2013
1
2
1. Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna
menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan,
kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh[1] [2] atau
kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau
kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) atau
Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku
sesuai dengan kehendak yang memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
Dalam pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja,
kekuasaan pejabat negara. Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan adalah
kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang
kekuasaan tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan
untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi
perintah / dengan tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yg
tersedia. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yg memerintah dan ada yg
diperintah. Manusia berlaku sebagau subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Contohnya
Presiden, ia membuat UU (subyek dari kekuasaan) tetapi juga harus tunduk pada UU (objek
dari kekuasaan).
Selanjutnya pengertian dari Authority atau otoritas/wewenang. Menurut Robert Bierstedt
dalam karangannya An Analysis of Social Power mengatakan bahwa wewenang (authority)
adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan).[1] Kekuasaan yang hadir
dan telah ada tentunya membutuhkan sebuah faktor pendukung lain dalam
pelaksanaannya, dan tentunya juga butuh sebuah pengaturan yang terstruktur sehingga
tidak amburadul dan tidak jelas mana yang memiliki hak berkuasa dan mana yang tidak.
Hampir sama dengan yang apa disampaikan oleh Robert Bierstedt, Harold D. Laswell dan
Abraham Kaplan dalam buku Power and Society mengatakan bahwa wewenang itu adalah
kekuasaan yang formal. Formalnya sebuah kekuasaan membuat kekuasaan memiliki
3
wewenang dan hak untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan serta memiliki
otoritas untuk memberikan sanksi bila aturan atau perintah tersebut dilanggar dan tidak
dilaksanakan. Namun, walau telah ada kekuasaan dan telah dilembagakan atau sah, masih
ada faktor lain untuk dapat dengan efektif dan mengurangi pemaksaan dan kekrasan dalam
pelaksanaannya. Sebuah kekuasaan tentunya harus memiliki pengakuan atau keabsahan.
Keabsahan adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada
pada seseorang, kelompok, atu penguasa adalah wajar dan patut dihormati.[2]
Keberadaan MNC di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik bangsa. Kalau kita flash
back sejenak, kita bisa bagi kondisi politik Indonesia menjadi 3 era, yaitu: Soekarno,
Soeharto, dan Post-Soeharto. Era Soekarno, tidak ada sama sekali MNC di Indonesia. Di
era Soeharto, justru sebaliknya, MNC begitu mudahnya masuk, tumbuh dengan subur dan
berkembang pesat. Bisa dikatakan, Soeharto-lah yang membawa MNC masuk Indonesia
lewat keberadaaan UU no.1/1967 mengenai Penanaman Modal Asing. Pada masa itu,
segala sesuatu ditentukan dan diputuskan oleh Soeharto, mulai dari Pemilu, Hukum, bahkan
siapa saja MNC yang boleh masuk ke Indonesia, semua dibawah kendali Soeharto. MNC
yang masuk betul-betul dilindungi oleh Soeharto, dan yang bisa masuk hanya yang punya
hubungan dengan Soeharto. Tidak heran, pada masa itu MNC bisa tumbuh dengan pesat,
dan pertumbuhan MNC juga yang menumbuhkan ekonomi Indonesia pada masa itu. Pada
masa itu, semua perusahaan besar baik dari dalam maupun luar negeri, pasti terkait dengan
Soeharto. Semua perjanjian antara pemerintah dengan MNC dilakukan tanpa melalui
birokrasi rumit, tapi melalui orang-orang dalam Soeharto. Dan, pada masa itu, semua
perjanjian yang dibuat adalah merugikan bangsa Indonesia, pemerintahan, tapi
menguntungkan bagi ‘orang-oranmgnya’. Tidak heran, pada masa itu Indonesia miskin, tapi
orang-orangnya kaya.
Kehadiran penanaman modal asing di negara kita bukan merupakan sesuatu yang baru bagi
negara dan masyarakat Indonesia. FDI sempat menjadi primadona dalam mitra
4
pembangunan saat negara kita melaju pada tingkat percepatan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi di atas 7% per tahunnya — saat sebelum krisis perekonomian terjadi. Bersama-sama
dengan investasi masyarakat dan PMDN, penanaman modal secara keseluruhan telah
tumbuh rata-rata sekitar 10,% per tahun pada periode 1991-1996 dengan kontribusi hampir
mencapai 30 % terhadap Produk Domestik Bruto.
Kinerja penanaman modal yang kurang baik sejak 1996 menyebabkan lambannya
proses pemulihan ekonomi negara kita beberapa tahun setelah krisis. Beberapa tantangan
yang dihadapi untuk memberdayakan penanaman modal telah juga diakui oleh Pemerintah
dalam Laporan buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009.
Kendala dan tantangan tersebut antara lain:
1. Persaingan kebijakan investasi yang dilakukan oleh negara pesaing seperti China,
Vietnam, Thailand dan Malaysia.
2. Masih rendahnya kepastian hukum, karena berlarutnya RUU Penanaman Modal.
3. Lemahnya insentif investasi.
4. Kualitas SDM yang rendah dan terbatasnya infrastruktur.
5. Tidak adanya kebijakan yang jelas untuk mendorong pengalihan teknologi dari PMA.
6. Masih tingginya biaya ekonomi, karena tingginya kasus korupsi, keamanan dan penyalah
gunaan wewenang
7. Meningkatnya nilai tukar riil efektif rupiah.
8. Belum optimalnya pemberian insentif dan fasilitasi.
Tantangan dan kendala di atas lamban laun mulai dapat diatasi oleh Pemerintah pada
beberapa tahun terakhir ini. Pemerintah bertekad dalam program pembangunan yang
sedang berjalan untuk mewujudkan iklim investasi yang sehat. Restrukturisasi lembaga
pemerintahan segera dilakukan dengan menuntaskan sinkronisasi peraturan antar sektor
dan antar pusat dan daerah. Peningkatan efisiensi pelayanan ekspor-impor kepelabuhanan,
5
kepabeanan dan administrasi ekspor-impor telah menjadi prioritas penanganan oleh Instansi
Pemerintah terkait. Pemangkasan prosedur perijinanpun telah dilakukan, sekaligus dengan
dikeluarkannya berbagai paket insentif investasi pada tahun 2006 ini.
Upaya yang telah dilakukan Pemerintah ini membuahkan hasil dalam peningkatan
kehadiran FDI di Indonesia. Selama kurun waktu tiga tahun terakhir misalnya, realisasi
investasi asing di Indonesia secara kumulatif telah mencapai nilai 18,0 miliar dollar AS, atau
meningkat sekitar 50 % dibandingkan periode tahun 2000-2003. Bidang investasi menonjol
yang yang digeluti oleh perusahaan PMA antara lain kegiatan-kegiatan pada industri logam
dan mesin; percetakan; kendaraan bermotor; tekstil; perdagangan dan perkebunan.
Pasca krisis moneter 1998, perekonomian Indonesia tidak langsung pulih. Besarnya utang
luar negeri yang diciptakan 30 tahun pemerintah orde baru sebesar USD 120 miliar (1967-
1997) menyebabkan beban bunga+cicilan utang membengkak. Belum lagi inflasi yang
tinggi, industri-industri bangkruk karena utang besar. Maka kehadiran IMF untuk menangani
krismon Indonesia diikuti pemaksaan agar sektor-sektor strategis negara harus diliberalisasi
lebih luas, lebih besar kepada asing. Setiap LoI dengan IMF, selalu mensyaratkan “jual aset
ini, jual aset itu“.
Secara “membudaya”, privatisasi BUMN-BUMN strategis Indonesia pertama kali terjadi pada
masa Pemerintahan Soeharto ke-5 yakni tahun 1991. Meskipun cikal bakal privatisasi
“umum” telah diundangkan pada tahun 1968, namun 1991 menjadi tahun dimana satu
persatu perusahaan negara diprivatisasi secara kontinyu. Dan PT Semen Gresik menjadi
BUMN pertama yang terkena program privatisasi. Ini terjadi beberapa waktu setelah
pemerintah memberi kartu hijaupendirian seratusan bank-bank swasta (pengusaha) yang
tidak kompenten dan transparan. Bank-bank inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis
moneter Indonesia tahun 1997-1998. Selama periode 1991-1999,
pemerintahan Soeharto dan Habibie baru memprivatisasi 9 BUMNdengan total nilai
6
privatisasi lebih dari USD 5 miliar. Bentuk privatisasi dilakukan melalui penawaran umum di
pasar modal maupun melalui strategic partner (mengundang investor yang menjadi rekan
strategis).
1. PT Perkebunan Nusantara III
2. PT Perkebunan Nusantara IV.
3. PT Pupuk Kaltim.
4. PT Tambang Batubara Bukit Asam.
5. PT Aneka Tambang Tbk.
6. PT Indo Farma.
7. PT Kimia Farma.
8. PT Sucofindo.
9. PT Kerta Niaga.
10. PT Angkasa Pura II.
Jika ada beberapa BUMN yang di privatisasi di era Habibie dan Gus Dur, maka masuknya
tim ekonomi yang sangat patuh pada IMF di pemerintahan Megawati berhasil
memprivatisasi aset-aset strategis negara seperti Telkom, Indosat, PT BNI, PT Batu Bara
Bukit Asam. Penjualan BUMN tersebut dengan harga yang terlalu kecil jika dibanding
prospek (2 tahun kemudian) yang memiliki kinerja yang sangat baik, yang menghasilkan
keuntungan yang besar bagi para pemegang saham. Begitu juga penjualan bank-bank di
BPPN dengan sangat murah, dimana hampir di setiap transaksi merugikan negara triliun
rupiah. Inilah salah satu keberhasilan IMF untuk mendikte Indonesia melalui tim ekonomi
yang berhaluan “Mafia Berkeley“, yang berpaham neoliberalisme.
7
Penjualan BUMN-BUMN yang profitable kepada asing di masa pemerintah Megawati
menjadi blunder negatif bagi diri Megawati ketika menjadi capres baik di tahun 2004
maupun 2009. Semua orang akan mengalamatkan Megawati sebagai penjual BUMN,
sementara para dalang dibalik penjual BUMN dan perbankan BPPN jarang mendapat
getahnya yakni Dorodjatun, Boediono dan Laksama Sukardi.
Berbagai saham BUMN strategis “berhasil” dijual diera Megawati [jangan lupa juga tim
ekonominya dan 50 butir LoI IMF tahun 1997]. Sebut saja penjualan saham Perusahaan
Gas Negara sebesar Rp 7,34 triliun melampaui dari target semula yaitu Rp 6,5 triliun.
Privatisasi Bank Mandiri dengan nilai Rp 2,5 triliun, PT Indosat Rp1,16 triliun dan Bank
Rakyat Indonesia Rp 2,5 triliun.
Namun, ada satu rencana terbesar di era Pemerintah Megawati dalam privatisasi BUMN
yakni pada tahun 2004. Wakil pemerintah yakni Laksamana Sukardi dan Boediono pada
tahun Maret/April 2004 mengajukan privatisasi 28 BUMN. BUMN itu terdiri dari 19 BUMN
dan 9 non-BUMN atau BUMN minoritas. Privatisasi 28 BUMN tersebut merupakan
gabungan dari program carry over (kelanjutan) privatisasi BUMN tahun 2002 dan tahun
2003 serta program murni privatisasi BUMN tahun 2004. Dan untungnya,sebagian
besar program privatisasi yang diajukan pemerintah via Laksamana Sukardi dan Boedino ini
kandas ditangan DPR karena alasan politik Pemilu 2004.
Sejumlah BUMN yang masuk dalam daftar privatisasi tersebut adalah PT Bank Mandiri Tbk,
PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Danareksa, PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, PT
Batubara Bukit Asam Tbk, PT Merpati Nusantara Airlines, dan PT Perkebunan Nusantara III,
PT Kimia Farma, PT Indofarma, PT Cambrics Primissima, dan BUMN sektor kawasan serta
sembilan non- BUMN lainnya.
8
2. Dari banyaknya konsep dan teori tentang kepemimpinan, setidaknya menurut pendekatan
NLP Terdapat Empat Pillar yang dapat digunakan untuk mencari sosok pemimpin sebagai
agen perubahan idaman saat ini:
1. Pemimpin yang memiliki Kejelasan tentang Hasil Akhir Yang Diinginkan
(outcome). Kemampuan menciptakan tujuan akhir dan pandangan kedepan (visi)
hal ini sangat penting mengingat seorang Leader sebagai lokomotif harus mampu
menetapkan dan membawa gerbong-gerbong yang ada di rangkaiannya menuju
sasaran. Dalam menentukan pemimpin idaman Indonesia, terlebih dahulu kita perlu
mengenali hasil akhir yang diinginkan dari stok pemimpin yang ada saat ini.
Pemahaman sepenuhnya atas hasil yang ingin didapatkan sangat membantu proses
pencapaian kinerja sang pemimpin. Ketika sosok pemimpin tersebut benar-benar
memahami hasil akhir dari apa yang ingin dicapai dalam masa kepemimpinannya,
maka sang pemimpin dapat dengan mudah mengarahkan seluruh elemen yang ada
seperti politik, hukum, dll ke hasil akhir tersebut. Selain itu, pemahaman atas hasil
akhir yang diinginkan juga membantu dalam mengidentifikasi efektifitas suatu kinerja
pencapaian (Visi), apakah semakin mendekatkan atau menjauhkan dari hasil yang
diinginkan. Adapun hasil akhir yang diinginkan menurut pendekatan NLP adalah:
SPESIFIK, JELAS dan ADA TARGET WAKTU PENCAPAIANNYA! Dan apabila kita
berpikir tentang pemimpin yang heroik seperti Pangeran Diponegoro, Sultan
Hasanuddin, Soekarno, Jenderal Sudirman, dan sebagainya kita harus mengakui
bahwa sifat-sifat Tau Hasil Akhir yang Diinginkan melekat pada diri mereka dan telah
mereka manfaatkan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan
2. Pemimpin yang Mampu meningkatkan Kualitas Hubungan yang Baik (rapport).
Menurut Teori Kepemimpinan Organisasi, Kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam
upaya mencapai tujuan (goal) organisasi (Trout, 2008). Dari sini bisa kita teliti bahwa
sosok pemimpin Idaman Indonesia haruslah mampu menjalin komunikasi yang baik
9
kepada setiap elemen DAN SETIAP SAAT! Kenapa? Karena terdapat elemen proses
mempengaruhi (persuasif). Seorang pemimpin yang memiliki kemampuan menjalin
komunikasi yang ekologis bagi masyarakat, bukan mengombang-ambingkan apalagi
mempermainkan emosional dan mengarahkan kepada citra diri saja. Kemampuan
membangun tim yang kuat dan mengorganisasi adalah kuncinya. Termasuk
didalamnya adalah bagaimana sang pemimpin mampu mengkomunikasikan ‘apa sih’
Visi-nya dan kemampuan membangun hubungan yang ekologis untuk mencapai Visi
sebagai hasil akhir yang diinginkannya.
3. Pemimpin yang Peka terhadap Perubahan melalui Akuitas Sensori (sensory
acuity). Pepatah yang mengatakan ‘tidak ada yang abadi selain perubahan itu
sendiri’ Kepekaan terhadap berbagai macam situasi perubahan adalah mutlak.
Sehingga seorang pemimpin harus memiliki kepekaan yang tinggi terhadap
perubahan yang terjadi selama masa kepemimpinannya. Pemimpin sebagai contoh
(role model) harus mampu memilah mana yang perlu ditangani sebagai prioritas
maupun yang bukan prioritas didalam tujuannya mencapai hasil akhir yang
diinginkan (outcome). Namun tak jarang perubahan dinamika organisasi yang ada
(politik maupun pasar, bagi sebuah negara) membuat seorang pemimpin HARUS
peka terhadap keadaan rakyatnya (anggota didalam organisasi). Kemampuan
seorang pemimpin menggunakan panca indera (modality sensory based) untuk
mengamati keadaan secara cermat tanpa asumsi/penilaian tertentu sebelumnya,
sehingga sang pemimpin dapat memberikan respon dengan rapport yang maksimal.
Kepekaan ini tidak hanya ditandai dengan penampilan citra diri semata, namun
HARUS MAMPU menjawab dan menyelesaikan isu-isu sentral yang bersifat strategis
dengan SPESIFIK, JELAS dan ADA TARGET WAKTU PENCAPAIANNYA! dan yang
pasti haris terselesaikan, bukan terlupakan :)
4. Pemimpin yang memiliki perilaku flexibel (behavior flexibility). Guna mencapai
hasil akhir yang diinginkan, seorang pemimpin membutuhkan fleksibilitas. Hal ini
disebabkan karena terkadang komunikasi maupun strategi (Misi) yang digunakan
10
untuk mencapai hasil akhir yang diinginkan tidak bekerja sesuai yang diharapkan.
Sehingga, untuk mencapai hasil akhir yang diinginkan, seorang pemimpin perlu
mengganti strategi pencapaiannya. Dengan memiliki fleksibilitas dalam misi-nya,
kemungkinan mencapai Visi sebagai hasil akhir yang diinginkan semakin besar.
Kategori Flexibel disini adalah, flexibel terhadap situasi tanpa meninggalkan hasil
akhir yang diinginkan dan menggunakan prilaku flexibel yang sesuai dengan
keadaan situasi.
Jika dikaji lebih jauh, relatif lemahnya kepemimpinan Habibie, Gus Dur dan Megawati,
tidak tepat dijadikan sebagai alasan untuk mengatakan bahwa Indonesia belum siap,
tidak bisa, atau belum saatnya dipimpin oleh pemimpin yang berasal dari sipil.Karena
kondisi politik saat mereka memimpin sangat berbeda dengan saat ini dan mereka tidak
murni hasil pilihan rakyat. Saat itu presiden dipilih oleh MPR, kondisi politik masih larut
dalam euforia reformasi, dukungan rakyat untuk ketiga tokoh tersebut tidak kuat, dan
kondisi saat itu yang membutuhkan karakter militer untuk mengatasi adanya daerah
yang ingin melepaskan diri dari NKRI.
Pemimpin dari sipil adalah yang paling sesuai berdasarkan situasi Indonesia
terkini.Diantara tokoh-tokoh sipil yang berpotensi menjadi presiden, Jokowi adalah satu-
satunya tokoh yang sangat menonjol. Apabila nantinya Jokowi akhirnya terpilih jadi
presiden kita berikutnya, besar harapan stigma lemahnya pemimpin dari sipil akan
terhapus.
Hipotesa ini didukung oleh kondisi politik saat ini yang relatif kondusif, ditandai dengan
mulai hilangnya euforia reformasi yang melenakan yang tergambar dari menciutnya
jumlah partai politik dari 44 menjadi 12, kondisi kesatuan NKRI yang relatif stabil dari era
11
sebelumnya, kondisi Indonesia saat ini yang lebih membutuhkan fokus pada
pembangunan sipil, ekonomi dan sosial, daripada stabilitas keamanan.
Dan yang terutama adalah dukungan rakyat yang sangat signifikan terhadap sosok
Jokowi untuk menjadi presiden, tidak mewakili golongan tertentu dengan kata lain bisa
diterima oleh semua golongan, didukung oleh karakter beliau yang benar-benar “asli”
Indonesia, sederhana nan tegas, ndeso, merakyat, komunikatif, dengan latar belakang
pendidikan “asli” Indonesia, serta pola pikirnya yang fokus ke ranah sipil.
Semua karakter tersebut tergambar dari inovasi gebrakan-gebrakan beliau selama
memimpin di Solo dan di DKI Jakarta.
3. Maraknya aksi terorisme di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya
adalah kegagalan banyak negara di dunia Islam untuk membangun politik-ekonomi yang
menyejahterakan masyarakat. Hal ini memicu kekecewaan dan perlawanan terhadap
negara dan dunia Barat yang dianggap mendukung negara tersebut.
Praktik ketidakadilan politik internasional seperti di Palestina atau serbuan Amerika Serikat
ke Afganistan memicu kemarahan kalangan militan Muslim terhadap Barat atau Amerika.
Secara teologis, sebagian kelompok militan meyakini janji surga bagi orang yang berani
melancarkan serangan bom bunuh diri. Pada saat bersamaan, ada kekeliruan dalam
memaknai jihad.
Terorisme tentu bukan sesuatu yang muncul dari ruang hampa. Dia memerlukan kultur
tertentu untuk tumbuh. Penyebab terorisme perlu dikenali karena ini berkait dengan upaya
pencegahannya. Berikut adalah 5 sebab terorisme :
1. Kesukuan, nasionalisme/separatisme
12
(Etnicity, nationalism/separatism)
Tindak teror ini terjadi di daerah yang dilanda konflik antar etnis/suku atau pada suatu
bangsa yang ingin memerdekan diri. Menebar teror akhirnya digunakan pula sebagai satu
cara untuk mencapai tujuan atau alat perjuangan. Sasarannya jelas, yaitu etnis atau bangsa
lain yang sedang diperangi.Bom-bom yang dipasang di keramaian atau tempat umum lain
menjadi contoh paling sering. Aksi teror semacam ini bersifat acak, korban yang jatuh pun
bisa siapa saja.
2. Kemiskinan dan kesenjangan dan globalisasi
(Poverty and economic disadvantage, globalisation)
Kemiskinan dan kesenjangan ternyata menjadi masalah sosial yang mampu memantik
terorisme. Kemiskinan dapat dibedakan menjadi 2 macam: kemiskinan natural dan
kemiskinan struktural. Kemiskinan natural bisa dibilang “miskin dari sononya”. Orang yang
tinggal di tanah subur akan cenderung lebih makmur dibanding yang berdiam di lahan
tandus. Sedang kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang dibuat. Ini terjadi ketika
penguasa justru mengeluarkan kebijakan yang malah memiskinkan rakyatnya. Jenis
kemiskinan kedua punya potensi lebih tinggi bagi munculnya terorisme.
3. Non demokrasi
(non)democracy)
Negara non demokrasi juga disinyalir sebagai tempat tumbuh suburnya terorisme. Di negara
demokratis, semua warga negara memiliki kesempatan untuk menyalurkan semua
pandangan politiknya. Iklim demokratis menjadikan rakyat sebagai representasi kekuasaan
tertinggi dalam pengaturan negara. Artinya, rakyat merasa dilibatkan dalam pengelolaan
negara.Hal serupa tentu tidak terjadi di negara non demokratis. Selain tidak memberikan
kesempatan partisipasi masyarakat, penguasa non demokratis sangat mungkin juga
13
melakukan tindakan represif terhadap rakyatnya. Keterkungkungan ini menjadi kultur subur
bagi tumbuhnya benih-benih terorisme.
4. Pelanggaran harkat kemanusiaan
(Dehumanisation)
Aksi teror akan muncul jika ada diskriminasi antar etnis atau kelompok dalam masyarakat.
Ini terjadi saat ada satu kelompok diperlakukan tidak sama hanya karena warna kulit,
agama, atau lainnya.Kelompok yang direndahkan akan mencari cara agar mereka didengar,
diakui, dan diperlakukan sama dengan yang lain. Atmosfer seperti ini lagi-lagi akan
mendorong berkembang biaknya teror.
5. Radikalisme agama
(Religion)
Butir ini nampaknya tidak asing lagi. Peristiwa teror yang terjadi di Indonesia banyak
terhubung dengan sebab ini. Radikalisme agama menjadi penyebab unik karena motif yang
mendasari kadang bersifat tidak nyata. Beda dengan kemiskinan atau perlakuan
diskriminatif yang mudah diamati. Radikalisme agama sebagian ditumbuhkan oleh cara
pandang dunia para penganutnya. Menganggap bahwa dunia ini sedang dikuasi kekuatan
hitam, dan sebagai utusan Tuhan mereka merasa terpanggil untuk membebaskan dunia dari
cengkeraman tangan-tangan jahat.
6. Disaffected intelligentsia
Rubenstein elaborates another interesting aspect occurring in Western liberal democratic
states in his book Alchemists of Revolution (1987), though not necessarily because of a
hiatus in democratic governance. There are two points I would like to bring under attention.
First, Rubenstein’s thesis that the main cause of terrorism are disgruntled, disaffected,
14
intelligentsia who are in a social and moral crisis unable to mobilize the masses. This is “a
primary internal cause of terrorism, dictating to a degree its philosophy, tactics and
consequences” (Rubenstein, 1987:xvii). Intellectuals, of the type of ambitious idealist, do not
have a rebellious lower class to lead due to shifts from primary and manual work to the
services sector, nor do they receive guidance from a creative upper class that they can
follow. When rigid social stratification shatter hopes for social transformation, then the
ingredients are present for a start or rise in terrorist activities in an attempt to reconnect with
the masses who they claim to represent and aspire to lead. Examples: “…ever since the
Russian intellectuals “invented” modern terrorism…” (Radu, 2001), referring to Narodnaya
Volya, Wieviorka’s “Disappointed, frustrated or unrealisable upward mobility” (1988:29);
“middle-class alienation” (Kristof, 2002); “spoilt children of affluence” (Wilkinson, 1977:93);
Crenshaw (1981); Williams (1994:65), and so forth. But now, 15 years after the book’s
publication, access to third level education (the ‘democratisation of education’) has
increased to such an extend that it devalues degrees to a minimum standard for procuring a
job. Is the degree graduate now the new (white collar) working class stuck in his/her cubicle?
If true, then the ‘gap’ between the masses and intelligentsia is smaller at present, hence
more likely to be bridge-able, and therefore less prone to induce ideas to resort to terrorism,
thus at least weakening Rubenstein’s view. The second aspect of Rubenstein’s book is a
broad discussion on the myriad of, predominantly leftist, political ideologies – indirectly the
perceived cause being the undemocratic government, unfair capitalist system et al – but may
simply be a failed revolution.
Contoh Kasus :
1. Bom Jakarta, 17 Juli 2009. Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott
dan Ritz-Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul
07.50 WIB.[2]
2. Penembakan warga sipil di Aceh Januari 2010
3. Perampokan bank CIMB Niaga September 2010
15
4. Bom Cirebon, 15 April 2011. Ledakan bom bunuh diri
di Masjid Mapolresta Cirebon saat Salat Jumat yang menewaskan pelaku dan
melukai 25 orang lainnya.
5. Bom Gading Serpong, 22 April 2011. Rencana bom yang menargetkan Gereja Christ
Cathedral Serpong, Tangerang Selatan, Banten dan diletakkan di jalur pipa gas,
namun berhasil digagalkan pihak Kepolisian RI
6. Bom Solo, 25 September 2011. Ledakan bom bunuh diri di GBIS
Kepunton, Solo, Jawa Tengah usai kebaktian dan jemaat keluar dari gereja. Satu
orang pelaku bom bunuh diri tewas dan 28 lainnya terluka.
7. Bom Solo, 19 Agustus 2012. Granat meledak di Pospam Gladak, Solo, Jawa
Tengah. Ledakan ini mengakibatkan kerusakan kursi di Pospam Gladak. Tidak ada
korban jiwa.
16