Download - Translate Jurnal Abfraksi
Abfraksi : Memisahkan fakta dari fiksi
ABSTRAK
Lesi servikal non-karies melibatkan hilangnya jaringan keras dan, dalam beberapa kasus,
bahan restorasi pada sepertiga servikal mahkota dan pada permukaan akar yang terletak di
bawahnya, melalui proses yang tidak berhubungan dengan karies. Proses-proses non-karies
termasuk abrasi, korosi, dan mungkin abfraksi, dapat terjadi sendiri-sendiri maupun
kombinasi. Abfraksi diperkirakan terjadi ketika muncul siklus yang berlebihan, beban non-
aksial gigi (tidak searah sumbu gigi) mengarah ke cusp flexure (kelenturan puncak gigi) dan
tegangan terpusat pada daerah servikal gigi yang rapuh. Tegangan seperti ini kemudian
diyakini langsung atau tidak langsung berkontribusi terhadap hilangnya substansi servikal
gigi. Artikel ini secara kritis mengkaji literatur yang mendukung dan menentang konsep
abfraksi.
Meskipun ada bukti teoritis yang mendukung abfraksi, terutama dari studi finite element
analysis (FEA), disarankan untuk berhati-hati ketika menafsirkan hasil penelitian tersebut
karena keterbatasannya. Bahkan, hanya ada sejumlah kecil bukti eksperimental untuk
abfraksi. Studi klinis telah menunjukkan hubungan antara lesi abfraksi, bruxism, dan faktor
oklusal, seperti kontak prematur dan wear facets (permukaan gigi yang aus karena berulang
kali bergesekan dengan gigi lawan), namun sayangnya penelitian ini tidak menegaskan lebih
lanjut bagaimana hubungan sebab-akibatnya. Dan yang juga penting adalah, lesi abfraksi
belum dilaporkan pada populasi pra-kontemporer (yang belum modern).
Tenaga profesional di bidang kesehatan mulut sangat perlu memahami bahwa abfraksi masih
merupakan konsep teoritis, karena tidak didukung oleh bukti-bukti klinis yang sesuai.
Disarankan bahwa perawatan yang destruktif dan ireversibel (merusak dan tidak dapat
dikembalikan seperti semula) yang ditujukan untuk merawat lesi abfraksi, seperti occlusal
adjustment (penyesuaian oklusal), harus dihindari.
Kata kunci: abfraksi, lesi servikal non-karies, tegangan, tooth wear (kehilangan jaringan
keras gigi secara progresif karena erosi, atrisi, maupun abrasi).
Singkatan dan akronim: FEA= finite element analysis, GICs = glass ionomer cements, LESI
SERVIKAL NON KARIES = non-caries cervical lesions (lesi servikal non-karies);
RMGICs = resin-modified GICs.
PENDAHULUAN
Lesi servikal non-karies melibatkan hilangnya jaringan keras, dan dalam beberapa kasus,
bahan restorasi pada sepertiga servikal mahkota dan pada permukaan akar yang terletak di
bawahnya, melalui proses yang tidak berhubungan dengan karies.1 Meskipun diterima bahwa
lesi servikal non-karies memiliki multifaktorial etiologi, kontribusi yang relatif dari berbagai
proses tetap tidak jelas. Saat ini, penyebab dari lesi servikal non-karies yang paling diterima
secara luas adalah abrasi dan korosi, meskipun beberapa teori alternatif telah diusulkan.
Abfraksi, sebuah teori berdasarkan prinsip biomekanis, merupakan salah satu yang
paling dibahas dan kontroversial. Grippo2 pertama kali menggunakan istilah untuk abfraksi
mengacu pada proses kehilangan struktur pada servikal gigi, berdasarkan pada penelitian
yang telah diselesaikan oleh McCoy3 dan Lee dan Eakle.4
Ulasan terbaru pada bidang ini masih kurang rinci pada bagian tertentu dan tidak
terfokus pada gambaran klinis implikasi abfraksi saat ini. Karena meningkatnya jumlah
artikel yang dipublikasi, yang mengeksplorasi kebenaran mengenai abfraksi, maka menjadi
penting bagi dokter gigi untuk memahami dimana abfraksi berada dalam praktek klinis saat
ini. Tujuan artikel ini adalah untuk secara kritis meninjau literatur yang mendukung dan
menentang abfraksi.
Perkembangan konsep abfraksi
Abfraksi disebutkan dapat terjadi ketika muncul siklusyang berlebihan, beban non-aksial gigi
(tidak searah sumbu gigi) mengarah ke cusp flexure (kelenturan puncak gigi) dan tegangan
terpusat pada daerah servikal gigi yang rapuh. Tegangan tersebut kemudian diyakini
langsung berkontribusi terhadap hilangnya struktur gigi, dengan cara melemahkan ikatan
antara kristal hidroksiapatit, atau secara tidak langsung menyebabkan kehilangan struktur gigi
dengan membuat gigi lebih rentan terhadap kerusakan di kemudian hari melalui abfraksi yang
lebih lanjut dan proses lainnya (seperti abrasi dan korosi).4-6
Konsep yang menyebutkan bahwa beban oklusal dapat menyebabkan tegangan
servikal, yang menghasilkan kehilangan struktur servikal gigi, mulai berkembang di akhir
tahun1970-an.3,4,7 Proses ini akhirnya disebut abfraksi oleh Grippo2 pada tahun 1991.
Yang umum pada semua yang mendukung hipotesis ini adalah kurangnya bukti dan
adanya sejumlah kesalahan secara logika.
Gambar 1. Diagram representasi dari gigi premolar kedua dan struktur pendukungnya yang terlibat dalam poses
grinding/pengasahan gigi secara fungsional. Gaya non-aksial yang diproduksi sebagai hasil dari grinding gigi
dapat menghasilkan tekanan yang kurang menguntungkan pada daerah servikal gigi, yang berpotensi mengarah
ke perkembangan lesi servikal non-karies. Menariknya, logika menunjukkan bahwa dengan gigi
grinding/mengasah ke arah bukal, daerah servikal bukal akan tertekan, sedangkan daerah servikal lingual akan
tegang.
Meskipun kehilangan enamel terjadi, namun tidak ada penjelasan yang diberikan
tentang bagaimana dentin juga bisa hilang selama proses ini.3,4,7 Karena dentin memiliki
struktur yang berbeda dari enamel dan dapat menahan tegangan tarik yang lebih baik
daripada enamel, pengabaian ini merupakan kelemahan utama dalam konsep abfraksi.8
Umumnya, abfraksi disebutkan merupakan hasil dari gaya yang berhubungan dengan
pengunyahan, menelan, dan maloklusi. Namun, Gibbs et al.9 menemukan bahwa tekanan
oklusal saat menelan dan pengunyahan hanya sekitar 40 persen dari gaya gigitan maksimal.
Setelan et al.10 melaporkan bahwa kontak gigi terjadi pada rata-rata hanya 194 milidetik
selama pengunyahan dan untuk 683 milidetik saat menelan. Mempertimbangkan bahwa
durasi dan besarnya gaya selama bruxism jauh lebih besar dari pada selama aktivitas
fungsional, itu menunjukkan bahwa lebih mungkin jika aktivitas parafungsi yang dapat
mengakibatkan proses tersebut, bukan aktivitas fungsional.11 Menariknya, logika
menunjukkan bahwa gaya non-aksial yang dihasilkan dari gigi yang terasah (Gambar 1),
dapat benar-benar benar-benar menimbulkan tekanan pada permukaan serviko bukal gigi
yang terlibat. Bagaimana tekanan mampu menghasilkan kerusakan pada struktur gigi
tersebut?
Terminologi
Di seluruh literatur terdapat kesalahpahaman mengenai terminologi yang paling tepat untuk
digunakan ketika membahas abfraksi. Misalnya, Miller et al.12 menyatakan bahwa lesi
servikal non karies juga disebut abfraksi. Pernyataan ini menyesatkan karena lesi servikal non
karies memiliki berbagai kemungkinan penyebab, yang mana abfraksi hanya salah satu di
antaranya. Selain itu, etiologi lesi servikal non karies adalah multifaktorial, jadi ketika
abfraksi menjadi agen etiologi primer, harus dipahami bahwa faktor lain juga mungkin
memainkan peran. Pernyataan tersebut berlaku juga untuk semua jenis etiologi lesi servikal
non-karies yang dijelaskan dalam artikel ini. Penggunaan terminologi yang benar adalah
penting di bidang yang cukup rumit dalam kedokteran gigi ini.
Sementara itu, penting untuk mengatasi dua kesalahpahaman lainnya. Secara
tradisional, profesi gigi telah mendefinisikan erosi sebagai tooth wear akibat kontak yang
terlalu lama terhadap zat pH rendah asal non-bakteri. Namun, proses ini harus disebut
''korosi”, sebagai hasil dari proses kimiawi (misalnya, asam). Sebaliknya, istilah ''erosi''
mengacu pada proses abrasif yang dihasilkan dari kontak dinamis padat, cair atau gas dengan
permukaan (misalnya, gelombang air yang menurunkan garis pantai batu kapur).13 Erosi
adalah proses fisik, sedangkan korosi adalah proses kimia .
Hal ini juga penting untuk membedakan istilah ''stresscorrosion'' dari ''abfraksi''. Stress-
corrosion mengacu pada efek sinergis dari stress (tegangan) dan korosi yang berlangsung
secara simultan/terus menerus.13 Sebagai contoh, ini dapat terjadi ketika gigi diberikan beban
yang berat dalam lingkungan asam. Saat ini, masih sedikit penelitian yang mengeksplorasi
peran stresscorrosion dalam perkembangan lesi servikal non-karies.
Karakteristik lesi abfraksi
Lee dan Eakle4 pertama kali menjelaskan karakteristik lesi yang mungkin timbul dari
tegangan tarikan. Mereka menyimpulkan bahwa lesi abfraksi harus ditempatkan pada atau di
dekat titik tumpu di daerah konsentrasi tegangan tarik terbesar, umumnya menjadi berbentuk
baji (wedge), serta menampilkan ukuran yang sebanding dengan besarnya dan frekuensi
aplikasi gaya tarik (Gambar 2). Menariknya, Lee dan Eakle4 berpendapat bahwa arah gaya
lateral (s) yang bekerja pada gigi akan menentukan lokasi lesi. Misalnya, jika ada dua atau
lebih gaya lateral hasilnya akan menjadi lesi servikal non-karies yang terdiri dari dua atau
lebih lesi berbentuk baji yang tumpang tindih. Mereka mengakui bahwa faktor-faktor lokal,
seperti abrasi dan korosi, dapat memodifikasi penampakan dari lesi servikal non-karies terkait
dengan tegangan tarikan. Deskripsi Lee dan Eakle4 memiliki keterbatasan, karena mereka
tidak didasarkan pada bukti eksperimental atau klinis langsung. Penelitian laboratorium perlu
dicoba untuk menghasilkan lesi servikal non-karies melalui abfraksi, ini untuk memvalidasi
deskripsi Lee dan Eakle4 tersebut.
Perlu ditegaskan kembali bahwa tidak semua lesi servikal non-karies yang berbentuk baji
pasti hasil dari abfraksi. Abrasi, yang merupakan hasil dari kontak dinamis berkepanjangan
gigi dengan zat eksogen, seperti sikat gigi dengan pasta gigi, juga merupakan penyebab
munculnya lesi servikal non-karies berbentuk baji, yang telah diterima secara luas.14 Ada juga
kemungkinan bahwa beberapa hal lain, pernah diketahui, berkontribusi pada proses
pembentukan lesi servikal non-karies berbentuk baji. Sognnaes et al.15 mengamati gigi
diekstraksi yang memperlihatkan lesi servikal non-karies berbentuk baji dalam restorasi
silikat dan amalgam. Fenomena ini dapat terjadi akibat abrasi, tetapi tidak mungkin untuk
dijelaskan oleh abfraksi karena sifat restorasi amalgam dan silikat yang khususnya berbeda
dengan jaringan keras gigi.
Gambar 2. Pandangan proksimal dari insisif satu bawah yang menunjukkan lesi servikal non-karies berbentuk
baji (terletak dalam kotak putih).
Lesi servikal non-karies (NCCLs) pada populasi pre-kontemporer (belum modern)
Temuan epidemiologis penting yang berkaitan dengan abfraksi adalah sedikitnya lesi
servikal non-karies yang diamati pada populasi pre-kontemporer. lesi servikal non-karies
belum di teliti pada tengkorak pra sejarah orang amerika. Alur (kondisi) interproksimal telah
diteliti pada region servikal pada gigi orang primitive suku aborigin di Australia, tetapi lesi
tersebut berasal dari aktifitas memberatkan (menyobek tendon hewan menggunakan gigi) dan
belum diteliti pada populasi modern. NCCLs yang tidak berkaitan dengan aktifitas yang
memberatkan belum diteliti pada orang primitive suku aborigin.
Terdapat prevalensi yang tinggi dari faset aus oklusal yang diteliti pada orang
primitive suku aborigin. Kebanyakan dari faset aus ini hanya bisa disesuaikan antara gigi
berlawanan pada posisi mandibula yang ekstrem. Mendukung adanya etiologi parafungsi.
Beban oklusal yang berat pada suku aborigin Australia berasal dari gaya tekan yang besar
non – axial yang dapat menyebabkan pergerakan gigi geligi yang saling bersebelahan,
menyebabkan adanya aus pada are interproksimal. Bagaimanapun juga, terlepas dari adanya
beban oklusal yang mungkin dapat menyebabkan terjadinya abfraksi, tidak ditemukan adanya
lesi. Adanya lesi abfraksi pada keadaan ini, khususnya pada lingkungan yang belum terdapat
sikat gigi dan sedikit korosi, memberikan bukti yang kuat bahwa abfraksi disebabkan adanya
beban oklusal saja.
Bukti teoritis abfraksi
Analisis unsure terbatas (FEA) adalah metode modeling computer berbasis angka
yang bisa digunakan untuk menambah pemahaman dari masalah mekanis yang rumit, seperti
tekanan yang terlibat dengan beban gigi. FEA membantu memecahkan masalah yang
kompleks menjadi elemen angka yang simple, yang mana menggunakan data dan formula
yang tepat. Solusi dari setiap elemen dikombinasikan agar dapat membuat model secara
keseluruhan. FEA bisa dua atau tiga dimensi. Beberapa peneliti menggunakan FEA untuk
meneliti validitas dari abfraksi dan table 1 meringkas hasil beberapa penelitian mengenai
abfraksi. Dengan mempertimbangkan hasil-hasil penelitian ini, keterbatasan FEA mengenai
abfraksi seharusnya bisa dipertimbangkan.
Rees mengakui keterbatasan menggunakan FEA dua dimensi untuk meneliti objek
tiga dimensi seperti gigi. Keunggulan penting dari FEA tiga dimensi, seperti yang dikatakan
Rees, adalah dapat diukurnya gaya torsi gigi. Sehingga, FEA tiga dimensi lebih bisa
mendapatkan simulasi yang lebih realistis untuk dikembangkan. BAgaimanapun juga, banyak
penelitian mengenai abfraksi yang menggunakan FEA dua dimensi (tabel 2).
Peneliti juga menggunakan besaran tekanan yang berbeda pada model FEA mereka,
berkisar antara 100 sampai 500 Newtons, dengan demikian membuat perbandingan antara
penelitian FEA menjadi persoalan. (table 2)
Ketersediaan alat dan bahan selama penelitian juga menjadi hal yang penting dalam
kevalidan penelitian, setiap elemen akan memberikan nilai spesifik yang berimbas pada hasil
yang berbeda pula. Peneliti yang lain menggarisbawahi bagian fisik pada jaringan gigi,
seperti email. Beberapa memperkirakan email menjadi material isotropic yang memiliki
kesamaan sifat pada setiap bagian. (table 2). Bagaimanapun juga, Spears menunjukkan bukti
bahwa email harus dipertimbangkan menjadi anisotropic, dibandingkan isotropic, yang mana
dicurigai memiliki sifat fisik yang berbeda pada bagian email yang berbeda. Ini merupakan
isu penting ketika email dipertimbangkan menjadi anisotropic, gigi nampaknya dapat lebih
baik dalam mengatasi beban. Tidak hanya apa yang dihasilkan oleh tekanan dengan besaran
yang lebih kecil, tekanan juga ditransimisikan ke dentin yang mana lebih mentoleransi gaya
tarik dibandingakn email. Oleh karena itu, hasil yang didapatkan dari peneliti yang
menganggap email bersifat isotropik, harus diinterpretasikan dengan hati-hati (table 2).
Kecacatan lain dari FEA adalah ketidakmampuannya untuk menstimulasi secara
akurat dinamika biologis gigi dan struktur pendukungnya. Sebagai contoh, pada NCCLs juga
terdapat perubahan pada dentin karena dentin menjadi terkspos pada lingkungan oral. Hal ini
cukup sulit untuk meneliti model yang digunakan untuk memprediksi pada struktur yang
komplek dari dentin tersier, yang mana akan dibentuk sebagai respon stimulus terjadinya
keausan gigi.
Tabel 1 Ringkasan dari hasil penelitian menggunakan FEA tentang abfraksi
Referensi Kesimpulan
Rees
Palamara et al
Rees et al
Beban eksentris, premolar yang direstorasi
menunjukkan tekanan yang lebih besar pada
region servikal dibandingkan pada gigi
premolar yang tidak direstorasi, dengan
beban yang sama.
Beban non-axial gigi menghasilkan
kerusakan pada area servikal. Arah dan
besaran beban memilki pengaruh yang kuat
terhadap ketengangn servikal.
Puncak Ketegangan servikal yang tertinggi
pada insisif maksila, yang tengah pada
premolar maksila dan yang paling rendah
kaninus maksila
Beban non axial gigi bertambah sejalan
Rees
Lee et al
Palamara et al
Borcic et al
dengan besaran tekanan servikal
Gigi yang maloklusi menghasilkan tegangan
tarik yang lebih besar pada area servikal jika
dibandingkan dengan gigi yang beroklusi
normal.
Tabel 2 Ringkasan hasil penelitian menggunakan FEA yang terkai abfraksi
Referensi Gaya Gigi yang diperiksa Asumsi sifat
Rees
Palamara et al
Lee et al
Rees
Ress et al
Ress and hammadeh
Borcic et al
Palamara et al
100
100
170
Premolar dua mandibula
Premolar dua mandibula
Premolar dua maksila
Premolar kedua mandibula
Insisif satu maksila, kaninus, premolar satu
Insisif satu maksila, kaninus, premolar satu
Premolar satu maksila
Premolar dua mandibula dan insisif satu bawah
Anisotropik
Tidak spesifik
Isotropik
Isotropic
Anisotropic
Anisotropic
Isotropic
isotropik
Bisa jadi persoalan penting dalam penggunaan FEA untuk meneliti abfraksi adalah
pendekatan yang penting dari anomali. Penemuan yang umum ditemui pada FEA adah
besaran tekanan pada fasial dan lingual mirip dengan respon terhadap beban. Bagaimanapun
juga, ini menunjukkan tidak sinkronnya pada gambaran klinis NCCLs yang menunjukkan
lebih banyak pada fasial, dibandingkan pada permukaan palatal atau lingual gigi. Rees et al
menyatakan tekanan-korosi bisa memberikan penjelasan mengenai anomaly ini. Mereka
merujuk pada hasil penelitian Lecomte dan dawes yang menemukan cairan erosive, seperti
jus buah, lebih mudah hilang 6x lebih cepat pada area palatal dibandingkan pada area fasial.
Bukti eksperimental dari abfraksi
Masih sangat sedikit bukti eksperimen yang mendukung konsep abfraksi, sayangnya,
masih banyak keterbatasan hasil penelitian sampai sejauh ini. Palmara et al, menemukan
bahwa gigi yang diberikan beban 500Newton sebanyak 200.000 sampai 500.000 kali, pada
saat dicelupkan di air, menunjukkan fraktur mikro dan area kecil kehilangan email pada saat
diperiksa menggunakan scanning elektron pada pembesaran 200x dan 1200x. Bagaimanapun
juga, penelitian ini tidak mencerminkan situasi klinis. Sebagai contoh, meski gigi dijadikan
subjek siklis,beban non-axial, diberikan beban sebelumnya sebesar 20 newton. Menjaga
besaran beban tertentu, berapapun besarannya, batasan nilai dari hasil, yang tidak muncul
secara klinis.
Litonjua et al melakukan penelitian untuk menentukan efek dari gaya axial dan non
axial terhadap permulaan dan perkembanan NCCLs pada gigi yang juga terjadi abrasi karena
menyikat gigi. Mereka menemukan bahwa beban secara axial yang diberikan pada gigi yang
mengalami abrasi, memperlihatkan secara signifikan kehilangan struktur servikal yang lebih
sedikit dibandingkan gigi yang tidak diberikan beban yang menjadi variable kontrol. Beban
non axial gigi yang secara simultan diberikan pada gigi yang mengalami abrasi,
meperlihatkan kehilangan struktur servikal yang sama dengan gigi yang tidak diberikan
beban yang menjadi kontrol. Bagaimanapun juga, penelitian ini memiliki kekurangan.
Contohnya,pada saat gigi yang abrasi diberikan gaya secara simultan, mau tidak mau situasi
terjadi secara klinis. Sebagai tambahan, gigi juga mendapatkan gaya yang statis. Hal ini tidak
merepresentasikan gambaran klinis yang sebenarnya yang mana mendapatkan gaya yang
dinamis. Oleh karena itu, hasil yang didapatkan dari penelitian ini harus diinterpretasikan
dengan hati-hati.
Staninec dan kawan-kawan, menginvestigasi besaran dan lokasi kehilangan struktur
gigi menggunakan pembagian segmen-segmen dari struktur gigi yang akan diberikan beban
mekanis. Meskipun terdapat keterbatasan menggunakan metode ini, mereka menemukan
bahwa terjadi kehilangan stuktur yang sangat besar pada area yang mendapat tekanan yang
besar, mendukung kemungkinan terjadinya abfraksi.
Faktor yang dipertimbangkan pada saat menentukan pembentukan lesi abfraksi adalah
sifat rentan untuk pecah pada bagian servikal. Email servikal menunjukkan kondisi yang
lebih rapuh dibandingkan email oklusal. DEJ pada region servikal kurang baik dalam
membentuk lekukan, sehingga kekuatan pada DEJ dikompromikan. Modulus kekerasan dan
modulus elastisitas dari email juga berkurang sejalan dengan semakin ke DEJ.
Sebagai ringkasan, bukti dari penelitian mengenai abfraksi masih memiliki
keterbatasan. Apa yang ditunjukkan secara eksperimental pada struktur gigi mungkin lebih
lebih tidak kuat jika diberikan tekanan. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang
mencerminkan situasi klinis dari abfraksi.
Lesi abfraksi dan faktor oklusal
Terdapat hubungan yang erat antara aus pada oklusal dengan Lesi Non Karies pada
servikal (NCCLs). Bagaimanapun juga, tidak semua gigi dengan NCCLs memperlihatkan
adanya aus dan tidak semua aus memperlihatkan adanya NCCLs. Seperti yang disampaikan
sebelumnya, studi cross-sectional memeriksa frekuensi gigi yang digerinding pada populasi
orang aborigin Australia yang terindikasi memiliki prevalensi yang tinggi dalam hal gigi yang
digerinding tetapi tidak ada angka kejadian NCCLs.
Satu hal yang perlu diketahui mengenai keterbatasan menggunakan aspek aus sebagai
indikator dari bruxism adalah tidak semua aus berasal dari bruxism – terkait atrisi. Aus juga
dapat berasal dari korosi dan abrasi (contoh : pada pengunyahan substansi yang kasar).
Peneliti sebelumnya sepertinya telah menolak fakta ini, dan, terlebih lagi, hasil penelitian
mereka perlu diinterpretasikan dengan lebih hati- hati. Khan, et al, mencoba untuk
menyelesaikan isu ini dengan menentukan apakah lesi aus oklusal merupakan hasil dari erosi
atau atrisi. Mereka menemukan 96% hubungan antara lesi non karies pada oklusal dan
servikal tidak signifikan secara statistic terhadap hubungan ditemukannya lesi NCCLs bentuk
baji dengan lesi erosi maupun atri pada oklusal. Penelitian lebih lanjut harus
memperhitungkan etiologi yang multifaktorial dari faset aus.
Ketika maloklusi mungkin dipredisposisikan dalam gaya non – axial, telah dilakukan
penelitian mengenai hubungan antara maloklusi dan NCCLs. Hubungan yang erat ditemukan
antara NCCLs dan group function. Piotrowski et al menemukan mengenai 10 gigi yang
kesemuanya mengalami prematur kontak, yang mungkin dipredisposisikan menyebabkan gigi
menjadi berlebihan, beban tidak pada sumbu gigi, terdapat lesi bentuk baji.
Menganalisis oklusi memiliki keterbatasan karena hubungan oklusal yang dicatat
pada saat pemeriksaan dapat saja berubah akibat adanya perkembangan NCCLs . Sebagai
tambahan, bruxism melibatkan clenching dan gigi tergerinding. Clenching tidak
menghasilkan pembentukan faset aus, tapi pada fleksur gigi. Belum ada pembahasan yang
simple dan akurat mengenai clenching. Oleh karenanya Bruxism dipandang sebelah mata jika
aspek aus adalah satu-satunya ukuran yang digunakan dalam aktifitas bruxism.
Manajemen lesi abfraksi
Sebagaimana bukti sebelumnya, sedikit bukti yang mengkonfirmasi bahwa abfraksi adala
fenomena klinis yang nyata. Bagaimanapun juga, berbagai macam strategi managemen untuk
lesi abfraksi telah diusulkan. Beberapa strategi disesuakan untuk lesi abfraksi dan beberapa
yang lain untuk NCCLs.
Monitoring Lesi Abfraksi
Karena abfraksi belum didukung dengan bukti yang cukup, disarankan untuk
memonitor suspek lesi abfraksi pada pasien yang sesuai. Hal ini akan menghindarkan dari
tidak perlunya perawatan, waktu yang berlebih dan mendapatkan sebab yang lebih jelas
(seperti pada abrasi karena menyikat gigi dadn korosi) yang mungkin muncul dengan
sendirinya. Penting untuk melihat usia dari pasien dan memprediksi angka keausan gigi. Aus
bisa dianggap fisiologis pada pasien lanjut usia ketika gigi dipertanyaakan tidak
menyebabkan konsekuensi klinis. Bagaimanapun juga, jika gigi aus diprognosiskan akan
terjadi dalam jangka waktu panjang , maka diperlukan tindakan pencegahan.
Jika lesi abfraksi tidak mengakibatkan dampak atau hanya muncul sebagai tampakan
kedalaman yang dangkal (kurang dari 1mm), lebih baik dilakukan monitor dengan interval
regular (contoh : 6 bulan sekali). Foto intra oral, model studi dan pengukuran dimensi lesi lesi
merupakan pendekatan yang potensial. Bagaimanapun juga, metode ini secara umum berguna
untuk jangka waktu yang panjang, bulanan atau bahkan tahunan.
Metode untuk menetapkan aktifitas lesi abfraksi yang dilakukan dari waktu ke waktu
adalah pemeriksaan awal. Pisau scalpel nomer 12 digunakan untuk menggoreskan secara
superficial pada permukaan gigi. Observasi secara visual akan memberikan laju kehilangan
struktur gigi.
Restorasi lesi abfraksi
Perlu diperhatikan bahwa ketika merestorasi lesi abfraksi, klinisi tidak merawat
etiologinya tetapi lebih pada mengganti jaringan yang hilang. Secara umum, belum ada
panduan spesifik yang diterima pada literature yang mengatakan bahwa lesi abfraksi harus
direstorasi. Pertimbangan yang logis dan baik yang mengharuskan abfraksi untuk direstorasi
adalah adanya dampak klinis (seperti hipersensitifitas dentin). Permintaan estetis pada pasien
juga berpengaruh pada keputusan untuk merestorasi lesi ini. Restorasi servikal berkontribusi
menyebabkan bertambahnya akumulasi plak yang dapat menyebabkan karies dan penyakit
periodontal.
Masalah dalam merestorasi NCCLs adalah sulittnya mengontrol kelembaban,
mendapatkan akses pada tepi subgingiva dan angka kegagalan yang tinggi. Penggunaan
rubber dam, retraksi gingival dan bedah periodontal adalah metode yang bisa digunakan
untuk meretraksi dan mengontrol jaringan periodontal yang nantinya memudahkan untuk
mendapatkan akses dan mengontrol kelembaban. Alasan kegagalan perawatan contohnya
kehilangan retensi, karies sekunder, defek tepi, diskolorasi dan sensitifitas.
Bukti dari literature sebelumnya bahwa tidak ada untuk material logam seperti
amalgam dan emas untuk merestorasi NCCLs. GIC, RM-GIC, GIC/liner atau basis RMGIC
dilapisi dengan Resin Komposit, Resin Komposit yang dikombinasikan dengan bonding agen
merupakan pilihan perawatan.
Tyas merekomendasikan RMGIC menjadi pilihan perawatan yang utama untuk
NCCLs, atau pada kasus yang membutuhkan estetis, digunakan RMGIC/Liner atau basis GIC
dilapisi dengan resin komposit. Vandelwalle dan vigil merekomendasikan Resin Komposit
mikrofilled karena modulus elastisitasnya yang rendah, yang menyesuaikan fleksur gigi dan
tanpa mengorbankan retensi. Bagaimanapun juga, penelitian selama tujuh tahun mendapatkan
hasil statistic yang signifikan berbeda pada angka kegagalan dari tiga Resin Komposit dengan
kekentalan yang berbeda untuk merestorasi NCCLs.
Penyesuaian oklusal (Oklusal adjustment)
Seperti yang dilaporkan mengenai hubungan gangguan oklusal dan lesi abfraksi, dan
arah beban (dipengaruhi inklinasi cusp) dan tegangan tarik yang tidak baik, oklusal
adjustment dianjurkan untuk mencegah hal-hal tersebut dan meminimalisir kegagalan
restorasi servikal. Oklusal adjustment termasuk mengubah inklinasi cusp, mengurangi kontak
yang berat dan menghilangkan kontak prematur. Perangkat yang mahal diakui dapat
membantu klinisi untuk mengadjust oklusal, meskipun demikian manajemen abfraksi musti
dilakukan dengan hati-hati.
Tidak direkomendasikan oklusal adjusmen dilakukan kali ini dalam upaya menagatasi
abfraksi kerena efektifitas dari perawatan masih belum didukung dengan bukti-bukti.
Sehingga, aklusal adjusmen yang kurang baik justru akan menyebabkan munculnya karies,
aus oklusal dan hipersensitifitas dentin.
Oklusal Splint
Oklusal splint, dapat mengurangi bruxism pada malam hari dan direkomendasikan untuk
mengurangi perkembangan lesi abfraksi. Tapi, penggunaan oklusal splint masih
controversial. Beberapa mendukung, beberapa menolak. Oklusal splint dapat berpotensi
mengurangi beban oklusal jika dipasang secara tepat. Tetapi belum ada studi yang
mendukung penggunaanya.
Kesimpulan
Masih diperlukan untuk penelitian lebih lanjut mengenai NCCLs karena masih banyak
controversial dan seringkali menyebabkan bingung. Temuan antropologi, epidemiologi,
teoritis, eksperimental dan klinis menunjukkan bahwa abfraksi masih harus dipertimbangkan
konsep teoritisnya dibandingkan faktor kontribusi dalam pembentukan NCCLs. Jika abfraksi
disuspek menjadi faktor etiologi yang dominan dari NCCLs, maka keputusan untuk
melakukan perawatan destruktif, ireversibel, seperti oklusal adjusmen, harus dilakukan
dengan hati-hati.