Download - TRANSISI Demokrasi Para Ahli Berbeda Pendapat Mengenai Kapan Rentang Transisi Ini Terjadi
TRANSISI DEMOKRASI
TRANSISI demokrasi para ahli berbeda pendapat mengenai kapan rentang transisi ini
terjadi. Pertama, transisi dilihat pasca kejatuhan Soeharto sampai pemilu selanjutnya. Kedua,
transisi ini berlangsung antara kejatuhan Soeharto sampai Pemilu 2004. Tapi dari pembandingan
kita bisa melihat sebuah persamaan: kemunculan masa transisi ini disepakati sejak jatuhnya
pemerintahan Orde Baru.
Transisi ini, oleh beberapa ahli, juga didefinisikan sebagai suatu normalisasi politik pasca
Orde Baru. Orde Baru yang dipimpin sangat lama oleh Presiden Soeharto akhirnya jatuh pada
Mei 1998. Orde yang muncul dari kekacauan dan pembantaian 1965 ini, mulanya memang
nampak gagah dan kuat, dengan pemerintahan sentralistik, memakai konsep dwi-fungsi ABRI,
sistem birokratik yang kuat, dan terfokus pada “stabilitas politik”. Namun bermacam-macam
undang-undang yang dibentuk sebagai upaya ‘deconcentrate’ ke daerah-daerah demi menjamin
persatuan bangsa dan negara, dalam kenyataannya merupakan penyeragaman birokrasi yang
meruntuhkan perbedaan sistem politik lokal dan melakukan kontrol atasnya.
Priyambudi dan Maribeth Erb dalam Regionalism in Post-Soeharto Indonesia, dengan
mengutip Anderson (Language and Power: Exploring political culture in Indonesia, 1990)
mengumpamakan bahwa sentralisasi tersebut mirip dengan basis tradisionalisme Jawa dan
berkarakteristik seperti sorotan sebuah senter, yang mana konsentrasi tinggi cahaya dan kekuatan
terletak di tengah-tengah; dan hal itu menimbulkan ketidakadilan serta tindak amoral. Ada
pemusatan kekuasaan dan kekayaan di sana, dan di tengah-tengah itulah, seperti yang dijelaskan
van Langerberg, anggota keluarga presiden dan kroni-kroninya berada.
Maka Undang-Undang Otonomi Daerah yang diimplementasikan pada Januari 2001
merupakan suatu harapan besar rakyat Indonesia pada era reformasi untuk memperbaiki situasi
politik dan ekonomi, setelah pada era Orde Baru terlihat adanya ketidakadilan dalam pemerataan
pembangunan. Tentu saja, Undang-Undang Otonomi Daerah, yang merupakan representasi dari
desentralisasi, tak melepaskan diri dari sistem demokrasi yang telah diakui dan disetujui sebagai
sistem.
Otonomi daerah, seperti yang dipaparkan Mus Manggut, adalah suatu kesempatan nyata
masyarakat untuk kembali membentuk hidup mereka yang berdasarkan pada sejarah, akar,
keaslian, dan tradisi mereka sendiri.
Dalam pelaksanaannya kemudian memang ada beberapa perspektif dalam melihat
desentralisasi. Profesor Priyambudi menyebutkan bahwa dari perspektif neo-institusional,
desentralisasi mesti memperbolehkan asing untuk masuk ke daerah, seperti Bank Dunia atau
IMF, untuk membantu pembangunan, tertutama daerah-daerah yang masih ‘hijau’ dan
membutuhkan investasi yang besar. Dari sisi neo-marxis, desentralisasi ini menciptakan adanya
kelompok-kelompok. Dalam perspektif political history pemerintah pusat mesti memahami
bahwa daerah memeiliki identitas masing-masing. Dari sisi state society, politik di tingkat lokal
pun mesti ada negosiasi. Local civil society menjadi sangat penting, dan daerah-daerah mesti
bergerak untuk berkembang.
Tapi dari sudut pandang positif itu tersimpan kekhawatiran akan efek kebijakan otonomi
daerah ini, yang secara potensial akan menjadi masalah bila tak ditangani secara baik. Oligarki
kekuasaan yang diakibatkan sentralisasi bisa saja hanya berpindah ke dalam lingkar daerah pada
bupati-bupati dalam pelaksanaan desentralisasi nantinya.
Masalah lain yang patut dipikirkan adalah semangat kedaerahan yang sempit (narrow-
minded regionalism). Tulisan Priyambudi Sulistiyanto dan Maribeth Erb kemudian memasukkan
studi Jamie Davidson yang berjudul Decebtralization and regional violence in the Post-Soeharto
state bahwa semangat kedaerahan yang sempit ini bisa menciptakan kekejaman atau pertikaian
antar etnik yang berbeda seperti yang terjadi di beberapa daerah pasca kejatuhan Soeharto.
Contohnya adalah konflik yang terjadi di Kalimantan Timur antara suku Dayak, Melayu, dan
Madura.
Tapi toh paper Regionalism in Post-Soeharto Indonesia tak kemudian hendak menolak
desentralisasi. Pada akhirnya yang dibutuhkan adalah pengawasan serta prosedur yang lebih jelas
untuk sebuah harapan bahwa demokrasi dan otonomi daerah mampu berkembang dengan pesat
dan baik dalam masa setelah Soeharto.
PELAKSANAAN DEMOKRASI PADA MASA REFORMASI (1998-sekarang)
A. Pelaksanaan Demokrasi Masa Transisi
Masa transisi berlangsung pada saat presiden Soeharto menyatakan berhenti dan
menyerahkan kekuasaannya pada wakil Presiden B.J. Habibie sesuai pasal 8 UUD 1945.
Disebut masa tramsisi karena merupakan masa perpindahan pemerintahan (dari orde baru ke
reformasi). Presiden B.J. Habibie sendiri menyatakan bahwa pemerintahannya adalah
pemerintahan transisional.
Pada masa transisi ini banyak sekali pembangunan dan perkembangan kearah kehidupan
negara demokratis. Beberapa pembangunan ke arah demokrasi, antara lain sebagai
berikut
a. Keluarnya ketetapan-ketetapan MPR RI dalam siding istimewa bulan November 1998
sebagai awal perubahan system demokrasi secara konstitusional
b. Ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah
c. Keluarnya Undang-Undang Politik, yaitu UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai
Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang pemilihan umum, dan UU No. 4 Tahun 1999
tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD
d. Melakukan proses peradilan bagi para pejabat negara dan pejabat lainnya yang
terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme serta penyalahgunaan kekuasaan
e. Adanya jaminan kebebasan pendirian partai politik ataupun organisasi
kemasyarakatan secara luas
f. Pembebasan sejumlah narapidana politik semasa Orde baru
g. Melaksanakan Pemilihan umum 1999 yang bebas dan demokratis dengan diikuti
banyak partai politik
h. Kebebasan pers yang luas termasuk tidak adanya pencabutan SIUPP (Surat Ijin Usaha
Penerbitan Pers)
i. Terbukanya kesempatan yang luas dan bebas untuk warga negara dalam
melaksanakan demokrasi di berbagai bidang
Antara tahun 1998 sampai tahun 1999 dianggap tahun yang penuh dengan gejolak
dan kerusuhan. Beberapa kasus kerusuhan tersebut, antara lain
- Kerusuhan di Aceh
- Kerusuhan dan pertentangan di wilayah Timor Leste
- Konflik di Ambon dan Maluku
Era transisi berakhir dan munculnya kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri pada siding MPR bulan
Oktober 1999. Sejak saat itu Indonesia memasuki masa reformasi.
B. Pelaksanaan Demokrasi Masa Reformasi (1999 - sekarang)
Beberapa tuntutan reformasi diupayakan penyelesaiannya, seperti
- Pengadilan bagi para pejabat negara yang korupsi
- Pemberian prinsip otonomi yang luas kepada daerah otonom
- Pengadilan bagi para pelaku pelanggaran hak asasi manusia
Peningkatan prinsip-prinsip demokrasi yang penting, yaitu jaminan penegakan hak asasi
manusia dengan dikeluarkannya UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pada bulan Juli 2001 melalui Sidang Istimewa MPR, Presiden Abdurrahman Wahid
diberhentikan oleh MPR dan digantikan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri
sebagai Presiden untuk masa bakti 2001-2004 sedangkan Wakil Presidennya Hamzah
Haz. Kepemimpinan ini membentuk Kanibet Gotong Royong. Pelaksanaan demokrasi
yang sangat penting pada masa reformasi ini adalah adanya amandemen terhadap UUD
1945. Amandemen UUD 1945 dimaksudkan untuk mengubah dan memperbarui
konstitusi negara agar sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi.
Proses amandemen terhadap UUD 1945, yaitu
- Amandemen pertama tahun 1999
- Amandemen kedua tahun 2000
- Amandemen ketiga tahun 2001
- Amandemen keempat tahun 2002
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz berakhir pada tahun 2004.
Susilo Bambang Yodoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk masa bakti 2004-2009.