TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH SECARA
BERSAMA-SAMA
(Suatu Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 01/Pid.S/2010/PN.Gs)
SKRIPSI
Disusun Oleh:
HERDIANA MARIA
E1A008227
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus, karena dengan berkat kasih dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Tindak Pidana
Pemilihan Umum Kepala Daerah Secara Bersama-sama (Suatu Tinjauan Yuridis
Putusan Nomor 01/Pid.S/2010/PN.Gs)” tersebut dengan baik.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, maka penulisan skripsi ini tidak akan mendapatkan hasil sesuai yang
diharapkan, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
2. Dr. Kuat Puji P, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis
sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi I , atas kesabaran dan kearifan beliau
dalam membimbing serta memberikan dorongan atau motivasi kepada penulis.
3. Sunaryo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah
memberikan saran, bimbingan serta arahan kepada penulis selama proses
penyelesaian penyusunan skripsi tersebut.
4. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penilai Skripsi, yang telah
memberikan evaluasi dan saran-saran yang luar biasa bagi penulis terkait
dengan penyusunan skripsi demi kemajuan penulis.
5. Haryanto Dwi Atmodjo, S.H., M.Hum., selaku Kepala Bagian Hukum Pidana.
Terima kasih atas semua bantuannya.
v
6. Mukhsinun, S.H., M.Hum, selaku Pembimbing Akademik penulis terima
kasih atas bantuannya.
7. Bakesbangpolinmas, Bappeda Kabupaten Banyumas atas bantuan dan
kerjasamanya.
8. Seluruh Pihak Panwaslu Purwokerto, atas bantuan dalam mencari data-data
terkait.
9. Orang tua serta adik-adik penulis (Bapak Sintong Silaban dan Mama Ani
Mutiara Manalu), Gemilang Dametama Silaban. Hasaran Silaban. Febrianto
Silaban dan Friska Indryani Silaban yang telah memberikan cinta, kasih
sayangnya sebagai orang tua dan adik-adik terkasih, yang memberikan doa
luar biasa dan suntikan-suntikan semangat, nilai-nilai hidup yang sangat
berarti bagi penulis dalam mengarungi hidup ke depan.
10. Keluarga besar Silaban dan Manalu dimanapun berada, Opung Medan dan
Opung Parmonangan, Uda dan Namboru, Tulang dan Tante, serta sepupu
penulis yang selalu memberikan doa. semangat, dan perhatian yang luar biasa.
11. Segenap Keluarga Besar Persekutuan Mahasiswa Kristen Fakultas Hukum
UNSOED yang sudah menjadi keluarga kedua penulis selama di Purwokerto
dan selalu memberi bantuan dalam bentuk apapun.
12. Segenap Keluarga Besar Asian Law Student Association Local Chapter
UNSOED yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan telah memberi
pengalaman dalam berorganisasi.
13. Segenap civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
vi
14. Keluarga besar GKI Martadireja, GKI Gatot Subroto, dan HKBP Purwokerto
beserta para Pendeta, dimana tempat ibadah penulis selama di Purowokerto
terima kasih atas tempat ibadah yang indah serta khotbah dan doa yang selalu
menyemangati penulis.
15. Ibu kosan beserta keluarga yang menjadi orang tua kedua selama di
Purwokerto beserta anak-anak kosan yang lama dan yang baru khususnya
Risa, Nia, dan Nana.
16. Teman sekaligus sahabat, Epoy. Cima, Prisma, Lola, Kusuma, Dian selaku
sahabat SMPN 252, Lidya, Winston, Daniel, Mario, Sando, Irna, dan semua
sahabat di Gereja HKBP Jatiwaringin, Niki, Valent, Wilda, Widya, Pingkan,
Kania, Dini, dan semua sahabat di SMA 54.
17. Nathania Frisca Tampubolon, Rio Willander Sianipar, Hasudungan
Manihuruk, Chandra Simanjuntak, Angelina Butar-butar, Chaterina Yohana
Tambunan, Daniel Vincent Silitonga, Rifki Sembiring yang selalu ada
memberikan amunisi semangat yang luar biasa selama penulis mengerjakan
skrispi di Purwokerto.
18. Hendra Ricardo Saragih yang selalu memberikan semangat dan perhatian
yang luar biasa kepada penulis selama mnegerjakan skripsi serta doa yang
selalu ada untuk penulis.
19. Semua pihak yang turut memberikan kontribusi bagi penulis selama ini, yang
tidak dapat disebutkan satu persatu di sini. Tiada gading yang tak retak,
penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, datangnya saran yang membangun bagi penulis adalah hal yang
vii
senantiasa dinantikan guna penyempurnaan dalam penulisan skripsi tersebut
untuk menjadi lebih baik lagi. Namun demikian, harapan penulis semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.
Purwokerto, 26 Agustus 2013
Herdiana Maria
viii
Motto : what ever happen in my life,
my Jesus knows the best for me !!
Mazmur 126:6 ..”Orang yang
berjalan maju dengan menangis
sambil menabur benih, pasti pulang
dengan sorak-sorak sambil
membawa berkas-berkasnya”..
ix
ABSTRAK
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada)
pada awalnya dilakukan secara tidak langsung melalui perwakilan DPRD
Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sebagai akibat dari perubahan konstelasi
politik dan sosial, maka Pemilukada tidak lagi dilakukan oleh DPRD, akan
tetapi dipilih secara langsung oleh masyarakat. Pemilukada langsung ini
dilakukan sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kasus dan pendekatan perundang-undangan yang bersifat kualitatif dengan
metode yuridis normatif. Pengumpulan data melalui seluruh bahan-bahan
kepustakaan, inventarisasi peraturan perundang-undangan, dan putusan badan
peradilan. Teknik menyajian data disajikan dalam bentuk uraian yang
disusun secara sistematis, rasional, dan logis.
Bahwa terdapat 27 jenis Tindak Pidana Pemilukada dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 yakni Pasal 115 sampai dengan Pasal 119 dan
terjadi penambahan 3 ayat dalam Pasal 115 dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yakni ayat 7, 8, dan 9, sementara
di dalam KUHP terdapat 5 pasal Tindak Pidana Pemilu yaitu Pasal 148, 149,
150, 151, 152, 153, dan bila dibandingkan sanksi pidana Pemilukada dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 Tentang Pemerintahan Daerah lebih berat daripada KUHP.
Pelanggaran Pemilukada di bagi menjadi 3 bagian, yaitu Pelanggaran
Administrasi, Pelanggaran Pidana, dan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
dalam hal ini Pemilukada. Pelanggaran Administrasi dilaporkan kepada
Panwaslu dan diteruskan kepada KPUD, Pelanggaran Pidana diproses dengan
sistem peradilan pidana (Kepolisian, Penuntut Umum, Peradilan) sesuai
dengan KUHAP dengan diawali laporan masyarakat ataupun pasangan calon
kepada panitia pengawas pemilihan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak
laporan diterima, sedangkan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala
Daerah yang semula di tangani Mahkamah Agung di serahkan kepada
Mahkamah Konstitusi.
Kata Kunci : Pemilihan Umum Kepala Daerah, Tindak Pidana Pemilukada,
Penerapan Ketentuan Pidana Pemilukada.
x
ABSTRACT
The regional election and vice ( Elections of Regional Head ) at first
conducted indirectly via representative regional parliaments provincial or
district. As a result of changes in the political and social constellations, the
Elections of Regional Head is no longer be done by the regional parliaments,
but elected directly by the people. This direct Elections of Regional Head is
done since the implementation of the act of Number 32 Year 2004 Jo The Law
Number 12 Year 2004 about local governments.
The research using case and statute approach which are qualitative
with the normative juridicial methods. Collecting data by literature study, an
inventory of legislation, and judiciary decisiens. Data presentation
techniques is presented in the form of descriptions are arranged in a
systematic, rational, and logical.
That there are 27 kind of the criminal act of Elections of Regional
Head in the act of Number 32 Year 2004 namely article 115 up to article 119
and occurring the addition of 3 verse in article 115 in The Law Number 12
Year 2004 about local governments, namely paragraph 7, 8, and 9, while in
the act criminal law there are 5 article a criminal offense elections, namely
article 148 149, 150, 151, 152, 153, and if compared to criminal sanctions
Elections of Regional Head in the act of Number 32 Year 2004 Jo The Law
Number 12 Year 2008 on local governments heavier than the act criminal
law.
The application of a breach of Elections of Regional Head in for into
three parts, that is a breach administration, a criminal offense, and disputes
the result of general elections in this case Elections of Regional Head. The
offense of administration reported to the committee and passed on to regional
election commissions. A criminal offense processed with criminal justice
systems (police, prosecutors, judicial) according to the book of the law of
criminal procedure with initial public reports or candidate couple to
supervision committee elections approximately 7 (seven) day after a report
accepted, while dispute the results of the Elections of Regional Head who was
initially handled by the supreme court now submitted to the constitutional
court.
Keywords : Elections of Regional Head, Criminal act of Elections of
Regional Head, implementation of criminal provisions on Elections of
Regional Head
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii
SURAT PERNYATAAN .................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv
MOTTO .............................................................................................................. viii
ABSTRAK ........................................................................................................... ix
ABSTRACT ......................................................................................................... x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULIAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................................1
B. Perumusan Masalah ........................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 10
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Demokrasi
1. Pengertian Demokrasi .................................................................... 12
2. Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia ..................... 16
B. Pemilu
1. Pemilu Pada Umumnya ................................................................. 25
2. Pengertian Pemilu ......................................................................... 25
3. Asas Pemilihan Umum ................................................................. 28
xii
4. Sistem Pemilihan Umum .............................................................. 31
5. Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ....... 40
C. Tindak Pidana
1. Pengertian Umum Tindak Pidana ................................................. 50
2. Unsur-unsur Tindak Pidana .......................................................... 53
3. Jenis-jenis Tindak Pidana ............................................................. 56
D. Tindak Pidana Pemilukada
1. Pengertian Tindak Pidana Pemilukada ......................................... 60
2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemilukada dalam KUHP ............... 61
3. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemilukada dalam UU No. 32 Tahun
2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah . 66
4. Penyertaan ..................................................................................... 74
5. Bentuk-bentuk Penyertaan ............................................................ 76
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ....................................................................... 77
B. Spesifikasi Penelitian .................................................................... 78
C. Lokasi Penelitian ........................................................................... 79
D. Sumber dan Jenis Bahan Hukum .................................................. 79
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 81
F. Teknik Penyajian Data .................................................................. 82
G. Metode Analisis Data .................................................................... 82
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ............................................................................. 83
xiii
B. Pembahasaan ............................................................................... 110
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ...................................................................................... 139
B. Saran ............................................................................................ 140
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) Amandemen IV yang
menyebutkan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum”, dengan kata
lain konstitusi UUD NRI 1945 telah menempatkan hukum dalam posisi yang
supreme dan menentukan dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan
Indonesia. Prinsip negara hukum dilihat dari aspek pelaksanaan hukum yang
mengandung arti, segala tindakan pemerintah dan tindakan masyarakat harus
selalu sesuai dengan hukum yang berlaku, maka setiap tindak pidana yang
terjadi seharusnya diproses melalui jalur hukum, jadi hukum dipandang
sebagai satu-satunya cara penyelesaian terhadap suatu tindak pidana. Menurut
Moeljatno1 yang merupakan ahli hukum pidanan yang memiliki pandangan
berbeda dengan penulis-penulis lain tentang definisi tindak pidana,
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana hanya mencangkup
perbuatan saja, sebagaimana dikatakannya bahwa, “perbuatan pidana hanya
menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan
1 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), Cetakan II, hal
56, dalam Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Cetakan I, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal 58-59.
2
ancaman dengan pidana kalau dilanggar”. Dalam hal ini terkait adanya asas
legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan pidana
dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan
terjadi”. Dari rumusan tersebut, dapat diartikan bahwa suatu perbuatan baru
dapat dipidana jika :
1. Ada ketentuan pidana tentang perbuatan tersebut yang dirumuskan dalam
undang-undang atau tertulis sebagaimana disebutkan dalam kalimat “atas
ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan”.
2. Dilakukan setelah ada perumusannya dalam peraturan perundang-
undangan sebagaimana tercantum dalam kalimat ketentuan perundang-
undangan sudah ada sebelum perbuatan dilakukan. Dengan perkataan lain
ketentuan pidana tidak berlaku surut.
Eksistensi suatu negara disebut negara hukum tercermin dari beberapa
hal. Konsep negara hukum di Indonesia lebih mendekati konsep hukum
kontinental (rechtsstaat) dibandingkan konsep rule of law di negara-negara
Anglo-Saxon. Ciri-ciri negara hukum (rechstaat) yang terdapat juga di UUD
NRI 1945, yaitu :
a. Adanya jaminan Hak Asasi Manusia;
b. Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara;
c. Pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus
mendasar atas hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis;
d. Adanya kekuasaan Kehakiman yang merdeka.
3
Konsep negara hukum yang berkedaulatan rakyat pada intinya
mengandung dua dimensi, yakni2 :
1. Dimensi kedaulatan hukum yang mengkehendaki seluruh aktivitas
kehidupan ketatanegaraan harus tunduk pada hukum. Hukum harus
menjadi landasan bagi sikap tindak negara (asas legalitas). Hukum
membawahkan negara.
2. Dimensi kedaulatan rakyat yang mengkehendaki rakyatlah yang
memegang kekuasaan tertinggi di dalam negara dan menentukan aturan
main melalui perangkat-perangkat hukum yang ada.
Berdasarkan dua dimensi tersebut di atas kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia selanjutnya disebut NKRI adalah berada ditangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, hal ini terdapat dalam
ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 :
“Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar.”
Negara Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana juga tercermin
dalam UUD NRI 1945, maka dalam penyelenggaraan pemilu yang tercermin
di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 :
“Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
2 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi
Manusia, Cetakan I, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2003, hal 200.
4
Sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, maka rakyat melalui
Pemilihan Umum yang disingkat Pemilu karena Pemilu merupakan salah satu
bentuk dan cara yang paling nyata untuk melaksanakan demokrasi. Jika
demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, maka
cara rakyat untuk menentukan pemerintahan itu dilakukan dengan Pemilu3.
Sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 untuk memilih wakil-
wakilnya yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPRD), juga memilih Presiden dan Wakil Presiden serta
Kepala Daerah Tingkat I (Gubernur dan Wakil Gubernur), Kepala Daerah
Tingkat II (Bupati dan Wakil Bupati), dan Walikotamadya.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan
prinsip demokrasi. Sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, termasuk
Pemilihan Kepala Daerah dipilih secara demokratis. Sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang
selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya disebut PP No. 6
Tahun 2005 telah mengalami perubahan sebanyak 3 kali, yaitu PP No. 25
Tahun 2007 Tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 6 Tahun 2005, dan PP
No. 49 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 6 Tahun 2005.
3 Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, Kata Penghantar Prof. Dr. Moh. Mafud.
MD, S.H., Cetakan I, Konstitusi Press (Konpress), Jakarta, 2012.
5
Peraturan mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati,
Walikota), Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 hanya mengamanatkan bahwa
harus dipilih secara demokratis, sehingga menimbulkan perdebatan apakah
termasuk rezim hukum Pemilu atau bukan. Akan tetapi, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2007 selanjutnya disebut UU No. 22 Tahun 2007
Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah kemudian dikategorikan sebagai Pemilu yang juga harus
diselenggarakan oleh KPU beserta jajarannya (KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota), sehingga disebut Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah (untuk selanjutnya disingkat Pemilukada).
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, diatur
mengenai Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih
secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau gabungan
parpol. Sedangkan didalam perubahan kedua UU No. 32 Tahun 2004, yakni
UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 59 ayat (1)b,
calon Kepala Daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang
didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya
Pemilukada adalah untuk mempercepat konsolidasi demokrasi di Republik
ini.
Pada era reformasi muncul gumpalan aspirasi dan gugatan kuat agar
Pemilu sebagai sarana paling nyata bagi pelaksanaan demokrasi harus
diselenggarakan secara benar-benar langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil. Pada Pemilu tahun 1999 kita boleh bergembira karena berhasil
6
menyelenggarakannya secara relatif fair dan bersih, terutama jika
dibandingkan dengan pemilu-pemilu era Orde Baru. Meskipun harus diakui
pada tingkat panitia pemilihan Indonesia yang diisi dengan orang-orang
parpol itu terjadi kekisruhan dalam penetapan hasil Pemilu, tetapi akal sehat
publik (public common sense) menyatakan bahwa Pemilu tahun 1999 adalah
Pemilu yang terbaik setelah Pemilu yang pertama tahun 1955. Tetapi problem
atau ancaman bagi penyelenggara Pemilu yang membaik itu muncul lagi
sejak Pemilu Legislatif tahun 2004, lalu menguat pada Pemilu tahun 2009,
terutama terkait dengan isi politik uang (money politic) dan gejala
menguatnya oligarki di kalangan partai politik. Problem yang tidak kondusif,
bahkan mengancam demokrasi ini, bisa dilihat dari berbagai kasus yang
dimuat secara telanjang di berbagai media massa dan menjadi kasus sengketa
hasil Pemilu dan Pemilu Kepala Daerah di Mahkamah Konstitusi (MK)4.
Sebanyak 273 perkara masuk ke lembaga pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman
baru ini, dan MK telah menuntaskan tugas konstitusionalnya dengan
memutus seluruh perkara dengan putusan yang bersifat final5. UUD NRI
1945 telah mengalami perubahan mendasar sebanyak empat kali. Dalam
rangka perubahan pertama sampai perubahan keempat UUD NRI 1945,
bangsa kita telah mengadopsikan prinsip-prinsip baru dalam sistem
ketatanegaraan, mulai dari pemisahan kekuasaan dan checks and balances
sampai dengan penyelesaian “konflik politik” melalui jalur hukum. Dalam
4 Loc.Cit.
5 Berita Mahkamah Konstitusi”, edisi khusus, 2004, hal.4.
7
pelaksanaan Pemilukada menurut ketentuan Undang-Undang Pemerintahan
Daerah harus diikuti paling sedikit 2 (dua) pasangan calon Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah. Pada proses pelaksanaan Pemilukada selalu saja terjadi
adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum yang berlaku.
Hal ini dapat kita ketahui melalui media massa cetak (surat kabar) dan
melalui media massa elektronik (televisi).
Sejak Juni 2005, Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (Pemilukada), baik Gubernur, Bupati dan Walikota dilakukan secara
langsung. Pemilukada sebanyak 500-an telah berlangsung secara demokratis
di berbagai daerah. Tetapi tidak sedikit juga diwarnai berbagai kecurangan,
misalkan terjadi praktik politik uang (money politics), intimidasi, konflik dan
kekerasan, Daftar Pemilih Tetap (DPT) bermasalah, mobilisasi Pegawai
Negeri Sipil (PNS), penyalahgunaan jabatan, fasilitas dan anggaran negara
(abuse of power), penggelembungan dan pengurangan suara dan praktik
curang lain. Bahkan, tersangka kasus korupsi dan narapidana pun banyak
terpilih di beberapa daerah. Penegakan hukum atas pelanggaran Pemilukada
masih diwarnai kelemahan dan ketidaktegasan dan belum menyentuh indikasi
korupsi Pemilu yang bermakna lebih luas. Sampai sekarang ini ada kesulitan-
kesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti tertulis guna memprosesnya secara
hukum. Padahal hukum di Indonesia senantiasa menuntut adanya bukti-bukti
tertulis itu untuk dapat mengajukan seseorang ke pengadilan dengan tuduhan
telah melakukan tindak pidana dalam Pemilihan Kepala Daerah.
8
KUHP sebagai hukum umum (lex generalis) maupun dalam undang-
undang yang mengatur secara khusus (lex specialis) tentang Pemilu telah
diatur berbagai tindakan yang dianggap sebagai kejahatan atau Tindak Pidana
Pemilu, yang merupakan perbuatan-perbuatan yang dianggap mengganggu
jalannya Pemilu dan mempengaruhi kemurnian hasil Pemilu sebagai dasar
hukum untuk menindak pelanggaran yang berkaitan dengan Pemilu. Dasar
hukum tersebut dimuat dalam Pasal 148 sampai dengan Pasal 152. Namun
demikian, pembuat undang-undang mempunyai paradigma dan pola pikir
(frame of mind) yang intinya KUHP tidak cukup potensial sebagai jerat untuk
menindak pelaku pelanggaran atau kejahatan dalam rangka Pemilu termasuk
Pemilukada. Tindak pidana dalam Pemilukada juga diatur dalam UU No. 32
Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah; BAB
IV : Penyelenggaraan Pemerintahan; Bagian Kedelapan : Ketentuan Pidana
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; Paragraf Ketujuh :
Ketentuan Pidana Pemilihan Kepala Derah dan Wakil Kepala Daerah; Pasal
115 sampai dengan Pasal 119.
Kemurniaan hasil Pemilu adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan
di dalam negara demokrasi, oleh karena itu untuk menjamin pemilihan umum
yang jujur dan adil yang sangat penting diperlukan perlindungan bagi para
pemilih, bagi setiap pihak yang mengikuti Pemilu maupun bagi rakyat
umumnya dari segala ketakutan, intimidasi, penyuapan, penipuan, dan
berbagai praktik curang lainnya, yang akan mempengaruhi kemurniaan hasil
Pemilu. Jika Pemilu dimenangkan dengan cara-cara curang, sulit dikatakan
9
bahwa yang terpilih merupakan wakil-wakil rakyat. Pemilu sering dijadikan
proyek bisnis yang banyak peminatnya, jika tidak hati-hati akan
menimbulkan konflik yang merugikan jalannya Pemilu itu sendiri dan
mengakibatkan ketidakmurniaan hasil Pemilu.
Untuk melindungi kemurniaan hasil Pemilu yang sangat penting bagi
negara demokrasi, para pembuat undang-undang telah menjadikan sejumlah
perbuatan curang dalam Pemilu sebagai tindak pidana. Dengan demikian,
undang-undang tentang Pemilu di samping mengatur tentang bagaimana
Pemilu itu diselenggarakan juga melarang perbuatan yang dapat
menghancurkan hakikat kebebasan dan keadilan Pemilu itu serta mengancam
pelakunya dengan sanksi pidana.
Tindak pidana dapat dilakukan lebih dari seorang pelaku secara
bersama-sama sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP merumuskan :
“Di pidana sebagai pelaku tindak pidana, mereka yang melakukan
yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan.”
Pelaku tindak pidana paling sedikit 2 (dua) orang, yakni yang
melakukan. Dalam tindakannya keduanya melakukan anasir tindak pidana
itu6.
Namun dalam konsepsi penerapan sanksi pidana Pemilukada tersebut
perlu dikritisi dan dikaji lebih mendalam dan komprehensif tentang
6 R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980, hal 70.
10
penerapan sanksi Tindak Pidana Pemilukada. Hal ini terkait dengan
banyaknya jenis pelanggaran serta kendala di lapangan yang dihadapi oleh
aparat penegak hukum dan masyarakat.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin melakukan
penelitian hukum dengan judul sebagai berikut : “TINDAK PIDANA
PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH SECARA BERSAMA-
SAMA (Suatu Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 01/Pid.S/2010/PN.Gs)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang
masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa batasan tindak pidana dalam Pemilukada ?
2. Bagaimana penerapan ketentuan Tindak Pidana Pemilukada
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah dan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Putusan Nomor
01/Pid.S./2010/PN.Gs ?
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka
penulisan ini mempunyai tujuan yaitu :
1. Untuk mengetahui batasan tindak pidana dalam Pemilukada.
2. Untuk mengetahui kejelasan penerapan ketentuan pidana
Pemilukada berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan
11
Daerah dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Putusan
Nomor 01/Pid.S./2010/PN.Gs.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada
khususnya yang berkaitan dengan batasan tindak pidana dalam Pemilukada
dan ketentuan pidana dalam Pemilukada berdasarkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang
Pemerintahan Daerah dan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini yang diharapkan penulis dari hasil penelitian
tentang batasan tindak pidana dalam Pemilukada dan penerapan ketentuan
pidana dalam Pemilukada berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan
Daerah dan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat
memberikan kontribusi pemikiran kepada penegak hukum sebagai refensi
bagi pihak-pihak berkepentingan.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demokrasi
1. Pengertian Demokrasi
Secara etimologis, istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani,
“demos” berarti rakyat dan “kratos”atau “kratein” berarti kekuasaan. Konsep
dasar demokrasi berarti “rakyat berkuasa” (government of rule by the people).
Demokrasi ialah pemerintahan dimana kekuasaan negara terletak di tangan
sejumlah besar dari rakyat dan menjalankan kekuasan itu untuk kepentingan
“semua orang”. Tapi di sini muncul pula perebutan kursi kedudukan, muncul
pemimpin-pemimpin gadungan, pemimpin-pemimpin palsu yang mengelabui
mata rakyat dengan janji-janji palsunya sehingga negara akan kacau dan
timbulnya anarkis7.
Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang
menggunakannya, sebab dengan demokrasi, hak masyarakat untuk
menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin. Oleh karena itu,
istilah demokrasi selalu memberikan posisi penting bagi rakyat walaupun
secara operasional implikasinnya di berbagai negara tidak selalu sama.
Demokrasi juga sebagai dasar hidup bernegara memberi pengertian bahwa
pada tingkat akhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah
pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan
7 Cakra Arbas, Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada di Provinsi Aceh,
Cetakan I, PT. Sofmedia, Medan, 2012, hal 1.
13
negara, oleh karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat.
Jadi negara demokrasi adalah negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau
atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat8.
Demokrasi yang di idealkan harusnya diletakkan dalam koridor
hukum. Tanpa hukum, demokrasi justru dapat berkembang kearah yang
keliru karena hukum dapat ditafsirkan secara sepihak oleh penguasa atas
nama demokrasi. Oleh karena itu, berkembang konsepsi mengenai demokrasi
yang berdasar atas hukum yang bahasa inggrisnya biasa disebut isitlah
constitusional democracy9.
Perkembangan pengertiannya sendiri dari istilah demokrasi pada
asasnya tidak terjadi perubahan, yaitu sistem pemerintahan di mana dipegang
oleh rakyat atau setidak-tidaknya rakyat diikutsertakan di dalam pembicaraan
masalah-masalah pemerintahan10
. Hendry B. Mayo memberikan definisi
mengenai demokrasi sebagai sistem politik sebagai berikut :
“A democratie political system is one in which public policies are
made on a majority basis, by representative subject to effective
popular control at periode elections which are conducted on the
principle of political equality and under conditions of political
freedom”.
(Sistem politik demokrasi adalah sistem yang menunjukan bahwa
kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil
yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan
berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasaan bolitik)11
.
8 Moh. Mahfud MD, Demokrasi Dan Konstitusi Indonesia, Cetakan II, Rineke
Cipta, Jakarta, 2003, hal 19. 9 Jimly Asshiddieqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar
Grafika, Jakarta, 2011, hal297; 10
Joeniarto, Demokrasi Dan Sistem Pemerintahan Negara, Cetakan III, Bina
Aksara, Jakarta, 1984, hal 32. 11
Hendry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, Oxford University
Press, New York 1960, hal 70 dalam Moh. Mahfud, MD, Op. Cit., hal 19
14
Lebih lanjut, Hendry B. Mayo menyatakan bahwa demokrasi
dinyatakan oleh beberapa nilai, yakni12
:
1) Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga
(institusionalized peaceful settlement of cinflict);
2) Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu
masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in changing society);
3) Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur (orderly
successtion of rullers);
4) Membatasi pemakaian-pemakaian kekerasaan sampai minimum (minimum
of coercion);
5) Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragamaan (diversity)
dalam masyarakat yang tercermin dalam keanekaragaman pendapat,
kepentingan, serta tingkah laku;
6) Menjamin tegaknya keadilan.
Untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi perlu diselenggarakan beberapa
lembaga negara, yakni13
:
a. Pemerintahan yang bertanggung jawab;
b. Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan
dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat dan yang dipilih
12
Hendry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, Oxford University
Press, New York 1960, hal 70 dalam Ni’matul, Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 244. 13
Ibid, hal 245.
15
dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia dan atas sekurang-
kurangnya dua calon untuk setiap kursi;
c. Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai
politik;
d. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat;
e. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan
mempertahankan keadilan.
Demokrasi modern, timbul oleh dan setelah revolusi Perancis pada ide
kedaulatan rakyat dari J.J. Rousseau, struktur ketatanegaraan digariskan
dalam bentuk konstitui, dengan maksud supaya dapat terjamin hak-hak rakyat
dan tidak dilanggar oleh penguasa negara. Demokrasi mempunyai 2 (dua)
pengertian, yaitu14
:
1. Demokrasi dalam arti materil, bahwa inti dari demokrasi itu justru
terletak dalam jaminan yang diberikan terhadap hak-hak yang berdasar
pada pengakuan kemerdekaan tiap-tiap orang yang menjadi warga negara.
2. Demokrasi dalam arti formil, bahwa hanya sekedar mengandung
pengakuan, faktor yang menentukan dalam negara ialah kehendak rakyat,
yang kemudian menjadi sebagian besar dari rakyat, akan tetapi dengan
tidak ada sesuatu pembatasaan untuk menjamin kemerdekaan seseorang.
Pada zaman modern ini, kedua pengertian itu dikombinasikan, yaitu
unsur formil yang ditandai denga adanya sistem pemilihan umum “setengah
14
M. Solly Lubis, dalam Cakra Arbas, Jalan Terjal Calon Independen Pada
Pemilukada di Provinsi Aceh, Op.Cit. hal 15.
16
ditambah satu” dan unsur materilnya yang ditandai dengan keharusan adanya
“fair play” dalam pembentukan kekuasaan dan pimpinan negara.
2. Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu
negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga
negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintahan negara tersebut.
Perkembangan demorkasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Selama
25 tahun berdirinya Republik Indoensia ternyata masalah pokok yang kita
hadapi ialah bagaimana dalam masyarakat yang beraneka ragam pola
budayanya, mempertimbangkan tingkat kehidupan ekonomi di samping
membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi
ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) untuk
diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen)
dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan
independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga
negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip
checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-
lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan
melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang
berwenang menyelenggarakan kekuasaan yudikatif dan lembaga-lembaga
perwakilan rakyat (DPR) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan
17
legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat
atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat
yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan
umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil
penting, misalnya Pemilihan Presiden suatu negara, diperoleh melalui
pemilihan umum, serta Kepala Daerah Tingkat I (Gubernur dan Wakil
Gunbernur), Kepala Daerah Tingkat II (Bupati dan Wakil Bupati), dan
Walikotamadya.
Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh
warga negara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela
mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara
berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya
kedaulatan memilih Presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung,
tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu Pemilihan Presiden atau anggota-
anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai
negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung
Presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walaupun
perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu Pemilu sering dijuluki
pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian
masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem
pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa
18
pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek
daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun
negara.
Didalam praktek kehidupan kenegaraan sejak awal kemerdekaan
hingga saat ini, ternyata paham demokrasi perwakilan yang dijalankan di
Indonesia terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang saling
berbeda satu dengan yang lainnya. Perkembangan demokrasi di Indonesia
dapat dilihat dari pelaksanaan demokrasi yang pernah ada di Indonesia ini.
Dipandang dari sudut perkembangan demorasi sejarah di Indonesia dapat di
bagi dalam empat masa, yaitu15
:
1) Masa Republik Indonesia I (1945-1959): Masa Demokrasi
Konstitusional
Masa demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan peranan
parlementer serta partai-partai yang dikenal dengan sebutan Demokrasi
Parlementer. Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah
kemerdekaan di proklamirkan dan diperkuat dalam UUD 1945 dan 1950,
karena kurang cocok untuk Indonesia.
Saat itu pelaksanaan demokrasi belum berjalan dengan baik. Hal itu
disebabkan masih adanya revolusi fisik awal kemerdekaan masih terdapat
sentralisasi kekuasaan hal itu terlihat Pasal 4 Aturan Peralihan UUD NRI
15
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan II, PT. Ikrar Mandiri Abadi,
Jakarta, 2010, hal 128-135.
19
1945 yang berbunyi, sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD
ini segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dan dibantu oleh KNIP.
Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak adanya anggota-
anggota partai-partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai
konsensus mengenai dasar negara untuk Undang-Undang Dasar baru,
mendiring Ir. Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan Dekrit Presiden
5 Juli yang menentukan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian
masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berlaku.
2) Masa Republik Indonesia II (1959-1965): Masa Demokrasi Terpimpin
Ciri-ciri periode ini ialah dominasi dari Presiden, terbatasnya peranan
partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranaan
ABRI sebagai unsur sosial-politik.
Dekrit Presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk
mencari jalan keluar kemacetan politik melalui kepemimpinan yang kuat.
UUD NRI 1945 membuka kesempatan bagi seorang Presiden untuk bertahan
selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No.
III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup telah
membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (Undang-Undang Dasar
memungkinkan seorang Presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh
Undang-Undang Dasar. Selain itu, banyak lagi tindakan yang menyimpang
dari atau menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar.
Terjadi juga penyelewengan di bidang perundang-undangan dimana pelbagi
tindakan Pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (PenPres)
20
yang memakai Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Ada pula politik
mercusuar di bidang hubungan luar negeri dan ekonomi dalam negeri telah
menyebabkan keadaan ekonomi menjadi bertambah suram. G 30S/PKI telah
mengakhiri periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya masa
Demokrasi Pancasila.
3) Masa Republik Indonesia III (1965-1998): Masa Demokrasi Pancasila
Landasan formal dari periode ini adalah pancasila, UUD 1945, serta
Ketetapan-Ketetapan MPRS. Dalam usaha meluruskan kembali
penyelewengan terhadap UUD yang telah terjadi dalam masa Demokrasi
Terpimpin, telah diadakan sejumlah tindakan korektif. Ketetapan MPRS No.
III/1963 yang menentapkan masa jabatan seumur hidup untuk Ir. Soekarno
telah dibatalkan dan jabatan presiden kembali menjadi jabatan elektif setiap
lima tahun.
Perkembangan lebih lanjut pada masa Republik Indonesia II (yang
disebut sebagai Orde Baru yang menggantikan Orde Lama) menunjukan
peranan Presiden yang semakin besar. Secara lambat laun terciptanya
pemusataan kekuasaan di tangan presiden karena Presiden Soeharto telah
menjelma sebagai seorang tokoh yang paling dominan dalam sistem politik
Indonesia, tidak saja karena jabatannya sebagai Presiden dalam sistem
presidensial, tetapi karena pengaruhnya yang dominan dalam elit politik
Indonesia.
Masa Republik Indonesia III menunjukan keberhasilan dalam
penyelenggaran Pemilu. Pemilu diadakan secara teratur dan
21
berkesinambungan sehingga selama periode tersebut berhasil diadakan enam
kali Pemilu, masing-masing pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan
1997. Dari awal, Orde Baru memang menginginkan adanya Pemilu. Ini
terlihat dari dikeluarkannya undang-undang Pemilu pada tahun 1969, hanya
setahun setelah Presiden Soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden pada
tahun 1967. Hal ini sesuai dengan slogan Orde Baru pada masa awalnya,
yakni melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Keberhasilan Pemerintah Presiden Soeharto untuk menjadikan
Indonesia swasembada berada pada pertengahan dasawarsa 1980-an dan
pembangunan ekonomi pada masa-masa setelah itu ternyata tidak diikuti
dengan kemampuan untuk memberantas korupsi. Korupsi, Kolusi, Nepotisme
(KKN) berkembang dengan pesat seiring dengan keberhasilan pembangunan
ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi malah dianggap sebagai
peluang untuk melakukan KKN yang dilakukan para anggota keluarga dan
kroni penguasa, baik di pusat maupun di daerah.
Akibat dari semua ini adalah semakin menguatnnya kelompok-
kelompok yang menentang Presiden Soeharto dan Orde Baru. Yang menjadi
pelopor para penentang ini adalah para mahasiswa dan pemuda. Gerakan
mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung MPR/DPR di Senayan pada
bulan Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan Presiden Soeharto dan
tumbangnya Orde Baru. Mundurnya Soeharto pada tanggal 20 Mei 1998 dari
kursi Presiden menjadi pertanda dari berakhirnya Masa Republik Indonesia
III yang disusul oleh munculnya Republik Indonesia IV.
22
4) Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang): Masa Reformasi
Tumbangnya Orde Baru membuka peluang terjadinya reformasi
politik dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman Orde Baru mengajarkan
kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa
kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu bangsa
Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses
pendemokrasian sistem politik Indonesia sehingga kebebasan rakyat
terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap
lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR).
Langkah terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah
amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR hasil Pemilu 1999 dalam empat
tahap selama empat tahun (1999-2002). Beberapa perubahan penting
dilakukan terhadap UUD 1945 agar UUD 1945 mampu menghasilkan
pemerintahan yang demokratis. Peranan DPR sebagai lembaga legislatif
diperkuat, semua anggota DPR dipilih dalam Pemilu, pengawasaan terhadap
Presiden lebih diperketat, dan hak asasi manuisa memperoleh jaminan yang
semakin kuat. Amandemen 1945 juga memperkenalkan Pemilihan Umum
untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung (Pilpres). Pilpres
pertama dilakukan pada tahun 2004 setelah Pemilihan Umum untuk lembaga
legislatif.
Langkah demokratisasi berikutnya adalah pemilihan umum untuk
memilih Kepala Daerah secara langsung (Pilkada) yang diatur dalam UU No.
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini
23
mengharuskan semua Kepala Daerah di seluruh Indonesia dipilih melalui
Pilkada mulai pertengahan 2005.
Dapat dikatakan bahwa demokratisasi telah berhasil membentuk
Pemerintah Indonesia yang demokratis karena nilai-nilai demokrasi yang
penting telah diterapkan melalui pelaksanaan peraturan perundangan mulai
dari UUD 1945. Namun dengan adanya perubahan-perubahan tadi, demokrasi
di Indonesia telah mempunyai dasar yang kuat untuk berkemban
Menurut Soehino, dalam representativ democracy terdapar tiga tipe
demokrasi modern, yakni16
:
1. Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang presentatif, dengan
sistem pemisahan kekuasaan secara tegas, atau sistem presidensil.
2. Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang resepentatif,
dengan sistem pemisahaan kekuasaan, tetapi di antara badan-badan yang
diserahi kekuasaan itu, terutama antara badan legislatif dengan badan
eksekutif, ada hubungan yang bersifat timbal balik, dapat saling
mempengaruhi, atau sistem parlementer.
3. Demokrasi, atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif,
dengan sistem pemisahaan kekuasaan, dan dengan kontrol secara langsung
dari rakyat, yang disebut sistem referendum, atau sistem badan rakyat.
Berdasarkan model tidak langsung inilah, maka hubungan demokrasi
dengan sistem pemerintahan negara berkisar kepada hubungan antara badan-
badan perwakilan rakyat dengan badan pemegang kekuasaan eksekutif.
16
Soehino, Ilmu Negara, Cetakan VII, Liberty, Yogyakarta, 2005, hal 243.
24
Menurut R. G. Gettel suatu bentuk pemerintahan disebut demokrasi
apabila memenuhi syarat-syarat demokrasi, antara lain17
:
a. Harus didukung oleh persetujuan umum (general concensus).
b. Hukum yang berlaku dibuat oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih
melalui referendum yang luas atau melalui Pemilu.
c. Kepala Negara dipilih langsung atau tidak langsung melalui
Pemilu, dan bertanggung jawab kepada dewan legislatif.
d. Hak pilih aktif diberikan kepada sejumlah besar rakyat atas dasar
kesederajatan.
e. Jabatan-jabatan pemerintahan harus dapat dipangku oleh segenap
lapisan rakyat.
Ketika syarat-syarat dari demokrasi dihubungkan dengan sistem
pemerintahan di Indonesia, maka ada dua hal yang harus diperhatikan untuk
mengaktualisasikan sistem yang demokratis itu, diantaranya18
:
a. Sistem demokrasi yang telah dikukuhkan melalui amandemen
konstitusi haruslah diikuti dengan moralitas atau semangat untuk
mewujudkannya oleh penyelenggaraan negara
b. Sebagai suatu produk kesepakataan (resultante) yang lahir dari
keadaan dan waktu tertentu, UUD itu tidak boleh ditutup dengan
resultante yang baru.
17
R.G.Gettel, dalam Cakra Arbas, Op.Cit. hal 21. 18
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2011, hal 380.
25
Bersamaan dengan perkembangan pemikiran tentang negara
demokrasi, sejarah pemikiran kenegaraan juga mengembangkan gagasan
mengenai negara hukum yang terkait dengan gagasan kedaulatan hukum.
Dengan demikian Negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis,
keduanya harus melangkah maju kedepan secara seimbang, karena hukum
dan demokrasi merupakan dwi tunggal, demokrasi harus diayomi oleh hukum
agar tidak mengarah ke anarkisme, sedangkan disisi lainnya, hukum harus
didasari oleh demokrasi, agar tidak mengarah ke otoritarisme, atau
absolutisme, atau totalitarisme19
.
B. Pemilu
1. Pemilu Pada Umumnya
Pemilu mempunyai hubungan erat dengan prinsip demokrasi dan
prinsip hukum sebagai prinsip-prinsip sebagai prinsip-prinsip fundamental
yang banyak dipergunakan di negara-negara modern. Pemilu berhubungan
erat dengan demokrasi karena sebenarnya Pemilu merupakan salah satu cara
pelaksanaan demokrasi.
Dalam prinsip negara hukum, melalui pemilihan rakyat dapat memilih
wakil-wakilnya yang berhak membuat produk hukum dan melakukan
pengawasan atau pelaksanaan kehendak-kehendak rakyat yang digariskan
oleh wakil-wakil rakyat tersebut.
2. Pengertian Pemilu
19
Soehino, Hukum Ttata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi di Indonesia,
BPFE, Yogyakarta, 2010, hal 27
26
Bagi negara demokrasi modern, Pemilihan Umum (Pemilu)
merupakan mekanisme utama yang harus ada dalam tahapan penyelenggaraan
negara dan pembentukan pemerintahan. Pemilu dipandang sebagai bentuk
paling nyata dari kedaulatan yang berada di tangan rakyat dalam
penyelenggaran negara. Oleh karen itu, sistem penyelenggaraan Pemilu selalu
menjadi perhatian utama. Hasil Pemilu menjadi dasar pembentukan
kelembagaan negara yang menentukan jalannya pemerintahan lima tahun
berikutnya.
Pengertian Pemilu pun diartikan sebagai sarana utama mewujudkan
demokrasi dalam suatu negara. Substansi Pemilu adalah penyampaian suara
rakyat untuk membentuk lembaga perwakilan dan pemerintahan sebagai
penyelenggaran negara. Suara rakyat diwujudkan dalam bentuk hak pilih,
yaitu hak untuk memilih wakil dari berbagai calon yang ada. Sebagai suatu
hak, hak memilih harus dipenuhi dan sesuai dengan amanat konstitusi. Hal itu
merupakan tanggung jawab negara yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh
KPU sebagai lembaga penyelenggaran Pemilu. Oleh karena itu, dalam
undang-undang Pemilu dinyatakan bahwa pemilih didaftar oleh KPU (Pasal
27 ayat (2) UU 42/2008)20
.
Di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar21
. Sebagai
perwujudan kedaulatan rakyat, maka rakyat melalui Pemilihan Umum
(Pemilu) memilih wakil-wakilnya yang duduk di Dewan Perakilan Rakyat
20
Janedjri M. Gaffar, Op.Cit, hal 5.
21
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sesuai Amandemen IV.
27
(DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), juga memilih
Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah Tingkat I (Gubernur dan
Wakil Gunbernur), Kepala Daerah Tingkat II (Bupati dan Wakil Bupati), dan
Walikotamadya.
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pemilihan Umum diartikan
sebagai22
:
“Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah saran
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Pemilihan umum bertujuan mengimplementasikan kedaulatan rakyat
dan kepentingan rakyat dalam lembaga politik negara. Melalui pemilihan
umum, rakyat mempunyai kesempatan untuk memilih wakil-wakilnya yang
akan duduk dalam lembaga perwakilan. Secara ideal wakil yang duduk di
lembaga perwakilan adalah mereka yang dipilih sendiri oleh rakyat melalui
pemilihan menurut hukum yang adil. Dengan demikian, pemilihan umum
merupakan komponen penting dalam negara demokrasi karena berfungsi
sebagai alat penyaring bagi mereka yang akan mewakili dan membawa suara
rakyat dalam lembaga perwakilan23
.
Perwujudan kedaulatan rakyat yang dimaksud dilaksanakan melalui
Pemilu secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-
22
Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. 23
Moh. Mahfud, MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media,
Yogyakarta, 1999, hal 221-222.
28
wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan,
menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai
landasan bagi semua pihak Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan
dan belanja dalam membiayai pelaksanaan fungsi tersebut.
Menurut Aurell Croissant, dalam prespektif politik sekurang-
kurangnya ada tiga fungsi pemilihan umum, yakni24
:
1) Fungsi Keterwakilan. Fungsi Keterwakilan merupakan urgensi di
negara demokasi baru dalam beberapa Pemilu.
2) Fungsi Integrasi. Fungsi ini menjadi kebutuhan negara yang
mengkonsolidasikan demokrasi.
3) Fungsi Mayoritas. Fungsi Mayoritas merupakan kewajiban bagi
negara yang hendak mempertahankan stabilitas dan
kepemerintahan (governability).
3. Asas Pemilihan Umum
Pemilu diperlukan sebagai salah satu mekanisme mewujudkan prinsip
kedaulatan rakyat. Melalui Pemilu, rakyat tidak hanya memilih orang yang
akan menjadi wakilnya dalam menyelenggarakan negara, tetapi juga memilih
program yang akan menjadi kebijakan negara pada pemerintahan selanjutnya.
Oleh karena itu tujuan Pemilu adalah terpilihnya wakil rakyat dan
terselenggaranya pemerintahan yang sesuai dengan pilihan rakyat. Pemilu
yang tidak mampu mencapai tujuan itu hanya akan menjadi mekanisme
24
Joko J, Prihatmoko, Mendemokratiskan Pemilu Dari Sistem Sampai Elemen
Teknis, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hal 18.
29
pemberian legitimasi bagi pemegang kekuasaan negara. Pemilu demikian
adalah pemilu yang kehilangan roh demokrasi.
Untuk mencapai tujuan itu, Pemilu harus dilaksanakan menurut asas-
asas tertentu. Asas-asas mengikat keseluruhan proses Pemilu dan semua
pihak yang terlibat, baik penyelenggara, peserta, pemilih, bahkan pemerintah.
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adanya pedoman
dalam penyelenggaran Pemilu, yaitu : mandiri, jujur, adil, kepastian hukum,
tertib penyelenggara pemilu, kepentingan umum, keterbukaan,
proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.
Penyelenggaran Pemilu, tentunya memiliki tujuan bagi rakyat,
diantaranya25
:
a. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan
pemerintahan secara tertib dan damai.
b. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan
mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan.
c. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat.
d. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.
Menurut Sukarna pelaksanaan Pemilu harus dilaksanakan secara
bebas. Syarat Pemilu agar berlangsung secara bebas ada sepuluh, yakni26
:
25
Jimly Asshiddiqie, Penghantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, 2012, hal 417. 26
Sukarna, Sistem Politik, Alumi, Bandung, 1981, hal 83.
30
a. Aman. Dalam suatu negara yang tidak aman tidak akan dapat
dilakukan pemilihan umum.
b. Tertib. Suatu pemilihan umum yang tidak berjalan tertib tidak akan
menjamin suatu hasil yang baik.
c. Adil. Suatu pemilihan umum dalam suatu negara demokrasi harus
tetap menjunjung tinggi keadilan yaitu tidak adanya penindasan
dan paksaan.
d. Kemerdekaan Perorangan. Pemilihan umum yang bebas hanya
akan dapat dilakukan apabila setiap orang sebagai warga negara
dilindungi atau dijamin kemerdekaannya oleh undang-undang.
e. Kesejahteraan Masyarakat. Suatu masyarakat yang sejahtera yaitu
bebas dari kemiskinan dan ketakutan akan dapat melakukannya
pilihannya secara bebas tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
dapat menggangu kemerdekannya untuk memilih.
f. Pendidikan. Dalam masyarakat yang warga negaranya sebagian
besar buta huruf akan sukar untuk dijalankan pemilihan umum
secara bebas karena komunikasi dua arah tidak bisa dijalnkan
secara sempurna.
g. Terdapat partai politik dari satu. Pemilihan umum yang bebas
hanya dapat terselenggara apabila dalam negara itu terdapat lebih
dari satu partai politik, sehingga rakyat dapat memilih mana yang
lebih cocok dengan pendiriannya masing-masing.
31
h. Terdapat media pers yang bebas. Pers yang bebas merupakan syarat
alat komunikasi antara pemimpin politik dengan rakyat sehingga
pemimpin politik dapat mengemukakan tujuan dari partainya tadi,
maka rakyat dapat menilai mana yang paling baik untuk pilihannya.
i. Terdapat open management. Suatu pemilihan umum yang bebas
hanya dapat terselenggara apabila negara itu menjalankan open
management yaitu adanya free social support atau dukungan yang
bebas dari masyarakat terhadap pemerintah dan adanya free social
control atau pengawasan yang bebas dari masyarakat terhadap
aparatur pemerintah dan adanya free social responsibility atau
pertanggungjawaban yang bebas dari kebohongan oleh pihak
pemerintah.
j. Terdapat rule of law suatu pemilihan umum yang bebas hanya
dapat dilakukan dalam negara yang menjalankan rule of law yaitu
baik pemerintah maupun rakyat sama-sama tak menjalnkan
undang-undang.
Pengertian dan makna asas-asas Pemilu Indonesia yang sedemikian
kompleks, kalau diterjemahkan lebih singkat, pada hakikatnya dipergunakan
untuk memberikan landasan filosofis bagi seluruh rangkaian proses
penyelenggaran Pemilu.
4. Sistem Pemilihan Umum
Di kebanyakan negara demokrasi, Pemilu dianggap lambang,
sekaligus tolak ukur, dari demokrasi itu. Hasil Pemilu yang diselenggarakan
32
dalam suasana keterbukaan dengan kebebasaan berpendapat dan kebebasan
berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta
aspirasi masyarakat. Sekalipun demikian, disadari bahwa Pemilu tidak
merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran
beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti
partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem Pemilu dengan
berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok,
yaitu27
:
1) Single-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih satu
wakil; biasanya disebut Sistem Distrik).
2) Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih
beberapa wakilnya; biasanya dinamakan Sistem Perwakilan
Berimbang atau Sistem Proporsional).
Dalam sistem distrik, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan)
memilih satu wakil tunggal (single-member constituency) atas dasar pluralitas
(suara terbanyak). Dalam sistem proprosionl, satu wilayah besar (yaitu daerah
pemilihan) memilih beberapa wakil (multi-member constituency). Perbedaan
pokok antara dua sistem ini ialah bahwa cara menghitung perolehan suara
dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen
bagi masing-masing partai politik.
27
Miriam Budiardjo, Op.Cit. hal 461.
33
Sistem distrik merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan
didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya
disebut “distrik” karena kecilnya daerah yang tercakup) memperoleh satu
kursi dalam parlemen. Untuk keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah
besar distrik pemilihan (kecil) yang kira-kira sama jumlah penduduknya.
(Jumlah penduduk distrik berbeda dari satu negara ke negara lain, misalnya di
Inggris jumlah penduduk kira-kira 50.000 di Amerika kira-kira 500.000, dan
di India lebih dari satu juta).
Dalam sistem distrik, satu disitrik menjadi bagian dari suatu wilayah,
satu disitrik hanya berhak atas satu kursi, dan kontestan yang memperoleh
suara terbanyak menjadi pemenang tunggal. Hal ini dinamakan, the first past
the post (FPTP). Pemenang tunggal meraih satu kursi itu. Hal ini terjadi
sekalipun selisih suara dengan partai lain hanya kecil saja. Suara yang tadinya
mendukung kontestan lain dianggap hilang (wasted) dan tidak dapat
membantu partainya untuk menambah jumlah suara partainya di distrik lain.
Dalam sistem proporsional, satu wilayah dianggap sebagai satu kesatuan, dan
dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh
oleh para kontetstan, secara nasional, tanpa menghiraukan distribusi suara itu.
Sistem distrik sering dipakai di negara yang mempunyai sistem dwi-
partai seperti Inggris serta bekas jajahannya seperti India, Malaysia, dan
Amerika. Sistem proporsional sering diselenggarakan dalam negara dengan
banyak partai seperti Belgia, Swedia, Italia, Belanda, dan Indonesia.
Disamping itu, ada ciri khas yang melekat pada sistem distrik, yaitu bahwa
34
pelaksanaan sistem distrik mengakibatkan “distorsi” atau kesengajaan antara
jumlah suara yang diperoleh suatu partai secara nasional dan jumlah kursi
yang diperoleh partai tersebut. Akibat dari distorsi (distortion effect)
menguntungkan partai besar melalui over-representation, dan merugikan
partai kecil karena under-representation. Hal ini disebabkan karena banyak
suara dari partai kecil bisa dinyatakan hilang atau wasted, yaitu lantaran tidak
berhasil menjadi juara pertama di suatu distrik. banyaknya kelompok
minoritas, baik agama maupun etnis28
.
Adapun keuntungan dan kelemahan dalam kedua sistem ini, yaitu29
:
1) Sistem Distrik
- Keuntungan Sistem Distrik
a. Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partaipartai politk
karena kursi yang diperebutkan dalam sistem distrik pemilihan
hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk
menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja
sama, sekurang-kurangnya menjelang Pemilu, antara lain melalui
stembus accord.
b. Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru
dapat dibendung; malahan sistem ini bisa mendorong ke arah
penyederhanaan partai secara alami dan tanpa paksaan.
c. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal
oleh komunitasnya, sehingga hubungan dengan konstituen lebih
28
Ibid, hal 465. 29
Ibid, hal 466-469.
35
erat. Dengan demikian si wakil akan lebih cenderung untuk
memperjuangkan kepentingan distriknya. Lagi pula kedudukannya
terhadap pimpinan partainya akan lebih independen, karena faktor
kepribadian seseorang merupakan faktor penting dalam
kemenangannya dan kemenangan partai. Sekalipun demikian, ia
tidak lepas sama sekali dari disiplin partai, sebab dukungan serta
fasilitas partai diperlukannya lebih baik untuk nominasi maupun
kampanye.
d. Bagi partai besar sistem ini menguntungkan karena melaui
distortion effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain,
sehingga meperoleh kedudukan mayoritas. Dengan demikian partai
pemenang sedikit banyak dapat mengendalikan parlemen.
e. Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan
mayoritas dalam parlemen, sehingga tidak perlu diadakan koalisi
dengan partai lain. Hal ini mendukung stabilitas nsioanl.
f. Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
- Kelemahan Sistem Distrik
a. Sistem ini kurang memperhatikan kepentingan partai-partai kecil
dan golongan minoritas, apalagi jika golongan-golongan ini
terpencar dalam berbagai distrik.
b. Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa partai yang
calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah
mendukungnya. Hal ini berati bahwa ada sejumlah suara yang tidak
36
diperhitungkan sama sekali, atau terbuang sia-sia. Dan jika banyak
partai mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat
mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil
terhadap partai dan golongan yang dirugikan.
c. Sistem distrik ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang
yang hilang atau sehingga menimbulkan anggapan bahwa suatu
kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis
mungkin merupakan prasyarat bagi kesuksesan sistem ini.
d. Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memerhatikan
kepentingan distrik serta warga distriknya, daripada kepentingan
nasional.
2) Sistem Proporsioanal
- Keuntungan Sistem Proporsional
a. Sistem proporionl dianggap representatif, karena jumlah kursi
partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah uara masyarakat yang
diperoleh dalam pemilihan umum.
b. Sistem proporsional dianggap lebih demokratis dalam arti lebih
egalitarian karena praktis tanpa ada distorasi, yaitu kesenjangan
antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen, tanpa suara
atau wasted. Akibatnya, semua golongan dalam masyarakat,
termasuk yang kecil pun, memperoleh peluang untuk menampilkan
wakilnya dalam parlemen. Rasa, keadilan (sense of justice)
masyarakat sedikit banyak terpenuhi.
37
- Kelemahan Sistem Proporsional
a. Sistem ini kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi atau
bekerja sama satu sama lain dari memanfaatkan persamaan-
persamaan yang ada, tetapi sebaliknya, cenderung mempertajam
perbedaan-perbedaan. Sistem ini umunya dianggap berakibat
menambah jumlah partai.
b. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai. Jika timbul konflik
dalam suatu partai, anggotanya cenderung memisahkan diri dan
mendirikan partai baru, dengan perhitungan bahwa ada peluang .
jadi, kurang menggalang kekompakkan dalam tubuh partai.
c. Yang kuat pada pimpinan partai melalui Sistem Daftar karena
pimpinan partai menentukan daftar calon.
d. Wakilnya terpilih kemungkinan renggang ikatannya dengan
konstituennya. Pertama, karena wilayahnya lebih besar (bisa
sebesar provinsi), sehingga sukar untuk dikenal orang banyak.
Kedua, karena peran partai dalam meraih kemenangan lebih besar
ketimbang kepribadian seseorang. Dengan demikian si wakil akan
lebih terdorong untuk memperhatikan kepentingan partai serta
distrik serta warganya.
e. Karena banyaknya partai yang bersaing, sulit bagi suatu partai
untuk meraih mayoritas (50%+satu) dalam parlemen, yang
diperlukan untuk membentuk pemerintahan. Partai yang terbesar
terpaksa berkoalisi dengan beberapa partai lain untuk meperoleh
38
mayoritas. Koalisi semacam ini jika diselenggarakan dalam sistem
parlementer sering tidak lama umurnya, dan hal ini tidak membina
stabilitas politik. Dalam sistem presidensil perubahan dalam
komposisi di parlemen tidak terlalu mempengaruhi masa jabatan
eksekutif. Di Amerika bisa saja Congress mengalami perubahan
dalam komposisinya, sehingga misalnya badan itu dikuasai oleh
Partai Demokrat, tetapi Presiden serta kabinetnya dari Partai
Republik tetap bertahan selama empat tahun.
Menurut pendapat Muh. Nur Sidik mengenai sistem Pemilu yang
berkaitan erat dengan pembangunan politik di Indonesia mengacu pada dua
pokok hal, yaitu30
:
1) Bagaimana mengimplementasikan Demokrasi,
2) Menemukan sistem yang unggul dan handal dalam melaksanakan
Pemilu di Indonesia yang cocok dengan masyarakat majemuk atau
pluralitas di Indonesia.
Penerapan sistem Pemilu dalam setiap Pemilu di mana saja menurut
Sukarna, sangat dipengahruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut31
:
a. Social culture (education of the people);
b. The position of political party;
c. Press an public opinion;
d. The law of general of election;
30
Muh.Nur Sidik, Jurnal Ilmiah Hukum Legality, Vol 13 Nomor 2, Fakultas Hukum
UMM, hal 249. 31
Sukarna, Op.Cit. hal 88.
39
e. The rule of armed forces in politics;
f. The man of position;
g. Order;
h. Security;
i. Social economy.
Sistem Pemilu berbeda-beda tergantung dari sudut mana pandangan
ditujukan kepada rakyat. Salah satu fungsi utama Pemilu dalam negara
demokratis tidak lain adalah dalam menetukan kepemimpinan nasional secara
konstitusional maka diperlukannya penyempurnaan sistem Pemilu yang
terkait dengan sistem kepartaian serta sistem penyelenggaraan Pemilu.
Konsilidasi dan penyempurnaan lain yang diperlukan dalam Pemilu
mendatang adalah masalah pelanggaran Pemilu. Hal ini amat menentukan
terwujud tidaknya asas luber dan jurdil dalam Pemilu. Selama ini yang
dianggap sebagai pelanggaran Pemilu masih cenderung bersifat formal
sehingga tidak dapat menjangkau tindakan-tindakan yang melanggar etika
dan fatsoen politik. Selain itu mekanisme dan kelembagaan yang menangani
pelanggaran Pemilu juga belum mencukupi sehingga hanya sedikit
pelanggaran yang dapat ditindak baik karena alasan pembuktian maupun
rentang waktu yang diberikan.
Jika melihat perkara-perkara perselisihan hasil Pemilu berujung di
MK, penanganan-penanganan ini menjadi sangat penting sebagai bagian dari
konsolidasi sistem Pemilu. Banyak pelanggaran Pemilu sebelum masuk ke
MK, terlihat tidak diproses secara hukum dan tidak mendapatkan sanksi.
40
Akibatnya pelanggaran tersebut dianggap sebagai kewajaran dan pada
akhirnya mempengaruhi hasil Pemilu. Padahal, hasil yang lahir dari proses
yang penuh pelanggaran tentu telah mencedera kedaulatan rakyat dan asas
Pemilu yang jujur dan adil32
.
5. Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah adalah
pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah. Pilkada masuk dalam rezim
Pemilu setelah disahkannya UU No. 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum sehingga sampai saat ini Pemilu Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah lebih dikenal dengan istilah Pemilukada33
yang secara langsung.
Penerapan sistem pemilihan langsung merupakan hasil dari
amandemen dalam UUD NRI 1945, yang menghasilkan perubahan pada
Pasal 1 ayat (2), yaitu perubahan tentang “teori kedaulatan rakyat”. Makna
Pasal 1 ayat (2) menjelaskan tentang “kedaulatan rakyat”, yang semula
dipegang oleh MPR, berubah menjadi kedaulatan menurut UUD NRI 1945.
Perubahan asas kedaulatan rakyat berdasarkan UUD NRI 1945, yang
merupakan konsekuensi logis dari amandemen UUD NRI 1945. Hal ini
tentunya berpengaruh pula pada sistem pemilihan umum, khususnya
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah dan
32
Janedjri M.Gaffar, Op.Cit. hal 43. 33
Hal ini sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan
Pemillihan Umum. Pada Pasal 1 ayat (4) yang berbunyi :Pemilu Kepala Daerah adalah Pemilu
untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945”.
41
Wakil Kepala Daerah dengan sistem pemilihan langsung. Diadopsinya sistem
pemilihan langsung tersebut, maka secara tidak langsung, akan berimplikasi
pada perubahan-perubahan konsepsi atau sistem hukum ketatanegaraan di
republik ini, pasca amandemen tersebut.
Pemilukada diperkenalkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
melalui UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Sistem
Pemilukada dalam undang-undang tersebut di tengah perjalanannya dirasakan
masih belum benar-benar demokratis karena yang boleh mengajukan
pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hanyalah partai
politik atau gabungan partai politik, sementara calon
perseorangan/independent tidak dimungkinkan mengikuti Pemilihan Kepala
Daerah. Oleh karena itu maka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 005/PPU-V/2007 kemudian diberikan ruang atau peluang kepada
calon pasangan perseorangan untuk maju di dalam Pemilihan Kepala Daerah.
Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian
dilakukan perubahan terhadap Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 melalui UU
No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Terhadap UU No. 32 Tahun
2004 yang telah disahkan oleh DPR pada rapat paripurna tanggal 2 April
2008. UU No. 12 Tahun 2008 mengatur mekanisme dan tata cara pengajuan
pasangan calon perseorangan dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia.
Dalam UUD NRI 1945 BAB VIIB tentang Pemilu, memang tidak
pernah menyebut mengenai pemilukada. Pada Pasal 22E ayat (2) yang
berbunyi “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
42
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Namun demikian, pengaturan
Pemilukada seharusnya didasarkan atas pemahaman adanya kaitan antara
pasal-pasal dalam UUD NRI 1945. Selain itu secara materil, Pemilu langsung
memang tidak berbeda dengan Pemilukada baik dari segi substansi maupun
peyelenggaraannya.
Menurut Ramlan Surbakti34
bahwa secara substansial maupun
tahapan pelaksanaannya, Pemilukada merupakan Pemilu, dengan argumentasi
:
a. Pengaturan tentang Pemilukada dalam UU No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah tersebut disusun berdasarkan
ketentuan Pasal 22E ayat (1) mengenai asas Pemilu, dan hampir
seluruhnya sama dengan pengaturan Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
b. Ketika pembuat undang-undang menjabarkan ketentuan Pasal 18
ayat (4), pada dasarnya melakukan interprestasi dengan merujuk
pada ketentuan yang terkandung pada pasal-pasal lain dalam UUD
NRI 1945, khususnya Pasal 6A, yaitu Presiden dan Wakil Presiden
dipilih langsung oleh rakyat.
Dilihat dari ciri-ciri dapat disimpulkan bahwa Pemilukada merupakan
kegiatan Pemilu, hal ini berdasarkan35
:
34
Ramlan Surbakti, Dalam Titik Triwulan Tutik Pemilihan Kepala Daera
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2994 Dalam Sistem Pemilu UUD 1945, Prestasi
Pustaka Pelajar, Jakarta, 2005, hal 10.
43
1. Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil. Dari sudut asas yang digunakan dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah tersebut, adalah asas Pemilu
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Dilihat dari sisi penyelenggaraannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 57
ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 bahwa Pemilihan Umum Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah diselenggarakan oleh KPUD yang
bertanggungjawab kepada DPRD, adalah penyelenggara Pemilu di
Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4
UU No. 12 Tahun 2003.
3. Dilihat dari sisi yang berhak mengikuti Pemilihan Umum Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 68 UU No. 32
Tahun 2004 bahwa warga negara Republik Indonesia yang pada hari
pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
sudah berumur 17 tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak
memilih, juga merupakan pemilih dari Pemilu baik Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 12
35
Petikan Putusan MK. No. 072-073/PUU-II/2004, hal 71.
44
Tahun 2003. Berbeda dengan Pemilihan Kepala Daerah dipilih oleh
anggota DPRD.
4. Pembuat undang-undang menggunakan standar ganda dalam
menerjemahkan Pasal 18 ayat (4), yang termasuk domain Pemerintah
Daerah (Pasal 18) bukan hanya Kepala Daerah dan Wakil Daerah tetapi
juga DPRD pembuat undang-undang melakukan penafsiran untuk Pasal 18
ayat (4).
5. Tetapi dengan sengaja tidak melakukan penafsiran terhadap ketentuan
Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945.
Menelaah esensi dari Pemilukada merupakan Pemilu, sehingga secara
prosedural dan substansial merupakan manifestasi dari prinsip demokrasi dan
penegakan kedaulatan, maka Pemilukada sebagaimana Pemilu lainnya berhak
untuk mendapatkan pengaturan khusus, sebagaimana dapat mencapai derajat
akuntabilitas, serta kualitas demokratisnya dapar terpenuhi dengan baik.
Pemilukada merupakan suatu instrumen penting bagi demokratisasi dilevel
lokal atau daerah yang menjadi pilar bagi demokrasi di tingkat nasional.
Makna pemilihan langsung itu sekurang-kurangnya merupakan
jawaban yang efektif untuk sejumlah perkara yang melekat pada pemilihan
dengan sistem perwaklian (indirect democracy), yaitu menekan kultur,
mengurangi money politic, mengubah orientasi dari elitis menjadi populis,
serta memperkaya basis rekruitmen para pemimpin. Hal ini terpokok juga
adalah bahwa dengan memilih secara langsung Bupati dan Walikota, maka
kedaulatan rakyat tidak lagi simbolik. Pilihan Kepala Daerah sebelumnya
45
yang terjadi adalah DPRD mengatasnamakan rakyat, pemegang kedaulatan
rakyat di wilayahnya, tetapi semuanya itu hanyalah simbolik. Simbolik,
dalam kenyataan hampir tidak ada hubungan antara DPRD dan rakyat yang
mewakili itu semakin menjadi-jadi pada era sistem perwakilan. Padahal inilah
era yang mestinya semakin memerlukan kebesaran elit partai untuk kian
dekat di hati dan pikiran konstituennya.
Menurut Taufiqurrahman Syahuri36
rumusan “dipilih secara
demokratis” dalam ketentuan Pemilukada juga mempertimbangkan
pelaksanaan Pemilukada di daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa
sebagaimana yang dimaksud Pasal 18B ayat (1) UUD NRI 1945, yang
berbunyi “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang”.
Menurut Suharizal37
maksud dan tujuan pembentukan Pasal 18 ayat
(4) UUD NRI 1945 yang mengatur bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota
dipilih secara demokratis adalah tidak harus sama dan dapat juga
dilaksanakan dengan pemilihan yang dilakukan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden. Maka pengertian dipilih secara demokratis dapat ditafsirkan sama
dengan tata cara pemilihan yang dilakukan terhadap yang dilakukan terhadap
Presiden dan Wakil Presiden seperti tercantum dalam BAB VII B tentang
Pemilihan Umum pada Pasal 22E UUD NRI 1945.
36
Taufiqurahman Syahuri, “Anatomi Putusan MK RI tentang Pemilukada”. Seminar
Putusan MK Pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, hal 6. 37
Suharizal, Pemilukada: Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal 28.
46
Menurut I.B.G Suryatmaja M38
, beberapa pertimbangan yang
melandasi Pemilukada secara langsung adalah :
a. Sistem pemerintahan menurut UUD NRI 1945 memberikan
keleluasaan Kepala Daerah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah.
b. Dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah, dipandang perlu
untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi.
c. Dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan,
pemerataan, kesejahteraan masyarakat, hubungan yang serasi
antara Pemerintah pusat dan daerah serta antar daerah untuk
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka
kedudukan Kepala Daerah mempunyai peran yang sangat strategis.
Penyelenggaraan Pemilukada secara langsung juga dipandang dapat
memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di Indonesia,
alasan mengenai hal ini, yaitu39
:
a) Partisipasi politik. Dalam Pemilukada langsung rakyat akan terlibat
secara langsung dalam menentukan siapa yang layak menjadi
pelayan (pejabat publik) mereka.
b) Kompetisi politik lokal. Pemilukada langsung membuka ruang
untuk berkompetisi (seharusnya) secara fair dan adil diantara para
kontestan yang ada.
38
I.B.G Suryatmaja M, “Pemilihan Kepala Daerah Langsung”. Artikel dalam
Rountable Discussion, Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah, Jakarta, 2003, hal 25. 39
Suharizal, Op.Cit, hal 180.
47
c) Legitimasi politik. Berbeda dengan cara Pemilukada yang tidak
langsung (melalui DPRD), Pemilukada langsung akan memberikan
legitimsi yang kuat bagi kepemimpinan Kepala Daerah yang
terpilih.
d) Minimalisi manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang
mendorong penyelenggaraan Pemilukada secara langsung adalah
maraknya berbagai kasus money politics dan berbagai bentuk
kecurangan lainnya.
e) Akuntabilitas. Dalam Pemilukada langsung, akuntabilitas Kepala
Daerah menjadi sangat penting karena apabila rakyat sebagai
pemilih menilai bahwa Kepala Daerah yang terpilih ternyata tidak
dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara baik dan bertanggung
jawab, maka rakyat akan memberikan sanksi pada pemilukada
berikutnya (berupa tidak memilih kembali).
Pemilukada langsung pada awalnya memang disambut pro dan kontra.
Selain adanya harapan akan penguatan demokrasi di tingkat lokal, muncul
pula resistensi dari berbagai pihak dengan argumen, sebagai berikut40
:
(a) Adanya anggapan bahwa sistem Pemilukada langsung akan
melemahkan kedudukan DPRD.
(b) Sistem Pemilukada langsung akan menelan biaya yang sangat
besar, karena tidak sedikit anggaran daerah (APBD) akan
dikonsentrasikan pada KPUD di tiap tingkatan.
40
J. Kaloh Su, Demokrasi dan Kearifan Lokal pada Pemilukada Langsung, Kata
Hasta Pustaka, Jakarta, 2008, hal 78.
48
(c) Akan munculnya “persaingan khusus” antara calon independen
dan calon dari partai politik (kader partai).
(d) Adanya pandangan bahwa masyarakat belum siap untuk
melaksanakan Pemilukada langsung.
Pemilu membawa pengaruh besar terhadap sistem politik suatu
negara. Melalui Pemilu masyarakat berkesempatan berpartisipasi dengan
memunculkan para calon-calon tersebut. Pada hakikatnya Pemilu,
mempunyai esensi yang sama. Pemilihan umum, berarti rakyat melakukan
kegiatan memilih orang tahu sekelompok orang menjadi pemimpin rakyat,
sehingga pemimpin yang dipilih tersebut akan menjalankan kehendak rakyat.
Konsep Pemilihan Kepala Daerah yang telah diterapkan, tentunya
dalam proses regulasi masih memiliki beberapa kelemahan, diantaranya41
:
a) Pencalonan. Dengan melalui 3 (tiga) jalur, yaitu partai atau
gabungan partai, partai non-kursi, dan calon independen
(perseorangan), menimbulkan persoalan disamping calon sangat
banyak pembengkakan anggaran.
b) Pemungutan dan perhitungan suara. Belum adanya singkronisasi
berbagai peraturan terkait dengan Pemilukada. Misalkan mengenai
Pemilukada masih menggunakan pencoblosan, sementara Pemilu
legislatif dan Presiden menggunakan mencontreng.
c) Penetapan calon terpilih. Model putaran kedua, bahwa calon harus
meraih suara minimal 30% maka dilaksanakan putaran kedua
41
Notulensi, “Pemilukada: Kini dan Masa Mendatang”, Kesimpulan pada Seminar
Evaluasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Kepaniteraan Sekretariat Mahkamah Konstitusi, Jakrta,
2012, hal 311.
49
dengan suara terbanyak, tidak hanya memboroskan uang negara,
tetapi menambahkan agenda politik dan menimbulkan ketegangan
politik baru, serta adanya kejenuhan Pemilih dalam memberikan
hak suaranya.
d) Pelaporan dana kampanye. Pelaporan dana kampanye belum diatur
dengan jelas, sehingga pelaporan hanya prosedur belaka,
ketidakjelasan ini akan menimbulkan pasangan calon mencari dana
dari sumber-sumber yang kurang dapat dipertanggungjawabkan.
Masyarakat awam sering memahami Pemilu sebagai hari H
pemungutan suara. Padahal, pemungutan suara hanyalah salah satu rangkaian
dari tahapan pemilu yang cukup banyak. Mengacu kepada UU No. 32 Tahun
2004 Pasal 65 ayat (1) mekanisme tahapan pelaksanaan Pemilukada terdiri
dari masa persiapan dan tahap pelaksanaan, yaitu42
:
a) Masa persiapan sebagaimana tercantum pada Pasal 65 ayat (2)
meliputi :
- pemberitahuan DPRD kepada Kepala Daerah mengenal
berakhirnya masa jabatan;
- pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya
masa jabatan Kepala Daerah;
- perencanaan penyelenggaraan;
- pembentukan PANWA, PPK, PPS, dan KPPS;
- pemberitahuan dan pemdaftaraan pemantau;
42
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
50
b) Tahap pelaksanaan Pemilukada sebagaimana tercantum pada Pasal
65 ayat (3) meliputi :
- penetapan daftar pemilih;
- pendaftaran dan penerapan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah;
- kampanye;
- pemungutan suara;
- perhitungan suara;
- penetapan pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
terpilih, pengesahan dan pelantikan.
Pasal 65 ayat (1) dan (2) di atas yang mengatur mekanisme tahapan
Pemilukada merupakan aturan dasar secara umum yang menggambarkan
langkah-langkah pelaksanaan Pemilukada langsung.
C. Tindak Pidana
1. Pengertian Umum Tindak Pidana
Berbicara tentang hukum pidana tidak terlepas dari masalah pokok
yang menjadi titik perhatiannya. Masalah pokok dalah hukum pidan tersebut
meliputi masalah tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan, dan pidana, serta
korban43
.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak diberikan
definisi terhadap istilah tindak pidana atau starfbaar feit. Karenanya, para
43
Usfah Moch Najih dan Togat, Penghantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang,
2004, hal 32.
51
penulis hukum pidana telah memberikan pendapat mereka masing-masing
untuk menjelaskan tentang arti dari istilah tersebut.
Perkataan feit itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari
suatu kenyataan atau een geldelte van de werkelijhid sedang starfbaar feit
dapat diterjemahkan sebagai bagian dari suatu kenyataan yang dapat
dihukum, yang barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak kita akan
mengetahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia
sebagai pribadi dan bukan kenyataan perbuatan atau tindakan44
.
Secara doktrinal, di antara para hukum tidak terjadi kesatuan pendapat
tentang pengertian dan unsur-unsur pidana, sebagian ahli hukum menganut
pandangan monistis yang tidak memisahkan antara criminal act dan criminal
responsibility. Dan sebagian yang lain menganut pandangan dualistis yang
memisahkan criminal act dan criminal responsibility45
.
Pendapat sarjana yang berpandangan monistis antara lain :
a. Menurut Simon, starfbaarfeit itu sebagi suatu tindakan melanggar hukum
yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atau tindakan yang oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum46
.
b. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti suatu perbuatan
yang pelakunya dapat dikenakan pidana.
44
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990,
hal 172. 45
Usfah Moch Najih dan Togat, Op.cit, hal 34-35. 46
Lamintang, Op.cit, hal 176.
52
c. Profesor van Hattum berpendapat bahwa sesuatu tindakan itu tidak dapat
dipisahkan dari orang yang telah melakukan tindak tersebut. Menurut
beliau, perkataan “starfbaar” itu berarti mempunyai arti sebagai “pantas
untuk dihukum”, sehingga perkataan starfbaarfeit seperti yang telah
digunakan oleh pembentuk undang-undang di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana itu secara “eliptis” haruslah diartikan sebagai
suatu “tindakan”, yang karena telah melakukan tindakan semacam itu
membuat seseorang menjadi dapat dihukum47
.
Pendapat sarjana yang menganut pandangan dualistis adalah “
a. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam
dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut48
.
b. Menurut W.P.J. Pompe, starfbaarfeit adalah tindak lain daripada feit,
yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang. Menurut teori
starfbaarfeit itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum,
dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana49
.
c. Sedangkan menurut Soedarto, tindak pidana yang memenuhi syarat-syarat
tertentu, dilakukan oleh orang yang memungkinkan adanya pemberian
pidana50
.
Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa tindak pidana merupakan
suatu ketentuan hukum pidana (strafbepaling) di situ dirumuskan sebagai
47
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan II, Sinar Grafika, Jakarta, 2007,
hal 1. 48
Usfah Moch Najih dan Togat, Op.cit, hal 35. 49
Soedarto, Penghantar Kuliah Hukum Pidana Jilid IA-IB, Fakultas Hukum
UNSOED, Purwokerto, 2001, hal 40-41. 50
Loc.Cit.
53
perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu tanpa merumuskan wujud
dari perbuatan itu, maka tindak pidana itu merupakan pengertian tindak
pidana materil. Apabila tindak pidana yang dimaksudkan, dirumuskan
sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh
perbuatan itu, maka merupakan tindak pidana formal.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Dalam mengemukakan apa yang merupakan unsur-unsur tindak
pidana. Umumnya dikemukakan terlebih dahulu pembedaan dasar antara
unsur (bagian) perbuatan dan unsur (bagian) kesalahan (pertanggungjawaban
pidana). Unsur (bagian) perbuatan ini sering disebut unsur (bagian) Objektif
sedangkan unsur (bagian) kesalahan sering juga disebut unsur (bagian)
Subjektif.
Menurut Lamintang yang dimaksud unsur-unsur Subyektif itu adalah
unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan
diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur-unsur
Obyektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-
keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si
pelaku itu harus dilakukan51
.
Masih menurut Lamintang, unsur-unsur Subyektif dari sesuatu tindak
pidana itu adalah52
:
51
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan III, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 193. 52
Ibid, hal 194.
54
a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
b) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti
yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
c) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
misalnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain;
d) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte read seperti yang
misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal
340 KUHP;
e) Perasan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur Obyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah53
:
a) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
b) Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seseorang
pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415
KUHP atau “keadaan sebagai penggurus atau komisaris dari suatu
Perseroan Terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
c) Kasualitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Di antara para pakar hukum tidak terjadi kesamaan pendapat
mengenai unsur-unsur tindak pidana. Sebagai pakar hukum yang menganut
pandangan monistis dan sebagian lain menganut pandangan dualistis.
53
Loc.Cit.
55
a. Simons
Unsur-unsur starfbaarfeit54
:
1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat
atau membiarkan);
2. Diancam dengan pidana (starfbaarfeit);
3. Melawan hukum (onrechmatig);
4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verbaanstand)
5. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsuatbaar
person).
Simons menyebutkan adanya unsur Obyektif dan unsur Subyektif dari
Starfbaarfeit.
Unsur Subyektif dari Starfbaarfeit adalah :
1. Perbuatan orang;
2. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
3. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti
dalam Pasal 28 KUHP sifat “openbaar” atau di muka umum.
Unsur Obyektif dari Starfbaarfeit adalah :
1. Orang yang mampu bertanggungjawab.
2. Adanya kesalahan (dolus dan culpa) perbuatan harus dilakukan
dengan kesalahan.
b. Van Hamel
Unsur-unsur Starfbaarfeit adalah55
:
54
Soedarto, Op.Cit. hal 37.
56
1. Perbuatan manusia dirumuskan dalam undang-undang;
2. Bersifat melawan hukum;
3. Dilakukan dengan kesalahan;
4. Patut dipidana.
Pendapat sarjana hukum yang menganut pandangan dualistis antara
lain :
a. Moeljatno
Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur56
:
1. Perbuatan (manusia);
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan
syarat formil), dan;
3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil).
b. Soedarto
Unsur-unsur tindak pidana adalah57
:
1. Perbuatan
a. Memenuhi urusan undang-undang;
b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar).
2. Orang
a. Mampu bertanggungjawab;
b. Dolus atau Culpa (tidak ada alasan pemaaf).
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana
55
Loc.Cit. 56
Ibid, hal 39. 57
Ibid, hal 45.
57
Pembagian dewasa ini yang kita kenal sebagai pembagian di dalam
tindakan-tindakan yang oleh para pembentuk dari KUHP kita telah disebut
sebagai kejahatan-kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran-pelanggaran
(overtredingen). Menurut van Hamel, pembagian tindak pidana menjadi
tindak pidana “kejahatan” dan tindak pidana “pelanggaran” itu telah
mendapat pengaruh dari pembagian tindak pidana yang disebut
“rechtsdelicten” dan “wetsdelicten”. Yang dimaksud dengan
“rechtsdelicten” adalah delik-delik yang terdapat sejumlah tindakan-tindakan
yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya memandang
bahwa pelaku-pelakunya itu memang pantas untuk dihukum, walaupun
tindakan-tindakan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak
dinyatakan sebagai yang terlarang didalam undang-undang, karena delik-
delik semacam itu adalah bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis.
Sedangkan yang dimaksud dengan “wetsdelicten” itu adalah delik-delik yang
memperoleh sifatnya sebagai tindakan-tindakan yang dipantas untuk
dihukum, oleh karena dinyatakan demikian di dalam peraturan-peraturan
perundang-undangan58
.
Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut dalam
KUHP buku kedua memuat delik-delik yang disebut kejahatan, dan dalam
buku ketiga delik-delik yang disebut pelanggaran59
. Pembagian delik pidana
menjadi kejahatan dan pelanggaran bukan hanya merupakan dasar bagi
58
Ibid, hal 210. 59
Soedarto, Op.Cit, hal 50.
58
pembagian KUHP menjadi buku kedua dan buku ketiga melainkan juga
merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana sebagai keseluruhan60
.
Percobaan melakukan kejahatan merupakan tindak pidana, untuk
pelanggaran pada umumnya bukan merupakan tindak pidana. Membantu
kejahatan merupakan tindak pidana sedangan membantu melakukan
pelanggaran bukan merupakan tindak pidana. Dan tindak pidana yang
mungkin dimuat dalam peraturan legislatif di daerah otonom semuanya
masuk pelanggaran61
.
Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana selanjutnya masih terdapat
sejumlah pembagian-pembagian lainnya dari tindak pidana sebagai berikut :
1) Delik Formal dan Delik Materiil (Delik dengan perumusan secara formil
dan dengan perumusan secara materiil)62
a. Delik formal atau delik dengan perumusan formal adalah delik yang
dianggap telah selesai (voltooid) dengan dilakukannya suatu
perbuatan yang dilarang.
b. Delik materiil atau delik dengan perumusan materiil adalah delik baru
dianggap selesai (vooltoid) dengan timbulnya akibat yang dliarang.
2) Delik commissionis, delik ommnissionis dan delik commissionis per
ommissionis commisa63
60
Lamintang, Op.Cit, hal 211. 61
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam : Penegakan syariat Dalam
Wacana dan Agenda, Asy Syamil, Gema Insani, Jakarta, 2000, hal 42. 62
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, Cetakan I, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal 75-76. 63
Soedarto, Op.Cit, hal 51.
59
a. Delik commissionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap
larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan,
penipuan.
b. Delik ommissionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap
pemerintah, misal yang terdapat dalam Pasal 522 KUHP.
c. Delik commissions per ommnissionis commisa: delik yang berupa
pelanggaran larangan (dua delik commissionis ), akan tetapi dilakukan
dengan cara tidak berbuat. Misal yang terdapat dalam Pasal 338 dan
340 KUHP.
3) Delik dolus dan delik culpa64
a. Delik dolus: delik yang memuat semua unsur kesengajaan, misal
Pasal 187, 197 KUHP.
b. Delik culpa: delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur,
misal Pasal 195, 201 KUHP.
4) Delik Tunggal dan delik berganda65
a. Delik tunggal: delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
b. Delik berganda: delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan
beberapa kali perbuatan, misal Pasal 481 KUHP.
5) Delik aduan dan bukan delik aduan66
Delik aduan: delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada
pengaduan dari pihak yang terkena, misal Pasal 284 KUHP.
64
Ibid, hal 52.
65
Loc.Cit. 66
Frans Maramis, Op.Cit, hal 76.
60
Delik aduan dibedakan menurut sifatnya :
- Delik aduan absolut adalah delik yang dalam semua keadaan
merupakan delik aduan.
- Delik aduan yang relatif adalah delik yang dalam keadaan tertentu
merupakan delik aduan, sedangakan biasanya bukan merupakan
delik aduan.
6) Delik sederhana dan delik yang ada pembenarannya67
a. Delik sederhana: misal penganiayaan (Pasal 351 KUHP)
b. Delik yang ada pembenarannya: misal penganiayaan yang
menyebabkan luka berat atau matinya orang (Pasal 351 ayat 2,3
KUHP)
7) Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi)68
Tindak pidana ekonomi terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Darurat
Nomor 7 Tahun 1995 tentang tindak pidana ekonomi.
8) Kejahatan ringan69
Dalam KUHP ada kejahatan-kejahatan ringan: Pasal 302 (1), 315, 352,
364, 373, 375, 482.
D. Tindak Pidana Pemilukada
1. Pengertian Tindak Pidana Pemilu
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia yang
merupakan peninggalan Belanda telah dimuat lima pasal yang substansinya
67
Soedarto, Op.Cit, hal 53. 68
Loc.Cit. 69
Ibid.
61
adalah Tindak Pidana Pemilu tanpa menyebutkan sama sekali apa yang
dimaksud Tindak Pidana Pemilu70
. Pembentuk KUHP kita tidak memberikan
suatu penjelasaan tentang apa yang dimaksud Tindak Pidana Pemilu,
sehingga di dalam doktrin menimbulkan berbagai pendapat tentang apa yang
dimaksud Tindak Pidana Pemilu. Sintong Silaban71
misalnya ketika
memberi pengertian Tindak Pidana Pemilu, ia menguraikan apa yang
dimaksud dengan tindak pidana secara umum kemudian menerapkannya
dalam kaitannya dengan Pemilu.
Menurut Djoko Prakoso72
menguraikan bahwa pengertian Tindak
Pidana Pemilu dengan :
“Setiap orang, badan hukum, mengacaukan, menghalang-halangi atau
menggangu jalannya pemilihan umum yang diselenggarakan menurut
undang-undang.”
Sedangkan menurut Topo Santoso73
memberikan pengertian Tindak
Pidana Pemilu, yakni :
“Semua tindak pidana yang berkaitan dengan peyelenggaraan Pemilu
yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu maupun di dalam Undang-
Undang Tindak Pidana Pemilu.”
UU No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
terdapat juga istilah Tindak Pidana Pemilu dalam Pasal 29, 31, 74, 76, 78, 80,
70
Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal
1. 71
Sintong Silaban, Tindak Pidana Pemilu Suatu Tinjauan Dalam Rangka
Mewujudkan Pelaksanaan Pemilu Yang Jujur Dan Adil, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992, hal
48-53. 72
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilu, Cetakan I, CV. Rajawali, Jakarta, 1987,
hal 148. 73
Topo Santoso, Op.Cit, hal 5.
62
82, 84, 99, dan Pasal 102. Namun tidak ada satupun pasal yang memberikan
definisi apa itu Tindak Pidana Pemilu.
Berbeda dengan KUHP pelanggaran dalam KUHP menggunakan
hukum acara singkat dan kejahatan dalam KUHP dengan hukum acara biasa.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemilu dalam KUHP
KUHP tidak memberikan definisi atas berbagai tindak pidana itu,
sedangkan pengertiannya akan diketahui dari rumusan unsur-unsur tindak
pidana. Dengan demikian, pengertian Tindak Pidana Pemilu di dalam KUHP
dapat dilihat dari rumusan unsur-unsur dari pasal-pasal yang mengaturnya.
Menurut Wirjono Prodjodikoro tidak kurang dari lima pasal dari
titel IV ini mengenai tindak-tindak pidana yang ada hubungan dengan suatu
Pemilu yang diadakan berdasar atas undang-undang74
. Lima pasal yang
terdapat dalam Bab IV Buku Kedua KUHP mengenai tindak pidana
“Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan”, adalah Pasal
148, 149, 150, 151, dan 152 KUHP75
.
Perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut pasal-pasal tersebut
adalah sebagai berikut :
1) Merintangi Orang Menjalankan Haknya dalam memilih
Pasal 148 KUHP menyatakan:
“Barangsiapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan
umum, dengan kekerasan atau ancaman kekerasaan dengan sengaja
merintangi seseorang memakai hak pilihnya dengan bebas dan tidak
74
Wirjono Prodjodikoro, Tindak –Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Cetakan I,
Refika Aditama, Bandung, 2003, hal 215. 75
Topo Santoso, Op.Cit, hal 11.
63
terganggu, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan.”
Tindak pidana menghalangi orang lain mempergunakan hak pilihnya
dalam suatu pemilihan dengan bebas dan secara tidak terganggu yang diatur
dalam Pasal 148 KUHP itu terdiri dari unur-unsur sebagai berikut76
:
a. Unsur subjektif : opzettelijk, artinya dengan sengaja.
b. Unsur objektif :
1. Pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan sesuatu peraturan
umum;
2. Dengan kekerasaan atau dengan ancaman kekerasaan;
3. Menghalangi atau merintangi seseorang;
4. Mempergunakan hak pilihnya dengan bebas dan secara tidak
terganggu.
2) Penyuapan
Pasal 149 KUHP menyatakan:
(1) Barangsiapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-
aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap
seseorang supaya tidak memakai hak pilihnya, atau supaya memakai
hak itu menuruti cara yang tertentu, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah;
(2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima
pemberian atau janji, mau disuap supaya memakai atau tidak memakai
haknya seperti di atas.
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 149 KUHP itu hanya terdiri
dari unsur-unsur objektif, masing-masing yakni77
:
76
Lamintang, Delik-Delik Khusus: Kejahatan-Kejahatan Terhadap Kepentingan
Hukum Negara,Cetakan I, Sinar Baru, Bandung, 1987, hal 344.
64
1. Pada waktu diselenggarakan pemilihan berdasarkan sesuatu
peraturan umum;
2. Menyuap orang lain dengan pemberian atau janji;
3. Agar orang lain tersebut tidak mempergunakan hak pilihnya atau
agar ia mempergunakan hak pilihnya dengan cara tertentu.
3) Perbuatan Tipu Muslihat
Pasal 150 KUHP menyatakan:
“Barangsiapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan
umum, melakukan tipu muslihat sehingga suara seorang pemilih menjadi
tidak berharga atau menyebabkan orang lain daripada yang dimaksud oleh
pemilih itu menjadi terpilih, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan.”
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 150 KUHP tersebut di atas
hanya terdiri dari unsur-unsur objektif, masing-masing yakni78
:
1. Pada waktu diselenggarakan pemilihan berdasarkan suatu peraturan
umum;
2. Melakukan sesuatu tindakan yang sifatnya menipu;
3. Hingga suara seorang pemilih menjadi tidak sah atau;
4. Hingga orang lain daripada yang dimaksudkan oleh pemilih
menjadi terpilih.
4) Mengaku Sebagai Orang Lain
Pasal 151 KUHP menyatakan:
“Barangsiapa dengan sengaja memakai nama orang lain untuk ikut dalam
pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan.”
77
Ibid, hal 357. 78
Ibid, hal 373.
65
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 151 KUHP tersebut di atas
terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut79
:
a. Unsur subjektif : opzettelijk atau dengan sengaja
b. Unsur objektif :
1. Mengakui dirinya sebagai orang lain
2. Turut serta dalam suatu pemilihan yang diadakan berdasarkan
suatu peraturan umum.
5) Menggagalkan Pemungutan Suara yang Telah Dilakukan atau
Melakukan Tipu Muslihat
Pasal 152 KUHP menyatakan:
“Barangsiapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan
umum dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara yang telah
diadakan atau melakukan tipu muslihat yang menyebabkan putusan
pemungutan suara itu lain dari yang seharusnya diperoleh berdasarkan
kartu-kartu pemungutan suara yang masuk secara sah atau berdasarkan
suara-suara yang dikeluarkan secara sah, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun.”
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 152 KUHP tersebut terdiri dari
unsur-unsur sebagai berikut80
:
a. Unsur subjektif : opzettelijk atau dengan sengaja
b. Unsur-unsur objektif :
1. Pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan
umum;
2. Menggagalkan pemungutan suara yang telah diadakan;
79
Ibid, hal 377. 80
Ibid, hal 382.
66
3. Melakukan sesuatu tindakan yang bersifat menipu;
4. Yang menyebabkan putusan pemungutan suara itu lain;
5. Lain dari yang seharusnya diperoleh berdasarkan kartu-kartu
pemungutan suara yang masuk secara sah atau berdasarkan
suara-suara yang dikeluarkan secara sah.
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemilukada dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 Jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008
Tentang Pemerintahan Daerah
Permasalahan yang muncul adalah adanya berbagai macam tindak
pidana yang dilakukan yang merebak diberbagai daerah dalam memilih
seorang Kepala Daerah. Sampai sekarang pun kesulitan untuk mendapatkan
bukti-bukti tertulis guna memprosesnya secara hukum.
Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Pemilukada adalah
serangkaian tindak pidana yang diatur secara khusus dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilukada.
Tindak pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tidak
selalu berupa tindak pidana baru yang belum pernah diatur dalam peraturan
perundang-undangan lain. Beberapa Tindak Pidana Pemilukada merupakan
tindak pidana yang sebelumnya telah diatur dalam KUHP, seperti
memalsukan surat (Pasal 263), money politic (Pasal 149), dan sebagainnya.
Di luar tindak pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang Pemilukada masih terdapat berbagai tindak pidana yang
dapat terjadi di dalam atau yang berhubungan dengan penyelenggaraan
67
Pemilukada. Tindak pidana tersebut bisa dilakukan oleh masyarakat pada
umumnya atau oleh peserta Pemilu atau oleh penyelenggara Pemilu.
Bila mengacu pada ketentuan yang diatur dalam UU No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah, maka masalah-masalah hukum yang ada
dan diatur ini hampir sama dengan yang diatur dalam Pemilu yaitu terdiri atas
pertama Tindak Pidana Pemilukada. Tindak Pidana Pemilukada ini adalah
pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam undang-undang yang
diancam dengan sanksi pidana. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 diatur dalam
Pasal 115 sampai dengan Pasal 119 dimana pasal-pasal tersebut ancaman
pidananya paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 3 (tiga) tahun
serta penjatuhan denda paling sedikit Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) tergantung dari
tindakan pelanggaran yang dilakukan.
Kedua pelanggaran administrasi Pemilukada. Pelanggaran ini
merupakan perbuatan melanggar ketentuan peraturan perundangan yang tidak
diancam dengan sanksi pidana, khususnya pelanggaran terhadap ketentuan,
persyaratan, kewajiban, perintah dan larangan. Ketiga perselisihan
administrasi Pemilukada. Dimana perselisihan ini terjadi karena adanya
keputusan atau tindakan penyelenggara Pemilu yang dianggap merugikan
pihak tertentu, dalam hal ini adalah warga negara (yang mempunyai hak
memilih dan dipilih), partai politik pengusul, bakal calon Kepala Daerah, dan
calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, yang terjadi dalam tahapan-
tahapan Pemilukada. Dan keempat perselisihan hasil Pemilu. Suatu
68
perselisihan yang ditimbulkan oleh keputusan penyelenggara Pemilu tentang
hasil Pemilu yang dianggap merugikan pihak tertentu, dalam hal ini calon
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang terjadi pada tahapan
penetapan hasil Pemilukada, sebagaimana diatur dalam Pasal 106 UU No. 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah hanya
terdapat 27 bentuk perbuatan yang digolongkan tindak pidana, setelah
lahirnya UU No. 12 Tahun 2008, bentuk perbuatan yang digolongkan
kedalam tindak pidana pada Pemilukada pun telah bertambah 3 bentuk.
Sehingga perbuatan yang di golongkan kedalam Tindak Pidana Pemilukada
inipun bertambah menjadi 30. Dalam UU No. 12 Tahun 2008 tentang
perubahan kedua UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pada
Pasal 1 angka 14 yang mengubah Pasal 115, terjadi perubahan tentang
pemidanaan. Ancaman pidana penjara dan denda pada Pasal 115 yang telah
diubah, juga terjadi penambahan. Sehingga pasal ini mengandung ancaman
pidana yang sangat berat bagi seseorang, anggota PPS, anggota PPK, anggota
KPU kabupaten/kota, dan anggota KPU Provinsi yang melakukan perbuatan
pada Pasal 115 ini. Adapun rumusan Tindak Pidana Pemilukada yang
terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang
Pemerintahan Daerah, antara lain :
1) Sebelum Pemilukada
- Tahap Pemutakhiran Data dalam Penyusuan Daftar Pemilih Tetap
Pasal 115 menyatakan:
69
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak
benar mengenai diri sendiri atau orang lain tentang suatu hal yang
diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 12 (dua belas)
bulan dan denda paling sedikit Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah) dan
paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah)
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan
hak pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya tersebut
mengadukan diancam pidana penjara paling singkat 12 (dua belas)
bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling
sedikit Rp 12.000.000.- (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp
24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah)
(3) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat menurut suatu
aturan dalam undang-undang ini diperlukan untuk menjalanakan suatu
perbuatan dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain
sebagai seolah-olah surat sah atau tidak dipalsukan, diancam dengan
pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling
lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp
36.000.000.- (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp
72.000.000.- (tujuh puluh dua juta rupiah)
(4) Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa surat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau dipalsukan,
menggunakan, atau menyuruh orang lain menggunakan sebagai surat
yang sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga
puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan
denda paling sedikit Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah)
dan paling banyak Rp 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah)
(5) Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan
yang ada padanya saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi
seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan Kepala
Daerah menurut undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara
paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh
enam) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,- (dua belas juta
rupiah) dan paling banyak Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta
rupiah)
(6) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak
benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang
sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi
pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, diancam dengan
pidana penjara paling singkat 36 (tiga pulu enam) bulan dan paling
lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp
70
36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah) dan paling banyak Rp
72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah)
(7) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar
atau menggunakan identitas diri palsu untuk mendukung bakal
pasangan calon perseorangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, diancam dengan
pidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36
(tiga puluh enam) bulan dan denda minimal Rp 12.000.000,- (dua
belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam
juta rupiah)
(8) Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU kabupaten/kota, dan
anggota KPU provinsi yang dengan sengaja memalsukan daftar
dukungan terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini, diancan denga pidana penjara paling singkat 36
(tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan
dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta
rupiah) dan paling banyak Rp 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta
rupiah)
(9) Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU kabupaten/kota, dan
anggota KPU provinsi yang dengan sengaja tidak melakukan
verifikasi dan rekapitulasi terhadap calon perseorangan sebagaimana
diatur dalam undang-undang ini, diancam denga pidana penjara paling
singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh
dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam
juta rupiah) dan pling banyak Rp 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta).”
- Tahap Masa Kampanye Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pasal 116 menyatakan:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar
jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPUD untuk masing-masing
pasangan calon, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2),
diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari
atau paling lama 30 (tiga puluh) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 1.000.000,-
(satu juta rupiah)
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan
pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf
a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f, diancam dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18
(delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000,-
71
(enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp 6.000.000,- (enam juta
rupiah)
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan
pelaksanaan kampanye Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i, dan
huruf j dan Pasal 78 huruf g, huruf l, huruf j, dan Pasal 79 ayat (1),
ayat (3) dan ayat (4), diancam dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda minimal
Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 1.000.000,-
(satu juta rupiah)
(4) Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan
negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 1(satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan
dan/atau denda minimal Rp 600.000,- (enam ratus ribu rupiah) atau
paling banyak Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah)
(5) Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau
mengganggu jalannya kampanye, diancam dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau
denda minimal Rp 600.000,- (enam ratus ribu rupiah) atau paling
banyak Rp 6.000.000,- (enam juta rupiah)
(6) Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi
batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3),
diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) atau paling banyak Rp
1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah)
(7) Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana
kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1), dan/atau tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2), diancam
dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama
24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
(8) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak
benar dalam laporan dana kampanye sebagaimana diwajibkan oleh
undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
72
paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
2) Saat Pemilukada : Tahap Pemungutan dan Perhitungan Suara
Pasal 117 menyatakan:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan
melakukan haknya untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau
paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
(2) Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang
atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak
pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan
hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi
tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan
dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
1.000.000,- (satu juta rupiah) atau paling banyak Rp 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah)
(3) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja
mengaku dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan
paling lama 60 (enam puluh) hari dan/atau denda paling sedikit Rp
100.000,- (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000,- (satu
juta rupiah)
(4) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja
memberikan suaranya lebih dari satu kali atau lebih TPS, diancam
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4
(empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000,- (dua ratus
ribu rupiah) dan paling banyak Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah)
(5) Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutaan suara,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling singkat Rp
1.000.000,- (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000
(sepuluh juta rupiah)
(6) Seorang majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan
kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan
alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, diancam
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama
73
12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,-
(satu juta rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah)
(7) Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara
mendampingi seorang pemilih selain yang diatur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diancam dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) bulan dan paling banyak 12 (dua belas) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
(8) Setiap orang yang bertugas membantu pemilih sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dengan sengaja memberitahukan
pilihan si pemilih kepada orang lain, diancam dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan
paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
Pasal 118 menyatakan:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang
menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau
meyebabkan pasangan calon tertentu mendapat tambahan suara atau
perolehan suara suaranya berkurang, diancam dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan paling
banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
(2) Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau atau menghilangkan
hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan
paling banyak Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah)
(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau
hilangnya hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam
dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling
lama 2 (dua) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000,-
(seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000,- (satu juta
rupiah)
(4) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil perhitungan suara
dan/atau berita acara dan sertifikat hasil perhitungan suara, diancam
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000,- (seratus ribu
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)
74
Pasal 119 menyatakan :
“Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau
pasangan calon, ancaman pidananya 1/3 (sepertiga) dari pidana yang
diatur dalam Pasal 115, 116, 117, dan 119.
3) Sesudah Pemilukada
Penetapan pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
terpilih, pengesahan, dan pelantikan. Setelah selesai tahap tersebut diharapkan
Kepala Daerah dan atau/Wakil Kepala Daerah dapat melakukan tugas dan
wewenang serta kewajibannya sebagai Kepala Daerah dan atau/Wakil Kepala
Daerah. Dalam masa jabatannya tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang, yaitu :
Pasal 30 menyatakan:
(1) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan
sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila
dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan
putusan pengadilan.
(2) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan oleh
Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 31 menyatakan:
(1) Kepala Daerah dan/atau wakil Kepala Daerah diberhentikan
sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa
melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar,
dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.
(2) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan oleh
Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena terbukti melakukan
makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
75
4. Penyertaan
Penyertaan dalam suatu delik atau tindak pidana mengacu pada
peserta yang melakukan tindak pidana yang jumlahnya lebih dari satu orang.
Penyertaaan memaparkan lebih lanjut siapa-siapa saja yang termasuk
pembuat dan pembantu dan tindak pidana tersebut, yaitu unsur dari
penyertaan sebagai berikut81
:
a. Unsur – unsur penyertaan
- Unsur pelaku (pleger)
Orang yang melakukan (plegen) atau pelaku (pleger) adalah orang yang
perbuatannya mencocoki semua unsur dari suatu rumusan tindak
pidana. Mengenai pelaku (pleger) sukar menentukannya karena
undang-undang tidak menentukan secara pasti siapa yang menjadi
pembuat;
- Unsur orang yang menyuruh melakukan (doen plegen)
Peserta yang pertama-tama disebutkan oleh Pasal 55 KUHP setelah
pelaku ialah orang yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen).
Bentuk menyuruh melakukan ini terjadi, apabila orang yang disuruh
tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu. Dengan
demikian pada doen plegen (menyuruh melakukan) ada dua pihak;
- Unsur orang yang turut melakukan perbuatan (medeplegen)
81
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cetakan VII, PT.
Refika Aditama, Bandung, 2002, hal 109-120.
76
Turut serta melakukan, yaitu seorang pembuat turut serta mengambil
prakarsa dengan berunding dengan orang lain dan sesuai dengan
perundingan itu mereka bersama-sama melakukan delik;
- Unsur orang menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan (uitlokken)
Ada perbuatan “uitlokken”(menganjurkan, membujuk) apabila si
“uitlokker” (penganjur, pembujuk) mengguakan upaya-upaya yang
telah disebutkan dalam Pasal 56 ayat (1) butir 2 KUHP. Hal ini
merupakan salah satu pembela antara bentuk menyuruh melakukan
(doen plegen) dan menganjurkan melakukan (uitlikken).
5. Bentuk-bentuk penyertaan
Dilihat dari uraian diatas tentang unsur-unsur penyertaan maka dapat
disebutkan bentuk-bentuk penyertaan menurut KUHP Indonesia ialah82
:
a. Pembuat/dader (Pasal 55 KUHP) yang terdiri dari :
1. Pembuat (pleger);
2. Yang menyuruh melakukan (doen plegen);
3. Yang turut serta melakukan (medeplegen);
4. Penganjur (uitlokker).
b. Pembantu kejahatan/medeplichtige (Pasal 56 KUHP) yang terdiri dari
:
1. Pembantu pada saat kejahatan dilakukan;
2. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan.
82
Frans Maramis, Op.Cit. hal 214-215.
77
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang
menggunakan konsepsi legis positivistis. yang memandang hukum identik
dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau
pejabat negara yang berwenang. Selain konsepsi ini juga meninjau hukum
sebagai suatu sistem normatif mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari
kehidupan masyarakat yang nyata83
.
Nama lain penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
doktrinal juga disebut penelitian perpustakaan atau studi dokumen84
.
Penelitian normatif lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat
sekunder yang ada di perpustakaan. Menurut Peter Mahmud Marzuki
penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum
maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.
Penelitian dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru
sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi85
.
83
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990, hal 97. 84
Bambang Wahyu, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafik, Jakarat, 1991,
hal 31. 85
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2009, hal 35.
78
Penelitian ini menggunakan metode pendekataan kasus (case
approach) yaitu penelitian yang menggunakan contoh kasus untuk
mendapatkan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang dibahas, dan
pendekataan perundang-undangan (statute approach) yaitu dengan mengkaji
peraturan perundang-undangan yang relevan dengan masalah yang dibahas86
.
Kasus yang diangkat dalam penelitian ini adalah Tindak Pidana
Pemilukada di Gresik pada tahun 2010. Sedangkan peraturan perundang-
undangan yang digunakan adalah KUHP, UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No.
12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah, dan peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan Tindak Pidana Pemilukada.
Penggunaan metode yuridis normatif dengan pendekataan tersebut
diajukan untuk mengkaji, menilai, dan menganalisis kasus yang terjadi dalam
hal ini mengetahui batasan tindak pidana dalam Pemilukada, dan mengetahui
penerapan ketentuan Tindak Pidana Pemilukada. Permasalahan tersebut
kemudian dikomparasikan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang mengatur hal terkait. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
apakah proses tersebut telah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dipakai adalah deskriptif analisis, yaitu
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan
dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang
86
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media,
Malang, hal 308.
79
menyangkut permasalahan di atas87
. Analisis dilakukan dalam rangka untuk
memecahkan permasalahan yang ada dengan menggambarkan apa yang
menjadi masalah (deskripsi), menjelaskan masalah (eksplanasi), mengkaji
permasalahan dari bahan-bahan hukum yang terkait (evaluasi) dan
memberikan argumentasi dari hasil evaluasi tersebut, sehingga didapat
kesimpulan mengenai persoalan Tindak Pidana Pemilukada di Gresik pada
Tahun 2010.
Melalui penelitian ini penulis mencoba mencari gambaran mengenai
batasan tindak pidana dalam Pemilukada dan penerapan ketentuan Tindak
Pidana Pemilukada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto, Unit Pelaksana
Teknis Perpustakaan UNSOED, Panwaslu Purwokerto.
D. Sumber dan Jenis Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai bahan penelitian,
karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Data sekunder yang
digunakan berupa bahan primer yaitu :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas
atau mengikat88
. Bahan hukum primer terdiri dari Peraturan Perundang-
87
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit..hal 97-98. 88
Ibid, hal 11.
80
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan
peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim89
. Penelitian ini
menggunakan bahan hukum primer berupa :
1. Amandemen ke IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana;
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konsitusi;
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004;
6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaran
Pemilihan Umum (PEMILU);
7. UU No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan,
Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang dimiliki
hubungan erat dengan bahan hukum primer yang digunakan untuk
89
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit. hal 141.
81
menganalisis dan memahami bahan hukum primer90
. Bahan hukum sekunder
yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku teks maupun
dokumen-dokumen resmi yang berhubungan dengan objek penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang menunjang penelitan
bahan hukum tersier terdiri dari91
:
a) Bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang biasanya disebut dengan
bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum,
misalnya abstrak perundang-undangan, biliografi hukum, direktori
pengadilan, ensiklopedia hukum, kamus hukum, atau indeks
majalah hukum.
b) Bahan-bahan primer, sekunder, dan penunjang di luar bidang
hukum.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk penelitian ini adalah
dengan cara mengumpulkan seluruh bahan-bahan kepustakaan baik bahan
hukum primer, sekunder, maupun tersier yang diperoleh dari lokasi penelitian
untuk selanjutnya dilakukan pengklasifikasian dan pencatatan mengenai hal-
hal yang dianggap penting dan berguna bagi penelitian yang dilakukan untuk
kemudian dilakukan pengkajian secara menyeluruh. Pengklasifikasian dan
90
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit. hal 12. 91
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Peneltian Hukum Normatif (suatu Kajian
Singkat), Rajawali, Jakarta, 1990, hal 41.
82
pencatatan dalam penelitian ini disusun berdasarkan topik yang sesuai dengan
permasalahan yang akan dibahas agar memudahkan peneliti dalam
melakukan peneltian kemudian dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh serta
Putusan Nomor: 01/Pid.S/2010/PN.Gs.
F. Teknik Penyajian Data
Teknik penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk
uraian yang disusun secara sistematis, rasional, dan logis. Keseluruhan bahan
yang diperoleh akan dihubungkan antara satu dengan yang lainnya yang akan
disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga menjadi satu
kesatuan yang didasarkan pada norma-norma atau kaidah-kaidah hukum serta
doktrin-doktrin yang relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti.
G. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitin ini adalah
mengumpulkan bahan hukum yang diperoleh, kemudian dianalisis
menggunakan metode analisis normatif kualitatif, yakni dengan membahas
dan menjabarkan bahan hukum yang digunakan dengan berlandaskan pada
norma hukum yang digunakan, teori-teori serta doktrin yang berkaitan dengan
materi yang diteliti, dengan menggunakan logika deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi92
92
Ronny Hanitiji Soemitro, Op.Cit. hal 9.
83
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAAN
A. Hasil Penelitian
Pemilihan Umum dalam hal ini Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) merupakan wujud kedaulatan rakyat, karena hakikat Pemilu
jauh lebih dalam dibandingkan sekedar memberikan suara, setiap suara, yang
diberikan sangat bermakna bagi terbentuknya pemerintahan legitimate yaitu
suatu pemerintahan yang di percaya dan didukung oleh rakyat. Sesuai dengan
Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa ‘kedaulatan rakyat di
tangan rakyat”, dalam hal ini adalah bahwa rakyat memiliki kedaulatan,
tanggung jawab, hak, dan kewajiban untuk secara demokratis memilih
pemimpin yang akan membentuk pemerintah guna mengurus dan melayani
seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil-wakil rakyat untuk
mengawasi jalannya pemerintahan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap perkara pidana
Nomor 01/Pid.S/2010/PN.Gs.
1. Duduk Perkara
Putusan Perkara Nomor 01/Pid.S/2010/PN.Gs, Terdakwa 1 KH.
Abdul Qohar Hasyim. Terdakwa 2 Raharjo pada hari Sabtu tanggal 22 Mei
2010 sekitar pukul 16.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu masih
di bulan Mei 2010 di rumah terdakwa KH. Abdul Qohar Hasyim Ds.
Mojotengah Rt 16 Rw 07, Kec. Menganti, Kab. Gresik atau setidaknya
84
disuatu tempat yang masih dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Gresik
telah melakukan atau menyuruh melakukan atas ikut melakukan perbuatan
yaitu dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya
kepada seseorang supaya tidak memilih pasangan calon tertentu dalam
Pemilukada Kab. Gresik periode 2010-2015 perbuatan mana dilakukan para
terdakwa dengan cara sebagai berikut :
- Pada waktu dan tempat tersebut diatas terdapat tahapan-tahapan
Pemilukada antara lain kampanye yang berakhir pada tanggal 22 Mei
2010, dimana dalam Pemilukada terdapat salah satu pasangan Calon
Bupati dan Wakil Bupati yaitu Pasangan Nomor 5 sdr. Dr. H. Khusnul
Khuluq, Dr., MM dan H.M Musyaffa Noer S.Ag., SH., MM (HUMAS).
- Pada hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010 terdakwa 1 KH. Abdul Qohar
Hasyim dan terdakwa 2 Raharjo telah mengundang masyarakat miskin di
Ds. Mojotengah Rt 16 Rw 07, Kec. Menganti, Kab. Gresik untuk datang
kerumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim untuk mengikuti istigosah,
namun sebelumnya terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim telah
menyiapkan sekitar 100 buah amplop yang bergambar pasangan Calon
Bupati dan Wakil Bupati Nomor 5 sdr. Dr. H Khusnul Khuluq, Dr., MM
dan Musyaffa Noer S.Ag., SH. MM (Humas) dan berisi uang yang berasal
dari terdakwa 2 Raharjo dan masing-masing amplop berisikan uang Rp.
50.000,- kemudian amplop tersebut oleh terdakwa 1 KH. Abdul Qohar
Hasyim diserahkan kepada terdakwa 2 Raharjo, selanjutnya sekitar pukul
16.00 WIB banyak masyarakat miskin yang datang untuk istigosah.
85
- Setelah istigosah selesai terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim
menyampaikan kepada peserta istigosah antara lain saksi Sriamah dan
saksi Sekah sambil mengatakan “saudara-saudara kalau tidak keberatan
tolong bantu saya untuk memilih Pak Khuluk, nanti akan mendapat
amplop dari Pak Raharjo yang berisi uang Rp. 50.000,-“ sambil terdakwa
1 KH. Abdul Qohar Hasyim menunjukan amplop yang bergambar
pasangan Calon Nomor 5 sdr. Dr. H. Khusnul Khuluq Drs. MM dan H.M
Musyaffa Noer S.Ag., SH., MM.
- Ketika para warga hendak pulang, terdakwa 2 Raharjo membagikan
kepada warga masing-masing sebuah amplop yang bergambar pasangan
Nomor 5 sdr. Dr. H. Khusnul Khuluk Drs. MM dan H.M Musyaffa Noer
S.Ag., SH., MM (Humas) dan berisi uang yang berasal dari terdakwa 2
Raharjo dan masing-masing amplop berisikan uang Rp. 50.000,-.
Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Gresik telah
membacakan Surat Tuntutan Pidana, sebagaimana tersebut dalam suratnya
tertanggal 18 Juni Maret 2010, No. REG.PERK : PDM-
135/Gresik/Ep.1/6/2010. Terdakwa atas Tuntutan Tersebut, melalui Penasihat
Hukumnya mengajukan Nota Pembelaan dalam persidangan tanggal 25 Juni
2010, atas Nota Pembelaan tersebut, Penuntut Umum telah menyatakan
secara lisan didalam persidangan, bahwa ia tetap pada tuntutan semula,
demikian pula Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya menyatakan pula tetap
pada Nota Pembelaannya. Sebelum Majelis hakim mempertimbangkan
substansi materi catatan dakwaan Penuntut Umum, terlebih dahulu majelis
86
akan mempertimbangkan formalitas yang berkaitan dengan pelaporan adanya
pelanggaran pemilu kepada Panwas, sebagai berikut :
a. Bahwa menurut ketentuan Pasal 110 ayat (3) PP No. 6 Tahun 2005, bahwa
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada panitia
pengawas pemilihan sesuai wilayah kerjannya selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari sejak terjadinya pelanggaran;
b. Bahwa dalam Pasal 111 ayat (1, 2, 3) menyebutkan panitia pengawasn
pemilihan mengkaji setiap laporan pelanggaran yang diterima untuk
menindaklanjuti atau tidak setiap laporan diterima dalam hal Panwas
pemilihan memerlukan keterangan tambahan dari pelapor untuk
melengkapi laporan putusan sebagaimana yang dimaksud ayat (2),
dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah laporan diterima.
Hakim telah memperoleh keyakinannya setelah memeriksa alat-alat
bukti yang diajukan dipersidangan, menyatakan bahwa terdakwa 1 KH.
Abdul Qohar Hasyim dan terdakwa 2 Raharjo, terbukti secara sah melakukan
Tindak Pidana Pemilukada Secara Bersama-Sama. Hakim dalam perkara ini
atas pertimbangan-pertimbangannya menjatuhkan hukuman pidana penjara
selama 5 (lima) bulan, hal tersebut lebih ringan dari tuntutan pidana yang
disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yaitu pidana penjara selama 6
(enam) bulan.
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim dan terdakwa 2 Raharjo
(masing-masing dalam berkas perkara sendiri) dihadapkan ke depan sidang
87
Pengadilan Negeri Gresik yang memeriksa perkara pidana dengan acara
pemeriksaan singkat pada pengadilan tingkat pertama, oleh Jaksa Penuntut
Umum telah didakwa dengan dakwaan tunggal melakukan tindak sebagai
berikut :
“Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang
atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak
pilihanya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan
hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi
tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan
dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah) sebagaimana maksud dalam Pasal 117 ayat (2)
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Jo Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP.”
3. Pembuktian Di Persidangan
A. Keterangan Saksi
Bahwa untuk membuktikan dakwannya Penuntut Umum telah
mengajukan saksi-saksi yang didengar keterangannya dibawah sumpah
dipersidangan pada pokoknya masing-masing sebagai berikut :
1. Saksi H. Hariyadi, S.H, M.H
- Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa, namun tidak ada
hubungan keluarga
- Bahwa saksi adalah tim advokasi kampanye dari calon nomor 3
(Sambari Halim dan M. Qusim/S-Q) yang bertugas memantau
tahapan-tahapan pemilukada Kab. Gresik ;
- Bahwa pada tanggal 24 Mei 200, sore sekitar jam 15.00 WIB selesai
kampanye saksi datang kerumah sdr Temin di menganti untuk
memesan spanduk, dan dirumah sdr. Temin tersebut banyak orang
88
yang membicarakan undangan dari terdakwa KH. Abdul Qohar
Hasyim Ds. Mojotengah Kec. Menganti Kab. Gresik dan diantara
orang-orang tersebut adalah bu Sriamah dan bu Sekah;
- Bahwa selanjutnya saksi menanyakan hal tersebut kepada bu
Sriamah dan bu Sekah dan benar kedua orang tersebut diundang oleh
terdakwa KH. Abdul Qohar Hasyim kerumahnya untuk istigosah lalu
pulangnya diberi amplop berisikan uang tunai sebesar Rp. 50.000,-
(lima puluh ribu rupiah) dan gambar pasangan calon nomor 5 (Dr.
Khusnul Khuluq Drs. MM dan H.M Musaffa S.Ag., SH.,
MM/Humas);
- Bahwa menurut bu Sriamah dan bu Sekah tanggal 22 Mei 2010
diundang kerumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim untuk
istigosah, lalu pulangnya diberi amplop oleh terdakwa 2 Raharjo;
- Bahwa selanjutnya saksi meminta amplop yang berisi uang dan
gambar pasangan calon nomor 5 tersebut kepada bu Sriamah dan bu
Sekah namun belum dikasih, lalu keesok harinya saksi datang lagi ke
tempat Temin dan menerima kedua amplop tersebut melalui sdr.
Temin;
- Bahwa selanjutnya saksi melaporkan kejadian dirumah terdakwa
KH. Abdul Qohar Hasyim tersebut ke Panwas Kab. Gresik lalu pada
tanggal 28 Mei 2010 saksi diminta keterangannya;
- Bahwa setelah memberikan keterangan dipersidangan saksi
menyerahkan bukti copy yang diberi stempel Ulama Gresik Nomor:
89
424/PC/A.II/VII/2009 tanggal 8 Rajab 1430 H/1 Juli 2009 M tentang
Tim Pemenang Dr. H Khusnul Khuluq Drs. MM dalam Pilbup 2010
PCNU Gresik;
- Bahwa saksi membenarkan ketika ditunjukan bukti berupa : 2 (dua)
amplop bergambar Dr. Khusnul Khuluq Drs. MM dan H.M Musaffa
Noer S.Ag., SH., MM., 2 (dua) lembar uang kertas pecahan Rp.
50.000,- (lima puluh ribu rupiah).
Atas keterangan saksi tersebut di atas, terdakwa KH. Abdul Qohar
Hasyim : tidak menyuruh mencoblos pasangan nomor 5, hanya
bilang nanti pulangnya terima amplop isi Rp. 50.000,-
2. Saksi Abdullah Khaidar, S.H
- Bahwa saksi tidak kenal terdakawa;
- Bahwa saksi sebagai anggota Panwas Kab. Gresik bagian divisi
pengamanan masyarakat yang bertugas membuat kajian laporan
yang ditanda tangani Ketua Panwas;
- Bahwa pada tanggal 25 Mei 2010 Panwas Kab. Gresik menerima
laporan dugaan Money Politic dan laporan tersebut diterima oleh
sekretaris Panwas yakni sdr. H. Hariyadi, S.H, M.H dari tim
advokasi pasangan nomor 3 (Sambari Halim dan M. Qosim/S-Q)
- Bahwa benar laporan yang diterima dilampiri dengan copy bukti
amplop yang bergambar pasangan Nomor 5 (Dr. Khusnul Khuluq
Drs. MM dan H.M Musaffa Noer, S.Ag, SH., MM/Humas);
90
- Bahwa atas laporan tersebut selanjutnya Panwas melakukan
pemanggilan lalu sdr. H. Hariyadi, S.H, MH. Hadir dengan
membawa bukti asli berupa amplop yang bergambar pasangan calon
nomor 5 (Dr. Khusnul Khuluq Drs. MM dan H.M Musaffa Noer,
S.Ag., SH., MM/Humas) dengan uang kertas pecahan Rp. 50.000,-
selanjutnya saksi H. Hariyadi, S.H, MH diminta keterangan oleh
Ketua Panwas dan saksi mendampingi;
- Bahwa pada waktu itu juga diperiksa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar
Hasyim dan terdakwa 2 Raharjo yang menyatakan mengumpulkan
sekitar 100 orang untuk istigosah yang memang rutin dilakukan
dirumah terdakwa serta memberi uang sebesar Rp. 50.000,- dan
menyatakan “kalau tidak keberatan tolong memilih Humas”;
- Bahwa terdakwa 2 Raharjo menyatakan setiap bulan menerima uang
dari anaknya yang bekerja di Kuwait dan selalu diamalkan kepada
fakir miskin dalam acara istigosah;
- Bahwa waktu itu belum diperiksa saksi penerima, karena yang
bersangkutan tidak berkenan, lalu keesokan harinya sdr. H. Hariyadi,
S.H, MH datang dengan membawa saksi penerima yakni bu Sriamah
dan bu Sekah, lalu kedua orang diperiksa oleh Ketua Panwas;
- Bahwa saksi membenarkan ketika diajukan bukti berupa : 2 (dua)
amplop bergambar Dr. Khusnul Khuluq Drs. MM dan H.M Musaffa
Noer S.Ag., SH., MM., 2 (dua) lembar uang kertas pecahan Rp.
50.000,- (lima puluh ribu rupiah).
91
Atas keterangan saksi tanggapan para terdakwa membenarkan.
3. Saksi Sriamah
- Bahwa saksi kenal dengan terdakwa, karena tetangga dan satu desa;
- Bahwa benar saksi adalah warga Ds. Mojotengah Kec. Menganti
Kab. Gresik;
- Bahwa pada tanggal 22 Mei 2010 sore hari setelah sholat azhar saksi
diundang tedakwa KH. Abdul Qohar Hasyim melalui bu Sulami
secara lisan agar saksi datang kerumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar
Hasyim untuk menerima santunan;
- Bahwa terdakwa yang hadir sekitar 100 orang sebagian besar adalah
ibu-ibu;
- Bahwa saksi datang dengan ibu Sekah;
- Bahwa benar dirumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim sering
ada istigosah tetapi saksi tidak pernah ikut dan baru kali ini datang;
- Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim di masyarakat adalah
selaku tokoh agama sedangkan terdakwa 2 Raharjo adalah
masyarakat biasa;
- Bahwa suasana waktu itu lesehan, lalu terdakwa 2 Raharjo membuka
acara selanjutnya memimpin istigosah setelah selesai istigosah
selanjutnya terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim pidato sambil
menunjukan gambar pasangan calon dan mengatakan “Sumerep
gambar niki nomor : 5 tiange sing ganteng” bahasa Indonesia
“diketahui gambar nomor : 5 orangnya yang ganteng/tampan” dan
92
juga mengatakan “nanti kalau pulang akan diberi Pa Raharjo sebuah
amplop yang berisi uang;
- Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim berpesan “kalau
diminta orang lain jangan boleh”;
- Bahwa saat pulang saksi diberi amplop bergambar pasangan nomor 5
(DR. Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa S.Ag., SH., MM
yang berisi uang sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) oleh
terdakwa 2 Raharjo;
- Bahwa saksi membenarkan ketika ditunjukan bukti berupa : 2 (dua)
amplop bergambar Dr. Khusnul Khuluq Drs. MM dan H.M Musaffa
S.Ag., SH., MM. 2 (dua) lembar uang kertas pecahan Rp. 50.000,-
(lima puluh ribu rupiah).
Atas keterangan saksi di atas, tanggapan terdakwa :
o Terdakwa I KH. Abdul Qohar Hasyim menyatakan : tidak pernah
berpesan agar mencoblos calon nomor 5;
o Terdakwa II Raharjo menyatakan : cukup/tidak ada tanggapan.
4. Saksi Sekah
- Bahwa saski kenal denga para terdakwa karena tetangga satu desa;
- Bahwa sekitar jam 16.00 WIB saksi disuruh datang kerumah
terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim, dan undangan tersebut
disampaikan secara lisan oleh ibu Sulami yang pesannya “mbok wo
jam papat diundang Pak Qohar oleh santutan” (bahasa Indonesia : bu
de/tante pukul 16.00 wib diundang Pak Qohar dan dapat santunan);
93
- Bahwa atas undangan tersebut selanjutnya saksi berangkat dengan
saksi Sriamah ke rumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim sudah
banyak orang yang kumpul dan sebagian besar adalah ibu-ibu;
- Bahwa acara dibuka oleh terdakwa 2 Raharjo, lalu Pak Raharjo
memimpin istigosah, dan setelah selesai terdakwa 1 KH. Abdul
Qohar Hasyim memberikan sambutan semoga dalam pemilu aman
dan lancar dan kalau tidak keberatan tolong pilih Pak Khuluq sambil
memberikan amplop bergambar pasangan nomor 5 dan mengatakan
“tidak dapat beri banyak-banyak ini hanya untuk membeli sabun”;
- Bahwa saksi menerima amplop bergambar pasangan calon nomor: 5
(Dr. Khusnul Khuluq Drs. MM dan H.M Musaffa S.Ag., SH., MM
dari terdakwa 1. KH. Abdul Qohar Hasyim);
- Bahwa saksi membenarkan ketika ditunjukan bukti berupa : 2 (dua)
amplop bergambar Dr. Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa
S.Ag., SH., MM., 2 (dua) lembar uang kertas pecahan Rp. 50.000,-
(lima puluh ribu rupiah).
Atas keterangan saksi tanggapan para terdakwa :
o Terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim menyatakan : yang
menyerahkan amplop bergambar calon nomor 5 adalah terdakwa 2
Raharjo, namun wakti itu karena jaraknya agak jauh maka
penyampaian tersebut melalui terdakwa;
o Terdakwa 2 Raharjo menyatakan : cukup.
5. Saksi Kayat (saksi a de charge)
94
- Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa;
- Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim sering mengadakan
pengajian dirumahnya;
- Bahwa saksi diminta keterangan dipersidangan berkaitan dengan
masalah uang yang diberikan oleh terdakwa 2 Raharjo pada tanggal
22 Mei 2010 jam 16.00 WIB dirumah terdakwa 1 KH Abdul Qohar
Hasyim yang waktu itu ada istigosah;
- Bahwa yang hadir sekitar 100 orang laki-laki dan perempuan;
- Bahwa sebelum acara dibuka oleh terdakwa 2 Raharjo kita berdoa
bersama agar Pilkada berjalan aman, lalu terdakwa 2 Raharjo
memimpin istigosah;
- Bahwa acara tersebut mengunakan pengeras suara berupa salon kecil
jadi saksi dan yang lainnya yang berada diluar rumah terdakwa 1
KH. Abdul Qohar Hasyim bisa mendengarkan;
- Bahwa setelah selesai istigosah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar
Hasyim memimpin pembacaan doa, namun sebelum membaca doa
sdr. Suhartono salah seorang warga yang ikut istigosah yang
kebetulan duduk ditengah luar rumah bertanya “Pak Kiyai besok
enaknya pilih siapa” dan dijawab oleh terdakwa 1 KH. Abdul Qohar
Hasyim “kalau tidak keberatan pilih Pak Khuluq”;
- Bahwa menurut terdakwa 2 Raharjo karena hari selasa masuk hari
tenang maka istigosah dimajukan menjadi hari Sabtu tanggal 22 Mei
2010;
95
- Bahwa di setiap minggu di rumah terdakwa terdakwa 1 KH. Abdul
Qohar Hasyim selalu ada istigosah dan sering diberi uang antara Rp.
10.000 - Rp. 15.000,- yang diutamakan adalah fakir miskin dan anak
yatim;
- Bahwa pada waktu itu tanggal 22 Mei 2010 setelah istigosah diberi
uang sebesar Rp. 50.000,- oleh terdakw 2 Raharjo, dalam amplop
bergambar calon;
- Bahwa uang sebesar Rp. 50.000,- adalah uang terdakwa 2 Raharjo
karena saksi mengetahui terdakwa 2 Raharjo dikirimi oleh anaknya
yang menjadi dokter di Kuwait;
- Bahwa di rumah terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim tidak ada
gambar calon;
- Bahwa saksi memilih calon nomor 5 (Humas) bukan karena uang;
- Bahwa saksi membenarkan ketika ditunjukan bukti berupa : 2 (dua)
amplop bergambar Dr. Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa
S.Ag., SH., MM. 2 (dua) lembar uang kertas pecahan Rp. 50.000,-
(lima puluh ribu rupiah).
Atas keterangan saksi, tanggapan para terdakwa : membenarkan.
6. Saksi Samikan (saksi a de charge)
- Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa;
- Bahwa saksi ikut acara istigosah dirumah terdakwa 1 KH. Abdul
Qohar Hasyim;
96
- Bahwa yang memimpin istigosah adalah terdakwa adalah terdakwa 2
Raharjo lalu terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim berpidato, nanti
akan ada Pilkada mudah-mudahan aman lalu terdakwa akan
memimpin doa. Namun saat itu sdr. Suhartono yang kebetulan duduk
ditengah luar rumah menanyakan pada terdakwa 1 KH. Abdul Qohar
Hasyim “Pak Kiyai besok enaknya pilih siapa” dan dijawab oleh
terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim “Kalau tidak keberatan pilih
Pak Khuluq”;
- Bahwa setelah selesai acara istigosah saksi diberi amplop bergambar
calon DR. Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa S.Ag., SH
MM. yang berisi uang sebesar Rp. 50.000,- oleh terdakwa 2 Raharjo;
- Bahwa istri saksi juga ikut istigosah namun hanya mendapatkan satu
amplop;
- Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim adalah tokoh agama
sedangkan terdakwa 2 Raharjo orang biasa saja;
- Bahwa saksi memilih pasangan nomor 5 (Humas) karena pingin
pemimpin yang jujur bukan karena uang;
- Bahwa saksi membenarkan ketika ditunjukan bukti berupa : 2 (dua)
amplop bergambar Dr. Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa
S.Ag., SH., MM. 2 (dua) lembar uang kertas pecahan Rp. 50.000,-
(lima puluh ribu rupiah).
Tanggapan para terdakwa membenarkan atas keterangan saksi.
7. Saksi Saiful Kirom (saksi a de charge)
97
- Bahwa saksi kenal dengan terdakwa;
- Bahwa saksi adalah Dewan Pengurus Kepala Cabang Partai
Kebangkitan Nasional Ulama Kab. Gresik;
- Bahwa susunan tim kampanye Khusnul Khuluq – Musaffa adalah
mereka yang tercantum dalam Surat Keputusan Bersama antara lain
Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai
Kebangkitan Nasional Ulama tanggal 22 Febuari 2010;
- Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim tidak termasuk dalam
tim kampanye Humas.
Tanggapan para terdakwa atas keterangan saksi : menyatakan tidak
tahu.
8. Saksi Nur Golib (saksi a de charge)
- Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa;
- Bahwa saksi adalah Sekretaris Tim Kampanye Khusnul Khuluq –
Musaffa (Humas) sebagaimana Surat Keputusan Bersama antara
Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai
Kebangkitan Nasional Ulama tanggal 22 Febuari 2010;
- Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim tidak termasuk tim
Kampanye.
Tanggapan para terdakwa atas keterangan para saksi : menyatakan
tidak tahu.
9. Saksi Suhartono (saksi a de charge)
- Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa karena tetangga;
98
- Bahwa saksi ikut acara istigosah dirumah terdakwa 1 KH. Abdul
Qohar Hasyim, yang khususnya dilaksanakan hari Selasa namun
karena hari tenang maka dimajukan menjadi hari Sabtu tanggal 22
Mei 2010;
- Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim menyatakan kepada
undangan yang hadir “kalau tidak keberatan tolong milih Pak
Khuluq” dan terdakwa juga menyatakan mudah-mudahan pilkada
aman;
- Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim juga mengatakan nanti
ada amplop dari terdakwa 2 Raharjo;
- Bahwa saksi mengetahui sebelum acara pada pagi hari terdakwa 2
Raharjo menyerahkan uang kepada terdakwa 1. KH. Abdul Qohar
Hasyim sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah);
- Bahwa saksi melihat sendiri uang yang diserahkan adalah pecahan
Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah);
- Bahwa sebelum ditutup doa saksi menyanyakan kepada terdakwa 1
KH. Abdul Qohar Hasyim “enaknya kita nanti milih siapa” dan di
jawab “kalau tidak keberatan tolong pilih Pak Khuluq”;
- Bahwa sebelumnya saksi tidak pernah melihat amplop yang
bergambar calon nomor 5 (Dr. Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M
Musaffa S.Ag., SH., MM.).
Atas keterangan saksi para terdakwa membenarkannya.
10. Saksi Kamah (saksi a de charge)
99
- Bahwa saksi kenal dengan para terdakwa, karena tetangga;
- Bahwa saksi ikut acara istigosah dirumah terdakwa 1 KH. Abdul
Qohar Hasyim, yang awalnya dipesan oleh bu Sulami;
- Bahwa istigosah diadakan sabtu tanggal 22 Mei 2010;
- Bahwa biasanya terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim sering
memberi uang;
- Bahwa namun waktu itu yang memberi uang adalah terdakwa 2
Raharjo;
- Bahwa waktu ini sdr. Tono yang duduk dibelakang pintu menuju
arah ruangan tengah menanyakan nanti enaknya pilih siapa dan
dijawab terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim “tolong bantu Pak
Khuluq”;
- Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim tidak pernah
menunjukan foto-foto calon;
- Bahwa setelah selesai saksi terima amplop bergambar calon Dr.
Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa S.Ag., SH., MM. yang
berisi uang sebesar Rp. 50.000,-;
Atas keterangan saksi para terdakwa membenarkannya.
B. Keterangan Terdakwa
1. KH. Abdul Qohar Hasyim
- Bahwa saya mengerti diajukan ke persidangan ini berkaitan dengan
adanya pembagian uang pada acara istigosah di rumah saya di Ds.
Mojotengah Kecamatan Menganti Kab. Gresik;
100
- Bahwa istigosah tersebut dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 22
Mei tahun 2010 sekitar jam 16.00 wib yang dihadiri oleh sekitar 102
orang yang kebanyakan peserta istigosah ibu-ibu;
- Bahwa di rumah saya memang rutin diadakan istigosah pada setiap
hari senin malam selasa, namun ketika itu bertepatan dengan hari
tenang masa kampanye menjelang Pemilukada Kab. Gresik, maka
acara tersebut dimajukan hari sabtu;
- Bahwa oleh karenanya saya menyuruh ibu Sulami mengundang
warga fakir miskin untuk datang istigosah dirumah saya pada hari
Sabtu tanggal 22 Mei 2010 jam 16.00;
- Bahwa dalam acara istigosah tersebut yang memimpin istigosah
adalah Raharjo sedangkan saya mimpin doa;
- Bahwa sebelum doa saya bacakan saya sempat berpidato
memberikan ceramah, semoga Pemilukada yang diselenggarakan di
Kab. Gresik berjalan aman dan lancar, namun ditengah-tengah saya
berpidato ada salah seorang peserta istigosah Suhartono menanyakan
dalam Pemilukada besok sebaiknya memilih siapa, kemudian saya
jawab “Kalau tidak keberatan tolong pilih pasangan nomor 5 Dr.
Khusnul Khuluq, Drs., MM dan H.M Musaffa Noer S.Ag., SH., MM
sambil menunjukan amplop warna putih yang bergambar foto
pasangan calon nomor 5 tersebut kepada peserta istigosah nanti
ketika akan pulang akan di kasih amplop Pak Raharjo;
101
- Bahwa setiap acara istigosah saya memang sering memberikan uang
dari para dermawan untuk para peserta isitgosah, namun jumlahnya
tidak pasti tergantung besarnya sumbangan dermawan tersebut, dan
pada hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010 tiap peserta istigosah
mendapatkan uang Rp. 50.000,- dan uang tesebut berasal sumbangan
dari Raharjo sebesr Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) yang berasal
kiriman dari anaknya yang bekerja di luar negeri;
- Bahwa awalanya tanggal 15 April 2010 terdakwa 2 Raharjo datang
kerumah terdakwa yang menitipkan uang sebesr Rp. 5.000.000,-
(lima juta rupiah) dan bilang tolong uang dibagikan kepada fakir
miskin;
- Bahwa kemudian pada tanggal 18 April 2010 saya membutuhkan
uang lalu uang tersebut saya pinjam dan pada tanggal 21 Mei 2010
saya sudah memperoleh uang tersebut lalu saya serahkan kepada
Raharjo pada tanggal 22 Mei 2010 pagi dirumah saya, dan Raharjo
menyerahkan kembali uang tersebut untuk dibagikan kepada fakir
miskin;
- Bahwa amplop warna putih bergambar foto pasangan nomr 5 saya
peroleh pada pagi hari Jumat 21 Mei 2010 ketika saya datang ke
kantor NU di Kec. Menganti saya menemukan amplop bergambar
pasangan nomor 5 tersebut diatas meja kantor NU lalu saya bawa
pulang dengan pikiran barangkali nanti saya butuhkan, daripada
tidak terpakai di kantor NU dan saya juga minta ijin dari kantor;
102
- Bahwa pada pagi hari tanggal 22 Mei 2010 ketika Raharjo datang ke
rumah saya, kemudian uang tersebut saya serahkan kepada terdakwa
2 Raharjo sambil berkata “ini kamu serahkan sendiri uangmu”,
kemudian agar terlihat sopan Raharjo minta uang tersebut dimasukan
amplop;
- Bahwa selanjutnya kebetulan dirumah ada amplop, maka saya
memasukkan uang pecahan lima puluh ribuan tersebut kedalam
amplop yang bergambat calon nomor 5 (Dr. Khusnul Khuluq Drs.,
MM dan H.M Musaffa Noer S.Ag., SH., MM);
- Bahwa benar sebelum istigosah dilaksanakan saya menyuruh
terdakwa 2 Raharjo agar memimpin acara, setelah selesai terdakwa
yang memimpin doa;
- Bahwa sebelum acara pembacaan doa sdr. Suhartono yang duduk
dibelakang pintu menanyakan “nanti pilih siapa” lalu dijawab
terdakwa menjawab “pilih Pak Khuluq”;
- Bahwa terdakwa memperoleh amplop calon pasangan nomor 5 (Dr.
Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa Noer S.Ag., SH.,
MM/Humas) dari kantor cabang NU Menganti pada tanggal 21 Mei
2010 pagi hari;
- Bahwa amplop tersebut memang sudah tercetak ada gambar calon;
- Bahwa terdakwa meminta amplop tersebut awalnya hanya disimpan,
lalu saat acara istigosah terdakwa punya inisiatif untuk memasukkan
103
uang milik terdakwa 2 Raharjo yang akan dibagikan kedalam
amplop tersebut;
- Bahwa tidak ada ajaran dari NU untuk memasukkan uang kedalam
amplop;
- Bahwa terdakwa memasukkan uang kedalam amplop bergambar
pasangan nomor 5 adalah dengan maksud agar jama’ah memilih
Khuluq karena terdakwa menyukai Khuluq yang banyak
kebaikkannya antara lain tiap lebaran memberikan santunan;
- Bahwa terdakwa 2 Raharjo setiap bulannya juga memberi santunan
kepada fakir miskin, dan anak yatim piatu melalui terdakwa yang
disalurkan melalui kegiatan keagamaan;
- Bahwa yang mempunyai inisiatif mengundang warga adalah
terdakwa sendiri;
- Bahwa sdri. Salami adalah anggota istigosah yang secara
keseluruhan berjumlah 95 orang, namun waktu itu yang datang 102
orang;
- Bahwa terdakwa adalah sepupu NU;
- Bahwa terdakwa membenarkan ketika ditunjukkan bukti berupa : 2
(dua) amplop bergambar Dr. Khusnul Khuluq Drs., MM. Dan H.M
Musaffa Noer S.Ag., SH., MM, 2 (dua) lembar uang kertas pecahan
Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).
2. Raharjo
104
- Bahwa terdakwa yang memimpim acara istigosah dan doa dipimpin
oleh terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim;
- Bahwa istigosah tersebut dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 22
Mei 2010 sekitar jam 16.00 wib;
- Bahwa sebenarnya acara istigosah tersebut diadakan secara rutin
pada hari senin malam selasa, namun oleh karena pada hari tersebut
bertepatan hari tenang maka saya usulkan pada KH. Abdul Qohar
Hasyim untuk dimajukan;
- Bahwa uang yang dibagikan kepada peserta istigosah adalah uang
saya, berniat infak kepada fakir miskin dan uang tersebut berasal dari
kiriman anak saya yang bekerja di luar negeri;
- Bahwa awalnya tanggal 15 April 2010 saya datang kerumah
terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim untuk menitipkan uang
sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) agar bagikan kepada fakir
miskin;
- Bahwa pada Sabtu pagi tanggal 22 Mei 2010 saya datang kerumah
KH. Abdul Qohar Hasyim selanjutnya oleh terdakwa 1 KH. Abdul
Qohar Hasyim uang yang dulu saya serahkan untuk dibagikan
kepada fakir miskin diserahkan kembali kepada saya sambil
mengatakan ini uangmu nanti serahkan/bagikan sendiri pada fakir
miskin, agar terlihat sopan saya minta supaya dimasukkan dalam
amplop, kemudian KH. Abdul Qohar Hasyim yang memasukkan
105
uang kedalam amplop bergambar pasangan calon nomor 5 (Dr.
Khusnul Khuluq Drs., MM dan H.M Musaffa Noer S.Ag., SH., MM)
- Bahwa terdakwa yang membagikan amplop bergambar calon nomor
5 berisi uang Rp. 50.000,- adalah terdakwa sendiri;
- Bahwa terdakwa membenarkan ketika ditunjukkan bukti berupa : 2
(dua) amplop bergambar Dr. Khusnul Khuluq Drs., MM. Dan H.M
Musaffa Noer S.Ag., SH., MM, 2 (dua) lembar uang kertas pecahan
Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).
4. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para terdakwa,
keterangan saksi-saksi, barang bukti yang diajukan ke persidangan yang
saling terkait dan bersesuaian sesuai fakta-fakta hukum yang ada, maka
dipersidangan telah terungkap
Menimbang, bahwa terdakwa didakwa dengan dakwaan dalam catatan
dakwaan tunggal yaitu :
“Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang
atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak
pilihanya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan
hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi
tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan
dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,-
(sepuluh juta rupiah) sebagaimana maksud dalam Pasal 117 ayat (2)
UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Jo Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP.
Menimbang, bahwa dalam dakwaan tunggal, terdakwa didakwa
melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
106
Pasal 117 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan unsur-unsur sebagai berikut :
a. Unsur setiap orang : bahwa yang dimaksud dengan unsur setiap orang
disini adalah siapa saja, orang persorangan atau koperasi atau kumpulan
orang baik maupun badan hukum maupun bukan badan hukum, sebagai
subyek hukum selaku pendukung hak dan kewajiban yang mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya didepan hukum. Sehingga
terdakwa yang dihadapkan JPU yang mengaku atas nama terdakwa 1
KH. Abdul Qohar Hasyim dan terdakwa 2 Raharjo mampu untuk
mempertanggungjawabkan atas perbuatannya;
b. Unsur dengan sengaja : bahwa yang dimaksud dengan unsur sengaja
adalah pelaku ada niat, atau mengetahui, atau menyadari perbuatannya
dan mengkehendaki atau mengetahui akibat yang timbul dari
perbuatannya. Menimbang, bahwa majelis sependapat dengan
pemahaman dari penasihat hukum terdakwa, bahwa kesengajaan itu
menyangkut aspek batiniah/rohaniyah dari jiwa seseorang, namun
demikian majelis berpendapat kesengajaan itu dapat terlihat dan
terwujud atau dibuktikan dengan adanya perbuatan yang secara sadar
dilakukan oleh pelaku serta mengetahui akibat yang terjadi. Jadi disini
majelis tidak sependapat dengan penasihat hukum terdakwa, yang
memahami bahwa kesengajaan yang tidak diperbolehkan adanya
kesengajaan yang melanggar undang-undang. Kesengajaan yang
dimaksud sesuai dengan fakta-fakta hukum, sebagai berikut :
107
- Keterangan terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim, bahwa istigosah
yang sedianya rutin diadakan setiap hari senin malam selasa, karena
pada hari senin malam selasa tersebut bertepatan dengan hari tenang
masa kampanye pemilukada, maka acara tersebut dimajukan pada
hari Sabtu tanggal 22 Mei 2010 jam 16.00 WIB.
- Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim selanjutnya menyuruh
Sulami untuk mengundang istigosah fakir miskin di rumahnya yang
semula biasanya diadakan setiiap hari senin malam selasa dimajukan
hari Sabtu 22 Mei 2010 pada jam 16.00 WIB.
- Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim pada hari jumat 21
Mei 2010 mengambil amplop bergambar foto pasangan cabup
cawabup nomor 5 di kantor MWC NU di Menganti.
- Bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim memasukan uang
pecahan Rp. 50.000,- kedalam amplop bergambar pasangan cabup
cawabup nomor 5.
- Bahwa pada saat sebelum membacakan doa terdakwa 1 KH. Abdul
Qohar Hasyim menunjukan amplop bergambar pasangan cabup
cawabup nomor 5 kepada undangan istigosah.
c. Unsur Memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada
seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih
pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara
tertentu. Menimbang, bahwa rumusan unsur frase “memberi atau
menjanjikan” sifatnya alternative, artinya majelis boleh memilih salah
108
satu yang dianggap sesuai dengan fakta yang dipersidangan, maka
oleh karenanya majelis akan langsung mempertimbangkan yang
secara terungkap di persidangan yaitu unsur memberi. Menimbang,
bahwa dari fakta yang terungkap berdasarkan keterangan saksi
Sriamah, saksi Sekah, saksi Suhartono, Kayat, Samikan, Kamah (a de
charge) mengatakan bahwa selesai acara istigosah semua undangan
diberi amplop yang bergambar foto psangan cabup cawabup nomor 5
berisi uang Rp. 50.000,-. Dari uraian tersebut telah nyata perbuatan
terdakwa memberi uang pecahan Rp. 50.000,- yang dimaksukkan
dalam amplop bergambar foto pasangan cabup cawabup nomor 5
kepada para undangan pada Pemilukada tanggal 26 Mei 2010 memilih
pasangan cabup cawabup seperti tersebut dalam ampop bergambar
nomor 5 yang te;ah diambil terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim di
Kantor MWC NU kecamatan Menganti pada hari Jumat tanggal 21
Mei 2010.
d. Unsur yang melakukan, menyuruh melakukan atau ikut melakukan :
yang di maksud dengan unsur ini adalah berkaitan dengan peran
pelaku yang dikenal dengan delik penyertaan yaitu dikualifikasikan
sebagai pelaku, terhadap orang yang melakukan, menyuruh
melakukan maupun terhadap orang yang ikut melakukan. Menimbang,
bahwa berdasarkan keterangan saksi yang terungkap di persidangan
dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan ke persidangan,
bahwa uang Rp. 50.000,- yang dimasukkan dalam amplop bergambar
109
pasangan cabup cawabup nomor 5 adalah terdakwa 2 Raharjo yang
membagikan kepada para undangan istigosah dengan demikian
terdakwa 2 Raharjo terbukti turut serta melakukan.
Menimbang, bahwa untuk itu sebelum Hakim Majelis, menjatuhkan
pidana terhadap para terdakwa, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan
hal-hal sebagai berikut :
Hal-hal yang memberatkan :
- Sebagai seorang tokoh agama/panutan umat tidak sepatutnya
melakukan perbuatan tersebut.
Hal-hal yang meringankan :
- Para terdakwa bersikap sopan;
- Para terdakwa mempunyai tanggungan keluarga;
- Para terdakwa belum pernah dihukum.
5. Amar Putusan Pengadilan Negeri
Mengadili :
1. Menyatakan terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim dan terdakwa 2.
Raharjo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah
melakukan tindak pidana “dengan sengaja secara bersama-sama
memberi uang kepada seseorang supaya memilih pasangan calon
tertentu”;
2. Menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa tersebut diatas oleh
karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama 5 (lima)
bulan dan denda masing-masing sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta
110
rupiah), bilamana denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan
pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
3. Memerintahkan agar para terdakwa ditahan;
4. Menetapkan barang bukti berupa :
a. uang tunai berjumlah Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) terdiri
dari 2 (dua) lembar uang kertas pecahan Rp. 50.000,- (lima
puluh ribu rupiah).
Dirampas untuk negara;
b. 2 (dua) lembar amplop putih bergambar foto pasangan calon
cabup cawabup nomor 5.
Tetap telampir dalam berkas.
5. Membebankan para terdakwa untuk membayar biaya perkara
masing-masing sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).
B. Pembahasaan
1. Batasan Tindak Pidana dalam Pemilukada
Secara garis besar pelanggaran-pelanggaran dalam setiap tahapan
pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung dapat diklasifikasikan
menjadi 3 (tiga) pelanggaran, yaitu Pelanggaran administratif dan
Pelanggaran pidana, dan Perselisihan hasil pemilihan umum. Meskipun dalam
ketentuan UU No. 32 Tahun 2004, maupun dalam UU No. 12 Tahun 2008,
Tentang Pemerintahan Daerah yang dijadikan dasar pelaksanaan Pemilihan
Kepala Daerah secara langsung, adakalanya pelanggaran yang terjadi
merupakan pelanggaran administratif saja, tetapi ada juga pelanggaran
111
tersebut selain merupakan pelanggaran administratif, juga merupakan
pelanggaran pidana.
Yang dimaksud dengan pelanggaran pidana Pemilu dalam UU No. 32
Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah
sessungguhnya tidak berbeda dengan pengertian Tindak Pidana Pemilukada
atau pelanggaran pidana Pemilu seperti diatur dalam beberapa undang-
undang Pemilu sebelumnya. Terkait pelanggaran pidana, UU No. 32 Tahun
2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah secara jelas
mencantumkan sejumlah ketentuan pidana Pemilu dan menyertakan ancaman
pidana saksi pidana yang pasti bagi pelakunya. Pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam undang-undang itulah
yang disebut dengan pelanggaran pidana Pemilu93
. Untuk menyesuaikan
dengan nomenklatur hukum pidana, istilah ‘Pelanggaran Pidana Pemilu’
sebaiknya diganti dengan istilah ‘Tindak Pidana Pemilu’. Penggantian istilah
ini penting karena tindak pidana pemilu juga merupakan kejahatan yang harus
dihukum berat karena menyangkut penggunaan hak pilih dan hak memilih
warga negara, bukan sekadar pelanggaran yang berarti hanya menyimpang
atau menyalahi ketentuan-ketentuan peraturan perundangan. Dengan
demikian, tindak pidana berarti tindakan hukum yang melanggar ketentuan-
ketentuan. Pelanggaran Pidana diproses dengan sistem Peradilan Pidana
(Kepolisian, Penuntut Umum, Peradilan) sesuai dengan KUHAP, dengan
93
Topo Santoso, Penegakkan Hukum Pemilu Praktik pemilu 2004 Kajian pemilu
2004-2009, Jakarta, 2006, hal 83-84
112
diawali laporan masyarakat ataupun pasangan calon kepada panitia pengawas
pemilihan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak laporan diterima.
Terhadap pelanggaran administrasi Pemilu, UU No. 32 Tahun 2004 Jo
UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah sama sekali tidak
memberikan batasan yang jelas. Memang dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan dan
persyaratan menurut undang-undang. Namun pengertian itu masih sangat
luas, sehingga Panwas Pemilu mendefinisikan pelanggaran administrasi
adalah pelanggaran terhadap ketentuan persyaratan yang diatur undang-
undang dan ketentuan lain yang dibuat penyelenggara Pemilu94
. Pengertian
sebetulnya hanya menegaskan bahwa pelanggaran diluar pelanggaran pidana
adalah pelanggaran administrasi, sebab hanya pelanggaran dalam undang-
undang Pemilu dalam hal ini UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun
2008 Tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tindak pidana dalam
Pemilukada yang dapat dikatakan Tindak Pidana Pemilukada, sementara
pelanggaran atas keputusan KPU bukan tindak pidana. Begitu pula
pelanggaran atas ketentuan dalam KUHP meskipun merupakan tindak pidana,
tetapi tidak tergolong tindak pidana pemilu, karena pasal-pasal mengenai
tindak pidana pada pemilihan umum yang ada dalam KUHP yang terdiri atas
lima pasal sudah tercakup dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12
Tahun 2008 Tentang Pemerintahn Daerah yang merupakam ketentuan yang
lebih khusus. Adapun tindak pidana seperti penganiayaan, perusakan,
94
Loc Cit
113
pembakaran, dan sebagainya meskipun tindak pidana, tetapi diatur dalam
KUHP dan tidak bisa dikatakan sebagai Tindak Pidana Pemilu dalam hal ini
Tindak Pidana Pemilukada.
Perselisihan hasil pemilihan umum, adalah perselisihan antara KPU
dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu
secara nasional. Semula ditanggani oleh Mahkamah Agung diserahkan
kepada MK. MK tidak hanya terpaku secara harifiah dalam memaknai Pasal
106 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang
Pemerintahan Daerah dan Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15
Tahun 2008, yang pada pokoknya menyatakan Mahkamah mengadili perkara
Pemilukada terbatas hanya persoalan hasil perolehan suara.
Secara definisi pengertian Tindak Pidana Pemilu sulit ditentukan.
Sebagaimana yang berlaku bagi terminologi hukum, untuk Tindak Pidana
Pemilu juga tidak ada satu rumusan pun yang dapat memberikan secara utuh
definisi atau pengertian Tindak Pidana Pemilu, yang sekaligus dapat
dijadikan pegangan baku atau standar bagi semua orang. Namun, demikian
salah satu rumusan menjelaskem bahwa “setiap orang, badan hukum, ataupun
organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan,
menghalang-halangi, atau mengganggu jalannya pemilihan umum yang
diselenggarakan menurut undang-undang" merupakan perbuatan pidana
pemilu95
.
95
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilihan Umum, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal
17.
114
Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Pemilukada adalah
serangkaian tindak pidana yang diatur secara khusus dalam perundang-
undangan yang mengatur tentang Pemilukada.
Tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan Pemilukada
tidak selalu berupa tindak pidana baru yang belum pernah diatur dalam
perundang-undangan lain. Beberapa Tindak Pidana Pemilu merupakan tindak
pidana yang sebelumnya sudah diatur dalam KUHP. Di luar tindak pidana
yang diatur dalam perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilukada
masih terdapat berbagai tindak pidana yang dapat terjadi di dalam atau yang
berhubungan dengan penyelenggaraan Pemilukada. Tindak pidana tersebut
bisa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya atau oleh peserta Pemilu atau
oleh penyelenggara Pemilu.
Secara umum, tindak pidana yang ada di dalam UU No. 32 Tahun
2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah untuk
memberikan batasan mengenai Tindak Pidana Pemilukada. Pembahasan ini
mengacu pada ketentuan sebagaimana disebut dalam UU No. 32 Tahun 2004
Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah yang dapat
dikelompokkan kedalam 3 kategori96
:
1. Tindak Pidana yang berkenaan dengan penetapan pemilih dan
pemenuhan persyaratan peserta Pemilukada;
2. Tindak Pidana yang berkenaan dengan kampanye;
96
http://kpu.jabarprov.go.id.index.php/subMenu/informasi/berita/detailberita/64.
diakses tanggal 3 April 2013
115
3. Tindak Pidana yang berkenaan dengan pemungutan suara dan hasil
pemungutan suara.
Adapun kategori Tindak Pidana Pemilukada yang terdapat dalam
undang-undang tersebut, antara lain :
116
No. Kategori Pasal Perbuatan
Sanksi/Pidana
Penjara
Min/Max Denda Min/Max (Rp)
1 Tindak Pidana
yang berkenaan
dengan penetapan
pemilih dan
pemenuhan
persyaratan peserta
Pemilukada;
115 ayat (1)
UU 12/2008
Setiap orang yang dengan sengaja
memberikan keterangan yang tidak benar
mengenai diri sendiri atau orang lain tentang
suatu hal yang diperlukan untuk pengisian
daftar pemilih
3bln-12bln 3.000.000-12.000.000
115 ayat (2)
UU 12/2008
Setiap orang yang dengan sengaja
menyebabkan orang lain kehilangan hak
pilihnya dan orang yang kehilangan hak
pilihnya tersebut mengadukan
12bln-24bln 12.000.000-24.000.000
115 ayat (3)
UU 12/2008
Setiap orang dengan sengaja memalsukan
surat yang menurut suatu aturan dalam
undang-undang ini diperlukan untuk
menjalankan suatu perbuatan dengan maksud
untuk digunakan sendiri atau orang lain
sebagai seolah-oleh surat sah atau dipalsukan
36bln-72bln 36.000.000-72.000.000
115 ayat (4)
UU 12/2008
Setiap orang yang dengan sengaja dan
mengetahui bahwa suatu surat adalah tidak
sah atau dipalsukan, menggunakannya, atau
menyuruh orang lain menggunakannya
sebagai surat sah
36bln-72bln 36.000.000-72.000.000
115 ayat (5)
UU 12/2008
Setiap orang yang dengan kekerasan atau
dengan ancaman kekuasaan yang ada
padanya saat pendaftaran pemilih
menghalang-halangi seseorang untuk
terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan
Kepala Daerah menurut undang-undang ini
12bln-36bln 12.000.000-36.000.000
117
115 ayat (6)
UU 12/2008
Setiap orang yang dengan sengaja
memberikan keterangan palsu atau
menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai
surat yang sah tentang suatu hal yang
diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi
pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah
36bln-72bln 36.000.000-72.000.000
115 ayat (7)
UU 12/2008
Setiap orang yang dengan sengaja
memberikan keterangan yang tidak benar
atau menggunakan identitas diri palsu untuk
mendukung bakal pasangan calon
perseorangan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59
12bln-36bln 12.000.000-36.000.000
115 ayat (8)
UU 12/2008
Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU
kabupaten/kota, dan anggota KPU provinsi
yang dengan sengaja memalsukan daftar
dukungan terhadap calon perseorangan
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini
36bln-72bln 36.000.000-72.000.000
115 ayat (9)
UU 12/2008
Anggota PPS, anggota PPK, anggota KPU
kabupaten/kota, dan anggota KPU provinsi
yang dengan sengaja tidak melakukan
verifikasi dan rekapitulasi terhadap calon
perseorangan sebagaimana diatur dalam UU
ini
36bln-72bln 36.000.000-72.000.000
118
2 Tindak Pidana
yang berkenaan
dengan kampanye 116 ayat (1)
UU 32.2004
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kampanye di luar jadwal waktu yang telah
ditetapkan oleh KPUD untuk masing-masing
pasangan calon, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 ayat (2)
15hr-3bln 100.000-1.000.000
116 ayat (2)
UU 32/2004
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan larangan pelaksanaan kampanye
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf
a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf
f
3bln-18bln 600.000-6.000.000
116 ayat (3)
UU 32/2004
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan larangan pelaksanaan kampanye
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf
g, huruf h, huruf i, dan huruf j dan Pasal 79
ayat (1), ayat (3) dan ayat (4)
1bln-6bln 100.000-1.000.000
116 ayat (4)
UU 32/2004
Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan
fungsional dalam jabatan negeri dan kepala
desa yang dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 83
1bln-6bln 600.000-6.000.000
116 ayat (5)
UU 32/2004
Setiap orang yang dengan sengaja
mengacaukan, menghalangi, atau
mengganggu jalannya kampanye 1bln-6bln
600.000-6.000.000
116 ayat (6)
UU 32/2004
Setiap orang yang memberi atau menerima
dana kampanye melebihi batas yang
ditentukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 83 ayat (3)
4bln-24bln 200.000.000-1.000.000.000
119
116 ayat (7)
UU 32/2004
Setiap orang yang dengan sengaja menerima
atau memberi dana kampanye dari atau
kepada pihak-pihak yang dilarang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat
(1), dan/atau tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat
(2)
4bln-24bln 200.000.000-1.000.000.000
116 ayat (8)
UU 32/2004
Setiap orang yang dengan sengaja
memberikan keterangan palsu dalam laporan
dana kampanye sebagaimana diwajibkan oleh
undang-undang ini
2bln-12bln 1.000.000-10.000.000
3 Tindak Pidana
yang berkenaan
dengan
pemungutan suara
dan hasil
pemungutan suara
117 ayat (1)
UU 32/2004
Setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan dan menghalang-halangi seseorang
yang akan melakukan haknya untuk memilih
2bln-12bln 1.000.000-10.000.000
117 ayat (2)
UU 32/3004
Setiap orang yang dengan sengaja memberi
atau menjanjikan uang atau materi lainnya
kepada seseorang supaya tidak menggunakan
hak pilihnya, atau memilih pasangan calon
tertentu, atau menggunakan hak pilihnya
dengan cara tertentu sehingga surat suaranya
menjadi tidak sah
2bln-12bln 1.000.000-10.000.000
117 ayat (3)
UU 32/2004
Setiap orang yang pada waktu pemungutan
suara dengan sengaja mengaku dirinya
sebagai orang lain untuk menggunakan hak
pilih
15hr-60hr 100.000-1.000.000
120
117 ayat (4)
UU 32/2004
Setiap orang yang pada waktu pemungutan
suara dengan sengaja memberikan suaranya
lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS 1bln-4bln 200.000-2.000.000
117 ayat (5)
UU 32/2004
Setiap orang yang dengan sengaja
menggagalkan pemungutaan suara 6bln-3thn 1.000.000-10.000.000
117 ayat (6)
UU 32/2004
Seorang majikan atau atasan yang tidak
memberikan kesempatan kepada seorang
pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali
dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak
bisa ditinggalkan
2bln-12bln 1.000.000-10.000.000
117 ayat (7)
UU 32/2004
Setiap orang yang dengan sengaja pada
waktu pemungutan suara mendampingi
seorang pemilih selain yang diatur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat
(1)
2bln-12bln 1.000.000-10.000.000
117 ayat (8)
UU 32/2004
Setiap orang yang bertugas membantu
pemilih sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 89 ayat (2) dengan sengaja
memberitahukan pilihan si pemilih kepada
orang lain
2bln-12bln 1.000.000-10.000.000
118 ayat (1)
UU 32/2004
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
perbuatan yang menyebabkan pasangan calon
tertentu mendapat tambahan suara atau
perolehan suara suaranya berkurang
2bln-1thn 1.000.000-10.000.000
121
118 ayat (2)
UU 32/2004
Setiap orang yang dengan sengaja merusak
atau atau menghilangkan hasil pemungutan
suara yang sudah disegel 4bln-2thn 2.000.000-20.000.000
118 ayat (3)
UU 32/2004
Setiap orang yang karena kelalaiannya
menyebabkan rusak atau hilangnya hasil
pemungutan suara yang sudah disegel 15hr-2bln 100.000-1.000.000
118 ayat (4)
UU 32/2004
Setiap orang yang dengan sengaja mengubah
hasil perhitungan suara dan/atau berita acara
dan sertifikat hasil perhitungan suara 6bln-3thn 100.000.000-
1.000.000.000.000
122
Berkaitan dengan pembahasan di atas, dapat dijadikan sebagai
pertimbangan hakim dalam menerapkan unsur-unsur tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh
Jaksa Penuntut Umum mengenai Tindak Pidana Pemilukada. Dalam hal ini
hakim sebelum menjatuhkan sanksi pidana maka hakim harus terlebih dahulu
membuktikan unsur-unsur yang terpenuhi dalam Tindak Pidana Pemilukada
maka dapat ditentukan yang menjadi batasan Tindak Pidana Pemilukada yang
dilakukan oleh terdakwa dengan memeriksa alat bukti yang diajukan dalam
persidangan.
Hasil penelitian Tindak Pidana Pemilukada Secara Bersama-Sama
dalam putusan perkara Nomor: 01/Pid.S/2010/PN.Gs, alat bukti yang
diajukan dalam persidangan antara lain: Keterangan Saksi dan Keterangan
Terdakwa. Hasil penelitian dalam putusan tersebut Terdakwa didakwa oleh
JPU dan diputus oleh Hakim sesuai dengan dakwaan oleh JPU melakukan
Tindak Pidana Pemilukada sesuai dengan tindak pidana yang dirumuskan
dalam Pasal 117 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang termasuk dalam kategori ke 3 (tiga)
yaitu tindak pidana yang berkenaan dengan pemungutan suara dan hasil
pemungutan yang memberikan uang kepada peserta istigosah untuk memilih
pasangan nomor 5 (Humas)
2. Penerapan ketentuan Tindak Pidana Pemilukada berdasarkan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Undang-undang Nomor 12
123
Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah dan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana dalam Putusan Nomor 01/Pid.S/2010/PN.Gs
Pemilihan umum merupakan wujud partisipasi politik rakyat dalam
sebuah negara demokrasi, maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa
kebersihan, kejujuran, dan keadilan pelaksanaan pemilihan umum akan
mencerminkan kualitas demokrasi di negara yang bersangkutan. Indonesia
yang merupakan negara demokrasi sudah seharusnya memiliki aturan hukum
yang tegas berhubungan dengan perlindungan para pemilih, bagi setiap pihak
yang mengadakan Pemilu maupun bagi rakyat umumnya dari segala
ketakutan. Intimidasi, penyuapan, penipuan, dan praktik curang lainnya yang
dapat mempengaruhi kemurnian hasil pemilihan umum.
Guna melindungi kemurnian hasil pemilihan umum yang sangat
penting bagi demokrasi maka para pembuat undang-undang telah menjadikan
sejumlah perbuatan curang dalam pemilihan umum sebagai tindak pidana.
Tindak Pidana Pemilu merupakan tindak pidana yang berkaitan
dengan penyelenggaran Pemilu yang di atur dalam Undang-undang Pemilu97
.
Sebenarnya ketentuan mengenai Tindak Pidana Pemilu sudah ada sejak awal
kemerdekaan, yaitu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946) yang selanjutnya diatur pula dalam Undang-
Undang Pemilihan Umum.
Tindak Pidana Pemilukada merupakan tindak pidana yang berkaitan
dengan penyelenggaraan Pemilukada yang di atur dalam UU No. 32 Tahun
97
Topo Santoso, Op.Cit. hal 5.
124
2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah. Terdapat 27
sanksi pidana dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 115 sampai dengan pasal
119 dan terjadi penambahan 3 ayat dalam pasal 115 dalam UU No. 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah yakni ayat 7, 8 dan 9, sementara di dalam KUHP
terdapat 5 pasal sanksi pidana Pemilukada yaitu Pasal 148, 149, 150, dan 152.
Beberapa jenis tindak pidana yang disinyalemen banyak terjadi antara
lain adalah money politics (politik uang). Dalam Pasal 117 ayat (2) UU No.
32 Tahun 2004 disebut sebagai tindakan memberi atau menjanjikan uang atau
materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau
memilih pasangan calon tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara
tertentu sehingga surat suaranya tidak sah. Pidananya adalah penjara paling
singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 1.000.000,- dan paling banyak Rp. 10.000.000,-. Mestinya
pidana yang diberikan bukan penjara, melainkan kurungan. Hal ini terkait
sebutan dalam UU No. 32 Tahun 2004 bahwa Tindak Pidana Pemilu adalah
pelanggaran. Sedangkan pembagian dalam KUHP sebagai induk dari
peraturan pidana yang lain menyatakan bahwa tindak pidana yang termasuk
kategori pelanggaran pidananya adalah kurungan. Sedangkan pidana penjara
adalah untuk tindak pidana yang masuk dalam kategori kejahatan98
.
98
Penanganan Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu, diakses dari situs :
http://nurhidayatsardini.dagdigdug.com/2009/05/23/penanganan-pelanggaran-tindak-pidana-
pemilu/, tanggal 10 Juni 2013.
125
Dikhawatirkan hal inilah yang membuat UU No. 32 Tahun 2004
sebagai aturan normatif dari penyelenggaran Pemilukada menjadi fungsinya
terhambat karena tidak bersinergi dengan KUHP sebagai induk dari peraturan
pidana yang lainnya. Keadaan ini menimbulkan kesan bahwa pembuat
undang-undang Pemilukada hendak memberikan aturan yang sulit
dioperasionalkan dalam pelaksanaan Pemilu ini. Mestinya ketentuan pidana
dalam undang-undang Pemilu ini tetap mengacu pada KUHP sebagai
ketentuan induk. Yakni membedakan antara kejahatan dan pelanggaran, serta
memberikan jenis sanksi pidana yang berbeda pula dengan pidana penjara
untuk kejahatan dan pidana kurungan untuk pelanggaran. Kondisi undang-
undang yang seperti ini akan menjadi persoalan saat terjadi hal-hal lain dalam
proses Pemilu ini, misalnya percobaan, atau perbarengan, Dan lain-lain,
karena tidak bisa serta merta mengacu pada KUHP. Inilah masalah yuridis
dalam bentuk tindak pidana yang ada dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU
No 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Pasal 115 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12
Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah diatur tentang setiap orang yang
dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana
penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan dan denda paling sedikit Rp. 12.000.000,- dan paling banyak
Rp. 24.000.000,-. Ini adalah masalah yang paling banyak terjadi dalam
pelaksanaan pemilu kali ini. Namun ada permasalahan dalam rumusan
ketentuan tersebut, yakni tidak diaturnya bila yang menyebabkan kehilangan
126
hak pilih masyarakat adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri. Tentu
ini menjadi masalah yuridis di mana tidak ada pertanggungjawaban terhadap
KPU bila ternyata terbukti KPU yang menyebabkan masyarakat kehilangan
hak pilihnya. Kedua pasal tersebut saja banyak menunjukan bahwa UU No.
32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 ini banyak mengandung
kelemahan. Jadi, dalam kebijakan hukum pidana yang akan ditegakkan
nantinya jelas akan menimbulkan kesimpangsiuran, atau bahkan tidak efisien
dalam aturan yang sudah ada. Sebab itulah penting untuk mereformulasi
undang-undang Pemilukada ini agar lebih baik dan kebijakan hukum pidana
dapat efektif sehingga pelaksanaan Pemilu ke depan akan lebih baik.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan Hakim Pengadilan
Negeri Gresik yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan terhadap perkara
Nomor: 01/Pid.S/2010/PN.Gs, dalam putusannya menyatakan bahwa tindak
pidana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum telah terbukti sebagai suatu
perbuatan yang merupakan Tindak Pidana Pemilukada 2010-2015
sebagaimana catatan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 117 ayat (2) UU
No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintaha Daerah Jo UU No. 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang perumusannya sebagai berikut :
Pasal 117 yang merumuskan : “Setiap orang yang dengan sengaja
memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang
supaya tidak menggunakan hak pilihanya, atau memilih pasangan
calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu
sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).”
127
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang merumuskan : “Mereka yang
melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan perbuatan.”
Berdasarkan rumusan pasal tersebut di atas, dapat ditarik unsur-
unsur yang ada dalam pasal tersebut antara lain:
1) Unsur Setiap orang
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa yang dimaksud
dengan unsur setiap orang disini adalah siapa saja, orang perorangan atau
koorporasi atau kumpulan orang baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum, sebagai subyek hukum selaku pendukung hak dan
kewajiban yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya didepan
hukum.
Dalam perkara ini Jaksa Penuntut Umum telah menghadapkan para
terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim dan terdakwa 2 Raharjo yang termasuk
sebagai orang perorangan, selaku subyek hukum yaitu pendukung hak dan
kewajiban dan selama proses persidangan majelis tidak menemukan adanya
alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapus kesalahan
terdakwa sehingga terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim dan terdakwa 2
Raharjo mampu untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
2) Unsur Dengan sengaja
Bahwa dari hasil penelitian yang dimaksud unsur dengan sengaja
adalah bahwa pelaku ada niat, atau mengetahui, atau menyadari perbuatannya
dan menghendaki atau mengetahui akibat yang akan timbul dari
perbuatannya.
128
Dalam doktrin ilmu hukum pidana dikenal ada 3 gradasi berkaitan
dengan teori kesengajaan, yaitu99
:
a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerek) artinya terjadinya suatu
tindakan atau akibat tertentu adalah betul-betul sebagai perwujudan
dari maksud atau tujuan dan pengetahuan dari pelaku;
b. Kesengajaan sebagai kesadaraan (oopzet bij zekerheids) artinya
seberapa jauh pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan
dan akibat terlarang yang mungkin akan terjadi;
c. Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus evebtualis) artinya
sejauh mana pengetahuan atau kesadaraan pelaku tentang tindakan
dan akibat terlarang yang mungkin akan terjadi.
Maka dalam perkara a quo dikaitkan dengan teori kesengajaan
tersebut diatas, maka tepat bila dikatakan kesengajaan yang telah dilakukan
oleh para terdakwa berada pada gradasi yang pertama, yaitu kategori
kesengajaan sebagai maksud, karena dari awal para terdakwa telah
menyadari/mengetahui atau perbuatannya yaitu dengan sengaja memajukan
pertemuan istigosah yang semula dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 22
Mei 2010, karena pada hari senin malam sudah memasuki hari tenang
Pemilukada yang melarang untuk melakukan kampanye, maka benar majelis
menilai sesungguhnya yang terjadi pada hari Sabtu tanggal 22 mei 2010
adalah kegiatan kampanye yang dibungkus/dibingkai dengan kegiatan
istigosah. Karena tidak ada larangan menurut ketentuan peraturan perundang-
99
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit. hal 61-65.
129
undangan untuk membatasi kegiatan keagamaan seperti istigosah. Namun
esensi disini pertemuan pada tanggal 22 Mei 2010 bukan pertemuan dilarang
tapi pembagian/pemberian uang kepada para undangan untuk mempengaruhi
seseorang agar memilih pasangan tertentu dilarang. Maka benar dalam
perkara a quo ini dikaitkan dengan Pasal 117 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah.
3) Unsur “Memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya
kepada seseorang supaya tidak mnggunakan hak pilihnya atau
memilih pasangan calon tertentu, atau menngunakan hak
pilihnya dengan cara tertentu
Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara ini rumusan frase
“memberi atau menjanjikan” sifatnya adalah alternative, artinya majelis boleh
memilih salah satu yang dianggap sesuai dengan fakta di persidangan, maka
oleh karenanya majelis akan langsung mempertimbangkan yang secara fakta
terungkap di persidangan yaitu unsur “memberi”.
Dalam perkara bahwa terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim
menyuruh ibu Sulami untuk mengundang fakir miskin untuk datang ke
istigosah di rumahnya pada hari Sabtu 22 Mei 2010 jam 16.00 WIB.
Disamping acara istigosah yang dipimpin terdakwa 2 Raharjo, sebelum doa
dibacakan dan ada ceramah oleh terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim
intinya mengharap para undangan yang hadir dalam Pemilukada memilih
cabup dan cawabup nomor 5 sambil menunjukan amplop bergambar foto
pasangan cabup cawabup nomor 5 yang telah diambil terdakwa 1 KH. Abdul
130
Qohar Hasyim di kantor MWC NU kecamatan Menganti pada hari Jumat
tanggal 22 Mei 2010 yang telah berisi uang Rp. 50.000,- yang akan diberi
terdakwa 2 Raharjo.
4) Unsur “Yang melakukan, menyuruh melakukan, atau ikut
melakukan”.
Unsur ini pada dasarnya merupakan delik penyertaan sehingga
mensyaratkan adanya 2 pelaku atau lebih, setiap pelaku mempunyai peranan
dapat sebagai pelaku, yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan
perbuatan pidana itu, dimana terdapat kerjasama secara langsung untuk
mewujudkan perbuatan pidana tertentu .
Berdasarkan hasil penelitian pada perkara Nomor
01/Pid.S/2010/PN.Gs maka diperoleh bahwa adanya pernyataan keterangan
para saksi maupun keterangan para terdakwa dipersidangan dihubungkan
dengan barang bukti, bahwa uang Rp. 50.000,- yang dimasukkan dalam
amplop bergambar pasangan cabup cawabup nomor 5 adalah terdakwa 2
Raharjo yang membagikan kepada para undangan istigosah. Dengan
demikian terdakwa 2 Raharjo terbukti turut serta melakukan.
Menurut Pompe “turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana”
itu ada tiga kemungkinan100
:
a. Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan
delik;
100
Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana. Fakultas Hukum UNSOED,
Purwokerto, 1993, hal 33.
131
b. Salah seorang memenuhi semua unsur delik, sedang yang lain
tidak;
c. Tidak seorang pun memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya, tetapi
mereka bersama-sama mewujudkan delik itu.
Hasil penelitian Putusan Perkara Nomor: 01/Pid.S/2010/PN.Gs,
diperoleh identitas dari terdakwa 1 adalah : KH. Abdul Qohar Hasyim;
tempat lahir : Gresik; umur : 68 tahun; tempat tinggal : Gresik dan terdakwa 2
adalah : Raharjo; tempat lahir : Gresik; umur : 62 tahun; tempat tinggal :
Gresik. Bahwa berdasarkan hasil penelitian terdakwa 1 KH. Abdul Qohar
Hasyim bukan merupakan tim kampanye Khusnul Khuluq–Musaffa (Humas)
sebagaimana Surat Keputusan Bersama antara Partai Kebangkitan Bangsa,
Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Nasinal Ulama tanggal 22
Febuari 2010. Jadi dalam hal ini terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim tidak
dapat dikenakan Pasal 82 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah dan Pasal 64 PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
tapi termasuk dalam Pasal 117 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12
Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah karena ada unsur “setiap orang”
bukan pasangan calon dan/atau tim kampanye Khusnul Khuluq-Musaffa
(Humas) yang menunjukan bahwa secara esensial telah terjadi pelanggaran
tindak pidana yang berarti mengurangi elemen sistem hukum
Kepemilukadaan oleh majelis telah dinyatakan terbukti dan dihubungan
dengan barang bukti yang cukup diajukan ke persidangan, majelis telah
132
memperoleh keyakinan bahwa para terdakwa telah bersalah melakukan tindak
pidana money politic atau politik uang. Secara hukum berarti mengurangi
keabsahan dan terdapat cacat hukum dalam Pemilukada di Gresik. Dengan
terbuktinya ada unsur delik pidana yang mencerminkan sikap tidak terpuji
dalam Pemilukada, berarti telah juga mencederai atau menodai demokrasi.
Tindak pidana money politic itu sendiri juga merupakan tindak pidana
jenis pelanggaran terhadap undang-undang yang telah disusun oleh KPU. Dan
tindak pidananya merupakan delik aduan. Karena money politic adalah delik
aduan maka pelanggaran tersebut hanya bisa ditindak lanjuti apabila ada
pihak yang dirugikan. Maka berdasarkan asas hukum Lex Specialis De rogat
Lex Generalis, artinya bahwa peraturan khusus dapat mengenyampingkan
peraturan umum dan juga atas pertimbangan tujuan lahirnya undang-undang
yang baru (undang-undang Pemilu) dalam hal ini UU No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tindak pidana money politic,
jadi yang akan diterapkan adalah UU Pemilukada, bukan KUHP.101
Baik secara konseptual-teoritis maupun secara yuridis formal
peraturan perundang-undangan Indonesia tidak pernah memberikan definisi
atau pengertian tentang apa yang dikatakan dengan istilah politik uang atau
money politc. Namun demikian, berdasarkan unsur-unsurnya dapat
ditunjukkan ketentuan pasal-pasal yang dianggap memuat rumusan tindak
pidana politik uang. Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa politik uang
adalah suatu tindakan untuk mempengaruhi pemilih dengan janji pemberian
101
Sintong Silaban, Op.Cit. hal 57.
133
uang dan materi lainnya agar orang memilih kandidat tertentu. Disini perlu
juga dibedakan antara uang politik atau ongkos politik dengan politik uang.
Uang politik adalah sejumlah uang yang disepakti secara bersama dan terbuka
antara aktor-aktor yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilukada yang
diperlukan secara wajar untuk mendukung operasionalisasi aktivitas-aktivitas
yang dilakukan oleh peserta Pemilukada. Besarnya ditetapkan oleh undang-
undang dan Peraturan Pemerintah. Contohnya, biaya administrasi pendaftaran
pasangan kandidat, pembelian spanduk dan stiker, dan lain sebagainnya.
Sementara itu, politik uang adalah uang yang ditunjukkan dengan maksud-
maksud tertentu seperti contohnya untuk melindungi kepentingan bisnis dan
kepentingan politik tertentu. Politik uang juga bisa terjadi ketika pihak
penyandang dana berkepentingan terhadap kandidat tertentu untuk
memuluskan baik kepentingan bisnis maupun politik tertentu dilakukan
dengan berbagai bentuk, yaitu pembagian uang, kaos, sarung, beras, baju
koko, dan jilbab. Dalam pidana umum tindak pidana politik uang dapat
dikelompokkan ke dalam tindakan penyuapan.
Bagi masyarakat umum, Pemilukada langsung sering juga ditafsirkan
sebagai kesempatan bagi-bagi uang. Mereka tahu bahwa tiap-tiap kandidat
menyediakan anggaran yang cukup besar untuk memenangkan kompetisi102
.
Itulah fenomena money politics dalam pemilukada yang di tengah
102
Amirudin dan Zaini Bisri, Pilkada Langsung Problem dan Prospek, Penerbit
Pustaka Pelajar, 1 Januari 2006 , hal 1. Bahwa tiap-tiap kandidat menyediakan anggaran yang
cukup besar, anggaran itu biasanya untuk pos-pos pengeluaran utama berupa pemeliharaan
jaringan pendukung dari tim sukses samapi ketingkat kordinator lapangan di desa-desa, biaya
untuk kampanye, biaya lobi dan promosi, biaya untuk konsumsi. Dengan rata-rata anggaran
kandidat yang cukup besar, wajar apabila rakyat berharap dapat ikut merasakan kecipratan uang
itu.
134
kegamangan ”lompatan demokrasi” tersebut lahirnya cendrung ditoleransi
keberadaannya. Dengan alasan, kedua belah pihak baik kandidat maupun
rakyat sama-sama membutuhkannya. Sepanjang tidak ada unsur pemaksaan
dan intimidasi atau bentuk-bentuk kekerasan politik lainnya, praktek politik
uang semacam itu biasanya sulit untuk ditindak atau dikenai hukuman,
kecuali yang tertangkap basah. Dalam praktek politik uang dikenal beberapa
tahapan dana yang dibutuhkan dimulai dari uang perkenalan, uang pangkal,
uang untuk fraksi hingga uang yang ditujukan untuk membeli suara orang per
orang103
.
Dalam proses pelaporan adanya pelanggaran Pemilu ke Panwas,
majelis juga mempertimbangan formalitas yang berkaitan dengan pelaporan
adanya pelanggaran Pemilu kepada Panwas. Sesuai ketentuan Pasal 110 ayat
(3) PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, bahwa pelaporan
tersebut sesuai dengan ayat (2), disampaikan kepada Panwas pemlihan sesuai
wilayah kerja selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak terjadinya pelanggaran.
Selanjutnya dalam Pasal 111 ayat (1, 2, 3) menyebutkan Panwas mengkaji
setiap laporan pelanggaran yang diterima untuk menindak lanjuti atau tindak
menindak lanjuti laporan, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah laporan
diterima dalam hal Panwas memerlukan keterangan tambahan dari pelapor
untuk mlengkapi laporan putusan sebagaimana dimaksud ayat (2) Pasal 111
PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
103
Amzulian Rifai, Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah, Cetakan I,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hal 62.
135
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dilakukan paling
lambat 14 (empat belas) hari setelah laporan diterima.
Bahwa berdasrkan Kajian Laporan (Model A-3 KWK) Nomor:
82/Panwaslukada-Grs/V/2010, bahwa laporan tersebut diterima oleh Panwas
Pemilukada Kabupaten Gresik pada tanggal 25 Mei 2010 dan berdasarkan
surat Panwas Pemilukada Kabupaten Gresik kepada Kapolres Gresik Nomor
83/Panwaslukada-Grs/VI/2010 perihal penerusan laporan pelanggaran pidana
Pemilu tertanggal 3 Juni 2010, maka dalam hal ini penyidik kepolisian
(Gakkumdu-Polres) masih dalam batas waktu yang diberikan oleh undang-
undang. Sehingga secara formal catatan dakwaan yang diajukan oleh
Penuntut Umum dapat diterima.
Dengan batasan waktu yang terbatas untuk menindaklanjuti adanya
dugaan pelanggaran dalam Pemilukada mengakibatkan setiap Tindak Pidana
Pemilu yang baru diketahui setelah lewat dari jangka waktu yang telah
ditentukan sehingga pelakunya dapat terbebas dari pertanggungjawaban
pidana. Hal tersebut tentu saja menimbulkan perasaan tidak adil bagi korban
khususnya dan masyarakat umumnya karena sangat mungkin suatu temuan
tentang adanya Tindak Pidana Pemilu baru ditemukan setelah batas waktu
pelaporan yang ditentukan peraturan Pemilu.
Maka dari itu perlu adanya kerjasama antara Bawaslu, Kepolisian, dan
Kejaksaan untuk membuat Kesepahaman Bersama dan membentuk Sentra
Penegakkan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu). Maksud dibuatnya
Kesepahaman Bersama ini adalah menyamakan pemahaman dan pola
136
penanganan perkara Tindak Pidana Pemilu oleh Sentra Gakkumdu. Adanya
Sentra Gakkumdu memungkinkan pemeriksaan perkara pendahuluan melalui
gelar perkara bertujuan untuk saling berkoordinasi melakukan penangganan
Tindak Pidana Pemilu mulai adanya tahap laporan hingga adanya putusan
pengadilan yang mepunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam konteks pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU No. 32
Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah
merupakan undang-undang khusus (lex specialis) karena mengatur Tindak
Pidana Pemilukada. Artinya dengan menggunakan ketentuan dalam UU No.
32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah
sudah bisa menjerat banyak tindak pidana yang terjadi dengan upaya pidana
(penal).
Meskipun dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008
Tentang Pemerintahan Daerah tidak mencantumkan tentang tujuan dan
pedoman pemidanaan untuk Tindak Pidana Pemilukada ini, tapi undang-
undang ini tetap diharapkan bisa berfungsi sebegaimana mestinya, yakni
memberikan keadilan pada masyarakat. Pentingnya tujuan dan pedoman
pemidanaan ini, menurut Prof. Barda Nawawi Arief yakni sebagai pemberi
arah agar digunakannya sarana penal ini dapat bermanfaat dan sesuai dengan
tujuan yang hendak dicapai, serta memberikan landasan filosofis mengapa
dan bagaimana pidana itu diberikan.
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah, delik-delik KUHP diadopsi ke dalam batang
137
tubuh, dengan cara menuliskan dengan cara menyebutkan unsur-unsur Tindak
Pidana Pemilunya.
Dalam Pasal 115, 116, 117, dan Pasal 118 UU No. 32 Tahun 2004 Jo
UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah rumusannya diubah,
sehingga tidak lagi mengacu pada Pasal 148, 149. 150, 151, dan 152 KUHP,
akan tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-
masing pasal KUHP seperti “Merintangi seseorang memakai hak pilihnya
dengan kekerasaan atau ancaman kekerasan” yang dinyatakan dalam Pasl 148
KUHP, juga diadopsi dalam Pasal 117 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Jo
UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan tersebut
selain memudahkan pemahaman terhadap materi muatan yang dikandungnya
juga memberikan penjelasan terhadap obyek atau lingkup yang diaturnya.
Mencermati kembali penerapan ketentuan unsr-unsur tindak pidana
pemilu dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang
Pemerintahan Daerah dan KUHP yang sudah di jelaskan di atas bahwa dalam
UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 tidak sama dengan
kebijakan perumusan dalam KUHP karena ternyata rumusan tindak pidana
mengalami perluasan bukan saja pada setiap orang, tetapi juga ada beberapa
kategori subyek, seperti peserta Pemilu, Penyelenggara Pemilu, Pejabat
negara, Pemerintah, dan Peradilan, serta lain sebagainya. Demikian juga
dengan ancaman sanksi pidana, rumusannya cenderung menggunakan sistem
kumulatif, yakni antara pidana penjara dan pidana denda yang rentat
perbedaan sanksi minimal dan sanksi maksimal cukup tinggi. Hal ini dapat
138
dilihat dengan ciri-ciri menggunakan kata-kata “dan” dalam sanksi
pemidanannya. Sementara kebijakan pola perumusan sanksi pidana dalam
KUHP sebagai induk dari peraturan pidana lain yang termasuk kategori
pelanggaran pidananya adalah kurungan sedangkan pidana penjara adalah
untuk tindak pidana yang masuk dalam kategori kejahatan. Dalam Pasal 148,
150, 151, dan 152 menganut sistem pidana tunggal, sedangkan Pasal 149
menganut sistem pidana alternatif.
Dalam hal ini, berdasarkan asas Lex Spesialis derograt Legi Generalis
maka dalam dakwaan Pemilu ketentuan ketentuan yang digunakan adalah
hanya ketentuan di dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008
Tentang Pemerintahan Daerah dan yang dilakukan Majelis Hakim dengan
konsisten menggunakan UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008
Tentang Pemerintah Daerah sebagai dakwaan Pemilukada sudah tepat.
Majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Tindak Pidana
Pemilukada, unsur-unsur Tindak Pidana Pemilukada yang menjadi
pertimbangan Majelis Hakim berdasarkan Pasal 117 ayat (2) UU No. 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
terpenuhi pembuktiannya secara keseluruhan berdasarkan saksi-saksi dan alat
bukti yang sah. Sehingga sanksi Tindak Pidana Pemilukada yang di tuntut
Jaksa Penuntut Umum pada perkara tersebut dapat diterapkan yang
membuktikan secara sah dan meyakinkan para terdakwa terbukti bersalah
telah melakukan tindak pidana “dengan sengaja secara bersama-sama
memberi uang kepada seseorang supaya memilih pasangan calon tertentu”.
139
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bab sebelumnya, dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Tindak Pidana Pemilukada dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah
sudah dibatasi menjadi 3 kategori, yaitu :
1) Tindak Pidana yang berkenaan dengan penetapan pemilih dan
pemenuhan persyaratan peserta Pemilukada, yang diatur dalam
Pasal 115;
2) Tindak Pidana yang berkenaan dengan kampanye, yang diatur
dalam Pasal 116;
3) Tindak Pidana yang berkenaan dengan pemungutan suara dan hasil
pemungutan suara, yang diatur dalam Pasal 117 dan Pasal 118.
2. Penerapan ketentuan Tindak Pidana Pemilukada berdasarkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Undang-undang Nmor. 12 Tahun 2008
Tentang Pemerintahan Daerah dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
para terdakwa, yaitu terdakwa 1 KH. Abdul Qohar Hasyim dan terdakwa
2 Raharjo terbukti bersalah melakukan tindak pidana “dengan sengaja
secara bersama-sama memberi uang kepada seseorang supaya memilih
pasangan calon tertentu”. Bahwa berdasarkan hasil penelitian perkara
140
Nomor 01/Pid.S/2010/PN.Gs, para terdakwa dalam putusan dinyatakan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana telah terbukti dan
termasuk ke dalam kategori Tindak Pidana Pemilukada yang berkenaan
dengan pemungutan suara dan hasil pemungutan suara sesuai yang
didakwa Jaksa Penuntut Umum telah terpenuhi dan terbukti secara sah
dan meyakinkan dalam pemeriksaan di persidangan. Dalam konteks
pengaturan tindak pidana, sesungguhnya UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU
No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah merupakan undang-
undang khusus (lex specialis) karena mengatur tindak pidana. Artinya
dengan menggunakan ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU
No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah sudah bisa menjerat
banyak tindak pidana yang terjadi dengan upaya pidana (penal) dengan
mengedepankan dengan membuat Kesepahaman Bersama antara Sentra
Gakkumdu karena terbatasnya waktu untuk menanggani pelanggaran
pemilukada.
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis dapat diberikan saran
sebagai berikut :
1. DPR sebagai lembaga legislatif pembuat undang-undang perlu membentuk
undang-undang yang baru tentang Pemerintah Daerah khususnya masalah
ketentuan pelanggaran Tindak Pidana Pemilukada berdasarkan kasus-
kasus dan pelanggaran yang ada di masyarakat yang semakin meluas
karena UU No. 32 Tahun 2004 Jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang
141
Pemerintahan Daerah sudah tidak relevan. Hal yang perlu dikaji untuk
memberikan batasan tindak pidana dalam Pemilukada adalah sistematika
dan kategorisasi yang cukup jelas dan lengkap baik masalah tujuan
filosofis dari tindak pidana, unsur-unsur perbuatan pidana Pemilukada,
pembagian subyek hukum, jenis tindak pidana, jenis sanksi ancaman
pidana, dan lain sebagainya. Sehingga pembuat undang-undang dapat
membatasi tindak pidana dalam Pemilukada yang jelas dan lengkap yang
dapat mengikuti dan menjangkau pelanggaran pidana Pemilukada yang
berkembang di masyarakat dan kepada Pemerintah pusat juga segera
melaksanakan pemilihan serentak, baik ditingkat provinsin maupun
kabupaten/kota. Ini dilakukan untuk menghemat anggaran yang
dibutuhkan agar terhindar dari perbuatan money politic daripada
mengembalikan sistem Pemilukada kepada DPRD yang hanya menciderai
demokrasi Indonesian bukan mengurangi money politic.
2. Perlunya DPR sebagai lembaga legislatif mengkaji ulang PP No. 6 Tahun
2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terkait Pasal 111 ayat (1, 2, 3)
dan dilanjutkan dengan pembentukan PP yang baru mengenai batas waktu
untuk menindaklanjuti laporan adanya pelanggaran. Perlunya penambahan
waktu dalam hal menanggani pelanggaran-pelanggaran Tindak Pidana
Pemilukada bagi Panwaslu tidak lagi menjadi 7 hari, agar setiap laporan
adanya dugaan pelanggaran pidana Pemilukada yang dapat dikaji lebih
mendalam dan dapat diteruskan pada sistem peradilan (Kepolisian,
142
Kejaksaan, Peradilan) sehingga setiap pelanggaran yang mengandung
unsur pidana pemilukada dapat dijerat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta perlu meningkatkan kinerja Sentra
Gakkumdu agar lebih meningkatkan koordinasi dan kerjasama melakukan
penangganan Tindak Pidana Pemilukada mulai adanya tahap laporan
hingga adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
143
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Arbas, Cakra. 2012. Cetakan I. Jalan Terjal Calon Independen Pada Pemilukada
di Provinsi Aceh. Medan: PT Gramedia;
Arief, Barda Nawawi. 1993. Sari Kuliah Hukum Pidana. Purwokerto: Fakultas
Hukum UNSOED;
Asshiddieqie, Jimly. 2011. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi.
Jakarta: Sinar Grafika;
________________. 2012. Penghantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta:
Rajagrafindo Persada;
Bisri, Zaini dan Amiriudin. 2006. Pilkada Langsung Problem dan Prospek,
Penerbit Pustaka Pelajar.
Budiardjo, Miriam. 2010. Cetakan II. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Ikrar
Mandiri Abadi;
Farid, Zainal Abidin. 2007. Cetakan II. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika.
Gaffar, Janedjri M. 2012. Cetakan I. Politik Hukum Pemilu. Jakarta: Konstitusi
Press (Konpress);
Handoyo, B. Hestu Cipto. 2003. Cetakan I. Hukum Tata Negara,
Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Universitas
Atmajaya;
Huda, Ni’matul. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada;
Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayu Media;
Joeniarto. 1984. Cetakan III. Demokrasi Dan Sistem Pemerintahan Negara.
Jakarta: Bina;
Lamintang, PAF. 1987. Cetakan I. Delik-Delik Khusus: Kejahatan-Kejahatan
Terhadap Kepentingan Hukum Negara. Bandung: Sinar Baru;
144
______________. 1990. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar
Baru;
_____________. 1997. Cetakan III Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti;
Maramis, Frans. 2012. Cetakan I. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di
Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada;
Marzuki, Peter Mahmud. 2009. Cetakan V. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana;
MD, Moh. Mafud. 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama
Media;
______________. 2003. Cetakan II. Demokrasi Dan Konstitusi Indonesia.
Jakarta: Rineke Cipta;
Moch Najih, Usaf dan Togat, 2004. Penghantar Hukum Pidana. Malang: UMM
Press, Malang;
Moeljatno. 1984. Cetakan II. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara;
Prakoso, Djoko. 1987. Cetakan I. Tindak Pidana Pemilu. Jakarta: CV. Rajawali;
Prihatmoko, Joko J. 2008. Cetakan I. Mendemokratiskan Pemilu Dari Sistem
Sampai Elemen Teknis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar;
Prodjodikoro, Wirjono. 2002. Cetakan VII. Asas-Asas Hukum Pidana Di
Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama;
___________________. 2003. Cetakan I. Tindak –Tindak Pidana Tertentu Di
Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama;
Rifai, Amzulian. 2003. Cetakan I. Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daerah.
Jakarta: Ghalia Indonesia;
Santoso, Topo. 2000. Membumikan Hukum Pidana Islam : Penegakan syariat
Dalam Wacana dan Agenda, Asy Syamil. Jakarta: Gema Insani;
_____________. 2006. Cetakan I. Tindak Pidana Pemilu. Jakarta: Sinar Grafika;
Sidik, Muh. Nur. Jurnal Ilmiah Hukum Legality, Vol 13 Nomor 2, Fakultas
Hukum UMM;
145
Silaban, Sintong. 1992. Tindak Pidana Pemilu Suatu Tinjauan Dalam Rangka
Mewujudkan Pelaksanaan Pemilu Yang Jujur Dan Adil. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan;
Soehino. 2005. Cetakan VII. Ilmu Negara. Yogyakarta. Liberty;
______. 2010. Hukum Ttata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi di
Indonesia. Yogyakarta: BPFE;
Soedarto. 2001. Penghantar Kuliah Hukum Pidana Jilid IA-IB. Purwokerto:
Fakultas Hukum UNSOED;
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 1990. Peneltian Hukum Normatif (suatu
Kajian Singkat). Jakrta: Rajawali;
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.
Jakarta: Ghalia Indonesia;
Sugandhi, R. 1980. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional;
Suharizal. 2011. Pemilukada: Regulasi, Dinamika, dan Konsep Mendatang.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada;
Sukarna. 1981. Sistem Politik. Bandung: Alumi;
Surbakti, Ramlan. 2005. Dalam Titik Triwulan Tutik Pemilihan Kepala Daera
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2994 Dalam Sistem Pemilu
UUD 1945. Jakarta: Prestasi Pustaka Pelajar.
B. Peraturan Perundang-Undangan
- Undang-Undang
Amandemen IV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konsitusi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4316) sebagaimana telah berubah
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-II/2004
tanggal 12 April 2005;
146
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4844);
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaran Pemilihan
Umum (PEMILU) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 59, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
37, Tambahan Lembaran Negara Rpublik Indonesia 4227).
- Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4480);
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas PP
Nomor 6 Tahun 2005.
C. Putusan
Putusan Mahkamah Konstitusi No.5/PUU-V/2007 tanggal 23 Juli 2007;
Putusan Pengadilan Negeri Gresik Nomor Perkara 01/Pid.S./2010/PN.Gs.
Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004 Tentang Risalah Sidang Pleno Mendengar
Keterangan DPR, KPU, Saksi Ahli dari Pemohon Perkara 072/PUU-II/2004
Perkara 073/PUU-II/2004 Pengujian UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah Terhadap UUD NKRI Tahun 1945
D. Bahan Lain
http://kpu.jabarprov.go.id.index.php/subMenu/informasi/berita/detailberita/64.
diakses tanggal 3 April 2013 Wahyu, Bambang. 1991. Penelitian Hukum
Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafik;
147
Penanganan Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu, diakses dari situs :
http://nurhidayatsardini.dagdigdug.com/2009/05/23/penanganan-
pelanggaran-tindak-pidana-pemilu/, tanggal 10 Juni 2013;
Syahuri, Taufiqurahman. “Anatomi Putusan MK RI tentang Pemilukada”.
Seminar Putusan MK Pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah;
Berita Mahkamah Konstitusi, edisi khusus, 2004;
M, I.B.G Suryatmaja. “Pemilihan Kepala Daerah Langsung”. Artikel dalam
Rountable D J Notulensi, “Pemilukada: Kini dan Masa Mendatang”,
Kesimpulan pada Seminar Evaluasi Pemilihan Umum Kepala Daerah,
Kepaniteraan Sekretariat Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2012.