Download - The Story About Joni_Dwi Putri-Ayos Purwoaji
Ayam aduan yang dijual, harganya berkisar antara tiga ratus hingga lima ratus ribu rupiah. Jenis yang banyak
dijual adalah ayam bangkok yang dikenal sebagai petarung handal.
Seorang penjual ayam jago yang dapat ditemui di daerah kota lama. Mereka membuka lapak dagangannya setiap hari. Meski setelah ada larangan adu jago diterapkan dagangan mereka relatif sepi peminat.
Satu-satunya penjual wanita yang hadir hari itu. Sayangnya hingga siang tiba dagangannya tidak laku juga.
Kebanyakan para pecandu adu ayam membawa sendiri jagoannya dari rumah. Sebelumnya ayam aduan tersebut telah dilatih dan diberikan nutrisi khusus untuk menjaga stamina dan mental ayam saat bertarung.
Suasana Kota Lama membawa nuansa unik dan menarik untuk dijadikan objek foto. Letak gang untuk melakukan sabung ayam ini tidak terlalu jauh dari Greja Blenduk, sebuah situ bersejarah terkenal di kawasan Kota Lama, Semarang.
Posisi kuda-kuda seperti inilah awal dari pertarungan yang mematikan. Dengan menaikkan buku leher ayam-ayam jagoan ini berusaha untuk saling menakuti satu sama lain.
Joni menyerang lawannya dari atas. Cakar dan taji yang pejal adalah senjata ampuh bagi ayam untuk melumpuhkan lawan. Jika lawan tidak siap mental, maka ia akan lari ketakutan, dalam istilah jawa disebut pecuk.
Seusai pertandingan, dengan gagah Joni mengangkat sayapnya tanda kemenangan absolut yang didapatkannya hari ini. Sedangkan lawannya berdarah-darah, jenggernya hampir putus terkena serangan Joni, hingga terpaksa harus dilarikan pemiliknya untuk segera diobati.
Mulyadi, menampung ayam yang sudah kalah dalam pertarungan untuk dijual lagi. Ayam yang kalah dalam pertarungan biasanya tertinggal dalam posisi yang payah, seluruh tubuhnya penuh luka. Sehingga bisa dijual murah.
ayos purwoaji & dwi putri
2010
The Story About
Joni Cock Fighting in Semarang Old Town
Text by Ayos Purwoaji
Photo by Ayos Purowaji and Dwi Putri
Beberapa pria berkerumun di sebuah
gang sempit. Mereka berdesak-desakan
mengitari sebuah arena sambil berteriak
kegirangan. Di tengah kerumunan tersebut,
Joni dengan sigap bersiap untuk mencakar
lawannya. Tapi musuh Joni yang sudah
sempoyongan pun tidak kalah pintar, ia
mengelak. Sesaat kemudian mereka terlibat
aksi saling kejar. Musuh Joni ingin lari,
tampaknya ia sudah tidak kuat lagi. Kepala
dan beberpaa bagian tubuh lainnya penuh
luka dan mengalirkan darah segar. Tetapi para
penonton masih belum puas. Mereka
memaksa lawan Joni untuk masuk arena. Kali
ini Joni tampak lebih siap untuk memberikan
pukulan pamungkas. Dalam sebuah lompatan
saja Joni bisa mendaratkan cakaran telak di
tubuh lawannya. Lawannya jatuh, lalu dibawa
lari oleh promotornya menjauh dari keramaian.
Joni menang. Meski luka lecet sana-sini
namun kepalanya masih bisa berdiri tegak.
"Joni sudah menang dua kali hari ini, ayam
saya ini memang jagoan," kata Untung. Pria
energik ini memang selalu membanggakan
ayam jagonya yang bernama Joni. Sambil
bercerita, Untung masih ingat benar bahwa
Joni benar-benar ia siapkan menjadi ayam
petarung sejak kecil. "Joni ini hasil anakan,
saya ndak beli. Jadi saya rawat dari kecil,"
kata Untung bercerita tentang mas lalu Joni.
Setiap hari Untung memberi makan beras
merah serta adonan campuran madu dan
telur. Kira-kira itu adalah ramuan khusus
rahasia milik Untung agar Joni selalu bugar.
"Makanannya Joni ini lebih mahal dari
pemiliknya, hahaha," kata Untung. Namun
hasilnya jelas terlihat, Joni menjadi raja di
arena. Ia tak terkalahkan. Bagi Untung, ayam
miliknya ini selalu membawa hoki. Setiap
diadu selalu menang. "Wah harganya sudah
mahal mas, ada yang nawar jutaan, tapi ndak
saya lepas," kata Untung. Pria asal Jombang
ini memang biasa melakukan adu ayam,
tempat favoritnya untuk melakukan sabung
adalah Gang Telkom yang terletak di salah
satu sudut kawasan Kota Lama, Semarang.
Hampir setiap hari di gang ini selalu
banyak pengunjung. Rata-rata adalah pria.
Sebelum arena sabung ayam digelar, pada
pagi harinya ada pasar tempat jual beli ayam.
Hanya saja semua yang dijual adalah ayam
jago -ayam petarung, tidak ada yang menjual
ayam potong apalagi ayam petelur. Hampir
semua ayam yang dijual masih dalam kondisi
prima dan siap untuk diadu.
Klan ayam petarung yang menjadi favorit
para penghobi adalah jenis ayam bangkok.
Ciri-ciri ayam ini adalah batok kepala dan
tulang alis yang tebal, kepala berbentuk
seperti buah salak, bulu mengilap dan kaku,
kaki bersisik kasar, saat berdiri sikap
badannya tegak, dan matanya masuk ke
dalam. Ayam ini sengaja dipilih untuk aduan
karena memiliki pukulan sangat keras saat
bertarung. Ayam jenis ini juga memiliki taji
yang besar. Taji adalah senjata utama ayam
untuk melukai lawannya.
Rata-rata ayam jago fresh yang siap
diadu dijual antara 300.000 hingga 500.000
rupiah per ekor. Semua tergantung dari umur
dan ukuran ayam yang ditawarkan. Di tempat
ini ayam seolah menjadi obsesi. Apalagi ayam
yang sudah menang berkali-kali menjadi
primadona yang akan dihargai berapapun asal
bersedia untuk dibeli. Ayam kembali menjadi
simbol lawas untuk ukuran kejantanan dan
martabat pemiliknya. Tapi tidak semua orang
membeli ayam di sini, sebagian besar peserta
sabung membawa ayam jagoannya dari
rumah masing-masing, seperti halnya Untung.
Sebelum diadu, biasanya ayam-ayam tersebut
akan diusap dengan spon lembut yang dicelup
air, kegiatan ini biasa disebut mbanyoni.
Letak gang ini tidak terlalu jauh dari Greja
Blenduk, sebuah situ bersejarah terkenal di
kawasan Kota Lama. Tepatnya terletak di
antara Jalan Letjend Suprapto dan Jalan
Kepodang dimana ada sebuah gang yang
membujur dari utara ke selatan. Karena
berada tepat di belakang gedung Telkom,
maka gang ini dinamakan Gang Telkom.
Pasar ayam jago ini sendiri terlalu ramai. Tidak
seperti pasar hewan lain yang selalu riuh dan
ramai dengan atmosfer tawar menawar yang
kental. Sejak keluar undang-undang larangan
memainkan adu ayam, tempat ini memang jadi
sepi peminat.
"Tapi ini Semarang mas, walaupun
pernah ada larangan adu jago, kita tetep
jualan," kata Nanang, pria paruh baya yang
mengaku hobi melihat adu jago sejak lama.
Hampir setiap hari Nanang ke tempat ini,"Tapi
kalo mau rame ya hari Sabtu dan Minggu,
jumlahnya bisa dua kali lipat," kata Nanang
melanjutkan. Sambil mengenakan kaos dibalut
jaket semi jas, Nanang terlihat asyik melihat-
lihat ayam jago yang ditawarkan. "Wah kalo
nonton sabung ayam itu rasanya gayeng,
seru,” kata Nanang.
"Wah kalo nonton sabung
ayam itu rasanya gayeng, seru,”
kata Nanang.
Semakin siang semakin banyak penonton
yang berdatangan. Seperti Nanang, mereka
semua memiliki hobi yang sama yaitu melihat
adu jago. Hampir tidak ada pengunjung wanita
yang terlihat. Kecuali seorang ibu dengan
jilbab warna biru yang terlihat gigih
menawarkan tiga ayam jagonya. Sambil duduk
di salah satu pojok bangunan tua para pembeli
berdatangan. Sejak pagi dagangannya
ditawar, namun belum laku juga. Mungkin para
pembeli menawar ketiga ayamnya terlalu
rendah,"Niki eco mas, kuat." begitu tawarnya
kepada pembeli yang datang.
Hari sudah semakin siang. Sekitar jam
sebelas siang adu ayam pun dimulai. Tidak
ada peraturan baku dan sistem yang jelas.
Siapa menantang siapa terjadi spontan,
asalkan ayam jado miliknya dirasa sudah siap
untuk memulai pertandingan. Biasanya satu
kali pertandingan berlangsung antara lima
sampai sepuluh menit. Dalam waktu singkat
tersebut sudah bisa dilihat siapa
pemenangnya. Salah satu ayam pasti terlihat
kewalahan atau terluka hebat. Biasanya jika
sudah begitu kedua ayam ini langsung saja
dilerai, sebab jika tidak maka kedua ayam
tersebut akan bertarung hingga salah satunya
terkapar. Dalam beberapa kasus malah terlihat
ayam yang sudah tidak berdaya mencoba lari
menyelamatkan diri keluar dari kerumunan.
Ada dua jenis sabung yang diberlakukan.
Pertama adalah sabung ayam hanya untuk
bersenang-senang. Para pemilik ayam
mengadu ayamnya untuk alasan tidak
komersial, seperti ingin menjajal kemampuan
ayam jagonya. Sebelum bertarung biasanya
sang pemilik ayam akan melilitkan plester kain
untuk menutupi taji ayam yang tajam. Ini
bertujuan agar dalam pertandingan tidak ada
ayam yang terluka. Jenis yang kedua adalah
sabung ayam sebenarnya. Sistem taruhan
berlaku di sini. Siapa yang ayamnya kalah
dalam pertarungan harus membayar sejumlah
denda kepada pemenangnya. Pada sabung
yang sebenarnya taji ayam tidak dilapisi apa
pun, karena memang berfungsi untuk melukai
ayam lawan.
Tempat bertarungnya sendiri sangat
sederhana, yaitu selembar karpet selebar 2x2
meter berwarna merah diatas tumpukan karpet
biru. Dua warna yang sering ditemui di atas
ring tinju. Karpetnya sendiri sudah lapuk,
robek di sana-sini, warnanya pun sudah pudar.
Pagarnya adalah penonton yang melihat
dalam formasi berkeliling. Ayam tidak mungkin
bisa kabur. Di sisi kanan-kiri disediakan
tudung bambu untuk menaruh ayam-ayam
yang akan bertarung setelahnya.
Seorang pengunjung akan memposisikan
diri sebagai wasit yang akan mengadu atau
melerai ayam yang bertarung. Orang yang
boleh menjadi wasit adalah orang-orang yang
dianggap memiliki pengetahuan luas dalam
hal ayam aduan. Mereka tidak hanya
berpengalaman, tapi juga memahami filosofi
sabung ayam yang biasanya diperoleh dari
kitab-kitab primbon. Selain dibayar oleh
bandar yang memiliki tempat sabung, wasit
biasanya mendapat persenan dari pemilik
ayam yang menang aduan. Para botoh pun
memegang peranan penting, mereka inilah
yang beramai-ramai menaksir kekuatan kedua
ayam untuk dijagokan. Saat kedua ayam mulai
bertengkar yang ada hanyalah sorak sorai dan
euforia yang meluap, membuat lupa dengan
segala tanggungan yang ada.
Menurut arsip majalah Tempo pada tahun
1973, Semarang memang kota yang menjadi
pusat sabung ayam. Bahkan untuk
menampung dan melokalisir sepak terjang
para pecandu adu jago dari berbagai daerah
maka dibangunlah gelanggang-gelanggang
sabung ayam resmi, dengan seizin Pemda.
Peminat sabung ayam pada tahun 70-an
memang banyak. Arena sabung ayam
"Sawung Kencana" di Semarang bahkan
didatangi para pecandu-pecandu ayam jago
dari Surabaya, Malang,Yogyakarta, Solo,
Cirebon, Bandung, Jakarta dan kota-kota lain,
dengan mobil-mobil pribadi mereka.
Digambarkan bahwa arena tertutup ini
memiliki kapasitas tempat duduk 600 orang
dan konon merupakan yang termewah di Asia
Tenggara.
Di Nusantara, hobi mengadu ayam sudah
lama dikenal, kira-kira sejak dari zaman
Majapahit. Beberapa cerita rakyat dan legenda
juga terkait erat dengan soal adu ayam ini,
seperti cerita Ciung Wanara, Kamandaka dan
Cindelaras. Selain di Jawa, tradisi kuno ini
juga marak terjadi di belahan lain Nusantara.
Di Bali sabung ayam terkenal dengan sebutan
tajen, bahkan hingga hari ini ritual ini masih
dilakukan pada waktu-waktu khusus.
Pesertanya biasanya terdiri dari anggota
banjar. Daerah lain yang memiliki praktik adu
jago adalah beberapa daerah di Sulawesi,
Sumatera, Kalimantan dan di pulau-pulau kecil
yang tersebar di Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur.
Bagaimana dengan ayam jago yang
kalah? Biasanya mereka akan berakhir di
pasar ayam untuk dijual. Di seberang Gang
Telkom, ada tempat penjualan ayam-ayam
yang kalah. Pengelolanya bernama Mulyono
dan Mulyadi. Selanjutnya ayam-ayam yang
kalah ini akan dijual murah. Harganya jatuh
bebas karena ayam bekas aduan seperti ini
biasanya memiliki banyak luka di sekujur
tubuhnya. Bisnis jual beli ayam kalah ini
ternyata cukup menguntungkan, terbukti setiap
hari Mulyadi dan Mulyono bisa menjual
puluhan ekor ayam. "Setiap hari bisa sampe
menjual 25 ayam, satu ayam paling dijual
delapan puluh ribu rupiah," kata Mulyadi.
Selanjutnya setelah dibeli apakah ayam-ayam
tersebut akan diadu lagi? "Nggak kok, ya
dimasak untuk dimakan, dibuat soto juga
enak," kata Mulyadi.
Bagi peminat fotografi tentu saja ini
merupakan spot hunting yang menarik.
Sebuah budaya purba sabung ayam di tengah
kawasan Kota Lama adalah sebuah
pengalaman yang sayang untuk dilewatkan. Di
sepanjang Gang Telkom sendiri begitu banyak
bangunan lama dengan gaya kolonial atau
beberapa rumah yang dibangun dengan
sentuhan indies yang kental. Sebelum atau
sesudah memotret adu ayam disarankan
untuk melakukan street hunting di salah satu
kawasan paling eksotis di Semarang ini.[]