i
TESIS MAGISTER
EFEK PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN REGULER TERHADAP
OUTCOME PASIEN STROKE AKUT
LYDIA ADHANI DWI PUTRI 127041109
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN
NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
ii
EFEK PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN REGULER TERHADAP OUTCOME
PASIEN STROKE AKUT
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik Neurologi Pada Program
Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara
Oleh :
LYDIA ADHANI DWI PUTRI 127041109
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN
NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
i
PERNYATAAN
EFEK PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN REGULER TERHADAP OUTCOME
PASIEN STROKE AKUT
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang
lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan
dalam daftar pustaka.
Medan, 28 September 2017
Lydia Adhani Dwi Putri
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul proposal : EFEK PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN REGULER
TERHADAP OUTCOME PASIEN STROKE AKUT
Nama : Lydia Adhani Dwi Putri
NIM : 127041109
Program Studi : Neurologi
Menyetujui,
Pembimbing I
dr. Yuneldi Anwar ,Sp.S (K)
NIP.19530601 198103 1 004
Pembimbing II
dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S (K)
NIP. 19610515 198911 2 001
Mengetahui/Mengesahkan,
Ketua Departemen Neurologi Ketua Program Studi Neurologi
FK USU FK USU
dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) DR.dr. Kiking Ritarwan,Sp.S(K),MKT
NIP 19530916 198203 1 003 NIP 19681117 199702 1 002
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul proposal : EFEK PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN REGULER
TERHADAP OUTCOME PASIEN STROKE AKUT
Nama : Lydia Adhani Dwi Putri
NIM : 127041109
Program Magister : Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi : Neurologi
Hari/Tanggal : Kamis, 28 September 2017
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S (K)
NIP. 19470930 197902 1 001
Mengetahui/Mengesahkan,
Program Magister Kedokteran Klinik Dekan Fakultas Kedokteran
Ketua Program Studi Universitas Sumatera Utara
Dr.dr.Rodiah Rahmawaty, M.Ked(Oph), Sp.M(K) Dr.dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K)
NIP. 19760417 200501 2 002 NIP 19660524 199203 1 002
iii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iv
iv
Telah Diuji padaTanggal : 28 September 2017
PANITIA TESIS MAGISTER
1. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) ( Penguji )
2. dr. Darlan Djali Chan, Sp.S
3. dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K)
4. dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) ( Penguji )
5. DR. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K) ( Penguji )
6. DR. dr. Aldy Rambe, Sp.S(K)
7. dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S(K)
8. dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S
9. dr. Iskandar Nasution, Sp.S, FINS
10. dr. Cut Aria Arina, Sp.S
11. dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S
12. dr. Alfansuri Kadri, Sp.S
13. dr. Aida Fitri, Sp.S(K)
14. dr. Irina Kemala Nasution, M.Ked(Neu), Sp.S
15. dr. Haflin Soraya Hutagalung, M.Ked(Neu), Sp.S
16. dr. Fasihah Irfani Fitri, M.Ked(Neu), Sp.S
17. dr. RA. Dwi Pujiastuti, M. Ked(Neu), Sp.S
18. dr. Chairil Amin Batubara, M. Ked(Neu), Sp.S
19. dr. M. Yusuf,Sp.S FINS
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas
berkat, rahmat dan kasihNya yang telah memberikan kesempatan untuk
menyelesaikan penulisan tesis magister kedokteran klinik ini.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan penyelesaian program
magister kedokteran klinik pada Program Magister Kedokteran Klinik pada
Program Studi Magister Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan
dan ucapan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara dan Ketua TKP PPDS-I Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kepada
penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Magister
Kedokteran Klinik Spesialis Neurologi di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), selaku Guru Besar Tetap
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara / RSUP H. Adam Malik Medan yang dengan sepenuh hati telah
mendorong, membimbing, mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai
dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.
I
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vi
vi
3. dr. Rusli Dhanu,Sp.S(K), Ketua Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang banyak memberikan
masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesisi ni.
4. Dr. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S (K), Ketua Program Studi Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara di saat penulis
melakukan penelitian dan saat tesis ini selesai disusun yang banyak
memberikan masukan – masukan berharga kepada penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
5. dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K) selaku pembimbing penulis yang dengan
sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengoreksi dan
mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan
penyelesaian tesis ini.
6. dr, Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S (K) selaku pembimbing penulis yang
dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengoreksi dan
mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan
penyelesaian tesis ini.
7. Guru-guru penulis : (Alm.) Prof. dr. Darul Kutni Nasution, Sp.S(K); dr.
Darlan Djali Chan, Sp.S; Dr. dr. Aldy S Rambe,Sp.S(K); dr. Puji Pinta O.
Sinurat, Sp.S(K); dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S; dr. Iskandar Nasution,
Sp.S, FINS, Sp.S; dr. Cut Aria Arina, Sp.S; dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S; dr.
Alfansuri Kadri, Sp.S; dr. Aida Fithrie, Sp.S(K); dr. Irina Kemala
Nasution, M. Ked (Neu) Sp.S; dr. Haflin Soraya Hutagalung, M.Ked
(Neu), Sp.S; dr. RA. Dwipujiastuti, M.Ked (Neu) Sp.S, dr. Chairil Amin
ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vii
Batubara, M. Ked (Neu) Sp.S, dr. M Yusuf, Sp.S FINS dan guru lainnya
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak
memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan Magister
Kedokteran Klinik.
8. Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah
banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan
penulis dalam pembuatan tesis ini.
9. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, Rumah Sakit
TK II Putri Hijau Medan dan RumahSakit Haji Mina Medan yang telah
memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga penulis dapat mengikuti
Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik.
10. Rekan sejawat PPDS Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan masukan dan
dorongan yang membangkitkan semangat penulis dalam penyelesaian
tesis ini.
11. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah
bertugas selama menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran
Klinik, serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani
Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik.
12. Semua pasien yang berobat ke Departemen Neurologi RSUP H. Adam
Malik Medan yang telah bersedia berpartisipasi secara suka rela dalam
penelitian ini.
iii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
viii
viii
13. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus – tulusnya penulis
ucapkan kepada orang tua saya, dr. H. Ilham Budiono,Sp.B dan Hj.
Andriana yang telah membesarkan saya dengan sepenuh hati dan
kasih sayang, dan senantiasa memberi dukungan moril, tenaga dan
materil, bimbingan dan nasehat yang berharga serta doa yang tiada
putus agar penulis dapat menyelesaikan Program Pendidikan Magister
Kedokteran Klinik Spesialis Neurologi.
14. Teristimewa kepada suami saya tercinta dr. Dahler Sandana Siregar
yang selalu dengan sabar dan penuh pengertian mendampingi dan
membantu dengan penuh cinta dan kasih saying dalam suka dan duka,
saya ucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya.
15. Terima kasih kepada anak saya tercinta Rifathra Aldyer Sandya Siregar
yang telah dengan sepenuh hari mendampingi dengan sepenuh cinta,
saya ucapkan terima kasih setulus – tulusnya.
16. Ucapan terima kasih kepada Bapak/Ibu mertua saya, AKBP (Purn). H.
Iskandar Siregar dan Hj. Masnurifah Das, yang selalu memberikan
dorongan, semangat dan nasehat serta doa yang tulus agar penulis
dapat menyelesaikan tesis ini.
17. Kepada seluruh keluarga, rekan dan sahabat yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu, yang senantiasa membantu, memberi dorongan,
pengertian dan doa dalam penyelesaian tesis ini, penulis ucapkan
terima kasih.
iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ix
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas semua jasa dan budi baik
mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam mewujudkan cita –
cita penulis. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 28 September 2017
Lydia Adhani Dwi Putri
v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
x
x
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap : dr. Lydia Adhani Dwi Putri
Tempat/tgl lahir : Medan, 23 Juli 1989
Agama : Islam
Nama Ayah : dr. H.Ilham Budiono, Sp.B
Nama Ibu : Hj. Andriana
Nama Suami : dr. Dahler Sandana Siregar
Nama Anak : Rifathra Aldyer Sandya Siregar
Riwayat Pendidikan
1. Sekolah Dasar di SD IKAL Medan, tamat tahun 2000
2. Sekolah Menengah Pertama di SLTP Kartika I-2, tamat tahun
2003.
3. Sekolah Menengah Umum di SMAN4 Medan, tamat tahun
2006.
4. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, tamat tahun
2012.
vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR i DAFTAR RIWAYAT HIDUP v DAFTAR ISI vii DAFTAR SINGKATAN ix DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xii ABSTRAK xiii ABSTRACT xiv BAB I PENDAHULUAN 1 I.1 LATAR BELAKANG 1 I.2 PERUMUSAN MASALAH 6 I.3 TUJUAN PENELITIAN 6 I.3.1 TUJUAN UMUM 6 I.3.2 TUJUAN KHUSUS 6 I.4 HIPOTESIS 7 I.5 MANFAAT PENELITIAN 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 II.1 STROKE ISKEMIK 9 II.1.1. DEFINISI 9 II.1.2. EPIDEMIOLOGI 9 II.1.3 FAKTOR RESIKO 11 II.1.4 PATOFISIOLOGI 12 II.1.5 KLASIFIKASI 14 II.1.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PENCITRAAN 18 II.2 STROKE HEMORAGIK 19 II.2.1. EPIDEMIOLOGI 21 II.2.2. KLASIFIKASI 24 II.2.3. ETIOLOGI 25 II.2.4. PATOFISIOLOGI 25 II.2.5. GAMBARAN KLINIS 30 II.2.6. PROGNOSIS 32 II.2.7. KOMPLIKASI 32 II.3 TERAPI OKSIGEN 33 II.3.1 SISTEM RESPIRASI 34 II.3.2 PUSAT KONTROL PERNAFASAN 35 II.3.3 GAGAL NAFAS 36 II.3.3.1 TIPE GAGAL NAFAS 36 II.3.3.2 MANAJEMEN 37 II.3.4 HIPOKSIA DAN HIPOKSEMIA 38 II.3.4.1. JENIS HIPOKSIA 43 II.3.5 DEFINISI TERAPI OKSIGEN 44
vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xii
xii
II.3.6 INDIKASI 44 II.3.7 TUJUAN TERAPI OKSIGEN 45 II.3.8 KONTRAINDIKASI 45 II.3.9 BAHAYA ATAU KOMPLIKASI 46 II.3.10 LANGKAH-LANGKAH TERAPI OKSIGEN 47 II.3.11 OXYGEN DELIVER SYSTEM 47 II.3.12 HIGH FLOW SYSTEM 48 II.3.13 LOW FLOW SYSTEM 49 II.3.14 MONITORING TERAPI OKSIGEN 51 II.3.15 PENGHENTIAN TERAPI OKSIGEN 53 II.4 PENILAIAN OUTCOME STROKE AKUT 54
II.5 KERANGKA TEORI 58 II.6 KERANGKA KONSEP 59
BAB III METODE PENELITIAN 60 III.1 TEMPAT DAN WAKTU 60 III.2 SUBJEK PENELITIAN 60 III.2.1 POPULASI SASARAN 60 III.2.2 POPULASI TERJANGKAU 60 III.2.3 BESAR SAMPEL 61 III.2.4 KRITERIA INKLUSI 62 III.2.5 KRITERIA EKSKLUSI 62
III.3 BATASAN OPERASIONAL 62 III.4 RANCANGAN PENELITIAN 65 III.5 PELAKSANAAN PENELITIAN 65 III.5.1.INSTRUMEN PENELITIAN 65 III.5.2 PENGAMBILAN SAMPEL 66 III.5.3 KERANGKA OPERASIONAL 67 III.5.4 VARIABEL YANG DIAMATI 68 III.5.5 ANALISA STATISTIK 68 III.5.6 JADWAL PENELITIAN 69 III.5.7 BIAYA PENELITIAN 70 III.5.8.PERSONALIA PENELITIAN 70 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 71 IV.1.HASIL PENELITIAN 71 IV.2.PEMBAHASAN 83 IV.3.KETERBATASAN PENELITIAN 89 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 90 DAFTAR PUSTAKA 92 LAMPIRAN
vii
viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xiii
DAFTAR SINGKATAN
AHA : American Hearth Association
ARDS ; Acute Respiratory Distress Syndrome
ASA : American Society of Anesthesiologists
ASNA : ASEAN Neurological Association
CBF : Cerebral Blood Flow
CO : Karbonmonoksida
CO2 : Karbondioksida
COPD : Chronic Obstructive Pulmonary Disease
CT : Computed Tomography
DO2 : Oxygen Delivery
DNA : Deoxyribonucleid Acid
FiO2 : Fraction of Inspired Oxygen
FK-USU : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Hb : Hemoglobin
Kg : Kilogram
LACI : Lacunar Infarct
MCI : Miocard Infarct
mL : mili Liter
mmHg : milimeter Hidragyrum
MRI : Magnetic Resonance Imaging
MRS : Modified Rankin Scale
O2 : Oksigen
PACI : Partial Anterior Circulation Infarct
PaO2 : Partial Pressure of O2
PCO2 : Partial Pressure of Carbondioxide
PEEP : Positive End Expiratory Pressure
POCI : Posterior Circulation Infarct
RA 4 : Rindu A 4
RINDU : Rawat Inap Terpadu
RS : Rumah Sakit
RSUPHAM : Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
SaO2 : Saturation of Oxygen
SPO2 : Saturation of Peripheral Oxygen
SPSS : Statistical Product and Science Service
TACI : Total Anterior Circulation Infarct
TIA : Transient Ischemic Attack
TOAST : Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment
VLDL : very-low-density lipoproteins
WHO : World Health Organization
ix
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xiv
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Penyebab Gagal Nafas Akut 39 Tabel 2 Acuan Pengambilan Sikap Terhadap Gangguan Respirasi (Kriteria Pontopidan) 52 Tabel 3 Perkiraan FiO2 Berdasarkan Oxygen Delivery Device 53 Tabel 4 Karakteristik Demografi Subyek Penelitian 72 Tabel 5 Hasil Pemeriksaan mRS Sebelum Dan Setelah Diberi Terapi Oksigen 73 Tabel 6 Hasil Pemeriksaan Barthel Index Sebelum Dan Setelah Diberi Terapi Oksigen 74 Tabel 7 Hubungan Usia dengan mRS dan Barthel Index pada hari Ke - 3 dan Ke – 14 75 Tabel 8 Hubungan Jenis Stroke Dengan mRS dan Barthel Index Pada Hari Ke-3 dan Ke-14 76 Tabel 9 Hubungan Tingkat Kesadaran Dengan mRS dan Barthel
Index pada Hari Ke-3 dan Ke-14 77 Tabel 10 Perbedaan Rerata mRS dan Barthel Index Berdasarkan Faktor Risiko Hipertensi 78 Tabel 11 Perbedaan Rerata mRS dan Barthel Index Berdasarkan
Usia 79 Tabel 12 Perbedaan Saturasi Oksigen Antara Pengukuran Pada Malam Dan Siang Hari 80 Tabel 13.1-4 Perbandingan Hasil Penelitian Dengan Penelitian Lainnya 86
x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Skema Hubungan Stroke Dan Terapi Oksigen 57 Gambar 2 Persentase mRS dari Hasil Pemeriksaan Hari Ke-0,3,14 74 Gambar 3 Rerata Barthel Index dari Hasil Pemeriksaan Hari
Ke-0,3,14 75 Gambar 4 Perbedaan Rerata Saturasi Oksigen Pada hari Pertama 81 Gambar 5 Perbedaan Rerata Saturasi Oksigen Pada hari Kedua 82 Gambar 6 Perbedaan Rerata Saturasi Oksigen Pada hari Ketiga 82
xi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xvi
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP) LAMPIRAN 2 LEMBAR PENGUMPULAN DATA LAMPIRAN 3 LEMBAR PEMERIKSAAN MRS LAMPIRAN 4 LEMBAR PEMERIKSAAN INDEKS BARTHEL
xii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xvii
ABSTRAK
LATAR BELAKANG : Stroke berkaitan erat dengan oksigen ke otak. Oksigen seharusnya dianggap sebagai pengobatan. Hal ini ditentukan untuk mencegah / mengobati hipoksemia, tetapi tidak hiperkapnia atau sesak nafas, konsentrasi oksigen yang ditentukan bertujuan untuk membawa saturasi oksigen (SpO2) ke arah normal, atau mendekati normal. TUJUAN : Untuk mengetahui efek pemberian terapi O2 reguler terhadap outcome pasien stroke akut. METODE : Subjek penelitian diambil dari populasi pasien rumah sakit. Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode potong lintang dengan jumlah sampel sebanyak 56 orang. Semua penderita stroke akut yang telah ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan Head CT- scan yang dirawat di ruang rawat inap terpadu (Rindu) A4 Departemen Neurologi FK-USU / RSUP.H. Adam Malik Medan dan Rumah Sakit jejaringnya dengan onset ≤ 72 jam diambil secara konsekutif dan yang memenuhi kriteria inklusi. Untuk stroke ringan dan sedang akan dimasukkan kedalam sampel. Kemudian pasien akan diberi terapi O2 selama 72 jam, Pemantauan saturasi menggunakan pulse oximetry , setelah itu akan dinilai outcome dengan menggunakan mRS dan barthel index pada hari ke 3 dan 14. Selanjutnya dilakukan analisa data. HASIL : Penelitian ini diikuti oleh sebanyak 56 pasien yang mengalami stroke akut, dengan jumlah pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 37 orang (66,1%) dan rerata usia 56,75 tahun.Berdasarkan kategori skor mRS, 53 subyek (94,6%) memiliki outcome yang baik untuk seluruh hari pengamatan. Menurut pemeriksaan Barthel Index, terlihat konsistensi peningkatan sejak hari ke-0 sampai hari ke-14. Rerata BI pada hari ke 0 adalah 61,34, lalu rerata meningkat menjadi 78,93 pada hari ke-3 dan mencapai rerata tertinggi pada hari ke-14 yaitu sebesar 82,23. KESIMPULAN : Terdapat pengaruh pemberian terapi O2 reguler terhadap outcome pada pasien stroke akut walaupun secara statistik tidak signifikan Kata Kunci : Terapi Oksigen – Outcome – Stroke Akut
xiii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xviii
xviii
ABSTRACT
Background: Stroke is closely related to oxygen to the brain. Oxygen should be regarded as a treatment. This is determined to prevent / treat hypoxemia, but not hypercapnia or shortness of breath, the specified oxygen concentration aims to bring oxygen saturation (SpO2) to the normal direction, or near normal. Purpose : To determine the effect of regular O2 therapy on outcomes of acute stroke patients. Method: Research subjects were taken from hospital patient population. Determination of research subjects conducted according to cross sectional method with the number of samples of 56 people. All acute stroke sufferers have been established with anamnesis, physical examination, neurological examination, and examination of head CT scans treated in the RA4 Department of Neurology FK-USU / RSUP.H. Adam Malik Medan and his network of hospitals with an onset of ≤ 72 hours were taken consecutively and fulfilling the inclusion criteria. For mild and moderate strokes will be included the sample. Then the patient will be given O2 therapy for 72 hours, saturation monitoring using pulse oximetry, then it will be assessed outcome by using mRS and barthel index on day 3 and 14. Furthermore, data analysis is done. Result : This study was followed by 56 patients from acute stroke, with the number of patients with male gender as many as 37 people (66.1%) and mean age 56.75 years old.Based on category of mRS score, 53 subjects (94.6% ) Has a good outcome for the whole day of observation. According to Barthel Index examination, the consistency of the increase from day 0 to 14 days. The average of BI on day 0 was 61.34, then the average increased to 78.93 on the 3rd day and reached the highest average on day 14 which was 82.23. Conclusion: There is an effect of giving regular O2 therapy to outcomes in acute stroke patients although statistically insignificant Key word: Oxygen Therapy – Outcome – Acute Stroke
xiv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Stroke merupakan salah satu sindroma neurologi yang merupakan
ancaman terbesar menimbulkan kecacatan dalam kehidupan manusia.
Meningkatnya usia harapan hidup yang didorong oleh keberhasilan
pembangunan nasional dan berkembangnya modernisasi serta globalisasi di
Indonesia akan cenderung meningkatkan risiko terjadinya penyakit vaskular (
penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit arteri perifer ). Stroke
menyerang usia produktif dan lanjut usia yang berpotensi menimbulkan
masalah baru dalam pembangunan kesehatan secara nasional di kemudian
hari ( Misbach,2011 ).
Sementara itu terdapat juga data stroke di Indonesia berdasarkan
penelitian potong lintang multi senter di 28 rumah sakit dengan jumlah subyek
sebanyak 2065 orang pada bulan Oktober 1996 sampai bulan Maret 1997
(Misbach,2011).
Data di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus
stroke, baik dalam hal kematian, kejadian, maupun kecacatan ( Misbach,
2011).
Di satu sisi, modernisasi akan meningkatkan risiko stroke karena
perubahan pola hidup, sedangkan disisi lain meningkatnya usia harapan hidup
juga akan meningkatkan risiko terjadinya stroke karena bertambahnya jumlah
penduduk usia lanjut ( Misbach, 2011 ).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
Pada Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pada sampel yang
diteliti, perempuan ( 52,7%) tidak jauh berbeda dengan laki-laki ( 47,3%). Pada
studi oleh Misbach dkk pada 28 rumah sakit di Indonesia, kejadian pada
wanita lebih banyak dari pria (53,8% versus 46,2%). Sedangkan pada studi
Framingham kejadian pada pria rata-rata 2,5 kali lebih sering daripada wanita.
Insiden stroke pada pria 33% lebih tinggi dari wanita, sedangkan prevalensi
pria lebih tinggi 41% dari wanita. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian
Misbach dkk yang juga di Indonesia, tetapi berbeda dengan di Amerika Serikat
dan beberapa negara Eropa (Rambe AS, 2013).
Perdarahan otak memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada
beberapa subtipe stroke. Masing - masing yaitu, perdarahan intraserebral
(ICH) dan perdarahan subarakhnoid (PSA) yang berjumlah sekitar 15 % dan
5% dari 750.000 stroke yang muncul setiap tahun di Amerika Serikat, totalnya
lebih dari 45.000 pasien pertahun. Sekitar 45% perdarahan intraserebral
spontan dan 25% perdarahan subarakhnoid aneurisma yang meluas menuju
ventrikel. Untuk pasien dengan perdarahan intraserebral dan perdarahan
intraventrikel (IVH), diperkirakan mortalitas 50 - 80%. Pasien dengan
perdarahan intraventrikel memiliki dua kali outcome yang buruk (skor modified
Rankin scale [mRS] 4-6 pada waktu tiba di rumah sakit) (Hinson dkk, 2010).
Tuhrim dkk awalnya menegaskan IVH sebagai faktor resiko independen
untuk mortalitas hari ke- 30 setelah ICH dan mengembangkan contoh dimana
volume IVH berkontribusi signifikan untuk prediksi outcome bersama dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
skor GCS. Pasien dengan IVH ditambah dengan ICH memiliki GCS yang
rendah pada awalnya dan volume ICH yang besar. Kontribusi lainnya untuk
outcome termasuk jumlah ventrikel mengandung darah dan darah pada
ventrikel ke - empat (Hinson dkk , 2010)
Perdarahan intraserebral (ICH) spontan berjumlah seperlima dari seluruh
stroke. Hal tersebut merupakan kondisi yang buruk dengan mortalitas 30%
dan jumlah morbiditas yang tinggi diantara yang bertahan hidup. Kebanyakan
kasus timbul karena hipertensi atau amyloid angiopathy. Perluasan
intraventrikular akibat perdarahan intraserebral yang dapat muncul pada 45%
kasus yang diketahui sebagai prediktor independen untuk outcome yang buruk
dan beberapa studi telah menunjukkan hubungan langsung antara volume IVH
dan outcome buruk atau mortalitas (Hallevi dkk, 2009).
Stroke berkaitan erat dengan oksigen ke otak. Oksigen seharusnya
dianggap sebagai pengobatan. Hal ini ditentukan untuk mencegah / mengobati
hipoksemia, tetapi tidak hiperkapnia atau sesak nafas, konsentrasi oksigen
yang ditentukan bertujuan untuk membawa saturasi oksigen (SpO2) ke arah
normal, atau mendekati normal ( O’Driscoll dkk,2008 ).
Sebagian besar reaksi biokimia tubuh bergantung pada ketersediaan
oksigen. Suplai oksigen ke jaringan bergantung dari banyak faktor seperti
ventilasi, difusi melewati membran alveolar capillary, hemoglobin, cardiac
output, dan perfusi jaringan. Terapi oksigen diperlukan jika terjadi kegagalan
nafas pada banyak kondisi seperti asma berat, bronkitis kronik, pneumonia,
dan juga pada kasus-kasus neurologi terutama pada pasien tidak sadar. Untuk
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
itu perlu dilakukan upaya memenuhi kebutuhan oksigen dengan cara terapi
oksigen. Jumlah oksigen yang dibutuhkan bergantung kepada mekanisme
hipoksemia pada pasien. Tipe oxygen delivery device bergantung pada jumlah
oksigen yang diperlukan, pemilihan dokter dan pasien, serta efek samping
potensial dari berbagai konsentrasi oksigen. Agar terapi oksigen berjalan
efektif dan tidak terjadi efek samping, maka diperlukan tatalaksana yang
sesuai ( Bustami dkk,2012 ).
Pada pasien stroke akut dapat terjadi gangguan respirasi. Penyebab
gangguan respirasi yaitu hipoventilasi yang menyebabkan gangguan
pergerakan dari dinding dada dan diafragma (Sulter dkk, 2000)
Terapi oksigen adalah usaha untuk meningkatkan fraksi konsentrasi
oksigen yang di inspirasi ( FiO2 ) oleh pasien dengan menggunakan berbagai
oxygen deliver device yang terhubung dengan oksigen medis. Oksigen dapat
diberikan dengan dilembabkan (humidity) terlebih dahulu ataupun tidak (
Bustami dkk,2012 ).
Hasil terbaru menunjukkan bahwa pemberian terapi O2 bisa
meningkatkan pemulihan neurologik dini. Pemberian terapi O2 selama 72 jam
pada pasien stroke akut aman untuk diberikan, tetapi tidak ada efek yang
besar pada tingkat disabilitas ( Ali dkk, 2013 ). Pada penelitian sebelumnya,
melaporkan bahwa pemberian terapi O2 reguler yang diberikan selama 72 jam
pada dosis 2-3 liter/menit, tergantung pada saturasi O2, menghasilkan
peningkatan kecil namun signifikan secara statistik dalam kepulihan neurologik
pada satu minggu ( Roffe dkk, 2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
Pada penelitian ini penilaian outcome menggunakan Modified Rankin
Scale. Modified Rankin Scale ( mRS ) merupakan skala rating outcome global
dengan nilai dari 0 (tidak ada gangguan) hingga 5 (hanya terbaring ditempat
tidur, inkontinensia, membutuhkan perawatan dan perhatian menetap) dan 6
(outcome fatal) (Weimar dkk, 2002). Bila mRS 1-3, dikelompokkan sebagai
outcome baik sedangkan mRS 4-6 dikelompokkan sebagai outcome jelek (
Painthakar dkk, 2003 ).
Modified Rankin Scale ( mRS ) < 3 dijumpai pada pasien stroke akut
pada kelompok yang mendapat terapi O2 56 (44%) dan pada kelompok kontrol
58 (45%) (Ali dkk, 2013 ).
I.2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian - penelitian terdahulu seperti
yang telah dirumuskan di atas dirumuskan masalah sebagai berikut :
Bagaimana efek pemberian terapi O2 reguler terhadap outcome pasien
stroke akut ?
I.3. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan :
I.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui efek pemberian terapi O2 reguler terhadap outcome
pasien stroke akut .
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
I.3.2. Tujuan Khusus
I.3.2.1 Untuk mengetahui efek pemberian terapi O2 reguler terhadap mRS
pada pasien stroke akut di RA 4 Neurologi RSUPHAM dan RS Jejaring
I.3.2.2 Untuk mengetahui efek pemberian terapi O2 reguler terhadap Barthel
Index pada pasien stroke akut di RA 4 Neurologi RSUPHAM dan RS Jejaring
1.3.2.3 Untuk Mengetahui hubungan karakteristik demografi pasien stroke akut
yang mendapat terapi O2 dengan mRS
1.3.2.4 Untuk Mengetahui hubungan karakteristik demografi pasien stroke akut
yang mendapat terapi O2 dengan Barthel Index
I.3.2.5 Untuk mengetahui perbedaan saturasi O2 pada pasien stroke akut yang
mendapat terapi O2 reguler pada siang hari di RA 4 Neurologi RSUPHAM dan
RS Jejaring
I.3.2.6 Untuk mengetahui perbedaan saturasi O2 pada pasien stroke akut yang
mendapat terapi O2 reguler pada malam hari di RA 4 Neurologi RSUPHAM
dan RS Jejaring
I.3.2.7 Untuk mengetahui karakteristik demografi pasien stroke akut yang
datang ke RSUP.H. Adam Malik Medan dan Rumah Sakit jejaringnya.
I.4. HIPOTESIS
Terdapat pengaruh pemberian terapi O2 reguler terhadap outcome
pasien stroke akut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
I.5. MANFAAT PENELITIAN
I.5.1. Manfaat Penelitian untuk Penelitian
Dengan mengetahui efek pemberian terapi O2 reguler terhadap
outcome pasien stroke akut, dapat menjadi acuan dalam pencegahan dan
penatalaksanaan hipoksia pada penderita stroke akut.
I.5.2. Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan
Dengan mengetahui efek pemberian terapi O2 reguler terhadap
outcome pasien stroke akut, maka diharapkan penelitian ini dapat dijadikan
sebagai salah satu terapi untuk pasien stroke akut dan diharapkan hasil
penelitian ini menambah khasanah pengetahuan bagi klinisi dalam
pemahaman dan penanganan kasus-kasus stroke akut.
I.5.3. Manfaat Penelitian untuk Peneliti
Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memenuhi kewajiban
pada Program Pendidikan Dokter Spesialis di bagian Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumtera Utara / RSUP.H. Adam Malik Medan.
I.5.4. Manfaat Penelitian untuk Masyarakat
Dengan mengetahui efek pemberian terapi O2 reguler terhadap
outcome pasien stroke akut diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
klinis untuk pemberian edukasi dan informasi pada penderita dan keluarga
mengenai efek pemberian terapi O2 reguler terhadap outcome pasien stroke
akut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.STROKE ISKEMIK
II.1.1. Definisi
Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologis akut yang
disebabkan oleh iskemia atau perdarahan, berlangsung selama ≥ 24 jam atau
meninggal, tetapi tidak mempunyai bukti yang cukup untuk disklasifikasikan (
Sacco dkk, 2013 ).
Stroke iskemik adalah tanda klinis disfungsi atau kerusakan jaringan
otak yang disebabkan kurangnya aliran darah ke otak sehingga mengganggu
kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak ( Sjahrir, 2003 ).
Definisi terbaru menyebutkan stroke iskemik adalah suatu episode disfungsi
neurologik yang disebabkan infark serebral fokal, infark spinal atau infark
retina ( Sacco dkk, 2013 ).
II.1.2. Epidemiologi
Insiden stroke bervariasi di berbagai negara di Eropa, diperkirakan
terdapat 100 – 200 kasus stroke baru per 10.000 penduduk per tahun (Hacke
dkk, 2003). Di Amerika diperkirakan terdapat lebih dari 700.000 insiden stroke
per tahun, yang menyebabkan lebih dari 160.000 kematian per tahun, dengan
4,8 juta penderita stroke yang bertahan hiduP (Goldstein dkk, 2006).
8
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
Meskipun dapat mengenai semua usia, insiden stroke meningkat
dengan bertambahnya usia dan terjadi lebih banyak pada wanita usia yang
lebih muda. Perbandingan insidens pria dan wanita pada umur 55-64 tahun
adalah 1,25; pada umur 65-74 tahun adalah 1,50; 75-84 tahun adalah 1,07;
dan pada umur ≥ 85 tahun adalah 0,76 ( Lloyd dkk, 2009 ).
Di Indonesia, insiden stroke sebesar 51,6/100.000 penduduk.
Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dan profil usia di bawah
45 tahun: 11,8%, usia 45-64 tahun: 54,2% dan usia lebih dari 65 tahun: 33,5%.
Stroke menyerang usia produktif dan usia lanjut, yang berpotensi
menimbulkan masalah baru dalam pembangunan kesehatan secara nasional
di kemudian hari ( Misbach, 2011 ).
Studi dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan etnis Kaukasia, etnis Asia memiliki prevalensi stroke
yang relatif lebih tinggi. Insiden stroke di Asia berada dalam rentang 182
hingga 342 per 100.000 populasi. Kejadian stroke di Asia juga diprediksi akan
meningkat dari tahun ke tahun dikarenakan dengan perubahan gaya hidup dan
peningkatan usia harapan hidup ( Taqui dkk,2007 ).
Menurut the World Health Organization (WHO), 15 juta orang
menderita stroke di seluruh dunia tiap tahun. Dari jumlah tersebut, 5 juta
meninggal dan yang 5 juta lainnya menderita cacat permanen. Insiden global
stroke sedikitnya mempunyai variasi dari bangsa ke bangsa, memberi kesan
bahwa pentingnya faktor genetik dan lingkungan, misalnya perbedaan dalam
memperoleh pelayanan kesehatan pada negara berkembang. Insiden stroke
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
berdasarkan usia berjumlah per 1000 orang pertahun untuk orang yang
berusia 55 tahun atau lebih telah dilaporkan berada dikisaran 4,2 sampai 6,5.
Insiden tertinggi dilaporkan pada Rusia, Ukraina dan Jepang ( Liebeskind,
2014 ).
II.1.3. Faktor Resiko
Faktor - faktor resiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan
sebagai berikut ( Sjahrir, 2003) :
1. Non modifiable risk factors :
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Keturunan / genetik
2. Modifiable risk factors :
a. Behavioral risk factors :
✓ Merokok
✓ Unhealthy diet : lemak, garam berlebihan, asam urat, kolesterol,
low fruit diet.
✓ Alkoholik
✓ Obat-obatan : narkoba (kokain), antikoagulansia, anti platelet, dan obat
kontrasepsi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
b. Physiological risk factors
✓ hipertensi
✓ Penyakit jantung
✓ Diabetes mellitus
✓ Infeksi / lues
✓ Arthritis, traumatik , AIDS, Lupus
✓ Gangguan ginjal
✓ Kegemukan (obesitas)
✓ Polisitemia
✓ Viskositas darah meninggi dan penyakit perdarahan
✓ Kelainan anatomi pembuluh darah
✓ Dan lain-lain.
II.1.4. Patofisiologi
Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan
hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi berantai yang
berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur-unsur pendukungnya (
Misbach, 2007 ).
Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti
(core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan
menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah
core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel-sel otak dan jaringan
pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi-fungsinya dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
menyebabkan juga defisit neurologi. Tingkat iskemiknya makin ke perifer
makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu
daerah hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral ( luxury perfusion area ).
Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik
akut supaya dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali.
Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi,
daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami kematian (
Misbach,2007).
Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara
bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003):
Tahap 1 :
a. Penurunan aliran darah
b. Pengurangan O2
c. Kegagalan energi
d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion
Tahap 2 :
a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion
b. Spreading depression
Tahap 3 : Inflamasi
Tahap 4 : Apoptosis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
II.1.5. Klasifikasi
Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke berdasarkan atas patologi
anatomi (lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah)
I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :
1. Stroke iskemik
a) Ischemic Attack (TIA)
b) Trombosis serebri
c) Emboli serebri
2. Stroke hemoragik
a) Perdarahan intraserebral
b) Perdarahan subaraknoid
II. Berdasarkan stadium :
1. TIA
2. Stroke in evolution
3. Completed stroke
III. Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah) :
1. Tipe karotis
2. Tipe vertebrobasiler
IV.Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment ( TOAST) dan
Stroke Data Bank Classifications ( Sjahrir, 2003 ) :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
1. Aterosklerosis Arteri Besar
Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan (>50%)
stenosis atau oklusi arteri besar arteri besar di otak atau cabang arteri di
korteks disebabkan oleh proses aterosklerosis. Gambaran computed
tomogragraphy ( CT ) sken kepala MRI menunjukkan adanya infark di
kortikal, serebellum, batang otak, atau subkortikal yang berdiameter lebih
dari 1,5 mm dan potensinya berasal dari aterosklerosis arteri besar.
2. Kardioembolisme
Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus
dari jantung terdiri dari :
a) Resiko tinggi
- Prostetik katub mekanik
- Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi
- Fibrilasi atrial ( other than lone atrial fibrillation )
- Sick sinus syndrome
- Miokard infark baru ( < 4 minggu )
- Thrombus ventrikel kiri
- Kardiomiopati dilatasi
- Segmen ventricular kiri akinetik
- Atrial myxoma
- Infeksi endokarditis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
b) Resiko sedang
- Prolapsus katub mitral
- Kalsifikasi annulus mitral
- Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial
- Turbulensi atrial kiri
- Aneurisma septal atrial
- Paten foramen ovale
- Atrial flutter
- Lone atrial fibrillation
- Katub kardiak bioprostetik
- Trombotik endokarditis non bacterial
- Gagal jantung kongestif
- Segmen ventrikuler kiri hipokinetik
- Miokard infark (> 4 minggu, < 6 bulan )
3. Oklusi Arteri Kecil
Sering disebut juga infark lakunar, dimana penderita harus mempunyai
satu gejala klinis sindrom lakunar dan tidak mempunyai gejala gangguan
disfungsi kortikal serebral. Penderita biasanya mempunyai gambaran CT
scan/MRI kepala normal atau infark lakunar dengan diameter < 1,5 mm di
daerah batang otak atau subkortikal
4.Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang menentukan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
a. Non –aterosklerosis Vaskulopati
- Noninflamasi
- Inflamasi non infeksi
- Infeksi
a. Kelainan Hematologi atau Koagulasi
5. Stroke Akibat dari Penyebab Lain yang Tidak Dapat Ditentukan
V. Klasifikasi menurut Bamford (1992)
1. Total Anterior Circulation Infarct ( TACI )
Penyebabnya adalah emboli kardiak atau trombus arteri ke arteri.
Gambaran klinis berupa hemiparesis dengan atau tanpa gangguan
sensorik (kontralateral sisi lesi),hemianopia (kontralateral sisi lesi), dan
gangguan fungsi luhur (disfasia, gangguan visuo-spatial, hemineglek,
agnosia, apraksia).
2. Partial Anterior Circulation Infarct ( PACI )
Gejala lebih terbatas pada daerah yang lebih kecil dari sirkulasi
serebral pada sistem karotis, yaitu defisit motorik/sensorik murni yang
kurang ekstensif dibanding infark lakunar ( hanya monoparesis-
monosensorik), gangguan fungsi luhur saja.
3. Lacunar Infarct ( LACI )
Disebabkan infark pada arteri kecil di dalam otak ( small deep
infarct ), dengan tanda-tanda klinis tidak ada defisit visual, gangguan
fungsi luhur dan gangguan fungsi batang otak, adanya defisit
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
maksimum pada satu cabang arteri kecil ; dengan gejala dapat berupa
pure motor stroke (PMS), pure sensory stroke dan ataksik hemiparesis
(termasuk ataksia dan paresisi unilateral, dysarthria syndrome).
4. Posterior Circulation Infarct ( POCI )
Oklusi terjadi pada batang otak dan atau lobus oksipitalis ,
dengan gejala klinis berupa disfungsi saraf otak, satu atau lebih sisi
ipsilateral dan gangguan sensorik/motorik bilateral, gangguan gerakan
konjugat maya ( horizontal atau vertikal ),disfungsi serebelar tanpa
gangguan long-tract ipsilateral, isolated hemianopia atau buta kortikal
II.1.6. Pemeriksaan Diagnostik Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan yang cepat dengan CT atau MRI
direkomendasikan untuk membedakan stroke iskemik dengan perdarahan
intrakranial ( AHA / ASA Class I, Level of evidence A ). Pemeriksaan CT scan
merupakan strategi utama yang efektif pada pencitraan pasien stroke akut
tetapi tidak sensitif untuk perdarahan lama. Secara umum, CT kurang sensitif
dibandingkan MRI, tetapi keduanya sama - sama spesifik untuk mendeteksi
adanya perdarahan atau tidak. Kriteria diagnostik pada pencitraan CT kepala
pada stroke akut yang menunjukkan perdarahan dijumpai adanya gambaran
hiperdens pada substansia alba atau grisea, dengan atau tanpa terkenanya
permukaan kortikal (Misbach, 2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
II.2. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis yang berkembang
cepat, yang disebabkan oleh kumpulan darah setempat pada parenkim otak
atau sistem ventrikular yang tidak disebabkan oleh trauma. (Sacco dkk, 2013)
Defenisi perdarahan intraserebral adalah kumpulan darah setempat
pada parenkim otak atau sistem ventrikel yang tidak disebabkan oleh trauma.
(Sacco dkk, 2013). Berdasarkan penyebab, perdarahan intraserebral dibagi
atas perdarahan intraserebral primer dan sekunder. Perdarahan intraserebral
primer (perdarahan intraserebral hipertensif) disebabkan oleh hipertensif
kronik yang menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibat pecahnya
pembuluh darah otak. Sedangkan perdarahan sekunder (bukan hipertensif)
terjadi antara lain akibat anomali vaskuler kongenital, koagulopati, tumor otak,
vaskulopati non hipertensif (amiloid serebral), vaskulitis, moya - moya, post
stroke iskemik, obat anti koagulan (fibrinolitik atau simpatomimetik) (Misbach,
2011)
Defenisi perdarahan subarakhnoid adalah perdarahan yang menuju
ruangan subarakhnoid (ruangan antara membran arakhnoid dan piameter
pada otak atau medulla spinalis) (Sacco dkk, 2013)
Perdarahan intraventrikular hanya ditujukan adanya darah didalam
sistem ventrikular, dan bertanggungjawab secara signifikan terhadap
morbiditas yang menyebabkan terbentuknya hidrosefalus obstruksi pada
banyak pasien. Perdarahan intraventrikular dapat dibagi menjadi primer atau
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
sekunder, perdarahan primer lebih sedikit daripada yang sekunder.
Perdarahan intraventrikular primer ditujukan untuk dominan ditemukannya
darah pada ventrikel, dengan sedikit darah pada beberapa parenkim.
Perdarahan intraventrikular sekunder ditujukan untuk adanya perdarahan
besar pada komponen ekstraventrikular (misalnya parenkim, atau
subaraknoid) dengan perluasan sekunder menuju ventrikel. Perdarahan
intraventrikular sekunder pada orang dewasa biasanya hasil dari perdarahan
intraserebral (khususnya perdarahan basal ganglia akibat hipertensi) atau
perdarahan subaraknoid yang meluas ke ventrikel. (Gaillard dkk, 2005).
Perdarahan intraventrikular adalah komplikasi dari perdarahan pada parenkim
intraserebral dan subaraknoid yang sering terjadi (Arboix dkk, 2012).
Perdarahan inraventrikular primer yang pertama kali didefenisikan
oleh Sanders dan diartikan sebagai perdarahan pada sistem ventrikular tanpa
melibatkan komponen parenkim atau timbul di dalam sekitar 15 mm dari
dinding ventrikel (Srivastava dkk, 2014).
II.2.1. Epidemiologi
Perdarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbanyak setelah
infark otak, yaitu 20 - 30% dari semua stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan
di Asia Tenggara (ASEAN), pada penelitian stroke oleh Misbach (1997)
menunjukkan stroke perdarahan 26%, terdiri dari lobus 10%, ganglionik 9%,
serebellar 1%, batang otak 2% dan perdarahan subaraknoid 4% (Misbach,
2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
Tiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 795.000 orang yang baru
mengalami stroke atau stroke rekuren. Dari jumlah tersebut , sekitar 610.000
yang mengalami serangan pertama kali, dan 185.000 yang mengalami stroke
rekuren. Pada studi epidemiologik menemukan bahwa sekitar 87% stroke di
Amerika Serikat adalah iskemik, 10% adalah akibat perdarahan intraserebral,
dan 3% lainnya adalah akibat perdarahan subaraknoid (Liebeskind, 2014)
Menurut the World Health Organization (WHO), 15 juta orang
menderita stroke di seluruh dunia tiap tahun. Dari jumlah tersebut, 5 juta
meninggal dan yang 5 juta lainnya menderita cacat permanen. Insiden global
stroke sedikitnya mempunyai variasi dari bangsa ke bangsa, memberi kesan
bahwa pentingnya faktor genetik dan lingkungan, misalnya perbedaan dalam
memperoleh pelayanan kesehatan pada negara berkembang. Insiden stroke
berdasarkan usia berjumlah per 1000 orang pertahun untuk orang yang
berusia 55 tahun atau lebih telah dilaporkan berada dikisaran 4,2 sampai 6,5.
Insiden tertinggi dilaporkan pada Rusia, Ukraina dan Jepang (Liebeskind,
2014).
Tekanan darah merupakan faktor yang berkontribusi terjadinya lebih
dari 12,7 juta stroke setiap tahun di seluruh dunia. Insidennya terbesar
diantara orang tua dan orang Afrika dan lumayan pada orang Asia. Seluruh
insiden pada stroke hemoragik yang baru atau rekuren pada Amerika Serikat
adalah 795.000 orang pertahun. Paling banyak terjadi adalah stroke yang
baru (sekitar 610.000). Pada tahun 2000, stroke berjumlah 7% dari seluruh
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
kematian di Kanada. Umumnya, ICH berjumlah sekitar 10% dari seluruh stroke
dan berkaitan dengan 50% dari sejumlah kasus fatal. Sejak 1980, insiden
hipertensi pada ICH telah turun, menunjukkan peningkatan kontrol tekanan
darah pada populasi. (Magistris dkk, 2013)
Setiap tahun, perdarahan intraserebral di Amerika Serikat mengenai
sekitar 12 - 15 per 100.000 individu, perdarahan akibat hipertensi per 100.000
individu usia lanjut. Di negara Asia memiliki insiden perdarahan intraserebral
tertinggi dibandingkan wilayah lain didunia. Setiap tahun, lebih dari 20.000
individu di Amerika Serikat yang meninggal akibat perdarahan intaserebral.
Perdarahan intraserebral memiliki mortalitas hari ke - 30 berjumlah 44%.
Perdarahan intraserebral pada pons atau daerah brainstem lainnya memiliki
mortalitas berjumlah 75% pada 24 jam. Insiden perdarahan intraserebral
meningkat pada individu usia lebih tua dari 55 tahun dan berlipat setiap
dekade sampai usia 80 tahun (Liebeskind, 2013).
Perdarahan intraventrikular timbul pada 12% sampai 45% pasien
dengan ICH. Juga dapat timbul independen dengan ICH tanpa signifikan
keterlibatan komponen parenkim. Mortalitas untuk IVH berkisar antara 45%
sampai 80%.Penyebab tersering dari IVH adalah ICH spontan. Sekitar 40%
pasien dengan ICH primer mengalami IVH. Total insiden pertahun dari IVH
pada Amerika Serikat berkisar 22.000 orang dewasa pertahun. Perdarahan
intraventrikular terkait dengan sekitar 15% dari 700.000 stroke yang timbul di
Amerika Serikat setiap tahun (Nyquist, 2010).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
Perdarahan intraventrikular primer sangat jarang terjadi, yang pertama
kali ditemukan oleh Sanders pada tahun 1881. Insiden perdarahan ventrikular
primer pada pasien dengan ICH tercatat sekitar 3 - 7%. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Hameed dkk tahun 2005, didapati perdarahan intraventrikular
berjumlah sekitar 2% kasusnya pada perdarahan intraserebral spontan.
(Hameed dkk, 2005). Perdarahan intraventrikular (IVH) sekunder akibat
perdarahan intraserebral spontan menghasilkan kematian 32% pada 43%
kasus dan outcome fungsionalnya buruk pada kebanyakan yang bertahan
hidup (Morgan dkk, 2014).
Perdarahan subaraknoid (SAH) relatif kecil jumlahnya (< 0,01% dari
populasi di USA) sedangkan di ASEAN 4% (hospital based) dan di Indonesia
4,2% (hospital based). Meskipun demikian angka mortalitas dan disabilitas
sangat tinggi , yaitu hingga 80% (USA) (Misbach, 2011)
Perdarahan subaraknoid berjumlah hanya sekitar 5% dari stroke, tetapi
timbul juga pada usia muda. Insiden perdarahan subaraknoid dinilai terlalu
tinggi hingga pencitraan otak disetujui untuk membedakan antara perdarahan
subaraknoid dan intraserebral. Pada kebanyakan populasi insidennya adalah 6
- 7 per 100.000 orang pertahun (setelah jumlahnya disesuaikan dengan
standar usia), tetapi sekitar 20 per 100.000 ditemukan pada Finlandia dan
Jepang. Demikian, pada praktek dokter umum yang full - time dengan 2000
pasien yang dijumpai, rata - rata, satu pasien yang berusia lebih muda dari 55
tahun akan mengalami perdarahan subaraknoid. Pecahnya aneurisma adalah
penyebab pada 85% pasien (Gijn dkk, 2007).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
II.2.2. Klasifikasi
Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas
: perdarahan intraserebral dan perdarahan subaraknoid. Sedangkan
berdasarkan penyebab, perdarahan intraserebral dibagi atas perdarahan
intraserebral primer dan sekunder ( Misbach, 2011).
II.2.3. Etiologi
Perdarahan intraserebral primer (perdarahan intraserebral hipertensif)
disebabkan oleh hipertensif kronik yang menyebabkan vaskulopati serebral
dengan akibat pecahnya pembuluh darah otak. Sedangkan perdarahan
sekunder (bukan hipertensif) terjadi antara lain akibat anomali vaskuler
kongenital, koagulopati, tumor otak, vaskulopati non hipertensif (amiloid
serebral), vaskulitis, moya - moya, post stroke iskemik, obat anti koagulan
(fibrinolitik atau simpatomimetik). Diperkirakan hampir 50% penyebab
perdarahan intraserebral adalah hipertensif kronik, 25% karena anomali
kongenital dan sisanya penyebab lain (Misbach, 2011)
Pada perdarahan intraserebral, pembuluh darah yang pecah terdapat
didalam otak atau pada massa otak, sedangkan pada perdarahan
subaraknoid, pembuluh darah yang pecah terdapat pada subaraknoid,
disekitar sirkulus arteriosus Willisi. Pecahnya pembuluh darah disebabkan oleh
kerusakan dinding arteri (arteriosklerosis), atau karena kelainan kongenital
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
misalnya malformasi arteri - vena, infeksi (sifilis), dan trauma (Misbach,
2011).
Perdarahan subaraknoid terjadi karena pecahnya aneurisme sakuler
pada 80% kasus non traumatik. Aneurisma sakuler ini merupakan proses
degenerasi vaskuler yang didapat (acquired) akibat proses hemodinamika
pada bifurkasio pembuluh darah arteri otak. Terutama di daerah sirkulus
Willisi, yang sering di arteri komunikans anterior, arteri serebri media (dekat
pangkalnya), arteri serebri anterior, dan arteri komunikans posterior. Penyebab
lain adalah aneurisma fusiform / aterosklerosis pembuluh arteri basilaris,
aneurisma mikotik dan traumatik selain AVM. Perdarahan ini dapat juga
disebabkan oleh trauma (tanpa aneurisma), arteritis, neoplasma dan
penggunaan kokain berlebihan. (Misbach, 2011)
Perdarahan intraventrikular primer jarang terjadi dan berjumlah sekitar
3% dari seluruh perdarahan intrakranial spontan. Hipertensi yang umumnya
berkaitan dengan faktor resiko, tetapi dapat juga timbul akibat arteriovenous
malformation (AVM), aneurysms, moyamoya disease (MMD), koagulopati, dan
arteriovenous fistula (Srivastava dkk, 2014)
Etiologi lain yang mendasari perdarahan intraventrikular diantaranya
adalah anomali pembuluh darah serebral, malformasi pembuluh darah
termasuk angioma kavernosa dan aneurisma serebri yang merupakan
penyebab tersering pada usia muda. Pada orang dewasa, perdarahan
intraventrikular disebabkan karena adanya penyebaran perdarahan akibat
hipertensi primer dari struktur periventrikel. Perdarahan intraventrikular juga
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
dapat terjadi pada trauma dan tumor yang biasanya melibatkan pleksus
koroideus (Hinson dkk , 2010)
Penyebab perdarahan intraventrikular sekunder termasuk perdarahan
intraserebral (misalnya hipertensive hemorrhage, khususnya perdarahan pada
basal ganglia (tersering) dan perdarahan subaraknoid (Gaillard dkk, 2005).
II.2.4. Patofisiologi
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya
mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling
sering terjadi didaerah subkortikal, serebellum, pons, dan batang otak.
Perdarahan di daerah korteks lebih sering disebabkan oleh sebab lain
misalnya tumor otak yang berdarah, malformasi pembuluh darah otak yang
pecah, atau penyakit pada dinding pembuluh darah otak primer, tetapi dapat
juga akibat hipertensi maligna dengan frekuensi yang lebih kecil daripada
perdarahan subkortikal (Misbach, 2011)
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 -
400 mikrometer mengalami perubahan patologik pada dinding pembuluh darah
tersebut berupa hipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma
tipe Bouchard. Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat
berlanjut sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besar akan merusak
struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala klinik. Sedangkan pada
perdarahan yang luas terjadi dekstruksi massa otak, peninggian tekanan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
intrakranial dan lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falks
serebri atau lewat foramen magnum (Misbach, 2011).
Kematian dapat disebabkan karena kompresi batang otak, hemisfer
otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke
batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada 1/3 kasus
perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus, dan pons. Selain kerusakan
parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan
mengakibatkan peninggian tekanan intrakranial yang menyebabkan
menurunnya perfusi otak serta terganggunya drainase otak. (Misbach, 2011).
Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila volume
darah lebih dari 60 cc maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan
dalam dan 71% pada perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan
serebellar dengan volume antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan
kematian sebesar 75%, tetapi volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah
berakibat fatal (Misbach, 2011)
Perdarahan subaraknoid paling sering disebabkan karena trauma dan
khususnya timbul berdekatan dengan area tulang yang menonjol, misalnya
pada ujung temporal dan frontal. Perdarahan subaraknoid dapat juga
diakibatkan ruptur aneurisma serebral. Aneurisma biasanya berlokasi pada
daerah cabang yang mudah pecah pada sirkulus Willisi yang disebabkan
karena dinding pembuluh darah yang lemah. Kebanyakan lokasi
pembentukan dan rupturnya aneurisma adalah berlokasi pada arteri
communicating anterior dan posterior. Hipertensi kronis yang tidak terkontrol,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
merokok, dan riwayat keluarga menderita aneurisma merupakan faktor resiko
untuk pembentukan dan rupturnya aneurisma. Pada 10% sampai 20% kasus
perdarahan subaraknoid timbul spontan, non traumatik, yang tidak ada
penyebabnya ditemukan berdasarkan serial angiography. Prognosis pada
pasien tersebut secara spesifik baik. (Moheet dkk, 2014 )
Perdarahan intraventrikular primer terbatas pada sistem ventrikular,
yang timbul dari sumbernya di intraventrikuler atau suatu lesi yang dekat
dengan ventrikel. Misalnya termasuk trauma intraventrikular, aneurisma,
malformasi vaskular, dan tumor, biasanya melibatkan pleksus koroideus.
Sekitar 70% perdarahan intraventrikular adalah sekunder, perdarahan
intraventrikular sekunder mungkin timbul akibat perluasan dari perdarahan
intraparenkim atau subaraknoid yang menuju sistem ventrikel. Faktor resiko
untuk perdarahan intraventrikel termasuk usia tua, volume dasar ICH yang
tinggi, nilai mean arterial pressure lebih besar dari 120 mmHg, dan lokasi
perdarahan intraserebral primer. Dalam struktur subkortikal cenderung lebih
beresiko untuk terjadinya perdarahan intraventrikel; lokasi yang sering terjadi
termasuk putamen ( 35% - 50%), lobus (30%), thalamus (10%-15%), pons (5%
- 12%), dan serebellum (5%) (Hinson dkk, 2010).
Sistem ventrikular serebral menyediakan low pressure pathway yang
berfungsi untuk pergerakan cairan serebrospinal. Sistem ini sering rusak
akibat darah masuk pada saat mendekati tekanan sistolik melalui dinding arteri
yang rusak, membentuk perdarahan spontan intraserebral yang dapat
merusak jaringan otak. Perdarahan otak dapat timbul akibat defek pada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
pembuluh darah, misalnya aneurisma, malformasi arteri - vena atau
mikroaneurisma pembuluh darah kecil, profil koagulasi, atau terjadinya
peningkatan tekanan darah yang menyebabkan timbulnya perdarahan. Jadi,
banyak penyakit yang berbeda, misalnya trauma, tumor, dan peningkatan
tekanan darah dapat menyebabkan penumpukan darah dan memungkinkan
timbulnya penyumbatan atau obstruksi pada ruangan intraventrikular.
Perdarahan pada daerah intrakranial dalam yang dekat dengan ventrikel
memudahkan rupturnya intraventrikular secara dini dan merusak regulasi
normal tekanan didalam ruangan kranial, ketika lokasi perdarahan lebih jauh
dari ventrikel memungkinkan terjadinya akumulasi gumpalan darah sebelum
tekanan mekanik dan ukuran perdarahan mengakibatkan terjadinya ruptur
yang kemudian menuju ke ventrikel. Ruptur sering berkaitan dengan timbulnya
penurunan kesadaran yang dapat diketahui secara klinis dan sering berkaitan
dengan timbulnya kematian (Hanley, 2009).
II.2.5. Gambaran Klinis
Onset ICH dan IVH dapat bersamaan terjadinya. Gejala awalnya
termasuk sakit kepala, hemiparese, gangguan status kesadaran, dan koma.
Gejala lain yang jarang termasuk mual dan muntah, gangguan penglihatan,
dan diplopia. Awalnya, pasien mungkin secara klinis stabil dengan hanya
dijumpai gejala ringan sampai sedang. Namun, setelah fase awal tersebut,
pasien sering mengalami kondisi yang kritis yang berakhir dengan koma dan
kematian. Ditemukan peningkatan tekanan intrakranial yang cepat yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
berkaitan dengan edema serebral yang dapat menyebabkan herniasi. Tekanan
darah biasanya meningkat karena dijumpai hipertensi essensial yang tidak
terkontrol. Pasien dengan lesi supratentorial akan dijumpai hemiparese
kontralateral terhadap lesi perdarahan. Pasien tersebut dengan lesi
infratentorial lebih berbahaya kondisinya yang berlanjut menuju kematian otak
secara klinis yang cepat (Nyquist, 2010).
Gejala perdarahan subaraknoid sangat khas dengan nyeri kepala yang
sangat hebat dan mendadak pada saat awitan (onset) penyakit, dan muntah -
muntah. Darah yang masuk ke ruang subaraknoid dapat menyebabkan
komplikasi hidrosefalus karena gangguan absorbsi cairan otak di granulatio
Pacchioni. Perdarahan subaraknoid sering bersifat residif selama 24 - 72 jam
pertama, dan dapat menimbulkan vasospasme serebral hebat disertai infark
otak (Misbach, 2011).
Gambaran klinis dari perdarahan intraventrikular (dilihat dari
penyebabnya) mirip dengan perdarahan subaraknoid. Pasien mengalami nyeri
kepala hebat yang onsetnya tiba - tiba. Perdarahan besar dapat menyebabkan
kehilangan kesadaran, kejang, dan kompresi batang otak dengan kegagalan
fungsi kardiorespirasi (Gaillard dkk, 2005).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
II.2.6. Prognosis
Perdarahan intraserebral spontan, non traumatik ditemukan sekitar 8 -
15 % dari seluruh kasus stroke. Mortalitas 30 hari pada kasus perdarahan
intraserebral antara 35 - 52 %, setengah dari kematian yang timbul pada 48
jam pertama. Prognosisnya tergantung lokasi ICH (supratentorial versus
infratentorial), ukuran hematom, ditemukan dan volume perdarahan
intraventrikular, tingkat kesadaran pasien pada waktu datang (diukur dengan
skala GCS), umur pasien dan berkaitan dengan patologi (Ghelmez dkk,
2013).
Perdarahan intraventrikel spontan atau sekunder merupakan penanda
prognosis yang buruk untuk stroke hemoragik. Dapat menyebabkan
hidrosefalus yang memerlukan penempatan ventricular shunt, dan yang dapat
menghasilkan defisit neurologis yang permanen atau kematian (Bhattathiri dkk,
2006).
Prognosis perdarahan intraventrikular dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Beberapa studi sebelumnya menemukan bahwa dilatasi ventrikel,
volume perdarahan intraventrikular dan peningkatan tekanan intrakranial
adalah indikator outcome buruk pada pasien dengan IVH (Idris dkk, 2014).
II.2.7. Komplikasi
Hidrosefalus adalah komplikasi dari perdarahan intraventrikuler yang
tersering dan kemungkinan disebabkan obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal
atau gangguan absorbsinya di meningeal. Obstruksi cairan serebrospinal
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
dapat menyebabkan obstruksi hidrosefalus, yang dapat meningkatkan tekanan
intrakranial, menghasilkan gangguan global. Kejang merupakan komplikasi
tersering akibat perdarahan intraserebral dan dapat menjadi gejala. Sekitar 50-
70% kejang yang timbul dalam 24 jam pertama, dan 90% pada tiga hari
pertama (Balami dkk, 2012).
II.3. Terapi Oksigen
Sebagian besar reaksi biokimia tubuh bergantung pada ketersediaan
oksigen. Suplai oksigen ke jaringan bergantung dari banyak faktor seperti
ventilasi, difusi melewati membran alveolar capillary, hemoglobin, cardiac
output, dan perfusi jaringan. Terapi oksigen diperlukan jika terjadi kegagalan
nafas pada banyak kondisi seperti asma berat, bronkitis kronik, pneumonia,
dan juga pada kasus-kasus neurologi terutama pada pasien tidak sadar. Untuk
itu perlu dilakukan upaya memenuhi kebutuhan oksigen dengan cara terapi
oksigen. Jumlah oksigen yang dibutuhkan bergantung kepada mekanisme
hipoksemia pada pasien ( Bustami dkk, 2012 ).
Tipe oxygen delivery device bergantung pada jumlah oksigen yang
diperlukan, pemilihan dokter dan pasien, serta efek samping potensial dari
berbagai konsentrasi oksigen. Agar terapi oksigen berjalan efektif dan tidak
terjadi efek samping, maka diperlukan tatalaksana yang sesuai ( Bustami dkk,
2012 ).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
II.3.1. Sistem Respirasi
Sistem respirasi berhubungan dengan hantaran oksigen ke jaringan dan
pembuangan karbondioksida dari sel-sel tubuh dan menjaga keseimbangan
asam-basa dalam tubuh. Suplai oksigen dan pembuangan karbondioksida
bergantung pada fungsi optimal dari sistem respirasi seperti dinding dada dan
otot-otot pernafasan, jalan nafas dan paru-paru, susunan saraf pusat
(termasuk pusat pernafasan di medulla), medulla spinalis, dan sistem
endokrin. Gangguan pada salah satu sistem ini dapat mengakibatkan
terjadinya gagal nafas .Terdapat 5 (lima) hal penting yang berperan dalam
sistem respirasi, yaitu (Bustami dkk,2012)
1.Kontrol respirasi
Trigger pernafasan ini sangat bergantung dari stimulasi yaitu ketersediaan
karbondioksida yang akan melepaskan ion hidrogen. Ion hidrogen ini akan
menstimulasi pusat pernafasn yang terletak di medulla oblongata. Pada
penyakit tertentu seperti stroke di medulla oblongata. Henti nafas dapat terjadi.
Proses patologis intraserebral tahap lanjut juga dapat menyebabkan gangguan
pada pusat pernafasan.
2.Struktur anatomi
Otot pernafasan ( diafragma dan otot interkostalis ) sangat berperan
penting dalam menciptakan tekanan negatif yang terjadi dalam proses
inspirasi. Kelemahan otot pernafasan dapat disebabkan karena gangguan
pada nervus frenikus misalnya pada trauma medulla spinalis segmen servikal
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
2-5 atau gangguan radiks medulla spinalis atau dapat juga disebabkan oleh
penyakit neuromuskular seperti miastenia gravis dan sindrom Guillain Barre.
3.Ventilasi paru
Jalan nafas merupakan komponen yang sangat berperan dalam proses
pernafasan. Pada sumbatan jalan nafas akan terjadi gangguan pertukaran gas
di alveoli. Gangguan atau proses patologis di alveoli seperti tuberkulosis paru
akan mengganggu ventilasi paru.
4. Transportasi gas
Oksigen yang sampai ke paru akan dibawa ke seluruh jaringan. Agar
hambatan oksigen optimal maka diperlukan aliran darah yang memadai ke
otak, jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh darah, jumlah eritrosit, dan
jumlah oksigen dalam arteri (DO2 serebral CBF x Hb x SaO2 x 10
5. Pertukaran gas
Setelah sampai di jaringan maka terjadilah pernafasan di tingkat selular.
Pada keadaan gangguan sel seperti pada keracunan sianida terjadi gangguan
pernafasan jaringan.
II.3.2. Pusat Kontrol Pernapasan ( Respiratory control centers )
Sel saraf pengontrol pernapasan terletak berpencar di beberapa level,
yaitu di batang otak ( pons dan medulla oblongata ) serta di korteks. Sentrum
pernapasan yang terdapat pada medulla oblongata berperan untuk
pernapasan spontan ( involuntary ). Sentrum pernapasan yang terdapat pada
pons berupa apneustic center dan pneumotaxic center. Apneustic center
bekerja melalui mekanisme penghambatan inspirasi sedangkan pneumotaxic
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
center mengatur pola pernapasan berdasarkan stimuli hipoksia, stimuli
hiperkapnia, dan stimuli inflasi paru. Sentrum pernapasan yang terdapat di
korteks berperan untuk pernapasan yang voluntary (disadari) disebut juga
sebagai behaviour related control of breathing (Djojodibroto, 2009).
II.3.3. GAGAL NAFAS
Selama kegagalan pernafasan, terjadi ketidakmampuan menjaga gas
darah arteri dalam batas normal, sedangkan tekanan parsial oksigen biasanya
di bawah 60 mmHg dengan atau tanpa tekanan parsial karbondioksida di atas
49 mmHg di darah arteri ( Bustami dkk,2012 ).
II.3.3.1 Tipe Gagal Nafas
Gagal nafas bisa bersifat akut atau kronik. Gagal nafas akut terjadi
mendadak atau perlahan jika paru-paru sudah sakit sebelumnya, sedangkan
gagal nafas kronikterjadi perlahan akibat underlying penyakit paru. Gagal
nafas juga dapat terjadi meskipun paru-paru normal misalnya pada gangguan
sistem saraf, dinding dada, atau jalan nafas bagisn atas. Pertukaran gas yang
tidak adekuat yang menyebabkan hipoksemia dan hiperkarbia disebut gagal
nafas tipe 1, sedangkan ventilasi yang tidak adekuat yang menyebabkan
hipoksemia dan hiperkarbia disebut gagal nafas tipe 2 (Bustami dkk,2012).
• Gagal nafas tipe 1
Disebut gagal nafas hipoksemik. Pada keadaan ini terjadi kegagalan
oksigenasi jaringan. PaO2 < 60 mmHg sementara PCO2 normal atau
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
rendah. Penyebab yang sering adalah kondisi infeksi, pneumonia,
edema paru, dan ARDS.
• Gagal nafas tipe 2
Disebut gagal nafas hiperkapnia (peningkatan karbondioksida) atau
kegagalan pompa respirasi. Ventilasi alveolar tidak cukup untuk
mengekskresi karbondioksida disertai dengan hipoksemia. PCO2 > 45
mmHg. Penyebab yang sering adalah COPD (chronic obstructive
pulmonary disease), asma bronkial, penyakit neuromuskular, deformitas
dinding dada, overdosis obat, dan trauma dada (Tabel 1).
II.3.3.2. Manajemen
Tujuan terapi pada gagal nafas adalah untuk mencapai dan
mempertahankan pertukaran gas yang adekuat dan mengembalikan proses
pemicu yang menyebabkan kegagalan tersebut. Pada gagal nafas tipe 1,
konsentrasi oksigen tinggi diberikan untuk mengoreksi hipoksemia. Harus
ditentukan apakah keadaan hipoksemia tersebut dapat diperbaiki hanya
dengan terapi oksigen, atau memerlukan intervensi oksigen dan ventilatori.
Keputusan dibuat atas ada atau tidaknya hiperkapnia dan penyakit paru.
Pasien dengan ARDS tidak membaik bila hanya diberikan terapi oksigen, perlu
juga diberikan ventilasi mekanik ( PEEP- positive end expiratory pressure ).
Pada gagal nafas tipe 2 dengan paru yang normal sebelumnya, terdapat
ventilasi alveolar yang tidak adekuat, sehingga pada pasien ini diperlukan
ventilasi tambahan ( ventilatory assistance ). Pada pasien dengan penyakit
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
paru sebelumnya seperti pada COPD eksaserbasi akut, kontrol terapi oksigen
diperlukan. Ventilasi mekanik harus dihindari pada pasien dengan COPD
karena weaning sulit dilakukan (Bustami dkk,2012).
II.3.4. HIPOKSIA DAN HIPOKSEMIA
Kedua istilah ini sering tertukar satu sama lainnya. Hipoksia adalah
kurangnya kadar oksigen pada tingkat selular, ambilan dan pemakaian
oksigen selular yang tidak adekuat, penurunan oksigen untuk pernafasan
jaringan, atau tekanan oksigen di tingkat selular yang tidak adekuat.
Sedangkan, hipoksemia adalah penurunan tekanan parsial oksigen darah
arteri ( normal 85-100 mmHg ), defisiensi oksigen relatif dalam arteri, atau
penurunan konsentrasi oksigen dalam arteri ( Bustami dkk,2012 ).
Pada hipoksemia akan terjadi respon fisiologis pada sistem respirasi,
kardiovaskular, dan hematologi. Pada sistem repirasi akan terjadi peningkatan
ventilasi sehingga PaO2 akan meningkat, namun apabila hal ini dibiarkan akan
terjadi peningkatan kerja otot pernafasan dan pada tingkatan tertentu akan
berakibat kelelahan otot pernapasan. Pada sistem kardiovaskular dapat
berefek peningjkatan denyut jantung dan volume cardiac output, dan dapat
juga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner. Kompensasi pada
sistem ini akan berdampak membaiknya ventilatory-perfusion matching,
meningkatnya PaO2 ,dan hantaran oksigen. Namun, pada proses lanjut akan
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan arteri pulmoner. Pada sistem
hematologi akan terjadi peningkatan eritropoetin dan menaikkan konsentrasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
hemoglobin,sehingga akan berefek peningkatan kapasitas pembawa oksigen.
Namun, pada tahap lanjut akan berakibat peningkatan kerja jantung. Hipoksia
akan berdampak terjadinya kegagalan metabolisme di tingkat selular di
jaringan yang menyebabkan kekurangan ATP dan dihasilkannya laktat
sebagai hasil metabolisme anaerobik (Bustami dkk, 2012).
Tabel 1. Penyebab Gagal Nafas Akut
A. Defek Ventilasi - Depresi pusat pernafasan
• Obat-obatan : narkotika, anestesi, sedatif
• Infark serebri
• Cedera kepala - Penyakit neuromuskular
• Miastenia gravis
• Sindrom Guillain Barre
• Cedera kepala atau medulla spinalis
• Polio, porfiria, botulisme - Obstruksi jalan nafas
• Penyakit paru obstruktif kronik
• Asma berat akut - Defek restriktif
• Penyakit paru interstisial
• Kifoskoliosis, ankylosing spondylitis
• Kelumpuhan difragma bilateral
• Obesitas berat B. Gangguan Difusi dan Pertukaran Gas - Edema paru - ARDS - Tromboemboli paru - Fibrosis paru C. Abnormalitasi Ventilasi-Perfusi - COPD - Fibrosis paru - ARDS - Tromboemboli paru
Dikutip dari : Bustami, M., Retnaningsih., Jannis, J., Sobaryati., Musridharta, E., et al. 2012. Advanced Neuro critical Care Support. Indonesia Neurological Association. Jakarta.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
Pada hipoksemia akan terjadi respon fisiologis pada sistem respirasi,
kardiovaskular, dan hematologi. Pada sistem repirasi akan terjadi peningkatan
ventilasi sehingga PaO2 akan meningkat, namun apabila hal ini dibiarkan akan
terjadi peningkatan kerja otot pernafasan dan pada tingkatan tertentu akan
berakibat kelelahan otot pernapasan. Pada sistem kardiovaskular dapat
berefek peningjkatan denyut jantung dan volume cardiac output, dan dapat
juga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner. Kompensasi pada
sistem ini akan berdampak membaiknya ventilatory-perfusion matching,
meningkatnya PaO2 ,dan hantaran oksigen. Namun, pada proses lanjut akan
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan arteri pulmoner. Pada sistem
hematologi akan terjadi peningkatan eritropoetin dan menaikkan konsentrasi
hemoglobin,sehingga akan berefek peningkatan kapasitas pembawa oksigen.
Namun, pada tahap lanjut akan berakibat peningkatan kerja jantung. Hipoksia
akan berdampak terjadinya kegagalan metabolisme di tingkat selular di
jaringan yang menyebabkan kekurangan ATP dan dihasilkannya laktat
sebagai hasil metabolisme anaerobik (Bustami dkk, 2012).
Gambaran umum terjadinya hipoksemia antara lain gelisah, palpitasi,
berkeringat, gangguan kesadaran, nyeri kepala, konfusi/bingung, dan sianosis.
Tekanan darah dapat meningkat, namun akan turun seiring dengan
memberatnya keadaan hipoksemia. Hiperkapnia menyertai hipoksemia.
Hiperkapnia menyertai hipoksemia bila terdapat hipoventilasi. Pada gagal
nafas akut dibutuhkan konsentrasi oksigen yang tinggi pada saat awal untuk
mengoreksi keadaan hipoksemia untuk mencegah kerusakan organ. Tidak
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
hanya memperbaiki PaO2, namun hantaran oksigen ke jaringan dan alat yang
sesuai juga penting (Bustami dkk,2012).
Hipoksia pada umumnya terjadi setelah stroke dan bisa berdampak
merugikan secara signifikan terhadap stroke iskemik (Shulter, 2000). Hipoksia
sangat mungkin terjadi pada saat pasien cenderung tidak diamati secara
intensif, misalnya saat dilakukan pemeriksaan Head CT Scan, saat
perpindahan dari IGD ke bangsal, dan pada malam hari ( Rowat dkk, 2006 ).
Di unit stroke akut, saturasi oksigen dinilai setiap 6 jam, 52% pasien
stroke dengan saturasi oksigen normal di siang hari mengalami enam menit
atau lebih mengalami hipoksia di malam hari berdasarkan analisa continuous
pulse oxymetry, 23% mengalami hipoksia selama lebih dari 30 menit, dan
15% selama lebih dari 1 jam ( Roffe dkk, 2003 ).
Walaupun continuous pulse oxymetry tersedia di sebagian besar unit
stroke, namun ditandai dengan bunyinya alarm palsu yang disebabkan
pergeseran posisi jari. Pengobatan hipoksia segera dan efektif mungkin
merupakan salah satu alasan mengapa pasien yang dirawat di unit stroke
memperoleh hasil yang lebih baik. Pasien kemungkinan besar menerima
oksigen daripada di bangsal ( Indredavik dkk, 1999).
Terapi oksigen yang diberikan selama beberapa hari pertama setelah
stroke memperoleh hasil yang baik ( Roffe dkk, 2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
II.3.4.1. Jenis Hipoksia
1. Hipoksia hipoksik
hal ini terjadi akibat rendahnya tekanan oksigen arteri ( PaO2) yang
diakibatkan oleh konsentrasi oksigen onspirasi yang rendah ( FiO2 < 21%) atau
pada tempat dengan tekanan barometer yang rendah seperti berada pada
ketinggian.Selain itu juga dapat akibat gangguan ventilasi akibat kelemahan
otot-otot pernafasan atau overdosis narkotik atau akibat gangguan oksigenasi
akibat fibrosis paru atau ARDS.
2. Hipoksia sirkulatorik
Terjadi akibat pemompaan darah ke jaringan tidak adekuat disebabkan
penurunan output jantung seperti pada infark miokard, volume cairan rendah,
hipotensi atau suplai arteri jelek. Ini merupakan alasan pada setiap pasien
infark miokard akut hendaklah diberikan oksigen.
3. Hipoksia hemik
Hal ini terjadi akibat penurunan kapasitas pembawa oksigen seperti
pada anemia atau keracunan karbon monoksida ( CO ).
4. Hipoksia demand
Akibat peningkatan konsumsi oksigen jaringan pada keadaan status
hipermetabolik seperti demam.
5. Hipoksia histotoksik
Hipoksia jenis ini akibat pemakaian oksigen abnormal sepertipada
keracunan sianida.(Bustami dkk,2012).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
II.3.5. Definisi Terapi Oksigen
Definisi terapi oksigen adalah usaha untuk meningkatkan fraksi
konsentrasi oksigen yang di inspirasi ( FiO2 ) oleh pasien dengan
menggunakan berbagai oxygen deliver device yang terhubung dengan oksigen
medis. Oksigen dapat diberikan dengan dilembabkan (humidity) terlebih
dahulu ataupun tidak ( Bustami dkk,2012 ).
II.3.6. Indikasi
1. PaO2 < 60 mmHg atau SaO2 < 90%
2. Hipoksemia
3. Kondisi hipermetabolik seperti MCI akut, stroke akut, dan trauma berat
4. Meningkatnya kerja pernafasan
5. Meningkatnya kerja otot jantung
6. Hipertensi pulmoner
Oksigen dapat diberikan dengan konsentrasi tinggi ataupun rendah
pada kondisi yang berhubungan dengan hipoksemia. Pada COPD terdapat
risiko hiperkarbia, harus digunakan konsentrasi rendah. Pada kondisi paru
akut ( tanpa underlying penyakit paru kronik ) seperti emboli paru, pneumonia,
tension pneumotoraks, asma berat akut, edema paru, dan infark miokard
dapat diberikan konsentrasi oksigen yang tinggi. Sama halnya dengan
fibrosing alveolitis, pada keadaan ini tidak terdapat retensi CO2 , konsentrasi
tinggi dapat diberikan karena tidak adanya bahaya menginduksi hipoventilasi.
Menjaga PaO2 > 60 mmHg memberikan saturasi O2 90%. Selama eksaserbasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
akut COPD, dorongan (drive) kemoreseptor untuk bernafas tidak berfungsi,
sehingga ventilasi alveolar menurun. Hipoksemia harus dikurangi dengan
pemberian oksigen pad konsentrasi 24% untuk memperbaiki oksigenasi tanpa
kehilangan efek stimulasi pernafasan (Bustami dkk,2012).
II.2.7. Tujuan Terapi Oksigen
Tujuan terapi oksigen adalah memperbaiki hipoksemia dengan
meningkatkan tekanan alveolar, untuk mengurangi kerja pernafasan dan
menurunkan kerja miokardium. Oksigen harus digunakan seperti obat,
sehingga hanya digunakan pada kondisi tertentu dan dosis yang diberikan ke
setiap individu harus disesuaikan. Gas darah arteri harus diukur berulang
pada pasien dengan gagal nafas yang menggunakan terapi oksigen.
Tujuannya adalah mempertahankan PaO2 > 60 mmHg. Oksigen harus
diberikan dalam dosis rendah kontinyu karena kenaikan sedikit FiO2
menyebabkan kenaikan PaO2.( Bustami dkk,2012 ).
II.3.8. Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi absolut. Kontraindikasi relatif berhubungan
dengan bahaya hiperoksemia, sehingga tujuan terapi oksigen adalah
mencapai oksigenasi jaringan yang adekuat dengan FiO2 yang rendah (
Bustami dkk,2012 ).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
Pada pasien dengan retensi karbondioksida kronik yang memiliki
stimulus untuk bernafas oleh penurunan tekanan parsial oksigen di darah
arteri (PaO2), pemberian terapi oksigen dapat menekan keinginan untuk
bernapas ( respiratory drive ). Sehingga monitoring diperlukan untuk
mencegah hipoventilasi ( Bustami dkk,2012 ).
II.2.9. Bahaya atau komplikasi
1.Risiko fisik
Oksigen mudah terbakar, jadi ada kemungkinan risiko kebakaran dan
ledakan tabung. Biasanya terjadi pada konsentrasi oksigen tinggi, penggunaan
ruangan bertekanan ( pressure chamber ), dan perokok. Kateter dan masker
dapat menyebabkan kerusakan pada hidung dan mulut. Kekeringan dan gas
yang tidak dilembabkan dapat menyebabkan kekeringandan pecah-pecah.
2.Risiko fungsional
Pasien yang kehilangan sensitivitas terhadap CO2 dan dalam keadaan
hypoxic drive bahaya untuk terjadinya depresi ventilasi seperti pada pasien
COPD. Hipoventilasi dapat menyebabkan hiperkapnia dan narkosis CO2 meski
risiko rendah pada terapi oksigen aliran rendah. pH darah arteri lebih baik
untuk monitoring dibanding PaCO2 dalam menilai terapi oksigen. Selagi pH
tidak menunjukkan asidosis, penggunaan terapi oksigen jangka panjang dapat
diberikan pada pasien dengan retensi CO2.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
3.Kerusakan sitotoksik
Pasien COPD dengan terpi oksigen jangka panjang, pada autopsi,
memperlihatkan perubahan proliferatif dan fibrotik. Pada kondisi akut,
kebanyakan kerusakan struktural terjadi dari pemberian FiO2 yang tinggp,
dimana oksigen dapat menyebabkan pelepasan berbagai spesies reaktif yang
menyerang DNA, lemak, dan protein yang mengandung SH ( Bustami
dkk, 2012 ).
II.3.10. Langkah-langkah Terapi Oksigen
1.Nilai SaO2 pasien ( dengan pulse oxymetry ). Pada umumnya diperlukan
target SaO2 > 90%.
2.Cari dan atasi penyebab penurunan SaO2 ( Airway, Breathing )
3.Tetapkan metode pemberian oksigen ( oxygen delivery device )
4.Evaluasi secara berkala ( monitoring ) (Bustami dkk, 2012).
II.2.11. Oxygen Deliver Device
Dikenal 3 sistem hantaran gas, yaitu rebreathing, partial rebreathing,
dan non rebreathing (Bustami dkk,2012).
1.Sistem rebreathing
Pada sistem ini udara yang dihasilkan paru-paru ditampung dalam
reservoir khusus. CO2 yang dihasilkan udara ekspirasi akan diserap oleh CO2
absorber. Pada sistem ini udara yang dihasilkan paru-paru akan dihirup
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
kembali tanpa CO2. Sistem ini digunakan untuk hantaran gas anestesi dan
jarang atau tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.
2.Sistem partial rebreathing
Pada sistem ini sebagian udara hasil ekspirasi dari ruang mati anatomi
akan masuk ke dalam kantong reservoir. Selain itu reservoir juga menerima
aliran udara segar. Sehingga, udara inspirasi terdiri dari udara ekspirasi (CO2
sedikit) dan aliran udara segar ( O2 murni ).
3.Sistem non-rebreathing
Sistem ini merupakan sistem deliveri oksigen yang banyak dipakai pada
umumnya. Pada sistem ini udara ekspirasi dikeluarkan (CO2 yang dikeluarkan
tidak dihirup kembali selama pernafasan berikutnya). Termasuk didalamnya
adalah high flow system.
II.3.12. High Flow System
Pada sistim high flow ini aliran udara inspirasi dapat mencapai
kecukupan aliran inspirasi puncak pasien. Konsentrasi oksigen yang dihirup
sewaktu inspirasi dapat diketahui dan stabil, sehingga dapat dipakai kalau kita
menginginkan FiO2 yang konsisten dan dapat diprediksi. Sistim ini dapat
dipakai untuk pasien dengan pola pernafasan yang tidak stabil, contoh venturi
mask. Venturi mask akan membawa oksigen yang sudah dihumidifikasi.
Dengan alat ini FiO2 dapat ditingkatkan bervariasi sampai 24%-50% dengan
cara mencampur udara ruangan dengan O2 murni. FiO2 dapat diatur dengan
tepat sesuai dengan yang dikehendaki ( konsentrasi rendah:
24%,26%,28%,31%; konsentrasi tinggi: 35%,40%,50% ). Apabila diperlukan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
terapi obatan melalui inhalasi, maka dapat dipakai aerosol devices yaitu
dengan menambahkan botol aerosol (Bustami dkk,2012).
II.2.13. Low Flow System
Sistem deliveri oksigen ini banyak dipakai karena simpel, mudah
pemakaian, familiar untuk petufas medis, ekonomis, mudah diterima pasien
dan mudah didapatkan. Namun sistim ini, aliran udara inspirasi tidak dapat
memenuhi flow inspirasi puncak pasien. Kadar oksigen inspirasi ( FiO2 )
tergantung pada kecepatan aliran oksigen, reservoir oksigen, dan pola
ventilasi pasien. Perlu diingat bahwa low flow bukan berarti low oxygen
concentration ( Tabel 3 ) ( Bustami dkk,2012 ).
1.Nasal Kanul
Nasal kanul terdiri dari 2 cabang yang dimasukkan ke dalam lubang
hidung. Keuntungan bagi pasien adalah kurang klaustrofobik dibanding alat
yang lain, dan tidak mengganggu aktivitas makan, minum, dan komunikasi.
Dengan metode ini akan meningkatkan FiO2 2%-4% untuk setiap liter
kecepatan aliran O2 yang diberikan. Dengan metode ini hanya dapat
mengalirkan oksigen dengan baik dan efektif bila kecepatan maksimum 6
liter/menit. Konsentrasi oksigen inspirasi yang dapat diharapkan berkisar 24-
44% ( tergantung pola ventilasi pasien ). Sedangkan kecepatan aliran > 6
l/menit tidak signifikan lagi meningkatkan FiO2, hal ini terjadi karena
keterbatasan reservoir yaitu rongga hidung ( anatomy dead space ). Perlu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
diperhatikan, aliran yang tinggi ( >4 l/menit )dan pemberian jangka lama akan
merusak mukosa hidung. Disarankan memakai humidifikasi kanula hidung
dengan bubble device ( Bustami dkk,2012 ).
2. Oksigen Sederhana ( Simple Mask )
Metode ini akan dapat meningkatkan FiO2 31-61% dengan kecepatan
aliran 5-10 l/menit. Reservoir simple mask, ruang antara masker dan wajah
pasien, ditujukan untuk menyimpan cadangan oksigen yang akan digunakan
untuk pernafasan berikutnya sehingga dapat meningkatkan konsentrasi
oksigen. Aliran < 6 l/menit tidak direkomendasikan karena tidak dapat
mengeluarkan CO2 dari masker (Bustami dkk,2012).
3. Partial Rebreathing Mask
Alat bantu terapi oksigen ini mirip dengan simple mask hanya dengan
tambahan kantong reservoir oksigen ( kantong udara ). Dengan tambahan
reservoir ini diharapkan dapat menampung oksigen murni lebih banyak
sehingga akan meningkatkan FiO2 > 60%. Perlu diperhatikan adalah
memastikan saat inspirasi kantong mengempis ( mengecil ) sekitar 1/3 nya
saja (Bustami dkk,2012).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
4. Non Rebreathing Mask
Pada sistem yang menggunakan alat ini aliran udara inspirasi
diharapkan lebih tinggi karena alat dilengkapi dengan membran yang akan
menjaga seminimal mungkin percampuran antara oksigen murni dengan CO2
hasil ekspirasi. Alat ini dapat meningkatkan konsentrasi O2 paling tinggi
diantara simple oxygen devices. Konsentrasi oksigen ( FiO2 ) dapat mencapai
100% ( 60%-90%), tergantung dari ada atau tidaknya kebocoran antara
masker dan wajah. Agar kantong tetap mengembang selama inspirasi maka
aliran oksigen harus tinggi (>10L/menit) (Bustami dkk,2012).
II.3.14. Monitoring Terapi Oksigen
Terapi oksigen harus diberikan terus-menerus dan tidak boleh
dihentikan mendadak sebelum pasien mengalami perbaikan , karena
penghentian mendadak justru dapat menyebabkan penyimpanan oksigen
tubuh menurun sehingga terjadi penurunan tekanan oksigen tubuh menurun
sehingga terjadi penurunan tekanan oksigen alveolar. Dosis oksigen harus
diperhitungkan dengan cermat. Apabila dengan alat tertentu belum memadai
untuk mengganti dengan alat yang lain yang lebih meningkatkan konsentrasi
oksigen. Begitu juga sebaliknya, apabila dengan alat tertentu sudah dapat
mengatasi hipoksia dan pasien sudah stabil, maka sebaiknya beralih ke cara
yang lebih sederhana (Bustami dkk,2012).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
Tekanan parsial oksigen dapat diukur dengan darah arteri. PO2 arteri
sebesar 60 mmHg dapat menyediakan saturasi 90%, namun jika terdapat
asidosis maka dibutuhkan PaO2 > 80 mmHg. Pada pasien dengan gagal nafas,
keadaan anemia harus diperbaiki supaya transpor oksigen ke jaringan
adekuat. Peningkatan tekanan oksigen arteri menghasilkan kenaikan saturasi
hemoglobin yang signifikan. Pada keadaan normal, tidak ada keuntungan
menaikkan PaO2 > 60-80 mmHg. Peningkatan konsentrasi oksigen 1% akan
meningkatkan tekanan oksigen 7 mmHg. Pengukuran gas darah arteri
berulang terkadang sulit dilakukan, sehingga teknik non-invasif yang
sederhana seperti oksimeter dapat digunakan untuk menilai terapi oksigen
(Bustami dkk,2012).Beberapa hal yang diperlukan dalam pemantauan terapi
oksigen (Bustami dkk,2012)
- Evaluasi gejala klinis
- Pulse oxymetry
- Kapnograf
- Analisa gas darah
- Foto toraks
- Ekg
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
Tabel 2. Acuan Pengambilan Sikap terhadap Gangguan Respirasi
(Kriteria Pontopidan)
No .
Parameter Acceptable Range
Fisioterapi Terapi oksigen Pemantauan Ketat
Intubasi Trakeostomi Ventilasi
1 Frekuensi nafas 12-25 23-35 >35
2 Kapasitas vital paru ( mL/kg)
70-30 30-15 <15
3. Gas darah( mmHg ) PaO2
PaCO
AaDO2
100-70 (udara) 35-45 50-200
200-70 (O2 mask) 45-60 200-350
<70 ( O2 mask) .>60 >350
4 VD/VT 0,3-0,4 0,4-0,6 >0,6
5 Inspiration force 100-50 50-25 <25
Dikutip dari : Bustami, M., Retnaningsih., Jannis, J., Sobaryati., Musridharta, E., et al. 2012. Advanced Neuro critical Care Support. Indonesia Neurological Association. Jakarta.
II.3.15. Penghentian Terapi Oksigen
Weaning dipikirkan jika pasien sudah lebih nyaman, penyakit
mendasar stabil, tekanan darah, ferkuensi nadi, frekuensi pernafasan, warna
kulit, dan oksimetri dalam rentang normal. Weaning dapat dilakukan perlahan
dengan menghentikan atau menurunkan konsentrasi secara bertahap
misalnya setiap 30 menit, dan dilakukan re-evaluasi terhadap parameter klinis
dan SpO2 secara periodik. Pasien dengan penyakit paru kronik mungkin
memerluksn konsentrasi oksigen dalam waktu yang lama (Bustami dkk, 2012).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
Tabel 3. Perkiraan FiO2 berdasarkan Oxygen Delivery Device
Oxygen Delivery Devices
Perkiraan FiO2 Flow rate ( L/menit)
Nasal Kanul 24% 28% 32% 36% 40% 44%
1 2 3 4 5 6
Simple Face Mask 40-60% 5-8
Partial Rebreathing Mask
60-80% 8-15
Non Rebreathing Mask 85-100% 10-15
Venturi Mask 24% 26% 28% 31% 35% 40% 50%
3 3 6 6 9 12 15
Dikutip dari :Bustami, M., Retnaningsih., Jannis, J., Sobaryati., Musridharta, E., et al. 2012. Advanced Neuro critical Care Support. Indonesia Neurological Association. Jakarta. II.4. PENILAIAN OUTCOME STROKE AKUT
Indeks bartel diperkenalkan oleh Mahoney dan Barthel tahun 1965
untuk memeriksa status fungsional dan kemampuan pergerakkan
otot/ekstremitas pada pasien penderita penyakit kronik di rumah sakit
Maryland. Wade tahun 1992, mempergunakan indeks barthel ini untuk
mengevaluasi keterbatasan/ketidakmampuan melakukan aktivitas tertentu saat
pasien akan keluar dari rumah sakit. Indeks ini direkomendasikan sebagai
salah satu instrumen yang sering dipakai untuk menilai keterbatasan kegiatan
keseharian kehidupan (Misbach,2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
Keunggulan indeks barthel ini mempunyai reliabilitas dan validitas yang
tinggi mudah dan cukup sensitif untuk mengukur perubahan fungsi serta
keberhasilan rehabilitasi. Kelemahannya, indeks ini tidak merupakan skala
ordinat dan tiap penilaiannya tidak menunjukkan berat atau ringannya fungsi
kehidupan kesehariannya ( Misbach, 2011 ).
Ada dua versi , yaitu versi Wade dan Collin (1988) memuat 10 penilaian
dengan total nilai antara 0 (total ketergantungan) sampai 100 (normal) dan
versi Granger, 1982 memuat 15 penilaian dengan nilai antara 0-100. Yang
banyak dipakai karena cukup sederhana adalah versi Wade dan Collin (
Misbach, 2011).
Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan
sebagai impairments, disabilitas dan handicaps. Oleh WHO membuat batasan
sebagai berikut (Caplan, 2009) (Misbach , 2011) :
1. Impairments : menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis
dan anatomis yang disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi, fisioterapi,
terapi okupasional ditujukan untuk menetapkan kelainan ini.
2. Disabilitas adalah setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk
berbuat sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan orang yang sehat
seperti : tidak bisa berjalan, menelan dan melihat akibat pengaruh
stroke.
3. Handicaps adalah halangan atau gangguan pada seseorang penderita
stroke berperan sebagai manusia normal akibat ”impairment” atau
“disability” tersebut .
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
Modified Rankin Scale merupakan suatu alat pengukuran keterbatasan
fungsional pasca stroke. Alat ukur ini lebih global dibandingkan dengan indeks
Barthel. Hasil penilaiannya adalah secara umum terdiri dari 5 angka, yaitu :
keterbatasan berat, keterbatasan berat sedang, keterbatasan sedang,
keterbatasan ringan dan keterbatasan tak bermakna. Penilaian meliputi
kaspek kehidupan pribadi sehari - hari yaitu : eating, toilet, daily hygiene,
walking, prepare meal, household expenses, local travel, local shopping dan
kehidupan sosial yaitu bekerja, tanggung jawab keluarga, aktivitas sosial,
hiburan ( Misbach , 2011). Pada penelitian sebelumnya di dapat nilai statistik
terhadap pasien stroke akut yang mendapat terapi O2 dengan nilai mRS <3 56
( 44% ) dan pada kelompok kontrol 58 ( 45% ) ( Ali dkk, 2013).
Modified Rankin Scale (mRS) merupakan skala rating outcome global
dengan nilai dari 0 (tidak ada gangguan) hingga 5 (hanya terbaring ditempat
tidur, inkontinensia, membutuhkan perawatan dan perhatian menetap) dan 6
(outcome fatal) (Weimar dkk, 2002). Bila mRS 1-3, dikelompokkan sebagai
outcome baik sedangkan mRS 4-6 dikelompokkan sebagai outcome jelek
(Painthakar, 2003).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
Kematian Sel
Gambar 1. Skema Hubungan Stroke Dan Terapi Oksigen
↓ Aliran Darah Otak
Hipoksia
↓ PaO2 ↓Glukosa
Terapi O2
↓ ATP
Kegagalan Pompa Na+/K+
Depolarisasi
Stroke
Stroke Iskemik Stroke Hemoragik
Kerusakan Jaringan Otak
Pelepasan Glutamat
Kanal Ca++
terbuka
Reseptor metabotropik
Reseptor NMDA
Reseptor AMPA
Influks Ca++ Pelepasan Ca++
↑ Ca++ Intrasel
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
II.4. KERANGKA TEORI
↓ Aliran Darah Otak
Hipoksia
↓ PaO2 ↓Glukosa
Terapi O2
↓ ATP
Kegagalan Pompa Na+/K+
Depolarisasi
Stroke
Stroke Iskemik Stroke Hemoragik
Kerusakan Jaringan Otak
Pelepasan Glutamat
Kanal Ca++
terbuka
Reseptor metabotropik
Reseptor NMDA
Reseptor AMPA
Influks Ca++ Pelepasan Ca++
↑ Ca++ Intrasel
Kematian sel
Misbach dkk,2007: Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi berantai yang berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur-unsur pendukungnya.
Roffe dkk,2003: Hipoksia
yang terjadi dalam kurun waktu beberapa hari setelah stroke akan mengakibatkan dampak negatif terhadap sel didalam penumbra iskemik dan memperburuk defisit neurologi dan outcome.
Sjahrir,2003: Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara
bertahap.
Bustami dkk,2012: Terapi oksigen harus diberikan secara kontinyu dan tidak boleh dihentikan mendadak sebelum pasien mengalami perbaikan
Ali dkk,2013: Terapi
oksigen bisa meningkatkan pemulihan neurologik dini
Outcome
Kennedy dkk,2012:Pengukuran Outcome yang lebih dipilih untuk uji akut adalah mRS, dinilai 3 bulan setelah onset stroke atau lebih.
Misbach dkk,2011 : Barthel Indeks direkomendasikan sebagai salah satu instrumen yang sering dipakai untuk menilai keterbatasan kegiatan keseharian kehidupan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
II.5. KERANGKA KONSEP
Stroke Akut
Terapi Oksigen 2 l/i via nasal kanul
Outcome :
- Indeks Barthel
- mRS
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK USU / RSUP H.
Adam Medan dan Rumah Sakit jejaringnya dari tanggal 29 Desember 2015
sampai dengan 28 Juli 2017 atau sampai sampel penelitian terpenuhi.
III.2. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian diambil dari populasi pasien rumah sakit. Penentuan
subjek penelitian dilakukan menurut metode potong lintang
III.2.1. Populasi Sasaran
Semua penderita stroke akut yang ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan Head CT Scan .
III.2.2. Populasi Terjangkau
Semua penderita stroke akut yang dirawat di ruang rawat inap terpadu
(Rindu) A4 Departemen Neurologi FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan dan
Rumah Sakit jejaringnya.
III.2.3. Besar Sampel
Besar sampel dihitung menurut rumus :
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
2)(11 PaQaZPoQoZ
(Po-Pa)2
Dimana :
1Z
= Deviasi baku alpha, utk = 5% maka nilai baku normalnya
1,96
)1( Z
= Deviasi baku beta, utk = 20% maka nilai baku normalnya
0,842
Po = Proporsi outcome baik pada penderita stroke akut yang
mendapat terapi O2 0,44 ( Ali K, 2013 ) .
Pa =Proporsi yang diamati diperkirakan 0,26
)74,026,0842,056,044,096,1 n
( 0,44-0,26)2
Jadi untuk besar sampel berjumlah minimal : 56 orang
III.2.4. Kriteria Inklusi
1. Semua penderita stroke akut dengan onset ≤ 72 jam yang telah ditegakkan
dengan anamnesis, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan Head CT
scan.
2. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian ini
57
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
III.2.5. Kriteria Eksklusi
1. Pasien stroke yang kontraindikasi untuk pengobatan oksigen 2 liter/menit
(misalnya: gagal pernafasan tipe II).
2. Pasien Stroke dengan penyakit lain yang lebih berat
3. Pasien dengan keparahan penyakit yang dapat mengancam
jiwa untuk beberapa bulan kedepan.
III.3. BATASAN OPERASIONAL
1. Stroke adalah suatu episode dari disfungsi neurologis yang dianggap
disebabkan oleh iskemia atau hemoragik, bertahan ≥ 24 jam atau meninggal,
tapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk diklasifikasikan ( Sacco dkk,
2013 ).
2.Stroke iskemik adalah suatu episode disfungsi neurologik yang disebabkan
infark serebral fokal, infark spinal, infark retina (Sacco dkk, 2013).
3.Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis yang berkembang cepat, yang
disebabkan oleh kumpulan darah setempat pada parenkim otak atau sistem
ventrikular yang tidak disebabkan oleh trauma. (Sacco dkk, 2013)
4.Hipoksia adalah kurangnya kadar oksigen pada tingkat selular, ambilan dan
pemakaian oksigen selular yang tidak adekuat, penurunan oksigen untuk
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
pernafasan jaringan, atau tekanan oksigen di tingkat selular yang tidak
adekuat ( Bustami dkk,2012 ).
5.Hipoksemia adalah penurunan tekanan parsial oksigen darah arteri, atau
penurunan konsentrasi oksigen dalam arteri ( Bustami dkk,2012 ).
6.Terapi oksigen adalah usaha untuk meningkatkan fraksi konsentrasi oksigen
yang diinspirasi (FiO2) oleh pasien dengan menggunakan berbagai oxygen
deliver device yang terhubung dengan oksigen medis. Oksigen dapat diberikan
dengan dilembabkan (humidity) terlebih dahulu ataupun tidak ( Bustami
dkk,2012 ).
7.Nasal kanul terdiri dari 2 cabang yang dimasukkan ke dalam lubang hidung.
Keuntungan bagi pasien adalah kurang klaustrofobik dibanding alat yang lain,
dan tidak mengganggu aktivitas makan, minum, dan komunikasi. Dengan
metode ini akan meningkatkan FiO2 2%-4% untuk setiap liter kecepatan aliran
O2 yang diberikan ( Bustami dkk, 2012).
8.Pada penelitian ini pemberian terapi o2 via nasal kanul sebesar 2 liter/ menit,
karena pada penelitian yang sebelumnya menghasilkan outcome yang baik (
Roffe dkk, 2011 ).
9.Gagal nafas adalah ketidakmampuan menjaga gas darah arteri dalam batas
normal, sedangkan tekanan parsial oksigen biasanya di bawah 60 mmHg
dengan atau tanpa tekanan parsial karbondioksida di atas 49 mmHg di darah
arteri ( Bustami dkk, 2012 ).
10.Pulse Oxymetry adalah suatu alat yang berfungsi sebagai monitor untuk
saturasi oksigen ( Sulter dkk, 2000 ).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
11.Modified Rankin Scale merupakan suatu alat pengukuran keterbatasan
fungsional pasca stroke. Alat ukur ini lebih global dibandingkan dengan indeks
Barthel dan mempunyai reliabilitas dan validitas yang cukup baik( Misbach,
2011). mRS 1-3, dikelompokkan sebagai outcome baik sedangkan mRS 4-6
dikelompokkan sebagai outcome jelek ( Painthakar, 2003 ).
12. Indeks barthel untuk mengevaluasi keterbatasan /ketidakmampuan
melakukan aktivitas tertentu saat pasien akan keluar dari rumah sakit
(Misbach, 2011)
13. Outcome dalam penelitian ini adalah penilaian saat setelah mendapat
terapi selama 72 jam dan saat onset hari ke 14
14.Malam Hari adalah dimulai pukul 21.00 wib – 09.00 wib (
Roffe dkk,2011)
III.4. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan sumber data
primer diperoleh dari semua penderita stroke akut yang dirawat di ruang rawat
inap terpadu (Rindu) A4 Departemen Neurologi FK-USU / RSUP.H. Adam
Malik Medan dan Rumah Sakit jejaringnya.
III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN
III. 5.1. Instrumen Penelitian
5.1.1 Pemeriksaan saturasi oksigen dengan menggunakan pulse
oxymetry
5.1.2. Head CT Scan yang digunakan adalah X-ray CT system,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
merk Hitachi seri W 450. Hasilnya akan dibaca oleh dokter
spesialis radiologi.
5.1.3. Pemberian terapi oksigen melalui nasal kanul
5.1.4. Penilaian Outcome dengan menggunakan Modified
Rankin Scale (mRS) dengan skala 0 – 6 dan Indeks
Barthel
III. 5.2. Pengambilan Sampel
Semua penderita stroke akut yang telah ditegakkan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan
Head CT- scan yang dirawat di ruang rawat inap terpadu (Rindu) A4
Departemen Neurologi FK-USU / RSUP.H. Adam Malik Medan dan Rumah
Sakit jejaringnya dengan onset ≤ 72 jam diambil secara konsekutif dan yang
memenuhi kriteria inklusi dan tidak ada kriteria eksklusi. Akan dilakukan
pengelompokkan stroke ringan, stroke sedang, stroke berat, berdasarkan
Barthel Index, untuk stroke ringan dan sedang akan dimasukkan kedalam
sampel. Kemudian pasien akan diberi terapi O2 selama 72 jam, dalam 1 hari
nilai saturasi diperiksa 2 kali pada siang hari dan 2 kali pada malam hari
dengan menggunakan pulse oximetry , setelah itu akan dinilai outcome
dengan menggunakan mRS dan barthel index pada hari ke 3 setelah
pemberian terapi O2 dan hari ke 14 dari onset stroke, selanjutnya dikumpulkan
data yang diperoleh dan dilakukan analisa data.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
63
III. 5.3. Kerangka Operasional
Penderita Stroke Akut
Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan Neurologi Pemeriksaan Penunjang
Kriteria Eksklusi
Kriteria Inklusi
Pemberian Terapi O2
Reguler 2 l/i Via Nasal Kanul selama 72 jam
Penilaian Outcome Hari 3 setelah pemberian terapi O2 dan hari ke 14 onset
Analisa Data
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64
III.5.4. Variabel yang diamati
Variabel bebas : Terapi Oksigen
Variabel terikat : Outcome
III.5.5. Analisa Statistik
Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan
program komputer Windows SPSS (Statistical Product and Science Service).
Analisis dan penyajian data dilakukan sebagai berikut :
III.5.5.1. Untuk mengetahui efek pemberian terapi O2 reguler terhadap mRS
pada pasien stroke akut di RA 4 Neurologi RSUPHAM dan RS Jejaring
menggunakan uji chi square
III.5.5.2 Untuk mengetahui efek pemberian terapi O2 reguler terhadap Barthel
Index pada pasien stroke akut di RA 4 Neurologi RSUPHAM dan RS Jejaring
menggunakan uji chi square
III.5.5.3 Untuk Mengetahui hubungan karakteristik demografi pasien stroke
akut yang mendapat terapi O2 dengan mRS menggunakan uji chi square
III.5.5.4 Untuk Mengetahui hubungan karakteristik demografi pasien stroke
akut yang mendapat terapi O2 dengan Barthel Index menggunakan uji chi
square.
III.5.5.5 Untuk mengetahui perbedaan saturasi O2 pada pasien stroke akut
yang mendapat terapi O2 reguler pada siang hari di RA 4 Neurologi
RSUPHAM dan RS Jejaring menggunakan uji Friedman
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
65
I.3.2.6 Untuk mengetahui perbedaan saturasi O2 pada pasien stroke akut yang
mendapat terapi O2 reguler pada malam hari di RA 4 Neurologi RSUPHAM
dan RS Jejaring uji Friedman
I.3.2.7 Untuk mengetahui karakteristik demografi pasien stroke akut yang
datang ke RSUP.H. Adam Malik Medan dan Rumah Sakit jejaringnya
menggunakan uji analisa deskriptif.
III.5.6. Jadwal Penelitian
Penelitian akan dilakukan pada tanggal 28 Desember 2015 sampai
dengan 28 Juli 2017 atau sampai jumlah sampel sudah mencapai besar
sampel. Dan jika jumlah sampel belum terpenuhi dalam rentang waktu
tersebut, penelitian dilanjutkan sampai jumlah sampel terpenuhi sesuai dengan
rumus sampel.
Persiapan : 28 Desember 2015 s.d 28 Juni 2017
Pengumpulan data : 29 Juni 2017 s.d 14 Juli 2017
Analisis data : 15 Juli 2017 s.d 20 Juli 2017
Penyusunan laporan : 21 Juli 2017 s.d 31 Agustus 2017
Penyajian laporan : 28 September 2017
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
66
III.5.7. Biaya Penelitian
Pulse Oxymetry @ Rp. 450.000 : Rp.1.350.000
Biaya pencetakan : Rp. 300.000
Biaya penulisan laporan penelitian : Rp 700.000
Jumlah : Rp.2.350.000
III.5.8. Personalia Penelitian
Peneliti Utama : dr. Lydia Adhani Dwi Putri
Pembimbing I : dr. Yuneldi Anwar Sp.S (K)
Pembimbing II : dr. Puji Pinta O. S, Sp.S (K)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
67
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini diikuti oleh sebanyak 56 pasien yang mengalami stroke
akut, dengan jumlah pasien dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 37 orang
(66,1%) dan rerata usia 56,75 tahun. Sebagian besar (50%) subyek
berpendidikan SMA, dengan suku Batak sebanyak 32 orang (57,1%)
Faktor risiko terjadinya stroke dari seluruh subyek adalah hipertensi
(44,6%), DM (30,4%), dan merokok (8,9%). Jenis stroke hemoragik berjumlah
15 orang (26,8%) dan stroke iskemik berjumlah 41 orang (73,2%). Hasil
pemeriksaan kesadaran menunjukkan 30 orang subyek berada dalam kondisi
apatis dan sisanya compos mentis (CM).
67
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
68
Tabel 4. Karakteristik Demografi Subyek Penelitian
Karakteristik Demografi n = 56
Jenis kelamin, n (%)
Laki-laki 37 (66,1)
Perempuan 19 (33,9)
Usia, rerata (SD), tahun 56,75(11,55)
Pekerjaan, n (%)
IRT 15 (26,8)
Pegawai swasta 12 (21,4)
PNS 3 (5,4)
Wiraswasta 13 (23,2)
Tidak bekerja 13 (23,2)
Pendidikan, n (%)
SD 2 (3,6)
SMP 7 (12,5)
SMA 28 (50)
Sarjana 19 (33,9)
Suku, n (%)
Batak 32 (57,1)
Jawa 12 (21,4)
Karo 6 (10,7)
Melayu 4 (7,1)
Minang 2 (3,6)
Faktor Risiko, n (%)
DM 17 (30,4)
Dislipidemia 1 (1,8)
Hipertensi 25 (44,6)
Merokok 5 (8,9)
Tidak ada 8 (14,3)
Jenis stroke, n (%)
Hemoragik 15 (26,8)
Iskemik 41 (73,2)
Kesadaran, n (%)
Apatis 30 (53,6)
CM 26 (46,4)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
69
Tabel 5. Hasil Pemeriksaan mRS Sebelum Dan Setelah Diberi Terapi Oksigen
mRS N %
Hari Ke-0
Skor 2 32 57,1
Skor 3 21 37,5
Skor 4 3 5,4
Hari Ke-3
Skor 1 20 35,7
Skor 2 14 25
Skor 3 19 33,9
Skor 4 3 5,4
Hari Ke-14
Skor 1 19 33,9
Skor 2 14 25
Skor 3 20 35,7
Skor 4 3 5,4
Dari hasil pemeriksaan mRS, tidak ada subyek dengan skor 1 pada hari
ke-0, namun pada pemantauan hari berikutnya subyek dengan skor 1
meningkat menjadi 20 orang dan pada hari ke 14 menjadi 19 orang.
Berdasarkan kategori skor mRS, 53 subyek (94,6%) memiliki outcome yang
baik untuk seluruh hari pengamatan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
70
Gambar 2. Persentase mRS dari Hasil Pemeriksaan Hari Ke-0, Ke-3 dan Ke-14
Tabel 6. Hasil Pemeriksaan Barthel Index Sebelum Dan Setelah Diberi
Terapi Oksigen
Rerata SD Min-Mak
Barthel Index
Hari ke-0 61,34 5,92 60 – 90
Hari ke-3 78,93 19,88 60 – 100
Hari ke-14 82,23 19,52 60 – 100
Menurut pemeriksaan Barthel Index, terlihat konsistensi peningkatan
sejak hari ke-0 sampai hari ke-14. Rerata BI pada hari ke 0 adalah 61,34, lalu
rerata meningkat menjadi 78,93 pada hari ke-3 dan mencapai rerata tertinggi
pada hari ke-14 yaitu sebesar 82,23.
35.7 33.9
57.1
25 25
37.533.9
35.7
5.4 5.4 5.4
0
10
20
30
40
50
60
Hari Ke-0 Hari Ke-3 Hari Ke-14
Pe
rse
nta
se
Skor 1
Skor 2
Skor 3
Skor 4
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
71
Gambar 3. Rerata Barthel Index dari Hasil Pemeriksaan Hari Ke-0,
Ke-3 dan Ke-14 Tabel 7. Hubungan Usia dengan mRS dan Barthel Index pada Hari Ke-3
dan Ke-14
p* r
Usia MRS Hari Ke-3 0,176 0,183
MRS Hari Ke-14 0,081 0,235
Barthel Index Hari Ke-3 0,448 -0,103
Barthel Index Hari Ke-14 0,495 -0,093
Dengan menggunakan uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak
ditemukan hubungan yang signifikan antara variabel usia dengan mRS pada
hari ke-3 (p=0,176) maupun hari ke-14 (p=0,081). Barthel Index juga tidak
berhubungan signifikan dengan Barthel Index pada hari ke-3 (p=0,448) dan
hari ke-14 (p=0,495).
61.34
78.9382.23
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Hari ke-0 Hari ke-3 Hari ke-14
Rera
ta B
art
he
l In
de
x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72
Tabel 8. Hubungan Jenis Stroke dengan mRS dan Barthel Index pada
Hari Ke-3 dan Ke-14
Stroke
Hemoragik (n=15)
Stroke
Iskemik (n=41) P
mRS
Hari Ke-3
Skor 1 5 (33,3) 15 (36,6) 0,989a
Skor 2 4 (26,7) 10 (24,4)
Skor 3 5 (33,3) 14 (34,1)
Skor 4 1 (6,7) 2 (2,9)
Hari Ke-14
Skor 1 3 (20) 16 (39) 0,136a
Skor 2 7 (46,7) 7 (17,1)
Skor 3 4 (26,7) 16 (39)
Skor 4 1 (6,7) 2 (4,9)
Barthel Index, rerata (SD)
Hari Ke-3 73,33 (19,52) 80,98 (19,85) 0,226b
Hari Ke-14 78 (19,98) 83,78 (19,36) 0,270b
aChi Square, bMann Whitney Hasil analisis menggunakan uji chi square untuk melihat ada tidaknya
hubungan antara jenis stroke dengan mRS dan Barthel index, menunjukkan
bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara kedua variabel baik
pada hari ke-3 maupun hari ke-14 (p>0,05). Hasil pengukuran mRS pada
kelompok subyek dengan stroke hemoragik dan stroke iskemik
memperlihatkan bahwa pada hari ke-3 maupun hari ke-14, proporsi subyek
dengan skor 4 (outcome buruk) masing-masing adalah 6,7% dan 4,9%.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
73
Tabel 9. Hubungan Tingkat Kesadaran dengan mRS dan Barthel
Index pada Hari Ke-3 dan Ke-14
Kesadaran
P Apatis (n=30) CM (n=26)
mRS
Hari Ke-3
Skor 1 7 (23,3) 13 (50) 0,001a
Skor 2 4 (13,3) 10 (38,5)
Skor 3 16 (53,3) 3 (11,5)
Skor 4 3 (10) 0
Hari Ke-14
Skor 1 5 (16,7) 14 (53,8) <0,001a
Skor 2 4 (13,3) 10 (38,5)
Skor 3 18 (60) 2 (7,7)
Skor 4 3 (10) 0
Barthel Index, rerata (SD)
Hari Ke-3 72 (18,64) 86,92 (18,50) 0,007b
Hari Ke-14 72,67 (18,28) 93,27 (14,63) <0,001b
aChi Square, bMann Whitney Hasil analisis antara kesadaran dan mRS pada hari ke-3 dan ke-14
menunjukkan hubungan yang signifikan (p<0,05). Subyek dengan kesadaran
CM dominan memiliki mRS dengan skor 1 pada hari ke-3 yaitu sebanyak 13
orang (50%), sementara itu pada kelompok subyek dengan kesadaran apatis,
sebagian besar (53,3%) memiliki skor 3.
Tidak jauh berbeda pada hari ke-14, sebagian besar (53,8%) subyek
dengan kesadaran CM memiliki skor 1 sedangkan pada subyek apatis
dominan (60%) memiliki skor 3.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
74
Hubungan yang signifikan juga tampak antara kesadaran dengan
Barthel Index pada hari ke-3 dan hari ke-14. Rerata Barthel Index pada subyek
dengan kesadaran CM jauh lebih tinggi dibandingkan subyek apatis.
Tabel 10. Perbedaan Rerata mRS dan BartheI Index Berdasarkan Faktor Risiko Hipertensi
Hipertensi
(n=24)
Tidak Hipertensi
(n=32) pa
MRS
Hari Ke 0 2,63 (0,65) 2,38 (0,55) 0,126
Hari Ke 3 2,25 (1,03) 1,97 (0,90) 0,295
Hari Ke 14 2,33 (0,96) 1,97 (0,93) 0,163
pb 0,001a <0,001
BI
Hari Ke 0 63,13 (8,82) 60 0,042
Hari Ke 3 77,50 (19,62) 80 (20,32) 0,547
Hari Ke 14 78,96 (19,50) 84,69 (19,47) 0,159
pb <0,001 <0,001 aMann Whitney, bFriedman
Hasil analisis menggunakan uji Mann Whitney menunjukkan bahwa
tidak ditemukan perbedaan rerata MRS antara kelompok hipertensi dan tidak
hipertensi pada hari ke 0, hari ke 3 dan hari ke 14 (p>0,05).
Dari pemeriksaan BI, terdapat perbedaan rerata skor BI pada hari ke 0
antara subyek hipertensi dan tidak hipertensi (p=0,042). Rerata skor BI pada
hari ke 0 pada kelompok subyek hipertensi adalah 63,13 sedangkan pada
kelompok subyek tidak hipertensi adalah 60. Namun, pada hari ke 3 dan ke 14
tidak ditemukan perbedaan rerata skor BI pada dua kelompok (p>0,05).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
75
Pada kelompok subyek dengan hipertensi ditemukan perbedaan rerata
yang signifikan untuk skor MRS dan BI pengamatan hari ke-0, hari ke-3 dan
hari ke-14 (p=0,001). Demikian pula, pada kelompok tidak hipertensi juda
ditemukan perbedaan rerata skor MRS dan BI yang signifikan (p<0,001).
Tabel 11. Perbedaan Rerata mRS dan Barthel Index Berdasarkan Usia
Usia ≥ 60 tahun
(n=26)
Usia < 60 tahun
(n=30) pa
MRS
Hari Ke 0 2,54 (0,58) 2,43 (0,63) 0,402
Hari Ke 3 2,19 (0,94) 2 (0,98) 0,416
Hari Ke 14 2,27 (0,87) 2 (1,02) 0,264
pb 0,002 <0,001
BI
Hari Ke 0 61,15 (5,88) 61,5 (6,04) 0,658
Hari Ke 3 76,54 (19,79) 81 (20,06) 0,395
Hari Ke 14 82,12 (19,45) 82,23 (19,90) 0,772
pb <0,001 <0,001
* Mann Whitney
Tidak ditemukan perbedaan rerata skor MRS dan rerata skor BI antara
kelompok subyek ≥ 60 tahun dan subyek < 60 tahun dari masing-masing hari
pengamatan (p>0,05). Namun, bila dinilai untuk perubahan rerata skor MRS
dan BI baik pada subyek kelompok usia ≥ 60 tahun maupun pada subyek di
kelompok usia < 60 tahun, diperoleh perbedaan rerata yang signifikan
(p<0,001) setelah diuji dengan uji Friedman.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
76
Tabel 12.Perbedaan Saturasi Oksigen antara Pengukuran pada Malam
dan Siang Hari
Saturasi oksigen Rerata (SD), % p*
Hari Pertama
Malam 1 97,04 (1,18) <0,001
Malam 2 97,02 (1,10)
Siang 1 97,75 (0,92)
Siang 2 97,75 (0,88)
Hari Kedua
Malam 1 97,04 (0,76) <0,001
Malam 2 96,96 (0,74)
Siang 1 97,70 (0,71)
Siang 2 97,79 (0,71)
Hari Ketiga
Malam 1 97,54 (0,74) <0,001
Malam 2 97,54 (0,71)
Siang 1 98,02 (0,67)
Siang 2 98,16 (0,50)
*Friedman Tabel 10 menyajikan hasil pemeriksaan saturasi oksien yang diukur
pada malam hari dan siang hari. Dengan menggunakan uji Friedman
menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan rerata saturasi oksigen pada
hari pertama, kedua dan ketiga (p<0,001). Meskipun tidak begitu jauh berbeda,
namun terlihat bahwa rerata saturasi oksigen pada malam hari sedikit lebih
rendah pada malam hari dibandingkan siang hari.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
77
Gambar 4. Perbedaan Rerata Saturasi Oksigen pada Hari Pertama
Gambar 5. Perbedaan Rerata Saturasi Oksigen pada Hari Kedua
97.04 97.02
97.75 97.75
96.6
96.8
97
97.2
97.4
97.6
97.8
98
Malam 1 Malam 2 Siang 1 Siang 2
Rera
ta S
atu
ras
i O
ks
ige
n, %
97.0496.96
97.797.79
96.4
96.6
96.8
97
97.2
97.4
97.6
97.8
98
Malam 1 Malam 2 Siang 1 Siang 2
Rera
ta S
atu
ras
i O
ks
ige
n, %
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
78
Gambar 6. Perbedaan Rerata Saturasi Oksigen pada Hari Ketiga
IV.2. PEMBAHASAN
Dari data demografi didapatkan pasien stroke dengan jenis kelamin
Laki-Laki lebih banyak dibandingkan perempuan dalam persentase 66,1%,
dimana menurut penelitian Santalucia dkk dikatakan bahwa jenis kelamin
perempuan lebih banyak mengalami stroke. Secara khusus, perempuan
dilaporkan lebih banyak mengalami afasia, disfagia dan gangguan lapangan
pandang dibandingkan laki-laki, Sementara tidak ada perbedaan yang
dilaporkan untuk defisit motorik maupun sensorik.
Dari data demografi didapatkan pasien stroke dengan usia rerata yaitu
57 tahun, menurut Bushnell dkk bahwa pasien stroke berjenis kelamin
perempuan hidup lebih panjang, dan risiko stroke seumur hidup di usia 55-75
tahun lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki.
97.2
97.3
97.4
97.5
97.6
97.7
97.8
97.9
98
98.1
98.2
98.3
Malam 1 Malam 2 Siang 1 Siang 2
Rera
ta S
atu
ras
i O
ks
ige
n, %
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
79
Dari data demografi didapatkan pasien stroke dengan tingkat
pendidikan yang lebih banyak yaitu SMA, dimana pada penelitian Samal dkk,
yang menyatakan peran pendidikan sangat dibutuhkan untuk mengurangi
untuk terjadinya faktor risiko dari stroke sebesar 40%.
Dari data demografi didapatkan pasien stroke dengan faktor risiko
hipertensi lebih banyak dibandingkan faktor risiko lainnya, hal ini sesuai
dengan penelitian Zhang dkk, dimana dikatakan bahwa Hipertensi konsisten
dengan hal ini ( p < 0,05 ), dan juga hipertensi merupakan faktor risiko yang
paling penting untuk semua jenis stroke dengan risiko populasi tertinggi di
34,6%. Hipertensi dikenal sebagai faktor risiko stroke yang paling penting.
Dari hasil penelitian ini didapat skor mRS pasien stroke sebelum dan
setelah diberi terapi oksigen yaitu pada hari 0 dengan skor mRS 2 lebih
banyak. Daripada hari 3 didapat lebih banyak pada skor mRS 1, Pada Hari 14
Skor mRS yang paling banyak didapat yaitu dengan skor mRS 3, Dari hasil
statistik ditemukan p>0,05. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ali
dkk, bahwa temuan mRS dan hasil skala lainnya dalam penelitiannya
konsisten. Dari sudut pandang statistik, skala tambahan dapat dianggap
berlebihan, karena tidak memberikan kontribusi terhadap penilaian apakah
pengobatan tersebut efektif atau tidak.
Dari hasil penelitian ini skor Barthel Index sebelum dan setelah diberi
terapi oksigen yaitu pada hari 0 didapat pasien stroke dengan dengan
menggunakan skala Barthel Index dengan hasil skor 60, dan pada hari 3 dan
14 didapat skor 80. Pada penelitian yang dilakukan Ali dkk dengan metode
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
80
case control didapat bahwa Barthel index 50% lebih tinggi pada kelompok
yang mendapat terapi oksigen dibandingkan dengan kontrol, tetapi hal itu tidak
signifikan.
Hubungan jenis stroke dengan mRS dan Barthel Index pada Hari Ke-3
dan Ke-14 Yaitu berdasarkan Skor 1 pada mRS bahwa pada stroke iskemik
memiliki lebih banyak outcome yang baik dibandingkan pada stroke hemoragik
begitu pula hasil yang didapat dari penilaian outcome menggunakan Barthel
Index, walaupun dari hasil statistika didapatkan p>0,005. Dari hasil penelitian
Roffe dkk yang bersifat case control, menyatakan bahwa pemberian terapi
oksigen pada pasien stroke menghasilkan Skor mRS yang lebih baik pada
waktu 3 bulan dibandingkan pada kelompok yang tidak diberi terapi oksigen,
Menurut penelitian Padma dkk, pemberian terapi oksigen yang diberikan pada
pasien stroke iskemik memiliki outcome yang baik, dimana tidak ada pasien
yang melaporkan adanya efek buruk dari pengobatan yang diberikan dan
penelitian tersebut terdapat hasil dari skala mRS dan Barthel Index tidak
menunjukkan adanya perkembangan yang signifikan, juga tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada volume lesi.
Dari hasil analisis antara kesadaran dan mRS pada hari ke-3 dan ke-14
menunjukkan hubungan yang signifikan (p<0,05). Subyek dengan kesadaran
CM dominan memiliki skor mRS dan Barthel index yang lebih baik baik
dibandingkan kesadaran apatis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Chan dkk, 2014 dimana dikatakan outcome akan berhubungan
dengan dosis terapi oksigen yang disesuaikan dengan usia dan GCS.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
81
Perbedaan Saturasi Oksigen antara Pengukuran pada Malam Hari dan
Siang Hari yang didapat dari hasil penelitian ini terlihat bahwa rerata saturasi
oksigen pada malam hari sedikit lebih rendah dibandingkan siang hari. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ali dkk, dikatakan bahwa pada
penelitian tersebut pemberian terapi oksigen bertujuan untuk tetap dalam
keadaan normoxia. Pada penelitian tersebut pemberian terapi oksigen
diberikan pada malam hari dimana risiko untuk terjadi hipoksia lebih tinggi dan
saturasi rerata pada penelitian tersebut yaitu 96 %.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
82
Tabel 13.1. Perbandingan Hasil Penelitian Dengan Penelitian Lainnya
Hasil Penelitian Hasil Penelitian Lainnya
Dari data demografi didapatkan
pasien stroke dengan usia rerata
yaitu 57 tahun ,
Menurut Bushnell dkk (2014) bahwa
pasien stroke berjenis kelamin
perempuan hidup lebih panjang, dan
risiko stroke seumur hidup di usia
55-75 tahun lebih tinggi pada
perempuan dibandingkan laki-laki.
Dari data demogarafi didapatkan
pasien stroke dengan tingkat
pendidikan yang lebih banyak yaitu
SMA,
Pada penelitian Samal dkk (2007),
yang menyatakan peran pendidikan
sangat dibutuhkan untuk mengurangi
untuk terjadinya faktor risiko dari
stroke sebesar 40%.
Dari data demografi didapatkan
pasien stroke dengan faktor risiko
hipertensi lebih banyak dibandingkan
faktor risiko lainnya,
Penelitian Zhang dkk (2017), dimana
dikatakan bahwa Hipertensi
konsisten dengan hal ini
(p < 0,05), dan juga hipertensi
merupakan faktor risiko yang paling
penting untuk semua jenis stroke..
Tabel 13.2. Perbandingan Hasil Penelitian Dengan Penelitian Lainnya
Dari hasil penelitian ini didapat skor Penelitian yang dilakukan Ali dkk
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
83
mRS pasien stroke sebelum dan
setelah diberi terapi oksigen yaitu
pada hari 0 dengan skor mRS 2
lebih banyak. Pada hari 3 didapat
lebih banyak pada skor mRS 1,
Pada Hari 14 Skor mRS yang
paling banyak didapat yaitu dengan
skor mRS 3. Dari hasil statistik
ditemukan p>0,05
(2013), bahwa temuan mRS dan hasil
skala lainnya dalam penelitiannya
konsisten. Dari sudut pandang statistik,
skala tambahan dapat dianggap
berlebihan, karena tidak memberikan
kontribusi terhadap penilaian apakah
pengobatan tersebut efektif atau tidak.
Dari hasil penelitian ini skor Barthel
Index sebelum dan setelah diberi
terapi oksigen yaitu pada hari 0
didapat pasien stroke dengan
dengan menggunakan skala
Barthel Index dengan hasil skor
disabilitas yang ringan.
Pada penelitian yang dilakukan Ali dkk
(2013) dengan metode case control
didapat bahwa Barthel index 50% lebih
tinggi pada kelompok yang mendapat
terapi oksigen dibandingkan dengan
kontrol, tetapi hal itu tidak signifikan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
84
Tabel 13.3. Perbandingan Hasil Penelitian Dengan Penelitian Lainnya
Hasil Penelitian Hasil penelitian lainnya
Hubungan Jenis Stroke dengan
mRS dan Barthel Index pada Hari
Ke-3 dan Ke-14 Yaitu berdasarkan
Skor 1 pada mRS bahwa pada
stroke iskemik memiliki lebih banyak
outcome yang baik dibandingkan
pada stroke hemoragik begitu pula
hasil yang didapat dari penilaian
outcome menggunakan Barthel
Index, walaupun dari hasil statistika
didapatkan p>0,005.
Dari hasil penelitian Roffe dkk (2014)
yang bersifat case control, menyatakan
bahwa pemberian terapi oksigen pada
pasien stroke menghasilkan Skor mRS
yang lebih baik pada waktu 3 bulan
dibandingkan pada kelompok yang
tidak diberi terapi oksigen, Menurut
penelitian Padma dkk (2010),
pemberian terapi oksigen yang
diberikan pada pasien stroke iskemik
memiliki outcome yang baik, dimana
tidak ada pasien yang melaporkan
adanya efek buruk dari pengobatan
yang diberikan dan penelitian tersebut
terdapat hasil dari skala mRS dan
Barthel Index tidak menunjukkan
adanya perkembangan yang signifikan,
juga tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada volume lesi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
85
Tabel 13.4. Perbandingan Hasil Penelitian Dengan Penelitian Lainnya
Hasil Penelitian Hasil Penelitian Lainnya
Perbedaan Saturasi Oksigen antara
Pengukuran pada Malam Hari dan
Siang Hari yang didapat dari hasil
penelitian ini terlihat bahwa rerata
saturasi oksigen pada malam hari
sedikit lebih rendah dibandingkan
siang hari.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ali dkk (2013),
dikatakan bahwa pada penelitian
tersebut pemberian terapi oksigen
bertujuan untuk tetap dalam keadaan
normoksia. Pada penelitian tersebut
pemberian terapi oksigen diberikan
pada malam hari dimana risiko untuk
terjadi hipoksia lebih tinggi dan saturasi
rerata pada penelitian tersebut yaitu 96
%.
IV.3. KETERBATASAN PENELITIAN
1. Pemantauan pemberian terapi oksigen 2l/i tidak dapat dimonitor Selama 24
Jam.
2. Jangka waktu penilaian outcome sangat singkat yaitu pada hari ke 3 setelah
pemberian terapi oksigen reguler dan hari ke 14 dari onset.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
86
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
1. Terdapat efek pemberian terapi oksigen reguler terhadap mRS, dimana
terlihat hasil yang baik pada seluruh hari pengamatan
2. Terdapat efek pemberian terapi oksigen reguler terhadap Barthel Index,
terlihat peningkatan perbaikan sejak hari ke-0 sampai hari ke-14
3. Hubungan karakteristik demografi yaitu usia dan jenis stroke pasien stroke
akut yang mendapat terapi O2 terhadap mRS, tidak menunjukkan nilai
signifikan dalam perbaikan outcome, untuk faktor risiko dimana kelompok
hipertensi dan kelompok tidak hipertensi ditemukan perbedaan rerata skor
mRS yang signifikan (p<0,001). Pada Kelompok usia ≥ dan < 60 tahun
terhadap mRS terdapat perbedaan rerata yang signifikan. Untuk hubungan
karakteristik demografi tingkat kesadaran terhadap mRS pada hari ke-3 dan
ke-14 menunjukkan hubungan yang signifikan (p<0,05).
4. Hubungan karakteristik demografi yaitu usia dan jenis stroke pasien stroke
akut yang mendapat terapi O2 terhadap Barthel Index, tidak menunjukkan nilai
signifikan dalam perbaikan outcome. Pada kelompok hipertensi dan kelompok
tidak hipertensi ditemukan perbedaan rerata skor BI yang signifikan (p<0,001).
Pada kelompok usia ≥ dan < 60 tahun terhadap Barthel Index terdapat
perbedaan rerata yang signifikan. Hubungan yang signifikan juga tampak pada
tingkat kesadaran terhadap Barthel Index pada hari ke-3 dan hari ke-14
86 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
87
5. Terlihat bahwa rerata saturasi oksigen pada malam hari sedikit lebih rendah.
6. Terlihat bahwa rerata saturasi oksigen pada siang hari lebih tinggi.
7.Terlihat bahwa jenis kelamin laki-laki, faktor risiko hipertensi, pendidikan
sma, suku batak, jenis stroke yaitu stroke iskemik, tingkat kesadaran apatis
merupakan karakteristik demografi terbanyak.
V.2. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih
besar sehingga hasil penelitian lebih representatif.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang bersifat eksperimental terutama
terhadap pasien stroke yang memerlukan penggunaan terapi oksigen yang
selanjutnya dibandingkan dengan pasien yang tidak menggunakan terapi
oksigen.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
88
DAFTAR PUSTAKA
Ali, K., Warusevitane, A., Lally, F., Sim, J., Sills, S., Pountain, S., et al. 2013.
The Stroke Oxygen Pilot Study : A Randomized Controlled Trial of the
Effects of Routine Oxygen Supplementation Early after Stroke Acute-
Effect on Key Outcomes at six Months. Plos One 8(6): 1-8.
Arboix, A., Eroles, L.G., Vicens, A., Oliveres, M., Massons, J. 2012.
Spontaneous Primary Intraventricular Hemorrhage:Clinical Features
and Early Outcome. ISRN Neurology.
Balami, J.S., Buchan, A.M. 2012. Complications of intracerebral haemorrhage.
Lancet Neurol. 11: 101–118
Bhattathiri, P.S., Gregson, B., Prasad, K.S.M., Mendelow, A.D. 2006.
Intraventricular hemorrhage and hydrocephalus after spontaneous
intracerebral hemorrhage: results from the STICH trial.Acta Neurochir.
96: 65–68.
Bustami, M., Retnaningsih., Jannis, J., Sobaryati., Hamid, A., Musridharta, E.,
et al. 2012. Advanced Neuro critical Care Support. Indonesia
Neurological Association. Jakarta.
Caplan, L.R. 2009. Caplan’s Stroke. A Clinical Approach 4th edition. Saunders
Elsevier. Philadelphia. 89-92.
Chan, YY., Katz, M., Moskowitz, A., Levine, SR., Richardson, LD., Tuhrim, S.,
et al. 2014. Supplemental oxygen delivery to suspected stroke patients
in pre hospital and emergency department settings. Medical Gas
Research. 4-16.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
89
Djojodibroto, D.R. 2009. Respirologi.EGC.Jakarta.
Gaillard, F., Jones, J. 2005. Intraventricular haemorrhage. Radiopaedia.org
Ghelmez, D., Tuta, S., Popa, C. 2013. Prognostic Factors in Hipertensive
Intracerebral Hemorrhage – Study on a Group of 80 Patients.
Romanian Journal of Neurology. 12(4) : 202-205
Gijn, J.V., Kerr, R.S., Rinkel, G.J. 2007. Subarachnoid haemorrhage. Lancet.
369: 306-18
Goldstein, L.B., Adams, R., Alberts, M.J., Appel, L.J., Brass, L.M.,Bushnel,
C.D., et al. 2006. Primary Prevention of Ischemic Stroke: A
Guideline from the American Heart Association / American Stroke
Association Stroke Council. Stroke. 37:1583–1633.
Hinson, H.E., Hanley, D.F., Ziai, W.C. 2010. Management of Intraventricular
Hemorrhage. Curr Neurol Neurosci Rep. 10(2): 73–82
Hallevi, H., Dar, N.S., Barreto, A.D.,Morales, M.M., Schild, S.M., Abraham,
A.T., et al. 2009. The IVH Score : A novel tool for estimating
intraventricular hemorrhage volume : Clinical and research
implications. Crit Care Med. 37(3): 969–e1
Indredavik, B., Bakke, F., Slordahl, SA., Rokseth, R., Haheim, LL., (1999).
Treatment In a Combined Acute And Rehabilitation Stroke unit : which
aspects are most important?. Stroke 30(5): 917-923.
Idris, Z., Raj, J., Abdullah, J.M. 2014. Early experience in endoscopic
management of massive intraventricular hemorrhage with literature
review. Asian Journal of Neurosurgery. 9(3): 124-129
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
90
R, Kennedy., W, Philip M., schellinger, Peter D., Kerr, Daniel M., Fulton,
Rachael., et al. 2012. Contemporary Outcome Measure In Acute
Stroke Research. Stroke 43:1163-1170.
Lloyd, Jones, D., Adams, R., Carnethon, M., Simone, G., Ferguson, B., Flegal,
K. 2009. Heart Disease and Stroke Statistics-2009 Update : A Report
From the American Heart Association Statistics Committee and Stroke
Statistics Subcommittee. Circulation. 119:e21–e181.
Liebeskind, D.S. 2014. Hemorrhagic Stroke. Available from : http:
//emedicine.medscape.com/article/793904.
Magistris, F., Bazak, S., Martin, J. 2013. Intracerebral Hemorrhage :
Pathophysiology, Diagnosis and Management. MUMJ. 10(1):15 -22
Misbach, J. 2011. Stroke. Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen.
Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.
Modified Rankin Scale available at : http:/www.Modified Rankin Scale -
NeuroDSS.com.htm .
Moheet, A.M., Katzan, I. Stroke. Available from :
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanageme
nt/neurology/ischemic-stroke/
Morgan, T.C., Dawson, J., Spengler, D., Lees, K.R., Aldrich, C., Mishra, N.K.,
et al. 2013. The Modified Graeb Score An Enhanced Tool for
Intraventricular Hemorrhage Measurement and Prediction of
Functional Outcome. Stroke. 44: 635-641
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
91
Nyquist, P. 2010. Management of acute intracranial and intraventricular
hemorrhage. Crit Care Med. 38(3): 1-8
O’Driscoll, B, R., Howard, L, S., Davidson, A, G., British Thoracic Society
Guidelines. (2008). Guideline For Emergency Oxygen Use In Adult
Patients. Thorax Vol 63 Supplement 2.
Painthakar, M.M., Dabhi, R.D. 2003. Functional Recovery in Ischemic Stroke.
Neurol India. 51 : 414-416.
R, Kennedy., W, Philip M., schellinger, Peter D., Kerr, Daniel M., Fulton,
Rachael., et al. 2012. Contemporary Outcome Measure In Acute Stroke
Research. Stroke 43:1163-1170.
Rambe, A S., Fithrie, Aida., Nasution, Iskandar., Tonam. Profil Pasien Stroke
Pada 25 Rumah Sakit Di Sumatera Utara 2012. Neurona Vol. 30 No. 2
Maret 2013.
Roffe, C., Sills, S., Halim, M., Wilde, K., Allen, MB., Jones, PW., et al. (2003).
Unexpected nocturnal hypoxia in patients with acute stroke. Stroke 34
(11): 2641-2645.
Roffe, C., Ali, K., Warusevitane, A., Sills, S., Pountain, S., Allen, M., et al.
2011.The SOS pilot study: a RCT of routine oxygen supplementation
early after acute stroke- effect on recovery of neurological function at
one week. Plos one 6(5): e19113
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
92
Roffe, C., Nevatte, T., Crome, P., Gray, R., Sim, J., Pountain, S., et al. 2014.
The Stroke Oxygen Study (SO2S) a multicenter study to asses
whether routine oxygen treatmentin the first 72 hours after a stroke
omproves longterm outcome: study protocol for a randomized control
trial. 15-99.
Rowat, AM., Dennis, MS., Wardlaw, JM., 2006. Hypoxaemia in acute stroke is
frequent and worsens outcome. Cerebrovasc Dis, 21(3):166-172.
Sacco, R.L., Kasner, S.E., Broderick, J.P., Caplan, L.R., Connors, J.J.,
Culebras, A. 2013. An Updated Definition of Stroke for the 21st Century
A Statement for Healthcare Professionals From the American Heart
Association/American Stroke Association. Stroke. 44: 2064 – 2089
Samal, D., Greisenegger, S., Auff, E., Lang, W., Lalouschek, W. 2006. The
relation between knowledge about hypertension and Education in
Hospitalized patients with stroke in vienna. 1304-1308.
Santalucia, P., Pezzela, FR., Sessa, M., Monaco, S., Torgano, G., Anticoli, S.,
dkk. 2013. Sex differences in clinical presentation, severity and outcome
of stroke: Results from a hospital based registry.167-
Sjahrir, H. 2003. Stroke Iskemik. Yandira Agung. Medan.
Srivastava, T., Sannegowda, R.B., Satija, V., Jain, R.S., Tejwani, S., Mathur,
T. 2014. Primary intraventricular hemorrhage : Clinical features, risk
factors, etiology, and yield of diagnostic cerebral angiography.
Neurology India. 62(2) : 144-148
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
93
Sulter, G., Elting, JW., Stewart, R., Arend, A., De, Keyser., J. 2000.
Continuous pulse oximetry in acute hemiparetic stroke. J Neurol Sci
179(1): 65-69.
Taqui, A., Kamal, A.K. 2007. Stroke in Asians. Pak J Neurol Sci. 2(1):14–17
Weimar, C., Kurth, T., Kraywinkel, K., Wagner, M., Busse, O., Haberl, R. L., et
al. 2002. Assessment of Functioning and Disability After Ischemic
Stroke. Stroke. 33: 2053 - 2059.
Zhang, S., Liu, Z., Liu, YL., Wang, YL., Liu, T dan Cui, XB. 2017. Prevalence of
stroke and associated risk factors among middle aged and older farmers
in western China. Environmental Health and Preventive Medicine. 22-
26.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
94
LAMPIRAN 1
SURAT PERSETUJUAN IKUT DALAM PENELITIAN
Saya / wali pasien yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama :
Jenis Kelamin :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat :
Setelah mendapat keterangan secara terperinci dan jelas mengenai penelitian yang
berjuduL “ Efek Pemberian Terapi OksigenReguler Terhadap Outcome Pasien Stroke
Akut ” dan setelah mendapat kesempatan mengajukan pertanyaan mengenai segala
sesuatu yang berhubungan dengan penelitian tersebut, maka dengan ini saya / wali
pasien secara sukarela dan tanpa paksaan menyatakan saya ikut dalam penelitian
tersebut.
Medan, ................................... 20........
Yang memberikan penjelasan Yang membuat pernyataan persetujuan
Tanda tangan
............................................
Saksi - saksi : 1......................................................................
2.......................................................................
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
95
LAMPIRAN 2
LEMBAR PENGUMPULAN DATA
I. DATA PRIBADI PENDERITA
Nama : ....................................................................................
Umur : ....................................................................................
Kelamin : Lk / Pr
Agama : ....................................................................................
Pendidikan : ....................................................................................
Pekerjaan : ....................................................................................
Suku : ....................................................................................
Alamat : ....................................................................................
Status Perkawinan : Kawin / Tidak kawin
Nomor MR : ....................................................................................
Tanggal MRS : ....................................................................................
Tanggal Pemeriksaan : ....................................................................................
II. ANAMNESA
A. Saat Masuk Rumah Sakit :
1. Cara : □ Auto □ Allo
2. Faktor Resiko :
- Diabetes Melitus □ ada □ tidak ada
- Riwayat Hipertensi □ ada □ tidak ada
- Riwayat Dislipidemia □ ada □ tidak ada
- Riwayat Hiperurisemia □ ada □ tidak ada
- Merokok □ ada □ tidak ada
4. Waktu antara saat serangan stroke sampai di RS : ..........jam .........hari
II. HASIL PEMERIKSAAN FISIK
A. Saat Masuk Rumah Sakit :
1. Vital sign
Kesadaran : □ CM □ Apatis □ Somnolens □ Sopor □ Coma
SKG : ............................
Tekanan Darah : ................. mmHg
Nadi : ................x/ menit
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
96
Pernafasan : ................x/ menit
Temperatur : ................0C
Skor indeks barthel : .................
Saturasi Hari 1 :1 ………… 2 .……........
Saturasi Hari 2 :1 ………… 2 ………….
Saturasi Hari 3 :1 ………… 2 ………….
Skor mRS setelah pemberian terapi O2 reguler :............................
Skor indeks barthel setelah pemberian terapi O2 reguler :............................
B. Saat Keluar / Pulang dari Rumah Sakit :
1.Vital sign
Kesadaran : □ CM □ Apatis □ Somnolens □ Sopor □ Coma
SKG : ............................
Tekanan Darah : ................. mmHg
Nadi : ................x/ menit
Pernafasan : ................x/ menit
Temperatur : ................0C
2. Skor modified rankin Scale (mRS) = ...............
3. Skor Indeks Barthel =
III. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (sesuai hasil pemeriksaan pertama)
- Hb : ………………………………gr/dl
- Ht : ………………………………...%
- Leukosit : ……………………………. /mm3
- Trombosit : ……………………………. /mm3
- Eritrosit : ……………………………. /mm3
- KGD sewaktu : ……………………………..mg/dl
puasa : ……………………………..mg/dl
2 jam PP : ……………………………..mg/dl
- Kolesterol total : ……………………………..mg/dl
- Trigliserida : ..........................................mg/dl
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
97
- HDL kolesterol : ..........................................mg/dl
- LDL kolesterol : ..........................................mg/dl
- SGOT : ………………………………...U/L
- SGPT : ………………………………...U/L
- Ureum : ..........................................mg/dl
- Kreatinin : …………………………….....mg/dl
- Elektrolit :
Natrium: ....................................................mEq/L
Kalium : ....................................................mEq/L
Klorida : …………………………...................mEq/L
- D-dimer : ……………………………. ng/dl
- Asam urat : ……………………………..mg/dl
B. Hasil Foto Thorax
...............................................................................................................
………………………………………………………………………………….
C. Hasil EKG
...............................................................................................................
………………………………………………………………………………....
D. Hasil Pemeriksaan Head CT Scan Kepala :
................................................................................................................
………………………………………………………………………………….
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
98
LAMPIRAN 3
MODIFIED RANKIN SCALE ( mRS)
SKOR Dekskripsi
0 Tidak ada keluhan sama sekali
1 Tidak ada disabilitas yang signifikan walaupun ada keluhan, namun dapat membawa semua kebutuhannya untuk aktivitas hariannya
2 Disabilitas ringan; tidak dapat membawa beberapa benda untuk kebutuhan aktivitas hariannya, tetapi dapat menolong diri sendiri tanpa bantuan orang lain
3 Disabilitas sedang, membutuhkan bantuan orang lain untuk semua aktivitasnya tetapi masih mampu berjalan tanpa pendamping
4 Disabilitas sedang berat, tidak mampu berjalan dan tidak mampu melakukan aktivitas harian untuk kebutuhan dasar kehidupannya tanpa bantuan orang lain
5 Disabilitas berat, tidak ada aktivitas, hanya ditempat tidur, mengompol, dan membutuhkan perhatian dan perawatan teratur
6 Meninggal
Total (0-6):
Skor mRS pasien pada saat keluar dari Rumah Sakit = ..............
Interprestasi skor mRS : - mRS 1-3 ( mRS ≤ 3) : outcome baik - mRS 4-6 (mRS >3) :outcome buruk
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
99
LAMPIRAN 4
INDEKS BARTHEL
1. Buang Air Besar ( bowel control ) 10 Tidak bermasalah ( no accidents ). Bila perlu memakai obat pencahar 5 Kadang kala bermasalah ( occasional accidents ) atau selalu membutuhkan obat pencahar
0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
2. Buang Air Kecil ( bladder control ) 10 Tidak bermasalah ( no accidents ). Dapat membersihkan alat Bantu bila diperlukan secara mandiri 5 Kadang kala bermasalah ( occasional accidents ) atau membutuhkan bantuan orang lain untuk membersihkan alat bantu
0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
3. Kebersihan Diri ( personal toilet/grooming ) 5 Membasuh muka, menyisir, menyikat gigi, mencukur secara mandiri
0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
4. Penggunaan Kamar Kecil ( toilet use ) 10 Mandiri untuk melakukan semua aktivitas di kamar kecil 5 Membutuhkan bantuan untuk menyeimbangkan badan, membuka/memakai pakaian dan saat membersihkan diri
0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
5. Makan ( feeding ) 10 Dapat melayani segala kebutuhan makan ( mengambil peralatan, ambil lauk pauk, dan sebagainya) secara mandiri 5 Membutuhkan bantuan orang lain, misalnya memotong daging, mengoles mentega
0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
6. Pindah dari tempat duduk ke tempat tidur dan sebaliknya ( Chair/bed transfer ) 15 Mandiri termasuk mengunci kursi roda dan mengangkat pijakan kaki 10 Bantuan minimal, umumnya untuk pendamping 5 Mampu duduk sendiri tapi butuh bantuan saat akan pindah tempat ( misal : dari tempat duduk ke tempat tidur )
0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
100
7. Berjalan ( ambulation ) Chair/bed transfer ) 15 Berjalan sendiri dengan jarak sekitar 50 yards. Kadang butuh bantuan kecuali untuk berjalan dengan bertumpu pada roda untuk berjalan ( rolling walker ) 10 Butuh bantuan untuk berjalan sejauh 50 yards 5 Mempergunakan kursi roda untuk jarak 50 yards, kecuali tidak bisa berjalan 0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
8. Berpakaian ( dressing ) 10 Mandiri. Seperti mengikat tali sepatu, mengancingkan baju 5 Butuh bantuan, tetapi tidak semuanya, dan dikerjakan dengan pelan-pelan 0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
9. Naik tangga ( Stair Climbing ) 10 Mandiri. Kadang perlu bantuan alat ( misalnya tongkat ) 5 Perlu bantuan atau pengawasan ( ada yang menemani )
0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
10 Mandi ( Bathing ) 5 Mandiri tanpa bantuan
0 Penampilan buruk, tergantung bantuan orang lain ( Inferior performance)
Total Nilai 0-100 0-50 : Berat 51-75 : Sedang 76-100: Ringan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
101
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
cii
Nama No. RM Kesadaran
Usia (Tahun)
Jenis Kelamin Pekerjaan
Jenis Stroke
Pendidikan Terakhir
Faktor Resiko Suku
mRS 0
mRS 3
mRS 14
BI 0
BI 3
BI 14
Saturasi O2 (%) Malam (1) Hari Pertama
Saturasi O2 (%) Malam (2) Hari Pertama
Saturasi O2 (%) Siang (1) Hari Pertama
Saturasi O2 (%) Siang (2) Hari Pertama
Saturasi O2 (%) Malam (1) Hari Kedua
DINIS 683529 CM 48 Laki-Laki PNS Iskemik S1 Tidak Ada Karo 2 1 1 60 100 100 95 95 96 98 96
Dirhamsyah 667656 CM 53 Laki-Laki pegawai swasta Iskemik Sma Hipertensi batak 3 3 3 75 100 100 97 97 98 98 97
Siti Rahma 694418 Apatis 57 Perempuan IRT Iskemik Sma Hipertensi melayu 2 1 2 60 100 95 95 95 97 97 96
Lavanter 704219 CM 40 Laki-Laki Wiraswasta Iskemik Sma Hipertensi batak 2 2 2 90 90 95 95 96 97 96 97
A. Sinulingga 694414 Apatis 62 Laki-Laki Wiraswasta Iskemik Sma Dislipidemia batak 2 1 1 60 100 95 97 97 98 97 97
Asni Br. Sembiring 689502 Apatis 52 Perempuan Wiraswasta Iskemik Sma Hipertensi batak 3 3 3 60 60 60 97 97 98 97 97
denget 701684 CM 62 Perempuan IRT Iskemik smp Hipertensi Karo 2 2 2 90 90 90 97 98 98 98 97
Aisyah 693476 Apatis 70 Perempuan IRT hemoragik sd Hipertensi batak 2 1 2 60 100 95 95 95 97 97 97
pakean 699146 Apatis 77 Perempuan IRT Iskemik sd Hipertensi Karo 3 3 3 60 60 60 97 97 98 97 97
Tukiman 296403 Apatis 79 Laki-Laki Tidak Bekerja Iskemik sma Hipertensi batak 4 4 4 60 60 60 98 98 98 97 98
hendra 700946 Apatis 37 Laki-Laki pegawai swasta Iskemik S1 Hipertensi batak 4 4 4 60 60 60 99 98 99 99 99
Syarifuddin 537500 Apatis 75 Laki-Laki PNS hemoragik S1 merokok jawa 2 1 2 60 100 95 96 96 97 98 97
Juminar Apatis 56 Perempuan IRT hemoragik S1 diabetes melitus batak 4 4 4 60 60 60 98 98 98 98 97
Supini 699652 CM 67 Perempuan iRT Iskemik Sma Tidak Ada jawa 2 2 2 60 100 100 96 96 97 97 97
Bahagia 675882 CM 54 Laki-Laki Wiraswasta hemoragik Sma Tidak Ada batak 2 2 2 60 100 100 97 97 98 97 97
Nderman 567361 CM 66 Perempuan IRT Iskemi k smp Tidak Ada Karo 2 1 1 60 100 100 97 98 98 99 99
Surya Dharma 698001 CM 56 Laki-Laki
pegawai swasta Iskemik S1
diabetes melitus batak 2 1 1 60 100 100 98 98 98 98 97
M.Syahrul 693091 CM 34 Laki-Laki pegawai swasta Iskemik sma Tidak Ada batak 2 1 1 60 100 100 98 97 98 98 97
Taromin 684507 Apatis 70 Laki-Laki Tidak Bekerja Iskemik sma Hipertensi batak 3 3 3 60 60 60 97 97 98 97 97
Zikri 684572 Apatis 50 Laki-Laki Wiraswasta hemoragik sma Hipertensi batak 3 3 3 60 60 60 95 95 96 96 96
Edward 684572 Apatis 66 Laki-Laki Tidak Bekerja Iskemik S1
diabetes melitus batak 3 3 3 60 60 60 97 96 98 97 97
Gerhard 684572 CM 75 Laki-Laki Tidak Bekerja Iskemik sma Hipertensi batak 2 1 1 60 100 100 98 98 99 98 98
yanti 698165 CM 43 Perempuan IRT Iskemik sma diabetes melitus batak 2 2 1 60 100 100 97 97 98 98 97
Jasiman 684665 Apatis 63 Laki-Laki Wiraswasta Iskemik sma diabetes melitus batak 3 3 3 60 60 60 97 97 98 98 97
maliukur 684811 CM 45 Laki-Laki Wiraswasta Iskemik sma Hipertensi batak 2 1 1 60 100 100 98 98 99 99 98
ngadiran 684922 Apatis 46 Laki-Laki pegawai swasta Iskemik S1 Hipertensi jawa 3 3 3 60 60 60 96 97 98 98 98
Renti 634320 Apatis 56 Perempuan IRT Iskemik sma Hipertensi melayu 3 3 3 60 100 100 98 98 98 98 97
Borkat 698175 CM 54 Laki-Laki pegawai swasta hemoragik S1
diabetes melitus batak 2 1 1 60 100 100 98 98 97 98 97
Syafaruddin 697863 CM 53 Laki-Laki Wiraswasta hemoragik sma Hipertensi jawa 2 1 1 60 60 100 98 97 98 98 97
Sudirman 685375 CM 58 Laki-Laki Wiraswasta hemoragik sma merokok batak 2 1 1 60 100 100 98 98 98 98 97
Abu Hasan 696222 CM 71 Laki-Laki Tidak Bekerja hemoragik sma Tidak Ada batak 3 3 2 60 60 100 98 98 98 97 96
Togu 476253 Apatis 63 Laki-Laki Wiraswasta Iskemik sma Hipertensi batak 3 3 3 60 60 60 98 97 98 98 96
Alam 691938 Apatis 41 Laki-Laki pegawai swasta Iskemik S1 Tidak Ada batak 2 1 1 60 100 100 95 96 96 97 97
Pajar Sidik 695764 695764 Apatis 48 Laki-Laki Wiraswasta Iskemik sma Hipertensi batak 2 1 1 60 100 100 98 98 99 98 97
Nuriani 695959 Apatis 60 Perempuan IRT Iskemik sma Tidak Ada jawa 2 1 1 60 100 100 98 98 99 98 97
A.sinulingga 694430 Apatis 62 Laki-Laki Tidak Bekerja Iskemik S1
diabetes melitus batak 2 2 3 60 100 100 98 98 98 99 98
Djaga 376059 Apatis 76 Laki-Laki Tidak Bekerja Iskemik sma
diabetes melitus batak 3 3 3 60 60 60 98 98 98 99 98
Amser 405167 Apatis 56 Laki-Laki pegawai swasta hemoragik S1 merokok batak 3 3 3 60 60 60 98 98 98 99 98
M. Hipni 686140 Apatis 55 Laki-Laki pns hemoragik sma merokok jawa 3 3 3 60 60 60 97 98 98 99 98
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ciii
Kartika 703021 CM 32 Perempuan IRT Iskemik smp diabetes melitus jawa 2 1 1 60 100 100 98 98 99 99 98
Nursia 704549 CM 64 Perempuan Tidak Bekerja Iskemik sma Hipertensi minang 2 1 1 60 100 100 95 95 96 96 96
Kamariah 696411 CM 66 Perempuan Tidak Bekerja Iskemik S1
diabetes melitus melayu 2 1 1 60 100 100 98 98 99 99 98
Sulikin 408612 CM 39 Laki-Laki pegawai swasta Iskemik sma hipertensi jawa 2 1 1 60 100 100 98 98 99 99 98
Riswanto 694908 CM 45 Laki-Laki pegawai swasta hemoragik S1 Hipertensi batak 2 2 2 60 60 60 95 95 96 96 96
karina 704839 CM 44 Laki-Laki IRT hemoragik smp Hipertensi batak 2 2 2 60 60 60 95 95 96 97 96
Ukurmuli 690499 CM 73 Perempuan IRT Iskemik sma diabetes melitus jawa 3 3 3 60 60 60 98 97 97 98 97
Nuriani 695547 Apatis 60 Perempuan IRT Iskemik smp diabetes melitus jawa 3 3 3 60 60 100 98 98 98 99 97
Marhalip 704831 CM 45 Laki-Laki Wiraswasta Iskemik smp diabetes melitus batak 2 2 2 60 60 60 95 95 96 96 96
K adiman 695766 Apatis 49 Laki-Laki pegawai swasta Iskemik S1
diabetes melitus minang 3 2 1 60 60 60 98 98 99 98 97
A. Pribadi tarigan 691938 Apatis 41 Laki-Laki
pegawai swasta Iskemik S1
diabetes melitus Karo 2 2 3 60 60 60 95 95 96 97 96
T. Parulian 476253 Apatis 63 Laki-Laki Tidak Bekerja Iskemik S1 merokok batak 3 3 3 60 60 60 97 97 98 98 96
Suginem 696310 Apatis 62 Perempuan IRT hemoragik smp Hipertensi jawa 3 3 3 60 60 60 97 97 97 98 97
Enos 696881 Apatis 54 Laki-Laki Wiraswasta Iskemik sma Hipertensi Karo 3 3 3 60 60 60 97 96 98 97 96
Supartik 696881 CM 63 Perempuan Tidak Bekerja Iskemik S1
diabetes melitus jawa 2 2 2 60 60 100 98 98 98 98 97
Magdalena 433236 CM 61 Perempuan Tidak Bekerja Iskemik S1
diabetes melitus batak 2 2 2 60 60 100 98 98 99 98 97
Juman Noor 690157 Apatis 61 Laki-Laki
Tidak Bekerja hemoragik S1 Hipertensi melayu 3 2 2 60 60 60 97 97 98 98 96
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA