Download - Telaah kurikulum.docx
TUGAS 1
A. PENGERTIAN KURIKULUM
Kurikulum sebagai suatu rancangan dalam pendidikan memiliki posisi yang strategis,
karena seluruh kegiatan pendidikan bermuara kepada kurikulum. Begitu pentingnya
kurikulum sebagaimana sentra kegiatan pendidikan, maka didalam penyusunannya
memerlukan landasan atau fondasi yang kuat, melalui pemikiran dan penelitian secara
mendalam.
Kata kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang semula dalam bidang olah raga, yaitu
curere yang berarti jarak terjauh lari yakni jarak yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari
mulai dari start sampai finish. Dalam bukunya, Ramayulis mengutip dari Langgulung yang
menyatakan bahwa kurikulum berasal dari kata curir yang berarti pelari dan curare yang
berarti tempat berpacu. Istilah curere belum terdapat dalam kamus Webster tahun 1812 dan
baru timbul untuk pertama kalinya dalam kamus tahun 1856. Kurikulum juga berarti Chariot,
semacam kereta pacu pada zaman dahulu, yakni suau alat yang membawa seseorang dari start
sampai finish. Jika dalam pendidikan Islam, maka konteksnya berubah yakni suatu hal yang
harus dilalui oleh peserta didik dan pendidik yang sedang melakukan kegiatan pembelajaran.
KESIMPULAN
1. Kurikulum adalah seperangkat perencanaan pengajaran yang sistematik yang
berisi pernyataan tujuan, organisasi konten, organisasi pengalaman belajar,
program pelayanan, pola belajar mengajar, dan program evaluasi agar pebelajar
dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dan perubahan tingkah laku.
2. Karakteristik kurikulum yaitu : curriculum as subject matter, curriculum as
experience, curriculum as intention, curriculum as cultural reproduction dan
curriculum as currere.
3. Komponen kurikulum terdiri dari : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi,
pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi.
4. Jenis pengembangan kurikulum meliputi : Separated Curriculum,Correlated
Curriculum, Broad Fields Curriculum, Integrated Curriculum sedangkan model
pengembangan kurikulm meliputi : Model Administratif,Grass-Roots,
Beaucham, arah terbalik Taba, Rogers, Demonstrasi, The Systematic Action-
Research,Emerging Technical.
Istilah kurikulum ini dipopulerkan oleh John Franklin Bobbit dalam bukunya The
Curriculum yang diterbitkan pada tahun 1918. Menurut Bobbit, kurikulum merupakan suatu
naskah panduan mengenai pengalaman yang harus didapatkan anak-anak agar menjadi orang
dewasa yang seharusnya. Oleh karena itu kurikulum merupakan kondisi ideal dibandingkan
kondisi real. Kurikulum diibaratkan sebagai “jalur pacu” atau “kendaraan” untuk mencapai
tujuan pendidikan dan kompetensi lulusan.
Menurut Grayson, kurikulum adalah suatu perencanaan untuk mendapatkan keluaran
(outcomes) yang diharapkan dari suatu pembelajaran. Perencanaan tersebut disusun secara
terstruktur untuk suatu bidang studi, sehingga memberikan pedoman dan instruksi untuk
mengembangkan strategi pembelajaran. Materi di dalam kurikulum harus diorganisasikan
dengan baik agar sasaran (goals) dan tujuan (objectives) pendidikan yang telah ditetapkan
dapat tercapai. Sedangkan menurut Harsono, kurikulum merupakan gagasan pendidikan yang
diekpresikan dalam praktik. Saat ini definisi kurikulum semakin berkembang, sehingga yang
dimaksud kurikulum tidak hanya gagasan pendidikan tetapi juga termasuk seluruh program
pembelajaran yang terencana dari suatu institusi pendidikan. Adapun BPNSP mendefinisikan
kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Dari definisi tersebut di atas, inti dari kurikulum, terdapat tiga pilar yang sedang
berlangsung yaitu: 1) Adanya transmission of knowledge, 2) Processes that seek to facilitate
student learning, sebagai proses pembelajaran peserta didik, dan 3) Product of learning used
to ascertain whether students have acquired new information, yaitu informasi baru yang
didapat peserta didik sebagai hasil dari proses pembelajaran.
B. KARAKTERISTIK KURIKULUM
Karakteristik dari kurikulum tersebut yakni curriculum as subject matter, curriculum as
experience, curriculum as intention, curriculum as cultural reproduction dan curriculum as
currere.
1. Curriculum as subject matter
Kurikulum sebagai bahan ajar (subjec matter) merupakan gambran dari suatu
kurikulum sebagai bahan untuk membentuk kerangka isi materi (contents) untuk
disampaikan dan dilatihkan kepada siswa. Dalam konteks ini, kurikulum berfungsi sebagai
acuan untuk menentukan bahan ajar apakah yang akan disampaikan dan dilatihkan kepada
siswa dalam pencapaian kompetensi yang telah direncanakan dan ditetapkan.
2. Curriculum as experience
Kurikulum sebagai seperangkat pengalaman merupakan gambaran bahwa kurikulum
yang disusun dapat memberikan peluang kepada siswa untuk melakukan pembelajaran, atas
dasar pengalaman meraka (learning by experiences). Melalui pengalaman-pengalaman, siswa
akan dapat memperoleh banyak bentuk belajar dan dalam hal ini guru meposisikan diri
sebagai fasilitator untuk mengeksplorasi pengalaman-pengalaman siswa tersebut. Dalam
konteks ini, kurikulum berfungsi sebagai instrument untuk memerikan peluang kepada siswa
untuk memulai pembelajaran atas dasar pengalaman-penglalaman yang telah diperolehnya
untuk kemudian didiskusikan dengan teman-temanya dalam proses pebelajaran.
3. Curriculum as intention
Kurikulum sebagai suatu rencana memiliki 2 (dua) bagian. Pertama, kurikulum
berisikan suatu rencana yang harus dipelajari oleh sisiwa. Kedua , kurikulum sebagai
pernyataan-pernyataan tentang apa yang harus dicapai siswa dalam proses
pembelajaran. Dalam hal ini kurikulum berfungsi sebagai alat untuk mendeskripsikan
rencana pembelajaran dan hasil yang akan dicapai dalam proses pembelajaran tersebut.
4. Curriculum as cultural reproduction
Kurikulum sebagai sebuah alat reproduksi budaya merupakan gambaran bahwa dalam
kurikulum hendaknya bisa memuat berbagai hal yang terkait dengan penguatan dan
penumbuhan budaya suatu masyarakat tertentu dimana siswa atau madrasah itu berada.
Dalam kontek ini, kurikulum berfungsi sebagai instrument untuk dapat melestarikan nilai-
nilai dan budaya yang berkembang dalam suatu komunitas masyarakat dimana madrasah itu
berada.
5. Curriculum as currere
Kurikulum as currer berasal dari bahasa latin yang diterjemahkan dengan running of the
race. Hal ini menekankan pada kapasiitas individu untuk berpartisipasi dan
mengkonsepsikan kembali pengalaman hidup mereka. Dengan demikian, kurikulum dalam
kontek curriculum as currere ini berfungsi sebagai alat untuk melihat sekaligus membentuk
karakteristik siswa dalam pembentukan kejernihan pemikiran mereka.
C. KOMPONEN KURIKULUM
Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi,
pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen tersebut
memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini
akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.
1. Tujuan
Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah
mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam
teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik
kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing.
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara
jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan Nasional,
bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”..
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik,
selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin
dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan tujuan mata
pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan
dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan
tujuan pendidikan yang lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran dari setiap mata pelajaran.
Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan
lebih menggambarkan tentang “what will the student be able to do as result of the teaching
that he was unable to do before” (Rowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 1997).
Dengan kata lain, tujuan pendidikan tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan
perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran.
Merujuk pada pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam
aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Terlepas dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat
terkait erat dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan
menggunakan dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai
pijakan utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian
penguasaan materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual
atau aspek kognitif.
Dalam implementasinnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan dengan tantangan
yang sangat kompleks boleh dikatakan hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-
tujuan kurikulum dengan hanya berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau model
kurikulum tertentu secara konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir
tantangan dan kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik,
dengan mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang
ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara bereimbang. .
B. Materi Pembelajaran
Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan
teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan
kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme)
penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran
disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :
1. Teori; konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang
seperangkat menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi
hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan
meramalkan gejala tersebut.
2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan,
merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari
analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan
hubungan antara beberapa konsep.
5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus
dilakukan peserta didik.
6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari
terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
7. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam
materi.
8. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas
suatu uraian atau pendapat.
9. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam
garis besarnya.
10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam
upaya mencapai tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih memperhatikan
tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran
harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran
yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa
dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang
krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang
berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah
diramu sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung
penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci
menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi
pengembangam kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran,.
Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi pembelajaran yang
beranjak hanya dari satu filsafat tertentu., maka dalam prakteknya cenderung digunakan
secara eklektik dan fleksibel..
C. Strategi pembelajaran
Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan yang
melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan dan
materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap penentuan strategi
pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan dalam pembelajaran
adalah penguasaan informasi-intelektual,–sebagaimana yang banyak dikembangkan oleh
kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan budayaataupun keabadian, maka
strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan
tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan
pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif
menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan
pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar.
Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari
kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu
proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan
materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan
bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan
belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan
rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika
kelompok.
Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang
digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual,
langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran
moduler, obeservasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.
Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya
sebagaifasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan
menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator,
guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan
perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan
berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan
pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi
pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam
pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta
didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta
didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau
media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung
sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk
melakukan perbuatan-perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan strategi
pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan keunggulannya
tersendiri.
D. Organisasi Kurikulum
Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan
terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam
pengorganisasian kurikulum, yaitu:
1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah
mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan
dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak
mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi
diberikan sama
2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk
mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur
yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna
memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa
pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan
dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran
dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core
tersebut.
4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum
yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit
masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata
pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan
masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan
secara terintegrasi.
6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara
organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.
E. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas,
evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan
pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation
of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum”
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk
memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator
kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi,
efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang
dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel
in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the
degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.”
Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi
kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah
evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau
komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen
kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar
siswa.
Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan persyaratan-persyaratan
tertentu. Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-syarat evaluasi kurikulum
yaitu “acknowledge presence of value and valuing, orientation to goals, comprehensiveness,
continuity, diagnostics worth and validity and integration.”
Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi
fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas
dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi kuantitaif berbeda
dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi
kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik dan lain-lain. Sedangkan,
instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat digunakan, questionnare, inventori,
interview, catatan anekdot dan sebagainya
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan
pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu
sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan
pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan
pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan.
Hasil – hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah
dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan
peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara
penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. (disarikan dari Nana Syaodih Sukmadinata, 1997)
C. JENIS DAN MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Jenis-Jenis Kurikulum
Dalam menyusun kurikulum, sangatlah tergantung pada asas organisators, yaitu bentuk
penyajian bahan pelajaran otau organisasi kurikulum. Berikut ini adalah 3 pola organisasi
atau jenis-jenis kurikulum.
1. Separated Curriculum
Kurikulum ini dipahami sebagai kurikulum mata pelajaran yang terpisah satu sama
lainnya. Kurikulum mata pelajaran terpisah berarti kurikulumnya dalam bentuk mata
pelajaran yang terpisah-pisah, yang kurang mempunyai keterkaitan dengan mata pelajaran
lainnya.
2. Correlated Curriculum
Kurikulum jenis ini mengandung makna bahwa sejumlah mata pelajaran dihubungkan
antara yang satu dan yang lain sehingga ruang lingkup bahan yang tercakup semakin luas.
Sebagai contoh, pada mata pelajaran fiqih dapat dihubungkan dengan mata pelajaran Al
Quran dan Hadis.
3. Broad Fields Curriculum
Kurikulum Board Field kadang-kadang disebut kurikulum fusi. Taylor dan Alexander
menyebutkan dengan sebutan The Board Field of Subject Matter. Board
Fields menghapuskan batas-batas dan menyatukan pelajaran yang berhubungan dengan erat.
Sebagai contoh, sejarah, geografi, ilum ekonomi dan ilmu politik menjadi Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS).
4. Integrated Curriculum
Kurikulm terpadu merupakan suatu produk dari usaha pengintegrasian bahan pelajaran
dari berbagai macam pelajaran. Integrasi diciptakan dengan memusatkan pelajaran pada
masalah tertentu yang memerlukan solusinya dengan materi atau bahan dari berbagai disiplin
atau mata pelajaran.
B. Model Pengembangan Kurikulum
Untuk melakukan pengembangan kurikulum ada berbagai model pengembangan
kurikulum yang dapat dijadikan acuan atau diterapkan sepenuhnya, diantaranya adalah:
1. Model Administratif
Model administratife atau garis-komando (line-Staff) merupakan pola pengembangan
kurikulum yang paling awal dan mungkin yang paling dikenal. Model pengembangan
kurikulum ini berdasarkan pada cara ker ja atasan-bawahan (top-down) yang dipandang
efektif dalam pelaksanaan perubahan kurikulum.
Model administrasi/garis komando memiliki langkah-langkah sebagai berikut:
1. Administrator Pedidikan/ Top Administrative Officers (pemimpin)
membentuk komisi pengarah.
2. Komisi Pengarah (Steering Comittee) bertugas merumuskan rencana umum,
mengembangkan prinsip-prinsip sebagai pedoman, dan menyaipkan suatu pernyataan
filosofi dan tujuan-tujuan untuk seluruh wilayah sekolah.
3. Membentuk komisi kerja pengembangan kurikilum yang bertugas
mengembangkan kurikulum secara operasional mencakup keseluruh komponen
kurikulum dengan mempertimbangkan landasan dan prinsip-prinsip pengembangan
kurikulum.
4. Komisi pengarah memeriksa hasil kerja dari komisi kerja dan
menyempurnakan bagian-bagian tertentu bila dianggap tidak perlu. Karena
pengembangan kurikulum model administratif ini berdasarkan konsep, inisiatif, dan
arahan dari atas kebawah, maka akan membutuhkan waktu bertahun-tahun agar dapat
berjalan dengan baik. Hal inidisebabkan adanya tunututan untuk mempersiapkan para
pelaksana kurikulum tersebut.
Dari uraian mengenai model pengembangan kurikulum administratifm kita dapat
menandai adanya dua kegiatan didalamnya:
a. Menyiapkan seperangkat dokumen kurikulum baru, dan
b. Menyiapkan instalasi dan implementasi dokumen.
Dengan kata lain, midel administratif/ garis-komando membutuhkan kegiatan
pemyiapan para pelaksana kurikulum melalui berbagai bentuk pelatihan agar dapat
melaksanakan kurkulum dengan baik.
2. Model Grass-Roots
Model pengembangan kurikulum ini merupakan lawan/kebalikan dari model pertama
inisiatif dan pengembangan kurikulum bukan datang dari atas tetapi dari bawah. Bisa
dikatakan model administratif bersifat top-down (atasan-bawahan), sedangkan model grass –
roots adalah bottom – up (dari bawah keatas). Lebih lanjut juga bisa diketahui bahwa model
pengembangan kurikulum yang pertama digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan /
kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam
sistem pendidikan yang bersipat desentralisasi.
Dalam model pengembangan yang bersifat grass-roots seorang (guru) dapat
mengupayakan pengembangan komponen- komponen kurikulum dapat keseluruhan, dapat
pula sebagian dari keseluruhan komponen kurikulum atau keseluruhan dari seluruh
komponen kurikulum. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana,
pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu
kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi
kelasnya.
3. Model Beauchamp
Pengembangan kurikulum dengan menggunakan metode beauchamp memiliki lima
memiliki lima bagian pembuat keputusan. Lima tahap tersebut adalah:
1. Memutuskan arena pengembangan kurikulum, suatu keputusan yang
menjabarkan ruang lingkup upaya pengembangan.
2. Menetapkan personalia, yaitu siapa-siapa sajakah yang ikut terlibat dalam
pengembangan kurikulum.
3. Organisasi dan prosedur pengembangn kurikulum. Langkah ini berkenaan
dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan yang
lebih khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi, dan dalam
menentukan keseluruhandesain kurikulum.
4. Implementasi kurikulu, yakni kegiatan untuk menerapkan kurikulum seperti
yang sudah diputuskan dalam ruang lingkup pengembangan kurikulum.
5. Evaluasi kurikulum.
4. Model arah terbalik Taba
Sesuai dengan namanya, model pengembangan kurikulum ini terbalik dari yang lazim
dilaksanakan, yakni dari biasanya dilakukan secara deduktif menjadi induktif, dengan urutan:
1. mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru
2. menguji unit eksperimen
3. mengadakan refisi dan konsolidasi
4. pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum
5. implementasi dan diseminasi
5. Model Rogers
Cari Rogers adalah seorang ahli psikologi yang berpandangan bahwa manusia dalam
proses perubahan mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembangsendiri. Berdasarkan
pandangan tentang manusia maka rogers mengemukakan model pengembangan kurikulum
yang disebut dengan modelRelasi Interpersonal Rogers
Ada empat langkah pengembangan kurikulum model rogers diantaranya adalah:
1. pemilihan satu sistem pendidikan sasaran
2. pengalaman kelompok yang intensif bagi guru
3. pengembangan satu pengalaman kelompok yang intensif bagi satu kelas atau
unit pelajaran.
4. Melibatkan orangtua dalam pengalaman kelompok yang intensif.
Rogers lebih mementingkan kegiatan pengembangan kurikulum daripada rencana
pengembangan kurikulum tertulis, yakni melalui aktivitas dan interaksi dalam pengembangan
kelompok intensif yang terpilih.
6. Model Demonstrasi
Model demonstrasi pada dasarnya bersifat grass-rotss, datang dari bawah. Model ini
diprakarsai oleeh sekelompok guru atau sekelompok guru bekerja sama dengan ahli yang
bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum. Model ini umumnya bersekala kecil, hanya
mencakup satu atau beberapa sekolah, satu komponen kurikulum atau mencakup keseluruhan
komponen kurikulum.
Menurut Smith, Stanley, dan Shores ada dua variasi model demonstrasi ini:
1. Sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah ditunjuk untuk
melaksanakan suatu percobaan tentang pengembangan kurikulum.
2. Bentuk kedua ini kurang bersifat formal. Beberapa guru yang merasa kurang
puas dengan kurikulum yang ada, mencoba mengembangkan penelitian dan
mengembangkan sendiri. Mereka mencoba menggunakan hal-hal yang lain yang berbeda
dengan yang berlaku.
7. The Systematic Action-Research Model
Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum
meerupakan perubahan sosial. Hal itu mencakup suatu proses yang melibatkan kepribadian
ornang tua, siswa guru, struktur sistem sekolah, pols hubungan pribadi dan kelompok dari
sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut model ini menekankan pada tiga hal:
hubungan insani, sekolah dan organisasi masyarakat, serta wibawa dari pengetahuan
propesional.
Penyusunan kurikulum ini harus memasuka pandangan dan harapan-harapan
masyarakat, dan salah satu cara untuk mencapai hal itu adalah dengan prosedur action
research:
1. Mengadakan kajian secara seksama tentang masalah-masalh kurikulum,
berupa pengumpulan data bersifat menyeluruh, dan mengidentifikasi faktor-faktor,
kekuatan dan kondisi yang mempengruhi masalah tersebut.
2. Implementasi dari keputusan yang diambil dalam tindakan pertama. Tindakan
ini segera diikutioleh kegiatan pengumpulan data dan fakta-fakta
8. Emerging Technical Models
Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan, serta nilai-nilai efisiensi
efektifitas dalam bisnis. Juga mempengruhi perkembanagan model-model kurikulum.
Tumbuh kecendrungan-kecendrungan baru yang didasarkan atas hal itu diantaranya:
1. Menekankan kepuasan prilaku atau kemampuan
2. Berasal dari gerakan efesiensi bisnis
3. Suatu model pengembangan kurikulum dengan memanfaatkan komputer.