Download - Tanin Final
2.5 Senyawa Tanin
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, tanin dapat bereaksi
dengan protein membentuk polimer yang tidak larut dalam air. Tanin merupakan
senyawa metabolit sekunder yang berasal dari tumbuhan yang terpisah dari
protein dan enzim sitoplasma. Senyawa tanin tidak larut dalam pelarut non polar,
seperti eter, kloroform dan benzena tetapi mudah larut dalam air, dioksan, aseton,
dan alkohol serta sedikit larut dalam etil asetat (Harborne, 1987).
Gambar 2.2 Struktur inti tanin (Harborne, 1987)
Tanin adalah suatu nama deskriptif umum untuk satu kelompok subtansi
fenolik polimer yang mampu menyamak kulit atau mempresipitasi gelatin dari
cairan, suatu sifat yang dikenal dengan astringent. Tanin terbentuk dari senyawa
fenol yang berikatan atau bergabung dengan senyawa fenol-fenol yang lain
sehingga membentuk polifenol dan pada akhirnya membentuk senyawa tanin
(Pansera, 2004). Monomer tanin adalah digallic acid dan D-glukosa, ekstrak tanin
terdiri dari campuran senyawa polifenol yang sangat komplek dan biasanya
bergabung dengan karbohidrat, dengan adanya gugus fenol maka tanin akan dapat
berkondensasi dengan formaldehid (Linggawati, 2002). Tanin merupakan himpunan polihidroksi fenol yang dapat dibedakan dari
fenol-fenol lain karena kemampuannya untuk mengendapkan protein. Tanin
mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat pertumbuhan tumor. Tumbuhan
yang mengandung tanin banyak jenisnya diantaranya adalah daun teh, daun jambu
biji, dan daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.).
Senyawa tanin yang menimbulkan rasa sepat pada jambu biji dapat
dimanfaatkan untuk memperlancar saluran pencernaan dan sirkulasi darah serta
dapat menyerang virus (Savitri, 2008).
Tanin merupakan salah satu tipe dari senyawa metabolit sekunder yang
mempunyai karakteristik sebagai berikut (Giner, 2001):
1. Merupakan senyawa oligomer dengan satuan struktur yang bermacammacam dengan gugus fenol bebas
2. Berat molekul antara 100 sampai 20.000
3. Larut dalam air
4. Mampu berikatan dengan protein dan terbentuk kompleks tanin-protein
Tanin merupakan astringent yang mengikat dan mengendapkan protein
berlebih dalam tubuh. Senyawa tanin dalam bidang pengobatan digunakan untuk
mengobati diare, hemostatik (menghentikan pendarahan), dan wasir. Kemampuan
sarang semut secara empiris untuk pengobatan, misalnya untuk pengobatan ambeien (wasir) dan mimisan diduga kuat berkaitan dengan kandungan senyawa
tanin yang terdapat dalam sarang semut (Subroto, 2008).
Tanin tumbuhan dibagi menjadi dua golongan yaitu tanin terkondensasi
(tanin katekin) dan tanin terhidrolisiskan (tanin galat). Tanin terhidrolisis
mengandung ikatan ester yang dapat terhidrolisis jika di didihkan dalam asam
klorida encer. Bagian alkohol dari ester ini biasanya berupa gula yaitu glukosa.
Tanin terhidrolisis biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis, berwarna coklat
kuning yang larut dalam air membentuk larutan koloid, tanin mudah diperoleh
dalam bentuk kristal. Tanin terhidrolisis juga larut dalam pelarut organik yang
polar tetapi tidak larut dalam pelarut organik non polar misalnya kloroform dan
benzena (Robinson,1995).
Tanin terhidrolisis merupakan molekul dengan poliol (umumnya dalam
glukosa) sebagai pusatnya. Gugus hidroksi pada karbohidrat sebagian atau
semuanya teresterifikasi dengan gugus karboksil pada asam gallat (gallotanin)
atau asam gallat (ellagitanin), tanin terhidrolisis sedikit dalam tanaman (GinerChivez, 2001).
Tanin terkondensasi banyak terdapat dalam paku-pakuan dan
angiospermae terutama pada jenis tumbuhan berkayu. Tanin terkondensasi atau
flavolan secara biosintesis terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal
(galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan kemudiaan oligomer yang
lebih tinggi. Nama lain untuk tanin terkondensasi adalah protoantosianidin karena
bila direaksikan dengan asam panas beberapa ikatan karbon-karbon penghubung
satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin (Harborne, 1984). Tanin terkondensasi sangat reaktif terhadap formaldehid dan mampu membentuk produk
kondensasi yang berguna untuk bahan perekat termosetting yang tahan air dan
panas (Linggawati, 2002).
2.6 Pemisahan Senyawa Tanin
2.6.1 Ekstraksi Senyawa Tanin
Ekstraksi adalah proses penarikan komponen atau zat aktif dengan
menggunakan pelarut tertentu. Pemilihan metode ekstraksi senyawa dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan, zat aktif serta
kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan
senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam pelarut non polar
(Guenter, 1997).
Pemilihan metode ekstraksi bergantung pada tekstur dan kandungan air
bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang akan diisolasi.
Prosedur untuk memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan
kering (buah, biji dan daun) ialah dengan ekstraksi sinambung serbuk bahan
dengan menggunakan alat soxhlet dengan pelarut tertentu (Harborne, 1984).
Tanin merupakan senyawa polar dengan gugus hidroksi, sehingga untuk
mengekstraksinya diperlukan senyawa-senyawa polar seperti air, etanol dan
aseton. Senyawa non polar yang tidak dapat melarutkannya adalah karbon
tetraklorida dan dietil eter sehingga dapat digunakan untuk melarutkan pengotor
dan diperoleh tanin yang lebih murni. Pengekstraksi tanin yang baik adalah
campuran air dengan pelarut organik misalnya metanol , etanol dan aseton berair (7:3) yang mengandung asam askorbat 0,1%. Penambahan asam askorbat dalam
pelarut aseton adalah untuk meminimumkan oksidasi tanin selama ekstraksi. Hal
ini disebabkan oksidator akan bereaksi terlebih dahulu dengan asam askorbat yang
lebih mudah teroksidasi (Abdurrohman, 1998).
Deny (2007) dalam penelitianya menjelaskan bahwa tanin dapat diekstrak
dari bagian-bagian tumbuhan tertentu dengan menggunakan pelarut. Pelarut yang
umum adalah aseton, etanol, maupun metanol dan secara komersial tanin dapat
diekstraksi dengan menggunakan pelarut air tetapi yang paling efektif untuk
mengekstrak tanin dari kulit kayu dapat digunakan larutan air dengan etanol atau
aseton dengan perbandingan 1:1.
Cara tradisional untuk isolasi senyawa tanin tumbuhan adalah dengan
menggunakan cara ekstraksi dengan air panas, penggaraman dengan natrium
klorida, pengekstrasian kembali endapan dengan aseton, dan penghilangan lipid
dari bahan yang larut dalam aseton dengan eter. Tanin dengan natrium klorida
sedikit demi sedikit dapat terjadi pengendapan. Timbel atau seng asetat (10%)
sering digunakan untuk mengendapkan tanin yang dapat dihilangkan dari endapan
dengan cara penguraian memakai pereaksi hidrogen sulfida. Gelatin membentuk
endapan juga dengan larutan tanin. Pengendapan dengan cara menambahkan
larutan kalium asetat dalam alkohol kedalam larutan tanin dalam alkohol sering
mempunyai nilai preparatif pada isolasi tanin (Robinson, 1995).
Hagerman (1998) mengekstraksi tanin dari daun sorghum dengan metanol
yang mengandung 10 mM asam askorbat, penambahan asam askorbat berfungsi
sebagai antioksidan setiap ekstraksinya. Kemudiaan diekstrak dengan etil asetat dan lapisan air (bawah) yang digunakan. Subiyakto dan Bambang (2003) untuk
memperoleh ekstrak tanin dari kayu akasia, sampel diekstraksi dengan air panas
(100ºC) selama 1 jam dengan perbandingan bahan dan pelarut 1 : 20. Larutan
ekstrak diuapkan dengan menggunakan oven pada suhu 60ºC sehingga didapatkan
ekstrak tanin. Di samping ekstraksi dengan air panas, dilakukan ekstraksi tanin
dengan larutan NaOH 0,3% dengan prosedur yang sama.
2.6.1.1 Ekstraksi Tanin dengan Metode Maserasi
Maserasi merupakan metode ekstraksi dingin yaitu proses pengekstrakan
simplisia dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan, sehingga zat-zat yang terkandung di dalam simplisia relatif lebih aman
jika dibandingkan dengan penggunaan ekstraksi panas (Cristina, 2008).
Maserasi merupakan cara ekstraksi yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam pelarut. Pelarut akan menembus
dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif sehingga
zat aktif akan larut, karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif
di dalam sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Pelarut yang digunakan
dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Keuntungan cara ekstraksi
ini, adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah
diusahakan. Kerugian penggunaan metode ini adalah waktu pengerjaannya lama
(Ahmad, 2006).
Jaringan tumbuhan yang mengandung tanin dapat diekstrak dengan
menggunakan metanol 50-80%. Ekstraksi dengan menggunakan metanol ini hanya dapat mengekstrak tanin sebagian saja, karena bagian tanin yang lainnya
akan terikat pada polimer lain di dalam sel (Harborne, 1984).
Pemilihan pelarut untuk ekstraksi harus mempertimbangkan banyak
faktor. Pelarut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: murah dan mudah
diperoleh, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar,
selektif dan tidak mempengaruhi zat berkhasiat (Ahmad, 2006). Pada penelitian
ini digunakan beberapa pelarut berdasarkan tingkat kepolarannya, yaitu aquades,
metanol, etanol dan aseton. Tingkat polaritas ini secara fisika dapat ditunjukkan
dengan lebih pasti melalui pengukuran konstanta dielektrikum suatu bahan
pelarut. Konstanta dielektrikum ini secara matematis ditunjukkan dalam rumus:
D =
2
'
f r
e e
(2.1)
dimana D adalah Konstanta Dielektrikum, f gaya tolak menolak dua partikel
bermuatan listrik e dan e’, sedang r adalah jarak antara partikel e dan e’. Semakin
besar Konstanta Dielektrikum suatu bahan pelarut disebut semakin polar
(Sudarmdji dkk, 2007). Tabel berikut ini menunjukkan titik didih dan angka
konstanta dielektrikum pelarut.
Tabel 2.1 Tetapan Dielektrikum Pelarut
Pelarut Titik Didih
o
C Tetapan Dielektrikum (D)
2
Berat Jenis (g/cm
3
)
Air 100 80,37 1,00
Metanol 64,6 33,62 0,81
Etanol 78,5 24,30 0,791
Aseton 56,5 20,7 0,792
Klorofom 61,2 4,81 1,489
Etil Asetat 77 6,02 0,9
Sumber: Sudarmadji, 2003. 2.6.2 Identifikasi Senyawa Tanin
2.6.2.1 Uji Fitokimia
Uji tanin yang paling dikenal adalah pengendapan gelatinnya. Larutan
tanin ditambahkan kedalam larutan gelatin 0,5% yang volumenya sama. Semua
tanin menimbulkan endapan sedikit atau banyak. Soebagio (2007) menguji tanin
dari Ekstrak umbi bawang merah dengan melarutkan sedikit aquades kemudian
dipanaskan di atas pemanas air lalu diteteskan dengan larutan gelatin 1% (1:1).
Hasil positifnya yaitu terbentuknya endapan putih.
Reaksi endapan lain untuk menguji adanya senyawa tanin adalah dengan
amina atau ion logam. Seperti senyawa fenol lainnya dengan besi III klorida
menghasilkan warna violet sampai biru (Robinson, 1995).
Protoantosianidin dapat di deteksi langsung dalam jaringan tumbuhan
hijau dengan mencelupkan kedalam HCl 2M mendidih selama setengah jam. Bila
terbentuk warna merah yang dapat diekstraksi dengan amil atau butil alkohol
maka ini merupakan bukti adanya senyawa tersebut (Harborne,1987).
Tanin terhidrolisis dan terkondensasi menunjukkan reaksi yang berbeda
dalam larutan garam Fe III, tanin terkondensasi meghasilkan warna hijau
kehitaman sedangkan tanin terhidrolisis menghasilkan warna biru kehitaman.
(Widowati, 2006).
2.6.2.2 Identifikasi dengan Kromatografi
KLT dapat digunakan untuk uji identifikasi senyawa baku. Parameter pada
KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Dua senyawa dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi yang sama
(Rohman, 2007). Olivia, (2005) mengidentifikasi senyawa tanin dari kulit batang
daun salam dilakukan dengan kromatografi kertas Whatman No.1 pengembang
yang digunakan adalah n-butanol-asam asetat-air (4:1:5). Pola kromatogram
menunjukkan 2 bercak berwarna merah muda dan jingga pada Rf 0,39 dan 0,53.
Isolasi larutan merah tua dilakukan pada kromatografi kertas Whatman No.3 dan
pengembang n-butanol-asam asetat-air (4:1:5). Isolat zat warna coklat dari kulit
batang salam mengandung prodelfinidin (tanin terkondensasi) dan antosianidin.
Yuliani (2003 ) dalam penelitiannya mengidentifikasi dan menganalisa
ekstrak tanin dari daun jambu biji secara visual dan kromatografi lapis tipis.
Untuk mengetahui karakteristik ekstrak, maka identifikasi dilakukan dengan cara
pengamatan secara visual meliputi bentuk, warna, aroma dan rasa ekstrak, juga
terhadap kadar airnya. Sedangkan analisa ekstrak secara KLT dilakukan menurut
metode Harborne yang telah dimodifikasi, dengan meggunakan eluen toluen : etil
asetat (3:1) dengan media silika gel 60 GF 254 dan untuk pendeteksi
menggunakan ferri Sulfat, dari hasil pengamatan terhadap hasil KLT dari ekstrak
jambu biji diketahui bahwa ketiga tipe daun jambu biji mempunyai jumlah bercak
yang berbeda.
Tabel 2.2 Nilai Rf dari beberapa ekstrak daun jambu biji
Ekstrak dari ketiga daun
jambu biji
Jumlah
bercak
Nilai Rf
1 9 bercak 0,23 – 0,94
2 9 bercak 0,13 – 0,94
3 5 bercak 0,16 – 0,59 Identifikasi senyawa tanin juga dapat dilakukan dengan menggunakan
metode HPLC untuk deteksi tanin terkondensasi yaitu dengan menggunakan
kolom Li Chrosorb RP-8 yang dielusi dengan campuran air-metanol (Harborne,
1987), dalam penelitiaan Lidyawati (2007), hasil analisa kromatogram KCKT
fraksi ekstrak metanol dari daun belimbing wuluh menunjukkan terdapatnya
glikosida vanilat pada puncak 2, sedangkan puncak 5 yang dominan diduga
sebagai senyawa tanin.
2.6.3 Penentuan Kadar Tanin
2.6.3.1 Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Lowenthal-Procter
Prinsip penentuan kadar tanin dengan metode Lowenthal-Procter
berdasarkan jumlah gugus fenol pada tanin. Tanin termasuk golongan senyawa
yang memiliki gugus fenol, sehingga jumlah gugus fenol ini diasumsikan
mewakili jumlah tanin secara keseluruhan. Titrasi dengan larutan kalium
permanganat, gugus fenol pada tanin akan teroksidasi. Jumlah gugus fenol
berbanding lurus dengan jumlah kalium permanganat yang diperlukan untuk
titrasi. Sebagai indikator redoks digunakan larutan indigokarmin dan warna yang
dihasilkan adalah kuning emas. Penentuan kadar tanin dengan menggunakan
persamaan berikut (Sudarmadji, 1997).
Perhitungan : 1 ml KMnO4 0,1 N = 0,00416 g tanin
Kadar tanin = (50 A – 50 B) x 0,00416 x 100 %
S (A-B) : Banyaknya KMnO4 yang diperlukan untuk titrasi (A merupakan
senyawa tanin dan B merupakan senyawa non tanin)
S : Berat sampel
2.6.3.2 Penentuan Kadar Tanin dengan Spektrofotometer UV-Vis
Penetapan kadar tanin dengan metode spektofotometri dilakukan oleh
Price dan Butler untuk daun sorgum, metode ini didasarkan atas reaksi
pembentukan warna yaitu reduksi ion ferri menjadi ion ferro oleh senyawa tanin
dan polifenolik lainnya, diikuti oleh pembentukan kompleks ferrisianida dan ion
fero. Warna yang terbentuk diukur absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 720 nm (Muhtady, 1999).
Dianty (2008) menentukan kadar tanin pada daun dan kulit batang buah
rambutan (Nephelium Lappaceum) menggunakan spektrofotometer UV-Vis
dengan metode biru prusi pada sistem kompleks K3[Fe(CN)6]. Metode tersebut
digunakan untuk analisis kualitatif dengan intensitas warna yang dibentuk oleh
senyawa kompleks K3[Fe(CN)6], yaitu kuning, hijau dan biru. Prinsip penentuan
kadar tanin secara kuantitatif adalah kurva standar konsentrasi fero dan asam galat
pada panjang gelombang 690,0 nm, dalam analisis kuantitatif tanin digunakan
variasi suhu, waktu pengocokan dan pelarut. Kadar tanin dalam larutan sampel
dihitung dengan Ekuivalen Asam Galat (EAG).
Sumartha (2000) mengukur kadar tanin pada buah salak dengan
spektrofotometer yaitu pada air ditambahkan sodium tungstat, dan asam
posfomolibdat dan asam posforat. Campuran di reflux selama 2 jam dan dinginkan sampai 25
o
C dan larutkan sampai 1L dengan air. Air ditambahkan
sodium karbonat anhidrous, dilarutkan pada suhu 70-80
o
C dan dinginkan satu
malam. Larutan standart dibuat dengan melarutkan asam tanat dalam air.
Persiapkan larutan baru untuk setiap determinasi (1 mL = 0.1 mg asam tanat).
Larutan ditambahkan reagen Folin-Denis dan larutan Na2CO3 dan setelah 30
menit diukur pada panjang gelombang 760 nm terhadap blank yang disesuaikan
pada absorbansi 0.
Penentuan kadar tanin yaitu dengan kalkulasi sebagai berikut:
2.6.3.3 Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Stiansy Test
Metode kuantitatif untuk tanin salah satu nya adalah stiansy test. Reaksi
yang terjadi didasarkan pada kereaktifan struktur flavonoid dari tanin
terkondensasi terhadap formaldehid. Hasil reaksi ini akan membentuk endapan
sehingga secara kuantitatif dapat diketahui adanya tanin terkondensasi (Giner,
1997). Linggawati (2002) dalam penelitianya menentukan kadar tanin dengan
metode stiansy test yaitu sebanyak 0,5 gram contoh tanin dilarutkan dalam 175
ml aquades, ditambahkan 28,5 ml HCl 0,28 N dan 1 ml formaldehid 37%. Larutan
diaduk selama 5 menit dan disimpan selama 5 jam. Endapan yang terbentuk
dibilas dengan aquades, endapan dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam
desikator kemudian ditimbang. Kadar tanin terkondensasi dihitung berdasarkan
gravimetri.
TANNIC ACID
SYNONYMS Tannins (food grade), gallotannic acid, INS No. 181
DEFINITION Consists of gallotannins obtained by solvent extraction from certain natural
sources; the substance is not an acid in the chemical sense. The common
name "Tannic acid" has been adopted to distinguish the commercial
substance from other tannins, such as condensed tannins. These
specifications relate only to hydrolysable gallotannins, i.e., those which yield
gallic acid on hydrolysis. These specifications do not apply to many other
kinds of tannins which occur in nature, including condensed (nonhydrolysable) tannins and hydrolysable ellagitannins. Hydrolysable
gallotannins may be obtained from nutgalls, the excrescences which form
on young twigs of various Quercus species, e.g., Q. infectoria; these include
Chinese and Aleppo tannins. They may also be obtained from various
Sumac species, e.g. Rhus corieria, R. galabra, R. thypia; these include
Sicilian and American sumacs. All of these consist essentially of
polydigalloyl esters of glucose. A further source of hydrolysable gallotannins
is the seed pods of Tara (Caesalpinia spinosa); these tannins consist
essentially of the polydigalloyl esters of quinic acid.
Assay Not less than 96% on a dried basis
DESCRIPTION Amorphous powder, glistening scales or spongy mass, varying in colour
from yellowish white to light brown; odourless or with a faint, characteristic
odour
FUNCTIONAL USES Clarifying agent, flavouring agent, flavour adjunct
CHARACTERISTICS
IDENTIFICATION
Solubility (Vol. 4) Soluble in water, acetone and ethyl alcohol; insoluble in benzene,
chloroform and ether; 1 g dissolves in about 1 ml of warm glycerin
Colour reaction To a 1 in 10 solution add a small quantity of ferric chloride TS. A bluish
black colour or precipitate forms
Precipitate formation A solution of the sample when added to a solution of either albumin or
gelatin produces a precipitate
Test for gallic acid Passes test after hydrolysis
See description under TESTS
http://www.fao.org/ag/agn/jecfa-additives/specs/Monograph1/Additive-454.pdf
http://www.ansci.cornell.edu/plants/toxicagents/tannin.html