Download - STEMI revisi.doc
Definisi ST Elevation Myocardial Infraction (STEMI)
Sindrom koroner akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi
yang digunakan untuk menggambarkan spektrum gejala meliputi : unstable
angina, Non ST elevation myocardial infraction (NSTEMI) dan ST elevation
myocardial infraction (STEMI). STEMI ditunjukkan dengan : 1, 2, 3
a. Oklusi trombus 90% pada arteri koroner yang dibuktikan dengan
angiografik.
b. Perubahan EKG STEMI meliputi gelombang hiperakut T dan ST
elevasi yang diikuti terbentuknya gelombang Q patologis.
c. Troponin adalah biomarker terbaik untuk memprediksi kerusakan
jantung sehubungan dengan infark miokard.
Faktor Resiko
Faktor resiko Sindrom koroner akut adalah :
a. Dapat dimodifikasi :
Merokok : Merokok dapat meningkatkan aktifitas saraf simpatik
sehingga menstimulasi katekolamin yang dapat meningkatkan
potensiasi akititas platelet dan fibrinogen. 4
Diabetes melitus : Pasien dengan riwayat diabetes tidak
terkontrol, memiliki aktifitas peningkatan trombus. Pada pasien
diabetes terjadi peningkatkan reaktivitas dan hiperagregasi serta
aktivasi adhesi platelet. 4
Hipertensi : Pada keadaan hipertensi terjadi disfungsi endotel,
sehingga menstimulasi faktor inflamasi yang memperburuk
perkembangan plak dengan stimulasi agregasi platelet dan
produksi fibrin. 4
Stres : memodulasi atau memicu interaksi atau agregasi platelet
pada dinding arteri. 4
Infeksi : memicu disfungsi endotel, sehingga menstimulasi faktor
inflamasi yang akan memperburuk perkembangan plak dengan
stimulasi agregasi platelet dan produksi fibrin. 4
b. Tidak dapat dimodifikasi : Jenis kelamin, umur, riwayat keluarga. 4
Etiologi
1
Penyebab utama terjadinya Sindrom Koroner Akut lebih dari 90%
pasien adalah rupture, fisur atau erosi plak aterosklerotik karena terdapat
kondisi plak aterosklerotik yang tidak stabil (vulnerable atherosclerotic
plaques) dengan karakteristik; lipid core besar, fibrous cap tipis, dan plak
penuh dengan aktivitas sel-sel inflamasi seperti sel limfosit T dan lain-lain. 1,2,3
Gambar 1 Karakteristik Plak yang Tidak Stabil
Patofisiologi
Proses terjadinya aterosklerosis (initiation, progression dan
complication plak aterosklerotik) berjalan dalam waktu yang lama, secara
bertahap berjalan dari sejak usia muda bahkan juga sejak usia anak-anak
sudah terbentuk bercak garis lemak (fatty streaks) pada permukaan lapis
dalam pembuluh darah, dan lambat-laun pada usia tua dapat berkembang
menjadi bercak sklerosis (plak pada pembuluh darah) sehingga terjadi
penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah. Aterosklerosis merupakan
proses pembentukan plak akibat akumulasi beberapa bahan seperti cells
foam (sel makrofag yang mengandung lipid), massive extracellular lipid, dan
plak fibrous yang mengandung sel otot polos dan kolagen.1, 2
Patofisiologi Sindrom Koroner Akut disebabkan oleh obstruksi dan
oklusi trombotik pembuluh darah koroner, yang disebabkan adanya plak
aterosklerosis yang mengalami rupture atau erosi. Penyebab utama Sindrom
Koroner Akut dipicu oleh rupture, fisur atau erosi plak aterosklerotik adalah
karena kondisi plak aterosklerotik yang tidak stabil (vulnerable atherosclerotic
plaques) dengan karakteristik; lipid core besar, fibrous cap tipis, dan plak
penuh dengan aktivitas sel-sel inflamasi seperti sel limfosit T dan lain-lain. 1, 2
2
Gambar 2 Proses Aterosklerosis pada plak Aterosklerosis
Rupture, fisur atau erosi plak aterosklerosis (yang sudah ada dalam
dinding arteri koronaria) mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid,
makrofag dan faktor-faktor lain dalam jaringan) ke dalam aliran darah,
sehingga menginduksi adhesi, aktivasi dan agregasi thrombosit serta
pembentukan fibrin membentuk thrombus. Trombus pada arteri jantung inilah
yang mengakibatkan terjadinya oklusi koroner total atau subtotal. Hal ini
menyebabkan suplai oksigen menjadi semakin berkurang yang berakibat
terjadinya nekrosis jaringan dan dapat mengakibatkan kematian otot
jantung.1, 2
Gambar 3 Proses adhesi, aktivasi dan agregasi platelet kemudian terbentuk
thrombus
Diagnosis
a. Gejala
3
Gejala ST elevation myocardial infraction (STEMI) adalah chest
discomfort > 30 menit. Chest discomfort digambarkan seperti rasa
tertekan benda berat, tertusuk dan terbakar di dada yang bisa
menjalar ke bahu, lengan, punggung, leher, rahang. Gejala yang
mungkin menyertai termasuk sesak napas, kelemahan, diaforesis,
mual, muntah, sakit kepala. 1, 2, 3
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendukung diagnosis dan
penilaian tempat sakit, dan komplikasi pada pasien ST elevation
myocardial infraction (STEMI).5
c. Elektrokardiografi
Pada pasien ST elevation myocardial infraction (STEMI), dapat
ditemui adanya ST elevasi. Perubahan EKG pada STEMI meliputi :
1) Gelombang hiperakut T : pada periode awal STEMI bisa
didapatkan gelombang T hiperakut yaitu gelombang T yang
tingginya lebih dari 6 mm pada sadapan ekstremitas dan lebih
dari 10 mm pada sadapan prekordial. Namun, gelombang T
hiperakut ini tidak selalu spesifik untuk STEMI. 6, 7
2) ST elevasi yang diikuti terbentuknya gelombang Q patologis : jika
oklusi trombus 90% pada arteri koroner dapat ditemui adanya ST
elevasi. Diagnosis STEMI ditegakkan jika didapatkan elevasi
segmen ST minimal 0,1 mv (1 mm) pada sadapan ekstremitas
dan lebih dari 0,2 mv (2 mm) pada sadapan prekordial. Pada
STEMI perubahan ini ditemukan 2 sadapan berdekatan. Pada
saat bersamaan, mulai terbentuk gelombang Q patologis. 6, 7
3) Intervensi gelombang T : kembalinya segmen ST pada garis
isoelektrik. Bersamaan itu, mulai intervensi gelombang T. 6, 7
4
Gambar 4 Gambaran EKG pada STEMI
d. Pemeriksaan Biomaker Laboratorium untuk kerusakan jantung
Troponin adalah biomarker terbaik untuk memprediksi kerusakan
jantung sehubungan dengan infrak miokard. Marker yang dilihat
adalah CTnT atau CTnl (Cardiac Spesific Troponin) karena lebih
spesifik dan lebih sensitif daripada cardiac enzim lainnya, seperti
Creatin Kinase (CK) atau Isoenzim MB (CK-MB). Troponin C, TnI dan
TnT berkaitan dengan konstraksi dari sel miokrad. Troponin
merupakan kompleks protein yang mengatur interaksi aktin-myosin
sel jantung. Saat terjadi kerusakan atau kematian sel, maka troponin
akan menyebar ke sirkulasi darah perifer. Protein-protein tersebut
tidak terdeteksi pada kondisi sehat sehingga nekrosis kecil miokard
dapat memberikan hasil yang positif. Gambaran enzim jantung pada
pasien infark miokard dapat dilihat pada gambar 5: 8, 9
Gambar 5 Peningkatan enzim jantung
5
e. Imaging
Cardiac imaging dapat menentukan penyebab chest discomfort pada
pasien infark miokard akut atau unstable angina yang pemeriksaan
ECGnya normal atau tidak terdiagnosis. High quality portable chest
X-ray, transthoracic atau transesophageal echocardiography dan CT-
scan yang memakai kontras berguna untuk membedakan STEMI
pada pasien yang menunjukkan perbedaan yang tidak jelas dari
diseksi aorta (pecahnya pembuluh darah aorta yang dapat menutupi
arteri koroner, sehingga menyebabkan infark miokard). 5
Penatalaksanaan STEMI
Tujuan terapi pasien ST elevation myocardial infraction (STEMI) :
1. untuk meminimumkan total ischemic time sehingga mengurangi
morbidity dan mortality yang disebabkan oleh ST elevation
myocardial infraction (STEMI). 1
2. untuk pencegahan reocclusion arteri koroner, pencegahan
komplikasi, dan kematian. 1
Skema penatalaksanaan ST elevation myocardial infraction (STEMI)
secara umum dapat dilihat pada gambar 6 : 1
Gambar 6 Skema Penatalaksanan STEMI
1. Prehospital
6
Penatalaksanaan pada saat ONSET terjadinya STEMI
Penatalaksanaan Pada Saat Prehospital
Penatalaksanaan Pada Saat di UGD
HOSPITAL
Secondary Prevention
Farmakologi
Non-farmakologi
Apabila pasien merasakan rasa nyeri pada dada (chest
discomfort), maka kita melihat dulu apakah pasien memang memiliki
riwayat sakit jantung dan apakah pasien telah menerima peresepan
nitrogliserin (NTG). Apabila pasien telah menerima peresepan
nitrogligerin sebelumnya dan pada saat kejadian pasien masih memiliki
nitrogliserin, maka tindakan pertama yang dapat dilakukan pasien untuk
mengatasi nyerinya adalah dengan memberikan nitrogliserin tersebut
satu kali dosis dengan rute sublingual (sisi kanan gambar 7). Jika 5
menit setelah pemberian nitrogliserin, pasien masih mengeluhkan rasa
nyeri (chest discomfort), maka pasien harus dibawa ke Rumah Sakit
untuk mendapatkan pertolongan medis lebih lanjut. Jika 5 menit setelah
pemberian nitrogliserin, pasien sudah tidak mengeluhkan nyeri (chest
discomfort) maka dilakukan managemen angina pektoris stabil. 1
Jika sejak awal pasien tidak pernah diresepkan nitrogliserin (sisi
kiri gambar 7), dilihat dulu apakah rasa nyeri (chest discomfort) dalam
waktu 5 menit membaik atau memburuk. Jika 5 menit nyeri hilang, maka
pasien direkomendasikan untuk berkonsultasi dengan dokter. Jika 5
menit nyeri dada atau rasa tidak enak pada dada (chest discomfort) tidak
membaik, maka pasien harus dibawa ke Rumah Sakit untuk
mendapatkan penangan medis. Pada saat di EMS (Emergency system),
pasien dapat diberikan terapi nitrogliserin sublingual (maksimal 3X dosis
sejak awal terjadinya nyeri) dan aspirin dosis 162 mg-325mg. Skema
penatalaksanaan prehospital STEMI dapat dilihat pada gambar 7. 1
7
Gambar 7 Skema Penatalaksanan Prehospital STEMI 1
2. Hospital
a. Oksigen
Tambahan oksigen harus diberikan pada penderita STEMI
selama 6 jam pertama bila penderita dengan desaturasi oksigen
arteri (SaO2 < 90%) 2-4 liter/menit. 1
Evidence studi RCT kejadian hipoksemia (SpO2 <90%)
pada pasien infark miokard akut adalah 70% dan hipoksemia
berat 35% pada mereka yang tidak diberikan oksigen. Kejadian
hipoksemia berkurang menjadi 43% pada pasien infark miokard
8
Apakah sebelumnya pasien pernah mendapat resep nitrogliserin?
Tidak Ya
Berikan nitrogliserin 1x dosis sublingual
Apakah nyeri/ rasa tidak enak dada tetap terjadi setelah 5 menit
pemberian nitrogliserin 1x dosis secara sublingual?
Apakah nyeri atau rasa tidak enak dada (chest discomfort) membaik atau tidak setelah 5 menit?
YaTidak
Ya TidakTelpon Rumah SakitKonsultasi ke dokter
Pasien diberi aspirin dosis 162-325 mg jika tidak dikontraindikasikan atau segera dibawa ke rumah sakit
Penatalaksanaan guidline ACC/AHA 2002 mengenai pasien kronis angina stabil.
Pasien merasakan nyeri pada daerah dada (chest discomfort)
akut dan 31% pada pasien hipoksemia berat berkurang setelah
diberikan terapi oksigen 10
b. Nitrogliserin
Nitrogliserin digunakan untuk menghilangkan nyeri karena
gejala iskemik. Pasien yang sedang mengalami gejala iskemik
harus menerima nitroglyserin 0,4 mg SL tiap 5 menit dengan total
3x dosis. Jika nitrogliserin yang diberikan tidak memberikan
perbaikan terapi sebaiknya pasien mendapatkan nitrogliserin
intravena. Nitrogliserin intravena diberikan 48 jam pertama
setelah STEMI untuk pengobatan persisten iskemia, congestive
heart failure (CHF), atau hipertensi (Level of Evidence: B). 1, 2, 3
Nitrogliserin dapat mengurangi preload dan afterload pada
arteri peripheral dan dilatasi vena, relaksasi pada arteri koroner
epicardial dan pelebaran pembuluh darah collateral. Nitrat tidak
boleh diberikan kepada pasien yang telah menerima inhibitor
fosfodiesterase untuk disfungsi ereksi dalam 24 jam terakhir (48
jam untuk tadalafil). 1, 2, 3
Tabel 1 Rekomendasi dosis nitrat : 2
Tabel 2 Keterangan Evidence dan rekomendasi
Kategori Evidence :
(I) Dirancang berdasarkan randomised controlled trials, meta
analisis, atau systematic review
(II) Dirancang berdasarkan desain cohort atau case control
9
studies
(III) Dirancang berdasarkan uncontrolled studies atau
consensus
Kategori kekuatan rekomendasi :
(A) Langsung berdasarkan evidence kategori I
(B) Langsung berdasarkan evidence kategori II atau
ekstrapolasi dari evidence kategori I
(C) Langsung berdasarkan evidence kategori III atau
ekstrapolasi dari evidence kategori I atau II
Evidence studi RCT dengan jumlah sampel 38 pasien
yang menganalisis efek nitrogliserin pada arteri koroner
menggunakan angiografi arteri koroner, 15 menit setelah
pemberian nitrogliserin transdermal 10 mg (8 pasien) atau 25 mg
(30 pasien) dan setelah injeksi intrakoronari 2,5 mg ISDN.
Menyimpulkan bahwa nitrogliserin transdermal 25 mg melebarkan
arteri koroner dan berguna untuk sindrom koroner akut dengan
beberapa komplikasi.11
c. Beta Bloker
Mekanisme kerja beta bloker adalah dengan cara inhibisi
kompetitif terhadap efek katekolamin pada reseptor adrenergik-1
sehingga menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah,
penurunan aliran simpatetik pada otak, menurunkan rilis renin,
menurunkan laju jantung dan menurunkan curah jantung.12, 13
Selama beberapa jam pertama setelah terjadinya STEMI
beta bloker dapat mengurangi kebutuhan terhadap oksigen
dengan cara menurunkan heart rate, tekanan arterial sistemik,
dan kontraktilitas myocardial. Jadi, terapi beta-blocker dapat : 1
1) mengurangi besarnya infark dan insiden yang
terjadi karena komplikasi akibat pasien tidak menerima
terapi fibrinolitik
2) mengurangi kecepatan reinfarction pada pasien
yang menerima terapi fibrinolitik
10
3) mengurangi frekuensi terjadinya ventricular
tachyarryhmias.
Tabel 3 Rekomendasi dosis Beta bloker: 2
Oral beta blocker harus diberikan segera untuk pasien
tanpa kontraindikasi. Beta bloker IV diberikan kepada pasien
STEMI dengan hipertensi, takiaritmia dan tidak memiliki
kontraindikasi. 1
Evidence studi RCT dengan jumlah sampel 45.852 pasien
infark miokard akut, didapatkan bahwa penggunaan beta bloker
pada terapi awal dapat mengurangi infark miokard akut dari infark
kembali dan fibrilasi ventricular, tetapi dapat meningkatkan shok
kardiogenik terutama pada hari pertama diberikan. 14
d. Analgesik
Morfin sulfat direkomendasikan pada pasien dengan
keluhan nyeri menetap atau berulang karena STEMI setelah
pemberian anti iskemik. Dosis morfin sulfat yang
direkomendasikan yaitu dosis awal 4-8 mg IV yang kemudian
dapat ditambahkan 2 mg IV setiap 5-15 menit.15
Morfin memiliki mekanisme kerja dengan cara berikatan
dengan reseptor opioid di CNS, yang kemudian mengubah reaksi
yang timbul di korteks serebral pada saat rasa nyeri diterima
sehingga dapat menghambat timbulnya rasa nyeri. 15
Efek samping yang mungkin terjadi dari pemberian morfin
adalah hipotensi, efek ini dapat diminimalisasikan dengan
menjaga pasien agar tidak berbaring jika tekanan sistolik
11
menurun dibawah 100 mmHg, agar tidak terjadi udem paru.
Penggunaan atropin pada dosis 0,5-1,5 mg secara IV dapat
membantu untuk mengurangi terjadinya efek vagomimetik
(hipotensi atau bradikardia). Pemberiaan fenotiazin ditujukan
pada pasien yang mengalami efek samping yang potensial terjadi
pada pemberian morfin dosis tinggi. Sedangkan penggunaan
Naloxone 0,1-0,2 mg IV, dapat diberikan jika terjadi efek samping
depresi pernapasan pada penggunaan morfin. 1
Evidence studi RCT dengan jumlah 265 pasien
menggambarkan perbandingan metoprolol (N=130) dan analgesik
morfin (N=135) pada pasien yang diduga infark miokard akut
setelah diberikan metoprolol. Kelompok morfin atau metoprolol
dapat mengurangi intesitas nyeri, namun pada penggunaan
morfin, penurunan intesitas nyeri lebih cepat terjadi dalam waktu
80 menit pertama setelah pemberiaan morfin. 16
e. Antiplatelet
Mekanisme kerja aspirin sebagai antiplatelet adalah untuk
menekan produksi prostaglandin dan tromboksan karena
inaktivasi ireversibel dari enzim siklooksigenase (COX). Inhibisi
terhadap tromboksan akan menghambat agregasi platelet, jadi
aspirin dapat digunakan untuk profilksis trombosis koroner dan
serebral. 12, 13
Dosis aspirin 162-325 mg diberikan pada hari pertama
STEMI pada penderita yang tidak memiliki kontraindikasi,
dilanjutkan dosis harian 72-162 mg. Thienopyridine (Clopidogrel)
diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima aspirin karena
hipersensitivitas terhadap aspirin atau intoleransi gastrointestinal.1
Evidence studi meta analisis menggambarkan
penggunaan aspirin berpotensi mencegah meningkatnya risiko
kejadian oklusi vaskuler yang meliputi infark miokard akut atau
stroke iskemik, unstable atau stable angina, miokardia infark,
stroke atau serebral iskemik, penyakit arteri perifer, atau atrial
fibrilasi. Dosis aspirin yang digunakan adalah 75-150mg per hari
12
merupakan dosis yang digunakan untuk jangka panjang, tetapi
dalam kondisi akut, dosis yang digunakan minimal 150mg.17
f. Antikoagulan
Unfractionated heparin (UFH) merupakan
glikosaminoglikan yang terbentuk dari rantai polisakarida dengan
berat molekul antara 3000-30000. Rantai polisakarida ini akan
mengikat antritrombin III dan mempercepat proses hambatan
antitrombin III terhadap trombin dan faktor Xa. UFH intravena data
diberikan dengan dosis 60 U/kg secara bolus, maksimum 4000 U
IV bolus; diikuti dengan infus 12 U/kg/jam, dengan dosis
maksimum 1000 U/jam. 1
Low Molecular Weight Heparin (LMWH) harus digunakan
pada pasien setelah STEMI yang berisiko tinggi terjadi emboli
sistemik (miokard infark anterior, atrial fibrilasi, pernah terjadi
emboli sebelumnya, terbentuknya trombus pada ventrikel kanan,
atau syok kardiogenik). 1
Pada pasien STEMI yang tidak menjalani terapi reperfusi
dan yang tidak memiliki kontraindikasi terhadap antikoagulan
dapat diobati dengan UFH secara intravena/subkutan atau
dengan LMWH secara subkutan selama 48 jam. 1
Evidence studi meta analisis pada kelompok yang
mendapatkan intervensi PCI, LMWH menurunkan kematian [RR
(95% Cl) = 0,51 (0,41-0,64), P <0,001, ARR = 3%] dan
pendarahan besar [RR (95% CI) = 0,68 (0,49-0,94), P = 0,02,
ARR = 2,0%] dibandingkan dengan UFH. 18
g. Penghambat Renin Angiotensin – Aldosteron Sistem
ACEI diberikan secara oral selama masa pemulihan
STEMI dilanjutkan dalam waktu jangka panjang. ARB diberikan
pada pasien STEMI yang intoleran ACEI dan memiliki tanda klinis
atau radiologi gagal jantung atau LVEF <0,40, valsartan dan
candesartan merupakan golongan ARB yang direkomendasikan 1
Evidence studi meta analisis dengan 147020 pasien
dengan intervensi placebo dan angiotensin reseptor bloker, jika
13
dibandingkan dengan placebo, ARB dapat menurunkan resiko
stroke dan gagal jantung19
h. Reperfusion
Reperfusi dapat dilakukan dengan cara 1
1) Fibrinolitik
2) Percutaneous coronary interventions (PCI)
3) Coronary artery bypass graft (CABG)
Tujuan medis reperfusi adalah untuk memfasilitasi
pemulihan pada arteri yang mengalami infark dengan cepat
dengan tindakan seperti door-to-needle yang dimulai dengan
fibrinolitik dalam waktu 30 menit pertama atau door-to-balloon
untuk PCI, diberikan pada 90 menit pertama.1
Terapi reperfusi diindikasikan pada semua pasien dengan
riwayat nyeri dada < 12 jam dan dengan keadaan persistent ST
elevasi atau diduga terdapat left bundle-branch block. Terapi
reperfusi harus dipertimbangkan jika ada bukti klinis dan atau
bukti ECG selama iskemia berlangsung, atau jika pasien
merasakan gejala klinis lebih dari 12 jam. 15
Terapi farmakologi yang mendukung reperfusi juga harus
diberikan seperti penggunaan antiplatelet dan antikoagulan.
Kombinasi terapi ini diberikan dengan tujuan untuk membatasi
terjadinya iskemia otot jantung, meningkatkan pemulihan otot
jantung dan mengurangi terjadinya risiko serangan ulang.20
Berikut adalah pemakaian antiplatelet dan antikoagulan dalam
reperfusi :
Tabel 4 Pemberiaan antiplatelet selama reperfusi dengan PCI
Antiplatelet Terapi
Aspirin 150–325 mg oral atau dosis 250–
500 mg IV. 15
Clopidogrel Dosis awal 300-600 mg dan dosis
pemeliharaan 75 mg perhari oral
selama 12 bulan. 15
GPIIb/IIIa inhibitors-
Abciximab
Dosis awal 0.25 mg/kg IV bolus dan
dosis pemeliharaan 0.125 mcg/kg 14
per menit (maksimal 10 mcg/menit
selama 12 jam).15
Tabel 5 Pemberiaan antikoagulan selama reperfusi dengan PCI
Antikoagulan Terapi
Heparin Pasien direncanakan mendapat IV
GPIIb/IIIa antagonis target activated
clotting time (ACT) 200-250 detik
mendapat heparin dengan dosis 50-
70 U/kg bolus. 20
Pasien tidak direncanakan
mendapatkan IV GPIIb/IIIa
antagonis target ACT 250-300 detik
untuk Hemotec dan 300-350 detik
untuk Hemochron dan mendapat
heparin dengan dosis 70-100U/kg
bolus.20
Tabel 6 Pemberiaan antiplatelet selama reperfusi dengan
Fibrinolitik
Antiplatelet Terapi
Aspirin 150–325 mg oral atau dosis 250–
500mg IV. 15
Clopidogrel Dosis awal 300 mg jika umur ≤75
tahun dan 75 mg jika umur ≥ 75
tahun. 15
GPIIb/IIIa inhibitors-
Abciximab
Dosis awal 0.25 mg/kg IV bolus dan
dosis pemeliharaan 0.125 mcg/kg
per menit. (maksimal 10 mcg/menit
selama 12 jam).15
Tabel 7 Pemberiaan antikoagulan selama reperfusi dengan
Fibrinolitik
Antikoagulan Terapi
15
Enoxaparin Pasien umur ≤75 tahun dengan
serum kreatinin < 2.5 mg/dL pada
laki-laki dan < 2 mg/dL pada
perempuan: dosis awal 30 mg
secara IV bolus diikuti 15 menit
kemudian 1 mg/kg setiap 12 jam
subkutan.15
Pasien umur ≥ 75 tahun : dosis awal
0.75 mg/kg dengan maksimal 75
mg pada pemberiaan kedua
(subkutan). Pasien yang klirens
kreatinin ≤ 30mL/min, tanpa
memperhatikan usia, dosis
(subkutan) dapat diulang tiap 24
jam. 15
Heparin Dosis awal 60 U/kg secara IV bolus
dengan dosis maksimal 4000 U,
diikuti infus IV 12 U/kg setiap jam
(dengan maksimal dosis 1000
U/jam) untuk 24- 48 jam.15
Monitoring activated partial
thromboplastin time (aPTT) : 50-70
detik ( setiap 3,6,12 dan 24 jam). 15
Fondaparinux Jika serum kreatinin <3 mg/dL:
dosis awal 2.5 mg secara IV diikuti
s.c. dosis 2.5 mg/hari (sampai 8
hari). 15
1. Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik dapat diberikan ketika tidak tersedia
fasilitas reperfusi dengan PCI dan pasien tidak kontraindikasi
mendapatkan terapi tersebut. Keadaan pasien yang kontraindikasi
dengan terapi fibrinolitik : 15
16
a. Stroke hemoragik
b. Iskemik stroke (6 bulan sebelumnya)
c. Trauma CNS (Central Nervous System) atau neoplasma
d. Melakukan pembedahan (3 minggu sebelumnya)
e. Pendarahan Gastrointestinal (satu bulan sebelumnya)
f. Gangguan pendarahan
g. Pembedahan aorta
Tabel 8 cara pemakaian dan perbandingan agen fibrinolitik :15
Fibrinolitik Dosis terapi Fibrinogen
depletion
Reaksi
Alergi
Potensi
rata-rata (90
menit
pertama)
Streptokinase
(SK)
1,5 juta unit IV selama
30-60 menit
Marked Ya 50%
Alteplase
(t-PA)
15 mg IV
0,75 mg/kg BB selama
30 menit kemudian 0,5
mg/kg BB selama 60
m3nit IV (total dosis
tidak lebih dari 100 mg)
Mild Tidak 75%
Reteplase
(r-PA)
10 U + 10 U IV bolus
diberikan secara
terpisah
Moderate Tidak 7%
Tenecteplase
(TNK-tPA)
dosis tunggal IV bolus
sebagai berikut:
30 mg jika <60 kg
35 mg jika 60 sampai
<70 kg
40 mg jika 70 sampai <
80 kg
45 mg jika 80 sampai <
90 kg
Minimal Tidak 75%
17
50 mg jika > 90 kg.
Data dari The Global Use of Strategies to Open Occluded
Coronary Arteries menunjukkan bahwa penggunaan alteplase dan
reteplase (diberikan secara bolus) dengan heparin IV merupakan
terapi yang efektif pada pasien yang pertama kali mendapat
reperfusi koroner dibandingkan dengan fibrinolitik streptokinase.
Penggunaan alteplase reteplase bermanfaat pada pasien yang
baru pertama kali merasakan nyeri dada atau gejala STEMI
dengan daerah infark yang cukup besar dan memiliki resiko ICH
(intracerebral hemorrhage) rendah.21,22
Evidence studi meta analisis pada 6000 pasien yang
diacak menggunakan terapi fibrinolitik pada saat sebelum di
rumah sakit atau di rumah sakit, menunjukkan hasil yang
signifikan yaitu mengurangi kematian sebanyak 17 %. 23
2. Percutaneous coronary interventions (PCI)
PCI merupakan tindakan reperfusi invasif dengan balon
angioplasti dengan atau tanpa pemasangan stent yang
mendukung terapi farmakologis untuk mencegah trombosis1.
Pasien yang direkomendasikan mendapatkan PCI adalah pasien
yang kontraindikasi mendapat fibrinolitik, ketidakstabilan
hemodinamik atau elektris, dan gejala iskemik yang persisten. 20
Pasien yang datang dengan gejala klinis STEMI dan bukti
ECG terdapat ST elevasi atau diduga terdapat left bundle-branch
block, segera direkomendasikan untuk mendapatkan reperfusi
dengan PCI (jika terdapat fasilitas PCI di rumah sakit). PCI
diberikan kurang dari 90 menit pertama (sejak pasien datang ke
rumah sakit) atau kurang dari 2 jam (sejak pasien merasakan
gejala klinis STEMI). Namun jika tindakan PCI tidak dapat
dilakukan < 2 jam (sejak pasien merasakan gejala klinis STEMI),
reperfusi fibrinolitik harus segera mungkin diberikan dengan waktu
< 30 menit pertama (sejak pasien dating ke rumah sakit).
Pemeriksaan ulang hasil ECG juga harus dilakukan setelah 90
18
menit Terapi fibrinolitik, untuk memastikan apakah reperfusi yang
diberikan cukut adekuat atau tidak. Reperfusi fibrinolitik juga
harus segera diberikan pada pasien yang diindikasikan
mendapatkan tindakan PCI tetapi tidak tersedia fasilitasnya. Jika
dengan terapi fibrinolitik tidak berhasil maka pasien harus segera
mendapatkan Rescue PCI segera mungkin, dalam waktu kurang
dari 12 jam pertama sejak pasien merasakan gejala klinis
STEMI.15
Rescue PCI adalah tindakan PCI yang dilakukan pada
arteri koroner yang masih atau tetap tersumbat meskipun sudah
mendapatkan terapi fibrinolitik. Identifikasi gagalnya terapi
fibrinolitik masih menjadi masalah yang sulit ditegakkan, namun
jika ≤ 50% perubahan ST-segmen elevasi dari keadaan awal
(keadaan ST-elevasi tertinggi) setelah 60-90 menit fibrinolitik
dapat dijadikan tanda gagalnya terapi fibrinolitik. 15
Evidence studi meta analisis dari RCT dengan jumlah 1177
pasien yang mendapatkan fibrinolitik yang dievaluasi selama 6
bulan, menggambarkan bahwa Rescue PCI tidak signifikan dapat
mengurangi mortalitas (RR 0,69), tetapi signifikan dapat
mengurangi gagal jantung (RR 0,73) dan kejadian infark kembali
(RR 0,58) jika dibandingkan dengan terapi konservatif
(pengulangan terapi fibrinolitk). Pemberian terapi fibrinolitik yang
kedua tidak signifikan mengurangi mortalitas (RR 0,68) atau
kejadian infark kembali (RR 1,79). Rescue PCI (RR 4,58) dan
terapi konservatif (pengulangan terapi fibrinolitk) (RR 1,84) dapat
meningkatkan resiko pendarahan minor. 24
19
Gambar 6. Skema Strategi Reperfusi
Keterangan :
* door-to-balloon time untuk PCI, diberikan kurang dari 90
menit pertama (sejak pasien datang ke rumah sakit) atau
kurang dari 2 jam (sejak pasien merasakan gejala klinis
STEMI). 15
**Rescue PCI : Dilakukan saat gagal fibrinolitik. 15
*** Angiography : Dilakukan jika ada kemungkinan bahwa
terapi fibrinolisis berhasil (terjadi perubahan gelombang ST
sebesar 50% pada 60-90 menit pertama, hilangnya nyeri
dada). 15
Evidence meta analisis dari sembilan RCT dengan
jumlah pasien 4433 pasien, menggambarkan bahwa PCI
dengan pemasangan stent jika dibandingkan dengan balon
20
angioplasti (PCI tanpa stent) tidak dapat menurunkan
mortalitas namun dapat mengurangi kerusakan kembali
pembuluh darah dan revaskularisasi pembuluh darah.25
3. Coronary Artery Bypass Graft (CABG)
CABG adalah salah satu tindakan invasif dari penyakit
sindrom koroner akut dengan cara membuat saluran baru
menggunakan pembuluh arteri atau vena yang melewati
bagian arteri koroner yang mengalami penyumbatan. CABG
diindikasikan saat pasien tidak berhasil dengan tindakan PCI,
kontraindikasi dengan tindakan PCI, syok kardiogenik, atau
komplikasi mekanik seperti ruptur ventrikel, akut mitral
regurgitation, atau defek septum ventrikel. Tindakan CABG
mempunyai resiko kegagalan, hal ini ditandai dengan
terjadinya miokard iskemik. 26,27
Evidence studi meta analisis yang membandingakan
tindakan PCI dengan multi stent (N= 1518) dengan CABG (N=
1533), setelah satu tahun di evaluasi, sebanyak 8,7%
kelompok PCI dan 9,1% kelompok CABG dapat mengurangi
kejadian kematian, infark mikord dan stroke. Pengulangan
prosedur revakularisasi lebih sering dialokasikan pada
kelompok PCI (18%) dibandingkan dengan kelompok
intervensi CABG (4,4%). 28
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder baik dengan terapi farmakologi
maupun non farmakologi dilakukan pada pasien yang sudah
melewati masa akut STEMI dengan tujuan untuk mengatasi faktor
resiko dan mencegah terjadinya serangan ulang. 1
a. Terapi non farmakologi
1) Manajemen Berhenti Merokok
Pasien STEMI yang memiliki riwayat merokok dan dalam
masa pemulihan harus berhenti merokok dan
menghindari paparan asap rokok (Level of Evidence: B). 1
2) Manajemen Berat Badan
21
Indeks masa tubuh yang dijadikan target berkisar 18,5-
24,9 kg/m2. Target lingkar pinggang kurang dari 40 inci
pada pria dan 35 inci pada perempuan (Level of
Evidence: B).1
3) Aktifitas Fisik
Pasien pasca STEMI harus dimotivasi untuk melakukan
aktifitas fisik minimal 30 sehari atau setidaknya 3-4 kali
per minggu (berjalan, bersepeda dan lainnya) (Level of
Evidence: B). 1
b. Terapi farmakologi
1) Antiplatelet
Antiplatelet diberikan untuk mencegah serangan ulang.
Aspirin diberikan saat pasien dalam masa pemulihan
STEMI dengan dosis 75-162 mg atau klopidogrel (jika
pasien intoleransi dengan aspirin) dengan dosis 75 mg
(Level of Evidence: A). 20
2) Kontrol Tekanan Darah
a) Target tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg dan
kurang dari 130/80 mmHg untuk pasien dengan
diabetes atau gagal ginjal kronis (Level of Evidence:
B). 1
b) Modifikasi gaya hidup (pengendalian berat badan,
diet, aktivitas fisik, dan pembatasan natrium) dimulai
pada semua pasien dengan tekanan kurang dari
120/80 mm Hg (Level of Evidence: B).1
3) Manajemen Kadar Lemak
a) Diet yang rendah lemak jenuh dan kolestero (Level of
Evidence: A). 1
b) Konsumsi makanan yang mengandung asam lemak
omega-3, buah-buahan, sayuran, serat, dan biji-bijian
harus ditingkatkan (Level of Evidence: A). 1
c) Asupan kalori harus seimbang dengan kebutuhan
energi (Level of Evidence: A). 1
22
d) Target kadar LDL kurang dari 100 mg/dL (Level of
Evidence: A). 1
e) Pasien dengan kadar LDL-100 mg/dL atau lebih dapat
direkomendasikan menggunakan obat golongan statin
atau golongan fibrat (Level of Evidence: B). 1
f) Latihan fisik atau olahraga, menurunkan berat badan
dan berhenti merokok (Level of Evidence: B). 1
g) Evidence studi cohort prospektif dengan pasien 5528
yang menerima statin dan 14071 tidak menggunakan
statin saat keluar dari rumah sakit, menggambarkan
bahwa pada tahun pertama angka kejadian kematian
sebanyak 9,3% (kelompok tidak menggunakan statin)
dan 4,0 % (kelompok statin).29
4) Manajemen Diabetes
Perubahan pola hidup dan penggunaan obat antidiabetes
ditujukan untuk mencapai kadar < 7% (Level of Evidence:
B). 1
Evidence penelitian RCT yang dilakukan selama 10 tahun
dengan intervensi perubahan pola hidup menunjukkan
cost-effectiveness dalam manajemen diabetes30
23