Download - SKRIPSI Jimmy Hartono
1
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
U N I V E R S I T A S R I A U
FAKULTAS HUKUM
TINJAUAN YURIDIS WEWENANG PEMBATALAN PERATURAN
DAERAH MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG
BERLAKU DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Serta Memenuhi Syarat
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Strata 1 (S1)
Pada Fakultas Hukum Universitas Riau
OLEH:
JIMMY HARTONO SIMAMORA
NIM. 0709112782
F A K U L T A S H U K U MUNIVERSITAS RIAU
P E K A N B A R U2011
2
LEMBARAN PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI
NAMA : JIMMY HARTONO SIMAMORANIM : 0709112782PK : HUKUM TATA NEGARAJUDUL : TINJAUAN YURIDIS WEWENANG PEMBATALAN
PERATURAN DAERAH (PERDA) BERDASARKANPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKUDI INDONESIA
Alamat : JL.Bangau Sakti, Perum Alfa Melati Blok.G No.11, Panam-PekanbaruNo. Telp/HP : 0852 7071 2006
Pekanbaru, 18 September 2011Menyetujui Untuk Ujian Skripsi Mahasiswa Tersebut Diatas :
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dodi Haryono SHI, SH, MH Abdul Ghafur S.Ag19790124 200604 1 002 19720105 200604 1 001
Mengetahui :Fakultas Hukum Universitas Riau
Pembantu Dekan I
Gusliana HB, S.H., M.Hum19770828 200312 2 002
3
LEMBAR PERBAIKAN SKRIPSI
Berdasarkan hasil ujian skripsi Strata I (S-I) yang diadakan pada hari Jumat Tanggal29 Bulan September Tahun Dua Ribu Sebelas Pukul 09.00-10.30 Wib :
Nama : JIMMY HARTONO.SNIM : 0709112782Program Kekhususan : Hukum Tata NegaraJudul : Tinjauan Yuridis Wewenang Pembatalan
Peraturan Daerah Menurut PeraturanPerundang-undangan yang Berlaku di Indonesia
Dimana diputuskan oleh Tim Penguji Skripsi :(Dapat diterima/belum dapat diterima*) (tidak kembali diuji)Setelah diadakan penelitian atas perbaikan skripsi mahasiswa yang bersangkutanmaka dinyatakan :
1. Dapat diterima ( √ )2. Belum dapat diterima ( … )
Dengan nilai : Angka (3) huruf (B)Tim Penguji :No Nama Jabatan Tanda tangan
1 Emilda Firdaus,SH.,MH Ketua
2 Junaidi,SH.,MH Penguji I
3 Mexsasai Indra,SH.,MH Penguji II
4 Dodi Haryono, SHI.,SH.,MH Pembimbing I
5 Abdul Ghafur,S.Ag Pembimbing II
Pekanbaru, 30 September 2011Mengetahui :
Pembantu Dekan I
Gusliana HB, SH., M. HumNIP. 19770828 200312 2 002
4
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Diterima oleh panitia ujian sarjana Fakultas Hukum Universitas Riau untukmemenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Ujian Skripsi Guna Memperoleh GelarStrata Satu pada Ilmu Hukum Universitas Riau :Nama : JIMMY HARTONO.SNIM : 0709112782Program Kekhususan : Hukum Tata NegaraJudul : “TINJAUAN YURIDIS WEWENANG PEMBATALAN
PERATURAN DAERAH MENURUT PERATURANPERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DIINDONESIA”
Ujian Dilaksanakan : Hari Jumat/30 September 2011Pukul : 09.00-10.30 WibTempat : Ruang Sidang Fakultas Hukum Universitas Riau
Ketua, Pembimbing I,
Emilda Firdaus,SH.,MH Dodi Haryono, SHI.,SH.,MHNIP. 19800505 200604 2 001 NIP. 19760905 200604 1 002
Penguji I, Pembimbing II,
Mexsasai Indra, SH.,MH Abdul Ghafur, S.AgNIP. 19810313 200802 001 NIP. 19720105 200604 1 001
Penguji II
Junaidi, SH.,MH19800616 200812 1 003
Mengetahui :Dekan Fakultas Hukum
Universitas Riau
Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.HumNIP. 19630215 198903 2 002
5
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : JIMMY HARTONO SIMAMORA
Nomor Induk Mahasiswa : 0709 11 2782
Program Kekhususan : Hukum Tata Negara
Judul : Tinjauan Yuridis Wewenang Pembatalan Peraturan
Daerah (PERDA) Berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan Yang Berlaku di Indonesia.
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini
dan disebutkan dalam referensi. Dan apabila dikemudian hari terbukti bahwa
pernyataan tidak benar, maka saya sanggup menerima hukuman/sanksi apapun sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Pekanbaru, 10 September 2011
JIMMY HARTONO SIMAMORA
6
ABSTRAKSI
Dalam rangka peyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberiwewenang membentuk Peraturan Daerah sebagai sarana yuridis melaksanakankebijakan otonomi daerah dan untuk menampung kondisi khusus suatu daerah sertapenjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namunpada pelaksanaannya prinsip otonomi yang diberikan cenderung mengabaikan sistemhukum nasional dan menerapkan jenis dan bentuk materi muatan yang berbeda-bedaberdasarkan kebutuhan dan kepentingan daerah itu sendiri. Disamping itu,pembentukan Peraturan Daerah tidak sesuai dengan tujuan, situasi dan kondisinasional, sehingga kadangkala menimbulkan pertentangan dengan ketentuandiatasnya. Mengingat Perda sebagai produk kepala daerah dan DPRD di suatu daerahyang bersifat otonom dan peraturan terendah dalam hirarki perundang-undanganmenimbulkan perdebatan mengenai siapa yang berwenang dalam membatalkanPerda.
Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yaitupenelitian yang dilakukan terhadap asas-asas hukum dan taraf sinkronisasi hukum.Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif denganmenarik kesimpulan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yangbersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.
Yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah Bagaimanakahwewenang pembatalan Peraturan Daerah menurut peraturan perundang-undanganyang berlaku di Indonesia, apa permasalahan hukum yang timbul terhadap wewenangpembatalan peraturan daerah serta bagaimana bentuk ideal wewenang pembatalanperaturan daerah berdasarkan permasalahan yang timbul tersebut.
Bentuk pembatalan Perda yang berlaku di Indonesia dapat dilaksankan olehPemerintah melalui executive review dan melalui Mahkamah Agung melalui judicialreview. Dengan adanya dualisme wewenang pembatalan Perda justru dapatmenimbulkan permasalahan hukum berupa timbulnya konflik kepentingan, adanyadisharmoni dan tumpang tindih peraturan, ketidakjelasan alasan substansialpembatalan Perda dan Sistem atau prosedur beracara yang tidak tertata dengan baikdan jelas. Bentuk ideal yang dapat digunakan terkait kewenangan pembatalan Perdaialah dengan mengembalikan wewenang pembatalan Perda pada Mahkamah Agungsebagai lembaga peradilan, upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan yangtumpang-tindih dan pembenahan proses beracara pada Mahkamah Agung.
7
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah
memberikan berkat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan
pembuatan skripsi ini dengan judul “Tinjauan Yuridis Wewenang Pembatalan
Peraturan Daerah (Perda) Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku
di Indonesia.”
Adapun tujuan pembuatan skripsi ini yaitu untuk memenuhi dan melengkapi
syarat-syarat mencapai gelar Sarjana/ Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum
Universitas Riau.
Skripsi ini penulis selesaikan dengan tidak terlepas dari bantuan dan
kemudahan yang diberikan oleh berbagai pihak, maka untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr, H. Ashaluddin Jalil. MS selaku rektor Universitas Riau.
2. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Riau
3. Ibu Gusliana HB, SH.,M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Riau
8
4. Bapak Dodi Haryono, SHI, SH., MH, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Riau, dan selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktu, tenaga
dan pemikiran dalam memberikan bimbingan kepada penulis untuk
menyelesaikan dan menyempurnakan skripsi saya ini.
5. Ibu Rika Lestari S.H., M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Riau.
6. Bapak Abdul Ghafur. S.Ag, selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu,
tenaga, pemikiran dalam memberikan bimbingan dan pengarahan yang intensif
bagi penulis dalam penyusunan tugas akhir ini.
7. Bapak Junaidi, SH., MH selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara yang telah
memberi masukan dalam penulisan skripsi saya ini.
8. Bapak Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau yang telah banyak
memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis menjalani
perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Riau.
9. Bapak dan Ibu dan staf Perpustakaan dan Tata Usaha Fakultas Hukum
Universitas Riau yang telah banyak memberikan bantuan dalam peminjaman
buku dan dalam hal mengurus administrasi yang berkaitan dengan perkuliahan
penulis.
10. Teristimewa buat Orang Tuaku tercinta, Bapak J. Simamora dan Ibu D. Br Purba
buat kasih sayang dan semua pengorbanan serta dukungannya, buat saudara-
9
saudaraku terkasih; Fransiskus Xaferius Simamora, Mayzerriono Simamora,
Brilliant Esye Lousiana Br.Simamora, Reinhard Syah Roni Tua Simamora,
Cecilia Yohana Putri Simamora, Bruder Yohannes buat segala Doa, dukungan
dan perhatiannya.
11. Terimakasih buat teman-teman penulis yang telah memberi dukungan: Aldo
Marbun, Yan Agus, Junedi SH, Romi Apuk, Riston, Gussix Parizon, Mawar
Verawati sihombing, Janter, Tumbur, Radit dan Leni yang selalu mengisi hari-
hari Penulis selama perkuliahan yang tidak bosan-bosannya memberikan
semangat dan perhatian kepada Penulis. Terima kasih atas kebersamaan kita
selama ini. Semoga persahabatan kita akan selalu abadi.
12. Untuk seluruh teman-teman FH angkatan ’07, khususnya Program kekhususan
HTN dan teman-teman seluruh Fakultas Hukum Universitas Riau yang tidak bisa
saya sebutkan namanya satu persatu. Terima kasih kepada semua pihak yang
tidak bisa disebutkan satu persatu atas dukungan dan bantuan yang diberikan,
semoga segala yang diberikan dapat memberikan manfaat dan mendapatkan
berkah dari Tuhan yang Maha Esa.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyempurnakan skripsi
ini namun karena pengetahuan dan pengalaman sangat terbatas, tentunya banyak
sekali kekurangan baik dalam penulisan maupun dalam susunan kata.
10
Dengan kerendahan hati Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang
sifatnya membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak. Amin.
Pekanbaru, 11 September 2011
Hormat Penulis,
JIMMY HARTONO. SIMAMORA
11
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN........................................................... i
LEMBAR PERBAIKAN SKRIPSI ............................................................ ii
BERITA ACARA UJIAN........................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ........................................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI..................................................... v
ABSTRAKSI .............................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ................................................................................ vii
DAFTAR ISI............................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan ......................................................... 1
B. Rumusan Permasalahan .................................................................. 16
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 16
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 17
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual.................................................. 17
1. Kerangka Teoritis........................................................................ 17
2. Kerangka Konseptual .................................................................. 43
F. Metode Penelitian............................................................................ 44
1. Jenis Penelitian............................................................................ 44
12
2. Metode dan Alat Pengumpul Bahan ........................................... 45
3. Teknik Analisis Bahan Hukum ................................................... 46
BAB II WEWENANG PEMBATALAN PERATURAN DAERAH
(PERDA) MENURUT PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA................. 47
A. Wewenang Pembatalan Peraturan Daerah oleh Pemerintah
melalui executif review .................................................................... 48
B. Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah oleh Mahkamah
Agung Melalui judicial review........................................................ 62
BAB III PERMASALAHAN HUKUM YANG TIMBUL
TERHADAP WEWENANG PEMBATALAN
PERATURAN DAERAH (PERDA) ........................................... 80
A. Adanya Disharmoni dan Tumpang Tindih Peraturan
Perundang-undangan....................................................................... 83
B. Ketidakjelasan Alasan Substansial Pembatalan
Peraturan Daerah............................................................................. 87
C. Penyimpangan Aspek Teknis Prosedur Pembatalan
Peraturan Daerah............................................................................ 93
BAB IV BENTUK IDEAL KEWENANGAN
PEMBATALAN PERATURAN DAERAH (PERDA) ............. 106
13
A. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang
Tumpang Tindih Antara Pemerintah dan Mahkamah Agung ......... 106
B. Kejelasan Alasan Substansial Pembatalan Peraturan Daerah ......... 110
C. Perbaikan Aspek Teknis Prosedur Pembatalan
Peraturan Daerah............................................................................. 116
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 121
B. Saran................................................................................................ 122
DAFTAR PUSTAKA
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia hukum merupakan faktor yang sangat penting dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara Indonesia. Hal ini jelas terlihat dari penjelasan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Pada pasal 1
ayat (3) yang menyatakan dengan tegas bahwa negara Indonesia adalah negara
hukum.1 Ketentuan ini merupakan pernyataan bahwa hukum akan sangat menentukan
dalam pelaksanaan kenegaraan dan segala sesuatunya senantiasa berdasarkan hukum.
Oleh Karena itu, dalam negara Indonesia yang memiliki cita hukum pancasila
sekaligus sebagai norma fundamental negara, maka hendaknya peraturan yang
hendak dibuat hendaknya diwarnai dan dialiri nilai-nilai yang terkandung dalam cita
hukum tersebut.2 Sehingga dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
dimuat ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan kebutuhan, keyakinan dan kesadaran
hukum masyarakat dan berakar pada nilai-nilai moral yang baik pula yang
diwujudkan dalam Pancasila.
1 Lihat penjelasan lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 19452 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun & Merancang
Peraturan Daerah ( Suatu Kajian Teoritis dan Praktis disertai Manual), Kencana, Jakarta: 2009, Hal.9
15
Salah satu aspek perubahan penting dan menarik untuk dikaji setelah jatuhnya
pemerintahan Presiden Soeharto (Pemerintahan Orde Baru) melalui reformasi 1998,
adalah perkembangan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hubungan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada masa orde baru yang bersifat sentralistik
mengalami perubahan Paradigmatik, ditandai dengan sifat hubungan yang
desentralistik dengan melimpahkan urusan daerah melalui otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab.3 Setelah Indonesia memasuki masa Reformasi pada 1998,
aspirasi mengenai otonomi daerah dan desentralisasi muncul melalui sidang MPR
1998 yang dituangkan dalam ketetapan MPR No. XV/ MPR/1998 tentang
penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumber
daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam
negara kesatuan republik indonesia.4 Artinya sejumlah wewenang pemerintahan
diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom, kecuali urusan
pemerintahan yang meliputi politik luar negeri, pertanahan, keamanan dan yustisi
yang tetap menjadi kewenangan pemerintah.5
Dalam rangka peyelenggaraan otonomi daerah dibentuklah Peraturan Daerah
sebagai suatu sarana yuridis untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah untuk
menampung kondisi khusus suatu daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan
3 Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta:2010, Hal.1
4 Ni’matul Huda, Ibid, Hal. 271-2725 A.A.Oka Mahendra,”Mekanisme Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah”:
(2006), Jurnal Legislasi Indonesia, Hal. 21
16
perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah dibuat untuk melaksanakan
otonomi atau tugas pembantuan (medebewind). Materi muatan Peraturan Daerah di
bidang tugas pembantuan ditentukan sesuai dengan jenis tugas pembantuan yang
menjadi urusan rumah tangga tugas pembantuan.6
Peraturan Daerah termasuk salah satu dari perundang-undangan di Indonesia
yang menjadi kewenangan daerah tersebut. Akan tetapi, pembentukan Peraturan
Daerah tidak dapat bersandarkan pada kewenangannya sendiri karena daerah berada
pada kuasa lingkungan hukum publik nasional. Dengan demikian, pembentukan
Peraturan Daerah meskipun memiliki kualifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan
dan kepentingan masyarakat daerahnya, tetapi juga memiliki sinkronisasi dan
harmonisasi dengan hukum nasionalnya.7
Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Pasal 1 angka 7 Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004, tentang pembentukan peraturan perundang-undangan).
Peraturan Daerah mendapatkan landasan Konstitusional dalam Konstitusi untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (6) UUD 1945)8. Dalam
6 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah hukum Tata Negara Indonesia,Alumni, Jakarta: 1997, Hal. 154
7 Ibid, Hal. 1978 Undang-undang Dasar Tahun 1945, Pasal 18 Ayat (6).
17
undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, Pasal 12 menentukan materi muatan
Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka:9
a) penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan;
b) menampung kondisi khusus daerah; serta
c) penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam praktiknya, pembentukan Peraturan Daerah cenderung mengabaikan
sistem hukum nasional dan menerapkan jenis dan bentuk materi muatan yang
berbeda-beda berdasarkan kebutuhan dan kepentingan daerah itu sendiri. Disamping
itu, pembentukan Peraturan Daerah tidak sesuai dengan tujuan, situasi dan kondisi
nasional, sehingga kadangkala menimbulkan pertentangan dengan ketentuan
diatasnya.10 Pemerintah Daerah memperlihatkan kecenderungan untuk membuat
Perda sebanyak-banyaknya tanpa mengindahkan rambu-rambu peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum yang cukup luas.
Hal ini tentunya bertolak belakang dengan ketentuan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang menegaskan mengenai Pembentukan Peraturan
Daerah yakni, Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.11
Pembentukan Perda harus terdapat kesesuaian bentuk atau jenis atau peraturan
9http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=13(terakhir kali dikunjungi tanggal 29 April 2011 pukul 15.00).
10 Hari Sabarno, Loc. Cit11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 145
18
perundang-undangan dengan materi yang diatur terutama dengan harmonisasi
peraturan yang tingkatnya lebih tinggi atau sederajat sebab ketidaksesuaian dapat
menjadi alasan untuk membatalkan Perda tersebut.
Di kala pembentukan Perda beberapa asas kiranya perlu diperhatikan, berikut
ini:12
1. Muatan perda mengcover hal ikhwal kekinian dan visioner ke depan (asas
positivisme dan perspektif);
2. Memperhatikan asas “lex specialis derogat legi generalis” (debijzondere wet gaat
voor de algemene wet), yakni ketentuan yang bersifat khusus menyampingkan
ketentuan yang bersifat umum.
3. Memperhatikan asas “lex superior derogat legi inferiori (de hogere wet gaat voor
de lagere wet), yakni ketentuan yang lebih tinggi derajatnya menyampingkan
ketentuan yang lebih rendah.
4. Memperhatikan asas “lex posterior derogate legi priori” (de laterewet gaat voor
de eerdere), yakni ketentuan yang kemudian menyampingkan ketentuan
terdahulu.
Mengingat Peraturan Daerah merupakan produk legislatif di daerah, maka
timbul persoalan dengan kewenangan untuk menguji dan membatalkannya terkait
lembaga manakah yang berwenang membatalkan Peraturan Daerah. Dalam peraturan
12http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&biw=1272&bih=523&q=kewenangan+lembaga++negara+dalam+membatalkan+perda&aq=f&aqi=&aql=&oq=&fp=2b0dd2da61f4fbd4 ( terakhirdikunjungi tanggal 29 April 2011 Pukul 15.00).
19
perundang-undangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan
Perda berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat antara
para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya.13
Berdasarkan Pasal 24 A ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang
menegaskan bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang,
dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang” dan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung pasal 31 yang bunyinya :
“ (1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan
dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan
permohonan langsung pada Mahkamah Agung.
(4) Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”
memberi wewenang kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk “Menguji
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang”. Dengan merujuk Pasal 7
13 http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d75ab0a2245a/kembalikan-wewenang-uji-materi-perda-ke-mahkamah-agung(terakhir kali dikunjungi tanggal 29 April 2011 Pukul 15.00).
20
UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(selanjutnya disingkat UU No 10 Tahun 2004) berarti peraturan perundang undangan
yang dapat diuji oleh MA adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau
Peraturan Daerah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
derajatnya, namun tidak termasuk terhadap Undang-Undang Dasar.14 Didalam
Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Perubahan atas
(UU No.4 tahun 2004) dalam Pasal 20 ayat (2) juga dinyatakan:
“ Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:
(1) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung;
(2) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap
undang-undang; dan
(3) Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.”
Kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung tersebut kemudian
dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan
oleh lembaga kehakiman.
Jika dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji suatu
Peraturan Daerah, baik Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, ataupun Peraturan Desa. Maka dapat dikatakan bahwa Mahkamah
14 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal. 7
21
Agung berwenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai isi dari suatu peraturan
daerah terhadap Undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi derajatnya, serta menilai kewenangan dari kekuasaan Pemerintah Daerah
dalam mengeluarkan suatu peraturan daerah yang mengatur hal tertentu. Apabila
Peraturan Daerah yang diujikan tersebut, isinya bertentangan dengan Undang-undang
atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, maka Mahkamah
Agung akan mengeluarkan Putusan bahwa Peraturan Daerah tidak sah dan tidak
berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera
melakukan pencabutannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU No. 48
tahun 2009 dan Pasal 6 ayat (2) Perma No.1 tahun 2004 yang bunyinya15:
“ (1) Dalam hal mahkamah agung berpendapat bahwa permohonan keberatan
itu beralasan, karena peraturan perundang-undangan tersebut
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-
undangan tingkat lebih tinggi, mahkamah agung mengabulkan
permohonan tersebut.
(2) Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan
perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak
sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi
yang bersangkutan segera pencabutannya.
(3) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan
keberatan itu tidak beralasan, Mahkamah Agung menolak permohonan
keberatan tersebut.”
15 http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d75ab0a2245a/kembalikan-wewenang-uji-materi-perda-ke-mahkamah-agung(terakhir kali dikunjungi pada tanggal 29 April 2011 Pukul 15.00)
22
Namun dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dijumpai adanya bentuk pengujian yang dilakukan dalam
konteks menjaga keberlakuan/penerapan Perda yang tidak bertentangan atau
harmonis dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga tidak
berbenturan atau kontradiktif dengan kepentingan umum dan kaedah-kaedah norma
umum yang berlaku di dalam masyarakat seperti norma kesusilaan, norma kesopanan
kemudian dikenal dengan executive review.
Alas hukum yang mengatur tentang uji materiil dan pembatalan Perda tersebut
diatur dalam Pasal 145 UU No.32 tahun 2004, yaitu sebagai berikut:
“ (1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari
setelah ditetapkan”
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan
dengan, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah”
(3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat
ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam
puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)”
(4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Daerah harus
memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD
bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud”
(5) Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota – tidak dapat menerima
keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat
23
dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-
undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada
Mahkamah Agung”
(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung
tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak
mempunyai kekuatan hukum”
(7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden
untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Perda dimaksud dinyatakan berlaku”
Pengujian Peraturan Daerah oleh Pemerintah justru karena Pemerintah Daerah
merupakan bagian dari Pemerintah (eksekutif) dimana Pemerintah Daerah berada di
bawah Pemerintah, dan juga ada di struktur Pemerintah. Jadi Pemerintah pun harus
mempunyai kewenangan membatalkan Perda yang dibuat oleh daerah. Berdasarkan
hal tersebut, maka Pemerintah Pusat diberi kewenangan untuk mengeluarkan
instrumentasi hukum guna membatalkan keberlakuan Perda yang bermasalah tersebut
melalui instrument hukum berupa Peraturan Presiden.
Sejak berlakunya UU No.32 Tahun 2004 hingga 9 oktober 2006 produk
hukum daerah yang dibatalkan oleh pemerintah sebanyak 215 buah yang terdiri dari
204 Perda dan 11 Keputusan Kepala Daerah.16 Adapun contoh Perda yang dibatalkan
oleh Pemerintah melalui executive review yakni :
16 Ni’matul Huda, Op.Cit, Hal. 219
24
1) Perda Kota Pekan No. 09 Tahun 2000 Tentang Perizinan Usaha Perikanan
karena bertentangan dengan dengan UU No. 18 Tahun 1997 dan PP No. 65
Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah.17
2) Perda Kabupaten Pelalawan No. 12 Tahun 2003 Tentang Retribusi
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja karena bertentangan dengan UU
No.18 Tahun 1997 dan PP No. 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah.18
Selama kurun waktu tersebut produk hukum daerah yang diajukan ke
Mahkamah Agung untuk dilakukan pengujian secara materiil berjumlah 28
permohonan dan Pendaftaran Perda yang dibatalkan dan diajukan gugatan judicial
review di Mahlamah Agung selama tahun 2003-2004 berjumlah 6 buah Perda yang
terdiri dari 5 Perda dan 1 Keputusan kepala daerah.19 Adapun contoh Perda yang
dibatalkan oleh Pemerintah melalui Judcial review yakni :
1) Perda Kab. Tebo No. 12 Tahun 2001 Tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan dengan No. Registrasi 09.G/Hum/2003 yang diajukan oleh Nanang
Joko Prinantoro.
2) Perda Kab. Nias No.6 Tahun 2002 Tentang Pembentukan 5 Kecamatan di
Kabupaten Nias dengan No. Registrasi 06.G/Hum/2002 yang diajukan oleh
Fill’ard Bawamenewi
17 Ibid, Hal. 22818 Ibid, Hal. 23519 Ibid, Hal.266-267
25
Hal ini menimbulkan ketidakjelasan mengenai lembaga yang berwenang
untuk menguji materil serta membatalkan suatu peraturan daerah. Ketidakjelasan ini
juga menimbulkan polemik dikalangan para pakar maupun praktisi, sehingga tidak
terdapat kesatuan pendapat dalam menjawab pertanyaan mengenai lembaga mana
yang berhak untuk menguji materil dan membatalkan suatu Peraturan Daerah.
Dimana kewenangan pembatalan Peraturan Daerah yang diperbolehkan oleh dua
lembaga baik secara executive review maupun judicial review justru berpotensi
menimbulkan konflik kepentingan. Dasar pemikiran Indonesia adalah Negara
kesatuan (unitary state), sehingga dinilai rasional apabila pemerintahan pusat sebagai
pemerintahan atasan diberi kewenangan untuk mengendalikan sistem hukum
dilingkungan pemerintahan daerah20 dinilai bertolak belakang dengan kewenangan
yang juga ada pada Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan jika kewenangan untuk
menguji peraturan daerah diberikan kepada Mahkamah Agung, berarti Peraturan
Daerah mutlak hanya dilihat sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan
yang berada dibawah undang-undang.
Karena itu, terlepas dari kenyataan bahwa Peraturan Daerah tersebut juga
merupakan produk “legislatif acts”, tetapi berdasarkan ketentuan pasal 24A ayat (1)
UUD 1945, pengujiannya atasnya mutlak hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah
Agung.21 Dan hal ini tentunya berimplikasi pada akibat hukum yang timbul dimana
20 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, Hal. 6721 Ibid, Hal. 76
26
Perda yang dinyatakan berlaku oleh Pemerintah sewaktu-waktu dapat saja dibatalkan
oleh adanya putusan dari Mahkamah Agung. Pada Pasal 145 ayat (6) UU No. 32
tahun 2004 juga disebutkan “Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut
menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.” Hal ini tentunya menguatkan kedudukan dari Mahkamah Agung dimana
judicial review dipandang lebih kuat dibandingkan kedudukan executive review yang
dipegang Pemerintah karena putusan lembaga peradilan ini sewaktu-waktu dapat saja
mengubah Peraturan Presiden yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal
kewenangan Pemerintah Pusat dalam meng- executive review suatu Perda yang
bermasalah.
Kemudian dalam Pasal 185 diatur kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk
mengevaluasi Rancangan Perda tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang
APBD, Perubahan APBD dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD. Apabila
hasil evaluasi menyatakan Ranperda dan rancangan Peraturan Gubernur tersebut
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi tidak ditindakalanjuti oleh gubernur dan DPRD, dan tetap ditetapkan
menjadi Perda, maka Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan Perda dan Peraturan
Gubernur tersebut.22 Hal ini senada dengan pendapat Pakar Hukum Tata Negara Prof.
Sri Somentri menjelaskan “ada berbagai macam cara pembatalan Perda karena ada
22 Ni’matul Huda, Op.Cit. Hal. 15-16.
27
beberapa pihak yang mempunyai hak uji terhadap Perda. “Hak uji dilakukan bukan
hanya oleh MA, tapi juga oleh pemerintah. Ada yang oleh Presiden, ada yang oleh
Menteri Dalam Negeri”.23 Namun Peraturan Daerah tidak dapat dibatalkan oleh
keputusan Menteri, karena kedudukannya berada langsung dibawah hierarki
Peraturan Presiden.24
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketidakjelasan
mengenai pembagian kewenangan dalam membatalkan Perda lembaga kekuasaan
negara berdasarkan hukum tata negara yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian yang berkaitan dengan pembatalan Perda dalam sistem peraturan
perundang-undangan di Indonesia, dengan judul: TINJAUAN YURIDIS
WEWENANG PEMBATALAN PERATURAN DAERAH (PERDA)
BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU
DI INDONESIA”
23 http://basisme1484.wordpress.com/2009/12/03/problematika-hukum-hak-uji-materiil-dan-formil-peraturan-daerah/(terakhir dikunjungi pada tanggal 7 Juni 2011 Pukul 20.00)
24 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, Hal. 70
28
B. Rumusan Masalah
Dari Uraian yang dikemukakan di atas, maka dapat kiranya penulis
merumuskan apa yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimanakah wewenang pembatalan Peraturan Daerah (PERDA) menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ?
2. Apa permasalahan hukum yang timbul terhadap wewenang pembatalan
peraturan daerah (PERDA) tersebut ?
3. Bagaimana bentuk ideal wewenang pembatalan peraturan daerah (PERDA)
berdasarkan permasalahan yang timbul tersebut ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan penulisan ini, maka yang menjadi tujuan
penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (PERDA)
Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2. Untuk mengetahui permasalahan yang timbul terhadap wewenang pembatalan
peraturan daerah (PERDA) tersebut.
3. Untuk mengetahui bentuk ideal kewenangan pembatalan peraturan daerah
(PERDA) berdasarkan permasalahan yang timbul tersebut.
29
D. Manfaat Penelitian
Merujuk pada penulisan diatas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk dapat
memberikan manfaat, antara lain :
1. Sebagai sumbangan pemikiran penulis terhadap almamater dalam bentuk
karya ilmiah di bidang Hukum Tata Negara (HTN) yang berkenaan dengan
penelitian penulis.
2. Untuk memenuhi persyaratan dalam menempuh ujian Sarjana Hukum.
3. Sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya, khususnya dalam
permasalahan penelitian yang sama.
4. Sebagai sumbangan pemikiran penulis guna menjadi bahan kolektif
perpustakaan Universitas Riau.
E. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual.
1. Kerangka Teoritis.
Berkenaan dengan mekanisme kewenangan pembatalan Perda oleh lembaga
Negara, ada beberapa pendapat yang memberikan penjelasan mengenai yang
berkaitan dengan pembatalan Perda adalah sebagai berikut :
a. Teori Negara Hukum
Konsep negara hukum selanjutnya berkembang dalam dua sistem hukum
yaitu sistem Eropa Kontinental dengan istilah Rechtsstaat dan sistem Anglo Saxon
30
dengan istilah Rule of Law.25 Adapun pengertian Negara hukum belum terdapat
kesamaan pendapat antara para sarjana, berikut penjelasan dua tipe pokok Negara
Hukum tersebut yaitu:
1) Type Eropa Kontinental, tipe ini berkembang di negara Eropa daratan seperti
Jerman, Belanda, Perancis, Belgia, Skandinavia, juga Amerika latin dan beberapa
negara di Asia yang pernah dijajah oleh negara yang menganut tipe negara hukum
ini.26 Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga
sifatnya revolusioner, dan bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil
law.27 Pada tipe ini yang diutamakan adalah kedaulatan hukum (rechtsouvereiniteit)
yang berintikan rechtstaat (Negara hukum).28
Pertumbuhan negara hukum terjadi menjelang abad XX yang ditandai dengan
lahirnya konsep negara hukum modern (walfare state), dimana tugas negara sebagai
penjaga malam dan keamanan mulai berubah. Tokoh-tokoh yang mengembangkan
tipe Eropa Kontinental ini ialah Immanuel Kant, Paul Laband, Frederich Julius Stahl,
Fichte dan lain- lain.29 Menurut Frederich Julius Stahl, dalam karya ilmiahnya yang
berjudul “Philosopie des Rechts”, yang diterbitkan pada tahun 1878. Stahl hanya
25 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial SebagaiLembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen, PrestasiPustaka, Jakarta: 2007 hal. 29.
26 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo, Jakarta: 2001, hal.67.
27 Ni’matul Huda, Op.Cit, hal. 74.28 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Di Indonesia Untuk
Perguruan Tinggi, Sinar Grafika, Jakarta: 2009, hal.12529 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT
Bhuana Ilmu Populer, Jakarta: 2007, hal. 304
31
memperhatikan unsur formalnya saja dan mengabaikan unsur materialnya, dengan
mengemukakan unsur-unsur utamanya sebagai berikut:
a) Mengakui dan melindungi hak asasi manusia (gorendrechten).
b) Untuk melindungi hak asasi manusia, maka penyelenggaraan negara
haruslah berdasarkan teori atau konsep trias politica (scheiding van
machten).
c) Dalam melaksanakan tugasnya pemerintah dibatasi dengan undang-undang
(wet matighiet van het bestuur).
d) Apabila dalam melaksanakan tugas pemerintah masih melanggar hak asasi,
maka ada pengadilan administrasi yang mengadilinya (adminitratif
rechtspraak).30
2) Type Anglo Saxon yang kemudian dikenal dengan sebutan “Anglo Amerika”,
mulai berkembang di Inggris pada abad XI yang sering disebut dengan sistem
“Common Law” atau disebut juga “Rule of Law”. Dalam perkembangannya tipe
negara hukum ini dianut oleh Inggris, serta di negara-negara Amerika Utara dan
beberapa negara Asia yang termasuk negara persemakmuran Inggris dan Australia,
selain di Amerika Serikat sendiri.31 Konsep negara hukum Anglo-Saxon di pelopori
oleh A.V Dicey yang merupakan seorang pemikir terkenal dari Inggris. Dalam
Bukunya A.V Divey mengemukakan ada 3 unsur utama Rule of Law yang berjudul
30 Hasan Zaini, Pengantar Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1974, hlm. 155.31 R. Abdoel Djamali, Op.Cit, hal. 69.
32
“Introduction To Study of Law of The Constitution”, adapun 3 unsur-unsur tersebut
sebagai berikut:32
a. Supremacy of law, yang memiliki kekuasaan tertinggi di dalam suatu
negara adalah hukum (kedaulatan hukum).
b. Equality before the law, kesamaan kedudukan di muka hukum untuk semua
warga negara, baik selaku pribadi maupun status sebagai pejabat negara.
c. Constitution based on individual right, konstitusi tidak merupakan sumber
dari hak asasi manusia dan jika hak asasi manusia itu diletakkan dalam
konstitusi, maka hal itu hanyalah sebagai penegasan bahwa hak asasi
manusia itu harus dilindungi.
Dalam sejarah modern, gagasan negara hukum itu sendiri dibangun dengan
mengembangkan perangkat hukum sebagai sistem yang fungsional dan berkeadilan,
dengan menata supra dan infrastruktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang
tertib dan teratur, serta membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan
impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu,
sistem hukum perlu dibangun (Law Making) dan ditegakkan (Law Enforcing)
sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai dasar.33
Meskipun dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan,
ide negara hukum itu tidak dirumusakan secara eksplisit, tetapi dalam penjelasan
32 Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta,cetakan pertama, 1999, hal. 24.
33 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hal. 298.
33
ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide Rechtsstaat, bukan machtsstaat. Dalam
konstitusi RIS tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan.
Demikian pula dalam UUDS tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah
negara hukum dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam perubahan ke-3
tahun 2001 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,
ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang
berbunyi “bahwa Indonesia adalah negara hukum”.34
Ditegaskannya Indonesia sebagai negara hukum menimbulkan konsekuensi
kepada negara untuk tidak boleh melaksanakan aktivitasnya atas dasar kekuasaan
belaka, tetapi harus berdasarkan hukum. Artinya Negara Republik Indonesia
meletakkan hukum pada kedudukan yang tertinggi sekaligus sebagai prinsip dasar
yang mengatur penyelenggaraan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.35
b. Teori Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan adalah setiap keputusan yang tertulis oleh
pejabat yang berwenang dalam kekuasaan legislatif berdasarkan wewenang atribusi
atau delegasi yang muatannya berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat
secara umum.36
34 Ibid, hal. 311.35 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi, Memahami Keberadaannya
Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta: 2006, hal.136 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Op.Cit, hal. 57
34
Yang dimaksud dengan peraturan perundangan adalah semua peraturan yang
mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama
pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua keputusan
badan atau pejabat tata usaha Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah
yang juga bersifat mengikat secara umum.37
Dalam perkembangan ditengah masyarakat banyak terjadi salah arti istilah-
istilah, yang diantaranya peraturan perundang-undangan, Undang-undang dan hukum.
Ketiga istilah tersebut meskipun mirip, sebetulnya mempunyai arti yang berbeda.
Undang-Undang merupakan salah satu bagian dari peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan terdiri dari Undang-Undang dan peraturan
perundangan lainnya, seperti Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan presiden,
Peraturan daerah.38
Perlu juga dicermati pemaknaan Undang-Undang secara materil (wet in
materiele zin) maupun Undang-Undang secara formil (wet in formele zin). Dalam arti
materil, Undang-Undang adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat
yang berwenang dan berisi aturan tingkah laku yang bersifat umum. Dan dalam arti
formil, Undang-Undang adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara
37 Dodi Haryono, Buku Ajar Ilmu perundang-undangan, Pusbangdik, Pekanbaru: 2009, hal.10.
38 Ibid. hal. 9
35
pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang berisi aturan tingkah laku dan
bersifat atau mengikat secara umum.39
Dengan penjelasan diatas sehingga dapat diketahui beberapa ciri-ciri peraturan
perundang-undangan sebagai berikut:40
a. Peraturan perundang-undangan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai
bentuk atau format tertentu.
b. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, baik
ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.
c. Peraturan perundang-undangan tersebut berisi aturan pola tingkah laku.
Jadi, peraturan perundang-undangan bersifat mengatur.
d. Peraturan perundang-undangan mengikat secara umum, tidak ditujukan
kepada seseorang atau individu tertentu.
e. Peraturan perundang-undangan berlaku secara terus menerus, sampai
diubah, dicabut atau digantikan dengan peraturan perundang-undangan
yang baru.
Selain itu, didalam peraturan perundang-undangan di Indonesia juga dikenal
adanya hirarki peraturan perundang-undangan. Hirarki adalah penjenjangan setiap
jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
39 Ibid40 Ibid. hal. 11.
36
perundang-undangan yang lebih tinggi.41 Secara teoritik, berkaiatan dengan hiraki
norma hukum dapat dicari dari teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dan Hans
Nawiasky. Hans kelsen mengemukakan teori jenjang norma yang sering dikenal
dengan stufentheori.42 Menurutnya norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih
rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang
lebih tinggi tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi
lagi, demikian seterusnya samapai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih
lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yang disebut dengan norma dasar
(Grundnorm).43
Jenis dan hiraki peraturan perundang-undangan berdasarkan ketetapan MPRS
No XX/ MPRS / 1966 adalah sebagai berikut:44
“ 1) Undang-Undang Dasar
2) Ketetapan MPR
3) Undang-Undang/ Perpu
4) Perturan Pemerintah
5) Keputusan Presiden
6) Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti Peraturan Mentri,Instruksi
Mentri, dan lain-lain.”
41 Penjelasan pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.42 Dodi Haryono, op.cit, hal. 17.43 Ibid.44 Ibid, hal. 37.
37
Adapun jenis dan hirarki peratuan perundang-undangan berdasarkan ketetapan
MPR No. III/MPR/2000, adalah sebagai berikut:45
“1) Undang-Undang Dasar dan perubahan UUD
2) Ketetapan MPR
3) Undang-Undang
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
5) Peraturan Pemerintah (PP)
6) Keputusan Presiden (Kepres); dan
7)Peraturan Daerah”
Sejak MPR tidak lagi mempunyai kewenangan untuk menetapkan GBHN
yang mana MPR bukan lagi lembaga negara yang berhak atas tugas dan wewenang
untuk membentuk peraturan perundang-undangan berupa ketetapan MPR maka
ketentuan tentang hirarki perundang-undangan diatas dicabut dan digantikan oleh UU
Nomor 10 tahun 2004. Menurut pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 meyebutkan tentang
jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:46
“1) UUD 1945
2) Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang
3) Peraturan Pemerintah
4) Peraturan Presiden
5) Peraturan Daerah yang meliputi :
a) Peraturan daerah Provinsi
b) Peraturan daerah kabupaten/kota
c) Peraturan desa
45 Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta: 2005, hal. 3546 Ibid, hal. 36
38
Di samping aturan mengenai jenis dan hiraki perundang-undangan perlu juga
diperhatikan asas-asas dari pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
sebagai pedoman dan rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik. Didalam pasal 5 Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan (UUP3) disebutkan asas-asas dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, antara lain:47
1. Asas kejelasan tujuan
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai
tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
2. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat
Setiap jenis pembentukan peraturan perundang-undangan harus dibuat
oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang
berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum bila dibuat oleh pejabat/lembaga yang tidak berwenang.
3. Asas kesesuaian antar jenis dengan materi muatan
Didalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memerhatikan muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-
undangannya.
47 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Op.Cit, hal. 36-37
39
4. Asas dapat dilaksanakan
Setiap peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas
peraturan perundang-undangan tersebut didalam masyarakat, baik secara
filosofis, yuridis maupun sosiologis.
5. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan
Setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
6. Asas kejelasan rumusan
Setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata
atau terminology, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti,
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
7. Asas keterbukaan
Didalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari
perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan
dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
40
c. Teori Toetsingsrecht
Apabila diartikan kata perkata tanpa mengaitkan dengan sistem hukum tertentu,
Toetsingsrecht berarti hak menguji, sedangkan judicial review berarti peninjauan oleh
lembaga pengadilan sehingga pada dasarnya, kedua istilah tersebut mengandung arti
yang sama, yaitu kewenangan untuk menguji atau meninjau.48 Perbedaannya adalah
dalam istilah judicial review sudah secara spesifik ditentukan bahwa kewenangan
tersebut dimiliki oleh pelaksana lembaga pengadilan, yaitu hakim.
Secara teoritis maupun praktek, dikenal ada dua macam hak uji, yaitu hak uji
formil (formele toetsingsrecht) dan hak uji materil (materiele toetsingsrecht).49
1) Hak Uji Formil (Formele Toetsingsrecht)
Hak menguji formiil adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk
legislatif seperti undang-undang, misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure)
sebagaimana telah ditentukan/ diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku ataukah tidak.50 Menurut Jimly Asshiddiqie, Pengujian formal biasanya
terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi
institusi yang membuatnya.51 Dalam hal ini hakim dapat membatalkan suatu
48 Fatmawati, Hak Menguji (Teotsingsrecht) Yang Dimilki Hakim Dalam Sistem HukumIndonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006, hal. 5
49 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta:2005, hal. 73.
50 Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung: 1997, hal. 151 Fatmawati, Loc.cit.
41
peraturan bila proses penetapannya tidak mengikuti prosedur pembentukan peraturan
yang resmi. Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang ditetapkan oleh
lembaga yang tidak memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.52
2) Hak Uji Materil (Materiele Toetsingsrecht)
Hak uji materil (materiele toetsingsrecht) adalah suatu wewenang untuk
menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.53
Berdasarkan definisi di atas, hak uji materil berkaitan dengan isi atau substansi
dari suatu undang-undang dilihat dari isinya. Apabila bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar, maka Undang-Undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai
daya pengikat.54
Berdasarkan arti dari hak menguji formal dan hak menguji material tersebut,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:55
a. Hak menguji (toetsingsrecht) merupakan kewenangan untuk menilai
peraturan perundang-undangan terhadap UUD.
b. Hak menguji (toetsingsrecht) terhadap peraturan perundang-undangan
tidak hanya dimiliki oleh hakim, tapi juga oleh lembaga Negara lain
52 Lodewijk Gultom, Eksistensi Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan diIndonesia, CV. Utomo, Bandung: 2007, hal. 127
53 Sri Soemantri, op.cit., hal. 11.54 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari Op. Cit, hal. 11255 Fatmawati, op, cit., hal. 7
42
yang diberikan kewenangan tersebut berdasarkan peraturan perundang-
undangan. Selaian hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki hakim,
juga terdapat hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki legislatif dan
hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki oleh eksekutif.
Selain dari hak menguji (toetsingsrecht) ini, juga dikenal adanya judicial
review yang menurut Jimly Asshiddiqie merupakan upaya pengujian oleh lembaga
judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif,
eksekutif, atau judikatif dalam rangka penerapan prinsip checks and balances
berdasarkan system pemisahan kekuasaan negara (separation of power).56
Terkait dengan masalah kebutuhan, keberadaan judicial review sangat
dibutuhkan baik secara yuridis, politis maupun pragmatis.57 Secara yuridis hal ini
sesuai dengan teori Stufenbau Des Rech (stufentheorie) hasil pemikiran Hans Kelsen.
Teori ini menyatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih
rendah berlaku, bersumber, dan beradasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang
lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,
56 Ibid. hal. 9.57 Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajudin Memahami Keberadaan Mahkmah
Konstitusi di Indonesia, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2004, hal. 24.
43
demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut
dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).58
Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu
berdasar dan bersumber pada norma di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu
juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya.59
Teori ini sesuai dengan apa yang menjadi prinsip dasar hukum, yaitu: “Lex Superior
Derogate Lex Inferior”, yang bermakna bahwa norma yang paling tinggi
mempengaruhi norma yang ada dibawahnya, atau dapat juga dikatakan bahwa norma
yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan norma yang ada di atasnya.
Oleh karena itu, suatu Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar.
Secara politis, kebutuhan akan judicial review sangat diperlukan agar visi dan
misi serta materi muatan suatu Undang-Undang tidak bertentangan dengan undang-
undang dasar, karena pada hakekatnya suatu undang-undang dibuat untuk
melaksanakan Undang-Undang dasar. Secara pragmatis, kebutuhan terhadap judicial
review ini diperlukan untuk mencegah praktek penyelengaraan pemerintahan Negara
yang tidak sesuai atau menyimpang dari Undang-Undang Dasar.60
58 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar dan Pembentukannya,Kanisius, Yogyakarta: 2006, hal. 25.
59 Ibid. hal. 26. Pendapat Hans Kelsen ini berdasarkan teori Adolf Merkl, salah seorangmuridnya yang mengemukakan bahwa norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (des DoppelteRechtsantlitz).
60 Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajudin, Op.Cit., hal. 24.
44
d. Teori Pemisahan Kekuasaan
Kekuasan merupakan adanya suatu hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak
yang memerintah dan ada pihak lain yang diperintah (the ruler and the ruled).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan
hukum yang oleh Henc Van Marseveen disebut sebagai “blote macht” dan kekuasaan
yang berkaitan dengan hukum yang oleh Max Weber disebut sebagai wewenang
rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum yang
dapat dipahami sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui dan dipatuhi oleh masyarakat
dan bahkan yang diperkuat oleh negara.61
Kekuasaan juga merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar negara
dalam keadaan bergerak (de staat in beweging), sehingga negara itu dapat berkiprah,
bekerja, berkapasitas, berprestasi dan berkinerja melayani warganya, oleh karena itu
negara harus diberi kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, kekuasaan adalah:
“Kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi
tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikan rupa sehingga tingkah laku itu
menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau negara”.62
Pentingnya pemisahan kekuasaan dalam suatu negara berarti pula adanya
batas-batas terhadap penggunaan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan meliputi:
Pertama, jangka waktu kekuasaan itu dilakukan; Kedua, perincian daripada
61 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam SistemKetatanegaraan RI, Citra Aditya Bakti, Bandung:2006, Hal. 207-208.
62 Ibid.
45
kekuasaan yang diberikan kepada setiap lembaga negara; Ketiga, seleksi pejabat
publik yang berarti oleh rakyat; Keempat, pelaksanaan pemerintahan oleh pejabat
publik yang diseleksi dengan cara yang menunjukkan tanggung jawab terhadap
keinginan rakyat.63
Gagasan pemisahan kekuasaan negara mendapat dasar pijakan dari pemikiran
John Locke dan Montesquieu.
1) John Locke
Locke dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government” mengusulkan
agar kekuasaan di dalam negara dibagi-bagi kepada organ-organ yang berbeda.
Menurut John Locke, agar pemerintah tidak sewenang-wenang harus ada pembedaan
pemegang kekuasaan negara ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu :64
(a) kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat Undang-undang);
(b) kekuasaan eksekutif (kekuasaan melaksanakan Undang-undang);
(c) kekuasaan federatif (kekuasaan melakukan hubungan diplomatik
dengan negara-negara lain).
Locke meletakkan kekuasaan pembentuk undang-undang (legislatif) sebagai
kekuasaan tertinggi (supreme power)65 dan cenderung menyerahkan kekuasaan
pembentuk undang-undang kepada dewan atau mejelis. Kekuasaan pembentuk
63 Abdul Rasyid Thalib, op.cit., hal.34.64 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op. Cit., hal. 18.65 Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press,
Yogyakarta: 2001, hal. 32.
46
undang-undang perlu dipisahkan dengan kekuasaan pelaksana undang-undang.
Kekuasaan pelaksana adakalanya memerlukan paksaan, sehingga diperlukan adanya
kekuasaan untuk melaksanakannya secara tetap. Maka seyogianya kedua kekuasaan
itu tidak berada di satu tangan.66
Untuk kekuasaan federatif, kekuasaan ini bertugas untuk menyatakan perang
atau melaksanakan perdamaian dengan negara lain, ataupun mengadakan perjanjian
kerja sama sejauh menyangkut keharmonisan dan kebaikan lembaga antarnegara.
Hubungan ini biasa disebut hubungan diplomatik.67
2) Montesquieu
Melalui bukunya “I’espirit des lois” (The Spirit of Law), Montesquieu
menawarkan alternatif yang agak berbeda dari yang ditawarkan John Locke.
Montesquieu mengembangkan lebih jauh ajaran John Locke dengan menawarkan
konsepsi monarki konstitusional, dimana kekuasaan absolut dicegah dan menawarkan
konsep pemisahan kekuasaan.
Montesquieu berpendapat agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu
orang/ satu organ lembaga, maka diadakan pemisahan kekuasaan pemerintahan
menjadi tiga jenis, dan kekuasaan pemerintahan negara itu harus didistibusikan
66 Ibid., hal. 33.67 Ibid.
47
kepada beberapa organ/ lembaga negara, dan satu organ/ lembaga hanya memiliki
satu kekuasaan saja, kekuasaan-kekuasaan itu adalah:68
(a) kekuasaan legislatif/ pembentuk undang-undang, dilaksanakan oleh suatu
badan perwakilan (parlemen);
(b) kekuasaan eksekutif/ pelaksana undang-undang, dilaksanakan oleh
pemerintah (presiden atau raja dengan bantuan menteri-menteri atau
kabinet);
(c) kekuasaan yudikatif/ peradilan atau kehakiman untuk menegakkan
perundang-undangan apabila terjadi pelanggaran, dilaksanakan oleh
badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan bawahannya).
Kedudukan ketiga kekuasaan di atas seimbang, yang satu tidak lebih tinggi
daripada yang lain.69 Hal ini berbeda dengan John Locke yang menempatkan
legislatif lebih tinggi. Ketiga poros kekuasaan terpisah satu sama lain, baik mengenai
organ maupun fungsinya. Immanuel Kant memberi nama ajaran Montesquieu ini
dengan “Trias Politica”.
Perkembangan doktrin Trias Poitica diawal abad ke-20 bagi negara
berkembang dalam bentuk “pemisahan kekuasaan” pada umumnya sulit diterapkan.
Pada negara berkembang, negara dituntut ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan
seluruh rakyat, sehingga fungsi negara sudah melebihi tiga fungsi yang disebutkan
Montesquieu.70 Perkembangan pokok-pokok kenegaraan yang sedemikian rupa
68 Rahimullah, Hubungan Antar Lembaganegara Versi Amandemen UUD 1945, PT.Gramedia, Jakarta: 2007, hal. 3.
69 Sobirin Malian, op.cit., hal. 18.70 Ibid., hal. 51.
48
mengakibatkan penafsiran doktrin Trias Politica bergeser menjadi Division of Power
(pembagian kekuasaan). Menurut teori Trias Politica, baik dalam pengertian
pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang
adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan
badan eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi
secara wajar demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi
manusia.
Dalam rangka gagasan Trias Politica dengan sistem check and balances,
pengujian konstitusional mempunyai arti lebih memperkuat lagi kedudukan lembaga
peradilan sebagai jabatan yang bebas dari pengaruh jabatan eksekutif dan legislatif.71
Melalui asas kebebasan yudikatif, diharapkan putusan yang tidak memihak dan
semata-mata berpedoman kepada norma-norma hukum dan keadilan serta nurani
hakim dapat diwujudkan. Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan
kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan
untuk menangani dan menyelesaikan konflik yang terjadi dalam kehidupan suatu
negara.72
71 Ibid.72 Ibid., hal. 46.
49
e. Teori Pemerintahan Daerah.
Pemerintah daerah adalah satu kesatuan dalam mata rantai organisasi
pemerintah yang bertanggung melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan Negara
dalam territorial daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus sebagian urusan
pemerintahan negara serta urusan rumah tangga sendiri.73 Pemerintah daerah adalah
gubernur, bupati atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintah daerah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahanan, pemerintah
daerah diawasi oleh DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan derah didasarkan pada 3 asas pemerintah daerah,
yaitu :
1. Desentralisasi
Istilah desentralisasi berasal dari bahas latin “de” berarti lepas dan “centrum”
yang artinya pusat. Desentralisasi adalah lawan kata dari sentralisasi, karena
pemakaian kata “de” dimaksudkan untuk menolak kata sebelumnya, jadi
desentralisasi adalah penyerahan segala urusan, baik pengaturan dalam arti
pembuatan peraturan perundang-undangan, maupun penyelenggaraan pemerintahan
itu sendiri, dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah, untuk selanjutnya
menjadi urusan rumah tangga pemerintah daerah tersebut. 74Berdasarkan asal
perkataannya, desentralisasi adalah melepaskan dari pusat. Irawan soejito
73 Supardan Modeong, Teknik Perundang-undangan, PT. Perca, Jakarta : 2005, hal. 8674 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta: 1994, hal.78.
50
mengartikan desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak
lain untuk dilaksanakan.75
Inti desentralisasi pemerintah daerah bahwa penyelenggaraan pemerintahan
daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Dengan demikian, pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten dan kota dapat mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal
18 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 19 ayat (2) UU No.32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan daerah.76
2. Dekosentrasi
Dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada gubernur, sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu. 77 Asas dekosentrasi adalah asas pelimpahan wewenang pemerintahan yang
sebenarnya kewenangannya itu ada ditangan pemerintah pusat, yakni menyangkut
penetapan strategi kebijakan dan pencapaian program kegiatannya, diberikan kepada
gubernur atau instansi vertikal di daerah sesuai arahan kebijaksanaan umum dari
75 Ni’matul Huda, Op.Cit, Hlm. 30776 Ibid, hal.98.77 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta:
2008, hal. 6
51
pemerintah pusat, sedangkan sektor pembiayaannya tetap dilaksanakan leh
pemerintah pusat.78
Ketentuan dasar hukum asas dekosentrasi terdapat pada pasal 4 ayat (1) UUD
1945 yang menyatakan : Presiden republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-undang dasar. Kekuasaan pemerintahan ini disebut
wewenang pemerintahan umum, meliputi segenap tindakan dan kegiatan
pemerintahan dalam rangka mensejahterakan rakyat yang adil berdasarkan pancasila
yang merupakan tujuan nasional dan menjadi tugas pokok pemerintahan pusat.
3. Pembantuan
Tugas Pembantuan adalah asas untuk turut sertanya Pemerintah Daerah
bertugas dalam melaksanakan urusan Pemerintah Pusat yang ditugaskan kepada
Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya
dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.79
Menurut Bayu Suningrat, bahwa tugas pembantuan tidak beralih menjadi
urusan yang diberi tugas, tetapi tetap merupakan urusan pusat atau Pemerintah tingkat
atasnya yang memberi tugas. Pemerintah dibawahnya sebagai penerima tugas
bertanggung jawab kepada yang member tugas dan turut serta dalam melaksanakan
urusan pemerintahan yang bersangkutan. Tugas pembantuan tidak diberikan kepada
78 Ibid, hal.7-879 Inu Kencana Syafiie, Op.Cit, hal. 104
52
pejabat pemerintahan yang ada didaerah, melainkan kepada Pemerintah Daerah,
karenanya bukanlah suatu dekosentrasi, tetapi bukan pula suatu desentralisasi karena
urusan pemerintahan yang diserahkan tidak menjadi urusan rumah tangga daerah.80
Dalam menjalankan medebewind, urusan yang dilaksanakan oleh pemerintah
daerah masih tetap merupakan urusan pusat atau daerah yang lebih tinggi
tingkatannya, dan tidak beralih menjadi urusan rumah tangga daerah, sepanjang
masih berstatus medebewind.81
Arah Pemberian tugas pembantuan menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 :82
1. Pemerintah Pusat dapat memberikan tugas pembantuan kepada daerah
(Provinsi, Kabupaten/Kota) dan Desa.
2. Pemerintah Provinsi dapat memberikan tugas pembantuan kepada
Kabupaten/Kota dan Desa.
3. Kabupaten dapat member tugas pembantuan kepada Desa, sedangkan
Kota dapat memberikan tugas pembantuan kepada desa apabila diwilayah
kota terdapat desa.
80 Sadu Wastiono, Etin Indrayani dan Andi Pitono, Memahami Tugas Pembantuan(Pandangan Legalistik, Teoretik dan Implementatif), Fokusmedia, Bandung: 2006, hal.
81 Ibid82 Ibid, hal. 19.
53
2. Kerangka Konseptual
Untuk memperoleh kesamaan pengertian serta untuk menghindari pengertian
yang multitafsir dalam penelitian ini, maka penulis memandang perlu menjelaskan
konsep yang digunakan dalam penelitian mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap
Pembatalan PERDA dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu :
a. Tinjauan yuridis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa hukum
untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya83.
b. Yuridis adalah menurut hukum atau secara hukum.84
c. Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan untuk
membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab
kepada orang lain.85
d. Pembatalan adalah mengakui atau menyatakan tidak sah.
e. Peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk
oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.86
f. Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk
oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara
umum.87
83 Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan, Balai Pustaka. hal.1198.84 Ibid. hal. 1278.85 Ibid, hal. 127286 Ibid87 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
54
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian/ Pendekatan
Jenis penelitian/ pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah penelitian
hukum normatif yaitu penelitian hukum kepustakaan,88 karena menjadikan bahan
kepustakaan sebagai tumpuan utama. Dalam penelitian hukum normatif ini penulis
melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum yang bertitik tolak dari bidang-
bidang tata hukum tertentu, dengan cara mengadakan identifikasi terlebih dahulu
terhadap kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan di dalam perundang-undangan
tertentu.89
Dalam konsep normatif, hukum adalah norma, baik yang diidentikkan dengan
keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum) ataupun norma yang telah
terwujud sebagai perintah yang eksplisit dan yang secara positif telah terumus jelas
(ius constitutum ) untuk menjamin kepastiannya, dan juga berupa norma-norma yang
merupakan produk dari seorang hakim (judgements) pada waktu hakim memutuskan
suatu perkara dengan memperhatikan terwujudnya kemanfaatan dan kemaslahatan
bagi para pihak yang berperkara.90
88 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT.Raja Grafindo Jakarta: 2003, hal. 23.
89 Ibid. hal. 15.90 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta: 1996, hal. 33.
55
2. Metode dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum
Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah melalui studi
kepustakaan/ studi dokumen, sehingga penelitian ini disebut penelitian hukum
normatif (legal research ), sehingga data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder yang dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
a. Bahan Hukum Primer, yakni bahan-bahan ilmu hukum yang berhubungan erat
dengan permasalahan yang diteliti, yaitu :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
6) PERMA Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materil
b. Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan atau membahas lebih hal-hal yang telah diteliti pada bahan-bahan
hukum primer yaitu :
1) Buku mengenai Undang-undang Dasar, pendapat-pendapat yang relevan
dengan masalah yang diteliti serta data tertulis yang terkait dengan
penelitian.
56
2) Berbagai makalah, jurnal, surat kabar, majalah, dokumen dan data-data
dari internet yang berkaitan dengan penelitian.
c. Bahan Hukum Tertier, yakni bahan-bahan yang memberikan penjelasan
terhadap bahan-bahan hukum Primer dan Sekunder, yakni Kamus Besar Bahasa
Indonesia dan Kamus Hukum.
3. Teknik Analis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini analisis yang dilakukan adalah analisis kualitatif
merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang
dinyatakan secara tertulis.91 Selanjutnya, penulis menarik suatu kesimpulan secara
deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kepada hal-hal
yang bersifat khusus. Dimana dalam mendapatkan suatu kesimpulan dimulai dengan
melihat faktor-faktor yang nyata dan diakhiri dengan penarikan suatu kesimpulan
yang juga merupakan fakta dimana kedua fakta tersebut dijembatani oleh teori-teori.92
91 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta:1983, hlm 32.92 Aslim Rasyad, Metode Ilmiah; Persiapan Bagi Peneliti, UNRI Press, Pekanbaru: 2005, hal.
20.
57
BAB II
WEWENANG PEMBATALAN PERATURAN DAERAH (PERDA)
MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI
INDONESIA
Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan untuk
membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang
lain. Wewenang pembatalan Perda adalah kekuasaan bertindak yang diberikan oleh
undang-undang kepada suatu lembaga Negara dalam rangka pengawasan Peraturan
Daerah yang kontradiksi dengan sistem hukum nasional. Peraturan Daerah yang
dibatalkan sebelumnya telah menjalani proses pengujian terlebih dahulu.
Akan tetapi pada wewenang pengujian Perda terdapat perdebatan karena tidak
adanya kesatuan pandangan dan dapat ditempuh melalui beberapa upaya baik
melalui executif review oleh Pemerintah Pusat maupun melalui judicial review oleh
MA. Selain itu terdapat pula perdebatan mengenai wewenang Menteri Dalam Negeri
membatalkan Peraturan Daerah.
Berikut akan diuraikan wewenang masing-masing lembaga Negara tersebut
dalam membatalkan Peraturan Daerah.
58
A. Wewenang Pembatalan Peraturan Daerah oleh Pemerintah melalui
Executif Review.
I. Pemerintah Pusat
Dengan banyaknya Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah baik karena
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, bertentangan dengan ketertiban
umum, menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan memberatkan masyarakat di daerah
serta timbul kebijakan yang bersifat diskriminatif, sebagai sistem instrumen hukum
Negara telah ditentukan mekanisme untuk menyelesaikan konflik peraturan atau
konflik yang ditimbulkan dari suatu peraturan. Mekanisme penyelesaian konflik
peraturan dilakukan melalui pengujian peraturan perundang-undangan. Peraturan
Daerah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dapat diuji oleh Pemerintah.
Mekanisme pembatalan Perda itu sendiri adalah bahwa jika Perda yang
diserahkan kepada Pemerintah tersebut bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Perda tersebut
dibatalkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) paling lama 60
(enam puluh) hari sejak diterimanya Perda tersebut. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah
Perpres tentang keputusan pembatalan Perda tersebut, Kepala Daerah harus
memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah
59
mencabut Perda dimaksud.93 Hal ini sesuai dengan asas contrarius actus dimana
asas ini bermakna bahwa pejabat yang mengeluarkan suatu keputusan, berwenang
pula mencabutnya atau dengan kata lain, yang berhak mencabut adalah
pembentuknya itu sendiri dan tidak dapat dilakukan oleh peraturan atau lembaga yang
lebih rendah.
Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota tidak menerima keputusan pembatalan
Perda tersebut dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-
undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
Apabila keberatan yang diajukan oleh Kepala Daerah tersebut dikabulkan sebagian
atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden
menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika Pemerintah tidak
mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perpres sebagaimana
dimaksud, maka Perda dimaksud kembali berlaku.94
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka diketahui bahwa salah satu tahapan
dalam pembentukan Perda adalah bahwa setiap Peraturan Daerah yang telah
ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRD
wajib disampaikan kepada Pemerintah, dalam hal ini melalui Menteri Dalam Negeri,
93 Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah94http://saepudinonline.wordpress.com/2010/07/12/penyelenggaraan-otonomi-dan-legislasi-
daerah-menurut-uu-32-tahun-2004-tentang-pemerintahan-daerah/ (terakhir kali dikunjungi tanggal 4juli 2011 pukul 20.00).
60
paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan, untuk dapat dilakukan penilaian,
sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004. Apabila Perda
tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah, sebagaimana diatur
dalam ayat (2) Pasal tersebut dan Pengujian Perda oleh Pemerintah merupakan sarana
kontrol agar tidak terjadi masalah di masyarakat nantinya.
Executive Review (pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan
oleh pemerintah pusat) terhadap suatu Peraturan Daerah, apabila secara murni
mengacu pada ketentuan normatif hukum pada Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah, bukanlah menjadi suatu permasalahan, dikarenakan
Pemerintah Daerah merupakan bagian dari Pemerintah Pusat atau berada dibawah
Pemerintah Pusat. Sehingga, Pemerintah Pusat juga mempunyai kewenangan untuk
menguji dan membatalkan peraturan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah.
Pengujian terhadap suatu Perda yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat adalah dalam
rangka pengawasan dan pembinaan terhadap Pemerintahan Daerah. Jika Pemerintah
Daerah bersama-sama DPRD menetapkan suatu Perda, maka Pemerintah Daerah
wajib menyerahkan Perda tersebut kepada Pemerintah Pusat untuk di evaluasi. Jika
hasil evaluasi Pemerintah mendapatkan bukti bahwa Perda tersebut bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah membatalkan Perda tersebut dan untuk
61
selanjutnya diserahkan kembali ke Pemerintah Daerah bersangkutan agar bersama-
sama DPRD mencabut Perda dimaksud. Selanjutnya, Jika Pemerintah Daerah tidak
menyepakati pembatalan Perda yang dilakukan oleh Pemerintah, maka Pemerintah
Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana yang
dimaksud pada Pasal 145 Ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004.
Selanjutnya, pada ketentuan Ayat (6), apabila keberatan tersebut dikabulkan
sebagian atau seluruhnya, maka putusan Mahkamah Agung menyatakan Peraturan
Presiden yang membatalkan Perda bersangkutan menjadi batal dan tidak mempunyai
kekuatan hukum. Dengan menggunakan metode interpretasi argumentum a contrario
terhadap Pasal 145 Ayat (6) tersebut, maka ditemukan bahwa Peraturan Presiden
yang membatalkan tentang suatu Perda dinyatakan tetap berlaku dan mempunyai
kekuatan hukum apabila Mahkamah Agung menolak keberatan dari Pemerintah
Daerah. Artinya, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, Mahkamah Agung tidak
membatalkan suatu Perda, melainkan yang membatalkan Perda adalah Pemerintah
Pusat dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden. Yang dibatalkan oleh Mahkamah
Agung menurut ketentuan UU tersebut hanyalah Peraturan Presiden apabila
permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemerintah Daerah di kabulkan oleh MA.
Namun demikian, memang jika ditelusuri ketentuan normatif dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijumpai adanya 2
bentuk “pengujian” yang diistilahkan dalam frase pengawasan yakni pengawasan
62
represif dan preventif. Dimana Pengawasan preventif dilakukan dalam konteks
menjaga keberlakuan/penerapan Perda yang tidak bertentangan atau harmonis dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga tidak berbenturan atau
kontradiktif dengan kepentingan umum dan kaedah-kaedah norma umum yang
berlaku di dalam masyarakat seperti norma kesusilaan, norma kesopanan.
Dalam sistem pengawasan represif membawa konsekuensi berlakunya
Perda-perda yang kemungkinan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
dan kepentingan umum, sebelum adanya pembatalan dari pemerintah pusat. Juga
terbuka kemungkinan bahwa Pemerintah Daerah tidak mengirimkan Perda ke
Pemerintah Pusat. 95
Berdasarkan hal tersebut, maka Pemerintah Pusat diberi kewenangan untuk
mengeluarkan instrumentasi hukum guna membatalkan keberlakuan Perda yang
bermasalah tersebut dimana menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, instrument yang dimaksud adalah Peraturan Presiden.
95 Ni’matul Huda, Op.Cit, Hal. 321
63
II. Menteri Dalam Negeri
Timbul juga perdebatan bahwa apakah Menteri Dalam Negeri berwenang
melakukan pengujian (executive review) terhadap suatu Peraturan Daerah. Namun
sebelum membahasnya, terlebih dahulu perlulah di bedakan antara executif review
dan executive preview. Executive review adalah pengujian yang dilakukan pemerintah
eksekutif terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku. Dalam hal
pengawasannya, executive review biasa juga di sebut sebagai pengawasan represif.
Sedangkan, executive preview adalah pengujian yang dilakukan oleh pemerintah
eksekutif terhadap rancangan peraturan perundang-undangan. Jadi, dalam hal
executive preview, yang menjadi bahan pengujian adalah rancangan peraturan
perundang-undangan yang belum diberlakukan atau belum di undangkan. Executive
preview ini biasa juga di sebut sebagai pengawasan preventif.
Selama ini pada prakteknya, kabanyakan Peraturan Daerah yang telah di uji
oleh Pemerintah Departemen Dalam Negeri, Ketetapan pembatalannya dilakukan
dengan instrumen Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri). Dengan
mengacu pada instrumen hukum tentang pengujian dan pembatalan suatu Perda yang
dilakukan oleh pemerintah (executive review), maka Pasal 145 Ayat (3) UU Nomor
32 Tahun 2004 dengan tegas menyatakan bahwa keputusan pembatalan Perda di
tetapkan dengan Peraturan Presiden. Jika mengacu pada instrument hukum tersebut,
maka sebenarnya tidak ada kewenangan atributif Mendagri mengeluarkan suatu
64
keputusan untuk menetapkan pembatalan perda, melainkan secara tegas yang
berwenang membatalkan suatu perda ialah Presiden dengan Peraturan Presidennya.
Jika Presiden mendelegasikan kewenangannya kepada Mendagri untuk membatalkan
suatu Perda, maka Presiden sebenarnya telah menyalahi kewenangan atributifnya
yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 145 Ayat (3) UU.96
Adapun kewenangan Mendagri mengeluarkan keputusan pembatalan suatu
Perda, dikarenakan Pemeritah Daerah tidak menindak lanjuti hasil evaluasi dari
Pemerintah dalam rangka pengawasan preventif dan tetap memberlakukan Perda
dimaksud, sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 185 Ayat (5) UU Pemerintahan
Daerah. Disinilah sebenarnya letak kewenangan atributif Mendagri dalam melakukan
pembatalan suatu Perda dan pengujian Rancangan Perda (executive preview) atau
biasa juga di sebut pengawasan preventif. Namun, kewenangan Mendagri tersebut
dalam hal pengawasan preventif secara langsung hanya terbatas pada tingkatan
Provinsi semata, dan selanjutnya pada tingkatan Kabupaten/Kota, pengawasan
preventif Mendagri bersifat tidak langsung, karena yang menjalankan secara langsung
adalah Gubernur. Hal ini dapat terlihat pada Pasal 185 dan Pasal 186 UU a quo.
Dalam Pasal 185 dinyatakan bahwa, rancangan Perda provinsi tentang APBD dan
rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD setelah hasil dari evaluasi
Menteri Dalam Negeri yang menyatakan bahwa rancangan Perda dan rancangan
Pergub tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-
96 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 145 Ayat (3)
65
undangan yang lebih tinggi, maka Gubernur Bersama DPRD melakukan
penyempurnaan paling lama tujuh hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.
Apabila hasil evaluasi tidak di tindak lanjuti, dan Gubernur tetap menetapkan
rancangan perda dan rancangan Pergub tersebut, maka Menteri Dalam Negeri
membatalkan Perda dan Pergub dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu
APBD tahun lalu. Dari sini terlihat jelas bahwa Menteri Dalam Negeri melakukan
pengawasan preventif terhadap rancangan Perda Provinsi (pengawasan secara
langsung).
Sedangkan dalam Pasal 186 dinyatakan bahwa rancangan Perda
kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang
penjabaran APBD setelah hasil dari evaluasi Gubernur yang menyatakan bahwa
rancangan Peraturan Daerah dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tersebut
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, maka Bupati/Walikota Bersama DPRD melakukan penyempurnaan
paling lama tujuh hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil
evaluasi tidak di tindak lanjuti, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan
perda dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota, maka Gubernur membatalkan
Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakan
berlakunya pagu APBD tahun lalu. Selanjutnya, Pasal 186 Ayat (6) beserta
penjelasannya dinyatakan bahwa Gubernur menyampaikan hasil evaluasi rancangan
66
Perda Kabupaten/Kota tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota
tentang penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri yang untuk selanjutnya di
tindak lanjuti. Akan tetapi, tidak ada petunjuk jelas mengenai proses
penindaklanjutan hasil evaluasi Gubernur yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri
sehingga tampak samar bagaimana metode pengawasan yang dilakukan oleh
Mendagri terhadap rancangan Perda kabupaten/kota. Dari penjelasan Pasal 186 Ayat
(6) tersebut, terlihat jelas bahwa yang melakukan pengawasan preventif secara
langsung adalah Gubernur, sementara Menteri Dalam Negeri hanya melakukan
pengawasan preventif secara tidak langsung terhadap rancangan Perda
kabupaten/kota.
Selanjutnya, pengawasan preventif oleh Pemerintah baik Mendagri untuk
tingkat provinsi maupun Gubernur untuk tingkat Kabupaten/Kota, tidak hanya
terbatas pada Rancangan Perda APBD beserta penjabarannya. Pengawasan preventif
juga berlaku pada proses penetapan Rancangan Perda yang berkaitan dengan Pajak
Daerah, Retribusi Daerah, dan Tata Ruang Daerah. Sebagaimana yang dimaksud
Pasal 189 UU No.32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Proses penetapan Rancangan
Perda yang berkaitan dengan pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah
menjadi perda, berlaku Pasal 185 dan Pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak
daerah dan retribusi daerah dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri
Keuangan, dan untuk tata ruang daerah dikoordinasikan dengan Menteri yang
67
membidangi urusan tata ruang. Dengan berlakunya Pasal 189 tersebut, maka
ketentuan Pasal 5A dan Pasal 25A UU Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, menjadi tidak berlaku.97
Dalam prakteknya, berdasarkan data hasil klarifikasi/evaluasi Perda yang
dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri, diketahui bahwa Perda yang telah
dibatalkan oleh Pemerintah Pusat sepanjang tahun 2007 adalah 151 Perda dan
sepanjang tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 tercatat ada 175 perkara hak uji
materil. Hal yang senada juga dapat dilihat dari daftar keputusan Menteri Dalam
Negeri tentang Pembatalan Perda, terdapat 284 Perda yang dibatalkan oleh
Pemerintah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri. Lebih lanjut, terdapat
pembedaan pengujian Perda secara preventif dan represif. “Ada empat Perda yang
diuji secara preventif : Perda Pajak, Retribusi, Tata ruang dan APBD. Kalau tidak ada
masalah, dia diberlakukan. Yang lainnya represif, jadi berlaku dulu, kalau
bertentangan, baru dicabut.
Menurut beberapa pakar hukum, pembatalan Perda oleh Mendagri tidak tepat
dan menimbulkan kekeliruan hukum. Meskipun demikian, namun kenyataan di
lapangan sampai sekarang masih terjadi pembatalan Perda oleh Mendagri melalui
97 http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=68003490816&topic=12308 (terakhir kalidikunjungi tanggal 4 juli 2011 pukul 22.00).
68
Kepmendagri. “Excecutive review (terhadap Perda) oleh Depdagri, tapi
pembatalannya harus lewat Perpres karena Depdagri berdasarkan UU No 10 Tahun
2004 sudah tidak bisa mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Tidak bisa
sebuah Perda dibatalkan oleh Kepmendagri. Itu tidak boleh lagi karena Dengan
demikian, Keputusan Mendagri yang membatalkan Perda dinilai cacat hukum.
”Implikasi hukumnya, daerah atau kabupaten bisa saja tidak menuruti itu
(pembatalan).
B. Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah oleh Mahkamah Agung Melalui
Judicial Review
“Judicial Review” (Hak Uji Materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan
untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh
ekesekutif, legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian
oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislatif acts) dan cabang
kekuasaan eksekutif (executif acts) adalah konsekensi dari dianutnya prinsip ‘checks
and balances’ berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power).
Karena itu kewenangan untuk melakukan ‘judicial review’ itu melekat pada fungsi
hakim sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian tidak dilakukan
oleh hakim, tetapi oleh lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu tidak dapat
69
disebut sebagai ‘judicial review’, melainkan ‘legislatif review’.98 Pertimbangan untuk
memberikan kewenangan ini pada pengadilan adalah sangat sederhana, karena
pengadilan memang berfungsi untuk menafsirkan hukum dan untuk menerapkannnya
dalam kasus-kasus.
Pengujian atau ‘review’ oleh hakim itu dapat dilakukan secara institutional atau
formal dan dapat pula dilakukan secara prosesual atau substansial. Suatu peraturan
sebagai institusi dapat dimohonkan pengujian kepada hakim, dan hakim dapat
menyidangkan perkara ‘judicial review’ itu dalam persidangan yang tersendiri.
Dalam hal demikian, dapat dikatakan bahwa pengujian materiel itu dilakukan secara
institusional, dimana peraturan yang bersangkutan secara keseluruhan dapat
dinyatakan tidak berlaku lagi secara hukum. Tetapi, Pengujian juga dapat dilakukan
oleh hakim secara tidak langsung dalam setiap proses acara di pengadilan. Dalam
mengadili sesuatu perkara apa saja, hakim dapat saja atau berwenang
mengesampingkan berlakunya sesuatu peraturan atau tidak memberlakukan sesuatu
peraturan tertentu, baik seluruhnya (totalitas) ataupun sebagiannya. Mekanisme
demikian ini dapat pula disebut sebagai ‘judicial review’ yang bersifat prosessual,
atau ‘judicial review’ yang bersifat substansial.
Objek yang diuji oleh hakim dapat berupa produk hukum yang ditetapkan oleh
lembaga legislatif (legislatif acts) dan dapat pula berupa produk eksekutif (executif
98 http://www.leip.or.id/ (terakhir kali dikunjungi tanggal 5 juli 2011 pukul 21.00).
70
acts). Produk legislatif (legislatif acts) biasanya disebut undang-undang, wet atau
law, tergantung bahasa yang digunakan di masing-masing negara. Disebut produk
legislatif karena memang dalam proses pembuatannya terlibat peran parlemen.
Kalaupun, produk legislatif tersebut tidak dilakukan sepenuhnya oleh parlemen,
setidaknya produk dimaksud ditetapkan oleh pemerintah bersama-sama parlemen.
Tindakan atau kebijakan pemerintahan yang merugikan atau menimbulkan
ketidakadilan dengan sendirinya dapat diuji oleh hakim, dan proses pengujian itu
disebut sebagai Judicial Review.
Pengujian judicial itu sendiri dapat bersifat formil atau materil (formele
toetsingsrecht en materiele toetsingsrecht). Pengujian formil biasanya terkait dengan
soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang
membuatnya. Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan
tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan.
Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh
lembaga yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.
Sedangkan Pengujian materiel berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi
suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut
kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-
norma yang berlaku umum.
71
Dasar permohonan yang dikenal dengan istilah pengujian aspek materil apabila
dikaitkan dengan pengujian Peraturan Daerah, maka landasan bagi Mahkamah Agung
untuk menguji Peraturan Daerah terhadap undang-undang, adalah materi muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian dari isi Peraturan Daerah. Sedangkan pada bagian kedua,
dikenal dengan istilah pengujian aspek formil, yang dalam Pasal 31 ayat (2) Undang-
undang Nomor 5 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14
Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung, ditegaskan pula bahwa “Mahkamah Agung
menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas
alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.”99
Sehingga dapat dismpulkan ukuran yang dijadikan Mahkamah Agung dalam
menguji Perda adalah menjawab pertanyaan, apakah suatu Perda :
a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
dan/atau
b. pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, yang Mahkamah Agung adalah lembaga pelaksana hak menguji materil
maka hak menguji materil merupakan hak yang dipunyai oleh Mahkamah Agung
99http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=13(terakhir kali dikunjungi tanggal 27 juni 2011 pukul 19.00)
72
untuk menilai peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, apakah
peraturan tersebut bertentangan atau tidak dengan peraturan yang ada diatasnya,
dalam hal isinya, serta menentukan lembaga mana yang harus mencabut peraturan
yang dinyatakan tidak sah tersebut, sehingga secara administratif peraturan
perundangan itu tidak dapat dipakai lagi sebagai landasan hukum.100
Judicial review, dapat diartikan sebagai berikut :
1. judicial review merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam kasus
kongkret di pengadilan.
2. judicial review merupakan kewenangan hakim untuk menilai apakah legislative
acts, executive acts, dan administrative acts bertentangan atau tidak dengan
Undang-Undang Dasar (tidak hanya menilai peraturan perundang-undangan).
Defenisi dari suatu istilah sangat tergantung dari sistem hukum yang dianut
oleh negara yang bersangkutan. Definisi judicial review dipakai pada negara yang
menganut common law system. Istilah judicial review juga digunakan dalam
membahas tentang pengujian pada negara yang menganut civil law system, seperti
yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu judicial review, merupakan upaya
pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang
kekuasaan negara legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif dalam rangka penerapan
prinsip checks and balances berdasarkan system pemisahan kekuasaan negara
100 Samsul Wahidin, Hak Menguji Materil menurut UUD 1945, Jakarta, Cendana Press, 1984,Hal. 7
73
(separation of power).101 Pedoman hukum yang dipakai untuk melakukan pengujian
tersebut oleh hakim adalah norma hukum yang lebih tinggi, atau sekurang-kurangnya
norma hukum yang setingkat terutama apabila pengujian yang dilakukan bersifat
formil.
Pada umumnya beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan untuk pengajuan
judicial review adalah sebagai berikut :
1. Bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi
2. Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang untuk mengeluarkan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
3. Adanya kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan.
4. Terdapat perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan.
5. Terdapat ambiguitas atau keragu-raguan dalam penerapan suatu dasar hukum
yang perlu diklarifikasi.
Untuk mengetahui mengenai hak menguji yang dimiliki Mahkamah Agung
terhadap suatu perda, maka akan diuraikan mengenai hal ini berdasarkan peraturan
yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang Dasar RI
Tahun 1945, Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, serta peraturan yang terkait dengan Mahkamah Agung yang
101 http://cornerhukum.wordpress.com/2010/03/24/hak-menguji-material/ (Terakhir kalidikunjungi pada tanggal 1 juli 2011 pukul. 10.30)
74
diatur dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
dan Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung jo Undang-
undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Dalam UUD 1945 pada Pasal 24 A ayat (1) dinyatakan bahwa “Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-undang”.102
Ketentuan daripada UUD 1945 tersebut, juga diatur dalam Undang-undang
Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No.48 tahun 2009) pada
Pasal 20 ayat (2) yang mengemukakan bahwa:
Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:
“1. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan padatingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yangberada di bawah Mahkamah Agung;
2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undangterhadap undang-undang; dan
3. Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.”
Berdasarkan hal tersebut, maka kewenangan Mahkamah Agung yang diatur
dalam Pasal 20 ayat (2) UU No.48 tahun 2009 adalah sebagai berikut Mahkamah
Agung mempunyai kewenangan menguji Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, Peraturan
Desa/peraturan yang setingkat, serta peraturan perundang-undangan yang diakui
102 Penjelasan UUD 1945 Pasal 24A ayat (1)
75
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi terhadap Undang-undang.
Lebih lanjut pada Pasal 20 ayat (3) UU No.48 tahun 2009 dinyatakan bahwa
“Pernyataan tidak berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diambil baik dalam pemeriksaan
tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah
Agung”.
Dari ketentuan Undang-undang Dasar dan Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman tersebut, diketahui bahwa kewenangan menguji peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang adalah kewenangan
Mahkamah Agung. Mengenai maksud dari peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-undang, dapat dilihat dalam UU No.10 tahun 2004, pada Pasal 7 ayat (1) dan
ayat (2).
Dari hal tersebut di atas, maka Mahkamah Agung tidak berwenang untuk
menguji, hal-hal yang disebutkan dibawah ini:
1. Suatu Undang-undang bertentangan dengan Undang-undang Dasar;
2. Suatu peraturan perundang-undangan telah dibuat sesuai dengan/menurut cara
yang ditetapkan oleh Undang-undang Dasar;
3. Suatu peraturan perundang-undangan bermanfaat/berguna dan dapat
dipertanggungjawabkan.
76
Maksud dari peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang adalah
semua peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dari
pada Undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No.10 tahun 2004. Jadi
dari hal ini, diketahui bahwa salah satu peraturan perundang-undangan yang dapat
diuji oleh Mahkamah Agung adalah Peraturan Daerah, baik Peraturan Daerah
Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, ataupun Peraturan Desa.
Menurut pakar hukum Sri Soemantri, lembaga yang berwenang untuk
melakukan hak menguji material ini adalah Mahkamah Agung, karena beberapa
pertimbangan yaitu:
1. Ditinjau dari pengangkatan anggota-anggotanya di Mahkamah Agung, faktor
politik tidak boleh memberikan peranan yang lebih menonjol. Ini berarti
pengangkatan tersebut harus dititik beratkan pada keahlian dan pengalaman
dalam bidang hukum.
2. Pertimbangan efisiensi, sehingga tidak perlu memperbanyak jumlah lembaga
negara yang ada, kecuali apabila diperlukan sekali. Penambahan jumlah
lembaga negara akan berakibat pada bertamabahnya pengeluaran dan fasilitas.
3. Oleh karena yang dapat diuji itu Undang-undang dan aturanaturan lainnya
yang lebih rendah, maka harus dikurangi adanya pengaruh dari lembaga-
lemabaga yang dapat menimbulkan bermacam-macam kesulitan.103
103 Sri Sumantri, Op.Cit, hal. 6.
77
Mengenai tata cara pelaksanaan wewenang Mahkamah Agung untuk menguji
suatu peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan di atas, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1
tahun 2004 tentang Hak Uji Materil. Jika melihat Perma No.1 tahun 2004 pada Pasal
1 c yang mengemukakan “Permohonan keberatan adalah suatu permohonan yang
berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang
diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi
yang diajukan ke MA untuk mendapatkan putusan”. Diketahui bahwa kewenangan
Mahkamah Agung dalam mengajukan uji materiil suatu peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-undang adalah dengan cara pengajuan permohonan
keberatan.
Untuk lebih jelasnya mengenai permohonan keberatan yang dimaksud dalam
Pasal 1 c Perma No.1 Tahun 2004 tersebut di atas, terdapat dalam Pasal 2 Perma
tersebut yang menyatakan:104
“ayat 1 : Permohonan keberatan diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara :
a. Langsung ke Mahkamah Agung; atau
b. Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum
tempat kedudukan Pemohon.
ayat 2 : Permohonan keberatan diajukan terhadap suatu peraturan perundang-
undangan yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-
undangan tingkat lebih tinggi.
104 Perma No.1 Tahun 2004 Pasal 2
78
ayat 3 : Permohonan keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus
delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan”
Dari ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa permohonan keberatan dapat
diajukan langsung ke Mahkamah Agung atau melalui Pengadilan Negeri yang
membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon. Permohonan keberatan
diajukan karena adanya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga
bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi dalam
tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam menjalankan kewenangannya itu,
Mahkamah Agung bersifat pasif. Permohonan keberatan yaitu suatu permohonan
sekelompok masyarakat atau perorangan yang berisi keberatan terhadap berlakunya
suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan tingkat lebih tinggi diajukan ke Mahkamah Agung baik secara
langsung ke Mahkamah Agung maupun melalui Pengadilan Negeri yang membawahi
wilayah hukum tempat kedudukan pemohon untuk mendapatkan putusan.
Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan
karena peraturan perundang-undangan yang dimaksud bertentangan dengan Undang-
undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, maka
Mahkamah Agung akan mengabulkan gugatan atau permohonan keberatan tersebut.
Dalam putusan yang mengabulkan Permohonan keberatan tersebut akan dinyatakan
79
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Perma No.1 tahun 2004 yaitu “Mahkamah
Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang
dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku dan tidak berlaku
untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera
pencabutannya.”
Akan tetapi dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan atau
permohonan keberatan itu tidak beralasan, maka Mahkamah Agung menolak gugatan
atau permohonan keberatan tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat
(3) Perma No.1 Tahun 2004.
Isi putusan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud akan dikirimkan
kepada Pemohon keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Perma No.1 tahun
2004 yang menyatakan bahwa “Pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung
terhadap permohonan keberatan disampaikan dengan menyerahkan atau mengirimkan
salinan putusan Mahkamah Agung dengan surat tercatat kepada para pihak dan dalam
hal diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, penyerahan atau pengiriman atau
salinan putusan Mahkamah Agung disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang
mengirim”.
80
Mengenai pelaksanaan putusan permohonan keberatan hak uji materil oleh
Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 8 Perma No. l Tahun 2004 yaitu :
“ayat 1 : Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan dalam Berita
Negara dan dipublikasikan atas biaya Negara.
ayat 2 : Dalam hal 90 (sembilan puluh) hari putusan Mahkamah Agung tersebut
dikirim kepada Badan atau penjabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata penjabat
yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai
kekuatan hukum.”
Terhadap putusan mengenai permohonan keberatan hak uji materil tersebut di
atas tidak dapat diajukan peninjauan kembali, hal ini sesuai dengan Pasal 9 Perma
No.1 Tahun 2004. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa putusan Mahkamah
Agung tentang Uji Materil mempunyai kekuatan hukum yang bersifat final dan
mengikat, selain itu juga terhadap badan atau pejabat yang bersangkutan dalam
perkara Uji Materil ini tidak melaksanakan kewajibannya dalam waktu 90 hari, maka
dengan sendirinya atas nama hukum, peraturan perundang-undangan tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka diketahui bahwa kewenangan
menguji suatu peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap
Undang-undang adalah kewenangan Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 20 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009.
81
Mengenai kewenangan MA yang satu ini, berakibat bahwa apabila suatu peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Agung
bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi derajatnya, maka peraturan perundang-undangan tersebut dapat dinyatakan
tidak berlaku oleh Mahkamah Agung, sebagaimana maksud dari Pasal 20 ayat (3) UU
No.4 Tahun 2009.
Jika dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji suatu
peraturan daerah, baik Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, ataupun Peraturan
Desa. Maka dapat dikatakan bahwa MA berwenang untuk menyelidiki dan kemudian
menilai isi dari suatu peraturan daerah terhadap Undang-undang atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, serta menilai kewenangan dari
kekuasaan Pemerintah Daerah dalam mengeluarkan suatu Perda yang mengatur hal
tertentu. Apabila Perda yang diujikan tersebut, isinya bertentangan dengan Undang-
undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, maka MA
akan mengeluarkan Putusan bahwa Perda tidak sah dan tidak berlaku untuk umum,
serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera melakukan
pencabutannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) UU No.48 Tahun 2009
dan Pasal 6 ayat (2) Perma No.1 Tahun 2004.
Salah satu isu penting dan mendasar dalam pembahasan mengenai kedudukan
lembaga pelaksanaan kekuasaan kehakiman ini adalah adanya soal kemandirian
82
(independensi). Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan salah satu prinsip
penting dalam negara demokrasi. Kemandirian kekuasaan kehakiman juga merupakan
salah satu syarat dan ciri penting dalam negara hukum, selain adanya asas legalitas
yang artinya pemerintah harus bertindak berdasarkan semata-mata hukum yang
berlaku, adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia, dan pemerintahan
berdasarkan sistem konstitusi dan hukum dasar.105 Dengan adanya kemandirian
kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan lainnya, badan atau lembaga
pelaksananya diharapkan dapat melakukan kontrol hukum terhadap kekuasaan negara
lainnya. Di samping itu, sebagai antisipasi kecenderungan penyalahgunaan
wewenang atau kekuasaan. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman
terutama dari kekuasaan pemerintah akan membuka peluang terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak asasi manusia oleh penguasa. Sebab
kekuasaan kehakiman secara konstitusional memiliki wewenang untuk menjalankan
fungsi kontrol terhadap kekuasaan pemerintah.
105 Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,Gramedia, Jakarta: 1991, hal. 298-301.
83
Bagan Prosedur Mekanisme Pembatalan Peraturan Daerah Oleh MA dan
Pemerintah 106:
106 Yance Arizona, Disparitas Pengujian Peraturan Daerah: “Suatu Tinjauan Normatif”,Desember 2007, www.legalitas.org, (terakhir kali dikunjungi tanggal 20 juli 2011 Pukul 23.00)
Perbedaan Pengujian Perdaantara Mahkamah Agung
dengan PemerintahKategori
Mahkamah Agung Pemerintah
Jenis Review Judicial Review Executive Review
Bentuk review Permohonan keberatan Pengawasan preventif terhadap olehpemerintah pusat terhadapRANPERDA yang bermuatan APBD,pajak dan retribusi daerah serta tataruang.
1. Pengawasan represif terhadapPERDA dari pemerintah pusatterhadap daerah dalampelaksanaan otonomi daerah.
Lembaga yang melakukanreview
Mahkamah Agung
Departemen Dalam Negeri dibantudengan:
a. Departemen Keuanganb. Departemen PUc. Departemen Hukum dan HAM
84
Sifat kewenangan lembagayang melakukan review
Pasif=> menunggudatangnya permohonan daripemohon
Aktif=> melakukan pengawasan,evaluasi terhadap seluruh perda yangdikeluarkan (pengawasan represif)
Kapasitas lembaga
Menyelesaikan sengketaperaturan perundang-undangan yang timbuldibawah undang-undangterhadap undang-undang(konflik norma)
Dalam rangka pengawasan danpembinaan terhadap pemerintah daerah
Dasar hukum kewenanganpengujian
a. Pasal 24A ayat (1) UUD1945
b. Pasal 11 ayat (2) huruf bUU No. 4/2004 tentangKekuasaan Kehakiman
c. Pasal 31 ayat (1) sampaiayat (5) UU No. 5/2004tentang MahkamahAgung
d. Peraturan MahkamahAgung No. 1 Tahun 1999yang sudah digantidengan PeraturanMahkamah Agung No. 1Tahun 2004 tentang HakUji Materil
a. Pasal 114 ayat (1) sampai ayat(4) UU No 22/1999 tentangPemda
b. Pasal 145 ayat (1), ayat (2),ayat (3), dan ayat (4) jo Pasal136 ayat (4) jo Pasal 218 ayat(1) huruf b UU No 32/2004tentang Pemda
Standar pengujian
a. bertentangan denganperaturan perundang-undangan yang lebihtinggi
b. pembentukannya tidakmemenuhi ketentuan yangberlaku
a. bertentangan dengan peraturanperundang-undangan yang lebihtinggi
b. bertentangan dengan kepentinganumum
85
Lama waktu review
Permohonan Keberatanpaling lambat diajukan keMA setelah 180 haripengundangan Perda. Tetapitidak diatur berapa lamaproses review harusdiselesaikan oleh MA.
a. Perda disampaikan kepadaPemerintah paling lama 7 (tujuh)hari setelah ditetapkan
b. Bila perda dibatalkan, makaperaturan presiden pembatalan harussudah ditetapkan paling lama 60(emanpuluh) hari sejak diterimanyaperda
Waktu eksekusi
Paling lama 90 (Sembilanpuluh) hari setelah putusanyang mengabulkanpermohonan keberatanperda, perda
Paling lama 7 (tujuh) hari setelahditetapkannya pembatalan perda,kepala daerah harus menghentikanpelaksanaan
86
BAB III
PERMASALAHAN HUKUM YANG TIMBUL TERHADAP WEWENANG
PEMBATALAN PERATURAN DAERAH (PERDA)
Pembentukan Perda sering kali tidak memiliki arah yang jelas dan berkorelasi
dengan kebutuhan daerah serta perencanaan pembangunan. Pembentukan peraturan
perundang-undangan ditingkat daerah bukan sekedar melihat batas kompetensi
formal atau kepentingan daerah yang bersangkutan tetapi harus dilihat pula
kemungkinan dampaknya terhadap daerah lain ataupun kepentingan Nasional secara
keseluruhan. Tujuannya agar tidak terdapat friksi antara Pusat dan Daerah serta
daerah otonom dalam hal mengatur kewenangan daerah yang sangat strategis.
Pemberian kebebasan membuat kebijakan daerah harus dalam koridor kebijakan
Pemerintah Pusat dengan memperhatikan kondisi daerah.107
Sejak bergulirnya era otonomi daerah yang memberikan kewenangan regulasi
pada daerah otonom justru kerap menimbulkan permasalahan karena banyak
Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah baik karena bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi, bertentangan dengan ketertiban umum, menimbulkan
ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat di daerah dan berdampak pada
kerusakan lingkungan akibat izin yang ditimbulkannya serta timbul kebijakan yang
107 Ateng Syarifudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, Citra Aditya Bakti,Bandung: 1993, Hal. 279
87
bersifat diskriminatif. Akibatnya banyak perda yang dibatalkan, Sehingga
menimbulkan kerugian yang tak sedikit, karena proses pembuatan perda juga
memakan biaya yang tak sedikit.
Kemunculan persoalan disekitar Perda bermasalah disebabkan oleh semangat
berlebihan dari daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah. Dengan
adanya otonomi daerah yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah seolah
berlomba untuk sebanyak-banyaknya membuat peraturan daerah tentang Pajak dan
Retribusi Daerah. Ada sebagian Perda yang dipandang bermasalah karena
bertentangan dengan aturan lebih tinggi, tetapi ada juga yang dipandang menghambat
investasi daerah.108 Sebagai salah satu contoh dampak negatif hambatan investasi
secara nyata yang dapat digambarkan ialah bahwa Perda yang buruk akan
menghambat aktivitas usaha yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi sehingga
menurunkan daya saing produk di daerah yang bersangkutan. Selain itu, pungutan
retribusi dari Pemerintah Daerah yang membebankan pungutan dengan mengabaikan
kontra prestasi berupa manfaat langsung bagi pembayar retribusi adalah tidak tepat
karena hal ini sangat merugikan masyarakat khususnya pelaku usaha.
Dan berikut diuraikan beberapa masalah yang timbul dengan dibatalkannya
suatu Perda antara lain :
108 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah (Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika),Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005, hal. 229
88
1. Adanya Disharmoni dan Tumpang Tindih Peraturan Perundang-
undangan.
Disharmoni Peraturan perundang-undangan merupakan ketidakselarasan,
ketidaksesuaian, ketidakseimbangan, ketidakserasian dan Inkonsistensi suatu unsur-
unsur peraturan antara yang setingkat maupun dengan peraturan yang berada
diatasnya berdasarkan teori peraturan berjenjang atau Stufentheori. Menurut teori ini,
norma hukum itu berjenjang dan berlapis dalam suatu tata susunan dimana suatu
peraturan terendah bersumber dari peraturan yang ada diatasnya atau lebih tinggi
sehingga tercipta harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Disharmoni peraturan perundang-undangan mengakibatkan Terjadinya
perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, Timbulnya ketidakpastian hukum,
Peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien, Disfungsi
hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku
kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai sarana
perubahan sosial secara tertib dan teratur.109 Dengan demikian, dibutuhkan upaya
harmonisasi sebagai “Conditio Sine Qua Non” bagi terjaminnya kepastian hukum,
ketertiban hukum, penegakan hukum dan perlindungan hukum yang berintikan
keadilan dan kebenaran. 110
109 http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html (terakhir kali dikunjungi pada tanggal 24 agustus 2011 pukul. 21.00 WIB)
110 http://cetak.bangkapos.com/opini/read/216.html (dikunjungi terakhir kali pada tanggal 24agustus 2011 pukul. 21.00 WIB)
89
Terkait dengan wewenang pembatalan Peraturan Daerah terdapat suatu
pertentangan kewenangan dimana peraturan perundang-undangan memberikan
kewenangan kepada dua organ lembaga Negara yaitu melalui lembaga
Kepresidenan/Pemerintah dan Mahkamah Agung. Hal demikian memungkinkan
timbul inkonsistensi dalam pelaksanaan pembatalan Perda yang dapat mengakibatkan
timbulnya ketidakpastian hukum dalam struktur ketatanegaraan.
Adanya alasan Pengujian Peraturan daerah oleh Pemerintah justru karena
Pemerintah daerah merupakan bagian dari pemerintah (eksekutif) dimana Pemerintah
Daerah berada di bawah Pemerintah, dan juga ada di struktur Pemerintah. Jadi
Pemerintah pun harus mempunyai kewenangan membatalkan Perda yang dibuat oleh
daerah. Berdasar hal tersebut, maka Pemerintah Pusat diberi kewenangan untuk
mengeluarkan instrumentasi hukum guna membatalkan keberlakuan Perda yang
bermasalah tersebut melalui instrument hukum berupa Peraturan Presiden.
Dihubungkan wewenang Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan, maka
pelaksana hak pengujian terhadap peraturan perundang-undangan adalah menjadi hak
yang dipunyai oleh Mahkamah Agung untuk menilai peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang, apakah peraturan tersebut bertentangan atau tidak dengan
peraturan yang ada diatasnya, dalam hal isinya, serta menentukan lembaga mana yang
harus mencabut peraturan yang dinyatakan tidak sah tersebut, sehingga secara
administratif peraturan perundangan itu tidak dapat dipakai lagi sebagai landasan
90
hukum. Dualisme kewenangan ini menimbulkan ketidakjelasan mengenai lembaga
yang berwenang untuk menguji materiil serta membatalkan suatu peraturan daerah,
dimana kewenangan pembatalan Peraturan Daerah yang diperbolehkan oleh dua
lembaga baik secara executive review maupun judicial review justru berpotensi
menimbulkan konflik kepentingan.
Sesuai dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power), sebenarnya
telah ditetapkan mengenai wewenang masing-masing lembaga Negara agar tidak
terjadi pemusatan kekuasaan pada satu orang/ satu organ lembaga dan tumpang tindih
wewenang sehingga satu organ/ lembaga hanya memiliki satu kekuasaan saja,
kekuasaan-kekuasaan itu adalah:111
(d) kekuasaan legislatif/ pembentuk undang-undang, dilaksanakan oleh suatu
badan perwakilan (parlemen);
(e) kekuasaan eksekutif/ pelaksana undang-undang, dilaksanakan oleh
pemerintah (presiden atau raja dengan bantuan menteri-menteri atau
kabinet);
(f) kekuasaan yudikatif/ peradilan atau kehakiman untuk menegakkan
perundang-undangan apabila terjadi pelanggaran, dilaksanakan oleh
badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan bawahannya).
111 Rahimullah, Hubungan Antar Lembaganegara Versi Amandemen UUD 1945, Op.Cit, hal.3.
91
Doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) akan menimbulkan
konsekuensi ‘checks and balances’ dimana masing-masing lembaga Negara diatas
dapat saling mengawasi dan terjadi keseimbangan kedudukan maupun kewenangan
sehingga terhindar dari konflik kepentingan. Indonesia menganut gagasan supremasi
konstitusi (supremacy of constitution) dan bukan supremasi parlemen (supremacy of
parliament). Konsekuensi dianutnya supremacy of constitution, semua peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.
Berbicara mengenai hak menguji Peraturan Daerah, disharmoni peraturan
perundang-undangan terdapat pada Aturan Pasal 145 Ayat (6), ditemukan bahwa
Peraturan Presiden yang membatalkan tentang suatu Perda dinyatakan tetap berlaku
dan mempunyai kekuatan hukum apabila Mahkamah Agung menolak keberatan dari
Pemerintah Daerah. Artinya, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, Mahkamah
Agung tidak membatalkan suatu Perda, melainkan yang membatalkan Perda adalah
Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden. Yang dibatalkan oleh
Mahkamah Agung menurut ketentuan UU tersebut hanyalah Peraturan Presiden
apabila permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemerintah Daerah di kabulkan
oleh MA.
Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung melalui
mekanisme judicial review bukan terhadap Peraturan Daerah yang telah dikeluarkan
92
Pemerintah Daerah, tetapi pengujian dilakukan terhadap Peraturan Presiden yang
membatalkan Peraturan Daerah tersebut. Hal ini tentunya menimbulkan permasalahan
hukum karena ada pengecualian dari ketentuan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 dan
UU Nomor 5 Tahun 2004 jo UU Nomor 3 Tahun 2009 dimana seharusnya
Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materil terhadap segala peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang.
2. Ketidakjelasan Alasan Substansial Pembatalan Peraturan Daerah.
Dalam substansi Peraturan perundang-undangan mengenai pembatalan Perda
terdapat persamaan alasan yang dijadikan dasar dalam pembatalan Perda antara
Pemerintah Pusat (melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri) dengan Putusan
Mahkamah Agung. Keduanya pada prinsipnya menyatakan bahwa alasan pembatalan
Perda adalah Perda bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi .
Akan tetapi jika dikaji lebih lanjut sebenarnya standar pengujian Perda oleh
Pemerintah berbeda dengan standar pengujian Perda yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung. Bila Mahkamah Agung menguji suatu Perda atas dasar apakah satu Perda
bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi dan apakah prosedur
pembuatan Perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,112 Pemerintah
melakukan pengujian perda dengan standar yang lebih luas. Dikatakan lebih luas
112 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung pasal 31
93
karena pemerintah menguji Perda tidak hanya didasarkan pada aturan hukum yang
lebih tinggi dari Perda, tetapi juga didasarkan pada standar kepentingan umum.113
Dalam pengujian Perda oleh Pemerintah (executive review), terdapat
permasalahan yang patut untuk dikaji. Yang pertama adalah, dalam pengujian Perda,
Pemerintah Pusat mempunyai dua batu uji untuk melakukan pengujian, yaitu
“bertentangan dengan kepentingan umum” dan “bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi”, sebagaimana yang termaktub pada Pasal 136
Ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004. Pengujian Perda dengan menggunakan batu uji
istilah “kepentingan umum” yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, masih sangat luas
cakupannya. Istilah “kepentingan umum” bisa diartikan sebagai kepentingan umum
Nasional ataukah kepentingan umum lokal (daerah). Mengingat peraturan daerah
merupakan peraturan perundang-undangan yang bersifat local (local wet), maka yang
dimaksud dengan istilah “kepentingan umum”, tidak lain merupakan kepentingan
umum yang hanya mencakup daerah setempat. Yang menjadi permasalahan adalah,
alat ukur apakah yang dipakai Pemerintah Pusat dalam hal menafsirkan bertentangan
tidaknya suatu Perda dengan kepentingan umum, mengingat banyaknya daerah-
daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang tersebar diseluruh wilayah
Indonesia dengan corak masyarakat yang majemuk dan pluralistik.114
113 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.Pasal 145 Ayat (2)114 http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=68003490816&topic=12308 (terakhir kali
dikunjungi tanggal 27 Mei 2011 pukul 17.00)
94
Kepentingan umum adalah aspek yang bersifat sosiologis daripada legalis.
Sehingga pengujian terhadap kepentingan umum tergantung pada aspek keberlakuan
berbagai macam jenis hukum dan norma sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam
penjelasan Pasal 136 Ayat (4) UU No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa “Yang
dimaksud dengan ‘bertentangan dengan kepentingan umum’ dalam ketentuan ini
adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat,
terganggunya pelayanan umum dan terganggunya ketenteraman/ketertiban umum
serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.” Dengan demikian, bertentangan dengan
kepentingan umum menjadi standar yang longgar yang ditafsirkan berdasarkan
kekuasaan penafsir. Maka tidak jarang tafsir kepentingan umum lebih mewakili tafsir
penguasa. Orientasi kekuasaanlah terkadang yang mewakili kepentingan umum. Hal
ini dapat dilihat dimana ketika tidak terjadi gejolak atau penolakan terhadap
berlakunya suatu perda di masyarakat juga dapat dibatalkan oleh pemerintah atas
dasar bertentangan dengan kepentingan umum. Begitu pula sebaliknya, apabila suatu
Perda dianggap menimbulkan masalah oleh masyarakat dapat saja tidak dibatalkan
oleh pemerintah bila Perda tersebut sesuai dengan tafsir kekuasaan pemerintah.
Bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi mengandung makna bahwa
Peraturan Daerah yang secara teoritik memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit
karena tidak boleh menyimpang dari sekat-sekat peraturan nasional yang ratusan
jumlahnya.Teori tersebutlah kemudian dalam ilmu hukum turun menjadi asas “lex
95
superior derogat legis inferiori. Hal ini sesuai dengan pendekatan Stufenbau des
Recht yang diajarkan Hans Kelsen, hukum positif (peraturan) dikonstruksi berjenjang
dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa Peraturan Daerah merupakan
pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga pelaksanaan
otonomi daerah. Sebagai pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, maka materi (substansi) Peraturan Daerah seyogyanya tidak bertentangan
dengan dan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.115
Apabila ada ayat atau pasal maupun bagian dari peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah bertentangan dengan ayat atau pasal maupun bagian dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka ecara kuantitatif dianggap
telah memenuhi syarat alasan hak uji. Kuantitas pertentangannya tidak mesti secara
keseluruhan, tetapi cukup ayat, pasal atau bagiannya saja, namun seperti yang
dijelaskan diatas, faktor paling diperhatikan adalah kualitas pertentangannya.
Pertentangan sedemikian rupa nyata dan objektif sehingga dapat menimbulkan akibat
pelanggaran terhadap ketertiban umum.116
Pembatalan Perda dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dapat menimbulkan masalah kepastian hukum dan harus
115 Dodi Haryono, Op.Cit, hal. 42116 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta:2008, hal. 103
96
yang memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain konsisten dalam perumusan dimana
dalam Peraturan perundang-undangan yang sama harus terpelihara hubungan
sistematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan bahasa, dan adanya
hubungan harmonisasi antara berbagai peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan wewenang Mahkamah Agung, Apabila suatu Peraturan
Daerah dipandang bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari isi
Peraturan Daerah bertentangan dengan Undang-undang, maka sesuai dengan
ketentuan Pasal 31 ayat (2) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, Mahkamah Agung menyatakan bahwa
Peraturan Daerah tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dimungkinkan dapat terjadi proses pengujian jika Mahkamah Agung menemukan
hanya satu ayat, atau satu pasal, atau satu bagian materi muatan dalam Peraturan
Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Apabila hal ini terjadi, maka seluruh materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari
Peraturan Daerah dianggap tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Keadaan ini seperti halnya dalam pengujian aspek formil peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang.117 Hal ini tentunya menimbulkan efek
berupa kerugian yang tak sedikit, karena proses pembuatan perda juga memakan
biaya yang tak sedikit pula. Disamping itu juga timbul problem dengan adanya
117http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=13(terakhir kali dikunjungi tanggal 27 juni 2011 pukul 19.00)
97
pembatalan Perda terkait akibat hukum yang ditimbulkan sebelum dan sesudah
pembatalan Perda.
Dalam hal ini wewenang Mahkamah Agung hanyalah menyatakan bahwa
suatu peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang itu tidak sah karena
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, dan
memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan untuk segera mencabut peraturan
itu. Mahkamah Agung tidak berwenang mencabut suatu peraturan, yang dibuat oleh
lembaga tertentu.118
Apabila dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung tersebut diatas,
maka pengujian Perda secara tegas menjadi kompetensi Mahkamah Agung tidak
sampai pada keputusan membatalkan, tetapi hanya menyatakan tidak sah karena
Peraturan Daerah tersebut bertentangan dengan Undang-undang atau Peraturan
perundang-undangan tingkat lebih tinggi.119
3. Penyimpangan Aspek Teknis Prosedur Pembatalan Peraturan
Daerah.
Peraturan Daerah merupakan aturan hukum yang banyak dilakukan pengujian
terutama oleh pemerintah, karena setiap Peraturan Daerah yang diterbitkan pada
tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi harus melalui pengujian oleh pemerintah.
118 Samsul Wahidin, Hak Menguji Materil menurut UUD 1945, Cendana Press, Jakarta:1984, hal. 45
119 Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, Op.Cit, hal.299
98
Adanya kewenangan pemerintah untuk menguji Peraturan Daerah hendaknya tidak
akan menjadi jalan untuk mewujudkan superioritas kekuasaan Pemerintah Pusat atas
Pemerintah Daerah dan hukum-hukum lokal yang diagregasi ke dalam Peraturan
Daerah. Tidak sedikit Peraturan Daerah dan isi materinya yang beragam, serta
mekanisme terpusat pengujian Peraturan Daerah oleh pemerintah dan Mahkamah
Agung yang dipandang tidak efektif, efisien dan transparan, maka perlu pengkajian
untuk membentuk mekanisme yang dapat menstimulasi pembangunan daerah dan
perlindungan terhadap kepentingan masyarakat di daerah.120
Bentuk hukum pembatalan Peraturan Daerah yang ditentukan dalam Pasal
145 ayat (7) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, adalah Peraturan Presiden.
Dalam Pasal 145 ayat (7) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ditentukan bahwa
“Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peraturan Daerah dimaksud
dinyatakan berlaku”.
Namun dalam praktek, pembatalan Peraturan Daerah dilakukan dengan
Keputusan Menteri Dalam Negeri. Pembatalan Peraturan Daerah melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri dapat dikatakan sebagai kekeliruan hukum. Kekeliruan hukum
ini terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan Peraturan Daerah harus
120 Patlis, Jason M., T. H. Purwaka, A. Wiyana, G. H. Perdanahardja (eds.), “MenujuHarmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia” Seri InisiatifHarmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Kementerian PerencanaanPembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAMbekerjasama dengan Coastal Resources Management Project II (USAID), Jakarta, 2005: hal. 120.
99
dalam bentuk Peraturan Presiden bukan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Terlebih
keliru, Peraturan Daerah yang masuk dalam bidang regeling dibatalkan oleh
keputusan yang masuk dalam bidang beschikking. Artinya, norma hukum yang
dikandung dalam Perda adalah norma 3 hukum umum, yaitu suatu norma hukum
yang ditujukan untuk umum, addressat-nya untuk umum, orang banyak, atau semua
warga negara. Berbeda dengan ketetapan atau keputusan (beschikking) di mana
addresat-nya tertuju pada seseorang, beberapa orang, atau per individu. Oleh karena
itu, pembatalan sebuah peraturan harus dengan instrumen peraturan. Demikian pula
pembatalan sebuah ketetapan atau keputusan seharusnya dilakukan dengan ketetapan
atau keputusan serupa121.
Dengan kata lain, secara yuridis Keputusan Menteri Dalam Negeri yang
membatalkan Peraturan Daerah tersebut belum final sebagai keputusan pembatalan
Peraturan Daerah oleh pemerintah, karena keputusan pembatalan Peraturan Daerah
harus dalam bentuk Peraturan Presiden.122 Keputusan Menteri Dalam Negeri yang
membatalkan Peraturan Daerah dapat dikatakan sebagai penggunaan kewenangan
yang tidak pada kewenangannya atau pelampauan kewenangan (ultra vires).
Semestinya keputusan pembatalan Peraturan Daerah dilakukan oleh Presiden melalui
Peraturan Presiden. Apabila pemerintah tidak menerbitkan Peraturan Presiden untuk
121http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=13(terakhir kali dikunjungi tanggal 25 agustus 2011 pukul 07.00)
122 Kusnu Goesniadhie S, Op. Cit, Hal. 186
100
membatalkan Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah tersebut dinyatakan tetap
berlaku.
Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Peraturan Daerah, dapat
dinilai sebagai cacat hukum. Implikasi hukumnya, daerah atau Kabupaten/Kota dan
Provinsi dapat mengabaikan Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan
Peraturan Daerah tersebut. Dalam keadaan demikian perlu dilakukan evaluasi
terhadap kewenangan Departemen Dalam Negeri dalam menguji Peraturan Daerah.
Mengenai Prosedur pencabutan Perda, maka yang menjadi acuan hukumnya
adalah Pasal 145 Ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 beserta penjelasannya. Dalam
instrument tersebut, ditegaskan bahwa paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan
pembatalan Perda, maka kepala daerah memberhentikan pelaksanaan Perda dan
selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda tersebut. Pencabutan
tersebut dilaksanakan dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang pencabutan
Perda dan Terhadap putusan pembatalan Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung tidak dapat diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).
Masalah yang timbul ialah, bagaimana jika setelah putusan Mahkamah Agung
menyatakan suatu peraturan perundangan tidak sah dan tidak berlaku untuk
masyarakat tetapi instansi yang bersangkutan tidak mencabut peraturan perundangan
tersebut. karena suatu peraturan perundangan dikeluarkan oleh instansi tersebut, maka
pencabutan harus dilaksanakan oleh instansi yang bersangkutan. Persoalannya
101
berkisar pada konsekuensi tidak dicabutnya peraturan tersebut. Jika memang dengan
tidak dicabutnya peraturan perundangan itu tidak membawa konsekuensi apapun,
tentulah pengaturan demikian oleh pembentuk undang-undang akan sia-sia.
Meskipun secara tegas efek peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah itu
sudah digariskan oleh undang-undang tidak berlaku umum, ada kemungkinan dan
disini yang perlu dikhawatirkan bagaimana jika instansi yang berwenang itu masih
memakai peraturan yang dinyatakan tidak sah tersebut.123
Dalam keadaan demikianlah timbul kesempatan yang dapat dimanfaatkan
oleh instansi yang mengeluarkan peraturan tersebut, untuk tetap berpegang kepada
peraturan yang dikeluarkan, sebab memang peraturan yang dibuat itu belum dicabut.
Dan persoalan dicabut atau tidak, tidak ada sanksi yang menyertai.124
UU No. 32 Tahun 2004 juga menyatakan bahwa pembatalan Perda ditetapkan
dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya Perda
oleh Pemerintah Pusat (Pasal 145 Ayat (1) dan Ayat (3) UU Pemda), namun dalam
pelaksanaannya evaluasi Perda oleh Pemerintah Pusat tetap memakan waktu yang
lama. Lamanya proses evaluasi Perda oleh Pemerintah ini akan berimplikasi pada
terabainya kepastian hukum penerapan Perda di daerah dimana Ketika Pemerintah
belum membuat Keputusan apakah Perda bertentangan atau tidak dengan peraturan
123 Samsul Wahidin, Loc. Cit124 Samsul Wahidin, Ibid. 47
102
perundang-undangan yang lebih tinggi ataupun kepentingan umum, apakah
keputusan pembatalan Perda tersebut dapat berlaku surut ?
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, Perda yang sudah disahkan ditingkat
daerah dapat dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum. Dibatalkan berarti
ketidakabsahannya berlaku sejak tanggal ada pembatalan; sedangkan batal demi
hukum berarti ketidakabsahannya berlaku sejak peraturan itu ditetapkan (yang berarti
membatalkan pula akibat-akibat hukum yang timbul sebelum ada pembatalan).125
Setiap pembatalan, pada dasarnya hanya berlaku kedepan (prospektif). Daerah
tidak perlu membuat ketetapan khusus untuk membatalkan pelaksanaan yang
dimaksud. Apabila Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah tetap
dilaksanakan melebihi waktu satu minggu sejak putusan pembatalan, daerah yang
bersangkutan harus bertanggungjawab untuk memulihkan segala hak dan kerugian
yang timbul akibat penundaan pelaksanaan pembatalan tersebut.126
Berkenaan dengan hal pencabutan dan tidak berlakunya suatu peraturan
perundangan, Soehino SH mengemukakan bahwa berlakunya Undang-undang
(Peraturan lainnya) adalah :127
- Untuk jangka waktu tertentu
- Sampai jangka waktu tidak tertentu meskipun tidak dinyatakan
125 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Mengakkan Konstitusi, Op.Cit, hal. 241126 Ridwan, Hukum Administrasi Di Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2009, hal. 157127 Soehino, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-undangan, Liberty, Yogyakarta: 1981,
hal. 106
103
- Sampai peraturan itu dinyatakan tidak berlaku
- Sampai peraturan itu dicabut.
Terkait dengan hal pembatalan Perda, yang perlu diperhatikan disini adalah
perbedaan kata “dibatalkan” dan kata “dicabut”. Kata “dibatalkan” berarti pembatalan
suatu peraturan untuk di berlakukan secara umum sehingga tidak mempunyai
kekuatan hukum. Namun, dengan dibatalkannya peraturan tersebut, tidaklah secara
otomatis juga telah tercabut. Peraturan tersebut walaupun sudah dibatalkan namun
selama belum di cabut, maka peraturan yang sudah tidak mempunyai kedayagunaan
tersebut dipandang masih tetap ada dan tidak boleh dibuatkan peraturan pengganti
yang berkenaan dengan substansi isi materinya. Misalnya, Perda tentang kebersihan
yang sudah dibatalkan oleh Pemerintah, maka pihak Pemerintahan Daerah tidak boleh
membuatkan Perda yang baru tentang kebersihan sebelum mencabut Perda yang
sudah dibatalkan.
Dalam tinjauan normatif dari Perma No. 1 Tahun 2004 ditemukan bahwa
Perda atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang lainnya hanya
dapat diajukan permohonan keberatan (pengujian) kepada Mahkamah Agung paling
lambat sebelum 180 (seratus delapan puluh) hari pengundangan peraturan tersebut.
Batasan waktu ini tentu berimplikasi terhadap terbatasnya hak warga negara untuk
mengajukan permohonan pengujian peraturan yang dianggap bermasalah dikemudian
hari setelah 180 hari yang dibatasi oleh Mahkamah Agung tersebut. Tidak jelas benar
104
dari mana asal muasal batas waktu 180 tersebut, dan mengapa tidak lebih cepat atau
lebih lambat dari 180 hari juga tidak ada seleksi waktu yang dapat dimengerti secara
rasional, karena bila syarat untuk mengajukan permohonan keberatan terhadap
berlakunya suatu perda adalah anggapan kerugian publik dari pemohon, maka potensi
kerugian publik itu tidak bisa dibatasi waktunya. Bisa saja, misalnya perda yang
sudah berlaku selama satu tahun dianggap tidak bermasalah oleh masyarakat,
kemudian dua atau tiga tahun atau beberapa tahun setelah berlakunya perda tersebut
baru menimbulkan masalah sosial, sehingga bila hal tersebut terjadi maka masyarakat
kehilangan hak untuk mengajukan permohonan karena dipangkas oleh aturan yang
dibuat oleh Mahkamah Agung secara sepihak.128
Salah satu kelemahan lagi dari Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji
Materil oleh Mahkamah Agung adalah tidak diaturnya batas waktu proses pengujian
peraturan perundang-undangan, termasuk perda, oleh Mahkamah Agung. Misalnya
kapan dan berapa lama waktu penunjukan majelis hakim dilakukan dan berapa lama
waktu maskimal yang dapat digunakan majelis hakim untuk memeriksa perkara
pengujian peraturan. Ketiadaan pengaturan batas waktu proses itu sangat ironis
mengingat dalam Perma tersebut Mahkamah Agung malah membatasi waktu hak
128 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) adalah aturan yang dibuat sendiri oleh MahkamahAgung untuk menjadi pedoman pelaksanaan fungsi kelembagaan. Pembentukan Perma lepas daripartisipasi publik, sehingga kemudian ada dorongan agar peraturan tentang hukum acara pengujianperaturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung seharusnya dibentuk dalam wujud Undang-undang supaya publik dapat terlibat dalam mempengaruhi perumusannya.
10 Lihat pasal 145 ayat (1) UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
105
warga negara untuk menyampaikan permohonan keberatan. Ketiadaan batas waktu
pengujian oleh Mahkamah Agung, apalagi ditengah menumpuknya perkara kasasi di
Mahkamah Agung berpotensi membuat perda yang sedang diuji terkatung-katung
pelaksanaannya di daerah karena pengujian yang lama. Selain itu Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tidak terdapat rumusan pengaturan ruang
bagi masyarakat untuk dapat mengawasi jalannya proses pengujian peraturan
perundang-undangan oleh Mahkamah Agung. Terlihat Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2004 dalam proses pengujian oleh Mahkamah Agung bersifat
tertutup, sedangkan objek yang sedang disengketakan adalah objek yang terkait
dengan kepentingan publik, yaitu suatu peraturan (regeling) yang berlaku umum di
masyarakat. Dalam keadaan demikian perlu dilakukan evaluasi terhadap Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004, tentang Hak Uji Materil, dalam menguji
Peraturan Daerah.129
129http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=13 (terakhir kali dikunjungi ggal 27 juni 2011 pukul 19.00)
106
BAB IV
BENTUK IDEAL KEWENANGAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH
(PERDA)
Berdasarkan permasalahan yang timbul dalam mekanisme pembatalan
Peraturan Daerah pada bab III, berikut akan diuraikan mengenai bentuk ideal
kewenangan pembatalan Peraturan Daerah.
1. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang Tumpang Tindih Antara
Pemerintah dan Mahkamah Agung.
Perda adalah peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundang-
undangan yang memiliki materi muatan yang paling banyak & memiliki tingkat
fleksibilitas yang sempit karena harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan
yang berada diatasnya. Ini dapat dipahami dari sudut pandang pendekatan Stufenbau
des Recht yang diutarakan Hans Kelsen, bahwa hukum positif (peraturan)
dikonstruksikan berjenjang dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah bersumber dari
dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yang kemudian kita
kenal dengan asas lex superior derogat legi in feriori.130
Sebagaimana konsekuensi dipertegasnya prinsip pemisahan kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam naskah perubahan pertama UUD 1945 maka
130 Teori Hans Kelsen tentang Hukum, www.jimly.com.
107
produk legislatif daerah ini dapat saja bertentangan dengan produk eksekutif tingkat
pusat. Misalnya, apabila suatu materi Perda Propinsi atau Perda kabupaten/Kota yang
telah ditetapkan secara sah ternyata bertentangan isinya dengan peraturan Menteri
ditingkat pusat, maka pengadilan haruslah menentukan bahwa Perda itulah yang
berlaku sepanjang untuk daerahnya.131
Menghadapi maraknya euphoria otonomi daerah pada saat sekarang, semakin
relevan peran hak uji formil yang dimiliki MA untuk mengawasi pembentukan
peraturan daerah (Perda) yang bercorak penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa
daerah. Oleh karena itu pada saat sekarang, peran MA melakukan surveillance
terhadap tindakan unconstitusional melalui hak uji formil atas pembentukan peraturan
perundang-undangan benar-benar sangat dibutuhkan, agar rakyat yang berada
dibawah daerah otonom terlindungi dari tindakan kesewenang-wenangan penguasa
daerah.132 Mengingat Peraturan Daerah adalah merupakan produk politis maka
kebijakan daerah yang bersifat politis dapat berpengaruh terhadap substansi Peraturan
Daerah. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan kebijakan politis tersebut tidak
menimbulkan gejolak dalam masyarakat.
Jika suatu Peraturan Daerah sebagai produk politik diuji dan dibatalkan oleh
lembaga politik melalui mekanisme yang juga politik dengan Peraturan Presiden,
berarti partai politik akan dihadapi oleh partai politik. Proses politik yang sudah
131 Bagir Manan, Teori dan politk konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta:2004, hal. 279-280132 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, Op.Cit, hal. 105
108
selesai ditingkat daerah, dilanjutkan oleh proses politik ditingkat Pusat. Jika
Pemerintah Pusat dikuasai Oleh partai A, sedangkan pemerintahan disuatu daerah
dikuasai oleh partai B yang saling bertentangan satu sama lain, maka besar
kemungkinan Peraturan daerah sebagai produk politik di daerah yang bersangkutan
akan mudah dibatalkan oleh pemerintah yang dikuasai lawan politiknya.
Didalam sistem demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung yang
diterapkan untuk mengisi jabatan-jabatan dilembaga legislatif dan eksekutif, peranan
partai politik sangat menonjol. Dengan demikian, Undang-undang dan Peraturan
Daerah sama-sama merupakan produk politik yang mencerminkan pergulatan
kepentingan diantara cabang-cabang kekuasaan legislative dan eksekutif, baik
ditingkat daerah maupun pusat, tidak boleh dinilai atau diuji oleh sesama lembaga
politik. Pengujian Undang-undang dan Peraturan Daerah itu harus dilakukan melalui
mekanisme “judicial review” dengan melibatkan peranan hakim yang objektif dan
imparsial sebagai pihak ketiga.133
Jika dibiarkan suatu Peraturan Daerah yang telah berlaku mengikat untuk
umum yang ditetapkan oleh para politikus yang duduk dilembaga eksekutif dan
legislatif ditingkat pemerintahan bawahan,dibatalkan lagi oleh politikus yang duduk
dilembaga eksekutif tingkat pemerintahan atasan, berarti Peratuan Daerah dibatalkan
133 Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, Op.Cit, hal.290
109
hanya atas dasar pertimbangan politik belaka. Hal demikian itu sama saja dengan
membenarkan bahwa supremasi hukum ditundukkan dibawah supremasi politik.134
Dalam suatu Negara hukum, tata kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah
berpedoman pada norma-norma hukum. Dalam rangka menegakkan dan menjamin
berjalannya aturan-aturan hukum seperti yang diharapkan diperlukan adanya
kekuasaan kehakiman yang kuat dan Mandiri. kekuasaan Kehakiman (judicatve
Power) ini bertugas untuk menegakkan dan mengawasi berlakunya peraturan
perundang-undangan yang ada.135
Adapun objek dan sasaran hak uji yang diperankan MA maupun MK
diarahkan terhadap tindakan penguasa atau pemerintah atas pembuatan peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, peran dan fungsi hak menguji yang
diberikan konstitusi kepada MA dan MK, sasaran dan tujuannya untuk melakukan
pengawasan terhadap tindakan pemerintah agar tidak menerbitkan ketentuan-
ketentuan peraturan perundang-undangan yang merugikan kepentingan
masyarakat.136
Selain itu, mengikutsertakan Mahkamah Agung melaksanakan pengawasan
represif atas Perda mengandung segi-segi positif. Pertama, membatasi wewenang
Pejabat Administrasi Negara yang lebih tinggi tingkatannya, untuk mencampuri
134 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, Kerja sama Konstitusi Press dengan PTSyaamil Cipta Media, 2006, hal. 109
135 Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Citra AdityaBakti, Bandung: 2006, Hal. 5
136 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 97
110
pelaksanaan wewenang, tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah yang lebih
rendah. Kedua, putusan diambil alih sebuah badan netral yang tidak mungkin
mempunyai kepentingan atas pembatalan atau penolakan pembatalan suatu keputusan
pemerintah daerah. Ketiga, pertimbangan- pertimbangan sebagai dasar putusan
semata-mata berdasarkan pertimbangan hukum yang lebih menjamin obyektifitas isi
suatu putusan.137
2. Kejelasan Alasan Substansial Pembatalan Peraturan Daerah.
Dalam pengujian Perda oleh Pemerintah (executive review), standar pengujian
berupa bertentangan dengan kepentingan umum hendaknya hanya diartikan sebagai
kepentingan umum lokal (daerah) bukan Nasional karena cakupan kepentingan umum
sangatlah luas lagipula ruang lingkup Peraturan Daerah tersebut hanya mencakup
pada daerah diberlakukannya peraturan tersebut. Dan alat ukur yang dipakai
Pemerintah Pusat dalam hal menafsirkan bertentangan tidaknya suatu Perda dengan
kepentingan umum hendaknya ditentukan lebih spesifik agar penafsiran terhadap
substansi Peraturan Daerah tersebut tepat mengingat terdapat corak masyarakat yang
majemuk dan pluralistik.
Standar uji terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi haruslah
memperhatikan aspek peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis
137 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan daerah Menurut UUD 1945, Pustaka SinarHarapan, Jakarta: 1994, hal. 185
111
karena review tidak bisa dioperasionalkan tanpa adanya peraturan perundang-
undangan yang tersusun secara hierarkis dan sistematis. Oleh karena itu penting
adanya hubungan harmonisasi antara berbagai peraturan perundang-undangan
mengingat banyaknya peraturan yang ada..
Mengenai wewenang Mahkamah Agung yang hanya menyatakan bahwa suatu
peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang itu tidak sah karena
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, dan
memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan untuk segera mencabut peraturan
itu perlu dikaji lebih lanjut karena Mahkamah Agung tidak berwenang mencabut
suatu peraturan, hanya terbatas pada menyatakan batal bukan ikut mencabut. Besar
kemungkinan suatu lembaga yang diperintahkan Mahkamah Agung untuk mencabut
Peraturan tersebut tidak melaksanakan pencabutan sebagaimana yang telah
diperintahkan atau malah tetap menjalankan Peraturan tersebut dengan menarik
keuntungan. Hal ini dapat menimbulkan konsekuensi yang merugikan masyarakat
karena apa yang ditetapkan oleh lembaga pengadilan tidak dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
Menurut Bagir Manan, mengingat Perda (termasuk Peraturan Desa) dibuat
oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom), dilingkungan wewenang yang
mandiri pula, maka pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan pertingkatan, melainkan juga pada
112
lingkungan wewenangnya. Suatu Perda yang bertentangan dengan suatu peraturan
perundang-undangan tingkat lebih tinggi (kecuali UUD) belum tentu salah, kalau
ternyata peraturan perundang-undangan tingkat tinggi yang melanggar hak dan
kewajiban daerah yang dijamin UUD atau UU Pemerintahan Daerah.138
Dalam Pembentukan Peraturan Daerah paling sedikit harus memuat 3 (tiga)
landasan yaitu:
Landasan filosofis, adalah landasan yang berkaitan dengan dasar atau
ideologi Negara;
Landasan sosiologis, adalah landasan yang berkaitan dengan kondisi atau
kenyataan empiris yang hidup dalam masyarakat, dapat berupa kebutuhan
atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan, dan harapan
masyarakat; dan
Landasan yuridis, adalah landasan yang berkaitan dengan kewenangan
untuk membentuk, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, tata cara
atau prosedur tertentu, dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Selaku pemegang kekuasaan pemerintahan, Presiden seharusnya tidak bisa
membatalkan Perda, apalagi dalam praktiknya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.
Untuk itu pemerintah bisa menjadi pemohon pembatalan Perda. karena Pembatalan
138 Bagir Manan, Teori dan politk konstitusi,FH UII Press, Yogyakarta:2004, hal. 142
113
adalah tindakan yang bermakna yuridis. Membatalkan Perda sudah masuk kualifikasi
kegiatan yudisial, sehingga tidak selayaknya dilakukan eksekutif. Itu sebabnya,
kewenangan pembatalan Perda perlu dikembalikan kepada Mahkamah Agung.
Meskipun demikian, bukan berarti eksekutif tidak bisa menjalankan fungsi
pengawasan terhadap Perda. Menurut Ni’matul Huda, Pemerintah masih bisa
melakukan pengawasan ketika masih berbentuk Rancangan Peraturan Daerah
(Ranperda). Jadi, Pemerintah bisa melakukan executive preview.
Mengingat masih banyaknya Perda yang dibatalkan oleh Pemerintah Pusat
dengan alasan bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan yang lebih
tinggi, maka langkah yang seharusnya ditempuh Pemerintah sebelum melaksanakan
pengawasan represif memang sebaiknya melakukan pembinaan (evaluasi) kepada
daerah, khususnya pembuatan Perda secara berkelanjutan, Raperda yang kurang tepat
segera dikembalikan untuk direvisi dimana Semua Perda di luar pembentukan APBD,
dikaji secara komprehensif dan integral dengan naskah akademik yang disusun
berdasarkan "library and field research", dengan mengkaji secara cermat aspek
filosofis, sosialiogis, juridis dan ekonomis. Kemudian tahapan utama agar perda itu
benar-benar optimal dan tidak melanggar ketentuan lainnya, lakukan uji sahih naskah
akademik dengan pemangku kepentingan (stakeholder), dan ditentukan dalam bentuk
114
rancangan perda.139Sehingga kemungkinan adanya kesalahan dalam pembuatan Perda
dapat diminimalisir sejauh mungkin.140
Disamping “abstract review” mekanisme kontrol norma juga dapat dilakukan
melalui prosedur “abstract preview”, yaitu kontrol yang dilakukan sebelum norma
hukum yang bersangkutan mengikat untuk umum. Misalnya suatu rancangan Perda
disahkan oleh Parlemen tetapi sebelum diundangkan sebagaimana mestinya,
pemerintah atasan diberikan kewenangan menguji, menilai atau bahkan menolak
pengesahan pemerintah bawahan. Mekanisme demikian disebut sebagai “executive
abstract preview” oleh pemerintah atasan.141
Kewenangan untuk melakukan “executive abstract preview” itulah yang
sebaiknya diberikan kepada pemerintah atasan, bukan mekanisme review atas
Peraturan Daerah yang sudah berlaku mengikat umum. Jika suatu peraturan yang
dibentuk oleh lembaga eksekutif dan legislative yang sama-sama dipilih oleh rakyat
melalui pemilihan umum dibatalkan hanya oleh pejabat eksekutif tingkat atas, berati
prinsip Negara kesatuan dijadikan dalih untuk mengebiri aspirasi rakyat dengan
tindakan yang semata-mata didasarkan pertimbangan politik. Oleh karena
itu,terhadap Peraturan daerah sebagai produk legislasi di daerah, sebaiknya hanya di
Preview oleh pemerintahan atasan apabila statusnya masih sebagai rancangan
139 http://manado.tribunnews.com/2011/02/26/banyak-perda-dibatalkan-karena-tak-lewati-kajian
140 Ni’matul Huda, Op.Cit, hal. 143141 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, Kerja sama Konstitusi Press dengan PT
Syaamil Cipta Media, 2006, hal. 107
115
Peraturan Daerah yang belum mengikat untuk umum. Jika Peraturan Daerah itu sudah
mengikat untuk umum, maka sebaiknya yang mengujinya adalah lembaga peradilan
sebagai pihak ketiga yang sama sekali tidak terlibat dalam proses pembentukan
Peraturan Daerah yang bersangkutan.
3. Perbaikan Aspek Teknis Prosedur Pembatalan Peraturan Daerah.
Mengingat banyaknya satuan pemerintahan Daerah dan banyaknya keputusan
tingkat daerah, tampaknya pengawasan represif akan sulit dilakukan dengan
sempurna. Hal ini dapat diketahui dari pembatasan waktu bagi Perda dan keputusan
Kepala Daerah untuk disampaikan kepada pemerintah selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari setelah ditetapkan. Kemudian pembatalan Perda dilakukan paling lama 60 (enam
puluh) hari sejak Perda diterima. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah keputusan
pembatalan Perda, Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan
selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud.142
Demi mewujudkan kepastian hukum, Seharusnya dengan dinyatakan bahwa
suatu peraturan perundang-undangan itu tidak sah dan tidak berlaku untuk umum,
maka secara diam-diam dan otomatis peraturan itu sudah dicabut secara tidak
langsung oleh instansi yang bersangkutan melalui Keputusan Mahkamah Agung.
Dengan begitu, dicabut atau tidaknya peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang
142 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah (Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika),Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005, hal. 267
116
berwenang tidak membawa pengaruh apa-apa. Tetapi memang dalam peraturan yang
nanti datang mengatur persoalan sejenis, dinyatakan bahwa peraturan yang lama
dicabut dengan catatan terhitung semenjak ditetapkannya Keputusan Mahkamah
Agung yang isinya bahwa peraturan yang bersangkutan tidak sah.143
Penegasan didalam pasal 185 ayat (5) dan pasal 186 ayat (5) UU No.32 Tahun
2004 yang memberi kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan
Perda tentang APBD dan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD dan
Gubernur untuk membatalkan Perda tentang APBD dan peraturan bupati/walikota
tentang penjabaran APBD, bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 145 ayat (3)
UU No.32 Tahun 2004. Karena menurut Pasal 145 ayat (2) yang berwenang
membatalkan Perda adalah Pemerintah. Kemudian menurut pasal 145 ayat (3)
keputusan Pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan presiden. Dengan demikian
dapat disimpulkan yang berwenang membatalkan Perda adalah Presiden. Tidak
mungkin Menteri Dalam Negeri apalagi gubernur membatalkan Perda tetapi
ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Seharusnya Menteri dalam negeri
mengusulkan pembatalan perda tentang APBD dan Peraturan gubernur tentang
penjabaran APBD kepada presiden dan gubernur mengusulkan pembatalan Perda
tentang APBD dan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.144
143 Samsul Wahidin, Loc.Cit144 Ni’matul Huda, Op.Cit, hal. 133
117
Ke depan, sebaiknya pengawasan yang dilakukan Pemerintah berupa
pengawasan preventif dengan ruang lingkup terbatas, sedangkan pengawasan represif
harus dilakukan oleh lembaga yudisial. Penerapan mekanisme tersebut juga dikaitkan
dengan dasar pemikiran indnesia adalah Negara kesatuan (unitary state), sehingga
dinilai rasional apabila Pemerintah Pusat sebagai Pemerintahan atasan diberi
kewenagan mengendalikan sistem hukum dilingkungan pemerintahan daerah. Akan
tetapi, tidaklah rasional apabila Pemerintah Pusat dianggap tidak berwenang
melakukan tindakan untuk mengatur dan mengendalikan pembentukan Peraturan
Daerah yang tidak sejalan dengan maksud diadakannya mekanisme pembentukan
Peraturan Daerah itu sendiri oleh Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota
seluruh Indonesia. Sepanjang untuk kepentingan nasional yang objektif, mengapa
pemerintah pusat tidak dapat melakukan kontrol dan pembinaan kepada unit-unit
pemerintah daerah ? Atas dasar pemikiran itulah maka pemerintah Pusat diberi
kewenangan untuk membatalkan Peraturan Daerah dengan peraturan Presiden.145
Evaluasi Perda oleh Mahkamah Agung juga perlu dirubah terkait tidak
jelasnya kapan dan berapa lama waktu penunjukan majelis hakim dilakukan dan
berapa lama waktu maksimal yang dapat digunakan majelis hakim untuk memeriksa
perkara pengujian peraturan. Lamanya proses evaluasi Perda oleh Mahkamah Agung
ini akan berimplikasi pada terabainya kepastian hukum penerapan Perda di daerah
145 Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII Press,Yogyakarta:2010, hal. 288
118
dimana Ketika Mahkamah Agung belum membuat Keputusan apakah Perda
bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
ataupun kepentingan umum. Hendaknya dalam Perma No.1 Tahun 2004 dijelaskan
hal-hal tersebut demi terciptanya kepastian hukum bagi masyarakat yang mengajukan
permohonan kepada Mahkamah Agung. Selain itu, Perma No 1 Tahun 2004 juga
tidak merumuskan ruang bagi masyarakat untuk dapat mengawasi jalannya proses
pengujian oleh Mahkamah Agung. Transparansi dibutuhkan dalam proses pengujian
Peraturan Daerah di Mahkamah Agung agar masyarakat ataupun pemohon
perseorangan dapat menyaksikan dan mengajukan keberatan ataupun sanggahan
sebelum dijatuhkannya putusan oleh hakim.
119
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah penulis uraikan diatas,
maka sampailah kita pada kesimpulan dari hasil penelitian ini :
1. Wewenang pembatalan Peraturan Daerah menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia berada pada Pemerintah melalui executif
review dan Mahkamah Agung melalui judicial review. Dalam rangka
pengawasan terhadap regulasi yang dikeluarkan oleh daerah maka Pemerintah
Pusat diberi kewenangan mengawasi produk hukum daerah dalam bentuk
executif review berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 Tentang PEMDA dan
pengawasan oleh lembaga peradilan yaitu melalui Mahkamah Agung dalam
bentuk judicial review berlandaskan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, Pasal 7 UU
No.10 Tahun 2004, Pasal 20 ayat (2) UU No.48 tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 31 UU No.3 Tahun 2009 Tentang MA.
2. Pemberian wewenang yang sama pada dua lembaga negara yang berbeda
dapat menimbulkan dualisme kewenangan yang menimbulkan konflik
kepentingan dan juga menimbulkan masalah hukum terkait disharmoni dan
120
tumpang tindih peraturan, ketidakjelasan alasan substansial pembatalan Perda
dan sistem ataupun prosedur beracara yang tidak tertata dengan baik dan jelas.
3. Perlu adanya suatu pembenahan terkait pembatalan terhadap Perda berupa
harmonisasi peraturan perundang-undangan agar tercipta keserasian dan
konsistensi antar peraturan yang satu dengan yang lain, Kejelasan alasan
substansi pembatalan Perda agar terhindar dari interpretasi sepihak yang
merugikan masyarakat dan pembenahan aspek prosedur pembatalan Perda
kearah yang lebih transparan dan kesesuaian penetapan waktu pengajuan
permohonan pengujian maupun pelaksanaan pencabutan Perda yang
mendapatkan putusan serta sanksi ataupun akibat hukum yang meyertai
pembatalan Perda tersebut.
121
B. SARAN
1. Dalam keadaan demikian perlu dilakukan review terhadap ketentuan UU
No. 32 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan adanya excecutive
review Peraturan Daerah karena tumpang tindih dengan peraturan
perundang-undangan lainnya. Dan hendaknya Wewenang Pembatalan
Perda sepenuhnya diberikan kepada Mahkamah Agung sebagai lembaga
pelaksana peradilan yang mengawasi gerak dari Pemerintah selaku
pelaksana pemerintahan.
2. Alasan Pembatalan Peraturan Daerah hendaknya mempunyai kerangka
acuan dan batasan yang jelas agar tidak terjadi penafsiran sepihak
mengingat wilayah Indonesia yang majemuk dan pluralistik.
3. Perlunya pembenahan dalam proses beracara dalam pengujian Perda pada
Mahkamah Agung terkait transparansi proses pengujian, kesesuaian jangka
waktu yang lebih sistematis agar pemohon ataupun masyarakat umum tidak
dirugikan. Terkait terhadap kewenangan menguji hendaknya hanya bersifat
preventif yaitu sebelum disahkannya Peraturan Daerah.
122
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya
dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Aslim, Rasyad, 2005, Metode Ilmiah; Persiapan Bagi Peneliti, UNRI Press,
Pekanbaru.
Asshiddiqie, Jimly, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta.
_______________,2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sekretariat
Jenderal MK, Jakarta.
_______________, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Burhan, Ashshofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jendral Peraturan
Perundang-undangan Bekerja Sama Dengan United Nations, 2008, Panduan
Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, PROGRAMME
CAPPLER Project, Jakarta.
Fatkhurohman, 2004, Dian Aminudin, dan Sirajudin, Memahami Keberadaan
Mahkmah Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Fatmawati, 2006, Hak Menguji (Teotsingsrecht) Yang Dimilki Hakim Dalam Sistem
Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
123
Gultom, Lodewijk, 2007, Eksistensi Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur
Ketatanegaraan di Indonesia, CV. Utomo, Bandung.
Goesniadhie S, Kusnu, 2008, Harmonisasi Sistem Hukum Dalam Mewujudkan Tata
Pemerintahan Yang Baik, A3, Malang.
Halim, Hamzah dan Putera Kemal Redindo Syahrul, 2009, Cara Praktis Menyusun &
Merancang Peraturan Daerah ( Suatu Kajian Teoritis dan Praktis disertai
Manual), Kencana, Jakarta.
Haryono, Dodi, 2009, Buku Ajar Ilmu perundang-undangan, Pusbangdik. Pekanbaru.
Harahap, M. Yahya, 2008, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan
Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.
Huda, Ni’matul, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
_____________, 2010, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII Press.
Yogyakarta
______________,2005, Otonomi Daerah (Filosofi, Sejarah Perkembangan dan
Problematika), Pustaka Pelajar, Yogyakarta:
_______________,2005, Otonomi Daerah (Filosofi, Sejarah Perkembangan dan
Problematika), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil, 2009, Hukum Tata Negara Di Indonesia
Untuk Perguruan Tinggi, Sinar Grafika, Jakarta.
Manan, Bagir dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah hukum Tata Negara
Indonesia, Alumni, Jakarta.
124
__________, 2004, Teori dan politk konstitusi,FH UII Press, Yogyakarta.
__________,1994, Hubungan Antara Pusat dan daerah Menurut UUD 1945, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta.
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2006, Ilmu Perundang-undangan, Dasar dan
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta.
Mahfud MD, Moh, 2006, Membangun Politik Hukum, Mengakkan Konstitusi,
LP3ES, Jakarta.
Marbun, S.F. 2001, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta.
Modeong, Supardan, 2005, Teknik Perundang-undangan, PT. Perca, Jakarta.
Radjab, Dasril, 2005 Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.
Rahimullah, 2007, Hubungan Antar Lembaganegara Versi Amandemen UUD 1945,
PT. Gramedia, Jakarta.
Ridwan, Hukum Administrasi Di Daerah, 2009, FH UII Press, Yogyakarta.
Rosyada, Ikhsan Parluhutan Daulay, 2006, Mahkamah Konstitusi, Memahami
Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT
Rineka Cipta, Jakarta.
Sabarno, Hari, 2008, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar
Grafika, Jakarta.
Soemantri, Sri, 1997, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung.
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo, Jakarta.
125
_____________,1983, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta.
Sunarno, Siswanto, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta.
Suseno, Franz Magnis,1991, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia, Jakarta.
Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari, 2006, Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
______________,2003, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Syafiie, Inu Kencana, 1994, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.
Syarifin, Pipin dan jubaedah Dedah, 2006, Pemerintahan Daerah Di Indonesia,
Pustaka Setia, Bandung.
Thaib, Dahlan, 1999, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty,
Yogyakarta.
Wastiono, Sadu, Indrayani Etin dan Pitono Andi, 2006, Memahami Tugas
Pembantuan (Pandangan Legalistik, Teoretik dan Implementatif),
Fokusmedia, Bandung.
Wahidin, Samsul, 1984, Hak Menguji Materil menurut UUD 1945, Cendana Press,
Jakarta.
126
JURNAL
Mahendra A.A.Oka, 2006, ”Mekanisme Penyusunan dan Pengelolaan Program
Legislasi Daerah”, Jurnal Legislasi Indonesia, Jakarta.
Patlis, Jason M., T. H. Purwaka, A. Wiyana, G. H. Perdanahardja (eds.), 2005,
“Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah
Pesisir Indonesia” Seri Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan
Wilayah Pesisir Indonesia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional,
Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM
bekerjasama dengan Coastal Resources Management Project II (USAID),
Jakarta.
KAMUS
Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan, Balai Pustaka.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
127
WEBSITE
http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&It
emid=13
http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&biw=1272&bih=523&q=kewenangan+l
embaga++negara+dalam+membatalkan+perda&aq=f&aqi=&aql=&oq=&fp=2b
0dd2da61f4fbd4
http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d75ab0a2245a/kembalikan-wewenang-uji-
materi-perda-ke-mahkamah-agung
http://www.leip.or.id/
http://cornerhukum.wordpress.com/2010/03/24/hak-menguji-material
http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=68003490816&topic=12308
www.legalitas.org
http://irwanprayitno.info/berita/aktual/1296622423-bantu-pemda-tekan-kerugian-
negara.html
http://sekretariat-bks-pps.blogspot.com/2011_02_20_archive.html
www.jimly.com.
128