PLURALITAS AGAMA DALAM PERSPEKTIF HAJI ABDUL MALIK
KARIM AMRULLAH
Skripsi
Diajukan Ke Fakultas Ushuluddin Jurusan Studi Agama- Agama untuk Memenuhi Persyaratan
Mendapatkan Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
NURALIH
NIM: 1110032100057
PROGRAM STUDI AGAMA- AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2017 M.
iv
ABSTRAK
Nuralih
Pluralitas Agama Dalam Perspektif Haji Abdul Malik Karim Amrullah
Indonesia merupakan Negara yang dikenal sebagai bangsa yang sangat
pluralistik, memiliki berbagai nuansa keragaman yang salah satunya terkandung
keanekaragaman agama didalamnya, meliputi agama Islam, Kristen Protestan,
Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu yang merupakan agama-agama pendatang dari
luar Indonesia. Ditambah lagi dengan adanya agama-agama lokal yang lebih dahulu
menempati tanah air ini. Kondisi pluralitas agama di Indonesia merupakan sebuah
kenyataan yang telah ada. Keadaan plural seperti ini belum mampu menjadikan
fondasi dasar bagi bangunan demokrasi di Indonesia. Dibutuhkan pemikiran-
pemikiran para fungsionaris, pemuka agama dan bahkan umat beragama untuk terus
mensosialisasikan sekaligus mengaktualisasikan ajaran-ajaran agama tentang
perdamaian dalam kehidupan sehari-hari.
Pluralitas agama tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya
kemajemukan. Namun, yang dimaksud pluralitas agama adalah keterlibatan aktif
terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralitas agama juga harus dibedakan
oleh kosmopolitanisme. Konsep pluralitas agama tidak dapat disamakan dengan
relativisme dan pluralitas agama bukanlah sinkretisme.
Berdasarkan hal ini, penulis ingin memberikan sumbangsih dengan bentuk
skripsi dengan mengkaji karya seorang ulama besar yang diterima oleh semua
kalangan. Bernama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA.
Dalam pidato dan tulisannya, HAMKA banyak membahas tentang keagamaan,
kebebasan berpikir, akhlak (budi), kewajiban dan hak asasi manusia.
HAMKA menjelaskan bahwa manusia merupakan umat yang satu. Perlainan
daerah, bumi tempat mereka berpijak, berlainan bahasa, warna kulit bukanlah soal.
Namun semua itu hanyalah keragaman di dalam satu kesatuan. Maka dari itu,
manusia diberikan akal dan pikiran untuk digunakan kearah yang baik-baik agar bisa
menyingkirkan perselisihan dan perkelahian yang disebabkan oleh perbedaan
pendapat.
HAMKA mengutip pendapat Imam Al Ghazali mengenai keutamaan akal budi
yang terbagi empat bagian, yaitu: pertama, sempurna akal dengan ilmu. Kedua, dapat
menjaga kehormatan diri (‘Iffah) dengan tidak peduli dengan bujukan kesenangan
dunia. Ketiga, berani karena benar dan takut akan kesalahan (Syaja’ah). Keempat,
keadilan (Al’Adl).
Walaupun kata pluralitas agama tidak pernah ditemukan di dalam karyanya,
namun dalam karya dan pidatonya mengandung makna yang merujuk kepada
pluralitas agama itu sendiri. Setelah ditelaah mengenai makna pluralitas agama,
penulis menemukan relevansi dengan sikap plurlitas dalam perspektif HAMKA.
v
PedomanTransliterasi
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ط a a ا ṭ
ẓ ظ b b ب ẓ
‘ ‘ ع t t ت
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
ḥ ح ḥ q q ق
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dh ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h ه s s س
, , ء sy sh ش
ṣ ص ṣ y y ي
ḍ ض ḍ h h ة
VokalPanjang
Arab Indonesia Inggris
ā ā أ
ī ī إى
ū ū أو
vi
KATA PENGANTAR
Bismillāhirrahmānirrahīm
Alhamdulillāh segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Tiada kata
mampu mengungkap rasa syukur kepada-Nya. Atas segala nikmat dan kehendak-
Nya, penulis sanggup dan mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
PLURALITAS AGAMA DALAM PERSPEKTIF HAJI ABDUL MALIK
KARIM AMRULLAH
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda
Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan
menuju zaman terang benderang dengan cahaya Islam. Rasul yang tiada henti
memperjuangkan nilai-nilai keIslaman hingga akhir hayatnya.
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk mendapatkan
gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada jurusan Studi Agama- Agama, Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis
menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan
masih jauh dari kesempurnaan, hal ini dikarenakan keterbatasan kemampuan yang
penulis miliki.
Atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan skripsi ini, penulis sangat
mengharapkan masukan, kritik dan saran yang bersifat membangun kearah
perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Cukup banyak kesulitan yang penulis
temui dalam penulisan skripsi ini, tetapi Alhamdulillah dapat penulis atasi dan
selesaikan dengan baik.
vii
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak dan semoga amal baik yang telah diberikan kepada penulis mendapat
balasan dari Allah SWT.
Jakarta, 19 Oktober 2017
Penulis
Nurali
viii
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis sadari bahwa skripsi ini terselesaikan bukan dengan hasil jerih
payah penulis sendiri, melainkan adanya dorongan motivasi serta bantuan baik
moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, patut kiranya penulis
sampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Ucapan terima kasih yang sangat besar dan tak terhingga untuk kedua
orangtuaku yaitu Alm. yayah H. Hasan dan Mamah Hj. Djumenah.
Berkat didikan, kasih sayang, ridho serta doa-doa yang sangat tulus
dari mereka, penulis mampu meneruskan jenjang perkuliahan hingga
mampu menyelesaikan tugas ini.
2. Bapak M. Amin Nurdin, Dr, MA, sebagai dosen pembimbing dalam
menulis skripsi ini. Terima kasih yang sedalam-dalamnya atas
keluangan waktu, kesabaran, serta keikhlasan dalam membimbing
penulis. Semoga amal kebaikan bapak selalu menjadi bekal
keberkahan bagi setiap aktivitas dan kesehatan bapak.
3. Terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Dr. Media Zainul
Bahri, MA dan Ibu Dra. Hj. Halimah Mahmudy, MA selaku Ketua
Jurusan Sekretaris Jurusan Studi Agama- Agama. Mereka sebagai
orang tua sekaligus rekan kerja penulis di Jurusan Studi Agama-
Agama yang tidak pernah bosan untuk selalu mendorong,
menyemangati, dan mengingatkan dalam proses penyelesaian tugas ini.
4. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku
Dekan Fakultas Ushuluddin, Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.M.
selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dosen-dosen beserta
ix
staf dan karyawan dilingkungan Fakultas Ushuluddin. Mereka telah
memberikan bantuan dan kemudahan dalam bidang administrasi
kampus.
5. Terima kasih yang tak terhingga untuk keluarga besar alm. H. Hasan.
Berkat doa tulus dan senyum manis dari mereka, penulis merasa
tersemangati.
6. Terima kasih untuk sang kekasih Indah Permata Sari yang selalu sabar
menemani dan selalu membantu penulis dalam penyelesaian penulisan
skripsi ini.
7. Terima kasih untuk sahabat-sahabat Studi Agama- Agama 2010,
Haikal Rahmatullah, Wahyuddin, Muammar, Yazid, Kurniawan,
Nurfariza, Rina, Rita dan sahabat-sahabat Studi Agama- Agama
lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Suatu keberuntungan
dan kebanggaan bagi penulis dapat mengenal dan menjadikan mereka
sebagai sahabat.
8. Terima kasih untuk sahabat-sahabat Jombang (Ciputat) dan sekitarnya
Wahyuddin, Hadi Yudha Permana, M. Ilyas, Arief Setiadi, Aab
Abdullah, Adam Gustav Maulana, Arif Kornia, Syam Maulana,
Mahyudi dan sahabat-sahabat lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan
satu persatu. Suatu kebanggaan bagi penulis karena bisa mengenal
kalian.
9. Terima kasih kepada warga PLAN B yang senantiasa mendoakan dan
memberikan ilmu kepada penulis. Terus berkarya dan Semoga semakin
solid.
x
10. Terima kasih kepada kawan-kawan dari KOMUNITAS MITSUBISHI
KUDA INDONESIA (KOMIK_ID) atas doa dan ilmu yang diberikan
kepada penulis.
11. Terima kasih untuk seluruh staf pegawai perpustakaan yang telah
memberikan pinjaman koleksi-koleksi buku.
Semoga peran, dukungan serta doa mereka akan diberikan balasan,
keberkahan, kesehatan dan kebahagiaan. āmīn yā rabb al-‘ālamīn.
xi
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan …………………………………………………… i
Lembar Pernyataan …………………………………………………… ii
Lembar Pengesahan …………………………………………………… iii
Abstrak …………………………………………………………………. iv
Pedoman Transliterasi ………………………………………………… v
Kata Pengantar ……………………………………………………….... vi
Daftar Isi ………………………………………………………………... xi
BAB I
PENDAHULUAN………...…………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………… 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ...……………...……………….. 11
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ….……………………………..... 11
D. Kajian Pustaka ………………...………………………………... 12
E. Metodologi Penelitian …………………………………………... 14
F. Sistematika Penulisan…..……………………………………….. 15
BAB II
PENGANTAR MEMAHAMI PLURALITAS DAN PLURALISME
AGAMA…......................................................................................……. 17
A. Pengertian Pluralitas dan Pluralisme Agama ..…………….…… 18
xii
B. Sejarah Munculnya Pluralitas dan Pluralisme Agama …….….. 24
C. Tujuan Pluralias dan Pluralisme Agama …………...………….. 27
BAB III
RIWAYAT HIDUP HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH .. 30
A. Biografi Masa Kecil …………………………………….....…….. 30
B. Pendidikan …………………………………………………… 31
C. Sesuatu Yang Paling Berharga ………………………………. 33
D. Berkiprah dalam Organisasi ……………………………………... 40
1. Berkiprah dalam Organisasi Muhammadiyah ……………….. 43
2. Berkiprah dalam Majelis Ulama Indonesia ………………….. 44
E. Karya Tulis Haji Abdul Malik Karim Amrullah ………………… 51
BAB IV
PLURALITAS AGAMA DALAM PERSPEKTIF HAJI ABDUL MALIK
KARIM AMRULLAH………………………………………………….. 54
A. Kewajiban dan Hak Asasi Manusia ………………………………. 59
B. Akhlak dalam Pandangan HAMKA ...……………………..……... 65
C. Akidah dalam Pandangan Pluralitas Agama HAMKA…………... 68
D. Konsep Pluralitas Agama HAMKA………...…………………… 73
BAB V
PENUTUP ……………………………………………………………….. 76
xiii
A. Kesimpulan ………………………………………………………. 76
B. Saran-Saran ………………………………………………………. 78
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………. 80
1
Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai Negara bangsa, Indonesia menghadapi masalah yang begitu kompleks
dan rumit. Masalah itu antara lain berkaitan dengan jumlah penduduk yang sangat
besar, yakni sekitar 215 juta jiwa. Indonesia menduduki urutan ke-4 didunia setelah
RRC, India, dan USA untuk jumlah penduduk terbanyak. Hal ini ditambah lagi dengan
kondisi penduduk yang sangat majemuk, terdiri dari sekitar 300 kelompok etnis yang
memiliki lebih dari 250 bahasa lokal dengan identitas kultural yang berbeda-beda, serta
tersebar di 13.000 pulau besar dan kecil yang menjadikan Indonesia merupakan
kepulauan terbesar didunia. Belum lagi keragaman agama yang ada di Indonesia,
seperti agama-agama besar seperti agama Islam yang merupakan agama mayoritas di
Indonesia, lalu Kristen, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu, serta agama-agama
lokal dan agama-agama minor yang terkandung dan terpelihara didalamnya. Bagi
Indonesia, keragaman dalam berbagai hal itu memang sebuah realitas.
Kondisi yang heterogen secara alami ini belum cukup untuk menjadi fondasi
dasar bagi bangunan demokrasi di Indonesia. Pluralitas bangsa Indonesia membuat
potensi konflik di Indonesia menjadi tinggi. Bahkan selama ini hampir-hampir tidak
terlihat upaya-upaya serius untuk menumbuhkan rasa saling menerima dan menghargai
akan pluralitas itu sendiri, baik dalam pendidikan dilingkungan keluarga, terlebih lagi
2
dilingkungan lembaga pendidikan formal dan nonformal. Pluralitas tersebut bisa
menjadi ancaman besar yang akan menimbulkan malapetaka dalam wujud konflik
sosial, politik, agama dan budaya, baik konflik internal maupun eksternal.
Contoh yang sangat rentan mengenai konflik di Indonesia yaitu seputar masalah
agama. Latar belakang masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam,
Katolik dan Kristen berkembang dan menyebar dalam waktu yang cukup lama dan
panjang, sehingga terjadi pertemuan antar kelompok agama yang satu dengan yang
lainnya. Dalam pertemuan agama-agama tersebut terkadang timbul potensi integrasi
dan terkadang muncul potensi kompetisi tidak sehat yang dapat menimbulkan
benturan-benturan sesama umat.1
Agama-agama tersebut belum mampu menjadikan para penganutnya untuk
saling menghormati dan menghargai kelompok-kelompok agama lainnya. Tetapi
cenderung memandang kelompoknyalah yang benar. Semua itu terjadi ketika sebuah
kelompok atau individu sudah menganggap dirinya paling otoritatif, maka pada
dasarnya kelompok atau individu tersebut dengan mudah terjerumus pada tindakan
yang bersifat otoriter. Sebab batasan antara keduanya sangatlah tipis dan mudah
berubah.2
1Tim Puslitbang Kehidupan Beragama, Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-
undangan Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan
Diklat Kementrian Agama RI, 2012) hlm. 2. 2 Ali Usman, ed., Esai-esai Pemikiran Moh. Shofan dan Refleksi Kritis Kaum Pluralis:
Menegakan Pluralisme: Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah, (Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media, 2008), h. 64.
3
Di Indonesia, boleh dikatakan hampir setiap tahun terjadi ketegangan akibat dari
sentimen antar umat beragama.Tidak jarang di antara umat beragama lebih
mementingkan kuantitas daripada kualitas. Yang penting jumlah besar, meski kualitas
medioker. Maka tidak mengherankan sementara orang berpikir untuk mencari pengikut
sebanyak-banyaknya. Jika perlu seluruh penduduk bumi ini digiring semua agar
beriman seperti mereka. Sikap arogansi dan intoleran semacam ini dikritik Al-Qur’an
dalam kalimat, “Dan sekiranya Tuhanmu menghendaki, sungguh akan berimanlah
manusia di muka bumi ini seluruhnya. Apakah engkau (Muhammad) ingin memaksa
manusia hingga semuanya beriman?” (Q.S. Yunus 10:99). Ayat ini dengan tegas
melarang siapapun melakukan paksaan dalam agama. Dalam kalimat lain, pluralitas
agama merupakan fakta sejarah, karena itu harus diakui, disyukuri, dan dihormati.
Sebab bila dilihat dalam perspektif yang lebih luas, fenomena itu telah memperkaya
bangunan kemanusiaan universal.3 Oleh karena itu, isu pluralitas agama menjadi sangat
penting sekali untuk di apresiasi lebih jauh guna merespon kehidupan keberagamaan
dewasa ini.
Menyadari hal tersebut, sangat diperlukan kearifan dan kedewasaan dikalangan
masyarakat untuk memelihara keseimbangan antara kepentingan kelompok dan
kepentingan nasional. Guna mewujudkan hal tersebut, diperlukannya interaksi aktif
antara berbagai pihak yang dibangun atas landasan niat baik untuk bekerja sama dalam
rangka mewujudkan kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera.
3Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Agama dan Ketulusan,” dalam Pluralitas Agama: Kerukunan dalam
Keragaman (Jakarta: Kompas, 2001), h. 197.
4
Pelajaran agama berperan penting dan berperan aktif di dalam mengajarkan umat
pemeluk agama dalam menciptakan rasa saling menghormati dan menghargai agama
lain. Maka dari itu, tugas para fungsionaris, pemuka agama dan bahkan umat beragama
adalah terus mensosialisasikan sekaligus mengaktualisasikan ajaran-ajaran agama
tentang perdamaian dalam kehidupan sehari-hari.4 Segala macam pelajaran agama-
agama yang bersifat positif harus dipublikasikan ke media agar tercipta sikap
pluralisme agama.
Sebagai Negara yang plural dari segi agama, sudah tentu Indonesia memiliki
begitu banyak cendikiawan yang menangani permasalahan agama guna tercapainya
Negara yang harmonis, damai dan sejahtera. Dari banyaknya cendikiawaan agama di
Indonesia, banyak juga diantaranya yang terkenal bukan saja di dalam negeri, namun
juga sampai keluar negeri. Salah satunya ialah Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim
Amrullah yang lebih dikenal dengan panggilan HAMKA, ia merupakan salah satu
sosok cendikiawan muslim yang peduli akan keharmonisan negaranya, seorang
cendikiawan yang multitalenta, banyak predikat yang disandangnya antara lain ialah
sebagai seorang ulama, pendidik, akademisi, politisi, filsuf, sastrawan, sejarawan,
penulis, jurnalis, dan masih banyak lagi predikat-predikat yang disandangnya. Karya-
karyanya pun telah tersohor di dalam maupun di luar negeri, karena keberhasilannya
dibidang pembaharuan pendidikan agama dan pemahamannya dibidang akademisi,
4 KH. Abdurrahman Wahid dan Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban untuk Toleransi dan
Kedamaian (Jakarta: Kompas, 2006), h. 10-11.
5
HAMKA diberikan predikat Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di Mesir
pada tahun 1959.5
HAMKA merupakan tokoh Muhammadiyah, namun di dalam pemikirannya, ia
terus menghimbau bahwa masalah-masalah khilafiyah bukanlah persoalan penting dan
tidak membahayakan akidah. Menurut HAMKA perdebatan masalah ini hanya akan
membuat hati menjadi kasar.6 Sikap menghargai dan menghormati dalam menyikapi
perbedaan di tengah-tengah umat Islam, berpadu dengan sikap tegasnya dalam
membela kepentingan umat, membuat sosoknya mudah diterima di seluruh kalangan,
bahkan oleh non-Muslim sekalipun.
Dalam pidato dan tulisannya, HAMKA banyak membahas tentang keagamaan,
kebebasan berpikir, akhlak (budi), kewajiban dan hak asasi manusia. Maka dari itu,
penulis merasa bahwa wacana tentang pluralitas agama menurut pandangan HAMKA
perlu dikaji dan dikembangkan.
Secara garis besar, pluralitas berasal dari kata plural artinya adalah jamak, bukan
satu, tetapi banyak, dan banyak itu berarti berbeda, karena tidak ada yang sama.
Sesuatu yang membuat penulis semakin penasaran akan perspektif HAMKA terhadap
plurlitas agama adalah mengenai bukunya yang berjudul Sejarah Umat Islam
diterbitkan pertama kali oleh NV Bulan Bintang pada tahun 1975. HAMKA melarang
berbenci-benci lantaran berlainan agama, mengakui bahwa tiap-tiap golongan
mempunyai tujuan sendiri-sendiri dan tidak memperbolehkan memaksa seseorang
5 Prof. Dr. H. Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 16. 6 Hamka, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 89-92.
6
untuk memeluk agama yang kita peluk, semua penjelasan tersebut dikutipnya dari QS.
Al-Baqarāh: 148 yang artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat memiliki kiblatnya (sendiri)
yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan.
Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari
kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. QS. Hud: 118 yang
artinya: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. QS. An-Nahl: 125 yang artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. QS. Yunus: 99 yang artinya: “Dan
jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya?”. QS. Al-Baqarāh: 256 yang artinya: “Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.7
7 Prof. Dr. Hamka, Sejarah Umat Islam, cet. 7, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986), h. 214.
7
Terdapat juga kutipan pidatonya yang di rangkum ke dalam sebuah buku oleh H.
Rusydi, Afif pada buku Hamka Membahas Soal-Soal Islam, dari majalah Gema
IslamNo. 9 tanggal 1 Juni 1962 yaitu:
Tentang seorang jama’ah yang bertanya mengenai “bagaimana hukumnya orang
musyrik masuk masjid? Apakah tidak bernajis karena dimasukinya? Dan apa bedanya
hukum najis pada diri orang musyrik dengan hukum najis anjing dan babi, yang mana
babi itu pun makanan mereka juga?”. Pertanyaan tersebut timbul lantaran jama’ah
tersebut melihat foto Robert Kennedy (kala itu menjabat sebagai Jaksa Agung Amerika
Serikat yang non Muslim) memasuki masjid Agung Al-Azhar.
HAMKA menjelaskan pertanyaan tersebut yang merujuk kepada kitab suci Al-
Qur’an Surat At Taubah ayat 28 yang berbunyi:
اليقربواالمسجدالحرام بعدعامهم هذايآيهاالذين ءامنوآإنماالمشركون نجس ف
“Wahai orang yang beriman, orang yang masih mempersekutukan Tuhan Allah
dengan yang lain itu adalah amat najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil
Harām sejak tahun ini”.
Dalam pidatonya, HAMKA menjelaskan bahwa:
“Sejak tahun itu, dibuatlah peraturan oleh Tuhan bahwa Masjidil Harām yang
ada di Makkah itu tidak boleh lagi dimasuki oleh kaum musyrik penyembah berhala.
Sejak saat itu dibersihkanlah tanah Harām Makkah dari segala sisa kemusyrikan.
Kemudian dengan tegas Nabi mengemukakan aturan bahwa di tanah Hejaz tidak boleh
8
ada dua agama. Akhirnya Sayidina Umar bin Khattab menetapkan untuk seluruh
Jazirah Arab hanya boleh satu agama yaitu Islam. Mengenai masuknya kaum musyrik
atau orang beragama lain ke dalam Masjid yang lain, diperbolehkan kecuali di Makkah.
Sebagaimana perbuatan Rasulullah SAW sendiri dapatlah dibuktikan bahwa mereka
boleh masuk, sekedar ziarah, sebagaimana ziarahnya Robert Kennedy ke masjid Agung
Al-Azhar itu.”
Dalam pidatonya, HAMKA menjelaskan juga tentang bagaimana sikap
Rasulullah ketika menerima tamu dari kalangan non-Muslim di dalam Masjid:
1. Rasulullah SAW telah menerima perutusan (delegasi) persukuan Tsaqif dari Thaib
di dalam Masjid Nabi di Madinah. Ketika itu mereka masih musyrik. Lama sekali
perutusan-perutusan itu bertukar pikiran dengan Rasulullah SAW di dalam Masjid
itu tentang kemungkinan-kemungkinan mereka memeluk agama Islam. Dan
setelah bertukar pikiran itu, merekapun pulang kembali ke Negerinya. Sampai di
negerinya barulah semuanya memeluk Islam, kecuali seorang saja, yang telah
memeluk Islam sementara masih di Madinah.
2. Ahlul Kitab yaitu orang Nasrani (Kristen) dari Najran (Arab Selatan) di bawah
pimpinan pendeta-pendeta mereka sendiri datang sebagai suatu delegasi
menghadap Nabi ke Madinah. Bahkan mereka datang di waktu Ashar dan
beberapa saat kemudian, mereka pun hendak ingin mengerjakan sembahyang
menurut agama mereka di dalam Masjid Rasulullah. Sahabat-sahabat Rasulullah
bertindak untuk menghalangi, maka bersabdalah Rasulullah: “Da ’uuhum”
9
(biarkanlah mereka). Maka sembahyanglah mereka menghadap ke timur (Baitul
Maqdis) menurut agama mereka.
Dalam penjelasan ini, HAMKA mengutip kedua riwayat ini dari Sirah Ibnu
Hisyam dari riwayat Ibnu Ishak, yang dijelaskan lagi oleh Ibnul Qayyim di dalam kitab
“Zādil Ma’ad”, Ibnu al-Qayyim memberi komentar, bahwa dengan demikian mereka
dapat melihat ibadah secara Islam dan bagaimana pula persaudaraan di dalam Islam
dengan ibadahnya yang langsung kepada Tuhan itu.
HAMKA menjelaskan lagi tentang pertanyaan yang kedua mengenai ayat kaum
musyrikin adalah najis, yaitu:
“Yang dikemukakan disini ialah najis faham mereka, karena mereka
mempersekutukan Tuhan dengan yang lain, bukan najis badan mereka, sehingga
tidak boleh disentuh. Dan bukan pula najis makanan mereka, karena di dalam Al-
Qur’an Surat Al-Māidah ayat 5 diterangkan dengan jelas bahwa makanan ahlul
kitab itu halal bagi kaum Muslimin, misalnya jika mereka menghidangkan
kepada kita daging sapi atau kambing, boleh kita makan. Dan daging babi
tidaklah halal kita makan, walaupun yang menghidangkan orang Islam”.8 (dari
majalah “Gema Islam” No. 9 tanggal 1 Juni 1962).
Dari kutipan diatas, jelaslah bahwa HAMKA membolehkan umat non-Muslim
memasuki Masjid dan tidak mengharamkan badan mereka sebagaimana pertanyaan
yang diajukan seorang jama’ah kepadanya dengan merujuk kepada ayat-ayat suci Al-
Qur’an dan perbuatan Rasulullah. Dalam beberapa karyanya HAMKA menuliskan
bahwa Agama yang benar tidaklah mengenal batas kaum, suku, bangsa, jenis, warna
8 H. Rusydi, Afif, Hamka Membahas Soal-soal Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h.
307-309.
10
kulit. Karena agama yang benar menyeru manusia pulang bersama kembali ke hadirat
Tuhan Rabbul Ālamin. Dia bukanlah Tuhannya orang berdarah Aria atau berdarah
Smiet semata. Tetapi dia adalah Tuhan dari bumi dan langit dan segala isinya. Dia
sendiri yang menjadi hakim, dan kita semua sama derajat. Sama kedudukan di hadapan-
Nya. Kalaupun ada yang terdekat, hanyalah karena Iman dan Takwa.9
Penulis merasa bahwa pemikiran HAMKA tentang hubungan antar agama sangat
penting untuk dijadikan bahan kajian akademis dan patut untuk diangkat ke permukaan
dalam rangka ikut berkontribusi dalam menjalankan kehidupan yang rukun dan damai.
Sekalipun sudah banyak penelitian sebelumnya yang membahas judul ini, namun
penulis berargumen bahwa suatu hasil pemikiran seorang tokoh akan terus berkembang
dan menjadi bahan kajian yang komprehensif bagi kondisi suatu bangsa yang sedang
berkembang bahkan untuk bangsa yang sudah maju sekalipun. Artinya, suatu ilmu
pengetahuan tidak akan pernah hilang jika ilmu tersebut terus diamalkan dan
dikembangkan.
Banyak hal yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini. Di antaranya pertama,
perlunya sosialisasi mengenai makna pluralitas agama yang pada dasarnya merupakan
sunatullah. Kedua, wacana agama yang pluralis, toleran dan inklusif merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari ajaran agama itu sendiri. Sebab pluralitas merupakan hukum
Tuhan yang tidak bisa diubah ataupun ditutup-tutupi. Ketiga, memberi suguhan
berdasarkan pemikiran seorang tokoh terkemuka di Indonesia agar menjadi acuan dasar
9 Prof. Dr. Hamka, Pandangan Hidup Muslim, cet. 4, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 166-
167.
11
bagi siapapun yang membaca skripsi ini tanpa adanya provokasi ataupun
memecahbelah antar agama maupun intra agama. Keempat, perlu adanya upaya-upaya
untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan kerukunan dan perdamaian antar umat
beragama. Beberapa latar belakang diatas menjadi sebab mengapa tema ini semakin
menarik untuk dikaji dan diperbincangkan secara mendalam.
B. Batasan dan Perumusan Masalah
Untuk menghindari meluasnya pembahasan dari penulisan ini, sehingga dapat
menyebabkan digresitas, maka penulis membatasi dalam skripsi ini seputar “Pluralitas
Agama dalam Perspektif Haji Abdul Malik Karim Amrullah”. Selanjutnya perumusan
masalah yang muncul dan penulis angkat dalam penulisan ini adalah: Bagaimana
perspektif Haji Abdul Malik Karim Amrullah terhadap Pluralitas Agama?.
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan permasalahan di atas, maka skripsi ini bertujuan untuk:
Untuk mengetahui sejauhmana perspektif Haji Abdul Malik Karim Amrullah
terhadap pluralitas agama.
Adapun manfaat untuk penulisan ini yakni:
1. Penulis berharap agar skripsi ini dapat menambah pengetahuan bagi yang
membacanya, khususnya pengetahuan bagi penulis sendiri.
2. Menyajikan suatu pengetahuan mengenai pluralitas agama dalam perspektif
Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
12
3. Sebagai syarat menyelesaikan tugas akhir perkuliahan untuk mendapatkan
gelar sarjana agama dan mendapatkan nilai akademik.
4. Menjadi sumber acuan bagi mahasiswa dan masyarakat tentang pluralitas
agama dalam perspektif Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
D. Kajian Pustaka
Sebelum penulis melakukan penelitian lebih mendalam dan menyusunnya
hingga menjadi sebuah skripsi, maka penulis melakukan kajian pustaka di
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta terhadap penelitian terdahulu. Beberapa kajian itu memiliki pembahasan yang
berhubungan dengan penelitian penulis, antara lain:
1. Buku tentang Buya Hamka: Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme karya
Akmal Sjafril penerbit: Indie Publishing, 2012.
Pada bab pertama, menjelaskan tentang Islam dan Toleransi Beragama,
meliputi: Ekslusif. Inklusif dan Pluralis.
Bab kedua, menjelaskan biografi Buya Hamka, meliputi: Pendidikan dan
Keluarga. Ulama Multitalenta. Pahlawan Nasional. Klaim Pluralisme Agama
Terhadap Buya Hamka dan Konsekuensinya.
Bab ketiga, mengenai Pluralisme Agama, meliputi: Sejarah Pluralisme Agama.
Tren-Tren Pluralisme.
Bab keempat, mengenai Islam dan Pluralisme, meliputi: Ayat-ayat Pluralis.
Kritik Para Cendikiawan Muslim Terhadap Pluralisme. Klaim Pluralisme
Terhadap Buya Hamka.
13
Bab kelima, Konsep Hubungan Antar Umat Beragama Menurut Hamka,
meliputi: Konsep Agama. Islam dan Agama Selainnya. Aliran-aliran Sesat.
Aliran-aliran Kepercayaan, Kultus Individu dan Sinkretisme. Komunisme,
Sekularisme dan Pancasila. Toleransi Beragama.
Bab keenam, Menguji Klaim Pluralisme, melipuuti: Hamka dan Humanisme
Sekuler. Hamka dan Teologi Global. Hamka dan Sinkretisme. Hamka dan
Hikmah Abadi. Hamka dan Teosofi-Freemasonry. Penafsiran Hamka Terhadap
Ayat-Ayat Pluralis.
Bab ketujuh, Timbangan Akhir, meliputi: Kasus Ahmad Syafi’i Maarif. Kasus
Ayang Utriza NWAY. Kasus Hamka Haq. Kesimpulan dan Rekomendasi.
2. Skripsi tentang Dakwah dan Pluralisme: Studi Pemikiran K.H. Abdurrahman
Wahid karya Darnoto mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Skripsi ini menggunakan metode analisis
data dan studi kepustakaan. Dalam skripsi ini, K.H. Abdurrahman Wahid
menjelaskan bahwa dakwah yang paling baik adalah pendekatan budaya atau
dakwah kultural. Dalam berdakwah tidak harus dilakukan secara formal atau
menyelipkan ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi. Dan penyebaran nilai-nilai
Pluralisme merupakan perintah agama sebagai rasa syukur kepada Sang
Pencipta dalam menciptakan makhluknya berbeda-beda.
3. Skripsi tentang Pandangan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Terhadap Pluralisme Agama karya Siti Nay Nurjanah mahasiswi jurusan
Perbandingan Agama 2009. Skripsi ini menggunakan metode wawancara
kepada 250 mahasiswa yang dipilih secara acak dari 10 Fakultas. Hasil
14
wawancara dari mahasiswa menunjukan bahwa tidak ada perbedaan
keberagamaan antara fakultas agama dengan fakultas umum.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode pengumpulan data
Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode kepustakaan (library research)
yaitu dengan mengumpulkan data atau mengumpulkan berbagai literatur yang relevan
(data primer) dengan pokok pembahasan dan literatur pendukung (data sekunder)
untuk pelengkap di dalam skripsi ini.
1. Metode pembahasan
Metode pembahasan dalam skripsi ini dengan menggunakan pendekatan
Deskripsi-Analitik yakni mengkaji lalu menggambarkan keadaan objek yang akan di
kaji dengan merujuk kepada data-data yang ada (data primer maupun data sekunder),
kemudian menganalisis secara komprehensif sehingga dengan itu akan menemukan
rincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan.
2. Metode penulisan
Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Akademik
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2010/2011”.
2. Sistematika Penulisan
Untuk memberi arah pada penulisan skripsi ini, perlu dilakukan pemetaan dan
sistematika penulisan. Maka dari itu, sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari
15
lima bab yang masing-masing bab mempunyai sub-sub bab dengan penyusunan
sebagai berikut:
BAB I Merupakan bab pendahuluan sebagai pokok gambaran tentang penulisan
skripsi ini yang meliputi latar belakang masalah yaitu seputar ketertarikan
penulis untuk mengangkat judul skripsi ini.
Batasan dan rumusan masalah, mengenai batasan penulis dalam membahas
materi ini dan pertanyaan yang penulis angkat untuk membahas skripsi ini.
Tujuan dan manfaat penulisan, berisi jawaban atas rumusan masalah agar
mempermudah penulis untuk fokus terhadap pembahasan dan memaparkan
ke arah penulisan yang penulis harapkan atas selesainya penulisan skripsi
ini.
Metodologi penelitian terdiri dari metode pengumpulan data, yakni
menggunakan metode kepustakaan dan metode penulisan yakni dengan
menggunakan buku pedoman akademik UIN tahun 2010/2011.
BAB II Merupakan bab pengantar memahami Pluralitas dan Pluralisme Agama,
yang menjelaskan tentang pengertian Pluralitas dan Pluralisme Agama,
Sejarah Munculnya, Tujuan Pluralitas dan Pluralisme Agama.
BAB III Memaparkan tentang riwayat hidup Haji Abdul Malik Karim Amrullah
yang didalamnya terdapat sub bab pertama, latar belakang keluarga dan
diteruskan dengan sub sub bab berisi tentang biografi dan masa kecil,
16
pendidikan dan suatu yang paling berharga. Sub bab kedua, berkiprah
dalam organisasi dengan sub sub bab berisi tentang berkiprah dalam
organisasi Muhammadiyah dan berkiprah dalam Majelis Ulama Indonesia
(MUI). Sub bab ketiga, karya-karya yang berisi daftar karya tulis maupun
lisan yang dikumpulkan dan dijadikan sebuah buku.
BAB IV Merupakan bab inti dari pembahasan skripsi ini, yang memaparkan tentang
Pluralitas Agama dalam Perspektif Haji Abdul Malik Karim Amrullah
yang meliputi tentang Hak Asasi Manusia, Akhlak Dalam Perspektif
HAMKA, Akidah Dalam Perspektif HAMKA dan Agama yang benar.
BAB V Merupakan bab terakhir dalam skripsi ini, berisi kesimpulan, yakni
pandangan penulis terhadap Perspektif Haji Abdul Malik Karim Amrullah
mengenai Pluralitas Agama dan saran mengenai permasalahan tersebut.
17
BAB II
Pengantar Memahami Pluralitas dan Pluralisme Agama
Indonesia merupakan Negara yang dikenal sebagai bangsa yang sangat
pluralistik, memiliki berbagai nuansa keragaman yang salah satunya terkandung
keanekaragaman agama didalamnya, meliputi agama Islam, Kristen Protestan, Katolik,
Hindu, Budha dan Konghucu yang merupakan agama-agama pendatang dari luar
Indonesia. Ditambah lagi dengan adanya agama-agama lokal yang lebih dahulu
menempati tanah air ini. Kondisi pluralitas agama di Indonesia merupakan sebuah
kenyataan yang telah ada.
Dalam sejarah di Indonesia, proses pengembangan dan penyebaran agama-
agama tersebut berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan panjang sehingga
terjadi pertemuan antara agama yang satu dengan agama yang lainnya. Dalam
pertemuan agama-agama tersebut terkadang timbul potensi integrasi dan terkadang
muncul potensi kompetisi tidak sehat yang dapat menimbulkan benturan-benturan
sesama umat. Ditambah lagi Indonesia merupakan Negara yang pernah lama dijajah,
dalam hal ini telah ditanamkan akar-akar perselisihan dan pertentangan, baik yang
berdasarkan pada perbedaan suku, politik, maupun agama oleh kaum penjajah.1
Pluralitas yang ada di Indonesia tidak semata-mata terjadi secara eksternal karena
perbedaan konsep teologis, namun juga secara internal. Masing-masing agama secara
sosiologis tidaklah tunggal, didalamnya terdapat sekte-sekte, aliran atau faham yang
berbeda-beda pula. Perbedaan secara internal ini, dalam banyak kasus juga berpotensi
memicu konflik di dalam agama yang berujung kepada radikalisme atas nama suatu
instansi di dalam agama maupun atas nama agama.
1 Tim Puslitbang Kehidupan Beragama, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundang-
Undangan Kerukunan Umat Beragama, edisi 11, cet, kedua (Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012), h. 2-3.
18
Maraknya perselisihan dan pertentangan atas nama instansi di dalam agama
maupun atas nama agama di Indonesia, merupakan sebuah bukti nyata akan kurangnya
pemahaman masyarakat tentang realitas keragaman yang telah menjadi akar
terbentuknya Negara ini.
Pada bab ini, penulis akan sedikit menjelaskan tentang pemahaman mengenai
pluralisme agama yang dijabarkan kedalam beberapa sub bab yang meliputi pengertian
pluralisme agama, sejarah, tujuan, dan dilanjutkan kepada teori-teori pluralisme agama
itu sendiri.
A. Pengertian Pluralitas dan Pluralisme Agama
Pluralitas berasal dari kata Plural, yang artinya banyak atau jamak. Terdapat
beberapa kata yang berasal dari kata Plural, contohnya Pluralitas dan Pluralisme.
Namun makna keduanya berbeda. Pluralitas merupakan keadaan yang beragam dan
benar adanya. Keadaan tersebut merupakan hal yang tidak bisa dibantah
keberadaannya.
Pada era moderen, fenomena pluralitas agama telah menjadi fakta sosial yang
harus dihadapi oleh masyarakat. Manusia secara global merasakan bagaimana hidup
berdampingan dengan berbagai penganut agama lain dalam satu negara, dalam satu
wilayah, satu kota dan bahkan dalam satu gang yang sama. Fenomena demikian bagi
masyarakat yang belum terbiasa hidup dengan rasa damai, tentu akan menimbulkan
problematika tersendiri.2
2 Rizki, Nina. Pluralitas Agama Perspektif Islam Pada Koran Seputar Indonesia, (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2015), h. 31.
19
Sedangkan Pluralisme, secara etimologis pluralisme merupakan kosakata dalam
bahasa Inggris yang diserap utuh ke dalam bahasa Indonesia tanpa mengalami
perubahan atau penyesuaian terlebih dahulu. Pluralisme itu sendiri berasal dari dua
suku kata, yaitu Plural dan ism, Kata Plural di maknai dengan kata jamak, banyak, lebih
dari satu.3 Sedangkan ism dimaknai dengan faham atau aliran.4 Meminjam definisi
Martin H. Manser dalam Oxford Learner’s Pocket Dictionary. “plural (form of a word)
used of referring to more than one”. 5 Sedangkan dalam Kamus Ilmiah Populer,
pluralisme merupakan teori yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak
substansi.6
Pluralisme dapat didefinisikan sebagai paham yang meniscayakan keragaman
dan perbedaan. 7 Dalam sumber lain, dijelaskan bahwa pluralisme merupakan
pandangan filosofis yang tidak mau mereduksikan segala sesuatu pada prinsip terakhir,
melainkan menerima adanya keragaman. Pluralisme dapat menyangkut bidang
kultural, politik dan agama.8
Secara istilah, pluralisme bukan sekedar keadaan atau fakta yang bersifat jamak,
atau banyak. Lebih dari itu, pluralisme secara substanisional termanifestasi dalam sikap
3 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, -- Cet. 1. – (Jakarta; Balai Pustaka, 1988), h. 691. 4 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta; PT Gramedia
Pustaka Utama, 1976), h. 435 dan 332. 5 Martin H. Manser, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, (Oxford University, 1999), Third
Edition, h. 329. 6 Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, h. 604. 7 A. Syafi’I Mufid dan Munawar Fuad Noeh (edt), Beragama Di Abad Dua Satu, (Jakarta,
Zikru’l-hakim, 1997), h. 222. 8 Gerald O’ Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, terj. I. Suharjo, cet. 6,
(Yogyakarta; Kanisius, 2001), h. 257.
20
untuk saling mengakui sekaligus menghargai, menghormati, memelihara dan bahkan
mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat jamak, atau banyak.9
Dalam hal ini beberapa tokoh juga mendefinisikan pluralisme dalam berbagai
pendapatnya, antara lain:
Menurut Alwi shihab,10 pengertian pluralisme dapat disimpulkan menjadi empat:
pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya
kemajemukan. Namun, yang dimaksud pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap
kenyataan kemajemukan tersebut. Kedua, pluralisme harus dibedakan oleh
kosmopolitanisme. Dalam hal ini kosmopolitanisme merupakan suatu realitas dimana
aneka ragam ras dan bangsa hidup berdampingan di dalam suatu lokasi akan tetapi
tidak ada interaksi sosial didalamnya. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan
dengan relativisme. Paham relativisme menganggap bahwa kebenaran segala sesuatu
bersifat relatif (tidak mutlak) 11 yang berujung kepada anggapan bahwa “semua
kebenaran adalah sama”. Keempat, pluralisme bukanlah sinkretisme, yakni kelompok
yang memadukan atau mencampur suatu ajaran, pikiran atau pengamalan kelompok
tertentu12 atau sebagian komponen ajaran dari beberapa kelompok untuk dijadikan
bagian integral dari kelompok tersebut.
9 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 75. 10 Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama (Bandung: Mizan,
1999), h. 41-42. 11 Drs. Kamisa, Kamus Lengkap BAHASA INDONESIA (Surabaya: KARTIKA, 1997), h. 448. 12 Abujamin Roham, Ensiklopedi Lintas Agama (Jakarta: Emerald, 2009), h. 642.
21
Selanjutnya menurut Moh. Shofan, pluralisme adalah upaya untuk membangun
tidak saja kesadaran normatif teologis tetapi juga kesadaran sosial, dimana kita hidup
ditengah masyarakat yang plural dari segi agama, budaya, etnis, dan berbagai
keragaman sosial lainnya. Maka dari itu, pluralisme bukanlah konsep teologis semata,
melainkan juga konsep sosiologis.13
Menurut Rifyal Ka’bah, pluralisme merupakan sebuah kenyataan kehidupan
moderen yang berkembang dari pemikiran-pemikiran tentang demokrasi, kebebasan
memberikan pendapat, hak-hak asasi manusia, dan lain-lain. Dengan kata lain,
pemikiran-pemikiran tersebut menginginkan kesepahaman tentang aturan-aturan yang
menjadi kesepakatan bersama, konstitusionalisme, penegakan hukum, toleransi, etika
politik dan lain-lain sehingga kehidupan menjadi harmonis dan damai. Menurutnya,
pluralisme dapat dilihat melalui keragaman makhluk, suku bangsa, bahasa, agama,
partai/golongan, profesi, sumber daya dan hukum.14
Sementara itu Syamsul Ma’arif mendefinisikan pluralisme adalah suatu sikap
saling mengerti, memahami, dan menghormati adanya perbedaan-perbedaan demi
tercapainya kerukunan. Dan dalam berinteraksi dengan keanekaragaman tersebut,
kelompok masyarakat diharapkan masih memiliki komitmen yang kokoh terhadap
kelompoknya masing-masing.15
13 Ali Usman, ed. Esai-esai Pemikiran Moh. Shofan dan Refleksi Kritis Kaum Pluralis,
Menegakkan Pluralisme: Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah (Jakarta: LSAF,
2008), h. 87. 14 Azyumarrdi Azra, et. al, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam: Bingkai Gagasan yang
Berserak (Bandung: Nuansa, 2005), h. 69-70. 15 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta, Logung Pustaka, 2005),
h. 17.
22
Menyangkut dalam segi agama, pluralisme agama bukan hanya mengakui akan
keberadaan agama lain, melainkan terlibat aktif dalam usaha memahami satu sama lain.
Dalam hal ini, pluralisme agama tidak menganggap semua agama adalah sama
sebagaimana dalam pandangan relativisme dan pluralisme agama tidak mencampur-
adukan ajaran satu agama dengan agama lainnya sebagaimana dalam pandangan
sinkretisme.16
Dengan kata lain, pluralisme agama merupakan suatu sikap membangun tidak
saja kesadaran normatif teologis tetapi juga kesadaran sosial, dimana kita hidup di
tengah masyarakat yang majemuk dari segi agama, budaya, etnis dan berbagai
keragaman sosial lainnya. Selain itu pluralisme agama juga harus dipahami sebagai
pertalian sejati dalam kebhinekaan.
Pluralisme agama tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa
masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang
justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi agama. Pluralisme agama juga tidak
boleh dipahami hanya sebagai “kebaikan negatif” yang hanya ditilik dari kegunaannya
untuk menyingkirkan fanatisme agama. Pluralisme agama harus dipahami sebagai
pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. 17 Dengan demikian,
agama-agama bisa menjelaskan tidak saja alasan sosiologisnya, tetapi juga pijakan
normatif-teologisnya untuk menjadi alasan menjalin hubungan harmonis dengan
agama lain. Karena itu, tidak seorang pun berhak memonopoli kebenaran Tuhan,
dengan mengatakan bahwa agamanya paling benar dan paling menjanjikan
keselamatan.18
Dari beberapa definisi menurut para ahli diatas bahwa pluralisme agama
merupakan sunnatullah yang tidak akan bisa dirubah atau di ingkari. Membutuhkan
16 Alwi Shihab, Islam Inklusif, h. 41-42. 17 Budi Munawar Rachman, Islam Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 39. 18 Umi Sumbulah, Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial Aktivis
Hizb al-Tahrir dan majlis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi (Badan Litbang
dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), h. 50.
23
ikatan, kerjasama dan kerja nyata. Ikatan komitmen yang paling dalam, perbedaan yang
paling mendasar dalam menciptakan masyarakat secara bersama-sama. Maka dari itu,
pluralisme agama harus diamalkan berupa sikap saling mengerti, memahami dan
menghormati antar umat beragama dan terjalin pertalian sejati kebhinekaan.
Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa:
وا إن أكرمكم عندهللا شعوباوقبائل لتعارف وجعلنكم يأيها الناس إناخلقنكم من ذكر وأنثى
أتقكم إن هللا عليم خبير
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”19
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah Swt telah menciptakan makhluknya yang
beragam berupa laki-laki dan perempuan, menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku untuk menjalin hubungan yang baik dengan interaksi yang positif. Dan
sebaik-baiknya makhluk yaitu yang bertakwa, taat dan dekat kepada Allah.
19 Q. S. Al-Hujurat: 13.
24
B. Sejarah Munculnya Pluralitas dan Pluralisme Agama
Pluralitas agama mulai mendapat perhatian besar dikalangan cendikiawan
muslim maupun non muslim pada abad ke 20, tepatnya setelah perang dunia ke II. Para
cendikiawan tersebut banyak yang melakukan riset penelitian yang mengangkat hal
pluralitas agama. Oleh karenanya, banyak menghasilkan karangan ilmiah dan khazanah
ilmu filsafat dan agama.20
Sedangkan pemikiran pluralisme agama muncul pada abad ke-18 Masehi, masa
yang disebut Pencerahan (Enlightenment) Eropa, masa yang sering disebut sebagai titik
permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan
wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada
superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan
agama. Ditengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai
konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata
diluar gereja, muncullah suatu paham yang dikenal dengan “liberalisme”, yang
komposisi utamanya adalah kebebasan, toleransi dan keragaman atau pluralisme.
Karena paham “liberalisme” pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis,
maka wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme
agama, juga kental dengan nuansa aroma politik. Kemudian gagasan pluralisme agama
muncul dan hadir dalam kemasan “pluralisme politik”, yang merupakan produk dari
“liberalisme politik”. 21 Ini dikarenakan respon politis terhadap kondisi sosial
masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok dan mazhab.
Dalam perkembangannya di Eropa, pluralisme agama masih belum secara kuat
mengakar dalam kultur masyarakatnya. Beberapa sekte Kristen masih mendapatkan
perlakuan diskriminatif dari gereja. Hingga pada saat dilangsungkannya Konsili
Vatikan II (1962-1965) yang menyatakan “Gereja Katolik sama sekali tidak menolak
20 Rizki, Nina. Pluralitas Agama Perspektif Islam, h. 35. 21 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2006), h.
17.
25
sesuatu yang benar dan suci dalam agama-agama itu. Gereja dengan tulus menghormati
perilaku dan jalan hidup, ketentuan dan ajaran yang meskipun berbeda dalam banyak
hal dengan yang diyakini dan ditetapkan di Gereja, sering mencerminkan sinar
kebenaran yang menerangi semua manusia”.22
Seorang tokoh teolog Kristen, Ernst Troeltsch (1865-1923) menyampaikan
dalam sebuah makalahnya yang berjudul The Place of Christianity among the World
Religions bahwa pluralisme agama secara argumentatif dalam semua agama, termasuk
Kristen, selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agamapun yang memiliki
kebenaran mutlak.23
Selama dua dekade terakhir abad ke-20, gagasan pluralisme agama telah
mencapai fase kematangannya dan menjadi diskursus pemikiran tersendiri pada
dataran teologi modern. Fenomena sosial politik akhir abad ke-20 juga
mengetengahkan realitas baru kehidupan antar agama yang lebih nampak sebagai
penjabaran kalau bukan dampak dari gagasan pluralisme agama. Dalam kerangka
teoritis, pluralisme agama telah dimatangkan oleh pemikir-pemikir teolog modern
dengan konsepsi yang lebih diterima oleh kalangan antar agama.
Meskipun gagasan pluralisme agama ini lebih tampak sebagai fenomena yang
dominan dalam masyarakat Barat, namun pada dasarnya pemikiran ini mempunyai
akar yang cukup kuat dalam pemikiran masyarakat Timur, khususnya di India sejak
abad ke-15 dalam gagasan-gagasan Kabir (1440-1518 M) dan muridnya yaitu Guru
Nanak (1469-1538 M) pendiri agama “Sikhisme”. Namun pengaruh gagasan ini hanya
berkembang dan populer di anak benua India.24
Pada awal abad ke-18, Rammohan Ray (1772-1833 M) mencetuskan gerakan
Brahma Samaj yang semula pemeluk agama Hindu, telah mempelajari konsep
keimanan kepada Tuhan dari sumber-sumber agama Islam, sehingga ia mencetuskan
22 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis Al-
Qur’an, (Depok: KataKita, 2009), h. 58. 23 Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, h. 18. 24 Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, h. 20.
26
pemikiran Tuhan Satu dan persamaan antar agama. Sri Ramakrishna (1834-1886 M),
seorang mistis Bengali, setelah mengarungi pengembaraan spiritual antar agama dari
agama Hindu ke agama Islam kemudian ke agama Kristen dan akhirnya kembali ke
agama Hindu, juga menceritakan bahwa perbedaan-perbedaan dalam agama-agama
sebenarnya tidaklah berarti, karena perbedaan tersebut hanya masalah ekspresi.
Menurutnya, semua agama mengantarkan manusia kepada satu tujuan yang sama,
maka mengubah seseorang dari satu agama ke agama lain merupakan tindakan yang
tidak bisa dibenarkan dan merupakan tindakan yang sia-sia. Gagasan Ramakrishna
berkembang dan diterima hingga di luar anak benua India berkat kedua muridnya,
Keshab Chandra Sen (1838-1884 M) ketika berkunjung ke Eropa. Dan Swami
Vivekananda (1882-1902 M) ketika berpidato di Chicago, Amerika Serikat pada tahun
1893. Kemudian menyusul tokoh-tokoh India lainnya seperti Mahatma Gandhi (1869-
1948) dan Sarvepalli Radhakrishnan (1888-1975).25
Sementara itu, jauh sebelum berkembangnya gagasan-gagasan seperti yang telah
di jelaskan diatas, dikisahkan oleh Ibnu Hisyam dalam Al-Sirah Al-Nabawiyah bahwa
Rasulullah pernah menerima kunjungan para tokoh Kristen Najran yang berjumlah 60
orang. Menurut Muhammad Ibnu Ja’far Ibnu al-Zubair, ketika Rasulullah sedang
melaksanakan shalat ashar bersama para sahabatnya, rombongan itu sampai di
Madinah dan mereka langsung menuju Masjid tempat Rasulullah berada. Ketika waktu
kebaktian tiba, mereka tidak harus mencari gereja, Rasulullah memperkenankan
mereka untuk beribadah menurut kepercayaannya di dalam Masjid.
Sikap yang sama juga ditunjukan oleh kalangan Kristen. Ketika umat Islam
dikejar-kejar oleh orang-orang kafir Quraisy Makkah, yang memberikan perlindungan
adalah Najasyi, Raja Abesinia beragama Kristen. Ratusan sahabat Rasul hijrah ke
Abesinia untuk menghindari ancaman pembunuhan kafir Quraisy. Saat orang-orang
kafir Quraisy memaksa sang raja untuk mengembalikan umat Islam ke Makkah, ia tetap
25 Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, h. 21-22.
27
pada pendiriannya bahwa pengikut Nabi Muhammad harus dilindungi dan diberikan
hak-haknya, termasuk hak memeluk agama.26
Dari sejarah perkembangannya, terlihat jelas bahwa sikap pluralisme agama telah
diterapkan dari Zaman terdahulu, walaupun kata tersebut baru dimunculkan pada abad
ke-18.
Sementara itu, pluralisme agama di Indonesia sulit untuk diwujudkan tanpa
adanya keterbukaan untuk menerima dan menghargai secara aktif adanya perbedaan
khususnya yang berhubungan dengan agama.
C. Tujuan Pluralitas dan Pluralisme Agama
Pluralitas merupakan suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia memiliki
beraneka ragam suku, agama dan budaya. Dalam sudut pandang Islam, hal itu dianggap
sebagai sunatullah atau hukum alam yang harus kita hargai dan kita biarkan
berkembang sesuai kodratnya masing-masing.27
Melalui pluralisme kita diantarkan pada penciptaan perdamaian dan upaya
menanggulangi konflik yang akhir-akhir ini marak, baik di luar negeri maupun di
Indonesia sendiri, sebab nilai dasar dari pluralisme adalah penanaman dan pembumian
nilai toleransi, empati, simpati, dan solidaritas sosial. Akan tetapi untuk merealisasikan
tujuan pluralisme seperti itu, perlu memperhatikan konsep unity in diversity dengan
menanamkan kesadaran bahwa keragaman dalam hidup sebagai suatu kenyataan dan
memerlukan kesadaran bahwa moralitas dan kebijakan bisa saja lahir (dan memang
26 Ali Usman, ed. Esai-esai Pemikiran Moh. Shofan, h. 56. 27 Maria Ulfa, ed., Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam: Bingkai Gagasan Yang Berserak,
(Bandung: Nuansa, 2015), h. 13.
28
ada) dalam konstruk agama-agama lain. Tentu saja penanaman konsep seperti ini
dengan tidak mempengaruhi kemurnian masing-masing agama yang diyakini
kebenarannya oleh kita semua.28
Dalam hal ini beberapa tokoh menyebutkan tujuan pluralisme agama dalam
berbagai pendapatnya antara lain:
1. Menurut Jalaluddin Rahmat tujuan pluralisme agama ialah untuk
menegaskan unsur asasi yang mempersatukan semua agama dan menjadi
syarat untuk memperoleh pahala Allah.29
2. Abdurrahman Wahid pluralisme bertujuan untuk mempertahankan atau
penyatu dan perekat suatu negara. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan
pengembangan konsep pluralisme. Di samping itu pluralisme juga bertujuan
menghormati perbedaan, karena semakin mengeratkan nilai pluralisme
(keragaman) yang diyakini oleh seseorang. Maka dengan itu, muncul sikap
menghormati keyakinan agama lain sehingga tercipta perdamaian abadi dan
saling menghormati antarumat beragama, bangsa, dan antar manusia.30
3. Nurcholis Madjid yang dikutip Nur Khalik Ridwan mengatakan bahwa
pluralisme bertujuan mendekonstruksi absolutisme, menegaskan relativisme
dan membumikan toleransi setiap perbedaan, heterogenitas dan
kemajemukan bukan hanya dianggap sebagai fakta yang harus diakui, tetapi
28 Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam (Jakarta: Grafindo, 2009), h. 9. 29 Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan (Jakarta:
Serambi, 2006), h. 25. 30 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara
Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. vii.
29
kemajemukan dilihat dan diperlakukan sebagai bentuk positivisme, bukan
negativisme.31
Dari pemaparan diatas terlihat jelas bahwa tujuan pluralisme agama adalah
sebagai alat untuk penyatu dan perekat suatu negara, baik itu dari golongan bawah,
menengah maupun golongan atas. Di samping itu, seorang pluralis yang mengusung
pluralisme dengan cara-cara pluralisasi-nya harus mengakui dan menjaga adanya
perbedaan, kemajemukan, dan heterogenitas ini untuk dijadikan hal yang bermanfaat.
31 Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur (Yogyakarta:
Galang Press, 2002), h. 91.
30
BAB III
RIWAYAT HIDUP HAJI ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH
A. Biografi dan Masa Kecil
HAMKA dilahirkan di sebuah kampung yang bernama Tanah Sirah, Sungai
Batang Maninjau (Sumatra Barat) pada hari Ahad petang malam Senin, 16
Februari 1908 bertepatan pada 14 Muharram 1326 H.1 Ayahnya bernama Haji
Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul dan ibunya bernama Syafiah binti
Bagindo Nan Batuah. HAMKA merupakan anak pertama dan mempunyai tiga
orang adik yaitu, Abdul Kudus, Asma, dan Abdul Muthi.2 Nama lahirnya ialah
Abdul Malik, nama tersebut diberikan oleh ayahnya yang diambil dari nama anak
gurunya, Syeikh Ahmad Khathib di Mekkah yang bernama Abdul Malik pula,
yang di zaman pemerintahan Syarif Husain pernah menjadi Duta Besar Kerajaan
Hasyimiyah di Mesir.3
Sejak kecil, pendidikan yang diterapkan oleh ayahnya adalah pendidikan
agama. Ayahnya berharap dengan pengetahuan agama yang diterima HAMKA
akan menuntunnya menjadi seorang ulama dan seorang yang berguna bagi
agamanya. Namun ketika kecil, HAMKA justru lebih tertarik pada buku-buku
cerita dan sastra dari pada belajar mengaji, hal inilah yang membuat ayahnya
marah.4
1 HAMKA, Kenang-Kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 9.2 HAMKA, AyahkuRiwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah, h. 262.3 HAMKA, Ayahku…, h. 64.4 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar,cet. 2,(Jakarta: Penamadani,
2003),h. 34.
31
B. Pendidikan
HAMKA mulai mengenyam pendidikan saat usia enam tahun, ayahnya
mengajarkan bagaimana membaca huruf Arab dengan baik dan benar. Selain itu,
HAMKA juga mulai diajarkan sholat dan membaca al-Qur’an dengan bantuan
kakaknya yaitu Fatimah. Dalam hal pendidikan, ayahnya tidak mau menunjukkan
rasa sayang kepada anak-anaknya, hal ini dimaksudkan agar ada rasa segan anak
kepada ayahnya. Maka dari itu, HAMKA merasa lebih sayang kepada kakek dan
neneknya dibandingkan terhadap ayahnya.5
HAMKA disekolahkan di Sekolah Desa ketika ia berumur tujuh tahun. Pada
tahun 1916, Engku Zainuddin Labai mendirikan sekolah Diniyah. Kegiatan
sekolah Diniyah ini dilakukan pada petang hari. HAMKA kecil dimasukkan ke
sekolah tersebut pada umur 8 tahun sehingga dia merangkap di dua sekolah
sekaligus. Pagi hari HAMKA masuk di Sekolah Desa dan petangnya masuk di
sekolah Diniyah. HAMKA hanya mendapatkan pendidikan selama tiga tahun di
sekolah desa.6
Dua tahun kemudian tepatnya pada Februari 1918 setelah ayahnya pulang
dari Jawa, ayahnya bersama dengan para muridnya mendirikan Thawalib School
(Sumatera Thawalib) di Padang Panjang, sekolah ini diketuai oleh Hasyim
Alhusni. Dari Sekolah Desa, HAMKA dicabut dan dimasukkan oleh ayahnya ke
Sumatera Thawalib dengan hasrat agar anaknya kelak menjadi ulama seperti
ayahnya.7
5 HAMKA, AyahkuRiwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah, h. 317.6 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual (Jakarta: Kencana, 2008), h. 18-
19.7 HAMKA, Mutiara Filsafat, cet. 2,(Jakarta: Widjaya, 1956), h. 7.
32
Beberapa tahun sekolah, HAMKA tidak lagi tertarik untuk menyelesaikan
pendidikan di Sumatera Thawalib. Setelah belajar selama empat tahun (1918-
1922), HAMKA memutuskan untuk keluar dari Sumatera Thawalib, sementara
program pendidikan di sekolah tersebut dirancang selama tujuh tahun. HAMKA
keluar tanpa memperoleh ijazah. Pada masa-masa setelah itu, HAMKA
dipindahkan oleh ayahnya ke Bukittinggi untuk belajar mengaji kepada Syekh
Ibrahim Musa Parabek, Sain Al-Maliki dan Angku Labai Ahmad Padang Luar,
tetapi tidak berlangsung lama, hanya setahun HAMKA belajar disana. Lalu
kembali ke Padang Panjang dan meneruskan belajar ke Sumatera Thawalib di
kelas VI. Di Thawalib, HAMKA belajar tafsir Al-Qur’an dan fiqih oleh Angku
Mudo Abdulhamid. Tetapi HAMKA keluar sebelum naik ke kelas VII dan
berangkat ke Jawa pada tahun 1924 pada usia 16 tahun.8
Dipulau Jawa, tepatnya di Yogyakarta, HAMKA aktif mengikuti kegiatan
yang diadakan oleh Organisasi Sarikat Islam sekaligus menjadi anggota. HAMKA
berkenalan dan menimba ilmu tentang pergerakan kepada para aktivis, seperti
Haji Oemar Said Cokroaminoto (Sarekat Islam), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua
Muhammadiyah), H. Fakhrudin, K.H. Mas Mansur dan RM Suryopranoto.
Bersama mereka HAMKA belajar tentang Islam dan Sosialisme, Sosiologi dan
Ilmu Tauhid. HAMKA bersama dengan kaum muda aktivis, ikut kursus-kursus
tentang pergerakan. HAMKA juga sempat pergi ke Bandung dan bertemu tokoh
Masyumi A. Hassan dan M. Natsir yang memberinya kesempatan belajar menulis
dalam majalah “Pembela Islam”. Selain aktif mengikuti Sarekat Islam, HAMKA
juga aktif sebagai anggota Muhammadiyah. Beberapa bulan berikutnya ia pergi ke
8 HAMKA, Ayahku, Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah,h. 317-318.
33
Pekalongan dan mukim di tempat A.R Sutan Mansyur, tokoh Muhammadiyah
Pekalongan yang juga kakak iparnya. Disini HAMKA berkenalan lebih jauh
dengan para tokoh Muhammadiyah dikota batik itu.Seperti Citrosuarno, Mas
Ranuwarjo, Mas Usman Pujotomo danMohammad Roem yang kala itu ia hanya
mendengar nama tetapi belum berkenalan.9
Pada tahun 1927 ketika berumur 19 tahun, tanpa pamit HAMKA pergi
berguru kepada Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi di Mekkah untuk belajar
mengenai Islam secara mendalam. Di Mekkah, HAMKA bertahan hidup dengan
cara bekerja di perusahaan percetakan-penerbitan milik Tuan Hamid, ipar dari
Syeikh Ahmad Khatib.10
HAMKA mendapat kesempatan belajar langsung kepada ayahnya pada
tahun 1934 di usia 26 tahun. Ia meminta untuk diajarkan ilmu yang belum
dikuasai olehnya, ayahnya melihat perkembangan Abdul Malik dalam berpidato,
mengolah kata, berbahasa Arab dan berfilsafat, maka ayahnya memutuskan untuk
mengajarinya ilmu Ushul Fiqh dan Manthiq. Ayahnya mengajari pelajaran
tersebut dengan tujuan agar HAMKA tidak tersesat karena asyik dengan filsafat,
karena menurut ayahnya filsafat sangat berbahaya.11
C. Sesuatu yang paling berharga
Setelah melaksanakan ibadah haji yang pertama sekaligus belajar kepada
para ulama Makkah pada tahun 1927, HAMKA dinikahkan pada usia 21 tahun,
tepatnya pada tanggal 5 April 1929 setelah kepulangannya dari Medan, HAMKA
9 Rusydi, Pribadi Dan Martabat Buya Prof. DR. HAMKA, cet. 2,(Jakarta: PustakaPanjimas, 1983),h. 2.
10 Shobahussurur. Dkk, Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah, cet. 1,(Jakarta: YPI Al Azhar, 2008), h. 21.
11 HAMKA, Ayahku, Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah, h. 318-319.
34
dinikahkan oleh ayahnya dengan seorang wanita yang bernama Siti Raham. Siti
Raham merupakan anak kedua dari pasangan Rasul St. Redjo Endah dan Siti
Banum. Ketika dinikahkan, Siti Raham masih berumur 16 tahun. Selama
bertahun-tahun pernikahan pasangan itu terus berjalan harmonis hingga dikaruniai
12 orang anak. Dua di antaranya meninggal di usia dini.12 Mereka adalah Hisyam
dan Husna yang meninggal di usia dini, Zaki, Rusjdi, Fachry, Azizah, Irfan,
Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, Shaqib.
Februari 1950 HAMKA beserta keluarga resmi pindah ke Jakarta, yaitu di
Gang Buntu, Jalan Toa Hong II/141, Kebun Jeruk Jakarta. Untuk memulai hidup
di Jakarta, HAMKA mengandalkan honorium dari buku-buku yang diterbitkan di
Medan. HAMKA juga banyak mengirim karangan-karangan pendek ke beberapa
surat kabar, seperti surat kabar Merdeka dan Pemandangan. Di samping itu, dia
juga mengasuh rubrik “Dari Perbendaharaan lama” dalam surat kabar Abadi
dalam setiap edisi Minggu Abadi. HAMKA juga mengirim karangannya ke
majalah-majalah, seperti majalah Mimbar Indonesia yang dipimpin HB Jasin dan
majalah Hikmah.13 HAMKA juga diangkat sebagai Pegawai Kementerian Agama
yang pada waktu itu Menterinya adalah K.H. Wahid Hasyim, dan HAMKA
menjadi dosen di berbagai Perguruan Tinggi Islam, antara lain: Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Universitas
Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Universitas Islam Sumatera Utara, dan
bertugas sebagai dosen Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padang
Panjang.
12 Irfan Hamka, Ayah… (Jakarta: Republika, 2013), h. 212.13 Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, (Yogyakarta: Fajar
Pustaka, 2000),hlm. 75-76.
35
Di tahun itu juga HAMKA menunaikan rukun haji kedua kalinya, sebagai
Anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia.14 Pengalaman ibadah haji yang kedua
ditulis oleh HAMKA kedalam tiga buah buku, yaitu: “Mandi Cahaya di Tanah
Suci”, “Di Lembah Sungai Nil”, dan “Di Tepi Sungai Dajlah”.15
Pada tahun 1956, HAMKA beserta keluarga pindah ke Jalan Raden Patah
III No. 1, Kebayoran Baru, didepannya terdapat lapangan luas yang disediakan
pemerintah untuk membangun Masjid Agung Kebayoran Baru. HAMKA begitu
senang karena menurutnya akan mempermudah kegiatannya dalam beribadah,
berdakwah sekaligus mempermudah pendidikan kepada anak-anaknya
dilingkungan yang Islami.
Sepak terjangnya sebagai seorang ulama, akademisi dan pendidik membuat
namanya semakin harum sampai ke luar negeri. Pada tahun 1958, HAMKA
diundang untuk menghadiri sebuah seminar di Universitas Punjab, Lahore,
Pakistan. Disanalah HAMKA berkenalan dengan Dr. Muhammad al-Bahay
seorang pemikir besar Islam. Setelah itu, dilanjutkan kunjungannya ke Mesir
untuk berceramah di gedung As-Syubbanul Muslimun yang diadakan oleh
Mu’tamar Islamy, As-Syubbanul Muslimun dan Universitas Al-Azhar. Didalam
ceramahnya, HAMKA berceramah tentang “Pengaruh Faham Muhammad Abduh
di Indonesia dan Malaya”. Ceramah yang di bawakan HAMKA mendapat
sambutan yang luar biasa dari para tamu undangan yang dihadiri oleh sarjana-
sarjana dan ulama ternama di Mesir. HAMKA mendapat apresiasi yang luar biasa
karena kepiawaiannya berceramah mengenai judul tersebut.
14 H Rusydi, Pribadi Dan Martabat Buya Prof Dr HAMKA, h. 4-5.15 Shobahussurur. Dkk, Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik, h. 26.
36
Setelah menghadiri undangan ceramahnya di Mesir, HAMKA melanjutkan
kunjungannya ke Saudi Arabia untuk memenuhi undangan Raja Saud yang
dilanjutkan berziarah ke makam Rasulullah di Madinah. Ketika di Madinah,
HAMKA mendapat kabar dari Duta Mesir bahwa Universitas Al-Azhar berencana
menganugerahkan gelar ilmiah tertinggi kepadanya, yakni gelar Ustadzyyah
Fakhriyah (Doctor Honoris Causa). Gelar ini merupakan gelar kehormatan
akademis pertama yang diberikan Universitas Al-Azhar kepada orang yang patut
menerimanya.16
Satu tahun berlalu semenjak perencanaan penganugerahan gelar kehormatan
kepada HAMKA, pada akhirnya datang suatu undangan dari Duta Besar Mesir
yang baru saat itu, Sayyid Ali Fahmi pada bulan Maret 1959 yang berisi tentang
pemberian gelar Ustadzyyah Fakhriyah atau Doctor Honoris Causa dari
Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.17
Penganugerahan gelar kehormatan tersebut membuat HAMKA semakin
termotivasi untuk terus mensyiarkan dakwah Islam yang berpusat di Masjid
Agung Kebayoran Baru. Kegiatan pengajian dan khutbah yang disampaikan oleh
HAMKA membuat Masjid Agung Kebayoran Baru semakin ramai.
Pada Desember 1960, Syaikh Mahmoud Syaltout (ketika itu menjabat
sebagai rektor Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir) dan Dr. Muhammad al-Bahay
(seorang pemikir besar Islam kala itu dan sosok yang di yakini sebagai tokoh
dibalik suksesnya Mahmoud Syaltout memajukan Al-Azhar) berkunjung ke
Indonesia dan mengagendakan kunjungannya ke Masjid Agung Kebayoran Baru.
Dalam kunjungannya, Mahmoud Syaltout memberikan sambutan yang berisi
16 Shobahussurur. Dkk, Mengenang 100 Tahun…, h. 26-28.17 Shobahussurur. Dkk, Mengenang 100 Tahun…, h. 29-30.
37
tentang pemberian nama Al-Azhar kepada Masjid Agung Kebayoran Baru dan
berharap Masjid tersebut menjadi Al-Azhar di Jakarta sebagaimana Al-Azhar di
Kairo. Sejak saat itu, Masjid Agung Kebayoran Baru berganti nama menjadi
Masjid Agung Al-Azhar.18
Dengan kesibukan yang cukup padat, HAMKA tetap terus memberikan
pengajian tafsir di Masjid Agung Al-Azhar. Surat yang pertama kali dikaji adalah
surat Al-Kahfi yang dimulai sejak akhir tahun 1958. Pada Januari 1962 terbitlah
sebuah majalah yang bernama “Gema Islam” dan HAMKA menjadi pemimpin
redaksinya. Majalah tersebut berisi tentang segala kegiatan didalam Masjid Al-
Azhar terutama mengenai pengajian tafsir yang diajarkan HAMKA. Luasnya
peredaran majalah “Gema Islam” membuat pengajian tersebut semakin banyak
diminati oleh masyarakat. Rangkaian pelajaran tafsir yang dimuat dalam majalah
“Gema Islam” diberi judul Tafsir Al-Azhar merujuk tempat pembelajaran tafsir
tersebut sekaligus penghargaan pribadi HAMKA kepada Al-Azhar Kairo, Mesir.19
Pada tanggal 27 Januari 1964, HAMKA dijemput oleh empat orang polisi,
lengkap dengan Surat Penahanan Sementara. Dalam surat tersebut, HAMKA
diduga melakukan kejahatan sesuai dengan PenPres No 11/1963. Abdul Malik
ditahan di Departemen Angkatan Kepolisian selama dua jam setelah itu dibawa ke
Cimacan, Puncak, Bogor selama empat hari. Setelah ditahan di Cimacan,
HAMKA dipindahkan ke Sukabumi dan diintrogasi perihal penangkapannya.
HAMKA dituduh melakukan rapat-rapat gelap, menjadi anggota gerakan
gelap untuk menentang Presiden Soekarno dan Pemerintah Republik Indonesia
yang sah. Tuduhan mengenai penangkapannya antara lain yaitu mengenai
18 Shobahussurur. Dkk, Mengenang 100 Tahun…, h. 30-31.19 Shobahussurur. Dkk, Mengenang 100 Tahun…, h. 31.
38
kuliahnya pada Oktober 1963 di Universitas Islam Negeri Ciputat yang dianggap
menghasut mahasiswa untuk melakukan pemberontakan, mengadakan rapat gelap
di Tangerang pada 11 Oktober 1963 untuk merencanakan pembunuhan terhadap
Menteri Agama pada waktu itu H. Saifuddin Zuhri dan melakukan kudeta. Dari
Sukabumi, HAMKA dipindahkan ke Cimacan pada 8 April 1964. Karena urusan
kesehatan, HAMKA dipindahkan lagi ke Megamendung pada 15 Juni. HAMKA
baru dibebaskan setelah terjadi peristiwa pemberontakan PKI pada 30 September
1965 tanpa peradilan. Padahal sebelumnya, hubungan HAMKA dengan Presiden
Soekarno sangatlah dekat dan Presiden Soekarno merupakan sosok yang
dikaguminya. Hanya karena perbedaan pandangan politik yang salah satunya
yakni penolakan HAMKA terhadap gagasan Presiden Soekarno yang ingin
menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin yang disampaikan lewat pidatonya di
Bandung pada tahun 1957.20
Selama ditahanan, HAMKA menggunakan waktunya untuk menjalankan
ibadah dan melanjutkan menyusun tafsir Al-Qur’an hingga berhasil menyusunnya
menjadi sebuah kitab lengkap 30 Juz Tafsir Al-Azhar.
Dengan rendah hati HAMKA mengakui bahwa jika tidak terjadi fitnah
terhadap dirinya, akan sulit menyelesaikan pekerjaan besar itu, mengingat faktor
usia dan kesibukannya dalam berdakwah. Rasa syukur yang sedemikian besar
telah menghapus segala sakit hati yang dialaminya.21
Berbagai macam cobaan dan rintangan dalam mengarungi kehidupan telah
dilalui hingga akhirnya HAMKA harus menelan pahitnya kenyataan, yakni
20 Shobahussurur. Dkk, Mengenang 100 Tahun…, h. 37.21 Shobahussurur. Dkk, Mengenang 100 Tahun…, h. 32-37.
39
dengan meninggalnya Siti Raham seorang pendamping hidup yang sabar dan
mencintainya pada tanggal 1 Januari 1971 dalam usianya yang ke 56.22
Seketika kehidupan HAMKA berubah menjadi suasana yang penuh duka
cita. HAMKA benar-benar merasa kehilangan atas meninggalnya pendamping
hidup yang selalu setia bersamanya dalam mengarungi kehidupan rumah tangga.
Meninggalnya Siti Raham membuat semangat HAMKA untuk mengarang dan
menulis menjadi redup. HAMKA lebih banyak merenung seorang diri sambil
membaca Al-Qur’an.
Jika hinggap rasa rindu yang sangat kuat kepada istri tercintanya, Abdul
Malik selalu berwudhu, sholat dan dilanjutkan dengan membaca Al-Qur’an
hingga berjam-jam dengan dalih untuk mengalihkan dan memusatkan pikiran dan
kecintaannya semata-mata kepada Allah.23
Waktu terus berlalu, HAMKA mendapat undangan dari Ustadz Djam’an
selaku Pimpinan Perguruan Islam di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. HAMKA
diundang untuk mengisi ceramah dan dakwah dalam peringatan Maulid Nabi Saw.
yang diselenggarkan di Masjid Sultan Kanoman, Cirebon.
Satu minggu setelah Abdul Malik mengisi ceramah di Masjid Sultan
Kanoman, Cirebon. HAMKA menerima tamu dirumahnya, yakni tamu dari
Cirebon yang datang menggunakan tiga buah mobil. Dalam rombongan itu
terdapat di antaranya Ustadz Djam’an dan Siti Chadijjah sebagai panitia ketika
acara maulid di Cirebon. Kedatangan tamu itu untuk membicarakan perihal
penyampaian keinginan dari Siti Chadijah untuk dapat berbakti dan mendampingi
22 Irfan Hamka, Ayah…, h. 211.23 Irfan Hamka, Ayah…, h. 212-213.
40
HAMKA di masa sisa hidupnya. Pembicaraan tersebut disampaikan oleh Ustadz
Djam’an selaku juru bicara dari Cirebon.
Setelah rombongan dari Cirebon pamit, HAMKA langsung mengumpulkan
anak-anaknya untuk bermusyawarah perihal maksud kedatangan tamu dari
Cirebon. HAMKA meminta pendapat kepada anaknya satu persatu dan semuanya
berpendapat bahwa mereka setuju asal niatnya pun baik. HAMKA langsung
menghubungi Ustadz Djam’an dan mengatakan bahwa HAMKA dan anak-
anaknya akan datang ke Cirebon untuk melamar Siti Chadijah. Setelah menikah
dengan Siti Chadijah, HAMKA mendirikan cabang sekolah Al-Azhar pertama di
Cirebon. Yayasan tersebut diberi nama Yayasan Siti Chadijah.24
Siti Chadijah terus mengabdi mendampinginya hingga HAMKA meninggal
dunia tepatnya pada hari Jum’at, tanggal 24 Juli 1981, dimakamkan di TPU Tanah
Kusir Jakarta Selatan.25
Kurang lebih 11 tahun setelah HAMKA meninggal dunia, Siti Chadijah
meninggal, tepatnya di tahun 1992. Siti Chadijah dimakamkan berdampingan
dengan makam Abdul Malik dan Siti Raham Rasul (isteri pertama HAMKA).26
D. Berkiprah dalam Organisasi
HAMKA sudah melanglang buana sejak usia belia, ketika usianya masih 16
tahun (pada tahun 1924), HAMKA sudah meninggalkan Minangkabau menuju
pulau Jawa tepatnya ke Yogyakarta karena ketertarikannya dengan cerita yang
sering dibawakan ayahnya ketika pulang dari pulau Jawa ditambah lagi pada
waktu itu sedang maraknya pergerakan-pergerakan pembaharu yang dinaungi oleh
organisasi membuat HAMKA semakin yakin untuk menjajaki pulau Jawa. Di
24 Irfan Hamka, Ayah…, h. 266-271.25 Irfan Hamka, Ayah…,h. 281.26 Irfan Hamka, Ayah…, h. 271-272.
41
Yogyakarta, HAMKA menumpang di rumah pamannya yang bernama Jakfar
Amrullah. Selama disana, HAMKA aktif mengikuti kegiatan yang diadakan oleh
Organisasi Sarikat Islam sekaligus menjadi anggota. HAMKA berkenalan dan
menimba ilmu tentang pergerakan kepada para aktivis, seperti Haji Oemar Said
Cokroaminoto (Sarekat Islam), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muhammadiyah),
H. Fakhrudin, K.H. Mas Mansur dan RM Suryopranoto. HAMKA juga sempat
pergi ke Bandung dan bertemu tokoh Masyumi A. Hassan dan M. Natsir yang
memberinya kesempatan belajar menulis dalam majalah “Pembela Islam”. Selain
aktif mengikuti Sarekat Islam, HAMKA juga aktif sebagai anggota
Muhammadiyah. Beberapa bulan berikutnya ia pergi ke Pekalongan dan mukim di
tempat A.R Sutan Mansyur, tokoh Muhammadiyah Pekalongan yang juga kakak
iparnya. Disini HAMKA berkenalan lebih jauh dengan para tokoh
Muhammadiyah dikota batik itu.Seperti Citrosuarno, Mas Ranuwarjo, Mas
Usman Pujotomo danMohammad Roem yang kala itu ia hanya mendengar nama
tetapi belum berkenalan.27
HAMKA mulai aktif dalam bentuk kegiatan sebagai berikut:
1. Memberikan pidato-pidato dan tabligh di Maninjau, Padang panjang dan
kampung-kampung di sekitarnya; terkadang Abdul Malik ikut tabligh bersama
ayahnya, sedangkan isi pidato atau tabligh-nya diseputar semangat perjuangan
hasil gabungan pendidikan dari Ki Bagus Hadikusuma, Haji Fakhruddin,
H.O.S. Cokroaminoto, R.M. Suryopranoto dan kakak ipar yang amat
diseganinya A.R. Sutan Mansur yang semuanya adalah guru-gurunya.
27 H. Rusydi, Pribadi Dan Martabat Buya Prof Dr HAMKA, h. 2.
42
2. Mulai mengadakan kursus-kursus pidato di kalangan kawan-kawannya dan di
kalangan Tabligh Muhammadiyah; hasil dari kursus itu lalu di edit oleh
HAMKA dan dicetak menjadi buku dengan judul “Khatibul Ummah”dan
inilah pengalaman pertama HAMKA yang cukup berhasil dalam karang
mengarang.28
Februari 1927 di usia 19 tahun HAMKA berangkat ke Mekkah tanpa pamit
kepada ayahnya untuk menunaikan ibadah Haji. Setelah beberapa bulan di
Mekkah, HAMKA bertemu H. Agus Salim yang menyarankannya untuk segera
pulang ke Tanah Air. Setelah itu baru HAMKA pulang ke Tanah Air dan berlabuh
di Medan, menetap disana pada bulan Juli 1927.29
Selama di kota Medan, HAMKA mulai menyibukkan diri dengan mengirim
tulisan untuk surat kabar Pembela Islam di Bandung dan Suara Muhammadiyah
di Yogyakarta, menulis karangan di majalah Seruan Islam, bekerja di Harian
Pelita Andalas dan menulis laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke
Mekkah. Karena pendapatannya hanya sedikit, maka HAMKA merangkap
pekerjaan sebagai guru agama untuk mencukupi biaya hidupnya.30
Pada tahun 1928, HAMKA kembali ke kampung halamannya di Padang
Panjang dengan di jemput oleh kakak iparnya A.R. Sutan Mansur dan kembali
terlibat aktif dalam organisasi Muhammadiyah sekaligus menjadi ketua cabang di
Padang Panjang. HAMKA juga mendirikan sekolah madrasah “Kulliyatul
Muballighin” bersama para pengurus Muhammadiyah lainnya.31
28 HAMKA, Kenang-Kenangan Hidup, h. 105.29 H. Rusydi, Pribadi Dan Martabat Buya Prof Dr HAMKA, h.2-3.30 Shobahussurur. Dkk, Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik, h. 21-22.31 Shobahussurur. Dkk, Mengenang 100 Tahun…, h. 23.
43
1. Berkiprah dalam Organisasi Muhammadiyyah
Keterlibatannya dalam pengurus Muhammadiyah membuat hubungannya
dengan tokoh-tokoh organisasi semakin erat. Sehingga pada tahun 1930, Kongres
Muhammadiyah ke 19 diadakan di Bukittinggi. HAMKA berkesempatan menjadi
pembicara, pada kesempatan itu HAMKA menunjukkan kepiawaiannya dalam
berpidato dengan judul “Agama Islam dalam Adat Minangkabau”. Pidatonya
yang disampaikan dengan nada orasi itu sontak membuat ribuan utusan
Muhammadiyah terpikat mendengarkannya dan menjadikan HAMKA sorotan
utama yang menghiasi Kongres Nasional itu. Hasil dari Kongres tersebut
melahirkan 100 cabang dan ranting dari awalnya hanya 27 cabang dan ranting.32
Awal tahun berikutnya, HAMKA diutus oleh Pimpinan Pusat
Muhammadiyah Yogyakarta untuk berdakwah di Makassar sekaligus mendapat
tugas untuk mempersiapkan Kongres Muhammadiyah yang ke 21 di Makassar
yang akan dilaksanakan pada tahun 1932. Selain berdakwah, kegiatan hari-harinya
diisi dengan menulis artikel yang dikirim ke beberapa surat kabar yang ada di
Jakarta dan Medan. Selain itu, Abdul Malik juga menerbitkan jurnal pengetahuan
Islam yang berjudul “al-Mahdi” dan majalah “Tentera”. HAMKA menetap
selama tiga tahun Makassar.
HAMKA mendirikan sekolah “Kulliyatul Muballighin” di Padang Panjang
pada tahun 1935 setelah terlebih dahulu berkesempatan belajar kepada ayahnya.
Namun, pada tahun 1936, HAMKA pergi ke Medan untuk memimpin majalah
“Pedoman Masyarakat”.33
32 HAMKA, Ayahku, Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah, h. 190.33 Shobahussurur. Dkk, Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik, h. 24-25.
44
Dikota yang sama, diadakanlah Kongres Muhammadiyah ke 28 pada tahun
1939. HAMKA ditugaskan menjadi Ketua Komite Kongres. Kongres tersebut
dihadiri oleh K.H. Mas Mansur, Tengku Putera Mahkota Deli, Wakil Sultan
Langkat dan ayahnya Haji Abdul Karim Amrullah. Kongres tersebut merupakan
Kongres Muhammadiyah terakhir yang di hadiri oleh ayahnya.34
Pada tanggal 2 Juni 1945, ayahnya (Haji Abdul Karim) meninggal dunia
pada usia 68 tahun di Jakarta setelah bebas dari tanah pengasingan. Ketika
ayahnya meninggal, HAMKA baru saja kembali ke Medan. HAMKA mendapat
kabar dari temannya yang mendengar dari siaran radio.35
Karir HAMKA di Muhammadiyah terus berlanjut hingga terpilih menjadi
ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah daerah Sumatera Barat pada tahun 1946-
1949 menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto. Dan pada kongres-kongres berikutnya,
HAMKA diangkat sebagai anggota Pimpinan Pusat. Tetapi pada Kongres tahun
1971 yang diadakan di Makassar, HAMKA tidak lagi bersedia duduk dalam
Pimpinan Pusat Muhammadiyah karena faktor usia. Sejak saat itu, HAMKA
ditetapkan sebagai Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah hingga akhir
hayatnya.36
2. Berkiprah dalam Majelis Ulama Indonesia
Kehadiran Majelis Ulama sangat diperlukan di Indonesia karena didalam
masa pembangunan yang direncanakan dari tahap satu ke tahap berikutnya yang
dimulai sejak masa Orde Baru, para ulama kurang melibatkan diri dalam proses
pembangunan itu. Hal ini mungkin disebabkan adanya dinding psikologis yang
memisahkan antara ulama dengan pejabat Pemerintah. Jika kita perhatikan sejarah
34 HAMKA, Ayahku, Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah, h. 190.35 HAMKA, Ayahku…,h. 323-329.36 Shobahussurur. Dkk, Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik, h. 24.
45
Islam di Indonesia sejak merdeka, orang dapat menduga bahwa memang bisa
timbul saling curiga mencurigai antara Pemerintah dengan para Ulama. Buntut
dari pemberontakan yang dipimpin oleh para ulama.
Perjuangan tentang dasar Negara, bahkan sejak Panitia Persiapan
Kemerdekaan hingga kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 adalah perjuangan
antara dasar negara Islam dengan non Islam. Ketika di zaman Orde Baru, kadang-
kadang orang masih mencurigai umat Islam yang masih punya keinginan
membentuk negara yang berdasarkan Islam. Sebaliknya umat Islam mencurigai
para penyelenggara Pemerintahan dengan sengaja berusaha mengurangi peranan
Islam di Indonesia dalam kehidupan kenegaraan.37
Kehadiran Majelis Ulama di Indonesia dirasa sangat penting dan sangat
diperlukan untuk mempersatukan pemikiran para ulama dengan para pejabat
pemerintahan agar menumbuhkan rasa gotong-royong dan bahu-membahu demi
membangun kesejahteraan bangsa dan negara. Namun upaya pembentukan
Majelis Ulama di Indonesia bukan merupakan suatu hal yang terjadi tiba-tiba,
banyak kalangan Islam menduga lembaga itu lebih berfungsi melayani pemerintah
daripada untuk kepentingan Umat Islam.38
Maka dari itu, dua tahun setelah perencanaan pembentukan Majelis Ulama
di Indonsia (1973), pada tanggal 26 Juli 1975, Menteri Agama Republik Indonesia
waktu itu, Prof. H. A. Mukti Ali, mengadakan Musyawarah Nasional para Ulama
dan melantik HAMKA sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
37 Mukti Ali, “Persepsi Buya HAMKA: Ulama Sudah Lama Terjual,” dalam HAMKADimata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), h. 56.
38 Adnan Buyung Nasution, “HAMKA: Figur Yang Langka,” dalam HAMKA Dimata HatiUmat (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), h. 285.
46
Pelantikan juga dihadiri secara khusus oleh sahabat HAMKA yaitu Tun Abdul
Razak (Perdana Menteri Malaysia waktu itu).39
HAMKA dipilih dalam suatu musyawarah, baik oleh ulama maupun pejabat
dan ditandatangani oleh dua puluh enam orang Ketua Majelis Ulama Daerah
Tingkat I, sepuluh orang ulama unsur organisasi Islam tingkat Pusat (Nahdlatul
Ulama, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Wasliyah, Muthla’ul Anwar,
Guppi, PTDI, Dewan Masjid, dan Al Ittidahiyah), empat orang ulama Dinas
Rohani Islam dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dn POLRI,
serta tiga belas ulama yang diundang secara perseorangan.40
Pada malam penutupan Musyawarah Nasional Majelis Ulama sekaligus
pelantikan, HAMKA menyampaikan pidatonya yang panjang, padat dan berisi.
Diantaranya pidato tentang jasa para Ulama Indonesia terdahulu yang sangat
berperan aktif dalam memerdekakan Indonesia. Adapun tema terpenting dalam
MUNAS Majelis Ulama ini untuk mencapai kerukunan beragama melalui
ukhuwah dan silaturhim di antara para Ulama se-Indonesia di dalam MUNAS
yang pertama ini. Salah satu pidato HAMKA mengenai kerukunan beagama ialah
“Semuanya telah bertemu hati bersatu didalam cinta kepada agama, kepadatanah air, kepada bangsa. Kerukunan beragama merupakan salah satu syaratmutlak dalam pembangunan”
HAMKA menegaskan bahwa Majelis Ulama akan tetap menjaga kerukunan
beragama yang telah digariskan dalam Komperensi Antar Agama pada tahun 1967
oleh Presiden Soeharto yang mengatakan “supaya orang yang telah memeluk
agama jangan dijadikan sasaran propaganda oleh suatu agama yang lain”. Lalu
HAMKA meneruskan dengan mengutip ayat Al-qur’an yang artinya :
39 Shobahussurur, dkk., Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik, h. 78.40 Mukti Ali, Persepsi Buya HAMKA: Ulama Sudah Lama Terjual, dalam HAMKADi Mata
Hati Umat,h. 55.
47
“Tidak ada paksaan dalam agama; sudah jelas perbedaan jalan yang benardan yang sesat”. “kita akan bertetangga secara baik-baik, kita akanbertoleransi dengan sekalian pemeluk agama yang selain Islam dalam TanahAir kita ini, demi kerukunan beragama dan ketahanan nasional. Tauhid yangteguh tidaklah membenci golongan lain, melainkan mengasihinya”.41
Demikian sepenggal pidato HAMKA tentang kepemimpinan Ulama yang
diucapkan pada penutupan Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
Terdapat dua alasan HAMKA menerima kedudukan sebagai ketua umum
MUI, pertama, adanya bahaya ideologi komunis di Indonesia, untuk
menghadapinya orang harus menghadapi ideologi yang lebih kuat, yakni Islam.
Untuk mencapai hal ini, kaum Muslimin seharusnya dapat bekerjasama dengan
pemerintahan Soeharto yang juga bersikap anti Komunis. Kedua, dengan
pembentukan MUI ini diharapkan adanya kerjasama yang lebih harmonis dan
mengikis adanya saling curiga antara pemerintah dan umat Islam. selain itu pula
mengapa HAMKA didukung untuk menjadi ketua MUI karena ia merupakan
warga Muhammadiyah yang diterima oleh golongan lain, terutama golongan NU.
Pada 17 September 1975 HAMKA beserta beberapa Pimpinan MUI lainnya
mengadakan pertemuan dengan Presiden Soeharto menyampaikan secara lansung
bahwa para pemimpin Islam sangat Gusar dengan gerakan Kristenisasi diberbagai
tempat di Indonesia. Pihak Kristen dengan berbagai akses kegiatan Kristenisasi
untuk menarik orang Islam masuk Kristen dengan iming-iming pemberian bahan
makanan dan bahan kebutuhan pokok lainnya. Presiden Soeharto memberikan
sambutan yang positif terhadap pernyataan HAMKA yang berani itu.42
Pada tanggal 25 Agustus 1976, MUI diundang Letjen Kartakusumah dari
Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (WanHAMNas) untuk menghadiri dengar
41 Mukti Ali, Persepsi Buya HAMKA…,h. 68-69.42 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor
Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 280.
48
pendapat tentang penafsiran pancasila dan UUD I945 yang akan dirumuskan
dalam sidang umum MPR tahun 1978. Beberapa hal pokok yang dibacakan
HAMKA mengenai “Pembahasan dari intisari UUD 1945” antara lain: Pertama,
Negara berdiri sebagai pertemuan keinginan luhur rakyat Indonesia dengan
“Berkat Rahmat Allah”. Kedua, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Sila Pokok,
dan Negara Republik Indonesia sama sekali bukan teokrasi, melainkan demokrasi.
Ketiga, Pemeluk Agama Islam adalah pendukung utama Pancasila dan keaktifan
umat didalam melaksanakan ibadat dan kewajiban agamanya masing-masing
adalah salah satu alat yang ampuh untuk mengukuhkan Pancasila.43
Pada rapat kerja II, MUI Agustus 1977, HAMKA mengutarakan
persepsinya mengenai peranan ulama:
“Agama dengan kekuasaan akan bertambah kuat, kekuasaan dengan agamaakan bertambah kekal.”
HAMKA menunjukkan bahwa agama adalah komponen pokok yang harus
diperhitungkan oleh pemegang kekuasaan manapun”.
Pada 1 juni 1980 MUI menyebarkan fatwa tentang pernikahan antar agama,
sebelumnya MUI pada 11 Agustus 1975, MUI DKI Jakarta telah mengeluarkan
fatwa tentang haramnya bagi laki-laki muslim menikahi wanita non-muslim
sekalipun dari kalangan ahl al-kitab dan larangan bagi kaum wanita muslim
untuk menikah dengan laki-laki non-muslim tanpa pandang bulu apakah laki-laki
itu ahl al-kitab atau musyrik. Fatwa MUI 1 Juni 1980 itu pada dasarnya adalah
mengukuhkan fatwa MUI DKI yang memutuskan: Pertama, seorang wanita Islam
tidak diperbolehkan (haram) untuk laki-laki non-muslim. Fatwa ini selain di
43 Adnan Buyung Nasution, HAMKA: Figur Yang Langka, HAMKA dimata Umat, (Jakarta:Sinar Harapan, 1984), h. 285.
49
tandatangani oleh Ketua MUI HAMKA dan Sekretaris MUI Kafrawi, juga
dibubuhi tanda tangan Menteri Agama yang saat itu dipegang oleh Alamsyah.44
Pada tahun 1981 timbul masalah sekitar fatwa MUI pada 7 Maret 1981
tentang perayaan natal bersama dan dicabut kembali 30 April 1981, kemudian
diikuti oleh pengunduran diri HAMKA pada 21 Mei 1981, maka masyarakat
menjadi saksi betapa sebenarnya sikap dan pengaruh politis tokoh ini bahwa
ukhuah Islamiyah menjadi persatuan.45
Pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soeharto sejak
mulai berdirinya Majelis Ulama Indonesia selalu menganjurkan agar di Indonesia
terdapat Kerukunan Hidup Beragama. HAMKA pun sebagai Ketua MUI pada 21
September 1975 telah menerangkan kepada 30 orang utusan ulama yang hadir
bahwa Islam mempunyai konsepsi yang terang dan jelas di dalam Q.S Al-
Mumtahanah ayat 7 dan 8, bahwa tidak dilarang oleh Al-Qur’an orang Islam itu
hidup rukun dan damai dengan pemeluk agama lain. Orang Islam disuruh berlaku
adil dan hidup rukun dengan mereka asal saja mereka itu tidak memerangi kita
dan mendesak kita untuk keluar dari tanah air kita sendiri.46
Pada Munas MUI di Cipayung 1979 utusan MUI dari Ujung Pandang
membawa berita bahwa kaum Kristen di sana menjelaskan kepada pengikut-
pengikutnya bahwa Peringatan Natal adalah Ibadat bagi mereka. Sudah lama hal
ini diperbincangkan dalam kalangan kaum muslimin. Meskipun tidak ada pula
orang Islam yang menolak anjuran kerukunan hidup beragama dan orang Kristen
44 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan AktorSejarah, h. 288.
45 Adnan Buyung Nasution, HAMKA: Figur Yang Langka, dalam Tamara, HAMKA DimataUmat, h. 285-286.
46 Shobahussurur, dkk.,Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah HAMKA,h. 79-80.
50
pun belum pernah pergi bersama ber-Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha ketanah
lapang atau masjid. Dengan demikian bukanlah berarti bahwa mereka (orang
Kristen) tidak rukun dengan orang Islam.
Disinilah terdapat kesalahpahaman diantara Pimpinan MUI dengan Menteri
Agama. Mengapa fatwa itu telah tersiar luas, padahal mestinya disampaikan
kepada Menteri Agama saja. Tetapi MUI pusat menyatakan ini sangat penting,
maka disebarkanlah surat edaran ke cabang-cabang di seluruh Indonesia.
Pemerintah melalui Menteri Agama memutuskan untuk mencabut beredarnya
fatwa tersebut, fatwa tersebut dicabut kembali tanggal 30 April 1981, kemudian
diikuti oleh pengunduran diri HAMKA pada 21 Mei 1981.
Sikap HAMKA dalam pernyataan mundurnya dari Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia:
Bismillahirrahmanirrahim
1. Menteri Agama H. Alamsyah dalam pertemuan dengan Majelis Ulama
Indonesia tanggal 23 April 1981 yang telah lalu telah menyatakan kecaman
atas tersiarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia. Dalam kesempatan itu H.
Alamsyah telah menunjukkan kemarahanya dan menyatakan ingin
mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai Menteri Agama.
2. Menjawab ucapan-ucapan Menteri, maka saya mengatakan: Bukan beliau, tapi
sayalah yang lebih patut meletakkan jabatan sebagai ketua Majelis Ulama
Indonesia. dan saya bertanggung jawab atas tersiarnya fatwa yang membuat
Menteri Agama mau mengundurkan diri itu. Akan tetapi saya pun mengatakan
pula bahwa Majelis Ulama Indonesia yang telah berdiri enam tahun, perlu
dipertahankan siapa pun yang menjadi ketuanya.
51
3. Karena Anggapan bahwa Majelis Ulama Indonesia masih diperlukan adanya di
Indonesia dan demi mengamankan kehidupannya setelah keberhentian saya,
maka saya pun menandatangani surat Keputusan Pencabutan Peredaran itu
dengan pengertiaan bahwa nilai fatwa itu sendiri tetap sah sebagaimana yang
telah diputuskan oleh Majelis Ulama Komisi Fatwa.
4. Saya merasa perlu menyiarkan pernyataan pribadi atas sahnya isi fatwa
tersebut, sebagaiman telah dimuat oleh sementara surat-surat kabar. Namun
demikian saya berharap pula kerjasama yang lebih baik antara ulama dan
umara untuk masa-masa yang akan datang, terutama melalui Pimpinan Majelis
Ulama setelah saya meletakkan jabatan saya sebagai Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia.
5. Dengan ini saya meletakkan jabatan saya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia dihadapan rapat ini, karena saudara-saudaralah yang telah memilih
saya melalui MUNAS Majelis Ulama Indonesia tahun 1980 yang lalu.
Terima kasih.
Jakarta, 18 Mei 1981 (Haji Abdul Malik).47
E. Karya Tulis Haji Abdul Malik Karim Amrullah
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Abdul Malik atau HAMKA
merupakan seorang yang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat.
Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, HAMKA dapat mengkaji karya
ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan,
47 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan AktorSejarah, h. 289-290.
52
Abbas al-Aqqad, Mustafaal-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab
juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti
AlbertCamus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean PaulSartre,
Karl Marx dan Pierre Loti. HAMKA juga rajin membaca dan bertukar pikiran
dengan tokoh-tokoh terkenal seperti H. O.S Tjokroaminoto, Raden Mas
Surjopranoto, Fachrudin, A.R. Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil
mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
HAMKA sebagai seorang yang berpikiran maju yang tidak hanya
melakukan berbagai macam ceramah agama namun juga merefleksikannya
melalui berbagai macam karya dalam bentuk tulisan. Orientasi pemikirannya luas
meliputi berbagai macam disiplin ilmu.48
Sebagai salah satu orang yang dikenal di banyak negara, banyak buku
maupun artikel yang pernah ditulis oleh HAMKA dengan berbagai macam kajian,
beberapa karya-karyanya yang terkenal antara lain:49 Khatibul Ummah, Jilid 1-3
(ditulis dengan huruf Arab) 1925, Si Sabariah 1928, Pembela Islam (Tarikh
Sayidina Abu Bakar Shiddiq) 1929, Adat Minangkabau dan Agama Islam 1929,
Ringkasan Tarikh Ummat Islam 1929, Kepentingan Melakukan Tabligh 1929,
Hikmah Isra’ dan Mi’raj 1929, Arkanul Islam, Makassar 1932, Laila Majnun,
Balai Pustaka 1932, Majallah ‘Tentera’ (4 nomor terbit di Makassar) 1932,
Majallah Al-Mahdi (9 nomor terbit di Makassar) 1932, Mati Mengandung Malu
(salinan Al-Manfaluthi) 1934, Di Bawah Lindungan Ka’bah 1937, Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck 1937, Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Merantau ke
Deli 1940, Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940, Tuan Direktur1939, Dijemput
48 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual, h. 46.49 Shobahussurur, MA. dkk, Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah, h.
42-43.
53
Mamaknya 1939, Keadilan Ilahi 1939, Tasauf Moderen 1939, Falsafah Hidup
1939, Lembaga Hidup 1940, Lembaga Budi 1940, Majalah “SEMANGAT
ISLAM” 1943, Majallah “MENARA” 1946, Negara Islam 1946, Islam dan
Demokrasi1946, Revolusi Pikiran 1946, Revolusi Agama 1946, Adat
Minangkabau Menghadapi Revolusi 1946, Dibantingkan Ombak Masyarakat
1946, Didalam Lembah Cita-cita 1946, Sesudah Naskah Renville 1947, Pidato
Pembelaan Peristiwa Tiga Maret 1947, Menunggu Beduk Berbunyi 1949, Ayahku
1950, Mandi Cahaya di Tanah Suci 1950, Mengembara di Sungai Nil1 950, Ditepi
Sungai Dajlah 1950, Kenangan-kenangan Hidup 1, Kenangan-kenangan Hidup 2,
Kenangan-kenangan Hidup 3, Kenangan-kenangan Hidup 4 1950, Sejarah Ummat
Islam Jilid 1, Sejarah Ummat Islam Jilid 2 Sejarah Ummat Islam Jilid 3 1938,
Sejarah Ummat Islam Jilid 4 1950, Pedoman Mubaligh Islam 1937, Pribadi 1950,
Agama dan Perempuan 1939, Muhammadiyah Melalui 3 Zaman 1946, 1001 Soal
Hidup (kumpulan karangan pada Pedoman Masyarakat) 1950, Pelajaran Agama
Islam 1956, Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad 1952, Empat bulan di
Amerika, Jilid 1, Empat bulan di Amerika, Jilid 2 1953, Pengaruh Ajaran
Muhammad Abduh di Indonesia (pidato di Kairo) 1958, Soal Jawab (disalin dari
karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM) 1960, Dari Perbendaharaan Lama
1963, Lembaga Hikmat 1953, Islam dan Kebatinan 1972, Fakta dan Khayal
Tuanku Rao 1970 Sayid Jamaluddin Al-Afghany 1965, Ekspansi Ideologi
(Alghazwul Fikri) 1963, Hak Asasi Manusia Dipandang dari Segi Islam 1968,
Falsafah Ideologi Islam 1950, Keadilan Sosial dalam Islam 1950 dan lain- lain.
54
BAB IV
PLURALITAS AGAMA DALAM PERSPEKTIF HAJI ABDUL MALIK
KARIM AMRULLAH
Jika membicarakan pluralitas agama menurut pandangan HAMKA, sudah tentu
akan sangat sulit menemukan materi yang menjabarkan makna tersebut di dalam
karyanya, karena hampir tidak ditemukan kosakata-kosakata tentangpluralitasagama
didalam karya-karyanya, hanya kata tasammuh dan toleransi yang masih bisa penulis
temukan dalam karyanya dan kata tersebut tidak dijelaskan maknanya secara
penjabaran di dalam satu buku ataupun satu bab utuh. Namun, jika merujuk kepada
makna pluralitas agama seperti yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya,
maka hal ini akan sependapat dan sesuai dengan apa yang dituliskan dalam karya-
karya HAMKA yang menjelaskan tentang hak dan kebebasan berpikir bagi seluruh
manusia,yang merujuk kepada tasammuh dan toleransi.
Menurut HAMKA, manusia merupakan umat yang satu. Perlainan daerah, bumi
tempat mereka berpijak, berlainan bahasa, warna kulit bukanlah soal. Namun semua
itu hanyalah keragaman di dalam satu kesatuan. Diutusnya Nabi-nabi secara berganti-
ganti, namun maksud kedatangan mereka hanya satu, yaitu memberi petunjuk kepada
manusia dan memutuskan perkara-perkara yang mereka perselisihkan.1
1Prof. Dr. Hamka, Pelajaran Agama Islam, cet. 12, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 182.
55
Allah berfirman:
م ك ح ي ل ق ح ال ب اب ت ك ال م ه ع م ل ز أن و ن ي ر ذ ن م و ن ي ر ش ب م ن ي ي ب الن للا ث ع ب ف دة اح و ة أم اس الن كان
ه ه ي اف و ف ل ت ااخ م ي ف اس الن ن ي ب ت و أو ي ن ف ي ه إال ال ذ ت ل ف ااخ م آو اج م د ب ع ن الب ي ن ات م ت ه م ي اب ي ن ه م ء ف ه د ىب
ق ال ح ن اف ي ه م ت ل ف و ااخ ال م ن و ام ي ن ال ذ ت ق ي م.للا س اطم ر إل ىص آء ي ش ن ي ه د ىم للا ن ه و ب إذ
“Manusia itu adalah umat yang satu, lalu diutus oleh Tuhan Nabi-nabi
pembawa berita gembira dan menyampaikan peringatan, dan diturunkan-Nya
bersama mereka kitab berisi kebenaran, supaya dia dapat memberi hukum
kepada manusia dalam perkara yang mereka perselisihkan. Tetapi yang
berselisih itu hanyalah orang-orang yang diberi kitab dan sesudah datang
kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena iri hati antara
sesamanya saja, dan Tuhan dengan kemauan-Nya memimpin orang-orang yang
beriman dalam perkara yang mereka pertikaikan itu ke jalan yang benar. Dan
Tuhan memberi petunjuk siapa yang disukai-Nya ke jalan yang lurus.”2
Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia merupakan umat yang satu, Allah
mengutus para Nabi-nabi dan menurunkan kitab-kitab suci secara bertahap untuk
diajarkan kepada seluruh umat manusia sesuai dengan zamannya dan membimbing
manusia kepada kesempurnaan dan jalan yang lurus agar tidak ada perselisihan
diantaranya.
Namun para pengikutnya selalu berselisih lantaran perbedaan pendapat dan
menganggap kelompoknyalah yang benar dan yang lain salah.Setelah itu timbul
perselisihan diantara mereka, semata-mata karena sebagian mereka berusaha keluar
dari batas yang dibenarkan, ingin memperoleh derajat yang lebih tinggi dari derajat
2Q.S. Al-Baqarah: 213.
56
fitrah dan ingin menegakkan hak untuk diri mereka dengan melebihi hak-hak fitrah
yang ada.3
Allah berfirman:
. ن و ف ر ح ي ه م ال د بب م ز ح ك ل
“Tiap-tiap partai (golongan) lebih suka membanggakan kelebihan yang ada
padanya.4
Sesungguhnya Islam menerangkan bahwa semua agama bukanlah kepunyaan
manusia, melainkan kepunyaan Allah yang dibangun pada tiap-tiap zaman dengan
perantara utusan-utusan-Nya. Pokok agama itu satu, agama yang didatangkan oleh
Musa, itu juga yang dibawa oleh Isa. Dan kedatangan Nabi Muhammad SAW adalah
menyambung dan menyempurnakan pelajaran yang telah dibawa oleh Nabi-Nabi
sebelumnya. Agama itu satu wujud dan maksudnya, tidak dibangsakan kepada suatu
keturunan. Wujud dan tujuannya satu, yaitu menyerahkan diri kepada Tuhan
seutuhnya, yang dalam bahasa Arab dinamai Aslama, Yuslimu, Islaman (Menyerah).5
Maka dari itu, manusia diberikan akal dan pikiran untuk digunakan kearah yang
baik-baik agarbisa menyingkirkan perselisihan dan perkelahian yang disebabkan oleh
perbedaan pendapat. Jika terjadi suatu perselisihan antara satu agama dengan agama
lain, maka seorang yang berakal akan mencari dan menyelidiki permasalahan itu
dengan teliti. Seseorang itu akan menyatakan tentang penyelidikannya mengenai
masalah tersebut. Penyelidikan itupun harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.
3 Dr. KH. Surahman Hidayat, Islam, Pluralitas dan Perdamaian, (Jakarta; Fikr, 1998), h. 83. 4Q.S. Al Mu’minun: 53, dan Q.S. Ar Rum: 32. 5 Hamka, Tasauf Moderen, cet. 1, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), h. 68-69.
57
Karena jika tidak ada penyelidikan, tentu orang tidak akan membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk.
Di dalam buku Tasauf Moderen, HAMKA mengutip pendapat Imam Al
Ghazali mengenai keutamaan akal budi yang terbagi empat bagian, yaitu: pertama,
sempurna akal dengan ilmu. Kedua, dapat menjaga kehormatan diri (‘Iffah) dengan
tidak peduli dengan bujukan kesenangan dunia. Ketiga, berani karena benar dan takut
akan kesalahan (Syaja’ah). Keempat, keadilan (Al’Adl).6
Benih beragama atau kepercayaan sudah tersedia dan ada di dalam jiwa
manusia sejak manusia dilahirkan. Bibit keagamaan telah tumbuh bersama dengan
tumbuhnya akal. Bahkan boleh dikatakan bahwa bibit keagamaan itu ada di dalam
akal sendiri. Sebab itu agama yang hak di sebut “Agama Fitrah”, yaitu agama yang
tumbuh dari kejernihan. Pokok agama dan akal tumbuh bersama di dalam batin
manusia. Bertambah tinggi akalnya, maka bertambah tinggi agamanya. Agama yang
hak tidak terpisah oleh akal.7
Menurut HAMKA, bibit kepercayaan kepada Yang Maha Esa telah ada di
dalam jiwa murni, atau fitrah kita; adakah jalan satu-satunya kepada
kesatuan.8Agama terus menuntun kepada manusia untuk terus mencari dan mencari
menggunakan akal manusia itu sendiri, sebab seperti yang telah dijelaskan tadi bahwa
bibit atau benih kepercayaan adalah di dalam akal. Menyerah didalam
6Hamka, Tasauf Moderen, h. 26. 7 Hamka, Renungan Tasauf, cet. 1, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), h. 59. 8Hamka, Renungan Tasauf, h. 60.
58
pengetahuanlah tujuan agama sejati. Iman di dalam kebodohan belum tentu di terima
oleh yang di percaya itu.9
Islam menamai agama itu fitrah, artinya kemurnian tentram jiwa manusia.
Islam menamai agama itu Islam, artinya menyerahkan diri kepada yang dipercayai.
Dan manusia ini menurut ajarannya adalah umat yang satu. Sebagai Tuhan pun
adalah Tuhan Yang Satu. HAMKA megutip hadits Nabi SAW yang berbunyi:
“Agama itu ialah akal. Tidak ada agama bagi orang yang tidak
berakal. Dan di dalam hukum fikih disebut orang yang mukallaf,
yang diberi pertanggung jawab beragama ialah yang baligh lagi
berakal.”10
Maka dari itu, orang yang berakal harus melewati beberapa fase yang harus
diperhatikan untuk mencapai kesempurnaan dalam beragama. Fase itu meliputi:
Kewajiban dan Hak Asasi Manusia baik yang bersifat pribadi atau umum, lalu
bagaimana akhlak seseorang agar bisa dikatakan orang yang berakal, dan bagaimana
pendirian atau akidah atau iman seseorang yang berakal.
9 Hamka, Renungan Tasauf, h. 61. 10 Hamka, Renungan Tasauf, h. 61.
59
A. Kewajiban dan Hak Asasi Manusia
Setiap manusia yang berakal harus memperhatikan masalah kewajiban dan hak
manusia pada umumnya. Karena dengan memperhatikan hal tersebut, maka seorang
manusia yang berakal dapat mencegah perselisihan dilingkungannya, diawali dengan
dirinya sendiri yang mencoba memperhatikan kewajiban dan hak orang lain.
Kewajiban timbul dari suara batin yang menyuruh mengerjakan segala sesuatu
yang dipandang baik dan meninggalkan sesuatu yang dipandang buruk. Adanya hak
karena adanya undang-undang kesopanan yang memberi kebebasan kepada manusia
untuk mengerjakannya.
Pembahasan yang pertama yaitu mengenai kewajiban, terdapat tiga macam
kata-kata kewajiban dalam agama Islam yaitu:
1. Dalam bidang ilmu kalam atau semacam teologi, ilmu ketuhananadalah mengkaji
alam ini, atau mengkaji yang wujud atau yang ada. Menurut ilmu kalam, seluruh
yang ada ini terbagi dua: pertama, “mumkinul wujud” (mungkin adanya, tetapi
tidak pasti), yaitu segala sesuatu yang diikat oleh ruang dan waktu, yang dapat
ditentukan waktunya dan zamannya atau tempatnya seperti manusia, bumi,
matahari dan lain-lain. Adanya berpermulaan dan akhirnya berkesudahan. Kedua,
“wajibul wujud” (pasti adanya), yaitu segala sesuatu yang tidak diikat dengan
ruang dan waktu, Dia ada sejak dahulu dan nanti tetap ada. Dialah Allah Swt.
Adanya tidak berpermulaan dan akhirnya tidak berkesudahan, Dia tetap ada.11
11 Hamka, Renungan Tasauf, h. 18-19.
60
2. Dalam bidang ilmu fikih atau ushul fiqh, kewajiban ialah jika dikerjakan
mendapat pahala, jika ditinggalkan mendapat dosa. Wajib merupakan suatu
keharusan, suatu tuntutan atau suatu ketentuan yang harus dikerjakan, diperbuat
atau diyakini kebenarannya.12
3. Dalam ilmu akhlak atau etika Islam, kewajiban merupakan pekerjaan yang dirasa
oleh hati sendiri harus dikerjakan atau harus ditinggalkan. Bisa disebut juga
sebagai ketetapan pendirian manusia untuk memandang baik dan buruknya suatu
pekerjaan. Dan yang menyuarakan kewajiban itu adalah hati diri sendiri, dengan
perasaan halus yang dimiliki pada tiap-tiap manusia.13 Apabila iman seseorang
telah bertambah, takwanya bertambah, keinsyafannya bertambah dalam hal
agama, maka ia tidak akan lagi membedakan yang wajib dan yang sunnah, ia
akan terus menambah amalnya sebanyak-banyaknya walaupun itu sunnah
dikerjakan.14
Terdapat banyak makna mengenai kewajiban dan harus dipahami setiap
maknanya, karena kewajiban mempengaruhi setiap kehidupan manusia. Menurut
HAMKA, kewajiban terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Kewajiban kepada diri sendiri, bernama kesopanan diri.
2. Kewajiban kepada orang lain, bernama kesopanan masyarakat.
3. Kewajiban kepada Allah, bernama kesopanan agama.
12 Abujamin Roham, Ensiklopedi Lintas Agama, (Jakarta; Emerald, 2009), h. 728. 13 Prof. Dr. Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984), h. 5. 14 Hamka, Renungan Tasauf, h. 20.
61
4. Kewajiban kepada makhluk bernyawa lain, bernama kesopanan belas kasihan.15
Setiap manusia wajib memenuhi kewajibannya kepada sesama manusia
lainnyakarena asal usulnya satu, dari satu keturunan dan satu tabiat yaitu
kemanusiaan, dan satu tujuan yaitu kemuliaaan. Kemudian memperteguh hubungan
dengan sesama manusia dan alam sekitar agar sempurna dalam berbudi pekerti.
Manusia diberi akal agar berpikir dan mempunyai hati untuk merasa.
Mengutamakan kewajiban, itulah pokok dari segala keutamaan. Manusia harus
tahu kewajibannya antar sesama manusia dan menjaga kewajiban itu. Dari sana
timbul persaudaraan yang kekal sesama manusia. Jika rasa menunaikan kewajiban ini
telah berurat berakar didalam budi pekerti, maka perselisihan-perselisihan kecil
lantaran berebut pasaran, pangkat, kehormatan dan lain-lainnya akan hilang secara
berangsur-angsur.16
HAMKA menambahkan bahwa diri pribadi mempunyai dua tanggung jawab,
pertama, kepada dirinya sendiri, agar berusaha menjaga kesehatannya, hidupnya dan
kesempurnaannya. Kedua, kewajiban terhadap masyarakat, yaitu bekerja untuk
kemanfaatan dan kesempurnaan masyarakat, karena kebahagiaan masyarakat adalah
kebahagiaannya, semua untuk yang satu, yang satu untuk semua. Pada hakikatnya,
kewajiban yang kedua memberi manfaat kepada kewajiban yang pertama. Karena diri
sendiri yang dijaga itu tidak akan terjaga kalau masyarakat tidak terjaga terlebih
dahulu. Maka hubungan diantara tiap-tiap diri dengan masyarakat itu mempunyai
15 Hamka, Lembaga Hidup, h. 6. 16 Hamka, Lembaga Hidup, h. 8.
62
peraturan dan undang-undang yang harus setimpal. Sebab tiap-tiap seseorang datang
dan lahir kedunia ini diberi hak oleh masyarakat, diakui hak itu oleh undang-undang,
dihormati hak itu oleh hukum, karena demikianlah tabiat kejadian manusia didalam
alam ini. Hak yang diberikan itu ialah: kemerdekaan diri, kemerdekaan hak milik,
kemerdekaan menangkis serangan dan kemerdekaan mencari rezeki.17
Setiap manusia mempunyai hak-haknya masing-masing dan wajib untuk
mempertahankannya. Diantaranya adalah hak untuk hidup, karena hak hidup
merupakan hak bersama dan hak hidup merupakan hak asasi yang pertama di atas
dasar hak yang lain. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh membunuh dirinya sendiri
atau orang lain, karena membunuh merupakan dosa besar terhadap diri sendiri dan
orang lain yang menyebabkan orang lain kehilangan seorang anggotanya dengan
jalan yang tidak pantas. Sebab, hidup itu bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk
hak bersama. Kecuali jika ada sebab dan akibat yang dapat membahayakan diri
sendiri dan orang lain, makadalam suatu negeri di bolehkannya seorang algojo untuk
menjalankan hukum bunuh sesuai keputusan hakim dan hukum negara, dengan
maksud memotong suatu bagian anggota yang berpenyakit agar tidak menjangkiti
dan membahayakan anggota masyarakat yang lain18
Peran pemerintah di dalam suatu Negara untukmencukupkan dan memelihara
sebab-sebab yang akan mendatangkan kesentosaan bagi rakyat, baik dalam urusan
lahir maupun batin. Maka dari itu perlunya pemberian hak untuk mengatur dirinya
17 Hamka, Lembaga Hidup, h. 12. 18 Hamka, Mutiara Filsafat, Kumpulan Naskah Tasauf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga
Hidup, Lembaga Budi, cet. II (Jakarta: Widjaya, 1956), h. 619-620.
63
sendiri, memilih mana yang mereka rasa memberi manfaat untuk dirinya dan
menghindarkan mana yang mereka rasa menimbulkan bahaya. Namun, pemberian
hak untuk dirinya sendiri berlaku jika seseorang itu telah tentram didalam dirinya,
karena jika tidak hati-hati dalam menjaga hak itu, lingkungan sekitar bahkan Negara
akan kacau. Kemerdekaan atau hak yang sebenarnya bagi tiap-tiap manusia adalah
orang bebas mengatakan apa yang terasa, bebas berbuat sekehendak hati, asal
kebebasan itu tidak merusak kewajibannya sendiri dan tidak mengurangi atau
mengganggu kemerdekaan dan kebebasan orang lain.19
Kemerdekaan berpikir harus diberikan Negara kepada rakyatnya. Karena
berpikir itu adalah keutamaan bagi setiap manusia bahkan pikiran itulah yang
membedakan manusia dengan binatang dan pikiran itulah yang menjadikan manusia
makhluk yang paling mulia dimuka bumi ini dan kenaikan mutu pikiran itu yang
membawa manusia kepada kemajuan dan kecerdasan. Pikiran itu menimbulkan
keyakinan. Dan keyakinan itu boleh dinyatakan kepada umum, asal tidak merusak
kewajiban sendiri dan tidak menyinggung bagi kemerdekaan orang lain.20
Seseorang mempunyai hak kemerdekaan berpikir dan berpendapat menurut
keyakinannya sendiri. Tetapi hak itu ada batasnya, yaitu tiap-tiap orang merdeka
boleh menyatakan pendirian atau kepercayaannya selama tidak mengganggu
ketentuan umum yang akan membawa kepada perselisihan. Dan selama kepercayaan
19 Hamka, Lembaga Hidup, h. 19. 20 Hamka, Lembaga Hidup, h. 21.
64
itu tidak melanggar undang-undang kesopanan umum yang telah terpakai sejak
dahulu, yang telah diakui bersama-sama menjadi budi pekerti tinggi.21
Mempertahankan agama pun merupakan hak asasi manusia. Sebab menganut
agama yang kita yakini adalah hak-hak asasi manusia.22 Saling menghormati sesama
umat beragama sama halnya dengan menghormati sesama manusia dan merupakan
kewajiban setiap umat beragama. Memegang teguh agama sendiri dan membiarkan
orang lain memegang teguh agama yang diyakininya, karena petunjuk bukan di
tangan kita melainkan di tangan Tuhan semata.23
Allah berfirman:
ي ن الد فى اه ر ...آلإ ك
“Tidak ada paksaan dalam agama”24
ق ال ح ق ل ب و ر ن آء م ك م ش ن ف ر ف م ف ل ي ك آء ش ن م و ن م ف ل ي ؤ
“Dan katakanlah: kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir”25
Jika ingin menguji agama yang hak, rasakan dalam hati. Rasakan akan adanya
sesuatu yang dapat menghidupkan dan menyadarkan serta menginsyafkan
hatiperasaan, tahu akan harganya hidup ini. Dalam jantung ada perasaan percaya dan
mempunyai cita-cita yang Maha Besar. Agama tidak menimbulkan putus asa, tetapi
mengajarkan menjadi seorang manusia yang tahu akan harga diri dan memberi
21 Hamka, Lembaga Hidup, h. 39. 22 Prof. Dr. Hamka, Dari Hati Ke Hati, Tentang: Agama, Sosial-Budaya, Politik, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 2002), h. 10. 23 Hamka, Lembaga Hidup, h. 126. 24 Q.S. Al-Baqarah: 256. 25 Q.S. Al-Kahf: 29.
65
kemerdekaan bagi orang lain untuk berlaku sesuai timbangannya, serta cinta akan
kewajibannya.26
B. Akhlak dalam Perspektif HAMKA
Sepanjang yang penulis ketahui, HAMKA tidak pernah menulis sebuah buku
mengenai akhlak secara satu bab utuh. Namun hampir didalam semua karya-karyanya
terkandung pemikiran-pemikiran mengenai akhlak yang dikemas sesuai dengan
kebutuhan di era seperti sekarang ini.
Menurut HAMKA, akhlak atau budi merupakan tujuan kemanusiaan yang
paling tinggi. Karena akhlak merupakan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad
Saw. selaku Nabi penutup dan penyempurna. Maksud kedatangan Nabi Muhammad
Saw. yaitu,
“Innama bu’ist-tu li utammima makarimal akhlaq”,
“Aku diutus tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti mulia”.27
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yang terambil dari kata “khuluq” yang
bermakna: tingkah laku, budi pekerti, sopan santun, tabi’at dan perangai. Akhlak
merupakan petunjuk pelaksanaan yang terkesan berubah sesuai zaman, tetapi tetap
mengacu kepada Akidah Tauhid dan Syari’at, dan tidak akan terpisah.28 Istilah
“akhlaq” telah menjadi kosakata bahasa Indonesia, yaitu akhlak. Kata akhlak di
dalam Bahasa Indonesia berarti budi pekerti; kelakuan.
26 Hamka, Lembaga Hidup, h. 126-127. 27 Hamka, Mutiara Filsafat, h. 883. 28 Abujamin Roham, Ensiklopedi Lintas Agama, h. 39.
66
Akhlak merupakan bagian dari filsafat praktis (hikmah ‘amaliyah), pada
umumnya didefinisikan sebagai ilmu tentang cara hidup atau bagaimana seharusnya
hidup.29 Menurut HAMKA, akhlak berarti membicarakan masalah baik dan buruk
dari perbuatan manusia yang didasari oleh akal pikiran masing-masing.30 Baik dan
buruknya pekerjaan tersebut akan ditimbang denganakal dan perasaan halus yang
dimiliki setiap manusia. Akhlak itulah yang membedakan antara manusia dengan
makhluk lain.
HAMKA menjelaskan bahwa kebebasan seseorang diikat oleh undang-undang
(syariat). Syariat bersumber dari akhlak dan akhlak bersumber dari kepercayaan
kepada Allah. Kebebasan tanpa ikatan undang-undang dan disiplin adalah “chaos”
(kacau balau), dan “chaos” adalah musuh kemerdekaan nomor satu. Kebebasan diri
sendiri terhenti apabila telah bertemu dengan kebebasan orang lain. HAMKA
menjelaskan bahwa:
“akhlak adalah penghubung yang mutlak diantara saya dan engkau. Apabila
telah kacau hubungan antara saya dengan engkau, apabila kepentingan diriku lebih
kutonjolkan daripada kepentingan engkau, dan kau pun demikian, maka yang naik
akhirnya ialah siapa yang kuat, bukan siapa yang benar. Apabila sesama manusia
telah mementingkan siapa yang kuat itulah yang naik dan siapa yang lemah itulah
yang jatuh, maka yang berlaku bukan lagi hukum kemanusiaan, melainkan hukum
rimba”.31
Untuk mencapai kesentosaan masyarakat, seseorang harus mengikuti peraturan-
peraturan akhlak (budi) yang ada di dalam perasaan halusnya sendiri. Untuk
mencukupkan segenap kewajiban, sama-sama memikul satu hak, dan hak itu wajib
29 Dr. Abd. Haris, Etika Hamka, cet. 1, (Yogyakarta: LkiS, 2010), h. 54. 30 Hamka, Pelajaran Agama Islam, h. 182-183. 31 Prof. Dr. Hamka, Pandangan Hidup Muslim, cet. 4, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 68-69.
67
dihormati. Itulah yang bernama keadilan. Seseorang dikatakan merdeka jika
seseorang tersebut dibebaskan mengerjakan pekerjaan yang dipandang baik
berdasarkan pertimbangannya sendiri dan mengucapkan perkataan yang dipandang
bagus oleh perasaannya sendiri tanpa paksaan dari siapapun. Walaupun pekerjaan itu
dianggap salah oleh orang lain, namun tanggung jawab itu merupakan tanggung
jawabnya sendiri. Dari sanalah timbul undang-undang memberi kemerdekaan
mengerjakan dan meyakini agama yang dipeluknya.32 Maka dari itu, manusia wajib
mempunyai akhlak yang baik demi mencapai kesentosaan dalam hidupnya. Dan
pelajaran agama berperan penting untuk memperhalus dan membentuk akhlak
manusia menjadi akhlak yang mulia dihadapan Tuhan dan manusia lainnya.
Inilah yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. dalam menyempurnakan ajaran-
ajaran dari Nabi-nabi sebelumnya.
“īnnama bu’itstulī-utammima makārimal akhlaq”“tidak lain dan tidak bukan
aku diutus hanya untuk memperbaiki akhlak manusia, sikap hidup manusia”33
HAMKA juga menegaskan untuk mempertinggi dan memperhalus akhlak
dengan mengutip pepatah Arab yang menegaskan bahwa:
“Agama menjadi sendi hidup, pengaruh menjadi penjaganya.Kalau tidak
bersendi, maka runtuhlah hidup, kalau tidak berpenjaga, binasalah hayat.Karena
orang yang terhormat itu, kehormatannya itulah yang melarang berbuat jahat”34
32 Hamka, Lembaga Hidup, h. 142. 33 Hamka, Renungan Tasauf, h. 20. 34 Hamka, Tasauf Moderen, h. 28.
68
Jelaslah bahwa akhlak merupakan hal penting dalam kehidupan manusia,
akhlak yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya, karena tanpa
adanya akhlak dunia akan kacau balau.
Adanya agama untuk mengajarkan tentang akhlak dalam menjalankan
kehidupan didunia dan di akhirat, diajarkan oleh para utusan-utusan yang ada pada
setiap zaman dan diteruskan oleh para ulama sesuai dengan ajaran yang ada disetiap
agama agar tercipta kedamaian.
C. Akidah dalam Perspektif Pluralitas Agama HAMKA
Didalam segala zaman dan didalam segala ruang, manusia memerlukan
pegangan hidup. Sebab hidup itu adalah gabungan dari jasmani dan rohani batin.
Manusia sendiri dalam kehidupannya senantiasa merasakan bahwa dia memerlukan
pegangan batin. Pegangan batin itu yang disebut dengan aqidah.
HAMKA menjelaskan bahwa Aqidah berasal dari bahasa Arab, asal kata
tersebut adalah aqad yang berarti “ikatan” atau secara istilah adalah segala janji yang
diperbuat oleh manusia. Kata jama’ dari aqad ialah ‘uqūd dari mashdar aslinya ialah
‘aqdan dan berubah menjadi i’tiqad yang berarti “membuat suatu ikatan sampai
benar-benar terikat”. Dalam ilmu sharaf ‘aqadtuhu, fa’taqada “aku ikatkan dia, maka
diapun terikat”. Lalu terpecah menjadi al Iqd “kalung, karena dia diikatkan pada
leher”. Dan datanglah kata ‘aqidah dengan kata jama’‘aqāid “tali pengikat”. Dengan
kata lain, aqidah adalah bahwa kita mengikat hati dan perasaan kita sendiri dengan
69
suatu kepercayaan dan tidak akan kita tukar lagi dengan yang lain dan menjadikannya
sebagai jalan hidup.35
Dari segi ilmu sosiologi, aqidah atau kepercayaan atau pegangan hidup tumbuh
berkembang dalam diri masing-masing manusia karena sifat manusia yang suka
bergaul. Sebab kemanusiaan bahkan kepribadian manusia tidaklah tumbuh sempurna
jika hidup menyendiri. Perkembangan pribadi amat tergantung kepada pergaulan.
Dari pergaulan timbul sendi kekeluargaan didalam manusia dan terbentuklah
masyarakat yang terikat dan menyatu didalam satu keluarga maupun didalam satu
kampung. Dari pergaulan di dalam masyarakat maka akan timbul suatu dorongan
mengenai kepercayaan akan adanya Yang Agung yang ditakuti dan dicintai. Dari
sanalah timbul akidah yang membuat suatu aturan (tidak tertulis) yang bila dilanggar
akan celaka.36
HAMKA menjelaskan bahwa akidah atau pokok pegangan hidup atau
kepercayaan disebut juga iman. Iman harus diikuti dengan amal. Amal adalah buah
dari iman dan merupakan pernyataan dari sikap hati. Barangsiapa yang iman atau
akidahnya bertambah kuat maka akan bertambah kuat juga dalam mengerjakan
perintah-perintah agamanya, sambil mengusahakan dirinya sendiri agar lebih maju
dalam berhubungan dengan Tuhan. Dia akan memperhatikan dengan penuh
35 Hamka, Studi Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973), h. 75-76. 36 Hamka, Studi Islam, h. 76-78.
70
kewaspadaan mengenai perbuatan baik dan buruk. Sebaliknya, jika iman lemah,
akidah akan hilang dengan sendirinya, ketaatan kepada Tuhan pun akan lemah.37
HAMKA mengatakan dalam bukunya yang berjudul Studi Islam bahwa,
“Sebagai seorang yang beragama, terutama agama yang satu rumpun (Yahudi,
Nasrani dan Islam), mempunyai satu titik keyakinan, yaitu tentang Iman. Iman atau
kepercayaanlah yang menjadikan seseorang beragama. Seseorang yang mempunyai
iman akan memberikan hidup dan matinya kepada yang di Imaninya. Bagi seorang
Muslim, iman bukan hanya sebagai i’tikad batin atau kepercayaan jiwa, tetapi iman
meliputi kegiatan hidup, amal danusaha, cipta dan karya.”38
Dengan kata lain, agama Islam mengajarkan tentang “Teguh hubungan ke
langit, kepada Tuhan. Teguh hubungan manusia, sesama Insan”.39
Dalam agama Islam dijelaskan bahwa maksud kedatangan Islam untuk manusia
umumnya, untuk mengatur hidup manusia dari segala segi, bukan semata mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan, bukan juga hanya urusan akhlak pengatur
hubungan diantara satu dengan yang lain, melainkan untuk semua kegiatan hidup
manusia di dalam dunia ini dan cara yang harus ditempuhnya, baik sebagai pribadi
atau sebagai kelompok. Tidak ada perbedaan di antara manusia dengan manusia
lainnya, dasar tujuannya ialah persaudaraan seluruh manusia, membina satu pri-
kemanusiaan di dalam tuntunan “Satu Tuhan” (Tauhid) menempuh jalan (Syari’at)
yang satu juga ragamnya.40
37 Hamka, Studi Islam, h. 122. 38 Hamka, Studi Islam, h. 195-196. 39 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 167-168. 40 Hamka, Studi Islam, h. 6.
71
HAMKA juga menerangkan bahwa ajaran agama Kristen tidak semata-mata
ajaran kerohanian, dogma, dan ajaran akhlak belaka. Melainkan Isa Almasih datang
untuk menggenapkan isi taurat.41
Sebagaimana sabdanya:
“Janganlah kamu sangkakan aku datang hendak merombak hukum Taurat, atau
kitab Nabi-nabi; Bukannya aku hendak merombak, melainkan menggenapkan”.
“Karena sesungguhnya aku berkata kepadamu sehingga langit dan bumi lenyap,
satu noktah atau satu titikpun sekali-kali tidak akan lenyap daripada hukum
Taurat itu sampai semuanya telah jadi.”(Matius: 5;17;18 – Lukas 16: 17-21:33).
“Jikalau kamu mengasihi aku, turutlah segala hukumku.”(Injil Yahya 14;15).
“Karena inilah kasih akan Allah, yaitu menurut hukum-hukumNya, maka
hukum-hukumNya itu bukannya berat.”(Surat Yahya yang pertama 5:3).
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa Nabi Isa a.s telah memerintahkan
kepada umatnya menegakkan dari hati tulus dan ikhlas syariat yang dibawa oleh
Musa. Dan beliau mengadakan beberapa kali perubahan dalam urusan kekeluargaan.
Dan isi Taurat hendaklah difahamkan dengan jiwa iman. Dengan kata lain, umat
Kristen yang benar tidaklah akan mau menerima suatu gagasan kalau dengan gagasan
itu mereka diajak memisahkan kegiatan hidup dengan yang diajarkan Isa Almasih.
Padahal Almasih telah memerintahkan umatnya menegakkan syariat Musa, satu
titikpun tidak boleh dirubah.42
41 Hamka, Studi Islam, h. 198. 42 Hamka, Studi Islam, h. 198-199.
72
Demikian pula dengan orang Yahudi, HAMKA menjelaskan bahwa “tidaklah
mereka sempurna beriman kalau mereka tidak mengimaniapa yang dibawa oleh
Musa”.
Pada suatu waktu orang-orang Yahudi membawa seorang perempuan yang
tertangkap basah berzina. Mereka minta agar Nabi Isa melakukan hukum Taurat atas
perempuan itu, yaitu agar dia dirajam. Tetapi Nabi Isa menyambut permintaan itu
dengan berkata “barangsiapa yang tidak pernah berbuat dosa dalam hidupnya, itulah
orang yang harus melakukan hukum rajam terhadap perempuan itu”, akhirnya tidak
seorangpun yang berani maju untuk melaksanakan hukum tersebut.
Sikap Nabi Isa bukan berarti telah mengesampingkan hukum Taurat, justru
beliau mengajak manusia kembali kepada hukum Taurat dengan membina pribadi
dan membersihkan jiwa dari hal yang hanya melihat keburukan orang lain sehingga
lupa akan keburukan diri sendiri. Dan Nabi Isa merasa belum berkuasa untuk
melakukan hukum tersebut sesuai syari’at Musa. Beliaupun sangat berhati-hati agar
tidak terpancing untuk menentang pemerintah sehingga beliau menegaskan bahwa
“Hak Kaisar serahkan pada Kaisar, dan hak Allah kembalikan kepada Allah”.43
Dari penjelasan di atas bahwa ketiga agama tersebut merupakan agama-agama
langit, yaitu agama akidah dan syari’at atau agama kepercayaan dan aturan. Dan
syari’at itu ada yang khas mengenai hukum dan peradilan, ada yang khas mengenai
akhlak yang tidak perlu penjagaan dan penguasaan Negara. Selama akidah masih ada,
selama itu juga masyarakat akan berdiri tegak. Tetapi jika akidah telah hilang, maka
43 Hamka, Studi Islam, h. 199-200.
73
masyarakat akan hancur. Karena akidah atau iman merupakan perkataan dan
perbuatan, artinya perkataan hati dan lidah dan perbuatan hati dan anggota.44
D. Konsep Pluralitas Agama dalam Perspektif HAMKA
Rasa agama membawa kepada cinta, pemberi maaf, kagum, terharu melihat
keindahan, kemuliaan dan kesempurnaan. Rasa agama yang tinggi membawa
pengakuan akan adanya penguasa tertinggi pengatur semesta. Yang Maha Kuasa,
daripadanya datang segala kekuasaan. Yang Maha Agung, daripadanya segala
keagungan. Agama yang tinggi menimbulkan tasamuh, toleransi, berlapang dada,
bukan yang menimbulkan kepicikkan dan ta’assub. Terkadang dibawanya orang
kedalam suasana cinta, sehingga melebihi cinta terhadap diri sendiri.45
Agama yang benar memperluas pandangan kita. Menjadikan terangkatnya kaki
yang terpaku dibumi ini, membawa kita terbang ke angkasa luas. Lepaslah kampung
dan halaman, kota dan negeri, suku dan bangsa. Tidak ada yang membatasi kita
dengan manusia sekalian, walau dimana mereka berdiam. Agama yang benar tidaklah
mengenal batas kaum, suku, bangsa, jenis, warna kulit. Karena agama yang benar
menyeru manusia pulang bersama kembali ke hadirat Tuhan Rabbul Alamin. Dia
bukanlah Tuhannya orang berdarah Aria atau berdarah Smiet semata. Tetapi dia
adalah Tuhan dari bumi dan langit dan segala isinya. Dia sendiri yang menjadi hakim
44 Prof. Dr. Hamka, Tasauf Moderen, h. 40. 45 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 164-165.
74
dan kita semua sama derajat. Sama kedudukan di hadapan-Nya. Kalaupun ada yang
terdekat, hanyalah karena Iman dan Takwa.46
Agama yang benar memperluas timbang rasa diantara sesama manusia. Tidak
ada fanatik-kebangsaan dan tidak ada dendam bangsa. Yang ada hanya persaudaraan,
tolong menolong, bantu membantu. Yang ada hanya keinsyafan bahwa lautan lebih
luas dari daratan.
Agama yang benar meniupkan hati sanubari. Agama yang benar menimbulkan
keadilan yang merata antara sesama anak adam. Sanubari yang telah diisi dengan
hakikat hidup, tidaklah mengenal benci, bahkan tidak ada ruang untuk benci. Karena
seluruh sanubari telah dipenuhi oleh rasa cinta. Berlainan warna kulit dan perbedaan
bahasa bukanlah untuk permusuhan, melainkan untuk mengenal “Aku” pribadi dan
“Aku” bangsa, lebur kedalam persaudaraan sedunia. Dan semuanya berteduh dibawah
naungan “Aku Yang Maha Besar”. Agama yang benar adalah menuju kesatuan
hubungan seluruh manusia dengan “Tuhan yang satu”.
ه ل ن ف س ب اي ح ي ح م ل ىا خ ب ت ىي ح ح م ك د ا ح ن و آلي ئ م
“Tidaklah sempurna Iman seseorang kamu, sebelum dia mencintai saudaranya
sebagaimana mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
دة اح و ة أم الن اس ....كان
“Sesungguhnya manusia itu terdiri dari ummat yang satu”47
46 Hamka, Pandangan Hidup Muslim, h. 166-167.
47 QS. Al-Baqarah: 213.
75
Islam datang dengan maksud untuk seluruh manusia pada umumnya. Merata
dalam mengatur hidup manusia dari segala seginya. Bukan semata mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan dan bukan pula semata urusan akhlak pengatur
hubungan satu dengan yang lain, melainkan merata bagi setiap kegiatan hidup
manusia dan cara menempuhnya di dalam dunia ini. Baik secara pribadi maupun
sebagai kelompok.
Tidak ada perbedaan di antara manusia dengan manusia, yang ada hanyalah
dasar tujuan untuk mencapai persaudaraan seluruh manusia, membina satu pri-
kemanusiaan di dalam tuntutan Satu Tuhan (Tauhid) menempuh jalan (syari’at) yang
satu pula ragamnya.48
48 Hamka, Studi Islam, h. 6.
76
BAB V
PENUTUP
Pembahasan bagian akhir pada penulisan skripsi ini, penulis akan mengambil
sebuah kesimpulan yang diperoleh berdasarkan analisis yang disesuaikan dengan
rumusan dan batasan masalah. Penulis juga memberikan saran-saran yang dirasa
relevan dan perlu untuk pengayaan bahan bacaan mengenai judul skripsi ini dengan
harapan dapat menjadi kontribusi pemikiran yang berharga bagi masyarakat.
A. Kesimpulan
Pada dasarnya Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman
yang meliputi keanekaragaman daerah, Bahasa, tradisi, budaya, agama dan lain
sebagainya. Pluralitas tersebut merupakan unsur pembentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pada kenyataannya, keanekaragaman tersebut belum mampu
menjadikan Indonesia sebagai Negara yang damai dari segi pluralitas. Kurangnya
sikap saling menerima dan menghargai akan pluralitas itu sendiri menumbuhkan
akar-akar konflik yang akan terus tumbuh jika tidak dipangkas sedikit demi sedikit.
Contoh rentan akan terjadinya konflik, yaitu seputar masalah agama. Sikap
tidak menghargai dan menghormati sesama pemeluk agama—baik agama lain
maupun di dalam agama sendiri—menjadi pemicu terjadinya konflik.
77
Isu tentang pluralisme agama kurang diminati oleh masyarakat bahkan
menganggap isu tersebut sebagai isu yang menyimpang. Padahal pluralisme agama
berisi tentang perdamaian tanpa mengganggu agama lain dengan cara bersosialisasi
antar masyarakat tanpa adanya fragmentasi mengenai apapun. Pluralisme agama juga
tidak boleh dipahami hanya sebagai “kebaikan negatif” yang hanya ditilik dari
kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme agama. Pluralisme agama harus
dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Dengan
demikian, agama-agama bisa menjelaskan tidak saja alasan sosiologisnya, tetapi juga
pijakan normatif-teologisnya untuk menjadi alasan menjalin hubungan harmonis
dengan agama lain. Karena itu, tidak seorang pun berhak memonopoli kebenaran
Tuhan, dengan mengatakan bahwa agamanya paling benar dan paling menjanjikan
keselamatan.
Pandangan mengenai pluralitas agama terlihat dalam pemikiran HAMKA yang
berpendapat bahwa manusia merupakan umat yang satu, perbedaan daerah, Bahasa
dan warna kulit bukanlah masalah karena semua itu hanya keragaman di dalam satu
kesatuan.
HAMKA juga menjelaskan dalam karyanya yang berjudul Tasawuf Moderen
bahwa semua agama bukanlah kepunyaan manusia, melainkan kepunyaan Allah yang
dibangun pada tiap-tiap zaman dengan perantara utusan-utusan-Nya. Kedatangan
Muhammad adalah menyambung dan menyempurnakan pelajaran yang telah dibawa
oleh Nabi-Nabi sebelumnya. Agama itu satu wujud dan maksudnya, tidak
dibangsakan kepada suatu keturunan. Wujud dan tujuannya satu, yaitu menyerahkan
78
diri kepada Tuhan seutuhnya, yang dalam bahasa Arab dinamai Aslama, Yuslimu,
Islāman (Menyerah).
Agama yang benar tidaklah mengenal batas kaum, suku, bangsa, jenis, warna
kulit. Karena agama yang benar menyeru manusia pulang bersama kembali ke hadirat
Tuhan Rabbul Alamin. Dia bukanlah Tuhannya orang berdarah Aria atau berdarah
Smiet semata. Tetapi dia adalah Tuhan dari bumi dan langit dan segala isinya. Dia
sendiri yang menjadi hakim, dan kita semua sama derajat. Sama kedudukan
dihadapan-Nya. Kalaupun ada yang terdekat, hanyalah karena Iman dan Takwa.
Agama yang benar menimbulkan keadilan yang merata bagi seluruh umat, tidak
mengenal benci, bahkan tidak ada ruang untuk benci. Karena seluruh hati telah
dipenuhi rasa cinta. Berlainan warna kulit dan perbedaan bahasa bukanlah untuk
permusuhan, melainkan untuk mengenal “Aku” pribadi dan “Aku” bangsa, lebur
kedalam persaudaraan sedunia. Dan semuanya berteduh dibawah naungan “Aku
Yang Maha Besar”. Agama yang benar adalah menuju kesatuan hubungan seluruh
manusia dengan “Tuhan yang satu”.
B. Saran-saran
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu corak pemikiran HAMKA mengenai
pluralitas agama yang penulis ambil dari pembahasan didalam karya-karyanya yang
menulis tentang kewajiban dan hak asasi manusia, akhlak, akidah, serta agama yang
benar. Penulis menyadari bahwa banyaknya kekurangan pada penulisan skripsi ini,
79
baik dari segi pengetahuan, referensi dan kekurangan dalam menganalisis. Penulis
berharap agar para pembaca untuk mengkaji lebih dalam mengenai skripsi ini dengan
referensi yang relevan.
80
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, ed. Persepsi Buya HAMKA: Ulama Sudah Lama Terjual, dalam HAMKA
Di Mata Hati Umat. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Al-Qur’an. Semarang: CV. Asy Syifa, 2000.
Azra, Azyumardi. Historiografi Islam Kontemporer. Wacana, Aktualitas, dan Aktor
Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Azra, Azyumarrdi, et. al, Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam: Bingkai Gagasan yang
Berserak. Bandung: Nuansa, 2005.
Damami, Mohammad. Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka.Yogyakarta: Fajar
Pustaka, 2000.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1976.
Ghazali, Abd. Moqsith, Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis
Al-Qur’an. Depok: KataKita, 2009.
HAMKA. Ayahku… Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan
Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: UMMINDA, 1982.
HAMKA. Dari Hati Ke Hati, Tentang: Agama, Sosial-Budaya, Politik. Jakarta:
Pustaka Panjimas, 2002.
Hamka, Irfan. Ayah… Jakarta: Republika, 2013.
HAMKA. Kenang-Kenangan Hidup. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
HAMKA. Lembaga Hidup. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984.
81
HAMKA. Mutiara Filsafat, Kumpulan Naskah Tasauf Modern, Falsafah Hidup,
Lembaga Hidup, Lembaga Budi, cet. II. Jakarta: Widjaya, 1956.
HAMKA. Pandangan Hidup Muslim. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
HAMKA. Pelajaran Agama Islam, cet. 12. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
HAMKA. Perkembangan Kebatinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
HAMKA. Renungan Tasauf, cet. 1. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
HAMKA. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
HAMKA. Studi Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
HAMKA. Tasauf Moderen, cet. 1. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987.
Haris, Abd. Etika Hamka, cet. 1. Yogyakarta: LkiS, 2010.
Hidayat, Surahman. Islam, Pluralisme dan Perdamaian. Jakarta: Fikr, 1998.
Kamisa, Kamus Lengkap BAHASA INDONESIA. Surabaya: KARTIKA, 1997.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Agama dan Ketulusan, dalam Pluralitas Agama: Kerukunan
dalam Keragaman. Jakarta: Kompas, 2001.
Ma’arif, Syamsul, Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Jogjakarta: Logung Pustaka,
2005.
Manser, Martin H. Oxford Learner’s Pocket Dictionary. Oxford University, 1999.
Mufid, A. Syafi’I dan Munawar Fuad Noeh (edt), Beragama Di Abad Dua Satu.
Jakarta: Zikru’l-hakim, 1997.
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: Grafindo, 2009.
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
82
Nasution, Adnan Buyung, ed. HAMKA: Figur Yang Langka, dalam HAMKA Dimata
Hati Umat. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Nasution, Harun. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.
Nizar, Samsul. Memperbincangkan Dinamika Intelektual. Jakarta: Kencana, 2008.
O’Collins, Gerald dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, terj. I. Suharjo, cet. 6.
Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer.
Q. S. Al-Hujurat: 13.
Rachman, Budi Munawar, Islam Pluralis. Jakarta: Paramadina, 2001.
Rahmat, Jalaluddin, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan.
Jakarta: Serambi, 2006.
Ridwan, Nur Khalik, Pluralisme Borjuis: Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur.
Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Roham, Abujamin, Ensiklopedi Lintas Agama. Jakarta: Emerald, 2009.
Rusydi dan Afif. HAMKA Membahas Soal-soal Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983.
Rusydi. Pribadi Dan Martabat Buya Prof. DR. HAMKA. Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Bandung:
Mizan, 1999.
Shobahussurur. dkk, Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Jakarta: YPI Al Azhar, 2008.
83
Sumbulah, Umi. Islam “Radikal” dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial
Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama
Kristen dan Yahudi. Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010.
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif,
2006.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, -- Cet. 1. Jakarta; Balai Pustaka, 1988.
Tim Puslitbang Kehidupan Beragama, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan
Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, edisi 11, cet, kedua.
Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat
Kementrian Agama RI, 2012.
Usman, Ali, ed. Esai-esai Pemikiran Moh. Shofan dan Refleksi Kritis Kaum Pluralis,
Menegakkan Pluralisme: Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh
Muhammadiyah. Jakarta: LSAF, 2008.
Wahid, Abdurrahman dan Daisaku Ikeda. Dialog Peradaban untuk Toleransi dan
Kedamaian. Jakarta: Kompas, 2006.
Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara
Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
Yusuf, M. Yunan.Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Penamadani,
2003.