Download - Semmas End
PERAN ASEAN DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM
DI MYANMAR TAHUN 1997 - 2010
(word count: 6597)
Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Seminar Masalah HI
Dosen pengampu Bpk. Yusli Effendi
Disusun oleh:
Friska Dwi Laraswati
0811240047
PRODI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2010
Abstrak
Penelitian ini diawali dengan penjelasan konsep Hak Asasi Manusi yang secara universal telah diakui dan seharusnya mendapatkan perlindungan. Dalam era globalisasi, isu-isu yang dulunya tidak begitu dipertimbangkan, kini menjadi perhatian masyarakat internasional, salah satunya adalah mengenai penghargaan dan perlindungan terhadap HAM. Kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Negara Myanmar terjadi dalam rangka demokratisasi pemerintahan yang berbentuk Junta Militer. Penelitian kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan peranan ASEAN sebagai sebuah organisasi regional dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam setiap negara anggotanya. Awalnya, ASEAN didirikan hanya sebagai bentuk integrasi kerjasama fungsional antar negara anggotanya. Perhatian dan tekanan masyarakat internasional terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar, memaksa ASEAN untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di Myanmar. Berbagai macam penyelesaian melalui jalan diplomasi telah ditempuh ASEAN demi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Myanmar, namun belum ada satupun yang mampu menyelesaikan kasus tersebut.
Disinilah ketidak mampuan ASEAN dalam menyelesaikan konflik HAM di Myanmar kemudian dipertanyakan. ASEAN sebagai sebuah organisasi kawasan seharusnya mampu menyelesaikan permasalah ini dengan menindak, mengintervensi atau memberikan sanksi atas Myanmar. Namun pada kenyataanya, hal ini tersandung permasalahan yang menyangkut latar belakang kawasan yang membentuk kepatuhan pada nilai bersama atau regional value. Penelitian ini kemudian dilanjutkan dengan mempertanyakan ketidakmampuan peran ASEAN dalam menyelesaikan konflik HAM di Myanmar. Peneliti menjelaskan ketidakmampuan ASEAN dalam menyelesaikan konflik ini melalui Teori Rezim. Pada akhir penelitian, peneliti kemudian menyimpulkan bahwa ketidakmampuan ASEAN dalam menyelesaikan konflik HAM terjadi karena bentuk rezim dan regional value yang dimiliki ASEAN.
Keywords: ASEAN, Myanmar, ASEAN Way, problem completion mechanism, non-interference, collective security, regimes theory.
2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hak Asasi Manusia merupakan sebuah bentuk dari nilai-nilai universal
yang telah dilindungi oleh sistem internasional. Hak-hak asasi manusia yang
biasa dilanggar diantara Negara-negara yang menganut sistem pemerintahan
otoritarian adalah hak untuk berserikat dan berkumpul serta hak untuk
mengemukakan pendapat. Dalam penelitian kali ini, peneliti akan
mempersempit lingkup penelitian hanya pada konflik pelanggaran HAM yang
terjadi di Myanmar. Pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar merupakan
salah satu pelanggaran HAM terbesar yang terjadi di kawasan Asia Tenggara.
Pelanggaran HAM di Myanmar telah terjadi sejak tahun 1997 yang sampai
sekarang masih belum menemukan titik terang penyelesaian.1
Pelanggaran HAM Myanmar dilakukan oleh pemerintahan Junta Militer
yang telah berkuasa sejak 1988 dengan menggunakan kebijakan pemerintahan
yang cenderung represif terhadap warga negaranya sendiri. Aksi kekerasan
yang dilakukan oleh pemerintahan Junta Militer Myanmar, terjadi ketika
masyarakat Myanmar mulai menyuarakan gelombang demokrasi.2 Dengan
kata lain, masyarakat Myanmar pada masa tersebut ingin menggulingkan
pemerintahan Junta Militer dan menggantikannya dengan pemerintahan yang
demokratis. Merasa terancam dengan aksi-aksi demonstrasi masyarakatnya
yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, pemerintah mulai melakukan
pertahanan dengan menggunakan aksi kekerasan dalam pembubaran
gelombang demonstrasi. Banyak korban berjatuhan, dan banyak warga sipil
yang dipenjarakan dalam aksi pemerintahan Junta Militer Myanmar.3
1 “Aksi Demo Damai di Myanmar Berakhir Kerusuhan”. diakses melalui http://antaranews.com pada tanggal 08 Maret 2011. (2007)2 “Pelanggaran Hal Asasi Manusia dan Konflik Bersenjata di Burma”. Diakses melaui http://www.forum-politisi .org. Pada Tanggal 13 April 2011. (2011)3 “Parlemen Serukan Penghentian pelanggaran HAM di Myanmar”. Diakses melalui http://www.antaranews.com. Pada tanggal 28 Maret 2011. (2007)
3
Tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan Myanmar menuai banyak
protes dari berbagai pihak. Protes dilakukan tidak hanya dari Negara-negara
satu kawasan namun juga dari Negara-negara diluar kawasan seperti Uni
Eropa dan Jepang.4 Namun, sampai saat ini, ASEAN sebagai organisasi
regional yang menaungi Myanmar masih belum bisa menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM yang terjadi. Dengan ini peneliti pada akhirnya
mempertanyakan efektifitas peran ASEAN dalam penyelesaian konflik
pelanggaran HAM di Myanmar, dan mempertanyakan mengapa ASEAN
belum dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Myanmar? Kedua
pertanyaan inilah yang menjadi perhatian dan kerangka pemikiran peneliti
dalam melakukan penelitian terhadap kinerja dan mekanisme penyelesaian
masalah di ASEAN.
ASEAN merupakan sebuah bentuk Intergovernmental Organizations dari
negara-negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Pada pembentukannya
yakni pada 8 Agustus 1967, ASEAN dibentuk tanpa adanya konstitusi atau
seperangkat aturan formal dan tertulis yang mengatur interaksi antar anggota-
anggotanya. Pada saat itu, ASEAN hanya terbentuk sebagai bentuk integrasi
yang berdasar pada kerjasama fungsional antar Negara anggota. Konstitusi
atau landasan hukum bagi ASEAN yakni Piagam ASEAN baru diratifikasi
oleh kesepuluh anggotanya pada 20 November 2007. Hal ini mengartikan
bahwa ASEAN merupakan salah satu institusi internasional yang berdiri
selama kurang lebih 40 tahun tanpa adanya konstitusi legal atau dasar hukum
yang kuat dalam interaksi antar anggotanya. Ditandatanganinya piagam
ASEAN seharusnya memberikan perubahan yang signifikan terhadap
keseluruhan aktivitas atau interaksi yang diambil oleh seluruh anggota.
Keberadaan Piagam ASEAN membuat setiap Negara anggota yang
meratifikasinya diwajibkan untuk tunduk pada seperangkat aturan hukum
yang menyangkut hampir semua segi kehidupan berbangsa dan bernegara.
4 “Junta Myanmar Kebal Sanksi Ekonomi”, Harian Seputar Indonesia online melalui http://seputar-indonesia.com/junta-myanmar-kebal-sanksi-ekonomi/.htm. Pada tanggal 23 Maret 2011. (2007)
4
Piagam ASEAN mengarahkan seluruh masyarakat ASEAN untuk
mencapai tujuan bersama demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan
masyarakat ASEAN. Salah satu tujuan bersama masyarakat ASEAN yakni
pembentukan ASEAN Community pada 2015. Piagam ASEAN berisikan
tentang keinginan-keinginan atau cita-cita masyarakat ASEAN, hal ini tertulis
pada pasal 1 ayat pertama hingga ayat kelimabelas ASEAN Charter.5 Dari
tujuan-tujuan yang dikemukakan dalam piagam ASEAN, beberapa
diantaranya yakni; ASEAN bertujuan untuk menjaga perdamaian dan
stabilitas kawasan, memajukan kerja sama dibidang ekonomi, politik, hukum
dan HAM, menjadikan ASEAN sebagai kawasan bebas dari senjata nuklir dan
senjata pemusnah lainnya, menciptakan pasar tunggal, mengurangi
kemiskinan dan meratakan pembangunan, memperkuat demokrasi dan
melindungi Hak Asasi Manusia serta kebebasan-kebebasan fundamental
lainnya. Namun, tujuan utama yang tertulis dalam Piagam ASEAN secara
umum adalah untuk membentuk ASEAN sebagai organisasi kawasan yang
memiliki landasan hukum dan berorientasi pada kepentingan dan
kesejahteraan mayarakat ASEAN.6
Walaupun Piagam ASEAN telah ditanda-tangani oleh kesepuluh
anggotanya, nyatanya masih banyak permasalahan yang timbul dan tidak
dapat diselesaikan oleh ASEAN. Salah satu yang menjadi perhatian
masyarakat internasional dan memaksa ASEAN untuk turun tangan adalah
kasus-kasus pelanggaran HAM. Kasus-kasus pelanggaran HAM merupakan
salah satu hal yang menjadi perhatian ASEAN, hal ini diawali dengan
dikeluarkannya Joint Communique of the 26th ASEAN Ministerial Meeting
yang berlangsung pada 23-24 Juli 1993 di Singapura.7 Sebagai salah satu
bentuk Asian Way, pertemuan ini membahas mengenai isu pelanggaran HAM
di Myanmar dan saran-saran penyelesaian atau solusi yang kemudian
diberikan oleh negara-negara anggota ASEAN pada pemerintahan Myanmar.
5 “The Asean Charter”. yang diaskses melalui www.asean.org/ASEAN-Charter.pdf. diakses pada tanggal 2 Juni 2010.6 Ibid 7 Anak Agung Banyu Perwita, “Kapasitas ASEAN dalam Penyelesaian Konflik Internal Myanmar”, Analisis CSIS, (2006) Volume 32 Nomer 2 Hal 155.
5
Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia telah disepakati dalam Piagam
ASEAN pasal 1 ayat ke 7 dan ditandatanganinya Universal Declaration of
Human Rights pada 1948 oleh anggota PBB termasuk Negara-negara anggota
ASEAN. Namun pada kenyataannya perlindungan terhadap HAk Asasi
Manusia yang telah disepakati secara universal tidak dapat memberikan
perlindungan secara nyata terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di
Myanmar.
1.2 Rumusan Masalah
Mengapa ASEAN belum dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM
yang terjadi di Myanmar?
1.3 Kerangka Pemikiran
1.3.1 Peringkat Analisis
Penelitian ini menggunakan tingkat analisa induksionis.8 Tingkat
analisa induksionis adalah tingkat analisa dimana unit eksplanasi dari
penelitian ini memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari unit analisanya.
Unit eksplanasi dalam penelitian ini adalah peranan ASEAN yang berada
pada tataran sistem regional; dan pelanggaran HAM yang terjadi di
Myanmar yang berada pada tataran Negara bangsa. ASEAN dan konflik
pelanggaran HAM di Myanmar merupakan objek yang perilaku dan
tindakannya hendak diamati.
Salah satu cara efektif untuk menentukan tingkat analisa yang pas
dalam sebuah penelitian adalah dengan menentukan suatu tingkat analisa
yang dalam hal ini adalah teori yang digunakan.9 Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan teori rezim yang pada intinya mengatakan bahwa
interaksi antar Negara diatur berdasarkan sistem yang melingkupinya atau
lebih tepatnya rezim atau intstitusi internasional yang melingkupinya.
Penelitian ini bertujuan menjelaskan mengenai bagaimana ASEAN
sebagai salah satu organisasi internasional regional yang memiliki aturan,
norma dan kebijakan dapat menentukan perilaku dan interaksi antar
8 Mos’oed, Mochtar. 1990. “Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi”. hal. 39 Ibid. hal. 48
6
Negara anggotanya. Hal ini menuntun peneliti untuk melakukan analisa
ditingkat sistem dengan asumsi perilaku Negara bangsa ditentukan oleh
sistem yang melingkupinya. Analisa sistem fokus pada asumsi bahwa
seringkali Negara-negara dalam sistem internasional tidak bertindak secara
sendiri-sendiri melainkan secara komunal dalam sebuah organisasi atau
institusi.10
1.3.2 Pendekatan
1.3.2.1 Teori Regime
Sebelum beranjak pada definisi dan penjelasan mengenai teori rezim,
penulis akan memberikan definisi mengenai organisasi internasional
karena rezim internasional tidak selalu berbentuk institusi internasional.
Dalam sistem internasional, ada beberapa jenis organisasi internasional,
salah satunya adalah organisasi internasional antar pemerintahan atau yang
biasa disebut dengan Inter Governmental Organizations. ASEAN dalam
hal ini merupakan salah satu bentuk organisasi kerjasama antar pemerintah
yang terletak di kawasan Asia Tenggara. ASEAN merupakan sebuah
bentuk organisasi kerjasama regional yang berperan dalam memajukan
kehidupan masyarakat di Asia Tenggara dengan melakukan kerjasama
dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Fungsi organisasi
Internasional dalam sistem Internasional telah dibedakan menjadi lima
bentuk oleh Harold Jacobson yakni kategori informasi, normatif,
penciptaan aturan, pengawasan aturan dan kategori operasional.11
Dari fungsi-fungsi yang telah dijelaskan diatas, ASEAN sebagai
organisasi antar pemerintah telah memenuhi kategori-kategori sebagai
organisasi internasional. Salah satu buktinya terlihat dalam
penandatanganan Piagam ASEAN pada tahun 2007, pembentukan ASEAN
Regoinal Forum sebagai wadah perundingan, dan pembentukan AFTA
sebagai sebuah bentuk kerjasama ekonomi. Selain fungsi-fungsi organisasi
yang telah dikemukanakan oleh Harold, ada sebuah alternative fungsi
10 Op cit11 Jacobson, Harorld. “Networks of Interindependence: Internasional Organizations and the Global Political System, The Range of Functions”. (1979, New York: Alfred A. Khopf), p. 88-89.
7
organisasi yang juga telah ditawarkan oleh Karent Mingst. Organisasi
internasional berfungsi untuk mengatur kerjasama, membantu
menyelesaikan permasalahan dan perselisihan, memberikan fasilitas dalam
pembentukan jaringan antar pemerintah sebagai wadah perundingan
internasional, dan sebagai tempat pembentukan rezim internasional.12
Menurut Karet Mingst, salah satu fungsi dari Organisasi Internasional
adalah menginisiasi penciptaan rezim internasional. Dan ASEAN yang
awalnya dibentuk sebagai sebuah ntegrasi kawasan telah menjadi sebuah
rezim ekonomi dan keamanan, hal ini terlihat pada penanda tanganan
Piagam ASEAN sebagai norma khusus dari suatu rezim.
Menurut Stephen D. Krasner, rezim adalah “principle, norms, rules,
and decision-making procedures around which actor’s expectation
converge in a given issue area”13. Yang artinya adalah rezim merupakan
sebuah tatanan yang berisikan kumpulan prinsip, norma, aturan, proses
pembuatan keputusan yang berkaitan dengan ekspektasi atau pengharapan
actor-aktor yang memuat kepentingan aktor-aktor tersebut dalam suatu
ranah isu tertentu dalam hubungan internasional. Dari kriteria yang
diberikan oleh Krasner, maka ASEAN merupakan sebuah organisasi
internasional yang dalam hal ini sudah memiliki seperangkat prinsip,
norma, aturan, dan prosedur pembuatan keputusan yang dilaksanakan oleh
seluruh Negara Asia Tenggara kecuali Timor Leste. Dengan
diratifikasinya Piagam ASEAN pada 2007 yang berisi tentang prinsip, hak
dan kewajiban, tujuan, dan aturan telah menunjukkan bahwa ASEAN telah
memenuhi kriteria sebagai rezim internasional. Salah satu poin penting
dalam penjelasan Krasner tentang teori rezim adalah norma. Norma
merupakan suatu standard perilaku yang didefinisikan dalam bentuk hak
dan kewajiban. Norma internasional yang disepakati dan dipatuhi bersama
oleh anggota atau aktor-aktor internasional akan menentukan
12 Karent Mingst, “Essentials of International Relations”, (W.W Norton & Company, New York, 1998), hal.259.13 Stephen D. Krasner,”International Regimes”, The Massachusets Institute of Technology, (Spring, 1982). Hal 2.
8
kelangsungan sebuah rezim internasional. Banyak penteori rezim
menerangkan bahwa pada dasarnya Negara merupakan aktor internasional
yang akan lebih sering menyesuaikan diri dengan norma internasional
berdasarkan perhitungan cost-benefitnya.
Teori rezim menjelaskan tentang ketaatan negara anggota terhadap
norma dan aturan terhadap rezim internasional untuk mencapai
kepentingan nasional mereka. Sebuah rezim internasonal diorganisasikan
dengan dibuatnya perjanjian antar negara anggota sehingga dapat menjadi
landasan hukum yang formal dalam hukum internasional. Rezim sebagai
subjek hukum internasional yang memiliki landasan konstitusional, norma
dan aturan yang telah disepakati bersama dapat membentuk perilaku dan
interaksi antar negara anggotanya. Rezim dibentuk dari hasil negosiasi
antar negara anggotanya, begitu pula ASEAN. Dalam memaksimalkan
efektifitas serta kinerja rezim internasional diperlukan adanya kepatuhan
dari negara-negara yang membentuk rezim.
Kepatuhan yang dimaksud dalam rezim internasional telah dibahas
oleh William Zartman yang biasa disebut dengan compliance. Ada dua hal
yang diperlukan agar suatu rezim internasional dengan aspek kepatuhan
atau compliance dapat diterapkan disebut dengan Enforcement School.
Enforcement School merupakan sebuah metode dimana negara-negara
anggota dapat mendorong kepatuhan. Dan metode kedua adalah
Management school yang menerangkan bahwa ketidakpatuhan yang
dilakukan negara-negara dalam sebuah rezim ditangani dengan pembuatan
rezim-rezim lanjutan dengan maksud untuk menangani ketidakberdayaan
rezim sebelumnya untuk menangani ketidakpatutan negara-negara
tersebut.14
1.3.2.2 Konsep Cooperative security
14 Zartman, William. 2007. “Peacemaking in international conflict: methods and conflict”. (2007, Washington DC: United States Institutes of peace) diakses melalui books.google.co.id/books?id=1GUL0oYZx0kCa&pg=PA390&dq=william+zartman+compliance+and+bargaining&hl=id&ei=X9qSTfrIC8GXcYuduIkH&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&ved=0CEUQ6AEwBg#v=onepage&q&f=false pada tanggal 12 Maret 2011.
9
Menurut Emmers, strategi diplomasi menawarkan empat karakteristik
strategi diplomasi yakni collective security, comprehensive security,
cooperative security dan common security. Dan dalam artikelnya yang
berjudul “Balance of power within and beyond cooperative security
regime: ASEAN & ARF” menafsirkan konsep Balance of Power dalam
konteks politik regional berkaitan dengan momen berdirinya ASEAN
sebagai organisasi regional yang memegang nilai cooperative security.15
Konsep “cooperative security” secara umum didefinisikan sebagai :
“a process whereby countries with common interest work jointly through agreed mechanism to reduce tensions and suspicion, resolve or mitigate disputes, build confidence, enhance economic development prospects, and maintain stability in their regions” 16
Cooperative security adalah sebuah proses kerjasama atau mekanisme
yang dilakukan oleh Negara-negara yang memiliki kepentingan yang sama
untuk mengurangi ketegangan dan kecurigaan; memisahkan dan
mengurangi perselisihan; membangun kepercayaan diri; memperbesar
prospek pembangunan ekonomi; dan memelihara stabilitas kawasan.
Emmers mengutarakan pendapatnya bahwa cooperative security tidak
memberikan aksi secara langsung dan tepat sasaran disebabkan karena
pertemuan dan diskusi melalui forum yang terjadi hanya angin semata dan
tidak lebih dari ucapan bibir dari diplomasi politik guna merenggangkan
tensi dan ketegangan akibat konflik regional karena salah paham maupun
saling curiga.
“…cooperative security, unlike collective security, lacks of the vehicle of economic or military sanctions…cooperative security focuses on confidence building and a reventive dimension, albeit not through problem solving.” 17
15 Emmers, Ralf. 2004. “Cooperative security and Balance of Power in ASEAN and The ARF.” New York: Routledge Publishing. p. 50-54.16 Michael Moodle, Chemical and Biological Arms Control Institute, (January, 2000).17 Op cit
10
Konsep “cooperative security” diharapkan dapat meningkatkan betapa
pentingnya suatu struktur lingkungan yang terintegrasi antar negara
sehingga mampu memelihara kesejahteraan dan kaemanan rakyatnya.
Munculnya pelanggaran HAM yang terjadi terhadap warga sipil Myanmar
oleh pemerintahannya merupakan sebuah bukti bahwa suatu Negara
memiliki permasalahan yang pada dasarnya tidak dapat diselesaikan
sendiri.
1.3.3 Hipotesis
ASEAN belum bisa menyelesaikan tindak pelanggaran HAM di
Myanmar karena ASEAN tidak memiliki otoritas atau wewenang yang
cukup kuat untuk memberikan tindakan pada Myanmar. ASEAN sebagai
sebuah bentuk rezim cooperative security tidak memiliki sanksi yang
dapat diterapkan dalam menindak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Selain itu, ASEAN terganjal keberadaan nilai-nilai regional yang menjadi
prinsip dasar ASEAN seperti prinsip non-interference dan ASEAN way
dalam menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang terjadi di
Myanmar.
1.3.4 Konseptualisasi
1.4.4.1 Regional Value
ASEAN merupakan sebuah organisasi yang terbentuk dari Negara-
negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki kemiripan nasib dan latar
belakang. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara terdiri dari berbagai
suku bangsa, ras dan agama yang membentuk suatu masyarakat Asia
Tenggara yang memiliki cita-cita dan tujuan. Perbedaan membuat
masyarakat Asia Tenggara menghargai identitas bangsa atau Negara lain
khususnya Negara-negara yang berada pada satu kawasan.
Negara-negara di kawasan Asia Tenggara mayoritas merupakan
Negara-negara bekas jajahan atau Negara koloni kecuali Negara Thailand.
Sebagai Negara-negara bekas koloni, Negara-negara anggota ASEAN
11
sangat menjunjung tinggi kemerdekaan yang dimikili tiap Negara.
Memiliki pengalaman buruk yang sama dalam upaya meraih kemerdekaan
membuat mayoritas Negara-negara ini menjunjung tinggi kedaulatan.
Menjunjung tinggi kedaulatan dan kemerdekaan pada dasarnya menjadi
nilai utama dari dibentuknya ASEAN. Efek trauma sebagai akibat dari
masa penjajahan yang begitu lama membuat masyarakat ASEAN sangat
menghormati kedaulatan yang sudah dimiliki sehingga menginginkan
kewewenangan dalam menentukan nasib dan arah dari kehidupan
negaranya masing-masing.
Nilai-nilai utama ini tertera pada Piagam ASEAN yakni pada
pembukaan alinea ke tujuh yakni “respecting the fundamental importance
of amity and cooperation, and the principles of sovereignty, equality,
territorial integrity, non-interference, consensus and unity and diversity”.18
Sebelumnya, nilai-nilai ini telah disepakati jauh sebelum
ditandatanganinya Piagam ASEAN pada 2007 kemarin. Pada 24 Februari
1976, lima perdana menteri dan presiden dari Negara pendiri ASEAN
menandatangani sebuah perjanjian yang membentuk suatu norma interaksi
antar Negara di kawasan Asia Tenggara yakni Treaty Amity and
Cooperation. Norma dan nilai yang ada dalam perjanjian tersebut yakni:
1. Penghormatan terhadap kemerdekaan, kedaulatan, persamaan,
integritas wilayah, dan identitas national seluruh bangsa;
2. Terbebas dari intervensi, subversi dan paksaan dari pihak luar;
3. Tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri Negara lain;
4. Mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai
5. Tidak digunakannya ancaman dengan menggunakan kekuatan
6. Kerjasama yang efektif antar anggota 19
Prinsip non-interference adalah sebuah prinsip dimana setiap Negara
anggota ASEAN berhak menentukan nasib dan arah masing-masing
18 Op cit19 Severino, Rodolfo. “Asean”. (2008, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies).
12
Negara dan tidak ada satupun pihak yang diperkenankan untuk turut
campur dalam urusan dalam negeri yang terjadi di suatu Negara. Prinsip
ini hadir sebagai sebuah bentuk penghargaan terhadap nilai kedaulatan dan
kemerdekaan yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat ASEAN.
Prinsip non-interference juga telah disepakati dalam piagam ASEAN
yakni pada pasal 2 ayat dua (e,f) yang berbunyi
“non-interference in the internal affairs of ASEAN member states; respect for the right of every member state to lead its national existence free from external interference, subversion and coercion”20
Selain itu, masyarakat ASEAN lebih mengedepankan aksi-aksi damai
dalam menyelesaikan masalah atau konflik yakni dengan menggunakan
jalan diplomasi, negosiasi, konsensus dan mediasi. Hal ini tertulis pada
piagam ASEAN pasal 2 ayat 2 (c,d) yakni “renunciation of agression and
of the threat or use of force or other actions in any manner inconistet with
international law; reliance on peacefull settlement of disputes”.21 Pilihan
mekanisme penyelesaian masalah berdasar pada nilai-nilai yang dimiliki
oleh masyarakat ASEAN biasa dikenal dengan ASEAN way. ASEAN way
disebut-sebut sebagai upaya negara-negara anggota untuk aktif
menyelesaikan persengketaan yang ada tanpa harus melanggar kedaulatan
satu sama lain.22 ASEAN way merupakan suatu mekanisme penyelesaian
konflik informal tanpa melakukan intervensi menjauh pada negara anggota
ASEAN.
1.4.4.2 Management Conflict atau Mekanisme Penyelesaian Masalah
Sebagai sebuah bentuk organisasi kawasan yang memiliki tujuan
utama yakni memelihara perdamaian dan keamanan di kawasannya,
ASEAN memiliki mekanisme penyelesaiannya sendiri. Ada beberapa
20 Op Cit21 Ibid 22 Leifer, M. “The Asean States: No Common Outlook, International Affairs” (Royal Institute of International Affairs 1944). diakses 10 Juni 2008. Dari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults.
13
perjanjian antara anggota-angggota yang menandakan upaya pencapaian
pemeliharaan perdamaian dan keamanan kawasan yakni The Zone of
Peace and Neutrality pada 1971, The Southeast Asia Nuclear Weapons –
Free Zone pada 1995 dan Treaty Amity and Cooperation pada tahun 1976.
Mekanisme penyelesaian masalah yang digunakan ASEAN adalah dengan
menggunakan jalan damai dengan tanpa menggunakan pendekatan
militeristik.23 ASEAN lebih memilih menggunakan jalan diplomasi atau
perundingan yang sesuai dengan prinsip ASEAN dalam menyelesaikan
masalah yang ada di kawasan Asia Tenggara.
Salah satu lembaga eksternal yang diinisisasi dalam pembentukannya
oleh ASEAN adalah ARF yang memiliki fungsi sebagai wadah atau forum
dalam penyelesaian masalah Negara-negara di dalam kawasan Asia
Pasifik. Oleh karena itu pada tahun 1993 diselenggarakan sebuah
konferensi tingkat tinggi di Singapura dalam bentuk informal working
dinner untuk membuat suatu forum dialog regional yang membahas
masalah stabilitas politik dan keamanan Asia Pasifik. Anggota ARF
sampai saat ini berjumlah 21 negara, yakni anggota ASEAN serta AS,
Jepang, Kanada, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Uni Eropa,
Rusia, Cina, India dan Papua Nugini.
ARF diharapkan menjadi sebuah solusi dalam masalah politik dan
keamanan yang mengganggu stabilitas kawasan namun nyatanya ARF
gagal melakukan hal tersebut. Pertemuan pertama ARF diadakan di
Bangkok pada 1994, menyepakati prinsip dasar interaksi anggota-anggota
ARF yang berdasar pada TAC. Dengan disepakatinya TAC, ARF hanya
berfungsi sebagai forum dialog antar Negara-negara mengenai isu-isu
yang ada dalam kawasan tanpa adanya mekanisme penyelesaian yang jelas
atas isu-isu yang berkembang.24 ARF hanya merupakan sebuah forum
yang menggunakan ASEAN way dalam menangani masalah yang ada
23 Severino, Rodolfo. “Asean”. (2008, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies). 24 “ASEAN Regional Forum” diakses melalui ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/.../ARF%20Indonesia.pdf. Pada tanggal 6 April 2011.
14
dikawasan, tanpa adanya elemen penekanan terhadap penyelesaian
masalah yang terjadi pada Negara anggota. ARF terbukti berhasil
menjauhkan Asia Tenggara dari isu-isu keamanan misalnya senjata
pemusnah massal, namun ARF lupa untuk membuat sebuah terobosan
yang cukup dalam rangka menyelesaikan konflik pelanggaran HAM yang
masih sedang terjadi di kawasannya sendiri yakni Myanmar.25
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar dan Proses Penyelesaian
Konflik
25 “Politik Dalam Negeri dan Hubungan Luar Negeri”. Diakses melalui www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6520/. Pada tanggal 6 April 2011.
15
2.1.1 Sejarah Pelanggaran HAM di Myanmar
Myanmar atau Burma mulai bergabung dengan ASEAN pada tahun
1990an. Sejak tahun 1988, Myanmar merupakan salah satau Negara di Asia
Tenggara yang masih memakai sistem pemerintahan Junta Militer dan
memiliki kecenderungan memakai cara-cara yang represif.26 Pemerintahan
Junta Militer Myanmar merupakan pemerintahan dengan mayoritas etnis
Burma, dan masalah internal Myanmar terjadi karena adanya dominasi etnis
Burma di pemerintahan Myanmar. Pengaturan kekuasaan seperti ini
membuat ketidakseimbangan hak antara etnis Burma dan Non Burma dan
dominasi etnis Burma mengakibatkan etnis non-Burma merasa ditindas.
Perasaan tertindas yang dirasakan oleh masyarakat etnis non-Burma
mengakibatkan kemunculan perlawanan dari etnis-etnis non-Burma terhadap
pemerintahan Myanmar.
Pada tahun 1990, diadakan pemilu yang kemudian dimenangkan oleh
kubu pro demokrasi yang bentukan etnis non-Burma pimpinan Aung San
Suu Kyi. Akan tetapi pemerintahan militer Myanmar tidak mengakui
kemenangan kubu pro-demokrasi dan malah memberlakukan undang-
undang darurat.27 Junta Militer, yang menyebut diri sebagai Dewan
Pemulihan Ketertiban dan Hukum (SLORC), malah membungkam Suu Kyi
dengan memberlakukan hukuman tahanan rumah untuk pejuang Myanmar
tersebut. Kemenangan Suu Kyi yang direbut oleh pemerintahan Junta
Militer merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip demokrasi dan
HAM yang ingin ditegakkan oleh etnis non Burma di Myanmar. Penolakan
junta untuk menerima hasil pemilu 1990 yang seharusnya mengantarkan Suu
Kyi ke puncak kekuasaan sipil Myanmar, dapat diartikan sebagai
pelanggaran HAM oleh junta atas Suu Kyi terkait dengan pasal 21 ayat 1,
26 “ASEAN Kecewa Tindakan Represif Junta Militer Myanmar” edisi 28 September 2007. Diakses melalui www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2007/09/28/46397/-ASEAN-Kecewa-Tindakan-Represif-Junta-Militer-Myanmar-. Pada tanggal 6 April 201127 “Hasil pemilu pada tahun 1990 Dibatalkan”. Diakses melalui http://cetak.kompas.com/read/2008/06/04/00413049/hasil.pemilu.pada.tahun.1990.dibatalkan Harian Kompas Digital. Pada tanggal 5 april 2010. (2011)
16
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1948 (DUHAM) yang
menjelaskan bahwa setiap orang berhak berperan serta dalam pemerintahan
negaranya. Selain itu, ada pasal 9 DUHAM yang menjabarkan bahwa tak
seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-
wenang. Lalu ada pasal 5 yang bisa digunakan sabagai dasar hukum atas
pelanggaran HAM Junta terhadap Suu Kyi karena pasal ini menjelaskan
bahwa tak seorang pun boleh dianiaya atau diperlakukan dengan kejam, tak
berprikemanusiaan atau yang merendahkan martabat manusia. Ini sesuai
dengan perlakuan junta yang mengisolasi Suu Kyi serta kondisinya dalam
tahanan.28
Parahnya lagi, Junta Militer tidak hanya merebut kemenangan kubu pro
demokrasi namun juga memenjarakan para aktivis dan demonstran yang
menginginkan terbentuknya Negara demokratis. Pada bulan Mei tahun 1996,
SLORC juga menahan 262 aktivis NLD (Liga Nasional Demokrasi) yang
melakukan demonstrasi terhadap pemerintahan Junta Militer.29 Pada 1997,
Myanmar melakukan perombakan terhadap pemerintahannya yang
kemudian diberi nama SPDC atau The State Peace and Development
Council, namun tidak ada perubahan kebijakan yang berarti selain
ditambahkannya Perdana Menteri pada sistem Pemerintahan dengan tetap
memakai personil militer dalam struktur pemerintahan yang berkuasa.
Konsepsi Myanmar terhadap keamanan domestik yang berlebihan yang
akhirnya menjadikan penguatan rejim, kesatuan nasional dan kepatuhan
hukum sebagai fokus dari aktivitas keseharian penguasa militer tersebut.30
Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar terjadi
pada September 2007, yang dipelopori oleh para Biksu Budha di Myanmar
sebagai bentuk penolakan terhadap pemerintahan Junta Militer Myanmar.
28 “The Universal Declaration of Human Rights”. Diakses melalui www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml pada tanggal 27 Maret 2011. (1948)29 “Kekejaman Junta Myanmar”. Diakses melalui http://rakyatmerdeka.co.id.htm. Pada tanggal 28 Maret 2011. (2007) 30 Muthiah Alagappa, “Asian Security Practice-Material and Ideational Influences”, Stanford University Press, California, 1998. Hlm.390
17
Demonstrasi dimotori oleh kenaikan harga BBM karena penghapusan
subsidi oleh pemerintah yang pada akhirnya diikuti oleh warga sipil pro
demokrasi. Pemerintahan Myanmar menggunakan aksi kekerasan dalam
pembubaran demonstrasi tersebut, banyak dari warga sipil dan biksu yang
ditahan dan disiksa. Banyak korban yang berjatuhan dalam aksi
pemerintahan untuk membubarkan demonstrasi tersebut, salah satunya
adalah wartawan Kenji Nagai yang berasal dari Jepang.31 Dalam kurun
waktu 17 bulan sejak Juni 2007, jumlah tahanan politik Myanmar melonjak
sebesar 42,8 % menjadi 2.100 tahanan. 32
2.1.2 Proses Penyelesaian Konflik HAM yang Terjadi di Myanmar
Pembahasan mengenai pelanggaran HAM di Myanmar diawali dengan
dikeluarkannya Joint Communique of the 26th ASEAN Ministerial Meeting
yang berlangsung pada 23-24 Juli 1993 di Singapura.33 Sebagai bentuk
ASEAN way, pertemuan ini membahas mengenai isu pelanggaran HAM di
Myanmar dan saran-saran penyelesaian yang diberikan oleh negara-negara
anggota ASEAN. Akan tetapi pemerintahan Junta Militer selalu
menggunakan prinsip non-interference yang dianut oleh ASEAN sebagai
suatu alasan agar negara-negara ASEAN tidak ikut campur dalam urusan
dalam negerinya. Dengan ini, anggota-anggota ASEAN yang lain tidak
dapat memberikan tindakan lebih lanjut karena prinsip tersebut merupakan
salah satu prinsip utama ASEAN. Pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura,
Menteri Luar Negeri Indonesia menyatakan bahwa junta harus membagi
kekuasaan dengan pemerintahan sipil untuk memfasilitasi menuju transisi
demokrasi dan penegakan kembali HAM rakyatnya.34
31 Ibid32 “Parlemen Serukan Penghentian pelanggaran HAM di Myanmar” artikel tanggal 11 Oktober 2007 diakses melalui http://www.antaranews.com pada tanggal 28 Maret 2011 33 Anak Agung Banyu Perwita, “Kapasitas ASEAN dalam Penyelesaian Konflik Internal Myanmar”, (Analisis CSIS, 2006) Volume 32 Nomer 2 hal 155.
34 “Catatan dari KTT ke-13 ASEAN: Isu Politik Myanmar Hangatkan Suasana” diakses melalui Suara Merdeka Harian Nasional http://www.suaramerdeka.com/harian/0711/28/nas27.htm pada tanggal 15 April 2011
18
Sistem internasional terus mengecam tindakan pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh pemerintahan Myanmar, Uni Eropa sendiri sudah
memberikan sanksi pada Myanmar, seperti adanya larangan bepergian bagi
politisi Myanmar dan pembekuan aset-aset yang dimilikinya di Eropa.35
Selain itu Uni Eropa juga memberikan sanksi berupa embargo kayu, barang
tambang dan logam kecuali minyak.36 Akan tetapi tindakan Myanmar malah
tidak dapat dihentikan, hal ini membuat sistem internasional meminta
ASEAN untuk memberikan tindakan tegas pada Myanmar.
Salah satu bentuk kecaman dunia internasional terhadap pelanggaran
HAM Myanmar dilakukan pada tanggal 10 Desember 2008 dimana lebih
dari 100 mantan pemimpin dunia, seperti : mantan Presiden Amerika Serikat
(AS) George HW Bush dan Jimmy Carter, mantan pemimpin Uni Soviet
Mikhail Gorbachev, mantan Perdana Menteri (PM) Australia John Howard,
mantan PM Prancis Lionel Jospin, mantan PM Jepang Junichiro Koizumi,
serta mantan presiden Filipina Fidel Ramos dan Corazon Aquino,
melayangkan surat kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) Ban Ki Moon. Surat tersebut berisi tentang penagihan itikad Sekjen
PBB tersebut yang pernah dilontarkannya pada 11 Oktober 2007 terkait
pembebasan Aung San Suu Kyi. Tidak hanya itu, puluhan peraih hadiah
nobel yang berkumpul pada penyerahan nobel perdamaian kepada mantan
presiden Finlandia Martii Ahtisaari tanggal 9 Desember 2008, juga
mendorong pembebasan Aung San Suu Kyi sebagai peraih nobel
perdamaian 1991. Pembebasan yang diminta komunitas Internasional tidak
saja untuk Aung San Suu Kyi, tetapi juga ribuan tahanan politik
pendukungnya. Sekjen PBB Ban Ki Moon akhirnya merespon positif
terhadap pembebasan Aung San Suu Kyi, dengan meminta seluruh negara di
35 Awaludin, H. “Nasib Demokrasi di Myanmar” Diakses melaluV httcetak.kompas.com/read/2009/08/.../nasib.demokrasi.di.myanmar PAda Tanggal 24 Maret 2011. (2009)
36 “Myanmar pun ‘Tunduk”, Edisi 25 Oktober 2007, diakses dari http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?, pada 2 Juni 2010.
19
dunia menggunakan pengaruh dan kemampuannya agar Junta Militer
memenuhi komitmen menuju demokrasi.37
Sampai saat ini, ASEAN yang terus berpegang teguh pada semua
prinsip dasarnya telah banyak mengambil tindakan dalam upayanya untuk
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar. Desakan
dari pihak-pihak di luar ASEAN juga muncul dalam pertemuan pejabat
tinggi (SOM) ASEAN menjelang Pertemuan Tahunan ke-37 Menteri Luar
Negeri ASEAN di Jakarta Convention Center (JCC) pada akhir bulan Juni
tahun 2004.38 Kemudian pada tahun 2007 yakni tepatnya dalam pertemuan
para Menteri Luar Negeri ASEAN, ASEAN juga kembali mendesak
Myanmar agar lebih serius dalam menangani pelanggaran HAM yang
terjadi. Pada pertemuan ini, para menlu ASEAN juga mendesak Junta
Myanmar agar segera melepaskan tokoh pejuang demokratisasi Aung San
Suu Kyi.39
Langkah yang sedikit lebih maju yang diambil oleh para menlu
ASEAN adalah dengan membentuk badan Hak Asasi Manusia pada tahun
yang sama. Namun hingga kini, tokoh demokratisasi Aung San Suu Kyi
masih hidup sebagai tahanan politik Junta dan belum ada indikasi bahwa ia
akan segera menghirup udara bebas. Bahkan ia mendapatkan penjagaan
yang ketat dari aparat keamanan sehingga sulit mendapat akses pada dunia
luar. Begitupun juga ketika terjadi aksi protes damai yang melibatkan
pimpinan agama (Sangha) dan masyarakat pada bulan September tahun
2007. Demonstrasi yang dilakukan mendapatkan tindakan represif dari
37 “PBB Kecam Pelanggaran HAM Myanmar”. Diakses melalui http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=76763:pbb-kecam-pelanggaran-ham-myanmar&catid=16:internasional&Itemid=29. Pada tanggal 28 Maret 2010. (2009)38 Kompas, 30 Juni 2004, diakses dari Pusat Informasi Kompas pada tanggal 8-06-2008. http://www.tempointeraktif.com/hg/luarnegeri/2007/01/12/brk,20070112-91115,id.html. Diakses pada tanggal 17 Juni 2008. 39 “Catatan dari KTT ke-13 ASEAN: Isu Politik Myanmar Hangatkan Suasana” diakses melalui http://www.suaramerdeka.com/harian/0711/28/nas27.htm. Suara Merdeka Harian Nasional digital pada tanggal 15 April 2011. (2007)
20
Dewan Negara, Perdamaian, dan Pembangunan (SPDC/Junta Militer) yang
dipimpin langsung oleh Jendral Senior Than Shwe. Sampai saat ini
sejumlah pimpinan aksi demonstrasi ketika itu masih mendekam dalam
tahanan dibawah pengawasan SPDC.40
Pembentukan Badan HAM ASEAN yang sebelumnya diharapkan
mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Myanmar nyatanya
berakhir mengecewakan. Badan HAM ASEAN dibentuk sejalan dengan
prinsip-prinsip dasar yang telah ada dalam ASEAN. Badan Ham ASEAN
nyatanya hanya bertugas untuk mempromosikan penghargaan dan
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia tanpa memberikan perlindungan
secara efektif terhadap pelanggaran HAM yang terjadi pada masyarakat
ASEAN. Dengan ini, Badan HAM ASEAN tetap tidak memiliki wewenang
dan otoritas terhadap perlindungan korban-korban pelanggaran HAM yang
terjadi di ASEAN. Jalan terakhir yang dapat ditempuh ASEAN tanpa harus
melanggar prinsip-prinsip yang ada adalah dengan membawa kasus
pelanggaran HAM pada lembaga diluar ASEAN yang juga menaungi
Negara anggota ASEAN, yakni melalui kerangka ASEAN Regional Forum.
Namun nyatanya kerangka ARF pun tidak dapat memberikan solusi yang
mengikat secara aktif yang dapat ditempuh untuk menghentikan pelanggaran
HAM yang terjadi di Myanmar.
2.2 Peran ASEAN Terkait Konflik Pelanggaran HAM di Myanmar
2.2.1 Alasan Ketidakmampuan Peran ASEAN dalam Konflik Pelanggaran
HAM yang Terjadi di Myanmar
Salah satu tujuan utama ASEAN tertera pada pasal 1 ayat 1 yakni: “to
maintain and enhance peace, security and stability and further strengthen
peace oriented values in the region”.41 Dimana tujuan tersebut berarti
ASEAN bertujuan memelihara dan meningkatkan perdamaian di kawasan
40 “Burma's “Saffron Revolution” is Not Over”. Diakses melalui www.ituc-csi.org/IMG/pdf/Birmania_FIDH_ITUC_101107.pdf. Pada tanggal 24 Maret 2011.41 Op cit
21
Asia Tenggara. Sedangkan dalam pasal 1 ayat 7 menunjukkan tujuan
ASEAN untuk melindungi hak-hak asasi manusia dan kebebasan
fundamental lainnya. Dari dua tujuan yang tertera dalam piagam ASEAN
ini, penulis mecoba memaparkan bahwa ASEAN bukan hanya ingin
melindungi masyarakat ASEAN dari terjadinya konflik yang bersifat
tradisional, namun ASEAN juga memberikan perlindungan HAM bagi
masyarakat ASEAN. Untuk merealisasikan hal ini, ASEAN membentuk
suatu lembaga dalam ASEAN, yakni Badan HAM ASEAN. Namun sampai
saat ini, Badan ASEAN tidak memberikan tindakan apapun terhadap
pelanggaran HAM yang terjadi di Myamar, padahal dibentuknya badan ini
diharapkan dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Myanmar.42
Sampai sekarang upaya penyelesaian masalah yang dilakukan oleh
ASEAN tidak juga membuahkan hasil. Dari perundingan-perundingan serta
diplomasi yang telah dilakukan oleh anggota-anggota ASEAN yang lain
nyatanya juga tidak dapat menghentikan tindakan pemerintahan Junta
Militer Myanmar dari perilakunya yang represif. Dari pertemuan pejabat
tinggi ASEAN sampai pada pertemuan tingkat tinggi ASEAN, nyatanya
tidak dapat membuahkan solusi mengikat yang mampu membuat Myanmar
berhenti melakukan pelanggaran HAM. Hal ini terjadi karena ketidak
kompakan Negara-negara ASEAN dalam menentukan sikap terhadap
pelanggaran HAM di Myanmar. Malaysia, Filipina, Singapura, dan
Indonesia sejauh ini telah terus menagih janji Pemerintah Myanmar untuk
pelaksanaan demokrasi di negara itu termasuk pembebasan Aung San Suu
Kyi. Namun di sisi lain, Kamboja dan Laos menyatakan bahwa persoalan
reformasi politik merupakan urusan dalam negeri Myanmar, tidak boleh
dicampuri oleh ASEAN. Dengan adanya banyak penghalang dalam
mekanisme penyelesaian dalam kerangka ASEAN, kasus ini kemudian
dibawa ke lembaga diluar ASEAN yakni ARF yang diharapkan dapat
42 “Badan HAM ASEAN Lemah”. Diakses melalui www.komnasham.go.id/risalah/162-badan-ham-asean-lemah pada tanggal 24 Maret 2011.
22
membuat perubahan yang signifikan terhadap penyelesaian pelanggaran
HAM di Myanmar.
ARF memiliki fungsi sebagai wadah atau forum dalam penyelesaian
masalah Negara-negara di dalam kawasan Asia Pasifik. Dari fungsi yang ada
terlihat bahwa ARF hanya merupakan sebuah bentuk cooperative security
dimana bentuk ini menurut Emmers tidak efektif sebagai penyelesaian
masalah yang terjadi karena cooperative security tidak memiliki otoritas
untuk melakukan penekanan terhadap masalah yang terjadi di Asia
Tenggara.43 Salah satu perjanjian dalam TAC yang membuktikan ARF dan
ASEAN sebagai sebuah bentuk cooperative security terletak pada
penggunaan jalan damai dengan quite diplomacy dalam mengatasi masalah
disuatu kawasan, hal ini sesuai dengan fungsi ARF itu sendiri yang hanya
mengedepankan jalur diplomasi dan negosiasi dalam menyelesaikan
masalah.
ARF nyatanya juga tidak dapat memberikan solusi penanganan kasus
pelanggaran HAM karena beberapa sebab yang sama dengan ASEAN. ARF
sebagai sebuah bentuk cooperative security tidak memiliki otoritas atau
kewenangan dalam memberikan sangsi sebagai sebuah bentuk punishment
untuk membuat setiap Negara anggota tidak melanggar kesepakatan yang
telah disepakati. Dengan tidak adanya sebuah bentuk punishment atau
reward dalam sebuah rezim keamanan membuat rezim ini tidak memiliki
kekuatan pemaksa terhadap masalah atau konflik yang terjadi dalam
kawasan atau kondisi domestik Negara-negara anggota. Mekanisme
penyelesaian yang dimiliki ARF sebagai sebuah bentuk cooperative security
bukan merupakan satu-satunya faktor penentu dalam penyelesaian kasus
yang terjadi di Myanmar. Dari penjelasan diatas, strategi cooperative
security yang semula dimaksudkan sebagai kendaraan sosial dan ekonomi
menjadi irrelevan karena lemah terhadap pemberian sangsi militer atau
43 Emmers, Ralf. “Cooperative security and Balance of Power in ASEAN and The ARF”. (2004, New York: Routledge Publishing).
23
embargo ekonomi yang jelas. Hal tersebut menjadi kelemahan ASEAN yang
cenderung tidak tegas, tidak jelas, dan menjadi tidak netral terhadap
berbagai konflik regional.
ARF menerapkan proses mekanisme penyelesaian masalah melalui
diskusi yang dilakukan antar anggota untuk mencari solusi yang paling tepat
dalam menyelesaikan masalah.44 Masalah yang terjadi pada satu Negara
anggota akan diproses dalam sebuah pertemuan-pertemuan untuk melobi,
melakukan perundingan, berdiplomasi dan bernegosiasi pada Negara yang
bersangkutan oleh keseluruhan anggota untuk mendapatkan solusi paling
tepat, hal ini biasa disebut dengan ASEAN way. Namun, proses perundingan
atau ASEAN way yang dilakukan cenderung memakan waktu yang lama
sehingga terkesan menghindarkan diri dari masalah atau dan tidak
menyelesaikannya. Dengan lamanya waktu penyelesaian masalah membuat
korban pelanggaran HAM yang jatuh semakin besar. Kemudian masalah
yang memiliki proses penyelesaian yang lama bukannya terselesaikan
namun hilang dalam perbincangan dan muncul kembali pada saat media
mulai mengeksposnya kembali.
ASEAN way nyatanya hanya merupakan sebuah bentuk musyawarah
atau dialog antar Negara-negara tanpa memberikan tindakan berupa solusi
nyata dalam penyelesaian masalah yang terjadi. Tanpa adanya keinginan
yang kuat dari pemerintahan Junta Militer dalam penanganan kasus
pelanggaran HAM yang terjadi melalui kerangkan ASEAN ataupun ARF
maka masalah ini akan terus berlanjut.
Code of conduct yang dimiliki oleh ASEAN atau ARF yang terletak
pada nilai-nilai yang dikemukakan dalam TAC ikut serta menentukan
ketidak efektifan peran ASEAN dalam proses mekanisme penyelesaian
pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar. Isi dari TAC merupakan
sebuah regional value yang merupakan sebuah norma dan nilai-nilai yang
44 Severino, Rodolfo. “Asean”. (2008, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies).
24
dipatuhi dan disepakati oleh para anggotanya. Salah satu prinsip utama yang
menentukan pola interaksi dan penyelesaian masalah antar anggota terletak
pada nilai atau prinsip non interference. Prinsip ini bermakna sangat kuat
dan berakar dalam interaksi antar anggota ASEAN. Prinsip untuk tidak
diperbolehkan mencampuri urusan dalam negeri suatu Negara membuat
seluruh Negara anggota ASEAN tidak diperkenankan untuk ikut campur
dalam kasus pelanggaran HAM di Myanmar walaupun korban yang jatuh
semakin meningkat.
Konflik pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar merupakan
sebuah konflik internal Negara Myanmar. Sesuai dengan konstitusi ASEAN,
konflik internal suatu Negara merupakan kewenangan Negara yang
bersangkutan. Konflik atau kondisi politik suatu Negara bukan menjadi
urusan atau kepentingan Negara lain, sehingga ASEAN tidak diperkenankan
mencampuri urusan dalam negeri suatu Negara walau secara normatif harus
dilakukan. Pemerintahan Myanmar berhak mengatur atau menentukan
jalannya suatu masalah dalam negerinya sesuai dengan keinginan negaranya
sendiri tanpa intervensi dari pihak lain. ASEAN telah memberikan
penghormatan terhadap hak menentukan kelangsungan suatu Negara dalam
konstitusinya dan menjunjung tinggi prinsip non-interference sebagai
penghormatan terhadap kedaulatan suatu Negara. Prinsip-prinsip ini telah
menjadi landasan dasar interaksi Negara-negara di ASEAN,
Konflik yang terjadi di Myanmar secara prinsipal merupakan sebuah
nilai yang dihormati dalam konstitusi ASEAN sehingga hal ini merupakan
sebuah dilema dimana ASEAN atau ARF diharuskan untuk memilih antara
prinsip non-interference atau penghargaan terhadap HAM. Dimana pada
kenyataannya, prinsip ini akan saling bertentangan jika dihadapkan pada
konteks pelanggaran HAM di Myanmar.
Prinsip inilah yang juga kemudian menjegal proses penyelesaian di
tataran sistem karena Pemerintahan Junta Militer Myanmar malah
25
memanfaatkan prinsip-prinsip ini sebagai sebuah tameng perlindungan diri
untuk mempertahankan eksistensi dan kekuasaan yang dimiliki. Badan
HAM yang dibentuk hanya berfungsi sebagai promotor penghargaan
terhadap HAM tanpa adanya perlindungan yang nyata. Hal ini terlihat jelas
pernyataan yang ada padaDeclaration of ASEAN Concord II (Bali Concord
II) pada tanggal 7 Oktober 2003, “…ASEAN shall continue to promote
regional solidarity and cooperation. Member countries shall exercise their
rights to lead their national existence free from outside interference in their
internal affairs”.45
Jika ASEAN memilih untuk melakukan mediasi dan memberikan
perlindungan terhadap korban pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar
maka tindakan yang harus di ambil oleh ASEAN adalah dengan
mengintervensi Myanmar dalam bentuk-bentuk kebijakan yang
mengikutsertakan masuknya perangkat fisik ASEAN seperti pasukan
perdamaian atau pemberlakuan sanksi untuk menghentikan tindakan
Myanmar. Namun jika ASEAN mengambil tindakan ini, maka ASEAN juga
akan melanggar prinsip non-interference sebagai prinsip utama dalam
ASEAN dan ARF. Memilih untuk melakukan perlindungan terhadap HAM
atau penegakan prinsip utama ASEAN menjadi sebuah dilemayang harus
dihadapi ASEAN. Pembentukan badan HAM ASEAN yang terbatas hanya
pada penghormatan terhadap HAM dan tanpa melakukan perlindungan
secara signifikan terbukti tidak efektif. Pada akhirnya, semua mekanisme
penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar pada
dasarnya terhalang oleh prinsip yang berakar dari prinsip non-interference
yang mencegah Negara atau pihak lain untuk ikut campur atau
mengintervensi urusan dalam negeri suatu Negara walaupun dengan tujuan
yang sangat humanis sekalipun.
45 “Handbook on Selected ASEAN Political Documents - New Edition”. Diakses melalui www.aseansec.org/pdf/HBPDR.pdf. Pada tanggal 24 Maret 2011. (2003)
26
Pemilu demokratis yang sudah sejak lama tidak dilakukan oleh
pemerintahan Myanmar akhirnya dilakukan pada 7 November 2007 lalu
walau tanpa pemimpin gerakan pro-demokrasi dari partai NDL yakni Aung
San Suu Kyi yang dibebaskan pada 14 November 2010. Hasil pemilu
menunjukkan bahwa 80% suara nyatanya diraih oleh partai yang didukung
oleh Junta Militer yakni Union Solidarity and Development Party (USDP)
dan National Unity Party (NUP). Hasil pemilu yang dilakukan oleh Junta
Militer nyatanya masih diperdebatkan karena banyak Negara di dunia tidak
menerima hasil pemilu yang telah dikeluarkan. Pemilu yang sebelumnya
diharapkan menjadi jalan terbaik dalam menyelesaikan kasus pelanggaran
HAM melalui perubahan rezim pemerintahan yang ada di Myanmar
nyatanya gagal karena hasil pemilu yang tetap mendukung keberadaan Junta
Militer. Dengan hasil pemilu yang seperti ini, maka sampai saat ini
penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Myanmar masih menjadi jalam
buntu.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
ASEAN belum bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di
Myanmar karena ASEAN terganjal 2 hal yang berada pada tataran rezim
dan tataran sistem. Ketidakmampuan ASEAN terjadi karena ASEAN
melalui ARF merupakan sebuah rezim Cooperative security yang tidak
memiliki otoritas atau kewenangan dalam melakukan penekanan terhadap
pemerintahan. ARF tidak memiliki mekanisme penekan berupa sangsi
27
militer ataupun ekonomi terhadap Myanmar, sehingga tidak ada bentuk
penekanan terhadap Pemerintahan Myanmar, yang dapat memaksa
pemerintahannya untuk menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi di
negaranya.
Selain pada tataran rezim, ketidakefektifitas ASEAN dalam
penyelesaian pelanggaran HAM di Myanmar terjadi karena sistem
regional ASEAN memiliki nilai-nilai dan norma-norma kepatuhan yang
menghambat penyelesaian pelanggaran HAM. Inti dari norma dan nilai
yang ada pada ASEAN serta ARF adalah prinsip non interference yang
mengarah pada penyelesaian masalah secara damai atau ASEAN way.
Prinsip ini membuat ASEAN dan ARF tidak berhak ikut campur dalam
urusan dalam negeri suatu Negara termasuk pelanggaran HAM yang
dilakukan Junta Militer Myanmar terhadap warganya. Penyelesaian
masalah yang tersandung prinsip non interference diperparah dengan
mekanisme penyelesaian masalah yang tidak nyata yakni hanya dengan
perundingan untuk mencapai kata sepakat dalam solusi. Solusi yang
diberikanpun tidak dapat menekan Myanmar karena hanya terletak di
tataran normatif. Penyelesaian masalah secara damai membuat tidak ada
adanya tindakan keras terhadap pemerintahan Myanmar, yang ada
hanyalah perundingan dan pendekatan terhadap pemerintahan Myanmar
untuk melakukan perlindungan terhadap HAM.
3.2 Saran
Sebagai sebuah bentuk integrasi kawasan yang bertujuan untuk
menjaga stabilitas keamanan yang ada di Asia Tenggara, ASEAN
seharusnya membentuk kerangka legal yang mengikat dalam mekanisme
penyelesaian masalah yang disetujui semua pihak. Hal ini bisa dilakukan
dengan adanya pembatasan masalah atau isu tertentu yang dapat
diintervensi oleh ASEAN dengan tujuan menjaga stabilitas keamanan.
Dengan ini, ASEAN tidak sampai melangkahi prinsip non-interference
28
yang ada dalam tubuh ASEAN. Kerangka legal yang disetujui semua
anggota ASEAN pastinya memiliki mekanisme sanksi mengikat yang
akan membuat tindak pelanggaran HAM di Myanmar dapat segera
diselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
“About us: ASEAN Regional Forum”. Diakses melalui http://www.aseanregionalforum.org/News/tabid/59/Default.aspx. Pada tanggal 26 Maret 2011.
Muthiah Alagappa, “Asian Security Practice-Material and Ideational Influences”, Stanford University Press, California, 1998. Hlm.390
“Aksi Demo Damai di Myanmar Berakhir Kerusuhan”. diakses melalui http://antaranews.com pada tanggal 08 Maret 2011. (2007)
“ASEAN Kecewa Tindakan Represif Junta Militer Myanmar” edisi 28 September 2007. Diakses melalui www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2007/09/28/46397/-ASEAN-
29
Kecewa-Tindakan-Represif-Junta-Militer-Myanmar-. Pada tanggal 6 April 2011
ASEAN Regional Forum” diakses melalui ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/.../ARF%20Indonesia.pdf. Pada tanggal 6 April 2011.
Awaludin, H. 2009. “Nasib Demokrasi di Myanmar”. Diakses melalui httcetak.kompas.com/read/2009/08/.../nasib.demokrasi.di.myanmar. Pada Tanggal 24 Maret 2011.
“Badan HAM ASEAN Lemah”. 2009. Diakses melalui www.komnasham.go.id/risalah/162-badan-ham-asean-lemah. Pada tanggal 26 Maet 2011.
“Burma's ’Saffron Revolution’ is Not Over”. 2007. Diakses melalui www.ituc-csi.org/IMG/pdf/Birmania_FIDH_ITUC_101107.pdf. Pada tanggal 26 Maret 2011.
“Catatan dari KTT ke-13 ASEAN: Isu Politik Myanmar Hangatkan Suasana” diakses melalui Suara Merdeka Harian Nasional http://www.suaramerdeka.com/harian/0711/28/nas27.htm pada tanggal 15 April 2011
Emmers, Ralf. 2004. “Cooperative Security and Balance of Power in ASEAN and The ARF”. New York: Routledge Publishing.
“Handbook on Selected ASEAN Political Documents - New Edition”.2003. Diakses melalui www.aseansec.org/pdf/HBPDR.pdf. Pada tanggal 26 Maret 2011.
“Hasil Pemilu Pada Tahun 1990 Dibatalkan”. Diakses melalui http://cetak.kompas.com/read/2008/06/04/00413049/hasil.pemilu.pada.tahun.1990.dibatalkan Harian Kompas Digital. Pada tanggal 5 april 2010. (2011)
Jacobson, Harorld. “Networks of Interindependence: Internasional Organizations and the Global Political System, The Range of Functions”. (1979, New York: Alfred A. Khopf), p. 88-89.
“Junta Myanmar Kebal Sanksi Ekonomi”, Harian Seputar Indonesia online melalui http://seputar-indonesia.com/junta-myanmar-kebal-sanksi-ekonomi/.htm. Pada tanggal 23 Maret 2011. (2007)
“Kekejaman Junta Myanmar”. Diakses melalui http://rakyatmerdeka.co.id.htm. Pada tanggal 28 Maret 2011. (2007)
30
Krasner, Stephen D.. 1982. “The Massachusets Institute of Technology: International Regimes”. Spring
Leifer, M. 2008. “The Asean States: No Common Outlook, International Affairs” (Royal Institute of International Affairs 1944). diakses 10 Juni 2008. Dari http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/action/doBasicResults.
Mingst, Karent. 1998. “Essentials of International Relations”. New York: W.W Norton & Company.
“Myanmar pun ‘Tunduk”, Edisi 25 Oktober 2007, diakses dari http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?, pada 2 Juni 2010.
Mos’oed, Mochtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.
“Parlemen Serukan Penghentian pelanggaran HAM di Myanmar”. Diakses melalui http://www.antaranews.com. Pada tanggal 28 Maret 2011. (2007)
“Pelanggaran Hal Asasi Manusia dan Konflik Bersenjata di Burma”. Diakses melaui http://www.forum-politisi .org. Pada Tanggal 13 April 2011. (2011)
“PBB Kecam Pelanggaran HAM Myanmar”. Diakses melalui http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=76763:pbb-kecam-pelanggaran-ham-myanmar&catid=16:internasional&Itemid=29. Pada tanggal 28 Maret 2010. (2009)
Perwita, Anak Agung Banyu. 2006. “Kapasitas ASEAN dalam Penyelesaian Konflik Internal Myanmar”. Analisis CSIS.
“Politik Dalam Negeri dan Hubungan Luar Negeri”. Diakses melalui www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6520/. Pada tanggal 6 April 2011.
Severino, Rodolfo. 2008. “Asean”. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
The ASEAN Charter”. Retrieved June 2nd 2010. Available at: www.aseansec.org/ASEAN-Charter.pdf.
“The Universal Declaration of Human Rights”. 1948. Diakses melalui http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml. Pada tanggal 27 Maret 2011.
31
Zartman, William. 2007. “Peacemaking in international conflict: methods and conflict”.Washington DC: United States Institutes of peace diakses melalui books.google.co.id/books?id=1GUL0oYZx0kC&pg=PA390&dq=william+zartman+compliance+and+bargaining&hl=id&ei=X9qSTfrIC8GXcYuduIkH&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&ved=0CEUQ6AEwBg#v=onepage&q&f=false pada tanggal 12 Maret 2011
32