Download - Selaidri (Selai seledri)
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit radang kronik sistemik
yang timbul akibat proses autoimun. Lupus bisa hadir pada usia berapapun, dan
yang paling sering pada wanita (Helmi, 2008). Prevalensi SLE di antara etnik
adalah wanita kulit hitam 1: 250, wanita kulit putih 1: 4300, dan wanita cina 1 :
1000 (Tonam, 2007). SLE bisa menyerang berbagai bagian tubuh, dan yang
paling sering membahayakan jantung, persendian, kulit, paru-paru, pembuluh
darah, hati, ginjal, dan sistem saraf (Helmi, 2008). Nama lain untuk SLE adalah
Lupus Erythematosus atau lebih sering disebut lupus. Namun, Systemic lupus
erythematosus merupakan istilah medis yang paling sesuai. Apabila dipisah,
istilah systemic berarti menyeluruh (all over) dan erythematosus berarti merah
(red). Sedangkan para penderitanya disebut odapus atau orang dengan lupus
(Wijayanti, 2011). Penyakit ini dapat mengenai berbagai usia dan jenis kelamin,
terutama pada perempuan usia produktif (20-40 tahun) (Oktaria, 2010).
Terdapat faktor resiko yang dapat mempengaruhi timbulnya lupus, yaitu genetik
dan lingkungan. Meskipun belum terbukti secara ilmiah, diduga bahwa orang tua
dapat mewariskan faktor tertentu kepada keturunannya sehingga mereka rentan
terhadap lupus. Namun hal ini bukan pula berarti mereka pasti akan menderita
lupus, hanya mereka akan lebih mudah terkena. Pada saat ini tidak terdapat tes
genetis untuk meneliti apakah seseorang rentan terhadap lupus atau tidak. Dari
faktor lingkungan, diduga terdapat beberapa faktor tertentu penyebab bangkitnya
atau kambuhnya lupus, antara lain stress, sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu,
infeksi beberapa antibiotik tertentu, dan hormon (Wijayanti, 2011). Gejala yang
dapat diderita oleh odapus antara lain malar rash, discoid rash, fotosensitivitas,
ulkus oral dan nasofaring, artritis non erosif pada 2 atau lebih dengan ciri-ciri
bengkak atau efusi, serositis (pleuritis atau perikarditis atau efusi perikardial),
kelainan ginjal (proteinuria (> 0.5 g/d atau > 3+) atau adanya cellular casts,
2
kelainan neurologis, kejang tanpa sebab lain, atau psikosa tanpa sebab lain,
kelainan hematologi berupa anemia hemolitik, lekopenia (< 40 per
µL); limfopenia (< 1500 per µL); trombositopenia (< 1000 per µL) yang bukan
karena obat-obatan serta kelainan imunologis, sel LE positif; antibodi anti-ds
DNA /anti-Sm positif; antinuclear antibodies (ANA). Titer ANA abnormal yang
bukan karena obat yang menginduksi peningkatan ANA. Komplikasi SLE dapat
meliputi hipertensi (41%), gangguan pertumbuhan (38%), gangguan paru-paru
kronik (31%), abnormalitas mata (31%), kerusakan ginjal permanen (25%), gejala
neuropsikiatri (22%), kerusakan muskuloskeleta (9%), gangguan fungsi gonad
(3%). Sampai sekarang, SLE belum diketahui penyebabnya, sehingga belum bisa
disembuhkan atau dicegah, yang dapat dilakukan baru sebatas menghilangkan
gejalanya (Haque, 2009). Pada lupus, Autoantigen Presenting Cell (APC) dan
fungsi stimulasinya berperan dalam aktivasi sel autoreaktif Th1, Th17, dan sel B
yang diregulasi oleh faktor transkripsi NF-kB sehingga dibutuhkan suatu zat aktif
yang dapat menghambat aktivitas NF-kB misalnya apigenin dari seledri (Apium
graveolens) yang jumlahnya melimpah di alam. Apigenin juga menyebabkan
apoptosis dari APC lupus yang hiperaktif, sel T, dan sel B, kemungkinan dengan
menghambat ekspresi dari NF-kB yang meregulasi antiapoptosis dari molekul
khususnya COX-2 dan cFLIP yang terus menerus diekspresikan secara berlebihan
oleh sel imun lupus sehingga diharapkan pemberian apigenin dapat menekan
terjadinya proses inflamasi sistemik pada lupus dan komplikasi yang dimediasi
oleh Th17 seperti rheumatoid arthritis, penyakit Crohn dan psoriasis serta
mencegah inflamasi yang mendasari terjadinya tumor akibat ekspresi COX-2 yang
berlebihan (Kang, 2009). SLE tidak hanya dapat menyerang orang dewasa namun
juga anak-anak sehingga tantangan terbesar dari heterogenisme usia dan
kemampuan mengonsumsi obat pasien odapus adalah bentuk sediaan yang kiranya
bisa diterima oleh kebanyakan range usia (Krause, 2008). Effervescent
merupakan sediaan bersoda yang banyak disukai oleh masyarakat dari segala usia
sehingga diharapkan aplikasinya dalam sediaan penyakit lupus dapat
meningkatkan kepatuhan odapus dalam mengonsumsi obat. Oleh karena itu,
penulis mengusulkan Apigeff (Apium graveolens Effervescent) : Inovasi
3
Pengembangan Seledri (Apium graveolens) sebagai Terapi Inflamasi pada
Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana apigenin dapat menghambat proses inflamasi kronik pada SLE?
2. Bagaimana cara ekstraksi dan analisis kuantitatif apigenin dalam seledri?
3. Bagaimana proses pembuatan effervescent dari seledri?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui mekanisme apigenin dalam menghambat proses inflamasi kronik
pada SLE
2. Mengetahui cara ekstraksi dan analisis kuantitatif apigenin dalam seledri
3. Mengetahui proses pembuatan effervescent dari seledri
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi Tenaga Kesehatan
Memberikan pengetahuan baru atau wacana bagi tenaga kesehatan mengenai
terapi SLE.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Memanfaatkan Seledri (Apium graveolens) sebagai terapi SLE yang dapat
menghambat inflamasi kronik sistemik yang terjadi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
SLE atau Lupus adalah suatu penyakit autoimun yang bersifat kronis dan
menimbulkan peradangan, menyerang beberapa organ atau sistem tubuh, dimana
sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi dan mempertahankan tubuh
dari berbagai penyakit atau bakteri yang mematikan keliru mendapatkan pesan
sehingga menyerang tubuh itu sendiri (Wijayanti, 2011). Gejala sistemik yang
4
dapat dialami oleh odapus meliputi demam subfebris, kelemahan, lesu, anoreksia,
nausea, dan kehilangan berat badan. Tampilan awal biasanya juga mengikut
sertakan satu atau lebih dari sistem organ. Atralgia (53-95%) adalah keluhan
utama dari banyak pasien. Seringnya, keluhan nyeri lebih berat dibandingkan
temuan pada fisiknya. Butterfly rash juga dilaporkan pada pipi dan hidung dengan
fotosensitif terhadap sinar matahari (sering pada kulit putih), juga sering meliputi
dagu dan telinga. Sering dikeluhkan ulkus dengan atau tanpa nyeri di hidung dan
mulut. Gejala pada CNS bisa dari yang ringan (disfungsi kognitif) sampai riwayat
kejang (12-59%). Bagian apa saja dari otak, mening, spinal cord, serta saraf
kranial dan saraf tepi bisa terkena. Kejadian di CNF biasanya bisa SLE sudah ada
di sistem organ yang lain. Sakit kepala yang sulit sembuh serta sulit untuk
mengingat dan mengambil keputusan adalah tampilan tersering dari gangguan
saraf pada pasien SLE. Gejala psikiatrik (steroid dosis tinggi juga bisa
menimbulkan psikosis 5-37%). Bila psikosis memburuk setelah steroid
dihentikan, paling sering adalah akibat dari proses penyakit ini. Nyeri pleura (31-
57%), dyspnoe, batuk, demam, dan nyeri dada adalah keluhan jantung dan paru
yang penting. Pasien bisa datang dengan nyeri perut, diare, dan muntah.
Pengecualian untuk perforasi usus dan vaskulitis (Helmi, 2008). Sampai sekarang,
SLE belum diketahui penyebabnya, sehingga belum bisa disembuhkan atau
dicegah, yang dapat dilakukan baru sebatas menghilangkan gejalanya (Haque,
2009). Faktor resiko yang ada untuk timbulnya atau berperan dalam fase kronis
dan akut lupus antara lain ultraviolet B, wanita, menarche, alfalfa
sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine; Pristane atau bahan
yang sama, diet tinggi saturated fats, DNA bakteri (human
retroviruses, endotoksin, lipopolisakarida bakteri), Faktor paparan dengan obat
tertentu (Hidralazin, Prokainamid, Isoniazid, Hidantoin, Klorpromazin,
Methyldopa, D-Penicillamine, Minoksiklin, Antibodi anti-TNFα; Interferon- γ.
Pada lupus, kondisi yang paling dominan adalah inflamasi sistemik yang dapat
merusak seluruh organ tubuh. Kondisi inflamasi ini disebabkan oleh
peningkatansecara berlebihan jumlah makrofag, neutrofil, limfosit T, serta sel
sitotoksik CD8+ yang lebih dominan daripada CD4+ (Magadmi, 2004). Produksi
5
masal agen inflamasi tersebut sayangnya bertujuan untuk menyerang organ-
organnya sendiri akibat kesalahan pesan yang diterima sistem imun. Menurut
McHugh (2005), sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan
mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leukotrien B4,
faktor kemotaksis seperti CXC, kemokin interleukin 8, dan growth related
oncogene α, TNFα, IL-1 β dan IL-6, serta TGFβ. Inflamasi kronis ini diasosiasi
oleh peningkatan ekspresi gen inflamasi yang mengkode sitokin, kemokin, dan
molekul adhesi. Gen-gen inflamasi ini kebanyakan diregulasi oleh faktor
transkripsi NF-kβ yang lebih aktif pada kondisi paru yang menderita PPOK dan
sel-sel inflamasi, termasuk pada makrofag alveolus Magadmi, 2004).
2.2 Terapi yang Pernah Dilakukan
Antimalaria
-Hidroksiklorokuin 3-7 mg/kg/hari PO sebagai garam sulfat (maksimal 400
mg/hari)
Kortiko-steroid
-Prednison
Dosis harian(1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5
mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian (0.5
mg/kg)/hari yg digunakan bersamamethylprednisolone dosis tinggi intermitten
(30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu
Obat imuno-supresif
-Siklofosfamid
500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3 minggu. maksimal 1 g/m
2. Harus
diberikan IV dengan infus terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14
hari mengikuti setiap dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3)
-Azathioprine
1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari
Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)
-Naproxen
7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 500-1000 mg/hari
6
-Tolmetin
15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 1200-1800 mg/hari
-Diclofenac
< 12 tahun : tak dianjurkan
> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari
Suplemen Kalsium dan vitamin D
-Kalsium karbonat
< 6 bulan : 360 mg/hari
6-12 bulan : 540 mg/hari
1-10 bulan : 800 mg/hari
11-18 bulan : 1200 mg/hari
-Calcifediol
< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu
> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu
Anti-hipertensi
-Nifedipin
0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam.
-Enalapril
0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu,
maksimum 0.5 mg/kg/hari
-Propranolol
0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari
dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari
2.3 Seledri (Apium graveolens)
2.3.1 Klasifikasi dan Morfologi
7
Gambar 1. Seledri (Apium graveolens) (Sudarsono, 1996).
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Umbelliferales
Famili : Umbelliferae
Genus : Apium
Spesies : Apium graveolens L (Ismawati, 2002).
Seledri merupakan tanaman semak dengan tinggi sekitar 15cm. Batangnya tidak
berkayu, bentuknya persegi, beralur, beruas, bercabang tegak, dan berwarna hijau
pucat. Daunnya berpangkal pada batang dekat tanah, berbentuk lekuk tangan,
baunya agak sedap (Harmanto, 2007). Daun seledri berwarna hijau tua, licin,
berbentuk baji dengan pinggir berberigi, terletak pada kedua sisi tangkai yang
berseberangan (Asri, 2004). Dalam keadaan kering, daun seledri menggulung,
berwarna hijau kecoklatan, berbau aroma kuat, rasa manis, dan sedikit pahit
(Zamri, 2008). Bunganya berwarna abu-abu putih, mekar dari bulan Juli sampai
November. Buahnya kecil, berisi biji berbentuk elips (Asri, 2004).
2.3.2 Kandungan Seledri
Daun seledri mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol (Harmanto, 2005).
Tanaman ini kaya serat tapi rendah kalori. Batang dan daun seledri merupakan
8
sumber vitamin A, B, C, mineral klor, sodium, kalium, dan magnesium
(Rukmana, 1995). Biji seledri memiliki kandungan kimia asparagin, manit, zat
pati, lender, pentosan, glutamine, tirosin, flavon glukosida, vitamin, kolin, linase,
zat pahit, dan minyak atsiri (Harmanto, 2007). Menurut Dalimartha (2006), herba
seledri mengandung flavonoid, saponin, tannin 1%, minyak atsiri 0,033%, flavor-
glukosida (apiin), apigenin, kolin, lipase, asparagin, zat pahit, vitamin (A,B, dan
C). Setiap 100 gram herba seledri mengandung air sebanyak 93mL, protein 0,9g,
lemak 0,1g, karbohidrat 4g, serat 0,9g, kalsium 50mg, besi 1mg, fosfor 40mg,
yodium 150mg, kalium 400mg, magnesium 85mg, vitamin A 130 IU, vitamin C
15mg, riboflavin 0,05mg, tiamin 0,03mg, dan nikotinamid 0,4mg. Bijinya juga
mengandung apigenin.
2.3.3 Apigenin
Gambar 2. Struktur Kimia Apigenin (Zamri, 2008)
Apigenin merupakan komponen flavonoid utama dari seledri yang termasuk ke
dalam golongan flavon. Rumus molekulnya adalah C15H10O5 dengan bobot
molekul 270,23 g/mol. Nama Interational Union of Pure and Applied Chemistry
dari apigenin adalah 5,7-dihidroksi-2-(4-hidroksifenil)-4H-1-benzopiran-4-on.
Titik leleh apigenin 345-350°C. Pada penelitian terdahulu mengatakan bahwa
kadar apigenin pada seledri yang direfluks dengan methanol 50% adalah
1,787g/kg bobot kering seledri (Zamri, 2008).
2.3.4 Syarat Tumbuh Tanaman Seledri
a. Keadaan Iklim
Seledri termasuk salah satu jenis sayuran subtropics yang beriklim dingin.
Perkecambahan benih seledri menghendaki keadaan temperature minimum 9°C
9
dan maksimum 20°C. Sedangkan untuk pertumbuhan dan menghasilkan produksi
yang tinggi menghendaki temperature 15°C-18°C serta temperature maksimum
24°C. Tanaman seledri cocok dibudidayakan di daerah yang mempunyai
ketinggian 1000-1200 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan kelembaban
antara 80%-90% serta cukup mendapat sinar matahari. Seledri kurang tahan
terhadap kadar air atau curah hujan yang tinggi karena itu penanaman seledri
sebaiknya ditanam pada akhir musim hujan atau periode bulan tertentu yang curah
hujannya berkisar 60-100mm/bulan (Ismawati, 2002).
b. Keadaan Tanah
Tanaman seledri dapat ditanam di tanah dataran rendah ataupun tanah dataran
tinggi/pegunungan khususnya pada ketinggian 1000-1200 meter dpl. Tanah yang
paling ideal untuk penanaman seledri adalah jenis tanah andosol. Jenis tanah ini
pada umumnya berwarna hitam atau kelabu sampai coklat tua, kaya akan unsure
hara, berstruktur remah dengan tekstur debu atau lempung berdebu sampai
lempung dan reaksi tanah berkisar antara pH 5,0-7,0 sehingga disebut tubuh tanah
pegunungan tinggi. Persyaratan tanah yang ideal untuk tanaman seledri adalah
harus subur mengandung garam natrium, kalsium, dan boron, jika unsure-unsur
tersebut kurang cukup terdapat dalam tanah maka tanaman seledri tidak akan
tumbuh dengan baik (kerdil) (Ismawati, 2002). Jika tanaman kekurangan natrium
akan menjadi kerdil, kekurangan kalsium menyebabkan kuncup seledri menjadi
kering, dan apabila kekurangan unsur boron menyebabkan batang dan tangkainya
menjadi retak-retak (Sunarjono 2003).
2.3.5 Pemanenan
Seledri mulai dapat dipanen pada umur 6-8 minggu setelah tanam karena
kandungan kimianya paling tinggi pada umur tersebut. Yang dipanen adalah daun
yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda (Ismawati, 2002). Waktu panen yang
paling baik adalah pagi atau sore hari. Panen pada keadaan cuaca terik (siang hari)
dapat menyebabkan hasil panen cepat layu dan susut, sehingga kurang atau tidak
laku dipasarkan. Pada tanaman yang baik dapat menghasilkan 50 kuintal seledri
10
per hektar. Khusus varietas seledri stick “Tall-Utah” yang berat rata-rata per
tanaman mencapai 1,5kg, daya hasil per hektar dapat mencapai di atas 100 ton
(Rukmana, 1995).
2.3.6 Penanganan Pascapanen
Produk hasil panen seledri adalah berupa daun bersama tangkai daun dan
batangnya. Produk demikian sangat mudah layu dan cepat menyusut. Oleh karena
itu, seusai panen harus segera dilakukan penanganan pascapanen yang cepat dan
tepat. Hasil panen dikumpulkan di tempat yang strategis atau di gudang
pengumpulan hasil. Hasil panen dipilih yang baiknya saja, dipisahkan dari batang
atau tangkai daun seledri yang rusak, cacat atau terserang hama dan penyakit
(Rukmana, 1995). Kegagalan dalam bercocok tanam seledri disebabkan karena
adanya serangan hama atau penyakit. Hama dan penyakit tersebut dapat menjadi
cemaran pada hasil panen. Hama yang menyerang tanaman ini biasanya sejenis
ulat daun (Agrotis ypsilonHufn.), kutu-kutu daun (Aphis spp.), tungau/mites
(Tetranychus spp.), dan cacing nematoda. Penyakit yang biasa menyerang
tanaman seledri adalah cacar coklat kuning (Cercospora apii), cacar hitam
(Septoria apii), virus aster yellow, dan nematoda akar(Belonalaimus gracilis,
Heterodera schactii, Bacillus gracilis) (Putri, 2006). Seluruh hasil panen dicuci
dalam suatu tempat yang airnya mengalir atau disemprotkan hingga bersih dari
kotoran ataupun residu pestisida. Hasil panen ditiriskan seusai dicuci pada tempat
atau rak-rak penirisan. Seledri diklasifikasikan berdasarkan ukuran atau jenis yang
seragam, terutama berpedoman kepada mutu standar permintaan pasar. Batang
atau tangkai-tangkai seledri diikat menjadi ikatan-ikatan tertentu yang ukuran
besarnya disesuaikan dengan segi kepraktisan dalam pengangkutan dan
permintaan pasar. Ikatan-ikatan seledri dimasukkan ke dalam wadah (container)
seperti karung goni, doos karton, dan lain-lain. Hasil panen seledri diangkut ke
pasar atau tempat penjualan dengan menggunakan alat angkut yang praktis
menurut keadaan dan situasi setempat. Hasil panen disimpan pada tempat atau
ruangan yang teduh dan bersuhu dingin (Rukmana, 1995).
11
2.4 Effervescent
Effervescent didefenisikan sebagai bentuk sediaan serbuk yang menghasilkan
gelembung gas sebagai hasil reaksi kimia larutan. Gas yang dihasilkan saat
pelarutan effervescent adalah karbon dioksida sehingga dapat memberikan efek
sparkling (rasa seperti air soda) (Lieberman, et al., 1992). Tablet effervescent
merupakan salah satu bentuk sediaan tablet dengan cara pengempaan bahan-bahan
aktif dengan campuran asam-asam organik, seperti asam sitrat atau asam tartrat
dan natrium bikarbonat. Bila tablet ini dimasukkan ke dalam air, mulailah terjadi
reaksi kimia antara asam dan natrium bikarbonat sehingga terbentuk garam
natrium dari asam dan menghasilkan gas karbondioksida serta air. Reaksinya
cukup cepat dan biasanya berlangsung dalam waktu satu menit atau kurang. Di
samping menghasilkan larutan yang jernih, tablet juga menghasilkan rasa yang
enak karena adanya karbonat yang dapat membantu memperbaiki rasa
obat-obat tertentu (Banker dan Anderson, 1986).
Keuntungan tablet effervescent sebagai bentuk obat adalah penyiapan larutan
dalam waktu seketika, yang mengandung dosis obat yang tepat. Kerugian tablet
effervescent adalah kesukaran untuk menghasilkan produk yang stabil secara
kimia. Bahkan kelembaban udara selama pembuatan produk mungkin sudah
cukup untuk memulai reaktivitas effervescent. Kelembaban udara di
sekitar tablet setelah wadahnya dibuka juga dapat menyebabkan penurunan
kualitas yang cepat dari produk, setelah sampai di tangan konsumen. Karena itu
tablet effervescent dikemas secara khusus dalam kantong lembaran alumunium
kedap udara atau kemasan padat dalam tabung silindris dengan ruang udara yang
minimum. Alasan lain untuk kemasan adalah kenyataan bahwa tablet biasanya
telah dikempa sehingga cukup mudah untuk menghasilkan reaksi effervescent
dalam waktu yang cepat (Banker dan Anderson, 1994).
Reaksinya adalah sebagai berikut :
H3C6H5O7.H2O + 3 NaHCO3 Na3C6H5O7 + 4 H2O + 3 CO2
Asam sitrat Na-Bikarbonat Na-Sitrat Air Karbondioksida
12
H2C4H4O6 + 2 NaHCO3 Na2C4H4O6 + 2 H2O + 2 CO2
Asam Tartarat Na-Bikarbonat Na-Tartarat Air Karbondioksida
Reaksi di atas tidak dikehendaki terjadi sebelum effervescent dilarutkan, oleh
karena itu kadar air bahan baku dan kelembaban lingkungan perlu dikendalikan
tetap rendah untuk mencegah ketidakstabilan produk. Pengendalian akan
berlangsung terus secara cepat karena hasil reaksi adalah air. Kelarutan dari bahan
baku merupakan salah satu hal yang penting dalam pembuatan tablet effervescent.
Jika kelarutannya kurang baik, maka reaksi tidak akan terjadi dan tablet tidak larut
dengan cepat (Lieberman, et al., 1992).
2.5 Preformulasi
2.5.1 Asam Sitrat Monohidrat
Pemerian : Kristal putih atau tidak berwarna, tidak berbau dan memiliki
rasa asam kuat
Rumus molekul : C6H8O7.H2O
Bobot molekul : 210,14
Penggunaan : Sumber asam
pH : 2,2
Titik leleh : 100°C
Kelarutan : Larut dalam 1 bagian air
Wadah : Kering dan sejuk serta kedap udara
Inkompatibilitas: Tidak kompatibel dengan kalium tartrat, alkali, asetat, sulfide,
agen oksidasi, basa, agen reduksi, dan nitrat (Rowe, 2009).
2.5.2 Natrium Bikarbonat
Pemerian : Tidak berbau, putih, serbuk putih, agak berasa sabun, serbuk
dengan aliran yang bagus dan harganya terjangkau.
Rumus molekul : NaHCO3
Bobot molekul : 84,01
Penggunaan : Sumber karbondioksida
13
pH : 8,3
Titik leleh : 270°C
Kelarutan : Larut dalam 11 bagian air
Wadah : Tertutup baik, sejuk, dan kering
Inkompatibilitas: Bereaksi dengan asam, garam asam, dan banyak garam alkaloid.
Tidak kompatibel dengan beberapa obat, yaitu ciprofloxacin,
amiodarone, nicardipine, dan levofloxacin (Rowe, 2009).
2.5.3 Asam Tartrat
Pemerian : kristal tidak berwarna atau putih, tidak berbau
Rumus molekul : C4H6O6
Bobot molekul : 150,09
pH : 2,2
Kelarutan : lebih mudah larut dalam air daripada asam sitrat
Inkompatibilitas: tidak kompatibel dengan perak dan bereaksi dengan logam
karbonat atau bikarbonat
Wadah : tertutup rapat, kering, dan sejuk.
Titik leleh : 168-170°C
Penggunaan : sumber asam (Rowe, 2009).
2.5.4 Polyvinylpyrrolidone (PVP)
Pemerian : putih hingga krem keputihan, tidak berbau, higroskopis
Rumus molekul : (C6H9NO)n
Bobot molekul : 2500-3.000.000
Kelarutan : mudah larut dalam asam, kloroform, ethanol, keton, methanol,
dan air. Praktis tidak larut dalam eter, hidrokarbon, dan minyak
mineral.
Inkompatibilitas: garam anorganik, resin alami dan sintetis, sulfathiazole, natrium
salisilat, asam salisilat, Phenobarbital, dan tannin
Wadah : kedap udara, sejuk, dan kering
Titik leleh : 150°C
14
Penggunaan : Pengikat tablet dan lubrikan
Kadar : 5% (Rowe, 2009).
2.5.5 Sukrosa
Pemerian : Kristal tidak berwarna, tidak berbau, dan manis
Rumus molekul : C12H12O11
Bobot molekul : 342,30
Titik leleh : 160-186°C
Kelarutan : sangat mudah larut dalam air
Inkompatibilitas: jika terkontaminasi logam berat, kemungkinan inkompatibel
dengan asam askorbat
Kadar : sampai 100%
Penggunaan : bahan pengisi, pemanis (Rowe, 2009).
BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Jenis Penulisan
Jenis penulisan karya tulis ini adalah jenis tulisan deskriptif dan eksploratif. Karya
tulis ini menggambarkan dan menjelaskan dengan pola umum - khusus (induktif)
tentang “Apigeff (Apium graveolens Effervescent) : Inovasi Pengembangan
Seledri (Apium graveolens) sebagai Terapi Inflamasi pada Systemic Lupus
Erythematosus (SLE)”
3.2 Jenis dan Sumber Data
3.2.1 Jenis Data
Data yang dikumpulkan adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif yang
digunakan yaitu data berupa kata-kata dan gambar . Sehingga, karya tulis ini
berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian karya tulis ini.
15
Data kuantitatif yang digunakan berupa angka kejadian penyakit (insidensi) dan
dosis atau takaran penggunaan bahan aktif sebagai terapi.
3.2.2 Sumber data
Sumber data karya tulis adalah dari buku, dan jurnal penelitian, yang didapatkan
dari perpustakaan maupun dari situs internet.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data karya tulis ini adalah dengan melakukan studi literatur.
Studi literatur dilakukan pada buku, jurnal penelitian, majalah, dan artikel-artikel
di internet.
Dari berbagai informasi tersebut dilakukan kombinasi dan komunikasi sehingga
ditemukan bentuk rumusan masalah yang menjadi fokus pembicaraan. Proses
komunikasi dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu :
1. Metode deskriptif, yaitu dengan menganalisis data atau informasi yang
diperoleh dan memberikan prediksi mengenai masalah yang akan dibahas.
2. Metode deduksi, yaitu proses analisa data atau informasi dengan
pemberian argumentasi melalui berpikir logis dan bertitik tolak dari
pernyataan yang bersifat umum menuju suatu kebenaran yang bersifat
khusus.
3.4 Metode Analisis Data
Karya tulis ini menggunakan analisis data secara induktif. Upaya analisa data
menyangkut empat komponen yaitu:
1. Pengumpulan data : pengumpulan data diperoleh dari catatan, observasi
dan jurnal hasil penelitian;
2. Reduksi data : memilih data-data yang penting dan menggabungkan
menjadi satu kesatuan.
3. Interpretasi data dan penyimpulan : memilih yang penting, membuat
kategori, membuang yang tidak dipergunakan, menginterpretasi dan
menyimpulkan.
16
Pemecahan masalah dilakukan dengan mengadakan studi silang antara data–data
yang terkumpul dengan didasarkan dengan metode deskriptif dan analisis antara
data terkumpul.
3.5 Kerangka berpikir
Gambar 3. Kerangka Berpikir
Adanya pencetus berupa paparan faktor resiko dapat memicu inaktivasi
Ikβ sehingga membuat faktor transkripsi NF-kβ dominan dan meningkatkan
ekspresi gen inflamasi pada makrofag, neutrofil, CD8+ dan sel-sel inflamasi lain.
Sel-sel inflamasi ini akan memproduksi banyak mediator inflamasi berupa TNF-α,
interleukin, maupun MCP. Meningkatnya agen-agen inflamasi akan menyebabkan
radang sistemik. Akibatnya, organ-organ dapat mengalami kerusakan akibat
inflamasi yang berlebihan. Apigenin mampu menghambat aktifasi NF-kβ melalui
perlindungan terhadap degradasi Ikβ sehingga produksi sel dan mediator inflamasi
dapat dihambat.
17
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Mekanisme Apigenin dalam Menghambat Proses Inflamasi Kronik pada
SLE
Modulasi respon inflamasi dapat melalui mekanisme penurunan regulasi aktivitas
dari cyclooxygenase-2 (COX-2), lipoxygenase, dan menginduksi enzim nitric
oxide synthase (iNOS) yang menghambat produksi sitokin tumor necrosis factor-
alpha (TNF-α), interleukin (IL)-1,-2,-6,-8, dan -12, dan monocyte chemoattractant
protein (MCP) (McHugh, 2006). Penghambatan COX-2 dan iNOS disebabkan
oleh hambatan terhadap nuclear factor-kappa beta (NF-kβ). NF-kβ merupakan
faktor transkripsi eukaryotik yang terlibat di dalam regulasi inflamasi, proliferasi
sel, transformasi, dan tumorigenesis. Apigenin menekan aktivasi NF-kβ dan
ekspresi gen proinflamasi melalui pengeblokan fosforilasi dari faktor I-kappa β
kinase (Ikβ). Penekanan aktivasi NF-Ikβ menurunkan regulasi ekspresi COX-2
dan iNOS, menghambat proses inflamasi dan tumorigenesis. Penghambatan
apigenin terhadap sitokin inflamasi dapat melalui banyak mekanisme. Dari
percobaan in vitro mengindikasikan aktivasi regulasi apigenin pada faktor
transkripsi tertentu seperti NF-kβ dalam menstimulasi monosit dan makrofag
alveolus sehingga mengeblok ekspresi gen sitokin (Liang, 1999).
Penghambatan yang dilakukan pada NF-kβ untuk menghambat inflamasi ini dapat
berfungsi sangat luas karena akan mempengaruhi produksi banyak mediator
proinflamasi karena memang kebanyakan ekspresinya pada gen difasilitasi oleh
faktor transkipsi ini. Jika proses inflamasi pada penderita lupus dapat dihambat
maka kualitas hidupnya akan meningkat.
4.2 Cara Ekstraksi Seledri dan Analisis Kualitatif Apigenin dalam Seledri
Ekstraksi sekaligus hidrolisis flavon dilakukan dengan menambahkan 225mL
methanol:air (5:4) ke dalam 5 gram seledri dengan 0,05g hidroksitoluena
terbutilasi (BHT) sebagai antioksidan dan 25mL HCl 1,2M. Campuran disonikasi
selama 1 menit sebelum direfluks selama 2 jam. Ekstrak cair selanjutnya
18
direkristalisasi untuk mendapatkan konsistensi padat. Ekstrak kemudian disaring
dan dipekatkan dengan rotary evaporator. Sebanyak 1 gram ekstrak dimasukkan
ke dalam gelas piala kemudian ditambahkan 100mL air panas dan dididihkan
selama 5 menit. Setelah itu larutan disaring dan filtratnya digunakan untuk
pengujian. Sebanyak 10mL filtrate ditambahkan 0,5g serbuk Mg, 2ml alcohol
klorhidrat (campuran HCl 37% dan etanol 95%), dan 2mL amil alcohol.
Terbentuknya warna merah, kuning, dan jingga pada lapisan alcohol menunjukkan
keberadaan flavonoid. Metode ini digunakan karena apigenin yang tahan terhadap
panas dengan titik leleh 345–350°C. Kondisi ekstraksi memungkinkan apigenin
yang terekstrak seledri tersebut tidak rusak dan dapat dianalisis. HCl 1,2 M juga
ditambahkan untuk menghidrolisis ikatan glikosida yang terdapat pada flavonoid
sehingga diharapkan flavonoid bebas yang terekstrak. Antioksidan BHT
ditambahkan untuk mencegah apigenin teroksidasi. Hal ini disebabkan flavonoid
tidak stabil terhadap cahaya, oksidasi, perubahan kimia. Faktor-faktor ini dapat
mengubah struktur flavonoid sehingga keaktifannya menurun bahkan hilang
(Zamri, 2004). Pemilihan pelarut metanol:air (5:4) HCl 1,2 M didasarkan pada
penelitian telah dilakukan oleh Frankee et al. (2005) dan Crozier et al. (1997).
Pelarut tersebut bersifat polar, sehingga diharapkan dapat menarik apigenin dari
seledri. Apigenin bersifat polar karena mengandung gugus OH, maka memiliki
kelarutan yang tinggi pada alkohol hangat (Zamri, 2004).
4.3 Proses Pembuatan Effervescent dari Seledri
Bahan Fungsi Berat (dalam 1 tablet 1,5g)
Ekstrak padat seledri Bahan aktif 500mg
Asam sitrat monohidrat Sumber asam 205,57mg
Polivinilpirolidon (PVP) Pengikat tablet,
lubrikan
3% +2% 45mg + 30mg=
75mg
19
Asam tartrat Sumber asam 219,15mg
Sukrosa Pengisi, pemanis 15% 225mg + hingga
100%
Natrium bikarbonat Sumber karbondioksida 254,31mg
Bobot tablet effervescent 1500 mg
Fasa dalam 98% 98/100 x 1500 mg = 1470 mg
Fase luar 2% (hanya lubrikan) 2/100 x 1500 = 30 mg
Fasa dalam terdiri dari zat aktif, asam, basa, pengikat dan pengisi :
Bobot asam dan basa 1470 mg – (500+75+225) = 670 mg
Asam sitrat monohidrat BM : 210.14
Bilangan ekivalen : 3
Bobot ekivalen : 210.14 / 3 = 70.04
Asam Tartrat BM : 150.09
Bilangan ekivalen : 2
Bobot ekivalen : 150.09/2 = 75.05
Natrium bikarbonat BM : 84.01
Bilangan ekivalen : 1
Bobot ekivalen : 84.01/1 = 84.01
Total bobot ekivalen : 70.04 + 75.05 + 84.01 = 229.1 mol ekivalen
229.01 mol ekivalen = 670 mg
Mol ekivalen =2,92
Jumlah Asam sitrat monohidrat = 70.04 x 2,92 = 205.57 mg
Jumlah asam tartrat = 75.05 x 2,92= 219.15 mg
Jumlah Natrium bikarbonat = 84.01 x 2,92 = 245,31 mg
Proses pembuatan tablet dilakukan dengan cara granulasi kering. Cara ini paling
umum digunakan karena menghasilkan granul-granul yang mempunyai sifat-sifat
yang dibutuhkan untuk pencetakan tablet dan tablet yang dihasilkan biasanya
kompak (Kurniawati, 2009). Pertama-tama, PVP dilarutkan dalam sedikit etanol.
20
Ekstrak padat seledri, asam sitrat monohidrat, asam tartrat, natrium bikarbonat dan
sukrosa dimasukkan ke dalam lumpang dan digerus hingga homogeny kemudian
ditambah larutan PVP sedikit demi sedikit sambil digerus. Digranulasi dengan
ayakan mesh 14. Granulat dikeringkan pada lemari pengering pada suhu 40°C
pada lemari pengering, ditimbang, ditambah sisa PVP murni 3% kemudian
dicetak dengan berat 1500mg per tablet.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Apigenin dapat menghambat proses inflamasi sistemik pada lupus melalui
penekanan aktivasi NF-kB
2. Seledri diekstrak menggunakan campuran metanol:air (5:4) dan diuji kualitatif
menggunakan reagen campuran Mg, alkohol klorhidrat dan amil alkohol
3. Tablet effervescent dibuat dengan metode granulasi basah.
5.2 Saran
1. Perlu diadakan uji klinis pada manusia untuk menentukan dosis yang tepat
penggunaan apigenin untuk terapi SLE
2. Perlu adanya uji in vivo dan in vitro terhadap sediaan yang diusulkan
DAFTAR PUSTAKA
Agromedia. 2008. Memanfaatkan Pekarangan untuk Tanaman Obat Keluarga.
Jakarta: Agromedia Pustaka.
Asri, Aswiyanti. 2004. Pengaruh Pemberian Perasan Seledri terhadap Aktivitas
Proliferasi Sel, Indeks Apoptosis, dan Perubahan Histopatologi Mukosa
21
Kolon Wistar. Tesis. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.
Crozier A, Jensen E, Lean MEJ, Mc Donald MS. 1997. Quantitative Analysis of
the Flavonoids Content of Commercial Tomatoes, Onions, Lettuce, and
celery. J Agric Food Chem 45: 590–593.
Dalimartha, Setiawan. 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 2. Jakarta:
Trubus Agriwidya.
Frankee A, Custer LJ, Arakaki C, Murphy SP. 2005. Vitamin C and Flavonoid
Levels of Fruits and Vegetables Consumed in Hawai. J Food Composition
Anal 17: 1-35.
Harmanto, Ning. 2005. Mengusir Kolesterol Bersama Mahkota Dewa. Jakarta :
Agromedia Pustaka.
Harmanto, Ning. 2007. Jus Herbal Segar dan Menyehatkan. Jakarta : Elex Media
Komputindo.
Helmi, Luthfi. 2008. Manifestasi Systematic Lupus Erythematosus pada Paru.
Jurnal Kedokteran Nusantara. Volume 41 (1): 65.
Ismawati, Euis. 2002. Perikehidupan Seledri. Tasikmalaya: Program Studi
Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Siliwangi.
Kang, Hee-Kap, Diane Ecklund, Michael Liu and Syamal K Datt. 2009. Apigenin,
A Non-Mutagenic Dietary Flavonoid, Suppresses Lupus by Inhibiting
Autoantigen Presentation for Expansion of Autoreactive Th1 and Th17
Cells. Journal of Arthritis Research. Volume 11: 1-13.
Kurniawati, Sri. 2009. Pengaruh apenambahan Polisorbat 80 terhadap Waktu
Hancur dan Disolusi Tablet Dimenhidrinat Dibuat Secara Granulasi
Basah. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
22
Krause, Julia dan Jorg Breitkreutz. 2008. Improving Drug Delivery in Pediatric
Medicine. Journal of Pharmaceutical Medicine. Volume 22 (1) : 41-50.
Liang, Yu-Chih, Ying Tang Huang, Shu-Huei Tsai, Shoei-Yn Lin-Shiau, Chieh-
Fu Chen dan Jen-Kun Lin. 1999. Suppression of Inducible
Cyclooxygenase and Inducible Nitric Oxide Synthase by Apigenin and
Related Flavonoid in Mouse Macrophage. Journal of Carcinogenesis.
Volume 20 (10): 1945-1952.
McHugh, N. J. MHC Class II, Tumour Necrosis Factor α, And Lymphotoxin α
Gene Haplotype Associations with Serological Subsets of Systemic Lupus
Erythematosus. Extended Report. Volume 65: 488-494.
Putri, Bina Listyari. 2006. Analisis Diosmin dan Protein Tanaman Seledri (Apium
graveolens L) dari Daerah Cipanas dan Ciwidey. Skripsi. Bogor:
Program Studi Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor.
Rowe, Raymond C., Paul J. Sheskey dan Marian E Quinn. 2009. Handbook of
Pharmaceutical Excipients 6th
Ed. USA :Pharmaceutical Press.
Rukmana, Rahmat. 1995. Bertanam Seledri. Yogyakarta: Kanisius.
Sudarsono, Pudjoanto, A., Gunawan, D., Wahyuono, S., Donatus, I. A., Drajad,
M., Wibowo, S.,dan Ngatidjan, 1996. Tumbuhan Obat, Hasil Penelitian,
Sifat-sifat dan Penggunaan. Yogyakarta: Pusat Penelitian Obat Tradisional UGM.
Sunarjono. 2003. Bertanam 30 Jenis Sayur. Jakarta : Penebar Swadaya.
23
Tonam, Yuda Turana, dan Fachrida L. Moeliono. 2007. Manifestasi Neurologik
pada Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Wijayanti, R. 2011. Pelatihan. Keterampilan Dasar Emotional Support” Pada
Volunteer Care For Lupus Di Yayasan Syamsi Dhuha Bandung. Skripsi
tidak diterbitkan. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Zamri, Rahma Juwita. 2008. Validasi Metode Penentuan Kadar Apigenin dalam
Ekstrak Seledri dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Skripsi. Bogor:
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian
Bogor.
24
25
26