selaidri (selai seledri)

26
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit radang kronik sistemik yang timbul akibat proses autoimun. Lupus bisa hadir pada usia berapapun, dan yang paling sering pada wanita (Helmi, 2008). Prevalensi SLE di antara etnik adalah wanita kulit hitam 1: 250, wanita kulit putih 1: 4300, dan wanita cina 1 : 1000 (Tonam, 2007). SLE bisa menyerang berbagai bagian tubuh, dan yang paling sering membahayakan jantung, persendian, kulit, paru-paru, pembuluh darah, hati, ginjal, dan sistem saraf (Helmi, 2008). Nama lain untuk SLE adalah Lupus Erythematosus atau lebih sering disebut lupus. Namun, Systemic lupus erythematosus merupakan istilah medis yang paling sesuai. Apabila dipisah, istilah systemic berarti menyeluruh ( all over) dan erythematosus berarti merah (red). Sedangkan para penderitanya disebut odapus atau orang dengan lupus (Wijayanti, 2011). Penyakit ini dapat mengenai berbagai usia dan jenis kelamin, terutama pada perempuan usia produktif (20-40 tahun) (Oktaria, 2010). Terdapat faktor resiko yang dapat mempengaruhi timbulnya lupus, yaitu genetik dan lingkungan. Meskipun belum terbukti secara ilmiah, diduga bahwa orang tua dapat mewariskan faktor tertentu kepada keturunannya sehingga mereka rentan terhadap lupus. Namun hal ini bukan pula berarti mereka pasti akan menderita lupus, hanya mereka akan lebih mudah terkena. Pada saat ini tidak terdapat tes genetis untuk meneliti apakah seseorang rentan terhadap lupus atau tidak. Dari faktor lingkungan, diduga terdapat beberapa faktor tertentu penyebab bangkitnya atau kambuhnya lupus, antara lain stress, sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, infeksi beberapa antibiotik tertentu, dan hormon (Wijayanti, 2011). Gejala yang dapat diderita oleh odapus antara lain malar rash, discoid rash, fotosensitivitas, ulkus oral dan nasofaring, artritis non erosif pada 2 atau lebih dengan ciri-ciri bengkak atau efusi, serositis (pleuritis atau perikarditis atau efusi perikardial), kelainan ginjal (proteinuria (> 0.5 g/d atau > 3+) atau adanya cellular casts,

Upload: saskia-rachmawati

Post on 31-Jul-2015

402 views

Category:

Documents


20 download

TRANSCRIPT

Page 1: Selaidri (Selai seledri)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit radang kronik sistemik

yang timbul akibat proses autoimun. Lupus bisa hadir pada usia berapapun, dan

yang paling sering pada wanita (Helmi, 2008). Prevalensi SLE di antara etnik

adalah wanita kulit hitam 1: 250, wanita kulit putih 1: 4300, dan wanita cina 1 :

1000 (Tonam, 2007). SLE bisa menyerang berbagai bagian tubuh, dan yang

paling sering membahayakan jantung, persendian, kulit, paru-paru, pembuluh

darah, hati, ginjal, dan sistem saraf (Helmi, 2008). Nama lain untuk SLE adalah

Lupus Erythematosus atau lebih sering disebut lupus. Namun, Systemic lupus

erythematosus merupakan istilah medis yang paling sesuai. Apabila dipisah,

istilah systemic berarti menyeluruh (all over) dan erythematosus berarti merah

(red). Sedangkan para penderitanya disebut odapus atau orang dengan lupus

(Wijayanti, 2011). Penyakit ini dapat mengenai berbagai usia dan jenis kelamin,

terutama pada perempuan usia produktif (20-40 tahun) (Oktaria, 2010).

Terdapat faktor resiko yang dapat mempengaruhi timbulnya lupus, yaitu genetik

dan lingkungan. Meskipun belum terbukti secara ilmiah, diduga bahwa orang tua

dapat mewariskan faktor tertentu kepada keturunannya sehingga mereka rentan

terhadap lupus. Namun hal ini bukan pula berarti mereka pasti akan menderita

lupus, hanya mereka akan lebih mudah terkena. Pada saat ini tidak terdapat tes

genetis untuk meneliti apakah seseorang rentan terhadap lupus atau tidak. Dari

faktor lingkungan, diduga terdapat beberapa faktor tertentu penyebab bangkitnya

atau kambuhnya lupus, antara lain stress, sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu,

infeksi beberapa antibiotik tertentu, dan hormon (Wijayanti, 2011). Gejala yang

dapat diderita oleh odapus antara lain malar rash, discoid rash, fotosensitivitas,

ulkus oral dan nasofaring, artritis non erosif pada 2 atau lebih dengan ciri-ciri

bengkak atau efusi, serositis (pleuritis atau perikarditis atau efusi perikardial),

kelainan ginjal (proteinuria (> 0.5 g/d atau > 3+) atau adanya cellular casts,

Page 2: Selaidri (Selai seledri)

2

kelainan neurologis, kejang tanpa sebab lain, atau psikosa tanpa sebab lain,

kelainan hematologi berupa anemia hemolitik, lekopenia (< 40 per

µL); limfopenia (< 1500 per µL); trombositopenia (< 1000 per µL) yang bukan

karena obat-obatan serta kelainan imunologis, sel LE positif; antibodi anti-ds

DNA /anti-Sm positif; antinuclear antibodies (ANA). Titer ANA abnormal yang

bukan karena obat yang menginduksi peningkatan ANA. Komplikasi SLE dapat

meliputi hipertensi (41%), gangguan pertumbuhan (38%), gangguan paru-paru

kronik (31%), abnormalitas mata (31%), kerusakan ginjal permanen (25%), gejala

neuropsikiatri (22%), kerusakan muskuloskeleta (9%), gangguan fungsi gonad

(3%). Sampai sekarang, SLE belum diketahui penyebabnya, sehingga belum bisa

disembuhkan atau dicegah, yang dapat dilakukan baru sebatas menghilangkan

gejalanya (Haque, 2009). Pada lupus, Autoantigen Presenting Cell (APC) dan

fungsi stimulasinya berperan dalam aktivasi sel autoreaktif Th1, Th17, dan sel B

yang diregulasi oleh faktor transkripsi NF-kB sehingga dibutuhkan suatu zat aktif

yang dapat menghambat aktivitas NF-kB misalnya apigenin dari seledri (Apium

graveolens) yang jumlahnya melimpah di alam. Apigenin juga menyebabkan

apoptosis dari APC lupus yang hiperaktif, sel T, dan sel B, kemungkinan dengan

menghambat ekspresi dari NF-kB yang meregulasi antiapoptosis dari molekul

khususnya COX-2 dan cFLIP yang terus menerus diekspresikan secara berlebihan

oleh sel imun lupus sehingga diharapkan pemberian apigenin dapat menekan

terjadinya proses inflamasi sistemik pada lupus dan komplikasi yang dimediasi

oleh Th17 seperti rheumatoid arthritis, penyakit Crohn dan psoriasis serta

mencegah inflamasi yang mendasari terjadinya tumor akibat ekspresi COX-2 yang

berlebihan (Kang, 2009). SLE tidak hanya dapat menyerang orang dewasa namun

juga anak-anak sehingga tantangan terbesar dari heterogenisme usia dan

kemampuan mengonsumsi obat pasien odapus adalah bentuk sediaan yang kiranya

bisa diterima oleh kebanyakan range usia (Krause, 2008). Effervescent

merupakan sediaan bersoda yang banyak disukai oleh masyarakat dari segala usia

sehingga diharapkan aplikasinya dalam sediaan penyakit lupus dapat

meningkatkan kepatuhan odapus dalam mengonsumsi obat. Oleh karena itu,

penulis mengusulkan Apigeff (Apium graveolens Effervescent) : Inovasi

Page 3: Selaidri (Selai seledri)

3

Pengembangan Seledri (Apium graveolens) sebagai Terapi Inflamasi pada

Systemic Lupus Erythematosus (SLE).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana apigenin dapat menghambat proses inflamasi kronik pada SLE?

2. Bagaimana cara ekstraksi dan analisis kuantitatif apigenin dalam seledri?

3. Bagaimana proses pembuatan effervescent dari seledri?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui mekanisme apigenin dalam menghambat proses inflamasi kronik

pada SLE

2. Mengetahui cara ekstraksi dan analisis kuantitatif apigenin dalam seledri

3. Mengetahui proses pembuatan effervescent dari seledri

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Bagi Tenaga Kesehatan

Memberikan pengetahuan baru atau wacana bagi tenaga kesehatan mengenai

terapi SLE.

1.4.2 Bagi Masyarakat

Memanfaatkan Seledri (Apium graveolens) sebagai terapi SLE yang dapat

menghambat inflamasi kronik sistemik yang terjadi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

SLE atau Lupus adalah suatu penyakit autoimun yang bersifat kronis dan

menimbulkan peradangan, menyerang beberapa organ atau sistem tubuh, dimana

sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi dan mempertahankan tubuh

dari berbagai penyakit atau bakteri yang mematikan keliru mendapatkan pesan

sehingga menyerang tubuh itu sendiri (Wijayanti, 2011). Gejala sistemik yang

Page 4: Selaidri (Selai seledri)

4

dapat dialami oleh odapus meliputi demam subfebris, kelemahan, lesu, anoreksia,

nausea, dan kehilangan berat badan. Tampilan awal biasanya juga mengikut

sertakan satu atau lebih dari sistem organ. Atralgia (53-95%) adalah keluhan

utama dari banyak pasien. Seringnya, keluhan nyeri lebih berat dibandingkan

temuan pada fisiknya. Butterfly rash juga dilaporkan pada pipi dan hidung dengan

fotosensitif terhadap sinar matahari (sering pada kulit putih), juga sering meliputi

dagu dan telinga. Sering dikeluhkan ulkus dengan atau tanpa nyeri di hidung dan

mulut. Gejala pada CNS bisa dari yang ringan (disfungsi kognitif) sampai riwayat

kejang (12-59%). Bagian apa saja dari otak, mening, spinal cord, serta saraf

kranial dan saraf tepi bisa terkena. Kejadian di CNF biasanya bisa SLE sudah ada

di sistem organ yang lain. Sakit kepala yang sulit sembuh serta sulit untuk

mengingat dan mengambil keputusan adalah tampilan tersering dari gangguan

saraf pada pasien SLE. Gejala psikiatrik (steroid dosis tinggi juga bisa

menimbulkan psikosis 5-37%). Bila psikosis memburuk setelah steroid

dihentikan, paling sering adalah akibat dari proses penyakit ini. Nyeri pleura (31-

57%), dyspnoe, batuk, demam, dan nyeri dada adalah keluhan jantung dan paru

yang penting. Pasien bisa datang dengan nyeri perut, diare, dan muntah.

Pengecualian untuk perforasi usus dan vaskulitis (Helmi, 2008). Sampai sekarang,

SLE belum diketahui penyebabnya, sehingga belum bisa disembuhkan atau

dicegah, yang dapat dilakukan baru sebatas menghilangkan gejalanya (Haque,

2009). Faktor resiko yang ada untuk timbulnya atau berperan dalam fase kronis

dan akut lupus antara lain ultraviolet B, wanita, menarche, alfalfa

sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine; Pristane atau bahan

yang sama, diet tinggi saturated fats, DNA bakteri (human

retroviruses, endotoksin, lipopolisakarida bakteri), Faktor paparan dengan obat

tertentu (Hidralazin, Prokainamid, Isoniazid, Hidantoin, Klorpromazin,

Methyldopa, D-Penicillamine, Minoksiklin, Antibodi anti-TNFα; Interferon- γ.

Pada lupus, kondisi yang paling dominan adalah inflamasi sistemik yang dapat

merusak seluruh organ tubuh. Kondisi inflamasi ini disebabkan oleh

peningkatansecara berlebihan jumlah makrofag, neutrofil, limfosit T, serta sel

sitotoksik CD8+ yang lebih dominan daripada CD4+ (Magadmi, 2004). Produksi

Page 5: Selaidri (Selai seledri)

5

masal agen inflamasi tersebut sayangnya bertujuan untuk menyerang organ-

organnya sendiri akibat kesalahan pesan yang diterima sistem imun. Menurut

McHugh (2005), sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan

mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leukotrien B4,

faktor kemotaksis seperti CXC, kemokin interleukin 8, dan growth related

oncogene α, TNFα, IL-1 β dan IL-6, serta TGFβ. Inflamasi kronis ini diasosiasi

oleh peningkatan ekspresi gen inflamasi yang mengkode sitokin, kemokin, dan

molekul adhesi. Gen-gen inflamasi ini kebanyakan diregulasi oleh faktor

transkripsi NF-kβ yang lebih aktif pada kondisi paru yang menderita PPOK dan

sel-sel inflamasi, termasuk pada makrofag alveolus Magadmi, 2004).

2.2 Terapi yang Pernah Dilakukan

Antimalaria

-Hidroksiklorokuin 3-7 mg/kg/hari PO sebagai garam sulfat (maksimal 400

mg/hari)

Kortiko-steroid

-Prednison

Dosis harian(1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5

mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah harian (0.5

mg/kg)/hari yg digunakan bersamamethylprednisolone dosis tinggi intermitten

(30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu

Obat imuno-supresif

-Siklofosfamid

500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3 minggu. maksimal 1 g/m

2. Harus

diberikan IV dengan infus terpasang, dan dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14

hari mengikuti setiap dosis (lekosit dimaintenance > 2000-3000/mm3)

-Azathioprine

1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari

Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)

-Naproxen

7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 500-1000 mg/hari

Page 6: Selaidri (Selai seledri)

6

-Tolmetin

15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maksimal 1200-1800 mg/hari

-Diclofenac

< 12 tahun : tak dianjurkan

> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari

Suplemen Kalsium dan vitamin D

-Kalsium karbonat

< 6 bulan : 360 mg/hari

6-12 bulan : 540 mg/hari

1-10 bulan : 800 mg/hari

11-18 bulan : 1200 mg/hari

-Calcifediol

< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu

> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu

Anti-hipertensi

-Nifedipin

0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap 4-8 jam.

-Enalapril

0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila perlu,

maksimum 0.5 mg/kg/hari

-Propranolol

0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap dalam 3-7 hari

dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari

2.3 Seledri (Apium graveolens)

2.3.1 Klasifikasi dan Morfologi

Page 7: Selaidri (Selai seledri)

7

Gambar 1. Seledri (Apium graveolens) (Sudarsono, 1996).

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Sub Divisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Umbelliferales

Famili : Umbelliferae

Genus : Apium

Spesies : Apium graveolens L (Ismawati, 2002).

Seledri merupakan tanaman semak dengan tinggi sekitar 15cm. Batangnya tidak

berkayu, bentuknya persegi, beralur, beruas, bercabang tegak, dan berwarna hijau

pucat. Daunnya berpangkal pada batang dekat tanah, berbentuk lekuk tangan,

baunya agak sedap (Harmanto, 2007). Daun seledri berwarna hijau tua, licin,

berbentuk baji dengan pinggir berberigi, terletak pada kedua sisi tangkai yang

berseberangan (Asri, 2004). Dalam keadaan kering, daun seledri menggulung,

berwarna hijau kecoklatan, berbau aroma kuat, rasa manis, dan sedikit pahit

(Zamri, 2008). Bunganya berwarna abu-abu putih, mekar dari bulan Juli sampai

November. Buahnya kecil, berisi biji berbentuk elips (Asri, 2004).

2.3.2 Kandungan Seledri

Daun seledri mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol (Harmanto, 2005).

Tanaman ini kaya serat tapi rendah kalori. Batang dan daun seledri merupakan

Page 8: Selaidri (Selai seledri)

8

sumber vitamin A, B, C, mineral klor, sodium, kalium, dan magnesium

(Rukmana, 1995). Biji seledri memiliki kandungan kimia asparagin, manit, zat

pati, lender, pentosan, glutamine, tirosin, flavon glukosida, vitamin, kolin, linase,

zat pahit, dan minyak atsiri (Harmanto, 2007). Menurut Dalimartha (2006), herba

seledri mengandung flavonoid, saponin, tannin 1%, minyak atsiri 0,033%, flavor-

glukosida (apiin), apigenin, kolin, lipase, asparagin, zat pahit, vitamin (A,B, dan

C). Setiap 100 gram herba seledri mengandung air sebanyak 93mL, protein 0,9g,

lemak 0,1g, karbohidrat 4g, serat 0,9g, kalsium 50mg, besi 1mg, fosfor 40mg,

yodium 150mg, kalium 400mg, magnesium 85mg, vitamin A 130 IU, vitamin C

15mg, riboflavin 0,05mg, tiamin 0,03mg, dan nikotinamid 0,4mg. Bijinya juga

mengandung apigenin.

2.3.3 Apigenin

Gambar 2. Struktur Kimia Apigenin (Zamri, 2008)

Apigenin merupakan komponen flavonoid utama dari seledri yang termasuk ke

dalam golongan flavon. Rumus molekulnya adalah C15H10O5 dengan bobot

molekul 270,23 g/mol. Nama Interational Union of Pure and Applied Chemistry

dari apigenin adalah 5,7-dihidroksi-2-(4-hidroksifenil)-4H-1-benzopiran-4-on.

Titik leleh apigenin 345-350°C. Pada penelitian terdahulu mengatakan bahwa

kadar apigenin pada seledri yang direfluks dengan methanol 50% adalah

1,787g/kg bobot kering seledri (Zamri, 2008).

2.3.4 Syarat Tumbuh Tanaman Seledri

a. Keadaan Iklim

Seledri termasuk salah satu jenis sayuran subtropics yang beriklim dingin.

Perkecambahan benih seledri menghendaki keadaan temperature minimum 9°C

Page 9: Selaidri (Selai seledri)

9

dan maksimum 20°C. Sedangkan untuk pertumbuhan dan menghasilkan produksi

yang tinggi menghendaki temperature 15°C-18°C serta temperature maksimum

24°C. Tanaman seledri cocok dibudidayakan di daerah yang mempunyai

ketinggian 1000-1200 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan kelembaban

antara 80%-90% serta cukup mendapat sinar matahari. Seledri kurang tahan

terhadap kadar air atau curah hujan yang tinggi karena itu penanaman seledri

sebaiknya ditanam pada akhir musim hujan atau periode bulan tertentu yang curah

hujannya berkisar 60-100mm/bulan (Ismawati, 2002).

b. Keadaan Tanah

Tanaman seledri dapat ditanam di tanah dataran rendah ataupun tanah dataran

tinggi/pegunungan khususnya pada ketinggian 1000-1200 meter dpl. Tanah yang

paling ideal untuk penanaman seledri adalah jenis tanah andosol. Jenis tanah ini

pada umumnya berwarna hitam atau kelabu sampai coklat tua, kaya akan unsure

hara, berstruktur remah dengan tekstur debu atau lempung berdebu sampai

lempung dan reaksi tanah berkisar antara pH 5,0-7,0 sehingga disebut tubuh tanah

pegunungan tinggi. Persyaratan tanah yang ideal untuk tanaman seledri adalah

harus subur mengandung garam natrium, kalsium, dan boron, jika unsure-unsur

tersebut kurang cukup terdapat dalam tanah maka tanaman seledri tidak akan

tumbuh dengan baik (kerdil) (Ismawati, 2002). Jika tanaman kekurangan natrium

akan menjadi kerdil, kekurangan kalsium menyebabkan kuncup seledri menjadi

kering, dan apabila kekurangan unsur boron menyebabkan batang dan tangkainya

menjadi retak-retak (Sunarjono 2003).

2.3.5 Pemanenan

Seledri mulai dapat dipanen pada umur 6-8 minggu setelah tanam karena

kandungan kimianya paling tinggi pada umur tersebut. Yang dipanen adalah daun

yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda (Ismawati, 2002). Waktu panen yang

paling baik adalah pagi atau sore hari. Panen pada keadaan cuaca terik (siang hari)

dapat menyebabkan hasil panen cepat layu dan susut, sehingga kurang atau tidak

laku dipasarkan. Pada tanaman yang baik dapat menghasilkan 50 kuintal seledri

Page 10: Selaidri (Selai seledri)

10

per hektar. Khusus varietas seledri stick “Tall-Utah” yang berat rata-rata per

tanaman mencapai 1,5kg, daya hasil per hektar dapat mencapai di atas 100 ton

(Rukmana, 1995).

2.3.6 Penanganan Pascapanen

Produk hasil panen seledri adalah berupa daun bersama tangkai daun dan

batangnya. Produk demikian sangat mudah layu dan cepat menyusut. Oleh karena

itu, seusai panen harus segera dilakukan penanganan pascapanen yang cepat dan

tepat. Hasil panen dikumpulkan di tempat yang strategis atau di gudang

pengumpulan hasil. Hasil panen dipilih yang baiknya saja, dipisahkan dari batang

atau tangkai daun seledri yang rusak, cacat atau terserang hama dan penyakit

(Rukmana, 1995). Kegagalan dalam bercocok tanam seledri disebabkan karena

adanya serangan hama atau penyakit. Hama dan penyakit tersebut dapat menjadi

cemaran pada hasil panen. Hama yang menyerang tanaman ini biasanya sejenis

ulat daun (Agrotis ypsilonHufn.), kutu-kutu daun (Aphis spp.), tungau/mites

(Tetranychus spp.), dan cacing nematoda. Penyakit yang biasa menyerang

tanaman seledri adalah cacar coklat kuning (Cercospora apii), cacar hitam

(Septoria apii), virus aster yellow, dan nematoda akar(Belonalaimus gracilis,

Heterodera schactii, Bacillus gracilis) (Putri, 2006). Seluruh hasil panen dicuci

dalam suatu tempat yang airnya mengalir atau disemprotkan hingga bersih dari

kotoran ataupun residu pestisida. Hasil panen ditiriskan seusai dicuci pada tempat

atau rak-rak penirisan. Seledri diklasifikasikan berdasarkan ukuran atau jenis yang

seragam, terutama berpedoman kepada mutu standar permintaan pasar. Batang

atau tangkai-tangkai seledri diikat menjadi ikatan-ikatan tertentu yang ukuran

besarnya disesuaikan dengan segi kepraktisan dalam pengangkutan dan

permintaan pasar. Ikatan-ikatan seledri dimasukkan ke dalam wadah (container)

seperti karung goni, doos karton, dan lain-lain. Hasil panen seledri diangkut ke

pasar atau tempat penjualan dengan menggunakan alat angkut yang praktis

menurut keadaan dan situasi setempat. Hasil panen disimpan pada tempat atau

ruangan yang teduh dan bersuhu dingin (Rukmana, 1995).

Page 11: Selaidri (Selai seledri)

11

2.4 Effervescent

Effervescent didefenisikan sebagai bentuk sediaan serbuk yang menghasilkan

gelembung gas sebagai hasil reaksi kimia larutan. Gas yang dihasilkan saat

pelarutan effervescent adalah karbon dioksida sehingga dapat memberikan efek

sparkling (rasa seperti air soda) (Lieberman, et al., 1992). Tablet effervescent

merupakan salah satu bentuk sediaan tablet dengan cara pengempaan bahan-bahan

aktif dengan campuran asam-asam organik, seperti asam sitrat atau asam tartrat

dan natrium bikarbonat. Bila tablet ini dimasukkan ke dalam air, mulailah terjadi

reaksi kimia antara asam dan natrium bikarbonat sehingga terbentuk garam

natrium dari asam dan menghasilkan gas karbondioksida serta air. Reaksinya

cukup cepat dan biasanya berlangsung dalam waktu satu menit atau kurang. Di

samping menghasilkan larutan yang jernih, tablet juga menghasilkan rasa yang

enak karena adanya karbonat yang dapat membantu memperbaiki rasa

obat-obat tertentu (Banker dan Anderson, 1986).

Keuntungan tablet effervescent sebagai bentuk obat adalah penyiapan larutan

dalam waktu seketika, yang mengandung dosis obat yang tepat. Kerugian tablet

effervescent adalah kesukaran untuk menghasilkan produk yang stabil secara

kimia. Bahkan kelembaban udara selama pembuatan produk mungkin sudah

cukup untuk memulai reaktivitas effervescent. Kelembaban udara di

sekitar tablet setelah wadahnya dibuka juga dapat menyebabkan penurunan

kualitas yang cepat dari produk, setelah sampai di tangan konsumen. Karena itu

tablet effervescent dikemas secara khusus dalam kantong lembaran alumunium

kedap udara atau kemasan padat dalam tabung silindris dengan ruang udara yang

minimum. Alasan lain untuk kemasan adalah kenyataan bahwa tablet biasanya

telah dikempa sehingga cukup mudah untuk menghasilkan reaksi effervescent

dalam waktu yang cepat (Banker dan Anderson, 1994).

Reaksinya adalah sebagai berikut :

H3C6H5O7.H2O + 3 NaHCO3 Na3C6H5O7 + 4 H2O + 3 CO2

Asam sitrat Na-Bikarbonat Na-Sitrat Air Karbondioksida

Page 12: Selaidri (Selai seledri)

12

H2C4H4O6 + 2 NaHCO3 Na2C4H4O6 + 2 H2O + 2 CO2

Asam Tartarat Na-Bikarbonat Na-Tartarat Air Karbondioksida

Reaksi di atas tidak dikehendaki terjadi sebelum effervescent dilarutkan, oleh

karena itu kadar air bahan baku dan kelembaban lingkungan perlu dikendalikan

tetap rendah untuk mencegah ketidakstabilan produk. Pengendalian akan

berlangsung terus secara cepat karena hasil reaksi adalah air. Kelarutan dari bahan

baku merupakan salah satu hal yang penting dalam pembuatan tablet effervescent.

Jika kelarutannya kurang baik, maka reaksi tidak akan terjadi dan tablet tidak larut

dengan cepat (Lieberman, et al., 1992).

2.5 Preformulasi

2.5.1 Asam Sitrat Monohidrat

Pemerian : Kristal putih atau tidak berwarna, tidak berbau dan memiliki

rasa asam kuat

Rumus molekul : C6H8O7.H2O

Bobot molekul : 210,14

Penggunaan : Sumber asam

pH : 2,2

Titik leleh : 100°C

Kelarutan : Larut dalam 1 bagian air

Wadah : Kering dan sejuk serta kedap udara

Inkompatibilitas: Tidak kompatibel dengan kalium tartrat, alkali, asetat, sulfide,

agen oksidasi, basa, agen reduksi, dan nitrat (Rowe, 2009).

2.5.2 Natrium Bikarbonat

Pemerian : Tidak berbau, putih, serbuk putih, agak berasa sabun, serbuk

dengan aliran yang bagus dan harganya terjangkau.

Rumus molekul : NaHCO3

Bobot molekul : 84,01

Penggunaan : Sumber karbondioksida

Page 13: Selaidri (Selai seledri)

13

pH : 8,3

Titik leleh : 270°C

Kelarutan : Larut dalam 11 bagian air

Wadah : Tertutup baik, sejuk, dan kering

Inkompatibilitas: Bereaksi dengan asam, garam asam, dan banyak garam alkaloid.

Tidak kompatibel dengan beberapa obat, yaitu ciprofloxacin,

amiodarone, nicardipine, dan levofloxacin (Rowe, 2009).

2.5.3 Asam Tartrat

Pemerian : kristal tidak berwarna atau putih, tidak berbau

Rumus molekul : C4H6O6

Bobot molekul : 150,09

pH : 2,2

Kelarutan : lebih mudah larut dalam air daripada asam sitrat

Inkompatibilitas: tidak kompatibel dengan perak dan bereaksi dengan logam

karbonat atau bikarbonat

Wadah : tertutup rapat, kering, dan sejuk.

Titik leleh : 168-170°C

Penggunaan : sumber asam (Rowe, 2009).

2.5.4 Polyvinylpyrrolidone (PVP)

Pemerian : putih hingga krem keputihan, tidak berbau, higroskopis

Rumus molekul : (C6H9NO)n

Bobot molekul : 2500-3.000.000

Kelarutan : mudah larut dalam asam, kloroform, ethanol, keton, methanol,

dan air. Praktis tidak larut dalam eter, hidrokarbon, dan minyak

mineral.

Inkompatibilitas: garam anorganik, resin alami dan sintetis, sulfathiazole, natrium

salisilat, asam salisilat, Phenobarbital, dan tannin

Wadah : kedap udara, sejuk, dan kering

Titik leleh : 150°C

Page 14: Selaidri (Selai seledri)

14

Penggunaan : Pengikat tablet dan lubrikan

Kadar : 5% (Rowe, 2009).

2.5.5 Sukrosa

Pemerian : Kristal tidak berwarna, tidak berbau, dan manis

Rumus molekul : C12H12O11

Bobot molekul : 342,30

Titik leleh : 160-186°C

Kelarutan : sangat mudah larut dalam air

Inkompatibilitas: jika terkontaminasi logam berat, kemungkinan inkompatibel

dengan asam askorbat

Kadar : sampai 100%

Penggunaan : bahan pengisi, pemanis (Rowe, 2009).

BAB III

METODE PENULISAN

3.1 Jenis Penulisan

Jenis penulisan karya tulis ini adalah jenis tulisan deskriptif dan eksploratif. Karya

tulis ini menggambarkan dan menjelaskan dengan pola umum - khusus (induktif)

tentang “Apigeff (Apium graveolens Effervescent) : Inovasi Pengembangan

Seledri (Apium graveolens) sebagai Terapi Inflamasi pada Systemic Lupus

Erythematosus (SLE)”

3.2 Jenis dan Sumber Data

3.2.1 Jenis Data

Data yang dikumpulkan adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif yang

digunakan yaitu data berupa kata-kata dan gambar . Sehingga, karya tulis ini

berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian karya tulis ini.

Page 15: Selaidri (Selai seledri)

15

Data kuantitatif yang digunakan berupa angka kejadian penyakit (insidensi) dan

dosis atau takaran penggunaan bahan aktif sebagai terapi.

3.2.2 Sumber data

Sumber data karya tulis adalah dari buku, dan jurnal penelitian, yang didapatkan

dari perpustakaan maupun dari situs internet.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data karya tulis ini adalah dengan melakukan studi literatur.

Studi literatur dilakukan pada buku, jurnal penelitian, majalah, dan artikel-artikel

di internet.

Dari berbagai informasi tersebut dilakukan kombinasi dan komunikasi sehingga

ditemukan bentuk rumusan masalah yang menjadi fokus pembicaraan. Proses

komunikasi dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu :

1. Metode deskriptif, yaitu dengan menganalisis data atau informasi yang

diperoleh dan memberikan prediksi mengenai masalah yang akan dibahas.

2. Metode deduksi, yaitu proses analisa data atau informasi dengan

pemberian argumentasi melalui berpikir logis dan bertitik tolak dari

pernyataan yang bersifat umum menuju suatu kebenaran yang bersifat

khusus.

3.4 Metode Analisis Data

Karya tulis ini menggunakan analisis data secara induktif. Upaya analisa data

menyangkut empat komponen yaitu:

1. Pengumpulan data : pengumpulan data diperoleh dari catatan, observasi

dan jurnal hasil penelitian;

2. Reduksi data : memilih data-data yang penting dan menggabungkan

menjadi satu kesatuan.

3. Interpretasi data dan penyimpulan : memilih yang penting, membuat

kategori, membuang yang tidak dipergunakan, menginterpretasi dan

menyimpulkan.

Page 16: Selaidri (Selai seledri)

16

Pemecahan masalah dilakukan dengan mengadakan studi silang antara data–data

yang terkumpul dengan didasarkan dengan metode deskriptif dan analisis antara

data terkumpul.

3.5 Kerangka berpikir

Gambar 3. Kerangka Berpikir

Adanya pencetus berupa paparan faktor resiko dapat memicu inaktivasi

Ikβ sehingga membuat faktor transkripsi NF-kβ dominan dan meningkatkan

ekspresi gen inflamasi pada makrofag, neutrofil, CD8+ dan sel-sel inflamasi lain.

Sel-sel inflamasi ini akan memproduksi banyak mediator inflamasi berupa TNF-α,

interleukin, maupun MCP. Meningkatnya agen-agen inflamasi akan menyebabkan

radang sistemik. Akibatnya, organ-organ dapat mengalami kerusakan akibat

inflamasi yang berlebihan. Apigenin mampu menghambat aktifasi NF-kβ melalui

perlindungan terhadap degradasi Ikβ sehingga produksi sel dan mediator inflamasi

dapat dihambat.

Page 17: Selaidri (Selai seledri)

17

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Mekanisme Apigenin dalam Menghambat Proses Inflamasi Kronik pada

SLE

Modulasi respon inflamasi dapat melalui mekanisme penurunan regulasi aktivitas

dari cyclooxygenase-2 (COX-2), lipoxygenase, dan menginduksi enzim nitric

oxide synthase (iNOS) yang menghambat produksi sitokin tumor necrosis factor-

alpha (TNF-α), interleukin (IL)-1,-2,-6,-8, dan -12, dan monocyte chemoattractant

protein (MCP) (McHugh, 2006). Penghambatan COX-2 dan iNOS disebabkan

oleh hambatan terhadap nuclear factor-kappa beta (NF-kβ). NF-kβ merupakan

faktor transkripsi eukaryotik yang terlibat di dalam regulasi inflamasi, proliferasi

sel, transformasi, dan tumorigenesis. Apigenin menekan aktivasi NF-kβ dan

ekspresi gen proinflamasi melalui pengeblokan fosforilasi dari faktor I-kappa β

kinase (Ikβ). Penekanan aktivasi NF-Ikβ menurunkan regulasi ekspresi COX-2

dan iNOS, menghambat proses inflamasi dan tumorigenesis. Penghambatan

apigenin terhadap sitokin inflamasi dapat melalui banyak mekanisme. Dari

percobaan in vitro mengindikasikan aktivasi regulasi apigenin pada faktor

transkripsi tertentu seperti NF-kβ dalam menstimulasi monosit dan makrofag

alveolus sehingga mengeblok ekspresi gen sitokin (Liang, 1999).

Penghambatan yang dilakukan pada NF-kβ untuk menghambat inflamasi ini dapat

berfungsi sangat luas karena akan mempengaruhi produksi banyak mediator

proinflamasi karena memang kebanyakan ekspresinya pada gen difasilitasi oleh

faktor transkipsi ini. Jika proses inflamasi pada penderita lupus dapat dihambat

maka kualitas hidupnya akan meningkat.

4.2 Cara Ekstraksi Seledri dan Analisis Kualitatif Apigenin dalam Seledri

Ekstraksi sekaligus hidrolisis flavon dilakukan dengan menambahkan 225mL

methanol:air (5:4) ke dalam 5 gram seledri dengan 0,05g hidroksitoluena

terbutilasi (BHT) sebagai antioksidan dan 25mL HCl 1,2M. Campuran disonikasi

selama 1 menit sebelum direfluks selama 2 jam. Ekstrak cair selanjutnya

Page 18: Selaidri (Selai seledri)

18

direkristalisasi untuk mendapatkan konsistensi padat. Ekstrak kemudian disaring

dan dipekatkan dengan rotary evaporator. Sebanyak 1 gram ekstrak dimasukkan

ke dalam gelas piala kemudian ditambahkan 100mL air panas dan dididihkan

selama 5 menit. Setelah itu larutan disaring dan filtratnya digunakan untuk

pengujian. Sebanyak 10mL filtrate ditambahkan 0,5g serbuk Mg, 2ml alcohol

klorhidrat (campuran HCl 37% dan etanol 95%), dan 2mL amil alcohol.

Terbentuknya warna merah, kuning, dan jingga pada lapisan alcohol menunjukkan

keberadaan flavonoid. Metode ini digunakan karena apigenin yang tahan terhadap

panas dengan titik leleh 345–350°C. Kondisi ekstraksi memungkinkan apigenin

yang terekstrak seledri tersebut tidak rusak dan dapat dianalisis. HCl 1,2 M juga

ditambahkan untuk menghidrolisis ikatan glikosida yang terdapat pada flavonoid

sehingga diharapkan flavonoid bebas yang terekstrak. Antioksidan BHT

ditambahkan untuk mencegah apigenin teroksidasi. Hal ini disebabkan flavonoid

tidak stabil terhadap cahaya, oksidasi, perubahan kimia. Faktor-faktor ini dapat

mengubah struktur flavonoid sehingga keaktifannya menurun bahkan hilang

(Zamri, 2004). Pemilihan pelarut metanol:air (5:4) HCl 1,2 M didasarkan pada

penelitian telah dilakukan oleh Frankee et al. (2005) dan Crozier et al. (1997).

Pelarut tersebut bersifat polar, sehingga diharapkan dapat menarik apigenin dari

seledri. Apigenin bersifat polar karena mengandung gugus OH, maka memiliki

kelarutan yang tinggi pada alkohol hangat (Zamri, 2004).

4.3 Proses Pembuatan Effervescent dari Seledri

Bahan Fungsi Berat (dalam 1 tablet 1,5g)

Ekstrak padat seledri Bahan aktif 500mg

Asam sitrat monohidrat Sumber asam 205,57mg

Polivinilpirolidon (PVP) Pengikat tablet,

lubrikan

3% +2% 45mg + 30mg=

75mg

Page 19: Selaidri (Selai seledri)

19

Asam tartrat Sumber asam 219,15mg

Sukrosa Pengisi, pemanis 15% 225mg + hingga

100%

Natrium bikarbonat Sumber karbondioksida 254,31mg

Bobot tablet effervescent 1500 mg

Fasa dalam 98% 98/100 x 1500 mg = 1470 mg

Fase luar 2% (hanya lubrikan) 2/100 x 1500 = 30 mg

Fasa dalam terdiri dari zat aktif, asam, basa, pengikat dan pengisi :

Bobot asam dan basa 1470 mg – (500+75+225) = 670 mg

Asam sitrat monohidrat BM : 210.14

Bilangan ekivalen : 3

Bobot ekivalen : 210.14 / 3 = 70.04

Asam Tartrat BM : 150.09

Bilangan ekivalen : 2

Bobot ekivalen : 150.09/2 = 75.05

Natrium bikarbonat BM : 84.01

Bilangan ekivalen : 1

Bobot ekivalen : 84.01/1 = 84.01

Total bobot ekivalen : 70.04 + 75.05 + 84.01 = 229.1 mol ekivalen

229.01 mol ekivalen = 670 mg

Mol ekivalen =2,92

Jumlah Asam sitrat monohidrat = 70.04 x 2,92 = 205.57 mg

Jumlah asam tartrat = 75.05 x 2,92= 219.15 mg

Jumlah Natrium bikarbonat = 84.01 x 2,92 = 245,31 mg

Proses pembuatan tablet dilakukan dengan cara granulasi kering. Cara ini paling

umum digunakan karena menghasilkan granul-granul yang mempunyai sifat-sifat

yang dibutuhkan untuk pencetakan tablet dan tablet yang dihasilkan biasanya

kompak (Kurniawati, 2009). Pertama-tama, PVP dilarutkan dalam sedikit etanol.

Page 20: Selaidri (Selai seledri)

20

Ekstrak padat seledri, asam sitrat monohidrat, asam tartrat, natrium bikarbonat dan

sukrosa dimasukkan ke dalam lumpang dan digerus hingga homogeny kemudian

ditambah larutan PVP sedikit demi sedikit sambil digerus. Digranulasi dengan

ayakan mesh 14. Granulat dikeringkan pada lemari pengering pada suhu 40°C

pada lemari pengering, ditimbang, ditambah sisa PVP murni 3% kemudian

dicetak dengan berat 1500mg per tablet.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Apigenin dapat menghambat proses inflamasi sistemik pada lupus melalui

penekanan aktivasi NF-kB

2. Seledri diekstrak menggunakan campuran metanol:air (5:4) dan diuji kualitatif

menggunakan reagen campuran Mg, alkohol klorhidrat dan amil alkohol

3. Tablet effervescent dibuat dengan metode granulasi basah.

5.2 Saran

1. Perlu diadakan uji klinis pada manusia untuk menentukan dosis yang tepat

penggunaan apigenin untuk terapi SLE

2. Perlu adanya uji in vivo dan in vitro terhadap sediaan yang diusulkan

DAFTAR PUSTAKA

Agromedia. 2008. Memanfaatkan Pekarangan untuk Tanaman Obat Keluarga.

Jakarta: Agromedia Pustaka.

Asri, Aswiyanti. 2004. Pengaruh Pemberian Perasan Seledri terhadap Aktivitas

Proliferasi Sel, Indeks Apoptosis, dan Perubahan Histopatologi Mukosa

Page 21: Selaidri (Selai seledri)

21

Kolon Wistar. Tesis. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas

Diponegoro.

Crozier A, Jensen E, Lean MEJ, Mc Donald MS. 1997. Quantitative Analysis of

the Flavonoids Content of Commercial Tomatoes, Onions, Lettuce, and

celery. J Agric Food Chem 45: 590–593.

Dalimartha, Setiawan. 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 2. Jakarta:

Trubus Agriwidya.

Frankee A, Custer LJ, Arakaki C, Murphy SP. 2005. Vitamin C and Flavonoid

Levels of Fruits and Vegetables Consumed in Hawai. J Food Composition

Anal 17: 1-35.

Harmanto, Ning. 2005. Mengusir Kolesterol Bersama Mahkota Dewa. Jakarta :

Agromedia Pustaka.

Harmanto, Ning. 2007. Jus Herbal Segar dan Menyehatkan. Jakarta : Elex Media

Komputindo.

Helmi, Luthfi. 2008. Manifestasi Systematic Lupus Erythematosus pada Paru.

Jurnal Kedokteran Nusantara. Volume 41 (1): 65.

Ismawati, Euis. 2002. Perikehidupan Seledri. Tasikmalaya: Program Studi

Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Siliwangi.

Kang, Hee-Kap, Diane Ecklund, Michael Liu and Syamal K Datt. 2009. Apigenin,

A Non-Mutagenic Dietary Flavonoid, Suppresses Lupus by Inhibiting

Autoantigen Presentation for Expansion of Autoreactive Th1 and Th17

Cells. Journal of Arthritis Research. Volume 11: 1-13.

Kurniawati, Sri. 2009. Pengaruh apenambahan Polisorbat 80 terhadap Waktu

Hancur dan Disolusi Tablet Dimenhidrinat Dibuat Secara Granulasi

Basah. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Page 22: Selaidri (Selai seledri)

22

Krause, Julia dan Jorg Breitkreutz. 2008. Improving Drug Delivery in Pediatric

Medicine. Journal of Pharmaceutical Medicine. Volume 22 (1) : 41-50.

Liang, Yu-Chih, Ying Tang Huang, Shu-Huei Tsai, Shoei-Yn Lin-Shiau, Chieh-

Fu Chen dan Jen-Kun Lin. 1999. Suppression of Inducible

Cyclooxygenase and Inducible Nitric Oxide Synthase by Apigenin and

Related Flavonoid in Mouse Macrophage. Journal of Carcinogenesis.

Volume 20 (10): 1945-1952.

McHugh, N. J. MHC Class II, Tumour Necrosis Factor α, And Lymphotoxin α

Gene Haplotype Associations with Serological Subsets of Systemic Lupus

Erythematosus. Extended Report. Volume 65: 488-494.

Putri, Bina Listyari. 2006. Analisis Diosmin dan Protein Tanaman Seledri (Apium

graveolens L) dari Daerah Cipanas dan Ciwidey. Skripsi. Bogor:

Program Studi Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor.

Rowe, Raymond C., Paul J. Sheskey dan Marian E Quinn. 2009. Handbook of

Pharmaceutical Excipients 6th

Ed. USA :Pharmaceutical Press.

Rukmana, Rahmat. 1995. Bertanam Seledri. Yogyakarta: Kanisius.

Sudarsono, Pudjoanto, A., Gunawan, D., Wahyuono, S., Donatus, I. A., Drajad,

M., Wibowo, S.,dan Ngatidjan, 1996. Tumbuhan Obat, Hasil Penelitian,

Sifat-sifat dan Penggunaan. Yogyakarta: Pusat Penelitian Obat Tradisional UGM.

Sunarjono. 2003. Bertanam 30 Jenis Sayur. Jakarta : Penebar Swadaya.

Page 23: Selaidri (Selai seledri)

23

Tonam, Yuda Turana, dan Fachrida L. Moeliono. 2007. Manifestasi Neurologik

pada Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Wijayanti, R. 2011. Pelatihan. Keterampilan Dasar Emotional Support” Pada

Volunteer Care For Lupus Di Yayasan Syamsi Dhuha Bandung. Skripsi

tidak diterbitkan. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Zamri, Rahma Juwita. 2008. Validasi Metode Penentuan Kadar Apigenin dalam

Ekstrak Seledri dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Skripsi. Bogor:

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian

Bogor.

Page 24: Selaidri (Selai seledri)

24

Page 25: Selaidri (Selai seledri)

25

Page 26: Selaidri (Selai seledri)

26