Download - RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-QUR'AN
MOHAMAD SAOFI
DALAM TAFSIR AL-QUR'ANDALAM TAFSIR AL-QUR'ANDALAM TAFSIR AL-QUR'AN(STUDI TERHADAP S RAH Y SUF (STUDI TERHADAP S RAH Y SUF Û ÛÛ Û
Î ÎDALAM KITAB TAFS R DALAM KITAB TAFS R AL-TABARI IBNU KATSÎRAL-TABARI IBNU KATSÎR DAN ) DAN )
(STUDI TERHADAP S RAH Y SUF Û Û ÎDALAM KITAB TAFS R
AL-TABARI IBNU KATSÎR DAN )
DELEGITIMASI DELEGITIMASI DELEGITIMASI RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂTRIWAYAT ISRÂÎLIYYÂTRIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT
Kisah dalam al-Qur'an dihadirkan hanya sepintas saja,
hal ini membuat para mufassir kesulitan untuk menjelaskannya
dari aspek sejarah, terutama untuk menyebutkan nama-nama
tokoh yang berperan dalam kisah tersebut serta saat berupaya
untuk membahas kisah tersebut dengan lebih mendetail dan
komprehensif. Sebab itulah para mufassir mengutip
keterangan tambahan dari ahli kitab selaku kaum yang
memiliki hubungan erat dengan kisah yang disebutkan di
dalam al-Qur'an. Persinggungan antara mufassir dan
keterangan ahli kitab ini yang kemudian melatar belakangi
masuknya cerita isrâîliyyât dalam khazanah tafsir al-Qur'an.
Melihat bagaimana dampak tafsir al-Qur'an yang
memuat riwayat isrâîliyyât terhadap perilaku keberagamaan
muslim, maka perlu dipertanyakan kembali kualitas, posisi
serta urgensitas riwayat isrâîliyyât sebagai salah satu sumber
sah dalam menafsirkan al-Qur'an.
Buku ini mencoba menguraikan kualitas, posisi dan
urgensitas riwayat Isrâîliyyât dalam konteks sebagai sumber
rujukan tafsir dalam kitab tafsir al-Tabari dan Ibnu Katsîr.
Fokus pembahasan dalam buku ini adalah cerita isrâîliyyât
tentang nama istri, ketergodaan dan pernikahan Nabi Yûsuf.
Semoga buku ini memberikan manfaat dan keberkahan untuk
kita semua. Âmîn
DALAM TAFSIR AL-QUR'AN(STUDI TERHADAP SÛRAH YÛSUF DALAM KITAB TAFSÎR AL-TABARI DAN IBNU KATSÎR)
DELEGITIMASI RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT
MO
HAM
AD
SA
OFI
DALA
M TA
FSIR AL-Q
UR'AN
DALA
M TA
FSIR AL-Q
UR'AN
DALA
M TA
FSIR AL-Q
UR'AN
DELEG
ITIMA
SI
D
ELEGITIM
AS
I
RIW
AY
AT IS
RÂ
ÎLIYY
ÂT
RIW
AY
AT IS
RÂ
ÎLIYY
ÂT
DELEG
ITIMA
SI
R
IWA
YA
T ISR
ÂÎLIY
YÂ
T
DELEGITIMASI RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM TAFSIR AL-
QUR’AN (STUDI TERHADAP SURAH YÛSUF DALAM KITAB
TAFSIR AL-THABARI DAN IBN KATSÎR)
Tesis
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Agama (M.Ag)
Oleh :
Mohamad Saofi
NIM : 21160340000002
ISBN : 978-623-94368-0-3
PROGRAM MAGISTER ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISALAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441H/2020M
vi
ABSTRAK
Mohamad Saofi, Delegitimasi Riwayat Isrâîliyyât Dalam Tafsir Al-
Qur’an : Studi Terhadap Surah Yusuf Dalam Kitab Tafsir Al-
Thabari Dan Ibn Katsir, 2020
Tesis ini mengkaji tentang riwayat Isrâîliyyâat dalam kitab tafsir al-
Tabari dan Ibn Katsîr. Kedua tafsir ini bercorak bi al-ma’tsûr, akan tetapi
keduanya memiliki padangan yang berbeda tentang bagaimana
memperlakukan riwayat Israiliyyat sebagai sumber penafsiran. Al-Tabari
merupakan mufassir yang menerima riwayat Israiliyyat dengan seleksi
yang cukup longgar. Sedangkan Ibn Katsîr termasuk mufassir yang
menerimanya dengan seleksi yang cukup ketat.
Dalam tesis ini penulis membahas tentang riwayat Isrâîliyyâat pada
surah Yusûf yang terfokus pada pembahasan tentang nama istri al-„Azîz,
ketergodaan Nabi Yûsûf dan pernikahan Nabi Yûsûf.
Tesis ini menjawab pertanyaan bagaimana kualitas riwayat
Israiliyyat di dalam tafsir al-Tabari dan Ibn Katsîr dalam surah Yûsûf?
Dan bagaimana posisi dan urgensitas riwayat Israiliyyat dalam konteks
sebagai sumber rujukan tafsir dalam kedua tafsir tersebut? Dengan
menggunakan metode diskriptif analitis, penulis menjawab pertanyaan
penelitian tersebut melalui pencarian data kepustakaan, lebih khusus kitab
tafsir tafsir al-Tabari dan Ibn Katsîr. Selain itu, penulis juga mencari kitab
tafsir, buku, dan artikel yang relevan dengan penelitian ini. Selanjutnya,
penulis menafsir data-data yang terkumpul secara analitis menggunakan
pengumpulan sejumlah unit-unit pada analisis.
Kajian ini menemukan beberapa poin: Temuan pertama,
Berdasarkan kajian riwayat bahwa penamaan istri al-„Azîz, ketergodaan
dan pernikahan Nabi Yûsûf dapat dipastikan keotentikan riwayat tersebut
tidak bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan teori al-Jarh wa al-Ta’dîl.
Temuan kedua, Dalam kajian seputar posisi al-Tabari dan Ibn Katsîr
terhadap riwayat isrâîliyyât, al-Tabari cenderung lebih longgar saat
mencantumkan riwayat isrâîliyyât dalam tafsirnya. Sedangkan Ibn Katsîr
begitu mempertimbangkan kualitas sanad dan kesesuaian dengan syarî‟at
Islam dalam tafsirnya. Temuan ketiga, Kajian seputar urgensitas adanya
riwayat isrâîliyyât sebagai sumber penafsiran bagi para mufassir
setidaknya bermuara dalam 3 hal yaitu riwayat isrâîliyyât sebagai
pelengkap sejarah, sebagai upaya akulturasi budaya antar agama dan
sebagai kritik atau kajian mufassir sebelumnya.
Kata Kunci: Israiliyyat, Yusûf dan Tafsir
vii
ABSTRACT
Mohamad Saofi, Delegitimation of the History of Israel in the
Interpretation of the Qur'an: Study of Surah Yûsûf in the Book of
Tafsir Al-Tabari Dan Ibn Katsîr, 2020
This thesis discusses about the history of Isrâîliyyâat in the book of
al-Tabari and Ibn Kathir. Both of these interpretations are patterned bi al-
ma’tsûr, but both have different views about how to treat the history of
Isrâîliyyâat as a source of interpretation. Al-Tabari was a commentator
who accepted the history of Isrâîliyyâat with a fairly loose selection.
While Ibn Katsîr was a mufassir who received it with a fairly strict
selection.
In this thesis, the author discusses the history of Isrâîliyyâat in Surah
Yûsûf focusing on the discussion of the name of al-ziz wife, the
compulsion of the Prophet Yûsûf and the marriage of the Prophet Yûsûf.
This thesis answers the question of how is the quality of the history
of Isrâîliyyâat in the interpretation of al-Tabari and Ibn Katsîr in surah
Yûsûf? And what is the position and urgency of the history of Isrâîliyyâat
in context as a source of reference for interpretation in both
interpretations? By using the discriptive-anality method, the researcher
answers question of the research with searching data of library, especially
book al-Tabari and Ibn Katsîr. Bisides, the researcher searches for
exegesis books, books, and article that are relevant with this research.
After that, the researcher analyzes the datas and discusses them.
This research finds some points: The first result, Based on historical
studies that the naming of al-„Azîz's wife, the composure and marriage of
the Prophet Yûsûf can be ascertained the authenticity of the history cannot
be justified based on al-Jarh wa al-Ta’dîl theory. The second result, In a
study of the position of al-Tabari and Ibn Katsîr on the history of
Isrâîliyyâat, al-Tabari tends to be more lenient when including the history
of Isrâîliyyâat in his interpretation. While Ibn Katsîr so consider the
quality of sanad and conformity with the Islamic shari'ah in his
interpretation. The third result, the study of the urgency of the history of
isrâîliyyât as a source of interpretation for the commentators at least leads
to three things, namely the history of isrâliyyât as a complement to history,
as an attempt at acculturation of cultures between religions and as a
critique or previous mufassir study.
Key Word : isrâliyyât, Yûsûf and Exegesis
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah Swt., Tuhan
semesta alam yang telah memberikan rahmat serta kasih sayang-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat serta salam
semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad Saw.
pembawa kebenaran dan petunjuk bagi umat manusia. Al-Hamd li Allâh,
dengan berbagai kesulitan yang penulis hadapi dalam penyelesaian tesis
ini, akhirnya berkat ridha dan inayah Allah Swt., semua kesulitan tersebut
dapat penulis lalui.
Dengan penuh ketulusan hati, penulis ucapkan terimakasih kepada
banyak pihak yang telah membantu serta ikut andil di dalam penyelesaian
tesis ini baik partner diskusi, motivator serta pihak-pihak lainnya.
Pertama, penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar
Lubis, Lc., M.A., kepada Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Yusuf Rahman, M.A., Ph.D., kepada jajaran pimpinan serta
para dosen pengajar Magister Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al
Munawar, MA, Prof. Hamdani Anwar, MA, Dr. Lilik Ummi Kaltsum,
MA, Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA, Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm, dan
beberapa dosen yang lain.
Kedua, dengan penuh rasa hormat, penulis sampaikan rasa
terimakasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr.
Bustamin, SE, M.Si dan Dr. Sandi Santosa, M.Si, selaku pembimbing
yang dengan kesabaran dan ketelitiannya banyak sekali memberikan
masukan-masukan yang berharga kepada penulis demi berkualitasnya
karya ini.
ix
Ketiga, penulis juga berkewajiban mengucapkan terimakasih yang
setulus-tulusnya kepada ibunda tercinta Sahriah serta ayahanda tercinta
Marsun, yang tak pernah letih memberikan motivasi serta kasih sayang
yang tulus kepada penulis. Selain itu, kepada istri tercinta Siti Humairoh
yang menyertai terselesainya karya ini. Begitujuga kepada anak tercinta
Ahmad Dzawil Hilmi Asshofi, yang kadang kurang perhatian karena
terlalu sibuk dengan pekerjaan dan penulisan tesis ini, semoga menjadi
anak yang sholeh dan bermanfaat bagi Agama, Nusa dan Bangsa. Amin.
Keempat, tak ketinggalan penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman seperjuangan di program magister ini yang selalu
memberikan semangat kepada penulis dalam penyelesaian studi di
Program Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mereka itu: Habib
Husein Ja‟far Al-Hadar, Hasiolan, Khalilullah, Attabik Hasan Ma‟ruf,
Muhammad Najib, Muhammad Hanif, Jalaluddin, Saiful Arif, Apriadi
Fauzan, Zainurrahman, Aryadillah, Abdul Syukur, Fachri dan Reva.
Akhirnya, seraya mengharap ridha Allah, penulis persembahkan
karya ini kepada mereka yang memiliki perhatian terhadap kajian
keislaman, disertai harapan semoga dengan hadirnya karya ini dapat
memberikan kontribusi dan manfaat dalam memperkaya wawasan
intelektual, khususnya bagi perkembangan khazanah Ulûm al-Qur’ân.
Jakarta, 8 Juli 2020
Mohamad Saofi
x
DAFTAR ISI
PERNYATAAN .................................................................................... iii
PENGESAHAN PEMBIMBING ........................................................ iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ..................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................. vi
KATA PENGANTAR .......................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................... x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ............................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ........... 10
C. Tujuan Penelitian ............................................................ 11
D. Manfaat Penelitian .......................................................... 12
E. Telaah Pustaka ................................................................ 13
F. Metodologi Penelitian ..................................................... 19
G. Sistematika Pembahasan ................................................. 23
BAB II ISRÂÎLIYYÂT DALAM BINGKAI TAFSIR AL-QUR’AN
A. Pengertian Isrâîliyyât ...................................................... 26
B. Sejarah Masuknya Isrâîliyyât ke dalam Tafsir al-Qur‟an
serta Dampak Negatifnya ................................................ 28
C. Macam-macam Isrâîliyyât serta Hukum Periwayatannya
dalam Tafsir al-Qur‟an .................................................... 37
D. Kitab-Kitab Tafsir yang Menggunakan Riwayat Isrâîliyyât
......................................................................................... 43
xi
BAB III RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT DALAM KITAB TAFSÎR AL-
TABARI DAN IBN KATSÎR
A. Profil Kitab-Kitab Tafsîr yang Menggunakan Riwayat
Isrâîliyyât dan Biografi Pengarangnya............................ 47
1. Tafsîr al-Tabari ......................................................... 47
2. Tafsîr Ibn Katsîr ........................................................ 65
B. Riwayat-Riwayat Isrâîliyyât dalam Kitab Tafsîr al-Tabari
dan Ibn Katsîr serta Komparasinya dengan Kitab-Kitab
Tafsir Lain ....................................................................... 73
1. Nama Istri al-„Azîz dalam Sûrah Yûsuf Ayat 21 ..... 73
2. Ketergodaan Nabi Yûsuf dalam Sûrah Yûsuf Ayat 24
................................................................................. 79
3. Pernikahan Nabi Yûsuf dalam Sûrah Yûsuf Ayat 56
................................................................................. 85
BAB IV VALIDITAS, POSISI DAN URGENSI RIWAYAT
ISRÂÎLIYYÂT
A. Kajian Kritik Sanad dan Matan Riwayat Isrâîliyyât dalam
Tafsîr al-Tabari dan Ibn Katsîr ....................................... 91
1. Kritik Sanad dan Matan seputar Nama Istri al-„Aziz
dalam surah Yûsuf Ayat 21 ..................................... 91
a. Kritik Sanad ....................................................... 91
b. Kritik Matan ....................................................... 104
2. Kritik Sanad dan Matan seputar Ketergodaan Nabi
Yûsuf As. dalam Surah Yûsuf Ayat 24 .................... 104
a. Kritik Sanad ....................................................... 104
b. Kritik Matan ....................................................... 116
xii
3. Kritik Sanad dan Matan seputar Pernikahan Nabi
Yûsuf dalam Surah Yûsuf Ayat 56 .......................... 116
a. Kritik Sanad ....................................................... 116
b. Kritik Matan ....................................................... 117
B. Posisi Riwayat Isrâîliyyât sebagai Sumber Penafsiran al-
Qur‟ân ............................................................................. 118
1. Posisi Riwayat Isrâîliyyât sebagai Sumber Penafsiran
al-Qur‟ân dalam Tafsîr al-Tabari ............................. 118
2. Posisi Riwayat Isrâîliyyât sebagai Sumber Penafsiran
al-Qur‟ân dalam Tafsîr Ibn Katsîr ........................... 122
C. Urgensitas Riwayat Isrâîliyyât terhadap Tafsîr al-Qur‟ân
......................................................................................... 125
1. Pelengkap Sejarah .................................................... 126
2. Perpaduan Tsaqâfah ................................................. 127
3. Mengkaji Ulang Mufassir Sebelumnya ................... 129
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 131
B. Saran ............................................................................... 133
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 134
xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara
latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B be ب
T te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H h dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
D de dengan garis di bawah ض
T te dengan garis di bawah ط
Z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
xiv
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ‟ ء
Y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A fathah
I kasrah
U dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i ي…
Au a dan u و…
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dengan topi di ـآ
xv
atas
Î i dengan topi di ـي
atas
Û u dengan topi di ـو
atas
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf “l”, baik diikuti huruf
syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
dîwân bukan ad-dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah
itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah,
demikian seterusnya.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bagi orang Islam, al-Qurân diyakini bukan sebagai buku sejarah,
melainkan kitab yang berisi pedoman hidup bagi orang-orang yang
bertakwa.1 Meski demikian, di antara ribuan ayat dalam al-Qurân ada
bagian dimana kisah maupun sejarah mendapat porsi yang banyak
untuk diceritakan. Ayat-ayat yang memuat unsur sejarah dalam al-
Qurân tertulis dengan cara yang berbeda-beda: adakalanya terkisah
utuh dalam satu surah, ada pula yang tersebar dalam surah yang
berbeda-beda. Perbedaan itu semakin menampakkan betapa al-Qurân
memiliki beragam variasi dalam hal menghadirkan kisah-kisah masa
lalu melalui lantunan-lantunan ayatnya.
Kata qahas disebutkan setidaknya sebanyak empat kali dalam al-
Qurân.2 Selain itu, kata tersebut juga menjadi salah satu nama sûrah
1 Sebagaimana tercantum dalam Sûrah al-Baqarah (2): 2.
2 Yakni terdapat pada:
Sûrah Ali „Imran (3): 62
لق ٱللصصٱهذالىيإن ٱونانوإلهإل لل ٱوإن ٦٢لهيمٱلعزيزٱلىيلل Sûrah al-A‟râf (7):176
رونللصصٱكصصٱف ١٧٦لعل ىميتفه Sûrah Yusuf (12): 3
حسونوعليمأ وحيناإلمهذاللصصٱنلص
لهوۦوإنننتنوقبلهللرءانٱبهاأ
٣لغفليٱdan surâh al-Qasas (28): 25
اجاءه عليهۥفله لهيٱلليمٱكاللتفنيتنوللصصٱوكص ٢٥لظ Lihat, Muhammad Fuâd „Abd al-Bâqî, Mu‟jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur‟ân
al-Karîm, cet. ke-2 (Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, 2003), hlm. 753.
2
dalam al-Qurân, yakni surah ke-28. Hal itu menunjukkan bahwa kisah-
kisah tentang manusia di masa lalu dalam al-Qurân mendapat perhatian
tersendiri.
Para peneliti al-Qurân mendefinisikan kisah dalam al-Qurân
sebagai pemberitaan mengenai kisah-kisah umat terdahulu, kisah para
Nabi, serta beragam peristiwa yang terjadi di masa lampau, masa kini,
maupun masa yang akan datang dengan cara yang menarik dan
memesona.3 Al-Qattan menjelaskan bahwa makna dasar kata qasas
adalah mengikuti jejak. Sedangkan kata qissah bermakna perkara,
berita, keadaan dan kondisi. Adapun qasas dalam al-Qurân ia
definisikan sebagai pemberitaan al-Qurân terhadap keadaan umat-umat
terdahulu, nabi-nabi terdahulu, serta segala kejadian yang terjadi pada
mereka.4
Hingga hari ini, para pemikir berbeda pendapat mengenai nyata
atau tidaknya kisah-kisah yang ada dalam al-Qurân. Berbeda halnya
dengan jumhur ulama‟ yang berpandangan bahwa setiap kisah dalam
al-Qurân adalah haqq (benar)5, beberapa tokoh muslim modern semisal
3 Muhammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Qur‟an: Praktis dan Mudah, cet.
ke-1(Yogyakrta: Penerbit Teras, 2013), hlm. 131. Hal senada dengan redaksi bahasa yang
nyaris sama juga bisa ditemui di Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi‟i, Ulumul Qur‟an II,
cet. ke-1 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), hlm. 27. Bandingkan dengan, Mannâ‟
Khalîl al-Qatthân, Mabahits fî „Ulum al-Qurân (Maktabah al-Ma‟ârif, 2000), hlm. 436.
4 Mannâ‟ Khalîl al-Qatthân, Mabahits fî „Ulum al-Qurân, hlm. 316. Lebih lanjut
al-Qattan membagi kisah dalam al-Qur‟an ke dalam tiga bagian: 1) kisah tentang para
Nabi dalam aspek dakwah mereka dan bagaimana respon kaumnya terhadap dakwah
tersebut; 2) kisah tentang kejadian atau kelompok yang masih samar dan belum pasti
ketetapannya, seperti kisah ashâbul kahfi; dan 3) kisah-kisah yang terjadi pada masa Nabi
Muhammad SAW, seperti tentang perang-perang pada masa Nabi. Lihat Al-Qattan,
Mabahits fî „Ulum al-Qurân, hlm. 317.
5 Sebagaimana tercantum dalam surah al-Kahfi (18): 13
و ن ومبعليمنبأ ١٣إن ىمفتيةءاننيابربىموزدنىمودىلق ٱنلص
3
Muhammad Abduh, Muhammad Ahmad Khalafullah serta beberapa
pemikir lain menganggap bahwa tidak semua kisah dalam al-Qurân
dapat dibuktikan kebenarannya. Muhammad Abduh berpandangan
bahwa kisah-kisah dalam al-Qur‟an hanya sebagai tamtsil
(perumpamaan) saja, sedangkan Muhammad Ahmad Khalafullah lewat
disertasinya, al-Fann al-Qasas fî al-Qurân al-Karîm, berpandangan
bahwa kisah-kisah dalam al-Qur‟an hanya ihtilâq (rekayasa) belaka.
Hal itu seolah mengindikasikan bahwa kisah-kisah dalam al-Qurân
hanyalah cerita fiktif belaka (al-Qissah al-Khayâliyyah).6
Terlepas dari perdebatan di atas, kedua kubu memiliki titik
persamaan bahwa kisah maupun sejarah yang tercantum dalam al-
Qurân tidak pernah terlepas dari pelajaran-pelajaran baik tentang
akidah, syari‟ah maupun akhlaq. Setiap kisah yang terangkum dalam
al-Qur‟an hampir pasti memiliki pesan-pesan tersirat yang erat
kaitannya dengan tiga hal tersebut.7 Hal ini, menurut hemat penulis,
merupakan cara unik Allah untuk memberikan petunjuk pada manusia
dengan cara yang berbeda selama kisah-kisah yang ada dalam al-Qurân
Artinya: Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan
sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan
mereka, dan kami tambahkan petunjuk kepada mereka.
Surah al-Qasas (28): 3
وفرعينب ٣لليميؤننينلقٱنتلياعليمنون بإميسArtinya: Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir‟aun
dengan sebenarnya untuk orang-orang yang beriman.
dan Surah Ali Imran (3): 62
لق ٱللصصٱهذالىيإن ٱونانوإلهإل لل ٱوإن ٦٢لهيمٱلعزيزٱلىيلل Artinya: Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar. Tidak ada Tuhan selain
Allah, dan sungguh Allah maha perkasa lagi maha bijaksana. 6 Dikutip oleh Fathurrosyid, Semiotika Kisah al-Qurân; Membedah Perjalanan
Religi Raja Sulaiman dan Ratu Balqis (Surabaya: Penerbit Buku Pustaka Radja, 2014),
hlm. 8.
7 Kadar M. Yusuf, Studi al-Qurân, cet. ke-1 (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 175.
4
tersebut tidak sekadar dinikmati untuk didengarkan saja, namun juga
dipikirkan pesan-pesan moral yang ada di dalamnya.8
Oleh karena kisah-kisah dalam al-Qurân hanya dihadirkan sepintas
saja, maka hal tersebut membuat mufassir kesulitan untuk
menjelaskannya dari aspek sejarah, terutama untuk menyebutkan nama-
nama tokoh yang berperan dalam kisah itu serta saat berupaya untuk
membahas cerita-cerita itu dengan lebih mendetail dan komprehensif.
Sebab itulah para mufassir mengutip keterangan tambahan dari ahli
kitab selaku kaum yang memiliki hubungan erat dengan kisah-kisah
yang disebutkan di dalam al-Qurân. Persinggungan antara mufassir dan
keterangan ahli kitab ini yang kemudian melatar belakangi masuknya
cerita israiliyat dalam khazanah tafsir al-Qurâ‟an.9
Cerita israiliyat diartikan oleh al-Dzahabî sebagai cerita-cerita
yang mayoritas berasal dari orang-orang Yahudi yang mana segala
cerita itu muncul dari sumber-sumber agama Yahudi seperti halnya
kitab Talmud ataupun cerita-cerita yang diceritakan secara turun-
temurun oleh orang-orang Yahudi.10
Al-Dzahabî menjelaskan bahwa
Israiliyyat mengandung dua pengertian, yaitu; pertama, kisah dan
dongeng kuno yang disusupkan dalam tafsir dan hadis yang awal
periwayatannya berasal dari Yahudi dan Nasrani atau yang lainnya.
Kedua, cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh
8 Sebagaimana firman Allah, al-A‟raf (7): 176
رونللصصٱكصصٱف ١٧٦لعل ىميتفه 9 Kadar M. Yusuf, Studi al-Qur‟an, hlm. 176.
10
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, cet. ke-4
(Mesir: Maktabah Wahbah, 1990), hlm. 13-14.
5
Islam ke dalam tafsir dan hadis yang tidak terdapat dalam sumber-
sumber terdahulu.11
Âmin al-Khulli, seperti dikutip oleh Muhammad Chirzin, menjelaskan
bahwa Israiliyyat adalah pembaruan kisah-kisah dari agama dan
kepercayaan bukan Islam yang masuk ke Jazirah Arab. Kisah-kisah
tersebut dibawa oleh orang-orang Yahudi yang sejak dulu berkelana ke
arah Timur Babilonia dan sekitarnya, dan ke arah Barat menuju Mesir.
Setelah mereka kembali ke negara asal, mereka membawa bermacam-
macam berita keagamaan yang mereka dapatkan dari negara-negara
yang mereka singgahi.12
Terlepas dari beberapa pendapat ulama terhadap pengertian
Israiliyyat, pada kenyataannya riwayat Israiliyyat digunakan oleh
sebagian ulama untuk menafsirkan al-Qurân. Bahkan sudah terjadi
sejak masa sahabat, di antara sahabat terkadang bertanya kepada Ahli
kitab tentang rincian cerita yang terdapat dalam al-Qurân. Namun
mereka tetap teliti dan hati-hati karena tidak semua cerita israiliyyat
tersebut sesuai dengan ajaran agama.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa baik kisah itu nyata atau
tidak, para ahli tafsir bersepakat bahwa ada nilai dan ajaran yang
tersirat dari kisah tersebut. hanya saja, para mufassir yang menyetujui
bahwa kisah tersebut nyata berusaha untuk mendapatkan penjelasan-
penjelasan mengenai detail kisah tersebut melalui riwayat israiliyyat.
Hal ini terutama terjadi di dalam kitab tafsir yang berorientasi pada
riwayat (bi al-ma‟tsûr) seperti yang dilakukan oleh al-Tabari dan Ibnu
Katsir. Konsekuensi dari masuknya riwayat-riwayat israiliyyat tersebut
11
Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, hlm. 15.
12
Muhammad Chirzin, al-Qur‟an dan Ulumul Qur‟an (Yogyakarta: Penerbit
Dana Bakti Prima Yasa, 1998), 78.
6
ke dalam dua kitab tafsir tersebut yang menjadi rujukan tafsir bagi
mayoritas muslim, terutama di Indonesia, memiliki pengaruh yang
cukup signifikan terhdap keberagamaan orang Islam.
Contoh kasusnya adalah bagaimana nama Zulaikha‟ begitu
tersohor sejak dulu sebagai istri al-„Azîz (raja) bernama Qitfir yang
pada akhirnya menjadi istri Nabi Yûsûf. Informasi ini sudah begitu
populer di kalangan masyarakat. Ia disampaikan berulang kali, baik
dari cerita para mubaligh, buku-buku kisah Nabi, terjemah al-Qur‟an,
bahkan buku-buku fiksi yang terang-terangan mencatut nama Yûsûf
dan Zulaikha‟ sebagai judul, seolah melegitimasi bahwa Zulaikha‟
merupakan nama dari istri Qitfir yang kelak menjadi istri Nabi Yûsûf.
Padahal kenyataannya (berbeda halnya dengan penyebutan nama Nabi
Yûsûf yang memang ada dalam al-Qur‟an13
) tidak ada satu kata pun
dalam al-Qur‟an yang menunjukkan bahwa nama istri al-„Azîz itu
adalah Zulaikha‟; nama al-„Azîz itu adalah Qitfir, serta ihwal
pernikahan Nabi. Nama Yûsûf dan Zulaikha‟ bahkan muncul tidak
hanya sebagai cerita melainkan sebagai do‟a dalam beberapa
kesemptan Walîmah al-„Urs dengan bahasa,
ن هما كما الفت ن هما بحبتك كما الفت ب ي آدم وحوى والف ب ي اللهم الف ب ي ب ين
سف وزلينخا د وخدية ي ون ن يا والآخرة وهب لما ومم رى وأصلح جعهما ف الد الكب
من لدنك رحة وق رة أعي واجعلهما من عبادك النافعي على دينك ولمصالح
ي ؤمني برحتك ي أرحم الراح
.الم
13
Sependek pengamatan penulis, nama Yûsûf diulang sebanyak 27 kali dalam al-
Qur‟an: sebanyak 25 kali diulang dalam surah Yûsûf dan dua sisanya disebutkan dalam
surah al-An‟âm (6): 84 dan surah al-Mu‟min/Ghâfir (40): 34. Lihat, Muhammad Fuâd
„Abd al-Bâqî, Mu‟jam al-Mufahras, hlm. 1051.
7
“Ya Allah, satukan mereka berdua (pengantin laki-
laki dan perempuan) dengan cinta-Mu, sebagaimana
Engkau satukan antara Nabi Âdam dan Hawa. Satukanlah
keduanya sebagaimana Engkau satukan Nabi Yûsûf dan
Zulaikha, Nabi Muhammad Saw dan Khâdijah al-Kubra.
Baikkanlah penyatuan keduanya di dunia dan akhirat,
berikanlah rahmat dan „penyejuk mata‟ kepada keduanya.
Jadikanlah keduanya hambam-Mu yang bermanfaat
terhadap agama-Mu dan kemaslahatan orang-orang yang
beriman, berkat rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Maha
Penyayang.” 14
Melihat bagaimana dampak tafsir al-Qurân yang memuat riwayat
Isriliyyat tersebut terhadap perilaku keberagamaan muslim, penulis
memiliki ketertarikan untuk mempertanyakan kembali urgensi riwayat
Israiliyyat sebagai salah satu sumber sah dalam menafsirkan al-Qurân.
Penulis akan meneliti dua kitab tafsîr bi al-ma‟tsûr, yaitu: kitab Tafsîr
al-Tabari dan Ibnu Katsir. Ada beberapa pertimbangan mengapa kedua
tafsir ini dipilih untuk diteliti. Pertama, dari aspek popularitas dan
pengaruhnya. Kedua tafsir tersebut adalah kitab tafsir yang menjadi
rujukan utama umat Islam untuk mempelajari kandungan al-Qur‟an,
terutama untuk kalangan muslim di Indonesia.
Kedua, dua tafsir tersebut sama-sama mengusung model tafsir bi
al-ma‟tsûr (tafsir yang menekankan aspek riwayah sebagai sumber
tafsir). Aspek ini menjadi pertimbangan penting, karena riwayat
Israiliyyat banyak sekali dijumpai dalam tafsir-tafsir bi al-ma‟tsûr.
Namun, sekalipun kedua tafsir ini bercorak bi al-ma‟tsûr, akan tetapi
keduanya memiliki pandangan yang berbeda tentang bagaimana
14
Teks doa ini bersumber dari salah satu artikel Alm. Prof. Dr. Ali Mustafa
Ya‟qub. Teks doa yang hampir sama dengan teks di atas bisa juga ditemui dalam, Santri
PPA. Latee, SKIA (Syarat-syarat Kecakapan Ibadah Amaliyah), cet. Ke-11 (Sumenep: A
Latee Press, 2013), hlm. 145-146 dan M. Ali Mukhtar, Cakrawala 2000 Qosidah &
Surat-surat Pilihan, cet. Ke-1 (Lamongan: Az Zahida Group, 2011), hlm. 588-589
8
memperlakukan riwayat Israiliyyat sebagai sumber penafsiran. Al-
Tabari merupakan mufassir yang menerima riwayat Israiliyyat dengan
seleksi yang cukup longgar. Sedangkan Ibnu Katsir termasuk mufassir
yang menerimanya dengan seleksi yang cukup ketat.
Sebagai contoh, al-Tabari menafsirkan ayat 8 surat Maryam yang
artinya: Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak
bagiku, Padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku
(sendiri) Sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua". Ayat
ini menjelaskan keraguan Nabi Zakaria tentang bagaimana ia akan
dikaruniai putra dalam usianya yang sudah lanjut. al-Tabari
menafsirkan ayat di atas “Telah diceritakan kepadaku tentang Nabi
Mûsa bin Harûn, dari Amr, dari Asbat?, dari Suda, ia berkata,
“Malaikat Jibril memanggil Nabi Zakaria dengan memberi kabar
gembira bahwa ia akan dikaruniai putra yang bernama Yahya yang
belum pernah diciptakan Allah. Ketika mendengar panggilan itu,
datanglah setan kepadanya dan berkata, “Wahai Zakaria! sesungguhnya
suara yang engkau dengar tadi bukan dari Allah, tetapi datang dari
setan yang memperdayamu.” Kemudian Nabi Zakaria menjadi ragu dan
berkata, “Bagaimana aku akan mendapatkan anak?”15
Menurut al-
Dzahabi, riwayat itu merupakan Israiliyyat, tetapi tidak dikritik oleh al-
Thabari sama sekali padahal jelas riwayat tersebut bertentangan dengan
al-Qur‟an. Bagaimana mungkin setan dapat menguasai hati Nabi
Zakariya sampai dia ragu terhadap wahyu Allah. Al-Dzahabî
menafsirkan bahwa ucapan Nabi Zakariya pada ayat di atas bukan
15
Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân Juz 18,
(Muassasah al-Risâlah, 2000), hlm. 149.
9
menandakan keraguan, tetapi kaget karena dia dan isterinya yang sudah
tua renta akan dikaruniai anak.16
Adapun contoh tafsir Ibnu Katsir adalah apa yang dia tafsirkan
pada huruf Qâf pada ayat pertama surah Qâf. Ia menafsirkannya
sebagai salah satu huruf hijaiyah yang terdapat pada awal surat di
dalam al-Qur‟an sebagaimana huruf nûn, alif lâm mîm, dan lain-lain.
Beliau juga mengutip riwayat sebagian ulama salaf yang mengatakan
bahwa Qâf di sini adalah gunung yang meliputi semua bumi, gunung
ini disebut dengan gunung Qâf. Namun kemudian beliau mengkritik
bahwa penafsiran ini merupakan penyelewengan Bani Isra‟il yang
dikonsumsi banyak orang. Beliau juga mengutip riwayat lainnya
dengan menyebutkan sanadnya yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu
Hâtim dari ayahnya, dari Muhammad bin Ismâ‟îl al-Makhzumî, dari
Laits bin Abû Salîm, dari Mujâhid, dari Ibnu „Abbas berkata, “Allah
menciptakan di balik bumi ini sebuah lautan yang meliputinya,
kemudian Allah ciptakan di belakang laut itu sebuah gunung yang
disebut dengan Qâf yang langit dan dunia ditegakkan di atasnya.
Kemudian Allah ciptakan di belakang gunung itu bumi sebanyak tujuh
kali. Lalu diciptakan lagi di belakangnya laut yang meliputinya,
kemudian Allah ciptakan gunung yang disebut dengan Qâf yang langit
kedua ditegakkan di atasnya. Begitulah seterusnya hingga semuanya
berjumlah tujuh lapis bumi, tujuh lautan, tujuh gunung, dan tujuh
langit.”17
Setelah menyebutkan riwayat ini beliau mengomentari bahwa
sanadnya inqitâ‟ (terputus). Riwayat ini bertentangan dengan riwayat
16
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyyat dalam Tafsir al-Thabari dan
Tafsir Ibnu Katsir (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 98.
17
Ismâîl ibn Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm (tt: Dar Taibah li al-
Nasyr wa al-Tauzî‟, 1999), Juz 7, hlm. 394.
10
dari Ibnu „Abbas lainnya melalui Ibnu Abi Talhah bahwa Qâf pada ayat
ini adalah salah satu nama dari nama Allah.18
Pertimbangan ketiga adalah dalam rangka untuk mempertegas
kembali posisi riwayat Israiliyyat dalam konteks sumber tafsir al-
Qur‟an perlu menjadikan kitab tafsir bi al-ma‟tsûr sebagai objek
penelitian. Hal ini untuk melihat apakah sumber-sumber riwayat
tersebut dijadikan sebagai rujukan utama, sekunder ataupun tersier.
Kedua tafsir tersebut sudah mewakili tafsir bi al-ma‟tsûr yang
otoritatif. Adapun untuk sample riwayat Israiliyyatnya akan diambil
dari beberapa ayat dalam surat Yûsûf dengan mempertimbangakan
contoh kasus dampak riwayat Israiliyyat tersebut dalam keberagamaan
muslim sebagaimana digambarkan di atas.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis di sini
dapat membuat daftar permasalahan sebagai berikut:
a. Al-Qurân memuat banyak sekali ayat yang berisikan kisah-kisah.
Namun, secara doktrinal, al-Qurân dipahami sebagai kitab
pedoman hidup bukan sebagai kitab sejarah
b. Orang Islam berbeda pandangan dalam menyikapi kisah.
Sebagian menganggapnya fakta sejarah yang benar-benar terjadi.
Sebagian menganggapnya sebagai cerita fiktif yang berfungsi
sebagai perumpamaan.
c. Kedua kelompok sepakat, baik fakta atau fiktif, kisah dalam al-
Qur‟an memuat nilai dan ajaran yang bisa diterapkan umat Islam
saat ini.
18
Ismâil ibn Umar bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm, Juz 7, 394.
11
d. Kisah dalam al-Qur‟an diuraikan sepotong-sepotong dan tidak
lengkap.
e. Riwayat Israiliyyat masuk ke dalam tafsir dalam rangka
membantu pemahaman sejarah yang lebih detail.
f. Riwayat Israiliyyat banyak ditemukan di dalam kitab tafsir bi al-
ma‟tsûr, seperti tafsir al-Tabari dan Ibn Katsîr.
g. Salah satu contohnya adalah doa yang menggunakan nama Yûsûf
dan Zulaikhâ yang didasarkan pada riwayat Israiliyyat yang
bermasalah pada tafsir surah Yûsûf
2. Pembatasan Masalah
Untuk membuat penelitian ini lebih fokus, penulis akan
memberikan batasan terhadap pertanyaan rumusan masalah tersebut.
pertama, penelitian seputar kualitas akan dibatasi dengan cara kritik
sanad dan matan. Kedua, penelitian ini akan fokus pada tiga ayat
saja dalam surah Yûsûf yang bermuatan riwayat Isriliyyât. Ketiga
ayat tersebut yaitu ayat ke-21, 24 dan 56.
3. Perumusan Masalah
Dari beberapa masalah yang telah dideskripsikan di atas, penulis
kemudian merumuskan pertanyaan yang akan dijawab melalui
penelitian ini dengan dua pertanyaan:
a. Bagaimana kualitas riwayat Israiliyyat di dalam tafsir al-Tabari
dan Ibn Katsîr dalam surah Yûsûf?
b. Bagaimana posisi dan urgensitas riwayat Israiliyyat dalam
konteks sebagai sumber rujukan tafsir dalam kedua tafsir
tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan
rumusan masalah, sehingga secara uraian tujuannya adalah: Untuk
12
mengetahui riwayat-riwayai israiliyat tentang kisah hidup Nabi Yûsûf
yang digunakan dalam kitab Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân
dan Tafsir Ibn Katsîr.
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana kualitas riwayat-riwayat israiliyat
dalam surat Yûsûf dalam kitab tafsir al-Tabari dan Ibn Katsîr
2. Untuk mengetahui posisi dan urgensitas riwayat Israiliyyat dalam
konteks sumber tafsir dalam kedua kitab tafsir tersebut.
Adapun kegunaan penelitian ini diharapkan memberikan
sumbangsih akademik yang dapat memperkaya ilmu dan wawasan serta
memberikan informasi tentang riwayat isrâîliyyât dalam kitab tafsir al-
Tabari dan Ibn Katsîr. Selain itu, secara formal penelitian ini
digunakan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar
Magister dalam bidang tafsir pada Program Magister (S2) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan dan sumbangsih teoritis bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan sumbangsih praktis bagi kehidupan
sosial masyarakat. Maka dari itu, hasil penelitian ini akan sangat berguna
untuk:
1. Sumbangan Teoritis:
a. Para peneliti al-Qur‟an secara umum untuk dapat mengetahui
keabsahan riwayat-riwayat israiliyat.
b. Berkontribusi terhadap diskursus tentang urgensi riwayat
israiliyyat terhadap penafsiran al-Qur‟an yang cenderung stagnan
dan mengulang-ulang.
c. Para mahasiswa yang fokus membahas studi keislaman, terutama
jurusan Tafsir Hadits (yang belakangan berubah menjadi Ilmu al-
Qur‟an dan Tafsir) agar menambah wawasan akademik dalam hal
13
ilmu al-Qur‟an dengan fokus riwayat-riwayat israiliyat dalam
kitab tafsir.
2. Sumbangan Praktis:
a. Para peneliti al-Qur‟an, baik para intelektual muslim maupun
mahasiswa, agar lebih berhati-hati ketika berhadapan dengan
riwayat-riwayat israiliyat dalam kitab tafsir dengan cara diteliti
keabsahannya terlebih dahulu, terutama dalam konteks dakwah.
b. Individu atau instansi yang terlibat dalam penyebarluasan riwayat-
riwayat israiliyat yang belum jelas dan terbukti bersanad dha'if (lemah)
untuk menelaah kembali, mengoreksi ulang, serta (jika bisa)
memperbaiki kondisi yang ada.
c. Para masyarakat muslim secara keseluruhan agar tidak langsung
percaya bahkan mengimani begitu saja hal-hal yang berbentuk
cerita para Nabi yang bersumber dari riwayat israiliyat sebelum
riwayat cerita-cerita itu mendapat penelitian khusus untuk
membuktikan kebenarannya.
E. Telaah Pustaka
Sebagaimana lumrahnya sebuah penelitian, maka tentu diperlukan
adanya studi pendahuluan atas karya-karya maupun hasil penelitian
sebelumnya yang juga membahas hal yang mirip agar nantinya tidak
terjadi pengulangan dan penjiplakan. Telaah pustaka juga berguna
untuk menegaskan posisi penelitian yang sedang dijalankan dengan
penelitian-penelitian sebelumnya, serta untuk memperjelas sumbangsih
penelitian itu terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.
Berikut ini penulis akan jabarkan beberapa literatur maupun hasil
penelitian yang penulis temui, yang mana hal itu cukup mirip dengan
penelitian yang sedang penulis jalankan, serta perbedaan mendasar dari
hasil penelitian itu dengan penelitian ini:
14
1. Literatur-literatur tentang Qisshah (Cerita).
Cukup banyak penulis temui literatur-literatur yang membahas
tentang qisshah (cerita) dalam al-Qur‟an. Ada yang membahas kisah
dalam al-Qur‟an secara umum, ada pula yang mengkajinya dengan
menggunakan pisau penelitan dari berbagai macam bidang ilmu
pengetahuan.
Literatur yang membahas kisah dalam al-Qur‟an secara umum
bisa ditemui dalam al-Qissah fî al-Qur‟ân al-Karîm karya
Muhammad Sayyid Tantawi; Qasas al-Qur‟ân karya Muhammad
Nûr al-Dîn Alu Naufal; Qasas al-Qur‟ân karya Hamdi bin
Muhammad Nûr al-Dîn; al-Fann al-Qasas fî al-Qur‟ân al-Karîm
karya Muhammad Ahmad Khalafullah; Ma‟a Qisas al-Sâbiqîn fî al-
Qur‟ân karya Salâh „Abd al-Fattah al-Khalidî; al-Qurân wa al-Qisas
al-Haditsah karya M. Kâmil Hasan, dan kitab al-Jânib al-Fanny fî
Qasas al-Qur‟ân al-Karîm karya Muhammad „Umar Bahadziq.
Selain itu, penulis juga temui beberapa literatur yang lebih
fokus membahas tentang kisah dalam al-Qur‟an, semisal Qasas al-
Qur‟ân li al-Atfâl karya Muhammad „Ali Qutb, juga kitab Qasas al-
Anbiyâ‟ li al-Atfâl karya „Abdul Latif Ahmad „Asyur. Kedua buku
ini sama-sama membahas kisah dalam al-Qur‟an maupun kisah-
kisah para Nabi dengan segmentasi pembaca anak-anak.
Ada pula buku yang membahas kisah al-Qur‟an dengan pisau
analisis ilmu psikologi, sebagaimana terdapat dalam Sikulîjiyah al-
Qissah fî al-Qur‟ân karya Tihami Naqrah dan juga buku Tafsir
Psikologi: Pelajaran Hidup Surah Yusuf karya Dr. Fuad al-Aris.
Selain itu, masih ada lima buku lagi yang penulis temui yang
mana di dalamnya ditemui memaparkan tentang sejarah para Nabi,
yakni Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul karya Sâmi‟ bin „Abdullah
15
al-Maghlût yang diterjemahkan oleh Qasim Shalih, buku al-Qur‟an
dan Semut karya M. Amin Hidayat. MB., buku Kisah 25 Nabi dan
Rasul karya Rahimsyah AR., buku Kisah 25 Utusan Allah (Nabi dan
Rasul) karya Labib MZ dan Zainuddin Ali, serta buk Jejak-Jejak
Para Nabi karya Ali Fikri.
2. Literatur tentang Israiliyat.
Pertama di sini penulis akan menampilkan referensi utama yang
bersifat normatif yang berbicara masalah israiliyyat. Hanya ada
empat buku yang penulis dapati sejauh ini, yakni al-Israîliyyât wa
al-Mawdhû‟ât fî Kutub al-Tafsîr karya Muhammad Abu Syubbah;
al-Yahûdiyyah baina al-Masîhiyyah wa al-Islâm karya Muhammad
Husein al-Khalaf; al-Israîliyyât wa Atsâruhâ fî Kutub al-Tafsîr karya
Ramzi Na‟na‟ah serta al-Israîliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hâdîts karya
Husain Al-Dzahabî. Keempat buku yang telah penulis sebutkan
tersebut membahas pengaruh umat Yahudi dan Kristiani dalam
agama Islam serta membahas riwayat-riwayat israiliyat secara umum
yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir maupun hadits.
Literatur-literatur di atas berisi informasi normatif tentang
bagaimana seharusnya muslim menyikapi riwayat israiliyyat, yaitu
diterima, ditolak dan ditangguhkan. Sementara itu, untuk kajian
yang bersifat akademis penulis tampilkan beberapa tulisan yang
terkait.
Pertama, Artikel yang ditulis oleh Munirah ini menyimpulkan
sikap ulama dalam menggunakan riwayat Israiliyyat yang ia bagi ke
dalam tiga golongan. Pertama, ulama yang menerima riwayat
israiliyyat sebagai sumber rujukan. Masuk dalam kategori ini adalah
Muqâtil bin Sulaimân dan al-Tsa‟labî (menerima secara mutlak); al-
Baghawî dan al-Khâzin (menerima dengan kriteria yang longgar);
16
al-Tabari (menyertai sanad tanpa kritik kecuali di beberapa tempat).
Kedua, ulama yang menolak sepenuhnya. Golongan ini diwakili
oleh al-Alûsî, Muhammad Abduh, dan Râsyid Rida. Ketiga, ulama
yang menerima riwayat israiliyyat namun dengan kritik yang ketat.
Ibnu Katsîr dan Ibn Taimiyyah masuk dalam kategori ini.19
Posisi Muhammad Abduh dan Muhammad Râsyid Rida yang
dianggap sebagai tokoh yang menolak riwayat Israiliyyat ditegaskan
oleh skripsi yang ditulis oleh Ahmad Zaki Mubarok pada tahun 2004
ini. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa di dalam tafsir al-
Mannar keduanya tidak menggunakan riwayat israiliyyat dalam
menafsirkan al-Qur‟an. Adapun penjelasan tentang cerita masa lalu,
mereka lebih menggunakan informasi dari alkitab.20
Penelitian-penelitian lain terkait dengan riwayat isrâîliyyât
hanya bersifat deskriptif dengan mengambil contoh kasus yang
berbeda-beda dan dari kitab tafsir yang berbeda-beda pula. Namun,
kesimpulan akhir mereka tetap mengarah pada sikap mufassir
tersebut terhadap riwayat isrâîliyyât yaitu mereka akan menerima
yang sesuai dengan al-Qur‟an hadis, menolak yang bertentangan,
dan menangguhkan yang belum jelas. Hal ini misalnya bisa dilihat
dari tesis karya Suprapto yang berjudul Kisah-Kisah Israiliyyat
dalam Tafsir al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an Karya al-Qurtubi. Tesis
yang diterbitkan pada tahun 2016 berisi deskripsi tentang sikap al-
Qurtubi terhadap riwayat israiliyyat yang ia dapatkan. Sebagian ia
terima dan sebagian ia tolak.21
Di tempat lain ada skripsi dari Bahari
19
Munirah, “Kontroversi Penggunaan Kisah Israiliyyat dalam Memahami Ayat-
Ayat Kisah al-Qur‟an”, dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 16 No.2, 2017. 20
Ahmad Zaki Mubarok, Studi Analitis Pandangan Israiliyyat Rasyid Ridha
dalam Tafsir al-Mannar, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004. 21
Suprapto, Kisah-Kisah Israiliyyat dalam Tafsir al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an
Karya al-Qurtubi, Tesis IAIN Tulungagung, 2016.
17
Alwasi yang mendeskripsikan riwayat-riwayat israiliyyat tentnag
kisah Ashhabul Kahfi.22
Nur Alifah menulis sebuah skripsi yang
berjudul Israiliyyat dalam Tafsri al-Tabari dan Ibnu Katsîr pada
tahun 2010. Temuan penelitian ini adalah motivasi yang berbeda di
antara keduanya di dalam memasukkan riwayat israiliyyat. Al-
Tabari bertujuan untuk mengumuplkan data sejarah saja. Sedangkan
Ibnu Katsîr bertujuan untuk mengkritisi kualitas riwayat tersebut.23
Contoh lain adalah disertasi yang ditulis oleh Hamka Ilyas pada
tahun 2015 di UIN Alauddin Makassar menyebutkan bahwa ada
kemiripan antara riwayat israiliyyah dalam kitab-kitab tafsir (dalam
hal ini adalah kitab al-Thabari) dengan data yang terdapat di dalam
perjanjian lama dan perjanjian baru. Akan tetapi sikapnya terhadap
riwayat israiliyyat masih sama dengan mayoritas ulama yang
membagi sikapnya ke dalam tiga hal: diterima, ditolak, dan
didiamkan.24
Penelitian lain menyimpulkan bahwa riwayat Israiliyyat ini
berpengaruh terhadap penafsiran al-Qur‟an. seperti yang ditulis oleh
Nurul Hendra pada tahun 2005 yang berjudul Pengaruh Israiliyyat
terhadap Tafsir Ayat Tentang Penciptaan Adam.25
Penelitian ini
didukung oleh Malik Madany dalam disertasinya. Ia menyebutkan
22
Bahari Alwasi, Israiliyyat dalam Kisah Ashabul Kahfi, Skripsi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015.
23
Nur Alifah, Israiliyyat dalam Tafsri Ath-Thabari dan Ibnu Katsir (Sikap Ath-
Thabari dan Ibnu Katsir terhadap Penyusupan Israiliyyat dalam tafsirnya), Skripsi UIN
Syarif Hidayatullah jakarta, 2010.
24 Hamka Ilyas, Israiliyyat dalam Tafsir Jami' al-Bayan 'An Ta'wil Ay al-Qur'an
Karya al-Tabari (Kajian terhadap Kisah Para Nabi dan Rasul), Disertasi UIN Alauddin
Makassar, 2015.
25
Nurul Hendra, Pengaruh Israiliyyat terhadap Tafsir Ayat Tentang Penciptaan
Adam, Skripsi IAIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2005.
18
bahwa salah satu faktor dimasukkannya riwayat-riawyat israiliyyat
ke dalam penafsiran (dalam konteks ini adalah tafsir al-Jalalain yang
menjadi objek penelitiannya) sekalipun statusnya dhaif bahkan
maudhu‟ adalah karena waktu itu riwayat israiliyyat merupakan
gejala umum yang dilakukan oleh banyak mufassir sehingga
sekalipun al-Suyutî menulis tentang syarat-syarat diterimanya
riwayat israiliyyat, hal itu tidak ia implementasikan di dalam kitab
tafsirnya.26
Berbeda dengan tulisan ini, Syamsuni menyebutkan bahwa
riwayat Israiliyyat tidak mempengaruhi mufassir dalam memahami
ayat al-Qur‟an. Dengan kasus isu jender, ia menunjukkan bahwa
riwayat Israiliyyat yang dikutip oleh al-Thabari tidak
mempengaruhinya untuk bersikap bias terhadap perempuan. Ia
bahkan dinilianya sebagai mufassir yang liberal dan pro terhadap
jender dengan membolehkan perempuan menjadi imam shalat bagi
laki-laki dan menjadi hakim.27
Ada satu penelitian yang memberikan kesimpulan bahwa kajian
seputar israiliyyat penting untuk lebih digalakkan. Budiarto dalam
tesisnya yang berjudul The Concept of Israiliyyat in The
Interpretaion of Al Quran According to Adz Dzahabi, mengatakan
bahwa pembahasan tentang riwayat israiliyyat sangat penting
sekalipun di dalam kitab-kitab ulumul Qur‟an sangat sedikit dibahas
dibanding dengan isu-isu lain seperti asbab nuzul, nasikh-mansukh
dan lain-lain. Argumentasi yang dia ajukan yaitu, pertama, Islam
26
A. Malik Madaniy, Israiliyyat dan Maudhu‟at dalam Tafsir al-Qur‟an, Disertasi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.
27
Syamsuni, Israiliyyat dan Penafsiran Bias jender: Kajian tentang Isu
Penciptaan Perempuan dalam Tafsri al-Thabari, Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2009
19
dan al-Qur‟an sejak awal kemunculannya telah bersinggungan
dengan ahli kitab. Kedua, Islam harus menghindari takhayul yang
disebabkan oleh riwayat israiliyyat yang tidak valid.28
Berangkat dari kajian literatur di atas, di sini penulis memiliki
hipotesis bahwa riwayat israiliyyat tidak penting untuk menjadi
sumber penafsiran sehingga tidak perlu dikaji dalam ranah „ulumul
Qurân. Untuk membuktikan hipotesis ini, penulis menggunakan
data-data riwayat israiliyyat yang terdapat di dalam kitab Tafsîr at-
Tabari dan Ibnu Katsîr dengan alasan yang sudah disampaikan
sebelumnya. Dan di sini lah posisi penelitian ini di antara penelitian-
penelitian lain sebelumnya.
F. Metodologi Penelitian
Mengacu kepada tujuan adanya poin metode penelitian ini, yakni
agar penulis lebih mudah dalam hal mengorganisir, mensistematisir dan
menganalisis data yang ada, maka penulis menyusun metode penelitian
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian29
Jenis penelitian ini terbagi menjadi beberapa bagian, yakni:
a. Berdasarkan Metode atau Pendekatan.
28 Budiarto, The Concept of Israiliyyat in The Interpretaion of Al Quran
According to Adz Dzahabi, Tesis IAIN Sunan Ampel, 2010.
29
Dalam hal ini, penulis menggunakan kerangka penelitian yang diajarkan oleh
Bapak Fathor Rachman Utsman. Penulis merasa kerangka penelitian yang dipakai
cendrung lebih lengkap dan sistematis. Ada beberapa bagian dari jenis penelitian ini:
berdasarkan metode pendekatannya; berdasarkan fungsinya; berdasarkan tujuannya;
berdasarkan tingkatan eksplanasinya; berdasarkan bidangnya; berdasarkan pelaksanaan
dan tempatnya; berdasarkan tingkat kelamiahan dan tempat penelitiannya; berdasarkan
waktunya; dan berdasarkan bentuk laporannya. Lihat, Fathor Rachman Utsman,
“Pengantar Metodologi Penelitian, hlm. 2.
Meski begitu, penulis hanya akan memaparkan beberapa poin saja yang dianggap
sangat penting dalam menjabarkan metode penelitian ini.
20
Metode atau pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini
adalah penelitian kualitatif (Qualitative Research), bukan
penelitian kuntitatif (Quantitative Research). Sebagaimana
lumrah, metode penelitian kualitatif mencoba mendiskripsikan
sekaligus menganalisis fenomena, aktivitas sosial, sikap,
kepercayaan, paham, dan pemikiran orang, baik secara individual
maupun kelompok dengan cara dan dalam situasi yang
wajar/alamiah (narutal setting).30
Jika dikaji lebih lanjut, maka sejatinya metode atau
pendekatan yang penulis jalankan dalam penelitian ini adalah
kualitatif non-interaktif (atau dalam bahasa lainnya disebut juga
metode analitis) sebab nantinya penulis hanya akan menggunakan
leteratur maupun dokumen untuk melengkapi kajian ini, bukan
dengan interaktif seperti wawancara sebagaimana dilakukan oleh
penelitian lapangan (Field Research).31
b. Berdasarkan Fungsinya.
Menurut hemat penulis, penelitian ini dari segi fungsinya
tergolong pada penelitian dasar (Basic Research) sebab berupaya
untuk menguji dan mengkaji teori serta konsep yang telah ada di
samping upaya memunculkan penemuan maupun sumbangsih
baru dalam khazanah keilmuan Islam.32
Kaitannya dengan metode atau pendekatan kualitatif
sebagimana penulis jabarkan di atas adalah bahwa fungsi dari
30
Fathor Rachman Utsman, Pengantar Metodologi Penelitian, hlm. 3.
31
Fathor Rachman Utsman, Pengantar Metodologi Penelitian, hlm. 22.
32
Ada tiga bagian dalam jenis penelitian berdasarkan fungsinya ini, yakni
penelitian dasar (Basic Research), penelitian terapan (Applied Research), serta penelitian
pengembangan (Research and Development). Lihat, Fathor Rachman Utsman, Pengantar
Metodologi Penelitian, hlm. 2.
21
penelitian ini merupakan salah satu di antara lima tujuan penelitin
kualitatif dengan cara memberi sumbangan bagi klarifikasi isu-
isu dan tindakan sosial, sebagaimana yang memang diharapkan
dalam peneltian penulis ini.33
c. Berdasarkan Tujuannya.
Berdasarkan tujuannya, penelitian ini tergolong penelitian
improftif, yang mana jenis penelitian ini berupaya untuk
memperbaiki kondisi yang ada dari hasil penelitian yang
dilakukan. Tidak seperti dua jenis penelitian yang lain, yakni
deskriptif dan prediktif yang mana tujuan dua peneitian tersebut
hanya bermaksud menjabarkan atau memprediksi saja.34
d. Berdasarkan Pelaksanaan dan Tempatnya.
Sependek pengamatan penulis, penelitian ini jelas
tergolong penelitian pustaka (Library Research) jika dikaji
berdasarkan pelaksanaan dan tempatnya. Hal itu karena sumber
primer maupun sekunder yang dipakai nantinya nyaris semua
berasal dari literatur-literatur yang menunjang terhadap fokus
penelitian ini.35
2. Sumber Data
Sebagaimana lumrah, sumber data dalam sebuah penelitian
terbagi menjadi dua, yakni primer dan sekunder:
a. Sumber Primer
33
Lima tujuan itu antara lain: berguna bagi pengembangan teori; sumbangan bagi
penyempurnaan praktik; sumbangan bagi penentuan kebijakan; sumbangan bagi
klarifikasi isu-isu dan tindakan sosial serta sumbangan bagi studi-studi khusus. Lihat,
Fathor Rachman Utsman, Pengantar Metodologi Penelitian, hlm. 4.
34
Fathor Rachman Utsman, Pengantar Metodologi Penelitian, hlm. 23.
35
Selain itu, ada dua bagian lain dalan jenis pelitian berdasarkan pelaksanaan dan
tempatnya, yakni Field Research (Kajian Lapangan) dan Laboratory Research (Kajian
Laboratorium). Lihat, Fathor Rachman Utsman, Pengantar Metodologi Penelitian, hlm
22
Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kitab karya Imam ibn Jarîr al-Tabarî, yakni Jâmi‟ al-Bayân „an
Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân dan juga kitab Tafsîr al-Qurân al-„Azîm
karya Ibn Katsîr yang mana kitab itu nantinya akan dikaji khusus
pada riwayat-riwayat israiliyat tentang kisah hidup Nabi Yusuf.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder atau pendukung dalam penelitian ini
adalah berasal dari beragam kitab, buku, majalah, serta beragam
hasil penelitian lain yang ada kaitannya dengan penelitian yang
sedang penulis jalankan ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data-data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penelitian ini
diperoleh dengan jalan dokumentasi atas naskah-naskah yang terkait
dengan objek penelitian ini. Dalam konteks penelitian ini dokumentasi
dilakukan terhadap dua sumber yang telah disebutkan pada bagian
sebelumnya.
4. Teknik Analisis Data
Setelah melalui proses inventarisir data-data yang berhubungan
dengan fokus penelitian ini, maka penulis kemudian mengolah data
yang ada dengan tahapan-tahapan sebagai berikut36
:
a. Membaca sekaligus mempelajari data, menandai kata kunci dan
gagasan yang ada dalam data.
b. Mempelajari kata-kata kunci untuk menemukan tema-tema
sentral yang dibahas dalam data.
c. Menuliskan dan mempelajari konsep atau teori yang ditemukan
dalam data.
36
Tahapan-tahapan ini penulis ambil dari Fathor Rachman Utsman, Pengantar
Metodologi Penelitian, hlm. 30.
23
d. Memilah, mengklasifikasi, serta membuat ikhtisar dari data-data
yang telah terkumpul.
Selanjutnya, dalam rangka analisis terhadap data-data yang
telah diperoleh, penulis akan menggunakan metode atau teori al-
Jarh wa al-Ta‟dîl dalam hal menganalisa dan memastikan riwayat
israiliyat yang nantinya akan penulis hadirkan dalam penelitian ini,
serta untuk mengkaji dan memutuskan bahwa riwayat israiliyat itu
dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya atau tidak.
Selanjutnya penulis akan menganilisis bagaimana sikap kedua
mufassir tersebut dalam memposisikan riwayat-riwayat yang telah
divalidasi oleh mereka dalam konteks fungsinya sebagai sumber
penafsiran al-Qur‟an.
G. Sistemika Pembahasan
Seperti yang tercantum dalam buku Pedoman Penulisan Skripsi,
dalam poin sistematika pembahasan ini hal-hal yang disampaikan
bukan sekadar menarasikan daftar isi, melainkan urutan logis
pembahasan yang akan dilakukan berikut alasannya.37
Berikut ini,
penulis akan jabarkan pembahasan-pembahasan yang akan diulas
dalam masing-masing bab dalam penelitian ini:
Bab Pertama: berisi tentang pendahuluan yang meliputi: latar
belakang masalah yang berisi alasan logis mengapa masalah ini penulis
angkat; rumusan masalah yang berisi fokus kajian yang akan penulis
teliti; tujuan penelitian yang berisi tujuan-tujuan dari hasil penelitian
ini; kegunaan penelitian yang berisi sumbangan teoritis maupun praktis
dari penelitian ini; kajian-kajian terdahulu terkait dengan tema yang
diangkat; metode penelitian yang berisi bentuk penelitian, sumber data,
37
Tim Penyusun Pedoman Penulisan Skripsi, Pedoman Penulisan, hlm. 20-21.
24
metode pengumpulan data dan metode analisis data; dan terakhir
sistemika pembahasan yang berisi ulasan-ulasan singkat ihwal
pembahasan-pembahasan dari tiap bab.
Bab Kedua: berisi dua sub bab. Sub bab pertama berisi diskursus
seputar riwayat Israiliyyat meliputi definisi etimoloogis dan
terminologis israiliyat serta historiografi munculnya riwayat israiliyat
serta dampak negatifnya, baik dalam Islam secara umum maupun
dalam kitab-kitab tafsir secara khusus. Selain itu dalam bab ini juga
akan dihadirkan pembahasan mengenai macam-macam israiliyat,
hukum periwayatan israiliyat, serta kitab-kitab tafsir yang masyhur
dengan riwayat israiliyat di dalamnya. Penulis memilih beberapa hal di
atas dibahas dalam bab kedua karena sebagai pengantar untuk lebih
memperdalam lagi fokus pembahasan yang akan dijabarkan di bab
berikutnya.
Bab Ketiga: berisi penjabaran seputar profil dari kitab tafsir dan
penulisnya yang menjadi objek penelitian di sini. setelah itu, penulis
akan menjabarkan secara mendetail mengenai riwayat-riwayat israiliyat
dalam kitab Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân dan Tafsir al-
Qur‟an al-„Azîm yang erat kaitannya dengan kisah Hidup Nabi Yûsûf.
Penjabaran ini penulis merasa penting untuk meletakkannya dalam
pembahasan bab ketiga sebelum meneliti kualitas riwayat-riwayat itu
dalam poin berikutnya.
Bab Keempat: berisi tentang kajian kualitas berbagai macam
riwayat israiliyat yang telah penulis paparkan di bab sebelumnya
dengan pisau analisis sejarah dan kritik sanad dan matan agar nantinya
diketahui bahwa riwayat-riwayat itu bisa dipercaya atau tidak. Di bab
ini pula penulis akan menganalisis dari data-data yang sudah terkumpul
tentang posisi dan urgensi penggunaan riwayat tersebut.
25
Bab Kelima: berisi penutup penelitian ini yang berupa kesimpulan
dari apa yang telah penulis paparkan di bab-bab sebelumnya serta
saran-saran bagi masyarakat umum serta para peneliti di masa-masa
berikutnya.
26
BAB II
ISRÂÎLIYYÂT DALAM BINGKAI TAFSIR AL-QUR’AN
A. Pengertian Isrâîliyyât
Sebelum terlalu jauh melangkah pada pembahasan seputar catatan
sejarah tentang munculnya riwayat-riwayat israiliyat serta sejauh mana
riwayat-riwayat itu memengaruhi kitab-kitab tafsir, penulis merasa
penting untuk terlebih dahulu memaparkan definisi israiliyat itu sendiri
guna lebih memahami dengan mendalam topik yang menjadi fokus
penelitian ini.
a. Definisi Etimologis
Dari sisi linguistik, lafadz Isrâîliyyât merupakan kata plural
(baca: jama‟) dari kata Isrâîliyyah yang bermakna ungkapan atau
cerita yang bersumber dari bangsa Israîl. Nisbat bangsa israîl itu
sendiri disandarkan pada Nabi Ya‟qûb ibn Ishâq ibn Ibrâhîm as.,
yang mana beliau (Nabi Ya‟qub) memang bergelar atau dijuluki
sebagai Israil.1
Dalam kajian kebahasaan yang lebih luas, kata Israil merupakan
bahasa „Ibrani yang terdiri dari dua kata, yakni Isra yang berarti
1 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, cet. ke-4
(Mesir: Maktabah Wahbah, 1990), hlm. 13. Lihat juga dalam, Muhammad bin
Muhammad Abu Syahbah, al-Isrâîliyyât wa al-Maudlû’ât fî Kutub al- Tafsîr, (ttp:
Maktabah al-Sunnah, t.t.), hlm. 12. Pendapat Husain al-Dzahabi dan Abu Syahbah juga
dinuqil dalam, Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ fî Kutub al-Tafsîr, cet. Ke-1
(Beirut: Dâr al-Dliyâ‟, 1970), hlm. 71 dan Yûsûf Muhammad al‟Amiri, “Ka’b al-Ahbâr:
Marwiyyâtuhû wa Aqwâluhu fî al-Tafsîr bi al-Ma’tsûr” Tesis, Fakultas Dakwah dan
Ushûl al-Dîn Umm al-Qurâ Saudi Arabia (1992), hlm. 97 serta Tahir Mahmud
Muhammad Ya‟qûb, Asbâb al-Khatha’ fî al-Tafsîr, cet. Ke-1 Juz 1 (Arab Saudi: Dar Ibn
al-Jauzy, 1425 H.), hlm. 160. Coba lihat juga dalam, Abd al-Rahman bin Shalih bin
Sulaiman al-Dahsy, al-Aqwâl al-Syâdzdzah fî al-Tafsîr, cet. Ke-1 (Manchester: al-
Bukhary Islamic Center, 2004), hlm. 325 dan Nur Efendi dan Muhammad Fathurrohman,
Studi al-Qur’an; Memahami Wahyu Allah secara Lebih Integral dan Komprehensif, cet.
Ke-1 (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2014), hlm. 256.
27
‘Abd (hamba) atau Safwah (jernih, bersih), dan kata Îl yang
bermakna Allah.2 Hingga bila makna keduanya digabungkan, maka
akan menghasilkan makna Hamba Allah.
Dr. George Bust dalam kitabnya Qâmûs Kitâb al-Muqaddas,
berpandangan bahwa kata Israil merupakan laqâb Nabi Ya‟qub as.
dan laqâb itu terus turun pada keturunan Ya‟qub hingga terputusnya
keturunan Nabi Ya‟qub yang berjumlah 12.3
b. Definisi Terminologis
Dalam ranah istilah ilmu pengetahuan, ulama‟ memberi definisi
yang cukup luas terhadap israiliyat ini, yakni dengan menyebutnya
sebagai segala sesuatu yang ada pada tafsir dan hadits yang mana hal
itu disandarkan pada sumber-sumber Yahudi dan Nashrani atau
selain keduanya.4 Bahkan ada beberapa mufassir yang seolah begitu
sentimen terhadap israiliyat ini dengan berpendapat bahwa israiliyat
merupakan sesuatu yang sengaja dibuat dan disisipkan oleh musuh-
musuh Islam, baik itu dari Yahudi dan Nasrâni, dengan tujuan
merusak aqidah umat Islam.5
Meski pada kenyataannya riwayat-riwayat israiliyat tidak hanya
berasal dari sumber Yahudi, melainkan juga Nashrani, akan tetapi
nama israiliyat (yang secara dhahir cenderung pada Yahudi) dipilih
2 Ramzi Na‟na‟ah, , al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ fî Kutub al-Tafsîr, cet. Ke-1
(Beirut: Dâr al-Dliyâ‟, 1970), hlm.72
3 Dikutip oleh Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 72
4 Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 13. Perndapat al-
Dzahaby ini dikutip juga dalam Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr:
Marwiyyâtuhû, hlm. 97. Lebih lengkap mengenai makna israiliyat secara terminologis
bisa dibaca dalam, Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 72-74
5 Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 13-14. Pendapat
al-Dzahaby ini dikutip juga dalam Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr:
Marwiyyâtuhû, hlm. 97.
28
karena memang kebanyakan riwayat-riwayat itu bersumber dari
orang-orang atau kebudayaan-kebudayaan Yahudi dan sedikit sekali
dari Nasranî. Hal itu juga tidak terlepas dari dua hal, pertama karena
interaksi umat Islam lebih banyak bersama umat Yahudi dari pada
umat Nashrani dan kedua karena tsaqâfah (kebudayaan) umat
Yahudi lebih luas dan jauh berkembang dari pada tsaqâfah umat
yang lain.6
B. Sejarah Masuknya Riwayat Isrâîliyyât ke dalam Tafsir al-Qur’an
serta Dampak Negatifnya
Catatan sejarah membuktikan bahwa pada jauh sebelum Islam
datang sebagai agama rahmah li al-‘âlamîn, yakni sekitar tahun 70
Masehi, umat Yahudi melakukan hijrah besar-besaran karena mendapat
siksaan pedih dari Titus Romawi7. Hal tersebut menjadikan adanya
perpaduan atau akulturasi tsaqâfah (budaya; pengetahuan) antara orang
Yahudi dan orang Arab pada masa jahiliyah.8 Dari sinilah awal mula
6 Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 14. Lihat juga
dalam Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr: Marwiyyâtuhû, hlm. 97.
7 Titus Flavius Vespasianus, lahir pada 30 Desember 39 M. dan meninggal pada
13 September 81 M. ia merupakan keturunan dinasti Flavia yang kemudian menjadi
seorang kaisar Romawi dengan mengganti kedudukan ayahnya, Kaisar Vespasianus.
Diskriminasi terhadap umat Yahudi sejatinya sudah berlangsung sejak masa kaisar
Kaligula (tahun 40 M.) dan terus berlanjut pada kekaisaran berikutnya, yakni Kaisar Nero
(tahun 66 M.). Setelah singgasana kekaisaran diduduki oleh Vespasianus (tahun 69 M.),
ia memerintahkan anaknya, Titus, untuk menghentikan pemberontakan umat Yahudi
yang terjadi saat itu. Puncaknya, pada tahun 70 M., Titus berhasil memerangi total umat
Yahudi yang tersisa dan meruntuhkan kuil-kuil orang Yahudi, termasuk yang berada di
Yarussalem. Hal inilah yang menyebabkan hijrah besar-besaran yang dilakukan umat
Yahudi pada sekitar tahun 70 Masehi. Semua catatan sejarah ini ditulis oleh penulis
Yahudi bernama Yosephus. Data-data yang telah dipaparkan ini penulis sarikan dari
https://id.wikibooks.org/wiki/Romawi_Kuno/Sejarah/Pemberontakan_Yahudi_Pertama
juga dari https://id.wikipedia.org/wiki/Titus_Flavius_Vespasianus. diakses pada tanggal
10 Januari 2020 jam 21.35 WIB.
8 Dikutip dari kitab Târîkh al-Yahûdî fî Bilâd al-‘Arab, oleh Muhammad Husain
al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 15
29
adanya interaksi sosial antara orang Arab pada zaman pra Islam dengan
orang Yahudi yang amat kental dengan budaya mereka, yang mana hal
itu bersumber dari kitab Taurat dan cerita turun temurun yang
diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Bersamaan dengan hijrah besar-besaran tersebut, bangsa Israil juga
membawa serta beragam kebudayaan yang mereka miliki dan kembali
mewariskannya dari generasi ke generasi. Mereka mendirikan sebuah
tempat yang diberi nama Midras sebagai sarana tempat ibadah serta
mengajarkan dan mewariskan budaya-budaya yang mereka punya
kepada generasi-generasi setelahnya.9 Maka tak heran jika tsaqâfah
orang Yahudi terus berlanjut dan pada puncaknya berpengaruh besar
terhadap keilmuan Islam sebagaimana fokus penelitian yang penulis
kaji ini.
Selain itu, sudah tidak bisa disangkal lagi bahwa orang Arab pra
Islam, khususnya orang Quraisy sudah sejak lama terbiasa melakukan
perjalanan dengan tujuan dagang serta tujuan-tujuan yang lain. Al-
Qur‟an sendiri mengabarkan dengan indah mengenai perjalanan yang
biasa dilakukan oleh orang Quraisy tersebut10
: Rihlah al-Syitâ’, yakni
perjalanan musim dingin yang dilakukan oleh orang Quraisy ke daerah
Yaman dan Rihlah al-Shaif yang dilakukan ke daerah Syam pada
musim panas. Kedua rihlah tersebut yang menyebabkan semakin
intensnya interaksi antara orang Yahudi dan orang Arab pra Islam.11
9 Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 16
10
Yakni dalam surah al-Quraisy (106): 1-2.
فإ يل إ يشلإ إ١كر ۦإ إ فإ ل إحي ث خ اءإٱر إ ٱو لض يفإ ٢لصArtinya: “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka
bepergian pada musim dingin dan musim panas.”
11
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 16
30
Penting untuk diketahui bahwa di daerah Yaman dan Syam, umat
Yahudi (setelah kejadian hijrah akbar di atas) membangun kembali
peradaban mereka di sana. Orang Arab pra Islam juga tak segan
bertanya mengenai berbagai macam hal semisal proses penciptaan alam
semesta, rahasia-rahasia di balik penciptaan alam semesta, dan
pertanyaan-pertanyaan lain yang belum mereka ketahui karena boleh
dibilang, pada saat itu, budaya Arab masih terbilang lebih rendah dari
pada budaya Yahudi. Hal itulah yang menyebabkan adanya adopsi
budaya-budaya umat Yahudi yang dilakukan oleh orang Arab pra
Islam.12
Untuk lebih mengetahui sejarah masuknya riwayat-riwayat
israiliyat dalam Islam dan dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya
tafsir, serta bagaimana dampak negatifnya, maka di bawah ini penulis
mencoba menjabarkan satu per satu hal tersebut:
a. Sejarah Munculnya Riwayat Israiliyat dalam Dunia Islam.
Usai Nabi Muhammad diutus sebagai seorang rasul dan
diperintahkan untuk menyebarkan Islam tidak lagi dengan cara
sembunyi-sembunyi, maka Islam lahir sebagai agama yang benar-
benar rahmah li al-‘âlamîn dengan menghancurleburkan berbagai
macam tradisi jahiliyah yang berkembang pesat waktu itu. Islam
periode Makkah memang penuh dengan perjuangan berdarah-darah
demi mempertahankan keimanan, sementara Islam periode Madinah
(tepatnya setelah Nabi hijrah ke Madinah), lebih menjanjikan bagi
perkembangan agama Islam.
12
Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Isrâîliyyât wa al-Maudlû’ât fi
Kutub al- Tafsîr, (ttp: Maktabah al-Sunnah, t.t.), hlm. 93. Bandingkan dengan,
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 16.
31
Kaitannya dengan umat Yahudi, interaksi pertama yang
dilakukan oleh umat Islam dengan umat Yahudi adalah ketika
peristiwa hijrah itu sendiri. Tak bisa disangsikan lagi bahwa nama-
nama klan semisal Banî Qainuqâ‟, Banî Quraizah, dan Banî Nadir
merupakan klan berkebangsaan Yahudi yang tinggal menetap di
Madinah. Sementara itu, di sisi yang lain Nabi hendak menjadikan
Madinah sebagai negara dengan konsep tamaddun (keseimbangan;
kesatuan) tanpa mempertimbangkan ras, agama, etnis dan lain
semacamnya. Hal itu Nabi wujudkan dengan mengadakan
musyawarah akbar yang kemudian melahirkan piagam madinah
yang bertujuan melindungi semua penduduk kota Madinah tanpa
terkecuali. Maka tak heran jika sejarah mencatat adanya interaksi
yang cukup intens antara Nabi sebagai pengambil keputusan dengan
penduduk Madinah, termasuk para Ahli Kitab.13
Tindak tanduk umat Islam yang mencerminkan sikap toleransi
serta akhlak yang terpuji memancing Ahli Kitab di sana untuk tidak
sungkan berinteraksi lalu kemudian memeluk agama Islam sebagai
pondasi hidup. Banyaknya umat Yahudi yang masuk Islam ini juga
menjadi salah satu penyebab munculnya riwayat israiliyat dalam
Islam.
Dengan kentalnya budaya (baik yang didapatkan dari teks
Taurat maupun tradisi lisan), maka umat Yahudi yang sudah masuk
Islam tetap memelihara dengan baik budaya mereka itu meskipun
mereka sudah resmi masuk Islam.14
Nama-nama semisal Ka‟b al-
13
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 16
14
Ingrid Mattson, Ulumul Qur’an Zaman Kita, terj. Cecep Lukman Yasin
(Jakarta: Penerbit Zaman, 2013), hlm. 282. Bisa juga dilihat dalam Mannâ‟ Khalîl al-
Qattân, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakkir AS (Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa, 2013), hlm. 491-492.
32
Ahbar, Wahb bin Munabbih, Abdul Mâlik bin Abdul Azîz bin Juraij
dan „Abdullah bin Salâm tercatat sebagai orang Yahudi yang
memeluk Islam dan sering meriwayatkan cerita-cerita israiliyat
kepada umat Islam waktu itu.15
Oleh karena al-Qur‟an turun dengan ayat yang mujmal dan
dengan penggambaran cerita-cerita masa lalu dengan sepintas-
sepintas saja,16
maka hal itu memancing para sahabat untuk
mengetahui lebih lanjut hal-hal yang tidak tersurat dalam al-Qur‟an.
Selain itu, seorang orientalis kenamaan, Ignaz Goldziher juga tak
luput mengomentari ihwal sebab-sebab masuknya riwayat israliyat
dalam tubuh umat Islam. Ia berpendapat bahwasanya penggunaan
isariliyat disebabkan kerinduan umat Islam pada kisah atau mitologi.
Kisah yang detail terdapat pada kitab-kitab terdahulu, dipaparkan
kembali dalam al-Qur‟an dengan sangat singkat dan kadangkala
campur aduk. Celah itu kemudian memancing umat Islam waktu itu
untuk berinteraksi lebih dekat dengan peganut Yahudi dan Nasrani
baik yang telah maupun belum masuk Islam. Umat Yahudi dan
Nashrani ataupun orang-orang yang berasal dari dua agama itu
namun telah masuk Islam juga tidak segan-segan bercerita panjang-
lebar tentang cerita-cerita yang mereka ketahui, padahal cerita-cerita
itu sering mereka ulang dengan beragam versi karena buruknya
15
Ibrâhîm Muhammad al-Jaramy, Mu’jam Ulûm al-Qur’ân, cet. Ke-1 (Damaskus:
Dâr al-Qalam, 2001), hlm. 45. Lihat juga dalam Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-
Ahbâr: Marwiyyâtuhû, hlm. 98 dan Mannâ‟ Khalîl al-Qatthân, Studi Ilmu-ilmu, hlm. 493.
16
Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Studi Ilmu-ilmu, hlm. 492. Sementara itu, Ingrid
Mattson berpandangan bahwa al-Qur‟an menganggap para pendengar seperti sudah
punya pengetahuan umum mengenai detail cerita melalui kitab-kitab sebelum al-Qur‟an,
sehingga al-Qur‟an tidak perlu lagi menjabarkannya secara terperinci. Lihat Ingrid
Mattson, Ulumul Qur’an Zaman, hlm. 282
33
hafalan dan kemudian dilengkapi lagi dengan hasil imajinasi mereka
sendiri, lalu secara frontal mengangap bahwa hal itu merupkan tafsir
al-Qur‟an.17
Salah satu contoh sebagai bukti konkrit adanya interaksi
tersebut adalah bahwa sejarah mencatat interaksi antara Abû
Hurairah bersama Ka‟ab al-Ahbâr dan „Abdullah bin Salâm dalam
hal menanyakan tentang sebuah waktu yang istijâbah pada hari
jum‟at.18
Para ulama‟ dan pengkaji tafsir juga sepakat bahwa ada
interaksi yang cukup intens antara para sahabat dan para ahli kitab
yang sudah memeluk Islam. Akan tetapi interaksi tersebut masih
dalam batas kewajaran. Pertanyaan para sahabat hanya berputar pada
cerita-cerita saja atau arti kata yang mujmal dalam al-Qur‟an, hingga
terkesan para sahabat tidak serta merta membenarkan dan tidak pula
begitu saja mendustakan riwayat-riwayat israiliyat yang sampai pada
mereka.19
b. Sejarah Munculnya Riwayat Israiliyat dalam Kitab Tafsir.
Boleh dibilang, pada masa sahabat, mereka cukup selektif
terhadap riwayat-riwayat israiliyat yang sampai pada mereka.
17
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik hingga Modern, terj. M. „Alaika
Salamullah dkk. Cet. Ke-7 (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2014), hlm. 80
18
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa al- Mufassirûn, juz I (Mesir:
Maktabah Wahbah, t.t.), hlm. 124-125. Lihat juga mengenai interaksi Abû Hurairah
dengan Ka‟ab al-Ahbâr dalam „Abd al-Rahmân bin Sâlih bin Sulaimân al-Dahsy, al-
Aqwâl al-Syâdzdzah, hlm. 325-326
19
Lihat dalam Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 123-124. Bisa
juga dilihat dalam Khâlid „Abd al-Rahmân, Ushûl al-Tafsîr wa Qawâ’iduhû, cet. Ke-2
(Beirut: Dâr al-Naghâis, 1986), hlm. 8; Nûr al-Din „Atir, ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, cet.
Ke-1 (Damaskus: Mathba‟ah al-Shibl, 1993), hlm. 75; Ibrahim Muhammad al-Jarami,
Mu’jam Ulûm, hlm. 45; „Abd al-Rahmân bin Sâlih bin Sulaimân al-Dahsy, al-Aqwâl al-
Syâdzdzah, hlm. 326; Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr: Marwiyyâtuhû, hlm.
98.; dan Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Studi Ilmu-ilmu, hlm. 492.
34
Namun pada masa berikutnya, yakni pada masa tabi‟in dan masa
setelahnya, periwayatan israiliyat mengalami perkembangan yang
pesat dan parahnya semakin longgar saja disebabkan dua hal:
Pertama, semakin banyaknya ahli kitab yang masuk Islam waktu itu
dengan adanya ekspansi yang rutin dilakukan oleh para khalifah
pasca wafatnya Nabi. Kedua, rasa ingin tahu yang besar dari para
tabi‟in untuk lebih mengetahui detail setiap hal dalam al-Qur‟an.20
Kedua hal itulah yang menyebabkan tafsir yang muncul pada masa
tabi‟in dan masa setelahnya mulai tercium aroma israiliyat di
dalamnya, seperti Tafsir Muqatil yang dikarang oleh Muqatil bin
Sulaiman (w. 150 H.) dan tafsir al-Kasyf wa al-Bayân karya Abu
Ishaq al-Tsa‟labi (w. 428 H.).21
Sejarah tak lupa mencatat bahwa pada masa periwayatan (‘ashr
al-riwâyah), lebih khusus pada masa tabi‟in dan masa setelahnya,
mereka tidak begitu mementingkan kualitas riwayat yang sampai
pada mereka22
, sehingga yang terjadi umat Islam pada masa itu
sangat menggandrungi cerita-cerita israiliyat sehingga menerima
semua riwayat tanpa menyeleksi terlebih dahulu (lâ yuraddûna
qaulan), meskipun cerita-cerita itu sangat tidak masuk akal.23
Hal itu
berdampak sangat besar pada masa tadwin (baca: kodifikasi),
20
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 128.; „Abd al-Rahmân bin
Sâlih bin Sulaimân al-Dahsy, al-Aqwâl al-Syâdzdzah, hlm. 326-327.; Yûsûf Muhammad
al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr: Marwiyyâtuhû, hlm. 99.; Ibrâhîm Muhammad al-Jaramy,
Mu’jam Ulûm, hlm. 46.
21
Lihat „Abd al-Rahmân bin Sâlih bin Sulaimân al-Dahsy, al-Aqwâl al-
Syâdzdzah, hlm. 326-327 dan Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 128.
22
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 20
23
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 128-129. Bisa juga dilihat
dalam Nûr al-Dîn „Atir, ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, cet. Ke-1 (Damaskus: Mathba‟ah al-
Sibl, 1993), hlm. 75
35
dengan banyaknya kitab-kitab tafsir yang mencantumkan riwayat
israiliyat di dalamnya.24
c. Dampak Negatif Masuknya Riwayat Israiliyat.
Sebagaimana sudah penulis jelaskan sebelumnya bahwa riwayat
israiliyat tidak lain bersumber dari tsaqâfah orang Yahudi, maka
adakalanya memang riwayat itu sesuai dengan ajaran Islam, dan
adakalanya pula riwayat itu bertentangan dan berlawanan dengan
syari‟at Islam. Jangan lupakan pula bahwa kebanyakan cerita-cerita
yang diriwayatkan oleh ahli kitab itu sudah turun-temurun tanpa
standar kualitas riwayat (tidak seperti hadits), sehingga besar
kemungkinan riwayat-riwayat itu sudah mengalami perubahan dan
diganti di sana-sini.25
Tersebab pada masa tabi‟in hingga masa tadwîn, riwayat
israiliyat mendapat tempat yang cukup istimewa (sebagaimana yang
penulis paparkan di atas), maka riwayat-riwayat yang bertentangan
dengan ajaran Islam pun ikut masuk pada kitab-kitab tafsir. Hal itu
yang kemudian membawa dampak negatif yang cukup signifikan
baik bagi ajaran Islam, maupun bagi kitab-kitab tafsir itu sendiri.
Di bawah ini, penulis akan jabarkan dampak-dampak negatif
riwayat israiliyat baik dalam hubungannya dengan ajaran Islam,
ataupun hubungannya dengan perkembangan kitab tafsir dari masa
ke masa:
1) Dampak Negatif Israiliyat Terhadap Ajaran Islam
24
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 129
25
Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr: Marwiyyâtuhû, hlm. 100
.
36
Dari berbagai macam literatur yang penulis dapatkan, penulis
mencatat setidaknya ada 7 hal yang menjadi dampak negatif
riwayat israiliyat kaitannya dengan ajaran Islam:
a) Merusak akidah umat Islam dengan adanya tasybîh
(penyerupaan Allah dengan makhluq-Nya) dan tajsîm
(pernyataan bahwa Allah memiliki jism atau anggota tubuh
laiknya manusia) sebagaimana yang terdapat dalam riwayat
israiliyat.
b) Menampakkan Islam sebagai agama yang khurafat, bathil dan
tidak memiliki dasar-dasar ajaran dan aqidah.
c) Hampir menghilangkan ketsiqahan ulama‟ salaf dari kalangan
sahabat dan tabi‟in.
d) Nyaris memalingkan manusia dari tujuan utama al-Qur‟an,
yakni untuk ditadabburi dan direnungi pesan-pesan di
dalamnya.26
e) Dinisbatkan pada Nabi oleh beberapa oknum (seperti orang
yang lemah imannya, para pemalsu riwayat dan kelompok
zindiqah27
) sehingga menjadi hadits palsu.
f) Menumbuhkan keraguan terhadap agama Islam. Dan
g) Memancing orientalis untuk mencela Islam.28
26
Empat poin ini penulis ambil dari Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât
fî al-Tafsîr, hlm. 29-34. Bisa juga dilihat dalam Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-
Ahbâr: Marwiyyâtuhû, hlm. 99-100.
27
Kata zindiq merupakan bahasa Arab serapan yang diambil dari bahasa Pesia,
yaitu zind yang berarti kotoran yang membahayakan. Menurut hukum Islam, zindiq
berarti seseorang yang tidak berpengang teguh terhadap agama. Imam Malik, Imam
Syafi‟i dan Imam Ahmad berpandangan bahwa zindiq berarti orang yang menampakkan
keIslamannya dan menyembunyikan kekafirannya. Pada masa Rasulullah saw. orang
dengan kepribadian seperti ini disebut Munafik. Data ini penulis sarikan dari
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Zindiq diakses pada tanggal 16 Januari 2020 jam 15.30
WIB.
37
2) Dampak Negatif Israiliyat Terhadap Kitab-kitab Tafsir.
Lain halnya dengan dampak negatif terhadap ajaran Islam,
kami hanya menemukan 3 poin mengenai dampak negatif
israiliyat terhadap kitab-ktiab tafsir:
a) Dengan masuknya riwayat israiliyat, kitab-kitab tafsir penuh
dengan cerita imajinatif, bualan dan tidak berdasar.
b) Membuat kitab-kitab tafsir hilang kredibilitasnya, dan
c) Dengan masuknya riwayat israiliyat tersebut, mufassir seperti
meletakkan duri bagi para penikmat kitab-kitab tafsir.29
C. Macam-macam Riwayat Isrâîliyyât serta Hukum Periwayatannya
dalam Tafsir al-Qur’an.
Setelah sebelumnya penulis menjabarkan dengan amat rinci
sejarah munculnya riwayat israiliyat berikut dampak negatifnya, maka
berikutnya penulis akan menghadirkan penjelasan ihwal klasifikasi
ulama‟ dan para peneliti tafsir tentang riwayat-riwayat israiliyat yang
ada dalam kitab-kitab tafsir serta tentang hukum periwayatannya.
a. Macam-macam Riwayat Israiliyat.
Husain al-Dzahaby dalam kitab al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr wa al-
Hadîts dan juga Ramzi Na‟na‟ah dalam kitab al-Isrâîliyyât wa
Âtsaruhâ fî Kutub al-Tafsîr mengelompokkan riwayat-riwayat
israiliyat ini menjadi tiga kelompok besar, yakni berdasar shahih
28
Tiga poin ini penulis kutip dari Muhammad bin Muhammad Abû Syahbah, al-
Isrâîliyyât wa al-Maudlû’ât, hlm. 94. Poin ke 6 bisa juga dilihat dalam Khâlid „Abd al-
Rahmân, Ushûl al-Tafsîr, hlm. 76. Sedangkan poin ke 7 juga bisa ditemukan dalam
Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr: Marwiyyâtuhû, hlm. 99-100.
29
Tiga poin ini penulis temukan dalam Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr
wa, hlm. 130. Dengan redaksi yang nyaris sama tanpa penjelasan mengutip, penulis
temukan juga dalam Khâlid „Abd al-Rahmân, Ushûl al-Tafsîr, hlm. 261. Sedangkan
untuk poin ke dua, bisa juga didapat dalam Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr:
Marwiyyâtuhû, hlm. 99.
38
tidaknya, berdasarkan kesesuaian dengan syari‟at Islam, juga
berdasarkan tema dalam israiliyat itu sendiri:30
1) Riwayat israiliyat berdasarkan sahîh tidaknya terbagi menjadi
tiga: Pertama, sahîh. Kedua, da‟îf. Dan Ketiga, maudû‟.
2) Riwayat israiliyat berdasarkan kesesuaian dengan syari‟at Islam
juga terbagi tiga31
: Pertama, sesuai dengan syari‟at Islam. Kedua,
tidak sesuai dengan syari‟at Islam. Dan Ketiga, Maskût ‘Anh (kita
diami tanpa mengklaim sesuai dan tidaknya dengan ajaran Islam)
3) Riwayat israiliyat berdasarkan tema dalam israiliyat itu sendiri
juga ikut terbagi menjadi tiga: Pertama, riwayat israiliyat yang
berhubungan dengan akidah. Kedua, riwayat israiliyat yang
berhubungan dengan hukum. Dan Ketiga, riwayat israiliyat yang
berhubungan dengan pelajaran, kejadian, dan cerita-cerita.
Namun tidak sampai di situ, Husain al-Dzahabi dan Ramzi
Na‟na‟ah juga memberi kesimpulan dari berbagai macam pembagian
tersebut. Beliau berdua secara keseluruhan mengelompokkan
riwayat israiliyat menjadi tiga: Pertama, maqbul. Kedua, mardud.
Dan Ketiga, Maskût ‘Anh (kita diami tanpa memutuskan diterima
atau ditolak).32
30
Selengkapnya lihat, Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr ,
hlm. 35-41. Penjelasan senada dapat juga dilihat dalam Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa
Âtsaruhâ, hlm.76-84.
31
Selain dijabarkan keseluruhan oleh dua kitab di atas, penjabaran ihwal
pembagian riwayat israiliyat berdasarkan kesesuaiannya dengan syari‟at Islam cukup
banyak dijelaskan oleh para ulama‟ dan pengkaji tafsir dalam kitab-kitab mereka, di
antaranya bisa dilihat dalam: Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 130;
Muhammad bin Muhammad Abû Syahbah, al-Isrâîliyyât wa al-Maudlû’ât, hlm.106-108;
Yûsûf Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr: Marwiyyâtuhû , hlm. 101; Khâlid „Abd al-
Rahmân, Ushûl al-Tafsîr, hlm. 261; dan dalam Nûr al-Dîn „Atir, ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm.
76; Ibrâhîm Muhammad al-Jaramy, Mu’jam Ulûm, hlm. 45-46.
32
Selengkapnya bisa dilihat di Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Isrâîliyyât fî al-
Tafsîr , hlm. 41. Perlu diketahui bahwa Husain al-Dzahaby tidak menggunakan redaksi
39
b. Hukum Periwayatan Israiliyat.
Dalam kitab yang sama, Muhammad Husain al-Dzahaby dan
Ramzi Na‟na‟ah juga mengupas secara tuntas ihwal hukum
periwayatan israiliyat ini. Sebelum memberi kesimpulan, beliau
berdua mengemukakan dalil yang melarang dan membolehkan
dalam kaitannya dengan hukum meriwayatkan israiliyat33
:
1) Dalil yang Melarang.
a) Ayat al-Qur‟an yang menyatakan bahwa ahli kitab telah
merubah kitab mereka.34
Maskût ‘anh melainkan Mutaraddid Bayn al-Qabûl wa al-Mardûd. Penulis kira itu dua
redaksi dengan arti yang kurang lebih sama. Pemberian kesimpulan dengan redaksi
Maskût ‘anh bisa ditemui dalam Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 84-85.
33
Dalam skripsi ini, penulis hanya mengemukakan beberapa dalil saja, tidak
secara tuntas dan mendalam. Selengkapnya lihat, Muhammad Husain al-Dzahabi, al-
Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 41-45. Lihat juga dalam, Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa
Âtsaruhâ, hlm. 86-91.
34
Yakni di antaranya terdapat dalam:
Surah al-Baqarah (2): 75,
ل ن ن ػ ي س إ ق ف رإي ن ك ك د و ى ك ا إ يؤ ن
أ ػن ط خ ف
إٱ۞أ لل إف ي ر ۥث ػدإ ب إ ن ػي ح هو ي ل اخ ٧٥
Artinya: “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu,
Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya
setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?”
Surah al-Baqarah (2): 79,
يو ف ن ي كخت ي إ إل ٱى ب ت ىهإ دإ غإ إ ا ذ ه للن ح ث إ ي يدإ
إأ إٱة إلل إ ة وا إي ضت ۦى ا ث تن اي كسإ إ م يول و و إ ي يدإ
أ ج خ ت ان إ م يول إيلف ٧٩ك ي
Artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al
kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud)
untuk memperoleh Keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan
yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan
kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.”
Surah al-Ma‟idah (5): 13,
40
b) Hadits riwayat Imam Bukhari,
ث نا أبو اليمان أخب رن شعيب عن الزىري أخب رن عب يد الل بن عبد الل أن حد
عبد الل بن عباس قال ي معشر المسلمين كيف تسألون أىل الكتاب عن
الذي أن زل الل على نبيكم صلى الل عليو وسلم أحدث شيء وكتابكم
لوا من ثكم الل أن أىل الكتاب قد بد الخبار بلل مضا ل يشب وقد حد
روا فكت بوا بيديهم ال كتب قالوا ىو من عند الل ليشت روا بذلك كتب الل وغي
هاكم ما جاءكم من العلم عن مسألتهم فل والل ما رأي نا ثنا قليل أول ي ن
هم يسألكم عن الذي أنزل عليكم رجل من
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman telah
mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Azzuhri telah
mengabarkan kepadaku 'Ubaidullah bin Abdullah bahwa
Abdullah bin Abbas berkata, "Wahai segenap muslimin,
bagaimana kalian bertanya ahli kitab tentang sesuatu, sedang
kitab kalian yang Allah turunkan kepada Nabi kalian
shallallahu 'alaihi wasallam adalah berita paling baru tentang
Allah yang tidak dicampuri oleh sesuatu apapun, dan Allah
telah menceritakan kepada kalian bahwa ahli kitab mengubah-
ubah kitab Allah dan merubah-rubahnya. Setelah itu mereka
tulis kitab-kitab Allah dengan tangannya, dan mereka katakan,
ا إ ف ت إفن ي ر ث ي سإ ق كيب ا ي ػ و ج ج ى ػ ل إيث إ لضإ ٱج إ إىك ػإ اضإ اۦغ ن س و إ إ ة إروا ذن ا إ م ا ظ ح ف ۦ إ إيل ك ي إل إ إ ث إ ان خ عل إع ي ط ت ال ح ز ل خفٱو خ ح ٱو صف
إن ٱإ لل إب إي ٱي ن حسإ ١٣لArtinya: “(tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan
Kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah Perkataan (Allah) dari
tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah
diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) Senantiasa akan melihat kekhianatan
dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah
mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik.”
41
'Ini dari Allah', yang demikian untuk mereka beli dengan harga
yang sedikit, tidakkah ilmu yang datang kepada kalian
melarang kalian bertanya kepada mereka? Tidak, demi Allah,
tidak akan kami lihat salah seorang di antara mereka bertanya
kalian tentang yang diturunkan kepada kalian."
Imâm al-Hâfiz Ibn Hajar al-„Asqallâny mengomentari
hadits ini dengan pernyataan bahwasanya larangan keras yang
dikemukakan Nabi itu terjadi ketika „aqidah umat Islam masih
belum mantap tertanam, yakni pada awal-awal dakwah Islam.
Selain itu, lafadh hadits Nabi cenderung kepada Ahl al-Kitab,
yang mana itu berarti orang Yahudi maupun Nasrani yang
belum masuk agama Islam, bukan pada orang yang pernah
memeluk dua agama itu kemudian masuk Islam. Pernyataan
Ibn Hajar ini diperkuat dengan kenyataan bahwa rawi hadits
ini, yakni Ibn „Abbâs ra. merupakan shahabat yang cukup
sering berinteraksi dengan orang-orang Yahudi maupun
Nashrani yang telah lebih dulu masuk Islam.35
2) Dalil yang Membolehkan.
a) Ayat al-Qur‟an yang menyiratkan bolehnya merujuk pada
kitab-kitab terdahulu.36
b) Hadits riwayat Imâm Bukhâry,
35
Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ , hlm. 92.
36
Yakni dalam surah Yunus (10): 94,
إن ف سف إ م إل إ ل ا ز
أ ا إ م م ص فإ نج ٱوإ ي إ ل ءون لر ٱح ب ت ىهإ ك اء ج د ى ل إم تي ق إ
قٱ ل إ ح كج ف ل إم ب ر ٱإ إي ت ٩٤لArtinya: “Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa
yang Kami turunkan kepadamu, Maka Tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca
kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu,
sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu.”
42
ان بن عطية ث نا حس اك بن ملد أخب رن الوزاعي حد ح ث نا أبو عاصم الض حد
عن أب كبشة عن عبد الل بن عمرو أن النب صلى الل عليو وسلم قال ب لغوا
دا عن ولو آية و حدثوا عن بن إسرائيل ول حرج ومن كذب علي مت عم
ف لي ت ب وأ مقعده من النار
Artinya: “Telah bercerita kepada kami Abu 'Âsim al-Dahhâk
bin Makhlad telah mengabarkan kepada kami al-Awza'iy telah
bercerita kepada kami Hassan bin 'Athiyyah dari Abi Kabsyah
dari 'Abdullah bin 'Amru bahwa Nabi sallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Sampaikan dariku sekalipun satu ayat
dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan
itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan
sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di
neraka".
Dalam mengometnari hadits ini, Imâm al-Syâfi‟i
berpandangan bahwasanya arti sabda Nabi Muhammad di atas
adalah umat Islam boleh berinteraksi dan menyampaikan
cerita-cerita dari Bani Israil terhadap sesuatu yang tidak
diketahui kedustaannya. Menurut al-Syâfi‟i, hadits ini
merupakan antiklimaks dari hadits sebelumnya yang jelas-jelas
melarang menerima dan menyampaikan apa pun dari Ahl al-
Kitab. Kata wa lâ haraj dalam hadits di atas seolah memberi
sedikit kebebasan untuk berinteraksi dan menerima atau
menyampaikan sesuatu dari Ahl al-Kitab setelah sebelumnya
mendapatkan larangan keras dari Nabi. Namun menurut Imam
al-Syafi‟i, kebebasan dimaksud tidak berlaku untuk semua
orang, melainkan orang-orang tertentu yang memiliki kadar
43
ilmu keislaman yang tinggi dan benar-benar mengatahui dasar-
dasar agama, seperti „Abdullah bin „Amr bin „Ash ra.37
Terlepas dari perbedaan dalil di atas, kesimpulan yang diambil
oleh Husain al-Dzahaby dan Ramzi Na‟na‟ah dari hasil
mengkompromikan dua dalil tersebut adalah38
:
a. Boleh meriwayatkan israiliyat tapi tidak dalam segala hal, dalam
artian hanya boleh dalam wilayah cerita, kejadian, atau
pengertian arti kata yang mujmal saja dalam al-Qur‟an dan tidak
boleh menyinggung masalah tauhid dan syari‟at.
b. Boleh meriwayatkan israiliyat dengan syarat sesuai dengan
syariat Islam.
Selain itu, Imam al-Biqa‟i berpendapat bahwa haram
meriwayatkan israiliyat yang bathil kecuali ada penjelasan
kualitas riwayatnya, baik sanad maupun matannya.39
D. Kitab-Kitab Tafsir yang Menggunakan Riwayat Isrâîliyyât
Sebelum penulis menyebutkan satu per satu kitab-kitab tafsir yang
masyhur dengan riwayat israiliyat di dalamnya, penulis merasa penting
untuk menjabarkan terlebih dahulu ihwal klasifikasi kitab-kitab tafsir
dalam hal meriwayatkan cerita-cerita israiliyat. Dari literatur yang
penulis miliki, penulis hanya menemukan klasifikasi ini dalam kitab al-
Isrâîliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts karya Muhammad Husain al-Dzahaby.
37
Lihat selengkapnya di Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 92.
38
Lihat, Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 45-52;
Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 91-97, dan juga dalam Yûsûf
Muhammad al‟Amiry, “Ka’b al-Ahbâr: Marwiyyâtuhû , hlm. 105.
39
Pendapat ini bisa ditemukan dalam Muhammad bin Muhammad Abû Syahbah,
al-Isrâîliyyât wa al-Maudlû’ât, hlm. 17; Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî
al-Tafsîr, hlm. 54; dan juga dalam Yusuf Muhammad al‟Amiri, “Ka’b al-Ahbâr:
Marwiyyâtuhû, hlm. 105.
44
Dalam kitab itu, Husain al-Dzahaby mengemukakan setidaknya ada
enam macam kategori kitab tafsir dalam hal meriwayatkan israiliyat40
:
a. Kitab tafsir yang meriwayatkan israiliyat dengan mencantumkan
detail isnâd dan maqbûl atau mardûdnya, serta tak lupa
mengemukakan sedikit kritikan terhadapnya. Kitab yang termasuk
dalm klasifikasi ini adalah tafsir al-Tabari yang berjudul, Jâmi’ al-
Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’ân.
b. Kitab tafsir yang meriwayatkan israiliyat dengan lebih berhati-hati
dengan cara mengemukakan detail sanad berikut proses penerimaan
riwayatnya dan sesekali pula mengemukakan kebathilan dari riwayat
israiliyat yang dinuqil tersebut. Kitab yang termasuk dari kategori
ini adalah tafsir Ibn Katsîr yang berjudul, Tafsîr al-Qur’ân al-
‘Adhîm.
c. Kitab tafsir yang meriwayatkan israiliyat tanpa sedikit pun
mencantumkan sanad, proses riwayat, dan maqbul-mardudnya.
Dalam kitab ini, cerita israiliyat dihadirkan begitu saja tanpa ada
kritikan sama sekali. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan
rusaknya „aqidah umat Islam. Kitab yang termasuk dalam klasifikasi
ini adalah tafsir Muqatil bin Sulaiman dan tafsir Al-Kasyf wa al-
Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, karya Abû Ishâq al-Tsa‟laby.
d. Kitab tafsir yang meriwayatkan israiliyat tanpa sanad. Tapi
mengisyaratkan kedla‟ifan riwayatnya dengan kata Qîla (baca:
dikatakan). Terkadang menjelaskan ketidakshahihan riwayat yang
dicantumkan, terkadang pula tidak. Hal ini yang menyebabkan
buruknya Nabi dan tiadanya „ishmah (penjagaan Allah terhadap para
Nabi agar tidak melakukan dosa). Kitab yang termasuk dalam
40
Selengkapnya lihat, Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr,
hlm. 95-160.
45
klasifikasi Ini adalah Tafsîr Khâzin yang berjudul, Lubâb al-Ta’wîl
fî Ma’âny al-Tanzîl.
e. Kitab tafsir yang meriwayatkan israiliyat dengan cara menuqil dari
mufassir sebelumnya untuk mengkritisi riwayatnya, agar para
pembaca tafsir tersebut tidak membenarkan secara keseluruhan.
Kitab tafsir ini tergolong kitab yang sangat pedas mengkritik
riwayat-riwayat israiliyat. Kitab tafsir yang tergolong dalam bagian
ini adalah tafsîr al-Alûsy yang berjudul, Rûh al-Ma’âny fî Tafsîr al-
Qur’ân al-‘Azîm wa al-Sab’ al-Matsâny.
f. Kitab tafsir yang sangat kiritis terhadap kitab-kitab tafsir
sebelumnya yang begitu saja mencantumkan riwayat-riwayat
israiliyat. Pada beberapa kesempatan kitab tafsir ini melancarkan
tuduhan-tuduhan yang boleh dibilang keterlaluan terhadap pembawa
cerita israiliyat tersebut baik dari golongan sahabat maupun tabi‟in.
Tetapi anehnya, tanpa disadari kitab tafsir ini juga terperangkap
sesekali meriwayatkan riwayat israiliyat dalam tafsirnya. Kitab tafsir
yang termasuk dalam golongan ini adalah Tafsîr al-Qur’ân al-
Hakîm, karya Muhammad Râsyid Ridâ. Kitab tafsir ini lebih
masyhur dengan sebutan tafsir al-Manar.
Sementara itu, kitab-kitab tafsir yang masyhur dengan riwayat
israiliyat di dalamnya antara lain41
:
a. Tafsir Muqâtil bin Sulaiman, karya Muqâtil bin Sulaimân bin Basyîr
al-Khurasany
b. Tafsir al-Qur’ân, karya „Abd al-Razzâq bin Hammam al-San‟any
41
Penulis mengumpulkan dan mangggabungkan data tersebut dari tiga kitab:
Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr , hlm. 97-160. Dalam kitab ini
disebutkan sebanyak 7 kitab. Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa, hlm. 147.
Dalam kitab ini disebutkan ada 8 kitab. Dan Yusuf Muhammad al‟Amiri, “Ka’b al-
Ahbâr: Marwiyyâtuhû , hlm. 107. Dalam kitab ini disebutkan sebanyak 11 kitab.
46
c. Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’ân, karya Muhammad bin Jarîr
al-Tabary. Tafsir ini terkenal dengan sebutan tafsîr al-Tabary.
d. Bahr al-‘Ulûm, karya Abî al-Laits, Nasr al-Dîn Muhammad bin
Ibrâhîm al-Samarqandy
e. Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, karya Abû Ishâq,
Ahmad bin Ibrâhîm al-Tsa‟laby
f. Ma’âlim al-Tanzîl, karya Abû Muhammad, al-Husain bin Mas‟ûd
bin Muhammad al-Baghawy. Tafsir ini terkenal dengan sebutan
tafsîr al-Baghawy.
g. Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, karya Abû
Muhammad, „Abd al-Haqq bin Ghâlib bin „Atiyyah al-Andalûsy.
h. Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âny al-Tanzîl, karya Abû Hasan, „Ali bin
Muhammad bin Ibrâhîm. Tafsir ini lebih dikenal dengan sebutan
Tafsîr Khâzin.
i. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, karya Abû al-Fidâ‟, Ismâ‟il bin „Umar
bin Katsîr al-Dimsyqy. Tafsir ini masyhur dengan sebutan Tafsîr Ibn
Katsîr.
j. Al-Jawâhir al-Hissân fî Tafsîr al-Qur’ân, karya Abû Zaid, „Abd al-
Rahmân bin Muhammad bin Makhlûf al-Tsa‟âly
k. Al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma’tsûr, karya „Abd al-Rahmân
bin Kamâl, Jalâl al-Dîn al-Suyûty
l. Rûh al-Ma’âny fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm wa al-Sab’ al-Matsâny,
karya Abû al-Tsana‟, Syihâb al-Dîn Mahmûd al-Alûsy al-Baghdady.
Tafsir ini lebih dikenal dengan sebutan Tafsîr al-Alûsy. Dan
terakhir,
m. Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, karya Muhammad Râsyid Rida. Tafsir
ini kemudian masyhûr dengan nama Tafsîr al-Mannâr.
47
BAB III
ABARIT-ALR ÎT DALAM KITAB TAFSÂLIYYÂÎRIWAYAT ISR
DAN IBN KATSÎR
A. Profil Kitab-Kitab Tafsîr yang Menggunakan Riwayat Isrâîliyyât
dan Biografi Pengarangnya
1. Tafsîr al-Tabari
Sederet peneliti dan ulamâ‟ ahli tafsir tidak memungkiri lagi
bahwa sosok Imam Ibn Jarîr al-Tabari (839-923 M./224-310 H.)
merupakan sosok yang teramat penting dan sangat berjasa dalam
tumbuh kembang ilmu pengetahuan. Kemahirannya dalam pelbagai
cabang ilmu pengetahuan semisal fiqh, târikh, ilmu hadîts, serta tak
lupa ilmu al-Qur‟ân, terutama tafsîr, menjadikan nama beliau
melambung tinggi dalam diskursus ilmu pengetahuan selama
berabad-abad.
Ketika membicarakan sosok al-Tabari, orang akan dengan
mudah mengenalnya sebagai seorang ulamâ‟ yang menguasai
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Melalui karyanya, Târîkh al-
Umam wa al-Mulk wa Akhbâruhum, nama Ibn Jarîr al-Tabari
mencuat hebat sebagai seorang bapak sejarawan Islam yang tidak
hanya diakui oleh para peneliti dan cendekiawan muslim saja,
melainkan juga para orientalis dan sarjana barat yang memang
memfokuskan diri untuk meneliti cikal bakal sejarah Islam.1 Juga
melalui karya tafsirnya, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân,
beliau kemudian dikenal sebagai bapak tafsir yang memelopori
aliran Tafsîr bi al-Ma‟tsûr sebab menyandarkan tafsirnya pada
periwayatan otoritas awal dengan tak lupa memberi ta‟lîq
1 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik hingga Modern, terj. M. „Alaika
Salamullah dkk. Cet. Ke-7 (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2014), hlm. 112
48
(komentar) dalam tafsirnya. Hal ini belum pernah ada pada tafsir-
tafsir sebelumnya. Hal itulah yang kemudian secara
berkesinambungan dilanjutkan oleh generasi mufassir selanjutnya.
Maka tak heran jika nama-nama sekaliber Imâm Ibn Katsîr serta
nama-nama mufassir tersohor lainnya acap kali mengutip pandangan
Imâm al-Tabari dalam kitab tafsir mereka. Sebab itu, sebelum terlalu
jauh membahas tentang riwayat isrâîliyât tentang Yûsûf dan
Zulaikhâ‟ dalam kitab tafsîr al-Tabari ini, penulis merasa penting
untuk sedikit mengupas tentang sosok Imâm al-Tabari ini lebih
lanjut berikut proses talâb al-„ilm yang beliau jalani guna menjadi
„ibrah untuk direnungkan bersama.
a. Kondisi Kehidupan Awal dan Riwayat Karir Intelektual
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Jarîr bin Yazîd bin
Khâlid bin Katsîr bin Ghâlib Abû Ja‟far al-Tabary al-Amûly.2
Nama belakang yang disematkan padanya, yakni al-Tabary atau
al-Amuly, merupakan nisbat dari tanah kelahirannya yakni Amûl,
ibukota Tabaristan, Iran. Menurut beberapa pakar, nisbat al-
Tabari di samping karena penisbatan kepada kota Tabaristan juga
sebagai nama kultural dari daerah tempat beliau lahir.3
2 Nama lengkap imâm al-Tabari ini penulis dapati dari hasil menggabungkan dari
beragam literatur yang penulis dapati. Kebanyakan literatur hanya menyebut sepintas
saja, sementara beberapa literatur menyebutnya dengan lebih lengkap meski dengan
sedikit perbedaan. Perbedaan itu terletak pada nama Khâlid dalam nasab beliau. Lebih
lengkap silakan cek, Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an, terj. Mudzakkir
AS (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), hlm. 526 dan Muhammad Jarîr al-Tabari,
Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân, cet. Ke-1 Juz 1 (Mesir: Hijr, 2001), hlm. 11. 3 Kota Tabaristan merupakan sebuah kota di Iran yang berada 12 atau 20 Km
sebelah selatan laut Kaspia. Kultur yang berkembang di sana adalah masyarakat yang
suka konflik dan berperang dengan menggunakan senjata tradisional berupa kapak
(Tabar). Dari sinilah panggilan kultural tersebut juga ikut kepada imâm al-Tabari. Lihat,
Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab Tafsir, cet. Ke-1 (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 20
49
Mengenai kapan beliau dilahirkan, ulamâ‟ dan para peneliti
tak ada yang menyebut secara pasti tahun berapakah beliau
dilahirkan. Ada yang menyebut tahun 223 H, sementara sumber
lain menyebutkan akhir tahun 224 H atau awal 225 H.4 Hal cukup
menarik yang patut untuk diangkat terkait dengan tahun lahir
Imâm al-Tabari ini adalah bahwa Imâm al-Tabari sendiri tidak
tahu kapan tepatnya beliau dilahirkan. Menurut beliau terjadinya
keambiguan tersebut karena pada masa beliau dilahirkan, orang-
orang terbiasa menandai sesuatu bukan dengan hitungan kalender
dan tahun, melainkan dengan kejadian-kejadian besar yang terjadi
di daerah itu.5
Boleh dibilang Imâm al-Tabari termasuk beruntung terlahir
dan tumbuh berkembang di tengah keluarga yang menaruh atensi
besar terhadap pentingnya pendidikan, terutama ayahnya.6 Hal itu
tidak terlepas dari perkembangan dan geliat pemikiran di dunia
4 Beberapa ulamâ‟ menyebut tahun 224 H sebagai tahun lahir imâm al-Tabari
tanpa menyebut tahun lain seolah-olah mantap dengan tahun itu meski tahun lahir imâm
al-Tabari masih diperselisihkan. Lihat, Muhammad bin Muhammad Abû Syahbah, al-
Isrâîliyyât wa al-Maudlû‟ât, hlm. 122; Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm.
235; Fahd bin „Abd al-Rahmân bin Sulaimân al-Rûmi, Buhûts fî Ushûl al-Tafsîr wa
Manâhijuhu, (ttp: Maktabah al-Taubah, t.t.), hlm. 144; Mustafa al-Bighâ dan Muhyi al-
Dîn Mastu, al-Wâdih fî Ulûm al-Qur‟ân, cet. Ke-2 (Damaskus: Dar al-„Ulûm al-
Insaniyyah,1998), hlm. 241; Fahd bin „Abd al-Rahmân al-Rûmi, Dirâsât fî „Ulûm al-
Qur‟ân, cet. Ke- 14 (Riyad: Penerbit Kerajaan, 2005), hlm. 169; Muhammad Husain al-
Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 147; dan Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Studi Ilmu-ilmu, hlm.
526. 5 Hal semacam ini juga biasa dipergunakan masyarakat tanah Arab, hingga tak
heran jika tahun lahir nabi Muhammad disebut-sebut sebagai tahun gajah. Mengenai
keambiguan yang dirasakan oleh Imâm al-Tabari dalam menentukan tahun lahirnya ini
bermula dari pertanyaan salah seorang muridnya yakni al-Qadi ibn Kâmil. Selengkapnya
lihat Pengantar Pentahqiq, yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki dalam,
Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân , hlm. 12 6 Ihwal semangat ayahnya mendidik imâm al-Tabari, lihat Pengantar Pentahqiq,
yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki dalam, Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟
al-Bayân, hlm. 12-13. Hal serupa juga diuraikan dalam, Mahmud al-Naqrasyi al-Sayyid
„Ali, Manâhij al-Mufassirîn min „Ashr al-Awwal ilâ al-„Ashr al-Hadîts, cet. Ke-1 Juz 1
(ttp: Maktabah al-Nahdah, 1986), hlm. 119-120.
50
Islam yang gencar dimulai sejak awal abad ketiga. Kondisi sosio-
cultural yang demikian tentu berpengaruh besar terhadap
psikologi Imâm al-Tabari, hingga berdasarkan pengakuannya,
beliau telah hapal al-Qur‟ân sejak umur 7 tahun, telah
mengimami shalat sejak umur 8 tahun dan telah mencatat hadîts
sejak berumur 9 tahun.7
Sejak masa kanak-kanak, Imâm al-Tabari telah memiliki
integritas dan ghîrah (semangat) yang tinggi dalam menuntut
ilmu—dan seperti disebutkan tadi, juga memiliki background
keluarga yang amat mementingkan pendidikan, hingga pada usia
yang cukup belia,8 beliau meninggalkan kampung halamannya
untuk mengembara demi menuntaskan dahaganya akan ilmu
pengetahuan.
Karir intelektual Imâm al-Tabari dimulai sejak dari Amûl,
kampung halamannya, dengan mendapat perhatian dan
bimbingan langsung dari ayahnya. Lingkungan yang kondusif,
geliat perkembangan ilmu pengetahuan yang sedang begitu
gencar serta perhatian dari keluarga menjadi faktor utama
(prominent factor) dasar theologis dan pengetahuan yang mantap.
Dengan didorong semangat ayahnya, ia berangkat
meninggalkan kampung halamannya menuju berbagai tempat
seperti Rayy, Basrah, Kuffah, dan tempat-tempat lain untuk
7 Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm. 21. Lihat juga Pengantar Pentahqiq,
yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki dalam, Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟
al-Bayân, hlm. 12 8 Husain al-Dzahaby menyebut bahwa imâm al-Tabari memulai rihlah
„ilmiyahnya sejak umur 12 tahun, sementara dalam literatur lain menyebut di usia 20
tahun. Lihat, Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 147, bandingkan
dengan Pengantar Pentahqiq, yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki dalam,
Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân , hlm. 13.
51
menimba ilmu. Di Rayy beliau berguru kepada al-Mutsanna bin
Ibrâhîm al-Ibily khusus dalam bidang hadîts dan juga sempat
berguru pada Abu „Abdillah Muhammad bin Humayd al-Râzy.9
Setelah cukup lama menimba ilmu di Rayy, beliau kemudian
berhijrah ke Baghdad dengan tujuan berguru pada Imâm Ahmad
bin Hanbal, sementara Imâm Ahmad bin Hanbal telah lebih dulu
wafat sesaat sebelum Imâm al-Tabari menginjakkan kaki di
Baghdad. Hal itu membuat beliau mencari guru lain dan menetap
sebentar di Baghdad sebelum kembali melanjutkan rihlah
ilmiyahnya ke arah selatan Baghdad, yakni kota Basrah dan
Kuffah. Akan tetapi sebelum sampai di daerah Basrah dan
Kuffah, beliau transit sejenak di kota Wasît untuk melakukan
studi dan riset.10
Sebelum menuju kota Kuffah, beliau terlebih dahulu
menimba ilmu pada ulamâ‟-ulamâ‟ kota Basrah. Nama-nama
ulamâ‟ semisal Muhammad bin Mûsa al-Harasyi, Muhammad bin
„Abd al-A‟la al-San‟any, dan sederet nama ulamâ‟ lain telah
menjadi guru Imâm al-Tabari sewaktu di Basrah. Selang
beberapa lama Imâm al-Tabari menetap dan menimba ilmu di
kota Basarah, beliau kemudian kembali melanjutkan rihlah
„ilmiyah ke kota yang berdampingan dengan kota Basrah, yakni
kota Kuffah. Di sana, beliau berguru pada ulamâ‟-ulamâ‟ semisal
Abû Kuraib, Muhammad bin „Ala‟ al-Hamdzany, Hannad bin al-
Sâri, dan beberapa guru lain.11
9 Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm. 22
10 Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm. 23
11 Lihat pengantar Pentahqiq, yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki dalam,
Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân, hlm. 13.
52
Mengetahui geliat ilmu pengetahuan yang makin
berkembang di Baghdad, beliau kembali ke kota metropolitan itu
setelah cukup lama berdiam dan menuntut ilmu di Kuffah dan
Basrah. Di kota yang menjadi pusat khîlafah Islâmiyah waktu itu,
beliau memusatkan perhataian pada „Ulûm al-Qur‟ân dan fiqh
dengan berguru pada Ahmad bin Yûsûf al-Tsa‟laby, al-Hasan bin
Muhammad al-Sabbah al-Za‟farany dan Abû Saîd al-Astakhary.12
Setelah merasa cukup menimba ilmu di Baghdad, beliau lalu
melanjutkan petualangan mencari ilmu ke kota Mesir serta ke
Fustât pada tahun 253 H. dengan fokus pada fiqh antar madzhab.
Catatan sejarah mengatakan bahwa setelah dari Mesir dan
Fustât itu, Imâm al-Tabari kembali melakukan perjalanan bolak-
balik di beberapa kota untuk mencari ilmu sembari melayani
orang-orang yang hendak belajar padanya. Beliau tercatat pernah
ke kota Syam lalu kembali untuk kedua kalinya ke kota Mesir.
Kembali ke kota Baghdad untuk ketiga kalinya sebelum melepas
kerinduan ke tanah kelahirannya di Amûl, Tabaristan setelah
sekian lama mengembara. Sejarah juga mencatat bahwa Imam al-
Tabari kembali pulang ke Tabaristan untuk kedua kalinya pada
tahun 290 H.. Pada akhir pengembaraannya, beliau kembali ke
kota Baghdad lagi dan menetap di sana hingga beliau wafat pada
hari Senin, 27 Syawal 310 H. atau 17 Februari 923 M. di usia 85
tahun.13
12
Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm, 23. Dalam mempelajari „ulûm al-
Qur‟ân ini, khususnya dalam bidang qirâ‟ah, imâm al-Tabari mendapat sanâd bacaan
Hamzah dan Warasy (yang keduanya merupakan imam qira‟ah masyhurah) dari seorang
ulamâ‟ bernama Yûnûs bin „Abd al-A‟la ketika di Mesir. Lihat, Ramzi Na‟na‟ah, al-
Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 234 13
Lihat pengantar Pentahqiq, yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki dalam,
Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân , hlm. 13.
53
Berkat pengembaraannya yang panjang dan melelahkan,
tentu banyak pula bidang-bidang ilmu pengetahuan yang beliau
kuasai. Tak lupa pula banyak sekali ulamâ‟ dan peneliti yang
menaruh atensi besar untuk meneliti sosok dan karya Imâm al-
Tabari. Sederet penghargaan dan pujian disematkan pada Imâm
al-Tabari seiring dengan proses dan karir intelektual yang
diusahakannya. Tak hanya ulamâ‟ atau cendikiawan muslim yang
menyematkan pujian pada Imâm al-Tabari, seorang orientalis
bernama Ignaz Goldziher mengatakan bahwa di dalam diskursus
sarjana barat, Imâm al-Tabari dikenal sebagai bapak sejarah
Islam di samping kemahirannya dalam bidang-bidang keislaman
yang lain yang tak bisa disangsikan lagi.14
Berkat
pengembaraannya yang panjang itu pula, beliau banyak
menghasilkan karya-karya monumental yang bahkan hingga hari
ini menjadi rujukan utama kajian-kajian sejarah maupun
keislaman. Banyak sekali karya beliau yang dapat kita temui
sebab telah rampung digarap dan mengalami proses cetak, dan
beberapa lainnya belum rampung dan belum pernah
dipublikasikan hingga kita hanya bisa mendengar namanya saja
sebab karya itu masih berupa manuskrip yang belum bisa tersebar
ke mana-mana.
b. Karya-karya Imâm al-Tabari
Seperti disampaikan di atas, berkat kemahiran Imâm al-
Tabari dalam berbagai bidang, juga didukung produktivitas beliau
dalam menulis dan membukukan apa yang telah beliau kuasai,
maka tak heran jika ada banyak sekali karya-karya beliau yang
berkontribusi besar dan menjadi rujukan di berbagai diskursus
14
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 112
54
ilmu pengetahuan. Berikut ini kami akan paparkan karya-karya
beliau berdasarkan konten atau tema yang dimuat di dalamnya:15
1) Bidang Fiqh.
Ada beberapa kitab karya Imâm al-Tabari yang
mengangkat masalah fiqh dan ushûl fiqh, di antaranya: Âdâb
al-Manâsik, al-Adâr fî al-Ushûl, Basît (belum sempurna
ditulis), Ikhtilâf al-Fuqahâ‟, Khafîf (291-296 H.), Latîf al-Qaul
fî Ahkâm Syarâi‟ al-Islâm, Mûjâz (belum sempurna ditulis),
Radd „Alâ Ibn „Abd al-Hakâm (sekitar 255 H.), al-Tabsyîr fî
al-Ushûl, dan Kitâb al-Zakâh.
2) Bidang al-Qur‟ân.
Di antara kitab karya Imâm al-Tabari dalam bidang al-
Qur‟ân yang penulis dapati dari beberapa literatur adalah: Fasl
Bayân fî al-Qur‟ân, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân
(270-290 H.), dan Kitâb al-Qirâât.
3) Bidang Hadits.
Beberapa karya Imâm al-Tabari dalam bidang hadîts
antara lain: „Ibârah al-Ru‟yâ, Tahdzîb al-Âtsâr (belum
sempurna ditulis), Fadâîl (belum sempurna ditulis), al-Musnâd
al-Mujarrâd, Târîkh al-Rijâl, Hadîts al-Yaman, dan Sharîh al-
Sunnah.
4) Bidang Tauhîd.
15
Bagian ini penulis banyak mengutip dalam Muhammad Yusuf, dkk., Studi
Kitab, hlm. 24-26. Hal ini dikarenakan buku tersebut merupakan hasil elaborasi dari
berbagai sumber seperti buku Franz Rosenthal, The History of al-Thabari, Muhammad
Bakar Ismâ‟îl, Ibn Jarîr al-Tabari wa Mahajuh fî al-Tafsîr, dan berbagai literatur lain
sehingga terkesan cukup lengkap. Tak lupa penulis juga akan coba mengelaborasikan
data-data tersebut dengan literatur yang penulis miliki. Baca juga, Mannâ‟ Khalîl al-
Qattân, Studi Ilmu-ilmu, hlm. 526. Baca juga pengantar Pentahqiq, yakni „Abdullah bin
„Abd al-Muhsin al-Turki dalam, Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân, hlm. 40-46
dan Fahd bin Abd al-Rahmân bin Sulaimân al-Rumi, Buhûts fi Ushûl, hlm.145
55
Dalam bidang teologi atau tauhîd, penulis mendapati
beberapa kitab karya Imâm al-Tabari, di antaranya: Dalâlah,
Fadâil „Ali bin Abî Thâlib, Radd „Alâ Dzî al-Asfar (sebelum
270 dan belum sempurna ditulis), al-Radd „Alâ al-
Harqûsiyyah, Sarîh, dan Tabsyîr/ al-Basyîr fî Ma‟âlim al-Dîn
(sekitar 290 H.).
5) Bidang Akhlâq.
Imâm al-Tabari juga memiliki karya di bidang akhlâq. Di
antara karya yang penulis dapati antara lain: Âdâb al-Nufûs al-
Jayyidah wa al-Akhlâq al-Nafîsah, Fadâîl, Mûjâz, Âdâb al-
Tanzîl, dan Tartîb al-„Ulamâ‟.
6) Bidang Sejarah.
Dalam bidang sejarah, karya Imâm al-Tabari yang penulis
catat di antaranya adalah: Dzayl al-Mudzayyil (setelah 300 H),
Târîkh al-Umâm wa al-Mulk wa Akhbâruhum (294 H.), dan
Tahdzîb al-Âtsâr.
7) Kitab-kitab yang Belum Rampung dan Belum Terpublikasi.
Penulis mendapati beberapa kitab karya Imâm al-Tabari
yang belum rampung dan belum terpublikasi, yakni: Ahkâm
Syarâi‟ al-Islâm, „Ibârat al-Ru‟yâ, al-Qiyâs (yang
direncanakan rampung di akhir hayatnya), Ikhtilâf al-Fuqahâ‟,
Tabsyîr Ûli al-Nuhâ wa Ma‟âlim al-Hudâ, Sârîh al-Sunnah,
Râmi al-Qaws, al-„Aqîdah, al-Jamî‟ al-Qirâat al-Masyhûrah
wa al-Syawwâdz, Hadîts al-Himyâr, dan al-Risâlah min Tiff
al-Qawl fî al-Bayân „an Ushûl al-Ahkâm.
c. Sekilas tentang Kitab Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ây al-Qur’ân.
Salah satu kitab yang membuat nama Imâm al-Tabari
diperhitungkan di tengah-tengah masyarakat membaca adalah
56
kitab Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân. Sebagai salah satu
kitab yang tergolong Ummahât al-Tafâsîr, kitab ini seringkali
menjadi rujukan, bahan penelitian serta objek kajian sebagaimana
penelitian yang dijalankan oleh penulis ini. Penulis merasa
penting agar sebelum fokus penelitian ini diarahkan pada riwayat
israiliyat dalam kitab tersebut, ada baiknya terlebih dahulu
mengupas sepintas tentang seluk beluk penulisan, metodologi
yang dipakai serta tak lupa bagaimana posisi kitab ini dalam
menyikapi riwayat-riwayat israiliyat tersebut.
1) Proses Penulisan
Ragam sumber tertulis menyebutkan bahwasanya Imâm
al-Tabari tumbuh pada masa keemasan pemikiran Islam, yakni
sekitar abad ke 9 hingga pertengah abad ke 10 Masehi atau
sekitar pertengahan abad ke 3 sampai awal abad ke 4 Hijriyah.
Di antara berbagai macam ilmu pengetahuan yang bergejolak
waktu itu, beliau hadir di saat perbincangan seputar ilmu
kalam (tauhîd) gencar dilaksanakan oleh aliran-aliran teologis.
Beliau juga tumbuh di saat peristiwa penting setelah era
khalîfah al-Mutawakkil, yakni hilangnya salah satu aliran
rasional Mu‟tazilah digantikan dengan aliran Asy‟ariyah yang
mana pendiri dari aliran itu adalah Imâm al-Asy‟ari yang
sebelumnya merupakan pemangku madzhab Mu‟tazilah.
Karena gejolak diskursus seputar teologi sedang berkembang
pesat waktu itu, beliau pernah dituduh seorang Rafidy
(kelompok ini lebih masyhur dikenal dengan Syi‟ah Rafidah/
ekstrimis Ali ibn Abi Talib kw.), akan tetapi melalui karya-
57
karyanya, beliau membuktikan bahwa dirinya tergolong
penganut sunni.16
Seiring dengan proses intelektual dan lingkungan yang
menaruh atensi besar akan pentingnya pendidikan tadi, maka
tak heran jika Imâm al-Tabari kemudian menghasilkan
beragam kitab dari sekian banyak cabang ilmu pengetahuan
yang beliau kuasai, baik fiqh, ilmu hadîts, târikh, dan tentu
juga ilmu al-Qur‟ân, terutama tafsîr. Kitab tafsîr monumental
karya Imâm al-Tabari lebih familiar dikenal dengan tafsîr al-
Tabari meski nama asli kitab itu adalah Jâmi‟ al-Bayân „an
Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân.
Imâm al-Tabari menulis kitab tafsir ini pada sekitar paruh
abad ke 3 H. dan sempat diajarkan pada murid-muridnya
selama sekitar delapan tahun yakni sekitar tahun 282 hingga
290 H.17
Hukum kausalitas berkata setiap sebab pasti memiliki
akibat, begitu juga dengan latar belakang disusunnya tafsir ini
oleh Imâm al-Tabari. Di samping permintaan orang-orang
yang menimba ilmu padanya, motivasi terbesar agar beliau
menulis sebuah kitab tafsir adalah berasal dari dorongan guru-
gurunya seperti Sufyân bin „Uyainah, Wâqi‟ bin al-Jarrâh, dan
sederet ulama‟ lain yang sejatinya menjadi faktor utama
lahirnya kitab tafsir yang dikarang oleh Imâm al-Tabari ini.18
Sejatinya sejak abad kedua Hijriyah, kajian seputar tafsîr
al-Qur‟ân sebagai cabang ilmu pengetahuan yang berdiri
sendiri (tidak lagi bercampur baur dengan hadîts atau dalam
kitab-kitab hadîts seperti jama‟ dilakukan oleh ulama‟ pada
16
Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm, 28 17
Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm, 30 18
Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm, 23
58
awal abad kedua Hijriyah) telah mulai dilaksanakan oleh para
ulama‟. Seperti lumrahnya metodologi penafsiran yang dipakai
turun temurun, ulama‟ pada masa itu juga memulai kajian
tafsîr bi al-Ma‟tsûr dengan cara menyampaikan riwayat-
riwayat yang disandarkan pada otoritas awal Islam sebagai
bahan untuk menafsirkan al-Qur‟ân dalam kitab mereka, baik
itu berupa hadîts, atsar sahabat atau bahkan riwayat-riwayat
isrâîliyyât yang bersumber dari orang-orang ahli kitab yang
telah memeluk Islam. Sayangnya karya-karya tafsir di masa
awal ini tidak ada yang tersisa dan sampai pada kita
sekarang.19
Para peneliti berpendapat bahwa pada mulanya manuskrip
kitab tafsir al-Tabari ini juga sempat menghilang dan baru
ditemukan di maktabah seorang „Amîr Najed, yakni Hammad
bin „Amîr abd al-Rasyîd. Goldziher menengarai ditemukannya
naskah itu disebabkan kebangkitan percetakan pada awal abad
ke 20. Kitab itu pertama kali diterbitkan di Kairo dengan
lengkap, yakni 30 juz dan sekitar 5200 halaman, yang mana
hal itu membuat sarjana barat maupun timur sontak terkejut
dan seolah mendapatkan angin segar bagi khazanah keilmuan
Islam, khususnya dalam bidang tafsir.20
Kitab tafsir itu, karena
19
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 112 20
Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm, 29. Lengkapi dengan Ignaz
Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 113-114 dan Fahd bin „Abd al-Rahmân bin
Sulaimân al-Rûmy, Buhûts fi Ushûl, hlm. 146
Sejarah mencatat, cetakan pertama dari kitab ini bertepatan pada tahun 1321 H.
dengan meletakkan tafsîr al-Nisabûry sebagai hamisy (catatan pinggir) dari kitab itu.
Lihat pengantar Pentahqiq, yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki dalam,
Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân, hlm. 57
Ada hal cukup janggal yang lagi-lagi penulis dapati, yakni dalam literatur yang
penulis miliki, ada dua buku yang membahas hal ini (tentang cetakan pertama kitab ini)
dan juga tentang kesimpulan dari metodologi yang dipakai oleh imâm al-Tabari dalam
59
memuat berbagai macam khazanah keilmuan sebagai pisau
analisis penafsiran, tergolong tafsir yang memiliki ribuan
jumlah halaman dan merupakan kitab yang amat sangat tebal.
Bahkan Imâm al-Subki berpendapat bahwa tafsîr Imâm al-
Tabari yang ada di tangan kita sekarang merupakan khulâsah
(ringkasan; resume) dari kitab orisinilnya.21
2) Metodologi dan Karakterisitik Penafsiran.
Membicarakan seputar metodologi dan karakteristik
penafsiran yang dipakai oleh Imâm al-Tabari dalam tafsirnya,
hal itu sekaligus berbicara ihwal kondisi sosial serta
metodologi dan karakteristik penafsiran yang dipakai oleh
mufassir pendahulunya. Sebab bagaimanapun, dalam dunia
literasi, bentuk tulisan apa pun akan juga bergantung pada
unsur ekstrinsik (sosial) pengarang di samping unsur intrinsik
karya itu sendiri. Dalam artian, sebuah karya tulis tidak akan
bisa terlepas dari subjektivitas pengarang meski si pengarang
sudah berusaha semoderat mungkin.
Sebagaimana mafhûm, sebelum Imâm al-Tabari
mengarang tafsîr tersebut, telah lebih dulu ada beberapa
ulama‟ yang juga mengarang kitâb tafsîr meski kebanyakan
kitâb tafsîr itu tidak sampai ke tangan kita saat ini. Style tafsîr
dengan cara menafsirkan ayat al-Qur‟ân dengan riwayat-
riwayat yang disandarkan pada otoritas awal Islam pada kitab-
kitâb tafsîr sebelum al-Tabari, secara tidak langsung juga
berpengaruh pada pemikiran Imâm al-Tabari dalam menulis
tafsirnya, dengan bahasa yang nyaris sama, hanya berbeda beberapa huruf dan kata saja.
Coba bandingkan, Fahd bin „Abd al-Rahmân bin Sulaimân al-Rûmi, Buhûts fi Ushûl,
hlm. 145-146 dengan Fahd bin „Abd al-Rahmân al-Rûmi, Dirâsât fî „Ulûm, hlm. 170-171 21
Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm, 29
60
tafsirnya. Maka tak heran jika tafsîr Imâm al-Tabari dikenal
dengan tafsîr bi al-Ma‟tsûr yang sangat identik dengan
riwayat-riwayat yang bersumber dari sahabat, tabi‟în dan tabi‟
tabi‟în.22
Poin plus yang dilakukan Imâm al-Tabari dalam
tafsirnya—yang mana tidak dilakukan oleh mufassir
sebelumnya, adalah beliau sesekali melakukan ta‟dîl dan tarjîh
demi bersikap moderat bahkan pada periwayat dari ibn „Abbâs
yang tersohor sekalipun.23
Meski kitâb tafsîr Imâm al-Tabari masyhûr dengan
predikat tafsîr bi al-Ma‟tsûr, tapi bukan berarti beliau
menafikan peranan akal. Dalam menentukan makna yang
paling tepat untuk sebuah lafaz, beliau menggunakan akal
setelah terlebih dahulu menganalisa makna asli kata itu dengan
berpedoman pada syai‟r-syai‟r Arab. 24
Peranan akal juga
22
Bahkan beliau tergolong orang yang sangat menentang keras penafsiran bi al-
ra‟yi. Ini terbukti dari muqaddimahnya yang menampilkan beberapa hadîts dan atsar
sahabah tentang buruknya tafsîr bi al-ra‟y. lihat, Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-
Bayân, hlm. 48. Lihat juga pada pengantar pentahqiq kitab ini di halaman 71-74. Hal
serupa juga dijelaskan dalam, Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 151-
152 23
Dalam hal ini terjadi saat beliau berkomentar pada Mujâhid dan al-Dahâk yang
merupakan periwayat dari Ibn „Abbâs. Lihat, Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari
Klasik, hlm. 115; Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm,31 24
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 156
Ada perbedaan mendasar yang penulis temui, yakni dalam satu sumber
mengatakan bahwa dalam kajian linguistic, imâm al-Tabari mengacuhkan aliran-aliran
gramatikal bahasa dan perkembangan bahasa yang masyhûr di kalangan masyarakat,
lihat Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm, 29-30. Sementara Ignaz Goldziher
berpandangan bahwa imâm al-Tabari menyajikan secara terperinci pembahasan seputar
perbedaan kajian kebahasaan antara ulama‟ Kuffah dan Basrah dengan tetap menjadikan
kesesuaian dengan dalil naql sebagai “detector” kebenaran. Lihat, Ignaz Goldziher,
Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 120. Lihat juga penjelasan serupa pada pengantar
Pentahqiq, yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki dalam, Muhammad Jarîr al-
Tabari, Jâmi‟ al-Bayân, hlm. 51-52. Hal tersebut dijelaskan pula dalam Mustafa al-
Bighâ‟ dan Muhyi al-Dîn Mastû, al-Wâdih fî „Ulûm, hlm. 242. Juga dalam Muhammad
Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm.156
Sementara dari sisi penggunaan syai‟r-syai‟r „Arab sebagai bahan kajian dalam
menentukan makna kata dalam al-qur‟ân, imâm al-Tabari melakukan hal itu karena
61
tampak digunakan oleh Imâm al-Tabari saat menetukan
korelasi antara satu ayat dengan ayat lain (munâsabah) dalam
tafsirnya. Tak lupa, ketika beliau dihadapkan dengan pendapat
yang saling kontradiktif, beliau jelaskan hal itu dengan rinci
kemudian memberikan penekanan antara setuju dan tidak
dengan mengemukakan argumentasi sanggahan.25
Hal ini
terjadi pada nyaris setiap perbincangan yang mengandung
polemik dalam tafsirnya, baik dalam menjelaskan makna kata
melalui syai‟r atau qirâ‟ah.26
, atau juga dalam hal-hal seputar
fiqh serta teologi.
Amat penting untuk diketahui bahwa Imâm al-Tabari
menerapkan standard tertentu ketika hendak bersikap selektif
atau lebih longgar. Khusus ketika sampai pada ayat yang
bermuatan theologies, melalui penafsirannya, beliau tampak
cukup serius dalam membela Ahl al-Sunnah ketika bersilang
pendapat dengan pandangan kaum Mu‟tazilah dan doktrin
tertentu meski beliau sudah bersikap moderat sebagai pengkaji
yang memiliki sifat laiknya akademisi.27
Kecendrungan beliau
untuk mengupas tuntas hal-hal berbau teologis tidak terlepas
memang disandarkan atas rekomendasi Ibn „Abbâs yang memang menyarankan agar
menggunaan syai‟r-syai‟r Arab sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kosa kata
al-Qur‟an yang cukup sulit, sebab syai‟r-syai‟r „Arab merupakan dîwân „Arab.
Selengkapnya lihat pengantar Pentahqiq, yakni „Abdullah bin „Abd al-Muhsin al-Turki
dalam, Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân, hlm. 52 25
Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm, 31-32 26
Dalam menjelaskan arti kata, salah satu cara imâm al-Tabari adalah
memaparkan qirâ‟ah secara variatif untuk menganalisis kesesuaian makna dan
menjatuhkan pilihan pada qirâ‟ah yang menurutnya paling tepat. Lihat. Muhammad
Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm. 29-30. Hal serupa juga dijelaskan dalam, Ignaz Goldziher,
Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 115. Lihat juga dalam, Muhammad Husain al-Dzahaby,
al-Tafsîr wa, hlm. 152-154. 27
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 158-160.
Dari saking sifat akademisi yang dimilikinya, ia pernah tidak disenangi oleh
pengikut madzhab hanbali, lihat Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 121.
Bandingkan dengan Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm. 31
62
dari lingkungan sekitar yang sedang gencar memperdebatkan
khilafiyah teologis.28
Hal ini menandakan bahwa Imâm al-
Tabari tidak mau main-main ketika membicarakan tema
seputar teologi. Berbeda halnya ketika beliau membahas
sebuah tema dalam ranah fiqh. Beliau melakukan Istinbât al-
Hukm (penetapan hukum) dengan tanpa taqlîd dan tanpa
melibatkan diri pada perselisihan pandangan yang dapat
menimbulkan perpecahan. Tentu dengan hal ini beliau
menunjukkan diri sebagai mufassir yang lebih mengedepankan
sisi teologis dari pada furû‟iyah fiqh.
Salah satu hal yang boleh dibilang cukup dibiarkan
longgar oleh Imâm al-Tabari adalah ketika menuqil riwayat
isrâîliyyât. Sebagai sejarawan, beliau tentu tertarik untuk
mengupas tuntas ketika berhadapan dengan ayat yang
bermuatan kisah-kisah yang tersaji indah dalam al-Qur‟ân.
Dan hal itu beliau lakukan dengan menuqil riwayat-riwayat
isrâîliyyât.
Dari pemaparan data di atas serta dari kajian langsung
terhadap kitab tafsir ini, maka tampak jelas sekali bahwa
metodologi tafsîr al-Tabari adalah:
a) Sumber penafsiran tergolong bi al-Ma‟tsûr karena peranan
riwayat lebih terasa dari pada peranan „aql ketika al-Tabari
melakukan penafsiran.
b) Metode penafsiran tergolong Tahlîly, sebab al-Tabari tidak
hanya menafsirkan ayat sepintas lalu saja, melainkan juga
seringkali membahas panjang lebar, apalagi menyangkut
ayat-ayat teologis sebagaimana penulis paparkan di atas.
28
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 125
63
c) Sistematika penafsiran tafsir al-Thabari tergolong
menggunakan tartib (susunan) mushafi, yakni di awali dari
surah al-Fatihah dan berakhir di surah al-Nash. Tartib ini
memang dipakai oleh mayoritas mufassir. Dan
d) Corak penafsiran tafsîr al-Tabari ini tergolong Adab
Ijtima‟i, sebab kajian kebahasaan amat kental terasa dengan
dipadukan dengan membahas tuntas isu-isu kemanusiaan
yang sedang diperbincangkan pada masanya.
3) Posisi terhadap Isrâîliyyât.
Seperti yang telah dikemukakan di poin sebelumnya
bahwa Imâm al-Tabari cendrung lebih longgar ketika
mencantumkan riwayat-riwayat isrâîliyyât dalam tafsirnya.
Beliau melakukan hal itu (bersikap cukup longgar terhadap
riwayat isrâîliyyât) dengan persepsi bahwa riwayat-riwayat
tersebut telah dikenal oleh mayarakat Arab dan tidak
menimbulkan kerugian dan bahaya bagi agama.29
Meski terbilang cukup longgar dalam meriwayatkan
isrâîliyyât, namun Imâm al-Tabari juga cukup selektif dalam
menuqil riwayat isrâîliyyât yang baginya tidak berguna seperti
riwayat isrâîliyyât menyangkut pertanyaan-pertanyaan seperti
apakah di langit ada makanan, ketika mengomentari surah al-
Mâ‟idah yang pada saat itu turun makanan dari langit atas
permintaan Nabi Isa as., juga saat dihadapkan dengan
pertanyaan dengan harga berapakah Nabi Yûsûf dijual? Atau
warna apa anjing Ashabul Kahfi? dan beragam pertanyaan tak
penting lainnya. Imâm al-Tabari berkomentar bahwa
29
Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm. 31-32
64
mengetahui hal itu tidaklah bermanfaat dan ketidaktahuan
tentangnya bukan sebuah keburukan.30
Dalam kitab tafsir ini, banyak sekali riwayat isrâîliyyât
yang muncul. Nyaris semua riwayat yang dinuqil dalam kitab
ini bersumber dari Ka‟ab al-Ahbar, Wahb bin Munabbih, Ibn
Juraij, dan al-Sûdi. Ada pula riwayat isrâîliyyât yang didapat
dari Muhammad bin Ishâq, yang mana dia (Muhammad bin
Ishâq) juga mengambil riwayatnya dari orang-orang ahli kitab
yang telah lebih dulu masuk islam.31
Pengambilan riwayat
isrâîliyyât yang banyak dalam kitab ini tidak terlepas dari jiwa
sejarawan yang dimiliki al-Tabari, guna melengkapi puing-
puing sejarah.32
Imâm al-Tabari banyak sekali meriwayatkan isrâîliyyât
yang ada kaitannya dengan catatan sejarah, dan amat selektif
terhadap riwayat yang menjelaskan detail-detail yang tak
cukup penting untuk diketahui. Dalam artian, Imâm al-Tabari
sebagai sejarawan, lebih mengedepankan aspek kepentingan
sejarah dari pada kualitas riwayat yang ditampilkan.33
Tak
heran lagi jika Husain al-Dzahaby dalam sebuah kitabnya yang
khusus mengupas riwayat-riwayat israiliyat dalam kitab-kitab
tafsîr dan hadîts, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts,
berpandangan bahwa kitab tafsir al-Tabari ini tergolong tafsir
yang menuqil isrâîliyyât dengan menyebut lengkap dan detail
sanad periwayatannya namun jarang sekali memberikan
30
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 117-118. Bisa dilihat juga
dalam, Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 155 31
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 97. Lihat juga
dalam, Mannâ‟ Khalîl al-Qattân, Studi Ilmu-ilmu, hlm. 493 32
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm.154; Muhammad Yusuf,
dkk., Studi Kitab, hlm. 32-33 33
Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 248-249.
65
komentar atau mengritik terhadap riwayat yang
dicantumkan.34
2. Tafsîr Ibn Katsîr
Sebelum melangkah pada pembahasan lebih lanjut, perlu
kiranya memperjelas bahwa sejatinya dalam bidang keilmuan al-
Qur‟ân dikenal dua tokoh dengan nama Ibn Katsîr, yakni Ibn
Katsîr dengan nama lengkap Abû Muhammad „Abdullah Ibn Katsîr
al-Dâry al-Makky yang lahir di Mekkah pada tahun 45 H/665 M. dan
Ibn Katsîr dengan nama lengkap Abû al-Fidâ Ismâîl Ibn „Amr Ibn Katsîr
Ibn Zarâ‟ al-Busra al-Dimasyqy yang lahir pada kisaran tahun 700
H/1300 M.
Ibn Katsîr yang disebut pertama adalah seorang ulamâ dari
generasi tâbi‟în yang juga dikenal sebagai salah seoarng imâm dari
tujuh imâm dalam Qirâ‟ah Sab‟ah, sementara Ibn Katsîr yang
disebut terakhir merupakan tokoh mufassir yang hidup pada awal
abad ke-8 H.35
Ibn Katsîr yang disebut terakhir inilah yang biografi
serta kitab tafsirnya akan diulas dan dikaji dalam penelitian ini.
a. Kondisi Kehidupan Awal dan Riwayat Karir Intelektual
Imâm Ibn Katsîr bernama lengkap „Imâd ad-Dîn Abû al-
Fidâ‟ Ismâîl Ibn Amar Ibn Katsîr Ibn Zara‟ al-Busra al-Dimasyqi.
Beliau lahir di Basrah desa Mijdâl pada tahun 700 H/1300 M. Di
dalam beberapa literatur lain, disebutkan nama Ibn Katsîr dengan
Imâm ad-Dîn Abû al-Fidâ‟ Ismâîl Ibn al-Khâtib Syihab ad-Dîn
Abi Hafsah Umar Ibn Katsîr al-Quraisy a l-Syâfi‟i. Penyebutan
gelar al-Busrawi atau al-Busra di belakang namanya, berkaitan
dengan tempat ia lahir yaitu di Basrah, begitu pula dengan gelar
34
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 97 35
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat dalam Tafsir Al-Tabari dan
Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 69
66
al-Dimasyqi, hal ini dikarenakan kota Basrah adaalah baagian
dari kawasan Damaskus.36
Musibah tidak terduga menimpanya saat umur tujuh tahun
atau dalam beberapa literatur menyebut umur tiga tahun, yakni
saat ayahnya meninggal dunia. Sejak saat itu, ia diasuh oleh
kakaknya, Kamâl al-Dîn „Abd al-Wahhâb di Damaskus. Dari
sinilah Ibn Katsîr memulai pengembaraan keilmuannya dengan
banyak bertemu dengan para ulama-ulama besar pada saat itu,
termasuk Syaikh al-Islâm Ibn Taimiyah, Bahâ‟ al-Dîn al-Qasimy
Ibn „Asâkir (w. 723), juga Ishaq Ibn Yahya al-„Amidi (w. 728).37
Oleh karena bertemu dengan para ulama-ulama masyhûr di
zamannya, Ibn Katsîr mampu mempelajari dan mendalami
berbagai macam bidang ilmu-ilmu keislaman. S elain dalam
bidang tafsîr, Ibn Katsîr juga sangat menguasai bidang hadîts,
fiqh, dan sejarah. Hal itu dibuktikan dengan banyak karya-
karyanya yang berkaitan dengan hal tersebut. Maka dari itu,
sangat wajar jika dia diberi gelar sebagai mufassir, muhaddits,
fâqîh, sekaligus muarrikh. Terkhusus dalam bidang hadîts, Ibn
Katsîr banyak belajar dari ulama-ulama Hijaz. Ia memperoleh
Ijazah dari Imâm al-Wâni, juga tak lupa dari muhaddits terkenal,
Jamâl al-dîn al-Mizzy (w. 724 H/1342 M), penulis kitab
Tahdzîb al-Kamâl fî asmâ‟ al-Rijâl, yang kemudian menjadi
mertuanya sendiri. 38
b. Karya-Karya Imâm Ibn Katsîr
36
Muhammad Husain al-Dzahaby, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid II,
(Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), hlm. 242. Coba bandingkan pula dengan Rosihon
Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat.,.hlm. 69. 37
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat., hlm. 70 38
Dedi Nurhaedi dkk, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 132.
Lihat juga, Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir al-Qur‟an (dari Klasik Hingga
Kontemporer), (Yogyakarta: Kaukaba, 2013), hlm. 75.
67
Ada banyak karya yang muncul sebagai buah pikiran Imâm
Ibn Katsîr, dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan.
Dalam bidang sejarah, misalnya, Ibn Katsîr menulis beberapa kitab
antara lain al-Bidâyah wa al-Nihâyah, al-Fushûl fî Sîrah al-
Rasûl, Tabaqât al-Syâfi‟iyyah, Qasas al-Anbiyâ‟, dan Manâqib
al-Imâm al-Syâfi‟i. Dari beberapa kitab sejarah yang disebutkan
tadi, kitab al-Bidâyah wa al-Nihâyah adalah karya
monumentalnya dalam bidang sejarah.
Sementara dalam bidang hadîts, Ibn Katsîr menulis sejumlah
kitab di antaranya Kitâb Jâmi‟ al-Masânid wa al-Sunnan, al-
Kutub al-Sittah, al-Takmîlah fî Ma‟rifat al-Tsiqât wa al-Du‟afâ‟
wa al-Mujâhal, al-Mukhtasar sebagai ringkasan kitab
Muqaddimah li „Ulûm al-Hadîts karya Ibn Salah, serta tak lupa
Adillah al-Tanbîh li „Ulûm al-Hadîts. Selain yang telah
disebutkan tadi, Ibn Katsîr juga mensyarahi kitab Sahîh Bukhâri
yang penyelesaiannya dilanjut oleh Ibn Hajar al-Asqallâni.
Khusus dalam bidang fiqih, terdapat karya Ibn Katsîr yang
tidak terselesaikan. Ia berencana untuk membuat sebuah kitab
fiqih yang berlandaskan al-Qur‟ân dan al-hadîts, tetapi yang
terealisasi hanya satu bab yang membahas ihwal fiqh ibadah
dalam persoalan haji yang ditulis dalam satu bab. Selain semua
karya yang sudah disebutkan, tentu Ibn Katsîr juga memiliki
karya di bidang tafsir yang dinamai Tafsîr al-Qur‟ân al-Azîm atau
yang disebut juga dengan Tafsîr Ibn Katsîr.39
c. Sekilas tentang Kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm.
1) Proses Penulisan
39
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat.,. hlm. 70-71
68
Sebelum lebih lanjut memaparkan ihwal metode dan
karakteristik kitab tafsîr karya Ibn Katsîr, maka penting
kiranya memaparkan sepintas tentang hal-hal seputar proses
penulisan tafsîr ini. Para pengkaji sejarah kitab-kitab tafsîr
pada umumnya menyebut Tafsîr Ibn Katsîr ini dengan nama
Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm, meskipun memang jika ditelusuri
lebih lanjut, tafsîr yang ditulis oleh Ibn Katsîr ini belum ada
kepastian mengenai judulnya. Hal itu dikarenakan Ibn Katsîr
nampaknya tidak pernah menyebut secara gamblang nama
kitab tafsîr yang dikarangnya ini, berbeda dengan apa yang
biasa dilakukan oleh penulis-penulis klasik lainnya yang
menulis judul kitabnya pada bagian mukadimah. Meski begitu,
di lain sisi, Imam „Ali al-Sabûny berpandangan bahwa nama
tafsîr itu adalah pemberian dari Ibn Katsîr sendiri, sehingga
generasi setelahnya terbiasa menyebut kitab itu dengan judul
Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm.40
Dari paparan di atas, terdapat dua kemungkinan yang bisa
terjadi ihwal penamaan tafsîr karya Ibn Katsîr ini, yakni
pertama, bahwa bisa jadi penamaan tafsîr ini dengan nama
Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm, diprakarsai oleh ulama-ulama
setelah Imam Ibn Katsîr, atau bisa jadi memang Ibn Katsîr
sendiri yang memberi penamaan itu dengan tanpa
menyebutkannya di bagian mukadimah sebagaimana
kebiasaan ulama-ulama klasik pada zamannya.
Sementara itu, berbicara ihwal muatan yang terdapat
dalam kitab tafsîr ini kaitannya dengan geneologi keilmuan,
40
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat.,. hlm. 71
69
maka adalah hal yang niscaya bahwa pemikiran seseorang
tentu, disengaja atau tidak, akan dipengaruhi oleh pemikiran-
pemikiran generasi ulama sebelumnya. Contoh sederhana yang
menjadi bukti sahih asumsi ini adalah bahwa filsafat Islam
sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani yang telah lebih dulu
berkembang. Maka dalam proses penulisan kitab tafsîr ini, Ibn
Katsîr juga tidak terlepas dari pengaruh pemikiran-pemikiran
ulama-ulama generasi sebelumnya, seperti Ibn „Atiyyah, Ibn
Jarîr al-Tabari, Ibn Abi Hâtim, serta ulama-ulama lainnya. 41
2) Metodologi dan Karakterisitik Penafsiran
Jika mengacu pada periodesasi penafsiran yang dibuat
oleh Abdul Mustaqim dalam bukunya Dinamika Sejarah
Tafsir al-Qur‟ân, maka tafsîr Ibn Katsîr ini tergolong tafsîr era
pertengahan. Periodesasi yang disusun oleh Abdul Mustaqim
itu memungkinkan meneliti karakteristik dan metode yang
dipakai dalam mengarang suatu kitab tafsîr berdasarkan
rentang zamannya.
Dalam buku lain, Abdul Mustaqim menyebut era
pertengahan ini sebagai era afirmatif dengan nalar ideologis.
Karakteristik penafsiran di era tersebut, menurut Abdul
Mustaqim, banyak dipengaruhi atau lebih didominasi oleh
kepentingan-kepentingan politik, golongan, madzhab, atau
bahkan ideologi keilmuan.42
Membahas soal bentuk-bentuk tafsîr, Nasharuddin Baidan
memetakan bentuk tafsîr dalam dua bagian, yakni tafsîr bi
41
Muhammad Husain al-Zahaby, Tafsîr wa al-mufassirûn Juz 1,hlm. 175. 42
Abdul Mustaqim, Epistemologi tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKIS,
20012), hlm. 45.
70
al-ma‟tsûr (berdasarkan riwayat), dan yang kedua tafsîr bi al-
ra‟yi (akal). Dengan melihat sejarah penafsiran al-Qur‟ân,
bentuk tafsîr bi al-ma‟tsûr bisa dikatakan adalah bentuk yang
pertama lahir dalam penafsiran al-Qur‟ân, hal ini lebih
dikarenakan masa yang tidak terlalu jauh dari Nabi sehingga
penafsiran-penafsirannya lebih banyak berpedoman kepada
hadits-hadits Nabi maupun pendapat-pendapat para sahabat
dan para tâbi‟în. Sementara itu, masa pertengahan di mana
tafsir Ibn Katsîr ini lahir, disebut-sebut sebagai masa
pergeseran dari bi al-ma‟tsûr ke tafsir bi al-ra‟yi.43
Di saat melihat tafsîr Ibn Katsîr lebih dalam, dapat
dijumpai bahwa meskipun tafsîr ini lahir di era pertengahan,
dimana pada era ini tafsîr bi al-ra‟yi perlahan-lahan mulai
mendominasi corak tafsîr, akan tetapi tafsîr Ibn Katsîr
kecenderungannya lebih menggunakan bentuk tafsîr bi al-
ma‟tsûr. Hal ini diamini oleh al-Dzahaby yang berpandangan
bahwa tafsîr Ibn Katsîr menggunakan metode menafsirkan al-
Qur‟ân dengan al-Qur‟ân, menafsirkan al-Qur‟ân dengan
hadîts, menafsirkan al-Qur‟ân dengan ijitihad-ijtihad para
sahabat dan tâbi‟în, yang mana metode menafsirkan al-
Qur‟ân semacam ini, menurut Ibn Katsîr sendiri dalam
muqaddimah tafsirnya menyebut bahwa metode tersebut
adalah metode yang terbaik untuk menafsirkan al-Qur‟ân.44
3) Posisi terhadap Isrâîliyyât.
43
Nasharuddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur‟an “Kajian Kritis terhadap Ayat-
ayat yang Beredaksi Mirip”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 57. 44
Mâni‟ „Abd Halîm Mahmûd, Manhaj al-Mufassirīn terj. Syahdianor dan Faisal
Saleh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 60.
71
Seperti disebutkan di awal, bahwa salah satu sumber
penafsiran pada masa klasik maupun pertengahan adalah
banyak kisah-kisah isrâîliyyât yang disusupkan ke dalam tafsîr
maupun hadîts. Kisah-kisah isrâîliyyât adalah cerita-cerita
kuno dari Yahudi maupun Nasrani atau pengaruh
kebudayaannya terhadap tafsîr. Cerita Isrâîliyyât juga memilki
jalur periwayatan, oleh karena itu ada isrâîliyyât yang sahih
dan ada yang da‟if, ada yang sesuai dengan syari‟at islam dan
ada yang tidak sesuai.
Ibn Katsîr yang juga dikenal tidak hanya sebagai
mufassir, melainkan juga muhaddits dan ahli sejarah, tentu
akan lebih selektif memilih riwayat-riwayat yang sahih untuk
dipaparkan dalam kitab tafsirnya, sehingga kemungkinan besar
riwayat isrâîliyyât yang dikemukakannya memiliki sanad
yang sahih. Namun begitu, seperti halnya kondisi yang dialami
Ibn Jarîr al-Tabari sebagai sesama sejarawan, Ibn Katsîr juga
beberapa kali mengutip kisah-kisah isrâîliyyât yang da‟if
sebagai pelengkap kisah-kisah yang ada dalam al-Qur‟ân,
namun diikuti penjelasan soal letak keda‟ifannya, atau ketika
riwayatnya sahih ia juga menjelaskan sisi kesahihannya.
Contoh penafsiran Ibn Katsîr yang menggunakan riwayat
isrâîliyyât terdapat dalam penafsiran surah an-Nâzi‟ât ayat 30,
“… dan bumi sesudah itu dihamparkan”. Ibn Katsîr
mengemukakan isrâîliyyât yang disampaikan M uslim dan
dari Abû Hurairah bahwa, “Allah telah menciptakan tanah
pada hari Sabtu, gunung pada hari Ahad, pohon-pohon pada
hari Senin, sesuatu yang dibenci pada hari Selasa, cahaya pada
hari Rabu, binatang pada hari K amis dan Adam pada hari
72
Jum‟at antara ashar dan malam.” Begitu selesai menyebut
riwayat tadi, Ibn Katsîr langsung menjelaskan ihwal kualitas
sanadnya yang ternyata Gharîb.
Dalam kesempatan lain, ada pula kisah yang dikemukakan
oleh Ibn Katsîr, yang riwayatnya bersumber dari Ibn „Abbâs,
yang berbunyi: “Di balik bumi ini, Allah menciptakan sebuah
lautan yang melingkupinya. Di dasar laut itu, Allah telah
menciptakan pula sebuah gunung yang bernama Qâf. Langit
dan buni ditegakkan di atasnya. Di bawahnya, Allah
menciptakan langit yang mirip seperti bumi ini yang
jumlahnya tujuh lapis, sehingga semuanya berjumlah tujuh
lapis bumi, tujuh lautan, tujuh gunung, dan tujuh lapis
langit”. Riwayat isrâîliyyât ini dikemukakan Ibn Katsîr saat
manafsirkan awal Surah Qâf. Begitu selesai mengemukakan
riwayat isrâîliyyât tadi, seperti biasa Ibn Katsîr langsung
mengomentari kualitas sanadnya yang ternyata menurutnya
terputus dan bertentangan dengan riwayat Ibn „Abbâs
lainnya.45
Dari paparan-paparan tadi, bisa diketahui bahwa kisah-
kisah israîliyyât da‟if yang dikemukakan Ibn Katsîr dalam
tafsirnya, bukan merupakan tafsiran terhadap ayat, melainkan
sebatas mengungkapkan bahwa dalam konteks ayat itu
terdapat kisah-kisah isrâîliyyât yang tidak boleh dijadikan
dasar sebab cacat dari sisi kualitas sanad. Walau begitu, Ibn
Katsîr juga memiliki pandanagan tentang isrâîliyyât bahwa
karena kisah-kisah isrâîliyyât tidak diketahui kebenaran dan
kebohongannya, maka berita itu tidak perlu dibenarkan sebab
45
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat.,. hlm. 127.
73
dimungkinkan mengandung dusta tetapi juga jangan
didustakan sebab dimungkinkan masih mengandung
kebenaran.46
B. Riwayat-Riwayat Isrâîliyyât dalam Kitab Tafsîr al-Tabari dan Ibn
Katsîr serta Komparasinya dengan Kitab-Kitab Tafsir Lain
Setelah mengupas sepintas ihwal biografi, perjuangan, berikut
sekilas tentang dua kitab tafsîr yang menjadi fokus dalam penelitian ini,
maka pada sub bab ini, penulis akan menghadirkan riwayat-riwayat
isrâîliyyât dalam surah Yûsûf yang terdapat dalam dua kitab tafsîr
tersebut, yang mana hal itu berkaitan dengan tema nama istri al-„Azîz
dalam ayat ke-21, ketergodaan Nabi Yûsûf dalam ayat ke-24, dan
seputar pernikahan Nabi Yûsûf dalam ayat ke-56. Selain itu, dengan
tujuan mengetahui pengaruh isrâîliyyât dalam kitab tafsîr sebelum nanti
dikaji secara umum maupun khusus di bab selanjutnya, maka dalam
sub bab ini, penulis juga akan memaparkan komparasi penafsiran
berlandaskan isrâîliyyât dalam dua kitab tafsîr tadi dengan kitab-kitab
tafsîr lain yang masih tergolong tafsîr bi al-Ma‟tsûr.
1. Nama Istri al-‘Azîz dalam Sûrah Yûsuf Ayat 21
Ayat ke-21 dalam sûrah Yûsûf yang dimaksud di sini adalah
firman Allah:
يٱوقال ى ش ٱلذ ي ت ص تم لي ك ۦ رأ
ى يث رمأ نعسى
ا أ يفع
و ذالكوكذ ا ولدۥنتذخذه أ فيمذ س ٱفل
ول ضرل يۥعو وينتأ
ٱ ل ٱوحاايي للذ ىغهب م ع
أ ذول ۦره ك ك
نيع للذاسٱثأ ٢١و
46
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat.,. hlm.139.
74
“Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada isterinya:
„Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi
dia bermanfaat kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak.‟ dan
demikian pulalah kami memberikan kedudukan yang baik kepada
Yusuf di muka bumi (Mesir), dan agar kami ajarkan kepadanya
ta'bir mimpi. dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”
a. Penafsiran al-Tabari
Dalam tafsîr al-Tabari, nyaris tidak ada riwayat yang
menyebut ihwal nama istri al-„Azîz ini. Kebanyakan riwayat yang
dipaparkan menggunakan kata Imra‟ah al-„Azîz. Satu-satunya
riwayat yang mengupas hal ini adalah yang menyebut bahwa istri
al-„Azîz itu bernama Râ‟îl bintu Ra‟âîl. Sanad riwayat ini al-
Tabari dapatkan dari Ibn Humaid. Ibn Humaid meriwayatkan dari
Salâmah. Sementara Salâmah menerima riwayat itu dari Ibn
Ishâq.47
لياع:راقحسإنابركاذميافهاس(،ووتأرملرصمنماهرت ياشذال الق)و
.اقحسإنابن،عةملاسنث د :حال،قديحنابكلذابنث د ح .ليائعرتنب
b. Penafsiran Ibn Katsîr
Berbedahalnya dengan Imâm al-Thabari, dalam menafsirkan
ayat di atas, Ibn Katsîr tidak mencantumkan mata rantai riwayat
saat mengemukakan ihwal nama istri al-„Azîz. Dalam tafsîr Ibn
Katsîr disebutkan riwayat bahwa nama istri al-„Azîz adalah Râ‟îl
bintu Ra‟âîl dengan hanya disandarkan pada satu nama periwayat
yang juga menjadi sumber riwayat Imâm al-Tabari, yakni
Muhammad Ibn Ishâq. Selain itu, ada pula penyebutan nama
47
Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân, cet. Ke-1
Juz 13 (Mesir: Hijr, 2001), hlm. 62
75
Zalîkhâ‟ sebagai nama istri al-„Azîz, namun sayangnya riwayat
ini hanya disampaikan dengan redaksi wa qâla ghairuhu.48
نائزىخلعانك,وزي زعالوىوبيحورنبري فطإوس:ااقحسإنبدم مالقو
وتأرامماس:وال.ققيالمعالنملجرديلوالنبني الر ذئموي كلمالانك,ورصم
اخيازلهس:اهري غالقو .ليائعرتنبلياعر
c. Komparasi dengan Kitab-Kitab Tafsîr Lain
1) Tafsîr Muqâtil bin Sulaimân (150 H.)
Dalam tafsîr ini disebutkan bawa nama imra‟ah al-„Azîz
adalah Zulaikhâ‟ tanpa mencantumkan mata rantai riwayat
yang lengkap.49
2) Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Razzâq (211 H.)
Imâm „Abd al-Razzâq al-San‟any tampaknya cenderung
lebih berhati-hati dalam tafsirnya ini. Beliau tidak
mengemukakan nama imra‟ah al-„Azîz dan hanya
mencukupkan diri dengan menyebut mar‟ah/imra‟ah dalam
tafsirnya.50
3) Bahr al-„Ulûm/ Tafsîr al-Samarqandî (373 H.)
48
Ismâîl Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm, Cetakan Pertama, Juz 8 (Mesir,
Maktabah Aulâd as-Syaikh li at-Turâts, 2000), hlm. 25 49
Muqâtil ibn Sulaimân al-Balkhi, Tafsîr Muqâtil bin Sulaimân, cet. Ke-1 Juz 2
(Beirut: Dâr Ihya‟ al-Turâts, 1423 H.), hlm. 327 (versi Maktabah Syâmilah). Nama
Zulikhâ‟ setidaknya disebutkan sebanyak tiga kali dalam tafsir ini, juga tanpa
mencantumkan riwayat yang lengkap. Lihat juga halaman 331 dan 332. 50
„Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-San‟any, Tafsîr al-Qur‟^an, cet, ke-1 Juz 1
(Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1989), hlm. 322.
76
Dalam tafsîr ini, nama istri al-„Azîz disebut Zulaikhâ‟,
sayangnya tidak ada sanad lengkap yang disertakan bersama
pernyataan itu.51
4) Al-Kasyf wa al-Bayân „an Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Tsa‟laby
(427 H.)
Ada dua riwayat yang menyebutkan nama istri al-„Azîz
dalam kitab tafsir ini:
a) Bernama Zulaikhâ‟. Riwayat ini al-Tsa‟laby terima dari Ibn
Fanjawaîh. Ibn Fanjawaîh menerima riwayat itu dari Ibn
Munabbih. Ibn Munabbih menerima dari Abû Hamid al-
Mustamally. Sementara Abû Hamid al-Mustamally
menerima riwayat tersebut dari Abû Hisyam al-Râfi‟i.
b) Bernama Râ‟il. Beliau tidak menyebut lengkap riwayat ini.
Riwayat ini hanya disandarkan pada satu nama, yakni Ibn
Ishâq.52
5) Ma‟âlim al-Tanzîl/ Tafsîr al-Baghâwi (516 H.)
Kitab ini menyebut dua nama, yakni Râ‟il dan Zulaikhâ‟.
Sayangnya, pernyataan itu tidak didukung dengan riwayat
apapun.53
6) Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-„Azîz/ Tafsîr Ibn
„Atiyyah (542 H.)
51
Abû al-Laits al-Samarqandi, Bahr al-„Ulûm, Juz 2 (ttp: tnp, t.t.), hlm. 186
(versi Maktabah Syâmilah). Penyebutan nama Zulaikhâ‟ dalam kitab ini bisa juga
ditemukan di halaman 187, 189, 190, 191, 199. 52
Abû al-Ishâq al-Tsa‟laby, al-Kasyf wa al-Bayân „an Tafsîr al-Qur‟ân, cet ke-1
Juz 5 (Beirut: Dâr Ihya‟ al-Turâts, 2002), hlm. 206 (versi Maktabah Syâmilah). Khusus
riwayat yang kedua, yakni yang disandarkan pada Ibn Ishâq, imâm Jarîr al-Tabari
menyebut Rî‟il, bukan Rahil. Lihat lagi dalam Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-
Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân, cet. Ke-1 Juz 13 (Mesir: Hijr, 2001), hlm. 62. 53
Abû Muhammad bin al-Husain bin Mas‟ûd al-Baghawy, Ma‟âlim al-Tanzîl, Juz
4 (Riyad: Dâr Taibah, 1411 H.), hlm. 225
77
Ihwal nama istri al-„Azîz, setidaknya ada tiga riwayat yang
dipaparkan dalam kitab ini:
a) Riwayat yang menyebut Râ‟il dengan menyandarkan
riwayat pada Ibn Ishâq seorang dan tanpa didukung sanad
yang lengkap.
b) Riwayat yang menyatakan Zulaikhâ‟ dengan hanya
mengatakan Qîla.
c) Riwayat yang menyebut Râbihah, juga dengan hanya
mengatakan Qîla.54
Namun sependek pengamatan penulis, Imâm Ibn
„Atiyyah cenderung menggunakan Zulaikhâ‟ meski tanpa
sanad sama sekali.55
7) Lubâb al-Ta‟wîl fî Ma‟âny al-Tanzîl/ Tafsîr Khâzin (741 H.)
Râ‟il dan Zulaikhâ‟ tanpa sanad lengkap dan diwakili dengan
kata Qîla. Cenderung kepada Zulaikhâ‟ meski tanpa sanad
lengkap.56
8) Al-Jawâhir al-Hissân fî Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Tsa‟âlaby
(875 H.)
Nama Râ‟il dipaparkan berdasarkan riwayat yang
disandarkan pada satu nama, yakni Ibn Ishâq. Ada pula
penyebutan Zulaikhâ‟, hanya saja pernyataan ini diwakili
dengan kata Qîla. Penulis menilai kecendrungan al-Tsa‟âlaby
dalam kitabnya ini, lebih kepada menggunakan nama
54
Ibn „Atiyyah al-Andalûsy, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al‟Azîz, cet.
Ke-1 Juz 3 (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2001), hlm. 231 55
Ibn „Atiyyah al-Andalûsy, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al‟Azîz, cet.
Ke-1 Juz 3 (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2001), hlm. 232, 233, 234. 56
„Ali ibn Muhammad al-Khâzin, Lubâb al-Ta‟wîl fî Ma‟âniy al-Tanzîl, cet.ke-1
Juz 2 (Beirut: Dâr Kutub al-„Ilmiyyah, 1415), hlm. 519 (versi Maktabah Syâmilah).
Kecenderungan tersebut ditandai dengan penggunaan nama Zulaikhâ‟ dalam beberapa
kesempatan. Silakan bukan dalam kitab yang sama halaman 522 dan 525.
78
Zulaikhâ‟ dari pada Râ‟il, meski nama tersebut sama sekali
tanpa sanad.57
9) Al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma‟tsûr (911 H.)
Tampaknya Imâm al-Suyuti tidak berpihak pada nama apa
pun dalam tafsirnya ini. Beliau lebih memilih memeparkan
riwayat yang hanya menyebut nama imra‟ah al-„Azîz dengan
sebutan imra‟atuhu, yakni riwayat yang disampaikan oleh al-
Sûdy dari Ibn „Abbâs ra.58
10) Rûh al-Ma‟âny fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm wa al-Sab‟ al-
Matsâny/ Tafsîr al-Alûsy (1252 H.)
Ada empat pandangan yang disampaiakan dalam kitab
tafsir ini terkait nama imra‟ah al-„Azîz:
a) Râ‟il. Riwayat ini berasal dari satu nama, yakni Mujâhid.
b) Zulaikhâ‟. Riwayat ini juga bersal dari satu nama, yakni al-
Sûdy.
c) Nama Râ‟il merupakan laqab dari Zulaikhâ‟, pendapat ini
diwakili dengan kata Qîla.
d) Nama Zulaikhâ‟ merupakan laqab dari Râ‟il, pendapat ini
juga diwakili hanya dengan kata Qîla.59
11) Tafsîr al-Qur‟ân al-Hakîm/ Tafsîr al-Mannâr (1354 H.)
Untuk golongan tafsîr yang cukup selektif terhadap
isarâîliyyât, tafsîr ini hanya mengemukakan kata imra‟atuhu
57
Abû Zaid al-Tsa‟alaby, Jawâhir al-Hisân fî Tafsîr al-Qur‟ân, cet. Ke-1 Juz 3
(Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turats al-„Araby, 1997), hlm. 317. Kecendrungan tersebut terlihat
ketika beliau mengguakan nama Zulaikhâ‟, lihat juga dalam kitab yang sama di halaman
318. 58
Jalâl al-Dîn al-Suyuti, al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-Ma‟tsûr, cet. Ke-1
Juz 8 (Mesir: Markaz li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-Islamiyyah, 2003), hlm. 194.
Disebutkan pula dalam kitab yang sama dengan kata imra‟atuhu di halaman 189. 59
Mahmûd al-Alûsy, Rûh al-Ma‟ânî fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm wa al-Sab‟ al-
Matsânî, Juz 12 (Beirut: Matba‟ah al-Muniriyyah, t.t.), hlm. 207
79
sebagai penyebutan nama istri al-„Azîz ketika menafsirkan
sûrah Yûsûf. Akan tetapi di akhir, tafsîr ini juga
mengemukakan nama Zulaikhâ‟ dan Râ‟il sebagai nama istri
al-„Azîz dengan tanpa menyandarkan pada sanad riwayat apa
pun.60
2. Ketergodaan Nabi Yûsuf dalam Sûrah Yûsuf Ayat 24
Membahas soal ketergodaan Nabi Yûsuf di sini menjadi sangat
menarik sebab hal ini tidak terlepas dari sisi ma‟shûm (terpelihara
dari dosa) yang kita yakini dimiliki oleh setiap Nabi dan Rasul. Ayat
yang dalam proses penafsirannya dipenuhi riwayat-riwayat
isrâîliyyât seputar tergoda atau tidaknya Nabi Yûsûf ini merupakan
ayat ke-24 dalam sûrah Yûsûf:
وهقد ت ذ ة ىذ ۦ او ة نل لرب ه ة ر رذءاأ لكلذ ۦ فلص ع
ٱ ء شا فح ه ٱوءلس ۥإذ خ ل ٱعتاياي ٢٤يوص
“Sesungguhnya wanita itu Telah bermaksud (melakukan
perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan
pula) dengan wanita itu Andaikata dia tidak melihat tanda (dari)
Tuhannya. Demikianlah, agar kami memalingkan dari padanya
kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk
hamba-hamba kami yang terpilih.”
a. Penafsiran al-Tabari
Berbeda dari poin sebelumnya, pembahasan mengenai hal ini
memiliki cukup banyak riwayat yang dikemukakan oleh Imâm al-
Tabari dalam tafsirnya, terutama menyangkut pemaknaan dalam
60
Muhammad Râsyid Rida, Tafsîr al-Mannâr, cet.ke-1 Juz 12 (Mesir: Matba‟ah
al-Mannar, 1353 H.), hlm. 272. Penyebutan nama Zulaikhâ‟ dan Râ‟il bisa dilihat dalam
kitab yang sama di halaman 324.
80
kata Hamm yang menjadi perbincangan hangat di antara para
ulama‟.
Sementara itu riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Yûsûf
juga tergoda bujukan istri al-„Azîz ada dua dalam kitab tafsîr al-
Tabari, meski pada akhirnya dua riwayat ini dimentahkan oleh
pandangan-pandangan ulama‟ dalam memaknai kata Hamm
seperti disebut tadi. Berikut ini dua riwayat yang dimaksud:
1) Riwayat yang diterima al-Tabari dari Ibn Wâki‟. Ibn Wâki‟
meriwayatkan dari „Amr ibn Muhammad. „Amr menerima
riwayat dari Asbat. Sementara Asbat meriwayatkan hal ini dari
al-Sûdy:61
ابنث د ح أنث د :حال،قدم منوبرماعنث د :حال،قعيكونا ن،عاطبسا
قبم ىووبته دقلي:)ودالس قالا( مفسوي :يولتال: أ، نسحا
نسحاأ،مفسوي :يتال.قيدسجنمرثتن اي مو لأو:ىالق !كرعش
مه و ه ب مت ه ف ،وتعمطأت حلزت مل.ف ولكيابرلت لو:ىال!قكهجو
ت لق غ ،و ت ي ب ل ل خ د ا،ف ب ىذإ،فه ل ي لو ر س لح ي ب ه ذ ،و لب و ب لل وا
ععد،قتيب المافائقبوقعي ةروصب لفسوي :"يلوق،ي وعبصىإلض
فهعاقوت من إا لمكلث ا مهعاقوت ا ،اقطيلاءمالس وجفيالط لثا
نععفدينأعيطتسيلضرالإعقوواتامذإولث امهت عاق اوذإكلث مو
ووسفن لمكلث م. مهعاقوت ا لذال بعالص روالث لثا ،ويلعلمي عي
61 Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân, cet. Ke-1
Juz 13 (Mesir: Hijr, 2001), hlm. 80-81
81
لوين رق لصأفلالن ملخديف توييحروالث لثامهت عاق ونإكلث مو
ف وسفن نععفدينأعيطتسي ولوياورسطبر"، د ،تشيجرخيلبىذ،
فوتكردأف حوتق رخفوفلخنموصيمقرخ ؤبتذخأ، ونموتجرخأت ،
.اببالود نتاشوفسوي وحرط،وطقسو
2) Riwayat yang bernada sama diterima al-Tabari dari Ibn
Humaid. Ibn Humaid meriwayatkan dari Salamah. Sementara
Salamah menerima riwayat itu dari Ibn Ishâq:62
ويلعب تك:أال،قاقحسإنابن،عةملاسنث د :حال،قديحناابنث د ح
ورخأويفتوةر موعمتط-ةأرمالنعي - ةاجحنمةذ للإهوعدتى،
فالجالر وال وهنسحا وهكلما قشبنمديلبقت سماب شوىا،
لت ;حلاجالردايمالجالر م رق ي ا بهفكلنىمرا وف خ ت ي ل و ،وا
و ل خ ت،ح ه ب ت ه او مب ه تاح ه ن م .ه ت و ب ي ض ع ب لف
b. Penafsiran Ibn Katsîr
Hal yang sama dilakukan oleh Ibn Katsîr dalam menafsirkan
ayat di atas. Hal pertama yang beliau lakukan saat menafsirkan
ayat ini adalah memaparkan pandangan-pandangan ulama tentang
pemaknaan kata hamm demi melindungi sisi ma‟shûm dalam diri
Nabi Yûsûf. Bedanya dengan al-Tabari, Ibn Katsîr tidak satu pun
mencantumkan riwayat isrâîliyyât tentang tergodanya Nabi
Yûsûf. Ibn Katsîr hanya memaparkan riwayat isrâîliyyât tentang
62
Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân, hlm. 81
82
bagaimana proses Nabi Yûsûf mendapatkan burhân sehingga bisa
sadar dan menolak godaan istri al-„Azîz.
Riwayat-riwayat yang dipaparkan Ibn Katsîr lebih pada
tentang penafsiran proses terjadinya burhân tadi. Misalnya
riwayat yang disampaikan oleh Ibn „Abbâs, Mujâhid, Sa‟îd Ibn
Jâbir, Muhammad Ibn Sirîn, al-Hasan, Qatadah, Abû Sâlih, al-
Dahhâk, Muhammad Ibn Ishâq dan yang lainnya bahwa yang
dimaksud burhân tadi itu adalah bahwa di saat Nabi Yûsûf tengah
digoda, Nabi Yûsûf melihat rupa Ayahnya, yakni Nabi Ya‟qûb
as.
Ada pula riwayat dari al-„Aufi yang diterima dari Ibn „Abbâs
dan juga disampaikan oleh Ibn Ishâq bahwa Nabi Yûsûf pada
waktu itu tiba-tiba terbayang sosok al-„Azîz yang merupakan tuan
sekaligus suami dari perempuan yang tengah menggodanya,
sehingga ia kemudian sadar dan tidak tergoda.63
c. Komparasi dengan Kitab-Kitab Tafsîr Lain
1) Tafsîr Muqâtil bin Sulaimân (150 H.
Dalam tafsîr ini disebutkan bahwa Nabi Yûsûf juga
tergoda kepada bujukan Zulikhâ‟ akan tetapi tidak sampai
terjadi zina. Sayangnya pernyataan tersebut tidak disebutkan
beserta sanad yang lengkap.64
2) Tafsir al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Razzâq (211 H.)
Dalam tafsir ini, riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi
Yûsûf tergoda bujuk rayu istri al-„Azîz adalah riwayat yang
„Abd al-Razzâq terima dari Ma‟mar. Ma‟mar menerima
63
Ismâîl Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân , hlm. 30 64
Muqâtil ibn Sulaimân al-Balkhy, Tafsîr Muqâtil, hlm. 328-329 (versi Maktabah
Syâmilah)
83
riwayat itu dari Ibn Abî Nâjih. Sementara Ibn Abî Nâjih
menerima dari Mujâhid.65
3) Bahr al-„Ulûm/ Tafsîr al-Samarqandî (373 H.)
Imâm Abû Laits al-Samarqandi tampak lebih cenderung
berpendapat bahwa Nabi Yûsûf tidak tergoda bujukan imra‟ah
al-„Azîz. Namun sayangnya pendapat beliau tidak ditopang
dengan sanad yang lengkap.66
4) Al-Kasyf wa al-Bayân „an Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Tsa‟laby
(427 H.)
Setidaknya ada enam riwayat yang disampaikan al-
Tsa‟laby dalam tafsirnya ini yang menyatakan bahwa Nabi
Yûsûf juga tergoda bujukan imra‟ah al-„Azîz:
a) Sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Sufyân Ibn
„Uyaynah. Sufyân Ibn „Uyaynah menerima riwayat itu dari
„Ubaidullah Ibn Abî Yazîd. „Ubaidullah Ibn Abî Yazîd
meriwayatkan dari Ibn „Abbâs ra.
b) Sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Ibn Juraij. Ibn
Juraij menerima dari Ibn „Atiyyah. Sementara Ibn „Atiyyah
menerima riwayat itu dari Ibn „Abbâs.
c) Riwayat dari Sa‟d, tanpa sanad lengkap.
d) Riwayat dari Mujâhid, tanpa sanad lengkap.
e) Riwayat dari al-Sûdy, tanpa sanad lengkap.
f) Dan riwayat dari Ibn Ishâq, juga tanpa menyebutkan sanad
lengkap.67
65
„Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-San‟any, Tafsîr al-Qur‟ân, hlm. 321 66
Abû al-Laits al-Samarqandi, Bahr al-„Ulûm, hlm. 187 (versi Maktabah
Syâmilah) 67
Abû al-Ishâq al-Tsa‟laby, al-Kasyf wa al-Bayân, hlm. 209-210 (versi Maktabah
Syâmilah)
84
5) Ma‟âlim al-Tanzîl/ Tafsîr al-Baghâwy (516 H.)
Mengenai ketergodaan Nabi Yûsûf, dalam kitab ini
disebutkan tiga riwayat. Namun tiga-tiganya hanya
disandarkan pada satu nama tanpa menyebutkan detail
sanadnya. Tiga riwayat itu bersumber dari Ibn „Abbâs,
Mujâhid dan al-Dahhâk.68
6) Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-„Azîz/ Tafsîr Ibn
„Atiyyah (542 H.)
Mengenai ketergodaan Nabi Yûsûf, Imâm ibn „Atiyyah
menyuguhkan perbedaan ulamâ‟ dalam meyikapi hal tersebut
tanpa menyebutkan riwayat tentang ketergodaan Nabi Yûsûf.
Akan tetapi di akhir, beliau menuqil pandangan Qadi Abû
Muhammad yang berpendapat bahwasanya riwayat-riwayat
yang menyatakan bahwa Nabi Yûsûf tergoda bujukan imra‟ah
al-„Azîz adalah da‟if.69
7) Lubâb al-Ta‟wîl fî Ma‟âny al-Tanzîl/ Tafsîr Khâzin (741 H.)
Dalam tafsir ini, Imâm al-Khâzin lebih cenderung
berpendapat bahwa Nabi Yûsûf tidak tergoda meski tidak
ditopang riwayat dengan sanad yang lengkap. Meski begitu
dalam kitab ini, beliau memaparkan berbagai macam
pandangan ulama‟ terkait dengan ketergodaan Nabi Yûsûf
ini.70
8) Al-Jawâhir al-Hissân fî Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Tsa‟âlaby
(875 H.)
68
Abû Muhammad bin al-Husain bin Mas‟ûd al-Baghawy, Ma‟âlim al-Tanzî, hlm.
228 69
Ibn „Atiyyah al-Andalûsy, al-Muharrar al-Wajîz, hlm. 234 70
„Ali ibn Muhammad al-Khâzin, Lubâb al-Ta‟wîl, hlm. 521 (versi Maktabah
Syâmilah)
85
Dalam tafsir ini hanya dipaparkan mengenai perbedaan
ulamâ‟ dalam menyikapi hal ini, tanpa sedikitpun mengambil
sikap apalagi mengemukakan riwayat tentang ketergodaan
Nabi Yûsûf ini.71
9) Al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma‟tsûr (911 H.)
Nabi Yûsûf tergoda, meski disampaikan dengan tanpa
sanad.72
10) Rûh al-Ma‟âny fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm wa al-Sab‟ al-
Matsâny/ Tafsîr al-Alûsy (1252 H.)
Nabi Yûsûf tidak tergoda, melainkan hanya keinginan saja
tanpa tindakan. Sayangnya pandangan ini tidak disandarkan
pada sanad riwayat apa pun.73
11) Tafsîr al-Qur‟ân al-Hakîm/ Tafsîr al-Mannâr (1354 H.)
Tafsîr ini tidak satu pun meriwayatkan pandangan tentang
ketergodaan Nabi Yûsûf, hanya sekadar menyampaikan
perbedaan ulamâ‟ terkait akan hal itu. Tafsîr ini juga sempat
menentang keras akan pernyataan bahwa Nabi Yûsûf tergoda
meski tanpa menyandarkan pada riwayat apa pun.74
3. Pernikahan Nabi Yûsuf dalam Sûrah Yûsuf Ayat 56
Membahas ihwal pernikahan Nabi Yûsuf, penulis kira sangat
penting mengingat seringnya nama Nabi Yûsuf disandingkan dengan
nama Zulaikhâ‟ sebagai suami-istri baik dalam buku-buku kisah
para nabi bahkan pula dalam do‟a saat upacara walîmah al-„urs.
Berikut ini adalah ayat yang dalam penafsirannya, beberapa kitab
71
Abû Zaid al-Tsa‟alaby, Jawâhir al-Hisân, hlm. 319 72
Jalâl al-Dîn al-Suyuti, al-Durr al-Mantsûr, hlm. 189-190 73
Mahmûd al-Alûsy, Rûh al-Ma‟ânî, hlm. 213 74
Muhammad Râsyid Ridâ, Tafsîr al-Mannâr, hlm. 280
86
tafsîr mengemukakan riwayat isrâîliyyât tentang pernikahan nabi
Yûsûf:
ذالكوكذ فيمذ س ٱفل ضرل
أ ذ يتت اي ء يشا حاي صيب
اةرح ذشا يت ج ضيع ولء نح ل ٱرأ ٥٦سني
“Dan Demikianlah kami memberi kedudukan kepada Yusuf di
negeri Mesir; (Dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia
kehendaki di bumi Mesir itu. kami melimpahkan rahmat kami
kepada siapa yang kami kehendaki dan kami tidak menyia-nyiakan
pahala orang-orang yang berbuat baik”
a. Penafsiran al-Tabari
Seperti halnya poin pertama yang membahas tentang nama
istri al-„Azîz, poin yang berbicara ihwal pernikahan Nabi Yûsûf
dengan imra‟ah al-„Azîz sebagaimana fokus poin ini nyaris tidak
ada. Satu-satunya riwayat yang berpendapat bahwa Nabi Yûsûf
menikah dengan imra‟ah al-„Azîz adalah sanad yang Imâm al-
Tabari dapatkan dari Ibn Humaid. Ibn Humaid meriwayatkan dari
Salamah. Sementara Salamah menerima riwayat itu dari Ibn
Ishâq. Riwayat ini mengatakan bahwa Nabi Yûsûf dinikahkan
oleh al-Mâlik ar-Rayyân Ibn al-Walîd dengan perempuan
bernama Râ‟îl yang merupakan mantan istri mendiang Itfir:75
.ةيل(،ااءشيثياحهن مأوب ت ي ضراففسوي الن ك مكلذك:)والللوقي
ن لريك ل م ل نأ و ،اليالل كلتفىلكري فطإن أملعأالل،ولركذ:فالق
75 Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân, cet. Ke-1
Juz 13 (Mesir: Hijr, 2001), hlm. 220-221.
87
ز د ي و ل ن ب ول ي ع لر ر ي ف ط إ ة أ ر لم ف س و ي وج ، حهن أ، :القويلعتلخديا
م ي اخذىسيلأ كرا ،لقيداالصي ه:أتالاقهن أنومعزي :ف ال؟قنيديرتتنا
فنم لت إ، ت مكةأرامتنكن حرا وسى النا فمع وين دوكلمة انكا،
واءسالنتيلباحص كنك، جمت ف كتئي ىوكنسحفاللكلعا نتب لغ،
:يلجرولتدلوا،ف هاب صأ،فاءرذاعدىجوون أنومعزي .ف تيأارىمليعسفن
.فسوي نابشيم،وفسوي نبميائرف أ
b. Penafsiran Ibn Katsîr
Di saat menafsirkan ayat di atas, Ibn Katsîr juga
mengemukakan hanya satu riwayat saja mengenai
pernikahan Nabi Yûsûf ini. Seperti halnya al-Tabari,
riwayat yang disampaikan Ibn Katsîr dalam kitabnya juga
bersumber dari Ibn Ishâq dengan redaksi yang nyaris sama
dengan riwayat yang disampaikan oleh al-Tabari di atas.
Hanya saja yang dalam hal ini membuatnya berbeda
dengan imam al-Tabari adalah bahwa dalam kitab
tafsirnya, Ibn Katsîr tidak mencantumkan mata rantai
riwayat yang lengkap dan hanya memakai redaksi wa qâla
Muhammad Ibn Ishâq saja.76
c. Komparasi dengan Kitab-Kitab Tafsîr Lain
1) Tafsîr Muqâtil bin Sulaimân (150 H.)
76
Ismâîl Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân , hlm. 52-53
88
Dalam tafsîr ini, Muqâtil Ibn Sulaimân al-Balkhy tidak
berkomentar ihwal pernikahan Nabi Yûsûf dengan Imra‟ah al-
„Azîz.
2) Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Razzâq (211 H.)
Imâm „Abd al-Razzâq tidak mengomentari dan
meriwayatkan apa pun dalam hal pernikahan Nabi Yûsûf ini.
3) Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Tabarî
(310 H.)
Satu-satunya riwayat yang berpendapat bahwa Nabi Yûsûf
menikah dengan imra‟ah al-„Azîz adalah sanad yang Imâm al-
Tabari dapatkan dari Ibn Humaid. Ibn Humaid meriwayatkan
dari Salamah. Sementara Salamah menerima riwayat itu dari
Ibn Ishâq.77
4) Bahr al-„Ulûm/ Tafsîr al-Samarqandy (373 H.)
Dalam tafsîr ini, disebutkan bahwa Nabi Yûsûf menikah
dengan istri al-„Azîz, meski pernyataan itu tidak didukung
dengan sanad yang lengkap dan hanya sekedar menyebut kata
wa ruwiya fi al-khabar.78
5) Al-Kasyf wa al-Bayân „an Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Tsa‟laby
(427 H.)
Satu-satunya riwayat yang membahas tentang pernikahan
Nabi Yûsûf dan imra‟ah al-„Azîz dalam kitab ini adalah
riwayat yang disandarkan pada satu nama, yakni Ibn Ishâq.
77
Muhammad Jarîr al-Tabari, Jâmi‟ al-Bayân, hlm. 220-221. 78
Abû al-Laits al-Samarqandy, Bahr al-„Ulûm, hlm. 199 (versi Maktabah
Syâmilah)
89
Riwayat ini tidak disebutkan dengan lengkap mata rantai
riwayatnya.79
6) Ma‟âlim al-Tanzîl/ Tafsîr al-Baghâwy (516 H.)
Satu-satunya riwayat tentang pernikahan Nabi Yûsûf
dalam kitab ini disandarkan pada satu nama, yakni Ibn Zaid.
Setelah diteliti, ternyata konten riwayat tersebut sangat mirip
sekali dengan riwayat yang rata-rata dinuqil mufassir lain
dengan menggunakan jalur Ibn Ishâq.80
7) Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-„Azîz/ Tafsîr Ibn
„Atiyyah (542 H.)
Dalam tafsîr ini, riwayat yang disampaikan dinuqil dari
Qadi Abû Muhammad yang menyatakan bahwa Nabi Yûsûf
menikah dengan imra‟ah al-„Azîz. Sayangnya, riwayat ini
tidak memiliki sanad yang lengkap.81
8) Lubâb al-Ta‟wîl fî Ma‟âny al-Tanzîl/ Tafsîr Khâzin (741 H.)
Tafsîr ini mengemukakan dua riwayat yang berpandangan
bahwa Nabi Yûsûf menikah dengan imra‟ah al-„Azîz, meski
dengan sanad yang tidak lengkap. Dua riwayat itu sama-sama
disandarkan pada satu nama, yakni riwayat dari Ibn Ishâq dan
dari Ibn Zaid dengan nada riwayat yang nyaris sama.82
9) Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm/ Tafsîr Ibn Katsîr (774 H.)
79
Abû al-Ishâq al-Tsa‟laby, al-Kasyf wa al-Bayân, hlm. 232 (versi Maktabah
Syâmilah) 80
Abû Muhammad bin al-Husain bin Mas‟ûd al-Baghawy, Ma‟âlim al-Tanzîl,
hlm. 252. 81
Ibn „Atiyyah al-Andalûsy, al-Muharrar al-Wajîz, hlm. 256 82
„Ali ibn Muhammad al-Khâzin, Lubâb al-Ta‟wîl, hlm. 536-537 (versi Maktabah
Syâmilah)
90
Dalam tafsîr ini, pernikahan Nabi Yûsûf dengan istri al-
„Azîz disampaikan oleh satu riwayat yang tidak lengkap, hanya
disandarkan pada satu nama, yakni Ibn Ishâq.83
10) Al-Jawâhir al-Hissân fî Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Tsa‟âlaby
(875 H.)
Seperti kebanyakan mufassir yang lain, riwayat ihwal
pernikahan Nabi Yûsûf dengan imra‟ah al-„Azîz disandarkan
pada nama Ibn Ishâq. Tanpa menyebutkan sanad yang
lengkap.84
11) Al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma‟tsûr (911 H.)
Tafsîr ini menyatakan bahwa Nabi Yûsûf menikah dengan
imra‟ah al-„Azîz dengan menuqil riwayat dari Imâm al-Tabari
melalui jalur riwayat Ibn Ishâq.85
12) Rûh al-Ma‟âny fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm wa al-Sab‟ al-
Matsâny/ Tafsîr al-Alûsy (1252 H.)
Ada dua riwayat dalam tafsir ini yang menyatakan bahwa
Nabi Yûsûf menikah dengan imra‟ah al-Azîz:
a. Riwayat dengan menuqil Imâm al-Tabari dari jalur sanad
Ibn Ishâq.
b. Riwayat yang juga menyatakan pernikahan Nabi Yûsûf
akan tetapi hanya diwakili dengan kata wa fî riwâyah.86
13) Tafsîr al-Qur‟ân al-Hakîm/ Tafsîr al-Mannâr (1354 H.)
Sayangnya, tafsir ini tidak berkomentar apa pun terkait
pernikahan Nabi Yûsuf dengan istri al-„Azîz.
83
Ismâ‟îl Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân, hlm. 52 84
Abû Zaid al-Tsa‟alaby, Jawâhir al-Hisân, hlm. 334 85
Jalâl al-Dîn al-Suyuti, al-Durr al-Mantsûr, hlm. 280 86
Mahmûd al-Alûsy, Rûh al-Ma‟ânî fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm wa al-Sab‟ al-
Matsânî, Juz 13 (Beirut: Matba‟ah al-Muniriyyah, t.t.), hlm. 4-5
91
BAB IV
VALIDITAS, POSISI DAN URGENSI RIWAYAT ISRÂÎLIYYÂT
A. Kajian Kritik Sanad dan Matan Riwayat Isrâîliyyât dalam Tafsîr
al-Tabari dan Ibn Katsîr
1. Kritik Sanad dan Matan seputar Nama Istri al-‘Aziz dalam
surah Yûsuf Ayat 21
a. Kritik Sanad
Sebagaimana data-data yang telah dipaparkan di bab
sebelumnya ihwal riwayat isrâîliyyât tentang nama istri al-„Azîz
ini, maka dapat diketahui bahwa riwayat dalam kitab tafsîr Ibn
Katsîr dan tafsîr al-Tabari memiliki kemiripan riwayat. Hanya
saja, riwayat dengan sanad paling lengkap terdapat di kitab tafsîr
al-Tabari, maka berangkat dari hal ini, dalam kajian kritik sanad
seputar nama istri al-„Azîz ini, penulis mengambil riwayat
dengan sanad yang paling lengkap, yakni dalam tafsîr al-Tabari.
Satu-satunya riwayat yang mengatakan nama istri al-„Azîz dalam
kitab ini adalah riwayat yang diterima al-Tabari dari Ibn Humaid.
Ibn Humaid meriwayatkan dari Salamah. Sementara Salamah
menerima riwayat itu dari Ibn Ishâq seperti gambar berikut ini:
Ibn Ishaq
Salamah
Ibn Humaid
92
1) Ibn Ishâq
a) Nama lengkap Ibn Ishâq
حاقب نحب محمدح اريخنب ارسينإس
ابنالي قو النثوك: أب وندم، وبكر، عبدالي ق. أبو يشرقالالل:
لو،بلطمال هد جانك،وافنعبدبنبلطمالبنةرهبن
.رمالتيسبعنارسي
.سبالمبند،وسععمراللبندعبنبالس،وكالنبنىأأر
b) Guru-guru Ibn Ishâq
أوروىعن وأصالحنبنب: بنماىرب إ،وانفعبنعثماننبنب،
بندعب وينحالل وبقعبنماىرب إ، وراجهبنمىارب إة، وبأ،
بوي أم،وكحبأبنلإساع،وةأنابلاعسإار،وسيبنسحاقإ
القبن ويشروسى وانتخالسبوثيأ، وارسيبنيشب، بنيكب،
رفعجوبنعمرنابرفعج،وبحالرديزينبروث ،وجشالبناللدعب
بنعمربن ورمالضةأو ويلعنابدمنبنرفعجي، بنيسح،
بنادعب واسبعبناللدعب لل ،يلهشالنحالردبعبنيصح،
نبادبعبنمكحبنمكح،وكالبننأبناللدعب نبصفحو
بنابطخ،والرحنالزريعبدنبفصخ،وليوالطدح،وفنح
93
زيد،وماسقالبنحور،والصيبنداودي،ورفالظارني دبنصالح
عبدبنماىإب ربندعس،ويكمالالس،ورضأبالنلاس،وأبزيدبن
بندوسع،ةرجعنببعكنبإسحاقبندعس،وفوعنابنحالر
،دنىأببند،وسعاقبالسبندعب بندي،وسعبقمالدسعأب
نبانالنصاري،وسلمأي وببنطلسي،ورالزصفوانبنةملسو
،الجاجبنةبعش،ويملالسريوعبناللدعبنبان،وسلممحس
إحالصو عمب راىبن عبنحالردببن وفون كحالص، ،انسبن
دبنعبثارنالبلفونن باللبنعبدتلالص،وارسبنيةدصو
وبلطمال نةحلطانفسبأ، وعفبن عمرماصع، بن ،ةادتبن
بنسعدلهبنساسبعو،تانالصبةادببنعدنالولبةادبعو
بنأعبد،واسببنعدبعبناللبنعبداسبع،ويداعالس بالل
أ وبنبنعمردبننمركب بنأباللدبع،واريالنصةبلعنث بةا
اللدبع،وةملسبنأباللدبع،وانوكبنذاللدعبدن،وأبالززمح
طب وسواون عباللدبع، عباللدبن حبانمثن حمكن ،امزبن
بنأبعبدبناللدبعو دبع،ونالفضلباللدبع،ويسحالرحن
ونكبنالل وحبنأبناللدبعف، بندوسبنالنحالردبع،
94
،قيدالصركبنأببننمدبماسبنالقنحالردبعي،وعخدالنيزي
ىنحالردبعو والعرجزربن يعبدومع، بن وسالرحن دبعار،
الملالس أب وبون بن أأ، عبدب اليرالكة أب قارخمبن
بنالانعبداللبد،وعب البصري اللبند،وعب النصارييصلل
سلم،ةبت ع،وةر غمبنالاللدعب ،وابطبنالاللبنعمردبع بن
سلمانمثعو أب وانبن راءطع، أب وحببن خةركع، دالبن
نباللدبنعبةرامع،والنصاريدلنييبنخبيلع،ويوزخمال
و،وعمروبنشعب،وعمريكماليسبنح،وعمرنيدمالةعمط
بنان،وعمرانرهنبنوموبن،وعمربلطماللووبنأبعمر
،ارالداللبنالكعبدىبنسع،والرحنبنعبدءل،والعنأأب
ماسالق،وىبنعمرسعي،ودساللقعبنأبلقعىبنسعو
،الت ميثاربنالمراىبنإب نمد،وقيدرالصكببنأببننمد
أ بنأبنمدو بنالز ب ي،محمدبنجعفر،وفنبنحلهبنسةا
بنةحلطب،ومحمدبنلالكبائنالس،ومحمدبيلظناليبومحمدبنالز
اللة،ونمدبنعبدانكبنرديزبنيةحلنط،ومحمدابالت مياللعبد
ع صبن أب بن الرحن وأةعصعبد عرفعجب، بن نابيلنمد
95
ومحمديسال عمر، بنعطاءبن ومحمدبنأبو ، بنزيدلونمد
الز ىريابهبنشملسبن،ومحمدثبتونمد،ردكن،ونمدبنال
وبنالولدبنن،ونمدبنييبنحباننديفعال
عبدبنبلط،وال
كبدبع،وةرنهباللبن اللبنعبدرمع،ونالكاببعن
ح ولظنبن الشلوحكة، وا ومعي، يوسى ارسبن بنسوو، ى
حون ،ونبوابنوىب،وابنعمرلوعفن،وكالبننبنأنلف
ح وفقالث مكبن عامشىي، ووربن كبىوة، انسبن نبييو،
بنعيسنخبنأبسفاناليي،والنصاريدسع ويي بنادب،
الز ب ياعبد بن ولل عيي، الز ةوربن ويب بن أببديزي، ببحن
،اشبابنعلودينأبزببنزيدديزي،وانوبنرديزيالصري،و
اللعبدبنديزيو وطسبن ببديزي، نمد خن مثن،بارحال
،وبسلمةيفقالث ةبت نعاببوقعي و،جشبنالاللبنعبدبوقعي و
عةبنعبدالرحنبنعوف،وأبعبد ةدأبعب ،وةبنعبداللبنز
ن بنبن يارمع مد ورسبن وفعجشالكالبأ، ي، روظنأب
ةمطاف،والنصاريةملسمدبنندلوضعب ،وياالشرذنبنتال
.يبالزبن
96
c) Murid-murid Ibn Ishâq
أحد،وفوالرحنبنعبنعبدمبنإب راىدعسبنم:إب راىهحروىعن
بنصفح،ودمالدبعنبري رج،ومازحنبري رج،وبىالوبنخالد
ديز،ويفعةالياوعبنر ىز،وةملسبنادح،وزيدنابادح،واثغ
البدعببن وائكالل اللبناندعسي، ويمخيي ،عيزببندسع،
وروالث انفسو وبنانفسي، نة، ويازالرال فض ل ب نحةحملسع وبأ،
واللدعببنكشريو،رحالانحبنانسلمدالخ بنةبعش،
اللدبع،ودنىأببندسعبناللدبع،ويردبنإاللدبع،واججال
دبع،وابالشتلنالصدبيزيبناللدبع،وينبناللدبع،ونوعبن
يى،وأبوزاطنالعفبننوبردبعابهشوب أ،وىلعالدبنعىبلعال
نحالرعبد واءرغبن ونابزيزالعدبع، الدراوردي، بنةدبعنمد
الكلسلم بنبان ومحمد بن،انرالةملس، ي،سافنالطدعب ونمد
لدني،وطاسدالويزينومحمداب،فضلي،ونمدبندعأبنومحمدب
وعليبن ويعأنىبسو، وأببننوارىوباتك، بننوارىعسى،
يي،واللدعببناحالوضةانوأبوع،وبشيبنمشىي،ووحسىالنو
97
يي،ووخو شنوىالنصاريودسعنبيي،وةدائزبنأبيركزبن
ةل وتأب،ويرجالشانىنبادبعنمدبن بنييالوي،ودسعبن
ببحأبنابديزي،ويبني علىالت ميأبوالمحاةي،وحاضوييبن
و ىالصري ووخو شنو وعيرزبنديزي، ونوارىبنديزي، ي علىبن،
1.انب الشيكبنبنوي ،ويسافنالطدعب
d) Komentar Ulama‟ terhadap Ibn Ishâq
Di antara komentar ulama‟ terhadap Ibn Ishâq yang
bernada positif antara lain diutarakan oleh al-„Ijli yang
berpendapat bahwa Ibn Ishâq adalah orang yang tsiqah
(dapat dipercaya)2 serta pendapat dari Abû Mu‟awiyah
yang mengatakan bahwa Ibn Ishâq ini adalah seorang yang
Hafiz.3 Hal itu didukung oleh pendapat Syu‟bah yang
mengatakan bahwa Ibn Ishâq merupakan amîr al-
muhadditsîn bi hifzihî. Selain itu, Muhammad bin „Abdillah
bin Numair mengatakan bahwa Ibn Ishâq adalah orang
yang Sadûq (sangat jujur).4
Sementara komentar ulama‟ yang bernada negative
terhadap Ibn Ishâq dilontarkan oleh Abû „Abdillah yang
mengatakan bahwa riwayat-riwayat yang bersumber dari
Ibn Ishâq tidak bisa dijadikan hujjah, serta pendapat Imâm
1 Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-Rijâl, cet. Ke-2 Juz
24 (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1983), hlm. 405-411 2 Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 424
3 Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 413
4 Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 417-419
98
al-Nasâ‟i yang berkomentar bahwasanya Ibn Ishâq tidak
kuat periwayatannya.5
Hal yang menarik dilontarkan oleh Yahya bin Ma‟in.
Dalam satu kesempatan dia mengatakan bahwa Ibn Ishâq
adalah seorang yang tsiqah, namun dalam beberapa
kesempatan yang lain, ia malah melemahkan bahkan
menda‟îfkan riwayat yang berasal dari Ibn Ishâq.6
2) Salamah
a) Nama Lengkap Salamah
يازالرقرزاللال،أبوعبدمىلو،اريالنصشرب فضلالالنبةملس
.ييالراض
b) Guru-guru Salamah
ي،ملييالسأبنمدبنبنماىرب إان،ومهطبنم:إب راىروىعن
ورزالداشربناقحسإو لاعسإي، ملسبنلبنبننيأي،وكال
ملسبنيركزطا،وربنأاججحي،ودنالكاكحالضبناحرالي،وكال
اليىةزمثخبأ،وبتالع عاوية وروالث انفسي،وفعبن انسلمي،
أبوبنعمر،وتبثبنةرزعان،وعسبنديزبناللعبد،ومر بن
وازالر وائالطبىوبنانعمري، ماربرىزالبأي، بن داىك
5 Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 422-424
6 Perbedaan pendapat Yahya bin Ma‟in bisa dilihat di Abû al-Hajjâj Yûsûf al-
Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 411 dan 423
99
اناسرال ب نو، ب نمحمد حاق وار سيإس وك، الربأال، ،يازجعفر
ي.ركالس ةزحبأو
c) Murid-murid Salamah
بعصنبماىرب :إهحروىعن ققعمربنشبننسالاد،ودغيب زورال
عمربناللعبدي،وازةالررسىبنسعبنيساليالبصري،ورال
وفوالكنبأبن اللدبع،ال نمد ودنسبن بنعبدوباتكي، الرحن
الرملس بة،وبنانمثعي،وازة بنأبش ي،رنب ربببنى لعنمد
والنسائالسنبنارمعي،وازالرقوزرمبناشىنبي لعو وعمري،
،حلجالبنالسنمحمدبني،واوةالسأمحمدبن،ونيوزالقعافربن
،انغاىالدسعمحمدبن،وجنوزعمر،محمدبنيازالردي ححمحمدب نحو
سىوبنةمث وي،وازالراللدعب بنامشىي،وازنمدالربنلاتقو
خ،وعيبنييالصري،و بنديزيدالأبوي،ساريالفوسكالفاربال
7.انطىالقسوبنفسوي و
d) Komentar Ulama‟ terhadap Salamah
Komentar ulama‟ yang bernada positif untuk Salamah
adalah berasal dari Yahya bin Ma‟in yang mengatakan
bahwa Salamah adalah orang yang tsiqah. Abû Hâtim juga
menganggap bahwa Salamah merupakan orang yang sidq
7 Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 305-306
100
(jujur). Begitu pula yang disampaikan oleh Muhammad bin
Sa‟d, beliau berpandangan bahwa Salamah merupakan
orang yang sadûq dan tsiqah. Satu-satunya komentar yang
bernada negative adalah pendapat Imâm al-Nasâ‟i yang
menganggap da‟îf Salamah.8
3) Ibn Humaid
a) Nama Lengkap Ibn Humaid.
ي.ازالراللدعبوب أ يممالتانحنبدحنبنمد
b) Guru-Guru Ibn Humaid
نبم:إب راىروىعن ،ملسنبامكح،ودمالدبعنبريرج،وارتخال
وانملسبنيشببنمكالو بافز، وانسلمنر ،اببالبنديز،
نباللدعبي،وسالالطداودبنانسلمداودبأ،ولض الفنب ةملسو
بناللدعب،وسود القدبعديزينباللدبع،وكاربال
يىزبأ،وئرقال
يلع،ويقرالن اللدعببنزيزالعدبعييبأ،واءرغنابنحالردبع
ونذنفسالركبأبنب بلع، وداىمني ي،زاالردالخناباترالف،
نبنمدة،ولب جنبةاننك،وانن ىالسسونبلضالفوانرهى،ولعال
نث مالنبنوارىصفحبأ،ويوحالنةرسنابمعن،وعمرأبنب
8 Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 307-308. Pendapat
Yahya bin Ma‟in, Abû Hâtim serta Imâm al-Nasâ‟i bisa juga dilihat dalam Muhammad
bin Ahmad al-Dzahaby, Tadzhîb Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-Rijâl, cet. Ke-1 Juz 4
(Mesir: al-Fâruq al-Hadîtsiyyah, 2003), hlm. 114
101
وفنال نبنوارىي،وةر غال ويرالضنبيي، نبييةل تبأ،
.يمالقاللدبعنببوقعي و،حاضو
c) Murid-murid Ibn Humaid
ذي،و:أبوداودهحروىعن ،انطالقكالنبمإب راىو،واجناب،والت
أحد،وولب اتولبن حنبأحد،والمالرصنبنجعفرنبأحدو
ازالردالخنبنباقحسإ،ورباليلعنبأحدي،ورورلبفورعيال
وعافالشنايرفسالانعمرأب ،ظافالرصنبنأحدنبرفعجي،
بب شبن عليبننسالو،يالافظدسالنمدبنحالصي،ورمعال
بندبعو اشدخأبنبدمالصعبدبناللدبع،ولبن حبنأحدالل
نباللدبعا،ون الد أببننمدبناللدبع،ووانر أنوىيولصومال
الب عبدنمحمداب مإب راىمحمدبن،وزرطماليركزبنماسالقي،ووغالعزيز
،اناغالصاقحسإنمحمداب،ومتنبدحأمحمدبني،وازالغبعشبن
محمدبني،ودناغالبانسلمبننمدمحمدبن،وي بالطري رجب نحدحممحو
بنسفي وبننمدركوببأي،ولىالذيينمحمداب،ونيوالر نوارى
9.ولب اتوعيبنييي،وازالربي عقو
9 Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 97-99
102
d) Komentar „Ulama‟ terhadap Ibn Humaid
Hanya ada dua ulama‟ yang berkomentar positif
terhadap Ibn Humaid ini, yakni Yahya bin Ma‟in dan Ja‟far
bin Abî „Umar al-Tayalisy yang berpendapat bahwa Ibn
Humaid adalah orang yang tsiqah.10
Sementara ulama‟
yang berkomentar negative terhadap ibn Humaid cenderung
lebih banyak, di antaranya pendapat al-Nasâ‟i dan Ibrâhîm
bin Ya‟qûb al-Jurjaniy yang menganggap Ibn Humaid ini
tidak tsiqah. Selain itu ada pendapat Ishâq bin Mansûr dan
Sâlih bin Muhammad al-Asady al-Hafiz yang mengklaim
bahwa Ibn Humaid ini merupakan orang yang kadzdzâb
(pendusta).11
Bukan hanya dua orang di atas yang menganggap Ibn
Humaid seorang pendusta, namun ada juga Abû Zur‟ah dan
Ishâq al-Kausaj yang berpendapat sama. Selain itu, Ya‟qûb
al-Qummy dan ibn al-Mubârik menganggap bahwa Ibn
Humaid merupakan orang dengan riwayat yang da‟îf.12
Berdasarkan pemaparan data yang penulis kemukakan
di atas, tampak jelas sekali bahwa:
Berdasarkan kajian riwayat israiliyat tentang nama istri
al-„Azîz sebagaimana penulis paparkan di atas, maka
menurut penulis riwayat tersebut dapat dipastikan bahwa
keotentikannya tidak bisa dipertanggung jawabkan. Meski
dalam hal ketersambungan riwayat, tak ada yang terputus
dalam mata rantai sanad dalam riwayat itu (yakni
10
Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 101 11
Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 102-104. 12
Muhammad bin Ahmad al-Dzahaby, Mîzân al-I‟tidâl fî Naqd al-Rijâl, cet. Ke-1
Juz 6 (Beirût: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1995), hlm. 126
103
dibuktikan dengan catatan sejarah bahwa al-Tabari
termasuk dalam daftar murid Ibn Humaid, Ibn Humaid
termasuk murid Salamah dan Salamah tercatat termasuk
murid dari Ibn Ishâq), namun kredibilitas periwayat yang
ada dalam riwayat itu masih diperselisihkan ulama‟.
Meskipun ada juga ulama‟ yang berkomentar positif
terhadap masing-masing râwi dalam riwayat itu, toh
komentar bernada negatif juga ikut disuarakan oleh
beberapa ulama‟ yang lain. Abû „Abdillah dan Imâm al-
Nasâ‟i menganggap Ibn Ishâq termasuk orang tidak bisa
dijadikan hujjah dan tidak kuat periwayatannya. Imâm al-
Nasâ‟i juga menganggap Salamah termasuk orang yang
da‟if. Khusus Ibn Humaid, mayoritas ulama‟ malah
cenderung berpandangan negatif terhadapnya. Tidak
terjaminnya kredibilitas para perawi dalam riwayat tersebut
membuat riwayat tentang Râ‟îl sebagai nama istri al-‟Azîz
dalam tafsir al-Tabari ini tidak bisa dipertanggung
jawabkan kebenarannya.
Selain itu, penulis juga menyinggung seputar klaim
nama istri al-„Azîz yang disebutkan dalam kitab-kitab tafsir
lain. Menurut penulis, semua riwayat Isrâîliyyât itu ternyata
juga tidak bisa dipertanggung jawabkan keotentikannya.
Jika nama Rabîhah tertolak karena tidak memiliki sanad
apa pun dan hanya diwakilkan dengan kata Qîla, maka
nama Zulaikha juga tertolak karena ada sanad yang terputus
dan rawi yang tidak dapat dipercaya, meski Imâm al-
Tsa‟laby mencantumkan detail sanad dalam tafsirnya.
104
b. Kritik Matan
Membahas ihwal isi atau matn riwayat-riwayat isrâîliyyât
yang menjelaskan seputar nama istri al-„Azîz, maka perlu kiranya
kembali menelaah prasyarat boleh dan tidaknya meriwayatkan
riwayat isrâîliyyât ini. Oleh karena riwayat israiliyat dalam poin
ini berkaitan dengan kisah dan tidak berkaitan dengan tauhid atau
kepercayaan, serta tidak ada bagian dalam riwayat ini yang
menyalahi ajaran-ajaran Islam, maka menurut penulis hukum
meriwayatkan isrâîliyyât ini boleh-boleh saja sebab tidak
berkenaan dengan tauhid dan tidak menyalahi syari‟at Islam.
Beda halnya jika misalnya penamaan istri al-Azîz ini sampai
diyakini merujuk pada satu nama, kemudian diyakini menikah
dengan Nabi Yûsûf bahkan menjadi bacaan dalam doa-doa
walîmah al-„Urs, hal ini akan penulis bahas di poin-poin
berikutnya.
2. Kritik Sanad dan Matan seputar Ketergodaan Nabi Yûsuf As.
dalam Surah Yûsuf Ayat 24
a. Kritik Sanad
Berdasarkan data yang dipaparkan sebelumnya, dari dua
kitab tafsir rujukan, yakni tafsîr Ibn Katsîr dan tafsîr al-Tabari,
riwayat isâîliyyât dengan sanad lengkap yang meriwayatkan
seputar ketergodaan Nabi Yûsûf as. dalam surah Yûsûf ayat 24
ini hanya terdapat dalam tafsir al-Tabari. Sebab, seperti
dipaparkan sebelumnya, Ibn Katsîr dalam tafsirnya lebih memilih
berhati-hati dan menjaga betul sisi ma‟shûm Nabi Yûsûf as.
sehingga tidak ada satupun riwayat soal ketergodaan Nabi Yûsûf
yang ditampilkan. Ibn Katsîr hanya memaparkan riwayat seputar
proses hadirnya burhân pada Nabi Yûsûf—itu pun sepertihalnya
105
yang terjadi pada poin pertama—disampaikan dengan mata rantai
riwayat yang tidak lengkap, sehingga untuk menguji kualitas
sanad riwayat seputar ketergodaan Nabi Yûsûf dalam surah
Yûsûf ayat 24 ini, penulis kembali merujuk kepada tafsir al-
Tabari yang memliki dua riwayat lengkap dengan sanadnya.
Sejatinya ada dua riwayat dalam kitab ini yang membahas
tentang ketergodaan Nabi Yûsûf, namun karena satu riwayat
memiliki mata rantai sanad yang sama persis seperti di poin
sebelumnya (yakni riwayat yang diterima al-Tabari dari Ibn
Humaid. Ibn Humaid meriwayatkan dari Salamah. Sementara
Salamah menerima riwayat itu dari Ibn Ishâq), maka penulis
merasa tidak perlu mengulangnya lagi dan cukup mengupas
tentang mata rantai riwayat satunya, yakni riwayat yang diterima
al-Tabari dari Ibn Wakî‟. Ibn Wakî‟ meriwayatkan dari „Amr ibn
Muhammad. „Amr menerima riwayat dari Asbât. Sementara
Asbât meriwayatkan hal ini dari al-Sudi seperti dalam gambar di
bawah ini:
106
1) Al-Sudi
a) Nama Lengkap al-Sudi
اعي ب عب دنحب لحإس أبنالرح ن محمددالس ةي ر أبحو يشرالقي
رواأع فو الكح ورهبن تنببني زلو، لة، نبلو:
الببةدفسدعقكاني ،وةفوالكنكي،سازجحولص،أماشى عا
.ر بيالكدىوالس ي،ودالس يمس،فةفولكب
b) Guru-guru al-Sudi
عن روى أن ولكابن: ضبسوأ، وجعمن ،انذبحالصبأ،
لوحبصو ،ةدبنعب دعس،وانت الفةعافر،وصفحأببنصفحو
أبادبعو،ةملسمأ وديزيبن حاللدبع، الرحن.عبدبأبببن
وبأ،واندماليخدبعي،وهالباللدبع،واسببنعاللدبعي،ومللس ا
أعبد بن ويركبالرحن ابدعة، ثي وتبن أباءطع، ،حبربن
ركعو علوة واسبابن بعمر، حو ثيدنبأانوزغو،يوزخال
دلالو،واصونأبابدعنسببعص،واندمالةري،وارفالغكال
أب ابالي قوامشىبن أب: وماشىن عييةر ب ىبأ، ادببن
.يدزالدعسبأي،وارالبمحكبأ،واريالنص
107
،وأبابطاللبنعمربنالدبع،وباليبنأبطلبنعنسىالأرو
سعدالدري،وأبىريرة.
c) Murid-murid al-Sudi
بنلاعسإ،ونوبني لائرسإ،واندم الرص نب نحاطحبس أ:هحروىعن
مكال،وفودالكيزنيبنسال،ويبنححالبنصنسالو،خالدأب
ةدائزي،وسبعبنعسىالادح،وفواللالكدبنعبمكال،ويهنظاب
دبن نوىوبربنحاكس،ويروالث انفسة،وسنبأبنأديز،وةا
دعببنكشري،وملمبنسلسصووالحبأالت مي،وانسلم،ووانر أ
بنإساعدعبوناب ،واججبنالةبعش،والل ي،وعبدبندلالس الل
أةالطنافسي،وعليبنصاح بنحي،وعليبنعاب،وعمربنأب
بنأب وعمرو المدان، لكبنسلعال عبد بن وعمرو الباىلي، زيد
،ي،وعسىبنعمرالقارئالرازي،وعسىبنعبدالرحنالسلم
أ بن ومحمد غول، بن الك و الربع، بن وو العفي، حبأبن ةزو
،يوحةالنرسبنمعن،وديزنببلطي،وركنالس ومبننمد
ركوببأ،وروث أببندلالوي،وركشاللالدعبنباحضةالوانووعبأو
13.اشعنب
13
Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 132-134
108
d) Komentar Ulama‟ terhadap al-Sudi
Untuk al-Sudi, tampaknya kebanyakan ulama‟
berkomentar positif terhadapnya. Imâm Ahmad bin Hanbal
mengatakan bahwa al-Sudi merupakan orang yang tsiqah,
sementara Imâm al-Nasâ‟i berpendapat bahwa sosok al-
Sudi merupakan orang yang sâlih dan lâ ba‟s bih. Selain
itu, Abû Ahmad bin „Ady mengatakan bahwa al-Sudi
merupakan orang yang sadûq lâ ba‟s bih. Demikian juga
pendapat yang mengatakan bahwa al-Sudi lâ ba‟s bih.
Pendapat ini dilontarkan oleh Yahya bin Sa‟id. Sementara
Yahya bin Ma‟în cenderung melemahkan bahkan menuduh
daif al-Sudi.14
2) Asbât
a) Nama Lengkap Asbât
.فوكال رصنوب :أالي ق،وفسوي وب ،أاندمالرصننبطابسأ
b) Guru-guru Asbât
روىعن ويدالس نح الردب عب نلإس اعي : ي،فعالديزيبنرابج،
دعببنمكالوولكال وبرحبناكس، بنروصن،
ورمتعال ةرس،
ي.عجشال
c) Murid-murid Asbât
عن أهحروى بندح:الكرفاللضفال فوي رنصوبناقحسإو،
ولولالس واترالفبنراعو ي،لجالبرشببننسال، بناللدبع،
14
Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 134-137
109
،انمعبنالن دمالصدبع،وادحنأبابنحالردبعي،ولجالعحالص
وىالد تبثبني لعو ومادبني لعان، رح، ب نحعم ةحل ب نطحادو
انسوغبأي،وشرالقملسبننوع،ويزقن العنمدنوبمرع،وادنالق
ويدهالن لإساعبنكال همإب راىبنلوه، داشربنلوبن
15.انب الشيكببننوي ي،ودهالن
d) Komentar „Ulama‟ terhadap Asbât
Satu-satunya riwayat yang bernada positif adalah
yang dilontarkan oleh Yahya bin Ma‟în bahwa Asbât
merupakan orang yang tsiqah. Sementara Abû Nu‟aim dan
Imâm al-Nasâ‟i berpandangan sebaliknya dengan
mengatakan bahwa Asbât merupakan orang yang da‟îf dan
tidak kuat riwayatnya.16
3) „Amr bin Hammâd
a) Nama Lengkap „Amr bin Hammâd
.هدإلجبسني د،وفو،أبومحمدالكادنالقةحلطنبادحنوبمرع
b) Guru-guru „Amr bin Hammâd
دب زبننحالردبعبنثعشأ،واندم الرص نب ناطبس أ:روىعن
ال بديزنىبسعبنيسحي،وا بنعليبنأبابنعلي نالسي
وبالط وانسلمبنصفح، لكدعببنمكال،وال أبادح، بن
15
Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 357-358 16
Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 358-359
110
وةف نح يراع، وسافبن وفقالث دحبناللدبع، نباللدبعي،
وبلاله ىابيلعالبصري، الببماشن ودين ب، الت مي،عمرنمحمد و
وفعالدعسبندوعسو لكدعببنرعسي،،اندمالعلسبنال
و .احرالبنعكو،ويلعبنلدن،وديزبنبلطال
c) Murid-murid „Amr bin Hammâd
سلم شبننمدنابماىرب إ،وليزيدبنيسالبنماىرب إ،وروىعنو:
بنأبمازحبندحوأوعمربأ،وانجوزالبوقعي بنماىرب إ،وةرعرع
بنانمثعنبأحد،وبربنحيىةزمث خنأببدحأركوببأة،وزرغ
اترالفبندحأدوعسوبأ،ويشوبنببنعمردحأ،وديالومكح
بنفضازالر وأحد النسائيي، إبراىم بن وأحدبنمحمدبننصر،الة ،
السوطي،وأ يي بن وأحد البغدادي، حان بن لعب بن حد
وإسحاقبنراىويو،وإساعلبنعبداللالصبهانسويو،وجعفربن
سطيالوراق،وجعفربننمدبنشاكرالصائغ،وجعفربننمدالوا
سنبنعليبن،وجعفربنالذيلالقنادابنبنتأبأساة،والمحمد
بزيعالبناء،والسيبنهديالبلي،وحدبنزنويو،وروحبنالفرج
الرحن عبد بن وسلمان الروزي، مي بن نمد بن وزىي البغدادي،
الل عبد بن والعباس ان، الزبر بن جعفر بن والعباس التمار، الطلحي
111
في،وأبوبكرعبدالل بة،وأبوبكرعبداللبنالت بننمدبنأبش
بننمدنمدبنالنعمانبنعبدالسلمالت ميالصبهان،وعبدالل
عبدالسندي عوف وأبو العلى، عبد بن واصل بن العلى وعبد ،
عب زرعة وأبو بنرزوقالبزوري، الكريالرازي،الرحن بنعبد دالل
ذي، وعليبنالسنبنأبري،وعليبنالسنوالدالكمالت
البغوي،والفضلبنسهلالعرج،وأبوحاتممحمد وعليبنعبدالعزيز
بن ومحمد الحسي، سرة بن إساعل بن ومحمد الرازي، إدري بن
الني،ال أب بن السي بن ومحمد داود، أب أخو السجستان شعث
عبد بن ومحمد النسابوري، رافع بن ومحمد البجلن، السي بن ومحمد
الرحمالبزاز،ومحمدبنعسىالقرئ،ومحمدابنغالببنحربتتام،
الروز بكرمحمدبنعاذبنيوسفبنعاوية ي،ومحمدبنىارونوأبو
كثيالران،ومحمدنييابنفارسالذىليالفلس،ومحمدب ،بنييبن
وسىبن و المذان، حويو الرار أحد وأبو ومحمدبنيونالكديي،
بة ش بن ويعقوب الفارسي، سفان بن ويعقوب الطوسي، ىارون
17السدوسي،ويوسفبنوسىالقطان.
d) Komentar „Ulama‟ tentang „Amr bin Hammâd
17
Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 591-593
112
Mengenai „Amr bin Hammâd ini, ulama‟ yang
berpandangan positif terhadapnya adalah Yahya bin Ma‟în
dan Abû Hâtim yang mengatakan bahwa „Amr bin
Hammâd merupakan orang yang sadûq. Sementara
Muhammad bin „Abdillah al-Hadramy mengatakan bahwa
„Amr bin Hammâd adalah orang yang tsiqah, dan Imâm Ibn
Hibbân menyebut dalam kitab Tsiqat-nya.
Komentar yang bernada sedikit negative muncul
dari Imâm Abû Dâud yang berpandangan bahwa „Amr bin
Hammâd termasuk rafîdah (ekstrimis „Ali kw.).18
4) Ibn Wakî‟
a) Nama Lengkap Ibn Wakî‟
أب وياسؤالراحرالنبعكونبنسفا أفولكانمد، بنحلوخ،
.عكوبندعب ،وعكو
b) Guru-guru Ibn Wakî‟
عن إب راىروى ونةع بنم: وفوالكيشببندحأ، بناقحسإ،
نبلاعسإ،وقرزالفسوي بناقحسإي،ودسالانحبنرنصو
،وجمعبنوجريربنعبدالمد ،اعلبننمدبنجحادة،وإسةلع
العجلي،وحفصبنغاث،وأبأساةحادبنعمرب نعبدالرحن
دبنعبدالرحنالرؤاسي،وخالدبنهلدالقطوان،وروح،وحأساة
نة،وزكربنعبادة ،وسلميبنعدي،وزيدبنالباب،وسفانبنع
18
Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 593-594
113
دسلمانبنحانالحر،وسويدبنعمربنعسىالقارئ،وأبخال
بنإدري،وعبداللبنرجاءالكي،وعبداللبنوالكلب ،وعبدالل
بدالمدبن،وعني،وعبداللبنوىب،وعبدالعلىبنعبدالعلى
المان الرحن الرحعبد وعبد بن، الرحن وعبد المحارب، نمد بن ن
،وعبدالسلمبنحرب،وعبدالوىاببنعبدالمدالثقفي،هدي
العاريوعبداللبنوسى داودعمربنسعد،وأب،وعثامبنعلي
ب،الفري وعسىبنيونوعمر الطنافسي، عبد ومحمدبنبكرن ،
بنحدالعمري،ومحمدبنأبعدي،ومحمد،وأبسفاننمدالبسان
زيد بن طلب و فضل، العنببن عاذ بن عاذ و بن، وكع وأبو ي،
يزيدبنالراح،وييبنآدم،وييبنسعدالقطان،وييبنيان،و
،وأببكربنعاش.ىارون،ويونبنبكي
c) Murid-murid Ibn Wakî‟
ذي،ووروىعن أحد،وواجناب:الت جعفر دعالبنالسنبنأبو
دسعبنيلبنعأحدأبوبكري،واددغالب ىلأبوعي،واضيالقزورال
بنلإساعأبوأحدي،وورالاناشالبنيزبنعليبنربننمدأحد
ال إب راىم بن وباسوسى ويسلدنالدلهبني قب، عروبةبأ، و
أحدبناللدبعي،واجالسيبنييركز،وانرالننمداب يسال
114
بنأبنمدبناللدعبأبوبكرل،وإساعبناللدبعة،واردبنأب
ون الد وعبدوناب ا، بن سفان بن وعكالرحن بنبني لع، إسحاق
ال وانذمإب راىم وبيروسىالفبنانعمر، بندعببنلضالف، الل
ر ي رب نجمحمدأبحوجع فروي،وطالشبننمدأحدبندمن،ودله
ويبالط ووطالشجعفرمحمدبن، ي، بنزيزالعدبعبننمدللأبو
المحمدبن،وبالكلةع برنمدبن ذي،ومحمدبنمكعلي ملسالت
لاصومحمدبني،وازالرةاروبن 19.داعصننمدببنيي،وئرقال
d) Komentar „Ulama‟ terhadap Ibn Wakî‟
Sependek pengamatan penulis, hanya ada dua ulama
yang berkomentar tentang Ibn Wakî‟ ini. Dua pendapat itu
pun sama-sama bernada negative terhadap kredibilitas
sosok Ibn Wakî‟. Dua pendapat tersebut berasal dari Abû
Zur‟ah dan Abû „Abd al-Rahmân yang mengatakan bahwa
Ibn Wakî‟ tertuduh dusta dan termasuk orang yang merusak
hadîts.20
Seiring dengan paparan bukti-bukti tertulis di atas,
maka penulis memunculkan beberapa konklusi sebagai
berikut, bahwa kajian seputar ketergodaan Nabi Yûsûf
dalam tafsîr al-Tabari menghadirkan dua riwayat.
Sayangnya, kedua riwayat tersebut sama-sama tidak bisa
dipertanggung jawabkan keabsahannya. Satu riwayat hadir
19
Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 200-202 20
Abû al-Hajjâj Yûsûf al-Mâzi, Tahdzîb al-Kamâl, hlm. 202
115
dengan mata rantai sanad yang sama persis seperti riwayat
tentang penyebutan Râ‟îl sebagaimana penulis bahas
panjang lebar sebelumnya, untuk itu penulis merasa tidak
perlu lagi mengomentarinya lagi. Riwayat kedua Imâm al-
Tabari dapatkan dari Ibn Wakî‟, Ibn Wakî‟ menerima dari
„Amr bin Hammâd, „Amr bin Hammâd menerima dari
Asbât sementara Asbât mendapatkan riwayat itu dari al-
Sudi. Kecacatan mata rantai riwayat ini adalah bahwa Ibn
Wakî‟ tidak tercatat pernah berguru pada „Amr bin
Hammâd, sementara „Amr bin Hammâd juga tidak pernah
tercatat memiliki murid bernama Ibn Wakî‟. Sementara itu,
hal yang juga ikut andil membuat riwayat ini tidak bisa
dipertanggung jawabkan keabsahannya adalah bahwa
kredibilitas setiap rawi dalam riwayat itu masih diragukan.
Buktinya, Yahya bin Ma‟in menganggap al-Sudi orang
yang da‟if, Abû Nu‟aim dan Imâm al-Nasâ‟i berpendapat
bahwa Asbât tergolong orang yang da‟if dan tidak kuat
riwayatnya, sementara untuk „Amr bin Hammâd, meski
mayoritas ulama‟ memujinya, Imam Abû Dâud
menggolongkan „Amr bin Hammâd sebagai orang syi‟ah
rafîdah (ekstrimis „Ali). Dan mengenai Ibn Wakî‟, Abû
Zur‟ah dan Abû „Abd al-Rahmân berpandangan bahwa Ibn
Wakî‟ merupakan orang yang tertuduh dusta dan merusak
hadîts. Kelemahan-kelemahan yang penulis paparkan tadi
jelas membuat riwayat ini tidak bisa dipertanggung
jawabkan keabsahannya.
116
b. Kritik Matan
Menurut penulis, dalam riwayat yang membahas seputar
ketergodaan Nabi Yûsûf ini, terdapat bagian yang bisa membuat
riwayat ini tergolong riwayat yang tidak boleh disampaikan. Hal
ini desebabkan karena dalam riwayat ini mengandung hal yang
menyalahi syarî‟at islâm dengan menghilangkan „ismah seorang
Nabi.
3. Kritik Sanad dan Matan seputar Pernikahan Nabi Yûsuf dalam
Surah Yûsuf Ayat 56
a. Kritik Sanad
Data-data yang telah dipaparkan di bab sebelumnya ihwal
pernikahan Nabi Yûsûf dalam surah Yûsûf ayat 56, juga
menyebut bahwa riwayat dalam tafsîr Ibn Katsîr dan tafsîr al-
Tabari bersumber dari sumber riwayat yang sama dengan redaksi
riwayat yang juga nyaris sama. Seperti kasus sebelumnya,
riwayat dengan sanad terlengkap berada dalam tafsir al-Tabari.
Mengenai pernikahan Nabi Yûsûf dalam tafsir al-Tabari—
sebagaimana juga terjadi pada kebanyakan tafsîr yang lain,
riwayat yang muncul adalah riwayat yang Imâm al-Tabari
dapatkan dari Ibn Humaid. Ibn Humaid meriwayatkan dari
Salamah. Sementara Salamah menerima riwayat itu dari Ibn
Ishâq. Oleh karena mata rantai riwayat ini telah penulis paparkan
di poin sebelumnya, maka penulis merasa tidak perlu lagi untuk
memaparkan kembali hal ini.
Berdasarkan sumber-sumber tertulis yang telah penulis
sampaikan di atas, maka kajian riwayat seputar pernikahan Nabi
Yûsûf memiliki konklusi bahwa dari segi kajian riwayat seputar
pernikahan Nabi Yûsûf dalam kitab tafsîr Ibn Katsîr dan tafsîr al-
117
Tabari ternyata memiliki mata rantai riwayat yang sama persis
seperti riwayat yang membahas seputar nama istri al-„Azîz dan
salah satu di antara dua riwayat yang mengupas ihwal
ketergodaan Nabi Yûsûf. Kiranya penulis tidak perlu
mengemukakan panjang lebar lagi terkait dengan bagaimana
kualitas riwayat itu. Namun sekadar untuk mengingatkan saja,
bahwa menurut penulis riwayat ini juga tidak bisa dipertanggung
jawabkan keabsahannya, hal ini disebabkan karena adanya
kredibilitas râwi yang patut dipertanyakan meski mata rantai
riwayatnya terbukti tak terputus.
b. Kritik Matan
Dalam riwayat ini dikisahkan bahwa Nabi Yûsuf pada
akhirnya dinikahkan oleh Raja bernama ar-Rayyân dengan
mantan istri al-„Azîz yang bernama Râ‟il. Menurut penulis,
sepintas riwayat yang disampaikan ini tergolong riwayat yang
boleh-boleh saja disampaikan sebab riwayat ini hanya
menyangkut tentang kisah, bukan tentang tauhîd dan tidak sedang
menyalahi ajaran-ajaran Islam. Hanya saja, dalam praktiknya,
banyak orang yang percaya, bahkan meyakini bahwa Nabi Yûsûf
menikah dengan perempuan bernama Zulaikhâ‟ sehingga nama
Nabi Yûsûf dan Zulaikhâ‟ muncul bersandingan dalam doa-doa
yang dipanjatkan dalam acara walîmah al-„Urs,21
padahal secara
21
Redaksinya,
بحبتك ن هما ب الف الفتاللهم كما ن هما ب والف وحوى آدم ب ي الفت ي حو سحفكما ب ي وزحلي خا لدنكرحة ن وىبلما والآخرة ن ا الد ف جمعهما الكب رىوأصلح وخدية ونمد أعي و رة
نيبرحتكيأرحمالراحيواجع ؤنعبادكالنافعيعلىدينكولمصالحال .لهما
“Ya Allah, satukan mereka berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dengan
cinta-Mu, sebagaimana Engkau satukan antara Nabi Adam dan Hawa. Satukanlah
keduanya sebagaimana Engkau satukan Nabi Yusuf dan Zulaikha, Nabi Muhammad Saw
dan Khadijah al-Kubra. Baikkanlah penyatuan keduanya di dunia dan akhirat,
118
kajian riwayat, nama istri Nabi Yûsûf sendiri bernama Râ‟il, yang
itu pun kualitas riwayatnya tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Oleh karena doa merupakan mukhkh al-„Ibâdah (inti
ibadah), maka jika doa bersandar pada hal-hal yang belum jelas
keabsahannya, hal itu bisa saja menyalahi ajaran-ajaran Islam,
sehingga perlu kiranya penjelasan lebih lanjut saat
menyampaikan riwayat atau kisah tentang hal ini sehingga tidak
menimbulkan kesalah pahaman di tengah masyarakat.
B. Posisi Riwayat Isrâîliyyât sebagai Sumber Penafsiran al-Qur’ân
1. Posisi Riwayat Isrâîliyyât sebagai Sumber Penafsiran al-Qur’ân
dalam Tafsîr al-Tabari
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, Imâm al-Tabari
cendrung lebih longgar ketika mencantumkan riwayat-riwayat
isrâîliyyât dalam tafsirnya, dengan persepsi bahwa riwayat-riwayat
tersebut telah dikenal oleh mayarakat Arab dan tidak menimbulkan
kerugian dan bahaya bagi agama.22
Meski begitu, beliau juga cukup
selektif dalam menuqil riwayat isrâîliyyât yang baginya tidak
berguna, sebab beliau meyakini bahwa mengetahui hal itu tidaklah
bermanfaat dan ketidak tahuan tentangnya bukan sebuah
keburukan.23
Imâm al-Tabari banyak sekali meriwayatkan isrâîliyyât yang
ada kaitannya dengan catatan sejarah, sebab pengambilan riwayat
isrâîliyyât tidak terlepas dari jiwa sejarawan yang dimiliki al-Tabari,
berikanlah rahmat dan „penyejuk mata‟ kepada keduanya. Jadikanlah keduanya
hambam-Mu yang bermanfaat terhadap agama-Mu dan kemaslahatan orang-orang yang
beriman, berkat rahmat-Mu, wahai Tuhan Yang Maha Penyayang.”
Bisa ditemui dalam, M. Ali Mukhtar, Cakrawala 2000 Qosidah & Surat-surat
Pilihan, cet. Ke-1 Lamongan: Az Zahida Group, 2011, hlm. 588-589 22
Muhammad Yusuf, dkk., Studi Kitab, hlm. 31-32 23
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir; dari Klasik, hlm. 117-118. Bisa dilihat juga
dalam, Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm. 155
119
guna melengkapi puing-puing sejarah.24
Beliau juga amat selektif
terhadap riwayat yang menjelaskan detail-detail yang tak cukup
penting untuk diketahui. Dalam artian, Imâm al-Tabari sebagai
sejarawan, lebih mengedepankan aspek kepentingan sejarah dari
pada kualitas riwayat yang ditampilkan.25
Muhammad Husain al-Dzahaby dalam sebuah kitabnya yang
khusus mengupas riwayat-riwayat isrâîliyyât dalam kitab-kitab tafsir
dan hadits, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts, berpandangan
bahwa kitab tafsîr al-Tabari ini tergolong tafsîr yang menuqil
isrâîliyyât dengan menyebut lengkap dan detail sanad
periwayatannya namun jarang sekali memberikan komentar atau
mengritik terhadap riwayat yang dicantumkan.26
Oleh karena imâm al-Tabari jarang berkomentar pada riwayat-
riwayat isrâîliyyât yang disampaikan olehnya dalam kitab tafsirnya,
walaupun riwayat isrâîliyyât itu disampaikan dengan mata rantai
riwayat yang lengkap, hal ini memicu pro dan kontra di antara para
ulama.
Di antara ulama yang membela al-Tabari adalah Abû al-Fadl
Ibrâhîm yang menyatakan bahwa sikap al-Tabari sudah terbilang
sejalan dengan langkah yang ditempuh oleh kalangan ahli hadîts
pada umumnya, yakni mengambil cukup dengan hanya
mengemukakan mata rantai riwayat hingga sampai pada pembawa
riwayat pertama. Selebihnya, ihwal kualitas riwayat itu, al-Tabari
seolah memasrahkan sepenuhnya kepada para pembaca. Dengan
langkah ini. Menurut Abû al-Fadl Ibrâhîm, al-Tabari sudah
24
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm.154; Muhammad Yusuf,
dkk., Studi Kitab, hlm. 32-33 25
Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 248-249. 26
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 97
120
menunaikan tugas keilmuannya dan tidak bertanggung jawab
terhadap isi yang dibawanya. 27
Pandangan Abû al-Fadl Ibrâhîm di atas tentu tidak sepenuhnya
dapat diterima sebab tafsîr al-Tabari ini jelas tidak selamanya berada
di tangan orang yang mampu menilai kualitas riwayat isrâîliyyât,
sebab untuk menilai dan mengkritik sebuah riwayat, diperlukan
adanya bidang ilmu kritik riwayat seperti yang ada dalam bidang
Hadîts (takhrîj hadîts). Pembelaan Abû al-Fadl Ibrâhîm ini, seperti
juga disampaikan Rosihon Anwar, memiliki celah untuk dikritisi.
Seperti disampaikan tadi, Abû al-Fadl Ibrâhîm berpandangan bahwa
orang yang mengemukakan sanad riwayat, sudah terlepas dan tidak
bertanggung jawab atas isi isrâîliyyât yang disampaikannya.
Pandangan semacam ini sangat sulit diterima, sebab bisa saja
riwayat isrâîliyyât yang disampaikan tadi kemudian dipakai
seseorang untuk hal-hal yang tidak semestinya semisal untuk
menjelaskan hukum syarâ‟ dalam al-Qur‟ân.28
Berbeda halnya dengan Abû al-Fadl Ibrâhîm, ada pula ulama‟
yang menyayangkan sikap al-Tabari yang tidak melakukan studi
kritis terhadap riwayat isrâîliyyât. Adalah al-Hûfy yang
menyayangkan sikap al-Tabari yang terbilang tidak kritis terhadap
riwayat isrâîliyyât yang disampaikannya, padahal al-Tabari sendiri
adalah ulama‟ ahli hadîts selain juga ahli sejarah. Menurut al-Hûfy,
barangkali al-Tabari membedakan antara hadîts dan isrâîliyyât;
hadîst berfungsi sebagai sumber yang dapat membangun hukum-
hukum, sedangkan isrâîliyyât tidak berfungsi sebagai sumber
27
Muhammad Abû Fadl Ibrahim, Târikh al-Thabari, dalam al-Tabari, Târikh al-
Rasûl wa al-Mulk, Juz I, Dâr al-Ma‟ârîf, 1960, hlm. 22-23 28
Roshon anwar, melacak unsur-unsur isrâîliyyât dalam tafsîr al-Tabari dan tafsîr
ibn Katsîr, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999), hlm. 115
121
hukum, sehingga tidak perlu melakukan studi kritis terhadapnya.
Namun sebagai ahli hadîts, selain juga ahli sejarah, al-Hûfy menilai
bahwa tidak cukup jika al-Tabari hanya menyampaikan riwayat saja
sebab terkadang para perawinya terpercaya namun lemah dalam hal
ingatannya.29
Sejatinya, al-Tabari sendiri dalam kitabnya yang lain, yakni
Târikh al-Umam wa al-Mulk, menyampaikan,
“Hendaknya setiap peneliti kitabku memahami apa yang
dikemukakan di dalamnya dan saya sendiri yang menulisnya
dengan bersandarkan pada periwayatan yang aku sebutkan
dan susunan perawinya yang didalamnya pun aku abaikan,
bukan berdasarkan atas hasil olah pikiran. Karena untuk
mengetahui berita-berita masa lampau dan kejadian-kejadian
di dalamnya, tidak mungkin diperoleh dari orang-orang yang
terlibat atau menyaksikan langsung peristiwa-peristiwa itu,
melainkan hanya dapat diperoleh melalui kabar berita yang
sampai kepada kita, bukan dengan cara hasil olah pikir. Jika
ternyata dalam kitabku ini terdapat suatu riwayat yang tidak
enak didengar karena tidak jelas kevalidan dan hakikatnya,
maka penjelasan tentang itu belum pernah aku dapatkan dari
orang-orang sebelumku. Itulah sebabnya, aku hanya menulis
apa saja yang sampai kepadaku saja.”30
Dari ucapan al-Tabari di atas, tampaknya ada tiga poin penting
yang ingin beliau sampaikan: Pertama, beliau berpandangan bahwa
seharusnya para sejarawan tidak boleh bertolak hanya dari logika,
analogi serta istinbât dalam memperoleh data sejarah. Oleh karena
itu, ia mendokumentasikan data sejarah atas dasar berita dari perawi
yang sampai padanya saja. Beliau juga tidak hanya mengumpulkan
data sejarah yang sekadar relevan dengan pemikirannya. Kedua,
untuk memperoleh data sejarah, hal itu hanya dapat dilakukan
dengan satu cara, yaitu melalui berita-berita yang sampai langsung
29
Roshon anwar, melacak unsur-unsur isrâîliyyât, hlm. 116 30
Ibn Jarîr al-Tabari, Târikh al-Umam wa al-Mulk, (Matba‟ah al-Husainiyah,
Mesir, tt.), hlm. 7-8
122
pada kita. Ketiga, al-Tabari menyatakan bahwa orang-orang sebelum
dirinya belum pernah melakukan studi kritis terhadap riwayat yang
diterimanya.
Berangkat dari beberapa poin inti atas pernyataan al-Tabari di
atas, Rosihan Anwar menyampaikan beberapa kritik untuk al-Tabari.
Poin pertama dan kedua nampaknya bertentangan dengan prinsip
sejarah yang sebenarnya. Sejarawan memang tidak boleh
merekayasa data sejarah, tetapi bukan berarti pertimbangan rasio
tidak berguna dalam mengumpulkan data sejarah.31
Terlepas dari segala pembelaan dan kritik yang tertuju pada al-
Tabari, tafsîr al-Tabari ini memliki keistimewaan tertentu dari sisi
lain, terutama dari sisi penyebutan sanad atau mata rantai riwayat
yang oleh beliau dalam setiap periwayatannya disebutkan lengkap
dan detail hingga sumbernya langsung dengan menggunakan
langkah-langkah periwayatan hadîts.
2. Posisi Riwayat Isrâîliyyât sebagai Sumber Penafsiran al-Qur’ân
dalam Tafsîr Ibn Katsîr
Sebagaimana disebutkan dalam biografi Ibn Katsîr pada bab
sebelumnya, Ibn Katsîr dan Ibn Jarîr al-Tabari sebenarnya memiliki
kesamaan dari sisi bidang keilmuan yang dikuasai, yakni sama-sama
menguasai bidang sejarah dan ilmu hadîts riwâyah, sehingga
memang sangat menarik mengkaji posisi keduanya dalam
memperlakukan riwayat isrâîliyyât dalam kitab tafsîr masing-
masing; apakah lebih menonjolkan sisi sejarawan sehingga dengan
laluasa mengemukakan semua riwayat isrâîliyyât yang sampai
padanya, atau sebaliknya, menonjolkan sisi ahli hadîts dengan
31
Roshon anwar, melacak unsur-unsur isrâîliyyât, hlm. 117
123
berhati-hati terhadap mata rantai perawi serta isi atau matn riwayat
isrâîliyyât tersebut.
Jika al-Tabari, sebagaimana dipaparkan di atas, lebih
menonjolkan sisi sejarawannya dengan menyampaikan segala
riwayat isrâîliyyât yang beliau terima, walaupun tetap
mempertahankan sisi ahli hadîts dengan menyampaikan mata rantai
riwayat yang lengkap dan detail, maka Ibn Katsîr berada pada sisi
yang sedikit berbeda. Ibn Katsîr yang juga dikenal tidak hanya
sebagai mufassir, melainkan juga muhaddits dan ahli sejarah,
tentu akan lebih selektif memilih riwayat-riwayat yang sahîh untuk
dipaparkan dalam kitab tafsirnya, sehingga kemungkinan besar
riwayat isrâîliyyât yang dikemukakannya memiliki sanad yang
sahîh. Namun begitu, seperti halnya kondisi yang dialami Ibn Jarîr
al-Tabari sebagai sesama sejarawan, Ibn Katsîr juga beberapa kali
mengutip kisah-kisah isrâîliyyât yang da‟îf sebagai pelengkap
kisah-kisah yang ada dalam al-Qur‟ân, namun diikuti penjelasan
soal letak keda‟îfannya, atau ketika riwayatnya sahîh ia juga
menjelaskan sisi kesahîhannya.
Di saat mengemukakan riwayat isrâîliyyât dalam tafsirnya, Ibn
Katsîr setidaknya begitu mempertimbangkan dua hal berikut ini:
a. Kualitas Sanad
Jika al-Tabari menunjukkan kapasitasnya sebagai ahli
hadîts riwâyah dengan cara menyampaikan mata rantai perawi
dengan sangat lengkap dan detail, maka Ibn Katsîr memiliki cara
berbeda. Di saat mengemukakan riwayat isrâîliyyât, Ibn Katsîr
sering mengomentarinya dengan istilah nakara (munkar),
mukhtalif li an-Nas (bertentangan dengan nash), da‟îf jiddan
(sangat lemah kualitasnya), dan lâ asla lahu (tidak memiliki
124
sumber yang jelas). Istilah-istilah tadi digunakan Ibn Katsîr saat
mengomentari riwayat isrâîliyyât yang menurutnya lemah dan
tidak berdasar. Beliau juga kerap mengritik para perawi yang
dianggap memiliki kelemahan dan sisi negatif tertentu dalam
kapasitas sebagai perawi yang pada akhirnya berujung pada
keabsahan riwayat isrâîliyyât itu sendiri.
b. Kesesuaian dengan Syarî‟at Islam
Hal yang sangat menjadi bahan pertimbangan Ibn Katsîr
dalam menyampaikan atau mengomentari riwayat isrâîliyyât yang
telah disampaikan dalam tafsirnya, adalah kesesuaian riwayat
isrâîliyyât itu dengan syarî‟at Islam. Adakalanya Ibn Katsîr tidak
menyampaikan riwayat-riwayat yang jelas bertentangan dengan
ajaran Islam, seperti ketergodaan Nabi Yûsûf terhadap istri al-
„Azîz dalam upaya menjaga „ismah seorang Nabi. Alih-alih
menyampaikan riwayat tentang hal tadi, Ibn Katsîr malah
menyampaikan kajian bahasa maupun riwayat isrâîliyyât seputar
hadirnya burhân yang membuat Nabi Yûsûf tidak jadi melakukan
hal menyimpang dengan istri al-Azîz. Meski begitu, adakalanya
pula Ibn Katsîr tetap menyampaikan riwayat-riwayat yang
terkesan dan seolah bertentangan dengan ajaran Islam, namun
setelah itu beliau sangat pedas mengomentari dan mengkritisi isi
atau kandungan dari riwayat-riwayat isrâîliyyât yang
disampaikannya tadi.
Dari paparan-paparan tadi, bisa diketahui bahwa kisah-
kisah isrâîliyyât da‟if yang dikemukakan Ibn Katsîr dalam
tafsirnya, bukan merupakan tafsiran terhadap ayat, melainkan
sebatas mengungkapkan bahwa dalam konteks ayat itu terdapat
kisah-kisah isrâîliyyât yang tidak boleh dijadikan dasar sebab
125
cacat dari sisi kualitas sanad maupun ketidaksesuaian dengan
ajaran-ajaran Islam.32
C. Urgensitas Riwayat Isrâîliyyât terhadap Tafsîr al-Qur’ân
Pada bab sebelumnya telah dipaparkan riwayat-riwayat isrâîliyyât
tentang tiga poin penting dalam sûrah Yûsûf, yakni: Pertama, nama istri
al-„Azîz. Kedua, ketergodaan Nabi Yûsûf. Ketiga, Pernikahan Nabi
Yûsûf. Tidak hanya dari tafsîr al-Tabari dan tafsîr Ibn Katsîr saja
sebagai dua tafsîr rujukan, penulis juga mengkomparasikan riwayat
isrâîliyyât tadi dengan 11 tafsir lain, berurutan dari tafsir yang paling
tua hingga yang paling muda, yakni: Tafsir Muqâtil bin Sulaiman (150
H.), Tafsir al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Razzâq (211 H.), Bahr al-„Ulûm/ Tafsîr
al-Samarqandy (373 H.), Al-Kasyf wa al-Bayân „an Tafsîr al-Qur‟ân/
Tafsîr al-Tsa‟laby (427 H.), Ma‟âlim al-Tanzîl/ Tafsîr al-Baghâwi (516
H.), Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-„Azîz/ Tafsîr Ibn
„Atiyyah (542 H.), Lubâb al-Ta‟wîl fî Ma‟âny al-Tanzîl/ Tafsîr Khâzin
(741 H.), Al-Jawâhir al-Hissân fî Tafsîr al-Qur‟ân/ Tafsîr al-Tsa‟âlaby
(875 H.), Al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr al-Ma‟tsûr (911 H.), Rûh al-
Ma‟âny fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm wa al-Sab‟ al-Matsâny/ Tafsîr al-
Alûsy (1252 H.), Tafsîr al-Qur‟ân al-Hakîm/ Tafsîr al-Manâr (1354
H.).
Banyaknya riwayat israiliyat yang disampaikan dalam banyak
tafsir, terutama aliran tafsîr bi al-ma‟tsûr, menjadikan riwayat
isrâîliyyât memiliki peran tersendiri dalam menafsirkan al-Qur‟ân,
selain yang bersumber dari nas al-Qur‟ân maupun al-Hadîts sendiri.
Banyaknya mufassir yang mengutip riwayat isrâîliyyât dalam kitab
tafsîr mereka, tentu bukan berdasar iseng-iseng semata, melainkan
32
Roshon anwar, melacak unsur-unsur isrâîliyyât, hlm.139.
126
adanya hal yang menjadi pertimbangan untuk tetap memasukkan
riwayat-riwayat isrâîliyyât itu dalam tafsîr mereka.
Berikut ini, penulis merangkum beberapa pertimbangan para
mufassir dalam mencantumkan riwayat-riwayat isrâîliyyât dalam tafsîr
mereka, sehingga riwayat isrâîliyyât tampak menjadi hal yang penting
sebagai sarana menafsirkan al-Qur‟ân, selain teks al-Qur‟ân maupun al-
Hadîts sendiri:
1. Pelengkap Sejarah
Inilah faktor terpenting dan latar belakang kebanyakan
mufassir mencantumkan riwayat-riwayat isrâîliyyât dalam tafsîr
mereka. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal:
Pertama, seperti disebutkan di awal, sepertihalnya potongan
puzzle, kisah-kisah dalam al-Qur‟ân hanya dihadirkan sepintas-
sepintas saja, maka adakalanya mufassir merasa kesulitan untuk
menjelaskan hal itu dari aspek sejarah, terutama untuk menyebutkan
nama-nama tokoh yang berperan dalam kisah itu serta saat berupaya
untuk membahas cerita-cerita itu dengan lebih mendetail. Poin inilah
yang menyebabkan para mufassir merasa perlu mencatumkan
riwayat-riwayat isrâîliyyât dalam tafsîr mereka.33
Kedua, latar belakang keilmuan para mufassir yang juga tidak
hanya mahir dalam bidang tafsîr al-Qur‟ân, melainkan juga ahli
dalam bidang sejarah, sehingga saat sampai pada ayat-ayat yang
memuat kisah dan sejarah umat-umat terdahulu, mereka cenderung
tertarik untuk melengkapinya dengan cara menghadirkan riwayat-
riwayat isrâîliyyât. Hal ini diamini oleh Husain al-Dzahaby yang
berpandangan bahwa jiwa sejarawan yang dimiliki Imâm al-Tabari
33
Muhammad Yusuf, dkk., Studi al-Qur‟an, hlm. 176.
127
memiliki andil dalam pencantuman riwayat-riwayat isrâîliyyât
dalam tafsirnya, guna melengkapi puing-puing sejarah.34
2. Perpaduan Tsaqâfah
Dalam catatan sejarah, sejak awal munculnya Islam, umat
Islam sering berinteraksi langsung dengan berbagai tsaqâfah atau
kebudayaan agama lain, seperti orang kâfir Makkah, Yahûdi
Madînah, maupun Nasrani Najrân dan Madînah. Pada tahap
berikutnya, banyak dari mereka yang kemudian masuk Islam dengan
tetap membawa tsaqâfah sebelumnya, sepertihalnya yang terjadi
pada riwayat-riwayat isrâîliyyât yang kebanyakan bersumber dari
orang-orang beragama Yahûdi yang telah masuk Islam.
Hadirnya riwayat-riwayat isrâîliyyât sebagai salah satu media
penafsiran al-Qur‟ân sejatinya merupakan akulturasi budaya, yang
disikapi berbeda oleh para ulama‟; ada yang sama sekali enggan
mencantumkannya dalam kitab tafsirnya, ada yang mencantumkan
dengan banyak atau sedikit komentar, bahkan ada pula yang seolah
begitu saja mencantumkannya tanpa komentar atau kritik apa pun.
Hadirnya dalil-dalil yang seolah memberikan lampu hijau
dalam menerima tsaqâfah agama sebelumnya, seperti ayat:
هزل ا مم شك ف لوت فإنين ٱ ل فس ك إل ا أ من ب مت ل ٱ رءون يق ل
بك من ق ل ٱ ءك جا لقد لك قب ٱ من تكونن فل ر ٩٤ تين مم ل
Artinya: “Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-
raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, Maka
Tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum
34
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Tafsîr wa, hlm.154; Muhammad Yusuf,
dkk., Studi Kitab, hlm. 32-33
128
kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari
Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-
orang yang ragu-ragu.”(Qs. Yunus [10]: 94), maupun hadist:
حدث ناحسانبنعطةعنحدث ن اأبوعاصمالضحاكبنهلدأخب رنالوزاعي
ول كبشةعنعبداللبنعمروأنالنبصلىاللعلووسلمالب لغواعن وأب
وحدثوا نآية قعده داف ل ت ب وأ ت عم كذبعلي عنبنإسرائلولحرجون
النار
Artinya: “Telah bercerita kepada kami Abû 'Âsim al-Dahhâk
bin Makhlad telah mengabarkan kepada kami al-Awzâ'iy telah
bercerita kepada kami Hassan bin 'Atiyyah dari Abî Kabsyah dari
'Abdullah bin 'Amr bahwa Nabi sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang
kalian dengar) dari Banî Isrâîl dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa
yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah
menempati tempat duduknya di neraka.”, nampaknya menjadikan
para mufassir bisa sedikit leluasa dalam mencantumkan riwayat
isrâîliyyât dalam kitab-kitab tafsirnya.
Khusus ihwal hadîts di atas, Imâm al-Syafî‟i berpandangan
bahwasanya arti sabda Nabi Muhammad tadi adalah umat Islam
boleh berinteraksi dan menyampaikan cerita-cerita dari Banî Isrâîl
terhadap sesuatu yang tidak diketahui kedustaannya. Menurut imâm
al-Syafî‟i, hadîts ini merupakan anti klimaks dari hadîts lain yang
jelas-jelas melarang umat Islam untuk menerima dan menyampaikan
apa pun dari Ahl al-Kitâb. Redaksi wa lâ haraj dalam hadits di atas
seolah memberi sedikit kebebasan untuk berinteraksi dan menerima
129
atau menyampaikan sesuatu dari Ahl al-Kitâb setelah sebelumnya
mendapatkan larangan keras dari Nabi. Namun menurut Imâm al-
Syafî‟i, kebebasan dimaksud tidak berlaku untuk semua orang,
melainkan orang-orang tertentu yang memiliki kadar ilmu keislaman
yang tinggi dan benar-benar mengatahui dasar-dasar agama..35
Maka hadirnya riwayat-riwayat isrâîliyyât dalam kitab-kitab
tafsîr bisa disikapi dengan tidak hanya sebagai pelengkap sejarah
saja, melainkan upaya akulturasi budaya antar agama dengan tetap
selektif ihwal kualitas periwayatan maupun konten yang sesuai
dengan ajaran Islam.
3. Mengkaji Ulang Mufassir Sebelumnya
Salah satu di antara beberapa hal yang juga melatar belakangi
para mufassir dalam mencantumkan riwayat-riwayat isrâîliyyât
dalam kitab-kitab tafsîr mereka adalah upaya untuk mengkaji ulang,
mengomentari maupun mengkritisi riwayat-riwayat isrâîliyyât yang
pernah disampaikan oleh mufassir-mufassir sebelumnya.36
Tafsir Rûh al-Ma‟âny fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm wa al-Sab‟
al-Matsâny, karya al-Alûsi, contohnya. Kitab tafsir ini sengaja
meriwayatkan isrâîliyyât dengan cara menuqil dari mufassir
sebelumnya untuk mengkritisi riwayatnya, agar para pembaca tafsîr
tersebut tidak membenarkan secara keseluruhan. Kitab tafsîr ini
tergolong kitab yang sangat pedas mengkritik riwayat-riwayat
isrâîliyyât. Selain itu, ada pula kitab tafsir yang sangat kiritis
terhadap kitab-kitab tafsîr sebelumnya yang begitu saja
mencantumkan riwayat-riwayat isrâîliyyât tanpa memedulikan
kualitas riwayat maupun matn-nya. Pada beberapa kesempatan kitab
35
Lihat selengkapnya di Ramzi Na‟na‟ah, al-Isrâîliyyât wa Âtsaruhâ, hlm. 92. 36
Muhammad Husain al-Dzahaby, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr, hlm. 95-160.
130
tafsîr ini melancarkan tuduhan-tuduhan yang boleh dibilang
keterlaluan terhadap pembawa cerita isrâîliyyât tersebut baik dari
golongan sahabat maupun tâbi‟în. Kitab tafsîr dimaksud adalah
Tafsîr al-Qur‟ân al-Hakîm, karya Muhammad Rasyîd Ridâ.
131
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang dikemukakan pada bab-bab terdahulu, maka
penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam kajian mata rantai riwayat maupun kandungan riwayat-
riwayat seputar nama istri al-‘Azîz, ketergodaan Nabi Yûsûf, serta
pernikahan Nabi Yûsuf dapat dipastikan keotentikan riwayat
tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan. Meski dalam hal
ketersambungan riwayat tak ada yang terputus, namun kredibilitas
periwayat yang ada dalam riwayat tersebut masih diperselisihkan
ulama’.
Dilihat dari sisi matan, maka riwayat isrâîliyyât seputar nama istri
al-‘Azîz ini boleh-boleh saja diriwayatkan sebab tidak berkenaan
dengan tauhîd dan tidak menyalahi syarî’at Islam. Sementara itu,
riwayat tentang ketergodaan Nabi Yûsuf tergolong riwayat yang
tidak boleh disampaikan, sebab menyalahi syarî’at Islam dan ada
kaitannya dengan perkara tauhîd, yakni karena menghilangkan
‘ismah seorang Nabi.
Sedangkan riwayat tentang pernikahan Nabi Yûsuf, sepintas riwayat
ini tergolong riwayat yang boleh-boleh saja disampaikan, hanya saja
dalam praktiknya, banyak orang yang percaya, bahkan meyakini
bahwa Nabi Yûsuf menikah dengan perempuan bernama Zulaikhâ’
sehingga nama Nabi Yûsûf dan Zulaikhâ’ muncul bersandingan
dalam doa-doa yang dipanjatkan dalam acara walîmah al-‘Urs. Oleh
karena hal ini kemudian menjadi keyakinan yang menjurus pada
pembahasan tauhîd, sehingga perlu kiranya penjelasan lebih lanjut
132
saat menyampaikan riwayat atau kisah tentang hal ini sehingga tidak
menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat.
2. Dalam kajian seputar posisi al-Tabari dan Ibn Katsîr terhadap
riwayat-riwayat isrâîliyyât, al-Tabari cenderung lebih longgar saat
mencantumkan riwayat isrâîliyyât dalam tafsirnya, dengan persepsi
bahwa riwayat-riwayat tersebut telah dikenal oleh mayarakat Arab
dan tidak menimbulkan kerugian dan bahaya bagi agama. Sementara
itu, Ibn Katsîr berada di sisi yang sedikit berbeda dengan al-Tabari.
Ibn Katsîr saat mengemukakan riwayat isrâîliyyât dalam tafsirnya,
setidaknya begitu mempertimbangkan dua hal, yakni kualitas sanad
dan kesesuaian dengan syarî’at Islam.
3. Dari hasil komparasi riwayat isrâîliyyât dalam kitab tafsîr al-Tabari
dan tafsîr Ibn Katsîr serta 11 tafsir lain, maka kajian seputar urgensi
adanya riwayat isrâîliyyât sebagai sumber penafsiran bagi para
mufassir, setidaknya bermuara dalam 3 hal penting berikut: Pertama,
sebagai pelengkap sejarah, sebab kisah-kisah dalam al-Qur’ân hadir
sepotong-potong sehingga dirasa perlu adanya sumber yang bisa
melengkapi detailnya. Kedua, perpaduan kebudayaan. Oleh karena
adanya dalil yang membolehkan menerima tsaqâfah agama
sebelumnya, baik dari ayat al-Qur’ân maupun al-Hadîts, maka
nampaknya hal itu menjadikan para mufassir bisa sedikit leluasa
dalam mencantumkan riwayat isrâîliyyât dalam kitab-kitab tafsirnya,
sehingga hadirnya riwayat-riwayat isrâîliyyât dalam kitab-kitab
tafsîr bisa disikapi dengan tidak hanya sebagai pelengkap sejarah
saja, melainkan upaya akulturasi budaya antar agama dengan tetap
selektif ihwal kualitas periwayatan maupun konten yang sesuai
dengan ajaran Islam. Ketiga, sebagai kritik atau kajian mufassir
sebelumnya. Adanya mufassir yang boleh dibilang cukup berlebihan
133
dalam mencantumkan riwayat isrâîliyyât dalam kitab tafsirnya,
ternyata memicu mufassir lain untuk ikut mengomentari hal itu
dengan turut serta lebih dulu mencantumkan riwayat-riwayat
isrâîliyyât yang hendak dikritiknya.
B. Saran
Setelah berhasil merampungkan penelitian ini, penulis bermaksud
memberikan saran-saran kepada:
1. Para muballigh, pengarang buku cerita Nabi, guru-guru serta
orangtua agar tidak sembarang menceritakan dan menulis kisah-
kisah yang belum diketahui kebenarannya.
2. Umat Islam secara keseluruhan agar tidak begitu saja memercayai
cerita-cerita Nabi yang sampai pada mereka.
3. Penelitian ini bagaimanapun masih banyak memiliki kekurangan,
hal ini tidak lain disebabkan kekurangan penulis sendiri, sehingga
masih perlu dikembangkan. Oleh kerena itu, penelitian lanjutan
secara komprehensif dengan para tokoh-tokoh tafsir bi al-ma’tsûr
sangat diharapkan.
134
DAFTAR PUSTAKA
‘Ali, Mahmud al-Naqrasyi al-Sayyid. Manâhij al-Mufassirîn min „Ashr al-
Awwal ilâ al-„Ashr al-Hadîts, ttp: Maktabah al-Nahdah, 1986.
Al-Alûsy, Mahmûd, Rûh al-Ma‟ânî fî Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm wa al-
Sab‟ al-Matsânî, Beirut: Matba’ah al-Muniriyyah, t.t.
Alwasi, Bahari, Israiliyyat dalam Kisah Ashabul Kahfi, Skripsi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015.
Al-Andalûsy, Ibn ‘Atiyyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb
al‟Azîz, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001.
Anwar, Rosihon Melacak Unsur-unsur Israiliyat dalam Tafsir Al-Tabari
dan Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Al-Baghawy, Abû Muhammad bin al-Husain bin Mas’ûd, Ma‟âlim al-
Tanzîl, Riyad: Dâr Taibah, 1411 H.
Baidan, Nasharuddin, Metode Penafsiran al-Qur‟an “Kajian Kritis
terhadap Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip”, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011.
Al-Balkhi, Muqâtil ibn Sulaimân, Tafsîr Muqâtil bin Sulaimân, Beirut:
Dâr Ihya’ al-Turâts, 1423 H., (versi Maktabah Syâmilah).
Al-Bâqî, Muhammad Fuâd ‘Abd al-Bâqî, Mu‟jam al-Mufahras li Alfâzh
al-Qur‟ân al-Karîm, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 2003.
Budiarto, The Concept of Israiliyyat in The Interpretaion of Al Quran
According to Adz Dzahabi, Tesis IAIN Sunan Ampel, 2010.
Chirzin, Muhammad, al-Qur‟an dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Penerbit
Dana Bakti Prima Yasa, 1998.
Al-Dzahaby, Muhammad Husain, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Mesir:
Maktabah Wahbah, 1985.
_______, Muhammad Husain, al-Isrâîliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts,
Mesir: Maktabah Wahbah, 1990.
135
_______, Muhammad Husain, Mîzân al-I‟tidâl fî Naqd al-Rijâl, Beirût:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995.
_______, Muhammad Husain, Tahdzîb Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-
Rijâl, Mesir: al-Fâruq al-Hadîtsiyyah, 2003.
Fathurrosyid, Semiotika Kisah al-Qurân; Membedah Perjalanan Religi
Raja Sulaiman dan Ratu Balqis, Surabaya: Penerbit Buku
Pustaka Radja, 2014.
Ghofur, Saiful Amin, Mozaik Mufassir al-Qur‟an (dari Klasik Hingga
Kontemporer), Yogyakarta: Kaukaba, 2013.
Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir; dari Klasik hingga Modern, terj. M.
‘Alaika Salamullah dkk. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2014.
Gufron, Muhammad dan Rahmawati, Ulumul Qur‟an: Praktis dan Mudah,
Yogyakrta: Penerbit Teras, 2013.
Hendra, Nurul, Pengaruh Israiliyyat terhadap Tafsir Ayat Tentang
Penciptaan Adam, Skripsi IAIN Syarif Hidayatullah jakarta,
2005.
Ibrahim, Muhammad Abû Fadl, Târikh al-Thabari, dalam al-Tabari,
Târikh al-Rasûl wa al-Mulk, Dâr al-Ma’ârîf, 1960.
Ilyas, Hamka, Israiliyyat dalam Tafsir Jami' al-Bayan 'An Ta'wil Ay al-
Qur'an Karya al-Tabari (Kajian terhadap Kisah Para Nabi
dan Rasul), Disertasi UIN Alauddin Makassar, 2015.
Katsîr, Ismâîl Ibn, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azîm, Mesir, Maktabah Aulâd as-
Syaikh li at-Turâts, 2000.
Al-Khâzin, ‘Ali ibn Muhammad, Lubâb al-Ta‟wîl fî Ma‟âniy al-Tanzîl,
Beirut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H., (versi Maktabah
Syâmilah).
Madaniy, A. Malik, Israiliyyat dan Maudhu‟at dalam Tafsir al-Qur‟an,
Disertasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010.
Mahmûd, Mâni’ ‘Abd Halîm, Manhaj al-Mufassirīn terj. Syahdianor dan
Faisal Saleh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
136
Mannâ’ Khalîl al-Qatthân, Mabahits fî „Ulum al-Qurân, Maktabah al-
Ma’ârif, 2000.
Mastu, Mustafa al-Bighâ dan Muhyi al-Dîn, al-Wâdih fî Ulûm al-Qur‟ân,
Damaskus: Dar al-‘Ulûm al-Insaniyyah,1998.
Al-Mâzi, Abû al-Hajjâj Yûsûf, Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-Rijâl, Beirut:
Muassasah al-Risâlah, 1983.
Mubarok, Ahmad Zaki, Studi Analitis Pandangan Israiliyyat Rasyid Ridha
dalam Tafsir al-Mannar, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2004.
Mukhtar, M. Ali, Cakrawala 2000 Qosidah & Surat-surat Pilihan,
Lamongan: Az Zahida Group, 2011.
Mustaqim, Abdul, Epistemologi tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKIS,
2012.
Nur Alifah, Israiliyyat dalam Tafsri Ath-Thabari dan Ibnu Katsir (Sikap
Ath-Thabari dan Ibnu Katsir terhadap Penyusupan Israiliyyat
dalam tafsirnya), Skripsi UIN Syarif Hidayatullah jakarta,
2010.
Nurhaedi, Dedi dkk, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004.
Al-Rûmi, Fahd bin ‘Abd al-Rahmân bin Sulaimân, Buhûts fî Ushûl al-
Tafsîr wa Manâhijuhu, ttp.: Maktabah al-Taubah, t.t.
_______, Fahd bin ‘Abd al-Rahmân bin Sulaimân, Dirâsât fî „Ulûm al-
Qur‟ân Riyad: Penerbit Kerajaan, 2005.
Al-Samarqandi, Abû al-Laits, Bahr al-„Ulûm, ttp: tnp, t.t.
Al-San’any, ‘Abd al-Razzâq ibn Hammâm, Tafsîr al-Qur‟^an, Riyad:
Maktabah al-Rusyd, 1989.
Suprapto, Kisah-Kisah Israiliyyat dalam Tafsir al-Jami‟ li Ahkam al-
Qur‟an Karya al-Qurtubi, Tesis IAIN Tulungagung, 2016.
Al-Suyuty, Jalâl al-Dîn, al-Durr al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-Ma‟tsûr,
Mesir: Markaz li al-Buhûts wa al-Dirâsât al-Islamiyyah, 2003.
137
Syadali, Ahmad dan Ahmad Rofi’i, Ulumul Qur‟an II, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 1997.
Syamsuni, Israiliyyat dan Penafsiran Bias jender: Kajian tentang Isu
Penciptaan Perempuan dalam Tafsri al-Thabari, Tesis UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Al-Tabari, Ibn Jarîr, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wîl Ây al-Qur‟ân, Mesir: Hijr,
2001.
_______, Ibn Jarîr, Târikh al-Umam wa al-Mulk, Matba’ah al-Husainiyah,
Mesir, tt.
Al-Tsa’alaby, Abû al-Ishâq, al-Kasyf wa al-Bayân „an Tafsîr al-Qur‟ân,
Beirut: Dâr Ihya’ al-Turâts, 2002.
_______, Abû Zaid, Jawâhir al-Hisân fî Tafsîr al-Qur‟ân, Beirut: Dâr
Ihyâ’ al-Turats al-‘Araby, 1997.
Umar, Ismâîl ibn bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟ân al-„Azhîm (tt: Dar Taibah li
al-Nasyr wa al-Tauzî’, 1999.
Yusuf, Kadar M., Studi al-Qurân, Jakarta: Amzah, 2009.
Yusuf, Muhammad, dkk., Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004.