IMPLEMENTASI CRITICAL PEDAGOGY DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH KONTROVERSIAL
DI SMA NEGERI KOTA SEMARANG
RINGKASAN TESIS
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh
Tsabit Azinar Ahmad S860209113
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
1
IMPLEMENTASI CRITICAL PEDAGOGY
DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH KONTROVERSIAL DI SMA NEGERI KOTA SEMARANG
Tsabit Azinar Ahmad
Program Studi Pendidikan Sejarah PPs Universitas Sebelas Maret
ABSTRACT
This research is aimed to describe (1) History teachers’ understanding about critical pedagogy as an approach to study controversial history; (2) the implementation of critical pedagogy in controversial history learning; (3) obstacles found when implementing critical pedagogy in controversial history learning; (4) students’ opinions and perceptions toward critical pedagogy implementation in controversial history learning. This research used qualitative method with embedded research. This research was conducted in several public high schools in Semarang. This research uses interactive analysis to analyze the data. The research results show that: (1) in Indonesian educational praxis, critical pedagogy is only being understood by limited number of people and not being formally and technically introduced yet for some reason; less willingness and capability of the teachers; historiography; political reason (government); and unsupportive policy in implementing critical pedagogy: (2) the implementation of critical pedagogy can be considered stuck in halfway since the concepts held by the teachers are still in the stage of reflection and weak in the actualization stage so that the learning activity becomes out of context: (3) there are still some obstacles in implementing critical pedagogy in controversial history learning, especially in its plan, implementation, and supportive learning factor: (4) in the perspective of critical pedagogy, learning controversial history can potentially attract students’ interest in the class activity and involve them actively in responding varied issues.
Keyword: critical pedagogy, history learning, controversial history, high school.
PENDAHULUAN
Pendidikan sejarah tidak pernah lepas dari unsur kepentingan politik. Di
dalam praksisnya, minimal ada dua jenis kepentingan dalam pendidikan sejarah.
Pertama, pendidikan sejarah dipandang sebagai alat untuk menumbuhkan
nasionalisme dan kesadaran kolektif tentang identitas kebangsaan. Kedua,
2
pendidikan sejarah dilihat sebagai alat legitimasi kekuasaan. Makna politis
pertama dikategorikan sebagai kepentingan yang bersifat afirmatif. Sementara itu,
makna kedua bersifat kompulsif dan manipulatif. Sifat kompulsif dan manipulatif
itu disebabkan adanya pemanfaatan sejarah untuk kepentingan salah satu pihak
dengan menonjolkan keunggulan-keunggulan penguasa dan mereduksi sejarah
yang tidak sesuai dengan “sejarah resmi”. Realisasi dalam pembelajaran sejarah di
sekolah kecenderungan kedua ini lebih menonjol daripada kecenderungan yang
pertama.
Pada masa Orde Baru, pemerintah sedemikian rupa melakukan upaya
pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) yang seragam dan
sesuai dengan versi pemerintah. Upaya pembentukan pengetahuan sejarah telah
menyebabkan tidak adanya apresiasi terhadap tulisan dan pemikiran sejarah yang
bersifat alternatif, serta memunculkan kecenderungan rekayasa sejarah untuk
kepentingan pihak-pihak tertentu. Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto,
dan Ratna Saptari (2008: 3) menyatakan “para sejarawan kritis telah menunjukkan
bahwa sejarah versi Orde Baru telah membungkam suara dari pihak-pihak yang
dianggap mengganggu dan mengancam pemerintahan militer yang berkuasa”.
Senada dengan hal di atas, Bambang Purwanto (2001: 111) menjelaskan bahwa
“Indonesian history is considered primarily as a product of social and
political engineering of the New Order rather than an appropriate scholarly
apparatus”. Sejarah Indonesia ditetapkan sebagai hasil dari mesin sosial dan
politik dari Orde Baru daripada (hasil dari) pihak akademisi.
Kecenderungan pendidikan sejarah digunakan sebagai alat penguasa mulai
terkikis setelah reformasi. Kecenderungan tersebut tampak dari munculnya
tahapan baru dalam penulisan sejarah. Penulisan sejarah merupakan bagian yang
tidak dapat dilepaskan dari pendidikan sejarah karena menunjang pelaksanaan
pembelajaran sejarah. Kuntowijoyo seperti dikutip Asvi Warman Adam (2007: 8-
9) menyebut tahapan baru penulisan sejarah Indonesia dengan istilah “gelombang
ketiga historiografi Indonesia”. Gelombang ketiga dalam historiografi Indonesia
ditandai dengan adanya upaya pelurusan terhadap hal-hal yang kontroversial
dalam sejarah yang ditulis semasa Orde Baru.
3
Keterbukaan dalam pendidikan sejarah setelah reformasi yang ditandai
dengan dinamika penulisan sejarah, ternyata belum memberikan perubahan dalam
pembelajaran sejarah di sekolah. Praksis pembelajaran sejarah ternyata tidak
sejalan dengan perkembangan yang pesat dalam historiografi setelah reformasi.
Pembelajaran sejarah sekolah masih berada dalam situasi yang stagnant. Stagnasi
dalam pembelajaran senada dengan pendapat bahwa pendidikan merupakan salah
satu kegiatan yang paling konservatif di dalam era refomasi dewasa ini (Tilaar,
2002: 101). Stagnasi dalam pembelajaran sejarah terlihat pada upaya penguasa
yang masih tetap melakukan campur tangan secara berlebihan dalam pendidikan
sejarah. Walaupun terjadi perubahan dalam kurikulum, mulai dari adanya
suplemen tahun 1999, Kurikulum 2004, sampai Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan, masih ada seperangkat kebijakan pemerintah yang masih belum
membuka peluang maksimal untuk pengembangan proses berpikir kritis peserta
didik.
Kecenderungan sikap pemerintah yang represif terutama tampak pada
pembelajaran sejarah kontroversial di sekolah. Pelaksanaan pembelajaran sejarah
kontroversial masih belum maksimal. Materi-materi yang diajarkan masih sebatas
pada materi-materi yang tidak memberikan pengaruh dan bersinggungan langsung
dengan masyarakat, seperti materi-materi dari sejarah yang peristiwanya jauh dari
masa sekarang. Sementara itu, materi-materi sejarah kontemporer yang bersifat
sensitif dan politis seperti Gerakan 30 September, Supersemar, dan Serangan
Umum 1 Maret 1949 belum sesuai dengan perkembangan historiografi setelah
reformasi. Hal ini tampak dari adanya intervensi yang berlebih dari pemerintah
dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019/A/JA/03/2007
pada tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak
membahas pemberontakan (PKI) tahun 1948 dan 1965 (Asvi Warman Adam,
2007: xiv). Munculnya kenyataan seperti ini merupakan salah satu hal yang
menghilangkan kaidah sejarah sebagai ilmu, sekaligus menjadikan sejarah sebagai
alat indoktrinasi untuk menghasilkan pengikut yang penurut (Bambang Purwanto,
2006: 270).
4
Kenyataan itu membutuhkan satu pendekatan khusus dalam pelaksanaan
pendidikan sejarah, agar pembelajaran sejarah dapat sesuai dengan perkembangan
pemikiran anak yang telah mampu berpikir secara kritis. Di negara-negara maju
pada saat ini telah berkembang satu ideologi pendidikan yang berupaya
memberikan suatu kesadaran kritis bagi peserta didik, yakni dengan menerapkan
critical pedagogy sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan dan
pembelajaran.
Critical pedagogy merupakan sebuah pendekatan pendidikan yang
memandang bahwa terdapat muatan-muatan politis dalam pendidikan. Critical
pedagogy bertujuan memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasi
ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat melalui media pendidikan (Agus
Nuryatno, 2008: 1-2). Pendidikan kritis memandang bahwa terdapat relasi antara
pengetahuan, kekuasaan, dan ideologi. Di dalam pendidikan kritis, dikenal adanya
critical thinking/consciousness yakni sebuah konsep pemikiran yang mampu
menyingkap fenomena-fenomena tersembunyi atau melampaui asumsi-asumsi
yang hanya berdasarkan common sense (akal sehat). Oleh karena itu, pendidikan
kritis atau critical pedagogy sangat relevan sebagai pendekatan dalam pendidikan
sejarah. Terlebih lagi dalam pendidikan kritis landasan yang digunakan adalah
keadilan dan kesetaraan. Penerapan critical pedagogy dalam pendidikan sejarah
diharapkan mampu menjadikan pendidikan sebagai medium bagi kritik sosial
sekaligus mampu menawarkan kemungkinan-kemungkinan dikembangkannya
democratic public spheres melalui proses self empowerment (pemberdayaan diri)
dan self reflection (refleksi diri) sebagai titik tolak mewujudkan transformasi
sosial (Agus Nuryatno, 2008: 5).
Relevansi critical pedagogy dalam pendidikan sejarah, khususnya
pembelajaran sejarah disebabkan pula oleh adanya kesamaan-kesamaan
pandangan di antara keduanya. Persamaan pertama, keduanya memandang bahwa
ada keterkaitan antara pendidikan dengan politik, bahwa ada dalam pendidikan
terdapat kepentingan-kepentingan politik, begitu pula sebaliknya bahwa dalam
aktivitas politik terdapat muatan-muatan edukatif. Persamaan kedua adalah
keduanya tidak dapat melepaskan diri dari konteks yang melingkupinya.
5
Pendidikan sejarah maupun critical pedagogy memandang bahwa kondisi sekitar,
baik kondisi politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya sangat berpengaruh terhadap
pendidikan. Pendidikan senantiasa mengaitkan antara realitas dengan konsep-
konsep. Persamaan ketiga ditinjau dari tujuan yang dicapai, yakni terbangunnya
kesadaran kritis dari peserta didik atau masyarakat dalam melihat realitas yang
menjadikannya sebagai landasan dalam bertindak. Persamaan keempat adalah
keduanya memiliki landasan yang sama, yakni keadilan dan kesetaraan. Keadilan
dan kesetaraan menjadi kata kunci yang penting dalam proses pemberdayaan
masyarakat dan refleksi diri guna mencapai transformasi sosial.
Dari latar belakang pemikiran di atas, penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan tentang (1) Pemahaman guru-guru sejarah terhadap critical
pedagogy sebagai pendekatan dalam pembelajaran sejarah kontroversial; (2)
Implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial; (3)
Kendala yang ditemui guru dalam implementasi critical pedagogy pada
pembelajaran sejarah kontroversial; (4) Pandangan dan apresiasi peserta didik
terhadap implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah
kontroversial.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus
terpancang (embedded research). Penelitian dilakukan di beberapa SMA Negeri
se-Kota Semarang, yaitu di SMA N 1 Semarang, SMA N 5 Semarang, dan SMA
N 12 Semarang. Sumber data terdiri atas informan (guru-guru sejarah dan peserta
didik), dokumen (silabus, RPP), serta tempat dan peristiwa (kelas dan kegiatan
pembelajaran). Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara
mendalam, observasi, dan content analysis. Validitas data menggunakan
trianggulasi data dan trianggulasi metode. Analisis data menggunakan analisis
interaktif dengan tiga tahapan analisis, yakni reduksi data, penyajian data, dan
penarikan simpulan yang berinteraksi dengan pengumpulan data secara siklus.
6
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Critical pedagogy merupakan pendekatan yang baru dalam konteks
pembelajaran dalam kelas formal di Indonesia. Dengan demikian, konsep critical
pedagogy secara formal dan teknis belum diketahui secara luas di kalangan guru-
guru, termasuk guru sejarah. Secara substansial dan konseptual, critical pedagogy
merupakan sebuah pemikiran yang dapat dipahami secara universal. Guru
memahami critical pedagogy dalam aspek-aspek yang terdapat di dalamnya. Pada
pembelajaran sejarah kontroversial, guru-guru sudah memahami bahwa sejarah
kontroversial memiliki fungsi yang penting, terutama untuk menumbuhkan
kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis peserta didik. Ketika konsep critical
pedagogy dan pembelajaran sejarah kontroversial dipadupadankan, guru-guru
memahami bahwa terdapat relevansi dan interdependensi dalam keduanya. Akan
tetapi dalam ranah praksis, guru masih kurang berani untuk secara tegas
mengimplementasikan critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah
kontroversial karena minimnya akses bagi guru.
Pemahaman guru-guru dalam implementasi critical pedagogy secara
formal dan teknis dalam pembelajaran sejarah belum terwujud secara maksimal
karena ada beberapa konsep yang masih asing untuk diimplementasikan dalam
pembelajaran. Kecenderungan masih asingnya guru terhadap konsep critical
pedagogy disebabkan tradisi pendidikan di Indonesia selama ini yang masih
belum memperkenalkan critical pedagogy di kalangan guru ataupun pendidikan
calon guru di perguruan tinggi. Pada dasarnya apabila guru-guru berani untuk
mengeksplorasi referensi-referensi terkait pembelajaran dan isu pendidikan
mutakhir pascareformasi pemahaman yang kurang menyeluruh tersebut dapat
diatasi. Hal ini terbukti bahwa ada pula sebagian kecil guru yang memiliki
pemahaman yang cukup baik terkait implementasi critical pedagogy dalam
pembelajaran, walaupun masih secara substansial dan konseptual.
Dalam penelitian yang dilakukan, ternyata guru-guru yang diwawancarai
sebagian telah cukup terbuka dan memahami bagaimana implementasi critical
pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Akan tetapi, keterbukaan
7
tersebut masih belum menjadi jaminan ketika dalam praktik pelaksanaannya guru
ternyata belum memiliki keberanian untuk mengungkapkan peristiwa sejarah
kontroversial dengan inisiatif mereka secara mandiri. Pemahaman guru yang
mendukung implementasi critical pedagogy walaupun masih belum secara
menyeluruh terhadap pembelajaran sejarah kontroversial telah menunjukkan
bahwa guru telah memasuki tingkat refleksi. Karena masih rendahnya kemauan
dan kemampuan disertai adanya konteks yang belum mendukung secara penuh
menyebabkan aspek aksi atau aktualisasi masih belum tampak dalam
pembelajaran. Pembelajaran sejarah kontroversial yang dilakukan oleh guru masih
sebatas pada jalur yang ditetapkan. Kalaupun ada perbedaan, tidak terlalu
melenceng jauh dari aturan yang telah ditetapkan.
Kecenderungan dari guru untuk mempertahankan status quo,
mengutamakan konformitas, dan menghindari isu kontroversial merupakan faktor
internal dari guru yang berpengaruh terhadap pemahaman mereka terhadap
implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Faktor
internal dari guru menyebabkan keengganan guru dalam mengeksplorasi sumber-
sumber baru untuk menunjang pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial.
Faktor internal dari guru ini senada dengan pendapat dari Bambang Purwanto
(2005: 11) tentang faktor internal dalam diri sejarawan terkait dengan
permasalahan historiografi nasional. Ia menyatakan bahwa “bukan orang lain
(faktor luar) yang seharusnya dipersalahkan terlebih dahulu, tapi mugnkin diri kita
sendiri sebenarnya yang mengandung banyak kelemahan” (Bambang Purwanto,
2005: 11). Dengan demikian, sikap dan pendirian guru secara pribadi berpengaruh
terhadap pemahaman mereka terhadap implementasi critical pedagogy dalam
pembelajaran sejarah kontroversial.
Selain faktor internal dari guru ada pula faktor eksternal yang berpengaruh
kuat terhadap guru. Faktor eksternal tersebut telah membetuk pemahaman
sebagian besar guru tentang sejarah kontroversial. Faktor eksternal tersebut adalah
sebuah konteks di mana praksis pendidikan dijalankan. Konteks tersebut terkait
dengan beberapa aspek. Pertama, aspek ideologi pemerintah dalam pendidikan.
Kedua, aspek permasalahan dalam sejarah kontroversial. Ketiga adalah
8
konvergensi aspek pertama dan kedua berhubungan dengan politik pemerintah,
yakni masalah kebijakan dalam pendidikan sejarah, terutama pembelajaran sejarah
kontroversial. Aspek-aspek di atas, termasuk dalam faktor eksternal yang sangat
mempengaruhi pemahaman guru terhadap implementasi critical pedagogy dalam
pembelajaran sejarah kontroversial.
Tiga aspek yang telah dijelaskan di atas merupakan faktor yang termasuk
dalam faktor eksternal yang mempengaruhi pemahaman guru terhadap
implementasi critical pedagogy. Secara sederhana ketiga aspek yang telah
dijelaskan di atas dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut
Gambar 1. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal terhadap Pemahaman Guru dalam Implementasi Critical Pedagogy pada Pembelajaran Sejarah Kontroversial (sumber: diolah dari hasil penelitian)
Implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial
dapat ditinjau dari aspek-aspek yang terkandung dalam critical pedagogy dan di
dalam pembelajaran. Ada permasalahan berupa kecenderungan sikap guru untuk
menghindari sejarah kontroversial, terutama sejarah kontroversial yang
kontemporer dan politis karena belum optimalnya pengetahuan yang dimiliki.
Kecenderungan itu menyebabkan critical pedagogy diimplementasikan setengah
hati. Ditinjau dari aspek-aspek critical pedagogy, proses dialogis dan kontekstual
dalam pembelajaran sejarah kontroversial pada dasarnya telah dicoba untuk
dilaksanakan, tetapi belum secara menyeluruh. Proses dialogis dan kontekstual
9
hanya dijalankan pada bagian-bagian tertentu dan tidak diterapkan secara
berkesinambungan. Kemudian terkait dengan kaidah 4K, yakni kausalitas,
kronologis, komprehensivitas, dan kesinambungan, dalam pelaksanaannya guru
cenderung lemah dalam aspek komprehensivitas. Ditinjau dari aspek
pembelajaran, pada perencanaan, guru-guru lemah dalam penyusunan
perencanaan secara mandiri. Di aspek pelaksanaan pembelajaran, ada beberapa
kelemahan terutama dalam aspek pemanfaatan sumber-sumber belajar. Dalam
aspek metode, guru cenderung menghindari permasalahan kontroversial dan
memilih pembelajaran yang konformis, namun sesekali menerapkan diskusi dan
penugasan mandiri. Sementara itu, pada aspek subjek belajar, evaluasi, fasilitas
tidak terlalu terdapat permasalahan. Pada aspek pendukung belum tampak peran
yang signifikan dari MGMP, MSI, LPTK, maupun kebijakan pemerintah yang
mendukung pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial dengan pendekatan
critical pedagogy. Di dalam penelitian ini, ada hal yang menjadi catatan bahwa
status sekolah, baik RSBI, SKM, atau SSN tidak memberikan kontribusi terhadap
implementasi critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial.
Pada pelaksanaan pembelajarannya, ada beberapa hal yang masih lemah
dalam implementasi critical pedagogy pada pembelajaran sejarah kontroversial.
Ditinjau dari aspek 4K dalam pembelajaran sejarah, guru cenderung lemah
terutama dalam aspek komprehensivitas. Pada aspek ini disajikan keberagaman
versi dan perspektif dalam melihat sebuah peristiwa sejarah. Pada peristiwa
Gerakan 30 September 1965 keberagaman versi tersebut memunculkan untuk
disampaikan dalam kelas.
Selain aspek komprehensivitas dalam menyajikan versi-versi dari sebuah
peristiwa sejarah kontroversial, permasalahan lain adalah ditinjau dari metode
yang digunakan dalam critical pedagogy. Pada critical pedagogy terdapat dua
metode yakni kodifikasi dan dekodifikasi (Agus Nuryatno, 2008: 6). Kodifikasi
mengacu pada proses merepresentasikan fakta yang diambil dari kehidupan
peserta didik kemudian mempermasalahkannya. Sementara itu dekodifikasi
mencakup metode deskriptif untuk memahami surface structure dan metode
analitis untuk memahami deep structure. Pada aspek kodifikasi, guru lemah dalam
10
memberikan inisiatif pembelajaran sejarah kontroversial. Pada aspek dekodifikasi,
pelaksanaan pembelajaran masih belum tuntas pada metode analitis. Belum ada
upaya yang dilakukan secara menyeluruh tentang versi-versi yang ada dalam
pembelajaran sejarah peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965.
Ditinjau dari tahapan yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran
kritis, ternyata ada tahapan yang masih belum tuntas dalam pengimplementasian
critical pedagogy. Tahapan tersebut adalah: (1) Naming, tahapan
mempertanyakan sesuatu permasalahan dengan pertanyaan “apa masalahnya”; (2)
Reflecting, tahapan dengan mengajukan pertanyaan “mengapa peristiwa tersebut
terjadi” yang bertujuan agar peserta didik dibiasakan untuk berpikir kritis dan
reflektif; (3) Acting, tahapan berupa proses pencarian alternatif untuk
memecahkan masalah (Taylor dalam Agus Nuryatno, 2008: 10). Tahapan yang
masih lemah di kalangan pelaksanaan oleh guru adalah tahapan acting. Lemahnya
guru dalam tahapan acting terjadi pada pemahaman dan pelaksanaan
pembelajaran sejarah kontroversial.
Pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy
diimplementasikan tidak tanpa kendala. Permasalahan tersebut tampak dalam
beberapa aspek, yakni aspek umum pembelajaran sejarah, aspek sejarah
kontroversial, dan aspek critical pedagogy. Pada aspek sejarah kontroversial dan
critical pedagogy terkendala dengan belum adanya ancangan baku dan kebijakan
yang digunakan oleh guru sebagai pegangan dalam pembelajaran sejarah
kontroversial. Kecederungan guru untuk mengembangkan konformitas dalam
pembelajaran menjadi konsekuesi ketika tidak adanya policial will yang
mengapresiasi dan mengakomodasi perkembangan pembelajaran sejarah
kontroversial. Di dalam praksis pembelajaran sejarah kontroversial dalam
perspektif critical pedagogy, aspek yang menjadi kendala dapat terbagi dalam
beberapa hal, yakni pada aspek perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, dan
aspek pendukung lainnya. Dalam aspek teknis, kendala keterbatasan alokasi
waktu menjadi alasan utama guru-guru dalam implementasi critical pedagogy
dalam pembelajaran sejarah kontroversial. Dintinjau dari aspek peserta didik ada
kecenderungan untuk mengacuhkan materi sejarah karena alasan pragmatis.
11
Kemudian kendala yang menjadi permasalahan adalah keterbatasan akses
terhadap sumber dan media pembelajaran yang menunjang dalam pembelajaran
sejarah kontroversial. Belum adanya metode yang baku dalam implementasi
critical pedagogy dalam pembelajaran sejarah kontroversial menyebabkan adanya
perbedaan metode yang digunakan serta kegamangan dalam pelaksanaan
pembelajaran. Ditinjau dari aspek penunjang, ada permasalahan berupa belum
optimalnya peran dari MGMP, MSI, LPTK dalam pembelajaran sejarah
kontroversial.
Dari penjelasan tentang berbagai hal tentang pembelajaran mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, dan peran komponen penunjang, ternyata ada beberapa
faktor yang menyebabkan munculnya kendala dalam pembelajaran. Kendala-
kendala yang ditemui dalam kelas sejarah secara umum dapat disebabkan oleh dua
faktor, yakni (1) faktor intern dan (2) faktor ekstern. Faktor intern yang
memunculkan permasalahan dalam pembelajaran sejarah kontroversial adalah
faktor yang berasal dari dalam ilmu sejarah, yakni adanya perubahan dalam corak
historiografi Indonesia pascareformasi.
Faktor kedua adalah faktor ekstern yakni faktor-faktor luar yang berasal
dari luar sejarah yang memengaruhi sejarah dan pendidikan sejarah. Antara faktor
intern dan ekstern tersebut tidak berdiri sendiri (independent), tetapi menjadi satu
rangkaian yang memunculkan hubungan kausalitas dan hubungan kebergantungan
(interdependent), di mana faktor intern sangat mempengaruhi faktor ekstern.
Faktor intern yang menyebabkan permasalahan dalam pendidikan sejarah
adalah terjadinya perubahan corak historiografi Indonesia yang memunculkan
pendapat-pendapat yang beraneka ragam tentang satu peristiwa sejarah, seperti
berkembangnya beberapa versi dari Gerakan 30 September tahun 1965. Akan
tetapi, ketika di satu sisi terjadi perubahan corak historiografi Indonesia setelah
jatuhnya Soeharto, hal ini tidak diimbangi dengan kesiapan untuk menerima
perubahan tersebut. Hal ini karena pengaruh tradisi historiografi Indonesia dalam
memahami, merekonstruksi, dan memaknai masa lalu masih sangat kuat, sehingga
bagi masyarakat awam, hal ini justru memberikan kebingungan.
12
Berkaitan dengan perubahan corak historiografi Indonesia, adanya
perbedaan versi dalam penulisan sejarah ini diakibatkan banyak hal, yakni
subjektivitas, pemahaman masyarakat yang keliru, dan faktor kepentingan. Faktor
subjektivitas bisa berasal dari pelaku sejarah atau sejarawan. Selain itu ada pula
kemungkinan terbentuknya satu konstruk pemikiran yang kuat dalam masyarakat
tentang satu pemahaman sejarah, walaupun belum tentu pemahaman yang selama
ini diyakini adalah benar adanya. Hal ini karena masyarakat terpengaruh oleh
wacana tertetu selama terus-menerus, seperti ketika pada pemerintahan Orde Baru
masyarakat selalu diberikan wacana bahwa dalam G 30 S, PKI-lah yang menjadi
dalang.
Teori-teori yang berkembang tentang peristiwa 1965 juga tidak diberitakan
secara seimbang pada masa itu. Padahal permasalahan tentang pelaku G 30 S
sampai sekarang masih simpang siur, dan ada beberapa teori lain selain PKI
sebagai dalang yang muncul. Namun demikian, aspek yang paling berpengaruh
dalam faktor intern dari penyebab munculnya permasalahan dalam pembelajaran
sejarah adalah adanya kepentingan-kepentingan yang ada di dalam sejarah.
Kepentingan itu bisa datang dari pihak-pihak yang terlibat dalam satu
peristiwa sejarah ataupun dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan satu
peristiwa sejarah untuk tujuan-tujuan tertentu. Kepentingan yang datang dari
pihak pelaku sejarah ataupun keturunannya karena pelaku sejarah merasa
dirugikan dengan adanya penulisan sejarah dari pihak tertentu.
Faktor ekstern yang menyebabkan munculnya permasalahan dalam
pembelajaran sejarah yang kontroversial masih berada di seputar (1) lemahnya
desain pembelajaran sejarah, (2) kebijakan tentang pendidikan sejarah yang
kurang mendukung pelaksanaan pendidikan sejarah secara ideal, (3) minimnya
informasi kesejarahan yang up to date bagi praktisi pendidikan, (4) tidak
optimalnya peran komponen penunjang, serta (5) faktor kepentingan terhadap
pendidikan sejarah.
Faktor kepentingan yang dimaksud adalah adanya campur tangan yang
terlalu banyak dari pemerintah terhadap pendidikan sejarah, seperti ketika
dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 019/A/JA/03/2007 pada
13
tanggal 5 Maret 2007 yang melarang buku-buku pelajaran sejarah yang tidak
membahas pemberontakan (PKI) tahun 1948 dan 1965. Walaupun pada dasarnya
pendidikan sejarah merupakan alat dari pemerintah untuk menumbuhkan rasa
cinta tanah air dan nasionalisme, akan tetapi ketika pemerintah terlalu banyak
campur tangan, hal ini dapat menimbulkan satu anggapan bahwa pendidikan
sejarah justru menjadi satu alat legitimasi. Berikut adalah gambar tentang
identifikasi terhadap sebab munculnya kendala dalam pembelajaran sejarah
kontroversial
Gambar 2. Identifikasi Penyebab Permasalahan Pembelajaran Sejarah Kontroversial (sumber: diolah dari hasil penelitian)
Kendala-kendala pembelajaran sejarah akhirnya bermuara pada belum
optimalnya encapaian tujuan pendidikan sejarah. Hal ini menjadi sesuatu yang
harus segera diantisipasi karena pembelajaran sejarah kontroversial memiliki
posisi yang penting. Ditinjau dari perspektif peserta didik, pembelajaran sejarah
kontroversial mampu memunculkan rasa keingintahuan peserta didik. Dengan
14
demikian pada dasarnya adapotensi yang dimiliki oleh pembelajaran sejarah
kontroversial untuk memunculkan kreativitas peserta didik, terutama dalam
memecahkan masalah.
Pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy
memberikan peserta didik pengalaman-pengalaman dan wawasan yang baru,
sekaligus berpotensi melatih kemampuan berpikir analitis mereka. Dari hasil
penelitian, peserta didik memiliki ketertarikan terhadap materi-materi sejarah
kontroversial. Sejarah kontroversial secara psikologis telah mendorong rasa ingin
tahu (curiousity) di kalangan peserta didik yang berfungsi sebagai stimulus agar
mereka lebih dalam untuk mencari tahu dan memecahkan masalah mengapa
peristiwa-peristiwa kontroversial tersebut terjadi. Namun demikian, alasan
pragmatisme ternyata telah menjadi permasalahan yang menyebabkan apresiasi
peserta didik yang tinggi tetapi hanya sebatas di dalam kelas. Pragmatisme itu
tampak dari kecenderungan pandangan peserta didik yang menganggap sejarah
tidak sesuai dengan bidang ilmu yang dicita-citakannya, sehingga pembelajaran
sejarah tidak dianggap penting.
Sebagai upaya mengatasi permasalahan belum optimalnya pelaksanaan
critical pedagogy dalam pembelajarah sejarah kontroversial perlu ada beberapa
penguatan. Pertama-tama, upaya pemecahan permasalahan pembelajaran sejarah
kontroversial dapat dilakukan apabila ada komitmen yang kuat dari guru untuk
melakukan transformasi pendidikan. Kemudian apabila sudah ada komitmen yang
kuat tersebut maka perlu adanya penguatan dalam beberapa aspek. Penguatan
relevansi sejarah kontroversial dan critical pedagogy dalam kurikulum bertujuan
agar pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial memiliki landasan yuridis
dan legitimasi kurikulum. Penguatan terhadap relevansi sejarah kontroversial
terhadap perkembangan psikologis peserta didik bertujuan agar pelaksanaan
pembelajaran sejarah kontroversial telah sesuai dengan karakteristik peserta didik,
sehingga upaya untuk mencapai kesadaran, pola pikir, dan sikap kritis dapat
terwujud. Penguatan berikutnya adalah penguatan terhadap fungsi dan peran
pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy bertujuan
menunjukkan urgensi pelaksanaan pembelajaran sejarah kontroversial dan
15
manfaat pelaksanaannya bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Penguatan
keempat terkait dengan reposisi peran guru dalam pembelajaran sejarah
kontroversial yang bertujuan agar guru memiliki pemahaman bahwa ada tugas
penting dalam mengemukakan kebenaran bagi peserta didik. penguatan kelima
terkait dengan masalah metode, media, dan sumber belajar yang bertujuan agar
pembelajaran sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy dapat
berjalan dengan baik.
Secara sederhana, penguatan-penguatan terhadap upaya pemecahan
masalah sejarah kontroversial dapat digambarkan dalam skema di bawah
Gambar 3. Upaya Pemecahan Permasalahan Pembelajaran Sejarah Kontroversial
dalam Perspektif Critical Pedagogy (sumber: diolah dari hasil penelitian)
PENUTUP
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Dalam praksis pendidikan di
Indonesia, critical pedagogy hanya dipahami oleh kalangan terbatas dan belum
diperkenalkan formal dan teknis karena rendahnya kemauan dan kemampuan
guru serta adanya masalah historiografi, ideologi penguasa, dan kebijakan yang
belum mendukung pelaksanaan critical pedagogy; (2) Pelaksanaan critical
pedagogy masih berjalan setengah hati karena konsep yang dipegang oleh guru
16
masih berada dalam tahap refleksi dan lemah dalam tahap aktualisasi, sehingga
pembelajaran menjadi out of context; (3) Implementasi critical pedagogy masih
mengalami kendala dalam pembelajaran sejarah kontroversial dalam hal
perencanaan, pelaksanaan, dan faktor penunjang pembelajaran; (4) Pembelajaran
sejarah kontroversial dalam perspektif critical pedagogy memiliki potensi untuk
dapat menarik minat peserta didik dan melibatkan mereka aktif dalam
menanggapi berbagai permasalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Nuryatno, M. 2008. Mazhab Pendidikan Kritis. Menyingkap Relasi Pengetahuan, Politik, Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book.
Asvi Warman Adam. 2007. Pelurusan Sejarah Indonesia (Edisi Revisi).
Yogyakarta: Penerbit Ombak. Bambang Purwanto. 2001a. “Reality and Myth in Contemporary Indonesian
History”. Humaniora. Volume XIII, No. 2/2001. Hlm. 111-123. Nordholt, Henk Schulte, Bambang Purwanto, & Ratna Saptari (ed). 2008.
Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, Pustaka Larasan
Tilaar, H.A.R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo bekerjsa sama dengan Center for Education and Community Development Studies.