Download - Responsibility to Protect di Krisis Libya
Tugas Mata Kuliah
Organisasi Internasional 1
Responsibilty to Protect: Libya
Kelompok 3
NAMA NPM NAMA NPMAnnisa Sandri 170210140015 Magda Natalia 170210140011Fadhilla Kurnia Adi S 170210140014 Tedi Hidayat 170210140023Hilmyanda Fadhila 170210140060 Tiara Firdaus Jafar 170210140024Inta Yunita Nurhasanah 170210140029 Vincentius Reno Agusta 170210140026Khaerulian Adenta D 170210140050 Vinka Tasa 170210140008Kimberly Tumbuan 170210140056 Zahara Nisa Meutia 170210140055
Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran
2015
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Responsibility to
Protect di Libya ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami
berterima kasih pada Bapak Dudy Heryadi selaku Dosen mata kuliah Organisasi Internasional 1
yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Responsibility to Protect yang terjadi di Libya. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Jatinangor, 29 November 2015
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Bab I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1B. Rumusan Masalah 2C. Tujuan 2
Bab II Tinjauan Teori 3
Bab III Pembahasan 7
A. Latar Belakang Krisis Kemanusiaan di Libya 7B. Responsibility to Protect di Libya 8C. Analisis Responsibility to Protect di Libya 10
Bab IV Penutup 15
A. Kesimpulan 15B. Saran 17
Daftar Pustaka 18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Kerusuhan yang terjadi di Libya pada tahun 2011, dipacu dengan adanya tuntutan dari
masyarakat Libya sendiri terhadap pemerintah yang menjabat saat itu yaitu Muammar Al -
Khadafi. Masyarakat menuntut tentang adanya penegakkan yang lebih tegas atas nilai - nilai
demokrasi, hak asasi manusia dan reformasi di dalam sebuah pemerintahan. Awalnya hanya
berupa tindakan demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat yang protes terhadap pemerintahan
Khadafi, tetapi terjadi serangan balik yang dilakukan oleh pasukan keamanan terhadap rakyat
yang sedang melakukan demonstrasi. Hingga akhirnya terjadilah peperangan antara kelompok
pemberontak dan pasukan keamanan. Kasus ini terus berlanjut setiap harinya hingga banyak
warga sipil yang tewas akibat kejadian ini.
Khadafi dinilai telah melakukan kejahatan manusia yang terencana dan sangat terstruktur.
Dimana hal yang harus dilakukan oleh Khadafi adalah melindung warganya dari bentuk
kejahatan apapun. Tetapi pada kasus ini justru Khadafi selaku pemerintah yang berkewajiban
melindungi, melakukan tindakan kejahatan tersebut. Khadafi dinilai menggunakan
kewenangannya secara berlebihan untuk kepentingannya sendiri. Kasus ini menunjukkan bahwa
pemerintah Libya tidak mampu melakukan konsep Responsibility to Protect. Sehingga apabila
pemerintah sudah tidak mampu melakukan perlindungan tersebut, masyarakat internasional
berhak untuk mengambil alih tanggung jawab tersebut dari pemerintah untuk saling melindungi
sesama warga sipil.
Hingga Dewan Keamanan PBB turun tangan untuk menindak lanjuti kasus ini, karena DK
PBB adalah satu - satunya lembaga yang berwenang untuk mengakhiri kasus pembunuhan
massal terhadap rakyat sipil yang terjadi di Libya. Dengan mengerahkan human rights council
sebagai media untuk menyelesaikan kasus ini, DK PBB berusaha untuk memberhentikan salah
satu tindakan kejahatan yang menimpa warga sipil ini. Beberapa resolusi pun dikeluarkan
1
sebagai bentuk tindak lanjut yang dilakukan oleh pasuka pro - Khadafi. Kasus yang menimpa
warga sipil Libya ini juga menjadi bentuk penelitian yang dilakukan oleh Dewan Keamanan
PBB untuk menganalisa keefektivan konsep Responsibility to Protect.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang kasus perang sipil yang terjadi di Libya?
2. Bagaimana peran RtoP dalam kasus perang sipil yang terjadi di Libya?
3. Bagaimana analisa terhadap peran RtoP yang bertujuan untuk kemanusiaan?
4. Apakah RtoP di Libya sesuai dengan prinsip kemanusiaan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya kasus perang sipil yang terjadi di Libya
2. Untuk mengetahui peran Responsibility to Protect di dalam kasus Libya
3. Untuk mengetahui hasil analisa apakah RtoP di Libya bertujuan untuk kemanusiaan
4. Untuk mengetahui bahwa sebenernya RtoP di Libya sesuai dengan prinsip kemanusiaan atau
tidak
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
Responsibility to Protect atau yang sering disingkat dengan RtoP atau R2P merupakan
doktrin hasil dari UN World Summit pada tahun 2005, pada tahun 2009 barulah Ban Ki Moon
mengeluarkan laporan mengenai Implementing the Responsibility to Protect yang kemudian
menjadi dokumen yang komprehensif mengenai RtoP. Responsibility to protect sendiri memiliki
makna berarti sebuah tanggung jawab untuk menjaga populasi dari genosida, kejahatan perang,
kejahatan kemanusiaan, serta ethnic cleansing (Globalr2p.org, 2015). Adapun RtoP memiliki tiga
pilar, ketiga pilar tersebut adalah:
1. Setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga negara nya dari empat
jenis kekejaman masal yang disebutkan yaitu genosida, kejahatan perang, kejahatan
kemanusiaan, dan ethnic cleansing
2. International society memiliki tanggung jawab untuk membantu negara tersebut untuk
memenuhi tanggung jawabnya
3. Jika sebuah negara gagal untuk melindungi warganegaranya, maka international
community harus bersiap-siap untuk melalukan hal yang dianggap pantas secara kolektif
yang mana juga harus sesuai dengan UN charter baik dalam permasalahan waktu
maupun tindakan yang akan diambilnya
Dapat disimpulkan dari ketiga pilar tersebut bahwa tanggung jawab untuk melindungi
warga negara berada paling besar pada negara. Hal ini menyatakan bahwa kedaulatan bukan
hanya mengenai hak namun juga mengenai tanggung jawab (Anon, 2015). Seperti yang
dikatakan oleh Jennifer Welsh (Un.org, 2015) bahwa kedaulatan negara bukan berarti mencegah
perlindungan terhadap warga negara dari internation community, melainkan membawa tanggung
jawab salah satunya adalah tanggung jawab atas perlindungan terhadap warga negara yang
sebagian besar dimiliki oleh negara namun tanggung jawab itu juga dibagi dan menjadi
tanggungan bagi international actors yang juga memiliki tanggung jawab yang serupa. Saat
negara yang bersangkutan dianggap gagal baik karena tidak mampu atau tidak memiliki
keinginan untuk memenuhi tanggung jawab tersebut, maka international community harus
3
melakukan tindakan. Tindakan-tindakan tersebut adalah prevention, reaction, dan rebuilding
(Wfuna.org, 2015) serta dapat dimulai dari hal-hal kecil yang bersifat damai hingga hal-hal yang
bentuknya koersif demi melindungi warganegara.
Awal dari tercetusnya RtoP sendiri adalah pada tahun 2001, salah satu factor pemicunya
adalah genosida di Rwanda tahun 1994 yang mana international community tidak melakukan
tindakan apapun sehingga menuai kritik dan pada akhirnya international community mencari
jalan untuk mengatasinya puncaknya adalah tantangan dari UN Secretary-General Kofi Annan
untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan prinsip non intervensi negara
berdaulat dengan kewajiban international community dalam mengatasi pelanggaran HAM besar-
besaran dan juga ethnic cleansing (Anon, 2015), barulah pada tahun 2001 muncul laporan dari the
International Commission on Intervention and State Sovereignty tentang gagasannya mengenai
RtoP yang kemudian diadopsi pada world summit tahun 2005.
Munculnya RtoP juga ditenggarai karena makin banyaknya actor non negara yang
berperan dalam kejahatan-kejahatan dengan skala yang lebih besar seperti yang dapat dilihat
pada akhir abad ke 20 yang mana kejahatan-kejahatan seperti genosida pun banyak dilakukan
oleh non state actors, kemudian focus nya berpindah bukan lagi terpatri pada negara namun
mencoba untuk melindungi individu yang kemudian muncul konsep human security seperti yang
dikatakan oleh Edward Luck (Un.org, 2015). RtoP juga menjadi jawaban dari ketidakefektivan
humanitarian intervention yang dianggap melanggar kedaulatan.
Hal ini dikarenakan di dalam humanitarian intervention dan Responsibility to protect
sendiri memiliki perbedaan yang mencolok. Jika dalam humanitarian intervention terdapat hak
untuk mengintervensi suatu negara, maka dalam RtoP justru menekankan bahwa hal tersebut
merupakan sebuah tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan. Selain itu, RtoP pun
terbatas hanya mencakup ke-empat hal di atas sedangkan dalam humanitarian intervention,
menyangkut segala hal yang berbau pelanggaran hak asasi manusia. Hal lainnya yang dianggap
fundamental sebagai pembeda antara humanitarian intervention dan RtoP adalah di RtoP terdapat
syarat-syarat sebelum dapat melakukan intervensi militer, yaitu sebagai berikut (International
Commission on Intervention and State Sovereignty, 2001):
1. Just cause: Intervensi yang bersifat militer dengan tujuan human protection adalah hal
yang exceptional dan harus memiliki alasan yang kuat baik yang sudah terjadi atau
4
dianggap akan terjadi mengenai pelanggaran kemanusian, pelanggaran tersebut adalah
banyaknya korban jiwa yang berjatuhan serta banyaknya jumlah ethnic cleansing
2. Right Intention: Tujuan utama dari adanya intervensi militer adalah untuk menghentikan
maupun untuk mencegah penderitaan yang dirasakan oleh warga negara
3. Last Resort: Intervensi militer baru dapat dibenarkan apabila segala usaha dengan jalur
damai telah diupayakan namun tidak membuahkan hasil dan adanya analisis bahwa
dengan menggunakan cara serupa yang tidak bersifat militer pun tidak akan
menyelesaikan permasalahan
4. Proportional Means: Skala, waktu, dan intensitas dari intervensi militer hanya boleh
secukupnya atau seperlunya saja untuk mengamankan warga negara
5. Reasonable Prospects: Harus adanya jaminan yang masuk akal bahwa intervensi militer
akan berhasil bukan justru semakin memperparah kondisi bila dibandingkan dengan non
militer
6. Right Authority: Aksi militer baru boleh dijalankan apabila telah mendapatkan
persetujuan dari Dewan Keamanan PBB
Selain itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa RtoP sendiri bukan hanya
memiliki tanggung jawab untuk bereaksi namun juga untuk pencegahan, dan juga pembangunan
kembali. Ketiga hal tersebut sering juga disebut dengan elemen tambahan dalam RtoP. Berikut
adalah penjelasannya:
The Responsibility to Prevent: Memiliki kewajiban untuk mencegak kejahatan masal,
menciptakan early warning system, serta mencari tahu sumber dari krisis yang
kemungkinan besar terjadi
The Responsibility to React: respon terhadap kondisi yang sedang terjadi, dapat dengan
kekerasan berupa sanksi, pengadilan, atau bahkan dalam kasus-kasus yang luar biasa
dengan menggunakan kekuatan militer
The Responsibility to Rebuild: Tanggungjawab international community untuk
membangun kembali negara tersebut setelah adanya intervensi terutama intervensi
militer, recovery, reconstruction, dan rekonsilasi serta untuk mencegah terjadinya hal
serupa
(International Commission on Intervention and State Sovereignty, 2001)
5
RtoP sendiri memerlukan kerjasama dari berbagai pihak salah satunya adalah organisasi
internasional. Karena perlu diketahui sebelumnya bahwa justru Uni Afrika lah yang pertama kali
mencetuskan ide mengenai international community, dalam RtoP ini, PBB menggandeng
beberapa organisasi internasional yang dapat dilihat dari report mereka The Role of Regional and
Subregional Arrangements in Implementing the Responsibility to Protect.
RtoP tidaklah sempurna, hal ini dapat dilihat dari adanya kritik terhadap RtoP sendiri
salah satu kritiknya adalah adanya standar ganda yang diterapkan dalam RtoP dapat dilihat dari
perbandingan kasus Libya dan Gaza yang bahkan diliput oleh media pemberitaan barat sendiri
(The Huffington Post, 2011). Adapun negara-negara yang terus mendukung RtoP adalah Canada,
UK, dan Rwanda. Sedangkan negara-negara yang terus mempertanyakan RtoP adalah China,
Russia, dan Mesir (Anon, 2015)
Dapat disimpulkan dalam Responsibility to protect, intervensi militer merupakan jalan
terakhir setelah ditempunya cara lain dalam menyelesaikan konflik seperti diplomasi, sanksi, dan
sebagainya. Prioritas utama dari RtoP sendiri adalah untuk pencegahan dengan menggunakan
tools yang bersifat tidak merusak sebelum menggunakan tools lain yang lebih berat dan merusak
6
BAB III
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Krisis Kemanusiaan di Libya
Dikarenakan sistem pemerintahan di Libya yang menjadikan keduduan eksekutif (presiden)
berada diatas lembaga legislatif dan yudikatif, maka hal tersebut memunculkan seseorang yang
memiliki pemikiran jahat untuk memanfaatkan keadaan tersebut. Moammar Khadafi, seorang
otoriter yang memperlakukan negaranya sebagai “taman bermain” tersebut dengan kekuatannya
berhasil menjadikan negara Libya hancur ditangannya. Khadafi menggunakan politik kotor
untuk memanipulasi hasil pemilu sehingga ia dapat secara terus menerus memiliki jabatan
tertinggi di dalam pemerintahan Libya. Berada di bawah kepemimpinan seorang otoriter
tersebut, masyarakat Libya tidak berdiam diri saja. Dipacu oleh keberhasilan masyarakat Tunisia
dan Mesir untuk merobohkan pemimpinnya yang juga bersifat otoriter demi memperjuangkan
demokrasi negaranya, masyarakat Libya merasa mereka juga dapat bertindak untuk melakukan
hal yang sama. Pada tanggal 17 Februari 2011, seluruh masyarakat Libya turun serta dalam
melakukan aksi protes terhadap Presiden Moammar Khadafi. Protes tersebut dilaksanakan di
kota besar kedua di Libya, yaitu di Kota Benghazi.
Pada awalnya, para demonstran menuntut pemerintah untuk membebaskan seorang
pengacara hak asasi manusia, Fethi Tarbel, dimana beliau adalah seseorang yang merencanakan
aksi pemrotesan terhadap Presiden Moammar Khadafi tersebut. Lalu, para demonstran juga
melanjutkan dengan meneriakkan Perdana Menteri Baghdadi Ali Mahmoudi untuk turun dari
jabatannya. Tidak lama kemudian, suara para demonstran mulai memanggil nama Moammar
Khadafi untuk ikut turun dari pemerintahan Libya. Aksi protes masa tersebut di jawab oleh
Khadafi dengan cara kekerasan. Moammar Khadafi memerintahkan pasukan militer-nya untuk
melakukan penyerangan terhadap para demonstran dengan menggunakan senjata-senjata non-
sipil. Khadafi memerintahkan kepada pasukan militer-nya untuk menodongkan rudal anti-
pesawat dan senjata otomatis kepada para demonstran. Pada hari itu, tepatnya tanggal 17
Februari 2011, masyarakat Libya mengalami krisis politik dan sosial yang sangat parah. Hak
7
Asasi Manusia mereka sudah tidak diperhitungkan lagi demi kepentingan pribadi seorang
otoriter Moammar Khadafi.
Kejadian tersebut tidak berakhir cepat. Setelah perang antara pemerintah dengan masyarakat
Libya tersebut, Libya masih dilanda dengan kelanjutan dari aksi protes tersebut, yaitu perang
saudara atau perang sipil antara pasukan pro Khadafi dan pasukan kontra Khadafi. Konflik
politik di Libya ini telah memakan lebih dari 6000 korban. Hal itu memicu PBB untuk turut
serta. PBB berhasil mengesahkan resolusi zona larangan terbang Libya demi melindungi warga
sipil dan para penduduk Libya pada tanggal 17 Maret 2011. Setelah itu, pada tanggal 20 Maret
2011 pasukan koalisi Barat yang di pimpin oleh Prancis, Inggris, dan Maerika membombardir
ibu kota Libya, dimana pasukan-pasukan pro Khadafi bersembunyi. Serangan tersebut berhasil
melemahkan pertahanan pasukan pro Khadafi. Namun, hal tersebut tidak berhasil melemahkan
keinginan Khadafi untuk menguasai Libya. Secara terang-terangan Khadafi memberikan
pernyataan di dalam televisi nasional Libya bahwa ia akan mengalahkan, dan menaklukan Libya
di tangan mereka pada pidatonya.
B. Responsibility to Protect di Libya
Kondisi yang berlangsung di Libya di bawah rezim Muammar Khadaffi memerlukan
adanya tindakan responsibility to protect. Setelah terjadinya perluasan penyerangan yang
sistematis terhadap warga sipil Libya oleh tentara Khadaffi, dan juga sikap Khadaffi terhadap
warganya sendiri, Dewan Keamanan PBB kemudian mengadopsi resolusi 1970 pada tanggal 26
Februari 2011 dengan secara eksplisit merujuk pada RtP. Dewan Keamanan menuntut Libya
untuk mengakhiri kekerasan dan meminta pertanggung jawaban dari pemerintah Libya terhadap
perlindungan rakyatnya sendiri, serta mengenakan beberapa sanksi internasional. Selain itu,,
Dewan Keamanan juga memutuskan untuk menyerahkan situasi ini kepada International
Criminal Court (ICC). Jaksa dari ICC, Luis Moreno-Ocampo, memutuskan pada 2 Maret untuk
melakukan investigasi terhadap kasus ini, yang berujung pada penemuan bukti bahwa terdapat
warga sipil yang diserang di tempat tinggal mereka dan terdapat penggunaan senjata api dan
bahkan pemerkosaan sebagai senjata represif terhadap orang-orang yang melawan rezim
Khadaffi. Moreno-Ocampo kemudian, pada 27 Juni, mengeluarkan surat perintah untuk
8
menangkap Khadaffi dan anaknya, Saif Al-Islam Khadafi, serta Ketua Intelijen Militer Abdullah
Al-Senussi atas dasar kejahatan terhadap kemanusiaan (Responsibilitytoprotect.org).
Selama tiga minggu berjalannya resolusi 1970, kekerasan di Libya terus meningkat sehingga
Liga Arab, Uni Afrika, dan berbagai organisasi internasional lainnya ikut mendesak Khadaffi
untuk menghentikan pembunuhan dan menyelesaikan permasalahan dengan damai. Meskipun
adanya upaya dari berbagai pihak tersebut, pada 16 Maret 2011, pasukan pro-Khadaffi
menghampiri dan mengancam kubu oposisi di Benghazi. Khadaffi bahkan juga secara langsung
mengancam para penduduk Benghazi, mengatakan bahwa pasukannya akan menyerang mereka
(Adams, 2014). Terjadinya hal tersebut memicu respon dari PBB dan pada esok harinya, tanggal
17 Maret, Dewan Keamanan kemudian mengadopsi resolusi 1973 dan menuntut adanya gencatan
senjata di Libya sekaligus mengakhiri penyerangan terhadap warga sipilnya, yang merupakan
tindakan “kejahatan terhadap kemanusiaan”.
Dewan Keamanan juga mewajibkan kepada seluruh negara anggota untuk mengambil “all
necessary measures” (“segala cara yang diperlukan”) untuk melindungi warga sipil yang
terancam dalam Libya, namun melarang adanya okupasi asing di wilayah Libya dalam bentuk
apapun. Selain itu, negara-negara aliansi NATO beserta Swedia, Yordania, Qatar, dan UEA,
mengimplementasi peraturan zona anti-terbang di Libya yang merupakan mandat dari resolusi
1973. Resolusi ini disetujui diadopsi tanpa adanya suara negatif, sehingga mencerminkan bahwa
sebuah tindakan sangat perlu dilakukan (Adams, 2014). Setelah diadopsi resolusi 1973, NATO
bertindak cepat dengan mengirimkan pesawat tempur untuk menyerang pasukan Khadaffi
(Un.org). Karena hal tersebut, NATO kemudian dipertanyakan atas ditandakan karena adanya
kemungkinan bahwa serangan udara tersebut justru membunuh sejumlah warga sipil, serta
intervensi tersebut justru berujung pada pergantian rezim (Responsibilitytoprotect.org). Human
Rights Watch melakukan investigasi terhadap dampak serangan udara dari NATO tersebut dan
menemukan data bahwa sejumlah 72 warga sipil meninggal, termasuk 20 wanita dan 24 anak-
anak (HumanRightsWatch.org, 2011). Hal tersebut tentunya memicu pandangan-pandangan baru
terhadap maksud dan tujuan dari NATO dalam intervensi di Libya.
Berbulan-bulan setelah resolusi 1973 mulai diadopsi; dan penyerangan NATO terhadap
pasukan Khadaffi lewat udara yang membunuh warga sipil, makna dari resolusi tersebut dan
makna serta tujuan PBB melakukan intervensi di Libya mulai dipertanyakan. Beberapa negara
9
anggota berargumen bahwa intervensi di Libya ini dilakukan beriringan dengan adanya
kepentingan politik Barat yang menginginkan “pergantian rezim”. Ada juga pandangan lain yang
melihat bahwa pengadopsian resolusi 1973 yang mengandung “all necessary measures”
digunakan oleh aliansi NATO untuk mencegah kekejaman lebih jauh dan melindungi warga
sipil. NATO selain itu juga dianggap sebagai “persenjataan” bagi para pasukan anti-Khadaffi,
dan bukan lagi sebagai pelindung warga sipil. Hardeep Singh, Ambasador India di PBB,
mengatakan bahwa misi di Libya bergeser dari perlindungan warga di Benghazi menjadi
pergulingan pemerintahan di Tripoli.
Pada Agustus 2011, rezim Khadaffi runtuh, dan kemudian muncul peredebatan mengenai
pembangunan kembali Libya setelah dilakukan intervensi militer dengan mengatasnamakan RtP,
dan juga mengenai implementasi RtP selanjutnya, yang mengalami tantangan berbeda saat
menghadapi kasus kekerasan di Suriah. Meskipun rezim Khadaffi telah runtuh, dan Khadaffi
sendiri telah meninggal pada 20 Oktober setelah ditangkap, kekerasan terus berlanjut hingga
pada 24 Oktober di mana National Transitional Council (NTC) menyatakan berakhirnya konflik
delapan bulan di Libya. NTC juga memperkirakan jumlah korban jiwa selama terjadinya perang
sipil berjumlah hingga 25,000 orang, mencakup pasukan loyalis dan pemberontak, serta warga
sipil (Adams, 2012). Pada 23 Oktober, Human Rights Watch juga menemukan sebanyak 53
korban jiwa dari kubu loyalis yang dieksekusi oleh para pemberontak di Sirte, yang dianggap
sebagai tindakan balas dendam (HumanRightsWatch.org, 2012). Dewan Keamanan PBB
kemudian mencabut peraturan zona anti-terbang di Libya, yang sebelumnya diimplementasi oleh
NATO, pada 26 Oktober.
C. Analisis Responsibility to Protect di Libya
Sebelum menganalisis ‘The Crisis in Libya’ (2011-2012) baiknya kita meilihat initisari dari
Responsibility to protect (RtoP) itu sendiri. Konsep RtoP memiliki tanggung jawab; to prevent,
to react, and to rebuild (ICISS 2001). Sekilas atas tujuan dan sasaran yang ditujukan dalam
menangani kasus Libya tersirat maksud-maksud dan bantuan yang mulia. Bentuk RtoP ini
memang selain untuk melakukan intervensi kemanusiaan, menunjukkan sisi lainnya yaitu untuk
membangun komunitas masyarakat internasional (international community). RtoP ini
10
sebelumnya pernah dipraktekan di Kenya pada 2008, namun RtoP belum pernah dipraktekan
pada negara anggota PBB sebelumnya, hingga krisis di Libya terjadi.
Hal ini dilandaskan pada perihal bahwa masyarakat internasional melihat pemerintah Libya,
khususnya Muammar Khadafi, telah menjadikan rakyatnya sebagai target kekerasan, dimana hal
ini sangat berbalik belakang dengan peran negara yang seharusnya melindungi rakyatnya.
Masyarakat internasional yakin melalui pemberitaan media massa mengenai keadaan di Libya
pada saat itu bahwa telah terjadi pembunuhan besar-besaran yang dilakukan secara langsung
(tangible violence) oleh pemerintah Libya di bawah rezim Khadafi. “Khadafi directly
threatened Benghazi’s residents, saying that the army was on its way and that “we will show no
mercy and no pity”, dikutip dari jurnal online yang mengkaji peristiwa-peristiwa hubungan
internasional, www.globalpolicyjournal.com1. Khadafi memang berdahlil kalau yang menjadi
sasarannya adalah para pemberontak, namun melakukan pembunuhan terhadap warga sipilnya
bukanlah suatu hal yang menjadi justifikasi atas tindakan sadisnya. Dengan pandangan ini
masyarakat internasional merasa perlu ada yang bertindak untuk menegakkan hak-hak
kemanusiaan yang dimiliki oleh rakyat Libya. Dengan alasan ini maka Resolusi 1970 dan 1973
diterapkan oleh Security Council pada bulan Februari hingga Maret 2012. Sebelumnya, menurut
berita yang tersebar, negara-negara Liga Arab, Afrika, serta organisasi-organisasi internasional
telah menyuarakan agar Khadafi memberhentikan aksi kejamnya tersebut. Secara singkat, pada
akhirnya rezim Khadafi tumbang oleh akibat desakan-desakan yang timbul.
Meski masyarakat internasional menyerukan keprihatinan yang timbul dalam publik
internasional namun kita juga harus melihat bahwa dalam aksi nyata yang dilakukan oleh
Security Council PBB adalah intervensi yang sarat akan kepentingan dari negara-negara yang
berdiri dibelakangnya. Dapat kita ketahui pada awalnya negara-negara besar seperti China,
Rusia, dan negara-negara yang tergabung dalam aliansi NATO menyadari dunia harus bertindak.
Pada awalnya intervensi oleh PBB terlihat memang untuk kepentingan kemanusiaan warga
sipil Libya. Hal ini mulai berubah arah setelah gagalnya resolusi 1970 dan mulai diterapkannya
resolusi 1973 yang memberlakukan kebijakan no-fly zone, dimana dapat dilihat telah
1 Adams, S. (2015). Libya and the Responsibility to Protect: Results and Prospects | Global Policy Journal - Practitioner, Academic, Global Governance, International Law, Economics, Security, Institutions, Comment & Opinion, Media, Events, Journal. [online] Globalpolicyjournal.com. Available at: http://www.globalpolicyjournal.com/blog/28/03/2014/libya-and-responsibility-protect-results-and-prospects [Accessed 28 Nov. 2015].
11
meningkatnya peranan negara-negara NATO dan dengan China, Rusia, India, Brazil dan Jeman
yang tidak memberikan suara (abstain) mereka dalam voting yang dilakukan oleh PBB. Namun
apa yang terjadi adalah pemerintahan Khadafi semakin melakukan kekerasan bahkan hingga
pemerkosaan dan kekerasan seksual yang ditargetkan pada rakyat yang beroposisi dengan
pemerintahannya. Dengan demikian tidak segan-segan The Prosecuter atau Jaksa dari PBB
kemudian menangkap Khadafi dan antek-anteknya. Hingga akhirnya perang sipil antara rakyat
pro-Khadafi dan yang memberontak terhadap pemerintah di dukung oleh NATO sehingga terjadi
ekskalasi ketengangan militer. Namun setelah intervensi militer yang dihendaki oleh NATO
berlangsung sekitar tiga minggu, perdebatan mengenai arti dari resolusi-resolusi ini dan
implementasinya telah meningkatkan kesengitan dalam markas besar PBB. Mengapa? Karena
dalam penerapannya, intervensi militer ini telah dianggap keluar dari batas yang semestinya.
Dalam konsensus internasional mengenai RtoP terhadap Libya, memang masyarakat
internasional mendukung gerakan kemanusiaan untuk menolong warga sipil Libya yang tak
bersalah2, namun disisi lain perdebatan berlanjut dengan alasan bahwa RtoP yang diperbolehkan
terjadi bukanlah semata-mata sebagai izin untuk melakukan intervensi militer yang ceroboh. Hal
ini menjadi sorotan karena pelatihan yang diberikan NATO kepada kelompok pemberontak
sekaligus mengijinkan pasokan senjata untuk mendukung para pemberontak dianggap salah,
menurut laporan BBC dari 2000 hingga 3000 korban jiwa dalam kasus Libya terdapat 100 orang
yang mati terbunuh oleh kelompiok pemberontak3. Meskipun memang NATO mengklaim telah
menyerang markas Khadafi di Tripoli namun tidak semestinya intervensi ini menghilangkan
dengan seenaknya kedaulatan sebuah negara, meski memang intervensi kemanusiaan ini
melemahkan kedaulatan negara. Telah menjadi rahasia umum bahwa intervensi atas Libya ini
dilakukan oleh negara-negara Barat terutama negara-negara aliansi NATO yang bertujuan utama
untuk menjatuhkan rezim Khadafi bukan berfokus pada bantuan kemanusiaan sebagaimana
mestinya. Secara khusus, ada yang berpandangan peranan NATO dalam intervensi militernya
tidak lagi semata-mata bersifat defensive namun telah menjadi anggota dari pemberontak
pemerintah Libya, dimana tujuan awalnya adalah untuk melindungi rakyat di Benghazi telah
bergeser haluan menjadi campur tangan politik untuk menggulingkan pemerintahan di Tripoli.
2 ICRtoP Blog, (2012). Debating the Responsibility to Protect in Libya, Syria. [online] Available at: http://icrtopblog.org/2012/04/06/debating-the-responsibility-to-protect-in-libya-syria/ [Accessed 28 Nov. 2015].3 BBC, ‘Counting the cost of NATO’s mission in Libya’, 31 October 2011. Accessed at:http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-15528984, 11 February 2014.
12
Selain itu, menurut artikel yang ditulis oleh Mohammed Nuruzzaman, Revisiting
‘Responsibility to Protect’ after Libya and Syria (2014), ia melihat bahwa yang terjadi pada
kasus Lybia adalah diskriminasi yang dilakukan negara-negara dengan kekuatan besar terhadap
negara lemah dalam kasus ini Libya. Ia juga mengutip tulisan salah seorang jurnalis New York
Times, David Rieff, ‘Regime change became the West’s policy, and the civilian-protection
mandate of R2P was its cover’4. Hal ini melahirkan pertanyaan mengapa aliansi Barat melakukan
intervensi hingga kedalam internal pemerintahan Libya? Nuruzzaman berargumen bahwa US
dan aliansi NATO lainnya, memliki strategi rahasia tersembunyi dengan mendukung
pemberontak anti-Khadafi. Khadafi pada dasarnya memang tidak bersahabat dengan Barat,
setelah kejadian pengemboman Lockerbie dan kegiatan-kegiatan investasi Khadafi di Afrika
yang bertajuk pembebasan Afrika dari imperialisme Barat5 membuat negara-negara Barat
kurang menyukainya. Disisi lain, intervensi terhadap Libya ini sulit dikatakan sebagai bentuk
altruism dan kebaikan moral yang dimiliki oleh aliansi Barat melihat sumber minyak di Libya
cukup menggiurkan, meski hanya 2% dari pasokan minya dunia, namun hal ini disebut-sebut
sebagai salah satu penyebab kegigihan NATO menggulingkan rezim Khadafi. Partai anti-
Khadafi yaitu NTC (National Transitional Council) dan negara-negara aliansi barat yang
membawa perusahaan-perusahaan minyak mereka telah melakukan transaksi minyak sebagai
imbalan dilancarkannya penyerangan NATO ke Tripoli. Sedangkan, akun pendapatan minyak
untuk pendapatan luar negeri Libya yaitu sebesar 95% atau senilai $44 miliar pada 2010. Hingga
saat ini pertanyaan yang terus dialirkan para peng-kritik kepada Libya adalah siapakah yang akan
meraup keuntungan atas minyak tersebut? Libya dahulu telah mencapai tingkat ekspektansi
hidup tertinggi dan angka kematian bayi terendah se-Afrika. Sehingga Cameron dan Sarkozy
yang menyuarakan demokrasi terhadap Libya saat ini mengatakan “Libyan people should know
that their free health care and education are under threat. NATO and imperialism out of
Libya!”6.
4 David Rieff, ‘R2P, R.I.P.’, The New York Times, 7 November 2011. Accessed at:http://www.nytimes.com/2011/11/08/opinion/r2p-rip.html?pagewanted=all, 7 February 2014.5 CounterPsyOps, (2012). Gaddafi placed $97 Billion to free Africa from imperialism. [online] Available at: http://counterpsyops.com/2012/05/24/gaddafi-placed-97-billion-to-free-africa-from-imperialism/ [Accessed 28 Nov. 2015].6 Rayne, T. (2015). NATO war on Libya - Eyes on the prize / FRFI 223 Oct / Nov 2011. [online] RCG. Available at: http://www.revolutionarycommunist.org/africa/libya/2312-nato-war-on-libya [Accessed 28 Nov. 2015].
13
Hingga saat ini perdebatan mengenai apakah intervensi militer yang dilakukan NATO
merupakan suatu kesalahan masih menuai pro dan kontra7. Apakah dengan tidak dilakukannya
intervensi militer internasional akan menghasilkan dampak yang lebih baik? Mungkin saja.
Namun yang jelas kekuatan politik pasca intervensi dari NATO ikut memutuskan siapa yang
akan diselamatkan dan kebijakan apa yang akan diterapkan. Meski demikian intervensi militer
internasional terhadap Libya dipandang berhasil karena telah menyelamatkan nyawa terhadap
ancaman ‘rivers of blood’ yang dikatakan oleh Khadafi, Saif al-Islam. Dibalik pro dan kontra
yang terjadi di tatanan politik internasional, bila dibandingkan dengan RtoP PBB terhadap
Rwanda memiliki dinamika yang berbeda. Di Rwanda, pergerakan PBB hingga memberikan
bantuan bagi rakyat sipil disana memiliki rentang waktu yang relative lebih lama dibandingkan
dengan yang terjadi di Libya. Disini kita dapat melihat bahwa konsep RtoP yang dipandang
baik, sulit dijalankan secara murni. ‘There’s no such thing as free lunch’ mungkin dapat menjadi
kata sandungan terhadap apa yang dilakukan aliansi Barat atas Libya.
BAB IV
PENUTUP
7 Robins, N. (2015). Was The 2011 Libya Intervention A Mistake?. [online] The Huffington Post. Available at: http://www.huffingtonpost.com/2015/03/07/libya-intervention-daalder_n_6809756.html [Accessed 28 Nov. 2015].
14
A. Kesimpulan
Kasus penegakkan demokrasi di Libya menjadi kasus pertama penerapan RtoP di negara
anggota PBB, setelah sebelumnya telah diimplementasikan di Kenya yang notabenenya bukanlah
merupakan negara anggota PBB. Mengulas sedikit kembali apa yang telah terjabarkan, konflik di
Libya ini merupakan puncak kegerahan masyarakat Libya akan rezim Khadafi yang telah
berkuasa selama kurang lebih setengah abad, yang dianggap telah melewati batas kewajaran,
terlebih lagi akan usaha-usaha kotor yang dilakukannya di balik kelanggengan kekuasaannya
tersebut. Pecahnya sebagian rakyat Libya ke dalam dua kubu, kubu pro-Khadafi dan anti-
Khadafi, nyatanya menyebabkan meletusnya perang internal yang berlangsung selama kurang
lebih tujuh bulan lamanya. Tak hanya itu, bahkan karena peperangan ini pula banyak warga sipil,
yang tidak memiliki sangkut paut akan pro dan kontra fenomena ini, yang ikut terbunuh, tak
terkecuali wanita dan anak-anak yang seharusnya menjadi pihak-pihak yang terlindungi.
Memang, tidak boleh menutup mata, Khadafi telah membawa Libya melakukan pencapaian-
pencapaian yang unggul, bahkan terbilang lebih maju dibandingkan negara Afrika lainnya.
Namun di samping itu, nyatanya pemberontakan dari anti rezim Khadafi dianalisir merupakan
wujud protes sekumpulan rakyat atas ketidaksetujuannya terhadap kebijakan-kebijakan otoriter
Khadafi dan unsur nepotisme dalam rezimnya, keinginan mereka akan perubahan dalam
kehidupan politik dan sosial, keinginan untuk di dengar, serta tuntutan hak mereka sebagai warga
negara.
Karena peperangan yang tak kunjung usai serta tumbangnya nyawa ribuan warga sipil, maka
PBB mulai mengambil sikap. RtoP sebagai sebuah wacana yang telah dicanangkan jauh-jauh
hari dirasa perlu diimplementasikan dalam kasus ini. Hal ini tak terlepas dari pandangan
masyarakat internasional bahwa apa yang terjadi di Libya sudah merupakan tindakan genosida
dan juga kejahatan manusia, karena korbannya tak hanya yang terlibat langsung dan memihak
pada peperangan internal itu sendiri, namun juga mereka-mereka yang tidak condong ke pihak
manapun. Karena korban yang terus berjatuhan ini, Libya pun dianggap gagal melindungi warga
negaranya. Maka dari itu muncul gagasan, bahwa diperlukan bantuan dari pihak luar dalam
menengahi kasus ini, mengingat dalam gagasan RtoP sendiri ditekankan peranan masyarakat
internasional yang turut memiliki, bukan hanya sekedar hak, namun telah menjadi tanggung
15
jawab terhadap perlindungan warga negara yang termasuk bagian dari konsep to react dalam tiga
konsep RtoP tersebut.
Nyatanya gagasan RtoP inilah yang dijadikan alasan turunnya NATO, untuk menengahi
konflik internal dalam Libya tersebut. Dalam sub-bab kesimpulan ini, kami akan menjabarkan
relevansi akan syarat-syarat pemberlakuan intervensi militer yang telah disebutkan dalam bab 2
terhadap peran RtoP dalam kasus ini. Berdasarkan syarat Just Cause, intervensi militer dari
NATO ini memang telah memiliki alasan kuat yaitu mengenai pelanggaran kemanusiaan yang
mana telah memakan banyak korban jiwa. Lalu dalam syarat Right Intention, intervensi ini
dibenarkan mengingat tujuan awalnya ialah untuk menghentikan pelanggaran kemanusiaan yang
telah terjadi dalam hitungan bulan. Berdasarkan syarat Last Resort, intervensi ini pun dilakukan
karena usaha jalur damai telah ditempuh namun tidak berhasil sehingga dunia internasional
dianggap perlu turun tangan. Right Authority sebagai syarat mutlak pun telah terpenuhi, karena
turunnya NATO pun telah disetujui oleh PBB.
Namun, menilik Proportional Means dan Reasonable Prospects sebagai kedua syarat
lainnya menurut kelompok kami tidaklah bijak jika menganggapnya telah dibenarkan
sepenuhnya. Hal ini dikarenakan dalam ‘Proportional Means’ seharusnya berarti intensitas dan
intervensi militer yang dilakukan hanya boleh secukupnya saja, namun dalam kasus ini kami
melihat bahwa NATO turut memiliki peran, walaupun secara implisit, dalam penerapan
kebijakan Libya setelah konflik ini. Selain itu dalam ‘Reasonable Prospects’ yang mana
seharusnya menjamin bahwa intervensi militer tidak memperparah kondisi, kelompok kami
justru menilai hal tersebut tidak terjadi. Karena nyatanya, dalam intervensi NATO, tujuan awal
untuk menengahi kejahatan berdasarkan azas kemanusiaan justru melenceng menjadi alat dan
senjata bagi pasukan anti-Khadafi. Dan hal ini jelas berimbas pada kondisi yang semakin parah,
karena tujuan NATO pun ikut menjadi pembasmi pasukan pro-Khadafi yang justru memperparah
peperangan dan nyatanya tetap turut menghilangkan nyawa warga-warga sipil dalam usahanya
menyerang pasukan pro-Khadafi. Intervensi NATO dalam ranah politik ini kami nilai tidak
terlepas dari faktor status Libya sebagai negara pemasok minyak dunia, serta sebagai imbas balik
akan hubungan Libya dengan negara barat, khususnya Amerika, yang memang tidak begitu baik
sejak tahun 1980-an. Sehingga hal ini turut mencoreng syarat ‘Just Cause’ dan ‘Right Intention’.
Maka dalam kesimpulan kami ini, kami tegaskan bahwa RtoP dalam penerapannya di konflik
16
Libya sarat akan landasan dasar RtoP itu sendiri, dan turut dipengaruhi oleh kepentingan-
kepentingan negara dibalik NATO yang tertutupi oleh alasan ‘kemanusiaan’. Namun terlepas
dari alasan intervensi tersebut. RtoP dalam konflik ini memang telah berhasil dijalankan.
B. Saran
Berdasarkan penjabaran serta pembahasan yang sudah dilakukan, maka ada beberapa hal
yang dapat kita pelajari bersama sebagai masyarakat internasional yang turut bertanggungjawab
dalam melindungi hak asasi manusia segenap saudara kita di seluruh penjuru dunia terkait
konflik di Libya ini. Oleh karena itu, berikut merupakan saran yang penulis dapat ajukan kepada
beberapa pihak, antara lain:
1. Pemerintah Negara
a. Diharapkan dapat lebih merangkul dan mengikutsertakan rakyat dalam
pemerintahannya, terutama dalam pembuatan kebijakan. Karena pada dasarnya
tugas pemerintah ialah mengabdi kepada rakyat.
b. Meniadakan dan menghapuskan sistem pemerintahan yang bersifat otoriter.
c. Untuk lebih peka dan tidak menutup mata pada hak-hak dasar individu yang
patutnya diperjuangkan.
2. PBB
a. Ketegasan dalam mengambil sikap,
b. Penyelarasan dalam visi dan misi, khususnya dalam memperjuangkan hak asasi
manusia.
c. Berpegang teguh dalam visi serta tujuan awal, dan tidak turut ikut campur
dalam persoalan politik suatu negara sehingga tidak dianggap merendahkan
kedaulatan suatu negara.
d. Harus ada kerjasama dengan pihak terkait dalam upaya memperjuangkan HAM,
dan menjunjung tinggi kenetralitasan, bukan kecenderungan keberpihakan akan
kepentingan petinggi di belakang PBB.
DAFTAR PUSTAKA
17
Adams, Simon. (2012) 'Libya And The Responsibility To Protect: Results And Prospects'. Globalpolicyjournal.com. [Accessed 28 Nov. 2015].
Adams, Simon. (2012). Libya And The Responsibility To Protect. 1st ed. Global Centre for the Responsibility to Protect. [Accessed 28 Nov. 2015].
Agus, S. (2012). LATAR BELAKANG PERANG SIPIL DI LIBYA TAHUN 2011. [online] Repository.upnyk.ac.id. Available at: http://repository.upnyk.ac.id/3500/ [Accessed 27 Nov. 2015].
Anon, (2015). 1st ed. [ebook] Available at:
http://www.responsibilitytoprotect.org/files/Responsibility%20to%20Protect%20Powerpoint
%20Presentation.pdf [Accessed 27 Nov. 2015].
CounterPsyOps, (2012). Gaddafi placed $97 Billion to free Africa from imperialism. [online]
Available at: http://counterpsyops.com/2012/05/24/Gaddafi-placed-97-billion-to-free-africa-
from-imperialism/ [Accessed 28 Nov. 2015].
France-Presse, A. (2012). The arrest that triggered the revolt to remove Gaddafi | The National. [online] Thenational.ae. Available at: http://www.thenational.ae/news/world/africa/the-arrest-that-triggered-the-revolt-to-remove-Gaddafi [Accessed 27 Nov. 2015].
Human Rights Watch,. (2012). 'Libya: New Proof Of Mass Killings At Gaddafi Death Site'. Web. [Accessed 28 Nov. 2015].
HumanRightsWatch.org,.(2011) 'Libya: NATO Air Strikes And Civilian Deaths'. [Accessed 28 Nov. 2015].
ICRtoP Blog, (2012). Debating the Responsibility to Protect in Libya, Syria. [online] Available at: http://icrtopblog.org/2012/04/06/debating-the-responsibility-to-protect-in-libya-syria/ [Accessed 28 Nov. 2015].
International Commission on Intervention and State Sovereignty, (2001). The Responsibility To
Protect. Ottawa: International Development Research Centre.
Nuruzzaman, M. (2015). Revisiting 'Responsibility to Protect' after Libya and Syria. [online] E-International Relations. Available at: http://www.e-ir.info/2014/03/08/revisiting-responsibility-to-protect-after-libya-and-syria/#_ftn10 [Accessed 28 Nov. 2015].
Responsibilitytoprotect.org, (n.d.). Crisis in Libya. [online] Available at: http://www.responsibilitytoprotect.org/index.php/crises/crisis-in-libya#background [Accessed 27 Nov. 2015].
18
Rayne, T. (2015). NATO war on Libya - Eyes on the prize / FRFI 223 Oct / Nov 2011. [online] RCG. Available at: http://www.revolutionarycommunist.org/africa/libya/2312-nato-war-on-libya [Accessed 28 Nov. 2015].
Robins, N. (2015). Was The 2011 Libya Intervention A Mistake?. [online] The Huffington Post. Available at: http://www.huffingtonpost.com/2015/03/07/libya-intervention-daalder_n_6809756.html [Accessed 28 Nov. 2015].
The Huffington Post, (2011). Libya, the 'Responsibility to Protect,' and Double Standards.
[online] Available at: http://www.huffingtonpost.com/stephen-zunes/libya-the-responsibility-
_b_841168.html [Accessed 27 Nov. 2015].
Un.org, (2015). Office of The Special Adviser on The Prevention of Genocide. [online] Available
at: http://www.un.org/en/preventgenocide/adviser/videos/video_5.shtml [Accessed 27 Nov.
2015].
Un.org, (2015). Office of The Special Adviser on The Prevention of Genocide. [online] Available
at: http://www.un.org/en/preventgenocide/adviser/responsibility.shtml [Accessed 27 Nov. 2015].
Un.org, (2015). 'Outreach Programme On The Rwanda Genocide And The United Nations'. [Accessed 28 Nov. 2015].
Wfuna.org, (2015). What is the Responsibility to Protect? | World Federation of United Nations
Associations | WFUNA. [online] Available at: http://www.wfuna.org/what-is-the-responsibility-
to-protect-%E2%80%93-q-and-a [Accessed 27 Nov. 2015].
19