responsibility to protect di krisis libya

33
Tugas Mata Kuliah Organisasi Internasional 1 Responsibilty to Protect: Libya Kelompok 3 NAMA NPM NAMA NPM Annisa Sandri 1702101400 15 Magda Natalia 1702101400 11 Fadhilla Kurnia Adi S 1702101400 14 Tedi Hidayat 1702101400 23 Hilmyanda Fadhila 1702101400 60 Tiara Firdaus Jafar 1702101400 24 Inta Yunita Nurhasanah 1702101400 29 Vincentius Reno Agusta 1702101400 26 Khaerulian Adenta D 1702101400 50 Vinka Tasa 1702101400 08 Kimberly Tumbuan 1702101400 56 Zahara Nisa Meutia 1702101400 55 i

Upload: tedikhidayat

Post on 17-Feb-2016

229 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Organisasi Internasional

TRANSCRIPT

Page 1: Responsibility to Protect di Krisis Libya

Tugas Mata Kuliah

Organisasi Internasional 1

Responsibilty to Protect: Libya

Kelompok 3

NAMA NPM NAMA NPMAnnisa Sandri 170210140015 Magda Natalia 170210140011Fadhilla Kurnia Adi S 170210140014 Tedi Hidayat 170210140023Hilmyanda Fadhila 170210140060 Tiara Firdaus Jafar 170210140024Inta Yunita Nurhasanah 170210140029 Vincentius Reno Agusta 170210140026Khaerulian Adenta D 170210140050 Vinka Tasa 170210140008Kimberly Tumbuan 170210140056 Zahara Nisa Meutia 170210140055

Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Padjadjaran

2015

i

Page 2: Responsibility to Protect di Krisis Libya

KATA PENGANTAR

       Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,

serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Responsibility to

Protect di Libya ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami

berterima kasih pada Bapak Dudy Heryadi selaku Dosen mata kuliah Organisasi Internasional 1

yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

       Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta

pengetahuan kita mengenai Responsibility to Protect yang terjadi di Libya. Kami juga menyadari

sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh

sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah

kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran

yang membangun.

       Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya

laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang

membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang

berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Jatinangor, 29 November 2015

Penyusun

ii

Page 3: Responsibility to Protect di Krisis Libya

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii

Bab I Pendahuluan 1

A. Latar Belakang 1B. Rumusan Masalah 2C. Tujuan 2

Bab II Tinjauan Teori 3

Bab III Pembahasan 7

A. Latar Belakang Krisis Kemanusiaan di Libya 7B. Responsibility to Protect di Libya 8C. Analisis Responsibility to Protect di Libya 10

Bab IV Penutup 15

A. Kesimpulan 15B. Saran 17

Daftar Pustaka 18

iii

Page 4: Responsibility to Protect di Krisis Libya

BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakang

Kerusuhan yang terjadi di Libya pada tahun 2011, dipacu dengan adanya tuntutan dari

masyarakat Libya sendiri terhadap pemerintah yang menjabat saat itu yaitu Muammar Al -

Khadafi. Masyarakat menuntut tentang adanya penegakkan yang lebih tegas atas nilai - nilai

demokrasi, hak asasi manusia dan reformasi di dalam sebuah pemerintahan. Awalnya hanya

berupa tindakan demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat yang protes terhadap pemerintahan

Khadafi, tetapi terjadi serangan balik yang dilakukan oleh pasukan keamanan terhadap rakyat

yang sedang melakukan demonstrasi. Hingga akhirnya terjadilah peperangan antara kelompok

pemberontak dan pasukan keamanan. Kasus ini terus berlanjut setiap harinya hingga banyak

warga sipil yang tewas akibat kejadian ini.

Khadafi dinilai telah melakukan kejahatan manusia yang terencana dan sangat terstruktur.

Dimana hal yang harus dilakukan oleh Khadafi adalah melindung warganya dari bentuk

kejahatan apapun. Tetapi pada kasus ini justru Khadafi selaku pemerintah yang berkewajiban

melindungi, melakukan tindakan kejahatan tersebut. Khadafi dinilai menggunakan

kewenangannya secara berlebihan untuk kepentingannya sendiri. Kasus ini menunjukkan bahwa

pemerintah Libya tidak mampu melakukan konsep Responsibility to Protect. Sehingga apabila

pemerintah sudah tidak mampu melakukan perlindungan tersebut, masyarakat internasional

berhak untuk mengambil alih tanggung jawab tersebut dari pemerintah untuk saling melindungi

sesama warga sipil.

Hingga Dewan Keamanan PBB turun tangan untuk menindak lanjuti kasus ini, karena DK

PBB adalah satu - satunya lembaga yang berwenang untuk mengakhiri kasus pembunuhan

massal terhadap rakyat sipil yang terjadi di Libya. Dengan mengerahkan human rights council

sebagai media untuk menyelesaikan kasus ini, DK PBB berusaha untuk memberhentikan salah

satu tindakan kejahatan yang menimpa warga sipil ini. Beberapa resolusi pun dikeluarkan

1

Page 5: Responsibility to Protect di Krisis Libya

sebagai bentuk tindak lanjut yang dilakukan oleh pasuka pro - Khadafi. Kasus yang menimpa

warga sipil Libya ini juga menjadi bentuk penelitian yang dilakukan oleh Dewan Keamanan

PBB untuk menganalisa keefektivan konsep Responsibility to Protect.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang kasus perang sipil yang terjadi di Libya?

2. Bagaimana peran RtoP dalam kasus perang sipil yang terjadi di Libya?

3. Bagaimana analisa terhadap peran RtoP yang bertujuan untuk kemanusiaan?

4. Apakah RtoP di Libya sesuai dengan prinsip kemanusiaan?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya kasus perang sipil yang terjadi di Libya

2. Untuk mengetahui peran Responsibility to Protect di dalam kasus Libya

3. Untuk mengetahui hasil analisa apakah RtoP di Libya bertujuan untuk kemanusiaan

4. Untuk mengetahui bahwa sebenernya RtoP di Libya sesuai dengan prinsip kemanusiaan atau

tidak

2

Page 6: Responsibility to Protect di Krisis Libya

BAB II

TINJAUAN TEORI

Responsibility to Protect atau yang sering disingkat dengan RtoP atau R2P merupakan

doktrin hasil dari UN World Summit pada tahun 2005, pada tahun 2009 barulah Ban Ki Moon

mengeluarkan laporan mengenai Implementing the Responsibility to Protect yang kemudian

menjadi dokumen yang komprehensif mengenai RtoP. Responsibility to protect sendiri memiliki

makna berarti sebuah tanggung jawab untuk menjaga populasi dari genosida, kejahatan perang,

kejahatan kemanusiaan, serta ethnic cleansing (Globalr2p.org, 2015). Adapun RtoP memiliki tiga

pilar, ketiga pilar tersebut adalah:

1. Setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga negara nya dari empat

jenis kekejaman masal yang disebutkan yaitu genosida, kejahatan perang, kejahatan

kemanusiaan, dan ethnic cleansing

2. International society memiliki tanggung jawab untuk membantu negara tersebut untuk

memenuhi tanggung jawabnya

3. Jika sebuah negara gagal untuk melindungi warganegaranya, maka international

community harus bersiap-siap untuk melalukan hal yang dianggap pantas secara kolektif

yang mana juga harus sesuai dengan UN charter baik dalam permasalahan waktu

maupun tindakan yang akan diambilnya

Dapat disimpulkan dari ketiga pilar tersebut bahwa tanggung jawab untuk melindungi

warga negara berada paling besar pada negara. Hal ini menyatakan bahwa kedaulatan bukan

hanya mengenai hak namun juga mengenai tanggung jawab (Anon, 2015). Seperti yang

dikatakan oleh Jennifer Welsh (Un.org, 2015) bahwa kedaulatan negara bukan berarti mencegah

perlindungan terhadap warga negara dari internation community, melainkan membawa tanggung

jawab salah satunya adalah tanggung jawab atas perlindungan terhadap warga negara yang

sebagian besar dimiliki oleh negara namun tanggung jawab itu juga dibagi dan menjadi

tanggungan bagi international actors yang juga memiliki tanggung jawab yang serupa. Saat

negara yang bersangkutan dianggap gagal baik karena tidak mampu atau tidak memiliki

keinginan untuk memenuhi tanggung jawab tersebut, maka international community harus

3

Page 7: Responsibility to Protect di Krisis Libya

melakukan tindakan. Tindakan-tindakan tersebut adalah prevention, reaction, dan rebuilding

(Wfuna.org, 2015) serta dapat dimulai dari hal-hal kecil yang bersifat damai hingga hal-hal yang

bentuknya koersif demi melindungi warganegara.

Awal dari tercetusnya RtoP sendiri adalah pada tahun 2001, salah satu factor pemicunya

adalah genosida di Rwanda tahun 1994 yang mana international community tidak melakukan

tindakan apapun sehingga menuai kritik dan pada akhirnya international community mencari

jalan untuk mengatasinya puncaknya adalah tantangan dari UN Secretary-General Kofi Annan

untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan prinsip non intervensi negara

berdaulat dengan kewajiban international community dalam mengatasi pelanggaran HAM besar-

besaran dan juga ethnic cleansing (Anon, 2015), barulah pada tahun 2001 muncul laporan dari the

International Commission on Intervention and State Sovereignty tentang gagasannya mengenai

RtoP yang kemudian diadopsi pada world summit tahun 2005.

Munculnya RtoP juga ditenggarai karena makin banyaknya actor non negara yang

berperan dalam kejahatan-kejahatan dengan skala yang lebih besar seperti yang dapat dilihat

pada akhir abad ke 20 yang mana kejahatan-kejahatan seperti genosida pun banyak dilakukan

oleh non state actors, kemudian focus nya berpindah bukan lagi terpatri pada negara namun

mencoba untuk melindungi individu yang kemudian muncul konsep human security seperti yang

dikatakan oleh Edward Luck (Un.org, 2015). RtoP juga menjadi jawaban dari ketidakefektivan

humanitarian intervention yang dianggap melanggar kedaulatan.

Hal ini dikarenakan di dalam humanitarian intervention dan Responsibility to protect

sendiri memiliki perbedaan yang mencolok. Jika dalam humanitarian intervention terdapat hak

untuk mengintervensi suatu negara, maka dalam RtoP justru menekankan bahwa hal tersebut

merupakan sebuah tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan. Selain itu, RtoP pun

terbatas hanya mencakup ke-empat hal di atas sedangkan dalam humanitarian intervention,

menyangkut segala hal yang berbau pelanggaran hak asasi manusia. Hal lainnya yang dianggap

fundamental sebagai pembeda antara humanitarian intervention dan RtoP adalah di RtoP terdapat

syarat-syarat sebelum dapat melakukan intervensi militer, yaitu sebagai berikut (International

Commission on Intervention and State Sovereignty, 2001):

1. Just cause: Intervensi yang bersifat militer dengan tujuan human protection adalah hal

yang exceptional dan harus memiliki alasan yang kuat baik yang sudah terjadi atau

4

Page 8: Responsibility to Protect di Krisis Libya

dianggap akan terjadi mengenai pelanggaran kemanusian, pelanggaran tersebut adalah

banyaknya korban jiwa yang berjatuhan serta banyaknya jumlah ethnic cleansing

2. Right Intention: Tujuan utama dari adanya intervensi militer adalah untuk menghentikan

maupun untuk mencegah penderitaan yang dirasakan oleh warga negara

3. Last Resort: Intervensi militer baru dapat dibenarkan apabila segala usaha dengan jalur

damai telah diupayakan namun tidak membuahkan hasil dan adanya analisis bahwa

dengan menggunakan cara serupa yang tidak bersifat militer pun tidak akan

menyelesaikan permasalahan

4. Proportional Means: Skala, waktu, dan intensitas dari intervensi militer hanya boleh

secukupnya atau seperlunya saja untuk mengamankan warga negara

5. Reasonable Prospects: Harus adanya jaminan yang masuk akal bahwa intervensi militer

akan berhasil bukan justru semakin memperparah kondisi bila dibandingkan dengan non

militer

6. Right Authority: Aksi militer baru boleh dijalankan apabila telah mendapatkan

persetujuan dari Dewan Keamanan PBB

Selain itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa RtoP sendiri bukan hanya

memiliki tanggung jawab untuk bereaksi namun juga untuk pencegahan, dan juga pembangunan

kembali. Ketiga hal tersebut sering juga disebut dengan elemen tambahan dalam RtoP. Berikut

adalah penjelasannya:

The Responsibility to Prevent: Memiliki kewajiban untuk mencegak kejahatan masal,

menciptakan early warning system, serta mencari tahu sumber dari krisis yang

kemungkinan besar terjadi

The Responsibility to React: respon terhadap kondisi yang sedang terjadi, dapat dengan

kekerasan berupa sanksi, pengadilan, atau bahkan dalam kasus-kasus yang luar biasa

dengan menggunakan kekuatan militer

The Responsibility to Rebuild: Tanggungjawab international community untuk

membangun kembali negara tersebut setelah adanya intervensi terutama intervensi

militer, recovery, reconstruction, dan rekonsilasi serta untuk mencegah terjadinya hal

serupa

(International Commission on Intervention and State Sovereignty, 2001)

5

Page 9: Responsibility to Protect di Krisis Libya

RtoP sendiri memerlukan kerjasama dari berbagai pihak salah satunya adalah organisasi

internasional. Karena perlu diketahui sebelumnya bahwa justru Uni Afrika lah yang pertama kali

mencetuskan ide mengenai international community, dalam RtoP ini, PBB menggandeng

beberapa organisasi internasional yang dapat dilihat dari report mereka The Role of Regional and

Subregional Arrangements in Implementing the Responsibility to Protect.

RtoP tidaklah sempurna, hal ini dapat dilihat dari adanya kritik terhadap RtoP sendiri

salah satu kritiknya adalah adanya standar ganda yang diterapkan dalam RtoP dapat dilihat dari

perbandingan kasus Libya dan Gaza yang bahkan diliput oleh media pemberitaan barat sendiri

(The Huffington Post, 2011). Adapun negara-negara yang terus mendukung RtoP adalah Canada,

UK, dan Rwanda. Sedangkan negara-negara yang terus mempertanyakan RtoP adalah China,

Russia, dan Mesir (Anon, 2015)

Dapat disimpulkan dalam Responsibility to protect, intervensi militer merupakan jalan

terakhir setelah ditempunya cara lain dalam menyelesaikan konflik seperti diplomasi, sanksi, dan

sebagainya. Prioritas utama dari RtoP sendiri adalah untuk pencegahan dengan menggunakan

tools yang bersifat tidak merusak sebelum menggunakan tools lain yang lebih berat dan merusak

6

Page 10: Responsibility to Protect di Krisis Libya

BAB III

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Krisis Kemanusiaan di Libya

Dikarenakan sistem pemerintahan di Libya yang menjadikan keduduan eksekutif (presiden)

berada diatas lembaga legislatif dan yudikatif, maka hal tersebut memunculkan seseorang yang

memiliki pemikiran jahat untuk memanfaatkan keadaan tersebut. Moammar Khadafi, seorang

otoriter yang memperlakukan negaranya sebagai “taman bermain” tersebut dengan kekuatannya

berhasil menjadikan negara Libya hancur ditangannya. Khadafi menggunakan politik kotor

untuk memanipulasi hasil pemilu sehingga ia dapat secara terus menerus memiliki jabatan

tertinggi di dalam pemerintahan Libya. Berada di bawah kepemimpinan seorang otoriter

tersebut, masyarakat Libya tidak berdiam diri saja. Dipacu oleh keberhasilan masyarakat Tunisia

dan Mesir untuk merobohkan pemimpinnya yang juga bersifat otoriter demi memperjuangkan

demokrasi negaranya, masyarakat Libya merasa mereka juga dapat bertindak untuk melakukan

hal yang sama. Pada tanggal 17 Februari 2011, seluruh masyarakat Libya turun serta dalam

melakukan aksi protes terhadap Presiden Moammar Khadafi. Protes tersebut dilaksanakan di

kota besar kedua di Libya, yaitu di Kota Benghazi.

Pada awalnya, para demonstran menuntut pemerintah untuk membebaskan seorang

pengacara hak asasi manusia, Fethi Tarbel, dimana beliau adalah seseorang yang merencanakan

aksi pemrotesan terhadap Presiden Moammar Khadafi tersebut. Lalu, para demonstran juga

melanjutkan dengan meneriakkan Perdana Menteri Baghdadi Ali Mahmoudi untuk turun dari

jabatannya. Tidak lama kemudian, suara para demonstran mulai memanggil nama Moammar

Khadafi untuk ikut turun dari pemerintahan Libya. Aksi protes masa tersebut di jawab oleh

Khadafi dengan cara kekerasan. Moammar Khadafi memerintahkan pasukan militer-nya untuk

melakukan penyerangan terhadap para demonstran dengan menggunakan senjata-senjata non-

sipil. Khadafi memerintahkan kepada pasukan militer-nya untuk menodongkan rudal anti-

pesawat dan senjata otomatis kepada para demonstran. Pada hari itu, tepatnya tanggal 17

Februari 2011, masyarakat Libya mengalami krisis politik dan sosial yang sangat parah. Hak

7

Page 11: Responsibility to Protect di Krisis Libya

Asasi Manusia mereka sudah tidak diperhitungkan lagi demi kepentingan pribadi seorang

otoriter Moammar Khadafi.

Kejadian tersebut tidak berakhir cepat. Setelah perang antara pemerintah dengan masyarakat

Libya tersebut, Libya masih dilanda dengan kelanjutan dari aksi protes tersebut, yaitu perang

saudara atau perang sipil antara pasukan pro Khadafi dan pasukan kontra Khadafi. Konflik

politik di Libya ini telah memakan lebih dari 6000 korban. Hal itu memicu PBB untuk turut

serta. PBB berhasil mengesahkan resolusi zona larangan terbang Libya demi melindungi warga

sipil dan para penduduk Libya pada tanggal 17 Maret 2011. Setelah itu, pada tanggal 20 Maret

2011 pasukan koalisi Barat yang di pimpin oleh Prancis, Inggris, dan Maerika membombardir

ibu kota Libya, dimana pasukan-pasukan pro Khadafi bersembunyi. Serangan tersebut berhasil

melemahkan pertahanan pasukan pro Khadafi. Namun, hal tersebut tidak berhasil melemahkan

keinginan Khadafi untuk menguasai Libya. Secara terang-terangan Khadafi memberikan

pernyataan di dalam televisi nasional Libya bahwa ia akan mengalahkan, dan menaklukan Libya

di tangan mereka pada pidatonya.

B. Responsibility to Protect di Libya

Kondisi yang berlangsung di Libya di bawah rezim Muammar Khadaffi memerlukan

adanya tindakan responsibility to protect. Setelah terjadinya perluasan penyerangan yang

sistematis terhadap warga sipil Libya oleh tentara Khadaffi, dan juga sikap Khadaffi terhadap

warganya sendiri, Dewan Keamanan PBB kemudian mengadopsi resolusi 1970 pada tanggal 26

Februari 2011 dengan secara eksplisit merujuk pada RtP. Dewan Keamanan menuntut Libya

untuk mengakhiri kekerasan dan meminta pertanggung jawaban dari pemerintah Libya terhadap

perlindungan rakyatnya sendiri, serta mengenakan beberapa sanksi internasional. Selain itu,,

Dewan Keamanan juga memutuskan untuk menyerahkan situasi ini kepada International

Criminal Court (ICC). Jaksa dari ICC, Luis Moreno-Ocampo, memutuskan pada 2 Maret untuk

melakukan investigasi terhadap kasus ini, yang berujung pada penemuan bukti bahwa terdapat

warga sipil yang diserang di tempat tinggal mereka dan terdapat penggunaan senjata api dan

bahkan pemerkosaan sebagai senjata represif terhadap orang-orang yang melawan rezim

Khadaffi. Moreno-Ocampo kemudian, pada 27 Juni, mengeluarkan surat perintah untuk

8

Page 12: Responsibility to Protect di Krisis Libya

menangkap Khadaffi dan anaknya, Saif Al-Islam Khadafi, serta Ketua Intelijen Militer Abdullah

Al-Senussi atas dasar kejahatan terhadap kemanusiaan (Responsibilitytoprotect.org).

Selama tiga minggu berjalannya resolusi 1970, kekerasan di Libya terus meningkat sehingga

Liga Arab, Uni Afrika, dan berbagai organisasi internasional lainnya ikut mendesak Khadaffi

untuk menghentikan pembunuhan dan menyelesaikan permasalahan dengan damai. Meskipun

adanya upaya dari berbagai pihak tersebut, pada 16 Maret 2011, pasukan pro-Khadaffi

menghampiri dan mengancam kubu oposisi di Benghazi. Khadaffi bahkan juga secara langsung

mengancam para penduduk Benghazi, mengatakan bahwa pasukannya akan menyerang mereka

(Adams, 2014). Terjadinya hal tersebut memicu respon dari PBB dan pada esok harinya, tanggal

17 Maret, Dewan Keamanan kemudian mengadopsi resolusi 1973 dan menuntut adanya gencatan

senjata di Libya sekaligus mengakhiri penyerangan terhadap warga sipilnya, yang merupakan

tindakan “kejahatan terhadap kemanusiaan”.

Dewan Keamanan juga mewajibkan kepada seluruh negara anggota untuk mengambil “all

necessary measures” (“segala cara yang diperlukan”) untuk melindungi warga sipil yang

terancam dalam Libya, namun melarang adanya okupasi asing di wilayah Libya dalam bentuk

apapun. Selain itu, negara-negara aliansi NATO beserta Swedia, Yordania, Qatar, dan UEA,

mengimplementasi peraturan zona anti-terbang di Libya yang merupakan mandat dari resolusi

1973. Resolusi ini disetujui diadopsi tanpa adanya suara negatif, sehingga mencerminkan bahwa

sebuah tindakan sangat perlu dilakukan (Adams, 2014). Setelah diadopsi resolusi 1973, NATO

bertindak cepat dengan mengirimkan pesawat tempur untuk menyerang pasukan Khadaffi

(Un.org). Karena hal tersebut, NATO kemudian dipertanyakan atas ditandakan karena adanya

kemungkinan bahwa serangan udara tersebut justru membunuh sejumlah warga sipil, serta

intervensi tersebut justru berujung pada pergantian rezim (Responsibilitytoprotect.org). Human

Rights Watch melakukan investigasi terhadap dampak serangan udara dari NATO tersebut dan

menemukan data bahwa sejumlah 72 warga sipil meninggal, termasuk 20 wanita dan 24 anak-

anak (HumanRightsWatch.org, 2011). Hal tersebut tentunya memicu pandangan-pandangan baru

terhadap maksud dan tujuan dari NATO dalam intervensi di Libya.

Berbulan-bulan setelah resolusi 1973 mulai diadopsi; dan penyerangan NATO terhadap

pasukan Khadaffi lewat udara yang membunuh warga sipil, makna dari resolusi tersebut dan

makna serta tujuan PBB melakukan intervensi di Libya mulai dipertanyakan. Beberapa negara

9

Page 13: Responsibility to Protect di Krisis Libya

anggota berargumen bahwa intervensi di Libya ini dilakukan beriringan dengan adanya

kepentingan politik Barat yang menginginkan “pergantian rezim”. Ada juga pandangan lain yang

melihat bahwa pengadopsian resolusi 1973 yang mengandung “all necessary measures”

digunakan oleh aliansi NATO untuk mencegah kekejaman lebih jauh dan melindungi warga

sipil. NATO selain itu juga dianggap sebagai “persenjataan” bagi para pasukan anti-Khadaffi,

dan bukan lagi sebagai pelindung warga sipil. Hardeep Singh, Ambasador India di PBB,

mengatakan bahwa misi di Libya bergeser dari perlindungan warga di Benghazi menjadi

pergulingan pemerintahan di Tripoli.

Pada Agustus 2011, rezim Khadaffi runtuh, dan kemudian muncul peredebatan mengenai

pembangunan kembali Libya setelah dilakukan intervensi militer dengan mengatasnamakan RtP,

dan juga mengenai implementasi RtP selanjutnya, yang mengalami tantangan berbeda saat

menghadapi kasus kekerasan di Suriah. Meskipun rezim Khadaffi telah runtuh, dan Khadaffi

sendiri telah meninggal pada 20 Oktober setelah ditangkap, kekerasan terus berlanjut hingga

pada 24 Oktober di mana National Transitional Council (NTC) menyatakan berakhirnya konflik

delapan bulan di Libya. NTC juga memperkirakan jumlah korban jiwa selama terjadinya perang

sipil berjumlah hingga 25,000 orang, mencakup pasukan loyalis dan pemberontak, serta warga

sipil (Adams, 2012). Pada 23 Oktober, Human Rights Watch juga menemukan sebanyak 53

korban jiwa dari kubu loyalis yang dieksekusi oleh para pemberontak di Sirte, yang dianggap

sebagai tindakan balas dendam (HumanRightsWatch.org, 2012). Dewan Keamanan PBB

kemudian mencabut peraturan zona anti-terbang di Libya, yang sebelumnya diimplementasi oleh

NATO, pada 26 Oktober.

C. Analisis Responsibility to Protect di Libya

Sebelum menganalisis ‘The Crisis in Libya’ (2011-2012) baiknya kita meilihat initisari dari

Responsibility to protect (RtoP) itu sendiri. Konsep RtoP memiliki tanggung jawab; to prevent,

to react, and to rebuild (ICISS 2001). Sekilas atas tujuan dan sasaran yang ditujukan dalam

menangani kasus Libya tersirat maksud-maksud dan bantuan yang mulia. Bentuk RtoP ini

memang selain untuk melakukan intervensi kemanusiaan, menunjukkan sisi lainnya yaitu untuk

membangun komunitas masyarakat internasional (international community). RtoP ini

10

Page 14: Responsibility to Protect di Krisis Libya

sebelumnya pernah dipraktekan di Kenya pada 2008, namun RtoP belum pernah dipraktekan

pada negara anggota PBB sebelumnya, hingga krisis di Libya terjadi.

Hal ini dilandaskan pada perihal bahwa masyarakat internasional melihat pemerintah Libya,

khususnya Muammar Khadafi, telah menjadikan rakyatnya sebagai target kekerasan, dimana hal

ini sangat berbalik belakang dengan peran negara yang seharusnya melindungi rakyatnya.

Masyarakat internasional yakin melalui pemberitaan media massa mengenai keadaan di Libya

pada saat itu bahwa telah terjadi pembunuhan besar-besaran yang dilakukan secara langsung

(tangible violence) oleh pemerintah Libya di bawah rezim Khadafi. “Khadafi directly

threatened Benghazi’s residents, saying that the army was on its way and that “we will show no

mercy and no pity”, dikutip dari jurnal online yang mengkaji peristiwa-peristiwa hubungan

internasional, www.globalpolicyjournal.com1. Khadafi memang berdahlil kalau yang menjadi

sasarannya adalah para pemberontak, namun melakukan pembunuhan terhadap warga sipilnya

bukanlah suatu hal yang menjadi justifikasi atas tindakan sadisnya. Dengan pandangan ini

masyarakat internasional merasa perlu ada yang bertindak untuk menegakkan hak-hak

kemanusiaan yang dimiliki oleh rakyat Libya. Dengan alasan ini maka Resolusi 1970 dan 1973

diterapkan oleh Security Council pada bulan Februari hingga Maret 2012. Sebelumnya, menurut

berita yang tersebar, negara-negara Liga Arab, Afrika, serta organisasi-organisasi internasional

telah menyuarakan agar Khadafi memberhentikan aksi kejamnya tersebut. Secara singkat, pada

akhirnya rezim Khadafi tumbang oleh akibat desakan-desakan yang timbul.

Meski masyarakat internasional menyerukan keprihatinan yang timbul dalam publik

internasional namun kita juga harus melihat bahwa dalam aksi nyata yang dilakukan oleh

Security Council PBB adalah intervensi yang sarat akan kepentingan dari negara-negara yang

berdiri dibelakangnya. Dapat kita ketahui pada awalnya negara-negara besar seperti China,

Rusia, dan negara-negara yang tergabung dalam aliansi NATO menyadari dunia harus bertindak.

Pada awalnya intervensi oleh PBB terlihat memang untuk kepentingan kemanusiaan warga

sipil Libya. Hal ini mulai berubah arah setelah gagalnya resolusi 1970 dan mulai diterapkannya

resolusi 1973 yang memberlakukan kebijakan no-fly zone, dimana dapat dilihat telah

1 Adams, S. (2015). Libya and the Responsibility to Protect: Results and Prospects | Global Policy Journal - Practitioner, Academic, Global Governance, International Law, Economics, Security, Institutions, Comment & Opinion, Media, Events, Journal. [online] Globalpolicyjournal.com. Available at: http://www.globalpolicyjournal.com/blog/28/03/2014/libya-and-responsibility-protect-results-and-prospects [Accessed 28 Nov. 2015].

11

Page 15: Responsibility to Protect di Krisis Libya

meningkatnya peranan negara-negara NATO dan dengan China, Rusia, India, Brazil dan Jeman

yang tidak memberikan suara (abstain) mereka dalam voting yang dilakukan oleh PBB. Namun

apa yang terjadi adalah pemerintahan Khadafi semakin melakukan kekerasan bahkan hingga

pemerkosaan dan kekerasan seksual yang ditargetkan pada rakyat yang beroposisi dengan

pemerintahannya. Dengan demikian tidak segan-segan The Prosecuter atau Jaksa dari PBB

kemudian menangkap Khadafi dan antek-anteknya. Hingga akhirnya perang sipil antara rakyat

pro-Khadafi dan yang memberontak terhadap pemerintah di dukung oleh NATO sehingga terjadi

ekskalasi ketengangan militer. Namun setelah intervensi militer yang dihendaki oleh NATO

berlangsung sekitar tiga minggu, perdebatan mengenai arti dari resolusi-resolusi ini dan

implementasinya telah meningkatkan kesengitan dalam markas besar PBB. Mengapa? Karena

dalam penerapannya, intervensi militer ini telah dianggap keluar dari batas yang semestinya.

Dalam konsensus internasional mengenai RtoP terhadap Libya, memang masyarakat

internasional mendukung gerakan kemanusiaan untuk menolong warga sipil Libya yang tak

bersalah2, namun disisi lain perdebatan berlanjut dengan alasan bahwa RtoP yang diperbolehkan

terjadi bukanlah semata-mata sebagai izin untuk melakukan intervensi militer yang ceroboh. Hal

ini menjadi sorotan karena pelatihan yang diberikan NATO kepada kelompok pemberontak

sekaligus mengijinkan pasokan senjata untuk mendukung para pemberontak dianggap salah,

menurut laporan BBC dari 2000 hingga 3000 korban jiwa dalam kasus Libya terdapat 100 orang

yang mati terbunuh oleh kelompiok pemberontak3. Meskipun memang NATO mengklaim telah

menyerang markas Khadafi di Tripoli namun tidak semestinya intervensi ini menghilangkan

dengan seenaknya kedaulatan sebuah negara, meski memang intervensi kemanusiaan ini

melemahkan kedaulatan negara. Telah menjadi rahasia umum bahwa intervensi atas Libya ini

dilakukan oleh negara-negara Barat terutama negara-negara aliansi NATO yang bertujuan utama

untuk menjatuhkan rezim Khadafi bukan berfokus pada bantuan kemanusiaan sebagaimana

mestinya. Secara khusus, ada yang berpandangan peranan NATO dalam intervensi militernya

tidak lagi semata-mata bersifat defensive namun telah menjadi anggota dari pemberontak

pemerintah Libya, dimana tujuan awalnya adalah untuk melindungi rakyat di Benghazi telah

bergeser haluan menjadi campur tangan politik untuk menggulingkan pemerintahan di Tripoli.

2 ICRtoP Blog, (2012). Debating the Responsibility to Protect in Libya, Syria. [online] Available at: http://icrtopblog.org/2012/04/06/debating-the-responsibility-to-protect-in-libya-syria/ [Accessed 28 Nov. 2015].3 BBC, ‘Counting the cost of NATO’s mission in Libya’, 31 October 2011. Accessed at:http://www.bbc.co.uk/news/world-africa-15528984, 11 February 2014.

12

Page 16: Responsibility to Protect di Krisis Libya

Selain itu, menurut artikel yang ditulis oleh Mohammed Nuruzzaman, Revisiting

‘Responsibility to Protect’ after Libya and Syria (2014), ia melihat bahwa yang terjadi pada

kasus Lybia adalah diskriminasi yang dilakukan negara-negara dengan kekuatan besar terhadap

negara lemah dalam kasus ini Libya. Ia juga mengutip tulisan salah seorang jurnalis New York

Times, David Rieff, ‘Regime change became the West’s policy, and the civilian-protection

mandate of R2P was its cover’4. Hal ini melahirkan pertanyaan mengapa aliansi Barat melakukan

intervensi hingga kedalam internal pemerintahan Libya? Nuruzzaman berargumen bahwa US

dan aliansi NATO lainnya, memliki strategi rahasia tersembunyi dengan mendukung

pemberontak anti-Khadafi. Khadafi pada dasarnya memang tidak bersahabat dengan Barat,

setelah kejadian pengemboman Lockerbie dan kegiatan-kegiatan investasi Khadafi di Afrika

yang bertajuk pembebasan Afrika dari imperialisme Barat5 membuat negara-negara Barat

kurang menyukainya. Disisi lain, intervensi terhadap Libya ini sulit dikatakan sebagai bentuk

altruism dan kebaikan moral yang dimiliki oleh aliansi Barat melihat sumber minyak di Libya

cukup menggiurkan, meski hanya 2% dari pasokan minya dunia, namun hal ini disebut-sebut

sebagai salah satu penyebab kegigihan NATO menggulingkan rezim Khadafi. Partai anti-

Khadafi yaitu NTC (National Transitional Council) dan negara-negara aliansi barat yang

membawa perusahaan-perusahaan minyak mereka telah melakukan transaksi minyak sebagai

imbalan dilancarkannya penyerangan NATO ke Tripoli. Sedangkan, akun pendapatan minyak

untuk pendapatan luar negeri Libya yaitu sebesar 95% atau senilai $44 miliar pada 2010. Hingga

saat ini pertanyaan yang terus dialirkan para peng-kritik kepada Libya adalah siapakah yang akan

meraup keuntungan atas minyak tersebut? Libya dahulu telah mencapai tingkat ekspektansi

hidup tertinggi dan angka kematian bayi terendah se-Afrika. Sehingga Cameron dan Sarkozy

yang menyuarakan demokrasi terhadap Libya saat ini mengatakan “Libyan people should know

that their free health care and education are under threat. NATO and imperialism out of

Libya!”6.

4 David Rieff, ‘R2P, R.I.P.’, The New York Times, 7 November 2011. Accessed at:http://www.nytimes.com/2011/11/08/opinion/r2p-rip.html?pagewanted=all, 7 February 2014.5 CounterPsyOps, (2012). Gaddafi placed $97 Billion to free Africa from imperialism. [online] Available at: http://counterpsyops.com/2012/05/24/gaddafi-placed-97-billion-to-free-africa-from-imperialism/ [Accessed 28 Nov. 2015].6 Rayne, T. (2015). NATO war on Libya - Eyes on the prize / FRFI 223 Oct / Nov 2011. [online] RCG. Available at: http://www.revolutionarycommunist.org/africa/libya/2312-nato-war-on-libya [Accessed 28 Nov. 2015].

13

Page 17: Responsibility to Protect di Krisis Libya

Hingga saat ini perdebatan mengenai apakah intervensi militer yang dilakukan NATO

merupakan suatu kesalahan masih menuai pro dan kontra7. Apakah dengan tidak dilakukannya

intervensi militer internasional akan menghasilkan dampak yang lebih baik? Mungkin saja.

Namun yang jelas kekuatan politik pasca intervensi dari NATO ikut memutuskan siapa yang

akan diselamatkan dan kebijakan apa yang akan diterapkan. Meski demikian intervensi militer

internasional terhadap Libya dipandang berhasil karena telah menyelamatkan nyawa terhadap

ancaman ‘rivers of blood’ yang dikatakan oleh Khadafi, Saif al-Islam. Dibalik pro dan kontra

yang terjadi di tatanan politik internasional, bila dibandingkan dengan RtoP PBB terhadap

Rwanda memiliki dinamika yang berbeda. Di Rwanda, pergerakan PBB hingga memberikan

bantuan bagi rakyat sipil disana memiliki rentang waktu yang relative lebih lama dibandingkan

dengan yang terjadi di Libya. Disini kita dapat melihat bahwa konsep RtoP yang dipandang

baik, sulit dijalankan secara murni. ‘There’s no such thing as free lunch’ mungkin dapat menjadi

kata sandungan terhadap apa yang dilakukan aliansi Barat atas Libya.

BAB IV

PENUTUP

7 Robins, N. (2015). Was The 2011 Libya Intervention A Mistake?. [online] The Huffington Post. Available at: http://www.huffingtonpost.com/2015/03/07/libya-intervention-daalder_n_6809756.html [Accessed 28 Nov. 2015].

14

Page 18: Responsibility to Protect di Krisis Libya

A. Kesimpulan

Kasus penegakkan demokrasi di Libya menjadi kasus pertama penerapan RtoP di negara

anggota PBB, setelah sebelumnya telah diimplementasikan di Kenya yang notabenenya bukanlah

merupakan negara anggota PBB. Mengulas sedikit kembali apa yang telah terjabarkan, konflik di

Libya ini merupakan puncak kegerahan masyarakat Libya akan rezim Khadafi yang telah

berkuasa selama kurang lebih setengah abad, yang dianggap telah melewati batas kewajaran,

terlebih lagi akan usaha-usaha kotor yang dilakukannya di balik kelanggengan kekuasaannya

tersebut. Pecahnya sebagian rakyat Libya ke dalam dua kubu, kubu pro-Khadafi dan anti-

Khadafi, nyatanya menyebabkan meletusnya perang internal yang berlangsung selama kurang

lebih tujuh bulan lamanya. Tak hanya itu, bahkan karena peperangan ini pula banyak warga sipil,

yang tidak memiliki sangkut paut akan pro dan kontra fenomena ini, yang ikut terbunuh, tak

terkecuali wanita dan anak-anak yang seharusnya menjadi pihak-pihak yang terlindungi.

Memang, tidak boleh menutup mata, Khadafi telah membawa Libya melakukan pencapaian-

pencapaian yang unggul, bahkan terbilang lebih maju dibandingkan negara Afrika lainnya.

Namun di samping itu, nyatanya pemberontakan dari anti rezim Khadafi dianalisir merupakan

wujud protes sekumpulan rakyat atas ketidaksetujuannya terhadap kebijakan-kebijakan otoriter

Khadafi dan unsur nepotisme dalam rezimnya, keinginan mereka akan perubahan dalam

kehidupan politik dan sosial, keinginan untuk di dengar, serta tuntutan hak mereka sebagai warga

negara.

Karena peperangan yang tak kunjung usai serta tumbangnya nyawa ribuan warga sipil, maka

PBB mulai mengambil sikap. RtoP sebagai sebuah wacana yang telah dicanangkan jauh-jauh

hari dirasa perlu diimplementasikan dalam kasus ini. Hal ini tak terlepas dari pandangan

masyarakat internasional bahwa apa yang terjadi di Libya sudah merupakan tindakan genosida

dan juga kejahatan manusia, karena korbannya tak hanya yang terlibat langsung dan memihak

pada peperangan internal itu sendiri, namun juga mereka-mereka yang tidak condong ke pihak

manapun. Karena korban yang terus berjatuhan ini, Libya pun dianggap gagal melindungi warga

negaranya. Maka dari itu muncul gagasan, bahwa diperlukan bantuan dari pihak luar dalam

menengahi kasus ini, mengingat dalam gagasan RtoP sendiri ditekankan peranan masyarakat

internasional yang turut memiliki, bukan hanya sekedar hak, namun telah menjadi tanggung

15

Page 19: Responsibility to Protect di Krisis Libya

jawab terhadap perlindungan warga negara yang termasuk bagian dari konsep to react dalam tiga

konsep RtoP tersebut.

Nyatanya gagasan RtoP inilah yang dijadikan alasan turunnya NATO, untuk menengahi

konflik internal dalam Libya tersebut. Dalam sub-bab kesimpulan ini, kami akan menjabarkan

relevansi akan syarat-syarat pemberlakuan intervensi militer yang telah disebutkan dalam bab 2

terhadap peran RtoP dalam kasus ini. Berdasarkan syarat Just Cause, intervensi militer dari

NATO ini memang telah memiliki alasan kuat yaitu mengenai pelanggaran kemanusiaan yang

mana telah memakan banyak korban jiwa. Lalu dalam syarat Right Intention, intervensi ini

dibenarkan mengingat tujuan awalnya ialah untuk menghentikan pelanggaran kemanusiaan yang

telah terjadi dalam hitungan bulan. Berdasarkan syarat Last Resort, intervensi ini pun dilakukan

karena usaha jalur damai telah ditempuh namun tidak berhasil sehingga dunia internasional

dianggap perlu turun tangan. Right Authority sebagai syarat mutlak pun telah terpenuhi, karena

turunnya NATO pun telah disetujui oleh PBB.

Namun, menilik Proportional Means dan Reasonable Prospects sebagai kedua syarat

lainnya menurut kelompok kami tidaklah bijak jika menganggapnya telah dibenarkan

sepenuhnya. Hal ini dikarenakan dalam ‘Proportional Means’ seharusnya berarti intensitas dan

intervensi militer yang dilakukan hanya boleh secukupnya saja, namun dalam kasus ini kami

melihat bahwa NATO turut memiliki peran, walaupun secara implisit, dalam penerapan

kebijakan Libya setelah konflik ini. Selain itu dalam ‘Reasonable Prospects’ yang mana

seharusnya menjamin bahwa intervensi militer tidak memperparah kondisi, kelompok kami

justru menilai hal tersebut tidak terjadi. Karena nyatanya, dalam intervensi NATO, tujuan awal

untuk menengahi kejahatan berdasarkan azas kemanusiaan justru melenceng menjadi alat dan

senjata bagi pasukan anti-Khadafi. Dan hal ini jelas berimbas pada kondisi yang semakin parah,

karena tujuan NATO pun ikut menjadi pembasmi pasukan pro-Khadafi yang justru memperparah

peperangan dan nyatanya tetap turut menghilangkan nyawa warga-warga sipil dalam usahanya

menyerang pasukan pro-Khadafi. Intervensi NATO dalam ranah politik ini kami nilai tidak

terlepas dari faktor status Libya sebagai negara pemasok minyak dunia, serta sebagai imbas balik

akan hubungan Libya dengan negara barat, khususnya Amerika, yang memang tidak begitu baik

sejak tahun 1980-an. Sehingga hal ini turut mencoreng syarat ‘Just Cause’ dan ‘Right Intention’.

Maka dalam kesimpulan kami ini, kami tegaskan bahwa RtoP dalam penerapannya di konflik

16

Page 20: Responsibility to Protect di Krisis Libya

Libya sarat akan landasan dasar RtoP itu sendiri, dan turut dipengaruhi oleh kepentingan-

kepentingan negara dibalik NATO yang tertutupi oleh alasan ‘kemanusiaan’. Namun terlepas

dari alasan intervensi tersebut. RtoP dalam konflik ini memang telah berhasil dijalankan.

B. Saran

Berdasarkan penjabaran serta pembahasan yang sudah dilakukan, maka ada beberapa hal

yang dapat kita pelajari bersama sebagai masyarakat internasional yang turut bertanggungjawab

dalam melindungi hak asasi manusia segenap saudara kita di seluruh penjuru dunia terkait

konflik di Libya ini. Oleh karena itu, berikut merupakan saran yang penulis dapat ajukan kepada

beberapa pihak, antara lain:

1. Pemerintah Negara

a. Diharapkan dapat lebih merangkul dan mengikutsertakan rakyat dalam

pemerintahannya, terutama dalam pembuatan kebijakan. Karena pada dasarnya

tugas pemerintah ialah mengabdi kepada rakyat.

b. Meniadakan dan menghapuskan sistem pemerintahan yang bersifat otoriter.

c. Untuk lebih peka dan tidak menutup mata pada hak-hak dasar individu yang

patutnya diperjuangkan.

2. PBB

a. Ketegasan dalam mengambil sikap,

b. Penyelarasan dalam visi dan misi, khususnya dalam memperjuangkan hak asasi

manusia.

c. Berpegang teguh dalam visi serta tujuan awal, dan tidak turut ikut campur

dalam persoalan politik suatu negara sehingga tidak dianggap merendahkan

kedaulatan suatu negara.

d. Harus ada kerjasama dengan pihak terkait dalam upaya memperjuangkan HAM,

dan menjunjung tinggi kenetralitasan, bukan kecenderungan keberpihakan akan

kepentingan petinggi di belakang PBB.

DAFTAR PUSTAKA

17

Page 21: Responsibility to Protect di Krisis Libya

Adams, Simon. (2012) 'Libya And The Responsibility To Protect: Results And Prospects'. Globalpolicyjournal.com. [Accessed 28 Nov. 2015].

Adams, Simon.  (2012). Libya And The Responsibility To Protect. 1st ed. Global Centre for the Responsibility to Protect. [Accessed 28 Nov. 2015].

Agus, S. (2012). LATAR BELAKANG PERANG SIPIL DI LIBYA TAHUN 2011. [online] Repository.upnyk.ac.id. Available at: http://repository.upnyk.ac.id/3500/ [Accessed 27 Nov. 2015].

Anon, (2015). 1st ed. [ebook] Available at:

http://www.responsibilitytoprotect.org/files/Responsibility%20to%20Protect%20Powerpoint

%20Presentation.pdf [Accessed 27 Nov. 2015].

CounterPsyOps, (2012). Gaddafi placed $97 Billion to free Africa from imperialism. [online]

Available at: http://counterpsyops.com/2012/05/24/Gaddafi-placed-97-billion-to-free-africa-

from-imperialism/ [Accessed 28 Nov. 2015].

France-Presse, A. (2012). The arrest that triggered the revolt to remove Gaddafi | The National. [online] Thenational.ae. Available at: http://www.thenational.ae/news/world/africa/the-arrest-that-triggered-the-revolt-to-remove-Gaddafi [Accessed 27 Nov. 2015].

Human Rights Watch,. (2012). 'Libya: New Proof Of Mass Killings At Gaddafi Death Site'. Web. [Accessed 28 Nov. 2015].

HumanRightsWatch.org,.(2011) 'Libya: NATO Air Strikes And Civilian Deaths'. [Accessed 28 Nov. 2015].

ICRtoP Blog, (2012). Debating the Responsibility to Protect in Libya, Syria. [online] Available at: http://icrtopblog.org/2012/04/06/debating-the-responsibility-to-protect-in-libya-syria/ [Accessed 28 Nov. 2015].

International Commission on Intervention and State Sovereignty, (2001). The Responsibility To

Protect. Ottawa: International Development Research Centre.

Nuruzzaman, M. (2015). Revisiting 'Responsibility to Protect' after Libya and Syria. [online] E-International Relations. Available at: http://www.e-ir.info/2014/03/08/revisiting-responsibility-to-protect-after-libya-and-syria/#_ftn10 [Accessed 28 Nov. 2015].

Responsibilitytoprotect.org, (n.d.). Crisis in Libya. [online] Available at: http://www.responsibilitytoprotect.org/index.php/crises/crisis-in-libya#background [Accessed 27 Nov. 2015].

18

Page 22: Responsibility to Protect di Krisis Libya

Rayne, T. (2015). NATO war on Libya - Eyes on the prize / FRFI 223 Oct / Nov 2011. [online] RCG. Available at: http://www.revolutionarycommunist.org/africa/libya/2312-nato-war-on-libya [Accessed 28 Nov. 2015].

Robins, N. (2015). Was The 2011 Libya Intervention A Mistake?. [online] The Huffington Post. Available at: http://www.huffingtonpost.com/2015/03/07/libya-intervention-daalder_n_6809756.html [Accessed 28 Nov. 2015].

The Huffington Post, (2011). Libya, the 'Responsibility to Protect,' and Double Standards.

[online] Available at: http://www.huffingtonpost.com/stephen-zunes/libya-the-responsibility-

_b_841168.html [Accessed 27 Nov. 2015].

Un.org, (2015). Office of The Special Adviser on The Prevention of Genocide. [online] Available

at: http://www.un.org/en/preventgenocide/adviser/videos/video_5.shtml [Accessed 27 Nov.

2015].

Un.org, (2015). Office of The Special Adviser on The Prevention of Genocide. [online] Available

at: http://www.un.org/en/preventgenocide/adviser/responsibility.shtml [Accessed 27 Nov. 2015].

Un.org, (2015). 'Outreach Programme On The Rwanda Genocide And The United Nations'. [Accessed 28 Nov. 2015].

Wfuna.org, (2015). What is the Responsibility to Protect? | World Federation of United Nations

Associations | WFUNA. [online] Available at: http://www.wfuna.org/what-is-the-responsibility-

to-protect-%E2%80%93-q-and-a [Accessed 27 Nov. 2015].

19