Download - Refleksi Kasus Bph
REFLEKSI KASUS
MANAJEMEN BPH
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah
Rumah Sakit Jogja
Diajukan Kepada :
dr. Tri Sudaryono, Sp.B
Disusun Oleh :
Yunita Puji Lestari
20070310157
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2012
1
REFLEKSI KASUS
Manajemen BPH
1. KASUS
Pasien datang ke poli bedah dikarenakan nyeri dan susah BAK 2 bulan
yang lalu. Pasien mengeluh sering BAK dan merasa BAK tidak tuntas 9
bulan yang lalu. Oleh dokter bedah didiagnosis BPH dan pasien disarankan
operasi.
Nama : Bp. Dj
Usia : 67 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Mantup, Banguntapan, Bantul
Bangsal : Bougenvil
Nomor RM : 328047
Dokter yang merawat : dr.Tri Sudaryono, Sp.B
Dokter Pembimbing : dr.Tri Sudaryono, Sp.B
2. PERMASALAHAN
Bagaimana manajemen penatalaksanaan pasien dengan BPH ?
3. PEMBAHASAN
A. DEFINISI
2
Hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi
berupa hiperplasia kelenjar periuretral atau hiperplasia fibromuskular yang
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer. Namun orang sering
menyebutnya dengan hipertropi prostat walaupun secara histologi yang
dominan adalah hiperplasia.
B. ETIOLOGI
Etiologi dari BPH belum dapat dimengerti secara lengkap, tetapi
nampaknya multifactorial dan diatur oleh sistem endokrin. Beberapa hipotesis
menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan
kadar dihydrotestosteron (DHT) dan proses aging (proses menua).
Tabel. Teori etiologi BPH
C. PATOFISIOLOGI
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars
prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli
harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang
terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
Teori Penyebab EfekDihydrotestosteron ↑ 5-α reductase dan reseptor
androgenhiperplasia epitel dan stroma
Imbalans oestrogen-testosteron
↑ oestrogens ↓ testosteron hiperplasia stroma
Interaksi stromal – epitel
↑ epidermal growth factor/ fibroblast growth factor ↓ transforming growth factor β
hiperplasia epitel dan stroma
Penurunan kematian sel (↓ apoptosis)
↑ oestrogen ↑ waktu hidup sel stroma dan epitelium
Teori stem cells ↑ stem cells proliferasi transit cells
3
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan semakin
meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan
ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan
pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-
buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung
terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat
jatuh ke dalam gagal ginjal.
usia
hormon Interaksi stroma – epitel DHT Teori stem cell
hiperplasia prostat
Penyempitan lumen uretra posterior
Tekanan intravesikal ↑
Resistensi pada leher buli-buli
otot detrusor menebalFase kompensasi
Detrusor melemah
Dekompensasi detrusor
Tidak mampu berkontraksi
Retensi urin
Hidronefrosis
4
Disfungsi sel kemih bag. Atas
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya
gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik
ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan
mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urin
(obstruksi infravesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot
polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor.
Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot
polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari
stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh
komponen mekanik.
D. MANIFESTASI KLINIS
Hiperplasia prostat hampir mengenai semua orang tua tetapi tidak
semuanya disertai dengan gejala-gejala klinik. Gejala klinis yang menonjol
dari hiperplasia prostat adalah sumbatan saluran kencing bagian bawah.
Gejala hiperplasia prostat biasanya memperlihatkan dua tipe yang
saling berhubungan, obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi terjadi karena otot
detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup
lama sehingga kontraksi terputus-putus .
Tanda obstruksi :
- Menunggu pada permulaan kencing (hesistency)
- Pancaran kencing terputus-putus (intermitency)
- Rasa tidak puas sehabis kencing
- Urin menetes pada akhir kencing (terminal dribling)
- Pancaran urin jadi lemah
Gejala iritasi biasanya lebih memberatkan pasien dibandingkan
obstruksi. Gejala iritasi timbul karena pengosongan buli-buli yang tidak
sempurna pada akhir kencing atau pembesaran prostat menyebabkan
ransangan pada buli-buli, sehingga buli-buli sering berkontraksi meskipun
Gangguan ekskresi urin
5
belum penuh. Bila terjadi dekompensasi akan terjadi retensi urin sehingga
urin masih berada dalam buli-buli pada akhir kencing. Retensi urin kronik
menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal
ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi.
Tanda iritasi :
- Rasa tidak dapat menahan kencing (urgensi)
- Terbangun untuk kencing pada saat tidur malam hari (nocturia)
- Bertambahnya frekuensi kencing
- Nyeri pada waktu kencing (disuria)
Tabel 2. IPSS
Dari IPSS (International Prostate Symptom Score, IPSS), gejala LUTS
dikelompokkan dalam 3 derajat, yaitu:
- Ringan : skor 0-7
- Sedang : skor 8-18
- Berat : skor 19-35
Jika pada waktu kencing penderita hampir selalu mengedan, lama
kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat
sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli. Adanya batu saluran
kemih menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria.
Dalam 1 bulan terakhir tidak sama < 1 x dlm 5 <50% ±50% > 50% hampir
sekali kejadian kejadian kejadian kejadian selalu Terasa sisa kencing 0 1 2 3 4 5
Sering kencing 0 1 2 3 4 5
Terputus-putus 0 1 2 3 4 5
Tidak dapat menunda 0 1 2 3 4 5
Pancaran lemah 0 1 2 3 4 5
Mengejan 0 1 2 3 4 5
Kencing malam 0 1 2 3 4 5Total
6
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa
urin setelah penderita kencing spontan. Sisa urin ditentukan dengan
mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Volume sisa urin
setelah kencing normal pada pria dewasa sekitar 35 ml. Sisa urin dapat juga
diketahui dengan ultrasonografi buli-buli setelah kencing, sisa urin lebih dari
100 ml, biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi
pada hiperplasia prostat. Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan
menentukan pancaran urin pada waktu kencing, cara pengukuran ini disebut
uroflowmetri. Angka normal untuk pancaran urin rata-rata 10-12 ml/detik
dengan pancaran maksimal sampai 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan
pancaran menurun antara 6-8 ml/detik, sedangkan pancaran maksimal
menjadi 15 ml/detik. Tetapi pada pemeriksaan ini tidak dapat membedakan
antara kelemahan otot detrusor dengan obstruksi intravesikal.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan radiologi,
seperti foto polos abdomen, dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit
ikutan seperti batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel saluran
kemih. Pembesaran prostat dapat dilihat lesi profusion prostat kontras pada
dasar buli-buli. Secara tidak langsung pembesaran prostat dapat diperkirakan
apabila dasar buli-buli pada gambaran sistogram tampak terangkat atau ujung
distal ureter membengkok ke atas berbentuk seperti mata kail.
Ultrasonografi dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal
(trans rectal ultrasography = TRUS). Untuk mengetahui pembesaran prostat,
pemeriksaan ini dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin
dan keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu. Pemeriksaan CT
Scan atau MRI jarang dilakukan. Pemeriksaan sitoskopi dilakukan apabila
pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan
mikrohematuria. Sitoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar
prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat
penonjolan prostat di dalam uretra.
E. DIAGNOSIS
7
The Third International Consultation on BPH menganjurkan untuk
menganamesa keluhan kencing terhadap setiap pria berumur 50 tahun atau
lebih jika ditemukan prostatismus lakukan pemeriksaan dasar standar
kemudian jika perlu dilengkapi dengan pemeriksaan tambahan.
Pemeriksaan standar meliputi :
Hitung skor gejala, dapat ditentukan dengan menggunakan skor IPSS
(International Prostate Symptom Score, IPSS)
Riwayat penyakit lain atau pemakai obat yang memungkinkan gangguan
kencing.
Pemeriksaan fisik khususnya colok dubur.
Pemeriksaan Tambahan :
Pemeriksaan uroflowmetri (pengukuran pancaran urin pada saat kencing)
Pemeriksaan TRUS-P (Transrectal Ultrasonography of the prostate)
Pemeriksaan serum PSA (Prostatic spesific antigen)
Pemeriksaan USG transabdominal
Pemeriksaan patologi anatomi (diagnosis pasti)
F. DIAGNOSIS BANDING
Kondisi obstruktif traktus urinarius bagian bawah lainnya, seperti
striktur uretra, kontrakur leher kadung kemih,batu buli-buli, atau karsinoma
prostat harus dipikirkan saat memeriksa pasien dengan dugaan BPH. Riwayat
pemakaian instrume tertentu diuretra, uretitis, atau trauma harus diketahui
untuk menyingkirkan dugaan striktur uretra atau kontraktur leher bulibuli.
Hematuria dan nyeri sering berhubungan dengan batu buli-buli. Karsinoma
prostat dapat dideteksi dengan kelainan pada rektal toucher atau kenaikan
kadar PSA.
Infeksi traktus urinarius, yang dapat menyerupai gejala iritaif BPH,
dapat dengan segera diketahui dari urinalisis dan kultur; bagaimanapun,
infeksi traktus urinarius dapat merupakan komplikasi dari BPH. Walaupun
keluhan saat kencing juga berhubungan denan karsinoma buli, khususnya
karsnoma insitu, urinalisis biasanya menunjukkan adanya hematuria. Selain
8
itu, pasien dengan kelainan buli neurogenik dapat jua memiliki tanda dan
gejala dari BPH, tetapi disertai adanya riwayat penyakit neurolgis, stroke,
diabetes melitus, atau trauma punggung. Sebagai tambahan, pada
pemeriksaan didapatkan berkurangya sensasi perineum atau ekstremitas
bagian bawah, gangguan pada tonus spinkter rektal atau reflex
blbokavernosus. Gangguan pada fungsi pencernaan (konstipasi) dapat juga
memperingatkan adanya kemungkinan sebab neurologis.
G. TERAPI
Ada beberapa pilihan terapi pasien BPH, dimana terapi spesifik dapat
diberikan untuk pasien kelompok tertentu. Pasien dengan gejala ringan
(symptom score 0-7), dapat hanya dilakukan watchful waiting. Pasien dengan
gejala sedang (symptom score 8-18), dapat diberikan terapi medikamentosa.
Pasien dengan gejala berat (symptom score 9-35), dilakukan operasi. Selain
itu, indikasi dilakukan operasi adalah:
- Retensi urin berulang
- Infeksi saluran kemih berulang
- Gross hematuria berulang
- Batu buli-buli / divertikel
- Insufisiensi ginjal.
- Dilatasi traktus atas (hidroureter, hidronefrosis).
Tabel. Penatalaksanaan BPH
9
1. Watchful waiting
Watchful waiting merupakan penatalaksanaan pilihan untuk pasien BPH
dengan symptom score ringan (0-7). Besarnya risiko BPH menjadi lebih
berat dan munculnya komplikasi tidak dapat ditentukan pada terapi ini,
sehingga pasien dengan gejala BPH ringan menjadi lebih berat tidak dapat
dihindarkan, akan tetapi beberapa pasien ada yang mengalami perbaikan
gejala secara spontan.
2. Medikamentosa
a. Penghambat alfa (alpha blocker)
Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-α1,
dan prostat memperlihatkan respon kontaktil terhadap pengaruh
penghambat alfa. Komponen yang berperan dalam mengecilnya
prostat dan leher buli-buli secara primer diperantarai oleh reseptor
α1a. Penghambatan terhadap alfa telah memperlihatkan hasil berupa
perbaikan subyektif dan obyektif terhadap gejala dan tanda (sign and
symptom) BPH pada beberapa pasien. Penghambat alfa dapat
diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor dan waktu paruhnya.
Contoh penghamba alpha yang ada antara lain prazosin, terazosin,
doxazosin dan yang lebih baru tamslosin (blokade selektif pada
Observasi Watchful waitingMedikametosa -alpha blocker : terazosin, prazosin, tamsulsin, dll
-supresi androgen : 5α-reduktase inhibitor -fitoterapi
Operasi konvensional
-Transurethral resection of the prostate (TURP)-Transurethral incision of the prostate (TUIP) -Open simple prostatectomy
Invasif minimal -Laser-Transurethral electrovaporization of the prostate-Hyperthermia-Transurethal needle ablation of the prostate (TUNA)-High Intensity focused ultrasound-Intraurethral stents-Transurethral balloon dilation of the prostate
10
reseptor α1a). Efek samping penghambat apha antara lain hipotensi
ortostaik, pusing, kelelahan, ejakulasi retrograd, rinitis dan sakit
kepala. Efek samping ini lebih sedikit pada penggunaan penghamba
α1a yang lebih selektif.
b. Penghambat 5α-Reduktase (5α-Reductase inhibitors)
Finasteride adalah penghambat 5α-Reduktase yang menghambat
perubahan testosterone menjadi dehidrotestosteron. Obat ini
mempengaruhi komponen epitel prostat, yang menghasilkan
pengurangan ukuran kelenjar dan memperbaiki gejala. Dianjurkan
pemberian terapi ini selama 6 bulan, guna mendapat efek maksimal
terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan perbaikan pada gejala-
gejala. Walupun begitu, perbakan gejala hanya terliat pada prostat
yang membesar >40 cm3. Efek samping termasuk penurunan libido,
penurunan volume ejakulat dan impotensi.
c. Fitoterapi
Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak tumbuh-
tumbuhan untuk tujuan medis. Penggunaan fitoterapi pada BPH telah
popular di Eropa selama beberapa tahun. Obat-obatan tersebut
mengandung bahan dari tumbuhan seperti Hypoxis rooperis, Pygeum
africanum, Urtica sp, Sabal serulla, Curcubita pepo, Populus temula,
Echinacea purpurea, dan Secale cerelea. Masih diperlukan penelitian
untuk mengetahui efektivitas dan keamanannya.
3. Operasi konvensional
a. Transurethral resection of the prostate (TURP)
Sembilan puluh lima persen simpel prostatektomi dapat dilakukan
melalui endoskopi. Umumnya dilakukan dengan anestesi spinal dan
dirawat di rumah sakit selama 1-2 hari. Perbaikan symptom score dan
aliran urin dengan TURP lebih tinggi dan bersifat invasive minimal.
Risiko TURP adalah antara lain ejakulasi retrograd (75%), impotensi
(5-10%) dan inkontinensia urin (<1%). Komplikasi tindakan ini antara
lain perdarahan, striktur uretra atau kontraktur leher buli, perforasi
11
kapsul prostat dengan ekstravasasi, dan pada kasus yang berat,
sindrom TUR yang berakibat hipervolemi, hiponatremi karena
absorpsi cairan irigasi yang hipotonik (H2O). Manifestasi klinik
sindrom TUR adalah mual, muntah, konfusi, hipertensi, bradikardi
dan gangguan visual. Risiko sindrom TUR meningkat pada waktu
reseksi yang melebihi 90 menit. Penatalaksanaanya termasuk
pemberian diuresis dan pada kasus yag berat, diberikan saline
hipertonik.
b. Transurethral incision of the prostate (TUIP)
Pada pasien dengan gejala sedang-berat dan prostat yang kecil sering
terjadi hyperplasia komisura posterior (kenaikan leher buli-buli).
Pasien dengan keadaan ini lebih mendapat keuntungan dengan insisi
prostat. Prosedur ini lebih cepat dan morbiditas lebih sedikit
dibandingkan TURP. Retrograde ejakulasi terjadi pada 25% pasien.
c. Open simple prostatectomy
Jika prostat terlalu besar untuk dikeluarkan dengan endoskopi, maka
enukleasi terbuka diperlukan. Prostat lebih dari 100 gram biasanya
12
dipertimbangkan untuk dilakukan enukleasi terbuka. Open
prostatectomy juga dilakukan pada BPH dengan divertikulum bulibuli,
batu buli-buli dan pada posisi litotomi tidak memungkinkan. Open
prostatectomy dapat dilakukan dengan pendekatan suprapubik ataupun
retropubik. Simple suprapubic prostatectomy (Frayer) dikerjakan
melalui pembukaan buli-buli dan pemilihan metode ini berhubungan
dengan adanya patologi pada buli. Pada metode simple retropubic
prostatectomy (Millin), buli tidak dibuka dan incisi langsung
dilakukan pada kapsul prostat.
4. Terapi minimal invasif
a. Laser
Dua sumber energi utama yang digunakan pada operasi dengan sinar
laser adalah Nd:YAG dan holmium:YAG. Teknik coagulation
necrosis salah satunya: transuretral laser-induced prostatectomy
(TULIP) yang dikerjakan dengan panduan ultrasonografi transrektal.
Teknik visual coagulative necrosis dikerjakan degan kontrol
cystoscopic. Teknik visual contact ablative dikerjakan dengan fiber
yang diletakkan langsung bersentuhan dengan jaringan prostat yang
dvaporisasi. Teknik lainnya adalah Interstitial laser therapy.
Keuntungan operasi dengan sinar laser adalah: kehilangan darah
minimal, jarang terjadi sindroma TUR, dapat mengobati pasien yang
sedang menggunakan antikoagulan, dan dapat dilakukan out patient
procedure. Sedangkan kerugian operasi dengan laser antara lain:
sedikit jaringan untuk pemeriksaan patologi, pemasangan kateter
postoperasi lebih lama, lebih iritatif, dan biaya besar.
b. Transurethral electrovaporization of the prostate
13
Transurethral electrovaporization of the prostate menggunakan
resektoskop. Arus tegangan tinggi menyebabkan penguapan jaringan
karena panas, menghasilkan cekungan pada uretra pars prostatika.
Prosedurnya lebih lama dari TUR.
c. Hyperthermia
Hipertermia gelomban mikro dihantarkan melalui kateter transuretra.
Alat lainnya mendinginkan mukosa uretra. Namun jika suhu lebih
rendah dari 45°C, alat pendingin tidak diperlukan.
d. Transurethal needle ablation of the prostate
Transurethal needle ablation of the prostate (TUNA) menggunakan
kateter yang didesain khusus melalui uretra. Jarum interstitial dengan
frekuensi radio kemudian keluar dari ujung kateter, melubangi mkosa
uretra pars prostatika. Penggunaan frekuensi radio tersebut untuk
memanaskan jaringan sehingga megakibatkan nekrosis koagulatif.
e. High-intensity focused ultrasound
Metode ini dilakukan dengan meletakkan probe ultrasonografi
didalam rektum yang akan menampilkan gambaran prostat dan
menghantarkan energi panas dari high-intensity focused ultrasound,
14
yang akan memanaskan jaringan prostat dan menjadi nekrosis
koagulasi.
f. Intraurethral stents
Intraurethral stents adalah alat yang ditempatkan pada fossa prostatika
dengan endoskopi dan dirancang untuk mempertahankan uretra pars
prostatika tetap paten.
g. Transurethral balloon dilation of the prostate
Balon dilator prostat ditempatkan dengan kateter khusus yang dapat
melebarkan fossa prostatika dan leher buli-buli. Lebih efektif pada
prostat yang ukurannya kecil (<40cm3). Teknik ini jarang digunakan
sekarang ini..
4. KESIMPULAN
Hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar periuretral atau hiperplasia fibromuskular yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer.
Etiologi dari BPH belum dapat dimengerti secara lengkap, tetapi nampaknya multifactorial dan diatur oleh sistem endokrin. Beberapa teori etiologi BPH antara lain : Dihydrotestosteron, Imbalans oestrogentestosteron, Interaksi stromal – epitel, Penurunan kematian sel (↓ apoptosis), ,Teori stem cells.
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra, sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya.
15
Gejala hiperplasia prostat biasanya memperlihatkan dua tipe yang saling berhubungan, obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi terjadi karena otot detrusor gagal berkontraksi, gejala iritasi timbul karena pengosongan buli-buli yang tidak sempurna pada akhir kencing.
Pasien dengan gejala ringan (symptom score 0-7), dapat hanya dilakukan watchful waiting. Pasien dengan gejala sedang (symptom score 8-18), dapat diberikan terapi medikamentosa. Pasien dengan gejala berat (symptom score 9-35), dilakukan operasi.
5. DAFTAR PUSTAKA
Grace , Pierce A., Borley , Neil R . At a Glance Ilmu Bedah .ed.
3.2006.Jakarta : PT. Erlangga
Wim de, Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Alih bahasa R. Sjamsuhidayat
Penerbit Kedokteran, EGC, Jakarta, 1997
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. EGC: Jakarta.
Yogyakarta, 5 Maret 2012
Pembimbing,
dr. Tri Sudaryono, Sp.B
16