Download - Referat Tifoid
1. Pendahuluan
Demam thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella thypi yang berkembang terutama di daerah tropis dan subtropis.
Penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah (Simanjuntak, C. H, 2009)
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid, Diseluruh
dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian setiap tahunnya. Demam
tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun
dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala
yang dialami anak lebih ringan dari pada dewasa. Hampir disemua daerah endemik,
insiden demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun (Nugroho, Susilo, 2011)
Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2008, demam
tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah
sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15%, urutan pertama
ditempati oleh diare dengan jumlah kasus 193.856 dengan proporsi 7,52%, urutan
ketiga ditempati oleh DBD dengan jumlah kasus 77.539 dengan proporsi 3,01%
(Departemen Kesehatan RI. 2009)
2. Definisi
Demam Typhoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang di
sebabkan oleh Salmonella Typhi. Penyebab utama dari penyakit ini adalah
mikroorganisme Salmonella Typhosa dan Salmonella Typhi, A, B, dan C.
Mikroorganisme ini banyak terdapat di kotoran, tinja manusia dan makanan atau
minuman yang terkena mikroorganisme yang di bawa oleh lalat. Sebenarnya sumber
utama dari penyakit ini adalah lingkungan yang kotor dan tidak sehat. Tidak seperti
virus yang dapat beterbangan di udara, mikroorganisme ini hidup di sanitasi yang buruk
seperti lingkungan kumuh, makanan dan minuman yang tidak higienis.
TYPHOID Page 1
3. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut
getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam
air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60ºC) selama
15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai
3 macam antigen, yaitu :
a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman.
Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahanterhadap formaldehid.
b. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
c. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas
di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam
antibodi yang lazim disebut aglutinin (Antonius, 2010; Made, 2008)
4. Patofisiologi
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak
bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus,
bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus
dinding usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi
Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai
folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada
yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa.
Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam
TYPHOID Page 2
folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe (Soedarmo, Sumarmo S
Poorwo, dkk, 2012).
Setelah melalui periode inkubasi yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan
virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari
habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara
ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh
Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung empedu dan
Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara
langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di
empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran
endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus.
Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa,
folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin
dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel,
sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan
pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo,
dkk, 2012).
5. Manifestasi Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan
penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi maka
ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing
dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita
terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh
TYPHOID Page 3
beraangsur- angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga
(WHO, 2003)
b. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan
tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan
keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai
nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin
pula normal bahkan dapat terjadi diare (Antonius, 2010)
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah (WHO,
2003).
6. Diagnosis
a. Anamnesis.
1. Demam lamanya lebih dari 1 minggu, sifatnya sore dan malam hari lebih
tinggi daripada pagi dan siang hari.
2. Gangguan saluran cerna : mulut bau, perut kembung atau tegang dan nyeri
pada perabaan, konstipasi atau diare, tinja berdarah dengan atau tanpa
lendiratau tinja berwarna hitam, anoreksia, muntah.
3. Gangguan kesadaran : lamanya, sifatnya (apatis sampai somnolen)
mengigau, halusinasi, dll.
b. Pemeriksaan Fisik
1. Demam, mulut bau, bibir kering dan pecah-pecah (rhagaden), lidah kotor
(coated tongue) dengan ujung dan tepi kemerahan dan tremor, perut
kembung, pembesaran hati dan limpa yang nyeri pada perabaan.
2. Tanda komplikasi di dalam saluran cerna : Perdarahan usus (tinja berdarah
/ melena), Perforasi usus (pekak hati hilang dengan atau tanpa tanda-tanda
peritonitis, bising usus hilang), Peritonitis (nyeri perut hebat, dinding perut
tegang dan nyeri tekan, bising usus melemah/hilang).
TYPHOID Page 4
3. Tanda komplikasi di luar saluran cerna : Meningitis, kolesistitis, hepatitis,
ensefalopati (kesadaran menurun), Bronkhopneumonia, dehidrasi dan
asidosis (Sudoyo, 2008)
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai
sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom
normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau
perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia
disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila
disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis
didapatkan limfositosis relatif,aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift
to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. Serum Glutamic
Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic Pyruvic Transaminase
(SGPT) seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
2. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan
lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positif dalam
minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika,
dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang
tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu
selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85%
dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam
tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3%
penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk
jangka waktu yang lama. Pemeriksaan mikrobiologi yang digunakan adalah
Kultur (Gall culture/ Biakan empedu). Uji ini merupakan baku emas (gold
standard) untuk pemeriksaan Demam Tifoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil :
jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid.
TYPHOID Page 5
Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid,
karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera
dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit
sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih
dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah
mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera
diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara
2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan
bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk
stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja (Rampengan, 2013)
3. Diagnosis serologic
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. Typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid
ini meliputi :
a. Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam
serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi
dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang
digunakan pada uij Widal adalah suspensi Salmonella typhi yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita
demam tifoid. Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O
dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer
aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita
demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada
pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari.
TYPHOID Page 6
Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu
memastikan diagnosis demam tifoid. Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai
berikut :
Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau
pernah menderita infeksi
Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini. Pada demam tifoid mula mula akan terjadi peningkatan titer
antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama
sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang
yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih
lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Banyak senter mengatur
pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang
terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H
banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi
aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).
a. Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan engan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibody IgG dalam
waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Ada 4
TYPHOID Page 7
interpretasi hasil :1) Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan
infeksi demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian. 2)
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid. 3) Skala > 6 adalah
positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid.
b. Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik
IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap
IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan
infeksi.. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode
Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan
pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila
digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut
yang cepat dan akurat. Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya
reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan
membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat
digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa
antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok
dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil
didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
c. Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
TYPHOID Page 8
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis
(Rampengan, 2013)
d. Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. Typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai
pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan
alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas
laboratorium yang lengkap (Rampengan, 2013).
7. Terapi
Pengobatan terhadap demam tifoid merupakan gabungan antara pemberian
antibiotik yang sesuai, perawatan penunjang termasuk pemantauan, manajemen cairan,
serta pengenalan dini dan tata laksana terhadap adanya komplikasi (perdarahan usus,
perforasi dan gangguan hemodinamik). Pemilihan antibiotik sebelum dibuktikan adanya
infeksi Samonella dapat dilakukan secara empiris dengan memenuhi kriteria berikut (1)
spektrum sempit, (2) penetrasi ke jaringan cukup, (3) cara pemberian mudah untuk
anak, (4) tidak mudah resisten, (5) efek samping minimal, dan (6) adanya bukti efikasi
klinis. Saat redanya demam (time of fever defervescence) merupakan parameter
keberhasilan pengobatan, dan saat tersebut menentukan efektifitas antibiotik. Bila suhu
turun, berarti membaik, sedang bila menetap mungkin ada infeksi lain, komplikasi, atau
kuman penyebab adalah MDRST (multidrug resistant S.typhi) Penggunaan antibiotik
yang dianjurkan selama ini adalah sebagai berikut : (Tumbelaka, 2003).
1. Lini pertama
a. Kloramfenikol, masih merupakan pilihan pertama dalam urutan antibiotik,
diberikan dengan dosis 50-100 mg/kgBB/hari secara intravena dalam 4 dosis
selama 10-14 hari. Banyak penelitian membuktikan bahwa obat ini masih cukup
sensitif untuk Salmonella typhi namun perhatian khusus harus diberikan pada
kasus dengan leukopenia (tidak dianjurkan pada leukosit <2000/ul)>
b. Ampisilin dengan dosis 150-200 mg/kgBB/hari diberikan peroral/iv selama 14
TYPHOID Page 9
hari,
c. Kotrimoksazol dengan dosis 10 mg/kgBB/hari trimetoprim, dibagi 2 dosis, selama
14 hari.
2. Lini ke dua
Diberikan pada kasus-kasus demam tifoid yang disebabkan S.typhi yang
resisten terhadap berbagai obat (MDR=multidrug resistance), yang terdiri atas :
a. Ceftriakson dengan dosis 50-80 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 10 hari .
Penyembuhan sampai 90% juga dilaporkan pada pengobatan 3-5 hari.
b. Cefixime dengan dosis 10-12 mg/kgBB/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis selama 14
hari, adalah alternatif pengganti seftriakson yang cukup handal.
c. Florokuinolon dilaporkan lebih superior daripada derivat sefalosporin diatas, dengan
angka penyembuhan mendekati 100% dalam kesembuhan kinis dan bakteriologis, di
samping kemudahan pemberian secara oral. Namun pemberian obat ini masih
kontroversial dalam pemberian untuk anak mengingat adanya pengaruh buruk
terhadap pertumbuhan kartilago. Siprofloksasin, 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis,
sudah dipakai untuk pengobatan. Demam biasanya turun dalam 5 hari. Lama
pemberian obat dianjurkan 2-10 hari. Penggunaan obat-obat ini dianjurkan pada
kasus demam tifoid dengan MDR.
d. Asitromisin dengan pemberian 5-7 hari juga telah dicoba dalam beberapa penelitian
dengan hasil baik, berupa penurunan demam sebelum hari ke 4. Aztreonam juga diuji
pada beberapa kasus demam tifoid pada anak dengan hasil baik, namun tidak
dianjurkan sebagai pengobatan lini pertama (Tumbelaka, 2003).
Pengobatan suportif akan sangat sangat menentukan keberhasilan pengobatan
demam tifoid dengan antibiotik. Pemberian cairan dan kalori yang adekuat sangat
penting. Penderita demam tifoid sering menderita demam tinggi, anoreksia dan diare,
sehingga keseimbangan cairan sangat penting diperhatikan. Pemberian antipiretik
masih kontroversial, di satu pihak demam diperlukan untuk efektifitas respons imun
dan pemantauan keberhasilan pengobatan, namun di pihak lain ketakutan akan
terjadinya kejang dan kenyamanan anak terganggu, sering membutuhkan pemberian
antipiretik. Dianjurkan pemberian antipiretik bila suhu di atas 38,5ºC. Terapi dietetik
pada anak dengan demam tifoid tidak seketat penderita dewasa. Makanan bebas serat
TYPHOID Page 10
dan mudah dicerna dapat diberikan. Setelah demam turun, dapat diberikan makanan
lebih padat dengan kalori yang adekuat. Pengobatan terhadap demam tifoid dengan
antibiotik memerlukan acuan data adanya angka kejadian demam tifoid yang bersifat
MDR. Pemberian kortikosteroid juga dianjurkan pada demam tifoid berat, misalnya
bila ditemukan status kesadaran delir, stupor, koma, ataupun syok. Deksametason
diberikan dengan dosis awal 3 mg/kbBB, diikuti dengan 1 mg/kgBB setiap 6 jam
selama 2 hari (Tumbelaka, 2003).
8. Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer
yang dapat dilakukan adalah dengan mengkonsumsi makanan sehat agar
meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk
menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang
benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa
menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian
makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan
perbaikan sanitasi lingkungan.
Selain itu dapat juga dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat
dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin
tifoid, yaitu :
1) Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum
selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi
pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama
proteksi 5 tahun.
2) Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine
(Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis
untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang
diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping
TYPHOID Page 11
adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan.
Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
3) Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara
intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil,
menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila
hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier
tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan (Antonius, 2010; Made,
2007).
Dari ketiga vaksin tersebut, yang ada dan tersedia di Indonesia adalah vaksin
polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini
dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat
komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya
tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat
terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid yang carier
perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui
kuman masih ada atau tidak. (Antonius, 2010; Made, 2007).
9. Komplikasi
9.1. Komplikasi Intestinal
a.Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang
tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita
mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila
terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam.
b.Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam
TYPHOID Page 12
tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah
kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi
lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
9.2. Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler
Kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis, trombosis dan
tromboflebitis.
b. Komplikasi darah
Anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler diseminata, dan
sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru
Pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih
Hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal
Glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang
Osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik
Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom
katatonia.
10. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan
tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan.
TYPHOID Page 13
Daftar Pustaka
Alan R. Tumbelaka.2003.Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Jakarta ;Ikatan Dokter Anak Indonesia: 37-46
Antonius H. Pudjiadi, Badriul Hegar, Setyo Handryastuti, Nikmah Salamia Idris, Ellen
P. Gandaputra, Eva Devita Harmoniati, penyunting. 2010.Diare Akut. Pedoman
Pelayanan Medis– Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: jilid I. IDAI
Departemen Kesehatan RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Depkes RI,
Jakarta
Garna Henry, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta :
Bagian Ilmu Kesehata Anak FKUI.
Made Tomik Nurya Wardana, Sianny Herawati, I Wayan Putu Sutirta Yasa.
2007.Diagnosis Demam Typhoid dengan Pemeriksaan Widal. Bagian/SMF
Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah
Rampengan, N, H. 2013.Antibiotik Terapi Demam Typhoid tanpa Komplikasi pada
Anak. Sari Pediatri, Vol. 14, No. 5.
Simanjuntak, C. H, 2009. Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian.
Cermin Dunia Kedokteran No. 83
Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.
Jakarta: IDAI
Sudoyo, Aru W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V.Jakarta: Interna
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
WHO. 2003.The Diagnosis, Treatment, and Prevention of Thypoid Fever. Geneva
TYPHOID Page 14