Download - Referat Pneumonia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pneumonia adalah salah satu penyakit yang menyerang saluran nafas bagian
bawah yang terbanyak kasusnya didapatkan di praktek-praktek dokter atau rumah
sakit dan sering menyebabkan kematian terbesar bagi penyakit saluran nafas bawah
yang menyerang anak-anak dan balita hampir di seluruh dunia.
Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyumbang terbesar
penyebab kematian anak usia di bawah lima tahun (anak-balita). Menurut Said, 2010,
pneumonia membunuh anak lebih banyak daripada penyakit lain apapun, mencakup
hampir 1 dari 5 kematian anak-balita, membunuh lebih dari 2 juta anak-balita setiap
tahun yang sebagian besar terjadi di negara berkembang. Oleh karena itu pneumonia
disebut sebagai pembunuh anak no 1 (the number one killer of children). Di negara
berkembang pneumonia merupakan penyakit yang terabaikan (the neglegted disease)
atau penyakit yang terlupakan (the forgotten disease) karena begitu banyak anak yang
meninggal karena pneumonia, namun sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada
masalah pneumonia.
Menurut WHO tahun 2008, insidens pneumonia anak-balita di negara
berkembang adalah 151,8 juta kasus pneumonia/ tahun, 10% diantaranya merupakan
pneumonia berat dan perlu perawatan di rumah sakit. Di negara maju terdapat 4 juta
kasus setiap tahun sehingga total insidens pneumonia di seluruh dunia ada 156 juta
kasus pneumonia anak-balita setiap tahun. Terdapat 15 negara dengan insidens
pneumonia anak-balita paling tinggi, mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus
di seluruh dunia. Lebih dari setengahnya terdapat di 6 negara, mencakup 44%
populasi anak-balita di dunia.
Menurut Kartasamita, 2010, pneumonia merupakan penyebab kesakitan dan
kematian utama pada balita. Setiap tahun lebih dari 2 juta anak di dunia meninggal
karena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), khususnya pneumonia. Sebagian besar
kematian terjadi di negara miskin, dimana pengobatan tidak selalu tersedia dan vaksin
sulit didapat. Menurunkan angka kematian pada anak karena infeksi saluran napas
akut, dalam hal ini pneumonia, menjadi prioritas di dunia. Menurut laporan Badan
Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), hampir 1 dari 5 balita di negara
berkembang meninggal disebabkan oleh pneumonia, namun hanya sedikit sekali
perhatian diberikan terhadap penyakit ini.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui definisi pneumonia
2. Mengetahui penyebab dari pneumonia
3. Mengetahui klasifikasi dari pneumonia
4. Mengetahui manifestasi klinis dari pneumonia
5. Mengetahui pemeriksaan fisik dan penunjang pneumonia
6. Mengetahui terapi dan komplikasi
7. Mengetahui prognosis
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/134/jtptunimus-gdl-mustofakam-6696-1-babi.pdf
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh
bermacam etiologi seperti virus, bakteri, mikoplasma, jamur atau bahan kimia/
benda asing yang teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan ventilasi
dengan perfusi (ventilation perfusion mismatch). Menurut anatomis pneumonia
pada anak dibedakan menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris, pneumonia lobularis
(bronkopneumonia), pneumonia interstitial (Mansjoer, 2000).
2.2 Klasifikasi
Menurut anatomis pneumonia dibedakan menjadi : (Bradley et.al., 2011)
1. Pneumonia lobaris
Pneumonia dimana seluruh lobus (biasanya 1 lobus) terkena infeksi secara
difusi. Penyebabnya adalah streptococcus pneumonia. Lesinya yaitu bakteri
yang dihasilkannya menyebar merata keseluruh lobus.
2. Bronkopneumonia
Pada bronkopneumonia terdapat kelompok infeksi pada seluruh jaringan
pulmo dengan multiple fokal infection yang terdistribusi berdasarkan tempat
dimana gerombolan bakteri dan debrisnya tersangkut di bronkus. Penyebab
utama adalah obstruksi bronkus oleh mukus dan aspirasi isi lambung lalu
bakteri terperangkap disana kemudian memperbanyak diri dan terjadi infeksi
pada pulmo. Bronkopneumonia terbagi menjadi 2 subtipe, yaitu :
a. Pneumonia aspirasi
Mekanisme infeksi terjadi saa partikel-partikel udara membawa bakteri
masuk keparu-paru. Banyak terjadi pada pasien post operasi dan pasien-
pasien dengan kondisi lemah.
b. Pneumonia intertitialis
Reaksi inflamasi melibatkan dinding alveoli dengan eksudat yang relatif
sedikit dan sel-sel leukosit PMN dalam jumlah relatif sedikit. Pneumonia
intertitialis biasanya ada kaitannya dengan ISPA. Penyebabnya adalah vrus
(influenza A, B, RSV dan rhinovirus) serta mycoplasma pneumonia.
Menurut berat ringannya, dibagi menjadi : (who)
a. Pneumonia ringan
Batuk/ kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
Napas cepat pada :
- Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/ menit
- Anak umur 2-11 bulan : ≥ 50 kali/ menit
- Anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali/ menit
- Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali/ menit
b. Pneumonia berat
Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut
ini :
- Kepala terangguk-angguk (head nodding)
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan didnding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing)
- Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas,
konsolidasi, dll)
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini :
- Napas cepat
- Suara merintih (grunting) pada bayi muda
- Pada auskultasi terdengar : creckles (ronkhi), suara pernapasan
menurun, suara pernapasan bronkial.
- Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai : tidak dapat menyusu
atau minum/ makan/ memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau
tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat.
Berdasar klinis dan epidemiologis :
a. Pneumonia komuniti
b. Pneumonia nosokomial
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised.
Berdasar bakteri penyebab :
a. Pneumonia bakterial / tipikal.
b. Pneumonia atipikal, disebebkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia.
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur. Pada penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised).
2.3 Epidemiologi
Di Indonesia ISPA masih mendapat perhatian cukup besar. Antara 40-60%
kunjungan di puskesmas adalah karena ISPA. ISPA dibagi menjadi pneumonia
dan nonpneumonia. Penyakit ISPA yang menjadi fokus program kesehatan adalah
pneumonia karena merupakan salah satu penyebab utama kematian anak (Depkes
RI, 2009). Menurut WHO (2006), pneumonia merupakan penyebab utama
kematian pada anak usia di bawah 5 tahun (balita), yaitu sekitar 19% atau sekitar
1,8 juta balita tiap tahunnya meninggal karena pneumonia. Angka ini melebihi
jumlah akumulasi kematian akibat malaria, AIDS, dan campak. Diperkirakan
lebih dari 150 juta kasus pneumonia terjadi setiap tahunnya pada balita di negara
berkembang, yaitu sekitar 95% dari semua kasus baru pneumonia di dunia.
2.4 Etiologi
Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung :
Usia, status imunologis, status lingkungan, kondisi lingkungan, status imunisasi,
faktor pejamu. Penyebab pneumonia antara lain adalah bakteri (streptococus
pneumoniae, staphylococus aureus), virus (Influenza, parainfluenza, adenovirus),
mikoplasma jamur (Candidiasis, histoplasmosis, aspergifosis, coccidioido
mycosis, cryptococosis, pneumocytis carini) dan senyawa kimia maupun partikel.
Berikut daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber
dari di negara maju : (Said, 2008)
Usia Etiologi tersering Etiologi terjarang
Lahir- 20 hari Bakteri : E.Coli, streptococcus
grup B, Listeria
monocytogenes
Bakteri : bakteri anaerob,
streptococcus grup D,
haemophillus
influenza,streptococcus
pneumonia
Virus : CMV, HMV
3 minggu – 3 bulan Bakteri : Clamydia
Trachomatis, streptococcus
pneumoniae
Virus : adenovirus, influenza,
parainfluenza 1,2,3
Bakteri : haemophilus influenza
tipe b, Bordetella Pertusis,
Staphylococcus aureus
Virus : CMV
4 bulan – 5 tahun Bakteri : Clamydia
pneumoniae, Mycoplasma
pneumoniae, Streptococcus
pneumoniae
Virus : adenovirus, rinovirus,
influenza, parainfluenza
Bakteri : haemophillus influenza
tipe b, Staphylococcus aureus
Virus : varicella zoster
5 tahun- remaja Bakteri :
Clamydia pneumoniae,
Mycoplasma pneumoniae
Bakteri : haemophillus
influenza, legionella sp
2.5 Faktor Resiko
Terdapat berbagai faktor risiko yang tercatat sebagai faktor risiko pneumonia
antara lain, pneumonia yang terjadi pada masa bayi (umur dibawah 2 bulan),
BBLR, tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat atau tidak
mendapat ASI eksklusif, malnutrisi, defisiensi vitamin A, asupan zink yang tidak
adekuat, tingginya prevalensi kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan
koinsidensi dengan penyakit lain seperti AIDS dan campak. Faktor lingkungan
seperti tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri dan asap rokok
serta polusi ruangan) dan lingkungan perumahan yang padat juga meningkatkan
kecendrungan balita untuk terserang pneumonia (Said, 2008; UNICEF/WHO,
2006; Misba dkk, 2009).
2.6 Patofisiologi
Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru.
Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis
dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal
berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme
pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai
leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas
yang diperantarai sel.
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila
virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian
bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas,
dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan
terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi
mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak
dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan ikat
paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia
bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah,
eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang
dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan
penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg
melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis
(ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya
hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja
jantung.
Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi
progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus,
resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara
enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk.
Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura
menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung
secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan
pembentukan perlekatan (Bennete, 2013).
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
2.7 Manifestasi Klinik
Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi
saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak
sampai 39-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak
sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping
hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai
pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana
pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013).
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya bronkopneumonia
ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):
1. Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal,
suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah retraksi
dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung;
orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang
bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas
menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada,
yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula dan
suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat
apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat
pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah
dibandingkan anak yang lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan fossae
supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat dipercaya
akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini terjadi akibat
“head bobbing”, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan
kepala disangga tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda
distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya kerusakan sistem saraf
pusat dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya distress
pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara abnormal
(contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung memperbesar pasase
hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan.
Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan
negatif faring selama inspirasi.
2. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi
paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
3. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
4. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang
dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun
rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi), keras atau
lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah
crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya).
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan
napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
2.8 Pemeriksaan Penunjang (pdt)
Laboratorium
1. Pada pemeriksaan darah tepi dapat terjadi leukositosis dengan hitung jenis
bergeser ke kiri
2. Bila fasilitas memungkinkan pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan
keadaan hipoksemia. Kadar PaCO2 dapat rendah, normal atau meningkat
tergantung kelainannya. Dapat terjadi asidosis respiratorik, asidosis metabolik
dan gagal napas.
3. Pemeriksaan kultur darah jarang memberikan hasil positif tetapi dapat
membantu pada kasus yang tidak menunjukkan respon terhadap penanganan
awal.
4. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumonia viral dan bakterial.
Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3
dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000
/mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis
respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah
bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan (Bennete, 2013).
Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan
peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang
tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus
bawah (Bennete, 2013).
Kriteria diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et.al., 2011):
1. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding
dada
2. Panas badan
3. Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)
4. Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
5. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)
Diagnosis pneumonia ringan
Di samping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja. Napas
cepat:
o pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: ≥ 50 kali/menit
o pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
Pastikan bahwa anak tidak mempunyai tanda-tanda pneumonia berat.
Diagnosis pneumonia berat
Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini:
- Kepala terangguk-angguk
- Pernapasan cuping hidung
- Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
- Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi, dll)
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
Napas cepat:
o Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit
o Anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali/menit
o Anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
o Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali/menit
Suara merintih (grunting) pada bayi muda
o Pada auskultasi terdengar:
o Crackles (ronki)
o Suara pernapasan menurun
o Suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
Kejang, letargis atau tidak sadar
Sianosis
Distres pernapasan berat.
Untuk keadaan di atas ini tatalaksana pengobatan dapat berbeda (misalnya:
pemberian oksigen, jenis antibiotik).
2.9 Penatalaksanaan
Tatalaksana pneumonia ringan :
- Anak di rawat jalan
- Beri antibiotik: Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari
selama 3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama
3 hari. Untuk pasien HIV diberikan selama 5 hari
Tindak lanjut:
Anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk membawa
kembali anaknya setelah 2 hari, atau lebih cepat kalau keadaan anak
memburuk atau tidak bisa minum atau menyusu.
Ketika anak kembali:
Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan
membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari.
Jika frekuensi pernapasan, demam dan nafsu makan tidak ada perubahan,
ganti ke antibiotik lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali 2 hari lagi.
Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani
sesuai pedoman di bawah ini.
Tatalaksana pneumonia berat
- Anak dirawat di rumah sakit
Terapi Antibiotik:
Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam),
yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak
memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya
terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral
(15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan
yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan
berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV
setiap 8 jam).
Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan
pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali
sehari).
Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan buat
foto dada.
Apabila diduga pneumonia stafilokokal (dijelaskan di bawah untuk
pneumonia stafilokokal), ganti antibiotik dengan gentamisin (7.5 mg/kgBB
IM sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam)
atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari –3 kali pemberian). Bila keadaan anak
membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral 4 kali
sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin
secara oral selama 2 minggu.
Terapi Oksigen :
Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat
Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi
oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila tersedia
oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap
harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi
tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna
Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.
Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan
oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau masker kepala tidak
direkomendasikan. Oksigen harus tersedia secara terus-menerus setiap
waktu.
Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau napas > 70/menit)
tidak ditemukan lagi.
Perawat sebaiknya memeriksa sedikitnya setiap 3 jam bahwa kateter
atau prong tidak tersumbat oleh mukus dan berada di tempat yang benar serta
memastikan semua sambungan baik.
Sumber oksigen utama adalah silinder. Penting untuk memastikan bahwa
semua alat diperiksa untuk kompatibilitas dan dipelihara dengan baik, serta
staf diberitahu tentang penggunaannya secara benar.
Perawatan penunjang
Bila anak disertai demam (> 39º C) yang tampaknya menyebabkan distres,
beri parasetamol.
Bila ditemukan adanya wheeze, beri bronkhodilator kerja cepat
Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan
oleh anak, hilangkan dengan alat pengisap secara perlahan.
Pastikan anak memperoleh kebutuhan cairan rumatan sesuai umur anak,
tetapi hati-hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi.
o Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.
o Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan
cairan rumatan dalam jumlah sedikit tetapi sering. Jika asupan
cairan oral mencukupi, jangan menggunakan pipa nasogastrik
untuk meningkatkan asupan, karena akan meningkatkan risiko
pneumonia aspirasi. Jika oksigen diberikan bersamaan dengan
cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung yang
sama.
Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan makanan. Beri
makanan sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai kemampuan anak dalam
menerimanya.
Pemantauan
Anak harus diperiksa oleh perawat paling sedikit setiap 3 jam dan oleh
dokter minimal 1 kali per hari. Jika tidak ada komplikasi, dalam 2 hari akan
tampak perbaikan klinis (bernapas tidak cepat, tidak adanya tarikan dinding
dada, bebas demam dan anak dapat makan dan minum).
Nutrisi (idai)
Pada anak dengan distress napas berat, pemberian makanan peroral
harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat NGT atau intravena. Tetapi
harus diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan pernapasan, khususnya
pada bayi/anak dengan ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan,
sebaiknya menggunakan ukuran yang terkecil.
Kriteria rawat inap idai
Bayi Anak
Saturasi oksigen ≤ 92%, sianosis,
frekuensi napas > 60x/menit, distress
pernapasan, apneu intermitten atau
grunting, tidak mau minum/ menetek,
keluarga tidak bisa merawat dirumah
Saturasi oksigen < 92%, sianosis,
frekuensi napas > 50x/menit, distress
pernapasan, grunting, terdapat tanda
dehidrasi, keluarga tidak bisa
merawat dirumah
Kriteria pulang idai
Gejala dan tanda pneumonia menghilang
Asupan peroral adekuat
Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (peroral)
Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah
2.10 Komplikasi
Jika anak tidak mengalami perbaikan setelah dua hari, atau kondisi
anak semakin memburuk, lihat adanya komplikasi atau adanya diagnosis lain.
Jika mungkin, lakukan foto dada ulang untuk mencari komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering terjadi adalah sebagai berikut:
a) Pneumonia Stafilokokus.
Curiga ke arah ini jika terdapat perburukan klinis secara cepat walaupun sudah
diterapi, yang ditandai dengan adanya pneumatokel atau pneumotoraks dengan
efusi pleura pada foto dada, ditemukannya kokus Gram positif yang banyak
pada sediaan apusan sputum. Adanya infeksi kulit yang disertai pus/pustula
mendukung diagnosis.
Terapi dengan kloksasilin (50 mg/kg/BB IM atau IV setiap 6 jam) dan
gentamisin (7.5 mg/kgBB IM atau IV 1x sehari). Bila keadaan anak
mengalami perbaikan, lanjutkan kloksasilin oral 50mg/kgBB/hari 4 kali
sehari selama 3 minggu.
Catatan: Kloksasilin dapat diganti dengan antibiotik anti-stafilokokal lain
seperti oksasilin, flukloksasilin, atau dikloksasilin.
b) Empiema. Curiga ke arah ini apabila terdapat demam persisten, ditemukan
tanda klinis dan gambaran foto dada yang mendukung.
Bila masif terdapat tanda pendorongan organ intratorakal.
Pekak pada perkusi.
Gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan pada satu atau kedua sisi
dada.
Jika terdapat empiema, demam menetap meskipun sedang diberi antibiotik
dan cairan pleura menjadi keruh atau purulen.
Tatalaksana
Drainase
Empiema harus didrainase. Mungkin diperlukan drainase ulangan
sebanyak 2-3 kali jika terdapat cairan lagi. Penatalaksanaan selanjutnya
bergantung pada karakteristik cairan. Jika memungkinkan, cairan pleura
harus dianalisis terutama protein dan glukosa, jumlah sel, jenis sel,
pemeriksaan bakteri dengan pewarnaan Gram dan Ziehl-Nielsen.
Terapi antibiotik
Bila pasien datang sudah dalam keadaan empiema, tatalaksana sebagai
pneumonia, tetapi bila merupakan komplikasi dalam perawatan, terapi
antibiotik sesuai dengan alternatif terapi pneumonia.
Jika terdapat kecurigaan infeksi Staphylococcus aureus, beri kloksasilin
(dosis 50 mg/kgBB/kali IM/IV diberikan setiap 6 jam) dan gentamisin
(dosis 7.5 mg/kgBB IM/IV sekali sehari). Jika anak mengalami perbaikan,
lanjutkan dengan kloksasilin oral 50-100 mg/kgBB/hari. Lanjutkan terapi
sampai maksimal 3 minggu.
Gagal dalam terapi
Jika demam dan gejala lain berlanjut, meskipun drainase dan terapi antibiotik
adekuat, lakukan penilaian untuk kemungkinan tuberkulosis.
Tuberkulosis.
Seorang anak dengan demam persisten ≥ 2 minggu dan gejala pneumonia
harus dievaluasi untuk TB. Lakukan pemeriksaan dengan sistem skoring untuk
menentukan diagnosis TB pada anak. Jika skor ≥ 6 berarti TB dan diberikan
terapi untuk TB. Respons terhadap terapi TB harus dievaluasi.
Anak dengan positif HIV atau suspek positif HIV.
Beberapa aspek terapi antibiotik berbeda pada anak dengan HIV positif atau
suspek HIV. Meskipun pneumonia pada anak dengan HIV/suspek HIV
mempunyai gejala yang sama dengan anak non-HIV, PCP, tersering pada
umur 4-6 bulan, merupakan penyebab tambahan yang penting dan harus
segera diterapi.
Beri ampisillin + gentamisin selama 10 hari, seperti pada pneumonia Jika
anak tidak membaik dalam 48 jam, ganti dengan seftriakson (80 mg/ kgBB
IV sekali sehari dalam 30 menit) jika tersedia.
Jika tidak tersedia, beri gentamisin + kloksasilin (seperti pada pneumonia).
Pada anak umur 2-11 bulan juga diberikan kotrimoksazol dosis tinggi (8
mg/kgBB TMP dan 40 mg/kg SMZ IV setiap 8 jam, oral 3x/hari) selama 3
minggu. Pada anak berusia 12-59 bulan, pemberian antibiotik seperti di
atas diberikan jika ada tanda PCP (seperti gambaran pneumonia interstisial
pada foto dada)
2.11 Prognosis ngastiah,2005. Perawatan anak sakit edisi 2. EGC: Jakarta
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat, mortalitas dapat
diturunkan sampai kurang dari 1%. Jika pasien disertai malnutrisi energi
protein dan pasien yang datang terlambat angka mortalitasnya masih tinggi.
2.12 Preventif
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko terhadap
kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain :
a.Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi DPT
(difteri, pertusis, tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2,3, dan 4 bulan.
b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada bayi
neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan bergizi pada balita. Di
samping itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi bayi dan anak-anak juga perlu
mendapat perhatian.
c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan.
d. Mengurangi kepadatan hunian rumah
2. Pencegahan sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya untuk mencegah orang yang
telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindari
komplikasi dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi
diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya
penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dilakukan antara lain :
a.Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral dan
penambahan oksigen.
b. Pneumonia ringan : Diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin atau
amoksisilin.
c. Bukan pneumonia : perawatan dirumah saja. Tidak diberkan antibiotik, bila
demam tinggi diberikan paracetamol. Jika anak mengalami nyeri tenggorokan,
beri penicillin dan dipantau selama 10 hari kedepan.
3. Pencegahan tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak munculnya
penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk kondisi anak,
mengurangi kematian serta usaha rehabilitasinya. Pada pencegahan tingkat ini
dilakukan upaya untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut seperti
perawatan dan pengobatan. Upaya yang dilakukan dapat berupa :
a.melakukan perawatan yang ekstra pada balita dirumah, beri antibiotik
selama 5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila keadaan anak memburuk.
b. bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana kesehatan terdekat
agar penyakit tidak bertambah berat dan tidak menimbulkan kematian.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pneumonia adalah salah satu penyakit akibat infeksi parenkim paru yang dapat
menyerang setiap usia. Pneumonia adalah suatu penyakit yang disebapkan oleh
infeksi bakteri Streptococus pneumoniae dengan tanda gejala yang akan muncul
adalah demam, batuk, sesak napas, dan terkadang disertai dengan nyeri dada.
Penatalaksanaan medis yang dilakukan pada pasien pneumonia dalah pemberian
antibiotik untuk mengatasi infeksi oleh bakteri dan pemberian antipiretik untuk
mengatasi suhu tubuh yang tinggi. Selain itu pemeriksaan penunjang juga perlu
dilakukan untuk melihat daerah paru yang terkena infeksi, dan mengetahui apakah ada
komplikasi lain yang dapat disebabkan oleh penyakit ini.
3.2 Saran
Mengingat pneumonia adalah penyakit yang menyerang salah satu sistem vital
tubuh yaitu sistem respirasi, maka penting untuk diberikan penanganan sesegera
mungkin dan setepat mungkin untuk menghindari keadaan fatal pada pasien
pneumonia. Pendidikan kesehatan juga penting untuk diberikan kepada pasien
maupun keluarganya untuk menghindari komplikasi dan terulangnya kejadian yang
sama.
DAFTAR PUSTAKA
Bennete M.J. 2013. Pediatric Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/article/967822-
overview. (11 Mei 2015)
Bradley J.S. dkk. 2011. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and
Children Older than 3 Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the Pediatric
Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis.
53 (7): 617-630
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : IDAI
Kartasasmita, Cissy B. 2010. Pneumonia Pembunuh Balita. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. edisi 3. Jakarta: Medika Aesculafius. Hal 470-477
Said, Mardjanis. 2010. Pengendalian Pneumonia Anak-Balita dalam Rangka Pencapaian MDG 4. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
SMF Ilmu Kesehatan Anak. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Edisi III. Surabaya :
Pembina Utama Madya
WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta : WHO
Said, M. Pneumonia, Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Jakarta : Ikatan Dokter Anak
Indonesia.