Download - REFERAT NEUROFISIOLOGI SISTEM ARAS
REFERAT
NEUROFISIOLOGI SISTEM ARAS
(Ascending Reticular Activating System)
DISUSUN OLEH :
dr. Kumara Tini, SpS., FINS
dr. Rindha Dwi Sihanto
BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-
Nyalah tinjauan pustaka yang berjudul “Neurofisiologi sistem ARAS (Ascending
Reticular Activating System)” ini dapat penulis selesaikan. Referat berupa tinjauan
pustaka ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pendidikan
PPDS-1 di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. dr. A.A. Bagus Ngr. Nuartha, Sp.S(K) selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit
Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah.
2. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp. S(K) selaku Ketua Program Studi Ilmu
Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah.
3. dr. Kumara Tini, Sp. S., FINS selaku pembimbing penulis dalam penyusunan
tinjauan pustaka ini.
4. Teman-teman PPDS-1 yang telah banyak membantu penulisan tinjauan
pustaka ini.
Penulis juga menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna
sehingga kritik dan saran yang membangun sangant penulis harapkan. Akhir kata,
penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca. .
Denpasar, November 2017
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................... v
DAFTAR TABEL ......................................................................... vi
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................ 1
BAB II NEURONANATOMI ...................................................... 3
2.1 Struktur Anatomi ......................................................... 3
2.1.1 Ascending Retikular Activating System (ARAS) . 3
2.1.2 Formasi Retikularis ............................................. 4
2.1.3 Diensefalon .......................................................... 6
2.2 Neurotransmiter pada Sistem ARAS ........................... 9
2.2.1 Neurotransmiter Batang Otak .............................. 9
2.2.1.1 Neuron Kolinergik Ponto-Mesensefalon. 9
2.2.1.2 Neuron Noradrenergik Lokus Seruleus ... 10
2.2.1.3 Neuron Dopaminergik Mesensefalon
Ventral ..................................................... 11
2.2.1.4 Neuron Serotonergik Rafe ...................... 12
2.2.2 Neuron Histaminergik Tuberomamilari .............. 13
2.2.3 Neuron Oksinergik Perifornikal .......................... 14
BAB III NEUROFISIOLOGI ARAS ........................................... 15
3.1 ARAS sebagai Penggalak Kewaspadaan .................. 15
3.1.1 Peranan Formasi Retikularis dalam Proses
iv
Kewaspadaan....................................................... 15
3.1.2 Peranan Diensefalon dan Korteks Serebri
dalam Proses Kewaspadaan ................................ 18
3.1.3 Peranan Neurotransmiter dalam Proses
Kewaspadaan....................................................... 19
3.2 Peranan ARAS dalam Fisiologi Bangun Tidur ......... 20
3.2.1 Gambaran Umum Tidur .................................... 20
3.2.2 Stadium Tidur .................................................... 21
3.2.3 Peranan ARAS pada Siklus Tidur ..................... 22
3.2.2.1 Formasi Retikularis ............................... 22
3.2.2.2 Nukleus suprakiasmatik (SCN) ............ 23
3.2.2.3 Nukleus Rafe ........................................ 25
3.2.2.4 Lokus Seruleus ...................................... 25
3.2.4 Peranan Neurotransmiter pada Sikus Bangun
Tidur ................................................................. 25
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 ARAS Pathway ......................................................... 4
Gambar 2.2 Formasi Retikularis ................................................... 5
Gambar 2.3 Nukleus Talamus beserta Proyeksinya ...................... 7
Gambar 2.4 Neuron Kolinergik..................................................... 11
Gambar 2.5 Perjalanan Neuron Nordrenergik .............................. 12
Gambar 2.6 Perjalanan Neuron Dopaminergik ............................. 13
Gambar 2.7 Neuron Serotonergik ................................................. 14
Gambar 3.1 Jenis Interkoneksi Neuron ......................................... 18
Gambar 3.2 Perjalanan Koneksi Interneuron pada Formasi
Retikularis Sampai ke Talamus .................................. 19
Gambar 3.3 Gambar hasil EEG pada stadium tidur ...................... 23
Gambar 3.4 Mekanisme Irama Sirkadian...................................... 25
Gambar 3.5 Alur Neurotransmiter dalam Fisiologi Siklus Tidur . 26
Gambar 3.6 Mekanisme Fisiologis Siklus Tidur .......................... 28
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Jalur Neurotransmiter ARAS ........................................ 8
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Pusat pengaturan kesadaran pada manusia secara anatomi terletak pada
serabut transversal retikularis dari batang otak sampai talamus dan dilanjutkan
dengan formasio activator reticularis, yang menghubungkan talamus dengan
korteks serebri. Formasio retikularis terletak di substansi grisea otak dari daerah
medulla oblongata sampai midbrain dan talamus. Neuron formasio retikularis
menunjukkan hubungan yang menyebar. Perangsangan formasio retikularis
midbrain membangkitkan gelombang beta, individu menjadi dalam keadaan
bangun dan terjaga. Lesi pada formasio retikularis midbrain mengakibatkan orang
dalam stadium koma, dengan gambaran EEG gelombang delta. Jadi formasio
retikularis midbrain merangsang ARAS (Ascending Reticular Activating System),
suatu proyeksi serabut difus yang menuju bagian area di forebrain. Nuklei reticular
talamus juga masuk dalam ARAS, yang juga mengirimkan serabut difus ke semua
area di korteks serebri (Mardiati,2008).
Formasio retikularis secara difus menerima dan menyebarkan rangsang,
menerima input dari korteks serebri, ganglia basalis, hipotalamus, sistem limbik,
cerebellum, medula spinalis dan semua sistem sensorik. Sedangkan serabut efferens
formasio retikularis yaitu ke medula spinalis, cerebellum, hipotalamus, sistem
limbik dan talamus yang lalu akan berproyeksi ke korteks serebri dan ganglia
basalis (Price, 2012). ARAS juga mempunyai proyeksi non spesifik dengan
depolarisasi global di korteks, sebagai kebalikan dari proyeksi sensasi spesifik dari
talamus yang mempunyai efek eksitasi korteks secara khusus untuk tempat tertentu.
2
Eksitasi ARAS umum memfasilitasi respon kortikal spesifik ke sinyal sensori
spesifik dari talamus. Dalam keadaan normal, sewaktu perjalanan ke korteks, sinyal
sensorik dari serabut sensori aferens menstimulasi ARAS melalui cabang-cabang
kolateral akson. Jika sistem aferens terangsang seluruhna, proyeksi ARAS memicu
aktivasi kortikal umum dan terjaga (Mardiati, 2008).
Neurotransmitter yang berperan pada ARAS yaitu neurotransmitter
kolinergik, monoaminergik dan GABA. Korteks serebri merupakan bagian yang
terbesar dari susunan saraf pusat di mana korteks ini berperan dalam kesadaran akan
diri sendiri terhadap lingkungan atau input-input rangsang sensoris (awareness).
Jadi kesadaran akan bentuk tubuh, letak berbagai bagian tubuh, sikap tubuh dan
kesadaran diri sendiri merupakan funsi area asosiasi somestetik (area 5 dan 7
brodmann) pada lobus parietalis superior meluas sampai permukaan medial
hemisfer (Price, 2012; Snell, 2016).
Jaras kesadarannya: masukan impuls dari pusat sensorik pada korteks serebri
menuju ARAS → diproyeksikan kembali ke korteks serebri → terjadi peningkatan
aktivitas korteks dan kesadaran (Price, 2012).
3
BAB II
NEURONANATOMI
ASCENDING RETIKULAR ACTIVATING SYSTEM (ARAS)
2.1 Struktur Anatomi
2.1.1 Ascending Retikular Activating System (ARAS)
Ascending Retikular Activating System (ARAS) merupakan jaringan yang
bermula dari rostral tegmentum otak dan substansia retikularis medula spinalis dan
memancar ke talamus kemudian ke korteks serebral, serta lebih dominan pada
aspek anterior. Impuls aferen spesifik sebagian disalurkan melalui cabang
kolateralnya ke rangkaian neuron-neuron substansia retikularis dan selanjutnya
impuls tersebut bersifat non spesifik oleh karena cara penyalurannya bersifat
multisinaptik dan bilateral (Sidharta, 2010). ARAS terdiri dari beberapa sirkuit
neuron yang menghubungkan batang otak menuju korteks. Koneksi neuron ini
sebagian besar berasal dari formasi retikularis di batang otak dengan menerima
informasi sensorik dari berbagai sumber di sekitarnya. Kemudian berproyeksi di
nukleus intralaminar di talamus dan sistem limbik kemudian berdifusi secara luas
di korteks serebri (Gambar 2.1). Terdapat dua sumber yang mempengaruhi ARAS
yaitu (Sukardi,1985):
a. Pengaruh impuls-impuls perifer yang mula-mula dihantarkan melalui serat-
serat sensorik spesifik.
b. Pengaruh yang datang dari korteks serebri melalui serat kortikoretikularis.
Serat kortikoretikularis ini berasal dari semua bagian korteks serebri dapat
mempunyai pengaruh fasilitasi dan inhibisi pada neuron-neuron formasi
4
retikularis. Sebagian besar serat kortikoretikularis ini berasal dari korteks
motorik dan premotorik.
Gambar 2.1 ARAS Pathway (Snell,2015)
2.1.2 Formasi Retikularis
Formasio retikularis terdiri dari jaringan kompleks badan sel dan serabut saraf
yang saling terjalin membentuk intisentral batang otak. Bagian ini berhubungan
kebawah dengan sel-sel interneuron medulla spinalis dan meluas ke atas ke
diensefalon. Memiliki sekiar 30.000 sinaps. Fungsi utama dari sistem retikularis
yang tersebar ini adalah integrasi berbagai proses kortikal dan subkortikal yaitu
penentuan status kesadaran dan keadaan bangun, modulasi transmisi formasi
sensorik kepusat yang lebih tinggi, modulasi aktivitas motorik, pengaturan respon
autonom dan pengaturan siklus tidur bangun. Sistem ini juga merupakan tempat
asal sebagian monoamine yang disebarkan keseluruh SSP. Lesi pada formatio
retikularis dapat menyebabkan koma sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-
tahun. Neuron dalam formatio retikularis dikelompokan sesuai dengan fungsinya
masing-masing (Snell, 2016).
5
Formasio retikularis batang otak terletak strategis di bagian tengah jaras
asenden dan desenden antara otak dan medulla spinalis sehingga memungkinkan
pemantauan “lalu-lintas” dan berpartisipasi dalam semua aktivitas batang otak –
hemisfer otak. Formasio retikularis, yang secara difus menerima dan menyebarkan
rangsang, menerima input dari korteks serebri, ganglia basalis, hipotalamus dan
sistem limbik, serebelum, medulla spinalis, dan semua sistem sensorik. Serabut
eferen formasio retikularis tersebar ke medulla spinalis, serebelum, hipotalamus,
dan sistem limbik, serta talamus yang sebaliknya, berproyeksi ke korteks serebri
dan ganglia basalis. Selain itu, sekelompok serabut monoamine yang penting
disebarkan secara luas pada jaras asendens ke struktur subkortikal dan korteks, dan
jaras desendens menuju medulla spinalis. Dengan demikian formasio retikularis
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh seluruh area SSP (Duss, 2016).
Gambar 2.2 Formasi Retikularis (Netter, 2014)
6
Fungsi masing-masing nukleus retikularis (Snell, 2015):
Nukleus retikularis gigantoselularis : regulasi retikulospinal
Paramedian pontine reticular formation (PPRF) : pusat lateral gaze
Nuklei rafe : pengaturan tidur, bangun dan waspada
Locus ceruleus : atensi, mood, dan siklus tidur-bangun
2.1.3 Diensefalon
Adapun nukleus-nukleus di talamus yang memiliki hubungan dengan sistem
ARAS adalah (Sukardi,1985; Duus, 2007) :
a. nukleus intralaminares adalah sekumpulan kecil sel-sel saraf di dalam
lamina medularis interna. Nukleus ini menerima serabut-serabut aferen dari
formasi retikularis, traktus spinotalamuskus, dan trigeminotalamuskus.
Serta mengirimkan serabut eferen ke nukleus talamus lainnya, yang
kemudian diproyeksikan ke korteks serebri dan mengirimkan serabut-
serabut ke korpus striatum. Nukleus-nukleus ini mempengaruhi tingkat
kewaspadaan dan kesiagaan seseorang.
b. Nukleus di garis tengah terdiri dari kelompok sel saraf yang terletak di dekat
ventrikel III dan di dalam hubungan intratalamus. Nukleus ini menerima
serabut aferen dari formasi retikularis. Adapun fungsi nukleus ini masih
belum jelas.
c. Nukleus retikularis adalah lapisan tipis sel saraf yang tersusun berlapis di
antara lamina medularis eksterna dan krus posterior kapsula interna.
Serabut-serabut aferen dari formasi retikularis dan korteks serebri,
berkumpul di nukleus ini dan outputnya terutama ke nukleus talamus
lainnya. Fungsi nukleus retikularis belum dimengerti sepenuhnya,
7
kemungkinan berkaitan dengan sistem regulasi aktivitas talamus oleh
korteks serebri.
Gambar 2.3 Nukleus Talamus beserta Proyeksinya (Crossman, 2015).
2.2 Neurotransmiter pada ARAS
Komunikasi interneuron yang terjadi di setiap proyeksi adalah melalui sinaps
yang di dalamnya melepaskan neurotransmiter. Hal inilah yang memungkinkan
adanya komunikasi antar neuron mengenai kelanjutan dari informasi sensorik yang
ditransmisikan apakah akan dilanjutkan melalui suatu proses eksitasi maupun
inhibisi. Berikut merupakan daftar neurotransmiter yang berperan dalam sistem
ARAS (tabel 2.1).
8
Tabel 2.1 Jalur Neurotransmiter ARAS (Sukardi,1985)
Nama Jalur Asal Mula Terminasi
Jalur desenden NA Bagian ventrolateral
formasi retikularis, bagian
kaudal medulla oblongata
Medulla spinalis, kornu
ventral, intermedia, dorsal
Jalur asenden NA Nukleus formasi retikularis
Bagian ventrolateral
medulla oblongata,
Bagian kaudal pons, di
sebelah dorsal dan lateral
nukleus olivaris kranialis
Bagian kranial pons, di
sebelah ventral pedunkulus
serebelaris
Mesensefalon, batang otak
bagian kaudal dan
serebrum : nukleus dorsalis
n X nukleus solitaries,
nukleus rerikularis griseum
sentral mesensefalon,
hipotalamus, talamus,
Jalur NA lokus seruleus Lokus seruleus setingi pons
bagian kranial dan
mesensefalon bagian kaudal
Bagian dorsal :
telensepalon dan
Diensefalon: hipokampus,
talamus, hipotalamus,
amigdala, nuseptales,
daerah luas korteks serebri
dan kolikuli kranialis dan
kaudalis.
Bagian lateral : semua
bagian korteks serebelum
9
Jalur desenden serotonin Nukleus rafe medulla
oblongata
Medulla spinalis: kornu
ventral, intermedia, dan
dorsal
Jalur asenden serotonin Neklues rafe di pons dan
mesensefalon bagian kaudal
Bagian lateral:
hipotalamus, amigdala,
dan korteks serebri
Bagian medial : nukleus
septal dan korteks singuli
Jalur dopaminrgik Substansia nigra daerah
tegmentum mesensefalon di
sebelah dorsal nukleus
interpedunkularis
Neostriatum dan amigdala,
hipotalamus bagian-bagian
lobus limbik, hipofisis
serebri
2.2 Neurotransmiter pada Sistem ARAS
2.2.1 Neurotransmiter Batang Otak
2.2.1.1 Neuron Kolinergik Ponto-Mesensefalon
Neuron kolinergik ponto-mesensefalon menggunakan neurotransmiter
asetilkolin yang terletak di tegmentum laterodorsal dan nukleus tegmentum
pedunkulopontin. Neuron ini menerima input dari neuron retikular dan neuron
noradrenergik lokus seruleus yang memiliki jalur yang sama, yaitu menuju dorsal
talamus, bagian ventral hipotalamus dan basal forebrain. Neuron ini berfungsi
menstimulasi aktivasi kortikal pada saat individu dalam keadaan sadar dan tidur
fase REM serta memberikan efek inhibisi pada sensori-motorik dan atonia otot.
Neuron kolinergik ini paling aktif pada saat fase sadar dan tidur fase REM.
Pelepasan asetilkolin sangat tinggi pada talamus. Sebaliknya, neuron ini bersifat
10
menginhibisi pada sistem retikulospinalis. Adapun lesi dari neuron ini tidak akan
menyebabkan gangguan pada aktivasi kortikal dan kewaspadaan namun dapat
menyebabkan hilang fase tidur REM. Neuron kolinergik juga berungsi dalam
proses belajar dan memori.
Gambar 2.4 Neuron Kolinergik (Patton, 1996)
Berdasarkan gambar 2.4 dapat dijelaskan bahwa neuron kolinergik forebrain
terdiri dari MS (Medial Septum), DBv dan DBh (Nukleus Diagonal Band Vertikal
dan Horisontal), dan nukleus basalis Meynert (BM). Nuklues ini secara topografi
menginervasi seluruh serebral korteks, termasuk Hi (Hipokampus) dan Am
(Amigdala). Sedangkan neuron kolinergik di pons terdiri dari nukleus laterodorsal
(LDT) dan pedukulopontin (PPT) yang menginervasi formasi retikularis (RF) dan
Talamus (Th).
2.2.1.2 Neuron Noradrenergik Lokus Seruleus
Neuron ini menggunakan neurotransmiter noradrenergik yang berkumpul di
area periventricular gray di midpons, di belakang dari sel kolinergik. Dendrit dari
neuron ini membentang di daerah gray dan tegmentum. Neuron ini memberikan
inervasi secara difus ke korteks serebri dan medulla spinalis, ke area subkortikal di
11
talamus, hipotalamus, dan basal forebrain. Pelepasan noradrenalin meningkat saat
keadaan sadar dan REM, serta mencapai tahap maksimal pada saat stres. Neuron
ini berperan dalam mengaktivasi kortikal dan meningkatkan sensori motorik
aktivitas. Neuron ini bertanggung jawab jika ada stimulas baru yang datang,
mempengaruhi tingkat kewaspadaan di forebrain, dan persepsi sensorik.
Gambar 2.5 Perjalanan Neuron Nordrenergik (Patton, 1996)
2.2.1.3 Neuron Dopaminergik Mesensefalon Ventral
Neurotransmiter dari neuron ini adalah dopamin dan terletak di substansia nigra
dan ventral tegmental area. Neuron ini membentuk proyeksi asenden melalui dua
jalur yaitu, melalui jalur ventral melewati bagian medial dari forebrain menuju
dorsal dari striatum (sistem nigro-striatal) dan menuju daerah basal dari forebrain,
bagian ventral dari striatum dan korteks serebri (sistem meso-limbo-kortikal).
Stimulasi pada neuron ventral mesensefalon ini menyebabkan seorang individu
dalam kondisi sadar. Meskipun tidak ada perbedaan laju dopamin yang dihasilkan
baik saat sadar maupun tidur, namun pada kondisi sadar, kadar dopamin mencapain
titik pucak. Begitu pula pada saat individu dalam fase REM. Dopamin berjalan
12
sinergis dengan neuron kolinergik ponto-mesensefalon. Neurotransmitter ini untuk
inisiasi respon prilaku, otonomi, dan regulasi endokrin. Adanya lesi pada neuron
ini menyebabkan terjadinya akinesia dan afagia.
Gambar 2.6 Perjalanan Neuron Dopaminergik (Patton, 1996)
Berdasarkan gambar 2.6, dapat dijelaskan neuron dopaminergik terdiri dari
neuron di substansia nigra (A9), retrobulbar (A8), dan area ventral tegmentum
(A10) yang membawa proyeksi asenden menuju striatum, korteks frontotemporal,
dan sistem limbik, yaitu amigdala dan lateral septum.
2.2.1.4 Neuron Serotonergik Rafe
Neuron ini menggunakan serotonin sebagai neurotransmiternya.
Neurotransmiter ini didistribusikan melalui nukleus rafe di garis tengah dari batang
otak, yaitu nukleus dorsal rafe otak tengah yang merupakan asal mula proyeksi
asenden menuju forebrain dan korteks. Dan nukleus rafe pontin dan medulla (rafe
palidus dan magnus dan pars alpha dari gigantoselularis yang merupakan proyeksi
desenden menuju medulla spinalis.
13
Gambar 2.7 Neuron Serotonergik (Patton,1996). CD (Nukleus Kaudatus), HF
(Formasi Hipokampus), H (Hipotalamus) dan Th (Talamus).
Pada gambar 2.7, neuron B1-3 berkorelasi dengan rafe magnus, rafe palidus,
dan rafe obscurus di medulla kemudian berproyeksi desenden menuju batang otak
bawah dan medulla spinalis. Neuron B4-9 terdiri dari rafe pontis, median rafe, dan
nukleus rafe dorsal, berproyeksi ke batang otak bagian atas, hipotalamus, talamus,
dan korteks serebri.
Stimulasi pada neuron ini akan menyebabkan inhibisi prilaku, afektif,
termoregulasi, prilaku seksual, dan intuisi makan saat sadar. Aktifnya
neurotransmiter ini akan menginhibisi prilaku makan dan seksual. Jika terjadi
penurunan kadar serotonin akibat pengunaan obat secara akut akan menyebabkan
insomnia akut dan peningkatan nafsu makan serta prilaku seksual (Jones,2003).
2.2.2 Neuron Histaminergik Tuberomamilari
Neuron tuberomamilari ini mensintesis neurotransmiter histamin dan terletak
di bagian ventrolateral dari posterior hipotalamus, yaitu di sebelah lateral dari
nukleus mamilari. Sama halnya dengan monoamin neuron, sintesis neuron histamin
14
ini meningkat ada kondisi sadar. Neurotransmitter ini berfungsi dalam prilaku
asupan makan dan minum, termoregulasi, dan fungsi otonom.
2.2.3 Neuron Oksinergik Perifornikal
Neuron ini terdiri dari peptide orexin atau yang sering disebut hipocretin yang
berfungsi sebagai neuromodulator dan tersebar di daerah posterior sampai bagian
tengah hipotalamus serta mengelilingi forniks dan bagian lateral dari hipotalamus.
Selain menuju ke korteks serebri secara difus, neuron ini berproyeksi juga ke lokus
seruleus, sistem talamo-kortikal nonspesifik, neuron histaminergik, dan neuron
kolinergik. Orexin berfungsi untuk memberi dorongan untuk makan saat sadar.
Selain itu orexin juga berfungsi mengatur energi yang digunakan oleh tubuh
(Siegel,2006).
15
BAB III
NEUROFISIOLOGI ARAS
3.1. ARAS sebagai Penggalak Kewaspadaan
3.1.1 Peranan Formasi Retikularis dalam Proses Kewaspadaan
Kewaspadaan merupakan salah satu fungsi dari formasi retikularis. Formasi
retikularis memiliki kemampuan untuk tetap menjaga kondisi seseorang dalam
keadaan terjaga, sadar, serta responsif terhadap stimulus sensorik. Bahkan formasi
retikularis dapat tetap menjaga kewaspadaan tersebut meskipun tidak ada stimulus
sensorik. Adapun terdapat 2 konsep tentang fisiologis formasi retikularis yaitu
sebagai sistem yang mengaktifkan dan membuat otak dalam kondisi sadar dan
untuk menjaga kewaspadaan (Kendall,2000). Derajat kewaspadaan seseorang
sangat tergantung pada hubungan kompleks antara formasi retikularis dan korteks
serebri. Komponen penting yang menghubungkan formasi retikularis dengan
korteks serebri adalah sistem ARAS. ARAS merupakan suatu mekanisme dimana
input sensorik yang menuju ke formasi retikularis akan memodulasi neuron di
kortikal, mengeksitasi korteks, dan mempengaruhi tingkat kewaspadaan
(Siegel,2006). Apabila ARAS tidak aktif maka demikian pula dengan korteks
serebri. Jika terjadi kerusakan pada formasi retikularis, aktivasi kortikal dan
kewaspadaan tidak dapat terjaga meskipun input sensorik intak (Martini,2006).
Formasi retikularis terletak sangat strategis, sehingga menerima input sensorik
dari berbagai sumber, baik sistem sensorik perifer yang terdiri dari somatosensorik,
viserosensorik, auditorik, vestibular, maupun input visual, serta output sensorik dan
motorik dari korteks serebri. Formasi retikularis memiliki interkoneksi yang luas
16
tidak hanya dengan sistem sensorik, tetapi juga sistem motorik dan seluruh jalur
yang melewati batang otak.
Adapun informasi sensorik pertama-tama ditangkap oleh nukleus-nukleus
spesifik yang berada di lateral dari formasi retikularis. Kemudian informasi
sensorik tersebut akan ditransmisikan menuju formasi retikularis melalui
mekanisme arborisasi axodendritik. Sedangkan sinyal visual yang berasal dari
sistem limbik dan sinyal olfaktorik yang berasal dari kolikulus superior
ditransmisikan secara langsung menuju formasi retikularis. Dari perjalanan tersebut
dapat disimpulkan bahwa formasi retikularis menerima berbagai jenis informasi
dari sistem sensorik yang berbeda-beda juga. Namun formasi retikularis tidak
mampu menjaga spesifisitas informasi yang diterima dari masing-masing sistem
sensorik. Semua input sensorik yang diterima formasi retikularis akan
ditransmisikan melalui jaras asenden menuju talamus berupa suatu informasi
sensorik yang tidak spesifik. Hal ini dapat dibedakan dengan transmisi spesifik
yang dibawa oleh sistem sensorik asenden, sebagai contoh jalur lemnikus medial.
Meskipun bersifat tidak spesifik, namun sejumlah sinyal yang bersumber dari
formasi retikularis ini sangat diperlukan untuk memicu timbulnya aktivasi dari
sistem ARAS dan mengeksitasi neuron target di talamus (Siegel,2000).
Dalam proses transmisi informasi sensorik tersebut, formasi retikularis
memiliki dua proyeksi, yaitu proyeksi interneuron lokal dan atau jauh. proyeksi
panjang ini dapat menuju ke atas yaitu ke arah forebrain dan ke bawah yaitu
menuju medula spinalis. Sedangkan interneuron lokal yaitu melalui mekanisme
axodendritik yang telah dijelaskan sebelumnya (Kendall, 2000).
17
Gambar 3.1 Jenis Interkoneksi Neuron
(A) Warna merah menunjukkan neuron desenden panjang. Warna biru
menunjukkan hubungan kolateral antara satu neuron dengan neuron
lainnya melalui kontak sinaptik. (B) Warna hitam menunjukkan satu
neuron mengalami bifurkasi menjadi dua, yaitu neuron asenden dan
desenden panjang (Siegel,2006).
Neuron retikular berproyeksi secara asenden melalui dua jalur utama, yaitu;
jalur dorsal menuju talamus dan jalur ventral menuju hipotalamus dan ke forebrain.
Neuron asenden paling terkonsentrasi di area formasi retikuaris mesensefalon dan
pontin oralis.
Selain itu, formasi retikularis memiliki kemampuan juga untuk mensaring
informasi sensorik apa yang dapat diterima dan membuang informasi sensorik yang
tidak diinginkan. Sehingga korteks serebri lebih spesifik dan selektif menerima
informasi sensorik yang masuk. Dalam hal ini, formasi retikularis memiliki jalur
desenden inhibisi nyeri. Jalur ini berasal dari PAG dan bersinaps dengan neuron
18
serotonin dan menuju ke cornu dorsalis dari medulla spinalis. Di kornu anterior
neuron serotonin ini bersinaps dengan neuron enkepalin dan memodulasi ja;ur
nosiseptif primer.
Gambar 3.2 Perjalanan Koneksi Interneuron pada Formasi Retikularis Sampai ke
Talamus (Siegel,2006)
3.1.2 Peranan Diensefalon dan Korteks Serebri dalam Proses Kewaspadaan
Perjalanan input sensorik dari formasi retikularis akan dilanjutkan ke talamus.
Terdapat 3 cara yang terjadi pada formasi retikularis dalam memodulasi fungsi
sensorik dan mengatur eksitasi neuron korteks. Dua mekanisme pertama yaitu
melalui proyeksi dari formasi retikularis menuju nukleus intralaminar di talamus.
Dan mekanisme ketiga adalah proyeksi langsung neuron formasi retikularis ke
korteks serebri. Proyeksi yang menuju talamus dibawa ke nukleus talamus
nonspesifik, yaitu nukleus sentromedianus dan nukleus ventral anterior. Input
sensorik ini akan mengirimkan sinyalnya menuju korteks serebri secara difus dan
19
mengubah level eksitasi serta mengaktifkan neuron-neuron di kortikal. Maka dari
itu ARAS disebut sebagai penggalak kewaspadaan (Siegel, 2006). Meskipun
proyeksi yang sampai di korteks serebri bersifat difus, namun porsi terbesar yang
menerima informasi sensorik ini adalah lobus frontal. Proyeksi kedua adalah
melalui neuron-neuron yang membawa informasi nonspesifik dari talamus
kemudian membuat sinaps dengan nukleus-nukleus spesifik talamus. Disinilah
informasi sensorik tersebut mengalami modifikasi informasi sebelum mencapai
regio spesifik di korteks serebri. Dikarenakan korteks serebri menerima input
sensorik maka dari itu korteks serebri disebut sebagai pengemban kewaspadaan.
Suatu proses kewaspadaan bermakna sangat krusial dikarenakan berfungsi
mengubah eksitasi dari neuron-neuron kortikal sehingga korteks serebri lebih
responsif terhadap impuls sensorik yang datang melalui jaras sensorik spesifik.
Sebagai contoh saat kita mendengar suara sirine, maka akan terjadi aktivasi dari
dari formasi retikularis setelah mendapat stimulus sensorik, salah satunya sinyal
auditorik berupa sirine. Hal ini menyebabkan adanya perubahan level eksitasi di
korteks serebri sehingga korteks serebri lebih responsif dan memberikan sinyal
desenden untuk memerintahkan apa yang harus dilakukan. Hal ini menyebabkan
seorang individu mampu bersikap secara sesuai terhadap informasi sensorik yang
diterima. Kemampuan korteks serebri tereksitasi sangat tergantung dari
kemampuan formasi retikularis menerima input sensorik.
3.1.3 Peranan Neurotransmiter dalam Proses Kewaspadaan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada kondisi waspada, sistem ARAS
akan menjaga aktivasi dari korteks. Proyeksi asenden dari medulla, pons, dan
mesensefalon berjalan melalui ARAS. Jalur ini bermula dari sel kolinergik di pons
20
(lateral dorsal tegmental, pedunculopontine tegmental, dan nukleus retikularis
pontis). Kemudian bersamaan dengan itu berjalan pula secara asendens akson-
akson yang berasal dari sel-sel serotonergik di perbatasan antara pons dan
mesensefalon (dorsal rafe) dan medulla. Selain itu sel-sel norepineprin yang berasal
dari lokus serules dan medulla juga ikut aktif dan berproyeksi secara asenden.
Begitu pula akson-akson dopaminergik di substansia nigra dan ventral tegmental
ikut berproyeksi di dalam sistem ARAS. Akson-akson di dalam ARAS inilah
kemudian mengkativasi sistem kortikal. Sistem asenden ini juga menginervasi
nukleus intralaminar di talamus yang nantinya akan berproyeksi menuju korteks
serebri. Proyeksi dopaminergik mencapai daerah striatum dan area korteks frontal.
Akson lain yang juga berpartisipasi dalam sistem ARAS adalah histaminergik yang
juga aktif pada proses kewaspadaan. Pada kondisi waspada, semua akson-akson ini
aktif dan berjalan secara asenden di dalam sistem ARAS.
3.2 Peranan ARAS dalam Fisiologi Bangun Tidur
3.2.1 Gambaran Umum Tidur
Salah satu peranan ARAS adalah memediasi siklus bangun tidur. Dalam hal ini
daerah-daerah di susunan saraf pusat yang berperan terhadap siklus bangun tidur
adalah nukleus formasi retikularis, talamus, hipotalamus, dan basal forebrain
(Siegel,2006).
Adapun definisi dari tidur adalah suatu kondisi penurunan kewaspadaan
terhadap stimulus eksternal di lingkungan sekitar dan dapat kembali ke kondisi
terjaga dengan relatif cepat (Joness,2003). Hal ini dapat dibedakan dengan suatu
kondisi koma, dimana seorang individu dapat mengingat sesaat sebelum memulai
tidur dan merasakan sensasi mengantuk.
21
Secara neurofisiologis dan psikofisiologis, karakteristik tidur dibedakan
menjadi dua, yaitu rapid eye movement (REM) dan non rapid eye movement
(NREM). Pada tidur REM sering terjadi aktivitas gerakan mata. REM disebut juga
tidur paradoksikal, karena pada gambaran EEG menyerupai gambaran individu saat
terjaga. Sedangkan tidur NREM disebut juga tidur ortodoks, yaitu terjadi penurunan
aktivitas gelombang pada gambaran EEG.
3.2.2 Stadium Tidur
Pada saat mata menutup sebagai salah satu persiapan tidur, terjadi peningkatan
aktivitas gelombang alfa (8-13 siklus per detik), khususnya di area oksipital. Tidur
NREM akan mengawali fase tidur REM, dimana terjadi perlambatan gelombang
otak dan terbentuk gelombang verteks, yaitu gelombang otak dengan voltase yang
tinggi di daerah verteks. Pada saat ini gelombang alfa menghilang dan muncul
aktivitas gelombang tetha (3-7 siklus per detik). Aktivitas motorik mata menjadi
lambat dan tonus otot skeletal menjadi relaksasi. Stadium ini disebut stadium satu
(drowsiness) (Siegel,2006).
Seiring semakin dalamnya tidur, stadium satu memasuki stadium dua, yaitu
ditandai dengan melambatnya glombang EEG dan adanya sekelompok gelombang
otak dengan frekuensi 12-14 Hz yang terekam di kepala bagian tengah dan
disebut sleep spindle. Pada stadium ini terdapat kombinasi antara sleep spindle dan
K-Complexes (gelombang ireguler dengan voltase tinggi dan lambat).
Stadium tiga dikarakteristikkan dengan adanya gelombang bervoltase tinggi
(75 µV) yang lambat. Tidur mulai memasuki tidur dalam dan aktivitas sleep spindle
berkurang. Adapun perlambatan aktivitas gelombang minimal sebanyak 20% dan
22
tidak lebih dari 50%. Stadium empat ditandai dengan lebih dari 50% gelombang
otak mengalami penurunan aktivitas (Siegel,2006).
Gambar 3.3
Gambar hasil EEG pada stadium tidur (Silver,2008)
3.2.3 Peranan ARAS pada Siklus Tidur
Adapun struktur-struktur yang berkaitan dengan sistem bangun tidur ini, yaitu:
3.2.3.1 Formasi Retikularis
Pada fase REM, pons menghambat tonus otot. Dua nukleus pontin yang
berperan terhadap fase tidur REM yaitu nukleus pedunkulopontin dan nukleus
lateral dorsal. Neuron ini mengandung nukleus kolinergik yang berproyeksi menuju
formasi retikularis, talamus, dan basal forebrain. Pada saat neuron kolinergik
23
diaktifkan, maka terjadi perubahan aktivitas pada talamus dan korteks yang
merupakan indikator tidur fase REM.
3.2.3.2 Nukleus suprakiasmatik (SCN)
Nukleus suprakiasmatik (SCN) merupakan struktur yang sangat kecil
berbentuk sayap, terdiri atas sepasang area sebesar kepala paku yang masing-
masing berisi sekitar 10.000 sel saraf. Para peneliti mengatakan bahwa setiap sel
saraf pada nukleus ini berfungsi sebagai jam yang menimbulkan letupan irama
bertanggung jawab terhadap suatu keadaan bangun dari tidur. Irama biologis ini
bersifat ritmis dan fluktuatif dan disebut dengan irama sirkadian. Irama ini
mengalami modifikasi disinkronkan dengan siklus terang dan gelap di lingkungan
sekitarnya. Proses penyesuaian irama sirkadian ini tergantung pada kerja nukleus
suprakiasmatikus. Nukleus ini menerima informasi mengenai siklus gelap dan
terang melalui jalur spesifik, yaitu serat retinohipotalamikus. Jalur eferen dari SCN
menginisiasi timbulnya sinyal neural dan humoral.
Letupan irama sirkadian pada SCN ini mempengaruhi siklus bangun tidur
melalui dua proses. Proses pertama yaitu SCN mengatur pelepasan hormon
melatonin yang merupakan penginduksi tidur dari pineal body dengan irama
sirkadian, dimana hormon tersebut sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan,
terutama terhadap cahaya. Saat malam, penghambatan SCN terhadap sintesa
melatonin menurun sehingga hormon ini akan banyak dikeluarkan dalam sirkulasi
darah. Akibatnya melatonin akan menekan aktivitas saraf pada SCN yang terkait
dengan aktivasi kortikal dan kondisi bangun. Proses kedua yaitu neuron pada SCN
yang menjaga kondisi bangun, normalnya saat siang sampai sore hari dengan
memproduksi suatu peptida yaitu prokinetisin yang mengaktifkan jalur
24
hypocretin/orexin.
Gambar 3.4 Mekanisme Irama Sirkadian (Lange, 2011)
Seorang individu tetap berada dalam keadaan terjaga berkat adanya aktivitas
sel-sel neuron di seluruh korteks serebri yang terus menerus dipacu oleh penggalak
kewaspadaan yaitu ARAS. Pada malam hari atas pengaruh SCN terjadi pelepasan
melatonin oleh glandula pinealis dengan hasil antaranya yaitu serotonin. Serotonin
sendiri digunakan oleh sistem rafe nuklei untuk menghambat aktivitas ARAS
sehingga timbul rasa mengantuk dan dimulai fase tidur NREM. Serotonin akhirnya
memacu sistem kolinergik sehingga tidur memasuki fase REM. Aktivitas
kolinergik yang berlebihan dapat memacu kegiatan susunan saraf adrenergik.
Manakala aktivitas adrenergik cukup intens maka dapat menghambat kegiatan
aktivitas serotonergik dan kolinergik sehingga kegiatan ARAS meningkat kembali
dan timbulah keadaan terjaga.
3.2.2.3 Nukleus Rafe
25
Jalur serotonin yang dihasilkan oleh nukleus rafe yang aktif saat mengantuk
dan fase REM.
3.2.2.4 Lokus Seruleus
Merupakan kumpulan neuron adrenergik yang terletak di bagian rostral pons
dan berproyeksi menuju talamus, korteks serebri dan serebelar. Neuron ini
menghambat susunan saraf serotonergik dari sistem rafe sehingga timbul terjaga.
3.2.4 Peranan Neurotransmiter pada Sikus Bangun Tidur
Gambar 3.5 Alur Neurotransmiter dalam Fisiologi Siklus Tidur (Lange, 2011)
26
Proses inisiasi dari tidur NREM adalah diawali dengan adanya sinyal inhibisi
yang tersekresi secara mendadak di area ventrolateral preoptik (VLPO). Area ini
terletak di bagian rostral dari kiasma optikum. Neuron-neuron VLPO bersifat aktif
pada saat tidur dan terjadi peningkatan pelepasan neurotransmiter saat menjelang
tidur. Sel-sel neuron VLPO mengandung GABA dan berproyeksi ke neuron
serotonergik, noradrenergik, dan kolinergik di formasi retikularis batang otak dan
neuron histaminergik di kaudal hipotalamus. Fungsi neuron-neuron di batang otak
sebagai pembangkit kesadaran kemudian terinhibisi akibat adanya proyeksi dari
neuron VLPO. Namun batang otak kemudian memberikan sinyal feed back menuju
VLPO dan menginhibisi neuron tersebut. Mekanisme ini yang mengatur seseorang
dapat beralih dari tidur kemudian bangun. Selain adanya inhibisi sistem ARAS oleh
VLPO, beberapa bagian di hipotalamus dan forebrain juga berpartisipasi dalam
NREM. Dimana di area hipotalamus, pre optik area, dan nukleus basalis
mengandung GABA yang berperan dalam proses NREM, berproyeksi ke korteks.
Sedangkan pada proses REM, area yang aktif adalah di pons. Neuron-neuron
kolinergik pada daerah pons menjadi aktif dan berproyeksi pada talamus dan
korteks serebri. Dimana neuron kolinergik ini diinhibisi oleh lokus serules dan
dorsal rafe pada saat sadar dan NREM. Pada proses transisi antara NREM menjadi
REM, bergantung pada inhibisi GABA pada neuron-neuron lokus serules dan
dorsal rafe. Dimana neuron-neuron ini sudah tidak menghambat nukleus pontis lagi.
Apabila neuron GABA berhenti menginhibisi neuron-neuron lokus serules dan
dorsal rafe, maka proses NREM akan kembali dan proses waspada kembali aktif.
Kemudian sistem ARAS kembali bekerja dan menerima stimulasi sensorik dari
lingkungan.
27
Gambar 3.6 Mekanisme Fisiologis Siklus Tidur (Ropper,2005)
28
DAFTAR PUSTAKA
Caplan, L. R. 2009. Stroke a Clinical Approach. Fourth Edition. Philadelphia:
Saunders an Imprint of Elsevier Inc.
Chusid, J.G. 1991. Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Crossman, A.R. Neuroanatomi Edisi Kelima. Jakarta : Churchill Livingstone
Elsevier
Coenen, Anton M.L. 2005. States of Consciousness. Netherland: Radboud
University Nijmegen.
Duus, P. 2015. Diagnosis Topik Neurologi: Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala.
Edisi 2. Jakarta: EGC.
Ganong, W.F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 20th Ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Greenstein, B., Greenstein, A. 2000. Color Atlas of Neuroscience: Neuroanatomy
and Neurophysiology. New York: Thieme.
Grill, Edgar Gracia. 2015. Pedunculopontine arousal system physiology. Brazilian
Association of Sleep. doi.org/10.1016/j.slsci.2015.09.001
Guyton, A.C., Hall, J.E. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th Ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jones,Barbara. 2003. Arousal System. Frontiers in Bioscience 8, s438-451.
Mardjono, M., Sidharta, P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat.
Ngoerah, I.G.N.G. 2017. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga
University Press.
Plum, F., Posner, J.B. 2007. The Diagnosis of Stupor and Coma. Seventh Edition.
Philadelphia: F.A.Davis Company.
Price, S. A dan Wilson, L. M. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.
Ptaff,Donald.W. 2012. Generalized brain arousal mechanisms and other biological,
environmental, and psychological mechanisms. 05-Fotopoulou-05.indd(64-
84).
29
Shneerson, Jhon M. 2005. Sleep Medicine: A Guide to Sleep and It’s Disorders. 2nd
Ed. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.
Silver,Rae. 2008. Circadian and Homeostatic Factor in Arousal. New York
Academy of Sciences Ann. N.Y. Acad. Sci. 1129: 263–274. doi:
10.1196/annals.1417.032.
Sidharta, P. 2010. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta: Penerbit
Dian Rakyat.
Ratna, Mardiati. 2008. Susunan Saraf Otak Manusia. Jakarta: CV Agung Seto.
Siegel, Allan. 2006. Essential Neuroscience. Revised First Edition. Philadelphia:
Lippincott William and Wilkins.
Snell, R. 2015. Neuroanatomi Klinik Edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Sukardi, E. 1985. Neuroanatomia Medica. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Zeman, Adam. 2001. Conciousness. (Review). Oxford: Oxford University Press.