Download - Referat Mata Vila
REFERAT
KERATITIS HERPES SIMPLEKS
Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Senior
Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Disusun oleh:
Villa Sekar Cita
22010111200138
BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
Kornea merupakan jaringan yang berfungsi sebagai pelindung bola mata
dan sebagai salah satu media refraksi cahaya yang masuk ke mata. Kelainan pada
kornea dapat menyebabkan gangguan penglihatan, seperti adanya peradangan
pada kornea ( keratitis ), dapat menyebabkan perubahan pada lapisan kornea yang
jernih. Kekeruhan pada kornea dapat disebabkan oleh infeksi mikroorganisme
mulai dari bakteri, jamur, virus dan parasit. Apabila terjadi keterlambatan
diagnosis atau tata laksana yang tidak tepat dapat mengakibatkan kerusakan
stroma dan meninggalkan jaringan parut yang luas. Infeksi virus pada kornea
dapat disebabkan oleh beberapa jenis virus mulai dari jenis adenovirus, herpes
simpleks virus dan herpes zoster virus.1
Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh
infeksi virus Herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Di negara-negara belahan
dunia barat 90% dari populasi orang dewasa dilaporkan memiliki antibodi
terhadap herpes simpleks. Namun demikian, hanya kurang dari 1% yang
menimbulkan kelainan pada mata. Sebagian besar bersifat sub-klinis dan tidak
terdiagnosis. Di negara - negara berkembang insidensi keratitis herpes simpleks
berkisar antara 5,9 - 20,7 per 100.000 orang tiap tahunnya. 2
Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling
sering ditemukan dalam praktek yang ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang
dan edema pada lapisan kornea manapun. Penularan dapat terjadi melalui kontak
dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang
mengandung virus. Keratitis herpes simpleks dapat merupakan infeksi primer dan
bentuk kambuhan. Kelainan akibat lesi primer biasanya muncul dengan gejala
subklinis. Gejala-gejala yang tidak spesifik dapat terjadi misalnya demam dan
cepat lelah. Keratitis herpes primer terbatas hanya pada epitel kornea. Sedangkan
keratitis herpes bentuk kambuhan dibagi atas ephitaleal keratitis, stromal keratitis,
endothelitis, dan metaherpetic disease.3
2
Diagnosis dari keratitis herpes secara umum berdasarkan dari manifestasi
klinisnya dan pemerikasaan penunjang untuk mengkonfirmasi hasil anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan. Pemeriksaan tambahan yang bersifat
laboratoris dapat dilakukan jika terdapat manifestasi klinis yang tidak khas.
Kemudian untuk penatalakasanaan keratitis herpes simplek ini adalah dengan
menggunakan antivirus topical dan pencegahan rekurensi.
Makalah ini membahas mengenai anatomi, histiologi, dan fisiologi kornea,
manifestasi klinis keratitis herpes simpleks, diagnosis keratitis herpes simpleks,
dan pengelolaan keratitis herpes simpleks. Diharapkan makalah ini dapat
bermanfaat dalam pengelolaan keratitis herpes simpleks secara menyeluruh.
3
BAB II
ANATOMI, HISTOLOGI, DAN FISIOLOGI KORNEA
Kornea merupakan bagian tunika fibrosa yang transparan, avaskular dan
kaya akan ujung-ujung saraf. Strukturnya sebanding dengan kristal sebuah jam
tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke dalam sclera pada limbus, lekukan
melingkar pada sambungan ini disebut sulcus scleralis. Tebal kornea rata-rata
adalah 550 µm pada pusatnya, dengan diameter rata-rata horizontal 11,75 mm dan
vertikal 10,6 mm. Secara histologi dari anterior ke posterior kornea terdiri dari 5
lapisan, yaitu :1
1. Epitel
2. Membran Bowman
3. Stroma
4. Membran Descemet
5. Endotel
Gambar 1. Lapisan kornea
Lapisan epitel memiliki lima atau enam lapis sel. Lapisan Bowman
merupakan lapisan jernih aselular yang merupakan bagian stroma yang berubah.
Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea dengan lebar sekitar 10-
250 µm dan tinggi 1-2 µm yang mencakup hampir seluruh diameter kornea.
4
Lamella ini berjalan sejajar dengan permukaan kornea dan karena ukuan dan
kerapatannya menjadi jernih secara optic. Lamella terletak di dalam suatu zat
dasar proteoglikan terhidrasi bersama keratosit yang menghasilkan kolagen dan
zat dasar. Membrane Descemet yang merupakan lamina basalis endotel kornea
memiliki tampilan yang homogeny dengan mikroskop cahaya tetapi tampak
berlapis-lapis pada mikroskop electron akibat perbedaan strukturnya. Endotel
tersusun dari epitel selapis gepeng atau kuboid rendah yang berasal dari
mesotelium, berbentuk heksagonal. Ketebalannya antara 20-40 µm. Endotel
melekat pada membran Descemet melalui hemidesmosom dan zonula okluden.
Sel-sel endotel mensintesis protein yang mungkin diperlukan untuk memelihara
membran Descemet. Sel-sel endotel mempunyai banyak vesikel dan dinding
selnya mempunyai pompa natrium yang akan mengeluarkan kelebihan ion-ion
natrium ke dalam anterior chamber. Ion-ion klorida dan air akan mengikuti secara
pasif. Kelebihan cairan di stroma akan diserap oleh endotel sehingga stroma
dipertahankan dalam keadaan sedikit dehidrasi, suatu faktor yang diperlukan
untuk mempertahankan kualitas refraksi kornea.1
Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang
uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif
jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan
oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh
lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel
berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,
kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang
akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Perubahan dalam bentuk dan
kejernihan kornea, segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di
retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan
gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.1
5
BAB III
KERATITIS HERPES SIMPLEKS
A. Definisi
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang biasanya diklasifikasikan menurut
lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan
epitel atau bowman dan keratitis profunda atau interstisialis yang mengenai
lapisan stroma. Keratitis herpes simpleks merupakan peradangan pada kornea
yang disebabkan oleh infeksi virus herpes simplek tipe 1 maupun tipe 2. Herpes
Simplek Virus (HSV) merupakan virus DNA rantai ganda yang termasuk dalam
family herpesviridae.1
B. Epidemiologi
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kambuhan. lnfeksi primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan
ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis
folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-99%
kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih dapat terjadi bilateral
khususnya pada pasien-pasien atopic. Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri,
tanpa menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Infeksi primer dapat terjadi
pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau 16-25 tahun.
Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun
ke atas.
C. Etiologi
Penyebab paling sering adalah virus herpes simplex tipe 1. Faktor lain yang
dapat memperberat keluhan adalah kekeringan pada mata, pajanan terhadap
6
cahaya yang sangat terang, benda asing yang masuk ke mata, reaksi alergi atau
mata yang terlalu sensitif terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan iritatif
lain, kekurangan vitamin A dan penggunaan lensa kontak yang kurang baik.
D. Patogenesis
Secara umum patofisiologi keratitis terjadi melalui respon imun. Pada
kornea yang bersifat avaskuler, respon imun tidak dengan segera terjadi, seperti
pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Sehingga respon imun
pada awalnya terjadi melaui corpus kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang
terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sama sebagai makrofag, baru
kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan
tampak sebagai injeksi perikornea. kemudian baru terjadi infiltrasi dari sel-sel
mononuclear dan sel plasma yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang
tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan
permukaan tidak licin.
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada
kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan
fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama
palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat
progresif, regresi iris, yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan
iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang
berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat
pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi
terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga.
Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea,
umumnya tidak ada ulkus mata kecuali pada ulkus bakteri purulen.
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal.
Kerusakan yang terjadi akibat perkembangbiakan virus intraepithelial
mengakibatkan kerusakan sel epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial.
Sedangkan kerusakan yang terjadi di stromal merupakan reaksi imunologik tubuh
7
terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel
radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk
merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini
penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan
terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan
reaksi radangnya.
Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama karena stroma kornea
kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke tempat
lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri,
namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya
mungkin menahun dan dapat merusak.
E. Diagnosis
1. Gambaran Klinis
Gejala:
Gejala utama umumnya keluar air mata yang berlebihan, nyeri,
penurunan tajam penglihatan, radang pada kelopak mata (bengkak, merah), mata
merah, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian sentral yang terkena terjadi
sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya timbul pada awal
infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang berobat. Sering
ada riwayat lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes lain, namun ulserasi kornea
kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala infeksi herpes rekurens. Berat
ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel
disebabkan adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya
pada herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering,
pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik
pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia.
8
Tanda :
Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial,
profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial
dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika
merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh
perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ kematian sel serta
membentuk defek dengan gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan
gambaran yang khas pada kornea, memiliki percabangan linear khas dengan
tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein
yang dilihat menggunakan sinar cobalt biru pada slit lamp dapat dilakukan untuk
memudahkan melihat dendrit.
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk
penyakit dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini
terjadi akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi
ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan
kaki cabang mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi kornea, seperti
halnya penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat
ditimbulkan HSV adalah keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan
keratitis filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering
menjadi dendritik khas dalam satu dua hari.
Gambar 2. Lesi dendritik
9
Gambar 3. Lesi geografik
Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis
herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel
yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.
2. Pemeriksaan Penunjang
2.1. Uji Fluoresein
Uji untuk melihat adanya defek pada epitel kornea. Caranya kertas
fluorescein dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologis kemudian diletakkan
pada saccus konjungtiva inferior setelah terlebih dahulu penderita diberi anestesi
lokal atau dapat juga dengan diberikan tetes mata fluorescein 2%. Penderita
diminta menutup matanya selama 20 detik, kemudian kertas diangkat. Pasien lalu
diperiksa menggunakan slit lamp dengan sinar cobalt blue. Defek kornea akan
terlihat berwarna hijau sebagai uji fluoresein positif.
10
Gambar 4.Tes Fluorescein
2.2 Uji Sensibilitas Kornea
Uji untuk menilai fungsi saraf trigeminus kornea. Caranya dengan
meminta penderita melihat jauh ke depan, kemudian dirangsang dengan kapas
basah dari bagian lateral kornea. Bila terdapat refleks mengedip, rasa sakit atau
mata berair berarti fungsi saraf trigeminus dan fasial baik.
Selain dengan metode tersebut dapat juga dinilai sensibilitas kornea
dengan menggunakan alat yang disebut dengan aesthesiometer.
11
Gambar 5. Tes sensibilitas kornea
Gambar 6. Aesthesiometri
Selain pemeriksaan pada kornea, dapat dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan berupa :
· Pewarnaan Giemsa
· Pewarnaan Papanicolaou
· Kultur virus
· Imunohistokimia untuk melihat antigen virus
· PCR
Pada pewarnaan Giemsa dari scrapping kornea menunjukkan adanya
multinucleated giant cells. Sedangkan pada pewarnaan Papanicolaou akan
ditemukan intranuclear eosinophilic inclusion bodies.
F. Terapi
Terapi keratitis HSV bertujuan untuk menghentikan replikasi virus di dalam
kornea sambil mengurangi efek merusak respon radang.
1. Medikamentosa
Agen antiviral topical yang dipakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Untuk penyakit stromal trifluridine dan
12
acyclovir jauh lebih efektif dibandingkan dengan yang lain. Idoxuridine dan
trifluridine sering menimbulkan reaksi toksik. Acyclovir oral bermanfaat untuk
pengobatan penyakit herpes mata berat khususnya pada individu atopic yang
rentan terhadap penyakit herpes mata dan herpes kulit yang agresif (eczema
herpeticum). Dosis untuk penyakit aktif adalah 400 mg 5 kali perhari pada pasien
nonimmunocompromized dan 800 mg 5 kali sehari pada pasien atopic atau imun
lemah. Dosis profilaksis penyakit rekurens adalah 400 mg 2 kali sehari. Dalam hal
ini penggunaan kortikosteroid topical tidak diperlukan bahkan berpotensi sangat
merusak. 1
2. Non medikamentosa
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial,
karena virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban
antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun
epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat
menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau
homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit
tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek
korneanya sembuh umumnya adalah 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti
virus topikal mempercepat pemulihan epitel. Terapi obat topikal tanpa
debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu
ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan obat.
menyebabkan penurunan tajam penglihatan.
Keratolasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi
penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya
dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi
herpes rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan kortikosteroid topikal yang
diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan
penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens. Perforasi kornea
akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau fungi mungkin
13
memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan sianokrilat dapat
dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft “pelekat” lamelar
berhasil baik pada kasus tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan
dibanding keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan terjadi
penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi mungkin
diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat pada keratitis herpes
simplek.
Selain yang telah disebutkan, perlu dilakukan pengendalian mekanisme
pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV. Dapat dilakukan anamnesis atau
wawancara mendalam pada pasien untuk mengetahui faktor pemicu. Begitu
ditemukan, pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk mencegah
demam, pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat dihindari.
Keadaan – keadaan yang dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. 1
G. Prognosis
Prognosis biasanya tergantung dari tingkat keparahan penyakit dan
frekuensi terjadinya kekambuhan tetapi secara umum prognosis akhirnya baik
karena tidak terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea. Bila tidak diobati,
penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan gejala sisa.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Eva, PR; Whitcher, JP. Kornea. In: Susanto D, Editor. Oftalmologi Umum
Vaughan & Asbury. Ed: 17. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2007:125.
2. American Academy of ophthalmology. External Disease and Cornea.
Section 8. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2010: 6-
9, 164-167.
3. Ilyas, Sidarta. 2010. Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3. Balai Penerbit FKUI
Jakarta.
4. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI. Hal: 56.
5. Colin J. 2007. Ganciclovir ophthalmic gel, 0.15%: a valuable tool for
treating ocular herpes. Clinical Ophthalmology.
http://openi.nlm.nih.gov/imgs/rescaled512/2704535_opth-1-441f2.png
6. Fluorescein eye stain.
http://www.scripps.org/encyclopedia/graphics/images/en/9330.jpg
7. Yudcovitch L. The Use of Anesthetics, Steroids, Non-Steroidals, and
Central-Acting Analgesics in the Management of Ocular Pain. Pacific
University Oregon.
http://pacificu.edu/optometry/ce/courses/22746/images/
clip_image002_001.jpg
8. Aesthesiometry. http://eyewiki.aao.org/images/1/8/8f/Esthes_4.jpg
15