Download - referat anestesi print .doc
TUGAS REFERAT
MANAJEMEN JALAN NAPAS SULIT PADA PASIEN OBSTETRI
Oleh
Laila Nurmala
H1A 010 058
Pembimbing:
Dr. H. Sulasno, Sp.An
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA
SMF ANESTESI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak dapat dipandang mudah. Seorang dokter
anestesi adalah orang yang paling mengerti dalam penatalaksanaan jalan nafas. Kesulitan
terbesar dari seorang dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat diamankan.
Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting dalam penanganan
pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit penting untuk dilakukan
penanganan. Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1-18% pasien memiliki jalan nafas yang
sulit. Dari jumlah ini 0,05-0,35% pasien tidak dapat diintubasi dengan baik, bahkan sejumlah
lainnya sulit untuk diventilasi dengan sungkup. Jika kondisi ini ditempatkan pada seorang dokter
yang memiliki pasien sedang banyak maka dokter tersebut akan meemui 1-10 pasien yang
memiliki anatomi jalan nafasyang sulit untuk diintubasi.
Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam bentuknya , dari kerusakan otak
sampai kematian. Resiko tersebut berhubugan dengan tidak adekuatnya penatalaksanaan jalan
nafas pasien yang dibuktikan pada jumlah kasus-kasus malpraktek yang diperiksa oleh American
Society of Anesthesiologist Closed Claims Project . pada kasus – kasus yang sudah ditutup
tersebut terhitung bahwa jumlah terbanyak insidensi kerusakan otak dan kematian disebabkan
oleh kesulitan respirasi . tujuan dari bab berikut adalah mendiskusikan dasar-dasar dari anatomi
jalan nafas dan penatalaksanaan jalan nafas sulit. `
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI JALAN NAFAS
Secara sistem, jalan nafas dimulai dari bagian luar yaitu mulut dan hidung kemudian
berakhir di alveolar. Pemahaman mengenai anatomi jalan nafas dapat membantu
penatalaksanaan pasien selama periode operatif. Pada bagian berikutnya akan dilakukan
peninjauan mengenai dasar anatomi jalan nafas dan fungsionalnya. Anatomi jalan nafas akan
didiskusikan dalam beberapa bagian yaitu jalan nafas supraglotis, laring dan jalan nafas
subglotis.
2.1.1 Jalan Nafas Supraglotis
Hidung
Hidung berfungsi melembabkan dan menghangatkan udara saaat udara masuk kedalam hidung.
Udara yang masuk dari hidung dibatasi dengan ukuran dari turbin pada lubang hidung, dimana
didalamnya banyak terdapat pembuluh darah, sehingga pada pemasukan endotracheal tube atau
bronchoscope melalui hidung dapat menyebabkan banyak perdarahan. Septum nasal kadang
berdeviasi pada beberapa orang sehingga menyebabkan salah satu lubang hidung akan
menyempit dibandingkan dengan sisi sebelahnya. Nasofaring kemudian terbuka dan
menyambung dengan orofaring. Cabang dari Nervus V yang akan menginervasi sensorik pada
hidung.
Faring
Ruang pada bagian posterior rongga mulut dapat dibagi dalam nasofaring, orofaring, dan hipo
faring. Jaringan limfoid pada sekitar faring dapat mempersulit proses intubasi dengan
endotracheal tube karena jaringan tersebut menutupi jalan masuk. Otot internal dari faring
membantu proses menelan dengan mengangkat palatum. Sedangkan otot eksternalnya
merupakan otot konstriktor yang membantu mendorong makanan masuk kedalam esophagus.
Gerakan otot ini dapat mempengaruhi jalan masuk dari endotracheal tube pada pasien yang akan
dilakukan intubasi sadar ataupun pada pasien yang teranestesi ringan. Persarafan sensorik dan
motorik dari faring berasal dari Nervus Kranial IX kecuali pada Muskulus Levator Veli Palatini
yang dipersarafi oleh Nervus Kranial V.
Penyumbatan jalan nafas dapat terjadi pada daerah faring. Ini terjadi pada saat timbulnya
pembengkakan yang akan membatasi masuknya udara. Penyumbatan tersebut terjadi pada daerah
Palatum Molle yang kemudian menepel pada dinding nasofaring. Contoh lidah dapat jatuh
kebelakang dan kemudian akan menyumbat jalan nafas dengan menempel pada dinding posterior
orofaring. Kondisi ini dapat terjadi pada pasien yang tersedasi dan teranestesi ataupun pada
pasien sewaktu tidur. Penyumbatan terjadi akibat penurunan tonus otot dan penurunan fungsi
lumen faring. Pada pasien yang bernafas spontan, penurunan fungsi lumen jalan nafas dapat
berhubungan dengan meningkatnya frekuensi respirasi dan menghasilkan jumlah tekanan negatif
yang besar dibawah tingkat obstruksi. Keadaan ini dapat menjadi lebih buruk dengan
penyumbatan yang timbul akibat adanya tekanan negatif yang menekan jaringan lunak ke daerah
yang kolaps. Permasalahan seperti ini terdapat pada pasien dengan obstuktive sleep apnea.
Laring
Laring memiliki bentuk yang rumit yang berfungsi yaitu melindungi jalan nafas bawah,
sebagai salah satu organ untuk fonasi, dan membantu proses pernafasan. Semua fungsi tersebut
bergantung pada proses interaksi antara kartilago, tulang, dan jaringan lunak yang merupakan
komponen dari faring dan laring. Laring memiliki 9 kartilago yaitu Epiglotis, Tiroid, Krikoid,
Sepasang Aritenoid, Sepasang Cuneiformis dan Sepasang Corniculata. Laring memiliki otot-otot
ekstrinsik dan intrinsik. Persarafan sensorik dan motorik dari jalan nafas bagian atas juga
banyak. Struktur Laring .Bentuk struktur laring terdapat pada gambar 6-1. Tulang Hyoid akan
menggantung pada laring dan menempel pada tulang Temporal melalui ligament Stylohyoid.
Kartilago Laring.
o Kartilago Tiroid : Merupakan kartilago terbesar dari laring dan memiliki sudut
yang lebih tajam pada laki-laki sehingga memberikan bentuk menonjol dan
panjang. Memberikan nada rendah pada pita suara. Kartilago ini melekat pada
membrane Hyoid di bagian atas dan berartikulasi dengan kartilago Krikoid di
bagian bawah. Bagian batang Epiglottis dan ligamen Vestibular melekat pada
permukaan bagian dalamnya. Kartilago Krikoid : Berbentuk cincin utuh dengan
bagian belakang yang lebih lebar melekat pada Esophagus. Sudut anterior
melekat pada kartilago tiroid melalui membrane Cricotiroid. Membran
Cricotiroid tidak memiliki pembuluh darah sehingga dapat menjadi akses jalan
nafas dalam keadaan gawat darurat dengan cara insisi di bagian tengahnya atau
dengan menusukan jarum pada bagian tengahnya.
o Kartilago Aritenoid :Berbentuk pyramidal, Aritenoid adalah tempat tambatan
bagi beberapa otot internal laring dan juga bagi pita suara. Kartilago Cuneiformis
dan Corniculata melekat pada kartilago ini melalui ligamennya.
o Epiglotis : Merupakan stuktur bentuk kartilago yang besar berbentuk tetesan air
atau daun atau sadel sepeda. Sifatnya flesibel dengan ukuran yang berbagai
macam. Terletak vertical dibelakang tulang Hyoid dan melekat pada ligamen
Hyoepiglotis. Dasar epiglottis melekat pada Aritenoid melalui lipatan
Aryepiglotis. Mukosa dari Epiglotis berjalan ke anterior dan lateral membentuk
ruang antara lipatan Faringoepiglotis yang disebut Valecula. Ruang ini
merupakan tempat jatuhnya benda asing seperti makanan dan juga merupakan
tempat yang tersedia untuk meletakan ujung dari bilah laringoskop Macintosh.
Interior Laring
Bagian dalam laring merupakan struktuk bentuk yang rumit juga. Lekukan pada laring
dari faring berbentuk hampir tegak lurus. Rongga laring dapat dibagi menjadi beberapa bagian.
Vestibula memanjang dari lengkung laring kearah lipatan vestibular yang disebut sebagai pita
suara palsu. Ventrikel laring memanjang dari pita suara palsu sampai ke pita suara asli. Daerah
antara pita suara saat menutup dan kartilago Aritenoid disebut Rima Glotis. Bagian ini adalah
bagian yang paling dangkal dari jalan nafas atas pada orang dewasa. Infraglotis laring
memanjang dari pita suara sampai bagian atas trakea dibatasi oleh membrane Cricotiroid dan
kartilago Krikoid. Daerah ini adalah daerah yang paling dangkal pada jalan nafas anak.
2.1.2 Jalan Nafas Subglotis
Jalan nafas subglotis memanjang dari kartilago Cricoid sampai alveolar. Rangkuman lengkap
mengenai anatomi ada diluar bab ini, bagaimanapun diskusi-diskusi mengenai anatomi dari
bronkus mayor akan dibahas.
Trachea
Trakea dimulai dari kartilago Cricoid dan memanjang sampai T 5 (Panjang ±10 – 20 cm).
Kartilago tracheal adalah cincin yang tidak utuh bulat dengan bagian posterior berbentuk
datar tanpa kartilago. Percabangan bronkus ada ke kiri dan ke kanan dimana pada
bronkus kanan sudut percabangannya lebih landai pada orang dewasa sehingga pada saat
intubasi endotracheal tube lebih mudah masuk ke bronkus kanan.
Bronkus Lobaris Paru kanan dan kiri mempunyai anatomi lobus yang berbeda. Paru
kanan mempunyai tiga lobus yaitu atas, tengah dan bawah sementara paru kiri
mempunyai dua lobus yaitu atas dan bawah. Tinggi lobus paru kanan lebih tinggi
daripada paru kiri. Perbedaan ini berguna pada pembedaan antara kiri dan kanan pada
saat dilakukan bronchoscopy.
2.2 PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS SULIT
Idealnya, semua pasien mempunyai anatomi jalan nafas normal, sehingga pasien
manapun saat pasien menjalani tindakan medis yang membutuhkan pengendalian jalan nafas
tidak akan memiliki resiko diatas. Karena hal ini bukan hal yang relistik maka seorang dokter
anestesi harus mempunyai cara untuk mengetahui dan menangani pasien-pasien dengan anatomi
jalan nafas abnormal. Secara sederhana, penatalaksanaan pasien dengan kesulitan jalan nafas
adalah dengan: Prediksi, Preparasi, Practice
Prediksi
Mengetahui kondisi pasien dengan resiko anatomi jalan nafas sulit akan membuat dokter anestesi
dapat mempertimbangkan berbagai pilihan cara penatalaksanaan jalan nafas beserta dengan
persiapan-persiapannya. Hal ini penting karena pada beberapa tehnik yang dilakukan (akan
dibahas berikutnya) akan sulit dilakukan jika terjadi perdarahan pada jalan nafas, dan beberapa
pasien bahkan menjadi apneu yang kemudian berpotensi menjadi hipoksia saat dilakukan induksi
anestesi. Beberapa cara umum yang dapat dipakai untuk memprediksi adanya intubasi sulit atau
tidak yaitu dengan pemeriksaan fisik. Yang utama adalah mengevaluasi tes prediksi karena
dibutuhkan beberapa klarifikasi. Kesulitan intubasi dikatakan dapat terjadi bila seorang dokter
anestesi tidak dapat memasukan endotracheal tube pada waktu dan cara yang tepat. Dapat
dikatakan bahwa dibutuhkan lebih dari satu kali percobaan untuk melakukan intubasi.
Bagaimanapun juga sulit intubasi dapat dihubungkan dengan derajat terlihat atau tidaknya
penglihatan dari laringoskop. Dikatakan sulit intubasi apabila pada penglihatan terlihat derajat III
atau IV. Derajat I : Pita suara terlihat, Derajat II : Hanya sebagian pita suara terlihat, Derajat III :
Hanya epiglottis yang terlihat., Derajat IV : Epiglottis tidak terlihat samasekali.
Pada penelitian sebelumnya sudah ada perbandingan macam-macam tes untuk
memprediksi cara-cara terbaik untuk menetukan intubasi sulit. Ada berbagai faktor yang harus
dievaluasi dalam memeriksa pasien untuk dilakukannya intubasi endotracheal. Riwayat Pasien:
Kebanyakan pasien tidak mengetahui riwayat intubasi sebelumnya jika pada pasien tersebut saat
dilakukan intubasi sebelumnya tidak memiliki kesulitan intubasi. Tetapi bagaimanapun juga
pasien yang memiliki riwayat intubasi yang sulit yang sudah diketahui oleh pasien tersebut
kemungkinan besar akan mengalami intubasi sulit terus. Kondisi-kondisi yang dapat
menimbulkan intubasi sulit adalah : Sindrome congenital, termasuk Sindrom Down, Goldenhar,
Treacher Collins, Pierre Robin dan Mucopolysacharidoses, dll. Penyakit Tulang, termasuk
Rheumatoid Arthritis, Ankylosing Spondylitis, Fiksasi atau Fraktur Mandibula, Ankylosis sendi
Temporomandibular. Kelainan Jaringan Lunak, termasuk Obesitas, Tumor, Hemangioma, Abses,
Infeksi Jalan Nafas seperti Epiglotitis, Perdarahan. Trauma pada wajah dan leher, luka baker,
perubahan-perubahan post operasi termasuk bekas luka, perubahan akibat radiasi.
Bentuk gigi: Gigi Insisivus depan yang menonjol dapat mempersulit melihat laring selama
dilakukannya intubasi, perhatian khusus diberikan pada pasien yang memiliki gigi yang terbelah
yang dapat memuat bilah laringoskop. Pergerakan sendi temporomandibular: Dapat dinilai dari
bukaan mulut yang kemudian ditentukan dengan mengukur jarak interincisor dan kemampuan
untuk prognasi. Jarak Interincisor paling tidak harus muat untuk dilewati bilah standar
laringoskop.
Derajat Orofaringeal: lebih umum disebut sebagai derajat Mallampati; Dilakukan evaluasi
dengan membuka mulut agar terlihat faring. Penilaian dari derajat 3-4 adalah merupakan
kemungkinan besar akan terjadi intubasi sulit . Lebar palatum: Pasien dengan palatum yang
panjang dan dangkal memiliki anatomi jalan nafas yang sulit. Jarak thyromental: adalah jarak
dari sumbu anterior mandibula sampai dengan puncak kartilago thyroid. Semakin pendek maka
anterior laring akan semakin terlihat.
Luas ruang mandibula: adalah faktor yang penting untuk dievaluasi, selama intubasi lidah
dan jaringan lunak lain didasar mulut akan terdorong ke anterior ke ruang mandibula dan
menyebabkan akan terlihatnya laring. Pasien dengan ruang mandibula yang kecil seperti pada
pasien obesitas atau pasien dengan infeksi akan mempersulit untuk terlihatnya laring selama
intubasi.
Lemak tubuh juga harus dievaluasi terutama lemak pada daerah leher yang tebal dan luas
serta kelainan anatomi lain yang membuat pergerakan kepala menjadi terbatas seperti tumpukan
lemak diantara scapula. Pergerakan leher dinilai berdasarkan pergerakan fleksi dan ekstensinya.
Pergerakan kepala pada persendian atlantooccipital dinilai juga. Pergerakan yang terbatas pada
sendi ini akan membuat laring terlihat ke anterior. Penilaian tes-tes tersebut telah dilakukan di
semua literatur. Semakin banyak faktor yang dinilai, maka semakin akurat hasil prediksi untuk
penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas sulit. Semakin banyak hasil prediksi negatif dari
pemeriksaan tersebut maka kemungkinan adanya kesulitan anatomi jalan nafas akan semakin
tinggi. Jika semua faktor penilaian anatomi jalan nafas adalah normal maka tingkat kesulitan
untuk intubasi akan semakin rendah.
Pemeriksaan jalan nafas dapat dilakukan dengan berbagai cara. “The American Society
of Anesthesiologist (ASA) Task Force on Difficult Airway Management” telah mengumumkan
pemeriksaan secara ekstensif untuk menemukan hal-hal yang diwaspadai yang berhubungan
dengan kesulitan intubasi (tabel 6-3). Satu set cara yang berhasil baik untuk dilakukannya
evaluasi terdapat dibawah ini, pasien dengan posisi duduk atau setengah duduk dinilai:
Lemak Tubuh, terutama distribusinya disekitar leher dan kepala.
Preparasi
Persiapan yang adekuat untuk menangani pasien dengan jalan nafas yang sulit membutuhkan
pengetahuan dan juga perlengkapan yang tepat. Pengetahuan yang dibutuhkan untuk penanganan
pasien ini adalah pengetahuan lanjutan yang sama untuk penatalaksanaan semua pasien, kecuali
adanya beberapa tambahan tertentu. ASA sudah menetukan beberapa tambahan secara algoritma
untuk penatalaksanaan jalan nafas sulit. Algoritma tersebut adalah:
1. Menentukan gejala dan manifestasi klinik dari penatalaksanaan masalah dasarnya :
a. Ventilasi sulit.
b. Intubasi sulit.
c. Kesulitan dengan pasien yang tidak kooperatif.
d. Sulit untuk ditrakeostomi.
2. Secara aktif mencari kesempatan untuk menangani kasus-kasus penatalaksanaan jalan
nafas sulit.
3. Mempertimbangkan kegunaan dan hal-hal dasar yang mungkin dilakukan sebagai pilihan
penatalaksanaan :
a. Intubasi sadar Versus Intubasi setelah Induksi pada GA.
b. Pendekatan tehnik intubasi non invasif Versus Pendekatan tehnik intubasi invasif.
c. Pemeliharaan ventilasi spontan Versus Ablasi ventilasi spontan.
4. Membuat strategi utama dan alternatifnya .
Keberhasilan aplikasi dari algoritma tergantung pada pengenalan pada pasien yang memiliki
anatomi jalan nafas, ventilasi ataupun kooperatif yang sulit. Dokter anestesi harus memiliki
berbagai macam pertimbangan dalam metode-metode penatalaksanaan jalan nafas (Sadar atau
tidak, jalan nafas surgical atau tidak). Penatalaksanaan yang baik tergantung pada oksigenasi
atau ventilasi yang adekuat pada saat mengendalikan jalan nafas. Dari algoritma tersebut jelas
disebutkan pilihan-pilihan yang harus diambil pada saat penatalaksanaan agar dapat memperoleh
ventilasi dan oksigenasi yang baik. Beberapa perlengkapan yang tersedia dapat membantu
melaksanakan intubasi sulit menjadi berhasil diintubasi ( seperti fiberoptic, retrograde, dll ) atau
tidak bisa diventilasi menjadi bisa diventilasi ( Transtracheal jet, LMA ). Perlengkapan yang
dipilih harus berdasarkan pada keahlian dari masing-masing dokter anestesi tersebut. Jumlah
pilihan tersebut sangat banyak dan beberapa pilihan akan didiskusiskan berikut ini.
2.3.PERLENGKAPAN UNTUK PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS SULIT
Jalan Nafas dapat berupa oral ataupun nasal, dapat membantu mengubah tidak bisa
diventilasi menjadi bisa diventilasi.
Stylets, Intubasi Guides and Bougies
Ini adalah merupakan kawat standar yang digunakan untuk membuat endotracheal tube menjadi
kaku, sehingga mempermudah intubasi ke dalam laring. Stylets sangat berguna untuk intubasi
pada laring yang lebih ke anterior. Berguna juga untuk membantu proses “Blind Intubasi”
dengan transiluminasi pada laring. Stylets untuk intubasi juga didesain untuk ventilasi dengan
ujung tengahnya yang dapat membantu membuat “Jet Ventilation” atau membantu verifikasi
karbon dioksida pada saat stilet tersebut di letakkan di jalan nafas.
Airway Exchange Catheter
Kateter ini membantu proses oksigenasi dan membantu memantau jumlah karbon dioksida
selama pemasangan endotracheal tube. Dapat digunakan bersama dengan “Jet Ventilation” untuk
meningkatkan oksigenasi selama pemasangan endotracheal tube.
Specialized Forceps
Forsep ini digunakan untuk memandu proses pemasangan endotracheal tube masuk ke laring
atau untuk membantu meretraksi lidah selama intubasi fiberoptic.
Laringoscopy
Laringoscopy ini dibuat dengan berbagai macam perlengkapannya. Laringoskop direct vision
rigid dilengkapi dengan berbagai bentuk dan ukura bilah. Pada pasien tertentu memiliki
kecocokan dengan bentuk bilah tertentu. Contoh, Pasien yang memiliki epiglottis yang panjang
dan menjuntai lebih cocok menggunakan bilah lurus daripada bilah Macintosh. Laringoskop
semidirect rigid mempunyai prisma pada bilahnya sehingga bisa melihat struktur laring pasien
yang tidak bisa dilihat secara langsung namun terlihat melalui prisma tersebut. Laringoskop fiber
optis rigid seperti Bullard dan Upsher scopes dapat memvisualisasi laring melalui fiberopticnya.
Scopes ini sangat berguna pada pasien dengan laring yang lebih ke anterior.
Keuntungan dari intubasi dengan laringoskop fiberoptic rigid termasuk :
- Penggunaan Scopes rigidnya sama dengan laringoskop biasa,
- Kurva lengkungnya lebih pendek,
- Lebih tahan lama daripada scopes fiberoptic flexible.
Kerugian intubasi dengan laringoskop fiberoptic rigid :
- Melihat endotracheal tube masuk ke laring melalui fiberoptic tetapi tidak melalui scope-nya
- Tehnik penggunaannya lebih sulit atau kurang lazim dipergunakan.
- Ukuran batas pasien berhubungan dengan ukuran besar bilah.
Fiberoptic Bronchoscopic Intubation
Fiberoptic Bronchoscopic Intubation (FBI) menggunakan bronchoscopes flexible untuk intubasi.
Banyak perusahaan sudah membuat scopes untuk intubasi dengan bentuk lebih panjang dan lebih
kecil diameternya dari ukuran standard diagnostic bronchoscopes. Keuntungan dari FBI
termasuk:
- Endotracheal tube masuk ke trakea dengan penglihatan langsung melalui scope.
- Tidak terbatas pada ukuran besar pasien karena scope-nya memiliki berbagai macam ukuran.
- Untuk kepentingan terapi seperti penempatan bronchial blockers dan double lumen
endotracheal tube. Selain itu dapat digunakan juga untuk mengangkat sekret dari bronkus.
Kerugian FBI termasuk: Tehnik penggunaannya sulit untuk dipelajari, Perlengkapannya mudah
rusak dan mahal, Kesulitan penggunaan FBI termasuk: Darah dan sekret dapat mengaburkan
penglihatan. Mudah untuk “menyasar” didaerah jalan nafas, terutama daerah midline.
Anatominya berubah. Permasalahan khusus dengan FBI: Endotracheal tube dapat tergantung
pada struktur laring. Scope dapat terputar di laring. Lensanya dapat berkabut. Saran intubasi
dengan fiberoptic. Berapa banyak? Secara umum dibutuhkan 10 kali percobaan intubasi untuk
bisa menggunakan broncoscope dengan lancer. Kurang lebih 25 kali terbiasa intubasi pada
pasien normal dan lebih baik lagi jika bisa melakukan intubasi sulit. Bagaimana cara belajar
menggunakannya? Harus terbiasa menggunakan Scope-nya. Belajar untuk memegang dan
menggerakan scope-nya dengan cara yang sama setiap waktu. Teropong atau scope diletakan
ditengah diantara kedua tangan agar pergerakan dari teropong dapat sesuai kearah yang kita
gerakan. Memasukan scope ke faring diusahakan agar posisinya tetap di garis tengah. Intubasi
nasal karena posisi nasal yang ditengah menyebabkan scope tetap ditengah. Struktur pada jalan
nafas atas harus dikenali; maju 8-10 cm. ujung scope digerakan ke atas/anterior kemudian
diflexikan untuk melihat laring, kemudian scope diputar ke distal dan diposisikan di tengah
didepan pita suara. Untuk melewati pita suara ujung dari scope dikembalikan ke posisi semula
agar dapat masuk ke trakea. Kemudian posisikan scope diatas karina tanpa menyentuhnya karena
dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk. Masukan endotracheal tube ke dalam trakea
dengan tampilan gambar di scope tetap pada karina. Jika endotracheal tube tidak bisa masuk,
coba dilakukan tehnik dibawah pada berikut ini. Jangan memaksakan/memasukan endotracheal
tube dengan kekerasan karena dapat menyebabkan kerusakan pada jalan nafas ataupu pada
scope.
Tehnik anestesi: Dimulai dari pasien normal, setelah pasien ditidurkan, dilumpuhkan dan
diventilasikan oleh asisten dengan menggunakan sungkup. Kemudian meningkat pada pasien
tidur, bernafas spontan, dengan atau tanpa anestesi regional pada jalan nafas. Kuasai hal-hal ini
dulu sebelum melakukan FBI pada pasien sadar, tersedasi, bernafas spontan. Anestesi regional
pada jalan nafas akan membantu memfasilitasi intubasi pada pasien sadar atau tersedasi.Anestesi
yang adekuat untuk intubasi membutuhkan blok baik sensorik maupum motorik dari permukaan
laring dan otot-ototnya. Hal ini membutuhkan blok dari Nervus Laringesus Superior dan Nervus
Laringeus Rekuren. Ada beberapa resiko untuk anestesi regional pada jalan nafas. Blok pada
Nervus Laringeus Superior akan memblok sensorik dari dasar lidah dan epiglottis sehingga dapat
terjadi aspirasi pada pasien oleh karena masuknya benda asing yang dimuntahkan pasien. Ini
terjadi karena reflek untuk menutup pada laring sudah terblok sehingga laring tidak dapat
berfungsi normal. Biasanya blok pada Nervus Laringeus Rekuren menyebabkan timblulnya blok
motorik pada otot Laringeal adductor dan mencegah reflek menutup sehingga benda asing yang
dimuntahkan pasien juga dapat masuk dan terjadi aspirasi. Resiko yang lebih buruk dapat terjadi
pada saat terjadinya aspirasi benda dalam lambung saat dilakukannya anestesi regional pada
jalan nafas. Karena alasan ini anestesi regional pada jalan nafas menjadi kontra indikasi pada
pasien dengan lambung penuh atau pada pasien dengan penyakit reflux esophageal.
Perlengkapan intubasi: Terdapat beberapa alat yang dapat digunakan. Intubasi dengan
menggunakan scope dapat dilakukan saat ruang orofaring terbuka. Sungkup intubasi juga
tersedia sehingga kita dapat intubasi saat dilakukannya ventilasi oleh rekan kerja kita. The
Cuffed Oropharingeal Airway (COPA) juga dapat digunakan, dan pasien juga tetap dapat
diintubasi saat dilakukannya ventilasi. Bagaimanapun juga ujung dari scope harus didorong
melewati cuff dari COPA untuk dapat memvisualisasi pita suara, setelah itu baru diintubasi. Kita
juga dapat melakukan intubasi dengan menggunakan LMA. Cara terbaik untuk melakukan
endoskopi adalah dengan meminta bantuan dari rekan kerja untuk melakukan jaw thrust atau
menarik lidah pasien untuk membantu kita.
Kemungkinan masalah yang akan timbul: Beberapa pasien mungkin akan membutuhkan tehnik
tertentu untuk dilakukannya intubasi. Masalah yang sering timbul adalah menempatkan ujung
dari scope pada trakea sebab kemungkinan yang sering timbula adalah ET tidak dapat masuk,
penyebab hal ini antara lain: Ujung dari ET yang tersangkut pada tulang rawan atau letak scope
pada posisi faring posterior. Jika dilakukan pemaksaan maka kemungkinan akan timbul cedera
pada jalan nafas dan ini tidak menyelesaikan masalah. Yang harus dilakukan adalah menarik
scope perlahan sambil mempertahankan trakea tertap terlihat dan masukan ET lagi. Yang harus
disadari adalah jika karina sudah terlihat maka intubasi masih harus terus dilanjutkan dan bukan
berhenti sampai disitu saja. Endotracheal tube dapat tidak masuk saat dilakukannya intubasi
nasal dan ini dapat menimbulkan perdarahan yang dapat menggagalkan endoskopi fiberoptic.
Endotracheal tube yang terlalu besar untuk pasien ataupun pita suara pasien yang tertutup juga
dapat mempersulit intubasi.
Pasien yang kecil: Jika endotracheal tube terlalu terlalu kecil untuk bisa dilewati scope maka
dibawah penglihatan langsung dapat dipasangkan guide wire (Dari ureteral stent atau
perlengkapan retrograde intubation) pada ujung suction dari bronchoscope untuk masuk kedalam
trakea. Setelah itu singkirkan bronchoscope dan tinggalkan wire tetap didalam trakea. Masukan
endotracheal tube dengan bantuan wire tersebut sementara dilakukannya visualisasi dari laring
dengan bronchoscope.
Latihan dengan menggunakan bronchoscope untuk intubasi pada kondisi pasien tidak sadar dan
dilumpuhkan. Biasanya dibutuhkan 10-20 kali latihan intubasi agar dapat mengintubasi pasien
normal dengan baik. Jika hal ini sudah berhasil maka tehnik tersebut ditingkatkan pada pasien
dengan kondisi tidak sadar dan bernafas spontan. Dengan latihan terus menerus (kurang lebih 40
kali intubasi) maka seorang dokter dapat melakukan intubasi dengan baik pada pasien dengan
anatomi jalan nafas abnormal, bahkan pada pasien sadar.
Aturan Pemasangan Laringeal Mask Airway pada penatalaksanan jalan nafas sulit
LMA dapat membantu mengubah kondisi pasien yang tidak bisa diventilasi menjadi bisa
diventilasi. LMA menjadi salah satu cara intubasi aman pada jalan nafas alternatif pasien sadar
atau juga dengan trakeostomi. Bagaimanapun juga bila ventilasi sudah dapat diyakinkan maka
tehnik jalan nafas yang lain dapat dilakukan dengan aman. The Intubating Laryngeal Mask
Airway (ILMA) adalah salah satu perlengkapan untuk penatalaksanaan pasien dengan anatomi
jalan nafas sulit. Penempatan endotracheal tube dapat dilakukan dengan baik pada hampir semua
pasien dengan alat ini, bahkan pada percobaan intubasi pertama. Penggunaan ILMA harus
dipertimbangkan pada penanganan awal pasien dengan anatomi jalan nafas sulit yang tidak
diduga karena dapat membantu mengendalikan jalan nafas pasien. Jika ILMA tidak tersedia,
maka LMA masih dapat digunakan untuk membantu intubasi pasien, sebagai blind intubasi atau
dengan airway exchange catheters atau dengan fiberoptic bronchoscopes (tabel 6-4).
Blind Intubation dengan endotracheal tube melalui laryngeal mask airway
Tempatkan LMA dan pastikan ventilasi melalui LMA. Berikan lumbrikasi pada ET melalui
LMA, putar 90º dari posisi normal agar mudah melewati LMA; Pada jarak 20 cm, putar ET
kembali ke posisi normal. Masukan ET ke dalam trakea, kembangkan cuff, dan pastikan
ventilasi.
Amankan ET dan LMA pada tempatnya atau potong dan pisahkan LMA agar ET dapat
diposisikan dengan aman. Intubasi fiberoptic melalui laryngeal mask airway
Tempatkan LMA dan pastikan ventilasi melalui LMA.
Berikan lumbrikasi pada ET kemudian ET diposisikan di bronchoscope. Masukan
bronchoscope melewati LMA, kemudian masuk ke trakea. ET akan masuk bersama dengan
bronchoscope. Pastikan posisi ET terlihat dan tarik bronchoscope. Amankan ET dan LMA pada
tempatnya atau potong dan pisahkan LMA agar ET dapat diposisikan dengan aman. Passage of
Intubating Guide melalui laryngeal mask airway. Tempatkan LMA dan pastikan ventilasi melalui
LMA. Masukan Ventilating atau non ventilating guide melalui LMA – Ventilating guide dapat
memberikan verifikasi posisi dari guide dengan capnometry sebelum endotracheal tube masuk.
Pindahkan LMA, masukan ET dengan ukuran yang tepat melalui guide kemudian angkat
intubating guide. Pastikan posisi ET di trakea dengan bronchoscope, capnometry dan ventilasi.
Amankan ET. Laringeal Mask Airway dapat memventilasi pasien sewaktu dilakukannya tehnik
penatalaksanaan jalan nafas lainnya Trakeostomi. Retrograde wire-guide intubation.
Kesulitan pemasangan laryngeal mask airway pada penatalaksanaan jalan nafas sulit
Epiglottis dapat jatuh menutupi sewaktu pemberian jalan nafas dan keterbatasan ukuran ruang
untuk memasukan alat lain kedalam trakea. Hal ini dapat terjadi meskipun pasien dapat
diventilasi. Batang dari LMA dapat membatasi jalan masuk alat lainnya.
Endotracheal tube mungkin terlalu pendek untuk masuk kedalam trakea melalui LMA.
Kombinasi LMA dan endotracheal tube sulit untuk diamankan dan dapat terlepas keluar dari
trakea. Adanya resiko aspirasi dari benda-benda yang berasal dari lambung. Pemasangan proseal
dapat menurunkan resiko ini.
2.4 TEHNIK JALAN NAFAS LANJUTAN
Intubasi Retrograde: Jalan masuk dari endotracheal tube dapat dibantu oleh guide wire
melalui membrane krikotiroid menuju jalan nafas atas dengan cara retrograde. Tehnik ini dapat
dipergunakan dengan menggunakan alat Bantu yang sudah disediakan dalam kotak perlengkapan
yang tersedia. Dengan latihan, tehnik ini dapat dilakukan dengan jangka waktu yang tidak lama.
Ventilasi Transtracheal Jet: Dalam hubungannya dengan jalan nafas yang potensial, jet
ventilation masuk kedalam trakea dengan menembus membran krikotiroid yang kemudian akan
memberikan ventilasi yang adekuat pada pasien yang tidak mungkin untuk dilakukannya
intubasi. Jet ventilation membutuhkan sumber gas dengan tekanan yang tinggi agar dapat
berfungsi efektif, seperti flush gas dari mesin anestesi atau dari katup sumber gas oksigen yang
terdapat di dinding. Transtrcheal Jet Ventilation dapat menjadi penyelamat hidup namun harus
dilihat juga sebagai salah satu jembatan untuk melakukan penatalaksanaan jalan nafas
alternative. Ada beberapa resiko terhadap tehnik ini yaitu diantaranya adalah barotrauma dan
emfisema subkutis.Chricothyroidotomi: Jalan nafas dapat melewati membrane cricotiroid dengan
membuat insisi pada membrane ini atau dengan menusukan jarum dan guide wire. Endotracheal
tube kemudian dapat masuk ke trakea dan kemudian pasien dapat diventilasi. Beberapa set alat
perlengkapan ini sudah tersedia untuk mempermudah tehnik ini dilakukan.
Trakeostomi: Pada beberapa pasien trakeostomi harus dilakukan sebagai jalan nafas alternatif,
kadang juga dilakukan pada pasien yang sadar. Pendekatan pembedahan ini merupakan salah
satu cara agar pasien dapat diventilasi.
2.5 PERUBAHAN DALAM KEHAMILAN
1. Kardiovaskular
Pada akhir bulan kehamilan, sekitar 635 mililiter darah mengalir melalui sirkulasi ibu
dari plasenta setiap menitnya. Keadaan ini akan ditambah pula dengan meningkatnya
metabolisme ibu, yang akan meningkatkan curah jantung sebesar 30-40% di atas normal
pada minggu 27 kehamilan; tapi oleh sebab yang tidak jelas, curah jantung akan menurun
sampai sedikit di atas normal pada delapan minggu terakhir kehamilan, walaupun aliran
darah uterus tetap tinggi.
Volume darah sesaat sebelum hamil aterm dapat mencapai 30% di atas normal, terutama
pada pertengahan kehamilan. Hal ini terjadi akibat adanya peningkatan aldosteron dan
estrogen selama kehamilan, dan karena retensi cairan oleh ginjal. Selain itu, pada saat
kelahiran bayi, ibu memiliki kelebihan darah sebanyak 1-2 liter dalam sirkulasinya. Tetapi
hanya seperempat akan hilang dalam proses persalinan ibu, sehingga menjadi pengaman bagi
ibu.4
2. Pernapasan
Pada kehamilan, terjadi peningkatan metabolisme basal. Hal ini akan menimbulkan
peningkatan kebutuhan akan oksigen yaitu sekitar 20%. Dan juga terbentuk klarbondioksida
yang juga sebanding. Selain itu, uterus yang membesar juga akan menekan isi abdomen ke
atas, dan isi abdomen ini mendorong diafragma ke atas, sehingga total pergerakan diafragma
berkurang. Akibatnya frekuensi nafas ibu hamil juga akan meningkat untuk
mengkompensasi perubahan sistem respirasi selama kehamilan4.
3. Urinarius
Kecepatan pembentukan urin seorang wanita hamil sedikit menigkat akibat dari
peningkatan asupan cairan dan peningkatan beban atau produk – produk ekskresi. Tetapi, di
samping itu, terjadi beberapa perubahan khusus dari fungsi ekskresi urine.
Pertama, kemampuan reabsorpsi tubulus ginjal untuk natrium, klorida, dan air meningkat
sebanyak 50% sebagai akibat peningkatan produksi hormon steroid oleh plasenta dan
korteks adrenal.
Kedua, laju filtrasi glomerulus meningkat sebanyak 50% selama kehamilan, yang
cenderung meningkatkan kecepatan ekskresi air dan elektrolit di dalam urine. Ketika semua
efek ini diperhitungkan, wanita hamil yang normal biasanya mendapat tambahan air dan
garam4.
4. Gastrointestinal
Uterus gravid menyebabkan peningkatan menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik
dan perubahan sudut gastroesophageal junction, sehingga meningkatkan kemungkinan
terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal isi lambung. Penurunan tonus sfingter esophagus
bawah serta perlambatan pengosongan lambung. Kadar kolinesterase plasma menurun
sampai sekitar 28% mungkin akibat hemodilusi dan penurunan sintesis. Lambung harus
selalu dicurigai dalam keadaan penuh berisi asam lambung dan makanan tanpa memandang
kapan waktu makan terakhir4.5.
5. Sistem saraf pusat
Peningkatan endorphin dan progesterone pada wanita hamil menyebabkan konsentrasi
inhalasi yang rendah cukup untuk mencapai anestesi; kebutuhan halotan menurun sampai
25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%. Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal),
konsentrasi anestetik local yang diperlukan yang diperlukan untuk mencapai anestesi juga
kebih rendah. Hal ini karena pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan menyebabkan
ruang subarachnoid dan ruang epidural menjadi lebih sempit. Faktor yang menentukan yaitu
peningkatan sensitifitas serabut saraf akibat meningkatnya kemampuan difusi zat-zat
anestetik lokal pada lokasi membran reseptor5.
6. Transfer obat dari ibu ke janin melalui sirkulasi plasenta
Harus dianggap bahwa melintasi pelasenta dan mencapai sirkulasi janin. Dalam kondisi ibu dan
fetus normal, general anestesi dan regional anestesi yang dilakukan dengan terampil hamper
sama pengaruhnya terhadap bayi baru lahir. Regional anestesi akan memberikan hasil neonatus
terpapar lebih sedikit obat anestesi (terutama saat digunakan teknik spinal), memungkinkan ibu
dan pasangannya mengikuti proses kelahiran bayi mereka, dan memberikan pengobagan rasa
sakit operasi yang lebih baik5
Manajemen Anestesi pada pasien obsetri
Anestesi regional (RA) dan anestesi umum (GA) adalah teknik anestesi yang umumnya
digunakan untuk operasi Caesar (CS), keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan 5.
Anestesi Spinal
Teknik ini baik sekali bagi penderita penderita yang mempunyai kelainan paru paru,
diabetes mellitus, penyakit hati yang difus dan kegagalan fungsi ginjal, sehubungan dengan
gangguan metabolism dan ekskresi dari obat-obatan. Spinal anesthesia punya banyak keuntungan
seperti kesederhanaan teknik, onset yang cepat, resiko keracunan sistemik yang lebih kecil, blok
anesthetic yang baik, perubahan fisiologi, pencegahan dan penanggulangan penyulitnya telah
diketahui dengan baik; analgesia dapat diandalkan; sterilitas dijamin pengaruh terhadap bayi
sangat minimal; pasien sadar sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi5
Pengaruh langsung zat analgetik local yang melewati sawar uri terhadap bayi dapat
diabaikan. Penyebab utama gangguan terhadap bayi pasca seksio cesaria dengan analgesia
subaraknoid yaitu hipotensi yang menimbulkan berkurangnya arus darah uterus dan hipoksia
aternal. Besarnya efek tersebut terhadap bayi tergantung pada berat dan lamanya hipotensi.
Beberapa penulis melaporkan bahwa pada pasien yang mengalami hipotensi karena analgesia
subaraknoid pada tindakan seksio cesaria, sering dijumpai bayi dengan skor Apgar yang rendah
serta interval mulai menangis yang panjang 5.
Pencegahan dengan akut hidrasi dan mendorong uterus ke kiri dapat mengurangi
insidensi hipotensi sampai 50-60%. Pemberian vasopresor, seperti efedrin, sering sekali dipakai
untuk pencegahan maupun terapi hipotensi pada pasien kebidanan .
General Anestesia
Indikasi general anestesi yaitu induksi cepat pada bedah Caesar emergensi (fetal distress,
plasenta previa berdarah, solusio plasenta, rupture uterus, melahirkan bayi kembar kedua). Pada
Pada section caesaria emergency dengan cedar otak traumatis dapat dipilih juga general
anesthesia. Pemilihan general anestesi didasarkan pada pasien dengan cedera otak traumatis
biasanya mengalami obstruksi jalan nafas dan hipoventilasi (sekitar 70% dari pasien mengalami
hipoksemia). Dalam hal ini perlu dilakukan patensi jalan nafas dengan baik. Pemberian oksigen
harus dilakukan pada seluruh pasien dan dilakukan evaluasi terhadap jalan nafas. Pasien dengan
hipoventilasi yang jelas, tidak ada refleks muntah, GCS <8 yang persisten membutuhkan intubasi
trakea dan hiperventilasi5. Pada ibu hamil, kebutuhan akan oksigen juga meningkat, perubahan
mekanisme respirasi karena efek uterus. Menurunnya kapasitas residual akan memperparah
hipoventilasi. Sehingga patensi jalan nafas harus dilakukan dengan memasang intubasi trakea
Komplikasi yang dapat terjadi pada general anestesi adalah aspirasi isi lambung, dimana
hal tersebut merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu; Kegagalan intubasi/
ventilasi: pasien obstetrik memiliki risiko kesulitan intubasi/ ventilasi 10x dibanding wanita tak
hamil akibat perubahan anatomi (leher pendek, payudara yang besar, edema laring, obesitas
morbid, operasi emergensi); Hipertensi berat akibat anestesi yang kurang dalam dan stimulasi
trakea dapat menyebabkan penurunan aliran darah uterus, fetas distress, dan dapat memperberat
hipertensi sebelumnya (preeklampsia)
Pemilihan teknik anestesi pada seksio sesarea emergensi dipengaruhi oleh komorbid dari
maternal, derajat urgensi, status hemodinamik dari pasien, dan keterampilan operator. Pada
pemilihan dengan teknik spinal, vasopresor menjadi pilihan pertama dalam menangani
hipotensi. Penggunaan fenilefrin sama baiknya dengan efedrin dalam penanganan hipotensi pada
pasien yang menjalan seksio sesarea emergensi dengan hipotensi. Diperlukan suplementasi
oksigenasi untuk meningkatkan parameter oksigenasi ke bayi, tanpa meningkatkan resiko dari
lipid peroksidase pada pasien yang menjalani seksio sesarea dengan teknik anestesi adalah spinal
anestesi. Sedangkan pada general anestesi dapat dilakukan pertahankan patensi jalan nafas
dengan baik, terutama pada pasien dengan cedra otak traumatik.
Teknik anestesi diketahui tidak mempengaruhi kecacatan ketika bayi lahir dibandingkan
dengan bayi yang lahir pervaginam. Pada akhirnya kegunaan klasifikasi dalam seksio sesarea,
peridural anestesi dengan lidokain 2% ditambah adjuvant (fentanil ditambah fresh adrenaline),
penggunaan vasopresor (fenilefrin, efedrin) untuk menagemen hipotensi, suplementasi oksigen
(fraksi oksigen inspirasi > 60%), dan manajemen adekuat dari general anestesi ketika diperlukan
atau sesuai indikasi, secara keseluruhan memiliki dampak positif bagi ibu dan bayi. Keadaan
bayi jangka panjang ternyata tidak dipengaruhi oleh tipe anestesi yang diberikan kepada ibu5.
Pemberian anestesi pada pasien dengan trauma kepala idealnya dimulai sejak di UGD.
Pastikan jalan nafas pasien baik, ventilasi dan oksigenasi adekuat, dan koreksi hipotensi sistemik
dilakukan secara simultan bersamaan evaluasi neurologis. Obsruksi jalan nafas dan hipoventilasi
sering terjadi, sekitar 70% dari pasien tersebut dalam keadaan hipoksemi, yang bisa diperburuk
dengan adanya kontusio pulmo, emboli lemak, atau edema pulmo neurogenik. Pemberian
oksigen harus diberikan pada seluruh pasien dan dilakukan evaluasi terhadap jalan nafas serta
ventilasinya. Seluruh pasien harus dipikirkan memiliki trauma leher (sekitar 10% insiden) hingga
dinyatakan secara radiologis. Stabilisasi in-line digunakan selama melakukan tindakan terhadap
jalan nafas untuk menjaga kepala dalam posisi normal. Pasien dengan hipoventilasi yang jelas,
tidak adanya reflek muntah, atau GCS <8 yang persisten membutuhkan intubasi trakea dan
hiperventilasi. Seluruh pasien harus diawasi terhadap adanya perburukan.
Pengelolaan anestesi meliputi upaya untuk mengoptimalkan CPP, meminimalkan
terjadinya iskemia serebral, dan menghindari obat-obatan dan teknik yang dapat meningkatkan
ICP serta memberikan kondisi yang memadai bagi ahli bedah.
Pasien dalam keadaan hemodinamis stabil, induksi anestesi dengan induksi obat-obatan
intravena dan relaksan otot non-depolarisasi dapat diterima. Penggunaan fiberoptic intubasi atau
trakeostomi harus dipertimbangkan pada pasien, ketika dipertimbangkan terdapat kesulitan
intubasi laryngoscopy secara langsung, atau dapat memperburuk deficit neurologis lebih lanjut
(misalnya, patah tulang belakang leher), atau sudah ada bukti fraktur dasar tengkorak.
Pemasangan NGT dipertimbangkan setelah intubasi dan bila dikuatirkan adanya fraktur dasar
tengkorak sebaiknya pemasangan melalui mulut, pemsangan ini untuk dekompresi isi lambung .
Dalam mengontrol tekanan intrakranial, dapat dilakukan beberapa cara yaitu dengan
memposisikan pasien Head-up yaitu 10-30 derajat, dan pastikan vena leher baik tanpa ada
sumbatan,, memberikan ventilasi tekanan positif yang intermiten pada saat volume tidal rendah
yaitu dipertahankan PaCO2 pada kisaran 35mmHg (hiperventilasi sebaiknya dihindari bila tidak
ada monitoring memadai), dan menghindari muntah. Manitol bisa diberikan pada ibu hamil
secara perlahan dan hati-hati karena memiliki efek hiperosmolar pada fetus dan menyebabkan
menutnnya produksi cairan pada paru, menurunkan aliran saluran kencing, meningkatkan
konsentrasi sodium plasma. Pemberian manitol 0,25-0,5 mg/kg dikatakan aman bagi ibu.
Furosemide bisa menjadi alternatif dalam penanganan peningkatan tekanan intrakranial. Adapun
pemilihan cairan dalam rehidrasi adalah cairan isotonis dan bebas glukosa untuk menurunkan
edema serebral dan hiperglikemia. Bila tidak ada monitoring yang memadai, tekanan darah bila
sistolik < 90 mmHg atau > 160 mmHg sebaiknya dikoreksi.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, james. 2008. Anaesthesia for Caesarian Section Part 1- Introduction. p 1-6. Available
from: anaesthesia for caesarian section part 1. Available from:
http://totw.anaesthesiologists.org/wp-content/uploads/2010/06/83-anaesthesia-for-lscs-part-
1-introduction.pdf
Cl chellan, 2012. Airway management in the obstetric patient. University of Kwazulu-Natal. Dep
of anesthesia
Caplan Ra, et al. 2007 Practice guideline for difficult airway. Society of anesthesiologist
Cunningham dkk.. 2010. William obstetrics. 23rd edition; Chapter 25. McGraw-Hill: USA
Guyton, Arthur C ; Hall, John E. 2006.. In : Textbook of Medical Physiology. Eleventh edition;
chapter 82. p 1034-1035
Rofiq, Ainun; Sutiyonon, doso. 2009. Perbandingan Antara Anestesi Regional Dan Umum Pada
Operasi Caesar. Jurnal Anestesiologi Indonesia. pp. 185-200. Available from:
www.janesti.com/ journal /view/article/18