Download - Referat AFP
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya membebaskan indonesia dari penyakit polio, pemerintah telah
melaksanakan program eradikasi polio yang terdiri dari pemberian imunisasi
rutin pada balita, dan surveilans accute flaccid paralysis (AFP). Surveilans
AFP merupakan pengamatan terhadap kelumpuhan yang terjadi mendadak,
dan bersifat flaccid (layu).
Lumpuh layu akut atau acute flaccid paralysis (AFP), didefinisikan
sebagai kelumpuhan yang bersifat lemas pada anak usia di bawah 15 tahun,
terjadi mendadak dalam waktu 14 hari, bukan karena rudapaksa atau trauma.
Penderita kelumpuhan AFP diperkirakan 2 diantara anak usia < 15 tahun.
Target minimal penemuan penderita AFP pada tahun 2012 sebanyak 172
penderita. Di jawa tengah menururut data pada tahun 2012 menemukan 196
penderita AFP, data ini membuktikan bahwa terjadi penurunan penderita
dibandingan pada tahun 2011 (215 orang). Menurut hasil pemeriksaan
laboratorium, dari 196 kasus yang diperiksa semua menunjukan negatif polio
(berarti tidak ditemukan virus polio).
Gambar. 1 (Angka Penemuan Kasus AFP Provinsi Jawa Tengah
2008-2012)
1
B. Tujuan
Tulisan ini akan membahas definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis,
manifestasi klinis serta penatalaksanaan lumpuh layu akut atau acute flaccid
paralysis (AFP).
C. Manfaat
Tulisan ini diharapkam dapat menjadi salah satu sumber informasi baik
bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat mengenai lumpuh layu akut atau
AFP ( acute flaccid paralysis).
2
LUMPUH LAYU AKUT
1. Definisi
Acute Flaccid Paralyis (AFP) adalah kelumpuhan yang terjadi secara
akut mengenai ‘final common path’, ‘motor end plate’ dan otot yaitu pada otot,
saraf, neuromuscular junction, medulla spinalis dan kornu anterior. Istilah
flaccid menunjukkan kelumpuhan Lower Motor Neuron (LMN).
Mengindikasikan tidak adanya tanda gangguan spastisitas seperti pada
gangguan susunan saraf pusat traktus motorik lainnya misalnya hipereflek,
klonus atau respon ekstensor pada plantar. Kelumpuhan ini ditandai dengan
adanya karakteristik gejala klinis kelemahan yang timbul dengan cepat
termasuk kelemahan otot-otot pernafasan dan otot menelan. Berkembang lebih
cepat dalam beberapa hari sampai beberapa minggu.
Acute Flaccid Paralysis (AFP) adalah kelumpuhan atau paralisis
secara fokal yang onsetnya akut tanpa penyebab lain yang nyata seperti trauma.
Yang ditandai dengan flaccid dan mengenai anak kelompok < 15 tahun
termasuk didalamnya Poliomielitis dan Sindrom Guillain-Barre. AFP
disebabkan oleh beberapa agen termasuk enterovirus, echovirus, atau
adenovirus.
2. Epidemiologi
Penderita kelumpuhan AFP diperkirakan 2 diantara anak usia < 15 tahun.
Target minimal penemuan penderita AFP pada tahun 2012 sebanyak 172
penderita. Di Jawa Tengah menururut data pada tahun 2012 menemukan 196
penderita AFP, data ini membuktikan bahwa terjadi penurunan penderita
dibandingan pada tahun 2011 (215 orang). Menurut hasil pemeriksaan
laboratorium, dari 196 kasus yang diperiksa semua menunjukan negatif polio
(berarti tidak ditemukan virus polio).
3. Etiologi
Penyebab utama lumpuh layu akut adalah virus. Penyebab tersering
adalah virus polio dan GBS (Guillane Bare Syndrom). Penyebab lain
terjadinya lumpuh layu akut atau AFP adalah mumps virus (gondongan),
epstein-Barr virus, Humam Immunodeficiency virus (HIV), dan West
3
Neilevirus.
4. Patogenesis
Susunan saraf manusia terbagi menjadi dua, yaitu susunan saraf pusat
atau upper motor neuron/UMN ( dari batang otak hingga sumsum tulang
belakang/medula spinalis yang disebut dengan jaras kortikospinal), dan
susunan syaraf tepi atau lower motor neuron/ LMN (dari kornu anterior
sampai otot).Kelumpuhan tipe LMN mempunyai ciri-ciri flacid, atoni, atrofi,
fasikulasi, reflek fisiologis menurun tapi tidak ditemukan reflek patologis.
Lower Motor Neuron (LMN) Upper Motor Neuron (UMN)
flaccid Spasticity(kaku)
Reflek fisiologis menurun/hilang Reflek fisiologis meningkat
Reflek patologis negatif Reflek patologis positif
Pengecilan otot Tidak ada pengecilan otot kecuali sudah
lama
5. Manifestasi Klinis
Gejala klinis pada AFP atau lumpuh layu akut adalah munculnya
kelumpuhan yang mendadak, gangguan gaya berjalana, kelemahan atau
gangguan koordinasi dari satu atau beberapa anggota gerak tubuh, lesi yang
timbul berkaitan dengn LMN (Lower Motor Neuron). Lesi pada LMN dapat
mengenai kornu anterior (Poliomeilitis, atrofi otot), radiks, akson, mielin
(Sindrom Guillain Bare), neuromuscular junction atau pada otot dan syaraf
(Miastenia Gravis), ataupun mengenai otot itu sendiri (Gambar1). Lesi
tersebut merusak motor neuron, akson, motor end plate, dan otot skeletal
sehingga tidak terdapat gerakan atau rangsangan motorik yang disampaikan
ke motor neuron. Kelumpuhan tersebut sesuai dengan gejala lower motor
neuron yaitu :
1. Hilangnya gerakan voluntar dan reflektorik, sehingga reflek
tendon hilang dan reflek patologik tidak muncul.
2. Tonus otot hilang.
3. Musnahnya motor neuron beserta akson sehingga satuan motorik
4
hilang dan terjadi atrofi otot.
Gambar.1
Tanda-tanda AFP atau lumpuh layu akut harus dievaluasi klinis secara
lengkap dengan pemeriksaan neurologis, pemeriksaan kekuatan motorik,
reflek tendon, fungsi syaraf cranial, dan fungsi sensoris. Pemeriksaan
laboratorium perlu dilakukan untuk melihat laju sedimen sel darah merah dan
pemeriksaan elektrofisiologi diperlukan untuk kepentingan diagnosis dan
prognosis dari penyakit motor neuron.
Pemeriksaan fungsi lumbal dan cairan serebrospinal diindikasikan untuk
menyingkirkan adanya infeksi bakteri pada sistem saraf, infeksi bakteri
ditunjukkan dengan adanya netrofil, tingkat glukosa yang rendah dan
kandungan protein yang tinggi. Pemeriksaan kultur bakteri akan
mengidentifikasi adanya mikroorganisme spesifik. Pencitraan tulang belakang
seperti radiografi, CT-Scan atau magnetic resonance imaging (MRI)
diindikasikan untuk menyingkirkan adanya kompresi tulang belakang,
mielopati, atau neoplasma poliradikulopati spondilosis. Pemeriksaan
elektrocardiogram dapat mengidentifikasi adanya gangguan metabolisme
elektrolit seperti kelumpuhan periodik yang diakibatkan oleh keadaan
hipovolemi.
5
6. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan kelumpuhan, harus ditentukan derajat (grading)
kelumpuhan. Kekuatan motorik dinilai dengan skala 0-5:
Skala 5: kekuatan motorik normal, dapat berjalan, berlari, dan
sebagainya, serta dapat menahan tahanan maksimal yang
diberikan pemeriksa.
Skala 4: dapat melawan tahanan namun tidak maksimal, anak
dapat berjalan dan berlari namun tidak cepat dan mudah jatuh.
Skala 3: anak dapat mengangkat tungkai namun tidak dapat
melawan tahanan.
Skala 2: ekstremitas tidak dapat diangkat namun masih dapat
digeser.
Skala 1: hanya terdapat kontraksi otot namun ektremitas tidak
dapat digerakan.
Skala 0: tidak dapat digerakan sama sekali dan tidak terdapat
kontraksi otot.
Pada bayi atau balita, derajat kekuatan motorik lebih sulit ditentukan
karena belum kooperatif. Observasi dan pemeriksaan perlu dilakukan lebih
teliti dengan mengangkat ektremitas, melawan gravitasi, menilai tonus,
melihat simetrisitas gerakan. Untuk menilai kelemahan otot, anak dapat
diminta duduk dilantai dan kemudian berdiri. Anak yang tidak mampu
langsung berdiri, atau berdiri sambil merambat pada kakinya umumnya
menandakan kelemahan otot. Ini merupakan gower sign merupakan tanda
distrofi muskular (gambar 2).
6
Cara anak berjalan atau berdiri harus diperhatikan. Anak dapat diminta
untuk berjalan jinjit atau jalan bertumpu pada tumit. Anak yang mengalami
lesi LMN atau masalah neuromuskular umumnya tidak dapat jalan jinjit atau
jalan dengan tumit.
Dalam posisi terlentang ditempat tidur, posisi seorang bayi yang
mengalami lumpuh layu akut terlihat seperti katak (frog leg posisition),
dengan sedikit gerakan, lutut menyentuh tempat tidur, hipotoni, dan tidak
dapat melawan gravitasi (Gambar 3).
Gambar. 3
7. Diagnosis Banding AFP
7
1. Poliomielitis
Sinonim : Acute anterior poliomeilytis, infantile paralysis, penyakit Heine
dan meidin. Poliomielitis (paralysis infantile, penyakit Heine Medin) pada masa
lampau, selama bertahun-tahun, merupakan salah satu penyakit infeksi yang
sangat ditakuti karena dapat mengakibatkan kelumpuhan menetap. Penyakit ini
telah dikenal sejak zaman purbakala, namun baru pada tahun 1840 dengan tegas
didefenisikan sebagai satu entitas klinis oleh seorang ahli ortopedi berkebangsaan
Jerman.
Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang
disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan
poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus
ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan
melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralisis).
Virus polio sangat tahan terhadap alkohol dan lisol, namun peka terhadap
formaldehid dan larutan klor. Suhu yang tinggi cepat mematikan virus, tetapi pada
keadaan beku dapat bertahan bertahun-tahun. Ketahanan virus di tanah dan air
sangat bergantung pada kelembaban suhu dan mikroba lainnya. Virus ini dapat
bertahan pada air limbah dan air permukaan bahkan hingga berkilo-kilo meter dari
sumber penularan. Meskipun penularan terutama akibat tercemarnya lingkungan
oleh virus polio dari penderita infeksius
8
Penularan virus terjadi melalui beberapa cara :
1. Secara langsung dari orang ke orang
2. Melalui percikan ludah penderita
3. Melalui tinja penderita
Virus masuk melalui mulut dan hidung, berkembang biak di dalam
tenggorokan saluran cerna, lalu diserap dan disebarkan melalui sistem pembuluh
darah dan pembuluh getah bening. Resiko terjadinya polio :
1. Belum mendapatkan imunisasi
2. Bepergian ke daerah yang masih sering ditemukan polio
3. Kehamilan
4. Usia sangat lanjut atau sangat muda
5. Luka di mulut/ hidung/tenggorokan
Virus biasanya memasuki tubuh melalui rongga orofaring dan
berkembangbiak dalam traktus digestivus, kelenjar getah bening regional dan
sistem retikuloendotelial. Dalam keadaan ini timbul perkembangan virus, tubuh
bereaksi dengan membentuk antibodi spesifik. Bila pembentukan zat anti tubuh
mencukupi dan cepat maka virus akan dinetralisasikan, sehingga timbul gejala
klinis yang ringan atau tidak terdapat sama sekali dan timbul imunitas terhadap
virus tersebut. Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat dari pembentukan zat anti
maka akan timbul viremia dan gejala klinis, kemudian virus akan terdapat dalam
feses untuk beberapa minggu lamanya. (7)Berlainan dengan virus-virus lain yang
menyerang susunan saraf, maka neuropatologi poliomeilitis biasanya patognomik.
Virus hanya menyerang sel-sel dan daerah tertentu susunan saraf. Tidak semua
neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama dan bila ringan sekali dapat
terjadi penyembuhan fungsi neuron dalam 3-4 minggu sesudah timbul gejala.
Daerah yang biasanya terkena pada poliomeilitis :
1. Medulla spinalis terutama kornu anterior
9
2. Batang otak pada nukleus vestibularis dan inti-inti saraf kranial serta
formasio retikularis yang mengandung pusat vital
3. Serebelum terutama inti-inti pada vermis
4. Midbrain terutama pada masa kelabu, substansia nigra dan kadang-
kadang nukleus rubra.
5. Talamus dan hipotalamus
6. Korteks serebri, hanya daerah motorik
Poliomielitis adalah penyakit infeksi virus yang akut yang melibatkan
medulla spinalis dan batang otak. Telah diisolasi 3 jenis virus yaitu tipe
Brunhilde, Lansing dan Leon yang menyebabkan penyakit ini, yang masing-
masing tidak mengakibatkan imunitas silang. Bila seorang mengalami infeksi
dengan satu jenis virus ia akan mendapat kekebalan yang menetap terhadap virus
tersebut.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis penyakit polio dibagi atas beberapa jenis yaitu
asimtomatik, abortif, nonparalitik dan paralitik. Sebagian besar pasien infeksi
polio adalah asimtomatik atau terjadi dalam bentuk panyakit yang ringan dan
sepintas.
Poliomielitis abortif, sakit demam singkat terjadi dengan satu atau lebih
gejala-gejala berikut : malaise, anoreksia, mual, muntah, nyeri kepala, nyeri
tenggorokan, konstipasi, dan nyeri perut. Koryza, batuk, eksudat faring, diare, dan
nyeri perut lokal serta kekakuan jarang. Demam jarang melebihi 39,5 C dan faring
biasanya menunjukkan sedikit perubahan walaupun sering ada keluhan nyeri
tenggorok.
Poliomielitis nonparalitik, gejala-gejalanya adalah seperti poliomielitis
abortif kecuali pada nyeri kepala, mual, dan muntah lebih parah dan ada nyeri dan
kekakuan otot leher posterior, badan dan tungkai. Paralisis kandung kencing yang
cepat menghilang sering dijumpai dan konstipasi sering ada. Sekitar dua pertiga
anak mengalami jeda bebas gejala antara fase pertama (sakit minor) dan fase
kedua (sakit sistem saraf sentral atau sakit mayor).
10
Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda-tanda kaku kuduk-spina dan
perubahan pada refleks superfisial dan dalam. Pada penderita yang kooperatif
tanda-tanda kaku kuduk-spina mulai dicari dengan tes aktif. Jika diagnosis masih
tidak pasti, upaya yang harus dilakukan untuk memperoleh kernig dan Brudzinki.
Poliomeilitis Paralitik, manifestasinya adalah manifestasi poliomeilitis
nonparalitik yang disebutkan satu per satu ditambah dengan satu atau lebih
kelompok otot, skelet atau cranial. Gejala-gejala ini dapat disertai dengan jeda
tanpa gejala beberapa hari dan kemudian pada puncak berulang dengan paralisis
paralysis flaksid merupakan ekspresi klinis cedera neuron yang paling jelas.
Terjadinya atrofi muskuler disebabkan oleh denervasi ditambah atrofi karena tidak
digunakan. Nyeri, spastisitas, kaku kuduk dan kekakuan spinal, serta hipertoni
pada awal penyakit mungkin karena lesi batang otak, ganglia spinalis, dan
kolumna posterior
Pada pemeriksaan fisis distribusi paralisis khas kadang-kadang tidak.
Untuk mendeteksi kelemahan otot ringan, sering perlu memakai tahanan halus
dalam melawan kelompok otot yang sedang diuji. Pada bentuk spinal ada
kelemahan beberapa otot leher, perut, batang tubuh, diafragma, thoraks, atau
tungkai.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk
memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan terhadap contoh tinja untuk
mencari poliovirus dan pemeriksaan terhadap darah untuk menentukan titer
antibodi. Pembiakan virus diambil dari lendir tenggorokan, tinja atau cairan
serebrospinal. Pemeriksan rutin terhadap cairan serebrospinal memberikan hasil
yang normal atau tekanan, protein serta sel darah putihnya agak meningkat.
Pengobatan
Pengobatan belum ada pengobatan kausal pada penyakit polio, namun
poliomielitis dapat dicegah melalui vaksinasi. Vaksinasi polio dengan virus yang
dinonaktifkan (salk) mulai digunakan pada tahun 1955, dan vaksinasi dengan
virus hidup yang dijinakkan (sabin) mulai banyak dipakai sejak tahun 1962.
11
vaksin oral trivalent diperkenalkan pada tahun 1963 dan banyak digunakan
sampai saat ini.
Anak-anak kecil yang terkena polio seringkali hanya mengalami gejala
ringan dan menjadi kebal terhadap polio. Karenanya, penduduk di daerah yang
memiliki sanitasi baik justru menjadi lebih rentan terhadap polio karena tidak
menderita polio ketika masih kecil. Vaksinasi pada saat balita akan sangat
membantu pencegahan polio di masa depan karena polio menjadi lebih berbahaya
jika diderita oleh orang dewasa. Orang yang telah menderita polio bukan tidak
mungkin akan mengalami gejala tambahan di masa depan seperti layuh otot;
gejala ini disebut sindrom post-polio.
Komplikasi
Komplikasi yang paling berat adalah kelumpuhan yang menetap.
Kelumpuhan terjadi sebanyak kurang dari 1 dari setiap 100 kasus, tetapi
kelemahan satu atau beberapa otot, sering ditemukan. Kadang bagian dari otak
yang berfungsi mengatur pernafasan terserang polio, sehingga terjadi kelemahan
atau kelumpuhan pada otot dada. Beberapa penderita mengalami komplikasi 20-
30 tahun setelah terserang polio. Keadaan ini disebut sindroma post-poliomielitis,
yang terdiri dari kelemahan otot yang progresif, yang seringkali menyebabkan
kelumpuhan.
2. Sindroma Guillain-Barre (SGB)
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang
cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan
penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada
beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya
mempunyai prognosa yang baik. Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk
penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective
Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending
paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
12
Definisi
Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat
ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai
adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.\
Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim.
Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musism panas dan
musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao
Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap
bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara
bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi
sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per
100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic
melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi
puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai
usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan
paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari
pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit
hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian
Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,
III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir
sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-
laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan
April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit
13
yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara
lain:
Infeksi
Vaksinasi
Pembedahan
Kehamilan atau dalam masa nifas
Penyakit sistematik:
o Keganasan
o systemic lupus erythematosus
o Tiroiditis
o penyakit Addison
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas
atau infeksi gastrointestinal.
Patogenesa
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
14
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya,
yang paling sering adalah infeksi virus.
Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang
(bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan
kedalam jaringan limfoid danperedaran. Sebelum respon imunitas seluler ini
terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui
makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh
virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh
penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan
dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif
karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma
interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel
endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan
sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan
protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan
komplemen.
Patologi
15
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf
tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian
timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat
beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas,
poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan
selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh
enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Perubahan pertama yang terjadi
adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada
endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila
peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan
myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan
selubung myelin dari sel schwan dan akson.
Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia
Gejala klinis dan kriteria diagnosa
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya
suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan
didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai
disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
Terjadinya kelemahan yang progresif
Hiporefleksi
16
II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
a. Ciri-ciri klinis:
Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,maksimal
dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3
minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
Relatif simetris
Gejala gangguan sensibilitas ringan
Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf
otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot
menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau
saraf otak lain
Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan.
Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi
dangejala vasomotor.
Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan
pada LP serial
Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
Varian:
o Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu
gejala
o Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya
kecepatan hantar kurang 60% dari normal
Diagnosa Banding
Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria
diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus
dibedakan dengan keadaan lain, seperti:
17
Mielitis akuta
Poliomyelitis anterior akuta
Porphyria intermitten akuta
Polineuropati post difteri
Terapi
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala
sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi
khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan\
melalui sistem imunitas (imunoterapi).
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.
Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu
pertama).
Pengobatan imunosupresan:
1. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
18
2. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
6 merkaptopurin (6-MP)
Azathioprine
cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
Prognosa
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian
kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi
penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengankeadaan antara
lian:
pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
progresifitas penyakit lambat dan pendek
pada penderita berusia 30-60 tahun
3. MIASTENIA GRAVIS
Miastenia gravis adalah salah satu penyakit gangguan autoimun yang
mengganggu sistem sambungan saraf (synaps). Pada penderita miastenia gravis,
sel antibodi tubuh atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang
mengandung acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan
rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya. Jika reseptor mengalami gangguan
maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi antara sel saraf dan otot
terganggu dan menyebabkan kelemahan otot.
Penyebab
Penyebab pasti reaksi autoimun atau sel antibodi yang menyerang reseptor
acetylcholine belum diketahui. Tapi pada sebagian besar pasien, kerusakan
kelenjar thymus menjadi penyebabnya. Maka itu kebanyakan si penderita akan
menjalani operasi thymus. Tapi setelah thymus diangkat juga belum ada jaminan
penyakit autoimun ini akan sembuh.
19
Thymus adalah organ khusus dalam sistem kekebalan yang memproduksi
antibodi. Organ ini terus tumbuh pada saat kelahiran hingga pubertas, dan akan
menghilang seiring bertambahnya usia. Tapi pada orang-orang tertentu, kelenjar
thymus terus tumbuh dan membesar, bahkan bisa menjadi ganas dan
menyebabkan tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Pada kelenjar thymus, sel
tertentu pada sistem kekebalan belajar membedakan antara tubuh dan zat asing.
Kelenjar thymus juga berisi sel otot (myocytes) dengan reseptor acetylcholine.
Anatomi dan Fisiologi Neuro Muscular Junction
Di bagian terminal dari saraf motorik terdapat sebuah pembesaran yang
biasa disebutbouton terminale atau terminal bulb. Terminal Bulb ini memiliki
membran yang disebut juga membran pre-synaptic, struktu ini bersama dengan
membran post-synpatic (pada sel otot) dan celah synaptic (celah antara 2
membran)membentukNeuro Muscular Junction. Membran Pre-Synaptic
mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika
terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated Channel akan teraktivasi.
Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya influx Calcium. Influx ini
akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk bergerak ke tepi membran.
Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi membran. Karena proses docking
ini, maka asetilkolin yang terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan
ke dalam celah synaptic.
ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin
(AChR) yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada
lekukan-lekukan pada membran post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit
protein, yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-
subunit ini tersusun membentuk lingkaran yang siap untuk mengikat ACh.
Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang
Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+.
Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post-
synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka
akan terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan
20
dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik sel
eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi.
ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim
Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada
celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin
kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk membentuk
ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya
potensial aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi terus menerus.
Patofisiologi Myasthenia Gravis
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap
dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju
membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada
jumlah normal akan
Mengakibatkan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan
oleh impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-
immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat
memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Menurut Shah pada tahun
2006, anti-AChR bodies ditemukan pada 80%-90% pasien Myasthenia Gravis.
Percobaan lainnya, yaitu penyuntikan mencit dengan Immunoglobulin G (IgG)
dari pasien penderita Myasthenia Gravis dapat mengakibatkan gejala-gejala
Myasthenic pada mencit tersebut, ini menujukkan bahwa faktor immunologis
memainkan peranan penting dalam etiology penyakit ini.
Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi
kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum diketahui.
Sampai saat ini, Myasthenia Gravisdianggap sebagai penyakit yang disebabkan
oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi anti-AChR bodies. Namun,
penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus,
memiliki peranan penting pada patofisiologis penyakit Myasthenia Gravis.Hal ini
21
ditunjukkan dengan banyaknya penderita Myasthenic mengalami
hiperplasiathymic dan thymoma.
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas
dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada
membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi.
Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps
menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah
motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin
yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate
menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat
berlangsung lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara
radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara
histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan.
Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih
tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo
potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus Pembuktian
etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus
mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus
yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan
pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat
germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya.
Tanda Dan Gejala
Myasthenia Gravis ditandai dengan kelemahan pada otot, yang memburuk
ketika digerakkan dan membaik ketika beristirahat. Karakteristik yang lain adalah
sebagai berikut : Kelemahan otot ekstra okular (Extra Ocular Muscle) atau biasa
disebut Ptosis. Kondisi ini terjadi pada lebih dari 50% pasien. Gejala ini seringkali
menjadi gejala awal dari Myasthenia Gravis, walaupun hal ini masih belum
diketahui penyebabnya. Kelemahan otot menjalar ke otot-otot okular, fascial dan
otot-otot bulbar dalam rentang minggu sampai bulan. Pada kasus tertentu
kelemahan EOM bisa tetap bertahan selama bertahun-tahun Sebagian besar
22
mengalami kelemahan. Perbaikan secara spontan sangat jarang terjadi, sedangkan
perbaikan total hampir tidak pernah ditemukan.
Gejala-gejala miastenia gravis pada pasein usia produktif antara lain
Kelopak mata turun sebelah atau layu (asimetrik ptosis)
Penglihatan ganda
Kelemahan otot pada jari-jari, tangan dan kaki (seperti gejala stroke tapi tidak
disertai gejala stroke lainnya)
Gangguan menelan
Gangguan bicara
Dan gejala berat berupa melemahnya otot pernapasan (respiratory paralysis),
yang biasanya menyerang bayi yang baru lahir
Gejala-gejala ringan biasanya akan membaik setelah beristirahat, tetapi bisa
muncul kembali bila otot kembali beraktifitas. Penyakit miastenia gravis ini bisa
disembuhkan tergantung kerusakan sistem saraf yang dialami.
Bisa terjadi kesulitan dalam berbicara dan menelan serta kelemahan pada lengan
dan tungkai.
Kesulitan dalam menelan seringkali menyebabkan penderita tersedak.
Yang khas adalah otot menjadi semakin lemah. Penderita mengalami kesulitan
dalam menaiki tangga, mengangkat benda dan bisa terjadi kelumpuhan.
Sekitar 10% penderita mengalami kelemahan otot yang diperlukan untuk
pernafasan (krisis miastenik).
Klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific Advisory
Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) :
Class I Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata, Otot lain masih
normal
23
Class II Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular meningkat
kelemahannya
Class IIa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit mempengaruhi otot-otot
oropharyngeal
Class IIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga
mempengaruhi ekstrimitas
Class III Kelemahan sedang pada otot selain okuler, Meningkatnya kelemahan
pada otot okuler
Class IIIa Mempengaruhi ektrimitas , Sedikit mempengaruhi otot-otot
oropharyngeal
Class IIIb Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, Juga
mempengaruhi ekstrimitas
Class IV Kelemahan berat pada selain otot okuler, Kelemahan berat pada otot
okuler
Class IVa Mempengaruhi ekstrimitas, Sedikit pengaruh pada otot-otot
oropharyngeal
Class IVb Terutama mempengaruhi otot-otot pernapasan dan oropharyngeal,
Juga mempengruhi otot-otot ekstrimitas
Class V Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali pada kasus post-
operative)
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya, yaitu jika seseorang
mengalami kelemahan umum, terutama jika melibatkan otot mata atau wajah, atau
kelemahan yang meningkat jika otot yang terkena digunakan atau berkurang jika
otot yang terkena diistirahatkan.
Obat yang dapat meningkatkan jumlah asetilkolin dipakai untuk
melakukan pengujian guna memperkuat diagnosis. Yang paling sering digunakan
untuk pengujian adalah edrofonium. Jika obat ini disuntikkan intravena, maka
24
untuk sementara waktu akan memperbaiki kekuatan otot pada penderita miastenia
gravis.
Pemeriksaan diagnostik lainnya adalah penilaian fungsi otot dan saraf dengan
elektromiogram dan pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya antibodi
terhadap asetilkolin.
Beberapa penderita memiliki tumor pada kelenjar timusnya (timoma),
yang mungkin merupakan penyebab dari kelainan fungsi sistem kekebalannya. CT
scan dada dilakukan untuk menemukan adanya timoma.
Pengobatan
Memberi obat-obatan yang bisa menekan reaksi autoimun atau antibodi yang
menyerang acetylcholine
Cuci darah atau hemodialisis, dengan menyaring antibodi dan membuatnya
tidak aktif lagi
Pada penderita thymoma, maka tumor pada kelenjar thymus harus dioperasi
Obat yang dapat meningkatkan jumlah asetilkolin dipakai untuk melakukan
pengujian guna memperkuat diagnosis. Yang paling sering digunakan untuk
pengujian adalah edrofonium. Jika obat ini disuntikkan intravena, maka untuk
sementara waktu akan memperbaiki kekuatan otot pada penderita miastenia
gravis.
4. Botulisme
Definisi
Botulisme merupakan intoksikasi, seperti halnya dengan tetanus. Toksin
botulisme diproduksi oleh Closytrodium botulinum. Botulisme adalah penyakit
langka tapi sangat serius. Merupakan penyakit paralisis gawat yang disebabkan
oleh racun (toksin) yang menyerang saraf yang diproduksi bakteri Clostridium
Botulinum. Clostridium botulinum berkembang biak melalui pembentukan spora
dan produksi toksin. Toksin tersebut dapat dihancurkan oleh suhu yang tinggi,
karena itu botulisme sangat jarang sekali dijumpai di lingkungan atau masyarakat
yang mempunyai kebiasaan memasak atau merebus sampai matang. (5)
25
Ada 3 jenis utama botulisme
1. Foodborne Botulisme
Disebabkan karena makanan yang mengandung toksin botulisme.
2. Wound Botulisme
Disebabkan toksin dari luka yang terinfeksi oleh Clostridum Botulinum.
3. Infant Botulisme
Disebabkan karena spora dari bakteri botulinum, yang kemudian
berkembang dalam usus dan melepaskan toksin.
Semua bentuk botulisme dapat fatal dan merupakan keadaan darurat. Foodborne
botulisme mungkin merupakan jenis botulisme yang paling berbahaya karena
banyak orang dapat tertular dengan mengkonsumsi makanan yang tercemar.
Insiden
Di USA dilaporkan sekitar 110 kasus terjadi tiap tahunnya. Dan sekitar 25% nya
foodborne botulisme, 72% infant botulisme dan sisanya adalah wound botulisme.
Foodborne botulisme biasanya karena mengkonsumsi makanan kaleng. Wound
botulisme meningkat karena penggunaan heroin terutama di california.
Etiologi
Etiologi dari botulisme adalah Clostridium botulinum. Clostridium botulinum
merupakan kuman anaerob, gram positif, mempunyai spora yang tahan panas,
dapat membentuk gas, serta menimbulkan rasa dan bau pada makanan yang
terkontaminasi.
Patofisiologi
Clostridium Botulinum berbiak melalui pembentukan spora dan produksi
toksin. Racun botulisme diserap di dalam lambung, duodenum dan bagian
pertama jejunum. Setelah diedarkan oleh aliran darah sistemik, maka racun
tersebut melakukan blokade terhadap penghantaran serabut saraf kolinergik tanpa
mengganggu saraf adrenegik. Karena blokade itu, pelepasan asetilkolin terhalang.
Efek ini berbeda dengan efek kurare yang menghalang-halangi efek asetil kolin
26
terhadap serabut otot lurik. Maka dari itu efek racun botulisme menyerupai
khasiat atropin, sehingga manifetasi klinisnya terdiri dari kelumpuhan flacid yang
menyeluruh dengan pupil yang lebar (tidak bereaksi terhadapt cahaya), lidah
kering, takikardi dan perut yang mengembung. Kemudian otot penelan dan okular
ikut terkena juga, sehingga kesukaran untuk menelan dan diplopia menjadi
keluhan penderita. Akhirnya otot pernafasan dan penghantaran impuls jantung
sangat terganggu, hingga penderita meninggal karena apnoe dan cardiac arrest.
Diagnosa
Kecurigaan akan botulisme sudah harus dipikirkan dari riwayat pasien dan
pemeriksaan klinik. Bagaimanapun, baik anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak
cukup untuk menegakkan diagnosa karena penyakit lain yang merupakan
diagnosa banding, seperti Guillain-Barre Syndrome, stroke dan myastenia gravis
memberikan gambaran yang serupa. Dari anamnesa didapatkan gejala klasik dari
botulisme berupa diplopia, penglihatan kabur, mulut kering, kesulitan menelan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan otot. Jika sudah lama, keluhan
bertambah dengan paralise lengan, tungkai sampai kesulitan nafas karena
kelemahan otot-otot pernafasan. Pemeriksaan tambahan yang sangat menolong
untuk menegakkan diagnosa botulisme adalah CT-Scan, pemeriksaan serebro
spinalis, nerve conduction test seperti electromyography atau EMG, dan tensilon
test untuk myastenia gravis.
Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya toksin botulisme di
serum pasien juga dalam urin. Bakteri juga dapat diisolasi dari feses penderita
dengan foodborne atau infant botulisme.
Komplikasi
Botulisme dapat menyebabkan kematian karena kegagalan nafas. Dalam 50 tahun
terakhir, banyak pasien dengan botulisme yang meninggal menurun dari 50%
menjadi 8%. Pasien dengan botulisme yang parah membutuhkan alat bantu
pernafasan sebagai bentuk pengobatan dan perawatan yang intensif selama
beberapa bulan. Pasien yang selamat dari racun botulisme dapat menjadi lemah
dan nafas yang pendek selama beberapa tahun dan terapi jangka panjang
27
dibutuhkan untuk proses pemulihan.
Diagnosa Banding
1. Sindroma Guillain-Barre
Sebelum kelumpuhan timbul terdapat anamnesa yang khas yaitu infeksi
traktus respiratorius bagian atas. Di antara masa infeksi tersebut sampai timbulnya
kelumpuhan terdapat masa bebas gejala penyakit yang berkisar antara beberapa
hari sampai 3-4 minggu.Kelumpuhan timbul pada keempat anggota gerak, pada
umumnya bermula di bagian distal tungkai kemudian menjalar ke proksimal ke
lengan, leher bahkan wajah serta otot penelan. Pada tahap permulaan gangguan
miksi dan defekasi dapat menjadi ciri penyakit tersebut. Kelumpuhan ini bersifat
flacid dan bilateral simetris. Bila radiks dorsalis terserang terdapat parestesia pada
daerah lesi, sering pada tangan dan kaki (gloves and stocking).
Pemeriksaan cairan serebrospinalis terdapat kadar protein yang tinggi
yaitu 1000mg/100ml (normal 15-45mg/ml) sedangkan jumlah sel (limfosit dan sel
mononuclear) biasanya dalam keadaan normal 0-3/mm³ dan tidak melebihi
5/mm³. Keadaan ini dikenal dengan sebutan dissociation cytoalbuminigue yang
merupakan ciri khas sindroma ini. Terjadi asidosis respiratorik bila otot-otot
pernafasan terkena. Merupakan keadaan gawat darurat yang dapat menimbulkan
koma bahkan membawa kematian.
2. Miastenia gravis
Kelainan mulai dari otot-otot kelopak mata, otot pengunyah parese palatum
mole/arkus faringeus/uvula/otot-otot faring dan lidah (tahap awal). Pada tahap
lanjut otot-otot leher dapat erkena sehingga kepala harus ditegakkan dengan
tangan. Kemudian menyusul otot anggota gerak dan interkostal. Gejala yang khas
yaitu pada pagi hari pasien merasa tidak terdapat gangguan, makin siang kelainan
mulai dari kelopak mata yang setengah menutup (ptosis) dan badan terasa lemah.
Bicara mulai parau, kesukaran menelan, merupakan keluhan bila sudah lama.
Penatalaksanaan
Para penderita botulisme dapat mengalami kesulitan bernafas (pada
stadium lanjut) karena itu membutuhkan alat bantuan nafas atau ventilator selama
berminggu-minggu (biasanya 4 minggu) atau sampai efek toksin habis, ditambah
perawatan dan pengobatan yang intensif. Setelah beberapa minggu, paralisis
28
secara bertahap muncul dan semakin jelas. Jika diagnosa bisa ditegakkan secara
awal, foodborne dan wound botulisme dapat diobati dengan anti toksin yang dapat
memblok aksi toksin dalam peredaran darah. Hal ini dapat membantu agar
keadaan pasien tidak memburuk, tapi proses pemulihan masih membutuhkan
waktu selama berminggu-minggu. Mungkin diperlukan enema atau memancing
agar penderita muntah untuk mengeluarkan makanan yang mengandung toksin
yang masih ada di dalam usus. Luka harus segera diobati, biasanya dengan
operasi, untuk menyingkirkan sumber produksi dari toksin botulisme.
Penggunaan anti toksin tidak untuk mengobati infant botulisme perlu
dipikirkan lagi, sedangkan antibiotika tidak dibutuhkan, kecuali pada wound
botulisme.
Prognosa
Sementara, prognosis dari botulisme bervariasi, tergantung dari jenis botulisme
yang menginfeksi dan kecepatan diagnosis dan pemberian obat. Makin awal
diagnosis dapat ditegakkan atau makin cepat penderita berobat, makin baik
prognosisnya.
29
PENUTUP
KESIMPULAN
Lumpuh layu akut atau accute flaccid paralysis (AFP) adalah
kelumpuhan yang terjadi mendadak, disebabkan karena virus. Terjadi pada
anak dengan usia <15 tahun, terjadi bukan karena trauma. Kelumpuhan
terjadi pada sistem syaraf Lower motor neuron (susunan syaraf tepi),
kelumpuhan bersifat flaccid, reflek fisiologis menurun atau hilang, reflek
patologis negatif, dan terjadi pengecilan otot.
30
Daftar Pustaka
1. Soetomenggolo Taslim S. Ismael Sofyan. Buku Ajar Neurologi Anak.
Cetakan ke-2. Jakarta, 1999: 190-241.
2. DSS Harsono.2007. Kapita selekta neurologi. Jakarta : Gajah Mada
University Press; 2007. p. 119-26; 137-43
3. The commission on Classification and Terminology of the International
League Against Epilepsy. Proposal for revised clinical and
electroencephalographic classification of epileptic seizures. Epilepsia,
1981; 22: 489-501.
4. Behrman RE, Kliegman RM, Jensen HB, Nelson Text book of paediatrics,
17th edition. Philadelphia: WB Sauders company. 2004, page 833-40.
5. Draft Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM.
Agustus 2007. Hal: 299-302.
31