Download - RANGKUMAN PERBANKAN
Kelompok 1PEMBAHASAN
A. CEKPengertian Cek
Cek merupakan salah satu sarana yang digunakan untuk menarik atau mengambil uang
direkening giro. Fungsi lain dari cek adalah sebagai alat untuk melakukan pembayaran.
Cek adalah surat berharga yang memuat kata cek/cheque dalam mana penerbitannya
memerintahkan kepada bank tertentu untuk membayar sejumlah uang kepada orang yang
namanya disebut dalam cek, penggantinya, pembawanya pada saat ditunjukkan. Cek
juga merupakan surat perintah dari nasabah, dalam hal ini pemilik dana pada rekening
giro (current account), kepada tertarik, dalam hal ini bank, untuk membayar tanpa syarat
sejumlah dana kepada pemegang pada saat diunjukkan, yang berfungsi sebagai alat
pembayaran tunai. Pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi yang menggunakan cek
adalah:
1. Penarik (drawee) adalah giran yang menerbitkan cek atau pihak yang memiliki
kewajiban pembayaran. Disebut Penerbit.
2. Pemegang (namer, holder ), dalam hal ini adalah kreditur atau pemilik piutang.
3. Tertarik (betrokkene, drawee, payee), adalah pihak lain (biasanya bank) yang
memperoleh perintah dari Penarik untuk membayar kepada Pemegang atau Pembawa
atau Pengganti dari Pemegang.
4. Pembawa (toonder, bearer ), adalah siapapun yang memegang cek dengan klausula
kepada pembawa.
5. Pengganti (order ), adalah adalah siapapun yang namanya tercantum dalam cek
dengan klausula kepada pengganti;
Penerbit (orang yang menarik), tersangkut (yaitu Bank), pembawa (orang yang ditunjuk),
pemegang (orang yang diberi hak), pengganti (orang yang menggantikan pemegang atau
kepada endosemen. Cek tersebut harus dibayarkan oleh tersangkut atas perintah penerbit
selama cek tersebut tidak dibatalkan oleh penerbit. Meskipun cek tersebut dapat
dibatalkan namun tetap harus menunggu masa penawaran berakhir yaitu setelah 70 hari
sari selama cek tersebut belum diambil atau diuangkan kepada bank oleh pemegang.
Tenggang waktu pengunjukan cek : untuk cek yang diterbitkan dan dibayarkan di Indonesia,
harus diunjukkan dalam tenggang waktu 70 hari, sejak tanggal penerbitannya (Pasal 206
KUHD) ditambah 6 bulan tenggang waktu sebelum kadaluwarsa (Pasal 229 KUHD).
Jenis-jenis Cek
Berdasarkan Pasal 182 KUHD dan dikaitkan dengan mekanisme pengalihannya cek dapat
dibagi menjadi:
a. Cek Atas Nama
Merupakan cek yang diterbitkan atas nama seseorang atau badan hukum tertentu yang
tertulis jelas di dalam cek tersebut. Sebagai contoh jika didalam cek tertulis perintah
bayarlah kepada : Tn. Roy Akase sejumlah Rp 3.000.000,- atau bayarlah kepada PT.
Marindo uang sejumlah Rp 1.000.000,- maka cek inilah yang disebut dengan cek atas
nama, namun dengan catatan kata "atau pembawa" dibelakang nama yang
diperintahkan dicoret.
b. Cek Atas Unjuk
Cek atas unjuk merupakan kebalikan dari cek atas nama. Di dalam cek atas unjuk
tidak tertulis nama seseorang atau badan hukum tertentu jadi siapa saja dapat
menguangkan cek atau dengan kata lain cek dapat diuangkan oleh si pembawa cek.
Sebagai contoh di dalam cek tersebut tertulis bayarlah tunai, atau cash atau tidak
ditulis kata-kata apa pun.
c. Cek Silang
Cek Silang atau cross cheque merupakan cek yang dipojok kiri atas diberi dua tanda
silang. Cek ini sengaja diberi silang, sehingga fungsi cek yang semula tunai berubah
menjadi non tunai atau sebagai pemindahbukuan.
d. Cek Mundur
Merupakan cek yang diberi tanggal mundur dari tanggal sekarang, misalnya hari ini
tanggal 01 Mei 2002. Sebagai contoh. Tn. Roy Akase bermaksud mencairkan
selembar cek dan di mana dalam cek tersebut tertulis tanggal 5 Mei 2002. jenis cek
inilah yang disebut dengan cek mundur atau cek yang belum jatuh tempo, hal ini
biasanya terjadi karena ada kesepakatan antara si pemberi cek dengan si penerima
cek, misalnya karena belum memiliki dana pada saat itu.
e. Cek Kosong
Cek kosong atau blank cheque merupakan cek yang dananya tidak tersedia di dalam
rekening giro. Sebagai contoh nasabah Tn. Rahman Hakim menarik cek senilai 60
juta rupiah yang tertulis di dalam cek tersebut, akan tetapi dana yang tersedia di
rekening giro tersebut hanya ada 50 juta rupiah. Ini berarti kekurangan dana sebesar
10 juta rupiah, apabila nasabah menariknya. Jadi jelas cek tersebut kurang jumlahnya
dibandingkan dengan jumlah dana yang ada.
Macam-macam Cek
Dalam perkembanganya Cek semakin banyak digunakan sebagai alat
pembayaran. Tuntutan akan kebutuhan hidup manusia dalam perdagangan semakin
mendorong ke arah kompleksitas dari bentuk Cek yang semula hanya berfungsi semata-
mata sebagai alat pembayaran dalam bentuk baku pada perkembanganya mengalami
perluasan ke dalam bentuk-bentuk khusus sesuai peruntukan dan tujuan penerbitanya.
Macam-macam cek:
1. Cek biasa adalah cek yang memenuhi semua kriteria dan ciri-ciri dari suatu Cek,
tanpa suatu ketentuan tambahan terhadap cek terdebut.
2. Cek atas pengganti penerbit adalah cek diman nama pemegang pertama tidak
disebutkan sehingga pihak penarik sama dengan pemegang pertama.
3. Cek atas nama penerbit sendiri adalah cek dimana nama pihak tertarik juga tertindak
sebagai penarik.
4. Cek untuk perhitungan pihak ketiga adalah cek yang terbitkan untuk diri penarik
sendiri.
5. Cek inkasso adalah cek yang didalamnya terdapat kata “Inkasso” atau kata “ dalam
pemberian kuasa” atau kata lain sejenisnya.
6. Cek berdomisili adalah cek yang ditempat pencariannya di tunjukkan di tempat
tertentu, yakni di tempat pihak ketiga atau ditempat pihak tersangkut.
7. Cek silang adalah cek yang dilembarannya diberikan garis silang, diman cek seperti
ini hanya dapat di bayarkan jika pembawannya adalah bank lain atau nasabah tertarik.
8. Cek untuk perhitungan adalah cek yang dipembayaranya diberikan kata “untuk
diperhitungkan” atau kata lain yang sejenis.
9. Cek perjalanan adalah cek yang diterbitkan oleh seseorang yang akan melakukan
perjalanan ketempat lain. Sehingga ia tidak perlu membawa uang tunai dalam
pejalanan.
Manfaat dari adanya cek:
a. Manfaat cek bagi pemilik rekening (nasabah):
1) Sebagai alat pencatatan dan pembukuan transaksi penarikan dana di bank.
2) Sebagai alat pengawasan jumlah dana yang tersedia di bank.
3) Sebagai alat penarik dana dari bank.
4) Sebagai alat pembayaran kepada pihak lain.
b. Manfaat cek bagi bank :
1) Sebagai alat pembayaran
2) Sebagai alat pemindahbukuan dari satu rekening ke rekeninglainnya
3) Sebagai dokumen pembukuan
c. Manfaat cek bagi pihak ketiga, yaitu pihak yang memegang cek :
1) Sebagai alat untuk menyelesaikan hutang piutang dengan pihaklain
2) Sebagai alat pembayaran, pengganti alat pembayaran yang sah
Alur transaksi Pencairan cek yaitu:
1. Penerbit menuliskan jumlah nominal uang yang akan dibayarkannya pada cek.
Penerbit juga menuliskan nomor rekening dari pemegang cek, disertai nama bank dari
pemegang cek. Penerbit menandatangani cek tersebut. Cek itu tentu didapatkan oleh
penerbit dari bank penerbit.
2. Penerbit menyerahkan cek itu kepada pemegang cek.
3. Pemegang cek menyerahkan cek tadi kepada bank di tempat pemegang cek memiliki
rekening. Pemegang menginstruksikan kepada banknya agar memproses cek itu.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam cek:
1. Dalam cek tidak berlaku tanggal efektif, sehingga pembayaran wajib dilakukan pada
saat diunjukkan.
2. Apabila tempat pembayaran tidak ditulis dalam cek, maka nama tempat di samping
nama bank pembayar dianggap sebagai tempat pembayaran (Pasal 179 KUHD).
3. Bila ada beberapa tempat yang ditulis, maka nama tempat yang ditulis terdahululah
yang dianggap sebagai tempat pembayaran (Pasal 179 KUHD).
4. Jika petunjuk-petunjuk dalam butir 1, 2 dan 3 di atas tidak ada, maka pembayaran
dianggap di kantor pusat bank pembayar (Pasal 179 KUHD).
5. Jika tempat dimana cek itu diterbitkan tidak tertulis, maka tempat yang tertulis di
samping nama penerbit dianggap sebagai tempat diterbitkannya warkat cek (Pasal
179 KUHD).
6. Tiap-tiap cek harus ditarik di bank yang mengelola dana untuk keperluan penerbit
atau giran (Pasal 180 KUHD).
7. Cek tidak boleh diaksep, karena berfungsi sebagai alat pembayaran tunai, sehingga
apabila cek diaksep maka akseptasi tersebut dianggap tidak ada (Pasal 181 KUHD).
8. Cek dapat diterbitkan untuk keperluan penerbit sendiri.
B. Pengaturan Cek
Dasar Hukum Antara lain:
a. Pasal 178-229d KUHD.
b. SEBI No.8/7/UPPB tertanggal 16 Mei 1975 tentang Cek/Bilyet Giro Kosong (“SEBI
No.8/7/1975”).
c. SEBI No.9/72/UPPB tertanggal 10 Januari 1977 tentang Penulisan Nilai Nominal
Cek/Bilyet Giro dalam Angka dan Huruf (“SEBI No.9/72/1975”).
d. SEBI No.9/16/UPPB tertanggal 31 Mei 1976 tentang Larangan Menerbitkan
Cek/Bilyet Giro dalam Valuta Asing (“SEBI No.9/16/1976.
e. SEBI No.5/85/UPPB/PbB tertanggal 11 September 1972 tentang
Pembuatan/Penerbitan Cek/Bilyet Giro dan Alat-alat Lalu Lintas Pembayaran Giral
Lainnya (“SEBI No.5/85/1972”).
Syarat Formil
Cek diatur dalam Undang-Undang Hukum Dagang Pasal 178 sampai dengan 229.
Menurut ketentuan pasal 178 KUHD, cek mempunyai syarat-syarat yaitu:
a. Nama cek harus jelas tertulis.
b. Harus ada perintah membayar sesuatu jumlah uang tertentu.
c. Harus disebutkan nama badan hukum atau bank yang harus membayar.
d. Harus ditetapkan tempat dan tanggal pembayaran dan tempat mengeluarkan.
e. Harus ada tanda tangan atau ditanda tangani oleh yang mengeluarkan cek tersebut.
Jika salah satu syarat tidak dipenuhi, maka surat berharga ini tidak merupakan cek yang
sah. Cek itu dapat dikeluarkan secara atas nama, atas tunjuk atau perintah, dan atas bawa.
Syarat lainnya yang dapat ditetapkan oleh bank :
a. Tersedianya dana.
b. Adanya materai yang cukup.
c. Jika ada coretan atau perubahan harus ditandatangani oleh si pemberi cek.
d. Jumlah uang yang terbilang dan tersebut harus sama.
e. Memperlihatkan masa kadaluarsa cek yaitu 70 hari setelah dikeluarkannya cek
tersebut.
f. Tanda tangan atau cap perusahaan harus sama dengan speciment/contoh.
g. Tidak diblokir pihak berwenang.
h. Endorsment cek benar (jika ada).
i. Kondisi cek sempurna.
j. Rekening belum ditutup.
k. Dan syarat-syarat lainnya
Keterangan yang ada didalam suatu cek :
a. Ada tertulis kata-kata Cek atau Cheque.
b. Ada tertulis Bank Penerbit (Bank Matras).
c. Ada nomor cek.
d. Ada tanggal penulisan cek (di bawah nomor cek).
e. Ada perintah membayar ” bayarlah kepada……. atau pembawa”.
f. Ada jumlah uang (nominal angka dan huruf).
g. Ada-tanda tangan dan atau cap perusahaan pemilik cek.
C. Praktek Penggunaan Cek Kosong sebagai Alat Pembayaran
Setiap nasabah yang mempunyai rekening di Bank setiap saat ketika diperlukan dapat
mengambil uang di dalam rekeningnya di Bank dengan menerbitkan surat cek, baik untuk
seluruh jumlahnya maupun sebagiandemi sebagian. Tetapi nasabah tidak boleh
menerbitkan surat cek yang jumlahnya lebih besar dari uang di dalam rekeningnya di
Bank. Apabila ia melakukan hal yang demikian, ia dikatakan menerbitkan surat cek ko-
song. Jadi cek kosong adalah cek yang ditarik dari sebuah rekening, yang dananya tidak
cukup untuk membayar cek tersebut.
Cek kosong adalah Cek yang diunjukkan dan ditolak Tertarik dalam tenggang waktu
adanya kewajiban penyediaan dana oleh Penarik karena saldo tidak cukup atau Rekening
telah ditutup.
Pada asasnya setiap penerbit yang menerbitkan cek seharusnya berlatar belakang suatu
perbuatan dasar dimana penerbit sebagai seorang nasabah di Bank yang mempunyai
rekening tabungan mempunyai dana yang cukup terlebih dahulu sebelum menerbitkan
surat cek sebagai alat pembayaran. Namun seringkali di dalam praktek penggunaan cek
sering disalah gunakan sebagai tindakan penipuan yaitu cek kosong.
Faktor yang menjadi pendukung praktek penggunaan cek kosong adalah rahasia Bank.
Bank tidak akan memberikan informasi mengenai jumlah rekening nasabahnya. Jadi
apabila ternyata surat cek itu dananya tidak mencukupi atau kosong, penerima surat cek
tidak mungkin mengetahui hal itu. Penerima surat cek hanya percaya bahwa pada saat
diperlihatkan ia akan memperoleh pembayaran. Bagi penerbit surat cek yang
berspekulasi, hal ini merupakan kesempatan untuk memperoleh kenikmatan dengan
menerbitkan surat cek kosong atau membayar dengan cek kosong dalam transaksi
dagang.
Penyelesaian masalah yang timbul dalam praktek penggunaan Cek kosong sebagai alat
pembayaran di Indonesia adalah bahwa cek tersebut dapat ditagihkan kemudian hari
sebelum habis masa pengunjukannya yaitu 70 hari. Tetapi apabila masa pengunjukkan
selama 70 hari cek telah lewat dan cek masih ditolak karena belum tersedianya dana,
maka masih dapat dimintakan dana sampai waktu selama 6 bulan terhitung mulai hari
penerbitan semula. Setelah waktu 6 bulan telah lewat (daluwarsa), pemegang cek masih
dapat melakukan Hak Regres.
Hak regres adalah hak yang diberikan oleh undang- undang kepada pemegang surat
berharga dalam hal terjadi non akseptasi atau non pembayaran. Hak regres atau hak
recourse dalam kamus Bank Indonesia adalah Hak Pemegang Surat Wesel/cek/surat
sanggup untuk menagih penarik/endosan/avalis guna mendapatkan pembayaran jika
pihak tertarik menolak melakukan pembayaran (recht van regres) dan Recourse juga
diartikan hak alih bayar. Hak regres diatur di dalam Pasal 142 sampai dengan Pasal 153
KUHD.
Penarikan cek kosong dianggap sebagai tindak pidana ekonomi diancam dengan sanksi
pidana yang berat, yaitu hukuman mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara 20
tahun. Ancaman pidana yang berat itu ternyata menimbulkan keengganan masyarakat
menggunakan cek dalam lalu lintas pembayaran. Berdasarkan pertimbangan, Pemerintah
kemudian mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 1971. Maka pada saat ini penarikan cek
kosong bukan lagi dianggap sebagai suatu kejahatan. Praktis tidak terdapat lagi
perbedaan yang signifikan antara penarikan cek kosong dengan bilyet giro kosong dari
segi hukum pidana.
D. Hasil Wawancara dari Narasumber mengenai Cek
a. Apa definisi dari cek ?
Surat cek adalah surat berharga yang ada kata cek diterbitkan di tanggal dan tempat
tertentu, di mana penerbit memerintahkan tanpa syarat pada bankir untuk membayar
sejumlah uang tertentu pada pemegang atau pembawa di tempat tertentu.
b. Apa permasalahan yang timbul dengan sistem pembayaran berdasarkan cek ?
Butuh waktu untuk mendapatkan cek dari satu tempat ke tempat lain, khususnya pada
masalah yang serius, jika akan membayar seseorang di lokasi berbeda yang butuh
pembayaran dengan cepat semua pekerjaan administrasi yang dibutuhkan dalam
proses cek mahal.
c. Dimana pengaturan tentang cek ?
Diatur dalam Pasal 178 sampai dengan 229 KUHDagang. Ada tambahan penjelasan
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
d. Apa saja syarat dari cek berdasarkan dasar hukum yang ada ?
a. Harus ada kata cek.
b. Surat cek harus berisi surat perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang
tertentu.
c. Nama orang yang membayar harus selalu suatu bank.
d. Penunjukkan tempat pembayaran.
e. Menyebutkan tanggal dan tempat penarikan cek.
f. Tanda tangan orang yang menarik cek.
e. Apa saja manfaat dari adanya cek ?
Manfaat dari adanya cek
Manfaat cek bagi pemilik rekening (nasabah): alat pencatatan dan pembukuan
transaksi penarikan dana di bank, alat pengawasan jumlah dana yang tersedia di bank,
alat penarik dana dari bank, alat pembayaran kepada pihak lain.
Manfaat cek bagi bank: alat pembayaran, alat pemindahbukuan dari satu rekening ke
rekening lain, dokumen pembukuan.
Manfaat cek bagi pihak ketiga (pihak yang memegang cek): alat untuk menyelesaikan
hutang piutang dengan pihak lain, alat pembayaran, pengganti alat pembayaran yang
sah.
f. Berapa tenggang waktu dari cek tersebut untuk dicairkan ?
Tenggang waktu dari cek 70 hari sejak tanggal penarikannya, kalau setelah 70 hari
cek yang bersangkutan tidak diuangkan maka penarik tidak wajib lagi menyediakan
dana untuk cek yang bersangkutan.
g. Apa saja jenis-jenis dari cek ?
- Cek atas tunjuk
- Cek atas nama
- Cek atas pembawa
- Cek mundur
- Cek silang
- Cek kosong
h. Apa saja kekhususan dari cek ?
Apabila cek tidak memuat lokasi di mana pembayaran harus atau dapat dilakukan, tempat yang ditulis di samping nama pengguna atau nama penarik akan dianggap sebagai lokasi pembayaran;
Apabila tertulis beberapa tempat pencairan, makan pencairan harus dilakukan di tempat yang ditulis pada urutan pertama
Apabila cek tidak memuat sama sekali keterangan tempat di mana cek dapat dicairkan, makan pembayaran atau pencairan dilakukan di kantor pusat bank tertarik
i. Bagaimana mekanisme dari pembukuan cek ?
Penerimaan cek tunai ditempatkan dalam penerimaan kas dilanjutkan dengan proses
kliring/ingkaso setoran pemindahan bank, lalu pengeluaran cek tunai ditempatkan
dalam pengeluaran bank ditindak lanjutkan dengan proses rekonsiliasi bank di
akhir bulan.
j. Apa hukuman bagi orang yang menerbitkan cek kosong ?
Penarikan cek kosong dianggap sebagai tindak pidana ekonomi diancam dengan
sanksi pidana yang berat, yaitu hukuman mati, pidana seumur hidup, atau pidana
penjara 20 tahun. Ancaman pidana yang berat itu ternyata menimbulkan keengganan
masyarakat menggunakan cek dalam lalu lintas pembayaran. Pemerintah kemudian
mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 1971. Maka pada saat ini penarikan cek kosong
bukan lagi dianggap sebagai suatu kejahatan. Praktis tidak terdapat lagi perbedaan
yang signifikan antara penarikan cek kosong dengan bilyet giro kosong dari segi
hukum pidana.
KELOMPOK 2
PEMBAHASAN
1. Pengertian bilyet giro
Istilah bilyet giro berasal dari kata bilyet dalam bahasa Belanda, artinya surat dan
giro berasal dari bahasa Italia yang berarti simpanan nasabah pada bank yang
pengambilannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek atau dengan
pemindahbukuan. Jadi, bilyet giro adalah surat perintah pemindahbukuan yang berfungsi
sebagai pembayaran karena itu bilyet giro disebut alat pembayaran. Sebagai bahan
perbandingan terhadap definisi bilyet giro dikemukakan versi-versi rumusan yang
diberikan oleh Soesatio Reksodiprodjo dalam bukunya yang berjudul Pengguna Ekonomi
Bank dan Kredit disebutkan bahwa bilyet adalah giro yang berarti alat untuk melunasi
utang piutang melalui clearing.
Giro (Demaind Deposit) dalam dunia perdagangan kata giro sudah tidak asing
lagi. Setiap akan melakukan transaksi pembayaran sering dikaitkan dengan giro, baik
pembayaran yang bersifat tunai maupun non tunai. Hal ini dilakukan karena pembayaran
dengan menggunakan giro sangat memberikan berbagai keuntungan, terutama dari segi
keamanan untuk jumlah pembayaran yang relatif besar. Pengertian Bilyet giro adalah
surat perintah dari nasabah kepada bank penyimpan dana untuk memindahkan sejumlah
dana dari rekening yang bersangkutan kepada rekening pemegang yang disebutkan
namanya.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa bilyet giro merupakan
surat yang berharga dapat dialihkan/ diperdagangkan serta ditukarkan dengan uang
seperti halnya cek. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 butir 6 UU No.10/1995 yang
dimaksud dengan giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat
dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan
pemindah bukuan.
Jika bilyet giro tersebut tidak disebutkan tidak diisikan nama si penerima dana
oleh penariknya, sehingga mudah untuk dialihkan dari tangan yang satu ke tangan yang
lain. Dengan demikian, pembayaran bilyet giro tidak dapat dilakukan dengan uang tunai
dan tidak dapat dipindahtangankan melalui endosemen. Endosemen adalah penyerahan
suatu surat atas tertunjuk oleh seseorang yang berhak/pemegang kepada orang lain
dengan disertai pernyataan mengalihkan haknya atas surat yang ditulis pada surat
tersebut.
Adapun menurut Muhammad Amin, S.H. bilyet giro sebagai surat berharga model baru
pada hakikatnya bilyet iro adalah surat perintah tanpa syarat dari nasabah suatu bank
yang memelihara dananya karena tertarik. Perintah dimana bentuk dan isinya sudah
distandardisasi untuk memindahbukukan sejumlah dana penarik kepada pihak penerima
yang namanya telah disebutkan penerima yang memiliki rekening pada bank yang sama.
Atas dasar beberapa perumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa bilyet giro adalah
suatu surat perintah pemindahbukuan tanpa syarat yang dikeluarkan oleh penerbit
nasabah yang mempunyai rekening giro/yang ditujukan kepada tersangkut), dimana
penerbit mempunyai rekening giro dengan permintaan agar sejumlah dana yang
disediakan untuk kepentngan pemegang ata penerima yang tercantum dalam bilyet giro
itu. Dengan batasan pengertian diatas, dapat diketahui ada beberapa unsur yang antara
lain:
a. Bilyet giro adalah suatu perintah pemindahbukuan tanpa syarat dari penarik bilyet
giro
b. Penerbit bilyet giro haruslah nasabah yang mempunyai rekening giro.
c. Tersangkut bilyet giro adalah bank yang memelihara rekening giro penerbit.
d. Pemegang atau penerima bilyet adalah harus nasabah bank, baik bank yang sama
maupun bank lain.
e. Bilyet giro tidak dapat dilakukan dengan pembayaran uang tunai.
2. Syarat Bilyet Giro
Syarat Bilyet Giro Sama halnya dengan surat-surat berharga lainnya, surat aksep dan
surat cek bilyet giro juga ada syarat-syarat formalnya. Adapun syarat-syarat formal bilyet
giro sebagai berikut :
a. Nama nomor seri dan bilyet giro tercantum pada formulir bilyet giro. Jika
diperhatikan, klausul bilyet giro cukup dicantumkan pada formulir bilyet giro dan
tidak perlu dicantumkan dalam teksnya.
b. Perintah yang jelas tanpa syarat untuk memindahkan pemindahbukuan sejumlah dana
atas beban saldo penarik yang harus tersedia pada saat berlakunya surat perintah
yang terkandug dalam bilyet giro tersebut.
c. Nama dan tempat bank tarik kepada perintah termaksud ditujukan. Nama bank
tertarik atau tersangkut dimuat dalam bilyet giro.
d. Nama pihak yang harus menerima pemindahbukuan dana secara administratif
termaksud dan jika dianggap perlu, alamat dan nama pihak penerima dana harus ada.
Artinya, bank tersangkut harus mengetahui apakah penerima dana itu adalah nasabah
bank yang bersangkutan atau nasabah bank lain.
e. Jumlah dana yang dipindahbukukan dapat ditulis baik berupa angka maupun huruf.
f. Tanda tangan penarik dan cap atau stempel badan usaha diperlukan jika si penarik
merupakan suatu perusahaan berbentuk badan usaha.
g. Tempat penarikan dan tanggalnya atau tempat dan tanggal penarikan. Tempat ini
penting untuk mengetahui dimana perbuatan itu dilakukan.
h. Tanggal mulai efektif berlakunya peraturan atau perintah dalam bilyet giro, tanggal
efektif perlu disebutkan secara khusus
i. Nama bank dimana orang atau pihak yang harus menerima dana pemindahbukuan
tersebut memelihara rekening sepanjang nama bank si penerima itu diketahui oleh
penarik.
3. Keuntungan Penggunaan Bilyet Giro :
a. Bilyet Giro dapat post dated Artinya dapat diberi tanggal lebih terhadap tanggal
penarikannya. Pada Bilyet Giro terdapat tanggal penarikan dan terdapat pula
tanggal efektif, yakni tanggal mulai berlakunya perintah pemindahbukuan yang
tercantum dalam Bilyet Giro tersebut. Selama tanggal efektif belum jatuh tempo,
maka pemindah bukuan tidak akan dilakukan, yang tidak melebihi 3 (tiga) tahun
sejak tanggal penerbitan. Tanggal penerbitan adalah tanggal diterbitkannya surat
perintah pemindahbukuan.
b. Bilyet Giro dapat dibatalkan setiap saat selama sebelum jatuh tanggal efektifnya
atau belum dilaksanakan amanatnya oleh tertarik.
c. Karena formulir Bilyet Giro telah distandarisasi bentuknya oleh Bank Indonesia,
sehingga bila dilihat selintas bentuknya sama seperti cek (bahkan ada yang
menamakan Bilyet Giro sebagai giro cek).
d. Walaupun menurut ketentuan Bilyet Giro tidak dapat dipindahtangankan atau
dialihkan hak tagihnya kepada pihak lain, tetapi kenyataannya penarik suatu
Bilyet Giro sering tidak mencantumkan nama penerima dan nama bank dimana
penerima dana mempunyai rekening. Sehingga Bilyet Giro sering dialihkan begitu
saja hak tagihnya kepada pihak lain.
e. Bilyet Giro sebagai warkat kliring, yaitu dapat diperhitungkan melalui kliring
antar bank, sehingga mudah bagi pemegangnya untuk mencairkan dana.
4. Para Pihak dalam bilyet giro
Dalam transaksi yang menggunakan bilyet giro ada beberpa pihak yang wajib terkait
dalam penerbitannya pihak-pihak tersebut adalah ;
Penerbit adalah pemilik rekening yang memerintahkan tertarik melakukan
pemindahbukuan sejumlah dana atas beban rekeningnya kepada pihak yang
disebutkan namnya dalam surat perintah tersebut.
Tertarik dalam transaksi yang menggunakan bilyet giro adalah bank yang
menerima perintah pemindah bukuan dana dari penarik
Penerima adalah nasabah yang namanya disebut dalam bilyet giro untuk
memperoleh pemindahbukuan dana sebagaimana di perintahkan oleh penarik
kepada tertarik.
Bank penerima Adalah pihak bank yang melakukan penagihan bilyet giro untuk
kepentingan pemegang kepada tertarik
5. Tata Cara Transaksi Dengan bilyet Giro
Secara umum, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menggunakan
Bilyet Giro untuk keamanan dan pemenuhan standar administrasi. Pertama Penerbit
Bilyet Giro datang ke bank tertarik dan menyerahkan fisik Bilyet Giro kepada petugas
bank. Kemudian Petugas bank menerima Bilyet Giro dan mengecek keabsahan dan
syarat-syarat penerbitan Bilyet Giro. Jika seluruh ketentuan sudah dipenuhi maka petugas
bank memindahkan dana dari rekening Penerbit Bilyet Giro ke rekening Penerima Bilyet
Giro dengan jumlah yg tercantum di Bilyet Giro. Pencairan Bilyet Giro juga dapat
dilakukan dengan cara kliring dimana Penerima Bilyet Giro cukup datang ke banknya
dan mengkliringkan Bilyet Giro tersebut. Untuk kemudian bank Penerbit Bilyet Giro
akan mentransfer dana sejumlah yg tercantum di Bilyet Giro ke bank Penerima Bilyet
Giro dan bank penerima akan mengkreditkan dana tersebut ke rekening penerima Bilyet
Giro.
Selain proses tersebut didalam penggunaan Bilyet Giro dikenal dengan jangka
waktu penawaran dan tanggal efektif. Bilyet giro yang diserahkan kepada Bank sebelum
tanggal atau waktu pencairan efektif akan ditolak oleh bank. Bank tidak perlu memeriksa
ketersediaan dana jika dilakukan di luar tanggal efektif. Tanggal efektif adalah waktu
mulai berlakunya pemindahbukuan. Tanggal ini harus berada pada tenggat waktu
penawaran. Tanggal efektif ini harus berada pd tenggang waktu penawaran, yaitu
tenggang waktu yg diberikan adalah 70 hari sebelum masa efektif.
Gambar 1. Alur penggunaan transaksi bilyet giro
Gambar 2. Contoh bentuk bilyet giro
Bilyet Giro yang ditawarkan kepada bank tertuju sesudah berakhirnya tenggang
waktu masih tetap dicairkan dengan dua catatan, yaitu ketersediaan dana atau tidak
dibatalkan oleh penarik.Tenggang Waktu Penawaran Bilyet Giro Tenggang waktu
penawaran bilyet giro perlu ditetapkan, agar amanat atau perintah dalam bilyet giro yang
bersangkutan tidak berlalul terus-menerus sehingga menyulitkan administrasinya.
Adapun penetapan yang dimaksudkan adalah selama 70 hari terhitung sejak tanggal
penarikannya. Tenggang waktu penawaran ini sama dengan tenggang waktu penawaran
pada surat cek, yaitu 70 hari terhitung sejak tanggal penerbitannya. Jika dibandingkan
dengan surat cek, bilyet giro mempunyai dua macam tanggal penerbitan dan tanggal
efektif, yang merupakan tenggang waktu dimana penerbit diberi kesempatan untuk
mengusahakan dana untuk membayar dengan cara pemindahbukuan.
Macam Tenggang Waktu Tenggang waktu yang dikenal pada bilyet giro ada dua
macam
1) Tenggang waktu dari tanggal penerbitan sampai pada tanggal efektif. Dalam hal
ini diberikan kesempatan kepada penerbit untuk mempersiapkan dana guna
membayar bilyet giro dengan pemindahbukuan.
2) Tenggang waktu mulai tanggal efektif sampai berakhirnya waktu tenggang waktu
70 hari. Dalam hal ini kesempatan diberikan kepada pemegang untuk
menawarkan kepada bank tesangkut guna pemindahbukuan dana.
6. Bilyet Giro Kosong
Bilyet Giro Kosong Bilyet giro kosong adalah bilyet giro yang diajukan kepada
bank, namun dana nasabah pada bank tidak mencukupi untuk membayar atau memenuhi
amanat pada bilyet giro yang bersangkutan. Jika saldo rekening yang bersangkutan tidak
mencukupi, maka bilyet giro tersebut harus ditolak sebagai bilyet giro kosong. Dalam
menghadapi penarik cek kosong, pihak Bank mengeluarkan konsekuesinya antara lain:
administrasi, perdata, pidana serta gabungan perdata dan pidana. Sanksi terhadap
penerbit bilyet giro kosong terutama terhadap penarikan bilyet giro kosong yang ketiga
kalinya atau lebih, telah ditetapkan berdasarkan keputusan dengan moneter No. 53 Tahun
1962 dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, yang terakhir diatur kembali dengan surat
edaran Bank Indonesia No.4/437 UPPB/Pbn, tanggal 5 Oktober 1971, yaitu pencantuman
tentang nama-nama penarik bilyet giro kosong yang bersangkutan dalam daftar hitam dan
larangan bagi bank- bank menerima nasabah-nasabah yang baru ataupun
mempertahankan nasabah mereka yang namanya tercantum dalam daftar hitam tersebut.
7. Pengisian Bilyet Giro
a. Harus jelas Pengisian surat perintah kepada bank tertarik untuk melaksanakan apa
yang diminta oleh nasabah harus lengkap, tegas, dan jelas, sebagaimana halnya pada
surat-surat berharga lainnya. Berhubung pengisian surat perintah pembayaran melalui
pemindahbukuan tidak mutlah harus dilakukan oleh penerbit sendiri, maka bank
tertarik yang menerima perintah termaksud yang telah diisi lengkap dan terdapat
tanda tangan penarik yang sah. Tidak perlu memeriksa apakah pengisisan itu
dilakukan oleh penarik sendiri atau bukan karena warkat tersebut tetap sah adanya.
Kecuali jika terdapat pengisian yang sifatnya merupakan suatu perubahan amanat,
maka perubahan termaksud harus disahkan oleh penarik yang bersangkutan.
b. Di dalam praktik sehari-hari, adakalanya terdapat bilyet giro yang tidak lengkap
pengisiannya, misalnya nama si penerima dana atau nama nasabah bank penerima
dana dikosongkan. Apabila terjadi hal yang demikian, maka sesuai dengan ketentuan
menganai syarat-syarat formal bilyet giro tersebut. Hal ini berarti bahwa dana dapat
dipindahkan ke bank mana saja untuk rekening si penerima. Berdasarkan sifatnya
bilyet giro digunakan sebagai alat pemindahbukuan di mana nama si penerima dana
harus dicantumkan dan jika terdapat bilyet giro yang tidak tercantum nama penerima
dana, maka warkat tersebut harus ditolak atau dikembalikan.
c. Kewajiban menyediakan dana oleh penerbit
d. Saldo efektif Apabila suatu rekening mempunyai saldo efektif yang cukup, barulah
amanat pemindahbukuan dana dapat dilaksanakan. Saldo efektif adalah dana yang
ada dalam rekening giro yang siap digunakan sewaktu-waktu bila diperlukan, sedikit-
dikitnya sama dengan jumlah yang tersebut dalam bilyet giro. Yang diperhitungkan
sebagai dana nasabah yang tersedia pada bank adalah saldo giro yang efektif dan/
atau saldo fasilitas kredit yang belum dipergunakan. Dalam hal ini, nasabah tersebut
memperoleh fasilitas kredit dari bank berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat
sebelumnya.
e. Kewajiban menyediakan dana sampai tanggal efektif Dalam tenggang waktu antara
penerbitan dan tanggal efektif, penerbit diberi kesempatan yang cukup lama untuk
memenuhi kewajibannya mengusahakan dan menyediakan dana. Ditentukan adanya
tanggal efektif dalam bilyet giro justru memberikan kesempatan pada penerbit untuk
memenuhi kewajiban menyediakan dana bagi bilyet giro yang diterbitkannya.
f. Akibat hukum Ada kemungkinan bahwa penerbit tidak memenuhi kewajibannya
setelah bilyet gironya, berarti tidak mempunyai saldo efektif yang cukup, maka dalam
hal ini penerbit harus bertanggungjawab. Ketentuan bilyet giro telah diatur oleh bank
Indonesia dan tidak mengatur hak regres seperti surat wesel dan cek. Sebenarnya
ketentuan semacam ini perlu bagi bilyet giro karena digunakan untuk kepentingan
penerbit, pemegang bilyet giro yang jujur, dan pihak bank sendiri. Untuk itulah
peraturan tentang bilyet giro di Indonesia perlu dilengkapi oleh bank Indonesia.
KELOMPOK 3
PEMBAHASAN
2.1 Dasar Hukum Kartu Kredit
Kegiatan penerbitan dan penggunaan kartu kredit di Indonesia didasarkan pada beberapa
ketentuan berikut :
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Nasional.
Penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu kredit didasarkan pada
ketentuan Pasal 6 huruf 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Pasal 6 huruf 1 Undang-
Undang Perbankan menyatakan bahwa usaha kartu kredit merupakan salah satu bentuk usaha
yang dapat dilakukan oleh bank. Dengan demikian, Undnag-Undang Perbankan dapat dijadikan
dasar penyelenggaraan usaha kartu kredit sebagai alat pembayaran oleh bank. Namun, Undang-
Undang Perbankan tidak mengatur secara lebih rinci mengenai penerbitan dan penggunaan kartu
kredit sebagai alat pembayaran.
b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK. 013/1988 Tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK. 013/1988 Tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan (KMK Lembaga Pembiayaan) mulai berlaku pada tanggal 20
Desember 1988. KMK Lembaga Pembiayaan ini merupakan peraturan pelaksana dari Keputusan
Presiden Nomor 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan. Di dalam KMK Lembaga
Pembiayaan ini dinyatakan bahwa usaha kartu kredit merupakan salah satu bentuk usaha yang
dapat dilaksanakan oleh Lembaga Pembiayaan.
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (Perubahan dari PBI Nomor 01/01/PBI/2009 serta
7/52/2005)
Dampak dari peraturan ini sangat signifikan, telah banyak bank yang menutup divisi
kartu kredit mereka karena peraturan baru ini, selain karena terhambat dan tidak berkembangnya
pemasaran dan kalkulasi akan keuntungan dan CPA (Cost Per Account) yang haruskeluarkan.
Selain berdampak pada bank sebagai penerbit kartu kredit, hal ini akhirnya juga berimbas pada
pendapatan marketing serta turunnya minat customer yang beberapa bulan yang lalu sempat
tinggi dikarenakan proses persetujuan yang tergolong susah untuk beberapa bank asing.
2.2 Bank Dalam Menjalankan Kegiatan Usaha Kartu Kredit
Bank sebagi kreditur memberikan pinjaman serta berbagai fasilitas bagi para nasabahnya.
Nasabah bank adalah pihak yang menggunakan jasa bank, terdiri dari nasabah penyimpan dan
nasabah debitur. Nasabah penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya dalam bentuk
simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan, sedangkan nasabah
debitur adalah nasabah yang rnemperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan yang
berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersarnakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank
dengan nasabah yang bersangkutan. Pemegang kartu kredit merupakan nasabah debitur, karena
mendapatkan fasilitas berupa kartu kredit.
Menurut Pasal 6 huruf l Undang-Undang Perbankan menyatakan bahwa usaha kartu
kredit merupakan salah satu bentuk usaha yang dapat dilakukan oleh bank. Kartu kredit sebagai
salah satu bentuk usaha yang dilakukan oleh bank, maka prinsip 5C atau “the five C’s
principles” yang digunakan untuk menilai mengevaluasi calon nasabah kredit juga berlaku pada
usaha kartu kredit. Prinsip 5C tersebut adalah sebagi berikut :
a. Character adalah data tentang kepribadian dari calon pemegang kartu kredit seperti sifat-sifat
pribadi, kebiasaan-kebiasaannya, cara hidup, keadaan dan latar belakang keluarga maupun
hobinya. Character ini untuk mengetahui apakah nantinya calon nasabah ini jujur berusaha
untuk memenuhi kewajibannya untuk membayar cicilan kartu kredit dengan kata lain ini
merupakan willingness to pay.
b. Capacity, merupakan kemampuan calon pemegang kartu dalam mengelola fasilitas kredit
yang diberikan oleh bank penerbit yang dapat dilihat dari pendidikannya, pengalaman calon
pemegang kartu (apakah pernah melakukan keterlambatan/wanprestasi dalam
fasilitas kredit yang telah ada sebelumnya. Capacity ini merupakan ukuran dari ability to pay
atau kemampuan dalam membayar.
c. Capital, adalah kondisi kekayaan yang dimiliki oleh calon pemegang kartu. Hal ini bisa dilihat
dari neraca, laporan rugi-laba, struktur permodalan, ratio-ratio keuntungan yang diperoleh seperti
return on equity, return on investment. Berdasarkan kondisi di atas bisa dinilai apakah layak
calon pelanggan diberi pembiayaan, dan berapa besar plafon pembiayaan yang layak diberikan.
d. Collateral, adalah jaminan dalam kartu kredit berdasarkan pada perjanjian penerbitan kartu
kredit. Pemegang kartu adalah orang yang dapat dipercaya oleh penerbit dan wajib memenuhi
ketentuan serta persyaratan perjanjian yang telah ditetapkan oleh penerbit. Sesuai dengan
perjanjian bahwa pemegang kartu akan membayar secara berkala tagihan yang disampaikan oleh
penerbit. Kepercayaan dan pembayaran tagihan merupakan jaminan bagi penerbit untuk
membayar barang/jasa yang ditagih dari penjual.
e. Condition, pembiayaan yang diberikan juga perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi calon
nasabah. Dalam perjanjian kartu kredit antara pemegang kartu dengan penerbit biasanya
dibuktikan dengan adanya bukti berupa slip gaji/penghasilan dari pemegang kartu.
2.3 Kelebihan dan Kelemahan Kartu Kredit
Kelebihan Kartu Kredit
1. Bisa Menggunakan Dana Lebih Dari Yang Telah Dimiliki
Keunggulan utama kartu kredit adalah kemampuannya memberikan Anda pinjaman secara
instan kapanpun dibutuhkan, bahkan walaupun pengeluaran itu nilainya lebih daripada dana
yang Anda punya dalam rekening. Memiliki kartu kredit memberikan Anda kemampuan
untuk meminjam uang dari bank kapanpun tanpa melalui proses approval yang memakan
waktu. Namun demikian, keunggulan kartu kredit yang satu ini merupakan pedang bermata
dua. Di satu sisi merupakan fasilitas, tetapi disisi lain merupakan godaan. Jika Anda
memutuskan untuk memiliki kartu kredit, Anda harus berhati-hati agar jangan sampai 'besar
pasak daripada tiang'. Jagalah pengeluaran Anda agar sebisa mungkin berada dalam batas-
batas pemasukan bulanan.
2. Mempermudah Transaksi Online dan Offline
Tak terelakkan lagi bahwa kartu kredit mempermudah transaksi jual beli baik online maupun
offline. Jika Anda pergi berbelanja alat elektronik, misalnya, maka daripada membawa-bawa
segepok uang ratusan ribu rupiah, akan jauh lebih praktis ketika Anda membawa selembar
kartu saja. Apalagi di era internet saat ini, berbagai transaksi baik nasional maupun
internasional bisa dilakukan via internet. Pembayaran transaksi online via kartu kredit jauh
lebih banyak diterima, praktis, dan murah biayanya daripada transfer antar bank di belahan
dunia yang berbeda.
3. Banyak Promosi Khusus Pengguna Kartu Kredit
Manfaat sampingan nomor satu kartu kredit adalah banyaknya promosi yang ditawarkan oleh
setiap penerbit kartu kredit. Promo yang dihadirkan bisa berasal dari kerjasama dengan toko
tertentu, diskon dan potongan harga insidental, iming-iming bunga rendah, dan lain
sebagainya. Promo-promo ini bisa menjadi salah satu strategi penghematan bila toko
langganan Anda bekerjasama dengan bank penerbit kartu kredit tertentu untuk selalu
memberikan potongan harga.
Kekurangan Kartu Kredit
1. Biaya Besar Untuk Menarik Cash
Penggunaan kartu kredit menjadikan pembayaran transaksi lebih praktis, tetapi perlu dicatat
bahwa kartu kredit sebaiknya tidak digunakan untuk menarik uang cash di ATM. Penarikan
bisa dilakukan, tetapi umumnya dikenakan charge besar hingga sekitar 50 ribu Rupiah untuk
setiap penarikan. Sangat direkomendasikan untuk menggunakan kartu kredit Anda hanya
untuk membayar transaksi.
2. Bunga Kredit Dan Biaya Kartu Tinggi
Bunga kredit konsumsi terhitung sangat tinggi, lebih tinggi daripada bunga kredit karya.
Persentase bunga ini seringkali luput dari perhitungan pengguna kartu kredit. Anda berbelanja
sebesar 1 juta Rupiah, lalu hanya menghitung pengeluaran 1 juta Rupiah, padahal pengeluaran
sesungguhnya adalah 1 Juta + bunga sekian persen. Itu pun belum memperhitungkan biaya
iuran tahunan kartu kredit yang lebih tinggi daripada kartu debit/ATM biasa.
3. Kartu Kredit Rawan Pembobolan
Sudah banyak cerita pembobolan kartu kredit baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Pembobolan bisa menggunakan cara-cara tradisional seperti pemalsuan tanda tangan, juga
bisa dengan cara canggi memanfaatkan teknologi. Kartu kredit di Indonesia kebanyakan
masih dibuat menggunakan pita magnetik yang kurang terjamin keamanannya, berbeda
dengan kartu kredit di Eropa yang kebanyakan sudah menggunakan micro chip. Begitu pun,
kartu kredit masih tak terlindung dari serangan hacker yang menyasar sistem komputer Bank
penerbit kartu kredit. Jika Anda memutuskan untuk menggunakan kartu kredit, maka cermati
laporan periodik yang berisi catatan transaksi Anda untuk memastikan bahwa pengeluaran
yang terjadi sudah sesuai dengan transaksi yang Anda lakukan
2.4. Masalah Kartu Kredit
Dari informasi yang telah kami peroleh dari berbagai sumber dan diperkuat dengan
wawancara dengan Bapak Rudi, kami menanyakan apa saja masalah yang paling umum terjadi
dalam kartu kredit. Menurut beliau adalah:
1. Gagal Bayar / Wanprestasi Oleh Pengguna Kartu Kredit
Ketika menyadari bahwa sudah tidak mampu melakukan pembayaran kartu kredit,
sangat penting untuk mengambil tindakan dengan segera. Jika berhenti melakukan
pembayaran sepenuhnya, maka akun yang dimiliki bisa mendapatkan biaya-off dan
dikirim ke agen penagihan.
2. Adanya kesalahan pada tagihan
Kesalahan pada tagihan kartu kredit sangat mungkin terjadi dikarenakan jumlah
nasabah pada sebuah Bnak sangat banyak. Sehingga mungkin saja sebuah Bank
melakukan kesalahan pada tagihan nasabah dan ini tentu sangat merugikan. Apabila
terjadi kesalahan dalam pembayaran tagihan segera melaporkan ke pihak bank untuk
dapat segera do proses. Banyak masalah dapat diselesaikan hanya dengan menelepon
penerbit kartu kredit.
3. Kesalahan Administratif
Dokumen administrasi adalah dokumen-dokumen yang harus Anda lampirkan selain
bukti identitas diri. Dokumen ini menentukan cocok tidaknya Anda dengan jenis
kartu kredit yang akan diberikan, serta untuk memutuskan besarnya limit kartu kredit
yang akan diberikan. Lewat dokumen ini bank juga bisa melacak keberadaan diri
Anda untuk urusan menagih atau mengirimkan kartu kredit. Dokumen administrasi
bagi setiap orang berbeda-beda sesuai dengan profesinya pada saat mengajukan
permohonan kartu kredit. Kalau Anda seorang karyawan atau orang asing, maka yang
Anda lampirkan adalah slip gaji atau surat keterangan penghasilan (SKP). Untuk SKP
tentu harus distempel asli dan ditandatangi oleh atasan setingkat manajer atau di
atasnya. Dokumen administrasi untuk karyawan dan orang asing ini harus asli dan
tidak boleh fotokopi. Jangan sertakan SP3 loh sebab SP3 itu Surat Perintah
Penghentian Penyidikan yang banyak dikeluarkan buat pejabat dan pengusaha korup
oleh pejabat korup.
Jika Anda seorang pengusaha maka dokumen yang Anda lampirkan adalah SIUP dan
atau akte keterangan pendirian perusahaan (TDP), serta rekening koran atau rekening
tabungan 3 bulan terakhir. Semuanya cukup fotokopinya saja. Sedangkan jika Anda
seorang profesional seperti pengacara, dokter, akuntan publik, dsb.. maka cukup
sertakan rekening tabungan atau rekening koran 3 bulan terakhir dan surat izin
praktek. Juga cukup fotokopinya saja. Untuk pegawai negeri sipil (PNS) atau
TNI/POLRI lain lagi ceritanya. Dokumen yang diminta oleh bank biasanya adalah SK
pangkat terakhir atau surat pengangkatan. Ya cukup fotokopinya saja. Kartu kredit
bukan milik negara loh dan tidak bisa dipergunakan secara gratis seperti naik bus kota
atau kereta api.
Lain lagi ceritanya jika Anda sudah memiliki kartu kredit. Maka syarat
administrasinya Anda cukup menyertakan fotokopi kartu kredit bolak balik serta
billing tagihan terakhir kartu kredit yang sudah Anda miliki. Biasanya minimal 3
bulan terakhir. Untuk billing tagihan fotokopi atau asli juga tidak menjadi masalah.
Namun biasanya sih diminta yang asli. Siapa sih yang tidak mau yang virgin atau
original
4. Kredit Macet
Munculnya kredit bermasalah termasuk di dalamnya kredit macet, pada dasarnya
tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses. Terjadinya kredit macet
dapat disebabkan baik oleh pihak kreditur (bank) maupun debitur. Faktor-faktor
penyebab yang merupakan kesalahan pihak kreditur adalah:
1. Keteledoran bank mematuhi peraturan pemberian kredit yang telah digariskan;
2. Terlalu mudah memberikan kredit, yang disebabkan karena tidak ada patokan
yang jelas tentang standar kelayakan permintaan kredit yang diajukan;
3. Konsentrasi dana kredit pada sekelompok debitur atau sektor usaha yang beresiko
tinggi;
4. Kurang memadainya jumlah eksekutif dan staf bagian kredit yang
berpengalaman;
5. Lemahnya bimbingan dan pengawasan pimpinan kepada para eksekutif dan staf
bagian kredit;
6. Jumlah pemberian kredit yang melampaui batas kemampuan bank;
7. Lemahnya kemampuan bank mendeteksi kemungkinan timbulnya kredit
bermasalah, termasuk mendeteksi arah perkembangan arus kas (cash flow) debitur
lama
Sedang faktor-faktor penyebab kredit macet yang diakibatkan karena kesalahan
pihak debitur antara lain:
Menurunnya kondisi usaha bisnis perusahaan, yang disebabkan merosotnya kondisi
ekonomi umum dan/atau bidang usaha dimana mereka beroperasi;
1. Adanya salah urus dalam pengelolaan usaha bisnis perusahaan, atau karena
kurang berpengalaman dalam bidang usaha yang mereka tangani;
2. Problem keluarga, misalnya perceraian, kematian, sakit yang berkepanjangan,
atau pemborosan dana oleh salah satu atau beberapa orang anggota keluarga
debitur;
3. Kegagalan debitur pada bidang usaha atau perusahaan mereka yang lain;
4. Kesulitan likuiditas keuangan yang serius;
5. Munculnya kejadian di luar kekuasaan debitur, misalnya perang dan bencana
alam;
6. Watak buruk debitur (yang dari semula memang telah merencanakan tidak akan
mengembalikan kredit).
2.5. Perlindungan Bagi Pengguna Kartu Kredit
Perlindungan terhadap pemegang kartu kredit diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu
(APMK). Peraturan ini merupakan perubahan dari peraturan bank Indonesia no.11/11/ tahun
2009. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan penerapan prinsip kehati-hatian, aspek
perlindungan bagi pemegang kartu, manajemen risiko pemberian kredit dalam penyelenggaraan
kartu kredit, standar keamanan bagi teknologi serta aspek peningkatan APMK.
Sebagai upaya penerapan prinsip perlindungan nasabah, penerbit APMK diwajibkan
oleh PBI APMK serta peraturan pelaksananya memperketat sejumlah ketentuan mengenai kartu
kredit, yang meliputi :
Pertama, Pengaturan mengenai batas maksimum suku bunga kartu kredit.
Besarnya bunga kartu kredit ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar 3% perbulan. Dalam
penetapan bunga, melarang praktek bunga berbunga alias bunga majemuk. Pada praktek bunga
berbunga ini, nilai pokok utang naik terus setiap bulan karena tambahan-tambahanberupa denda
(charges), materai dan iuran (fee) yang seharusnya tidak boleh dikenakan bunga, karena nilai
pokok utang yang seharusnya sama di bulan berikutnya sudah kena tambahan fee/charge maupun
materai. Nilai pokok utang yang baru inilah kemudian yang dikalikan lagi dengan bunga kartu
kredit per bulan.
Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/34/DASP tanggal 27 November 2012 yang
akan berlaku tanggal 1 Januari 2013, bahwa :
a. Batas maksimum suku bunga kartu kredit yang wajib diterapkan oleh penerbit kartu kredit
adalah sebesar 2,95% (dua koma sembilan puluh lima persen) per bulan atau 35,40% (tiga puluh
lima koma empat puluh persen) per tahun.
b. Batas maksimum suku bunga kartu kredit sebagaimana dimaksud pada angka 1 berlaku baik
untuk transaksi pembelanjaan maupun transaksi tarik tunai.
c. Bank Indonesia dapat mengubah batas maksimum suku bunga kartu kredit sebagaimana
dimaksud pada angka 1 dengan mempertimbangkan, antara lain :
1. Indikator perekonomian seperti BI rate;
2. Struktur biaya kartu kredit yang meliputi biaya dana (cost of fund), biaya operasional dan
pengelolaan risiko kredit oleh Penerbit (risk premium);
dan/atau
3. Praktek suku bunga yang dikenakan oleh Penerbit.
Kedua, Pengaturan persyaratan pemberian fasilitas kredit dalam rangka menerapkan
manajemen risiko yang meliputi:
a. Kepemilikan kartu utama, usia pemegang kartu minimal harus berumur 21 tahun atau telah
kawin dan minimum berusia 17 tahun atau telah kawin untuk kartu tambahan;
b. Pendapatan minimum Rp3 juta per bulan;
c. Maksimal plafon kredit adalah tiga kali pendapatan per bulan dan penerapannya berlaku secara
industri;
d. Calon pemegang kartu yang pendapatan per bulannya kurang dari Rp10 juta dikenakan
pembatasan plafon serta pembatasan perolehan kartu kredit maksimum dari dua penerbit;
e. Calon pemegang kartu yang pendapatan per bulannya Rp10 juta ke atas tidak dikenakan
pembatasan jumlah plafon dan kartu dari dua penerbit sehingga analisis kredit sepenuhnya
diserahkan kepada Bank.
Ketiga, Pengaturan prinsip kehati-hatian serta perlindungan bagi pemegang kartu.
Prinsip kehati-hatian dilakukan dengan cara penyeragaman pola perhitungan bunga kartu
kredit, pengenaan biaya denda serta kewajiban menyampaikan informasi kepada pemegang
kartu. Informasi tersebut wajib menggunakan Bahasa Indonesia yang jelas dan mudah
dimengerti, ditulis dalam huruf dan angka yang mudah dibaca oleh calon pemegang kartu. Selain
itu penerbit juga menyediakan sarana dan nomor telepon yang dapat secara mudah digunakan
dan/atau dihubungi oleh calon pemegang kartu dan pemegang kartu dalam rangka melakukan
verifikasi kebenaran segala fasilitas yang ditawarkan dan/atau informasi yang disampaikan oleh
penerbit.
Keempat, Pengaturan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka penagihan hutang.
Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/17 DASP
tertanggal 7 Juni 2012 perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan
Menggunakan Kartu, yang salah satu isinya adalah mengatur mengenai ketentuan mengenai jasa
penagihan kartu kredit (debt collector). Di dalam melakukan kerjasama dengan pihak penagih
hutang, pihak penerbit kartu kredit wajib memperhatikan dan memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a. Penagihan kartu kredit dapat dilakukan oleh penerbit kartu kredit dengan menggunakan tenaga
penagihan sendiri atau tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan.
b. Penagihan kartu kredit baik menggunakan tenaga penagihan sendiri atau tenaga penagihan
dari perusahaan penyedia jasa penagihan, penerbit wajib memastikan bahwa tenaga yang
melakukan penagihan telah memperoleh pelatihan yang memadai terkait dengan tugas penagihan
dan etika penagihan sesuai ketentuan yang berlaku. Identitas setiap tenaga penagihan
dipersiapkan dengan baik oleh penerbit kartu kredit. Tenaga penagihan dalam melaksanakan
penagihan mematuhi etika penagihan.
Penagihan hutang kartu kredit dilarang dilakukan dengan ancaman, kekerasan dan/atau tindakan
yang bersifat mempermalukan pemegang kartu kredit. Penagih juga tidak boleh melakukan
tekanan secara fisik maupun verbal. Penagihan dilakukan langsung kepada pemegang kartu
kredit tidak boleh dilakukan kepada pihak lain. Dalam melakukan penagihan hutang melalui
sarana komunikasi (telepon) dilarang dilakukan secara terus-menerus yang bersifat mengganggu.
Penagihan dilakukan dalam waktu pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00 di wilayah waktu
setempat pemegang kartu, kecuali diperjanjikan secara khusus. Jadi dalam melakukan penagihan
hutang pihak penagih harus benar-benar memperhatikan etika penagihan kepada pemegang
kartu. Penerbit kartu kredit juga harus memastikan bahwa pihak lain yang menyediakan jasa
penagihan yang bekerjasama dengan penerbit juga mematuhi etika penagihan yang ditetapkan
oleh asosiasi penyelenggara APMK.
Kelima, Pengaturan dalam rangka peningkatan pengamanan.
Peningkatan keamanan bagi pemegang kartu dalam melakukan transaksi, maka pihak
penerbit wajib untuk mengimplementasikan mengenai PIN paling kurang enam digit sebagai
sarana verifikasi dan autentifikasi. Transaction alert kepada pemegang kartu kredit dengan
menggunakan teknologi layanan pesan singkat (short message service/sms) atau sarana lainnya
berdasarkan pilihan pemegang kartu kredit.
Penegasan kewenangan Bank Indonesia dalam perizinan serta penegasan sanksi dalam
penyelenggaraan APMK. PBI memberikan sanksi bagi pelanggaran yang dilakukan pihak
penyelenggara APMK berupa teguran, denda, penghentian sementara seluruh kegiatan serta
mencabut izin penyelenggaraan APMK.
Peraturan Bank Indonesia hanya mengatur tentang cara melakukan pembayaran dengan
menggunakan kartu kredit. Peraturan tersebut berlaku bagi penerbit yang melakukan usaha
tersebut yaitu bank atau lembaga pembiayaan. Namun dalam praktiknya bank mempunyai
peraturan tersendiri dalam usaha penerbitan kartu kredit sehingga mereka tidak mengikuti
peraturan yang telah ditentukan. Peraturan ini juga belum menjelaskan bagaimanakah sanksi
yang tegas bagi pihak penerbit yang menggunakan jasa penagih hutang. Jadi pada dasarnya
Peraturan Bank Indonesia ini belum bisa memberikan perlindungan yang maksimal bagi
pemegang kartu kredit.
Berbagai peraturan yang mengatur mengenai kartu kredit di atas, tidak ada satu pun dari
peraturan tersebut yang mengatur secara khusus mengenai perlindungan hukum terhadap
pemegang kartu kredi
KELOMPOK 4
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN WALI AMANAT
1. Menurut Pasal 1 angka 30 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
“ Wali Amanat merupakan pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek yang
bersifat utang baik di dalam maupun di luar pengadilan”.
Oleh karena bersifat utang merupakan surat pengakuan utang yang bersifat sepihak dari
pihak penerbit (emiten) dan para kreditur (investor) jumlahnya relatif banyak, sehingga dibentuk
suatu lembaga yang mewakili kepentingan seluruh kreditur, yakni Wali Amanat.
Akibat dari kedudukannya itu, dalam suatu penerbitan obligasi, para pemegang obligasi
berdasarkan hukum dianggap telah memberikan kuasa kepada Wali Amanat tersebut meskipun
penunjukan atas Wali Amanat ini sebenarnya dilakukan oleh penerbit obligasi (debitur) sendiri.
2. Menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan)
”Wali Amanat adalah kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum untuk
mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan perjanjian antara Bank Umum
dengan emiten surat berharga yang bersangkutan.”
3. Menurut Gunawan Widjaya dan Jono
“Wali Amanat adalah suatu lembaga atau pihak yang bertindak untuk mewakili
kepentingan pemegang efek yang bersifat utang (masyarakat pemodal) dengan membuat suatu
perjanjian dengan emiten, yang dibuat sebelum penerbitan obligasi (sebelum penawaran obligasi
dilakukan).
B. PENGATURAN MENGENAI WALI AMANAT
Secara khusus tidak ada undang-undang yang mengatur mengenai Wali Amanat. Tetapi
dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, terdapat pasal-pasal yang berisi ketentuan
mengenai Wali Amanat yakni di Bab VI Lembaga Penunjang Pasar Modal Bagian Ketiga
tentang Wali Amanat dari Pasal 50 hingga Pasal 54.
Kemudian dalam PP No. 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang
Pasar Modal, pada Pasal 55 disebutkan:
“Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Wali Amanat
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam”.
- Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-36/PM/1996 tentang
Pendaftaran Bank Umum sebagai Wali Amanat.
Dimana Keputusan ini menetapkan bahwa ketentuan mengenai Pendaftaran Bank Umum
sebagai Wali Amanat, mengikuti Peraturan Nomor VI.C.2.
- Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-78/PM/1996 tentang
Pemeliharaan Dokumen oleh Wali Amanat.
Dimana Keputusan ini menetapkan bahwa ketentuan mengenai Pemeliharaan Dokumen oleh
Wali Amanat, diatur dalam Peraturan Nomor X.I.2
- Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor
KEP-309/BL/2008 tentang Hubungan Kredit dan Penjamian Antara Wali Amanat dengan
Emiten.
Dimana Keputusan ini menetapkan bahwa ketentuan mengenai Hubungan Kredit dan
Penjamian Antara Wali Amanat dengan Emiten diatur dalam Peratran Nomor VI.C.3.
- Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor
KEP-412/BL/2010 tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat
Utang.
Dimana Keputusan ini menetapkan bahwa Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan
Efek Bersifat Utang diatur dalam Peraturan Nomor VI.C.4.
C. PERSYARATAN MENJADI WALI AMANAT
1. Dilakukan oleh Bank Umum dan Pihak Lain sesuai Peraturan Pemerintah
Kegiatan Perwaliamanatan dilakukan oleh Bank Umum dan Pihak Lain yang
ditetapkan dengan peraturan pemerintah untuk dapat menyelenggarakan kegiatan usaha
sebagai Wali Amanat. Bank Umum atau Pihak Lain wajib terlebih dahulu terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan. Adapun persyaratan dan tata cara pendaftaran Wali Amanat
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
2. Bertempat kedudukan di Indonesia.
Hal ini untuk memudahkan Wali Amanat dalam menjalankan tugasnya dan
memudahkan pihak yang mengangkat Wali Amanat untuk dapat bertemu atau
menghubungi Wali Amanat karena jika kedudukannya di luar negeri interaksi akan sulit
dan dapat terjadi miscommunication.
3. Dalam dua tahun terakhir secara berturut – turut memperoleh
laba/keuntungan.
Hal ini untuk membuktikan bahwa Wali Amanat mampu menjalankan tugasnya dan
tidak merugikan pihak-pihak yang berkaitan sebab jika tidak memperoleh keuntungan
maka akan menimbulkan resiko kerugian yang cukup besar.
4. Laporan keuangan telah diperiksa akuntan publik/akuntan negara untuk dua
tahun berturut – turut dengan pernyataan pendapat wajar tanpa syarat untuk
tahun terakhir.
Hal ini untuk membuktikan bahwa Wali Amanat benar-benar memperoleh
keuntungan selama dua tahun terakhir secara berturut-turut agar pihak yang mengangkat
Wali Amanat dapat percaya dan untuk membuktikan bahwa keuntungan yang diperoleh
bukan dari cara yang salah.
D. MANFAAT WALI AMANAT
1. Memenuhi salah satu persyaratan atas penerbitan obligasi
Persyaratan obligasi sendiri adalah:
a. Mengajukan surat permohonan listing ke Bapepam;
b. Laporan keuangan harus memiliki pendapat wajar tanpa syarat dari akuntan pulik;
c. Nilai nominal obligasi minimal Rp 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar
rupiah);
d. Jangka waktu jatuh tempo minimal 4 (empat) tahun;
e. Telah beroperasi selama 3 (tiga)tahun;
f. Telah menghasilkan laba selama 2 (dua) tahun terakhir;
g. Saldo laba yang ditahan minimal Rp 0,-
h. Komisaris dan direksi mempunyai reputasi yang baik.
Dari kedelapan syarat tersebut salah satunya dapat dipenuhi karena kegiatan dari
Wali Amanat.
2. Meningkatkan kepercayaan investor untuk membeli obligasi yang diterbitkan
Manfaat ini untuk Wali Amanat agar pihak yang memilih Wali Amanat tersebut
mempercayai bahwa Wali Amanat dapat mewakili kepentingan pemegang efek, sehingga
akan banyak pihak yang mempercayai Wali Amanat tersebut untuk melakukan kegiatan
yang dibutuhkan yang dapat dilakukan olehWali Amanat.
Selain itu, manfaat ini juga memberikan keuntungan bagi pihak yang menggunakan
jasa Wali Amanat. Karena investor akan percaya juga kepada bank/ pihak yang
mengangkat Wali Amanat tersebut sebagai pihak yang dipercaya menjalankan tugas Wali
Amanat.
3. Menambah kepercayaan investor atas bonafiditas emiten
Investor akan mempercayai emiten karena telah menggunakan jasa Wali Amanat
sebagai pihak yang mewakili pemegang efek yang bersifat utang dengan baik dari segi
kejujuran maupun kemampuannya.
E. TUGAS WALI AMANAT
1. Menganalisi kemampuan dan kredibilitas emiten apakah secara operasional perusahaan
(emiten) mempunyai kesanggupan menghasilkan dan membayar obligasi beserta
bunganya;
2. Menilai kekayaan emiten yang akan dijadikan jaminan. Wali Amanat harus mengetahui
dengan pasti apakah nilai kekayaan emiten yang menjadi jaminan setara atau memadai
dibanding nilai obligasi yang diterbitkan;
3. Melakukan pengawasan terhadap kekayaan emiten. Apabila harta yang menjadi jaminan
tadi dialihkan pemanfaatan atau pemilikannya haruslah sepengetahuan Wali Amanat;
4. Mengikuti secara terus menerus perkembangan perusahaan emiten dan jika diperlukan
memberikan nasehat kepada emiten
5. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pembayaran bunga dan pinjaman
pokok obligasi; dan
6. Sebagai agen utama pembayaran.
F. KEWAJIBAN WALI AMANAT
1. Wali Amanat wajib membuat kontrak perwaliamanatan dengan Emiten sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh OJK;
2. Wali Amanat wajib memberikan ganti rugi kepada pemegang Efek bersifat utang atau
sukuk atas kerugian karena kelalaiannya dalam pelaksanaan tugasnya, sebagaimana
diatur dalam UU dan aturan peraturan pelaksanaannya serta kontrak perwaliamanatan.
Dengan kata lain melalui kontrak perwaliamantan tersebut, walaupun Wali Amanat
bukanlah kreditur pemilik efek bersifat utang, tetapi lembaga tersebut merupakan satu-
satunya pihak yang berwenang untuk bertindak sehubungan dengan efek bersifat utang
tersebut. Sebaliknya ketika investor itu sendiri, ia tidak berhak untuk melakukannya; dan
3. Setelah terdaftar di OJK, Wali Amanat wajib memenuhi kewajiban-kewajiban
sebagaimana diatur dalam Peraturan Ketua OJK mengenai Laporan Wali Amanat dan
kewajiban dokumen oleh Wali Amanat.
G. LARANGAN WALI AMANAT
1. Wali Amanat dilarang mempunyai hubungan afiliasi dengan Emiten kecuali hubungan
afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal pemerintah. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan antara Wali Amanat
selaku pemegang Efek bersifat utang atau sukuk dan kepentingan Emiten dimana Wali
Amanat mempunyai hubungna afiliasi;
2. Wali Amanat juga dilarang mempunyai hubungan kredit dengan Emiten kecuali dalam
jumlah sesuai dengan ketentuan OJK. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
benturan kepentingan antara Wali Amanat selaku wakil pemegang Efek bersifat utang
atau sukuk dan kepentingan Wali Amanat sebagai kreditur atau debitur dari Emiten.
Ketentuan ini bertujuan agar Wali Amanat dapat melaksanakan fungsinya secara
independen sehingga dapat melindungi kepentingan pemegang Efek berisfat utang atau
sukuk secara maksimal; dan
3. Wali Amanat dilarang merangkap sebagai penanggung dalam Emisi Efek bersifat utang
atau sukuk yang sama. Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya benturan
kepentingan Wali Amanat selaku wakil pemegang Efek bersifat utang atau sukuk dengan
kepentingan Wali Amanat selaku penanggung yang justru wajib memenuhi kewajiabn
Emiten terhadap pemegang Efek bersifat utang atau sukuk dalam hal terjadi wanprestasi
oleh Emiten.
H. DAFTAR WALI AMANAT DI INDONESIA
Berikut ini adalah daftar Wali Amanat yang terdaftar di OJK dengan status aktif.
I. HASIL WAWANCARA
Nama : Bp. Andi (PimpinanCabang Bank Danamon Setiabudi)
Saat kami melakukan beberapa wawancara dengan narasumber kami yang merupakan
bagian dari dunia perbankan, tidak ada yang mengetahui mengenai Wali Amanat. Setelah apa
yang kami utarakan mengenai refrensi yang kami dapatkan dari media elektronik serta buku,
narasumber masih belum dapat menjelaskan mengenai Wali Amanat. Setelah ditelusuri dalam
website Bank Danamon, dalam hal ini bicara spesifik mengenai bank Danamon yang merupakan
pihak penerbit obligasi dan memiliki Wali Amanat yaitu bank Mandiri. Pihak yang mengetahui
lebih lanjut mengenai Wali Amanat adalah bagian treasury yang berada di kantor pusat.
Treasury menyatakan bahwa Wali Amanat merupakan pihak yang mewakili kepentingan
pemegang efek bersifat utang atau sukuk untuk melakukan penuntutan bank di dalam maupun di
luar pengadilan, yang berkaitan dengan kepentingan pemegang efek bersifat utang atau sukuk
tersebut tanpa surat kuasa.
Bank Danamon menerbitkan obligasi dan tidak hanya bank Mandiri sebagai Wali
Amanat, Bank Mega juga bertindak sebagai Wali Amanatdari bank danamon. Untuk ketentuan
obligasi yang bagaimana atau ketentuan pembagiannya, ada beberapa seri yang sebagian masuk
ke bank Mandiri dan sebagiannya lagi masuk ke bank Mega. Hal-hal yang berkaitan dengan How
and Why mengenai Wali Amanat sendiri tidak dapat di telusuri lebih lanjut oleh narasumber
karena ini merupakan kepentingan dari divisi treasury yang berada di kantor pusat dan tidak
dapat diutarakan ke publik.
KELOMPOK 5
PEMBAHASAN
J. PENGERTIAN WALI AMANAT
4. Menurut Pasal 1 angka 30 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
“ Wali Amanat merupakan pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek yang
bersifat utang baik di dalam maupun di luar pengadilan”.
Oleh karena bersifat utang merupakan surat pengakuan utang yang bersifat sepihak dari
pihak penerbit (emiten) dan para kreditur (investor) jumlahnya relatif banyak, sehingga dibentuk
suatu lembaga yang mewakili kepentingan seluruh kreditur, yakni Wali Amanat.
Akibat dari kedudukannya itu, dalam suatu penerbitan obligasi, para pemegang obligasi
berdasarkan hukum dianggap telah memberikan kuasa kepada Wali Amanat tersebut meskipun
penunjukan atas Wali Amanat ini sebenarnya dilakukan oleh penerbit obligasi (debitur) sendiri.
5. Menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan)
”Wali Amanat adalah kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum untuk
mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan perjanjian antara Bank Umum
dengan emiten surat berharga yang bersangkutan.”
6. Menurut Gunawan Widjaya dan Jono
“Wali Amanat adalah suatu lembaga atau pihak yang bertindak untuk mewakili
kepentingan pemegang efek yang bersifat utang (masyarakat pemodal) dengan membuat suatu
perjanjian dengan emiten, yang dibuat sebelum penerbitan obligasi (sebelum penawaran obligasi
dilakukan).
K. PENGATURAN MENGENAI WALI AMANAT
Secara khusus tidak ada undang-undang yang mengatur mengenai Wali Amanat. Tetapi
dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, terdapat pasal-pasal yang berisi ketentuan
mengenai Wali Amanat yakni di Bab VI Lembaga Penunjang Pasar Modal Bagian Ketiga
tentang Wali Amanat dari Pasal 50 hingga Pasal 54.
Kemudian dalam PP No. 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang
Pasar Modal, pada Pasal 55 disebutkan:
“Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyelenggaraan kegiatan Wali Amanat
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, ditetapkan oleh Bapepam”.
- Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-36/PM/1996 tentang
Pendaftaran Bank Umum sebagai Wali Amanat.
Dimana Keputusan ini menetapkan bahwa ketentuan mengenai Pendaftaran Bank Umum
sebagai Wali Amanat, mengikuti Peraturan Nomor VI.C.2.
- Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-78/PM/1996 tentang
Pemeliharaan Dokumen oleh Wali Amanat.
Dimana Keputusan ini menetapkan bahwa ketentuan mengenai Pemeliharaan Dokumen oleh
Wali Amanat, diatur dalam Peraturan Nomor X.I.2
- Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor
KEP-309/BL/2008 tentang Hubungan Kredit dan Penjamian Antara Wali Amanat dengan
Emiten.
Dimana Keputusan ini menetapkan bahwa ketentuan mengenai Hubungan Kredit dan
Penjamian Antara Wali Amanat dengan Emiten diatur dalam Peratran Nomor VI.C.3.
- Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor
KEP-412/BL/2010 tentang Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan Efek Bersifat
Utang.
Dimana Keputusan ini menetapkan bahwa Ketentuan Umum dan Kontrak Perwaliamanatan
Efek Bersifat Utang diatur dalam Peraturan Nomor VI.C.4.
L. PERSYARATAN MENJADI WALI AMANAT
5. Dilakukan oleh Bank Umum dan Pihak Lain sesuai Peraturan Pemerintah
Kegiatan Perwaliamanatan dilakukan oleh Bank Umum dan Pihak Lain yang
ditetapkan dengan peraturan pemerintah untuk dapat menyelenggarakan kegiatan usaha
sebagai Wali Amanat. Bank Umum atau Pihak Lain wajib terlebih dahulu terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan. Adapun persyaratan dan tata cara pendaftaran Wali Amanat
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
6. Bertempat kedudukan di Indonesia.
Hal ini untuk memudahkan Wali Amanat dalam menjalankan tugasnya dan
memudahkan pihak yang mengangkat Wali Amanat untuk dapat bertemu atau
menghubungi Wali Amanat karena jika kedudukannya di luar negeri interaksi akan sulit
dan dapat terjadi miscommunication.
7. Dalam dua tahun terakhir secara berturut – turut memperoleh
laba/keuntungan.
Hal ini untuk membuktikan bahwa Wali Amanat mampu menjalankan tugasnya dan
tidak merugikan pihak-pihak yang berkaitan sebab jika tidak memperoleh keuntungan
maka akan menimbulkan resiko kerugian yang cukup besar.
8. Laporan keuangan telah diperiksa akuntan publik/akuntan negara untuk dua
tahun berturut – turut dengan pernyataan pendapat wajar tanpa syarat untuk
tahun terakhir.
Hal ini untuk membuktikan bahwa Wali Amanat benar-benar memperoleh
keuntungan selama dua tahun terakhir secara berturut-turut agar pihak yang mengangkat
Wali Amanat dapat percaya dan untuk membuktikan bahwa keuntungan yang diperoleh
bukan dari cara yang salah.
M. MANFAAT WALI AMANAT
4. Memenuhi salah satu persyaratan atas penerbitan obligasi
Persyaratan obligasi sendiri adalah:
i. Mengajukan surat permohonan listing ke Bapepam;
j. Laporan keuangan harus memiliki pendapat wajar tanpa syarat dari akuntan pulik;
k. Nilai nominal obligasi minimal Rp 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar
rupiah);
l. Jangka waktu jatuh tempo minimal 4 (empat) tahun;
m. Telah beroperasi selama 3 (tiga)tahun;
n. Telah menghasilkan laba selama 2 (dua) tahun terakhir;
o. Saldo laba yang ditahan minimal Rp 0,-
p. Komisaris dan direksi mempunyai reputasi yang baik.
Dari kedelapan syarat tersebut salah satunya dapat dipenuhi karena kegiatan dari
Wali Amanat.
5. Meningkatkan kepercayaan investor untuk membeli obligasi yang diterbitkan
Manfaat ini untuk Wali Amanat agar pihak yang memilih Wali Amanat tersebut
mempercayai bahwa Wali Amanat dapat mewakili kepentingan pemegang efek, sehingga
akan banyak pihak yang mempercayai Wali Amanat tersebut untuk melakukan kegiatan
yang dibutuhkan yang dapat dilakukan olehWali Amanat.
Selain itu, manfaat ini juga memberikan keuntungan bagi pihak yang menggunakan
jasa Wali Amanat. Karena investor akan percaya juga kepada bank/ pihak yang
mengangkat Wali Amanat tersebut sebagai pihak yang dipercaya menjalankan tugas Wali
Amanat.
6. Menambah kepercayaan investor atas bonafiditas emiten
Investor akan mempercayai emiten karena telah menggunakan jasa Wali Amanat
sebagai pihak yang mewakili pemegang efek yang bersifat utang dengan baik dari segi
kejujuran maupun kemampuannya.
N. TUGAS WALI AMANAT
7. Menganalisi kemampuan dan kredibilitas emiten apakah secara operasional perusahaan
(emiten) mempunyai kesanggupan menghasilkan dan membayar obligasi beserta
bunganya;
8. Menilai kekayaan emiten yang akan dijadikan jaminan. Wali Amanat harus mengetahui
dengan pasti apakah nilai kekayaan emiten yang menjadi jaminan setara atau memadai
dibanding nilai obligasi yang diterbitkan;
9. Melakukan pengawasan terhadap kekayaan emiten. Apabila harta yang menjadi jaminan
tadi dialihkan pemanfaatan atau pemilikannya haruslah sepengetahuan Wali Amanat;
10. Mengikuti secara terus menerus perkembangan perusahaan emiten dan jika diperlukan
memberikan nasehat kepada emiten
11. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pembayaran bunga dan pinjaman
pokok obligasi; dan
12. Sebagai agen utama pembayaran.
O. KEWAJIBAN WALI AMANAT
4. Wali Amanat wajib membuat kontrak perwaliamanatan dengan Emiten sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh OJK;
5. Wali Amanat wajib memberikan ganti rugi kepada pemegang Efek bersifat utang atau
sukuk atas kerugian karena kelalaiannya dalam pelaksanaan tugasnya, sebagaimana
diatur dalam UU dan aturan peraturan pelaksanaannya serta kontrak perwaliamanatan.
Dengan kata lain melalui kontrak perwaliamantan tersebut, walaupun Wali Amanat
bukanlah kreditur pemilik efek bersifat utang, tetapi lembaga tersebut merupakan satu-
satunya pihak yang berwenang untuk bertindak sehubungan dengan efek bersifat utang
tersebut. Sebaliknya ketika investor itu sendiri, ia tidak berhak untuk melakukannya; dan
6. Setelah terdaftar di OJK, Wali Amanat wajib memenuhi kewajiban-kewajiban
sebagaimana diatur dalam Peraturan Ketua OJK mengenai Laporan Wali Amanat dan
kewajiban dokumen oleh Wali Amanat.
P. LARANGAN WALI AMANAT
4. Wali Amanat dilarang mempunyai hubungan afiliasi dengan Emiten kecuali hubungan
afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal pemerintah. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan antara Wali Amanat
selaku pemegang Efek bersifat utang atau sukuk dan kepentingan Emiten dimana Wali
Amanat mempunyai hubungna afiliasi;
5. Wali Amanat juga dilarang mempunyai hubungan kredit dengan Emiten kecuali dalam
jumlah sesuai dengan ketentuan OJK. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
benturan kepentingan antara Wali Amanat selaku wakil pemegang Efek bersifat utang
atau sukuk dan kepentingan Wali Amanat sebagai kreditur atau debitur dari Emiten.
Ketentuan ini bertujuan agar Wali Amanat dapat melaksanakan fungsinya secara
independen sehingga dapat melindungi kepentingan pemegang Efek berisfat utang atau
sukuk secara maksimal; dan
6. Wali Amanat dilarang merangkap sebagai penanggung dalam Emisi Efek bersifat utang
atau sukuk yang sama. Larangan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya benturan
kepentingan Wali Amanat selaku wakil pemegang Efek bersifat utang atau sukuk dengan
kepentingan Wali Amanat selaku penanggung yang justru wajib memenuhi kewajiabn
Emiten terhadap pemegang Efek bersifat utang atau sukuk dalam hal terjadi wanprestasi
oleh Emiten.
Q. DAFTAR WALI AMANAT DI INDONESIA
Berikut ini adalah daftar Wali Amanat yang terdaftar di OJK dengan status aktif.
R. HASIL WAWANCARA
Nama : Bp. Andi (PimpinanCabang Bank Danamon Setiabudi)
Saat kami melakukan beberapa wawancara dengan narasumber kami yang merupakan
bagian dari dunia perbankan, tidak ada yang mengetahui mengenai Wali Amanat. Setelah apa
yang kami utarakan mengenai refrensi yang kami dapatkan dari media elektronik serta buku,
narasumber masih belum dapat menjelaskan mengenai Wali Amanat. Setelah ditelusuri dalam
website Bank Danamon, dalam hal ini bicara spesifik mengenai bank Danamon yang merupakan
pihak penerbit obligasi dan memiliki Wali Amanat yaitu bank Mandiri. Pihak yang mengetahui
lebih lanjut mengenai Wali Amanat adalah bagian treasury yang berada di kantor pusat.
Treasury menyatakan bahwa Wali Amanat merupakan pihak yang mewakili kepentingan
pemegang efek bersifat utang atau sukuk untuk melakukan penuntutan bank di dalam maupun di
luar pengadilan, yang berkaitan dengan kepentingan pemegang efek bersifat utang atau sukuk
tersebut tanpa surat kuasa.
Bank Danamon menerbitkan obligasi dan tidak hanya bank Mandiri sebagai Wali
Amanat, Bank Mega juga bertindak sebagai Wali Amanatdari bank danamon. Untuk ketentuan
obligasi yang bagaimana atau ketentuan pembagiannya, ada beberapa seri yang sebagian masuk
ke bank Mandiri dan sebagiannya lagi masuk ke bank Mega. Hal-hal yang berkaitan dengan How
and Why mengenai Wali Amanat sendiri tidak dapat di telusuri lebih lanjut oleh narasumber
karena ini merupakan kepentingan dari divisi treasury yang berada di kantor pusat dan tidak
dapat diutarakan ke publik.
KELOMPOK 6
PEMBAHASAN
A. Mekanisme Pelaksanaan Jasa Safe Deposit Box
Safe Deposit Box adalah tempat penyimpanan barang yang disewakan oleh Bank BCA
kepada nasabah dalam jangka waktu satu tahun dengan dikenakan biaya sewa yang
besarnya telah ditentukan oleh Bank BCA. Penyewaan Safe Deposit Box diperpanjang
apabila penyewa tidak melakukan penutupan fasilitas Safe Deposit Box-nya. Meskipun
Safe Deposit Box adalah tempat yg disewa oleh nasabah untuk menyimpan barang
berharga miliknya, namun dalam penyimpanan di dalam Safe Deposit Box tidak
diperbolehkan untuk menyimpan barang-barang yang terlarang atau barang-barang yang
dapat merusak Safe Deposit Box itu sendiri. Misalnya seperti penyimpanan narkoba atau
penyimpanan senjata api atau bahan peledak. Namun dalam praktiknya walaupun hal ini
dilarang ada atau tidaknya barang-barang ini di dalam penyimpanan SDB, pihak bank
tidak bisa mengetahui dan mengawasi isi barang dari pemilik loker.
Penyimpanan barang maupun dokumen di dalam SDB memberikan keamanan dan
privacy yang tertutup dan terjaga dari pihak manapun. Bahkan pihak Bank pun tidak bisa
mengetahui, bahkan bertanya barang atau dokumen apa yang akan nasabah simpan di
dalam SDB. Tidak semua pihak bank mempunyai otoritas dalam menangani SDB dari
nasabah, double key hanya diserahkan pada pihak yang memiliki otoritas penuh dalam
penanganan SDB tersebut. Semua isi SDB menjadi tanggung jawab penuh
nasabah/pengguna. Bank hanya sebagai penyedia brankas SDB itu sendiri.
Setiap pembukaan loker SDB dicatat secara rinci oleh pihak bank. Rincian mengenai hari
dan waktu kapan SDB diakses oleh pemilik SDB tersebut menggunakan Kartu Kontrol
Safe Deposit Box:
Pihak bank mencatat segala kegiatan yang dilakukan nasabah jika ingin mengakses SDB
dalam Data Kunjungan sebagai data Bank. Data kunjungan ini diisi oleh Costumer
Service sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam mengurus SDB. Lama kunjungan
nasabah penyewa SDB atau kuasanya juga dibatasi. Setiap sekali berkunjung ke
khazanah SDB (ruangan pribadi tempat loker SDB) batas waktu maksimumnya adalah 15
menit.
Jangka waktu untuk penyimpanan di dalam SDB tidak ditentukan, jadi selama nasabah
ingin menggunakan SDB dalam jangka waktu yang lama maka nasabah membayar
iuran/fee setiap tahunnya. Pembiayaan sewa di debet otomatis dari rekening penyewa.
Apabila ada keterlambatan pembayaran uang sewa SDB, maka akan dikenakan denda
50% dari biaya sewa. Jadi penyimpanan di dalam SDB bisa dilakukan selama yang
nasabah mau.
Biaya sewa SDB di BCA KCU Pekalongan:
1. SDB Golongan A = Rp 650.000,-
2. SDB Golongan B = Rp 450.000,-
3. SDB Golongan C = Rp 300.000,-
4. SDB Golongan D = Tidak Tersedia.
(Penyediaan ukuran loker berkas dari setiap bank penyedia SDB berbeda beda).
Tidak ada kelemahan dalam penyimpanan di SDB. Keamanan benar benar dijaga dan
terjaga. Kotak SDB itu sendiri tahan dari berbagai hal, misalnya api atau air. Namun di
BCA sendiri, kelemahannya hanya apabila dalam 3 bulan setelah telat pembayaran sewa
maka pihak bank berhak melakukan pembongkaran terhadap brankas nasabah. Namun
pembongkaran SDB ini sebelumnya harus mendapat persetujuan dan disaksikan oleh
pejabat yang berwenang. Pembongkaran Safe Deposit Box yang dilakukan karena
nasabah penyewa tidak membayar biaya sewa lebih dari tiga bulan, dan masih ada
beberapa barang milik penyewa yang masih tersimpan di SDB, maka pihak BCA
bertanggung jawab untuk menyimpan barang-barang milik penyewa tersebut sampai
penyewa mengambilnya.
B. Pengaturan Perlindungan Nasabah Pengguna Jasa Safe Deposit Box
Safe Deposit Box, merupakan salah satu jasa pelayanan yang ditawarkan oleh bank umum,
berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun1992 tentang Perbankan. Salah satu usaha bank
umum menurut Pasal 6 (butir h) adalah menyediakan tempat untuk menyimpan barang atau
surat berharga. Undang-undang Perbankan merupakan dasar hukum eksistensi dari safe
deposit box sebagai salah satu dari produk dan jasa perbankan.
Di BCA, jasa penyewaan SDB hanya diperuntukkan bagi nasabah BCA Prioritas atau
Solitaire yang sesuai dengan Surat Edaran Tahun 2010 tentang Produk Jasa Safe Deposit
Box. Nasabah reguler yg saat ini telah menyewa SDB tetap dapat menggunakan jasa ini
sampai nasabah yg bersangkutan melakukan penutupan SDB yang disewanya.
Bank bertanggung jawab penuh terhadap keamanan dan keutuhan isi SDB dari nasabah
sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP). Namun mengenai apa isi dari SDB itu
sendiri bank tidak ikut bertanggung jawab apabila terjadi hal-hal lainnya. Jadi, untuk
pengaturan perlindungan nasabah yang menggunakan jasa safe deposit box merupakan
kewenangan dari bank masing-masing.
Kemudian untuk pengaturan lebih lanjut mengenai perlindungan nasabah pengguna jasa safe
deposit box, bank dan nasabah membuat perjanjian sewa menyewa, maka dari itu mengikuti
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketika terdapat pembobolan kepada
brankas nasabah tanpa ijin maka pertanggungjawaban akan mengacu pada Pasal 1365
KUHPerdata. Pasal itu menentukan tiap perbuatan melawan hukum yang menyebabkan
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu untuk mengganti kerugian.
KELOMPOK 7
A. PENGERTIAN RAHASIA BANK
Pada dasarnya terdapat perbedaan dari pengertian rahasia bank dari peraturan-peraturan perundang-
undangan mulai dari Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 hingga Undang-undang yang masih berlaku
sekarang. Dibawah ini kutipan beberapa pengertian rahasia bank tersebut, yaitu :
1. Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, sebagaimana
dalam Pasal 36 menyatakan bahwa :
“Yang dimaksudkan dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan
dan lain-lain dari nasabah menurut kelaziman dunia perbankan perlu dirahasiakan.”
2. Selanjutnya menurut Pasal 1 Angka 16 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
menyatakan bahwa :
“Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain dari nasabah
bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.”
3. Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 Angka 28 menyatakan bahwa :
“Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya.”
4. Pasal 1 Angka 14 Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menyatakan
bahwa :
“Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya serta nasabah investor dan investasinya.”
Yang dimaksud dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya meliputi segala keterangan tentang orang dan badan yang memperoleh
pemberian layanan dan jasa dalam lalu lintas uang, baik dalam maupun luar negeri, meliputi :
1.Jumlah kredit;
2.Jumlah dan jenis rekening nasabah (Simpanan Giro, Deposito, Tabanas, Sertifikat, dan surat berharga
lainnya);
3.Pemindahan (transfer) uang;
4.Pemberian garansi bank;
5.Pendiskontoan surat-surat berharga; dan
6.Pemberian kredit.
Rahasia bank diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Menurut ketentuan pasal
tersebut :
Ayat (1)
Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam
hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.
Ayat (2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi.
Berdasarkan ketentuan diatas, jelas bahwa yang wajib dirahasiakan oleh pihak Bank/Pihak terafiliasi
hanya keterangan mengenai nasabah Penyimpan dan simpanannya. Apabila Nasabah Bank adalah
Nasabah Penyimpan yang sekaligus juga sebagai Nasabah debitur, bank tetap wajib merahasiakan
keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan. Artinya jika nasabah itu
hanya berkedudukan sebagai nasabah debitur maka keterangan tentang nasabah debitur dan hutangnya
tidak wajib dirahasiakan oleh bank/pihak terafiliasi. Dengan demikian, lingkup rahasia bank hanya
meliputi keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, keterangan selain itu bukan
rahasia bank.
Yang dimaksud Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di Bank dalam bentuk
simpanan berdasarkan perjanjian Bank dengan nasabah yang bersangkutan (Pasal 1 angka (17) UU
No.10 Tahun 1998).
Sedangkan yang dimaksud dengan Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada
Bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito,
Tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (Pasal 1 angka (5) UU No.10 Tahun
1998).
B.SIFAT RAHASIA BANK
Berbicara mengenai teori-teori rahasia bank, maka ada ketentuan mnegenai rahasia bank itu sehingga
kemudian menimbulkan kesan bagi masyarakat (nasabah) bahwa bisa juga bahwa bank sendiri sengaja
untuk menyembunyikan keadaan keunagan yang tidak sehat dari nasabah debitur, baik orang
perorangan, atau perusahaan yang sedang menjadi sorotan masyarakat.
Sehingga dengan demikian terkadang kepercayaan kepada bank sangat diragukan. Akan tetapi terdapat
juga ketentuan bahwa karena rahasia bank yang merupakan suatu hal yang sanngat penting bagi
nasabah penyimpan maupun dan simpanannya serta juga bagi kepentingan bank itu sendiri. Sehingga
dengan dsemikian maka rahasia bank juga diperlukan.
Teori-teori rahasia bank artinya bahwa suatu bank wajib merahasiakan berbagai informasi nasabahnya
itu dengan ketentuan yang bersifat mutlak. Selanjutnya dikemukakan beberapa dua teori tentang
rahasia bank, antara lain :
Mengenai sifat Rahasia Bank, ada dua teori yang dapat dikemukakan, yaitu:
1.Teori Mutlak (Absolute Theory)
Menurut teori ini, Rahasia Bank bersifat mutlak. Semua keterangan mengenai nasabah dan
keuangannya yang tercatat di bank wajib dirahasiakan tanpa pengecualian dan pembatasan. Dengan
alasan apapun dan oleh siapapun kerahasiaan mengenai nasabah dan keuangannya tidak boleh dibuka
(diungkapkan). Apabila terjadi pelanggaran terhadap kerahasiaan tersebut, Bank yang bersangkutan
harus bertanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkannya. Maksud dari teori ini bahwa bank
mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia atau keterangan-keterangan mengenai nasabahnya
yang diketahui bank karena kegiatan usahanya dalam keadaan apapun juga, dalam keadaan biasa atau
dalam keadaan luar biasa. Teori ini menonjolkan kepentingan individu dan masyarakat yang sering
terabaikan.
Keberatan terhadap teori mutlak ini adalah terlalu individualis, artinya hanya mementingkan hak
individu (perseorangan). Disamping itu, teori ini juga bertentangan dengan kepentingan umum, artinya
kepentingan Negara atau masyarakat banyak dikesampingkan oleh kepentingan individu yang
merugikan Negara atau masyarakat banyak. Dengan kata lain menurut teori ini,sifat mutlak rahasia bank
sangat sukar untuk ditterobos dengan alasan apapun dan oleh hukum dan undang-undang sekalipun.
Teori mutlak ini banyak dianut oleh bank-bank yang ada di Negara Swiss.
2.Teori Relatif (Relative Theory)
Menurut teori ini, Rahasia Bank bersifat relative (terbatas). Semua keterangan mengenai nasabah dan
keuangannya yang tercatat di bank wajib dirahasiakan. Namun bila ada alasan yang dapat dibenarkan
oleh undang-undang, Rahasia Bank mengenai keuangan nasabah yang bersangkutan boleh dibuka
(diungkapkan) kepada pejabat yang berwenang.
Keberatan terhadap teori ini adalah rahasia bank masih dapat dijadikan perlindungan bagi pemilik dana
yang tidak halal, yang kebetulan tidak terjangkau oleh aparat penegak hukum karena tidak terkena
penyidikan. Dengan demikian dananya tetap aman.
Namun teori relative ini sesuai dengan rasa keadilan (sense of justice), artinya kepentingan Negara atau
kepentingan masyarakat banyak tidak dikesampingkan begitu saja. Apabila ada alasan yang sesuai
dengan prosedur hukum maka rahasia keuangan nasabah boleh dibuka (diungkapkan). Dengan demikian
teori relative ini melindungi kepentingan semua pihak, baik individu, masyarakat maupun Negara. Teori
ini di anut oleh bank-bank yang ada di Negara Amerika Serikat, Belanda, Malaysia, Singapura dan
Indonesia. Di Indonesia teori relative ini diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
C.PENGECUALIAN RAHASIA BANK
Dalam Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ditentukan bahwa :
“Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam
hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A”.
Kata “kecuali” diartikan sebagai pembatasan terhadap berlakunya Rahasia Bank. Mengenai keterangan
yang disebut dalam pasal-pasal tadi Bank tidak boleh merahasiakannya (boleh mengungkapkannya)
dalam hal sebagai berikut :
1.Untuk Kepentingan Perpajakan
Dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ditentukan :
“Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan
berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan
tertentu kepada pejabat pajak”.
Untuk pembukaan (pengungkapan Rahasia Bank, Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan menetapkan unsur-unsur yang wajib dipenuhi sebagai berikut :
a.Pembukaan Rahasia Bank itu untuk kepentingan perpajakan.
b.Pembukaan Rahasia Bank itu atas permintaan tertulis Menteri keuangan.
c.Pembukaan Rahasia Bank itu atas perintah tertulis Pimpinan Bank Indonesia.
d.Pembukaan Rahasia Bank ittu dilakukan oleh Bank dengan memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan
yang namanya disebutkan dalam permintaan Menteri Keuangan.
e.Keterangan dengan bukti-bukti tertulis mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tersebut
diberikan kepada pejabat pajak yang namanya disebutkan dalam perintah tertulis Pimpinaan Bank
Indonesia.
2.Untuk Kepentingan Penyelesaian Piutang Bank yang telah diserhakan kepada BUPLN/PUPN.
Penyelesaian piutang Bank diatur dalam Dalam Pasal 41A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai berikut:
a. Untuk penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Negara dan
Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada
pejabat Badan Urusan Piutang Negara dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk
memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan Nasabah Debitur.
b. Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari
Badan Urusan Piutang Negara dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara.
c. Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan Badan
Urusan Piutang Negara dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, nama Nasabah Debitur yang
bersangkutan dan alasan diperlukannya keterangan.
3.Untuk kepentingan Peradilan dalam perkara Pidana
Kepentingan peradilan Dalam Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan. Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai berikut:
a. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan bank Indonesia dapat memberikan izin
kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan tersangka
atau terdakwa pada Bank.
b. Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari
Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah agung.
c. Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan polisi,
jaksan atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, alasan diperlukannya keterangan dan hubungan
perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.
4.Untuk kepentingan peradilan perkara Perdata antara bank dengan nasabah
Menurut ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 :
“Dalam perkara perdata antara Bank dengan nasabahnya, direksi Bank bersangkutan dapat
menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan
memberikan keterangan lainnya yang relevan dengan perkara tersebut”.
Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa informasi mengenai keadaan keuangan nasabah
yang bersangkutan dapat diberikan oleh Bank kepada pengadilan tanpa izin Menteri. Karena pasal ini
tidak diubah oleh Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, maka penjelasannya perlu disesuiakan, yang
memberi izin adalah Pimpinan Bank Indonesia.
5.Untuk keperluan Tukar-Menukar Informasi antar Bank
Tukar-menukar informasi antar Bank diatur Dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai berikut:
Ayat (1)
“Dalam rangka tukar-menukar informasi antar Bank, direksi Bank dapat memberitahkan keadaan
keuangan nasabahnya kepada Bank lain”.
Dalam Penjelasannya dinyatakan :
“Tukar-menukar informasi antarbank dimaksudkan untuk memperlancar dan mengamankan kegiatan
usaha Bank antara lain guna mencegah kredit rangkap serta mengetahui keadaan dan status dari bank
yang lain. Dengan demikian, Bank dapat menilai tingkat risiko yang dihadapi sebelum melakukan suatu
transaksi dengan nasabah atau dengan Bank lain”. Ini dilakukan dengan mengantisipasi kerugian yang
dialami oleh bank lain dari kelakuan nasabah yang melakukan pinjaman nasabah yang beritikad buruk
terhadap bank.
Ketentuan mengenai tukar-menukar informasi antarbank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut oleh Bank Indonesia ayat (2). Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa dalam ketentuan yang
akan ditetapkan lebih lanjut oleh Bank Indonesia antara lain diatur mengenai tata cara penyampaian dan
permintaan infprmasi serta bentuk dan jenis informasi tertentu yang dapat dipertukarkan, seperti
indicator secara garis besar dari kredit yang diterima nasabah, agunan dan masuk tidaknya debitur yang
bersangkutan dalam daftar kredit macet.
6.Pemberian keterangan atas persetujuan nasabah,
Pemberian keterangan atas persetujuan nasabah penyimpan diatur dalam Pasal 44A Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai berikut:
Pasal 44 A ayat (1), yang menyebutkan bahwa :
“atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank
wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan pada bank yang bersangkutan
kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut.”
Sedangkan ayat (2), diatur bahwa :
“dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari penyimpan yang
bersangkutan berhak memperoleh ketrangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 44A ayat (1), Bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan
nasabah penyimpan kepada pihak yang ditunjuknya, asal ada permintaan, atau persetujuan atau kuasa
tertulis dari nasabah penyimpan yang bersangkutan, misalnya kepada penasehat hukum yang
menangani perkara nasabah penyimpan. Sedangkan dalam ayat (2) ahli waris yang sah berhak
memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan bila nasabah penyimpan yang
bersangkutan telah meninggal dunia. Untuk memperoleh keterangan, ahli waris harus membuktikan
sebagai ahli waris yang sah.
D.PELANGGARAN RAHASIA BANK
Pelanggaran Rahasia Bank adalah perbuatan memberikan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan
dan simpanannya, secara melawan hukum (bertentangan dengan Undang-Undang Perbankan) atau
tanpa persetujuan Nasabah Penyimpan yang bersangkutan. Pelanggaran Rahasia Bank dapat dilakukan
karena paksaan pihak ketiga atau karena kesengajaan anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank,
atau Pihak terafiliasi lainnya.
1.Paksaan Pihak Ketiga
Paksaan Pihak ketiga diatur dalam Pasal 44A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai berikut:
“Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa Bank atau Pihak Terafiliasi
untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta dendan sekurang-kurangnya
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar
rupiah)’.
Ancaman hukuman tersebut mulai dari yang paling rendah sampai kepada yang paling tinggi. Dengan
demikian, apabila terbukti bahwa pihak ketiga itu secara melawan hukum telah melakukan pemaksaan
agar nasabah penyimpan dan simpanannya, dia tidak akan luput dari hukuman, setidak-tidaknya
hukuman pidana dan denda minimum, yang lama dan jumlahnya sudah ditetapkan oleh undang-undang.
2.Kesengajaan Pihak Bank atau Pihak Terafiliasi
Kesengajaan pihak Bank dilakukan oleh Anggota Dewan Komisaris, direksi, Pegawai Bank, atau Pihak
Terafiliasi diatur dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam Pasal tersebut
ditentukan bahwa :
“Anggota Dewan Komisaris, direksi, Pegawai Bank, atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja
memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp
4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.
Dalam penjelasan pasal diatas dinyatakan bahwa yangh dimkasud dengan Pegawai Bank adalah semua
pejabat dan karyawan Bank. Pihak Terafiliasi sebagaimana disebutkan dalam pasal diatas, diatas,
menurut Pasal 1 angka (22) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 adalah:
a.Anggota Dewan Komisaris, pengawas pengelola atau kuasanya, pejabat atau karyawan Bank;
b.Anggota pengurus, pengawas pengelola atau kuasanya, pejabat atau karyawan Bank. Khusus bagi Bank
berbentuk hukum Koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.Pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain akunta public, penilai, konsultan hukum, dan
konsultan lainnya;
d.Pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan Bank, antara
lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, dan
keluarga pengurus.
E.KELEMAHAN RAHASIA BANK
Simpanan Nasabah Penyimpan adalah sumber dana bagi Bank. Oleh karena itu, wajar jika undang-
undang mengatur agar Bank melindungi nasabahnya, tetapi disis lain tentu ada juga Nasabah Penyimpan
yang berstatus debitur beritikad jahat (bad faith), dengan berlindung di balik Rahasia Bank melakukan
perbuatan tercela terhadap mitra bisnisnya, misalnya membayar dengan cek atau bilyet giro kosong.
Mitra bisnis yang menerima cek atau bilyet giro kosong tersebut sudah tentu tidak mungkin mengetahui
saldo simpanan Nasabah Penyimpan yang berstatus debitur itu karena dilindungi oleh Rahasia Bank. Hal
semacam ini tentu akan mempengaruhi citra kepercayaan masyarakat terhadap Bank. Oleh karena itu
menghadapi Nasabah Penyimpan yang beritikad jahad, Bank tidak perlu ragu melakukan tindakan black
list dan kepada Bank Indonesia selaku pengawas dan Pembina perbankan. Penegakan hukum yang tegas
justru meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Bank.
KELOMPOK 8
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN KREDIT
2.1.1 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.
Dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Perkreditan, Drs. Thomas Suyatno,
mengemukakan bahwa unsur-unsur kredit terdiri atas:
1. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang
diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa, akan benar-benar
diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan dating.
2. Tenggang waktu, suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan
kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan ddatang. Dalam unsur
waktu ini, terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang yang ada sekarang
lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang akan dating.
3. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya
jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi
yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin tingggi
pula tingkat resikonya, karena sejauh-jauh kemampuan manusia untuk menerobos
masa depan itu, maka masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang dapat
diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur resiko. Dengan adanya
unsur resiko inilah, maka timbullah jaminan dalam pemberian kredit.
4. Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga
dapat berbentuk barang, atau jasa. Namun, karena kehidupan ekonomi modern
sekang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang
menyangkut uanglah yang setiap kali kita jumpai da lam praktik perkreditan
2.1.2 Kredit bank adalah semua realisasi pemberian kredit dalam bentuk rupiah maupun
valuta asing kepada pihak ketiga bukan bank termasuk kepada pegawai bank sendiri
serta pembelian surat berharga yang disertai dengan note purchase agreement /
pengambilalihan tagihan dalam rangka anjak piutang dan cerukan
2.2 JENIS-JENIS KREDIT PERBANKAN
2.2.1 Ditinjau dari jangka waktu, kredit bank dapat berbentuk :
1. jangka pendek
Apabila tenggang waktu yang diberikan bank kepada nasabah untuk melunasi
pinjaman tidak lebih dari 1 tahun
2. jangka menengah
Apabila kredit yang diberikan berjangka waktu lebih dari 1 tahun sampai dengan 3
tahun.
3. Jangka panjang
Waktu pengembalian pinjaman yang diberikan lebih dari 3 tahun
2.2.2 Ditinjau dari sifat penggunaannya
1. Pinjaman konsumtif
Apabila kredit yang diberikan oleh bank digunakan nasabah untuk membiayai
barang-barang konsumtif
2. Pinjaman komersial
Pinjaman yang digunakan oleh nasabah untuk membiayai kegiatan usaha. Sumber
pembayaran berasal dari usaha yang dibiayai.
2.2.3 Ditinjau berdasarkan keperluannya.
1. Kredit modal kerja
Kredit yang dipergunakan untuk menambah modal kerja suatu perusahaan, seperti
pembelian bahan baku, biaya produksi, pemasaran dan modal kerja untuk operasional
2. Kredit investasi
Kredit jangka menengah atau panjang yang digunakan untuk membeli barang-barang
modal beserta jasa yang diperlukan untuk rehabilitasi, modernisasi maupun ekspansi
proyek yang akan ada.
3. Kredit pembiayaan proyek
Kredit yang digunakan untuk pembiayaan investasi maupun modal kerja proyek baru.
2.2.4 Ditinjau dari sifat penarikannya
1. kredit langsung (cash loan)
Kredit yang langsung menggunakan dana bank dan secara efektif merupakan hutang
nasabah kepada bank (kredit investasi dan kredit modal kerja)
2. kredit tidak langsung (non cash loan)
Kredit yang tidak langsung menggunakan dana bank dan belum secara efektif
meupakan hutang nasabah ke bank
2.2.5 Ditinjau dari sifat pelunasannya
1. kredit dengan angsuran
Kredit yang pembayaran kembali pokok pinjamannya diatur secara bertahap menurut
jadwal yang telah ditetapkan di dalam perjanjian kredit.
2. kredit dibayarkan sekaligus pada saat jatuh tempo
Kredit yang pembayaran kembali pokok pinjamnya tidak diatur secara bertahap
melainkan harus dikembalikan secara sekaligus pada saat tanggal jatuh tempo yang
telah ditetapkan dalam perjanjian kredit
2.2.6 Ditinjau dari metode pembayaran
1. kredit bilateral
Kredit yang dibiayai oleh hanya satu bank
2. kredit sindikasi
Kredit yang diberikan 2 atau lebih lembaga keuangan untuk membiayai suatu
proyek/usaha dengan syarat-syarat dan ketentuan yang sama, menggunakan dokumen
yang sama dan diadmininstrasikan oleh agen yang sama.
2.2.7 Dintinjau dari lokasi bank
1. kredit onshore
Kredit yang diberikan kepada nasabah di dalam negeri dalam bentuk valuta asing dan
dilaksanakan melalui cabang di dalam negeri
2. kredit offshore
Kredit yang diberikan kepada nasabah di dalam negeri dalam bentuk valuta asing dan
melalui cabang bank di luar negeri
2.2.8 Ditiinjau dari cara penarikan
1. Penarikan sekaligus
Penarikan kredit yang dilaksanakan satu kali sebesar limit kredit yang disetujui setelah
seluruh ketentuan dipenuhi, dengan cara tunai atau dipindah bukukan ke rekening
tabungan/giro milik debitur
2. penarikan bertahap sesuai jadwal
Penarikan dilaksanakan sesuai jadwal yang ditetapkan oleh bank baik berdasarkan
tingkat penyelesaian proyek maupun kebutuhan pembiayaan debitur.
3. Rekening koran (revolving)
Penarikan sesuai kebutuhan yaitu penarikan kredit yang dapat dilaksanakn lebih dari
satu kali sebesar kebutuhan debitur pada saat setelah seluruh ketentuan dipenuhi,
dengan cara tunai atau dipindahbukukan ke tabungan/giro debitur
2.2.9 SYARAT PENGAJUAN KREDIT
1. Kredit Investasi dan Modal Kerja:
Kredit investasi dan Modal kerja diperuntukan untuk Perseorangan maupun Badan
Usaha yang memiliki usaha dimana fasilitas kredit diberikan untuk membantu
pengembangan usaha berupa pembiayaan barang modal (Investasi) maupun pembiayaan
kebutuhan Modal Kerja, untuk pemberian fasilitas ini calon debitur haru memenuhi
kriterian/persyaratkan sbb:
a. Calon debitur memiliki Usaha (perdagangan, manufaktur, pertambangan dll)
b. Usaha telah berjalan lebih dari 2 tahun.
c. Memiliki Legalitas Usaha dan Perusahaan
Legalitas Usaha` :
dilengkapi dengan ijin-ijin usaha sesuai usaha yang dijalankan seperti
- Identitas Diri
- SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan) dikeluarkan Pemerintah Daerah
- SKDP (Surat keterangan Domisili Perusahaan/Usaha) dikeluarkan Pemerintah
Daerah
- TDP (Tanda daftar Perusahaan) dikeluarkan Pemerintah Daerah
- NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dikeluarkan Kantor Pajak
- HO (Hinder Ordonantie) Surat ijin Gangguan dikeluarkan instansi Terkait
Atas Ijin-Ijin tersebut saat ini dapat dikeluarkan oleh badan pelayanan perizinan
Terpadu dimasing masing Pemerintah Daerah.
Legalitas Perusahaan:
- Akta Pendirian Perusahaan
- Pengesahan MENKUMHAM atas Akta Pendirian.
- Apabila Badan Usaha berbentuk CV akta pendirian telah didaftarkan pada
pengadilan Negeri setempat.
- Akta-akta Perubahan (Jika ada).
- Lembar berita Acara Negara.
d. Tidak tercatat sebagai debitur Macet atau masuk dalam daftar Hitam (informasi Bank
Indonesia)
e. Fixed Assets yang diagunkan harus memadai (mengcover fasilitas kredit) dan
marketable (mudah untuk di jual).
f. Hasil Trade Checking kepada pelanggan dan Suplyer maupun kepada pengusaha
sejenis dan rekanan kerja Tidak ada Informasi yang Negatif
g. Keuangan Calon debitur harus baik, bahwa keuangan hasil usaha (Cash Flow) dapat
menutupi biaya Operasional dan kewajiban Bank.
2. Kredit Konsumtif :
Kredit konsumtif hanya diperuntukan untuk Perseorangan yang memenuhi criteria
atau syarat sbb:
- Identitas Calon Debitur
- Memiliki pekerjaan atau usaha
- Legalitas Obyek yang akan dibiayai lengkap dan syah.
- Tidak tercatat sebagai debitur Macet atau masuk dalam daftar Hitam (informasi
Bank Indonesia)
- DSR (Deb Security Ratio) 40%
Penghasilan bersih setelah dikurangi kebutuhan hidup nilainya, hanya 40% yang
dapat dialokasikan untuk memenuhi kewajiban Bank (Pokok kredit dan Bunga
Bank)
2.3 PRINSIP-PRINSIP DALAM PEMBERIAN KREDIT
1. Prinsip kepercayaan
Yaitu suatu asas yang melandasi hubungan antara bank dan nasabah bank.
a. Nasabah percaya bahwa bank akan mengelola dananya dengan sebaik-baiknya.
b. Bank yakin terhadap kredit yang diberikan kepada debitur akan bermanfaat dan
digunakan sebaik-baiknya
c. Bank yakin terhadap semua data yang diberikan nasabah (know your costumer)
Indikator nasabah dapat dipercaya dilihat dari transaksi nasabah tersebut apakah
transaksi yang dilakukan mencurigakan atau tidak. Transaksi dianggap tidak
mencurigakan apabila anatar uang yang diterima nasabah dalam rekening banknya
sesuai dengan profil nasabah tersebut. Sedangkan transaksi dianggap mencurigakan
dapat dilihat dari laporan hasil analisis yang dapat mengkategorikan transaksi tesebut
sebagai suatu tindak pidana.
2. Prinsip Kehati-hatian (prudent banking)
Suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik
dalam penghimpun dana dan penyaluran dana, terutama dalam penyaluran dana atau
pemberian kredit. Usaha pengawasan yang dilakukan bank dapat berupa :
a. Internal
Berupa SOP (Standard Operational Procedure)
b. Eksternal
Bank ketika melayani nasabah khususnya dibidang kredit harus melihat
ketentuan yang diatur Bank Indonesia
Bank ketika memberikan kredit kepada nasabah harus memperhatikan 5C’s of
Credit .
3. Prinsip 5C (5C’s of credit)
1. Character
Pemberian kredit pada dasarnya adalah kepercayaan sehingga penilaian Karakter
memiliki peringkat pertama dari yang lain, namun dalam menilai karakter ini
sangat sulit dilakukan dalam waktu singkat, kareana kita harus memahami benar
sifat-sifat dan kebiasaan, gaya hidup serta hubungan sosial nasabah kita dan
nasabah ini harus dapat dipercaya (Willingness to Pay).
Informasi mengenai karakter dapat diperoleh:
Meminta Informasi Bank Indonesia, dimana dalam informasi tersebut akan
teriformasi jumlah pinjaman berikut kualitas pinjaman (apakanh nasabah
dalam memenuhi kewajibanya selalu tepat waktu atau terlambat) , jangka
waktu kredit dan agunan.
Melakukan trade Checking kepada sesama pengusaha atau pelangga serta
suplyer nasabah, dengan harapan memperoleh informasi mengenai pribadi
maupun perusahaan atau bisnis yang dimiliki .
2. Capacity
Capacity adalah menilai kapasitas atau kemampuan nasabah dalam mengelola
usahanya sehingga dapat memenuhi kewajiban atau mengembalikan pinjaman Bank
dari hasil usaha yang dijalankan. (abilty to Pay) Dalam hal ini dinilai seberapa besar
skala usaha yang dijalankan dan seberapa besar usaha tersebut dapat menghasilkan
laba serta kemampuan usaha untuk terus berjalan dalam kondisi ekomoni normal
atau kurang baik.
3. Capital
Melihat sebearapa besar modal atau kekayaan yang dimiliki nasabah untuk
menjalankan usaha, hal ini dapat dilihat dari laporan keuangan berupa Neraca dan
laba Rugi perusahaan termasuk ratio keuangan.
4. Collateral
Menilai seberapa besar nilai jaminan atau agunan yang diserahkan ke Bank dan nilai
tersebut harus dapat mencover fasilitas Kredit yang diberikan oleh Bank, dalam hal
ini Bank juga harus menilai tingkat marketabilitas (mudah dijual) agunan dimaksud,
serta meneliti keabsahan atas legalitas bukti kepemilikan agunan, agunan yang dapat
diterima Bank dapat berupa Barang Bergerak maupun barang Tidak Bergerak yang
harus dilakukan pengikatan secara Yuridis Sempurna. Contoh :
Barang Tidak bergerak berupa Tanah dan bangunan harus dilakukan pengikatan
Hak Tanggungan.
Barang Bergerak berupa Mesin-mesin dan kendaraan termasuk Kapal dengan
bobot >30Ton diikat dengan Fiducia.
5. Condition of economic
Condition of economic dalam pengertian Pemberian fasilitas kredit juga harus
mempertimbangkan kondisi ekonomi yang dikaitkan dengan usaha yang dijalakan
nasabah termasuk regulasi atau perturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah
terhadap usaha yang dijalankan nasbah.
2.4 TAHAPAN-TAHAPAN DALAM PENGAJUAN KREDIT
1. Permohonan kredit dapat diperoleh dari calon debitur yang dating ke Bank maupun
Bank yang mencari calon debitur dari beberpa sumber, antara lain dari daftar
Nasabah Tabungan dan Giro dengan Nominal besar dan volume transaksi yang cukup
tinggi.
2. Pengumpulan data atas permohona kredit (Collecting Data) berupa legalitas
usaha dan perusahaan, data keuangan dan data agunan serta melakukan verifikasi
keabsahan terhadap data-data tersebut, termasuk meminta informasi Bank Indonesia
dan melakukan penilaian agunan melalui Jasa Penilai Agunan (KJPP kantor Jasa
penilai publik)
a. Calon debitur dipastikan memiliki usaha yang menurut bank tidak bertentangan
dengan Undang-Undang dan norma sosial. Bank menilai usaha debitur sebagai
usaha yang :
Visible
Usaha dapat menghasilkan laba yang besar tetapi bertentangan dengan
Undang-Undang dan norma sosial
Bankable
Usaha yang memiliki legalitas/ijin-ijin yang dapat dibiyai oleh bank sesuai
ketentuan.
Usaha yang bankable belum tentu visible , usaha tersebut bisa saja sesuai dengan
ketentuan yang berlaku tetapi tidak menghasilkan untung yang besar.
b. Usaha harus sudah berjalan minimal 2 tahun
2 tahun untuk menilai usaha tersebut diyakini dapat terus berjalan dan sudah
teruji bahwa usaha debitur tersebut mempunyai kinerja yang baik.
c. Debitur menyertakan data-data legalitas usaha
Seperti SIUP,TDP, Surat Keterangan Domisili Perusahaan, Surat Ijin
Tempat Usaha (SITU), NPWP atas nama perusahaan dan identitas diri.
Perusahaan berbadan hukum melampirkan akta pendirian dan akta
perubahan anggaran dasar yang telah mendapat pengesahan Menkumham
dan lembar berita acara negara.
Perusahaan non badan hukum (perorangan) melampirkan KTP, Kartu
Keluarga dan akte nikah.
d. Melampirkan laporan keuangan/ hasil usaha selama 2 tahun
Lampiran laporan keuangan dapat berupa :
Neraca
Untuk melihat seberapa besar aset dan modal yang diimiliki perusahaan
(termasuk hutang piutang perusahaan)
Laba /rugi
Untuk melihat seberapa besar keuntungan yang diperoleh perusahaan
Misalnya pada tahun 2013 perusahaan A dapat menjual 1000 meja kantor
dengan biaya produksi Rp 2.000.000,00 , mendapatkan laba Rp
2.500.000.000,00
e. Melengkapi/mengisi form aplikasi kredit dari pihak bank
3. Proses Analisa kredit, berdasarkan data-data perijinan dan laporan keuangan
dilakukan analisa kredit dengan memperhatikan aspek-aspek legalitas, keuangan
dan kondisi usaha serta ketentuan atau regulasi pemerintah terkait usaha yang
dijalankan oleh debitur, termasuk pengaruh kondisi ekonomi saat itu terhadap
kondisi usaha calon debitur.
a. Bank menilai dengan standard yang ada di bank dengan data-data dan
informasi yang diberikan debitur.
b. Penilaian tersebut dilakukan oleh Komite Kredit yang terdiri dari bagian
marketing dan bagian risk management (manajemen risiko).
c. Komite kredit melakukan perundingan dengan melihat serta mengantisipasi
risiko (memitigasi), kredit yang diajukan calon debitur dapat disetujui atau
ditolak
4. Proses persetujuan kredit dilakukan melalui mekanisme Four Eyes atau RKK
(Rapat Komite Kredit) yang beranggotakan Business Unit dan Risk Management,
bersama-sama meberikan keputusan kredit ditolak atau disetujui, dengan
mempertimbangkan tingkat resiko.
Business Unit adalah bagian yang mencari (marketing) dan mengusulkan
permohonan kredit serta melakukan analisa kredit untuk diajukan dalam Rapat
Komite Kredit.
Risk Management adalah salah satu bidang yang menilai dan memitigasi Resiko
atas calon debitur dan usaha yang dijalankan (menilai kemungkinan resiko yang
timbul dari usaha yang dijalankan calon debitur dan memitigasi resiko) .
5. Persetujuan Kredit yang dikeluarkan oleh komite kredit di tindak lanjuti ke
bagian Legal untuk dipersiapkan Perjanjian kredit termasuk pemenuhan syarat-
syarat kredit serta berkoordinasi dengan pihak eksternal antara lain Notaris untuk
melakukan pengikatan agunan dan Asuransi untuk melindungi barang agunan.
a. Jika kredit disetujui maka akan dibuatkan Surat Persetujuan Kredit, yang
berisi syarat dan ketentuan kredit yang berisi biaya provisi, asuransi, limit kredit,
jangka waktu kredit, bunga serta sifat kredit yang bersifat angsuran atau
rekening koran
b. Apabila debitur menyetujui syarat dan ketentuan yang diajukan oleh pihak bank
maka akan dibuat perjanjian kredit yang akan ditanda tangani oleh debitur dan
bank sebagai kreditur.
c. Perjanjian ini bersifat konsensuil obligatoir, maksudnya dengan adanya kata
sepakat baru akan menimbulkan hak dan kewajiban yang tunduk pada Undang-
Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, artinya perjanjian kredit ini
terjadi pada saat ditandatanganinya perjanjian oleh kedua belah pihak antara
kreditur dan yang telah ditentukan yang artinya didalam perjanjian kredit harus
memuat klausul yang telah disepakati antara pihak bank sebagai kreditur dengan
debitur atau pihak lain yang mewajibkan pihak perjanjian untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
6. Setelah seluruh Perjanjian kredit di tandatangani dan seluruh syart-syarat kredt
terpenuhi, proses selanjutnya adalah proses realisasi kredit (pencairan kredit).
7. Supervisi dan monitoring pasca pencairan kredit harus terus dilakukan untuk tetap
menjaga kualitas kredit tersebut tetap baik.
CONTOH FORMULIR PERMOHONAN KREDIT BANK MANDIRI
2.5 KOMITE KREDIT
Komite Kredit bertanggung jawab dalam memberikan persetujuan pengajuan kredit dan
kualitas standar penjaminan dalam bisnis perbankan. Anggota Komite memiliki
wewenang dalam batasan tertentu, berdasarkan kemampuan dan pengalamannya. Komite
Kredit bertanggung jawab memberikan persetujuan atas proposal kredit serta kualitas
penjaminan
Anggota Komite kredit terdiri dari :
1. Business Unit adalah bagian yang mencari (marketing) dan mengusulkan
permohonan kredit serta melakukan analisa kredit untuk diajukan dalam Rapat
Komite Kredit.
2. Risk Management adalah salah satu bidang yang menilai dan memitigasi Resiko
atas calon debitur dan usaha yang dijalankan (menilai kemungkinan resiko yang
timbul dari usaha yang dijalankan calon debitur dan memitigasi resiko)
Tugas dan fungsi komite kredit:
1. Menilai kelayakan usaha calon debitur
2. Menilai kesesuaian legalitas usaha (ijin-ijin usaha) dan perusahaan (akta pendirian),
contoh : dalam akta pendirian kegiatan usaha dalam bidang perdagangan ban
sedangkan realita nya menjlankan kegiatan usaha perdagangan obat. Melihat
pembuktian akta pendirian pada saat OTS (on the spot) kunjungan nasabah yang salah
satu tujuan nya untuk melihat jenis usaha debitur.
3. Memitigai risiko/melihat risiko-risiko yang mungkin timbul pada debitur maupun
perusahaan.
Risiko debitur dapat berupa gaya hidup yang konsumtif sehingga dikhawatirkan
kredit yang diberikan oleh bank akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
debitur yang konsumtif tersebut.
Risiko usaha dengan melihat perkambangan usaha debitur, memitigasi risiko usaha
apabila pemerintah mengeluarkan ketentuan (UU) baru terkait bidang usaha debitur.
Misalnya usaha pertambangan seiring dengan berjalannya usaha pemerintah
mengeluarkan UU baru yang berisi larang untuk melakukan ekspor bahan tambang.
UU yang baru dikeluarkan pemerintah tersebut dapat menghentikan
menghentikan usaha debitur sehingga komite kredit harus mampu untuk melihat
risiko yang akan timbul tersebut dan mengantisipasi risiko tersebut.
4. Komite kredit harus mampu meminimalisasi risiko yang akan timbul
Contoh : komite kredit menilai PT A yang bergerak dibidang usaha peternakan
ayam harus dilengkapi izin keributan (HO) supaya tidak didemo masyarkat sekitar.
5. Menetapkan syarat dan ketentuan kredit debitur sesuai dengan tingkat risiko usaha
debitur, karena tiap debitur berbeda-beda tingkat risikonya
6. Menyetujui / menolak usulan permohonan kredit.
2.6 KREDIT BERMASALAH
2.6.1 Kualitas Kredit :
Supervisi dan Monitoring pasca pemberian kredit sangat penting untuk tetap menjaga
kualitas kredit, penetapan kualitas kredit atas dasar PBI (Peraturan Bank Indonesia). No.
14/15/PBI/2012 dan SE BI No. 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005
Penetapan Kualitas kredit ini ditetapkan berdasarkan 3 factor penilaian :
1. Prospek Usaha.
2. Kinerja Debitur (performace).
3. Kemampuan membayar.
Penilaian terhadap prospek usaha, kinerja debitur dan kemampuan membayar antara lain
dengan melihat potensi pertumbuhan usaha, Kondisi pasar dan posisi debitur dalam
persaingan, termasuk sensitivitas terhadap resiko pasar, kualitas manajemen dan
permasalahn tenaga Kerja, perolehan laba, struktur modal , ketepatan membayar
kewajiban Bank.
Atas hal-hal tersebut kualitas kredit dibagi dalam 5 katagori
1. Kolektibilitas Lancar (L)
2. Kolektibilitas Dalam Perhatian Khusus (DPK)
3. Kolektibilitas Kurang Lancar (KL)
4. Kolektibilitas Diragukan (D)
5. Kolektibilitas Macet (M)
Kolektibilitas kredit berdasarkan ketepatan pembayaran :
1. Kolektibilitas Lancar (Kol-1) yaitu apabila tidak terdapat tunggakan pembayaran
pinjaman baik Pokok maupun Bunga
2. Kolektibilitas Dalam Perhatian Khusus (Kol-2) yaitu apabila terdapat tunggakan
pinjaman pembayaran pokok dan atau bunga dengan umur tunggakan sampai dengan 90
hari.
3. Kolektibilitas Kurang Lancar (Kol-3) yaitu apabila terdapat tunggakan pinjaman
pembayaran pokok dan atau bunga dengan umur tunggakan sampai dengan 120 hari.
4. Kolektibilitas Diragukan (Kol-4) yaitu apabila terdapat tunggakan pinjaman pembayaran
pokok dan atau bunga dengan umur tunggakan sampai dengan180 hari.
5. Kolektibilitas Macet (Kol-5) yaitu apabila terdapat tunggakan pinjaman pembayaran
pokok dan atau bunga dengan umur tunggakan lebihdari 180 hari.
Kredit dapat digolongkan bermasalah Non Performing Loan (NPL) apabila telah masuk
dalam kualitas/Kolektibilitas Kurang Lancar (Kol3), Kolektibilitas Diragukan (Kol-4) dan
Kolektibilitas Macet (Kol-5)
Tujuan dilakukan klasifikasi kualitas kredit tersebut antara lain untuk menetapkan tingkat
cadangan potensi kerugian Bank akibat kredit bermasalah. Atau dengan kata lain Bank harus
mencadangkan atau menyisihkan dari laba usahanya untuk menutup kerugian akibat kredit
bermasalah yang tidak dapat dikembalikan oleh peminjam.
Langkah-langkah Perbankan untuk menjaga kualitas kredit antara lain dengan menetapkan
Kebijakan Perkreditan antara lain dengan selalu mengupdate Portofolio Guidelines atau
menetapkan sector-sektor mana saja yang tidak dapat dibiayai antara lain:
- Usaha bertentangan dengan norma-norma social, seperti usaha Judi, Narkoba Pornografi
dll.
- Tanpa Informasi Keuangan yang cukup
- Keahlian Khusus yang tidak dimiliki Bank.
- Tercatat sebagai debitur Macet di Bank Lain.
- Debitur tercatat atau masuk dalam daftar Hitam
- Fasilitas Kredit dipergunakan untuk kepetingan Politik.
- Personal dengan kekebalan Diplomatik.
- Melakukan Kegiatan Ekspor Impor diluar ijin Resmi
- Menjalankan usaha yang merusak Lingkungan.
- Usaha tidak sesuai ketentuan Perbankan.
2.6.2 Langkah-langkah Penyelamatan & Penyelesaian Kredit Bermasalah
1. Langkah-langkah penanganan terhadap debitur KoLektibiltas Lancar (Kol-1)
maupun Dalam Perhatian Khusus (DPK/Kol-2)
Tindakan pemantauan secara dini terhadap kredit dengan kolektibilitas 1 maupun
2, dengan tujuan untuk memberikan early warning signal atas gejala -gejala yang
dapat mempengaruhi tingkat kolektibilitas debitur sehingga dapat segera dilakukan
tindakan preventif untuk mencegah terjadinya down grade kolektibilitas
Penagihan melalui telepon dibantu oleh petugas Desk Collector
Penagihan melalui kunjungan, pemanggilan debitur serta pengiriman surat reminder
pemberitahuan kewajiban kepada debitur samapi diterbitkan surat peringatan apabila
umur tunggakan telah melampaui 90 hari.
2. Langkah-langkah penanganan terhadap debitur Non PerForming Loan (NPL)
a. Landasan Hukum
- Pasal 6 jo Pasal 20 Undang-undang No.4 Tahun 1996 Tetang Hak Tanggungan
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang memberikan
Hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan jika debitur cidera janji
(wanprestasi)
- Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-undang No. 42 tahun 1999 tentang jaminan
Fidusia (UU Fidusia) yang memberikan Hak kepada Kreditur untuk mengeksekusi
benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (WanPrestasi)
- Pasal 1155 KHUP Perdata : kreditur sebagai penerima benda gadai berhak untuk
menjual Barang gadai setelah lewat jangka waktu yang ditentukan atau setelah
dilakukan peringatan untuk memenuhi perjanjian
b. Tindakan penyelamatan Debitur NPL
Syarat Penyelamatan Kredit Bermasalah
Bank / Lembaga Keuangan melakukan upaya penyelamatan kredit bermasalah
dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Dengan penyelamatan kredit, kondisi Bank / Lembaga Keuangan menjadi
lebih baik.
2. Adanya itikad baik dari debitur yang kooperatif.
3. Penilaian usaha debitur yang menunjukkan prospek usaha yang baik.
upaya-upaya penyelamatan kredit, melalui
Penjadwalan kembali hutangnya (Reschedulling) yaitu perubahan syarat
kredit yang menyangkut jadwal pembayaran termasuk menetukan kembali
besarnya angsuran dan atau perpanjangan jangka waktu kredit
Persyaratan kembali (Reconditioning) yaitu perubahan sebagian atau
seluruh syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran,
jangka waktu namum tidak menambah saldo Pinjaman
Penataan kembali (Restructurisasi) yaitu perubahan syarat-syarat kredit
dapat berupa penambahan dana Bank dan atau konversi seluruh tunggakan
pokok dan bunga menjadi kredit baru.
2.6.3 Penyelesaian kredit bermasalah
Adalah suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui lembaga hukum. Yang
dimaksud dengan lembaga hukum dalam hal ini adalah Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN) dan Direktorat Jendral Piutang dan Lelang Negara (DJPLN), melalui Badan
Peradilan, dan melalui Arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian sengketa.
Apabila penyelesaian sebagaimana tersebut diatas tidak berhasil dilaksanakan, pada
umumnya upaya yang dilakukan bank dilakukan melalui prosedur hukum. Sehubungan
dengan hal tersebut, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdapat
beberapa lembaga dan berbagai sarana hukum yang dapat dipergunakan untuk
mempercepat penyelesaian masalah kredit macet perbankan.
Penyelesaian Kredit Bermasalah dilakukan melalui2 (dua) cara, yaitu sebagai berikut:
1. Penyelesaian Kredit Bermasalah Secara Damai.
Penyelesaian kredit bermasalah secara damai dapat dilakukan terhadap debitur yang
beritikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya dan cara yang ditempuh dalam
penyelesaian ini dianggap lebih baik dibandingkan alternatif penyelesaian melalui saluran
hukum.
Jenis-Jenis dan Ketentuan Penyelesaian Kredit Secara Damai, meliputi:
Pemberian fasilitas keringanan bunga, Pemberian fasilitas keringanan bunga
hanya diberikan kepada penunggak dengan kolektibilitas Diragukan, Macet dan Kredit
yang telah dihapus bukukan.
Penjualan agunan di bawah tangan, Penjualan agunan di bawah tangan dilakukan
agar debitur masih diberikan kesempatan untuk menawarkan/menjual sendiri
agunannya.
2. Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Saluran Hukum
Penyelesaian kredit bermasalah melalui saluran hukum ini apabila upaya
restrukturisasi/ penyelesaian secara damai sudah diupayakan secara maksimal dan
belum memberikan hasil atau debitur tidak menunjukkan itikad baik (onwill) dalam
menyelesaikan kewajibannya, maka penyelesaian dapat ditempuh melalui saluran
hukum yakni Badan Urusan Piutang Lelang Negara (BUPLN) atau Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN) atau Pengadilan Negeri.
2.6.4 Pendekatan Kredit Bermasalah
Pendekatan dan penetapan strategi dalam penanganan kredit bermasalah yaitu sebagai
berikut:
1. Pendekatan Secara Tertulis, dengan cara yaitu:
Pemberian Surat Tagihan
Pemberian Surat Peringatan
Pemberian Surat Tagihan I, II, dan III
2. Pendekatan Secara Lisan.
Pihak Bank / Lembaga Keuangan dalam melaksanakan pendekatan ini dengan
cara berkunjung ke tempat usaha debitur untuk segera melunasi kewajibannya
sebelum diberikan surat tagihan.
Apabila setelah diberi Surat Peringatan III,tetapi debitur belum melunasi
kewajibannya maka pihak Bank / Lembaga Keuangan melakukan kunjungan
untuk menilai usaha debitur.
Pihak Bank / Lembaga Keuangan melakukan pembinaan kepada debitur yang
mempunyai kategori prospek baik dan itikad baik, prospek tidak baik dan itikad
baik, dan prospek tidak baik dan itikad tidak baik supaya menjadi kooperatif dan
mau segera melunasi kewajibannya
.
2.6.4 Proses eksekusi agunan kredit melalui proses lelang
Proses eksekusi agunan melalui proses lelang merupakn alternative terakhir dalam
penyelsaian kredit bermasalah, dan diharapkan dari hasil penjualan agunan melalui lelang
tersebut dapat menutupi hutang debitur, adapun prose lelang yang selama ini berjalan
sbb:
1. Kriteria debitur yang dapat dilelang
a. Debitur dengan kolektibilitas Macet (Kol-5)
b. Sudah tidak memiliki prospek usaha maupun upaya penyeleamatan.
c. Telah mendapat surat peringatan
2. Proses lelang :
a. Debitur Macet usulan dari Bag.Collection yang menyatak debitur sudah tidak
dapat lagi menyelesaiakan kreditnya dan tidak dapat dilakukan upaya
penyelamatan
b. Pengumpulan Dokumen berkoordinasi dengan Business Unit terkait dokumen
perkreditan.
c. Mengeluarkan Surat Peritah Kerja (SPK) kepad Balai Lelang Swasta) untuk
melakukan kegiatan pra lelang berupa Collction dan pengumuman lelang.
d. Melakukan penilaian agunan melalui KJPP )kantor Penilai Publik) untuk
mendapatkan nilai agunan terkini dan hasil penilaian harus di review olwh pihak
Bank (Bag.legal)
e. Penentuan harga lelang atas dasar Nilai pengikatan dan hasil penilaian terakhir
KJPP.
f. Bank Mengajukan dan mendaftarkan Lelang ke Kantor pelayanan Kekayaan dan
Lelang Negara untuk mendapatkan tanggal Lelang.
g. Dilakukan pengumum di harian nasional atas rencana pelaksanaan Lelang
minimal 2x.
h. Pelaksanaan Lelang.
Hasil Lelang agunan akan dipergunakan sepenuhnya untuk pelunasan kredit, apabila
terdapat kelebihan maka terhadap kelebihan tersebut akan dikembalikan kepada
debitur, namun apabila hasil lelang tidak menutupi hutang debitur maka kepad debitur
akan dibuatkan surat Hutang tanpa agunan yang tetap harus dilunasi oleh debitur.
KELOMPOK 10
PEMBAHASAN
1. Uraian Kliring
a. Dasar Hukum Kliring
UU no 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU
no 10 tahun 1998 ( penjelasan pasal 6 huruf g )
UU no 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
PBI no 12/5/PBI/2010 tentang Perubahan PBI no 7/18/PBI/2005 tentang
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
b. Definisi Kliring
Kliring adalah pertukaran data keuanggan elektronik dan/warkat antar peserta
kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah yang perhitungannya
diselesaikan pada waktu tertentu (PBI no 12/5/PBI/2010 tentang Perubahan PBI no
7/18/PBI/2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia).
Sebagai contoh misalnya terjadi suatu transaksi bisnis antara A dan B yang
melibatkan jumlah uang yang cukup besar dan keduanya adalah nasabah bank yang
berbeda. Dapat dipastikan bahwa keduanya pasti merasa ragu-ragu untuk bertransaksi
dengan menggunakan uang tunai, dengan alasan keamanan. Cara yang mudah untuk
melakukan oleh keduanya adalah melakukan pembayaran dengan cek/bilyet giro
dengan mekanisme kliring sebagai berikut:1
A memberikan cek/bilyet giro bank BA ke B;
B menagih lewat bank BB di mana B sebagai nasabah.
Proses yang terjadi di Bank BA dan BB akan berlangsung sebagai berikut:2
Setelah bank BB menerima warkat cek/bilyet giro, maka warkat tersebut akan
dibawa dalam pertemuan antar bank di suatu tempat yang ditunjuk oleh Bank
Sentral dan penyerahannya kepada bank BA;
Setelah menerima cek/bilyet giro dari bank BB, maka bank BA akan memeriksa
kebenaran warkat serta saldo nasabahnya. Bila tidak ada masalah, maka bank BA
1 https://blogaanwati.wordpress.com/2014/07/09/contoh-transaksi-kliring/2 Ibid
akan memotong rekening A sebesar nilai cek/bilyet giro dan mengirimkannya ke
bank BB;
Setelah mendapatkan kiriman dari bank BA, maka bank BB akan mengkreditkan
rekening B sebesar nilai yang berhak diterimanya. Dengan cara di atas, maka B
akan menerima uang pembayaran dengan mudah dan aman.
Cara lain yang dapat ditempuh oleh B setelah menerima cek dari A adalah dengan
cara mendatangi bank BA untuk mencairkan cek tersebut, namun cara ini memiliki risiko
bagi B karena dia akan menerima dan membawa pulang uang tunai, atau dia akan kena
biaya transfer bila B akan memasukkannya ke rekeningnya di bank BB. Sedangkan jika
dilakukan dengan bilyet giro, maka B tidak bisa menerima uang tunai melainkan harus
memindah bukukan pada saat jatuh tempo sesuai dengan instruksi dalam bilyet giro yang
dikeluarkan oleh A
c. Para Pihak dalam Kliring
1. Penyelenggara
Sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 2 PBI no 12/5/PBI/2010 tentang
Perubahan PBI no 7/18/PBI/2005 tentang Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia,
SKNBI diselenggarakan oleh :
1. Penyelenggara Kliring Nasional yang selanjutnya disebut PKN yaitu Unit
kerja di kantor pusat Bank Inonesia yang bertugas mengelola dan
menyelenggarakan SKNBI secara Nasional. Dalam penyelenggaraan SKNBI,
PKN melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Menyediakan SSK Utama dan SSK Back-up
b. Menjamin SSK Utama dan SSK Back-up berfungsi dengan baik
c. Menyediakan JKD dari KPK ke SSK
d. Menyediakan aplikasi SSK, KPK, dan TPK serta perubahannya
e. Memberikan pelayanan kepada Peserta dan PKL dalam
penyelenggaraan SKNBI
f. Memiliki Disaster Recovery Plan (DRP) atau Business Continuity Plan
(BCP) atas penyelenggarakan SKNBI dalam kondisi gangguan dan
keadaan darurat
g. memastikan kepatuhan PKL dan Peserta terhadap Peraturan Bank
Indonesia ini dan peraturan pelaksanaannya; dan
h. Menyediakan fasilitas lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang
mendukung kelancaran penyelenggaraan SKNBI
2. Penyelenggara Kliring Lokal yang selanjutnya disebut PKL yaitu Unit kerja di
Bank Indonesia dan Unit kerja di kantor Bank yang bertugas mengelola dan
menyelenggarakan SKNBI di suatu wilayah kliring. PKL tersebut dapat
berupa PKL BI maupun PKL selain BI. PKL BI adalah PKL yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia yaitu Kantor Bank Indonesia dan
Bagian Kliring Jakarta yang berada di Kantor Pusat Bank Indonesia. PKL
Selain BI adalah PKL yang diselenggarakan oleh oleh kantor bank yang telah
mendapat persetujuan dari Bank Indonesia untuk menyelenggarakan SKNBI
di wilayah yang bersangkutan. Penyelenggaraan SKNBI di wilayah kliring
yang tidak terdapat kantor Bank. Indonesia pada prinsipnya didasarkan pada
kebutuhan dan kesepakatan tertulis dari bank-bank setempat. Persyaratan
minimal agar di suatu wilayah dapat diselenggarakan SKNBI adalah : 3
1. Jumlah Kantor Bank
Jumlah kantor bank yang mendukung dan akan menjadi peserta
penyelenggaraan SKNBI paling kurang 4 (empat) bank yang berbeda.
2. Jumlah Transaksi
Jumlah warkat debet antar bank setempat yang potensial untuk
dikliringhkan melalui Kliring Debet rata-rata paling kurang 30 (tiga)
puluh) warkat per hari dalam periode 6 (enam) bulan terakhir
3 http://www.bi.go.id/id/sistem-pembayaran/edukasi/Documents/6b5f6eab68c34268a28718a699e609a9MateriSKNBINew.pdf
2. Peserta
Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini, pihak yang dapat menjadi peserta
SKNBI adalah Bank. Setiap bank dapat menjadi peserta dalam penyelenggaraan
SKNBI di suatu wilayah kliring, dengan persyaratan antara lain sebagai berikut: 4
1. Telah memperoleh izin usaha atau izin pembukaan kantor dari Bank
Indonesia.
2. Lokasi kantor bank memungkinkan untuk mengikuti penyelenggaraan SKNBI
secara tertib sesuai jadwal yang ditetapkan PKL.
3. Telah menandatangani perjanjian penggunaan SKNBI antara Bank Indonesia
dengan bank sebagai peserta.
4. Kantor Bank yang akan menjadi peserta menyediakan perangkat kliring,
antara lain meliputi perangkat TPK dan jaringan komunikasi data baik main
maupun backup.
d. Jenis Transaksi dalam Kliring5
1. Kliring Debet
Penyelenggaraan Kliring debet dilakukan per wilayah kliring oleh
Penyelenggara Kliring Lokal (PKL).
Transaksi yang dapat dikliringkan adalah transfer debet yang berasal dari
warkat debet berupa cek dan bilyet giro.
Transfer debet yang dikliringkan dalam bentuk data keuangan elektronik
disertai dengan penyampaian warkat debet
Kegiatan dalam penyelenggaraan Kliring Debet terdiri atas :
a. Kliring Penyerahan yaitu Memperhitungkan transfer debet yang
disampaikan oleh peserta pengirim kepada peserta penerima
melalui PKL.
b. Kliring Pengembalian yaitu Memperhitungkan transfer debet yang
ditolak oleh peserta penerima kepada peserta pengirim berdasarkan
alasan penolakan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
Jam Operasional :
4 Ibid 5 Ibid
a. Jam operasional Penyelenggaraan Kliring Debet ditetapkan
secara lokal per wilayah kliring oleh Penyelenggara Kliring
Lokal (PKL).
b. Seluruh kegiatan kliring debet, yaitu Kliring Penyerahan dan
Pengembalian diselesaikan pada hari yang sama kecuali untuk
wilayah kliring Jakarta dan Surabaya, kegiatan kliring
pengembalian dilakukan pada keesokan harinya atau H + 1.
c. Batas waktu operasional penyelenggaraan kliring debet
ditetapkan oleh PKN yaitu pada pukul 15.30 WIB.
Perhitungan kliring dan settlement hasil kliring :
a. Perhitungan kliring debet dilakukan dilakukan per wilayah
kliring lokal dengan metode multilateral netting oleh
Penyelenggara Kliring Lokal (PKL).
b. Perhitungan kliring debet merupakan hasil netto antara hasil
pada kliring penyerahan dan kliring pengembalian dari seluruh
wilayah kliring lokal.
c. Setelmen hasil perhitungan kliring debet dilakukan oleh
Penyelenggara Kliring Nasional (PKN) sebanyak 1 (satu) kali
pada akhir jam operasional ke rekening giro bank peserta di
sistem BI RTGS
Biaya
a. Biaya proses Data Keuangan Elektronik (DKE) debet
ditetapkan oleh Penyelenggara Kliring Nasional (PKN) sebesar
Rp1.000 (seribu rupiah) per DKE untuk kliring penyerahan.
Sedangkan untuk proses DKE pada kliring pengembalian tidak
dikenakan biaya.
b. Biaya proses pemilahan warkat debet ditetapkan oleh
Penyelenggara Kliring Nasional (PKN) sebesar Rp500 (lima
ratus rupiah) per lembar warkat.
c. Sanksi kewajiban membayar atas Cek/BG yang ditolak melalui
kliring pengembalian dengan alasan tertentu ditetapkan oleh
Penyelenggara Kliring Nasional (PKN) sebesar Rp100.000
(seratus ribu rupiah) perlembar warkat/DKE.
2. Kliring Kredit
Penyelenggaraan Kliring Kredit dilakukan secara nasional oleh
Penyelenggara Kliring Nasional (PKN).
Transaksi yang dapat dikliringkan adalah transfer kredit yang berasal
dari peserta di suatu wilayah kliring untuk ditujukan ke peserta lainnya
di seluruh Indonesia.
Transfer kredit yang dikliringkan dalam bentuk Data Keuangan
Elektronik (DKE).
Jam Operasional :
a. Jam operasional Penyelenggaraan Kliring Kredit ditetapkan secara
nasional oleh Penyelenggara Kliring Nasional (PKN).
b. Kegiatan operasional Penyelenggaraan Kliring Kredit dimulai pada
pukul 08.15 WIB sampai dengan pukul 15.30 WIB.
Perhitungan kliring dan settlement hasil kliring :
a. Perhitungan kliring kredit dilakukan secara nasional dengan
menggunakan metode multilateral netting.
b. Setelmen hasil perhitungan kliring kredit dilakukan pada rekening
giro bank peserta yang disimpan di sistem BI RTGS.
c. RTGS (Real-Time Gross Settlement). Sistem RTGS adalah proses
penyelesaian akhir transaksi (settlement) pembayaran yang
dilakukan per transaksi (individually processed / gross settlement)
dan bersifat Real-time (electronically processed), di mana rekening
peserta dapat di-debit / di-kredit berkali-kali dalam sehari sesuai
dengan perintah pembayaran dan penerimaan pembayaran. Dengan
sistem RTGS, peserta pengirim melalui terminal RTGS di
tempatnya mentransmisikan transaksi pembayaran ke pusat
pengolahan sistem RTGS (RTGS Central Computer /RCC) di
Bank Sentral (dalam hal ini Bank Indonesia) untuk proses
settlement. Jika proses settlement berhasil, transaksi pembayaran
akan diteruskan secara otomatis dan elektronis kepada peserta
penerima. Keberhasilan proses settlement tergantung dari
kecukupan saldo peserta pengirim karena dalam sistem BI-RTGS
peserta hanya diperbolehkan untuk mengkredit peserta lain.
Dengan kata lain, peserta RTGS harus meyakinkan bahwa saldo
rekeningnya di Bank cukup sebelum Makan peserta tersebut
melaksanakan transfer ke perserta RTGS lainnya.
d. Penerapan sistem RTGS di Indonesia telah dimulai sejak tanggal
17 November 2000 dengan nama Sistem Bank Indonesia Real
Time Gross Settlement (BI-RTGS).
e. Perhitungan dan setelmen hasil kliring kredit pada saat ini
dilakukan oleh Penyelenggara Kliring Nasional (PKN) sebanyak 4
(empat) kali dalam 1 hari, yaitu pada pukul 10.00 WIB, pukul
12.00 WIB, pukul 14.00 WIB dan pukul 16.00 WIB oleh PKN.
Biaya
Biaya proses Data Keuangan Elektronik (DKE) kredit ditetapkan oleh
Kliring Nasional (PKN) sebesar Rp1.000 (seribu rupiah) per DKE
e. Manajemen Risiko
Dalam rangka mencegah terjadinya gagal bayar pada saat setelmen hasil kliring
dari peserta SKNBI, Bank Indonesia mewajibkan setiap peserta untuk menyediakan
sejumlah dana tertentu pada setiap awal hari sebelum kegiatan Kliring Kredit dan
Kliring Debet dimulai atau dikenal dengan istilah minimum prefund. Penyediaan
minimum prefund pada kliring debet dapat berupa cash maupun collateral (surat
berharga). Sedangkan penyediaan minimum prefund pada kliring kredit hanya dapat
berupa cash. Kebijakan tersebut diterapkan untuk memenuhi prinsip-prinsip
manajemen risiko atas penyelenggaraan kliring yang bersifat multilateral netting
sesuai standar Core Principles yang dikeluarkan oleh Bank for International
Settlemen.
2. Inkaso
a. Definisi Inkaso
Inkaso adalah kegiatan jasa Bank untuk melakukan amanat dari pihak ke tiga
berupa penagihan sejumlah uang kepada seseorang atau badan tertentu di kota lain yang
telah ditunjuk oleh si pemberi amanat. Sebagai imbalan jasa atas jasa tersebut biasanya
bank menerapkan sejumlah tarif atau fee tertentu kapada nasabah atau calon nasabahnya.
Tarif tersebut dalam dunia perbankan disebut dengan biaya inkaso. Sebagai imbalan bank
meminta imbalan atau pembayarn atas penagihan tersebut disebut dengan biaya inkaso.
b. Ruang Lingkup Inkaso
Kegiatan inkaso dilakukan untuk menyelesaikan tagihan pihak pemberi amanat
berupa warkat-warkat atau surat berharga yang tidak dapat segera dibayarkan, karena
pihak tertarik (pihak berhutang) berada di luar wilayah kliring atau di kota yang berbeda.
Dengan demikian inkaso hanya dilakukan antar cabang suatu bank atau antar bank yang
berada di kota yang berbeda. Sebagai contoh, misalnya Ratih nasabah giro Bank Satria
Cabang Bandung menerima cek dari Ira nasabah giro Bank Satria Cabang Jakarta. Dalam
hal demikian cek Ratih tidak dapat diselesaikan (ditagih) melalui kliring di Bank
Indonesia. Penyelesaiannya harus dilakukan melalui inkaso.
Manfaat inkaso dipandang dari pemberi amanat relatif lebih menguntungkan,
terutama dari segi kepraktisan penyelesaian. Sementara manfaat kegiatan inkaso bagi
pihak bank pemrakarsa selain terjadinya pendapatan komisi inkaso dan sarana promosi
dengan meningkatkan pelayanan, juga mengendapnya dana inkaso sejak dapat ditagih
sampai dicairkan oleh pihak pemberi amanat merupakan keuntungan bagi bank.
Warkat-warkat yang digunakan dalam inkaso :
1. Cek
2. Bilyet Giro
3. Wesel
4. Kuitansi
5. Surat Aksep
6. Deviden
7. Kupon
c. Jenis-Jenis Warkat Inkaso
1. Warkat inkaso tanpa lampiran yaitu warkat–warkat inkaso yang tidak dilampirkan
dengan dokumen – dokumen apapun seperti cek, bilyet giro, wesel dan surat
berharga.
2. Warkat inkaso dengan lampiran yaitu warkat–warkat inkaso yang dilampirkan dengan
dokumen–dokumen lainnya seperti kwitansi, faktur, polis asuransi dan dokumen–
dokumen penting.
3. Warkat Inkaso sendiri adalah warkat yang diterbitkan oleh Kantor Cabang Bank yang
wilayah kliringnya berbeda dengan wilayah kliring bank pengirim.
4. Warkat Inkaso Bank lain adalah warkat yang diterbitkan oleh Bank lain yang wilayah
kliringnya berbeda dengan wilayah kliring bank pengirim.
d. Keuntungan transaksi inkasso
Inkaso memiliki manfaat atau keuntungan seperti diantaranya adalah sebagai berikut :
Membantu lebih efektif dan efisien dalam penyelesaian tagihan antar kota.
Lebih bonafid dan nasabah memiliki reputasi yang lebih jelas.
Kemudahan dalam penagihan pembayaran atas warkat-warkat dengan biaya yang
kompetitif.
e. Mekanisme atau prosedur inkasso
Mekanisme Inkaso dibedakan menjadi:
1. Inkaso melalui bank lain yaitu inkaso yang dilaksanakan terhadap pihak ketiga
yang merupakan nasabah dari Bank lain.
2. Inkaso melalui cabang sendiri yaitu Inkaso yang dilakukan melalui cabang Bank
sendiri untuk pihak ketiga di luar kota pada kantor cabang Bank sendiri.
3. Inkaso Dalam Negeri merupakan jasa pelayanan Bank untuk melakukan
penagihan kepada pihak ketiga atas inkaso tanpa dokumen di tempat lain di dalam
negeri.
4. Inkaso Luar Negeri (Collection) merupakan jasa pelayanan Bank BTN untuk
menagihkan pembayaran atas suatu warkat/dokumen berharga kepada pihak
ketiga yang berada di luar negeri menggunakan jasa bank koresponden. Bentuk
Collection yaitu :
1. Outward Collection (inkaso keluar)
2. Pengiriman warkat-warkat valuta asing dari Kantor Cabang Bank BTN
kepada Bank Koresponden di luar negeri, untuk ditagihkan kepada bank
penerbit.
3. Inward Collection (inkaso masuk).
4. Penerimaan warkat-warkat valuta asing dari Bank Koresponden Bank BTN di
luar negeri, untuk ditagihkan pembayarannya kepada tertarik di dalam negeri.
Umumnya berupa warkat-warkat tanpa dokumen.
Biaya Collection :
Outward collection (inkaso keluar) : 0,125% x nominal transfer (min
USD 10, max USD 150)
Inward collection (inkaso masuk) : ) : 0,125% x nominal transfer (min
USD 10, max USD 150) + USD 35
Dipandang dari kegiatannya, inkaso dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu :
a. Inkaso Keluar
Inkaso keluar merupakan kegiatan bank pemrakarsa melaksanakan penagihan sesuai
dengan amanat yang diterimanya, baik untuk keuntungan nasabah bank sendiri atau pihak
lainnya. Kegiatan inkaso keluar meliputi :
1) Penerimaan amanat dan warkat inkaso dari pemberi amanat.
2) Meneruskan amanat kepada kantor cabang bank sendiri di kota tempat pihak
tertagih.
3) Penerimaan hasil inkaso dari kantor cabang pelaksana inkaso.
4) Penyerahan (pembayaran) hasil inkaso kepada pihak pemberi amanat.
b. Inkaso masuk
Inkaso masuk merupakan tagihan dari cabang bank sendiri atau bank lain atas warkat
yang diterbitkan oleh nasabah sendiri. Kegiatan inkaso masuk meliputi :
1) Penerimaan tagihan masuk dari cabang sendiri di kota lain. Dalam hal ini, bank
penerima tagihan masuk merupakan bank pelaksana inkaso
2) Pelaksanaan (realisasi) penagihan. Jika pihak tertagih (tertarik) sebagai nasabah
sendiri, bank pelaksana membebani rekening nasabah yang bersangkutan sejumlah
nominal inkaso. Dalam hal pihak tertarik adalah nasabah bank lain, bank pelaksana
melakukan penagihan kepada bank tempat rekening tertarik melalui kliring.
3) Pengiriman informasi mengenai hasil inkaso kepada kantor cabang pemrakarsa.
Kegiatan inkaso keluar dan inkaso masuk dapat digambarkan dengan bagan sebagai
berikut :
a. Pencatatan Inkaso Keluar
Transaksi inkaso keluar merupakan transaksi yang belum mengandung suatu
kepastian, sehingga belum mengakibatkan perubahan terhadap aktiva dan kewajiban bagi
Bank yang melakukan transaksi tersebut. Dan transaksi tersebut menjadi efektif setelah
diperoleh informasi bahwa inkaso berhasil. Oleh karena itu transaksi inkaso keluar belum
diperoleh kepastian berhasil tidaknya. Oleh bank yang melakukan transaksi tersebut
dicatat ke dalam Rekening Administratif Rupiah (RAR) dalam bentuk catatan tunggal
(single entry).
b. Pencatatan Inkaso Masuk
Apabila pihak tertarik dalam inkaso masuk adalah nasabah giro pada bank
pelaksana, maka bank pelaksana memeriksa kecukupan dana pada rekening giro nasabah
yang bersangkutan.
Jika ternyata dananya mencukupi, bank pelaksana melakukan pemindahbukuan dari
rekening giro nasabah tertarik kepada rekening antar kantor cabang.
Dalam hal pihak tertarik dalam inkaso masuk adalah sebagai nasabah bank lain, berarti
warkat inkaso harus diteruskan kepada bank tempat rekening giro tertarik melalui kliring.
Dengan demikian dapat saja diperlakukan sebagai inkaso keluar.
KELOMPOK 11
ISI
3.1 PEMBAHASAN
Jaminan atau agunan adalah aset pihak peminjam yang dijanjikan
kepada pemberi pinjaman jika peminjam tidak dapat mengembalikan
pinjaman tersebut. Jika peminjam gagal bayar, pihak pemberi pinjaman
dapat memiliki agunan tersebut. Dalam pemeringkatan kredit, jaminan
sering menjadi faktor penting untuk meningkatkan nilai kredit perseorangan
ataupun perusahaan. Bahkan dalam perjanjian kredit gadai, jaminan
merupakan satu-satunya faktor yang dinilai dalam menentukan besarnya
pinjaman.
Berdasarkan pasal 6 huruf A Undang-undang no. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan “Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun
sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank,
dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya”
pada kenyataanya di Bank BRI cabang Pandanaran Semarang. Pada suatu
kredit apabila kreditur wanprestasi maka agunan tersebut akan melalui
beberapa proses yang panjang dimana dari setiap proses tersebut
melibatkan nasabah yang wanprestasi. Dalam proses awal nasabah yang
wanprestasi akan mendapat surat peringatan dari pihak bank dimana akan
diberitahukan bahwa utang kredit telah jatuh tempo dan harus segera
dilunasi oleh pihak nasabah. Bank akan mengirimkan Surat Peringatan
kepada Debitur agar melaksanakan kewajibannya dalam pembayaran
angsuran sesuai dengan yang diperjanjikan. Peringatan tersebut biasanya
diajukan paling sedikit sebanyak 3 (tiga) kali untuk memenuhi syarat
keadaan wanprestasinya debitur.
Apabila telah diperingati secara patut tetapi Debitur tidak juga melakukan
pembayaran kewajibanya, maka Bank melalui ketentuan hukum yang
terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 20 UU RI No. 4 tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan, akan melakukan proses Lelang terhadap Jaminan Debitur.
Dalam keadaan nasabah mempunyai itikad baik untuk membayar utang
maka prosesnya akan diselesaikan dengan cara yang menguntungkan kedua
belah pihak baik dengan cara bank bersedia memfasilitasi dalam penjualan
agunan tanpa melalui pelelangan ataupun dengan cara yang diinginkan oleh
nasabah.
Apabila pada kasus nasabah yang tidak memiliki itikad baik maka bank
akan mengambil jalan hukum, dimulai dari penerbitan surat peringatan,
somasi, sampai dengan cara memasukkan obyek jaminan milik nasabah ke
dalam pelelangan umum.
Sebuah bank dapat membeli agunan dari bank lain dengan cara
diawali dengan macetnya pembayaran kredit, di samping tidak adanya itikat
baik dari kreditur setelah melalui proses mediasi tidak menemukan titik
temu.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam ketentuan pada poin a di atas,
proses pengalihan terhadap suatu agunan dapat dilakukan melalui dua (2)
cara yakni;
1. melalui mekanisme lelang, atau
2. melalui mekanisme penjualan di bawah tangan dengan
persetujuan dari pemilik agunan.
Mekanisme lelang barang agunan milik debitur dapat dilakukan oleh
Bank tanpa persetujuan debitur. Pasalnya, dalam hal debitur cedera janji
pemilik agunan dapat mengeksekusi haknya (lihat Pasal 6 jo Pasal 20 ayat
[1] UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah - UUHT).
Mekanisme lelang sendiri dapat ditempuh dengan 3 cara;
1. Melalui penetapan pengadilan negeri,
2. Melalui Lembaga Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang (KPKNL),
3. Melalui Balai Lelang Swasta.
1. Lelang melalui balai lelang swasta :
Dasar hukum penjualan lelang melalui Balai Lelang Swasta diatur
dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 47/KMK.01/1996 tanggal 25 Januari
1996 dan Keputusan Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara
(BUPLN) No.1/PN/1996. Adapun peraturan yang mengatur tentang perizinan,
kegiatan usaha dan pelaksanaan lelang Balai Lelang Swasta diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 tanggal 30 November
2005 tentang Balai Lelang.
Dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
118/PMK.07/2005 ditegaskan bahwasanya kegiatan usaha Balai Lelang
meliputi Jasa Pralelang, Jasa Pelaksanaan Lelang dengan Pejabat Lelang
Kelas II, dan Jasa Pascalelang terhadap jenis lelang :
a. Lelang Non Eksekusi Sukarela,
b. Lelang aset BUMN/ D berbentuk persero, dan
c. Lelang aset milik bank dalam likuidasi berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) di atas, maka kegiatan lelang
hak tanggungan yang dilakukan melalui Balai Lelang Swasta terlebih dahulu
secara formal hukumnya harus ada kata sepakat antara Bank dengan
debitornya. Tanpa adanya kata kesepakatan untuk menggunakan
mekanisme penjualan lelang melalui Balai Lelang Swasta, debitor dapat
menuntut pembatalan atas mekanisme tersebut.
2. Lelang melalui KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang) :
Pasal 30 Keputusan Menteri Keuangan No.102/PMK.02/2008 tentang
organisasi dan tata kerja instansi vertikal dilingkungan Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara, menyatakan bahwasanya tugas pokok KPKNL adalah
melaksanakan pelayanan dibidang kekayaan Negara, penilaian, piutang
negara dan lelang.
Adapun teknis pelaksanaan lelang yang dilakukan KPKNL diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93 /PMK.06/2010 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang. Yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 Perubahan atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 93/pmk.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 ditegaskan
bahwasanya lelang yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, tidak dapat dibatalkan. Artinya lelang yang dilakukan KPKNL
memilki kekuatan hukum yang tetap terkecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Dalam Pasal 4-nya ditegaskan pula, bahwasanya lelang tetap dilaksanakan
walaupun hanya diikuti oleh 1 (satu) orang peserta lelang dan jika dalam hal
tidak ada peserta lelang, lelang tetap dilaksanakan dan dibuatkan Risalah
Lelang Tidak Ada Penawaran. Artinya dari segi kepraktisan waktu, lelang
yang dilakukan KPKNL lebih praktis dan cepat dibandingkan lelang yang
dilakukan Balai Lelang Swasta.
Bahwa secara hukum, segala jenis lelang dapat dilakukan oleh KPKNL
(pasal 8 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010).
Bandingkan dengan kegiatan lelang yang dilakukan Balai Lelang Swasta
yang notabene hanya mencakup Lelang Non Eksekusi Sukarela saja.
Sayangnya jika dilihat dari beban tanggungjawab hukum, bank selaku
pemegang hak tanggungan tetap bertanggung jawab atas gugatan atau
tuntutan pidana dari debitur terkait keabsahan kepemilikan barang,
keabsahan dokumen persyaratan lelang, penyerahan barang bergerak
dan/atau barang tidak bergerak dan dokumen kepemilikan kepada Pembeli
serta dipersyaratkan pula, terkait dengan barang bergerak, bahwasanya
bank selaku pemegang hak tanggungan terlebih dahulu harus menguasai
fisik barang tersebut (Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan No.
93/PMK.06/2010). Bandingkan dengan kewajiban Balai lelang Swasta
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 118/PMK.07/2005 yang mensyaratkan Balai Lelang Swasta yang
harus bertanggungjawab atas adanya gugatan atau tuntutan pidana atas
pelaksanaan lelang yang dilakukannya.
Terkait lelang hak tanggungan atas tanah dan bangunan, dalam Pasal
22 Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010, KPKNL juga
mensyaratkan Bank selaku pemegang hak tanggungan harus melengkapi
dengan Surat Keterangan Tanah (SKT) dari Kantor Pertanahan setempat. Jika
tanah atau tanah dan bangunan yang akan dilelang belum terdaftar di
Kantor Pertanahan setempat, Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II
mensyaratkan kepada Bank untuk melengkapi Surat Keterangan dari
Lurah/Kepala Desa yang menerangkan status kepemilikan tanah atau
bangunan tersebut. Dan atas segala biaya pengurusan tersebut menjadi
tanggung jawab pihak bank. Rumitnya, jika Bank selaku pemegang hak
tanggungan tidak menguasai dokumen kepemilikan maka, berdasarkan
ketentuan Pasal 23 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan No.
93/PMK.06/2010, setiap dilaksanakan lelang harus dimintakan SKT baru.
Kemudian yang harus diperhatikan jika ingin menggunakan jasa lelang
KPKNL adalah ketentuan Pasal 64 Peraturan Menteri Keuangan No.
93/PMK.06/2010 yang menyatakan, setiap pelaksanaan lelang dikenakan
Bea Lelang. Disamping itu, perlu diperhatikan pula bahwasanya Pasal 65
Peraturan Menteri Keuangan No.93/PMK.06/2010 juga mengatur pengenaan
bea pembatalan lelang.
3. Lelang melalui Pengadilan Negeri :
Proses lelang melalui pengadilan ini hanya dapat dilakukan apabila
jaminan/ barang yang akan dilelang tersebut masih dalam kondisi:
a. Masih dikuasai oleh pemilik jaminan/pemilik barang (belum
dikosongkan).
b. Adanya indikasi perlawanan dari pemilik jaminan/pemilik barang.
Dari segi prosedur dan biaya, lelang melalui pengadilan negeri ini relatif
rumit dan cukup memakan biaya karena Bank selaku pemegang hak
tanggungan tidak cukup mengajukan hanya permohonan lelang kepada
Ketua Pengadilan Negeri tetapi juga harus mengajukan permohonan sita
jaminan (meskipun dari segi kepraktisan, permohonan sita jaminan dan
permohonan lelang ini dapat disatukan dalam satu permohonan, sayangnya
dalam praktek, banyak Pengadilan yang menghendaki satu persatu
permohonan).
Jika permohonan lelang disetujui maka Pengadilan akan menerbitkan
penetapan lelang yang dikemudian dilanjutkan dengan penetapan sita
jaminan. Dengan diterbitkannya sita jaminan, maka Pengadilan akan
melakukan penyitaan terhadap objek lelang yang kemudian akan
didaftarkan kepada kantor Badan Pertanahan setempat sekaligus
mengajukan permohonan SKPT (Surat Keterangan Pendaftaran Tanah).
Setelah keluarnya SKPT tersebut, maka Pengadilan Negeri mengajukan
kegiatan Taksasi (penaksiran) dengan melibatkan pihak kelurahan dan pihak
Dinas Pekerjaan Umum (PU), untuk dapat ditetapkannya berapa nilai atau
harga wajar atas jaminan/barang yang akan dilelang. Setelah didapatkannya
harga, maka Kepala Pengadilan akan menetapkan harga limit terendah atas
jaminan/barang yang akan dilelang tersebut. Bandingkan dengan kegiatan
lelang yang dilakukan oleh Balai Lelang Swasta atau KPKNL dimana penjual/
pemegang hak tanggungan yang berhak menentukan harga limit terendah
atas objek lelang.
Adapun untuk pelaksanaan lelangnya, Pengadilan bekerjasamana
dengan KPKNL. Ini berarti, secara praktis dan biaya, lelang melalui KPKNL
tetap lebih efektif dibandingkan lelang melalui Pengadilan Negeri karena
pada akhirnya akan tetap bekerjasama dengan KPKN. Demikian juga pada
akhirnya akta Risalah Lelang pada akhirnya akan diurus dan diterbitkan oleh
Pejabat Lelang yang notabene merupakan bagian dari KPKNL.
Kemudian, mekanisme pelepasan kedua adalah melalui Pengalihan di
bawah tanggan atas persetujuan dari pemilik agunan itu sendiri.Dalam
praktiknya, pemilik agunan bisa memberikan persetujuan untuk menjual
agunannya dengan memberikan surat kuasa untuk menjual (lihat Pasal 20
ayat [2] UUHT). Namun, yang perlu dicermati lebih lanjut adalah bahwa surat
kuasa untuk menjual yang diberikan oleh pemilik agunan tidak boleh
berumur kurang dari 1 (satu) tahun. Hal ini karena Badan Pertanahan
Nasional (BPN) menolak jual beli didasarkan surat kuasa yang melebihi masa
satu tahun (lihat Pasal 12A ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan). Dalam
pelaksanaannya, pelepasan agunan dengan cara di bawah tangan harus
dilakukan setelah lewat jangka waktu 1 bulan. Sebelumnya, rencana
pelepasan agunan yang dilakukan di bawah tangan tersebut harus terlebih
dahulu diumumkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) surat kabar (lihatPasal
20 ayat [3] UUHT).
Hal lain yang juga perlu dicermati adalah surat kuasa menjual tidak
boleh dibuat pada awal perjanjian kredit. Hal ini karena surat kuasa menjual
dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) pada awal kredit dapat
membatalkan perjanjian.
Kemudian, sebelum dilakukannya pengalihan dengan cara lelang
maupun di bawah tangan dengan menggunakan surat kuasa untuk menjual
dari pemilik agunan, Bank selalu melakukan penilaian terhadap aset.
Penilaian tersebut dilakukan dengan menggunakan Kantor Jasa Penilai Publik
(KJPP) untuk mendapatkan nilai wajar terhadap aset yang akan dialihkan
tersebut.
KELOMPOK 12
PEMBAHASAN
2.1 Jenis-Jenis Tindak Pidana di bidang Perbankan
Tindak Pidana di Bidang Perbankan mengandung pengertian yang tampaknya lebih netral
dan lebih luas karena dapat mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan
di dalam bank atau keduanya. Istilah “tindak pidana di bidang perbankan” dimaksudkan
untuk menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan
kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tidak ada pengertian formal dari tindak
pidana di bidang perbankan. Ada yang mendefinisikan secara popular, bahwa tindak pidana
perbankan adalah tindak pidana yang menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the
bank) dan sasaran tindak pidana itu (crimes against the bank).
Adapun ruang lingkup terjadinya tindak pidana perbankan, dapat terjadi pada keseluruhan
lingkup kehidupan dunia perbankan atau yang sangat berkaitan dengan kegiatan perbankan
dan lebih luasnya mencakup juga lembaga keuangan lainnya, sedangkan ketentuan yang
dapat dilanggarnya baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis juga meliputi norma-norma
kebiasaan pada bidang perbankan, namun semua itu tetap harus telah diatur sanksi
pidananya. Lingkup pelaku dan tindak pidana perbankan dapat dilakukan oleh perorangan
maupun badan hukum (korporasi).
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) menetapkan tiga
belas macam tindak pidana yang diatur mulai dari Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A.
Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan ke dalam lima macam, yaitu:
a. Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan
b. Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank
c. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan
d. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank.
e. Tindak pidana yang berkaitan dengan sikap dan/ atau tindakan yang dilakukan oleh
pengurus, pegawai, pihak terafilisiasi, dan pemegang saham bank
Adapun untuk lebih jelasnya maka kelima macam tindak pidana di bidang perbankan ini
akan dijabarkan sebagai berikut:
a. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Perizinan
Tindak pidana di bidang perbankan yang tergolong dalam kelompok ini adalah tindak
pidana yang berhubungan dengan perizinan pendirian bank sebagai lembaga keuangan.
Setiap orang yang ingin mendirikan bank, tentunya harus memenuhi syarat-syarat atau
ketentuan yang terdapat dalam undangundang. Pihak yang mendirikan bank, tetapi bank
tersebut didirikan tidak berdasarkan atas syarat atau ketentuan yang ditetapkan oleh
undang-undang, pihak pendiri bank tersebut dapat dikatakan telah melakukan tindak
pidana di bidang perbankan kelompok ini dan Bank yang telah didirikan tersebut
dinamakan bank gelap.6
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan
bahwa tindak pidana yang termasuk ke dalam jenis tindak pidana yang berkaitan dengan
perizinan, terdapat dalam Pasal 46.
Pasal 46 Ayat (1) menyebutkan, bahwa :
Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa
izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15
6 Dikutif dari http:// click-gtg.blogspot.com/2009/03/tindak-pidana-bank.html, diakses pada tanggal 3 Mei 2015.
(lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) dan paling banyak 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Ketentuan ayat (2) menyebutkan, bahwa
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan oleh badan
hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka
penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang
memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan
dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Ketentuan ini satu-satunya ketentuan
dalam UU Perbankan yang mengenakan ancaman hukuman terhadap korporasi dengan
menuntut mereka yang memberi perintah atau pimpinannya.
b. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Rahasia Bank
Bank sebagai lembaga keuangan yang mengelola dana masyarakat dalam jumlah
yang besar, salah satu yang harus dijaga adalah kepercayaan masyarakat. Kepercayaan
yang harus dijaga tersebut, salah satunya adalah mengenai keterangan tentang data diri
dan keadaan keuangan nasabah. Jika ada pihak yang dengan melawan hukum
membocorkan tentang keadaan keuangan nasabah suatu bank, maka dia termasuk
melakukan tindak pidana di bidang perbankan kelompok ini.7
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan
bahwa tindak pidana yang termasuk ke dalam jenis tindak pidana yang berkaitan dengan
rahasia bank, terdapat dalam Pasal 47 ayat (1), Pasal 47 ayat (2), dan Pasal 47A.
Pasal 47 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa
7 Ibid.
Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pimpinan Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan
sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-
kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Ayat (2)
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya
yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal
40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama
4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Pasal 47A UU Perbankan menyebutkan bahwa
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja
tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah)
Terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, ada beberapa
pengecualian sehingga pihak yang melakukan tindak pidana rahasia bank yang
dikecualikan tersebut, tidak dipidana. Pengecualian tersebut adalah:8
1. Pembukaan rahasia bank karena kepentingan perpajakan. Pada awalnya
berdasarkan ketentuan Pasal 41 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, untuk kepentingan perpajakan, Menteri keuangan berwenang
8 Ibid.
mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat menyurat mengenai keadaan
keuangan nasabah tertentu kepada pejabat pajak. Ketentuan tersebut telah
mengalami perubahan seiring dengan diubahnya ketentuan dalam Pasal 41 ayat
1 Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 tersebut. Dengan adanya Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan, ketentuan dalam Pasal 41 ayat 1 menjadi:
“Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar
memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-
surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat
pajak.”
Dengan demikian perubahan yang terjadi bahwa Pimpinan Bank Indonesia- lah
yang dapat mengeluarkan keterangan mengenai hal-hal yang termasuk ke dalam
rahasia bank. Sedangkan yang berhak untuk meminta pembukaan hal yang
menyangkut rahasia bank dari seorang nasabah penyimpan, apabila berkaitan
dengan kepentingan perpajakan saat ini hanya bisa dilakukan oleh Menteri
Keuangan. Dalam kondisi ini maka Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar
memberikan keterangan dan memperhatikan bukti-bukti tertulis serta surat-surat
mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
Dalam hal pembukaan rahasia bank tersebut, maka pembukaannya harus ada
permintaan tertulis dari Menteri Keuangan. Sedangkan mengenai keperluan
untuk menjalankan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan lainnya,
tidak diperlukan permintaan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 35 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, yang menjelaskan bahwa untuk
kepentingan menjalankan peraturan perundang-undangan pajak, pihak pajak
dapat langsung meminta keterangan atau bukti dari bank mengenai keadaan
nasabahnya sepanjang mengenai perpajakan.
2. Pembukaan rahasia bank karena kepentingan penyelesaian piutang Negara.
Ketentuan mengenai pembukaan rahasia bank untuk penyelesaian piutang
Negara merupakan ketentuan yang baru. Pasal yang mengatur untuk itu, yaitu
Pasal 41A menyatakan bahwa:
“Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara/ Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan
Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan
Lelang Negara/ Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan
mengenai simpanan nasabah debitur.”
Izin untuk pembukaan rahasia dalam rangka penyelesaian Piutang Negara
tersebut dapat diperoleh apabila dilakukan permohonan tertulis oleh Kepala
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara serta Ketua Panitia Urusan Piutang
Negara. Permintaan tersebut harus menyebutkan nama dan jabatan Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara atau Panitia Urusan Piutang Negara, nama
nasabah debitur yang bersangkutan, dan alasan diperlukannya keterangan.
3. Pembukaan rahasia bank karena kepentingan peradilan.
Menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan untuk kepentingan peradilan dalam perkara
pidana, Menteri keuangan dapat member izin, secara tertulis, kepada polisi,
jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan
keuangan tersangka/ terdakwa pada bank.
Selain izin dari Menteri Keuangan, juga harus ada permintaan tertulis dari
Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah
Agung. Sedangkan menyangkut perkara perdata antara bank dengan nasabahnya,
informasi dan keterangan dapat diberikan tanpa izin dari Menteri Keuangan.
Direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan
tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan
keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut. Hal ini sesuai dengan
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
4. Pembukaan rahasia bank karena kepentingan kegiatan perbankan.
Pembukaan yang menyangkut data dari nasabah yang termasuk pula sebagai
rahasia bank dalam hal untuk kelancaran kegiatan bank, terbatas dalam hal tukar
menukar informasi antar bank. Tukar menukar informasi antar bank
dimaksudkan untuk memperlancar dan mengamankan kegiatan usaha bank,
antar lain guna mencegah kredit rangkap serta mengetahui keadaan dan status
dari suatu bank ke bank yang lain. Dengan demikian, bank dapat menilai tingkat
resiko yang dihadapi sebelum melakukan transaksi dengan nasabah atau bank
lain. Hal ini tercantum dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan:
“Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, direksi Bank dapat
memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.”
Peraturan pelaksanaan dari ketentuan mengenai tukar menukar informasi
mencakup pengaturan tata cara penyampaian dan permintaan informasi serta
bentuk dan jenis informasi tertentu yang dapat dipertukarkan, seperti indikator
secara garis besar dari kredit yang diterima nasabah, agunan, dan masuk
tidaknya debitur yang bersangkutan dalam daftar kredit macet. Peraturan yang
berlaku saat ini yaitu Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
27/120/KEP/DIR tentang Tata Cara Tukar Menukar Informasi Antar-Bank,
tanggal 25 Januari 1995.
Permintaan informasi kepada bank lain diajukan secara tertulis oleh direksi bank
yang memerlukan, dengan menyebutkan secara jelas tujuan penggunaan
informasi yang diminta. Bank yang diminta informasinya oleh bank lainnya
wajib memberikannya secara tertulis sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Alasan lain untuk tukar menukar informasi ini adalah dalam rangka melakukan
kerja sama atau transaksi dengan bank, maka keterangannya dapat diminta dari
Bank Indonesia, yaitu mengenai keadaan dan status dari suatu bank. Informasi
mengenai bank yang dapat diberikan oleh Bank Indonesia meliputi:
1. Nomor dan tanggal akta dan pendirian dan izin usaha;
2. Status/jenis usaha;
3. Tempat kedudukan;
4. Susunan pengurus;
5. Permodalan;
6. Neraca yang telah diumumkan;
7. Pengikutsertaan dalam kliring;
8. Jumlah kantornya.
5. Pembukaan rahasia bank atas permintaan pemegang rekening
Pembukaan rahasia yang tidak dikenakan pidana, bisa saja dilakukan atas
permintaan nasabah penyimpan itu sendiri, bisa melalui diri nasabah itu sendiri
maupun melalui kuasa hukum nasabah pemegang rekening. Hal ini sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44A ayat (1) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang berbunyi:
“Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat
secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan
nasabah penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk
oleh nasabah penyimpan tersebut.”
6. Pembukaan rahasia bank karena kepentingan ahli waris
Jika nasabah penyimpan telah meninggal dunia, maka ahli waris dari nasabah
penyimpan tersebut berhak mengajukan permintaan untuk membuka keadaan
keuangan nasabah penyimpan yang telah meninggal tersebut. Hal ini bisa saja
untuk menyelesaikan hak dan kewajiban nasabah penyimpan di bidang
keuangannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44A
ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, yang berbunyi:
“Dalam hal nasabah penyimpan telah meniggal dunia, ahli waris yang sah dari
nasabah penyimpan yang bersangkutam berhak memperoleh keterangan
mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut.”
7. Pembukaan rahasia bank berkaitan dengan kewajiban memberikan laporan
Pembukaan rahasia bank berkaitan dengan Pelaksanaan kewajiban bank dalam
hal pelaporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan
(PPATK). Hal ini terdapat dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang berbunyi:
“Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh penyedia jasa keuangan yang
berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia bank sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank.”
c. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Pengawasan Dan Pembinaan Bank
Untuk menjaga kelangsungan bank, maka setiap bank mempunyai keharusan
untuk mematuhi kewajibannya kepada pihak yang bertanggungjawab dalam pengawasan
dan pembinaan bank, dalam hal ini Bank Indonesia dan/ atau otoritas jasa keuangan. Hal
tersebut mutlak diperlukan karena sebagai lembaga yang mengelola uang masyarakat
dalam jumlah yang besar, maka Bank Indonesia perlu mengetahui bagaimana perjalanan
kegiatan dan usaha bank yang dituangkan dalam bentuk laporan. Bank yang tidak
melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud diatas, maka telah melakukan tindak
pidana di bidang perbankan kelompok ini.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan
bahwa tindak pidana yang termasuk ke dalam jenis tindak pidana yang berkaitan dengan
rahasia bank, terdapat dalam Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (2)
Pasal 48 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa “Anggota Dewan
Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan
keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan
ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-
kurangnya Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Ayat (2) UU Perbankan menyebutkan bahwa, “Anggota Dewan Komisaris,
Direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Ayat (1) dan Ayat (2) dan Pasal 34 Ayat (1) dan
Ayat (2),diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun
danpaling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah.”
d. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Usaha Bank
Sehubungan dengan semakin banyak dan bervariasinya kegiatan dan usaha suatu
bank, maka bank tersebut perlu untuk menjaga kepercayaan masyarakat dengan cara
menggunakan dana nasabahnya secara bertanggungjawab yang diwujudkan dalam
bentuk laporan pertanggungjawaban yang akan diumumkan langsung kepada publik
melalui media massa, maupun diberikan kepada Bank Indonesia dan/ atau Otoritas Jasa
Keuangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan
bahwa tindak pidana yang termasuk ke dalam jenis tindak pidana yang berkaitan dengan
rahasia bank, terdapat dalam :
Pasal 49 Ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan Komisaris,
Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a. Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau
dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan
transaksi atau rekening suatu bank;
b. Menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya
pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau
laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
c. Mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan
adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam
dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu
bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan,
menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut.
Diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Pasal 49 UU Ayat (2) Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan
Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja :
a) Meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu
imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk
keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka
mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh
uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka
pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek,
dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainya, ataupun dalam rangka
memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana
yang melebihi batas kreditnya pada bank;
b) Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan
ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainya yang berlaku bagi bank,
Diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8
(delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Menurut penjelasan Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) butir a dan b, istilah pengawai
bank dalam pasal tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Dalam ketentuan Pasal
49 ayat (1) dan ketentuan Pasal 49 ayat (2) butir a bahwa yang dimaksud dengan pegawai
bank adalah semua pejabat dan karyawan bank, sedangkan dalam Pasal 49 ayat (2) butir b
yang dimaksud dengan pegawai bank adalah pejabat bank yang mempunyai wewenang
dan tanggungjawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha bank yang
bersangkutan.9
9 Hermansyah, Hukum Perbankan Indonesia Kencana, Jakarta, 2006, hal 156.
e. Tindak pidana yang berkaitan dengan sikap dan/ atau tindakan yang dilakukan
oleh pengurus, pegawai, pihak terafilisiasi, dan pemegang saham bank
Sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan dana yang dititipkan nasabah,
sudah sepatutnya para pihak tersebut menjaga amanat yang dititipkan kepada nasabah
dengan penuh rasa tanggung jawab dan kehati-hatian. Untuk mencegah terjadinya
penyelewengan kepercayaan nasabah, para pihak tersebut dapat melakukannya dengan
cara menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bukan malah
melakukan tindakan sebaliknya.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan
bahwa tindak pidana yang termasuk ke dalam jenis tindak pidana yang berkaitan dengan
rahasia bank, terdapat dalam:
Pasal 49 ayat (2) huruf b:
“Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan segaja tidak
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank
terhadap ketentuan dalan undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-
kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Pasal 50 :
“Pihak terafilisiasi yang dengan segaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang
ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan)
tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Pasal 50A:
“Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh dewan komisaris, direksi, atau
pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank
tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank
terhadap ketentuan undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan
lainya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7
(tujuh) tahun dan paling lama 15 (limabelas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah),”
Untuk Pasal 50A merupakan perwujudan dari prinsip piercing corporate veil.
Prinsip ini adalah pengecualian dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa “pemegang saham
perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama
perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang
dimiliki.”
2.2 Faktor- faktor yang Menyebabkan Terjadinya Tindak Pidana Perbankan
Bank adalah lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung pada kepercayaan para
nasabahnya, oleh karena itu bank harus melindungi kerahasiaan mengenai nasabah dan
simpanannya. Rahasia bank mutlak diperlukan bukan hanya untuk nasabah saja melainkan
juga mutlak perlu bagi kepentingan bank itu sendiri. Akan tetapi dalam hubungan tersebut
terdapat pula kewajiban bagi bank untuk melindungi nasabahnya kecuali jika ditentukan lain
oleh perundang-undangan yang berlaku.
Satu penyebab utama terjadinya kasus-kasus perbankan adalah lemahnya pengawasan
internal bank. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya unsur moral hazard, di mana pengawas
internal bank melakukan kolusi dengan oknum petugas bank dan oknum dari luar perbankan
untuk melakukan tindak kejahatan perbankan. Dengan kata lain kolusi pada bank, pihak bank-
lah yang menjadi objek penipuan atau penggelapan, sedangkan pelakunya bervariasi. Apa pun
variasinya, biasanya salah satu pihak yang berkolusi adalah oknum bank. Faktor inilah yang
seringkali menjadi biang keladi terjadinya fraud dan criminal perbankan yang berpotensi
merugikan bank secara finansial dan reputasi.
Arti yang terkandung dalam banking criminal (tindak pidana perbankan) tidak hanya
mencakup setiap perbuatan yang melanggar ketentuan Undang-undang Perbankan, melainkan
juga Undang-undang Bank Indonesia, KUHPidana, peraturan hukum pidana khusus seperti
Undang-undang tentang Pemutihan Uang (Money loundering), Undang-undang tentang
Peraturan Lalu Lintas Devisa dan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi cara melakukan (modus operandi) dilatarbelakangi
oleh pelaksanaan kehendak dan faktor-faktor lainnya, yaitu kesempatan (opportunity) berupa
kebetulan atau diciptakan; dan faktor kebutuhan (need) yang sebenarnya atau ditampilkan.
Apa pun modus operandinya sebenarnya hanya ada dua jenis kejahatan perbankan, yaitu
dalam bentuk error omission dan error comission.
Bentuk error omission adalah berupa pelanggaran terhadap suatu ketentuan berupa
sistem dan prosedur yang seharusnya dipatuhi tetapi tidak dilaksanakan. Sedangkan
bentuk error comission adalah berupa pelanggaran dalam bentuk melaksanakan sesuatu yang
seharusnya tidak boleh, tetapi karena tidak tertulis dalam sistem dan prosedur tetap saja
dilakukan. Kedua jenis pelanggaran itu walaupun modus operandinya sama tetapi mempunyai
sanksi yang berbeda. Bentuk pelanggaran error omission selalu ada sanksi adminsitratif yang
dimuat dalam ketentuan peraturan perundangan. Sementara error comission berupa sanksi
yang biasanya dimuat dalam code of conduct (kode etik).
Faktor - faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perbankan secara umum
antara lain :
adanya sikap yang buruk dari para karyawan bank atau pejabat bank;
kegagalan pihak staf bank untuk secara teliti mengikuti instruksi dan pedoman yang diatur
oleh bank;
keterlibatan aktif pada setiap tingkat pegawai (secara intern) maupun atas kerja sama
dengan orang luar;
tekanan dari pihak luar terhadap pegawai bank;
adanya persaingan usaha antar bank sehingga dapat terjadi suatu kerjasama antara pihak
bank dengan pihak luar untuk membongkar rahasia bank;
orang luar yang melakukan pemalsuan atau manipulasi terhadap warkat dan suart berharga
perbankan;
2.3 Pengaturan Lainnya di Indonesia Terhadap Tindak Pidana Perbankan
Selain yang diatur dalam UU Perbankan, tindak pidana di bidang perbankan juga berkaitan
dengan bidang lainnya sehingga perlu adanya suatu pengaturan khusus untuk bisa mengikuti
perjalanan tindak pidana di bidang perbankan, untuk kemudian menanggulanginya. Pengaturan
khusus tersebut berupa pengaturan dalam peraturan perundang-undangan khusus,
antara lain yaitu:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Sebagai peraturan yang mengatur secara tegas mengenai seluruh tindak pidana pada
umumnya, KUHP bisa dijadikan sebagai acuan untuk menanggulangi tindak pidana di bidang
perbankan. Hal ini dapat terjadi karena semakin hari semakin banyak pelaku dan motif dalam
tindak pidana di bidang perbankan, dimana pelaku tersebut melakukan tindak pidana umum yang
diatur dalam dalam KUHP. Semakin bervariasinya kegiatan dan usaha perbankan juga dapat
menjadi salah satu factor semakin terbuka lebarnya peluang untuk melakukan tindak pidana.
Pasal-pasal dalam KUHP yang digunakan untuk menanggulangi tindak pidana di bidang
perbankan, antara lain adalah:
a. Pasal 263 KUHP
Ayat (1): “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan
sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti
daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat
tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam
tahun.”
Ayat (2):“Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat
palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan
kerugian.”
Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 263 (1) KUHP tersebut adalah:10
1. Suatu surat yang dapat:
a. Menerbitkan suatu hak,
b. Berupa suatu perjanjian,
c. Berupa suatu penghapusan utang,
d. Dipakai untuk membuktikan sesuatu.
2. Membuat surat palsu atau memalsukan
Menurut doktrin, membuat surat palsu atau memalsukan, dibedakan menjadi:
a. Pemalsuan Intelektual, yakni asal surat sudah benar, tapi isi seluruhnya atau sebagian
bertentangan dengan keadaan sebenarnya.
10 Leden Marpaung, Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Terhadap Perbankan Djambatan, Jakarta, 2005, hal. 79
b. Pemalsuan Material, yakni baik isi maupun asal surat bertentangan dengan yang sebenarnya.
Dengan kata lain, mengubah suatu surat baik isi, dan/ atau tanda tangan, bertentangan dengan
keadaan yang sebenarnya.
3. Maksud untuk memakai surat palsu atau dipalsu itu seolah-olah surat itu asli (tulen) dan tidak
dipalsu. Dalam hal ini tidak perlu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai maksud
untuk menipu atau merugikan orang lain.
4. Dapat menimbulkan atau mendatangkan kerugian. Pengertian kerugian dalam hal ini tidak
perlu suatu kerugian material dan mengenai orang tertentu, tapi juga dapat berkenaan dengan
kerugian immaterial, misalnya kerugian terhadap kesopanan atau masyarakat umum.
Berdasarkan uraian tersebut maka terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pegawai bank atau
pihak-pihak terafiliasi yang mengeluarkan surat atau dokumen palsu yang berhubungan dengan
bank baik dalam penyampaian informasi produk bank yang tidak benar maka terhadapnya dapat
dikenakan Pasal 262 KUHP karena termasuk dalam perbuatan penipuan.
b. Pasal 264 KUHP
Ayat (1):“Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika
dilakukan terhadap:
1. Akta-akta otentik;
2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu Negara atau bagiannya ataupun dari suatu
lemabaga umum;
3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari sesuatu perkumpulan, yayasan,
perseroan atau maskapi;
4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan
3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan”. Ayat (2): “Diancam
dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam
ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak
dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.”
Berdasarkan rumusan Pasal 264 KUHP tersebut, yang perlu dicermati adalah pengertian
dari akta autentik dan akta di bawah tangan.11 Pengertian akta autentik terdapat di dalam
Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:
“Suatu akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu di tempat di mana akta dibuat.”
Selanjutnya dalam Pasal 1869 KUH Perdata dijelaskan bahwa jika bentuk akta dalam
keadaan cacat/ tidak sesuai maka disamakan dengan tulisan di bawah tangan. Pengertian
akta di bawah tangan dijelaskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yaitu: “Tulisan-tulisan
di bawah tangan dianggap sebagai akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-
surat register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa
seorang pegawai umum.”
c. Pasal 362 KUHP
“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah.”
Dari rumusan Pasal 362 di atas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana di bidang
perbankan yang terjadi adalah dengan menjadikan bank sebagai sasaran atau objek tindak
pidana.
d. Pasal 363 KUHP
“Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, dihukum: (4e) Pencurian yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih”
11 Ibid., hal. 82
Pencurian di bank sering dilakukan orang luar bersama-sama dengan karyawan bank, atau
pengurus dan direksi bank. Tindak pidana ini juga menjadikan bank sebagai sebagai
sasaran dan objek tindak pidana.
e. Pasal 372 KUHP
“Barang siapa dengan segaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus
rupiah”.
Dari rumusan Pasal 372 KUHP tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tindakan
tersebut bukanlah berasal atau bersumber dari kejahatan, misalnya mencuri, akan tetapi
hasil akhir tindak pidana tersebut telah melanggar hak orang lain yang sah di mata
hukum. Dewasa ini tindak pidana semacam ini sangat sering terjadi. Hal ini didukung
oleh faktor bahwa simpanan nasabah ditata sedemikian canggihnya melalui teknologi
komputerisasi, sehingga orang yang memiliki keahlian di bidang teknologi mudah untuk
memanipulasinya.
f. Pasal 374 KUHP
“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang
disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat
upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Rumusan yang terdapat dalam Pasal 374 KUHP tersebut sangat sesuai dengan realitas
yang terjadi terhadap tindak pidana di bidang perbankan saat ini. Pihak yang
penguasaannya terhadap barang disebabkan karena adanya hubungan kerja atau karena
pencarian atau mendapat upah karena itu, bisa disematkan pada pihak terafiliasi pada
umumnya, dan pegawai bank pada khususnya. Sebagai pihak yang bersentuhan langsung
dengan dana nasabah, peluang untuk melakukan tindak pidana sangat terbuka lebar.
g. Pasal 378 KUHP
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang
diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Berdasarkan rumusan Pasal 378 KUHP tersebut, maka unsur-unsur tindak pidana
penipuan adalah:12
a. Membujuk orang supaya menyerahkan suatu barang, supaya membuat suatu utang atau
supaya menghapuskan suatu piutang. Hal tersebut biasanya disebut sebagai objek
penipuan.
b. Maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum.
c. Mempergunakan cara-cara: memakai nama palsu, memakai kedudukan palsu,
mempergunakan tipu muslihat, dan membohong.
Berdasarkan uraian tersebut diatas unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal tersebut juga
merupakan unsur-unsur yang dilakukan dalam praktek kejahatan perbankan yang mana
hal ini dapat terlihat jelas dalam kasus yang dialami oleh nasabah Bank Century yang
mengalami kerugian material akibat produk yang ditawarkan oleh Bank Century yaitu
produk Reksa Dana yang ternyata adalah produk yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan oleh bank.
2. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang
12 Ibid,. hal. 83
Salah satu tindak pidana yang berhubungan dengan dunia perbankan adalah
tindak pidana pencucian uang. Dengan perkataan lain, Pencucian uang (money
laundering) adalah salah satu bentuk tindak pidana yang menggunakan jasa pernbankan
berhubungan dengan hasil kejahatan yang dilakukannya. Pencucian uang (money
laundering) adalah suatu tindakan dari seorang pemilik guna membersihkan uangnya
dengan cara menginvestasi atau menyimpannya di lembaga keuangan, dimana tindakan
tersebut disebabkan uangnya merupakan hasil dari suatu tindakan yang melanggar
hukum.13
Sedangkan pengertian hukum dari pencucian uang adalah sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang berbunyi
sebagai berikut:
“Segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini.”
Dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang, digunakan kata “setiap perbuatan”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subjek atau pelaku dari tindak pidana
pencucian uang adalah segala perbuatan orang perseorangan dan/ atau badan hukum.
Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan,
penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain
yang berhubungan dengan uang. 14
Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan transaksi mencurigakan adalah:
a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan dari
pengguna jasa yang bersangkutan;
13 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 59814 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 1 angka 4
b. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan
untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh
Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan UndangUndang ini;
c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta
kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana;
d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor
karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana.
Penyebutan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur
adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Nomor 8
Tahun 2010, dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku
melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak
pidana.
Untuk dapat menentukan masuk tidaknya suatu hasil tindak pidana termasuk
dalam tindak pidana pencucian uang adalah dengan cara membuktikan bahwasannya
telah benar terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan. Yang dilihat disini
adalah bahwa memang adanya hubungan sebab akibat antara tindak pidana yang
dilakukan dengan hasil dari tindak pidana tersebut yang berupa harta kekayaan.
Dalam pencucian uang, ada tahapan-tahapan yang sering dilalui oleh pelaku tindak
pidana pencucian uang, yaitu:
a. Tahap penempatan (placement), merupakan tahap pengumpulan dan penempatan uang
hasil kejahatan pada suatu bank atau tempat tertentu yang diperkirakan aman guna
mengubah bentuk uang tersebut agar tidak teridentifikasi, biasanya sejumlah uang tunai
dalam jumlah besar dibagi dalam jumlah yang lebih kecil dan ditempatkan pada beberapa
rekening di beberapa tempat;
b. Tahap pelapisan (layering), merupakan upaya untuk mengurangi jejak asal muasal
uang tersebut diperoleh atau ciri-ciri asli dari uang hasil kejahatantersebut atau nama
pemilik uang hasil tindak pidana, dengan melibatkan tempat-tempat atau bank di negara-
negara dimana kerahasiaan bank akan menyulitkan pelacakan jejak uang.
c. Tahap penggabungan (integration), merupakan tahap mengumpulkan dan menyatukan
kembali uang hasil kejahatan yang telah melalui tahap pelapisan dalam suatu proses arus
keuangan yang sah. Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan sulit
untuk dikenali sebagai hasil tindak pidana, muncul kembali sebagai asset atau investasi
yang tampak legal.
Selain tindak pidana pencucian uang itu sendiri, ternyata dalam pengaturan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ditemukan tindak pidana
lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang. Tindak pidana tersebut diatur
dalam pasal-pasal sebagai berikut:
1. Pasal 8 UU Tindak Pidana Pencucian Uang
Ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh penyedia jasa keuangan kepada Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, yaitu memberikan laporan tentang adanya:15
a. Transaksi keuangan mencurigakan;
b. Transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya
setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam
satu hari kerja. Penyedia jasa keuangan yang lalai melakukan kewajiban tersebut diancam
dengan Pasal 8 yang berbunyi:
“Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada
PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), dipidana dengan pidana denda 15 Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Op. Cit., Pasal 13 ayat 1
paling sedikit Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
2. Pasal 9 UU Tindak Pidana Pencucian Uang
Dalam Pasal 16 disebutkan bahwa setiap orang yang membawa uang tunai berupa
rupiah sejumlah Rp. 100.000.000,00 atau lebih, atau mata uang asing yang nilainya
setara dengan itu ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, harus
melaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea Cukai. Pelanggaran terhadap ketentuan
dalam Pasal 16 tersebut diancam dengan Pasal 9, yang berbunyi: “Setiap orang yang tidak
melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
atau lebih, atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar
wilayah Negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).”
3. Pasal 10 UU Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam Pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, atau
Hakim wajib merahasiakan identitas pelapor, dimana dilarang menyebut nama atau
alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan terungkapnya identitas pelapor.
Pelanggaran ketentuan yang terdapat dalam Pasal 39 ayat (1) tersebut diancam dalam
Pasal 10 yang berbunyi:
“PPATK, Penyidik, Saksi, Penuntut Umum, Hakim, atau orang lain yang bersangkutan
dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 41 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga)
tahun.”
4. Pasal 10A UU Tindak Pidana Pencucian Uang.
Aparat penegak hukum atau siapapun yang terkait selain wajib merahasiakan identitas
pelapor atau saksi, juga wajib merahasiakan dokumen dan atau keterangan yang
diperolehnya karena apabila tidak dapat merahasiakannya, diancam dengan Pasal 10A,
yang berbunyi:
Ayat (1): “PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang
memperoleh dokumen dan/ atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya
menurut undang-undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/ atau keterangan tersebut
kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut undang-undang ini.”
Ayat (2): “Sumber keterangan dan laporan transaksi keuangan mencurigakan wajib
dirahasiakan dalam pengadilan.”
Ayat (3): “Pejabat dan pegawai PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan
siapapun juga yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat 1 dan ayat 2
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun.”
Ayat(4): “Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas tahun).”
5. Pasal 17A UU Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ketentuan dalam Pasal 17A ayat 1 dan 2 dibuat untuk menjamin kerahasiaan penyusunan
dan penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan kepada
PPATK atau penyidik (anti tipping off). Hal ini dimaksud antara lain untuk mencegah
berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencurian sehingga
mengurangi efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Pelanggaran ketentuan Pasal 17A ayat (3), yang berbunyi:
“Direksi, pejabat atau Pegawai Penyedia Jasa Keuangan, Pejabat atau Pegawai PPATK
serta Penyidik/ penyelidik yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).”
2.4 Salah Satu Kasus Tindak Pidana Perbankan di Indonesia
Nasabah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Daud Wibawa menuntut tanggung jawab atas
hilangnya dana dalam rekening miliknya. Daud telah melaporkan kasus ini ke Kepolisian
Polda Metro Jaya. Laporan atas hilangnya sejumlah Rp 5 miliar dana milik Daud ini tertuang
dalam laporan polisi nomor Lp/899/XI/2012/PMJ/Bareskrim tertanggal 21 November 2012.
Daud menuturkan, dirinya menjadi korban kejahatan perbankan yang dilakukan Bank
Mandiri. Ia mengaku bahwa tindak pidana perbankan yang menimpa dirinya terjadi sejak Mei
2003 sampai dengan September 2011.
Daud Wibawa merupakan seorang nasabah Bank Mandiri Cabang Krekot. Berbagai
dugaan tindak pidana kejahatan perbankan yang terjadi pada dirinya diantaranya adalah pada
18 Februari 2008, pada bilyet giro nomor seri OG 834492 dicairkan oleh pihak Bank Mandiri
adalah nomor rekening pada bilyet giro dan nama penarik tidak sesuai.
Kemudian pada 3 Juni 2008 terjadi pendebetan sebesar Rp 825.160 di rekening Daud.
Pada 21 November 2008, terjadi transfer sebesar Rp 200 juta dari Bank Mandiri Cabang
Krekot tanpa tanda tangan nasabah dan bisa dicairkan untuk pembelian investasi Sidana
Proteksi Batavia III. Tetapi pada surat subscription Sidana Proteksi Batavia III tercantum
hanya Rp 100 juta. “Sedangkan surat subscription yang asli masih ada pada nasabah dan bisa
dicairkan oleh Bank Mandiri,” kata Daud dalam surat pembaca tersebut.
Selain itu, yang menurut Daud juga merupakan hal yang mencurigakan adalah adanya
perpindahan dana dari rekening miliknya di Bank Mandiri yang berpindah ke rekening atas
nama Daud Wibawa di Bank Danamon. Padahal, kata Daud, pihaknya tidak pernah
memerintahkan ataupun menginginkan perpindahan dana senilai Rp 1 miliar tersebut.
Daud menceritakan bahwa pada tanggal 11 September 2009, Bank Mandiri mentransfer
dana sejumlah Rp 1 miliar ke Bank Danamon dari rekening Bank Mandiri atas nama Daud
Wibawa ke rekening Bank Danamon atas nama Daud Wibawa. Pada hari yang sama juga,
Bank Danamon mendepositokan dana tersebut dan dicairkan oleh Bank Danamon tanpa
sepengetahuan nasabah pada tanggal 12 April 2010.
Daud bilang, atas berbagai jenis investasi dan berbagai transaksi perbankan yang
mengatasnamakan dirinya, kerugian yang ia derita setidaknya mencapai Rp 5 miliar. Atas
dugaan pelanggaran hukum ini, Daud telah berupaya untuk meminta data rekening koran
kepada Bank Mandiri. Namun upaya tersebut ditolak.
Selain itu, Daud juga telah menemukan adanya bukti dugaan pemalsuan tandatangan
dirinya yang diduga dilakukan oleh oknum perbankan. Selain itu, kubu Daud menduga
adanya rekayasa dan manipulasi data yang dilakukan oleh Bank Mandiri dan juga Bank
Danamon.
Analisa :
Kasus tersebut menurut kami merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan usaha
bank dan segala tindakan yang dilakukan oleh pengurus dan pegawai bank sehingga
merugikan nasabah. Pihak bank dirasa tidak bertanggung jawab atas dana nasabahnya karena
setelah kami wawancara kepada salah satu pegawai Bank Mandiri Cabang Krekot, Jakarta,
pegawai tersebut seakan- akan menutupi permasalahan tersebut. Daud telah dirugikan sebesar
Rp. 5 Miliar dikarenakan beberapa transaksi yang dilakukan oleh pihak bank tanpa
sepengetahuan dan persetujuan Daud sebagai nasabahnya dan terkait pemalsuan tanda tangan
yang dilakukan oleh pihak bank agar transaksi-transaksi tersebut di atas dapat berjalan, serta
terkait penolakan oleh pihak bank terhadap nasabah yang meminta data rekening koran milik
nasabah tersebut.
Dalam bidang perbankan, nasabah memiliki hak untuk mengetahui semua data rekening
atau transaksi terhadap rekening tersebut (terkait rahasia bank). Berdasarkan Pasal 44 A ayat
(1) UU No. 7 Tahun 1992, Pembukaan rahasia yang tidak dikenakan pidana, dilakukan atas
permintaan nasabah penyimpan itu sendiri, bisa melalui diri nasabah itu sendiri maupun
melalui kuasa hukum nasabah pemegang rekening.
Dalam kasus tersebut bank dapat disangka telah melakukan tindak pidana yang
berkaitan dengan Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50A UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 karena :
1. Penarikan dana rekening nasabah melalui Bilyet Giro yang mana nomor rekening pada
bilyet giro dan nama penarik tidak sesuai.
2. Untuk transaksi di atas Rp. 100.000.000,- dalam kasus tersebut tidak menggunakan tanda
tangan pemilik rekening. Saat ini berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
16/18/DPSP tanggal 28 November 2014, untuk transaksi Rp. 100.000.000,- sampai dengan
Rp. 500.000.000,- BI menyelenggarakan layanan pembayaran nontunai menggunakan
Sistem Kliring Nasional BI (SKNBI) dan BI Real Time Gross Settlement (BI-RTGS)
namun untuk transaksi di atas Rp. 500.000.000,- hanya menggunakan sistem BI-RTGS.
Untuk melakukan transaksi nominal besar seperti yang disebutkan pada kasus tersebut
seharusnya dilakukan di bank langsung dengan mengisi slip setoran yang harus
ditandatangani oleh pemilik rekening dan bank sebelum melakukan transaksi akan
meminta identitas pemilik guna mencocokan kebenaran kepemilikan rekening. Namun
dana nasabah pada kasus tersebut dapat dicairkan tanpa adanya tanda tangan pemilik
rekening maka terdapat indikasi pemalsuan tanda tangan terhadap transaksi tersebut.
KELOMPOK 13
Pembahasan
A. Pengertian Prinsip Kehati – hatian (Prudential Banking)
Menurut ketentuan Pasal 2 Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 dikemukakan bahwa
perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan Demokrasi Ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati – hatian. Prinsip kehati – hatian atau dikenal juga dengan prudential
banking merupakan suatu prinsip yang penting dalam praktik dunia perbankan di Indonesia sehingga
wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Istilah prudent sangat terkait dengan pengawasan dan manajemen bank. Kata prudent itu
sendiri secarara harafiah dalam bahasa Indonesia berarti bijaksana, namun dalam dunia perbankan
istilah itu digunakan untuk asas kehati – hatian.
Prinsip kehati – hatian tersebut mengharuskan pihak bank selalu berhati –hati dalam
menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan
perundang – undangan di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikad baik. Pengertian
prinsip kehati –hatian sendiri adalah prinsip pengendalian risiko melalui penerapan peraturan
perundang – undangan ketentuan yang berlaku secara konsisten.
Tujuan dari penerapan prinsip kehati – hatian ini adalah untuk menjaga keamanan, kesehatan,
dan kestabilan sistem perbankan peraturan perundang – undangan ketentuan yang berlaku secara
konsisten. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 4 ayat 1 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1999
tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, dinyatakan bahwa prinsip kehati – hatian adalah
salah satu upaya untuk meminimalkan risiko usaha dalam pengelolaan bank, baik melalui ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maupun ketentuan intern bank yang bersangkutan.
Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia pasal 25 ayat 1 mengatur
mengenai wewenang Bank Indonesia untuk mengatur mengenai prinsip kehati – hatian bagi usaha
bank dengan menyatakan bahwa ”Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank, Bank Indonesia
berwenang menetapkan ketentuan – ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati – hatian.”
Dalam penjelasan Pasal 25 ayat 1 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia tersebut dijelaskan bahwa ketentuan – ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati –
hatian bertujuan untuk memberikan rambu – rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan
guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Mengingat pentingnya tujuan tersebut maka
peraturan – peraturan mengenai prinsip kehati – hatian yang ditetapkan Bank Indonesia harus
disesuaikan dengan standar internasional dan harus didukung dengan sanksi – sanksi yang adil.
Penerapan prinsip kehati-hatian dalam seluruh kegiatan perbankan merupakan salah satu
cara untuk menciptakan perbankan yang sehat, yang pada gilirannya akan berdampak positif
terhadap perekonomian secara makro maupun mikro atau mungkin negatif apabila prinsip
kehati-hatian tersebut disalahgunakan. Terutama prinsip kehati-hatian yang ada pada kebanyakan
BPRS yang sebagian besar menyalahgunakan prinsip kehati-hatian tersebut, terutama dalam
pemberian kredit pada nasabah (pemberian kredit bermasalah yang timbul akibat adanya
hubungan keluarga antara pihak bank dan nasabah maupun keinginan bank untuk berekspansi).
Serta, diketahui bahwa peer control sangat rendah pada nasabah yang memiliki hubungan
keluarga.
Kondisi ini akan memicu munculnya moral hazard (ketidakjujuran) dan adverse selection
sehingga meningkatkan potensi terjadinya penyimpangan penggunaan pembiayaan yang pada
akhirnya meningkatkan kredit macet/pembiayaan bermasalah, dan kesulitan nasabah dalam
mengembalikan modal. Padahal, apabila seorang investor berani mendirikan bank, dia harus
berani pula menanggung risiko menghadapi kesulitan menagih kredit/pembiayaan yang
diberikan kepada debitur tertentu. Sebab, nantinya pembiayaan bermasalah juga
menghambat dampak ganda positif (multiplier effects) investasi dana, karena dana yang
diberikan kepada debitur bermasalah terlambat kembali atau tidak kembali lagi kepada
bank kreditur. Dengan demikian, dana tersebut tidak dapat diputar kembali kepada debitur
lain yang membutuhkannya untuk mengembangkan operasi bisnisnya. Oleh karena itu,
diperlukan prinsip kehati-hatian yang didalamnya terdapat screening (penyaringan
terhadap calon nasabah maupun proyek yang akan dibiayai) dan monitoring yang dimiliki oleh
setiap bank dalam menangani kredit bermasalah secara professional, serta mencegahnya
terulang kembali.
a. Praktik Prinsip Kehati-hatian
Dalam praktiknya, prinsip kehati-hatian memiliki sekurang-kurangnya 5 prinsip
meliputi:
1. Watak (character), yang berarti, bank harus dapat menilai calon debitor
memiliki pembawaan, karakter, dan sifat-sifat yang baik dalam melaksanakan
kewajiban-kewajibannya (kewajiban dalam membayar pinjaman).
2. Kemampuan (capacity), yang berarti, bank harus dapat menilai calon debitor
Memiliki kemampuan-kemampuan secara ekonomis (pada masa sekarang dan
masa mendatang) dalam melakukan pembayaran pinjamannya.
3. Modal (capital), yang berarti, bank harus dapat menilai calon debitor memiliki
aset-aset ekonomis yang dapat dijadikan sarana calon debitor melaksanakan
kewajiban-kewajibannya (melakukan pembayaran pinjaman).
4. Jaminan (collateral), yang berarti, bank harus dapat menilai aset calon debitor yang
dijaminkan memiliki nilai ekonomis yang proposional dengan jumlah pinjaman
(pembiayaan) yang diberikan bank kepada calon debitor.
5. Kondisi ekonomi (condition of economy), yang berarti bank harus dapat menilai
stabilitas kondisi ekonomi dan keuangan calon debitor, pada saat peminjaman dan
perkiraan pada masa mendatang.
Serta, adanya penyaringan (screening) terhadap calon nasabah dan proyek yang
akan dibiayai sebagai cerminan dari prinsip kehati-hatian. Kemudian, terdapat tiga
langkah monitoring yang dapat ditempuh bank menurut kasus pembiayaan dan juga
efisiensi biaya dan waktu yaitu pemantauan pembiayaan secara administrative (on
disk monitoring), pemantauan langsung ke lapangan (on side monitoring).
Memberikan tekanan pada hal-hal yang kurang berjalan (exception monitoring).
Berkaca pada penjelasan di atas, maka sekiranya dibutuhkan kesinergisan
antara teori dan praktik dalam hal pelaksanaan prinsip kehati- hatian.
B. Dasar Hukum Prinsip Kehati – hatian
Meskipun Undang-Undang Perbankan tidak menjelaskan secara pasti mengenai
pengertian prinsip kehati-hatian namun pengaturan mengenai prinsip kehati-hatian (prudential
banking) secara eksplisit tersirat pada Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 sebagai perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yaitu pada pasal 29 ayat 2,3, dan
4 yang menyatakan :
a. ayat 2 :
Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan
modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan
aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan
usaha sesuai dengan prinsip kehati – hatian.
b. ayat 3 :
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan
melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara – cara yang tidak
merugikan bank dan kepentingan nasabah yang memercayakan dananya kepada
bank.
c. ayat 4 :
untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai
kemungkinan terjadinya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang
dilakukan melalui bank.
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (2) di atas, maka tidak ada alasan apapun juga bagi
pihak bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati – hatian dalam menjalankan kegiatn usahanya
dan wajib menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian. Ini mengandung arti, bahwa segala perbuatan
dan kebijaksanaan yang dibuat dalam rangka melakukan kegiatan usahanya harus senantiasa
berdasarkan kepada peraturan perundang – undangan yang berlaku sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) terkandung arti perlunya diterapkan prinsip
kehati – hatian dalam rangka penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
kepada nasabah debitor.
Sedangkan ketentuan pasal 29 ayat (4) sangat erat kaitannya dengan dua pasal
sebelumnya menyangkut perlindungan bagi kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya.
Hal menarik dalam ketentuan prinsip kehati – hatian bank adalah kewajiban bagi bank
menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan
transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank sebagaimana dinyatakan dalam pasal 29 ayat 4
diatas. Penyediaan informasi tersebut dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi
mengenai bank menjadi lebih terbuka. Apabila informasi tersebut telah dilaksanakan maka bank
dianggap telah melaksanakan ketentuan ini. Ketentuan ini juga menunjukkan bahwa bank benar
– benar memiliki tanggung jawab dengan nasabahnya. Hal ini sangat relevan dengan konsep
hubungan antara bank dengan nasabahnya yang bukan hanya sekedar hubungan antara debitur
dengan kreditur melainkan juga hubungan kepercayaan.
Sebenarnya dalam pasal – pasal sebelumnya, Undang – Undang Perbankan secara tersirat
juga pengaturan mengenai prinsip kehati – hatian, antara lain :
1. pasal 8
”Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai yang
diperjanjikan”
2. pasal 11
(1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan,
penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat
dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait,
termasuk kepada perusahaan – perusahaan dalam kelompok yang sama dengan
bank yang bersangkutan.
(2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi
30% (tiga puluh persen) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan,
penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat
dilakukan oleh bank kepada :
a. pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih
dari modal disetor bank;
b. anggota Dewan Komisaris;
c. anggota Direksi;
d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c;
e. pejabat bank lainnya; dan
f. perusahaan – perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan
dari pihak – pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e.
(4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi
30% (tiga puluh persen) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4A) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank
dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4).
Pengertian prinsip kehati hatian dalam Undang – Undang Perbankan baik dalam
ketentuan maupun penjelasannya tidak dijelaskan secara pasti, melainkan hanya menyebutkan
istilah dan ruang lingkupnya saja sebagaiman dijelaskan dalam pasal – pasal diatas. Dalam
bagian akhir ayat 2 misalnya disebutkan bahwa bank wajib menjalankan usaha sesuai dengan
prinsip kehati-hatian, dalam arti wajib senantiasa memelihara tingkat kesehatan bank,
kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas dan aspek lain yang
berhubungan dengan usaha bank. Apa yang dimaksud dengan aspek lain tersebut, Undang –
Undang Perbankan tidak menjelaskannya.
Dalam sejarah perbankan Indonesia, ketentuan mengenai prinsip kehati – hatian pernah
diatur secara khusus dalam beberapa Paket Kebijakan Deregulasi, misalnya Paket Kebijakan
Regulasi 25 Maret 1989 dan Paket Kebijakan Regulasi Februari 1991. Kebijakan Maret 1989
mencakup pengaturan mengenai masalah – masalah merger, permodalan, batas pinjaman,
penyertaan oleh bank dan pemberian kredit investasi, kredit ekspor, pemilikan bank campuran,
dan ketentuan mengenai Bank Perkreditan Rakyat. Paket ini antara lain
mengatur/menyempurnakan ketentuan – ketentuan tentang :
1. peleburan dan penggabungan usaha bank;
2. penyempurnaan ketentuan tentang pendanaan dan usaha BPR;
3. pemilikan modal bank campuran;
4. pengertian kredit ekspor;
5. pengertian modal sendiri;
6. batas maksimum pemberian kredit kepada debitor, debitor grup, pengurus, serta
pemegang saham dan keluarganya;
7. penggunaan tenaga kerja asing;
8. pemeliharaan likuiditas wajib minimum dalam rupiah dan valuta asing
9. posisi devisa neto (PDN);
10. pengawasan dan pembukuan LKBB;
11. pemberian kredit investasi dan penyertaan oleh bank dan LKBB;
12. pajak atas bunga deposito berjangka,sertifikat deposito milik bank dan LKBB;
13. lembaga penunjang pasar modal.
Paket Kebijakan Regulasi Januari 1991 merupakan pengembangan dari Paket Kebijakan
Regulasi Maret 1989. Paket Kebijakan Januari 1991 berupa pengaturan mengenai prudential
regulation (prinsip kehati – hatian).
Paket ini dilandasi keadaan dan kondisi perbankan khususnya dan perekonomian yang
kurang menggembirakan umumnya. Paket Januari 91, antara lain berisikan asas kehati – hatian
bagi perbankan, pihak Bank Indonesia meminta agar kalangan perbankan nasional memenuhi
CAR (capital adequacy ratio, yaitu perbandingan antara modal sendiri dan aset tertimbang
menurut risiko) sebesar 5% pada 31 Maret 1992, kemudian 7% pada 31 April 1993, dan harus
menjadi 8% pada 31 Desember 1993.
Ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati – hatian (prudential regulation) yang
meliputi :
1. permodalan bank.
2. kualitas aktiva dan pembentukan cadangan.
3. jaminan pemberian kredit.
4. kredit untuk pembelian saham dan pemilikan saham oleh bank.
5. batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit).
6. garansi bank.
7. margin trading.
8. PDN.
9. swap dan swap ulang.
Ruang lingkup aturan mengenai prinsip kehati – hatian pada masa sekarang telah banyak
disinggung khususnya dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Aturan – aturan
tersebut antara lain:
1. Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No.27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret
1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan
Bank (PPKPB) bagi Bank Umum.
2. Peraturan Bank Indonesia No.9/16/PBI/2007 tentang perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia No.7/15/PBI/2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum.
Peraturan Bank Indonesia No.8/13/PBI/2006 tentang perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia No.7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
Bank Umum.
3. Surat Edaran Bank Indonesia kepada Bank Umum No.9/12/DPNP tanggal 30 Mei
2007 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) bagi Bank Umum.
4. Peraturan Bank Indonesia No.10/25/PBI/2008 tentang perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia No.10/19/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank
Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing.
C. Cakupan Dalam Prinsip Kehatian-hatian Kegiatan Perbankan
Setiap rupiah yang disalurkan dalam bentuk kredit, bank harus berkeyakinan bahwa akan
digunakan oleh debitur sesuai dengan perjanjian dan debitur mau serta mampu
mengembalikannya kepada bank sesuai dengan waktu dan jumlah yang sudah diperjanjikan.
Bank juga harus secara hati-hati dalam pengelolaan portfolio yang dimiliki, sehingga selalu
dalam kondisi baik.
Setiap bank senantiasa menerapkan prinsip kehati – hatian (prudential banking) dalam
pemberian kredit. Prinsip kehati – hatian tersebut dimuat dan ditetapkan secara jelas di dalam
Kebijakan Pemberian Kredit (KPB) yaitu meliputi sebagai berikut:
1. Kebijakan pokok dalam perkreditan yang memuat pokok – pokok mengenai
a. tata cara pemberian kredit yang sehat
b. pemberian kredit kepada pihak yang terkait dengan bank
c. pemberian kredit kepada debitur – debitur besar tertentu
d. pemberian kredit yang mengandung resiko yang tinggi
e. pemberian kredit yang perlu dihindari
2. Tata cara penilaian kualitas kredit, yaitu penilaian kualitas kredit harus berdasarkan pada
suatu tata cara yang bertujuan untuk memastikan bahwa hasil penilaian kolektibilitas
kredit yang dilakukan oleh bank telah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
3. Profesionalisme dan integritas pejabat perkreditan
Dalam KPB dinyatakan bahwa semua pejabat bank yang terkait dengan perkreditan
termasuk anggota – anggota Dewan Komisaris dan Direksi sekurang – kurangnya harus :
a. melaksanakan kemahiran profesionalnya di bidang perkreditan secara jujur,
obyektif, cermat, dan seksama
b. menyadari dan memahami sepenuhnya pasal 49 ayat 2 Undang – Undang
Perbankan serta menjauhkan diri dari perbuatan –
perbuatan sebagaimana disebutkan dalam pasala tersebut.
Sebagai otoritas perbankan, Bank Indonesia menetapkan berbagai peraturan yang terkait
dengan penerapan prinsip kehati-hatian bagi bank.
Berdasarkan SK DIR BI No.26/20/KEP/DIR, Tanggal 29 Mei 1993 dan SE BI
No.26/2/BPPP Tanggal 29 Mei 1993, Cakupan Prinsip Kehati-hatian, meliputi:
1. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
2. Kualitas Aktiva Produktif (KAP)
3. Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
4. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)
1. KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM (KPMM)
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor:8/18/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006
tentang Penyediaan Modal Minimum BPR, ditetapkan sebagai berikut :
1. BPR wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% dari ATMR (Aktiva
Tertimbang Menurut Risiko).
2. Modal terdiri dari modal inti dan modal pelengkap.
Modal inti terdiri dari: modal disetor; agio; dana setoran modal; modal sumbangan;
cadangan umum; cadangan tujuan; laba ditahan setelah diperhitungkan pajak; laba
tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak; dan laba tahun berjalan
diperhitungkan 50% setelah taksiran pajak.
Modal pelengkap hanya dapat diperhitungkan setinggi-tingginya 100% dari modal
inti.
3. BPR dilarang melakukan distribusi laba jika distribusi dimaksud mengakibatkan
kondisi permodalan BPR tidak mencapai rasio 8%
Implikasi KPMM terhadap prinsip kehati-hatian bank yaitu, KPMM dikaitkan dengan
penilaian tingkat kesehatan bank, sehingga bank akan selalu berupaya agar rasio CAR (Capital
Adequacy Ratio) pada tingkat yang aman. Portfolio kredit yang diberikan merupakan komponen
besar dari ATMR secara langsung mempengaruhi rasio CAR, sehingga ekspansi kredit harus
selalu memperhitungkan dampaknya terhadap nilai rasio CAR. Disamping itu, bank akan selalu
berupaya meningkatkan laba dan menghindari kerugian, karena laba/rugi setelah pajak akan
mempengaruhi komponen modal inti bank.
Selain itu juga ada ketentuan bahwa apabila rasio CAR lebih kecil dari 4%, BPR akan
ditetapkan dalam pengawasan khusus Bank Indonesia. Pada status DPK, bank hanya diberi
kesempatan 180 hari untuk meningkatkan rasio CAR hingga mencapai minimal 4% dan ruang
gerak operasional dapat menjadi sangat terbatas. Bank dalam status DPK sering juga diibaratkan
manusia masuk ICU, sehingga kondisi seperti ini harus dihindari.
2. KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF (KAP)
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor:8/19/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006
tentang Kualitas Produktif dan Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif BPR dan Peraturan
Bank Indonesia nomor 13/26/PBI/2011 tentang Perubahan atas PBI no 8/19/PBI/2006,
ditetapkan sebagai berikut :
1. Aktiva Produktif adalah penyediaan dana BPR dalam Rupiah untuk memperoleh
penghasilan, dalam bentuk Kredit, Sertifikat Bank Indonesia dan Penempatan Dana
Antar Bank.
2. Aktiva Produktif yang diklasifikasikan adalah aktiva produktif yang sudah
mengandung potensi tidak memberikan penghasilan atau menimbulkan kerugian bagi
BPR.
3. Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Kredit ditetapkan dalan 4 (empat) golongan,
yaitu Lancar, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.
4. Kualitas Aktiva Produktif dalam bentuk Penempatan Dana Antar Bank ditetapkan
dalam 3 (tiga) golongan sebagai berikut : Lancar, Kurang Lancar dan Macet.
5. Kualitas Aktiva Produktif yang ditetapkan oleh BPR dapat diturunkan oleh Bank
Indonesia denganprofessional judgement apabila terjadi kondisi sebagai berikut:
a. Debitur tidak diketahui lagi keberadaannya dan /atau
b. Usaha Debitur bangkrut
Implikasi KAP terhadap prinsip kehati-hatian bank yaitu, rasio KAP termasuk dalam
unsur penilaian tingkat kesehatan bank (TKS), dimana rasio KAP dihitung sebagai Aktiva
Produktif yang diklasifikasikan dibagi dengan Total Aktiva Produktif. Dengan demikian bank
akan selalu berupaya meningkatkan kualitas aktiva produktifnya dan selalu berhati-hati di dalam
pengalokasian aktiva produktifnya.
Kredit yang diberikan merupakan komponen besar dalam aktiva produktif, sehingga bank
akan memilih debitur yang baik dan melakukan pengawasan terhadap debiturnya pasca
pemberian kredit hingga penyelesaian kredit terhadap debitur-debitur yang bermasalah.
3. PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF (PPAP)
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar
persentase tertentu dari baki debet berdasarkan penggolongan kualitas Aktiva Produktif.
PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF SESUAI PBI NO.
8/19/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006.
Pasal 12:
1. BPR wajib membentuk PPAP berupa PPAP umum dan PPAP khusus.
2. PPAP umum ditetapkan paling kurang sebesar 0,5% (lima permil) dari Aktiva
Produktif yang memiliki kualitas Lancar, tidak termasuk Sertifikat Bank Indonesia.
3. PPAP khusus ditetapkan paling kurang sebesar :
a. 10% dari Aktiva Produktif dengan kualitas Kurang Lancar setelah dikurangi
dengan nilai agunan;
b. 50% dari Aktiva Produktif dengan kualitas Diragukan setelah dikurangi dengan
nilai agunan;
c. 100% dari Aktiva Produktif dengan kualitas Macet setelah dikurangi dengan nilai
agunan;
d. BPR wajib melakukan penilaian atas agunan untuk mengetahui nilai
ekonomisnya
Implikasi PPAP terhadap prinsip kehati-hatian bank yaitu, keharusan membentuk PPAP
sesuai kualitas aktiva produktif (kolektibilitas), semakin jelek kualitas aktiva produktifnya
semakin besar PPAP yang harus dibentuk. Setiap pembentukan PPAP akan menimbulkan beban
PPAP yang secara langsung akan mengurangi laba bank atau bahkan berbalik menjadi kerugian
apabila beban bank lebih besar dari pada pendapatan bank, sehingga dengan demikian bank akan
selalu berusaha menjaga kualitas aktiva produktifnya, termasuk mendapatkan jaminan berupa
agunan yang bernilai tinggi.
4. BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT (BMPK)
BMPK adalah persentase maksimal realisasi penyediaan dana terhadap modal BPR yang
mencakup kredit dan penempatan dana BPR di bank lain, kecuali giro.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/13/PBI/2009 tentang Batas Maksimum Pemberian
Kredit BPR
1. Pelanggaran BMPK yaitu selisih lebih persentase penyediaan dana pada saat
direalisasikan terhadap modal BPR dengan persentase BMPK.
2. Pelampauan BMPK yaitu selisih antara persentase penyediaan dana yang telah
direalisasikan terhadap modal BPR pada saat tanggal laporan dengan persentase
BMPK, dan penyediaan dana tersebut tidak melanggar BMPK pada saat
direalisasikan.
3. BPR dilarang membuat perjanjian kredit yang dapat mengakibatkan terjadinya
pelanggaran BMPK.
4. BPR dilarang memberikan penyediaan dana yang mengakibatkan terjadinya
pelanggaran BMPK.
5. Penyediaan dana kepada pihak terkait ditetapkan paling tinggi 10% dari modal BPR.
6. Penyediaan Dana dalam bentuk Penempatan Dana Antar Bank kepada BPR lain yang
merupakan Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari
Modal BPR.
7. Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada 1 (satu) Peminjam Pihak Tidak
Terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Modal BPR.
8. Penyediaan dana dalam bentuk kredit kepada 1 (satu) kelompok peminjam pihak
tidak terkait ditetapkan paling tinggi 30% dari Modal BPR.
9. BMPK dihitung berdasarkan baki debet kredit.
10. BPR wajib menyusun action plan penyelesaian pelanggaran dan/ atau pelampauan
BMPK.
11. Action plan wajib memuat paling kurang langkah-langkah untuk penyelesaian
pelanggaran dan/atau pelampauan BMPK serta target waktu penyelesaian.
12. Target waktu penyelesaian pelanggaran BMPK paling lambat dalam jangka waktu 3
bulan sejak action plan disampaikan kepada BI.
13. Target waktu penyelesaian pelampauan BMPK akibat penurunan modal,
penggabungan usaha, peleburan usaha, pengambilalihan usaha, perubahan struktur
kepemilikan dan/atau kepengurusan yang menyebabkan perubahan Pihak Terkait
dan/atau kelompok Peminjam, paling lambat 6 bulan sejak action plan disampaikan
kpd BI atau sampai dengan kredit jatuh tempo.
14. Target waktu penyelesaian pelampauan BMPK akibat perubahan ketentuan, paling
lambat 12 bulan sejak action plan disampaikan kepada BI atau sampai dengan kredit
jatuh tempo.
15. Ketentuan BMPK dikecualikan untuk:
a. Penempatan Dana Antar Bank pada Bank Umum, termasuk Bank Umum yang
memenuhi kriteria Pihak Terkait;
b. Bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh:
1. Agunan dalam bentuk agunan tunai berupa deposito atau tabungan di BPR;
2. Emas dan/atau logam mulia; dan/atau
3. Sertifikat Bank Indonesia, sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa pencairan/penjualan
yang tidak dapat dibatalkan dari pemilik agunan untuk keuntungan BPR
penerima agunan, termasuk pencairan/penjualan sebagian untuk
membayar tunggakan angsuran pokok/bunga;
b. jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada huruf a) paling
kurang sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana; dan
c. untuk agunan tunai sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka 2),
disimpan atau ditatausahakan pada BPR yang bersangkutan.
c. Bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh Pemerintah Indonesia secara
langsung maupun melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. jaminan bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan
(irrevocable);
2. harus dapat dicairkan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak klaim
diajukan, termasuk pencairan sebagian; dan
3. mempunyai jangka waktu penjaminan paling kurang sama dengan jangka
waktu Penyediaan Dana.
d. Bagian Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain sepanjang memenuhi
persyaratan:
1. Terdapat kesepakatan antar BPR yang menempatkan dananya dengan BPR
lain yang menerima penempatan dana;
2. Dalam rangka menanggulangi kesulitan likuiditas BPR; dan
3. Bagian Penempatan Dana dimaksud:
a. merupakan simpanan/iuran/porsi dana yang wajib ditempatkan oleh
BPR pada BPR lain sesuai kesepakatan sebagaimana dimaksud pada
angka 1); atau
b. berasal dari simpanan/iuran/porsi dana dari BPR-BPR yang ditujukan
untuk menanggulangi kesulitan likuiditas masing-masing BPR.
16. Kredit kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau pegawai BPR
yang memenuhi kriteria Pihak Terkait yang ditujukan untuk peningkatan
kesejahteraan serta dibayar kembali dari pendapatan yang diperoleh dari BPR yang
bersangkutan dikecualikan sebagai pemberian Kredit kepada Pihak Terkait.
Pihak terkait:
a) Pemegang saham yg memiliki saham 10% atau lebih dari modal disetor;
b) Anggota Dewan Komisaris;
c) Anggota Direksi;
d) Pihak yg mempunyai hubungan keluarga s.d. derajat kedua, baik horisontal maupun
vertikal dg pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf c;
e) Pejabat Eksekutif;
f) Perusahaan-perusahaan bukan Bank yg dimiliki oleh pihak-pihak sebagaimana
dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e yg kepemilikannya baik individual
maupun keseluruhan sebesar 25% atau lebih dari modal disetor perusahaan;
g) BPR lain yang dimiliki sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e
yg kepemilikannya secara individual sebesar 10% atau lebih dari modal disetor BPR
lain tersebut;
h) BPR lain yang:
1) Anggota Dewan Komisarisnya merupakan anggota Dewan Komisaris BPR; dan
2) Rangkap jabatan pada BPR lain dimaksud merupakan 50% atau lebih dari
jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan Direksinya.
i) Perusahaan yg 50% atau lebih dr jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris dan
anggota Direksinya merupakan anggota Dewan Komisaris BPR;
j) Peminjam yg diberikan jaminan oleh pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a
sampai dengan huruf i.
Implikasi BMPK terhadap prinsip kehati-hatian bank yaitu, adanya ketentuan BMPK
membuat bank membatasi plafon pemberian kredit maupun penempatan deposito pada bpr lain
berdasarkan besarnya modal yang dimiliki bank, aktiva produktif tidak terpusat pada beberapa
debitur besar atau pada kelompok debitur, sehingga akan terjadi penyebaran risiko.
KELOMPOK 15
PEMBAHASAN
Bank Garansi adalah jaminan pembayaran dari Bank yang diberikan kepada pihak
penerima jaminan (bisa perorangan maupun perusahaan dan biasa
disebut Beneficiary ) apabila pihak yang dijamin (biasanya nasabah bank penerbit dan
disebut Applicant ) tidak dapat memenuhi kewajiban atau cidera janji (Wanprestasi). Jadi artinya
bank menjamin nasabahnya (si terjamin/Applicant) memenuhi suatu kewajiban kepada pihak lain
sesuai dengan persetujuan atau berdasarkan suatu kontrak perjanjian yang disepakati.
Di dalam hal Bank mengeluarkan garansi bank artinya Bank membuat suatu pengakuan
tertulis, yang isinya Bank penerbitmengikat diri kepada penerima jaminan (Beneficiary) dalam
jangka waktu dan syarat-syarat tertentu apabila dikemudian hari ternyata nasabahnya (si
terjamin/Applicant) tidak memenuhi kewajibannya kepada si penerima jaminan (Beneficiary). Di
Bank Syariah Bank garansi disebut ‘Al Kafalah’ yang artinya bank memberi bank garansi
sebagai jaminan pelaksanaan proyek. Pihak yang dijamin (Applicant) menyetor sejumlah
uang dengan prinsip ‘Al Wadiah’
Bahwa dalam pemberian bank garansi dapat menimbulkan kewajiban bagi bank untuk
membayar kepada pihak ketiga (penerima jaminan), tentunya keadaan ini nantinya akan
mempengaruhi likuiditas dan sovabilitas, oleh karena itu pemberian bank garansi dikenakan
ketentuan tentang batas maksimum pemberian kredit (BMPK) dan kewajiban pemenuhan modal
minimum (KPMM) penghitungan pemberian bank garansi berlaku baik bagi kantor bank
didalam negeri maupun diluar negeri16.
Sehubungan dengan itu pihak bank sebelum memberikan bank garansi terlebih dahulu
melakukan penelitian dan penelaahan yang pada hakekatnya sama dengan penelaahan yang
dilakukan dalam pemberian kredit yaitu antara lain mengenai hal- hal sebagai berikut :
1. Meneliti bonafiditas dan reputasi pihak yang dijamin.
16 SE.BI., Nomor 23/5/UKU, tanggal 28 Februari 1991, Tentang Pemberian Bank Garansi.
2. Meneliti sifat dan nilai transaksi yang akan dijamin sehingga dapat diberikan garansi
yang sesuai.
3. Menilai jumlah bank garansi yang akan diberikan menurut kemampuan bank.
4. Menilai kemampuan pihak yang akan dijamin untuk memberikan kontra garansi sesuai
dengan kemungkinan terjadinya risiko
Bank garansi adalah surat jaminan yang diterbitkan oleh bank yang berfungsi sebagai alat
pembayayaran, tentunya dalam penerbitan bank garansi tersebut harus memenuhi persyaratan
sesuai yang ditetapkan oleh ketentuan yang berlaku, dalam hal ini dasar hukum surat jaminan
bank tersebut diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, namun yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak diatur secara
lengkap karena hanya mengatur tentang penanggungan utang secara umum, sedangkan mengenai
syarat-syarat umum dalam pemberian bank garansi tidak diatur secara lengkap, untuk itu akan
dijelaskan sebagaimana tersebut dibawah ini :
A. Tinjauan Umum Pemberian Bank Garansi
1. Prosedur pemberian bank garansi yang lazim dilakukan oleh bank
Dalam praktek perbankan pemberian bank garansi, yang dilakukan oleh bank- bank sesuai
dengan penelitian dari beberapa bank di Kotamadya Medan, prosedur yang lazim dilakukan
adalah sebagai berikut :
a. Pemohon telah menjadi nasabah bank
Artinya pemohon bank garansi terlebih dahulu harus memiliki rekening pada bank dimana ia
mengajukan permohonan bank garansi yang diinginkannya atau disyaratkan oleh bouwheer
(pemberi kerja). Pada prakteknya pemberi kerja kadang kala menentukan sendiri bank garansi
yang diterbitkan oleh bank-bank yang dapat diterima sebagai jaminan bank.
b. Nasabah bank mengajukan permohonan bank garansi
Pemohon bank garansi memohon jenis dan besarnya bank garansi sesuai yang dipersyaratkan
oleh pemberi kerja (proyek), jika dimungkinkan permohonan bank garansi ini harus disertai
dengan dokumen rencana proyek.
c. Bank melakukan analisis atas permohonan bank garansi
Adapun yang dianalisis yang dilakukan terhadap beberapa faktor yaitu mengenai kredibilitas,
bonafiditas dan ferformance pihak yang dijamin dan penerima jaminan, selanjutnya meneliti sifat
dan nilai transaksi yang akan dijamin dan melakukan analisis sebagaimana dalam pemberian
kredit pada umumnya.
d. Nasabah/pemohon bank garansi menyediakan kontra bank garansi
Kontra bank garansi adalah syarat yang selalu diminta oleh bank sebagai lawan bank garansi,
artinya bank garansi sebagai produk bank yang juga memiliki resiko bagi bank, untuk itu perlu
kiranya didukung oleh suatu jaminan, maka bank memiliki jaminan atas dana yang dikeluarkan
untuk membayar klaim tersebut. Mengingat kontra jaminan yang tersebut diatas merupakan hal
yang sangat dibutuhkan oleh pihak bank dalam hubungannya sebelum diterbitkannya bank
garansi, perlu kiranya untuk mengetahui mengenai penggolongan mengenai lembaga jaminan
dengan harapan nantinya bank dapat terhindar dari resiko dalam pemberian bank garansi, adapun
penggolongan dari lembaga jaminan yang dikenal dalam tata hukum Indonesia, dapat
digolongkan menurut cara terjadinya, menurut sifatnya, menurut objeknya, menurut kewenangan
menguasainya dan lain-lain sebagai berikut :
1) Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh undang-undang dan jaminan yang lahir karena
perjanjian maksudnya adalah bahwa jaminan itu lahir karena ditunjuk oleh undang-
undang tanpa adanya perjanjian dari para pihak, hal ini disebutkan dalam pasal 1131
kitab undang-undang hukum perdata : segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak
maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. Disamping itu juga ada benda-
benda dari debitor dimana undang-undang menentukan bahwa kreditor sama sekali tidak
mempunyai hak untuk meminta pemenuhan piutangnya (verhaal) terhadapnya. Juga oleh
undang-undang ditentukan bahwa seluruh benda kepunyaan dari debitor tersebut menjadi
jaminan bagi semua kreditor, dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
disebutkan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua
kreditor yang mana hasil penjualan benda-benda tersebut harus dibagi antara kreditor
secara seimbang dengan besarnya piutang masing-masing.
2) Jaminan yang tegolong jaminan umum dan jaminan khusus
Untuk kepentingan kreditor yang mana undang-undang memberikan jaminan yang tertuju
kepada semua kreditor dan semua harta benda debitor baik mengenai benda bergerak
maupun benda yang tidak bergerak, baik yang ada maupun yang akan ada merupakan
jaminan hutang debitor kepada semua kreditor, hasil penjualannya tersebut dibagi-bagi
secara seimbang, hal ini disebut sebagai jaminan umum yang maksudnya adalah jaminan
yang timbul dari undang-undang, dengan kata lain tanpa adanya perjanjian yang diadakan
oleh para pihak terlebih dahulu (Pasal 1131, 1132 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata), dengan demikian dalam prakteknya jaminan seperti ini tidak memuaskan bagi
kreditor karena kurang aman dan terjamin bagi kredit/bank garansi yang telah diberikan,
dengan demikian kreditor membutuhkan terhadap jaminan yang ditunjuk secara khusus
sebagai jaminan piutangnya dan itu hanya berlaku kepada kreditor dan memerlukan
adanya jaminan yang dikhususkan baginya baik yang bersifat kebendaan maupun
perorangan adapun yang dimaksud dengan jaminan kebendaan adalah adanya benda
tertentu yang dipakai sebagai jaminan sedangkan jaminan perorangan adalah adanya
orang tertentu yang sanggup membayar/memenuhi prestasi manakala debitor
wanprestasi.17
3) Jaminan yang bersifat kebendaan dan Hak Perorangan
Jaminan yang bersifat kebendaan ialah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu
benda, yang mempunyai ciri-ciri :
a) Mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari debitor;
b) Dapat dipertahankan terhadap siapapun;
c) Selalu mengikuti bendanya (droit de suite)
d) Dapat dipindah tangankan.
17 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan,1980,Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok HukumJaminan Dan Jaminan Perorangan, Yokyakarta,CV.Bina Nusa,hlm.46.
Mengingat hak jaminan kebendaan adalah hak yang memberikan kepada seorang kreditor
kedudukan yang lebih baik, karena :
1. Kreditor didahulukan dan dimudahkan dalam mengambil pelunasan atas tagihannya atas
hasil penjualan benda tertentu atau sekelompok benda tertentu milik debitor dan/atau.
2. Ada benda tertentu milik debitor yang dipegang oleh kreditor atau terikat kepada hak
kreditor, yang berharga bagi debitor dan dapat memberikan suatu tekanan psikologis
terhadap debitor untuk memenuhi kewajibannya dengan baik terhadap kreditor. Disini
adanya semacam tekanan psikologis kepada debitor untuk melunasi hutang-hutangnya
adalah karena benda yang dipakai sebagai jaminan umumnya merupakan barang berharga
baginya. Sifat manusia untuk berusaha mempertahankan apa yang berharga dan telah
dianggap atau diakui telah menjadi miliknya, menjadi dasar hukum jaminan.
Sedangkan untuk jaminan yang bersifat perorangan ialah jaminan yang menimbulkan hubungan
langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu,
terhadap harta kekayaan debitor seumumnya (borgtocht).
Pada jaminan perorangan kreditor mempunyai hak menuntut pemenuhan piutang yang selain
kepada debitor utama juga kepada penanggung.
4) Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak
Menurut sistem hukum perdata di Indonesia pembedaan benda bergerak dan benda tidak
bergerak mempunyai arti penting dalam berbagai bidang yang berhubungan dengan penyerahan,
daluwarsa, kedudukan berkuasa, pembebanan/jaminan, hal ini terlihat bahwa jika benda jaminan
itu berupa benda bergerak dapat dipasang dengan lembaga jaminan yang berbentuk gadai atau
fidusia, sedangkan jika benda jaminan itu berbentuk benda tetap, maka lembaga jaminan dapat
dipasang hak tanggungan, sehubungan dengan itu terhahap lembaga jaminan berbentuk gadai,
yang dimaksud dengan gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor atas suatu benda bergerak,
yang diberikan kepadanya oleh debitor atau orang lain atas debitor sebagai jaminan pembayaran
dan memberikan kepada kreditor untuk mendapat pembayaran lebih dahulu dari pada kreditor-
kreditor lainnya atas hasil penjualan benda jaminan (Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata), yang menjadi objek gadai adalah benda bergerak, yang berwujud (lichamelijke zaken)
dan benda bergerak yang tidak berwujud (onlichamelijke zaken) berupa hak untuk mendapatkan
pembayaran uang yang berujud surat-surat berharga, dapat berupa atas bawa (aan toonder) atas
perintah (aan order) dan atas nama (opnaam).54 Terhadap lembaga jaminan fidusia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tanggal 30 september 1999 tentang jaminan fidusia,
adapun objek jaminan fidusia adalah ketentuannya tercantum dalam Pasal 1 ayat 4, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 20, benda-benda objek jaminan fidusia adalah 18:
a. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum.
b. Dapat atas benda berwujud.
c. Benda bergerak.
d. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan
e. Benda bergerak yang tidak dapat diikat dengan hipotik.
f. Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh
kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu
akta pembebanan fidusia tersendiri.
g. Dapat atas satu satuan atau jenis benda.
h. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda.
i. Termasuk hasil dari benda yang menjadi objek fidusia.
j. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
k. Benda persediaan (inventory, Stock perdagangan) dapat juga menjadi objek jaminan
fidusia.Sedangkan untuk lembaga jaminan hak tanggungan dasar hukumnya terdapat
dalam Pasal 51 UUPA jo.Pasal 57, 25, 33 dan 39 UUPA, ketentuan pelaksanaannya
diterbitkan Undang- Undang Nomor 4 tahun 1996 (Lembaran Negara Nomor 42
tanggal 9 April 1996).
5) Jaminan dengan menguasai bendanya dan tanpa menguasai bendanya
Jaminan yang merupakan cara menurut hukum untuk pengamanan pembayaran kembali
kredit yang diberikan dapat juga dibedakan atas jaminan dengan menguasai bendanya dan
jaminan tanpa menguasai bendanya, jaminan yang menguasai bendanya misalnya pada gadai,
18 Riduan Syahrani,2006,Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata,Bandung,PT.AlumniBandung, hlm.142-143.
sedangkan jaminan yang diberikan tanpa menguasai bendanya pada hak tanggungan, fidusia.
Berdasarkan uraian tentang jaminan tersebut pada intinya menurut hukum jaminan adalah
ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitor) dan
penerima jaminan (kreditor) sebagai akibat pembebanan suatu hutang tertentu (kredit)
dengan suatu jaminan ( benda atau orang tertentu) Dalam hukum jaminan tidak hanya
mengatur perlindungan hukum terhadap kreditor sebagai pihak pemberi hutang saja,
melainkan juga mengatur perlindungan hukum terhadap debitor sebagai penerima hutang.
Dengan kata lain, hukum jaminan tidak hanya mengatur hak-hak kreditor yang berkaitan
dengan jaminan pelunasan hutang tertentu, namun sama-sama mengatur hak-hak kreditor dan
hak-hak debitor berkaitan dengan jaminan pelunasan hutang tertentu tersebut. Sehubungan
dengan hukum jaminan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang
terkandung didalam perumusan hukum jaminan tersebut yaitu sebagai berikut :
a. Serangkaian ketentuan hukum, baik yang bersumber kepada ketentuan hukum yang
tertulis dan ketentuan yang tidak tertulis. Ketentuan hukum jaminan yang tertulis adalah
ketentuan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan, termasuk
yurisprudensi, adapun ketentuan yang tidak tertulis adalah ketentuan hukum yang timbul
dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan pembebanan hutang suatu jaminan.
b. Ketentuan hukum jaminan tersebut mengatur mengenai hubungan hukum antara pemberi
jaminan (debitor) dan penerima jaminan (kreditor). Pemberi jaminan, lazimnya
dinamakan debitor, yaitu pihak yang berhutang dalam suatu hubungan utang piutang
tertentu, yang menyerahkan suatu kebendaan tertentu sebagai benda jaminan kepada
penerima jaminan (kreditor). Dalam hal ini yang dapat menjadi pemberi jaminan bisa
orang perseorangan atau badan hukum yang mendapat fasilitas hutang (kredit) tertentu,
atau pemilik benda yang menjadi objek jaminan hutang tertentu. Adapun penerima
jaminan, lazimnya dinamakan kreditor, yaitu pihak yang berpiutang dalam suatu
hubungan hutang piutang tertentu, yang menerima penyerahan suatu kebendaan tertentu
sebagai (benda) jaminan dari pemberi jaminan (debitor). Dalam hal ini yang dapat
menjadi penerima jaminan bisa orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai
piutang yang pelunasannya dijamin dengan suatu benda tertentu sebagai jaminan.
c. Adapun jaminan yang diserahkan oleh debitor kepada kreditor. Karena hutang yang
dijamin itu berupa uang, maka jaminan disini sedapat mungkin harus dapat dinilai dengan
uang. Jaminan disini bisa jaminan kebendaan maupun jaminan perseorangan.
d. Pemberian jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan sebagai jaminan
(tanggungan) bagi pelunasan hutang tertentu, artinya pembebanan kebendaan jaminan
dilakukan dengan maksud untuk mendapat hutang, pinjamanan atau kredit, yang
diberikan oleh seseorang atau badan hukum kepada seseorang atau badan hukum
berdasarkan kepercayaan, yang dipergunakan sebagai modal atau investasi usaha,
Dengan kata lain pembebanan kebendaan jaminan dimaksudkan untuk menjamin
pengamanan pelunasan hutang tertentu terhadap kreditor bila debitor mengalami
wanprestasi.
e. Apabila permohonan bank garansi disetujui, maka bank memberikan surat persetujuan
prinsip pemberian bank garansi kepada pemohon.
f. Selanjutnya setelah disetujui oleh bank atas permohonan bank garansi tersebut, maka
dilakukan perjanjian pemberian bank garansi.
g. Setelah dianalisis oleh bank dengan memperhatikan prinsip kepercayaan, prinsip kehati-
hatian, prinsip 5-C, prinsip 5-P, dan prinsip 3-R.
1. Prinsip kepercayaan
Savelberg mengemukakan prinsip kepercayaan, bahwa debitur dapat dipercaya
kemampuannya untuk memenuhi perikatannya, hal ini menuju kepada arti hukum
kredit pada umumnya.19
2. Prinsip Kehati-hatian
19 Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT. Refika Aditama, 2010,hlm 143.
Prinsip kehati-hatian (prudent) adalah salah satu konkretisasi dari prinsip kepercayaan
dalam suatu pemberian bank garansi, hal ini merupakan perwujudan dari prinsip
prudent banking (prinsip kehati-hatian bank) dari seluruh kegiatan perbankan, untuk
dapat berjalan dengan baik atas prinsip tersebut bank melakukan berbagai usaha
pengawasan baik internal maupun ekternal.
3. Prinsip 5-C
Dalam dunia perbankan 5-C merupakan singkatan dari unsur-unsur, character,
capacity, Capital, condition of economy, dan collateral.
1. Character adalah watak/kepribadian/prilaku calon debitor yang harus menjadi
perhatian bank sebelum perjanjian pemberian bank garansi ditandatangani.
2. Capacity adalah kemampuan calon debitor diprediksi tentang kemampuan untuk
memenuhi kewajiban yang ada pada bank.
3. Capital adalah modal debitor yang harus diketahui oleh calon kreditor, karena
dengan kemampuan modal yang ada dan keuntungan dari debitor dapat dianalisa
tingkat kemampuan debitor untuk membayar pelunasan kredit yang ada pada
bank.
4. Condition of economy adalah suatu kondisi perekonomian baik secara mikro
mapun makro yang harus dianalisis sebelum bank garansi diberikan, terutama
yang berkaitan dengan bisnis calon debitor.
5. Collateral adalah agunan atau jaminan dalam pemberian garansi yang mana fungsi
agunan dalam setiap pemberian garansi berfungsi untuk direalisasi atau
dieksekusi, jika benar-benar suatu kewajiban debitor dalam keadaan macet.
4. Prinsip 5-P
1. Party atau para pihak adalah merupakan yang harus diperhatikan dalam setiap
pemberian bank garansi, karena menyangkut karakter dan kemampuan calon
debitor untuk memenuhi kewajiban yang ada pada bank.
2. Purpose yaitu tujuan pemberian bank garansi dapat digunakan untuk hal-hal yang
positif sehingga dapat menaikkan pendapatan perusahaan.
3. Payment atau pembayaran, oleh karena itu harus diperhatikan apakah sumber
pembayaran calon debitor cukup aman dan tersedia, sehingga mampu untuk
membayar segala kewajiban yang dijanjikan kepada bank.
4. Profitability yaitu penilaian terhadap kemampuan calon debitor untuk
memperoleh keuntungan dalam menjalankan usahanya.
5. Protection yaitu perlindungan dari kelompok perusahaan atau jaminan pribadi dari
pemilik perusahaan, untuk menjaga hal-hal yang terjadi diluar yang diprediksikan.
5. Prinsip 3-R
1. Returns yaitu hasil yang akan diperoleh debitor mencukupi untuk membayar
kembali kreditnya.
2. Repayment yaitu kemampuan membayar dari pihak debitor.
3. Risk bearing ability yaitu kemampuan menanggung resiko , sejauh mana
kemampuan debitor untuk menanggung resiko dalam hal-hal diluar antisipasi
kedua belah pihak.
Jika melihat dari beberapa prinsip yang tersebut diatas, bahwa 5-C tersebut telah
mewakili prinsip 5-P dan 3-R, sedangkan dalam Undang-Undang No.10 tahun 1998, tampak
telah mencantumkan prinsip 5-C.
Setelah dilakukan analisis oleh bank, pada umumnya bank-bank apabila layak untuk
diberikan bank garansi sesuai dengan permohonannya, bank akan memberikan surat persetujuan
dan dikirimkan kepada calon debitor yang mana diminta oleh bank,bahwa foto copy surat
persetujuan tersebut ditandatangani oleh debitor yang menyetujui atas syarat-syarat yang
ditentukan oleh bank tersebut.
Adapun isi surat persetujuan tersebut adalah merupakan syarat-syarat umum yang
diberikan bank kepada nasabahnya, antara lain :
1). Besarnya plafond bank garansi yang disetujui;
2). Jenis dan jangka waktu penggunaan bank garansi;
3). Biaya-biaya yang harus dibayar;
4). Tata cara klaim;
5). Barang-barang jaminan yang diminta.
Selanjutnya setelah disetujui isi surat pertujuan bank oleh pemohon, maka surat tersebut
foto copynya ditandatanganinya, kemudian dikirimkan kembali kepada bank tersebut.
Namun demikian dalam pelaksanaan pemberian bank garansi dalam prakteknya bank-
bank harus memenuhi syarat-syarat minimum yang ditentukan oleh Bank Indonesia, berdasarkan
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor:23/72/Kep/Dir, tanggal 28 Februari 1991, yang
telah diedarkan dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor : 23/5/UKU, tanggal 28 Februari
1991 tentang pemberian bank garansi oleh bank yaitu sebagai berikut :
1. Judul “garansi bank” atau “bank garansi”.
2. Nama dan alamat bank pemberi garansi bank.
3. Tanggal penerbitan bank garansi.
4. Jenis transaksi antara pihak yang dijamin dengan penerima jaminan bank.
5. Jumlah nominal uang yang dijamin oleh bank.
6. Tanggal mulai berlaku dan berakhirnya bank garansi.
7. Penegasan batas waktu pengajuan klaim.
8. Pernyataan bahwa penjamin (bank) akan memenuhi pembayaran dengan
terlebih dahulu menyita dan menjual benda-benda siberutang untuk melunasi
hutangnya sesuai dengan pasal 1831 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
atau pernyataan bahwa penjamin (bank) melepaskan hak istimewanya untuk
menuntut supaya benda-benda siberutang lebih dahulu disita dan dijual untuk
melunasi hutang- hutangnya sesuai dengan Pasal 1832 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Jenis-jenis bank garansi
Sebagaimana disebutkan dalam Ketentuan Bank Indonesia bahwa bank garansi adalah :
“Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang mengakibatkan kewajiban
membayar terhadap pihak yang menerima garansi apabila yang dijamin cidera janji
(wanprestasi)” Dalam hal ini hanya akan menguraikan 4 (empat) jenis bank garansi yang
diterbitkan oleh bank dalam bentuk warkat yang diberikan kepada nasabahnya adalah sebagai
berikut :
1. Bank garansi untuk jaminan tender dalam negeri (tender bid bond)
Yaitu bank garansi yang diterbitkan oleh bank bagi nasabahnya agar dapat mengikuti
tender/penawaran atas suatu proyek. Terjadi cidera janji (wanprestasi) apabila yang terjamin
(nasabah bank) tidak menerima penunjukan untuk melaksanakan proyek padahal ia telah
dinyatakan sebagai pemenangnya oleh bouwheer atau pemberi proyek.
2. Bank garansi untuk jaminan pelaksanaan (performance bond)
Yaitu bank garansi yang diterbitkan oleh bank untuk menjamin kepastian (mutu dan ketepatan)
pengerjaan suatu proyek atau untuk menjamin performance salah satu pihak dalam suatu
transaksi. Terjadi cidera janji (wanprestasi) apabila pihak dijamin (nasabah bank) tidak
melakukan pekerjaannya sesuai dengan waktu dan kualitas atau mutu kerja yang diperjanjikan
atau mengalami keterlambatan dalam penyelesaiannya.
3. Bank garansi untuk jaminan penerima uang muka (payment bond).
Yaitu bank garansi yang diterbitkan oleh bank untuk menjamin pembayaran terlebih dahulu telah
diterima oleh pemohon bank garansi dari pemilik proyek (bouwheer) atau pemberi order, baik
dalam bentuk uang muka, pembayaran termin, maupun keseluruhan nilai proyek. Terjadi cidera
janji (wanprestasi) apabila terjamin (nasabah bank) tidak melaksanakan kewajibannya untuk
melaksanakan atau mengerjakan proyek yang telah diberikannya, padahal ia telah menerima
pembayaran dimuka atas proyek tersebut dari bouwheer atau pemberi kerja (proyek).
4. Bank garansi pemeliharaan (Retention bond).
Yaitu bank garansi yang diberikan kepada pemilik proyek (bouwheer) untuk kepentingan
kontraktor guna menjamin pemeliharaan atas proyek yang telah diselesaikan oleh kontraktor
tersebut.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam bank garansi:
1. Waktu berlaku dan berakhirnya perjanjian pokok;
2. Waktu berlaku dan berakhirnya bank garansi;
3. Waktu terjadinya cidra janji yang secara sah masih dapat ditanggung oleh bank garansi;
4. Waktu selambat-lambatnya untuk pengajuan klaim oleh tertanggung.60 Namun demikian
pihak penerima bank garansi dan pihak terjamin juga perlu memperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
Bagi penerima bank garansi.
1. Pastikan keaslian dan keabsahan bank garansi dengan cara menghubungi bank penerbit.
2. Periksa masa berlaku bank garansi sesuai dengan jangka waktu proyek anda.
3. Periksa dan pahami syarat-syarat klaim untuk memudahkan anda melakukan klaim
apabila diperlukan.
Bagi pihak yang dijamin bank garansi.
1. Perhatikan biaya-biaya yang harus dibayar dalam rangka penerbitan bank garansi.
2. Laksanakan kewajiban sesuai dengan yang diperjanjikan dengan pihak penerima jaminan
sehingga tidak terjadi klaim atas bank garansi yang diterbitkan.
3. Proses penerbitan bank garansi sama halnya dengan proses pemberian kredit, sehingga
perlu menjelaskan usahanya terbuka kepada bank.
Larangan dan pembatasan dalam pemberian bank garansi
a) Larangan dalam pemberian garansi bank
Dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat serta bank-bank dalam melaksanakan
asas-asas perbankan yang sehat, maka ditetapkan bahwa garansi bank tidak boleh
memuat hal-hal sebagai berikut :
1. Syarat-syarat yang terlebih dahulu harus dipenuhi untuk berlakunya garansi bank baru
berlaku setelah pihak yang dijamin menyetor sejumlah uang.
2. Ketentuan garansi bank dapat diubah/dibatalkan secara sepihak, misalnya bank atau
pihak yang dijamin.
3. Kata-kata yang dapat diartikan perubahan tanggal berakhirnya bank garansi.
b) Batasan dalam pemberian bank garansi
Bank hanya diperkenankan memberikan bank garansi sesuai dengan kemampuan
keuangannya, yang mana dalam pemberian bank garansi menurut ketentuan Bank
Indonesia menentukan bahwa pembatasan pemberian bank garansi adalah :
1. Khusus untuk pemberian garansi dalam rangka penerimaan kredit dari luar negeri
hanya diperbolehkan dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan pemberian garansi
dimaksud tidak melebihi 20% dari modal.
2. Dalam pengertian jumlah keseluruhan tersebut termasuk pula garansi yang
dikeluarkan oleh kantor-kantor bank di luar negeri.
c) Permintaan bank garansi atas permintaan bukan penduduk hanya diperkenankan apabila
disertai dengan :
1. Kontra garansi yang cukup dari bank diluar negeri yang bonafide, dalam pengertian
bahwa bank tersebut tidak termasuk cabang dari bank yang bersangkutan di luar
negeri.
2. Setoran sebesar 100% (seratus persen) dari nilai bank garansi yang diberikan20.
3. Pemberian bank garansi dikenakan ketentuan tentang batas pemberian maksimum
kredit (BMPK) dan kewajiban pemenuhan modal minimum (KPMM). BMPK yang
ditetapkan saat ini adalah :
20 .I.,SE.B.I,No.23/5/UKU,tgl.28-02-1991,”Tentang Pemberian Bank Garansi”, hlm.10-11.
a. 1 (satu) peminjam secara individu ditetapkan paling tinggi 20% (seratus
persen) dari Modal bank.
b. (satu) kelompok peminjam ditetapkan 25% dari modal bank21.
Pelanggaran atas ketentuan tersebut diatas dikenakan sanksi dalam rangka pengawasan dan
pembinaan bank, dan juga diberikan sanksi berupa kewajiban membayar sebesar 3% sebulan dari
nilai nominal pelanggaran.
Secara yuridis formal ada dua jenis perjanjian kredit/pemberian bank garansi yaitu :
1. Perjanjian kredit/pemberian bank garansi yang dibuat dibawah tangan.
Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit/bank garansi dibawah tangan adalah
perjanjian kredit/pemberian bank garansi yang dibuat diantara mereka dan perjanjian
kredit/bank garansi tanpa dihadapan Notaris. Bahkan penerapan dalam prakteknya bahwa
dalam penandatangannya yang dipersiapkan oleh bank tanpa adanya saksi yang turut
serta dalam membubuhkan tandatangannya.
a. Kelemahan;
Ada beberapa kelemahan dari akta perjanjian kredit/pemberian bank garansi dibawah
tangan antara lain ;
1. Bahwa apabila suatu saat nanti terjadi wanprestasi oleh debitor, pada akhirnya akan
diambil tindakan hukum melalui proses pengadilan, maka debitor yang bersangkutan
menyangkali atau memungkiri tanda tangannya, akan berakibat mentahnya kekuatan
hukum perjanjian kredit / pemberian bank garansi yang telah dibuat tersebut, dalam
Pasal 1877 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa jika seorang
memungkiri tulisan atau tandatangannya, hakim harus memerintahkan supaya
kebenaran dari tulisan atau tandatangannya diperiksa dimuka pengadilan, yang mana
formulirnya telah disediakan oleh bank (form standar/baku), maka tidak mungkin
terdapat kekurangan data-data yang seharusnya dilengkapi untuk suatu kepentingan
21 R.I.SE.B.I.No.7/14/DPNP,tgl.18-04-2005, ”Tentang Batas Maksimum Pemberian KreditBank Umum.hlm.14.
pengikatan bukan tidak mungkin kredit/pemberian bank garansi, bahkan bukan tidak
mungkin pelayanan, penandatanganan perjanjian dilakukan walaupun formulir
perjanjian masih dalam perjanjian dalam bentuk blangko/kosong, kelemahan ini pada
hakekatnya akan merugikan bank jika suatu saat berperkara dengan nasabahnya.
Sehubungan dengan itu untuk menyempurnakan permulaan pembuktian tulisan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1902 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam
suatu peristiwa atau hubungan hukum menurut undang-undang hanya dapat
dibuktikan dengan tulisan atau akta, namun alat bukti tulisan.
2. Arsip / File surat asli
Pada dasarnya merupakan suatu kelemahan dari perjanjian yang dibuat dibawah
tangan, dalam arti bahwa apabila akta perjanjian kredit/bank garansi yang dibuat
dibawah tangan aslinya hilang karena sebab apapun, bank tidak memiliki arsip/file
asli, hal ini akan membuat posisi bank akan menjadi lemah jika terjadi perselisihan.
3. Isian blangko perjanjian
Dalam hal perjanjian kredit/pemberian bank garansi dilakukan dibawah tangan,
kemungkinan terjadi debitor mengingkari atau memungkiri isi perjanjian, hal ini
disebabkan dalam pembuatan akta perjanjian kredit/pemberian bank garansi, form
blangkonya telah disiapkan bank, sehingga debitor/pemohon bank garansi dapat
mengelak bahwa yang bersangkutan pada waktu menandatangani blangko kosong,
sehingga tidak mengetahui isi perjanjian tersebut.
2. Perjanjian kredit/bank garansi yang dibuat dihadapan Notaris/dan atau akta otentik.
Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit/pemberian bank garansi notaril (otentik)
adalah perjanjian pemberian kredit/bank garansi oleh bank kepada nasabahnya yang
hanya dibuat oleh atau dihadapan Notaris.84 Dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menyebutkan : bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam
bentuk yang ditentukan oleh undang- undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-
pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya, dari penjelasan
Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa akta otentik dibuat oleh atau
dihadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini disebut pejabat umum. Sehubungan
dengan itu bahwa kekuatan pembuktian formil pada akta otentik dijelaskan dalam Pasal
1871 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa segala keterangan yang tertuang
didalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan penandatangan kepada pejabat yang
membuatnya, untuk itu kebenaran yang tercantum didalamnya benar dari orang yang
menandatanganinya, tetapi juga meliputi kebenaran formil yang dicantum oleh pejabat
pembuat akta yaitu mengenai tanggal yang tertera didalamnya, dalam Undang-Undang
Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004,Pasal 15 ayat 1 menyebutkan bahwa Notaris
berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan
yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan
akta,semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-
undang.Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 3917 K/Pdt/1986, dapat ditarik
kesimpulan, pada dasarnya apa yang tertuang dalam akta notaris, harus dianggap benar
merupakan kehendak para pihak.86 Berkaitan dengan yang tersebut diatas bahwa notaris
adalah sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sebagaimana
disebutkan dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 tahun
2004.
Selanjutnya mengenai akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian :
a. Lahiriah (uitwendige bewijskracht)
Kemampuan lahiriah akta notaris merupakan akta itu sendiri untuk membuktikan
keabsahannya sebagai akta otentik, jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik
serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik,
maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, artinya sampai ada yang membuktikan
bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian
ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta notaris. Parameter untuk menentukan
akta notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda tangan dari notaris yang bersangkutan, baik
yang ada pada minuta dan salinan serta adanya awal akta (mulai dari judul) sampai
dengan akhir akta. Nilai pembuktian akta notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus
dilihat apa adanya, bukan dilihat ada apa.
b. Formal (formele bewijskracht)
Akta notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut
dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang
menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah
ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan
kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, saksi dan
notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris, dan
mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap.
c. Materil (materiele bewijskracht)
Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting,bahwa apa yang tersebut dalam akta
merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka
yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya
(tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat
(atau berita acara), atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan dihadapan
notaris dan para pihak harus dinilai benar. Perkataan yang kemudian dituangkan/dimuat
dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap notaris
yang kemudian/keterangannya dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah benar
berkata demikian. Jika ternyata pernyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi
tidak benar, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. Notaris terlepas dari
hal semacam itu, dengan demikian isi akta notaris mempunyai kepastian sebagai yang
sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk/diantara para pihak dan ahli waris serta para
penerima hak mereka.
Ketiga aspek tersebut diatas merupakan kesempurnaan akta notaris sebagai akta otentik
dan siapapun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan
pengadilan, bahwa ada salah satu aspek yang tidak benar, maka akta itu hanya mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta tersebut kekuatan pembuktiannya
sebagai akta yang mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.
Komposisi perjanjian kredit/pemberian bank garansi
Dalam prakteknya komposisi perjanjian kredit/pemberian bank garansi pada umumnya
terdiri dari empat bagian yaitu :
1. Judul perjanjian
Dalam prakteknya judul yang dipergunakan oleh bank-bank tidak ada keseragaman
antara satu bank dengan bank lainnya,
2. Komparisi
Yaitu bagian dari suatu akta yang memuat keterangan tentang orang/pihak yang
bertindak mengadakan perbuatan hukum, penuangannya adalah berupa :
a. Uraian terperinci tentang identitas meliputi nama, tempat tanggal lahir,
kewarganegaraan, pekerjaan, dan domisili para pihak.
b. Dasar hukum yang memberi kewenangan yuridis untuk bertindak dari para pihak
dan kedudukan para pihak.
3. Isi perjanjian.
Yaitu merupakan bagian dari perjanjian kredit/pemberian bank garansi yang
didalamnya dimuat hal-hal yang diperjanjikan.
4. Penutup.
Yaitu merupakan bagian atau dimuatnya hal-hal :
1. Pilihan domisili hukum para pihak.
2. Tempat dan tanggal perjanjian ditandatangani.
3. Tanggal mulai berlakunya perjanjian
Isi perjanjian pemberian bank garansi.
Perjanjian pemberian bank garansi harus memuat 5 (lima) syarat minimal yaitu :
a. Besaran/nominal bank garansi yang diterbitkan.
b. Jangka waktu bank garansi.
c. Klausula covenant.
d. Biaya-biaya yang harus dibayar nasabah.
e. Barang jaminan.
f. Tujuan penggunaan bank garansi.
g. Terjamin tunduk kepada ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan
oleh pemerintah dan Bank Indonesia serta kelaziman perbankan.
h. Terjamin memberi kuasa yang tak dapat dicabut kembali kepada bank untuk sewaktu-
waktu mencairkan jaminan lawan guna melunasi hutang terjamin sebagai akibat
dilaksanakannya pembayaran bank garansi maupun hutang lainnya yang timbul
sehubungan dengan pemberian bank garansi tersebut.
Oleh karena itu apabila dikembangkan lebih lanjut, isi dari perjanjian pemberian bank garansi
yang termuat pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut : Ad.(a) Klausul mengenai besaran atau
nominal bank garansi. Klausul ini mempunyai arti penting karena merupakan batas maksimum
kewajiban bank untuk membayar klaim kepada penerima/pemegang bank garansi. Dan berapa
besar klaim yang dibayar oleh bank, maka sebesar jumlah itu yang menjadi fasilitas kredit oleh
nasabah bank yang bersangkutan.
Klausul mengenai jangka waktu bank garansi
Klausul ini mempunyai arti penting karena merupakan batas waktu bagi bank untuk
menyediakan dana apabila terdapat klaim, batas waktu bagi nasabah adanya jaminan dari bank
dan batas waktu pemegang bank garansi untuk melakukan klaim kepada bank penerbit bank
garansi.
Klausul covenant
Klausul ini mempunyai arti penting dalam beberapa hal,antara lain :
1. Adanya syarat-syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh nasabah sebelum
bank berkewajiban untuk bank garansi tersebut kepada nasabah yang selanjutnya
menyerahkan kepada bouwheer.
2. Adanya janji-janji nasabah untuk melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian pemberian
bank garansi masih berlaku
Klausul biaya-biaya yang harus dibayar nasabah
Klausul ini penting karena hanya dari biaya-biaya inilah bank memperoleh pendapatan dari
pemberian bank garansi. Tidak adanya pembebanan bunga pada pemberian bank garansi karena
tidak adanya cash out (pengeluaran dengan tunai) oleh bank kepada nasabah, cash out terjadi
setelah adanya klaim dari pemegang bank garansi. Adapun biaya-biaya tersebut adalah provisi
dan administrasi.
Klausul barang jaminan.
Klausul ini sangat penting karena apabila terjadi klaim atas bank garansi tersebut, bank
akan mengeluarkan dana klaim yang harus dibayar kepada pemegang bank garansi. Dengan
demikian dana yang dikeluarkan tersebut tercover (tertutupi) oleh suatu jaminan yang telah diikat
sebelumnya oleh bank dalam suatu perjanjian pemberian bank garansi.
Peran atau fungsi bank garansi
a. Peranan bank garansi
Bank garansi merupakan pranata hukum dibidang perbankan yang diperlukan dan
biasanya dilakukan dalam rangka memperlancar lalu lintas barang dan jasa. Peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan,diantaranya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992
tentang perbankan. Peraturan lebih lanjut berkaitan dengan bank garansi adalah Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia nomor 23/72/KEP/DIR, tanggal 28 Februari 1991 tentang pemberian
garansi oleh bank, berikut Surat Edaran Bank Indonesia nomor 23/5/UKU, tanggal 28 Februari
1991 perihal pemberian garansi oleh bank, dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia nomor
23/88/KEP/DIR, tanggal 18 Maret 1991 tentang pemberian garansi oleh bank, selanjutnya dalam
pemberian bank garansi pada setiap bank umum terkena ketentuan Batas maksimum pemberian
kredit (BMPK) sebagaimana ditentukan dalam Surat Edaran Bank Indonesia nomor 7/14/DPNP,
tanggal 18 April 2005 perihal : Batas Maksimum Pemberian Kredit Umum, Peraturan Bank
Indonesia nomor 7/2/PBI/2005,tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum, berikut Peraturan Bank Indonesia nomor 9/6/PBI/2007 tanggal 30 Maret 2007 tentang
perubahan kedua atas peraturan Bank Indonesia nomor 7/2/PBI/2005 tentang penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum ketentuan ini bertujuan bahwa dalam melaksanakan pembiayaan bank harus
tetap mengelola risiko kredit dan meminimalkan potensi kerugian yaitu dengan menjaga kualitas
aktiva dan membentuk penyisihan penghapusan aktiva yang memadai.
Sebagaimana dijelaskan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/5/UKU tanggal
28 Februari 1991 pada angka 1 menyebutkan bahwa pentingnya bank garansi sebagai sarana
untuk memperlancar lalu lintas barang dan jasa serta perdagangan surat-surat berharga.
Selanjutnya bank garansi pada asasnya memberikan suatu jaminan atas pembayaran sejumlah
uang yang melibatkan tiga pihak yaitu bank, pihak yang dijamin dan pihak penerima jaminan,
kemudian dalam prakteknya bank garansi memberikan hak tuntut atau klaim apabila dari pihak
yang dijamin wanprestasi, maka pihak penerima/pemegang jaminan tetap mendapatkan
pembayaran walaupun tagihannya kemudian ditentang oleh pihak yang dijamin.
Bank garansi merupakan suatu perjanjian yang dikenal dengan ungkapan “bayar dahulu,
bicara kemudian (eerst betalen, dan praten)”. Dengan menggunakan lembaga garansi bank, tidak
diperlukan adanya suatu uang jaminan (waarborgsom).90 Dengan adanya perjanjian bank
garansi, maka bank harus membayar kepada pihak yang dijamin, hal ini sebagaimana telah
diputuskan pada arrest 13 Juni 1980, HR 12 Maret 1982, NJ 1982,267. Arrest tersebut
memutuskan bahwa :
“Tujuan dari suatu bank garansi sebagai bagian dari lalu lintas internasional adalah
bahwa bank atas permintaan pertama dari pihak penerima jaminan, dan semata-mata karena
pemberitahuan, bahwa klien (pihak yang dijamin) telah melakukan wanprestasi, dengan segera
membayar jumlah uang kepada pihak penerima jaminan sebesar yang diberitahukan kepada
bank, tanpa meneliti lebih lanjut adanya alasan wanprestasi yang dikemukakan. Hal mana tidak
menutup kemungkinan bagi hakim atau arbiter yang berwenang untuk meneliti lebih lanjut
mengenai wanprestasi tersebut, tetapi hanya sebatas prosedur pembayaran atas jumlah yang telah
dibayarkan oleh pihak yang dijamin terhadap pihak penerima jaminan, tetapi bukan mengenai
prosedur dari pihak yang dijamin terhadap bank.
Tujuan pemberian bank garansi
Tujuan pemberian bank garansi oleh pihak bank kepada sipenerima jaminan atau yang
dijaminkan adalah sebagai berikut :
1. Memberikan bantuan fasilitas dan kemudahan dalam memperlancar transaksi nasabah.
2. Bagi pemegang jaminan tidak akan menderita kerugian bila pihak yang dijaminkan
melalaikan kewajibannya, karena pemegang akan mendapat ganti rugi dari pihak
perbankan.
3. Menumbuhkan rasa saling percaya antara pemberi jaminan, yang dijaminkan dan yang
menerima jaminan.
4. Memberikan rasa aman dan ketentraman dalam berusaha baik, bagi bank maupun bagi
pihak lainnya, Bagi bank disamping keuntungan yang diatas juga akan memperoleh
keuntungan dari biaya-biaya yang harus dibayar nasabah serta jaminan lawan yang
diberikan.
Disamping itu bank garansi memiliki sifat tertentu yang mana bank garansi hanya berlaku
untuk satu kali transaksi yaitu sampai dengan tanggal berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan
sesuai dengan klausul yang tercantum dalam surat bank garansi yang bersangkutan. Bank garansi
tidak dapat diperpanjang, tetapi dapat diajukan permohonan oleh nasabah untuk diperbaharui
atas persetujuan tertulis dari pemegang bank garansi.
Dalam prakteknya hal ini dapat dilihat dari bank garansi jaminan pelaksaan antara PT.
Pertamina EP Region Sumatera dengan PT. Bella Prayatama yang mana bank garansi untuk
jaminan pelaksanaannya telah diterbitkan oleh Bank Mandiri dimana dalam bank garansi telah
dinyatakan dengan tegas bahwa bank garansi pada angka 2 disebutkan bahwa jaminan
pelaksanaan ini berlaku sejak tanggal 01/10/2010 sampai dengan 31/01/2011, keadaan ini
menunjukan bahwa apabila telah jatuh tempo dan jika diperlukan lagi bank garansi tersebut
diajukan permohonan kembali.
Fungsi Bank Garansi
Bank garansi sebagai jaminan pelaksanaan adalah merupakan salah jasa yang diberikan
oleh bank, dimana bank memberikan jaminan kepada penerima jaminan, jika pihak yang dijamin
wanprestasi, dengan tujuan memberikan fasilitas guna menunjang usaha nasabah yang akan
melakukan transaksi yang tidak membutuhkan uang kontan/fasilitas kredit dari bank. Dengan
demikian bagi masing-masing pihak, bank garansi mempunyai fungsi dan meperoleh manfaat
yaitu :
1. Bagi kreditor (penerima jaminan), bank garansi berfungsi sebagai jaminan
terlaksananya pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian.
2. Bagi debitor (terjamin), bank garansi berfungsi sebagai sarana mendukung untuk
memberikan jaminan kepercayaan kreditor (penerima jaminan), bahwa prestasi yang
menjadi hak kreditor akan tetap terpenuhi pada waktunya, sekalipun ia sendiri
berhalangan untuk memenuhinya. Fungsi bank garansi seperti ini memperlancar
terjadinya trasaksi yang dibuatnya.
3. Bagi bank (penjamin), bank garansi berfungsi sebagai salah satu sarana untuk
memberikan bantuan fasilitas berbentuk jaminan untuk membantu memperlancar
transaksi yang dibuat oleh nasabah dan kreditornya dan memperoleh keuntungan dari
biaya-biaya yang harus dibayar nasabah serta dengan adanya jamanan lawan yang
diberikan, maka kredibilitas bank juga akan meningkat dimata para nasabahnya.
Namun kenyataannya dalam masyarakat bank garansi sangat membantu kelancaran usaha
disebabkan untuk menjadi rekanan dalam mejalankan pekerjaan pada proyek-proyek pemerintah
persyaratannya harus menyerahkan bank garansi, hal ini menunjukkan bahwa bank garansi
sangat berperan dalam aktivitas dunia usaha, ternyata untuk mengikuti tender pada PTPN.II di
Tanjung Morawa persyaratannya harus menyerahkan bank garansi (bid bond) kemudian
setelahdinyatakan menang tender disayaratkan menyerahkan bank garansi (performent bond),
namun untuk jenis bank garansi dalam bentuk payment bond, setelah terjadinya krisis monoter
berkisar tahun 1997, jarang digunakan disebabkan bouwheer tidak lagi memberikan uang muka
pada perusahaan.kemudian terhadap pekerjaan yang telah selesai dikerjakan, untuk biaya
pemeliharaan biasanya dana perusahaan kami diblokir 5 % (lima persen) dalam jangka waktu
selama 3 (tiga) bulan untuk borongan pekerjaan perumahan karyawan jika dalam tenggang waktu
tidak muncul permasalahan, maka dana tersebut dikembalikan kepada perusahaan dengan
demikian untuk bank garansi dalam bentuk retention bond saat ini jarang dipergunakan.
Bertalian dengan itu untuk jangka waktu bank garansi tergantung pada permintaan dari
bouwheer yang dimohonkan terjamin kepada pihak bank, namun pada umumnya jangka waktu
bank garansi maksimal 12 (dua belas) bulan karena perlakuan terhadap syarat-syaratnya sama
dengan permohonan kredit modal kerja, bedanya untuk bank garansi dananya tidak langsung
diterima dan bersifat kontijen liability (kewajiban yang belum tentu terjadi).
Sehubungan dengan itu terlihat bahwa bank garansi berfungsi sebagai sarana untuk
memudahkan melakukan aktivitas usaha dan sangat bermanfaat bagi terjamin untuk menambah
kepercayaan bouwheer dan lebih meyakinkan akan terpenuhinya prestasi terjamin apabila terjadi
wanprestasi.
Namun demikian dalam pelaksanaan pemberian bank garansi oleh pihak bank, tentunya
tidak terlepas dari kehendak para pihak oleh karena itu kehendak tersebut akan dituangkan dalam
suatu perjanjian, untuk itu terhadap perjanjian bank garansi ternyata tidak ada ketentuan yang
mengatur bahwa judul perjanjian bank garansi itu harus sama untuk setiap bank.98 Berarti
pemakaian judul perjanjian bank garansi tergantung pada banknya masing-masing, namun dari
hasil wawancara tersebut perjanjian pemberian bank garansi pada umumnya bank- bank swasta
nasional perjanjiannya dilakukan secara akta otentik. Hal ini terbukti bahwa pengguna bank
garansi yang telah berhubungan dan menikmati fasilitas bank garansi dari beberapa bank swasta
nasional yang ada di Medan terhadap perjanjian bank garansi dilakukan dengan akta otentik yang
dibuat dihadapan Notaris sedangkan pada Bank Pemerintah perjanjian pemberian bank garansi
dapat dilakukan dibawah tangan akan tetapi pengikatan jaminan untuk dilakukan pemasangan
hak tanggungan dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.99 Selanjutnya untuk itu
perjanjian pemberian bank garansi pada Perseroan Terbatas PT.Bank Negara Indonesia (Pesero)
Tbk dapat dilakukan dibawah tangan.100 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peran atau
fungsi bank garansi dihubungkan dengan perjanjian kredit adalah merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan karena apabila bank garansi dicairkan disebabkan terjadinya wanprestasi
secara otomatis perjanjian pemberian bank garansi menjadi perjanjian kredit.
KELOMPOK 16
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Bank
Menurut UU RI No 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, dapat
disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan, yaitu menghimpun
dana,menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank lainnya. Kegiatan menghimpun dan
menyalurkan dana merupakan kegiatan pokok bank sedangkan memberikan jasa bank lainnya
hanya kegiatan pendukung. Kegiatan menghimpun dana, berupa mengumpulkan dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito. Biasanya sambil diberikan
balas jasa yang menarik seperti, bunga dan hadiah sebagai rangsangan bagi masyarakat. Kegiatan
menyalurkan dana, berupa pemberian pinjaman kepada masyarakat. Sedangkan jasa-jasa
perbankan lainnya diberikan untuk mendukung kelancaran kegiatan utama tersebut. bank
didirikan oleh Prof. Dr. Ali Afifuddin, SE. Inilah beberapa manfaat perbankan dalam kehidupan:
1. Sebagai model investasi, yang berarti, transaksi derivatif dapat dijadikan sebagai salah
satu model berinvestasi. Walaupun pada umumnya merupakan jenis investasi jangka
pendek (yield enhancement).
2. Sebagai cara lindung nilai, yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai salah
satu cara untuk menghilangkan risiko dengan jalan lindung nilai (hedging), atau disebut
juga sebagai risk management.
3. Informasi harga, yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai sarana mencari
atau memberikan informasi tentang harga barang komoditi tertentu dikemudian hari
(price discovery).
4. Fungsi spekulatif, yang berarti, transaksi derivatif dapat memberikan kesempatan
spekulasi (untung-untungan) terhadap perubahan nilai pasar dari transaksi derivatif itu
sendiri.
5. Fungsi manajemen produksi berjalan dengan baik dan efisien, yang berarti, transaksi
derivatif dapat memberikan gambaran kepada manajemen produksi sebuah produsen
dalam menilai suatu permintaan dan kebutuhan pasar pada masa mendatang.
Terlepas dari funsi-fungsi perbankan (bank) yang utama atau turunannya, maka yang perlu
diperhatikan untuk dunia perbankan, ialah tujuan secara filosofis dari eksistensi bank di
Indonesia. Hal ini sangat jelas tercermin dalam Pasal empat (4) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 yang menjelaskan, ”Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan
stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”. Meninjau lebih dalam
terhadap kegiatan usaha bank, maka bank (perbankan) Indonesia dalam melakukan usahanya
harus didasarkan atas asas demokrasi ekonomi yang menggunakan prinsip kehati-hatian.4 Hal
ini, jelas tergambar, karena secara filosofis bank memiliki fungsi makro dan mikro terhadap
proses pembangunan bangsa.
2.2. Tujuan perbankan
Jasa bank sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Jasa perbankan
pada umumnya terbagi atas dua tujuan. Pertama, sebagai penyedia mekanisme dan alat
pembayaran yang efesien bagi nasabah. Untuk ini, bank menyediakan uang tunai,tabungan,
dan kartu kredit. Ini adalah peran bank yang paling penting dalam kehidupanekonomi. Tanpa
adanya penyediaan alat pembayaran yang efesien ini, maka barang hanya dapat diperdagangkan
dengan cara barter yang memakan waktu. Kedua, dengan menerima tabungan dari nasabah dan
meminjamkannya kepada pihak yang membutuhkan dana, berarti bank meningkatkan arus dana
untuk karena mereka tidak memiliki dana pinjaman.
2.3. Bank sebagai agen penjamin
Agen Penjamin adalah del credere agent yaitu agen yang menjamin pembayaran barang yang
dijual olehnya dengan menerima komisi tambahan. pihak yang bertanggung jawab atas
pengikatan jaminan dan dokumentasinya. Dalam hal terdapat suatu jaminan dalam kredit
sindikasi, maka tugas Security Agent adalah mengadministrasikan jaminan (security sharing
agreement) dan bertindak mewakili para Kreditor dalam mengeksekusi atau melakukan tindakan-
tindakan hukum atas jaminan-jaminan yang bersangkutan. Biasanya, didaftarkannya dokumen
jaminan menjadi atas nama agen jaminan.
Mewakili prinsipal (Kreditur-Kreditur) dalam hal pengikatan Jaminan Hutang.
Mewakili prinsipal dalam hal eksekusi Jaminan Hutang.
Membagi-bagi eksekusi Jaminan Utang kepada para Kreditur menurut imbangan seperti
yang diperjanjikan, biasanya secara Pari Passu.
Melakukan hal-hal lain dalam hubungan dengan Jaminan Hutang, seperti mengawasi
barang yang menjadi objek Jaminan Utang, menerima/memegang polis asuransi dari
Jaminan Hutang, dan mengurusi masalah-masalah administrasi lainnya.
Security Agent diangkat dari salah satu Kreditur yang ikut terlibat dalam perjanjian—
biasanya yang memiliki dana/saham paling besar dan paling aktif. Dalam hukum Anglo
Saxon, Security Agent lebih dikenal dengan istilah Security Trustee, atau yang dikenal dalam
hukum Pasar Modal sebagai Wali Amanat.
Tugas Security Agent hampir sama dengan tugas seorang Kurator dalam permasalahan
kepailitan. Tugas Security Agent harus ditulis secara jelas dalam klausul-klausul perjanjian
karena hal ini tidak tercatat dalam Undang-undang. Seorang Security Agent juga
mendapatkan fee/ongkos pekerjaan, permasalahan fee/ongkos pekerjaan ini pun haruslah ditulis
dalam perjanjian.
2.4. Mengenal Bank Agen Penjaminan
Jadi dalam pemberian Bank Garansi ada tiga pihak yang terlibat , yaitu sebagai berikut :
1. Bank sebagai pihak pemberi jaminan disebut Penjamin( Bank penerbit / Issuing Bank )
2. Nasabah sebagai pemohon ( Applicant ) pihak yang dijamin disebut Terjamin
3. Pihak ketiga yang menerima jaminan disebut Penerima jaminan ( Beneficiary)
Kenapa si penerima jaminan (Beneficiary) percaya kepada Bank penerbit Bank Garansi (Issuing
Bank/Opening Bank)sebagai penjamin ? Jawabannya Kepercayaan masyarakat terhadap Bank
adalah modal utama bank, Bank yang menerbitkan Bank Garansi harus bank yang mempunyai
reputasi yang baik di mata masyarakat, sehingga si penerima jaminan percaya bahwa bank akan
mengganti kedudukan si terjamin (Applicant) untuk memenuhi kewajibannya. Dengan demikian
maka si penerima jaminan (Beneficiary) akan terhindar dari resiko yang timbul akibat kelalaian
si terjamin (Applicant).
Bagaimana Bank bisa mempercayai nasabahnya sebagai pemohon (Applicant) atas penerbitan
Bank Garansi dan berani mengambil resiko kerugian jika nasabahnya sebagai si terjamin
melanggar janji ? Untuk mengatasi resiko atas pengeluaran Bank Garansi, Bank terlebih dahulu
akan meminta Jaminan lawan (Counter Guarantee) kepada si pemohon (Applicant) sebagai calon
si terjamin yang nilai tunainya sekurang-kurangnya sama dengan nilai nominal yang tercantum
di dalam Bank Garansi. Counter Guarantee ini bisa berupa uang tunai atau simpanan giro,
deposito, surat berharga, atau harta kekayaan (Asset) milik si terjamin yang umumnya di
perbankan biasa disebut Collateral. Collateral ini akan di blokir oleh bank atau di disclaimer atau
di bekukan selama Bank Garansi tersebut berjalan dan belum jatuh tempo. Namun demikian ,
berdasarkan pengalaman, syarat-syarat persetujuan antara Bank dengan si pemohon (Applicant)
Bank Garansi sangat Fleksibel, penilaian Bank terhadap pemohon lebih tergantung kepada
reputasi atau Bonafiditas nasabahnya. Nasabah yang sudah bertahun-tahun menjadi nasabah
Bank-nya dengan reputasi yang baik sehingga bonafiditasnya tidak diragukan akan berbeda
dengan nasabah yang bonafiditasnya masih diragukan. Sehinga inti pemberian Bank Garansi
adalah kepercayaan Bank terhadap Nasabahnya dalam membantu kelancaran transaksi Bisnis
nasabahnya.
Apa keuntungan bank atas pemberian Bank Garansi ? Atas pemberian Bank Garansi terhadap
nasabahnya atau si terjamin, Bank akan menerima imbalan jasa dari si terjamin (Applicant)
berupa sejumlah uang tertentu yang disebut dengan ‘provisi’. Biasanya provisi dihitung atas
dasar persentase tertentu dari jumlah Nominal Bank Garansi dan untuk jangka waktu tertentu,
bisa triwulan, semester atau satu tahun dan sebagainya.
MANFAAT DAN KEGUNAAN BANK AGEN PENJAMINAN
Bank Garansi diterbitkan atas permintaan nasabahnya (Applicant) yang akan
digunakan untuk keperluan beragam sesuai kebutuhan transaksi bisnis nasabahnya, manfaatnya
secara umum adalah Sebagai sarana untuk memperlancar lalu lintas barang dan jasa,
meringankan Cash Flow dll. Penerima jaminan (Beneficiary) tidak akan menderita kerugian bila
pihak yang dijamin (Applicant) melalaikan kewajiban karena penerima jaminan
(Beneficiary) akan mendapat ganti rugi (pembayaran) dari bank.
Sebagai contoh saya berikan ilustrasi sebagai berikut. Misalkan anda akan membuat
sebuah rumah yang baru, lalu anda akan mencari kontraktor atau pemborong untuk
melaksanakan proses pembangunan rumah anda, akan tetapi anda merasa ragu dengan si
kontraktor tersebut, yang anda takutkan jika anda memberikan uang untuk membangun rumah
anda kepada si kontraktor atau pemborong, si kontraktor tersebut tidak melaksanakan
pembangunan rumah anda atau berhenti di jalan, atau si kontraktor membawa lari uang yang
anda berikan, sehingga anda akan menanggung resiko. Dan sebaliknya si kontraktor juga
misalkan ragu sama si pemilik proyek atau anda, kontraktor ragu karena jika dia mengerjakan
pembangunan rumah anda dan setelah selesai dikhawatirkan ternyata anda tidak sanggup
membayar pekerjaan pembangunan yang telah diselesaikan oleh si kontraktor.
Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang mungkin terjadi tersebut, maka kedua pihak yaitu anda
dan si kontraktor bersepakat untuk menetapkan suatu Bank sebagai penjamin terhadap hal-hal
yang mungkin tidak diinginkan oleh kedua belah pihak. Bank yang harus dipilih oleh anda dan si
kontraktor adalah Bank yang dipercaya masyarakat dan sudah dikenal bonafiditasnya. Lalu anda
membuat kontrak perjanjian dengan si Kontraktor. Isi perjanjan, karena anda sebagai pemilik
proyek rumah anda dan anda akan mengeluarkan uang untuk pembangunan rumah anda, anda
meminta Jaminan Bank Garansi dari si kontraktor sebagai jaminan pelaksanaan pembangunan
rumah anda. Lalu si Kontraktor akan mengajukan permohonan penerbitan Bank Garansi
(Kontraktor sebagai Applicant) kepada Bank dimana dia menjadi nasabahnya, Bank Garansi
tersebut ditujukan atas nama Anda sebagai penerima jaminan (Beneficiary), kenapa? Karena
anda akan mengeluarkan uang dimuka sebelum pelaksanaan pembanguan dimulai oleh
kontraktor. Setelah anda memegang Bank Garansi dari si kontraktor maka tentu anda sudah tidak
akan ragu lagi untuk melepas uang anda kepada si kontraktor untuk melaksanakan pembangunan
rumah anda. Karena jika si kontraktor tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kontrak
pekerjaan, maka Bank yang menerbitkan Bank Garansi akan menangung kewajiban si
kontraktor.
Ilustrasi tadi bisa terjadi sebaliknya tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak. Jika
misalkan pembangunan rumah anda dibangun melalui uang si kontraktor dan anda akan
membayar setelah si kontraktor menyelesaikan pekerjaannya, maka dalam hal ini andalah yang
harus memberikan jaminan kepada si kontraktor, anda yang harus mengajukan permohonan pada
bank anda untuk menerbitkan Bank Garansi atas nama si penerima jaminan si kontraktor
(beneficiary). Jadi dalam hal ini anda sebagai Applicant atau pemohon dan si kontraktor menjadi
Beneficiary atau penerima jaminan.
Hal penting yang harus di ingat adalah bahwa Bank akan memeriksa kesanggupan dari
si pemohon penerbitan Bank Garansi (Applicant), disamping si applicant harus mempunyai
Counter Garansi, Bank penerbit juga akan memeriksa Surat Kontrak antara si Applicant dengan
si Beneficiary. Isi Surat kontrak harus berbunyi sedetail mungkin, karena Kontrak tersebut akan
merupakan dasar daripada permohonan penerbitan Bank Garansi. Di dalam Surat Bank Garansi
dicantumkan berlakunya jangka waktu yaitu mulai tanggal penerbitan sampai tanggal jatuh
tempo atau berakhirnya masa berlaku Bank Garansi. Tanggal berakhirnya masa berlaku Bank
Garansi adalah hal yang harus selalu di ingat, supaya bilamana masa berlaku Bank Garansi akan
berakhir dan ternyata si Applicant menganggap masih membutuhkan, maka si Applicant dapat
mengajukan permohonan untuk perpanjangan, untuk hal tersebut Bank penerbit akan
memperbaharuinya dengan menerbitkan Bank Garansi yang baru. Jadi Bank harus selalu
mengetahui tanggal jatuh tempo Bank Garansi supaya dapat melakukan langkah sebelum masa
berlaku Bank Garansi berakhir. Setelah tanggal jatuh tempo Bank Garansi, maka si Applicant
harus menyerahkan Surat Bank Garansi tersebut kepada Bank penerbit. Dan Bank bersangkutan
akan menyerahkan kembali Collateral bersama bukti-bukti kepemilikan serta Surat Perjanjian
Bank Garansi yang telah diroya (aquit et de charge).
Hal penting yang harus di ingat ! *Dalam menerbitkan Garansi Bank, bank terikat oleh
suatu ketentuan-ketentuan maupun larangan-larangan yang ditaati, antara lain :
Untuk melindungi serta menjamin rasa kepastian terhadap masyarakat yang menerima
Garansi Bank, maka Garansi Bank tidak boleh memuat :
1. Syarat-syarat yang terlebih dahulu harus dipenuhi untuk berlakunya garansi bank
tersebut.
2. Ketentuan bahwa Garansi Bank boleh diubah atau dibatalkan secara sepihak
(Revocable/Irrevocable).
Bank dilarang memberikan Garansi Bank untuk kredit yang diberikan atau unuk dana
yang diterima oleh bank lain. Alasannya Garansi Bank sesungguhnya berfungsi pokok
sebagai alat untuk memperlancar lalu lintas barang_barang dan jasa.
Bank dilarang memberikan jaminan :
1. Dalam rupiah untuk kepentingan bukan penduduk.
2. Dalam valuta asing baik untuk penduduk maupun bukan penduduk.
Bank asing dilarang memberikan Garansi Bank untuk perusahaan yang diluar Jakarta.
Bank Umum dan Bank Pembangunan pemerintah dilarang memberikan Garansi Bank
jangka menengah dan panjang kepada pengusaha non pribumi dalam rangka pengadaan
barang modal. Sedangkan untuk pengusaha pribumi harus dengan izin B.I. Demikian
juga PMA dilarang.
Dalam memberikan Garansi Bank ini, Bank juga dikenakan pembatasan dalam hal jumlah
(nilai) yang bolah dikeluarkan. Maksimal pemberian Garansi Bank diambil dari jumlah yang
tertinggi dari perhitungan : 40% x dana pihak ketiga (giro, deposito, tabungan dalam rupiah
maupun valuta asingt), atau dari 2 X modal sendiri.
BANK GARANSI DALAM VALUTA ASING
Bank Devisa juga mengeluarkan Bank Garansi dalam transaksi perdagangan luar negeri,
berupa Bank Garansi dalam valuta asing. Bank Indonesia telah menetapkan ketentuan-
ketentuan sebagai berikut :
1. Bank devisa pemerintah diperkenankan memberikan Bank Garansi dalam valuta asing
kepada konsultan, kontraktor, dan eksportirIndonesia sehubungan dengan tender dan
pelaksanaan kontrak di Negara lain.
2. Bank Garansi dalam valuta asing hanya diberikan untuk memenuhi persyaratan
sebagai Bid bond, Advance payment guarantee, dan Performance bond.
3. Bank Garansi dalam valuta asing diberikan untuk kepentingan peserta tender di luar
negeri yang diadakan oleh pihak-pihak di Indonesia dalam rangka project aid dan
pembelian-pembelian pemerintah non-project aid atas permintaan dan tanggungan bank
di luar negeri yang bonafide.
4. Bank Garansi dalam valuta asing diberikan untuk kepentingan kontraktor dalam negeri
yang mengikuti tender dan melaksanakan pembangunan proyek yang dibiayai dengan
dana bantuan luar negeri atau dana sendiri.
Counter Guarantee untuk Bank Garansi dalam valuta asing, khusus untuk konsultan yang
Bonafide, diatur sebagai berikut :
1. Persyaratan mengenai uang jaminan yang harus dibekukan, tidak merupakan hal
yang mutlak, akan tetapi disesuaikan dengan kemungkinan terjadinya resiko.
2. Besarnya jaminan lawan (Counter guarantee) yang harus diserahkan oleh konsultan yang
bersangkutan tergantung kepada besarnya risiko kemungkinan timbul menurut penilaian
bank, dengan demikian Counter Guarantee itu dapat berupa materiil maupun immateriil.
KELOMPOK 17
PEMBAHASAN
TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN KREDIT
A. Pengertian Jaminan
Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
mengenai Perbankan, tidak disebutkan secara tegas mengenai kewajiban atau keharusan tersedianya
jaminan atas kredit yang dimohonkan oleh calon debitur atau debitur, seperti yang diatur dalam Undang –
Undang Perbankan sebelumnya.
Selengkapnya dibandingkan bunyi Pasal dalam Undang-Undang Perbankan yang mengatur mengenai
masalah jaminan tersebut, yaitu :
1. Bunyi Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 : “Bank umum tidak memberi kredit tanpa
jaminan kepada siapapun juga”.
2. Bunyi Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 : “Dalam memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis
yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya
atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967, secara tersirat jelas ditekankan keharusan adanya jaminan
atas setiap pemberian kredit kepada siapapun. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998,
keharusan adanya jaminan terkandung secara tersirat dalam kalimat : “…keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur…” dan sekaligus mencerminkan apa yang disebut dengan jaminan
yang harus disediakan oleh debitur. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit
bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek
usaha dari debitur. Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsure jaminan pemberian kredit, maka
apabila berdasarkan unsure-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur
mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai
dengan kredityang bersangkutan. Apalagi apabila kita melihat ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang
menentukan bahwa segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan. Yang dimaksud dengan jaminan itu sendiri adalah tanggungan yang diberikan oleh debitur
dan atau pihak ketiga kepada kreditur karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur
harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan. Dari pengertian tersebut lebih lanjut dapat
dikemukakan bahwa :
1. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, baik berupa hak kebendaanmaupun hak perorangan.
2. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, dapat diberikan oleh debitur sendiri maupun pihak
ketiga yang disebut juga penjamin atau penanggung.
3. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut ialah untuk keamanan dan kepentingan kreditur yang
harus diadakan dengan suatu perjanjian khusus, perikatan mana bersifat acesoir dari perjanjian kredit atau
pengakuan utang yang diadakan antara kreditur dengan debitur.
Mengenai pentingnya suatu jaminan oleh kreditur atas suatu pemberian kredit, tidak lain adalah salah satu
upaya untuk mengantisipasi risiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan
pelunasan kredit tersebut.
B. Prinsip-Prinsip Hukum Jaminan
Beberapa prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata adalah
sebagai berikut ;
1. Kedudukan harta para pihak peminjam
Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak peminjam, yaitu bahwa harta para
pihak peminjam adalah sepenuhnya merupakan jaminan atas utangnya. Pasal 1131 KUH Perdata
menetapkan bahwa semua harta pihak peminjam, baik yang berupa harta bergerak, baik yang sudah ada
maupu yang akan ada di kemudian hari merupakan jaminan atas perikatan utang pihak peminjam.
Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu
mengtur tentang kedudukan harta pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut pelunasan
utang pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan, Termasuk senua harta yang akan dimilikinya
dikemudian hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak untuk menuntut pelunasan utang dari harta
yang akan diperoleh oleh pihak peminjam dikemudian hari.
Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata sering pula dicantumkan sebagai salah satu klausul dalam perjanjian
kredit perbankan. Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang dicantumkan sebagai klausul dalam
perjanjian kredit bila ditinjau dari isi (materi) perjanjian, disebut sebagai isi naturalia.
Klausul perjanjian yang tergolong sebagai isi naturalia merupakan klausul fakultatif, artinya bila
dicantumkan sebagai isi perjanjian akan lebih baik, tetapi bila tidak dicantumkan, tidak menjadi masalah
kecacatan perjanjian karena hal (klausul) yang seperti demikian sudah diatur oleh ketentuan hukum yang
berlaku.
Dengan memperhatikan kedudukan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata Bila dikaitkan dengan suatu
perjanjian pinjaman uang, akan lebih baik ketentuan tersebut dimasukkan sebagai klausul dalam
perjanjian pinjaman uang, termasuk dalam perjanjian kredit.
2. Kedudukan pihak pemberi pinjaman
Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi
pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu :
a. Yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing.
b. Yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak peberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu
peraturan perundang-undangan.
Pasal 1132 KUH Perdata menetapkan bahwa harta pihak peminjam menjadi jaminan bersama bagi semua
pihak pemberi pinjaman, hasil penjualan harta tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut
besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara pihak pemberi pinjaman itu mempunyai
alasan yang sah untuk didahulukan.
3. Larangan memperjanjikan pemilikan objek jaminan utang oleh pihak pemberi pinjaman
Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang bila pihak
peminjam ingkar janji atau wanperstasi. Larangan bagi pihak pemberi pinjaman utnuk memperjanjikan
akan memiliki objek jaminan utang sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan-ketentuan lembaga
jaminan tersebut tentunya akan melindungi kepentingan pihak peminjam dan pihak pemberi pinjaman
lainnya, terutama bila nilai objek jaminan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pihak pemberi pinjaman
yang mempunyai hak berdasarkan ketentuan lembaga jaminan dilarang serta-merta menjadi pemilik objek
jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji. Ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas tentunya
akan dapat mencegah tidakan sewenang-wenang pihak pemberi pinjaman yang akan merugikan pihak
peminjam.
C. Jenis-Jenis Jaminan
Oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pada dasarnya jenis-jenis jaminan kredit
adalah sebagai berikut :
1. Jaminan Perorangan
Jaminan perorangan adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seseorang pihak
ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur, apabila debitur
yang bersangkutan wanprestasi. Jaminan semacam ini pada dasarnya adalah penanggungan utang yang
diatur dalam KUH Perdata Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 (termasuk Pasal 1316).
2. Jaminan Kebendaan
Jaminan kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan, baik benda maupun hak kebendaan, yang
diberikan dengan cara pemisahan bagian
dari harta kekayaan baik dari sidebitur maupun dari pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-
kewajiban debitur kepada pihak kreditur, apabila debitur yang bersangkutan wanprestasi. Menurut
sifatnya, jaminan kebendaan ini terbagi 2, yaitu :
a. Jaminan dengan benda berwujud (material)
Dapat berupa benda atau barang bergerak dan barang tidak bergerak. Sedangkan benda tak berwujud yang
lazim diterima oleh bank sebagai jaminan kredit adalah berupa hak tagih. Barang bergerak yang lazim
diterima sebagai jaminan kredit oleh bank, antara lain dapat berupa :
1. Kendaraan Bermotor.
Yang dimaksud dengan kendaraan bermotor disini adalah mobil dengan berbagai jenis, tipe dan merek
serta sepeda motor dan skuter. Hal ini sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Undang-Undang No. 14
Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, yaitu pada Pasal 1 ayat (7) disebutkan bahwa
“kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan, oleh peralatan teknik yang berada di atas
atau pada kendaraan itu”. Untuk kepentingan pengikatan jaminan, maka yang harus diminta oleh bank
adalah buku Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB).
2. Stok Barang.
Yang dimaksud dengan stok barang disini adalah barang dagangan, baik yang sudah ada maupun yang
akan ada yang dapat dinilai baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
3. Deposito.
Apabila deposito akan dijadikan jaminan kredit, maka yang harus diminta dan disimpan oleh bank adalah
bilyet deposito tersebut, baik untuk deposito berjangka maupun untuk sertifikat deposito.
Kemudian atas deposito ini, harus diperiksa keaslian, legalitasnya serta kebenaran daripada isi bilyet
tersebut. Ada beberapa cara untuk mengetahui dan mengamankan suatu deposito yang akan dijadikan
jaminan, antara lain adalah :
a. Apabila bank penerbit deposito tersebut berbeda dengan bank pemberi kredit, maka :
1. Pemilik deposito memberikan surat kuasa kepada bank pemberi kredit untuk memblokirkan atau
mencairkan deposito pada bank penerbit deposito tersebut.
2. Atas dasar surat kuasa tersebut bank pemberi kredit memebuat surat permintaan pemblokiran atas
deposito yang bersangkutan, dimana sebagai tanda sepengetahuan dan pesetujuannya, maka bank penerbit
deposito tersebut membubuhkan tanda tangannya pada surat permintaan pemblokiran deposito tadi.
b. Apabila bank penerbit deposito tersebut dan bank pemberi kredit adalah bank yang sama, maka :
1. Pemilik deposito memberikan surat kuasa kepada bank pemberi kredit untuk memblokirkan atau
mencairkan deposito yang dijaminkan tersebut.
2. Atas dasar surat kuasa tersebut bank yang bersangkutan melakukan pengecekan keaslian dan kebenaran
serta pemblokiran atas deposito tersebut.
Sedangkan barang tidak bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit oleh bank, dapat berupa ;
1. Tanah dan Bangunan.
Sehubungan dengan kenyataan yang ada saat ini bahwa tanah-tanah dan benda-benda khususnya
bangunan yang ada di atasnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, maka apabila bank
bank akan menerima tanah sebagai jaminan kredit, maka benda-benda yang berada di atas tanah tersebut
harus diminta pula sebagai jaminan atas kredit tersebut.
2. Kapal
Untuk kepentingan pembebanan hak tanggungan atau perikatan jaminan kapal, maka secara umum dapat
dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
a. Kapal yang berukuran kurang dari 20 meter kubik.
b. Kapal yang berukuran 20 meter kubik atau lebih.
D. Fungsi Jaminan Dalam Pemberian Kredit
Sebagaimana telah dikemukakan pemberian kredit adalah salah satu bentuk pinjaman uang. Dalam suatu
pinjaman uang sering dipersyaratkan adanya jaminan utang yang dapat terdiri dari berbagai bentuk dan
jenisnya. Mengenai penjaminan utang, dalam hukum positif di Indonesia terdapat berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan jaminan utang yang sering disebut dengan
sebutan hukum jaminan. Ketentuan-ketentuan hukum jaminan yang berlaku memberikan pengaturan yang
akan melindungi pihak-pihak yang berkepentingan dengan pinjaman uang dan jaminan utang tersebut.
Dari uraian di atas terlihat bahwa jaminan yang diberikan debitur kepada kreditur mempunyai fungsi
sebagai berikut :
1. Jaminan kredit sebagai pengamanan pelunasan kredit
Bank sebagai badan usaha yang memberikan kredit kepada debitur wajib melaksanakan upaya
pengamanan agar kredit tersebut dapat dilunasi debitur yang bersangkutan. Kredit yang tidak dilunasi
oleh debitur baik sebagian maupun seluruhnya akan merupakan kerugian bagi bank. Kerugian yang
menunjukkan jumlah yang relatif besar akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank dan kelanjutan usaha
bank.
Oleh karena itu, sekecil apapun nilai uang dari kredit yang telah diberikan kepada debitur harus tetap
diamankan sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Secara umum pengamanan kredit dapat dilakukan melalui
tahap analisis kredit dan melalui penerapan ketentuan hukum yang berlaku. Khusus mengenai jaminan
kredit, untuk pengamanannya dapat
ditemukan baik pada tahap analisis kredit maupun melalui penerapan ketentuan hukum. Keterkaitan
jaminan kredit dengan pengamanan kredit dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata
sehingga merupakan upaya lain atau alternatif yang dapat digunakan bank untuk memperoleh pelunasan
kredit pada waktu debitur ingkar janji pada bank. Bila di kemudian hari debitur ingkar janji, yaitu tidak
melunasi utangnya kepada bank sesuai dengan ketentuan perjanjian kredit, akan dilakukan pencairan
(penjualan) atas objek jaminan kredit yang bersangkutan. Hasil pencairan kredit tersebut selanjutnya akan
diperhitungkan oleh bank untuk pelunasan kredit debitur yang telah dinyatakan sebagai kredit macet.
Fungsi jaminan kredit untuk mengamankan pelunasan kredit baru akan muncul pada saat kredit
dinyatakan sebagai kredit macet. Selama kredit telah dilunasi oleh debitur, tidak akan terjadi pencairan
jaminan kreditnya. Dalam hal ini jaminan kredit akan dikembalikan kepada debitur yang bersangkutan
sesuai dengan ketentuan hukum dan perjanjian kredit.
Fungsi jaminan kredit untuk mengamankan pelunasan kredit sangat berkaitan dengan kepentingan bank
yang menyalurkan dananya kepada debitur yang sering dikatakan mengandung risiko. Dengan adanya
jaminan kredit yang dikuasai dan diikat bank sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku, pelaksanaan fungsi tersebut akan terlaksana pada saat debitur ingkar janji atau wanprestasi.
2. Jaminan kredit sebagai pendorong motivasi debitur
Pengikatan jaminan kredit yang berupa harta milik debitur yang dilakukan oleh pihak bank, tentunya
debitur yang bersangkutan takut akan kehilangan harta tersebut. Hal ini akan mendorong debitur berupaya
untuk melunasi kreditnya kepada bank agar hartanya yang dijadikan jaminan kredit tersebut tidak hilang
karena harus dicairkan oleh bank. Umumnya sesuai dengan ketentuan peraturan internal masing-masing
bank, nilai jaminan kredit yang diserahkan debitur kepada bank lebih besar bila dibandingkan dengan
nilai kredit yang diberikan bank kepada debitur yang bersangkutan.
Hal ini memberikan motivasi kepada debitur untuk menggunakan kredit sebaik-baiknya, melakukan
kegiatan usahanya secara baik, mengelola kondisi keuangan secara hati-hati sehingga dapat segera
melunasi kreditnya agar dapat menguasai kembali hartanya. Tidak dapat dipungkiri siapapun juga pasti
tidak ingin kehilangan hartanya karena merupakan sesuatu yang dibutuhkan, mempunyai nilai-nilai
tertentu, atau disayangi.
3. Motivasi pemenuhan perjanjian
Dengan adanya jaminan yang diberikan debitur kepada kreditur, maka debitur akan merasa termotivasi
untuk memenuhi isi perjanjian. Ini
disebabkan karena jaminan yang diberikan kepada kreditur lebih besar nilainya dari jumlah uang yang
dipinjam debitur. Dengan pengertian lain, secara sepintas adanya kewajiban bagi debitur untuk melunasi
utangnya disebabkan karena keinginan menebus benda yang dijadikan jaminan.
E. Pengikatan Atas Jaminan Kredit
Terhadap setiap objek jaminan kredit yang diserahkan debitur dan disetujui bank, harus segera diikat
sebagai jaminan utang. Bank seharusnya mengikat objek jaminan kredit secara sempurna, yaitu dengan
mengikuti ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan utang. Pengikatan atau
penguasaan jaminan kredit seharusnya dilakukan sebelum diizinkannya dibitur menarik dana kredit.
Keharusan pengikatan dan penguasaan jaminan kredit merupakan bagian dari persyaratan adminstratif
yang sudah diselesaikan sebelum kredit disalurkan dananya kepada debitur.
Sehubungan dengan adanya persyaratan administrative yang ditetapkan dalam peraturan internal bank,
untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan hendaknya bank tidak menyetujui permohonan penarikan
kredit yang diajukan debitur sebelum seluruh persyaratan administratif diselesaikan oleh debitur,
termasuk mengenai pengikatan dan penguasaan jaminan kreditnya.
BAB III
LEMBAGA JAMINAN PEMBEBANAN DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT
A. Gadai
1. Pengertian Gadai
Deposito termasuk dalam katagori benda bergerak yang tidak berwujud, sehingga atasnya dapat
dibebani hak gadai. Terhadap gadai atas benda bergerak tersebut maka hukum yang berlaku adalah
ketentuan hukum KUH Perdata Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160.
Pemberian gadai pada dasarnya adalah suatu jaminan dalam pelaksanaan suatu prestasi yang akan
diberikan oleh debitur untuk masa yang akan datang mengingat bahwa gadai memberikan kekuasaan
kepada pemegang gadai untuk mengambil pelunasan dari barang gadai secara didahulukan.
Hak gadai terjadi dengan penyerahan benda gadai secara nyata, sehingga benda tersebut berada di
bawah kekuasaan kreditur. Hak kebendaan (jaminan) atas benda bergerak itu ada pada pemegang
gadai.
Hal tersebut tercantum dalam Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata, yaitu:
“Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bahwa diletakkan dengan membawa
barang gadainya dibawah kekuasaan si berpiutang atau seseorang pihak ketiga, tentang siapa telah
disetujui oleh kedua belah pihak”.
Gadai merupakan perjanjian accecoir, maksudnya adalah bahwa sebelum diadakan perjanjian gadai,
terlebih dahulu harus ada perjanjian kredit sebagai perjanjian pokoknya. Menurut ketentuan Pasal
1150 bahwa pihak yang mengadaikan disebut “pemberi gadai” dan pihak yang menerima gadai
disebut “penerima atau pemegang gadai”. Pasal 1150 KUH Perdata mendefinisikan gadai sebagai
berikut : “ Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang
bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau seorang lain atas namanya, dan
yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang
tersebut secara didahulukan dari pada orang –orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya
untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah
barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan ”. Selanjutnya, Volmar dengan
bahasanya sendiri, ia memberikan pengertian gadai adalah :
“Sebuah hak atas benda bergerak milik orang lain yang dimaksud tujuannya bukan memberikan
kepada orang yang berhak terhadap gadai itu (penerima gadai) nikmat benda tersebut, tetapi hanyalah
untuk memberikan kepadanya jaminan tertentu bagi pelunasan suatu barang”.
Dari perumusan di atas dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak kebendaan yang
mempunyai objek berupa benda bergerak yang berwujud dan tidak berwujud yang penyerahannya
dilakukan oleh debitur atau orang lain atas nama debitur/pihak ketiga dengan fungsi untuk menjamin
pemenuhan piutang kreditur, dimana gadai mempunyai hak untuk didahulukan (hak preferen) dari
kreditur-kreditur lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.
b. Unsur-unsur Yuridis Dari Perjanjian Gadai
Di dalam perjanjian gadai terdapat beberapa unsur yuridis yang terdapat dalam pelaksanaan
perjanjian gadai antara lain:
1. obyek gadai adalah barang bergerak
2. subyek gadai adalah perorangan atau badan usaha
3. syarat gadai bahwa benda gadai harus diserahkan kepada kreditor (inbezitstelling)
4. pihak yang menyerahkan barang adalah debitor atau kuasanya
5. kreditor gadai mempunyai hak didahulukan penagihannya dari kreditor-kreditor
lainnya
6. pengecualian atas hak didahulukan meliputi 2 (dua) hal yaitu biaya lelang dan biaya
penyelamatan barang.
Barang bergerak yang menjadi obyek gadai meliputi barang bergerak berwujud dan
barang bergerak tidak berwujud.Tidak sah perjanjian gadai apabila obyek gadai tidak dilepaskan dari
kekuasaan debitor. Benda jaminan gadai tidak dibolehkan berada dalam tangan debitur, walaupun hal
tersebut diperjanjikan,karena sangat bertentangan dengan prinsip gadai. Larangan ini sekaligus
menunjukkan pula bahwa perjanjian gadai bersifat riil. Mahkamah Agung dalam salah satu
pertimbangan hukumnya menetapkan bahwa dalam
2. Cessie
a. Pengertian Cessie
Cessie adalah suatu cara pengalihan piutang atas nama yang diatur dalam Pasal 613 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Pengalihan ini terjadi atas dasar suatu peristiwa perdata, seperti
perjanjian jual-beli antara kreditor lama dengan calon kreditor baru.
Cessie atau pengalihan hak atas kebendaan tak bertubuh (intangible goods) kepada pihak ketiga.
Kebendaan tak bertubuh di sini biasa berbentuk piutang atas nama. Cessie dapat dilakukan melalui
akta otentik atau akta bawah tangan. Syarat utama keabsahan cessie adalah pemberitahuan cessie
tersebut kepada pihak terhutang untuk disetujui dan diakuinya. Pihak terhutang di sini adalah pihak
terhadap mana si berpiutang memiliki tagihan. Pengaturan mengenai cessie diatur dalam Pasal 613
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.Dalam praktek transaksi bisnis di Indonesia saat
ini, akta cessie biasa dibuat dalam bentuk "Assignment Deed". Hal pokok yang diatur dalam
Assignment Deed adalah sebagai berikut:
a.Para pihak, yaitu pihak yang memiliki piutang (Transferor) dan pihak yang akan menerima
pengalihan piutang (transferee);
b. Pernyataan pengalihan piutang oleh Transferor kepada Transferee dan pernyataan penerimaan
pengalihan piutang tersebut oleh Transferee dari Transferor;
c. Syarat adanya pemberitahuan dari Transferor kepada pihak yang berhutang dan penegasan si
berhutang ini bahwa ia menerima pengalihan hutangnya (atau piutang si Transferor) kepada
Transferee. Sedangkan dalam praktek, dasar diadakannya cessie ini adalah sebagaimana ketentuan
penyerahan piutang yang diatur dalam KUH Perdata, khususnya terdapat dalam Pasal 613, yaitu :
“Penyerahan akan piutang atas nama dan kehendak tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan
membuat suatu akta otentik atau dibawah tangan dengan mana hak-hak atas kebendaan itu
dilimpahkan kepada orang lain”. Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya
melainkan setelah penyerahan itu diberikan kepadanya, atau secara tertulis disetujui dan diakuinya.
Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat-bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu; penyerahan
tiap-tiap pitang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan
endorsement”.
Dari Bunyi Pasal tersebut di atas, maka cessie jaminan hanya dibebankan atas piutang atas bawa,
oleh karena itu bilyet deposito yang termasuk sebagai piutang atas nama dapat dibebankan dengan
cessie.
Menurut Budi Untung lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa berlakunya secara yuridis formal suatu
cessie adalah memenuhi tiga pensyaratan minimal, yaitu :
1. Atas pengalihan piutang/tagihan tersebut haruslah dilakukan dengan suatu perjanjian cessie baik
dengan akta otentik maupun akta di bawah tangan.
2. Adanya pemebritahuan, persetujuan dan pengakuan dari si tertagih bahwa hak atas piutang/tagihan
sebelumnya tersebut telah dialihkan kepada pihak lain.
3. Adanya penyerahan nyata atas bukti kepemilikan atas piutang tagihan tersebut dari yang berhak
sebelumnya kepada yang menerima hak atas piutang/tagihan tersebut. Untuk kepentingan dan
keamanan bank, ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh kreditur sebelum suatu piutang/tagihan
diterima dan diikat sebagai jaminan yaitu :
Akan tetapi dalam praktek perbankan sekarang berdasarkan hasil penelitian bahwa pada PT. Bank
Mandiri (Persero) Tbk, pengikatan kredit dengan jaminan deposito tidak memakai lembaga jaminan
cessie akan tetapi pengikatannya cukup
1. Kepastian jumlah tagihan, bukti/dasar adanya tagihan tersebut serta tanggal jatuh tempo
penagihan;
2. Adanya pemberutahuan,persetujuan dan pengakuan dari pihak tertagih mengenai pengalihan
tagihan tersebut kepada bank;
3. Untuk setiap pengalihan tagihan tersebut selain harus ada penyerahan nyata atas kepemilikannya,
juga harus ada perjanjian pengalihan tersebut, baik dengan akta otentik ataupun dengan akta di
bawah tangan. dilakukan dengan lembaga jaminan gadai, yang sudah pasti terjamin dan akurat dalam
hal pencairannya.
B. Pengertian Tentang Deposito Sebagai Jaminan Kredit 1. Pengertian Deposito
Pengertian deposito disebut dalam pasal 1 angka (7) UU Perbankan. Pasal tersebut menyatakan
bahwa “Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu
berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank” Berdasarkan pasal tersebut, deposito
dikategorikan sebagai bentuk simpanan dana oleh nasabah penyimpan (deposan) kepada pihak bank,
dimana berdasarkanperjanjian antara keduanya, dana itu dapat ditarik kembali oleh nasabah setelah
jangka waktu tertentu. Kata perjanjian yang terdapat pada pasal 1 angka (7) UU Perbankan tersebut
menunjukan bahwa simpanan deposito yang lahir dari perjanjian yang dibuat antara pihak bank
dengan nasabah, tidak terikat bentuknya, tetapi diberikan kesempatan kepada para pihak untuk
menentukan syarat-syaratnya. Asas ini sengaja demikian untuk memberikan ruang gerak kepada
bank dan nasabah dalam menentukan syarat-syarat deposito yang akan dibuat diantara mereka.
Ahmad Anwari memberikan pengertian bahwa “deposito adalah nama yang diberikan pada simpanan
deposan di bank yang lasim diletakkan pada persyaratan jangka waktu penyimpanan” Referensi dari
sarjana lain, seperti Karim (2004 : 411), juga mengemukakan pendapat bahwa : “uang yang
dititipkan pada bank oleh pribadi maupun lembaga usaha tertentu untuk disimpan dan kemudian
ditarik kembali saat dibutuhkan atau berdasarkan syarat yang telah disepakati bersama, yang dapat
dimintai atau dibutuhkan disebut deposito”. Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa deposito adalah simpanan uang ke bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu
tertentu menurut perjanjian yang telah disepakati yang dibuat secara tertulis oleh dan antara pihak
bank dengan nasabah penyimpan dana (deposan).
2. Jenis-jenis Deposito
OP.Simorangkir dalam bukunya “Seluk Beluk Bank Komersial”, membagi deposito menjadi empat
jenis, yaitu :
a. Deposito berjangka (time deposit), yaitu simpanan dalam rupiah milik pihak ketiga yang
penarikannya dilakukan setelah jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara bank dan si
penyimpan (deposan). Bila jangka waktunya telah habis maka kemungkinannya deposan dapat
mencairkan atau memperpanjang jangka waktunya. Jangka waktu deposito ini biasanya bervariasi
mulai dari 1, 2, 3, 6 ataupun 12 bulan, tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Dalam praktek
sehari-hari jenis ini lasim disebut deposito biasa.
b. Deposito on call, yaitu simpanan deposan dalam jumlah tertentu artinya penempatannya ada syarat
jumlah minimal tertentu, biasanya lebih besar dari deposito berjangka biasa, dan jangka waktu
penempatannya minimal 7 hari, tergantung bank yang bersangkutan.
c. Deposito Automatic Roll-over, perbedaannya dengan deposito berjangka biasa ialah ketika jatuh
tempo maka pihak bank harus melakukan perpanjangan jangka waktu secara otomatis, tanpa
menunggu konfirmasi lagi ke deposan. Artinya pada saat penempatannya sudah ditentukan syarat
perpanjangan otomatis tersebut.
d. Sertifikat Deposito, adalah surat berharga yang pada hakikatnya sama dengan surat tanda bukti
menyimpan uang. Perbedaan dengan deposito biasa adalahpembayaran bunganya adalah diawal
penempatan, diterbitkan oleh bank sebagai surat berharga atas unjuk yang dapat diperjual-belikan
atau dipindah tangankan, sedangkan deposito biasa diterbitkan atas nama dan tidak dapat diperjual-
belikan
3. Hak dan Kewajiban Pemegang Deposito
Mengenai hak dan kewajiban bagi seorang deposan ini, telah ditetapkan dan
dibuat secara tertulis di dalam bilyet deposito yang asli, namun tidak secara jelas
dibedakan mengenai hak dan kewajiban. Dari bilyet deposito hanya tercantum antara
lain :
1. menerima atas depositonya pada saat jatuh tempo
2. menerima nominal deposito pada saat jatuh tempo
3. depositonya dapat dijadikan jaminan kredit
4. deposito dijamin secara penuh oleh bank untuk mendapat pembayaran
kembali
5. meminta izin kepada bank yang bersangkutan bila ingin memindahtangankan
deposito berjangkanya.
Hak dan kewajiban yang dimiliki deposan ini dibuat dan ditetapkan oleh pihak bank yang
menerbitkan deposito tersebut dan deposan harus mematuhinya seperti tercantum di dalam deposito.
4. Deposito Sebagai Jaminan Kredit
Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa jaminan diperlukan sebagai salah salah
satu sumber pembayaran kredit jika kredit yang diberikan bermasalah maka deposito belakangan ini
juga berkembang menjadi trend yang berlaku/diterima sebagai jaminan kredit. Diterimanya deposito
sebagai jaminan kredit tidak terlepas dari sifat kepastian jumlahnya yang memang sangat pasti dan
sangat likuid dibanding dengan jaminan-jaminan kredit lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa
pemberian kredit dengan jaminan deposito memberikan tingkat keamanan yang sangat tinggi dan
pasti bagi kreditur. Apalagi jika deposito tersebut keberadaannya (penempatannya) berada di bank
pemberi kredit.
Selain karena sifatnya yang sangat likuid tersebut, dari sudut debitur, faktor pendorong deposito
diserahkan sebagai jaminan kredit, adalah pertimbangan proses permohonan dan approval kredit serta
biaya. Dibandingkan dengan kredit dengan jaminan selain deposito, proses permohonan dan approval
kreditnya sangat cepat dan tidak berbelit-belit. Demikian juga dengan biaya, dalam kredit dengan
jaminan deposito (back to back loan), biaya kredit yang dikeluarkan oleh debitur dapat ditekan
sedemikian rupa sehingga bisa jauh lebih murahdibandingkan dengan kredit umum dengan jaminan
lainnya. Hal ini disebabkan karena dua hal :
a. seluruh pengikatan kredit dan jaminannya cukup dilakukan secara di bawah tangan;
b. karena kepentingan kreditur yang tidak mau kehilangan bisnis dari sisi pendanaan, yaitu dengan
penempatan depositonya di bank yang sama dengan kreditur, maka bagi kreditur, deposito jaminan
ini juga membawa keuntungan tersendiri sebagai bagian dari pemenuhan target pengumpulan dana-
dana pihak ketiga. Sehingga karenanya, terdapat bargaining position yang relatif lebih kuat dibanding
dengan jenis-jenis kredit dengan jaminan selain deposito
5. Tata Cara Pengikatan Deposito Sebagai Jaminan Kredit
Deposito termasuk dalam kategori benda bergerak yang tidak berwujud, sehingga atasnya, dapat
dibebani dengan hak gadai. Terhadap gadai atas benda bergerak tersebut maka hukum yang berlaku
adalah ketentuan dalam KUHPerdata pasal 1150 sampai dengan pasal 1160.
Maka untuk mengikat deposito sebagai jaminan kredit, akan dilakukan tahap-tahap pengikatan
sebagai berikut :
a.Tahap pertama.
Pengikatan kredit sebagai perjanjian pokok dimana di dalamnya disebutkan jaminan kredit ini adalah
deposito.
b. Tahap kedua.
Pengikatan deposito dilakukan dengan pembuatan akta perjanjian gadai antara pemilik deposito
dengan pihak bank. Menurut hukum, akta perjanjian gadai dapat dibuat secara sah dengan dilakukan
secara notaril maupun di bawah tangan, dibuat untuk menjamin perjanjian pokoknya yang berupa
perjanjian kredit.
c. Tahap ketiga.
Untuk membebankan hak gadai maka setelah pembuatan akta perjanjian gadai antara pemilik
deposito dengan pihak bank, selanjutnya diikuti dengan penyerahan bilyet deposito yang dijaminkan
kepada pemegang gadai, dalam hal ini pihak bank. Penyerahan tersebut merupakan penyerahan yang
nyata, artinya bilyet deposito itu harus benar-benar diserahkan dibawah kekuasaan bank, tidak boleh
hanya berdasarkan pada pernyataan dari pemberi gadai saja, tetapi benda itu masih berada didalam
kekuasaannya. Penyerahan nyata ini dilakukan bersamaan dengan penyerahan yuridis, sehingga
penyerahan tersebut merupakan unsur sahnya gadai.
d. Tahap keempat. Bersamaan dengan tahap ketiga, pemilik deposito/penjamin harus memberikan
kuasa kepada pemegang gadai/pihak bank untuk melakukan pencairan deposito dalam hal pemilik
deposito/debitur wanprestasi. Kuasa mencairkan deposito ini adalah juga bentuk nyata penyerahan
yuridis deposito kepada bank untuk memudahkan pihak kreditur dalam melakukan pelunasan kredit
yang dijamin dengan deposito tersebut.
e. Tahap kelima.
Kreditur selaku penerima gadai deposito akan melakukan pemblokiran atas deposito jaminan tersebut
sesuai dengan jangka waktu perjanjian kreditnya. Artinya sepanjang kredit sebagai perjanjian pokok
belum dilunasi maka sepanjang itu pula deposito jaminan diblokir.
KELOMPOK 18
PEMBAHASAN
A. Pengertian RTGS dan Dasar Hukum RTGS
Real Time Gross Settlement adalah proses penyelesaian
akhir transaksi (settlement) pembayaran yang dilakukan per transaksi
(individually processed / gross settlement) dan bersifat Real-
time (electronically processed), di mana rekening peserta dapat di-debit / di-
kredit berkali-kali dalam sehari sesuai dengan perintah pembayaran dan
penerimaan pembayaran.
Dengan sistem BI-RTGS, peserta pengirim melalui terminal RTGS di
tempatnya mentransmisikan transaksi pembayaran ke pusat pengolahan
sistem RTGS (RTGS CentralComputer/RCC) di Bank Indonesia untuk
proses settlement. Jika proses settlement berhasil, transaksi pembayaran
akan diteruskan secara otomatis dan elektronis kepada
peserta penerima. Keberhasilan proses settlement tergantung dari
kecukupan saldo peserta pengirim karena dalam sistem BI-RTGS peserta
hanya diperbolehkan untuk mengkredit peserta lain. Dengan kata lain,
peserta BI-RTGS harus meyakinkan bahwa saldo rekeningnya di Bank
Indonesia cukup sebelum peserta tersebut melaksanakan transfer
keperserta BI-RTGS lainnya.
Dasar hukum yang mengatur RTGS adalah Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/6/PBI/2008 tentang Sistem Bank Indonesia Real Time Gross
Settlement.
B. Mekanisme Real Time Gross Settlement
Saat ini terdapat 2 macam mekanisme penyelesaian transaksi antar
bank, yaitu melalui kliring atau sistem BI-RTGS. Berbeda dengan sistem BI-
RTGS yang menggunakan metode gross settlement dimana setiap transaksi
diperhitungkan secara individual, maka kliring menggunakan metode net
settlement dalam rangka penyelesaian akhir. Net settlement adalah proses
penyelesaian akhir transaksi-transaksi pembayaran yang dilakukan pada
akhir suatu periode dengan melakukan offsetting antara kewajiban-
kewajiban pembayaran dengan hak-hak penerimaan sehingga hanya ada 1
net hak atau kewajiban yang akan disettle untuk masing-masing rekening
bank. Dalam sistem kliring terdapat risiko pada akhir hari bahwa suatu bank
akan mengalami kekalahan kliring dalam jumlah yang cukup besar karena
sebelum diimplementasikannya sistem BI-RTGS seluruh transaksi antar bank
baik yang bersifat retail transactions maupun large value transactions
dilaksanakan melalui kliring. Apabila jumlah kekalahan kliring ini melampaui
saldo rekeningnya di Bank Indonesia, maka saldo bank tersebut di Bank
Indonesia akan menjadi negatif (overdraft) yang pada gilirannya nanti akan
menyulitkan Bank Indonesia apabila bank tersebut tidak mampu menutup
overdraft keesokan harinya.
Secara umum mekanisme transfer dana antar peserta BI-RTGS sebagai
berikut :
1. Nasabah pengirim memberi instruksi transfer kepada bank pengirim
untuk melakukan transfer sejumlah dana ke Nasabah penerima di bank
penerima.
2. Bank pengirim memproses transfer pada komputer RTGS Terminal (RT),
selanjutnya ditransmisikan ke RTGS Central Computer (RCC) yang
merupakan pusat komputer RTGS di Bank Indonesia.
3. Selanjutnya, jika pesan dari bank pengirim diterima RCC, maka RCC
memproses transfer dana dengan mekanisme sebagi berikut:
a. Mengecek kecukupan saldo giro bank pengirim di Bank Indonesia. Jika
saldo giro mencukupi untuk melakukan transfer, dilakukan pembukuan
simultan dengan mendebit rekening giro bank pengirim dan
mengkredit rekening giro bank penerima.
b. Jika saldo rekening giro bank pengirim tidak mencukupi, transfer
tersebut ditempatkan dalam antrian (queue) sistem BI-RTGS.
2. Informasi transfer yang telah diselesaikan (settled) ditransmisikan secara
otomatis oleh RCC ke RT bank pengirim dan RT Bank Penerima.
3. Bank penerima meneruskan perintah transfer dana yang diterima dari
RCC, dengan cara mengkredit dana yang sesuai dengan yang dikirim oleh
nasabah pengirim. Kecepatan proses ini bergantung kondisi dan standar
bank penerima (Level Nasabah). RTGS diperlukan terutama bagi transfer
dana yang penting atau bernilai besar, yang umumnya dana tersebut
akan sesegera mungkin digunakan.
Dari mekanisme di atas, tampak bahwa transfer dan RTGS dapat
terhambat jika transaksi dalam antrian. Selain itu, hambatan bahkan
retur/kegagalan transakasi dapat terjadi sehingga transaksi dikembalikan
oleh bank penerima, jika data yang dapat diinput oleh nasabah pada formulir
transfer dana RTGS keliru, misalnya: nama dan nomor rekening tujuan
transfer tidak cocok/salah.
Dari ilustrasi di atas nasabah diharapkan dapat memahami proses
transaksi RTGS dan dapat memperkirakan kapan RTGS diperlukan. Bank
Indonesia melaksanakan transaksi RTGS dengan penetapan jam pelayanan
transfer RTGS antar peserta dalam periode waktu yang seragam untuk 3
zona waktu di Indonesia (untuk kepentingan nasabah saat ini dibatasi mulai
pukul 06.30-16.30). Adapun jam pelayanan pada masing-masing bank
bergantung kondisi dan standar bank masing-masing.
Apabila anda sebagai nasabah memberi instruksi kepada bank untuk
melakukan transfer dana melalui sistem BI-RTGS dalam jam pelayanan bank,
maka ketentuan Bank Indonesia menjamin bahwa dana tersebut akan
diterima oleh Nasabah penerima paling lambat pada hari itu juga.
Sedangkan jika anda memberi instruksi untuk melakukan transfer dana
melalui sistem BI-RTGS setelah jam pelayanan bank, maka paling lambat
dana akan diterima oleh nasabah penerima paling lambat pada hari kerja
berikutnya.
Bank Indonesia menetapkan biaya transaksi sistem BI-RTGS yang
seragam kepada seluruh peserta sistem BI-RTGS. Adapun biaya transaksi
system BI-RTGS yang dikenakan oleh bank kepada nasabahnya bergantung
kepada kondisi dan standar masing-masing bank. Bank Indonesia
mewajibkan setiap bank mengumumkan tarif biaya sistem BI-RTGS, baik
yang dibebankan Bank Indonesia kepada bank, maupun bank kepada
nasabah disetiap kantor.
Bank Indonesia meminta auditor/pemeriksa Teknologi Informasi yang
independen secara berkala untuk mengaudit seluruh aplikasi maupun
jaringan/network yang digunakan dalam sistem BI-RTGS yang digunakan
aman. selain itu, Bank Indonesia memiliki sistem backup/cadangan di lokasi
yang aman dengan prosedur penaggulangannya jika menghadapi kondisi
darurat. Selanjutnya tehadap peseerta/bank juga diwajibkan agar memiliki
sistem backup yang memadai.Secara periodik seluruh peserta diwajibkan
untuk melakukan uji coba backup dan rencana penanggulangan kondisi
darurat (DRP) untuk melakukan sesuatunya agar berjalan dengan baik.
Bank Indonesia juga melakukan pengawasan kepada seluruh
peserta/bank untuk memastikan persyaratan dan ketentuan yang ditetapkan
oleh penyelenggara RTGS kepada peserta terkait dengan kegiatan
operasional RTGS telah dipenuhi. Peserta diwajibkan pula melakukan
pemeriksaan internal terhada kegiatan operasional RTGS yang kemudian
dilaporkan kepada Bank Indonesia.Dengan sistem BI-RTGS pengiriman
transfer dana lebih aman, dengan jaminan keamanan sistem
penyelenggaraan dan pengiriman transfer dana lebih cepat dengan jaminan
dapat diterima oleh nasabah penerima pada hari yang sama.
C. Perbedaan Real Time Gross Settlement dan Kliring
Perbedaan antara Real Time Gross Settlement dan Kliring dilihat dari
system pembayarannya ialah :
Item Kliring Real Time Gross
Pengertian
Sarana perhitungan warkat antar
bank dalam satu wilayah kliring yang
sama dengan tujuan untuk
memperluas dan memperlancar lalu
lintas pembayaran.
Mekanisme transfer
antar bank secara real
time, sehingga
langsung masuk
kedalam rekening
penerima.
Penyelesaia
n Akhir /
Settelement
Jam 10, 12, 14, 16, secara
bersamaan setiap hari kerja
Setiap saat pada hari
kerja
Eksekutor Bank Indonesia Bank Indonesia
Sarana /
PrasaranaMelalui bank
Melalui Teller Bank,
Internet Banking
(Tergantung system
bank)
Minimum
Rp.Bebas Rp. 100 Juta
Maksimal
Rp.Rp. 100 Juta Bebas
Biaya
PembayaranRp. 5000 Rp. 25.000 – 50.000