RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR... TAHUN... TENTANG
PANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia
paling utama, karena itu pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas;
b. bahwa negara berkewajiban menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan keamanan konsumsi pangan yang
cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional, daerah hingga rumah tangga secara merata diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia
sepanjang waktu, dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal;
c. bahwa dalam perkembangannya, pembangunan pangan
di Indonesia yang dahulu dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar rakyatnya bermata pencaharian
sebagai petani dan pernah menjadi negara swasembada beras, namun akhir-akhir ini Indonesia lebih dikenal sebagai salah satu negara pengimpor beras terbesar di
dunia;
d. bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya), pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan masih bersifat sangat umum dan sangat menitikberatkan kepada sektor industri pangan,
sehingga dalam pelaksanaannya ditemui beberapa kendala dalam hal penegakan hukum, menyangkut
penerapan sanksi yang relatif masih rendah, dan tidak sesuai lagi dengan era otonomi daerah serta perkembangan di masyarakat, sehingga perlu diganti
dengan undang-undang yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Pangan;
-2-
Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, serta air baik yang diolah maupun tidak diolah yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia.
2. Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara
mandiri dapat menentukan kebijakan Pangannya, yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyatnya, serta memberikan hak bagi
masyarakatnya untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
3. Kemandirian Pangan adalah kemampuan produksi Pangan yang
beranekaragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat individu, baik jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang
sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.
4. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara
sampai dengan individu, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, merata, dan terjangkau serta sesuai dengan keyakinan, dan budaya, untuk dapat
hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
5. Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta ketidaksesuaian dengan keyakinan agama
dan budaya, sehingga aman untuk dikonsumsi.
6. Ketersediaan Pangan adalah tersedianya Pangan yang beranekaragam dari hasil produksi dalam negeri, cadangan Pangan nasional,
-3-
dan/atau pemasukan Pangan dari luar negeri.
7. Cadangan Pangan Nasional adalah persediaan Pangan di seluruh
pelosok wilayah Indonesia untuk konsumsi manusia, bahan baku industri, dan untuk menghadapi keadaan darurat.
8. Cadangan Pangan Pemerintah adalah Ketersediaan Pangan yang dikelola atau dikuasai oleh Pemerintah.
9. Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi adalah persediaan Pangan
yang dikelola atau dikuasai oleh Pemerintah Provinsi.
10. Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah persediaan Pangan yang dikelola atau dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
11. Cadangan Pangan Pemerintah Desa adalah persediaan Pangan yang dikelola atau dikuasai oleh Pemerintah Desa.
12. Penyelenggaraan Pangan adalah kegiatan perencanaan, penyediaan, keterjangkauan, penganekaragaman, keamanan, kelembagaan, dan pembiayaan Pangan serta peran masyarakat yang terkoordinasi dan
terpadu.
13. Pangan Pokok adalah makanan sehari-hari yang menjadi sumber zat
gizi utama sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.
14. Pangan Lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal.
15. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
16. Petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta
keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang tanaman Pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan.
17. Nelayan adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan penangkapan ikan dan/atau budidaya perikanan.
18. Produksi Pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk Pangan.
19. Perdagangan Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan/atau pembelian Pangan,
termasuk penawaran untuk menjual Pangan, dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan Pangan dengan memperoleh imbalan.
20. Peredaran Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran Pangan kepada masyarakat, baik
diperdagangkan maupun tidak.
21. Sanitasi Pangan adalah upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembang biaknya jasad renik
pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan, dan bangunan yang dapat merusak Pangan dan membahayakan kesehatan manusia.
22. Persyaratan Sanitasi adalah standar kebersihan dan kesehatan yang harus dipenuhi sebagai upaya mematikan atau mencegah hidupnya
-4-
jasad renik patogen dan mengurangi jumlah jasad renik lainnya agar Pangan yang dihasilkan dan dikonsumsi tidak
membahayakan kesehatan dan jiwa manusia.
23. Iradiasi Pangan adalah metode penyinaran terhadap Pangan baik
dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan serta membebaskan Pangan dari jasad renik patogen.
24. Rekayasa Genetika Pangan adalah suatu proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru
yang mampu menghasilkan produk Pangan yang lebih unggul.
25. Kemasan Pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi
dan/atau membungkus Pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan Pangan maupun tidak.
26. Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria
keamanan dan kandungan gizi Pangan.
27. Gizi Pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam Pangan
yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
28. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
29. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
30. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
31. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pangan.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP PENGATURAN
Pasal 2
Penyelenggaraan Pangan dilakukan dengan berdasarkan asas:
a. kedaulatan;
b. kemandirian;
c. ketahanan;
d. keamanan;
e. manfaat dan lestari;
f. pemerataan;
g. keadilan; dan
h. berkelanjutan.
-5-
Pasal 3
Penyelenggaraan Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan
Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, Ketahanan Pangan, dan Keamanan Pangan, serta tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat.
Pasal 4
Penyelenggaraan Pangan bertujuan untuk:
a. meningkatkan kemampuan melakukan Produksi Pangan secara mandiri;
b. menyediakan Pangan yang beranekaragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi konsumsi masyarakat;
c. mewujudkan tingkat kecukupan Pangan dengan harga yang wajar dan
terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
d. meningkatkan Ketahanan Pangan masyarakat rawan Pangan;
e. menjadikan manusia yang sehat dan aktif;
f. mempermudah akses Pangan bagi masyarakat;
g. meningkatkan daya saing komoditas Pangan Indonesia di tingkat
internasional; dan
h. menciptakan kesejahteraan bagi produsen Pangan.
Pasal 5
Lingkup pengaturan Penyelenggaraan Pangan meliputi:
a. perencanaan Pangan;
b. Ketersediaan Pangan;
c. keterjangkauan Pangan;
d. penganekaragaman Pangan;
e. Keamanan Pangan;
f. kelembagaan;
g. pembiayaan; dan
h. peran serta masyarakat.
BAB III
-6-
PERENCANAAN
Pasal 6
Perencanaan Pangan dilakukan untuk merancang Penyelenggaraan Pangan ke arah Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, Ketahanan Pangan, dan Keamanan Pangan.
Pasal 7
Perencanaan Pangan harus memperhatikan:
a. pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi;
b. daya dukung sumber daya alam dan kelestarian lingkungan;
c. pengembangan sumber daya manusia produsen Pangan;
d. kebutuhan sarana dan prasarana Produksi Pangan;
e. potensi Pangan di daerah;
f. rencana tata ruang wilayah; dan
g. rencana pembangunan nasional dan daerah.
Pasal 8
(1) Perencanaan Pangan harus terintegrasi dalam rencana pembangunan nasional, rencana pembangunan daerah, dan rencana pembangunan
sektoral.
(2) Perencanaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan
melibatkan masyarakat.
(3) Perencanaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun ditingkat nasional, provinsi, dan/atau kabupaten/kota.
(4) Perencanaan Pangan ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana
tahunan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
(1) Perencanaan Pangan tingkat nasional dilakukan dengan
memperhatikan rencana pembangunan nasional serta kebutuhan dan usulan provinsi.
(2) Perencanaan Pangan tingkat provinsi dilakukan dengan
memperhatikan rencana pembangunan provinsi serta kebutuhan dan usulan kabupaten/kota.
(3) Perencanaan Pangan tingkat kabupaten/kota dilakukan dengan
memperhatikan rencana pembangunan kabupaten/kota.
Pasal 10
-7-
(1) Perencanaan Pangan diwujudkan dalam bentuk rencana Pangan.
(2) Rencana Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. rencana Pangan nasional;
b. rencana Pangan provinsi; dan
c. rencana Pangan kabupaten/kota.
(3) Rencana Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun oleh Presiden, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
Rencana pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sekurang-kurangnya memuat:
a. Produksi Pangan dan kebutuhan konsumsi;
b. cadangan Pangan;
c. pemasukan Pangan ke wilayah Negara Republik Indonesia;
d. pengeluaran Pangan dari wilayah Negara Republik Indonesia;
e. penganekaragaman Pangan;
f. distribusi, perdagangan, dan pemasaran Pangan;
g. pengendalian harga;
h. Keamanan Pangan;
i. penelitian dan pengembangan Pangan;
j. pembiayaan;
k. kelembagaan; dan
l. aspek peningkatan kesejahteraan produsen Pangan.
Pasal 12
(1) Rencana Pangan nasional menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan Pangan provinsi.
(2) Rencana Pangan provinsi menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan Pangan kabupaten/kota.
(3) Rencana Pangan kabupaten/kota menjadi pedoman untuk
pengembangan Pangan setempat.
(4) Rencana Pangan nasional, rencana Pangan provinsi, dan rencana
Pangan kabupaten/kota menjadi pedoman bagi semua pihak dalam pengembangan Pangan.
BAB IV
-8-
KETERSEDIAAN PANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas Ketersediaan Pangan.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas
Ketersediaan Pangan di daerah dan pengembangan Produksi Pangan Lokal di daerah.
(3) Dalam mewujudkan Ketersediaan Pangan melalui pengembangan
Pangan Lokal, Pemerintah Daerah menetapkan jenis Pangan Lokalnya.
(4) Pemerintah menetapkan sentra Produksi Pangan Lokal sesuai usulan
Pemerintah Daerah.
(5) Penyediaan Pangan diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi Pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan individu secara
berkelanjutan.
(6) Upaya mewujudkan ketersediaan Pangan dilakukan dengan:
a. mengembangkan Produksi Pangan yang bertumpu pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal;
b. mengembangkan efisiensi sistem usaha Pangan;
c. mengembangkan teknologi produksi dan penyimpanan Pangan;
d. mengembangkan sarana dan prasarana produksi dan penyimpanan Pangan;
e. mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif: dan
f. membangun kawasan sentra Produksi Pangan.
Pasal 14
Pemerintah mengamankan harga Pangan Pokok, pengelolaan cadangan
Pangan Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok kepada masyarakat untuk menjamin Ketersediaan Pangan.
Pasal 15
(1) Sumber penyediaan Pangan berasal dari Produksi Pangan dalam
negeri, cadangan Pangan, dan pemasukan Pangan dari luar negeri.
(2) Sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diutamakan berasal dari Produksi Pangan dalam negeri.
Pasal 16
(1) Pemerintah mengutamakan Produksi Pangan untuk pemenuhan
-9-
kebutuhan konsumsi Pangan.
(2) Dalam kondisi ketersediaan cadangan Pangan sudah tercukupi,
Produksi Pangan dapat digunakan untuk kepentingan lain.
Bagian Kedua
Produksi Pangan Dalam Negeri
Paragraf 1
Potensi Produksi Pangan
Pasal 17
Potensi Produksi Pangan terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya
alam, teknologi, dan penelitian pengembangan Pangan.
Pasal 18
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melindungi dan memberdayakan Petani dan Nelayan sebagai produsen Pangan.
Pasal 19
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mengatur alokasi lahan pertanian untuk pemenuhan Pangan Pokok, memberikan penyuluhan,
menghilangkan berbagai pungutan yang mengurangi daya saing, dan melakukan pengalokasian anggaran.
Pasal 20
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban mengembangkan
teknologi untuk peningkatan Produksi Pangan.
Pasal 21
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi penggunaan dan pengembangan sarana dan prasarana dalam upaya
untuk meningkatkan Produksi Pangan berkelanjutan.
Paragraf 2
Ancaman Produksi Pangan
Pasal 22
(1) Ancaman Produksi Pangan merupakan kejadian yang dapat menimbulkan gagalnya Produksi Pangan yang disebabkan oleh:
a. perubahan iklim;
b. organisme pengganggu;
c. bencana alam;
d. bencana sosial;
-10-
e. teknologi;
f. rekayasa genetika;
g. kompetisi komoditas; dan/atau
h. alih fungsi penggunaan lahan.
(2) Pemerintah berkewajiban menanggulangi ancaman Produksi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui bantuan teknologi, pembiayaan, dan regulasi.
Bagian Ketiga
Cadangan Pangan Nasional
Pasal 23
(1) Dalam rangka mewujudkan Ketahanan Pangan, Pemerintah
menetapkan cadangan Pangan nasional.
(2) Cadangan Pangan nasional merupakan upaya penyediaan Pangan untuk konsumsi masyarakat di seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia.
(3) Cadangan Pangan nasional terdiri dari cadangan Pangan Pemerintah
dan cadangan Pangan masyarakat.
Pasal 24
Cadangan Pangan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilakukan untuk mengantisipasi kekurangan Pangan, kelebihan Pangan, gejolak harga, dan/atau untuk menghadapi keadaan darurat.
Pasal 25
(1) Cadangan Pangan nasional merupakan jumlah Pangan yang harus tersedia setiap saat di wilayah Negara Republik Indonesia, dan dapat segera dikonsumsi masyarakat.
(2) Pemerintah mengembangkan pola kemitraan yang setara antara Pemerintah, sektor swasta, perguruan tinggi, dan elemen masyarakat dalam cadangan Pangan dan pengembangan mutu.
Pasal 26
(1) Jumlah Pangan yang harus tersedia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), ditetapkan sesuai dengan kebutuhan konsumsi masyarakat paling singkat untuk jangka waktu 6 (enam) bulan.
(2) Ketentuan mengenai jumlah Pangan yang harus tersedia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
Cadangan Pangan nasional bersumber dari Produksi Pangan dalam negeri
-11-
dan pemasukan Pangan dari luar negeri.
Paragraf 2
Cadangan Pangan Pemerintah
Pasal 28
(1) Dalam mewujudkan Cadangan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pemerintah menetapkan cadangan Pangan Pemerintah.
(2) Cadangan Pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Cadangan Pangan Pemerintah Desa;
b. Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan
c. Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi.
Pasal 29
(1) Dalam mewujudkan Cadangan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pemerintah menetapkan jenis dan jumlah Pangan tertentu sebagai cadangan Pangan Pemerintah.
(2) Selain cadangan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Desa, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Provinsi dapat menetapkan jenis dan jumlah cadangan Pangan Pokok
sesuai dengan kebutuhan konsumsi masyarakat setempat.
Pasal 30
(1) Cadangan Pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikelola oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
(2) Cadangan Pangan Pemerintah ditetapkan secara berkala dengan memperhitungkan tingkat kebutuhan nyata Pangan masyarakat dan Ketersediaan Pangan.
(3) Cadangan Pangan Pemerintah dapat dilakukan melalui pembelian Pangan Pokok pada saat panen raya oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah.
(4) Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memiliki cadangan Pangan Pokok.
(5) Ketentuan mengenai besaran cadangan pokok diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
(1) Untuk mewujudkan cadangan Pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilakukan dengan:
a. menginventarisasi cadangan Pangan;
-12-
b. melakukan prakiraan kekurangan Pangan dan/atau keadaan darurat; dan/atau
c. menyelenggarakan pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan Pangan.
(2) Cadangan Pangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan secara berkala dan dilakukan secara terkoordinasi mulai dari penetapan cadangan Pangan Pemerintah Desa, Pemerintah
Kabupaten/Kota, Pemerintah Propinsi , Pemerintah Pusat.
Pasal 32
(1) Penyaluran cadangan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c dilakukan untuk menanggulangi masalah Pangan.
(2) Penyaluran cadangan Pangan Pemerintah dilakukan dengan:
a. mekanisme yang disesuaikan dengan kondisi wilayah dan rumah tangga; dan
b. tidak merugikan masyarakat konsumen dan produsen.
Pasal 33
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menugaskan badan usaha yang bergerak di bidang penyimpanan dan distribusi Pangan untuk mengadakan dan mengelola cadangan Pangan tertentu yang bersifat
pokok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 34
(1) Masyarakat mempunyai hak dan kesempatan seluas-luasnya dalam
upaya mewujudkan cadangan Pangan masyarakat.
(2) Cadangan Pangan masyarakat merupakan persediaan Pangan yang
dikelola atau dikuasai oleh masyarakat.
(3) Cadangan Pangan masyarakat dikelola di tingkat pedagang, komunitas, dan rumah tangga.
Bagian Keempat
Pemasukan Pangan ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia
Pasal 35
(1) Pemasukan Pangan merupakan kegiatan memasukkan Pangan dari luar negeri melalui darat, laut dan udara ke dalam wilayah Negara
Republik Indonesia.
(2) Pemasukan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu, gizi, nutrisi, dan higienis.
(3) Pemasukan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum tanggal kedaluwarsa
-13-
sejak Pangan tiba di wilayah Negara Republik Indonesia.
(4) Pemasukan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri dan cadangan Pangan nasional tidak mencukupi atau tidak diproduksi di dalam
negeri.
(5) Kecukupan Produksi Pangan dalam negeri dan cadangan Pangan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang pertanian.
(6) Tata cara pemasukan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Ketentuan mengenai persyaratan keamanan, mutu, gizi, dan higienis Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Pengeluaran Pangan dari Wilayah Negara Republik Indonesia
Pasal 36
Pengeluaran Pangan dari wilayah Negara Republik Indonesia hanya dapat
dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan konsumsi Pangan dan cadangan Pangan di dalam negeri.
Pasal 37
Setiap orang yang mengeluarkan Pangan dari wilayah Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas keamanan, mutu, gizi, nutrisi, dan
higienis Pangan.
Pasal 38
Ketentuan mengenai persyaratan keamanan, mutu, gizi, nutrisi, dan
higienis Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Penganekaragaman Pangan
Pasal 39
Penganekaragaman Pangan merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan mutu gizi makanan dengan
pola konsumsi yang lebih beragam serta mengoptimalkan potensi Pangan Lokal yang beragam.
Pasal 40
(1) Penganekaragaman Pangan diselenggarakan untuk meningkatkan
Ketersediaan Pangan dengan memperhatikan sumberdaya,
-14-
kelembagaan, dan budaya Pangan Lokal.
(2) Penganekaragaman Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan:
a. menetapkan penganekaragaman Pangan;
b. penelitian dan pengembangan;
c. optimalisasi Pangan Lokal;
d. meningkatkan keanekaragaman Pangan.
e. mengembangkan pengindustrian berbasis Pangan Lokal;
f. mempromosikan penganekaragaman Pangan; dan
g. meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka
ragam Pangan dengan prinsip gizi seimbang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penganekaragaman Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Krisis Pangan
Pasal 41
(1) Pemerintah berkewajiban mengambil tindakan untuk mengatasi krisis Pangan.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:
a. pengadaan dan penyaluran Pangan;
b. manajemen cadangan Pangan;
c. pengembangan teknologi untuk mengantisipasi pencemaran lingkungan; dan/atau
d. memberikan ganti rugi akibat gagal panen.
Pasal 42
(1) Penetapan status krisis Pangan dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan skala krisis.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk skala nasional dilakukan oleh Presiden, skala provinsi dilakukan oleh gubernur, dan
skala kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/walikota.
BAB V
KETERJANGKAUAN PANGAN
Bagian Kesatu
-15-
Umum
Pasal 43
(1) Pemerintah bertanggungjawab untuk menjamin keterjangkauan Pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan/atau individu.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui kebijakan di bidang:
a. distribusi;
b. perdagangan;
c. pengendalian harga;
d. pemasaran, dan/atau
e. konsumsi Pangan.
Bagian Kedua
Distribusi Pangan
Pasal 44
(1) Distribusi Pangan dilakukan untuk memenuhi pemerataan Ketersediaan Pangan keseluruh wilayah Negara Republik Indonesia secara berkelanjutan.
(2) Distribusi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran Pangan untuk menjamin agar setiap individu dapat memperoleh Pangan dalam
jumlah, mutu, aman, merata, dan keanekaragaman, dengan harga yang terjangkau.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap distribusi Pangan sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 45
(1) Distribusi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dilakukan
melalui:
a. pengembangan sistem distribusi Pangan yang menjangkau seluruh wilayah secara efisien;
b. pengelolaan sistem distribusi Pangan yang dapat mempertahankan keamanan, mutu dan Gizi Pangan; dan
c. penjaminan keamanan distribusi Pangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai distribusi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 46
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menjamin kelancaran
distribusi, dengan mengutamakan pelayanan transportasi yang efektif
-16-
dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan prioritas untuk
kelancaran bongkar muat produk Pangan.
(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban menyediakan
sarana dan prasarana distribusi Pangan.
(4) Pemerintah Daerah berkewajiban mengembangkan lembaga distribusi Pangan masyarakat.
Bagian Ketiga
Perdagangan Pangan
Pasal 47
Perdagangan Pangan merupakan kegiatan atau serangkaian kegiatan meliputi penjualan dan/atau pembelian Pangan, termasuk penawaran
untuk menjual Pangan, dan/atau kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan Pangan dengan memperoleh imbalan.
Pasal 48
(1) Pemerintah berkewajiban mengatur Perdagangan Pangan.
(2) Pengaturan Perdagangan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
a. pengendalian harga Pangan dan inflasi;
b. manajemen cadangan Pangan; dan
c. menciptakan iklim usaha Pangan yang sehat.
Pasal 49
(1) Pemerintah menetapkan jumlah Pangan Pokok yang boleh disimpan
oleh setiap orang kecuali mendapatkan izin dari yang berwenang.
(2) Ketentuan mengenai izin penyimpanan Pangan Pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri yang
menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang pertanian.
Pasal 50
(1) Setiap orang dilarang melakukan penyimpanan atau penimbunan
Pangan Pokok dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga pangan pokok menjadi mahal atau melambung
tinggi.
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi pidana dan sanksi admnistratif.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. denda administratif;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau
peredaran;
-17-
c. pencabutan izin.
Pasal 51
(1) Setiap orang yang melakukan pembelian Pangan Pokok dengan
jumlah tertentu untuk pengadaan Cadangan Pangan Pemerintah atau untuk diperdagangkan wajib mempunyai izin.
(2) Izin pembelian Pangan Pokok diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dari daerah di mana pembeli Pangan Pokok itu
bertempat tinggal, menurut peraturan dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan
Pemerintahan di bidang perdagangan.
Bagian Keempat
Pengendalian Harga
Pasal 52
(1) Pengendalian harga Pangan dilakukan untuk menjaga stabilitas
harga Pangan.
(2) Pengendalian harga Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan tujuan:
a. menyejahterakan Petani dan Nelayan;
b. menghindari terjadinya gejolak harga Pangan;
c. menghadapi keadaan darurat karena bencana atau paceklik yang
berkepanjangan;
d. mencapai swasembada Pangan;
e. menjaga kestabilan harga; dan
f. memperhatikan daya beli masyarakat.
Pasal 53
(1) Untuk melakukan pengendalian harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1), Pemerintah menetapkan jenis Pangan yang berdampak pada inflasi.
(2) Pengendalian harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengaturan penyaluran cadangan Pangan Pemerintah.
Pasal 54
(1) Pada saat Produksi Pangan melimpah, Pemerintah berkewajiban menciptakan kondisi yang menghasilkan harga Pangan yang
menguntungkan bagi Petani dan Nelayan.
-18-
(2) Pada saat Produksi Pangan sangat terbatas, Pemerintah berkewajiban menciptakan kondisi yang menghasilkan harga Pangan yang tidak
memberatkan bagi masyarakat.
Pasal 55
(1) Pemerintah melakukan pengendalian harga Pangan Pokok untuk menghindari terjadinya gejolak harga.
(2) Pengendalian harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pengelolaan dan pemeliharaan cadangan Pangan Pemerintah;
b. pengaturan dan pengelolaan pasokan Pangan;
c. penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif; dan
d. pengaturan kelancaran distribusi Pangan.
Pasal 56
(1) Pemerintah Daerah berwenang menentukan harga indikatif Pangan Lokal melalui penetapan harga minimum regional.
(2) Penentuan harga indikatif Pangan Lokal masing-masing daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 57
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian harga Pangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 sampai dengan Pasal 56 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Pemasaran Pangan
Pasal 58
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan pembinaan kepada pihak yang melakukan pemasaran Pangan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar setiap pihak mempunyai kemampuan menerapkan tata cara
pemasaran yang baik.
Pasal 59
(1) Pemasaran Pangan dapat dilakukan melalui promosi Pangan serta penyebarluasan informasi pasar, di tingkat nasional dan/atau internasional.
(2) Promosi Pangan di tingkat nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar masyarakat lebih menggunakan produk Pangan Lokal.
(3) Promosi Pangan di tingkat internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan perolehan devisa di sektor
-19-
Pangan.
Bagian Keenam
Konsumsi Pangan
Pasal 60
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban meningkatkan konsumsi Pangan masyarakat melalui:
a. penetapan dan sosialisasi produk Pangan dan penganekaragaman Pangan;
b. penetapan target pencapaian angka konsumsi Pangan per kapita per
tahun sesuai dengan standar kesehatan; dan
c. penyediaan Pangan yang bermutu dan bergizi seimbang.
BAB VI
KEAMANAN PANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 61
(1) Keamanan Pangan diselenggarakan untuk menjaga Pangan tetap aman, higienis, bermutu, bergizi dan tidak bertentangan dengan keyakinan.
(2) Keamanan Pangan dilakukan untuk mencegah kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, tidak
terpenuhi standar mutu dan komposisi, serta kedaluwarsa yang dapat merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
Pasal 62
(1) Dalam mewujudkan Keamanan Pangan, Pemerintah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan.
(2) Dalam mewujudkan Keamanan Pangan, produsen Pangan wajib menerapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemerintah Daerah wajib mengawasi pelaksanaan penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 63
Penyelenggaraan Keamanan Pangan dilakukan dengan:
a. melakukan Sanitasi Pangan;
b. melakukan pengawasan terhadap bahan tambahan Pangan;
-20-
c. melakukan pengawasan terhadap rekayasa genetika dan Iradiasi Pangan;
d. menjamin mutu dan melakukan pemeriksaan laboratorium;
e. memberikan sertifikasi Mutu Pangan;
f. menentukan standar Kemasan Pangan;
g. mencantumkan label pada produk Pangan; dan/atau
h. mencantumkan jaminan produk halal.
Pasal 64
Pemberian sertifikasi Mutu Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
63 huruf e dilakukan secara bertahap.
Bagian Kedua
Sanitasi Pangan
Pasal 65
(1) Sanitasi Pangan dilakukan terhadap Pangan yang dapat merusak dan
membahayakan kesehatan manusia, agar Pangan aman untuk dikonsumsi.
(2) Sanitasi Pangan dilakukan dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau Peredaran Pangan.
(3) Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
memenuhi persyaratan standar kebersihan dan kesehatan.
(4) Persyaratan standar kebersihan dan kesehatan Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. sarana dan/atau prasarana Pangan;
b. penyelenggaraan kegiatan; dan
c. orang perseorangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan standar kebersihan dan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 66
(1) Setiap orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi penyimpanan, pengangkutan, dan atau Peredaran Pangan, dalam
rangka Sanitasi Pangan wajib:
a. memenuhi Persyaratan Sanitasi;
b. menjamin keamanan dan/atau keselamatan manusia; dan
c. menyelenggarakan program pemantauan dan pengawasan secara berkala.
(2) Ketentuan mengenai Persyaratan Sanitasi, jaminan keamanan
-21-
dan/atau keselamatan, dan menyelenggarakan program pemantauan dan pengawasan secara berkala diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 67
Setiap orang wajib mencegah berkembangbiaknya jasad renik pembusuk
dan/atau patogen dalam makanan, minuman, peralatan serta bangunan sarana Produksi Pangan yang jika dikonsumsi membahayakan manusia.
Pasal 68
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dikenai sanksi pidana dan sanksi administratif.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa:
a. denda administratif;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. ganti kerugian; dan/atau
e. pencabutan izin.
Bagian Ketiga
Bahan Tambahan Pangan
Pasal 69
Bahan tambahan Pangan merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam
Pangan untuk mempengaruhi sifat, rasa, warna, kandungan gizi, keawetan, dan/atau bentuk Pangan.
Pasal 70
(1) Pemerintah berkewajiban memeriksa keamanan bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan Pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia dalam kegiatan atau proses
Produksi Pangan untuk diedarkan.
(2) Pemeriksaan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk mendapatkan izin peredaran.
Pasal 71
(1) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan,
dilarang menggunakan bahan tambahan Pangan melampaui ambang
-22-
batas maksimal yang ditetapkan dan/atau bahan yang dapat merusak kesehatan manusia.
(2) Ketentuan mengenai ambang batas maksimal dan bahan yang dapat merusak kesehatan manusia diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 72
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 ayat (1) dikenai sanksi pidana dan sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. denda administratif;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. ganti kerugian; dan/atau
e. pencabutan izin.
Bagian Keempat
Rekayasa Genetika dan Iradiasi Pangan
Paragraf 1
Rekayasa Genetika
Pasal 73
(1) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan, menggunakan bahan baku, menggunakan bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan yang dihasilkan
dari proses rekayasa genetika, harus terlebih dahulu memeriksakan Keamanan Pangan sebelum diedarkan.
(2) Pemeriksaan Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah untuk mendapatkan izin peredarannya.
(3) Ketentuan mengenai pemeriksaan Keamanan Pangan, persyaratan prinsip penelitian dan pengujian, pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses Produksi
Pangan yang dihasilkankan dari proses rekayasa genetika diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 74
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 73 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
a. denda administratif;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
-23-
c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. ganti kerugian; dan/atau
e. pencabutan izin.
Paragraf 2
Iradiasi Pangan
Pasal 75
(1) Pengolahan Pangan dapat dilakukan melalui iradiasi dengan metode
penyinaran terhadap Pangan, baik dengan menggunakan zat radio aktif maupun akselerator.
(2) Iradiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
mencegah terjadinya pembusukan, kerusakan, dan membebaskan Pangan dari jasad renik patogen.
Pasal 76
(1) Iradiasi hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri
yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang pertanian.
(2) Izin Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi persyaratan kesehatan, prinsip pengolahan, dosis, teknik
dan peralatan, penanganan limbah dan penanggulangan bahaya bahan radioaktif untuk menjamin Keamanan Pangan, keselamatan
kerja, dan kelestarian lingkungan.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan kesehatan, prinsip pengolahan, dosis, teknik dan peralatan, penanganan limbah dan penanggulangan
bahaya bahan radioaktif untuk menjamin Keamanan Pangan, dan kelestarian lingkungan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Kemasan Pangan
Pasal 77
(1) Kemasan Pangan berfungsi untuk mencegah terjadinya pembusukan, kerusakan, serta membebaskan Pangan dari jasad renik patogen.
(2) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan dalam kemasan, wajib menggunakan bahan Kemasan Pangan yang tidak merugikan dan/atau membahayakan kesehatan manusia.
Pasal 78
(1) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan,
dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai Kemasan Pangan yang dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia.
(2) Pengemasan Pangan yang diedarkan dilakukan melalui tata
-24-
cara yang dapat menghindarkan terjadinya kerusakan dan atau pencemaran.
(3) Ketentuan mengenai Kemasan Pangan, tata cara pengemasan Pangan, dan bahan yang dilarang digunakan sebagai Kemasan Pangan diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 79
(1) Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir Pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan.
(2) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku terhadap Pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih
lanjut.
Pasal 80
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 ayat (2) dan Pasal 78 ayat (1) dikenai sanksi pidana dan sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. denda administratif;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau
peredaran;
c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. ganti kerugian; dan/atau
e. pencabutan izin.
Bagian Keenam
Standar Mutu Pangan dan Pemeriksaan Laboratorium
Pasal 81
(1) Pemerintah menetapkan standar Mutu Pangan dan pemeriksaan laboratorium pada setiap produk Pangan.
(2) Setiap pengadaan dan Peredaran Pangan harus dilakukan pengawasan
sesuai standar Mutu Pangan dan pemeriksaan laboratorium.
(3) Pengadaan Pangan yang dibuat atau dimasukkan untuk diedarkan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus memenuhi standar
mutu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 82
(1) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diperdagangkan
wajib memenuhi standar Mutu Pangan dan pemeriksaan laboratorium.
(2) Pemerintah dapat menetapkan persyaratan agar Pangan terlebih
-25-
dahulu diuji di laboratorium sebelum diedarkan.
(3) Pengujian secara laboratoris, sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilakukan di laboratorium yang ditunjuk oleh dan/atau telah memperoleh akreditasi dari Pemerintah.
(4) Ketentuan mengenai standar mutu dan persyaratan pengujian laboratorium diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 83
Setiap orang dilarang memperdagangkan Pangan yang mutunya berbeda atau tidak sama dengan Mutu Pangan yang tercantum dalam label Kemasan Pangan.
Pasal 84
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 83 dikenai sanksi pidana dan sanksi
administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. denda administratif;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. ganti kerugian; dan/atau
e. pencabutan izin.
Bagian Ketujuh
Gizi Pangan
Pasal 85
Gizi Pangan merupakan zat atau senyawa yang terdapat dalam Pangan
yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
Pasal 86
(1) Pemerintah menetapkan dan menyelenggarakan kebijakan di bidang gizi bagi perbaikan status gizi masyarakat.
(2) Pemerintah dapat menetapkan persyaratan khusus mengenai komposisi Pangan, untuk meningkatkan kandungan Gizi Pangan Olahan tertentu yang diperdagangkan.
(3) Dalam hal terjadinya kekurangan dan atau penurunan status gizi
masyarakat, Pemerintah dapat menetapkan persyaratan bagi perbaikan atau pengayaan Gizi Pangan tertentu yang diedarkan.
Pasal 87
-26-
(1) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan, wajib memenuhi persyaratan tentang gizi yang ditetapkan.
(2) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu untuk diperdagangkan wajib melaksanakan tata cara pengolahan Pangan
yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan gizi bahan baku Pangan yang digunakan.
Pasal 88
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dikenai sanksi administratif berupa:
a. denda administratif;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. ganti kerugian; dan/atau
e. pencabutan izin.
Pasal 89
Ketentuan mengenai persyaratan khusus mengenai komposisi Pangan, persyaratan bagi perbaikan atau pengayaan Gizi Pangan dan tata cara pengolahan Pangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Pangan Tercemar
Pasal 90
(1) Setiap orang dilarang mengedarkan Pangan tercemar.
(2) Pangan tercemar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Pangan
yang:
a. mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat
merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia;
b. mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan;
c. mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan;
d. mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau
mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai sehingga menjadikan Pangan tidak layak
dikonsumsi manusia; dan/atau
e. sudah kedaluwarsa.
-27-
Pasal 91
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 dikenai sanksi pidana dan sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. denda administratif;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau
peredaran;
c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. ganti kerugian; dan/atau
e. pencabutan izin.
Pasal 92
(1) Pemerintah mengawasi dan mencegah tercemarnya Pangan.
(2) Pengawasan dan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menetapkan ambang batas maksimal cemaran yang
diperbolehkan.
(3) Ketentuan mengenai ambang batas maksimal cemaran yang
diperbolehkan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VII
LABEL DAN IKLAN PANGAN
Pasal 93
Pemberian label pada Pangan yang dikemas, agar masyarakat yang
membeli dan/atau mengkonsumsi Pangan memperoleh informasi yang benar dan jelas tentang setiap produk Pangan yang dikemas, baik menyangkut asal, keamanan, mutu, kandungan gizi, maupun keterangan
lain yang diperlukan sebelum memutuskan akan membeli dan/atau mengkonsumsi Pangan.
Pasal 94
(1) Ketentuan mengenai label berlaku bagi Pangan yang telah melalui proses pengemasan akhir dan siap untuk diperdagangkan
(2) Ketentuan label tidak berlaku bagi Perdagangan Pangan yang dibungkus dihadapan pembeli.
Pasal 95
(1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan Pangan ke dalam wilayah Indonesia yang dikemas untuk diperdagangkan, wajib mencantumkan label, di dalam, dan/atau di Kemasan Pangan.
(2) Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-
-28-
kurangnya keterangan mengenai:
a. nama produk;
b. bahasa dan huruf;
c. daftar bahan yang digunakan ;
d. berat bersih atau isi bersih;
e. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan Pangan ke dalam wilayah Indonesia.
f. keterangan tentang halal;
g. tanggal dan nomor produksi;
h. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa; dan
i. keterangan asal usul bahan Pangan.
Pasal 96
(1) Keterangan pada label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ditulis, dicetak, atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga dapat
mudah dimengerti oleh masyarakat.
(2) Keterangan pada label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditulis,
dicetak, atau ditampilkan dengan menggunakan bahasa Indonesia.
(3) Penggunaan istilah asing, selain dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan sepanjang tidak ada padanannya, tidak dapat diciptakan
padanannya, atau digunakan untuk kepentingan Perdagangan Pangan ke luar negeri.
Pasal 97
Setiap orang dilarang mengganti, melabel kembali, dan/atau menukar
tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa Pangan yang diedarkan.
Pasal 98
(1) Setiap label dan/atau iklan tentang Pangan yang diperdagangkan harus memuat keterangan mengenai Pangan dengan benar dan tidak
menyesatkan.
(2) Setiap orang dilarang memberikan label atau iklan apabila keterangan atau pernyataan tersebut tidak benar dan/atau menyesatkan.
(3) Pemerintah mengatur, mengawasi, dan melakukan tindakan yang diperlukan agar iklan tentang Pangan yang diperdagangkan tidak memuat keterangan yang dapat menyesatkan.
Pasal 99
(1) Setiap orang yang menyatakan dalam label atau iklan bahwa
Pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan tertentu, bertanggung jawab atas kebenaran
pernyataannya berdasarkan persyaratan agama atau kepercayaan tersebut.
-29-
(2) Label tentang Pangan Olahan tertentu yang diperdagangkan, wajib memuat keterangan tentang peruntukan, cara penggunaan, dan atau
keterangan lain yang perlu diketahui mengenai dampak Pangan terhadap kesehatan manusia.
Pasal 100
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagai mana dimaksud
dalam Pasal 95 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis dengan kewajiban mengembalikan Pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia ke negara asal.
(2) Jika tidak dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai denda administratif yang dihitung berdasarkan besaran biaya
yang harus dikeluarkan untuk pengembalian pangan ke negara asal.
(3) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97, Pasal 98 ayat (2), dan Pasal 99 ayat (2) dikenai sanksi
pidana dan sanksi administratif.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
a. denda administratif;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. ganti kerugian; dan/atau
e. pencabutan izin.
Pasal 101
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan pencantuman label, iklan
Pangan, kriteria Pangan Olahan tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
SISTEM INFORMASI PANGAN
Pasal 102
Sistem informasi Pangan mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan
informasi tentang Pangan.
Pasal 103
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban membangun, menyusun, dan mengembangkan sistem informasi Pangan yang
terintegrasi.
(2) Sistem informasi sekurang-kurangnya digunakan untuk:
-30-
a. perencanaan;
b. pemantauan dan evaluasi;
c. pengelolaan pasokan dan permintaan produk Pangan; dan
d. pertimbangan penanaman modal.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban mengumumkan harga-harga komoditas Pangan secara nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengumuman harga komoditas
Pangan secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang perdagangan.
Pasal 104
(1) Sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) dilaksanakan oleh pusat data dan informasi.
(2) Pusat data dan informasi wajib melakukan pemutakhiran data dan
informasi.
(3) Pusat data dan informasi dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh
pelaku usaha dan masyarakat.
(4) Pusat data dan informasi sekurang-kurangnya menyediakan data dan informasi mengenai:
a. jenis produk Pangan;
b. neraca Pangan;
c. letak, luas wilayah, kawasan Produksi Pangan;
d. permintaan pasar;
e. peluang dan tantangan pasar;
f. cadangan Pangan;
g. perkiraan produksi;
h. perkiraan harga;
i. perkiraan pasokan;
j. perkiraan musim tanam dan musim panen;
k. prakiraan iklim;
l. ketersediaan sarana dan prasarana;
m. varietas Pangan unggul;
n. pemutakhiran data; dan
o. kebutuhan pangan setiap daerah.
Pasal 105
(1) Pelaku usaha di bidang Pangan wajib memberikan keterangan kepada yang berwenang tentang banyaknya Ketersediaan Pangan yang
dimiliki.
(2) Untuk mengetahui banyaknya Ketersediaan Pangan, Pemerintah
-31-
berhak memeriksa gudang-gudang penyimpanan Pangan.
BAB IX
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PANGAN
Pasal 106
Penelitian dan pengembangan Pangan diarahkan untuk:
a. memajukan teknologi sistem budidaya tanaman Pangan yang tahan terhadap perubahan iklim dan hama penyakit;
b. menciptakan produk Pangan Lokal yang dapat mensubtitusi Pangan
Pokok dengan melihat kesesuaian kandungan vitamin dan zat lain di dalamnya;
c. memajukan sistem budidaya tanaman Pangan secara organik yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat; dan
d. menciptakan produk Pangan yang berdaya saing di tingkat lokal,
nasional, dan internasional.
Pasal 107
Penelitian dan pengembangan Pangan wajib dilakukan secara terus-menerus oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, lembaga penelitian,
lembaga pendidikan, pelaku usaha, dan/atau masyarakat secara sendiri-sendiri atau dalam bentuk kerja sama.
Pasal 108
Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dapat dilakukan di dalam dan di luar negeri, dengan tidak
membahayakan kesehatan manusia, merusak keanekaragaman hayati, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Pasal 109
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban memfasilitasi
pemanfaatan dan publikasi hasil penelitian yang bermanfaat bagi pengembangan Pangan.
Pasal 110
(1) Orang perseorangan dan/atau badan hukum asing dapat melakukan penelitian Pangan untuk kepentingannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Orang perseorangan dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan penelitian wajib:
a. bekerja sama dengan lembaga penelitian dalam negeri;
b. melaksanakan alih teknologi dan pengetahuan dalam kegiatan
-32-
penelitian; dan
c. menyerahkan laporan hasil penelitian kepada Pemerintah selambat-
lambatnya tiga bulan setelah penelitian selesai dilakukan beserta hasil penelitian.
Pasal 111
(1) Hasil penelitian yang dilakukan orang perseorangan dan/atau badan
hukum asing untuk kepentingannya merupakan milik bersama dengan mitra kerja samanya dan Pemerintah.
(2) Pengeluaran, penggunaan, dan publikasi hasil penelitian yang dilakukan oleh orang perseorangan dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan
tertulis dari Menteri terkait.
Pasal 112
Pemerintah memberikan perlindungan hak atas kekayaan intelektual terhadap hasil penelitian di bidang Pangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB X
KELEMBAGAAN
Pasal 113
(1) Dalam menyelenggarakan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, Ketahanan Pangan, dan Keamanan Pangan, Pemerintah membentuk
badan otoritas Pangan.
(2) Badan otoritas pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi:
a. merumuskan kebijakan Pangan nasional; dan
b. menjamin Ketersediaan Pangan nasional.
(3) Badan otoritas pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibukota negara dan dapat dibentuk di tingkat provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 114
Badan otoritas pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 bertugas
dan berwenang:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan Pangan yang terintegrasi antarwilayah, antarkomoditi, dan antarwaktu;
b. mengendalikan laju konsumsi Pangan masyarakat dan
penganekaragaman Pangan;
c. merencanakan anggaran bagi seluruh kebijakan Pangan nasional; dan
-33-
d. menetapkan jenis Pangan tertentu yang perlu diintervensi Pemerintah.
e. melaksanakan dan/atau mengoordinasikan produksi, pengadaan,
penyediaan, penyimpanan, distribusi, dan pengendalian harga Pangan tertentu;
f. mewujudkan kecukupan sekaligus juga menyelamatkan kecukupan Pangan;
g. menjamin Ketersediaan Pangan yang cukup baik jumlah, mutu, gizi,
nutrisi, higienis, dan keamanannya;
h. menciptakan sistem dan mekanisme distribusi yang adil dan merata; dan
i. menjamin ketersediaan dan stabilitas harga Pangan yang terjangkau daya beli masyarakat.
Pasal 115
Badan otoritas pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113
merupakan lembaga Pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 116
(1) Badan otoritas pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 dapat
menugaskan badan usaha milik negara di bidang Pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyediaan, penyimpanan, dan/atau distribusi Pangan.
(2) Badan usaha milik negara dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan masyarakat.
Pasal 117
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan organisasi dan
mekanisme kerja badan otoritas pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 sampai dengan Pasal 116 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 118
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, Ketahanan Pangan, dan Keamanan Pangan.
Bagian Kedua
-34-
Pemerintah
Pasal 119
Pemerintah dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, Ketahanan Pangan, dan Keamanan Pangan bertugas dan berwenang:
a. mengatur, mengawasi dan membina peningkatan ketersediaan dan keragaman Pangan;
b. mengatur dan mengoordinasi cadangan Pangan Pemerintah dan
melakukan pembinaan cadangan Pangan masyarakat;
c. mengatur dan mendorong peningkatan akses Pangan untuk
masyarakat miskin dan rawan Pangan;
d. meningkatkan sarana dan prasarana distribusi dan koordinasi pengendalian stabilitas harga Pangan tertentu;
e. membina peningkatan keragaman konsumsi, mutu, gizi, nutrisi, higienis, dan Keamanan Pangan; dan
f. melindungi dan mendaftarkan Pangan unggulan lokal.
Bagian Ketiga
Pemerintah Provinsi
Pasal 120
Pemerintah Provinsi dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, Ketahanan Pangan, dan Keamanan Pangan bertugas dan berwenang:
a. mencegah dan mengendalikan masalah Pangan akibat menurunnya Ketersediaan Pangan didaerah;
b. mencegah dan menanggulangi masalah Pangan sebagai akibat
menurunnya mutu, gizi, nutrisi, higienis, dan Keamanan Pangan;
c. meningkatkan dan mencegah penurunan akses Pangan masyarakat;
d. mengembangkan, mengatur, dan mengendalikan cadangan Pangan Pemerintah Provinsi dan masyarakat serta cadangan Pangan Pokok tertentu provinsi;
e. menangani dan mengendalikan kerawanan Pangan di wilayah provinsi; dan
f. menetapkan dan mengembangkan Pangan unggulan lokal untuk didaftarkan.
Bagian Keempat
Pemerintah Kabupaten/Kota
Pasal 121
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, Ketahanan Pangan, dan Keamanan Pangan
-35-
bertugas dan berwenang:
a. melakukan identifikasi kelompok rawan Pangan, potensi sumber daya
Produksi Pangan, dan cadangan Pangan masyarakat;
b. melakukan penanganan penyaluran Pangan untuk kelompok rawan
Pangan tingkat kabupaten;
c. melakukan pencegahan dan pengendalian serta penanggulangan masalah Pangan sebagai akibat penurunan akses Pangan, mutu, gizi,
nutrisi, higienis, ketersediaan, dan Keamanan Pangan;
d. menyusun pengaturan dan pengembangan penganekaragaman produk Pangan Pokok tertentu/strategis;
e. melakukan pembinaan dan monitoring cadangan Pangan masyarakat;
f. melakukan pengumpulan dan analisis informasi Ketahanan Pangan
Kabupaten/Kota sebagai masukan bagi penyusunan kebijakan Ketahanan Pangan tingkat provinsi dan nasional;
g. mengembangkan, mengatur, dan mengendalikan cadangan Pangan
Pemerintah Kabupaten/Kota dan masyarakat serta cadangan Pangan Pokok tertentu Kabupaten; dan
h. mengembangkan Pangan unggulan lokal.
BAB XII
PEMBIAYAAN
Pasal 122
(1) Pembiayaan Penyelenggaraan Pangan yang dilakukan oleh Pemerintah
bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara.
(2) Pembiayaan Penyelenggaraan Pangan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 123
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat membantu pembiayaan pengembangan usaha Pangan yang dilakukan oleh pelaku
usaha yang mendukung program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
(2) Bantuan pembiayaan di bidang Pangan meliputi:
a. subsidi teknologi;
b. sarana dan prasarana Ketersediaan Pangan;
c. penurunan tarif ekspor; dan
d. penetapan harga dasar.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan bantuan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
-36-
Pasal 124
Pemerintah menjamin kemudahan pembiayaan kegiatan sebelum dan
sesudah Produksi Pangan yang dilakukan oleh Petani dan Nelayan.
Kemudahan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa
penyediaan fasilitas kredit bagi Petani dan Nelayan.
Pasal 125
(1) Pengembangan usaha Pangan dapat dilakukan oleh pelaku usaha asing.
(2) Pelaku usaha asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
menanamkan modal di luar budidaya Pangan.
(3) Penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diutamakan melalui penanaman modal dalam negeri.
BAB XIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 126
Masyarakat berhak berperan serta dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, Ketahanan Pangan, dan Keamanan
Pangan.
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mendorong peran serta masyarakat sebagaimana di maksud pada ayat (1).
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. melaksanakan produksi, distribusi, perdagangan, konsumsi, perlindungan dan pengawasan Pangan;
b. menyelenggarakan cadangan Pangan masyarakat;
c. melakukan pencegahan dan penanggulangan rawan Pangan;
d. memberikan informasi dan pendidikan;
e. membantu kelancaran penyelenggaraan Ketersediaan Pangan, Keterjangkauan Pangan, dan Keamanan Pangan; dan/atau
f. meningkatkan Kemandirian rumah tangga.
Pasal 127
(1) Masyarakat dapat menyampaikan permasalahan, masukan, dan/atau
cara pemecahan mengenai hal-hal di bidang Pangan, untuk menyempurnakan dan meningkatkan keamanan, mutu, dan Gizi
Pangan.
(2) Penyampaian permasalahan, masukan, dan/atau cara pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara
langsung atau tidak langsung kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
-37-
(3) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian permasalahan, masukan, dan/atau cara pemecahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 128
Setiap orang yang dengan sengaja menyimpan atau menimbun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga pangan pokok
menjadi mahal atau melambung tinggi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 129
(1) Setiap orang yang dengan sengaja membiarkan berkembangbiaknya jasad renik pembusuk dan/atau patogen dalam makanan, minuman, peralatan serta bangunan sarana Produksi Pangan yang
membahayakan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat atau membahayakan nyawa orang, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
matinya orang, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 130
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan dengan menggunakan bahan tambahan Pangan melampaui
ambang batas maksimal yang ditetapkan, dan/atau dapat merusak kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) yang jika dikonsumsi mengakibatkan terganggunya kesehatan orang,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
luka berat atau membahayakan nyawa orang, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
-38-
Pasal 131
(1) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan dalam kemasan, yang dengan sengaja menggunakan bahan Kemasan Pangan yang
merugikan dan/atau membahayakan kesehatan manusia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka atau membahayakan nyawa orang, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 132
(1) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan yang
dengan sengaja menggunakan bahan apa pun sebagai Kemasan Pangan yang dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau membahayakan kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 78 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat atau membahayakan nyawa orang, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
matinya orang, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 133
Setiap orang yang dengan sengaja membuka kemasan akhir Pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
bulan atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 134
(1) Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak memenuhi standar Mutu Pangan dan
pemeriksaan laboratorium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat atau membahayakan nyawa orang, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
-39-
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
matinya orang, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 135
Setiap orang yang dengan sengaja memperdagangkan Pangan dengan mutu berbeda atau tidak sama dengan Mutu Pangan yang dijanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satudua miliar rupiah).
Pasal 136
Setiap orang yang mengedarkan Pangan tercemar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, dipidana dengan pidana penjara paling 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 137
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengganti, melabel kembali, atau
menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa Pangan yang diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membahayakan
kesehatan atau nyawa orang, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 138
Setiap orang yang memberikan label atau iklan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, padahal diketahui bahwa keterangan atau pernyataan
tersebut tidak benar atau menyesatkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 139
Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu, yang tidak memuat keterangan tentang peruntukan, cara penggunaan, dan
atau keterangan lain yang perlu diketahui mengenai dampak Pangan terhadap kesehatan manusia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 140
Setiap tindak pidana di bidang Pangan yang melibatkan pejabat, pidananya diperberat dengan menambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman
-40-
pidana pokok.
Pasal 141
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 sampai dengan Pasal 139 dilakukan oleh korporasi yang berbadan hukum, maka
selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap orang.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 142
(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Dewan Ketahanan Pangan yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan;
b. Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian; dan
c. Badan Urusan Logistik yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik,
yang sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang ini tetap menjalankan tugasnya sampai dengan terbentuknya badan otoritas
pangan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Badan otoritas pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) harus telah terbentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
(3) Dengan terbentuknya badan otoritas pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian,
Dewan Ketahanan Pangan, dan Badan Urusan Logistik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilebur dalam badan otoritas pangan.
Pasal 143
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling
lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 144
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Pangan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti atau tidak bertentangan dengan
Undang-Undang ini.
-41-
Pasal 145
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3656), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 146
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta, pada tanggal ...
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...
-42-
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PANGAN
I. UMUM
Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus menerus meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
Indonesia secara adil dan merata dalam segala aspek kehidupan serta diselenggarakan secara terpadu, terarah, dan berkelanjutan dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, baik
material maupun spiritual, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi
setiap rakyat Indonesia harus senantiasa tersedia cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh
daya beli masyarakat. Untuk mencapai semua itu, perlu diselenggarakan suatu sistem Pangan yang memberikan perlindungan, baik bagi pihak yang memproduksi maupun yang mengkonsumsi Pangan, serta tidak
bertentangan dengan keyakinan masyarakat.
Sumber daya manusia yang berkualitas selain merupakan unsur terpenting yang perlu memperoleh prioritas dalam pembangunan, juga
sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan, antara lain, oleh kualitas Pangan yang dikonsumsinya. Kegiatan atau proses
Produksi Pangan untuk diedarkan atau diperdagangkan harus memenuhi ketentuan tentang Sanitasi Pangan, bahan tambahan Pangan,
residu cemaran, dan Kemasan Pangan. Hal lain yang patut diperhatikan oleh setiap orang yang melakukan Produksi Pangan adalah penggunaan metode tertentu dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan yang
memiliki kemungkinan timbulnya resiko yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, seperti rekayasa genetika atau iradiasi, harus dilakukan berdasarkan persyaratan tertentu.
Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan untuk
diperdagangkan perlu memperhatikan ketentuan mengenai mutu dan Gizi Pangan yang ditetapkan. Pangan tertentu yang diperdagangkan
dapat diwajibkan untuk terlebih dahulu diperiksa di laboratorium sebelum diedarkan. Dalam upaya meningkatkan kandungan Gizi Pangan Olahan tertentu, Pemerintah berwenang untuk menetapkan persyaratan
tentang komposisi Pangan tersebut.
Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan untuk diedarkan perlu dibebani tanggung jawab, terutama apabila Pangan yang
diproduksinya menyebabkan baik kerugian pada kesehatan manusia maupun kematian orang yang mengkonsumsi Pangan tersebut. Dalam
-43-
hal itu, Undang-undang ini secara spesifik mengatur tanggung jawab industri Pangan untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang
dirugikan. Disamping tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud di atas, Undang-undang ini juga menetapkan
ketentuan sanksi lainnya, baik yang bersifat administratif maupun pidana terhadap para pelanggarnya.
Dalam kegiatan Perdagangan Pangan, masyarakat yang mengkonsumsi perlu diberikan sarana yang memadai agar memperoleh
informasi yang benar dan tidak menyesatkan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan ketentuan mengenai label dan iklan tentang Pangan. Dengan demikian, masyarakat yang mengkonsumsi Pangan
dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang akurat sehingga tercipta Perdagangan Pangan yang jujur dan bertanggung
jawab, yang pada gilirannya menumbuhkan persaingan yang sehat di kalangan para pengusaha Pangan. Khusus menyangkut label atau iklan tentang Pangan yang mencantumkan pernyataan bahwa Pangan telah
sesuai dengan persyaratan atau kepercayaan tertentu, maka orang yang membuat pernyataan tersebut bertanggung jawab terhadap kebenaran
pernyataan dimaksud. Pengusaha kecil di bidang Pangan pada tahap-tahap awal mungkin mengalami kesulitan untuk memenuhi keseluruhan persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-undang ini. Untuk mengatasi
hal ini, diperlukan pembinaan secara berkelanjutan agar pengusaha kecil tersebut dapat memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan Gizi Pangan. Berkenaan dengan itu, pelaksanaan ketentuan-ketentuan
tersebut dilakukan secara bertahap.
Ketentuan mengenai keamanan, mutu, dan Gizi Pangan, serta label dan iklan Pangan tidak hanya berlaku bagi Pangan yang diproduksi dan
atau diedarkan di wilayah Indonesia, tetapi juga bagi Pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia. Dalam hal-hal tertentu bagi Produksi Pangan nasional yang akan diedarkan di luar negeri,
diberlakukan ketentuan yang sama. Sebagai komoditas dagangan, Pangan memiliki peranan yang sangat besar dalam peningkatan citra
Pangan nasional di dunia internasional dan sekaligus penghasil devisa. Oleh karena itu, Produksi Pangan nasional harus mampu memenuhi standar yang berlaku secara internasional dan memerlukan dukungan
Perdagangan Pangan yang dapat memberi peluang bagi pengusaha di bidang Pangan, baik yang besar, menengah maupun kecil, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Pengaturan mengenai Pangan juga
diarahkan untuk mewujudkan Ketahanan Pangan yang mencakup ketersediaan dan cadangan Pangan, serta terjangkau sesuai dengan
kebutuhan konsumsi masyarakat. Pemerintah bersama masyarakat perlu memelihara cadangan Pangan nasional. Di samping itu, Pemerintah dapat mengendalikan harga Pangan tertentu, baik untuk
tujuan stabilisasi harga maupun untuk mengatasi keadaan apabila terjadi kekurangan Pangan atau keadaan darurat lainnya.
Undang-Undang tentang Pangan dimaksudkan sebagai landasan
hukum bagi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran, dan/atau Perdagangan Pangan. Disamping itu, dalam rangka mengakomodir perkembangan sistem
ketatanegaraan khususnya sistem desentralisasi, Undang-Undang
-44-
tentang Pangan diarahkan untuk mengatur tentang peran dan tanggungjawab antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah khususnya
yang berkaitan dengan upaya mewujudkan Ketahanan Pangan berbasis Kemandirian serta dalam rangka mewujudkan tingkat kecukupan
Pangan di dalam negeri dan penganekaragaman Pangan yang dikonsumsi secara tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat dengan tetap memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem Pangan nasional, serta
perkembangan yang terjadi baik secara regional maupun internasional.
Berdasarkan perkembangan jaman dan teknologi serta sistem ketatanegaraan dan perkembangan global dewasa ini, maka perlu dibentuk sebuah Undang-Undang tentang Pangan yang baru.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kedaulatan” adalah bahwa Negara mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri kebijakan tentang Pangan.
Huruf b Yang dimaksud dengan “kemandirian” adalah bahwa pengaturan,
pembinaan, dan pengawasan Pangan harus menjamin dan melindungi segenap bangsa dan setiap rakyat untuk memenuhi kebutuhan Pangan secara mandiri.
Huruf c Yang dimaksud dengan “ketahanan” adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi suatu negara sampai dengan individu baik jumlah
maupun mutunya. Huruf d
Yang dimaksud dengan “keamanan” adalah bahwa setiap produk Pangan yang dihasilkan dengan tujuan untuk di konsumsi harus aman, halal dan bebas dari cemaran apapun.
Huruf e Yang dimaksud dengan “manfaat dan lestari” adalah bahwa
pembangunan di bidang Pangan harus memberikan manfaat dan kelestarian bagi kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat, baik lahir maupun bathin, dimana manfaat tersebut dapat dinikmati
oleh seluruh lapisan masyarakat secara adil dan merata dengan tetap bersandarkan pada daya dan potensi yang berkembang di dalam negeri.
Huruf g Yang dimaksud dengan “keadilan” bahwa Penyelenggaraan
Pangan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua warga negara.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “berkelanjutan” bahwa Penyelenggaraan Pangan harus dilaksanakan secara konsisten dan
-45-
berkesinambungan dengan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam yang menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat
untuk masa kini dan masa depan. Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Masyarakat rawan Pangan termasuk didalamnya masyarakat miskin, masyarakat yang terkena bencana, dan/atau masyarakat
yang berada di kondisi geografis yang tidak terjangkau akses Pangan.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h Produsen Pangan termasuk didalamnya Petani, Nelayan, dan
pelaku usaha yang bergerak di bidang Produksi Pangan. Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Daya dukung sumber daya alam antara lain ketersediaan lahan,
iklim, air, dan genetika. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Yang dimaksud sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai
sebagai alat untuk meningkatkan Produksi Pangan, antara lain berupa bibit, benih, pupuk, pakan, dan/atau bahan pengendali organisme pengganggu.
Yang dimaksud prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama untuk meningkatkan Produksi Pangan, antara lain berupa jaringan irigasi, jaring, kapal, jalan penghubung,
gudang berpendingin, gudang yang memenuhi persyaratan teknis,
-46-
dan/atau pelabuhan.
Huruf e
Potensi Pangan di daerah termasuk didalamnya tentang budaya Pangan dan ketersediaan lahan untuk Produksi Pangan.
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas. Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1) Cukup usaha.
Ayat (2)
Cukup usaha. Ayat (3)
Cukup usaha.
Ayat (4) Yang dimaksud dengan “semua pihak” antara lain adalah
Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku usaha, masyarakat. Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “untuk kepentingan lain” misalnya untuk bahan baku energi dan untuk ekspor.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
-47-
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a Yang dimaksud dengan “perubahan iklim” adalah iklim yang tidak menentu seperti suhu dan curah hujan yang
mengakibatkan kekeringan atau banjir. Huruf b
Yang dimaksud dengan “organisme pengganggu” adalah semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan atau hewan.
Huruf c Yang dimaksud dengan “bencana alam” adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor. Huruf d
Yang dimaksud dengan “bencana sosial” adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar
kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror. Huruf e
Yang dimaksud dengan “teknologi” adalah ancaman terhadap
Produksi Pangan karena terjadinya kegagalan dalam penerapan berbagai teknologi.
Huruf f Yang dimaksud dengan “rekayasa genetika” adalah kegagalan dalam penerapan teknik-teknik genetika molekuler untuk
mengubah susunan genetik dalam kromosom atau mengubah sistem ekspresi genetik.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kompetisi komoditas” antara lain, kompetisi penggunaan lahan untuk komoditas Pangan dengan
komoditas lainnya, instabilitas komoditas, dan daya saing Huruf h
Yang dimaksud dengan “alih fungsi penggunaan lahan” adalah
perubahan fungsi lahan pertanian menjadi bukan lahan pertanian, baik secara tetap maupun sementara.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 23 Ayat (1)
-48-
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cadangan Pangan nasional diupayakan berada di dalam negeri dan harus senantiasa cukup untuk mengatasi masalah kekurangan Pangan, atau terjadinya berbagai kebutuhan yang mendadak akibat
bencana, atau pengaruh fluktuasi harga. Berbagai kekuatan ekonomi seperti pengusaha, pedagang, atau koperasi didorong untuk mengelola cadangan Pangan agar pemenuhan kebutuhan
Pangan rakyat Indonesia senantiasa dapat dipenuhi.
Pasal 24
Yang dimaksud dengan "keadaan darurat" dalam ketentuan ini adalah terjadinya peristiwa bencana alam, paceklik yang hebat, dan
sebagainya yang terjadi di luar kemampuan manusia untuk mencegah atau menghindarinya meskipun dapat diperkirakan.
Pasal 25
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dapat segera dikonsumsi masyarakat”
adalah Pangan tersebut mudah diperoleh dengan harga yang tidak merugikan produsen Pangan dan sesuai dengan daya beli
masyarakat. Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Pangan tertentu merupakan Pangan yang diproduksi dan/atau
dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dan yang apabila ketersediaan dan harganya terganggu dapat mempengaruhi
stabilitas ekonomi dan menimbulkan gejolak sosial di masyarakat.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
-49-
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "cadangan Pangan masyarakat" dalam ketentuan ini adalah cadangan Pangan yang dikelola atau dikuasai oleh masyarakat, termasuk Petani, koperasi, pedagang, dan
industri rumah tangga. Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “nutrisi” adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh sebagai energi, membangun, dan memelihara
jaringan tubuh, yang didapatkan dari makanan dan cairan yang selanjutnya diasimilasi oleh tubuh.
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas. Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Krisis Pangan merupakan kondisi atau keadaan kritis, tidak menentu yang mengancam situasi Pangan masyarakat dimana setiap orang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
akan Pangan sehingga memerlukan tindakan serba cepat dan tepat diluar prosedur biasa.
-50-
Krisis Pangan merupakan akibat dari kemiskinan, konflik, pencemaran lingkungan, produktivitas rendah, kurangnya penerapan teknologi, kurangnya lahan produksi, gagal panen,
kesalahan perencanaan Pangan, bencana alam, dan/atau perubahan iklim.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 42 Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1) Keterjangkauan Pangan merupakan kondisi kemudahan
masyarakat, rumah tangga, dan/atau individu memperoleh Pangan.
Ayat (2)
Cukup jelas. Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan “sarana dan prasarana distribusi Pangan” antara lain, gudang, pelabuhan dan jalan produksi.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Huruf a
Yang dimaksud “pengendalian harga Pangan” antara lain melalui tarif, subsidi, penetapan harga dasar, dan kuota impor.
Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Pasal 49
Cukup jelas.
-51-
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
“Gejolak harga” diakibatkan antara lain adanya keresahan masyarakat, keadaan darurat karena bencana, dan/atau paceklik yang berkepanjangan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 56 Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak” antara lain adalah pelaku usaha,
badan usaha, atau masyarakat. Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Yang termasuk dalam “bahan tambahan Pangan” antara lain rempah-rempah, gula, garam, penyedap rasa, dan pewarna.
-52-
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Sertifikasi adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam proses pengawasan Mutu Pangan, yang penyelenggaraannya dapat
dilakukan secara laboratoris atau cara lain sesuai dengan perkembangan teknologi. Sertifikasi mutu diberlakukan untuk lebih memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa Pangan
yang dibeli telah memenuhi standar mutu tertentu, tanpa mengurangi tanggung jawab pihak yang melakukan Produksi
Pangan untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
Huruf f
Cukup jelas Huruf g
Cukup jelas Huruf h
Cukup jelas
Pasal 64
Yang dimaksud dengan secara bertahap adalah pemberian sertifikasi
Mutu Pangan disesuaikan dengan kesiapan pelaku usaha Pangan.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Huruf a Dalam pengertian "Persyaratan Sanitasi" sudah tercakup pula pengertian persyaratan higienis.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 67 Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Yang dimaksud dengan "bahan tambahan Pangan" antara lain, bahan
pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat, dan pengental.
Pasal 70 Cukup jelas.
-53-
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Ayat (1) "Bahan baku" adalah bahan utama yang dipakai dalam kegiatan
atau proses Produksi Pangan. Bahan baku dapat berupa bahan mentah, bahan setengah jadi, atau bahan jadi.
"Bahan bantu lain" adalah bahan yang tidak termasuk dalam pengertian baik bahan baku maupun bahan tambahan Pangan dan
berfungsi untuk membantu mempercepat atau memperlambat proses rekayasa genetika.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Prinsip penelitian dalam ruang lingkup rekayasa genetika merupakan hal yang sangat spesifik dan mempunyai dampak terhadap keselamatan manusia, etika, moral, dan keyakinan
masyarakat sehingga perlu pengaturan oleh Pemerintah untuk mencegah terjadinya pelanggaran yang mungkin merugikan masyarakat.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini mewajibkan setiap orang yang melakukan Produksi Pangan yang akan diedarkan untuk melakukan pengemasan atau
melaksanakan tata cara pengemasan secara benar sehingga dapat dihindari terjadinya pencemaran terhadap Pangan. Benar tidaknya pengemasan yang dilakukan atau tata cara pengemasan
yang dilaksanakan, antara lain, dapat diukur dari tingkat kehati-hatian yang diterapkan pada saat melakukan pengemasan, jenis komoditas Pangan yang dikemas, perlakuan khusus yang
diperlukan bagi Pangan tersebut, serta kebutuhan untuk melindungi kemungkinan tercemarnya Pangan sejak proses
produksi sampai dengan siap dikonsumsi.
-54-
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kemasan akhir Pangan" adalah kemasan final terhadap produk Pangan yang lazim dilakukan pada tahap
akhir proses atau kegiatan produksi yang siap diperdagangkan bagi konsumsi manusia. Ketentuan ini bersifat preventif karena tidak jarang suatu produk Pangan tercemar oleh bahan yang
dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia karena tindakan pengemasan kembali tersebut.
Ayat (2) Pengadaan Pangan dalam jumlah besar yang lazimnya tidak dikemas secara final dan dimaksudkan untuk diperdagangkan
(diecer) lebih lanjut dalam kemasan yang lebih kecil tidak tunduk pada ketentuan ayat (1). Kelaziman tersebut disesuaikan dengan
kebiasaan yang berlaku bagi komoditas Pangan yang bersangkutan atau kebiasaan masyarakat setempat.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "standar Mutu Pangan" dalam ketentuan ini adalah spesifikasi atau persyaratan teknis yang dibakukan
tentang Mutu Pangan, misalnya, dari segi bentuk, warna, atau komposisi yang disusun berdasarkan kriteria tertentu yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
aspek lain yang terkait. Standar Mutu Pangan tersebut mencakup baik Pangan Olahan maupun Pangan yang tidak diolah. Dalam pengertian yang lebih luas, standar yang berlaku bagi
Pangan mencakup berbagai persyaratan Keamanan Pangan, gizi, mutu, dan persyaratan lain dalam rangka menciptakan
Perdagangan Pangan yang jujur, misalnya, persyaratan tentang label dan iklan. Berbagai standar tersebut tidak bertentangan satu sama lain atau berdiri sendiri, tetapi justru merupakan satu
kesatuan yang bulat, yang penjabarannya lebih lanjut diatur oleh Pemerintah.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas. Pasal 82
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Upaya mewujudkan Ketersediaan Pangan yang aman dapat ditempuh melalui pengujian secara laboratoris atas Pangan yang
diproduksi. Persyaratan pemeriksaan laboratorium ini terutama diperuntukkan bagi Pangan tertentu yang diperdagangkan.
Ayat (3)
-55-
Laboratorium yang melaksanakan pengujian dimaksud harus memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan dan melaksanakan
pengujian berdasarkan tata cara yang telah dibakukan. Ketentuan ini memberi kemungkinan bagi laboratorium-laboratorium yang
bukan milik Pemerintah untuk melakukan pengujian itu. Misalnya, laboratorium milik setiap orang yang melakukan Produksi Pangan, atau yang merupakan bagian dari sistem
jaminan mutu yang diterapkan, atau laboratorium milik pihak ketiga selama laboratorium tersebut telah diperiksa kelainkannya dan memperoleh akreditasi dari instansi Pemerintah yang
bertanggung jawab, baik secara teknis perlengkapan laboratorium tersebut maupun berkenaan dengan pemenuhan persyaratan lain
berdasarkan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Perbaikan status gizi masyarakat pada ayat ini sudah termasuk di dalamnya pengertian peningkatan status dan mutu gizi
masyarakat. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Pangan Olahan tertentu" pada ayat ini
adalah Pangan Olahan untuk konsumsi bagi kelompok tertentu, misalnya, susu formula untuk bayi, Pangan yang diperuntukkan bagi ibu hamil atau menyusui, Pangan khusus bagi penderita
penyakit tertentu, atau Pangan lain sejenis yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan kualitas kesehatan
manusia. Yang dimaksud dengan "komposisi" adalah kandungan zat-zat serta jumlahnya, yang harus terdapat di dalam Pangan tersebut, baik berupa zat gizi maupun non gizi.
Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan untuk menanggulangi keadaan
kekurangan dan atau penurunan status gizi masyarakat, yang lazimnya dilakukan untuk sementara waktu dan atau di wilayah tertentu sampai keadaan tersebut dapat ditanggulangi. Pangan
yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat kemungkinan besar dapat digunakan sebagai sarana untuk memperbaiki status gizi masyarakat dengan cara menambahkan zat gizi yang diperlukan
dalam jenis Pangan tersebut. Pasal 87
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
-56-
Kandungan gizi bahan baku Pangan yang digunakan dalam kegiatan atau proses Pangan sangat menentukan mutu Gizi
Pangan yang dihasilkan. Namun, pada dasarnya kandungan gizi bahan baku Pangan dapat mengalami penurunan dalam proses
pengelolaan Pangan yang pada akhirnya mempengaruhi kandungan Gizi Pangan yang dihasilkan. Penurunan kandungan gizi tidak dapat dihindarkan, tetapi hal tersebut dapat ditekan
seminimal mungkin melalui pola pengelolaan Pangan yang tepat. Tata cara tersebut dimulai sejak pemilihan bahan baku, penyiapan, penyimpanan, pembuatan dan kegiatan atau proses
lain sehingga menjadi produk jadi yang siap diperdagangkan. Bagi Pangan tertentu yang diproduksi secara masal yang mempunyai
jangkauan yang luas Pemerintah mewajibkan penyelenggaraan tata cara pengelolaan yang dimaksud di atas.
Pasal 88 Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Yang dimaksud dengan:
a) "bahan yang kotor" adalah bahan yang bercampur dengan kotoran seperti tanah, pasir, atau bahan lain;
b) "bahan yang busuk" adalah bahan yang bentuk, rupa, atau baunya sudah tidak sesuai dengan keadaan normal bahan tersebut.
c) "bahan yang tengik" adalah bahan yang bau atau aromanya sudah berbeda dari bau atau aroma normal yang
antara lain disebabkan oleh terjadinya proses oksidasi; d) "bahan yang terurai" adalah bahan yang rupa atau
bentuknya telah berubah dari keadaan normal;
e) "bahan yang mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit" adala bahan nabati atau hewani yang mengandung penyakit yang dapat menular kepada
manusia, misalnya, ikan atau udang yang mengandung bibit penyakit kolera atau daging yang mengandung cacing;
f) "bangkai" adalah bahan hewani yang mati secara alamiah atau matinya tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi sebagai Pangan, misalnya, ayam yang mati bukan karena
sengaja dipotong untuk dikonsumsi sebagai Pangan. Pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan ini harus senantiasa
-57-
memperhatikan fakta yang ditemukan, tolok ukur objektif dalam menentukan tingkat kelayakan Pangan sebagai
makanan atau minuman yang dikonsumsi manusia, dan keamanan terhadap kesehatan dan jiwa manusia yang
mengkonsumsi Pangan tersebut. Huruf e
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Keterangan halal untuk suatu produk Pangan sangat penting
bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Namun, pencantumannya pada label Pangan baru
merupakan kewajiban apabila setiap orang yang melakukan Produksi Pangan dan atau memasukkan Pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa
Pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam. Adapun keterangan tentang halal dimaksudkan agar
masyarakat terhindar dari mengkonsumsi Pangan yang tidak halal (haram). Dengan pencantuman halal pada label Pangan, dianggap telah
terjadi pernyataan dimaksud dan setiap orang yang membuat pernyataan tersebut bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan itu.
Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Cukup jelas.
Huruf i
-58-
Yang dimaksud dengan “keterangan asal usul” adalah keterangan yang menjelaskan apakah suatu Pangan berasal dari hasil antara lain melalui rekayasa genetika, proses Iradiasi
Pangan, atau ionisasi.
Pasal 96
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "istilah asing" adalah bahasa, angka atau
huruf selain bahasa Indonesia, angka Arab atau huruf Latin, serta istilah teknis atau ilmiah, misalnya, rumus kimia untuk
menyebutkan suatu jenis bahan yang digunakan dalam komposisi Pangan.
Pasal 97 Yang dimaksud dengan "mengganti" dalam ketentuan ini adalah
kegiatan menghapus, mencabut, menutup, atau mengganti label, baik sebagian maupun seluruhnya.
Pasal 98
Ayat (1) Suatu "keterangan dianggap tidak benar" apabila keterangan tersebut bertentangan dengan kenyataan sebenarnya atau tidak
memuat keterangan yang diperlukan agar keterangan tersebut dapat memberikan gambaran atau kesan yang sebenarnya tentang
Pangan. Yang dimaksud dengan "keterangan yang menyesatkan" adalah pernyataan yang berkaitan dengan hal-hal seperti sifat, harga,
bahan, mutu, komposisi, manfaat, atau Keamanan Pangan yang meskipun benar, dapat menimbulkan gambaran yang menyesatkan
pemahaman mengenai Pangan yang bersangkutan. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 99 Ayat (1)
Dalam ketentuan ini, benar tidaknya suatu pernyataan halal dalam label atau iklan tentang Pangan tidak hanya dapat dibuktikan dari segi bahan baku Pangan, bahan tambahan Pangan, atau bahan
bantu lain yang dipergunakan dalam melakukan Produksi Pangan, tetapi mencakup pula proses pembuatannya.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 100 Cukup jelas.
-59-
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f Yang dimaksud dengan cadangan Pangan termasuk cadangan
Pangan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h Cukup jelas.
Huruf i Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas. Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l Cukup jelas.
Huruf m Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas. Huruf o
Cukup jelas. Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
-60-
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115 Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas. Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118 Cukup jelas.
Pasal 119 Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas. Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122 Cukup jelas.
Pasal 123 Cukup jelas.
Pasal 124 Cukup jelas.
Pasal 125 Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas. Pasal 127
Ayat (1)
Cukup jelas.
-61-
Ayat (2) Masyarakat dapat menyampaikan permasalahan, masukan, dan
atau pemecahan masalah dalam rangka penyempurnaan dan peningkatan sistem Pangan kepada Pemerintah, baik langsung
maupun tidak langsung antara lain melalui media cetak, media elektronik, atau seminar, baik secara individu, kelompok, maupun organisasi profesi dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Khusus
yang menyangkut perlindungan anggota masyarakat yang dirugikan dan yang ingin mengajukan gugatan dapat dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga, atau organisasi bantuan hukum
dengan surat kuasa dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
-62-
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …