Download - Preskes Dr.wur Paling Baru
BAB I
PENDAHULUAN
Fetal distres atau gawat janin adalah adanya suatu kelainan pada fetus
akibat gangguan oksigenasi dan atau nutrisi yang bisa bersifat akut (prolaps tali
pusat), sub akut (kontraksi uterus yang terlalu kuat), atau kronik (plasenta
insufisiensi). Gawat janin selama persalinan menunjukkan hipoksia janin pada
saat kontraksi rahim. Tanpa oksigen yang adekuat, denyut jantung janin
kehilangan variabilitas dasarnya dan menunjukkan deselerasi lanjut pada
kontraksi uterus. Ada yang berpendapat bahwa gawat janin memang benar terjadi
berkaitan dengan asfiksia. Asfiksia baru dapat ditentukan bila terdapat gejala
neurologik atau skor APGAR kurang dari tiga. Akibat asfiksia akan bertambah
buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna.
Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul.
Gawat janin relatif cukup banyak ( 14,7 %) dan terutama terjadi pada persalinan.
Sebaiknya sectio caesaria dilakukan bila terjadi deselerasi lambat berulang,
variabilitas yang abnormal (< 5/20 menit).
Oleh karena hal tersebut di atas, kami tertarik untuk membahas mengenai
faktor penyebab dan management fetal distress untuk mengurangi angka kejadian
fetal distress.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. GAWAT JANIN INTAUTERIN (FETAL DISTRESS)
1. Definisi
Fetal distress adalah adanya suatu kelainan pada fetus akibat
gangguan oksigenasi dan atau nutrisi yang bisa bersifat akut (prolaps tali
pusat), sub akut (kontraksi uterus yang terlalu kuat), atau kronik (plasenta
insufisiensi).1,2
2. Etiologi
Penyebab dari fetal distress diantaranya :1
a. Ibu : hipotensi atau syok yang disebabkan oleh apapun,
penyakit kardiovaskuler, anemia, penyakit pernafasan, malnutrisi,
asidosis dan dehidrasi.
b. Uterus : kontraksi uterus yang telalu kuat atau terlalu
lama, degenerasi vaskuler.
c. Plasenta : degenerasi vaskuler, hipoplasi plasenta.
d. Tali pusat : kompresi tali pusat.
e. Fetus : infeksi, malformasi dan lain-lain.
3. Pembagian gawat janin
a. Gawat janin sebelum persalinan
Gawat janin sebelum persalinan biasanya merupakan gawat
janin yang bersifat kronik berkaitan dengan fungsi plasenta yang
menurun atau bayi sendiri yang sakit.3,4
Data subyektif dan obyektif
2
Gerakan janin menurun. Pasien mengalami kegagalan dalam
pertambahan berat badan dan uterus tidak bertambah besar. Uterus
yang lebih kecil daripada umur kehamilan yang diperkirakan memberi
kesan retardasi pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion.
Riwayat dari satu atau lebih faktor-faktor resiko tinggi, masalah-
masalah obstetri, persalinan prematur atau lahir mati dapat
memberikan kesan suatu peningkatan resiko gawat janin.1,4
1.) Faktor predisposisi
Faktor-faktor resiko tinggi meliputi penyakit hipertensi,
diabetes mellitus, penyakit jantung, postmaturitas, malnutrisi ibu,
anemia, dan lain-lain.
2.) Data diagnostik tambahan
Pemantauan denyut jantung janin menyingkirkan gawat
janin sepanjang (a) denyut jantung dalam batas normal (b)
akselerasi sesuai dengan gerakan janin (c) tidak ada deselerasi
lanjut dengan adanya kontraksi uterus.
Ultrasonografi : Pengukuran diameter biparietal secara seri dapat
mengungkapkan bukti dini dari retardasi pertumbuhan
intrauterin. Gerakan pernafasan janin, aktifitas janin dan
volume cairan ketuban memberikan penilaian tambahan
kesekatan janin. Oligihidramnion memberi kesan anomali
janin atau retardasi pertumbuhan.
Kadar estriol dalam darah atau urin ibu memberikan suatu
pengukuran fungsi janin dan plasenta, karena
pembwentukan estriol memerluakn aktifitas dari enzim-
enzim dalam hati dan kelenjar adrenal janin seperti dalam
plasenta.
HPL (Human Placental Lactogen) dalam darah ibu : kadar 4
mcg/ml atau kurang setelah kehamilan 3 minggu member
kesan fungsi plasenta yang abnormal.
3
Amniosintesis : adanya mekonium di dalam cairan amnion masih
menimbulkan kontroversi. Banyak yang percaya bahwa
mekonium dalam cairan amnion menunjukkan stress
patologis atau fisiologis, sementara yang lain percaya
bahwa fasase mekonium intrauterin hanya menunjukkan
stimulasi vagal temporer tanpa bahaya yang mengancam.
Penetapan rasio lesitin sfingomielin (rasio L/S)
memberikan suatu perkiraan maturitas janin.
3.) Penatalaksanaan5,6,7
Keputusan harus didasarkan pada evaluasi kesehatan janin
inutero dan maturitas janin. Bila pasien khawatir mengenai gerakan
janin yang menurun pemantauan denyut jantung janin atau
dimiringkan atau oksitosin challenge test sering memberika
ketenangan akan kesehatan janin. Jika janin imatur dan keadaan
insufisiensi plasenta kurang tegas, dinasehatkan untuk mengadakan
observasi tambahan. Sekali janin matur, kejadian insufisiensi plasenta
biasanya berarti bahwa kelahiran dianjurkan. Persalinan dapat
diinduksi jika servik dan presentasi janin menguntungkan. Selama
induksi denyut jantung janin harus dipantau secara teliti. Dilakukan
sectio secaria jika terjadi gawat janin, sectio sesaria juga dipilih untuk
kelahiran presentasi bokong atau jika pasien pernah mengalami
operasi uterus sebelumnya.
b. Gawat janin selama persalinan
Gawat janin selama persalinan menunjukkan hipoksia janin. Tanpa
oksigen yang adekuat, denyut jantung janin kehilangan variabilitas
dasarnya dan menunjukkan deselerasi lanjut pada kontraksi uterus. Bila
hipoksia menetap, glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat dengan pH
janin yang menurun.1,2,7
1.) Data subyektif dan obyektif
4
Gerakan janin yang menurun atau berlebihan menandakan gawat
janin. Tetapi biasanya tidak ada gejala-gejala subyektif. Seringkali
indikator gawat janin yang pertama adalah perubahan dalam pola
denyut jantung janin (bradikardia, takikardia, tidak adanya
variabilitas, atau deselerasi lanjut). 3,8,9
Hipotensi pada ibu, suhu tubuh yang meningkat atau kontraksi
uterus yang hipertonik atau ketiganya secara keseluruhan dapat
menyebabkan asfiksia janin.1,7
2.) Faktor-faktor etiologi 4,5,10
a. Insufisiensi uteroplasental akut
- aktivitas uterus berlebihan.
- hipotensi ibu.
- solutio plasenta.
- plasenta previa dengan pendarahan.
b. Insufisiensi uteroplasental kronik
- penyakit hipertensi.
- diabetes mellitus.
- isoimunisasi Rh.
- postmaturitas atau dismaturitas
c. Kompresi tali pusat
d. Anestesi blok paraservikal
3.) Data diagnostik tambahan 4,5,10
Pemantauan denyut jantung janin : pencatatan denyut jantung
janin yang segera dan kontinu dalam hubungan dengan kontraksi
uterus memberika suatu penilaian kesehatan janin yang sangat
membantu dalam persalinan.
Indikasi-indikasi kemungkinan gawat janin adalah:
1. Bradikardi : denyut jantung janin kurang dari 120 kali
permenit.
2. Takikardi : akselerasi denyut jantung janin yang memanjang (>
160) dapat dihubungkan dengan demam pada ibu sekunder
5
terhadap terhadap infeksi intrauterin. Prematuritas dan atropin
juga dihubungkan dengan denyut jantung dasar yang
meningkat.
3. Variabilitas: denyut jantung dasar yang menurun, yang berarti
depresi sistem saraf otonom janin oleh mediksi ibui (atropin,
skopolamin, diazepam, fenobarbital, magnesium dan analgesik
narkotik).
4. Pola Deselerasi: Deselerasi lanjut menunjukan hipoksia janin
yang disebabkan oleh insufisiensi uteroplasental. Deselerasi
yang bervariasi tidak berhubungan dengan kontraksi uterus
adalah lebih sering dan muncul untuk menunjukan kompresi
sementara waktu saja dari pembuluh darah umbilikus.
Peringatan tentang peningkatan hipoksia janin adalah deselerasi
lanjut, penurunan atau tiadanya variabilitas, bradikardia yang
menetap dan pola gelombang sinus.
Contoh darah janin memberikan informasi objektif tentang
status asam basa janin. Pemantauan janin secara elektronik dapat
menjadi begitu sensitif terhadapt perubahan-perubahan dalam denyut
jantung janin dimana gawat janin dapat diduga bahkan bila janin
dalam keadaan sehat dan hanya menber reaksi terhadap stess dari
kontraksi uterus selama persalianan. Contoh darah janin diindikasikan
bila mana pola denyut jantung janin abnormal atau kacau memerlukan
penjelasan.
Mekonium dalam cairan ketuban : arti dari mekoneum dalam
cairan ketuban adalah tidak pasti dan kontroversial sementara
beberapa ahli berpendapat bahwa pasase mekoneum intrauterun
adalah suatu tanda gawat janin dan kemungkinan kegawatan, yang
lainya merasakan bahwa adanya mekoneum tanpa kejadian asfiksia
janin lainnya tidak menunjukan bahaya janin. Tetapi, kombinasi
6
asfiksia janin dan mekoneum timbul untuk mempertinggi potensi
asfirasi mekoneum dan hasil neonatus yang buruk.
4.) Penatalaksanaan 4,5,10
Prinsip-prinsip umum
a. Bebaskan setiap kompresi tali pusat.
b. Perbaiki aliran darah uteroplasental.
c. Menilai apakah persalinan dapat berlangsung normal atau terminasi
kehamilan merupakan indikasi. Rencana kelahiran didasarkan pada
faktor-faktor etiologi, kondisi janin, riwayat obstetri pasien, dan
jalannya persalinan.
Langkah-langkah khusus :
a. Posisi ibu diubah dari posisi terlentang menjadi miring,
sebagai usaha untuk memperbaiki aliran darah balik, curah jantung,
dan aliran darah uteroplasental. Perubahan dalam posis juga dapat
membebaskan kompresi tali pusat.
b. Oksigen diberikan 6 liter/menit, sebagai usaha
meningkatkan penggantian oksigen fetomaternal.
c. Oksitosi dihentikan karena kontraksi uterus akan
mengganggu sirkulasi darah keruang intervilli.
d. Hipotensi dikoreksi dengan infus IV D5% dalam RL.
Transfusi darah dapat diindikasikan pada syok hemorragik.
e. Pemeriksaan pervaginan menyingkirkan prolaps tali pusat
dan menentukan perjalana persalinan. Elevasi kepala janin secara
lembut dapat merupakan suatu prosedur yang bermanfaat.
f. Pengisapan mekoneum dari jalan nafasi bayi baru lahir
mengurangi resiko asfirasi mekoneum. Segera setelah kepala bayi
lahir, hidung dan mulut dibersikan dari mekoneum dengan kateter
penghisap. Segera setelah kelahiran, pita suara harus dilihat dengan
laringoskopi langsung sebagai usaha untuk menyingkirkan
mekoneum dengan pipa endotrakeal.
7
B. KETUBAN PECAH DINI
1. Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) masih merupakan suatu teka-teki di bidang
obstetrik, hal ini dapat dilihat dari etiologi yang belum jelas, kesulitan
dalam mendiagnosis, berhubungan dengan resiko pada ibu dan janin dan
juga karena panatalaksanaannya yang bermacam-macam dan masih
merupakan kontroversi. KPD dapat diartikan sebagai pecahnya ketuban
pada saat fase laten sebelum adanya his. Pada persalinan yang normal,
ketuban pecah pada fase aktif. Pada KPD kantung ketuban pecah sebelum
fase aktif. 4,11,12
KPD terjadi pada 10 % kehamilan, dimana sebagian besar terjadi pada
usia kehamilan lebih dari 37 minggu dan juga terjadi spontan tanpa sebeb
yang jelas.4
2. Etiologi Dan Patogenesis
KPD diduga terjadi karena adanya pengurangan kekuatan selaput
ketuban, peningkatan tekanan intrauterine maupun keduanya. Sebagian
besar penelitian menyebutkan bahwa KPD terjadi karena berkurangnya
kekuatan selaput ketuban. Selaput ketuban dapat kehilangan elastisitasnya
karena bakteri maupun his. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa
bakteri penyebab infeksi adalah bakteri yang merupakan flora normal
vagina maupun servix. Mekanisme infeksi ini belum diketahui pasti.
Namun diduga hal ini terjadi karena aktivitas uteri yang tidak diketahui
yang menyebabkan perubahan servix yang dapat memfasilitasi terjadinya
penyebaran infeksi. Faktor lainnya yang membantu penyebaran infeksi
adalah inkompetent servix, vaginal toucher (VT) yang berulang-ulang dan
koitus.4,11,12
Moegni, 1999, mengemukakan bahwa banyak teori yang
menyebabkan KPD, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen sampai
infeksi. Namun sebagian besar kasus disebabkan oleh infeksi. Kolagen
8
terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblast, jaringan retikuler
korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen
dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi interleukin-1 (IL-1)
danprostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan
aktifitas IL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan
sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion/amnion yang
menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.4
Faktor predisposisi KPD menurut Moegni, 1999 : 4
a. Kehamilan multiple
b. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
c. Koitus, namun hal ini tidak merupakan predisposisi kecuali bila
hygiene buruk
d. Perdarahan pervaginam
e. Bakteriuria
f. pH vagina diatas 4,5
g. Servix yang tipis/kurang dari 39 mm
h. Flora vagina abnormal
i. Fibronectin > 50 ng/ml
j. Kadar CRH (Corticotropin Releasing Hormone) maternal tinggi
3. Diagnosis
Diagnosis KPD dapat ditegakkan dengan beberapa cara :2,4,13,15
a. Air ketuban yang keluar dari vagina
Diagnosis KPD dapat ditegakkan dengan mudah ketika ada cairan
ketuban yang keluar dari vagina. Jika air ketuban tidak ada, tekanan
ringan pada uterus dan gerakan janin dapat mengakibatkan keluarnya
air ketuban.
b. Nitrazine test
pH vagina normal adalah 4,5 – 5,5 sedangkan air ketuban mempunyai
pH 7,0 – 7,5, sehingga kertas nitrasin akan cepat berubah warna
9
menjadi biru bila terkena air ketuban. Namun cairan antiseptik, urin,
darah dan infeksi vagina dapat meningkatkan pH vagina dan hal ini
menyebabkan hasil nitrazine test positif palsu.
c. Fern test
Test ini positif bila didapatkan gambaran pakis yang didapatkan pada
air ketuban pada pemeriksaan secara mikroskopis.
d. Evaporation test
e. Intraamniotic fluorescein
f. Amnioscopy
g. Diamine oxidase test
h. Fetal fibronectin
i. Alfa-fetoprotein test
4. Komplikasi
KPD dapat menyebabkan beberapa komplikasi baik pada ibu
maupun pada janin, diantaranya :2,3,15
a. Infeksi
Infeksi korioamniotik sering terjadi pada pasien dengan KPD.
Diagnosis korioamnionitis dapat dilihat dari gejala klinisnya antara
lain demam (37,80C), dan sedikitnya dua gejala berikut yaitu takikardi
baik pada ibu maupun pada janin, uterus yang melembek, air ketuban
yang berbau busuk, maupun leukositosis.
b. Hyaline membrane disease
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hyaline memnrane disease
sebagian besar disebabkan oleh ketuban pecah dini (KPD). Terdapat
hubungan antara umur kehamilan denganhyaline membrane disease
dan chorioamnionitis yang terjadi pada pasien dengan KPD. Pada usia
kehamilan kurang dari 32 minggu, angka risiko hyaline mebran
disease lebih banyak dibandingkan risiko infeksi.
c. Hipoplasi pulmoner
10
Hal ini terjadi bila ketuban pecah sebelum usia kehamilan 26 minggu
dan fase laten terjadi lebih dari 5 minggu yang diketahui dari adanya
distress respirasi yang berat yang terjadi segera setelah lahir dan
membutuhkan bantuan ventilator.
d. Abruptio placenta
Hal ini tergantung dari progresifitas penurunan fungsi plasenta yang
mengakibatkan pelepasan plasenta. Gejala klinik yang terjadi adalah
perdarahan pervaginam.
e. Fetal distress
Hal ini dapat diketahui dari adanya deselerasi yang menggambarkan
kompresi tali pusat yang disebabkan oleh oligohidramnion. Sehingga
untuk mengatasinya maka dilakukan sectio cesaria, yang
mengakibatkan tingginya angka section cesaria pada pasien dengan
KPD.
f. Cacat pada janin
g. Kelainan kongenital
5. Terapi
Manajemen pada pasien dengan ketuban pecah dini tergantung dari
keadaan pasien. 2,16,17
a. Pasien yang sedang dalam persalinan
Tidak ada usaha yang dapat dilakukan untuk menghentikan proses
persalinan dan memperlama kehamilan jika sudah ada his yang teratur
dan pada pemeriksaan dalam didapatkan pendataran servix 100 % dan
dilatasi servix lebih dari 4 cm. Penggunaan tokolitik tidak efektif dan
akan mengakibatkan oedem pulmo.
b. Pasien dengan paru-paru janin yang matur
Maturitas paru janin dapat diketahui dari rasio lesitin-spingomielin,
phosphatidylglycerol dan rasio albumin-surfaktan. Maturitas paru
janin diperlukan untuk amniosintesis pada evaluasi awal pasien
dengan ketuban pecah dini.
11
c. Pasien dengan cacat janin
Terapi konservatif dengan risiko infeksi pada ibu tidak perlu
dilakukan bila janin mempunyai kalainan yang membahayakan.
Namun pada janin dengan kelainan yang tidak membahayakan harus
diperlakukan sebagai janin normal, namun input yang tepat
merupakan terapi yang sangat penting.
d. Pasien dengan fetal distress
Kompresi tali pusat dan prolps tali pusat merupakan komplikasi
tersering ketuban pecah dini, terutama padapresentasi bokong yang
tidak maju (engaged), letak lintang dan oligohidramnion berat. Jika
DJJ menunjukkan pola deselerasi sedang atau berat maka pasien harus
cepat diterminasi. Jika janin dalam presentasi belakang kepala, maka
dapat dilakukan amnioinfusion, induksi dan dapat dilakukan
persalinan pervaginam. Namun bila janin tidak dalam presentasi
kepala maka terapi yang dapat dilakukan adalh section cesaria.
e. Pasien dengan infeksi
Pasien dengan chorioamnionitis harus dilakukan induksi bila tidak ada
kontraindikasi untuk dilakukan persalinan pervaginam dan bila belum
dalam persalinan. Bila ada kontraindikasi untuk persalinan
pervaginam, maka dilakukan section cesaria setelah pemberian
antibiotic yang dimaksudkan untuk menurunkan komplikasi pada ibu
dan janin. Beberapa penelitian menyebutkan section cesaria sebaiknya
dilakukan bila persalinan pervaginam tidak dapat terjadi setelah 12
jam diagnosis chorioamnionitis ditegakkan.
Menurut Mansjoer, 2002 terapi ketuban pecah dini adalah :3,4,18
a. Ketubaan pecah dini pada kehamilan aterm atau preterm dengan atau
tanpa komplikasi harus dirujuk ke rumah sakit
b. Bila janin hidup dan terdapat prolaps tali pusat, pasien dirujuk dengan
posisi panggul lebih tinggi dari badannya. Kalau perlu kepala janin
12
didorong ke atas dengan 2 jari agar tali pusat tidak tertekan kepala
janin
c. Bila ada demam atau dikhawatirkan terjadi infeksi atau ketuban pecah
lebih dari 6 jam, berikan antibiotik
d. Pada kehamilan kurang dari 32 minggu dilakukan tindakan
konservatif yaitu tirah baring dan berikan sedative, antibiotic selama 5
hari, glukokortikosteroid dan tokolisis, namun bila terjadi infeksi
maka akhiri kehamilan
e. Pada kehamilan 33-35 minggu, lakukan terapi konservatif selama 24
jam lalu induksi persalinan. Bila terjadi infeksi maka akhiri kehamilan
f. Pada kehamilan lebih dari 36 minggu, bila ada his, pimpin persalinan
dan lakukan akselerasi bila ada inersia uteri. Bila tidak ada his,
lakukan induksi persalinan bila ketuban pecah kurang dari 6 jam dan
bishop score kuran dari 5 atau ketuban pecah lebih dari 6 jam dan
bishop score lebih dari 5, section cesaria bila ketuban pecah kurang
dari 5 jam dan bishop score kurang dari 5.
Terapi ketuban pecah dini adalah :2,3,4
a. Terapi konservatif
- Rawat di Rumah sakit
- Antibiotika jika ketuban pecah lebih dari 6 jam
- Pada umur kehamilan kurang dari 32 minggu, dirawat selama air
ketuban masih keluar atau sampai air ketuban tidak keluar lagi
- Bila umur kehamilan sudah 32-34 minggu masih keluar, maka
pada usia kehamilan 35 minggu dipertimbangkan untuk
terminasi kehamilan
- Nilai tanda-tanda infeksi
- Pada umur kahamilan 32-34 minggu berikan steroid selama 7
hari untuk memacu kematangan paru janin dan bila
memungkinkan perikasa kadar lesitin dan spingomyelin tiap
minggu
13
b. Terapi Aktif
- kehamilan lebih dari 36 minggu, bila 6 jam belum terjadi
persalinan maka induksi dengan oksitosin, bila gagal lakukan
section cesaria
- pada keadaan DKP, letak lintang terminasi kehamilan dengan
section cesaria
- bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi dan
terminasi persalinan
a. Bila bishop score kurang dari 5, akhiri persalinan dengan
section cesaria
b. Bila bishop score lebih dari 5, induksi persalinan dan
partus pervaginam
c. Bila ada infeksi berat maka lakukan section cesaria
14
BAB III
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS
Nama : Ny D
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 17 tahun
Alamat : Pandeyan RT 09/04 Ngemplak, Boyolali
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status Perkawinan : Kawin
Nama Suami : Tn S
Umur Suami : 23 tahun
Pekerjaan : Swasta
Tanggal Masuk : 23 Agustus 2012
Tanggal Periksa : 27 Agustus 2012
No RM : 01143755
Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 150 cm
HPMT : 16 November 2011
HPL : 23 Agustus 2012
Umur Kehamilan : 40 minggu
B. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : Air kawah merembes
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Datang seorang G1P0A0, 17 tahun, usia kehamilan 40 minggu, datang
sendiri dengan keluhan air kawah merembes sejak 20 jam sebelum masuk
rumah sakit. Pasien merasa hamil 9 bulan, kenceng-kenceng secara teratur
sudah dirasakan sejak 8 jam yang lalu. Gerakan janin masih dirasakan.
Lendir darah (+). BAK dan BAB tidak ada keluhan.
15
c. Riwayat Penyakit Dahulu
R. Hipertensi : Disangkal
R. DM : Disangkal
R. Penyakit Jantung : Disangkal
R. Alergi Obat : Disangkal
R. Operasi : Disangkal
R. Mondok di RS : Disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
R. Hipertensi : Disangkal
R. DM : Disangkal
R. Asma : Disangkal
R. Alergi Obat : Disangkal
f. Riwayat Haid
Menarche : 14 tahun
Lama Haid : 6 hari
Siklus Haid : 30 hari
Nyeri haid : Tidak dirasakan
g. Riwayat Fertilitas : Baik
h. Riwayat Obstetri : Belum dapat ditentukan
i. Riwayat ANC :
Teratur. Pasien pertama kali periksa ke bidan puskesamas pada usia
kehamilan 1 bulan, periksa ke puskesmas 1 bulan sekali sampai usia
kehamilan 3 bulan. Dilanjutkan 2 kali sebulan pada usia kehamilan 4 bulan
sampai sekarang
j. Riwayat Perkawinan : Menikah 1 kali dengan suami sekarang,
1 tahun.
k. Riwayat KB : Tidak KB.
16
C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Interna
Keadaan Umum : Compos mentis, sakit sedang. Gizi kesan cukup.
Tanda Vital : Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,8 derajat celcius.
Kepala : Mesocephal
Mata : Conjungtiva pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-),
Oedem Palpebra (-/-)
THT : Tonsil tidak membesar, Faring tidak hiperemis.
Leher : KGB tidak membesar, glandula thyroid tidak
membesar, JVP tidak meningkat.
Thorak
Cor : I : Ictus cordis tidak tampak
P: Ictus cordis tidak kuat angkat.
P : Batas Jantung kesan tidak melebar.
A: BJ I-II interval normal, regular, bising (-)
Pulmo : I : Pengembangan dada kanan = kiri
P : Fremitus raba kanan = kiri
P: Sonor/ sonor
A: SDV (+/+), suara tambahan (-/-).
Abdomen I: Dinding perut lebih tinggi dari dinding dada.
P: Supel, nyeri tekan (-), hepar lien sulit dievaluasi,
teraba uterus gravid dengan bagian-bagian janin.
(lihat pemeriksaan Leopold)
P: Timpani pada daerah hipogastrika, redup pada
daerah uterus.
A: Peristaltik (+) normal.
Ekstremitas : Oedem (-/-),
Genital : Perdarahan (-), lendir darah (+), massa (-).
17
b. Status Obstetri
Inspeksi
Kepala : Cloasma gravidarum (+)
Mata : Conjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem
palpebra (-/-)
Thorak : Glandula mammae kesan membesar, areola mamae
hiperpigmentasi (+)
Abdomen : Striae gravidarum (+), linea nigra (+), dinding perut
lebih tinggi dari dada.
Genetalia Eksterna : Vulva uretra tenang, darah (-), lendir darah (+),
massa (-)
Palpasi
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal
intrauterin, tinggi fundus uteri 31 cm, TBJ 3100 g,
HIS (+) 2-3 x/10 menit, durasi 25-40 detik.
Intensitas kuat.
Pemeriksaan Leopold
I : Teraba 1 bagian besar, bulat lunak di fundus, kesan bokong.
II : Teraba 1 bagian besar memanjang di sebelah kiri, rata, keras
kesan punggung dan disebelah kanan teraba bagian kecil kesan
ekstremitas.
III : Teraba 1 bagian bulat, keras, kesan kepala
IV : Bagian terendah janin sudah masuk panggul < 1/3 panggul.
Kesimpulan, teraba janin tunggal, intra uterin, memanjang, punggung di
kiri, presentasi kepala, kepala sudah masuk panggul.
Auskultasi : DJJ (+) 10-9-9 / 8-7-8 / 9-9-10. ireguler.
Pemeriksaan Dalam
VT : Vulva uretra tenang, dinding vagina dalam batas
normal, portio lunak mendatar, diameter 5 cm, eff
50%, kulit ketuban (+), teraba kepala turun di H II,
18
penunjuk belum dapat dinilai, air ketuban (+) jernih,
tidak berbau, STLD (+).
Inspekulo : tidak dilakukan.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Radiologi USG (tgl 23-08-2012)
Tampak janin tunggal intrauterin memanjang, puki, preskep, dengan DJJ (+)
ireguler
BPD= 9,3 cm AC = 30,6 cm FL=7,0 EFBW: 3200 gr
Placenta insersi di fundus grade II-III
Air ketuban kesan sedikit
Tak tampak adanya kelainan kongenital mayor
Kesan saat ini janin dalam keadaan fetal distress
Pemeriksaan Laboratorium Darah (tgl 23-08-2012)
Hb : 11,2 g/dl Ureum : 17 mg/dL
Hct : 35 % Creatinin : 0,5 mg/dL
Eritrosit : 4,09. 106/µL Na : 137 mmol/dL
Leukosit : 12,8 /µL K : 3,6 mmol/dL
Gol Darah : B Cl : 105 mmol/dL
GDS : 123 mg/dL BT : 2’00”
Trombosit : 242.103/ µL CT : 4’00”
E. KESIMPULAN
Seorang G1P0A0, 17 tahun, umur kehamilan 40 minggu. Riwayat fertilitas
baik, riwayat obstetrik belum dapat ditentukan., teraba janin tunggal intra
uterin, memanjang, punggung di kiri, presentasi kepala, kepala sudah masuk
<1/3 panggul. Tinggi fundus uteri: 31 cm. TBJ 3100 gr. HIS (+) kuat teratur,
DJJ (+) ireguler, dalam persalinan.
19
F. DIAGNOSIS
Fetal Distress, KPD 20 jam, pada primigravida, hamil aterm dalam persalinan
kala I fase aktif.
G. PROGNOSIS
Bayi : malam
Ibu : dubia
Persalinan : malam
H. PENATALAKSANAAN
Usul SCTP-em
Obs 10
Konsul anestesi
Informent consent
Siapkan resusitasi bayi
Konsul perinatologi
Laporan persalinan
Pukul 08.45 WIB
Lahir bayi jenis kelamin laki laki perabdominal BB 3300 gr. PB 49 cm, LK/LD
32/31 cm, APGAR score 7-8-9, Anus (+)
Pukul 09.00 WIB
Lahir Plasenta lahir spontan lengkap, bentuk cakram, ukuran 20 x 20x1,5 cm.
Insersi parasentral. Panjang tali pusat 50 cm.
Evaluasi 2 jam post sectio casaria
Kel : (-)
KU : Baik, CM.
VS : T: 110/70 N: 82 ` RR: 20 S: 36,7oC
Mata : Conjunctiva pucat (-/-), Sklera Ikterik (-/-)
20
Cor dan pulmo : dalam batas normal
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat,
kontraksi uterus (+) baik.
Genital : Perdarahan (-)
: Lochia (+)
Diagnosa : Post SCTP-em a/i fetal distress DPH 0, KPD 20 jam pada
primipara h.aterm
Terapi :
1. Awasi keadaan umum dan tanda vital perjam hingga 6 jam post operasi
2. Awasi tanda-tanda perdarahan
3. Balance cairan per 6 jam
4. Cek DR3 post operasi
5. Puasa sampai peristaltik (+) usus
6. Medikamentosa :
Inf RL:D5:NaCl 2:1:1 20 tpm
Inj Ceftriaxon 1gr/12jam dengan skin test terlebih dahulu
Inj Metronidazol 500mg/8jam
Inj Ketorolac 1amp/8jam
FOLLOW UP
Tanggal 24 Juli 2010
Keadaan umum : Baik, cm, gizi kesan cukup
Tanda vital : T = 120/80 mmHg Respiratory Rate = 18x/menit
N = 80x/menit Suhu = 36,9 0C
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Thorax : Cor : dalam batas normal
Pulmo : dalam batas normal
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), TFU teraba 2 jari dibawah pusat,
kontraksi (+) kuat
Genital : Perdarahan (-)
Lochia (+)
21
Diagnosa : Post SCTP-em a/i fetal distress DPH 0, KPD 20 jam pada
primipara h.aterm
Terapi : Post SCTP
a) Infus RL : D5% : NaCl = 2 : 1 : 1 20 tpm
b) Injeksi ceftriaxon 1 g/12 jam IV
c) Injeksi metronidazole 500 mg/8jam
d) Injeksi ketorolac 1 amp/8jam
Tanggal 21 Juli 2010
Keadaan umum : Baik, cm, gizi kesan cukup
Tanda vital : T = 120/80 mmHg Respiratory Rate = 18x/menit
N = 80x/menit Suhu = 36,9 0C
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Thorax : Cor : dalam batas normal
Pulmo : dalam batas normal
Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), TFU teraba 1 jari dibawah pusat,
kontraksi (+) kuat
Genital : Perdarahan (-)
Lochia (+)
Diagnosa :Fetal Distress, Kala I, KPD 24 jam pada secundigravida
hamil postterm
Terapi : Post SCTP DPH II
a) Infus RL : D5% : NaCl = 2 : 1 : 1 20 tpm
b) Injeksi ceftriaxon1 g/12 jam IV
c) Injeksi metronidazole 500 mg/8jam
d) Injeksi ketorolac 1 amp/8jam
22
BAB IV
ANALISIS KASUS
A. ANALISA STATUS
Pada pembuatan status ini dijumpai beberapa kekurangan diantaranya
perlunya pemeriksaan penunjang lebih lanjut (misalnya Cardiotocography),
sehingga diagnosa dapat lebih tegas ditegakkan dan lebih cepat dalam
mengambil tindakan medis.
B. ANALISA KASUS
Pada kasus ini ditegakkan diagnosa Fetal Distress, KPD 20 jam, kala I
fase aktif.
Kala I fase aktif ditegakkan dari pemeriksaan fisik :
Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal intrauterin, tinggi fundus
uteri 31 cm, TBJ 3100 g, HIS (+) 2-3 x/10 menit, durasi 25-40 detik.
Intensitas kuat.Vulva uretra tenang, dinding vagina dalam batas
normal, portio lunak mendatar, diameter 5 cm, eff 50%, kulit ketuban
(+), teraba kepalaturun di H II, penunjuk belum dapat dinilai, air
ketuban (+) jernih, tidak berbau, STLD (+).
Fetal distress ditegakkan dari pemeriksaan denyut jantung janin pada
pemeriksaan aukultasi yang didapatkan DJJ (+) 10-9-9 / 8-7-8 / 9-9-10,
kesan bradikardi, ireguler.
Fetal distress pada pasien diakibatkan oleh adanya ketuban
pecah dini yang mengakibatkan air ketuban berkurang, kemudian tali
pusat tertekan oleh janin sehingga janin mengalami hipoksia. Fetal
distress ditegakkan ketika ditemukan DJJ irreguler menurun, denyut
jantung janin kurang dari 120 kali permenit. Hal ini menunjukkan
hipoksia janin yang sudah tidak bisa dikompensasi lagi (distress).
23
Diagnosa ini dapat lebih tegas lagi ditegakkan jika dilakukan
pemeriksaan cardiotocography untuk pemantauan denyut jantung
janin yang kontinyu dalam hubungannya dengan kontraksi uterus.
KPD 20 jam ditegakkan dari anamnesis dimana pasien mengaku air kawah
telah keluar 20 jam sebelum pasien datang ke RSDM. Pada
pemeriksaan VT diadapatkan kulit ketuban (-), air ketuban (+) jernih,
tidak berbau.
KPD bisa dibagi menjadi 2 menurut ada tidaknya infeksi yang
menyertai, yaitu KPD infected dan KPD non infected. Tanda tanda
KPD infected adalah sebagai berikut:
a. Air ketuban berwarna keruh, hijau, dan berbau busuk
b. Angka lekosit ibu > 15.000/uL
c. Suhu tubuh ibu > 38,5 derajat celcius
Pada kasus ini adalah KPD non infected karena tidak memenuhi
kriteria tersebut di atas.
Sectio Caesarea (SC). Sectio Caesareaadalah salah satu tindakan obstetri
untuk membantu mengakhiri persalinan pada keadaan dimana ibu atau janin
memerlukan penyelesaian dalam waktu singkat. Kami setuju atas tindakan SC
yang dilakukan pada kasus ini atas pertimbangan adanya fetal distress yang
ditandai dengan bradikardi irreguler sehingga memerlukan terminasi segera
untuk menyelamatkan janin.
24
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Fetal distress adalah adanya suatu kelainan pada fetus akibat gangguan
oksigenasi dan atau nutrisi.
2. Penyebab fetal distress dapat berasal dari ibu, uterus, plasenta, tali pusat,
dan fetus. Penyebab fetal distress pada pasien ini adalah ketuban pecah
dini.
3. Sectio Caesarea adalah salah satu tindakan obstetri untuk membantu
mengakhiri persalinan pada keadaan dimana ibu atau janin memerlukan
penyelesaian dalam waktu singkat. Tindakan managemen berupa sectio
caesarea pada pasien ini sudah tepat.
B. SARAN
1. Edukasi kepada pasien untuk pemeriksaan rutin ANC.
2. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai keadaan pasien.
3. Penegakan diagnosa dengan dilakukan pemeriksaan cardiotocography
untuk pemantauan denyut jantung janin yang kontinyu dalam
hubungannya dengan kontraksi uterus.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Hariadi R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal.
Edisi Perdana Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia, Surabaya, hal : 364-382, 392-393, 426-443
2. Melfiawati S. 1994. Kapita Selekta Kedaruratan
Obstetri dan Ginekologi, EGC, Jakarta, hal 368-371
3. Sumapraja, S; Rachimhadhi, T. 1999. Perdarahan
Antepartum. Dalam Wiknjosastro H, Ilmu Kandungan. Edisi Ketiga Cetakan
Keenam. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Pp : 497-
521
4. Cunningham, Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap,
Hanskin, Clark. 1997. William‘s Obstretics 20th edition. Prentice-Hall
International Inc. Pp : 773-818
5. Rustam Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri
Fisiologi, Obstetri Patologi. Editor: Delfi Lutan, EGC, Jakarta. Pp: 269-72
6. Allan, H., et all. 1994. Current Obstetric &
Ginecologic Diagnosis and Treatment. 8th edition. Appleton, Norwak,
Connecticut.
7. Hudono, S.T; Samil, R.S. 1999. Penyakit
kardiovaskuler. Dalam Wiknjosastro H, Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga
Cetakan Keenam. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
Pp : 429-43
8. Price & Wilson. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Edisi 4. EGC. Pp : 722-23
9. Wibowo, B; Rachimhadhi, T. 1999. Pre-eklampsia
dan Eklampsia. Dalam Wiknjosastro H, Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga
Cetakan Keenam. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
Pp : 281-300
26
10. Neville, F; Hacker, J; Geroge Moore. 2001. Esential
Obstetri dan Gynecologi. Hipokrates, Jakarta. Pp : 20-30
11. Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI. 2005.
Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia. Edisi
Kedua. Kelompok Kerja Penyusunan Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam
Kehamilan di Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal POGI. Pp : 1-9
12. Sumapraja, S; Rachimhadhi, T. 1999. Infertilitas.
Dalam Wiknjosastro H, Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga Cetakan Keenam.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Pp : 365-76
13. M. Dikman Angsar. 1995. Kuliah Dasar Hipertensi
dalam Kehamilan (EPH Gestosis). Lab UPF Obstetri dan Ginekologi FK
UNAIR/ RSUD Dr. Soetomo, Surrabaya. Pp : 19-41
14. RSUD dr Moewardi. 2004. Protap Pelayanan
Profesi Kelompok Staf Medis Fungsional Obstetri & Ginekologi. RSUD dr
Moewardi, Surakarta. Pp : 15-7
15. Husodo, L. 1999. Pembedahan dengan Laparotomi.
Dalam Wiknjosastro H, Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga Cetakan Keenam.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Hal : 863-870
16. Abdul Bari, S. 2003. Standar Pelayanan Medik
Obstetri dan Ginekologi. PB POGI, FKUI, Jakarta. Pp : 35-45
17. Danforth's Obstetrics and Gynecology, 9th Ed:
James R., Md. Scott, Ronald S., Md. Gibbs, Beth Y., Md. Karlan, Arthur F.,
Md. Haney, David N. Danforth By Lippincott Williams & Wilkins
Publishers; 9th edition.
18. The Johns Hopkins Manual of Gynecology and
Obstetrics 2nd edition (May 2002): By Brandon J., Md. Bankowski (Editor),
Amy E., MD Hearne (Editor), Nicholas C., MD Lambrou (Editor), Harold E.,
MD Fox (Editor), Edward E., MD Wallach (Editor), The Johns Hopkins
University Department (Producer) By Lippincott Williams & Wilkins
Publishers
27