Download - Perceraian Karena Perselingkuhan
PERCERAIAN KARENA PERSELINGKUHAN
Oleh Joke Punuhsingon1
A. Latar Belakang
Angka perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat drastis.
Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA)
mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan
perceraian hingga 70 persen. Dirjen Badilag MA, Wahyu Widiana,
mengatakan tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10
persen setiap tahunnya. Data jumlah perceraian tahun 2011 terjadi
kenaikan di atas 10 persen dibanding angka tahun 2010.2
Tahun 2010 terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia.
Penyebabnya paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan sebanyak
91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407 perkara, dan masalah
ekonomi 67.891 perkara. Sedangkan tahun sebelumnya, tingkat
perceraian nasional masih di angka 216.286 perkara. Faktor penyebabnya
terdiri atas ketidakharmonisan 72.274 perkara, tidak ada tanggungjawab
61.128 perkara, dan faktor ekonomi 43.309 perkara.3
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat perceraian
yang cukup tinggi. Hal ini terbukti dengan data-data yang tercatat di
pengadilan Agama dan Pengadilan negeri. Hal ini juga dapat kita
1 Dosen Fakultas Hukum UKIT.2 http://id.berita.yahoo.com/angka-perceraian-pasangan-indonesia-naik-drastis-70-persen-010352821.html, diakses 5 Mei 2012 pukul 08.21.3 Ibid..
buktikan bila mengunjungi pengadilan agama selalu ramai dengan orang-
orang yang menunggu sidang cerai.
Secara historis, angka perceraian di Indonesia bersifat fluktuatif.
Hal itu dapat ditilik dari hasil penelitian Mark Cammack, guru besar dari
Southwestern School of Law-Los Angeles, USA. Berdasarkan temuan
Mark Cammack, pada tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara,
termasuk Indonesia, tergolong yang paling tinggi di dunia. Pada dekade
itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan perceraian.
Tahun 2009 perceraian mencapai 250 ribu. Tampak terjadi kenaikan
dibanding tahun 2008 yang berada dalam kisaran 200 ribu kasus.
Ironisnya, 70% perceraian diajukan oleh pihak isteri atau cerai gugat. 4
Berikut ini adalah data tahun 2010 dari Dirjen Bimas Islam
Kementerian Agama RI, yaitu dari 2 juta orang nikah setiap tahun se-
Indonesia, maka ada 285.184 perkara yang berakhir dengan percerain per
tahun se-Indonesia.
Adapun faktor perceraian disebabkan banyak hal, mulai dari
selingkuh, ketidakharmonisan, sampai karena persoalan ekonomi. Faktor
ekonomi merupakan penyebab terbanyak dan yang unik adalah 70% yang
mengajukan cerai adalah istri, dengan alasan suami tidak bisa memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga. Data ini memberikan gambaran bahwa,
tingkat perceraian secara nasional cukup tinggi. Bagaimana dengan di
4 http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/01/inilah-penyebab-perceraian-tertinggi-di-indonesia/diakses tgl 13 Februari 2013 pkl.03.06.
daerah-daerah? Ada beberapa daerah yang datanya menunjukkan
tingginya angka perceraian.
Kompas.com melansir, pada Tahun 2006, jumlah perkara cerai
sebanyak 5 ribu kasus. Tahun 2007 sebanyak 4.625 perkara, dan 2629
merupakan gugatan cerai dari istri, dan 1571 dari suami.5 Istri jauh lebih
banyak yang menggugat cerai dibanding suami. Tingginya angka
perceraian ini, dipicu banyaknya warga yang mengadu nasib sebagai
Tenaga kerja Wanita di luar negeri.
Untuk tingkat provinsi di Indonesia di Tahun 2011, Jawa Timur
masih menempati urutan pertama di bandingkan dengan provinsi lain.
Kalau tingkat kabupaten, Indramayu menempati urutan pertama dan
Banyuwangi yang kedua.
Faktor perceraian yang paling dominan adalah hubungan
pasangan suami istri yang tidak harmonis sekitar 33 persen. Kalau
masalah ekonomi, selingkuh, dan WIL (wanita idaman lain) atau PIL
(pria idaman lain) itu angkanya kecil. Dari 250 warga Surabaya yang
bercerai setiap harinya, rangking tertinggi ternyata didominasi kaum
guru. Data ini terungkap saat Walikota Surabaya Bambang DH memberi
pembekalan terhadap CPNS guru. Menurut Bambang DH, data yang
didapat dari Pengadilan Agama, guru menempati urusan pertama dalam
kasus perceraian. Di Kabupaten Bantul, Berdasarkan data Pengadilan
Agama Bantul kasus perceraian tahun 2007 mencapai 699 kasus, padahal 5 http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/01/inilah-penyebab-perceraian-tertinggi-di-indonesia/, diakses 5 Mei 2012 pukul 08.33.
tahun 2006 baru 577 kasus. Tahun 2008 sampai dengan bulan Mei sudah
ada 336 kasus. Tren kasus perceraian di Bantul terus meningkat dari
tahun ke tahun. Sebulan rata-rata ada 60 kasus dan sebagian besar karena
faktor perselisihan. Perselisihan dipicu karena pihak laki-laki
menelantarkan atau tidak memberikan nafkah kepada istrinya. Sebagian
besar yang bercerai berusia antara 30-40 tahun6.
Sampai akhir tahun 2011, sebanyak 1.195 kasus cerai yang terjadi
di Kabupaten Sidoarjo. Dari kasus perceraian yang didaftarkan ke
Pengadilan Agama Sidoarjo itu, sebagian besar disebabkan suami yang
meninggalkan kewajibannya terhadap istri. Pada 2006 lalu sebanyak
1.873 kasus cerai yang didaftarkan ke PA Sidoarjo. Jumlah itu meningkat
201 kasus atau menjadi 2.074 kasus cerai pada 2007. Penyebab lain
perceraian di Sidoarjo adalah karena suami berbuat selingkuh. Di
Pontianak, faktor rendahnya ekonomi menyebabkan tingginya angka
perceraian di Pengadilan Agama Pontianak, Kalimantan Barat. Terhitung
sejak Januari hingga Juni 2008, sudah ada 452 perkara yang masuk ke
pengadilan.
Bagaimana dengan di Manado? Memasuki awal tahun 2012,
angka perceraian di Kota Manado ternyata sangat tinggi dibanding tahun
sebelumnya. Data dari Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan sedikitnya
telah menerbitkan 23 surat akte perceraian. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala
Disdukcapil Manado Ventje Pontoh menjelaskan, Disdukcapil 6 http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/01/inilah-penyebab-perceraian-tertinggi-di-indonesia-392465.html, diakses tgl 13 Feb.2013 pkl. 12.00.
merupakan instansi atau lembaga yang menetapkan perceraian.
Sedangkan yang memutuskan perceraian adalah lembaga peradilan.
“Artinya kami mengeluarkan surat perceraian berdasarkan putusan
pengadilan. Jadi, kita tidak langsung menerbitkan surat cerai begitu
saja”.7
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil)
menerbitkan akte perceraian yang dilakukan warga Kota Manado, lebih
banyak dilandasi karena ketidakcocokan dalam menjalani perkawinan.
Rata-rata mereka yang mengurus akte perceraian, usia perkawinan masih
di bawah 10 tahun. “Biasanya kalau sudah di atas sepuluh tahun, apalagi
kalau sudah merayakan tahun perak dua puluh lima tahun, mereka lebih
matang dalam berumahtangga, tidak mudah bagi mereka untuk bercerai”.
Meski demikian, bukan berarti tidak ada dari kelompok 10 tahun ke atas
mengurus surat cerai.8
Keretakan rumah tangga yang berujung perceraian di Sulawesi
Utara mencengangkan. Rata-rata terjadi satu kasus perceraian setiap hari
sepanjang tahun. Faktor pemicunya beragam namun paling dominan
justru ketidaksetiaan.9 Suami memiliki Wanita Idaman Lain (WIL) dan
sang istri menyimpan Pria Idaman Lain (PIL) dan akibatnya anak adalah
korban paling menderita akibat perpisahan orang tuanya.
7 http://beritamanado.com/kota-manado/angka-cerai-di-manado-tinggi/79103/8 Ibid.9 Tribun Jogja - Jumat, 13 April 2012 18:16 WIB
Data yang diperoleh dari Pengadilan Negeri Manado dan
Pengadilan Agama Kotamobagu bisa memberi gambaran tentang
tingginya frekwensi perceraian di Sulut. Dalam tiga bulan pertama tahun
2012 (Januari-Maret) total 94 kasus gugatan cerai pasangan suami istri di
PN Manado. Bulan Januari 30 kasus, Februari 35 dan Maret 29 kasus.
Pada tahun 2012 PN Manado mencatat 291 kasus perceraian terbanyak
pada bulan Oktober dengan 37 pasutri bercerai.
Angka perceraian di Bolaang Mongondow (Bolmong) Raya pun
mencatat rekor tertinggi dibanding daerah lain di Sulut. Setiap tahun,
trend perceraian di empat kabupaten dan satu kota di Bolmong naik
antara 20 hingga 25 persen. Catatan Pengadilan Agama Kotamobagu,
hingga Maret 2012 sudah 217 kasus gugat cerai. Bandingkan dengan
jumlah perkara tahun 2011 yang mencapai 661 kasus. Dari jumlah
tersebut, 664 di antaranya sudah putus.10
Data yang diperoleh melalui Humas PN Tondano, Uli Purnama
SH MH, "Prosentasi kenaikan berkisar delapan persen per tahun. Ia
menyebutkan, tahun 2009 tercatat 134 kasus perceraian yang ditangani
PN Tondano. Tahun 2010 meningkat jadi 140 kasus dan tahun 2011 146
kasus. Berdasarkan fakta sidang, perceraian umumnya disebabkan
ketidakcocokan, selingkuh dan KDRT.11
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Sumpah yang diucapkan
di depan altar pernikahan bukan hanya janji kepada manusia tetapi janji 10 Ibid.11 http://jogja.tribunnews.com/2012/04/13/tak-setia-pemicu-utama-perceraian
kepada Tuhan. Namun ternyata ada juga pasangan yang sudah diikat
dengan sumpah itu berakhir dengan bercerai. Faktor utama terjadinya
perceraian adalah karena krisis akhlak. “Perselingkuhan adalah krisis
akhlak yang tidak bisa kita pungkiri keberadaannya. Karena
perselingkuhan, pemicu terjadinya konflik yang berkepanjangan. Juga
faktor pendidikan dan ekonomi bukan hal utama yang memicu
perceraian. Data yang tercatat dalam kurun waktu 2010 sampai
September 2011 sudah ada 472 kasus perceraian di PA Manado.
Sementara di PN Kelas I Manado ada 479 kasus yang terjadi. Di PA
Manado 2010 ada 302 kasus perceraian yang harus diselesaikan dan
sampai September ada 170 kasus,” kata Suroso. Sedangkan di PN
Manado, ada 215 yang tercatat sampai September tahun ini dan 264
kasus yang tercatat sepanjang 2010.” Suroso juga menambahkan bahwa
pihak Pengadilan selalu menawarkan jalan mediasi untuk pihak-pihak
yang berseteru, tapi semua tergantung para pihak yang ada.12
Dari data yang ada di atas dapat ditarik kesimpulan sementara
bahwa:
1. Tren perceraian di Indonesia meningkat dari tahun ketahun.
2. Dari 2 juta pernikahan setiap tahun, ada 200 ribuan yang bercerai.
3. Masalah ekonomi (suami tidak bisa menafkahi) adalah no 1 penyebab
perceraian, kemudian ketidak harmonisan pribadi, perselingkuhan.
12 http://beritamanado.com/kota-manado/angka-cerai-di-manado-tinggi/79103/
4. 70 % yang menggugat cerai adalah Isteri.13
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka penuilis tertarik untuk
menelitinya dengan judul: PROSES PERCERAIAN KARENA
SELINGKUH DI PENGADILAN NEGERI.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana proses cerai gugat karena istri selingkuh di Pengadilan Negeri?
2. Bagaimana Tatacara perceraian di Pengadilan Negeri dalam perkara cerai gugat
karena selingkuh?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Bagaimana proses cerai gugat karena istri selingkuh di Pengadilan Negeri?
2. Bagaimana Tatacara perceraian di Pengadilan Negeri dalam perkara cerai gugat
karena selingkuh?
D. Manfaat Penelitian
Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa
manfaat antara lain:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi terhadap kajian
akademis sekaligus sebagai masukan bagi penelitian yang lain dalam tema yang
berkaitan, sehingga bisa dijadikan salah satu referensi bagi peneliti berikutnya.
13 Di kumpulkan dari beberapa Sumber: Kompas.com, detik.com, vivanews.com, suara karya, Antara.
Selain itu penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pengetahuan
tentang fenomena cerai gugat karena istri selingkuh, dan diharapkan dapat
dijadikan sebagai bahan masukan bagi hakim-hakim di Pengadilan Agama yang
lain.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi badan pembuat undang-undang perkawinan
mengenai alasan perceraian.
b. Sebagai bahan wacana dan diskusi bagi para mahasiswa Fakultas Hukum UKIT
khususnya, serta bagi para masyarakat pada umumnya.
c. Sebagai bahan kajian untuk penelitian selanjutnya dengan tema yang sama.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Desain penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk memperoleh
gambaran secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta
hubungannya antar fakta. Penelitian deskriptif ini mempelajari masalah-masalah
dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-
situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap,
pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-
pengaruh dari suatu fenomena.14
Penelitian kualitatif menggunakan berbagai macam sarana guna
mempermudah peneliti dalam mendapat data yang valid dan obyektif. Pelaksanaan
penelitian kualitatif terjadi secara alamiah, apa adanya, dalam situasi normal yang
tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya, menekankan pada deskripsi secara
alami.
2. Paradigma Penelitian
14 Moh. Nadzir, Metode Penelitian (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 26.
Pada hakikatnya, penelitian merupakan wahana untuk menemukan
kebenaran atau untuk lebih mudah membenarkan kebenaran. Seorang peneliti
merupakan salah satu pihak yang berperan untuk mengejar kebenaran dengan
menggunakan model-model tertentu. Model ini kemudian disebut dengan istilah
paradigma. Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu di
struktur atau bagian-bagian yang berfungsi mengarahkan cara berpikir dan
penelitian.15
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
naturalistik yang bersumber pada pandangan fenomenologis yang berusaha
memahami perilaku manusia dari segi berfikir maupun bertindak. Fenomenologi
yang merupakan suau bidang studi tentang persepsi dan pengalaman subjektif dari
individu-individu yang ada dalam suatu sistem soasial.16 Kaitannya dengan
penelitian ini, peneliti berusaha mengungkapkan fenomena gugat cerai karena istri
selingkuh yang digali melalui wawancara dengan Majelis Hakim yang telah
memutus perkara gugat cerai karena istri selingkuh di Pengadilan Agama Malang.
3. Pendekatan Penelitian
Terkait dengan pendekatan kualitatif yang dipakai dalam penelitian ini,
tentu saja tidak membutuhkan statistik atau bentuk hitungan. Penelitian kualitatif
merupakan pendekatan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh.17
Secara umum penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti
15 Lexy J.Moleong, Op. Cit., 3016 Amiruddin dan Zainal Asikin, PengantarMetodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo9P1ersada, 2004), 218.17 Lexi J. Moleong, Op. Cit., 4.
perilaku, persepsi, motivasi dan lain sebagainya. Sifat yang tidak kaku memberi
peluang kepada peneliti untuk menyesuaikan diri dengan konteks yang ada.18
F. Sistematika Penulisan
Demi mempermudah pembahasan masalah secara garis besar terhadap
penyusunan skripsi, maka penulisan skripsi ini akan disusun dalam empat bab yang
masing-masing bab dibagi dalam sub-sub bab, adapun rinciannya adalah sebagai
berikut:
Bab I, Pendahuluan: terdiri dari latar belakang masalah yang berisi deskripsi
umum tentang pentingnya masalah yang akan diteliti, kemudian rumusan masalah yakni
beberapa pokok permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini, kemudian tujuan dan
manfaat penelitian berisi tujuan yang ingin dicapai dan manfaat yang akan dihasilkan
dalam skripsi ini, selanjutnya Metode penelitian dan sistematika Penulisan.
Bab II, Kajian Teori: kajian teori merupakan bahan rujukan untuk menganalisis
materi pokok yang akan diteliti, oleh karena itu dalam kajian teori ini akan dipaparkan
mengenai teori perceraian dalam Islam, perceraian menurut perundang-undangan
Indonesia, syarat dan tugas Hakim, serta faktor-faktor selingkuh.
Bab III, PROSES PERCERAIAN KARENA SELINGKUH
DI PENGADILAN NEGERI, yang memuat tentang Proses cerai gugat
karena istri selingkuh di Pengadilan Negeri dan Tatacara perceraian di Pengadilan
Negeri dalam perkara cerai gugat karena selingkuh.
Bab IV, Penutup: merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan yaitu
menyimpulkan pembahasan sesuai dengan rumusan masalah yang diangkat. Selain itu
juga terdapat saran-saran yang bersifat konstruktif.
18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2006), 14-15.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Perceraian
1. Pengertian Perceraian
a. Perceraian Dalam Pandangan Kristen
Perceraian merupakan persoalan yang biasa dihadapi oleh
kebanyakan orang dalam kehidupan berumah tangga. Bukan saja di
kalangan para artis yang marak, tetapi juga di kalangan orang Kristen
sendiri, perceraian menjadi persoalan yang serius. Dalam tulisan ini
Hendi Rusli19, mencoba melihat persoalan etis perceraian dari sudut
19 http://hendirusli.blogspot.com/2010/05/perceraian-dalam-pandangan-paulus.html, diakses 5 Mei 2012 pukul 13.39.
pandang Paulus dalam I Korintus 7. Ada pun sebelum saya menarik
sumbangsih etis dari pandangan Paulus mengenai perceraian, terlebih
dahulu meninjau latar belakang historis dari surat I Korintus tersebut;
menelusuri sumber ajaran etis Paulus; dan menggali teks I Korintus 7
terkait dengan masalah perceraian.
1) Latar Belakang Historis
Kota Korintus merupakan kota pelabuhan yang penting karena
letaknya yang strategis. Menurut Groenen, kota ini terletak di lajur
tanah yang menghubungkan antara Yunani Selatan dan Yunani
Utara, oleh karena itu juga kota ini menjadi titik sambung lalu lintas
bagi Yunani Selatan dan Yunani Utara. Dan hal inilah yang
menyebabkan kota Korintus menjadi pusat perdagangan dan
industri, bukan sebagai pusat kebudayaan seperti Athena.20
Penduduk Korintus sangat dipengaruhi oleh agama yang mereka
anut. Penduduk Korintus menyembah Dewi Venus yang adalah
“Dewi Cinta” berdasarkaan hawa nafsu.21 Peraturan di Korintus
menetapkan bahwa di dalam kuil Dewi Venus harus ada seribu gadis
cantik yang tetap tinggal sebagai pelacur dan beribadah kepada
“Dewi Cinta” itu. Wesley menambahkan bahwa dengan adanya
agama yang demikian, maka tidaklah heran jika kota Korintus
disebut sebagai kota kenajisan dan “Kota Main Korintus” yang
berarti kota untuk berbuat zinah. Di sisi lain, Barclay juga 20 Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta:1986), 227.21 J. Wesley Brill, Tafsiran Surat Korintus, (Bandung:1998), 11-12.
berpendapat22 bahwa kota Korintus memiliki reputasi makmur di
bidang perdagangan, namun juga merupakan pemeo bagi kehidupan
yang jahat. Menurut Barclay, kata korinthiazesthai yang telah
menjadi kosa-kata bahasa Yunani secara harfiah berarti hidup seperti
orang Korintus, yaitu hidup bermabuk-mabukan dan penyelewengan
yang tidak terkendali.
Paulus menulis suratnya yang pertama kepada jemaat
Korintus di tengah-tengah situasi yang seperti ini. Yang menjadi
pertanyaan adalah mengapa Paulus menulis surat ini? Ada
kemungkinan bahwa surat yang petama ini ditulis untuk membalas
surat dari jemaat Korintus itu sendiri, misalnya dapat kita rujuk dari
I Korintus 7:1.23 Melalui suratnya, Paulus mau menjawab
pergumulan-pergumulan yang jemaat hadapi. Kapan surat ini
ditulis? Para penafsir mengatakan bahwa surat ini ditulis sekitar
tahun 54 atau 55, namun ada juga yang mengatakan sekitar tahun 57
atau 58. Menurut Bruce,24 kemungkinan surat I Korintus ini ditulis
pada tahun 55 sebelum hari raya Pentakosta ( I Kor 16:8), ketika
Paulus berada di Efesus pada tahun yang ketiga.
2) Sumber Ajaran Etis Paulus
22 Barclay, William. F.F. Bruce (ed). Paul And His Converts. London: Lutterworth Press. 196223 J. Wesley Brill, Ibid.24 F.F Bruce, The New Century Bible Commentary: I & II Corinthians, (Grand Rapids: 1992), 25.
Dari manakah sumber ajaran etis Paulus mengenai perceraian?
Mungkin ini menjadi pertanyaan yang terlintas dalam benak
pembaca. Dalam bagian ini, saya merujuk pada tiga sumber yang
sekiranya dapat menjawab pertanyaan di atas.
Perjanjian Lama
Kemungkinan pertama, sumber dari ajaran Paulus mengenai
perceraian dalam I Korintus 7 bisa bersumber dari Perjanjian
Lama.25 Bagian dari Perjanjian Lama yang membahas khusus
mengenai hukum perceraiaan terdapat dalam Ulangan 24:1-5 (teks-
teks lain dapat dirujuk, misalnya: Ul. 22:13-21; Ul. 22:28-29; Im.
21:7-14.26 Penulis Deuteronomis yang menjadi sumber tulisan ini,27
sangat tidak setuju dengan perceraian di kalangan umat Israel.
Hukum-hukum itu dibuat untuk mencegah terjadinya perceraian.
Dari sini tentunya kita dapat katakan bahwa, Paulus sebagai seorang
murid dari guru besar Gamaliel (Kis. 22:3) mengetahui hukum-
hukum yang tertulis dalam kitab Ulangan. Yang menjadi pertanyaan
adalah apakah benar sumber ajaran etis Paulus mengenai perceraian
ini bersumber dari Perjanjian Lama? Hal ini memang dapat dibantah,
karena Paulus tidak mengutip secara langsung teks-teks dalam PL
sebagaimana dilontarkan oleh Adolf von Harnack.
25 Lihat diktat Candra Gunawan, Etika Paulus: Sumber-Sumber Ajaran Etis/Moral Tulisan Rasul Paulus, Cipanas: 25 Januari, 2010.26 Glen H. Stassen, Etika Kerajaan, (Surabaya:2008), 356.27 Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, (Jakarta: 2004, 68.
Menurut Holtz yang dikutif Candra Gunawan,28 Rasul Paulus
mengembangkan nasehat etisnya dari ajaran PL sebagaimana
dipahami oleh Yudaisme Bait Allah Kedua (BAK). Pandangan
Paulus dalam I Korintus 7:2 yang menyatakan bahwa, lebih baik
menikah daripada jatuh dalam bahaya percabulan, menurut Holtz,
bersumber pada pandangan Yudaisme BAK. Demikian juga dengan
nasehat mengenai anjuran selibat dalan I Korintus 7:7, 26, 32
memiliki kemiripan dengan anjuran dan nesehat yang diberikan
dalam komunitas Qumran.
Tradisi/Ajaran Yesus
Sumber kedua yang dapat dirujuk dari ajaran etis Paulus
dalam I Korintus 7 adalah dari tradisi/ajaran Yesus.29 Mengenai
ajaran Yesus tentang perceraian yang telah dibukukan terdapat
dalam Injil sinoptik,30 yaitu Matius 5:31-32; 19:3-12, Lukas 16:18
dan Markus 10:2-12. Masing-masing bagian ini menegaskan bahwa
Yesus sebenarnya menentang perceraian. Perikop Matius 19:3-12
dan Markus 10:2-12 memiliki kemiripan. Menurut Stassen,31 kedua
bagian tersebut mencatat perjumpaan Yesus dengan orang-orang
Farisi di mana mereka berusaha “menguji” Dia di hadapan orang
banyak. Kedua perikop tersebut berkenaan dengan isu tentang
28 Candra Gunawan, Ibid, 12.29 Candra Gunawan, Ibid.30 Injil-injil sinoptik ditulis dengan periode waktu yang berbeda-beda. Menurut Marxsen, Markus ditulis sekitar tahun 67-69 M, Matius sekitar tahun 80an, dan Lukas ditulis sekitar tahun 90 M.31 Glen H. Stassen, Ibid, 350..
apakah perceraian sejalan dengan hukum Yahudi.
Paulus Sendiri
Sumber ketiga yang dapat saya rujuk dari ajaran etis Paulus
dalam I Korintus 7 adalah hasil dari pergumulan Paulus sendiri
dengan konteksnya, yaitu di jemaat Korintus. Sebagaimana
disinggung pada bagian latar belakang historis, kota Korintus
dikenal sebagai kota yang penuh dengan kejahatan, rawan akan
perzinahan dan tindakan asusila. Hal ini menimbulkan persoalan etis
di jemaat Korintus, yang mengancam hidup pernikahan jemaat
tersebut. Paulus menjawab pergumulan ini melalui suratnya,
terkhusus dalam I Korintus 7 yang terkait dengan isu tersebut.
Barclay juga menegaskan bahwa ayat 12-16 merupakan hasil
pergumulan Paulus dari persoalan yang terjadi di jemaat Korintus.
Penjelasan I Korintus 7
Isu utama dalam bagian I Korintus 7 sebenarnya bukan
berbicara mengenai perceraian tetapi mengenai perkawinan. Dapat
dikatakan bahwa isu perceraiaan merupakan sub-ordinasi dari isu
utama, yaitu perkawinan. Sebelum saya masuk ke dalam penjelasan
ayat-ayat yang terkait dengan masalah perceraian, saya akan
mencoba meninjau pengertian dari istilah perceraian itu sendiri
dalam konteks sekarang, kemudian menelusuri, persoalan apa yang
sebenarnya digumuli oleh jemaat Korintus terkait dengan surat I
Korintus pasal 7 ini.
3) Pengertian Perceraian
Perceraian adalah32 putusnya hubungan pernikahan antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang telah hidup
bersama sebagai suami isteri. Istilah perceraian memiliki dua
pengertian yang digunakan dalam keadaan yang berbeda. Pertama,
adalah perceraaian dengan istilah a mensa et thoro (dari meja dan
tempat tidur), lebih tepat lagi didefinisikan sebagai pemisahan.
Dalam hal ini, pasangan suami isteri tersebut hidup terpisah dan
berhenti untuk tinggal bersama sebagai suami isteri (pisah ranjang),
tetapi masih terikat dengan perkawinan dan tidak ada kebebasan
untuk menikah lagi dengan orang lain ketika pasangannya masih
hidup. Keadaan seperti ini diakui oleh hukum dan diijinkan oleh
tradisi Kristen di dalam pernikahan. Kedua, adalah dengan istilah a
Vinculo yang berarti putusnya hubungan dari ikatan perkawinan
(secara hukum/resmi). Mereka sudah tidak terikat satu dengan
lainnya dan keduanya bebas menikah lagi dengan orang lain.
4) Masalah yang diajukaan kepada Paulus
Menurut Wesley,33 sebenarnya ada 8 pertanyaan atau
masalah yang ditanyakan jemaat Korintus kepada Paulus terkait
dengan I Korintus 7 ini. Persoalan tersebut yaitu:
- Salahkah jika seseorang menikah? Jawaban atas pertanyaan ini
32 Dr. Endang Sumiarti, Problematika Hukum Perceraian Kristen dan Katolik, (Yogyakarta:2005), 85.33 Wesley, Ibid, 135-136.
adalah “tidak” (ayat 1 dan 2).
- Bolehkah seseorang yang sudah menikah menjauhi pasangannya
dan tidak bersetubuh dengan dia? Jawabannya ialah “tidak” (ayat
3-5).
- Bolehkah seorang janda atau seorang duda menikah lagi?
Jawabannya ialah: mereka boleh menikah lagi, tetapi hanya
dengan orang yang percaya kepada Tuhan Yesus. Namun Paulus
berpendapat bahwa lebih baik kalau janda-janda itu tidak
menikah (ayat 7-8).
- Bolehkan seorang isteri Kristen menceraikan suaminya atau
sebaliknya? Jawabannya ialah “tidak” (ayat 10-11).
- Bolehkah perkawinan di antara seorang yang beriman dan
seorang yang tidak beriman dibatalkan? Jawabannya adalah
“tidak” (ayat 13-14).
- Apakah peraturan umum yang berhubungan dengan masalah
perkawinan ini? Jawabannya ialah: hendaklah tiap-tiap orang
tetap tinggal dalam keadaannya seperti pada waktu ia dipanggil
Allah (ayat 18-24).
- Apakah membujang lebih baik/lebih mulia daripada menikah
atau menikah lebih baik/lebih mulia daripada membujang?
Jawaban atas kedua pertanyaan itu adalah “tidak” (ayat 25-35).
- Apakah kewajiban seorang ayah terhadap anak gadisnya?
Bolehkah ia mendorong atau memaksa anak gadisnya itu
menikah atau tidak menikah? Jawaban atas kedua pertanyaan ini
ialah “tidak” (ayat 36-40).
Adapun ayat-ayat khusus yang berbicara langsung mengenai
isu perceraian dalam I Korintus 7 adalah sebagai berikut:
Ayat 10-11, Paulus menegaskan agar seorang isteri tidak
boleh menceraikan suaminya, demikian juga suami tidak
diperbolehkan menceraikan isterinya. Menurut Barclay,34 Paulus
melarang perceraian karena Yesus juga melarangnya. Jika terjadi
perceraian yang semacam itu, Paulus melarang mereka untuk kawin
lagi. Hal ini mungkin terlihat seperti sebuah ajaran yang keras,
namun dalam konteks di Korintus, lebih baik memelihara norma-
norma yang demikian sehingga kehidupan moral yang baik tetap
terpelihara dalam kehidupan jemaat. Di samping Barclay, Bruce juga
menegaskan bahwa otoritas Paulus dalam ajarannya mengenai
larangan perceraian ini, bersumber dari pengajaran Yesus (misalnya
dapat kita rujuk dari Markus 10:2-12).35
Ayat 12-16, bekenaan dengan perkawinan di antara orang-
orang beriman dan orang-orang yang tidak beriman. Bagian ini
kemungkinan adalah hasil dari pergumulan Paulus, karena tidak ada
perintah dari Yesus yang dapat ditunjukkan oleh Paulus kepada
jemaat Korintus tersebut. Latar belakang dari bagian ini adalah
bahwa ada orang-orang di Korintus yang menyatakan bahwa orang 34 Barclay, Ibid, 115.35 Bruce, Ibid, 69.
beriman tidak boleh tinggal bersama orang tidak beriman; dan
mereka juga berpandangan bahwa jika salah seorang dari pasangan
dalam sebuah perkawinan menjadi Kristen, maka jalan satu-satunya
yang harus ditempuh untuk memisahkan mereka adalah perceraian.
Paulus menghadapi masalah ini dengan kebijaksanaan yang paling
praktis. Ia berkata bahwa jika keduanya sepakat untuk tinggal
bersama, biarkanlah mereka melakukannya; tetapi jika mereka
menghendaki untuk bercerai serta didapati sesuatu yang amat
memberatkan mereka jika harus tetap tinggal bersama, maka biarlah
mereka melakukan perceraian itu. Barclay berpendapat bahwa dalam
bagian ini, ada dua hal penting yang disebut Paulus sebagai nilai-
nilai kekal, yaitu: 1) Bahwa pasangan yang tidak beriman akan
dikuduskan oleh pasangannya yang beriman. Yang menakjubkan
dari kasus seperti ini adalah bahwa bukan noda dari kekafiran,
melainkan anugerah kekristenanlah yang menang. 2) Bahwa
hubungan ini pun mungkin merupakan cara untuk menyelamatkan
jiwa pasangan yang tidak beriman. Pasangan yang tidak beriman
harus dianggap, bukan sebagai sesuatu yang najis untuk dihindari
dengan penolakan, melainkan sebagai jiwa yang harus dimenangkan
bagi Allah.
Ayat 27-28, kelihatannnya Paulus menomorduakan
perkawinan. Paulus mengijinkan perkawinan seakan-akan hanya
sebagai sebuah kelonggaran untuk menghindari percabulan dan
perzinahan. Namun meskipun demikian, Paulus menegaskan bahwa
jikalau seseorang sudah terikat oleh seorang perempuan, artinya
telah memiliki isteri, ia tidak boleh menceraikannya. Hal ini juga
ditegaskan oleh Bruce, ia berpendapat bahwa di samping Paulus
secara eksplisit melarang untuk menikah, Paulus tidak keberatan
jikalau toh seandainya mereka mengabaikan nasehatnya, mereka
tidak berdosa.
Ayat 39, Paulus mengemukakan pandangannya yang
konsisten. Perkawinan adalah hubungan yang hanya dapat
diceraikan oleh kematian. Perkawinan kedua memang diperbolehkan
apabila salah satu pasangan dari mereka telah meninggal. Bruce
mengaitkan bagian ini dengan Roma 7:2 yang berbicara mengenai
hukum perkawinan yang mengatakan, “Sebab seorang isteri terikat
oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan
tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang
mengikatnya kepada suaminya itu.” Kemungkinan Paulus merujuk
pada nats ini, atau juga malah sebaliknya. Karena surat Roma juga di
tulis sekitar tahun 55/56 M.
5) Sumbangan Etis
Pandangan Paulus dalam I Korintus 7 khususnya mengenai
perceraian, dapat dijadikan bahan acuan yang baik untuk bina
pranikah di gereja-gereja dewasa. Memberi pemahaman yang lebih
humanis, terkait dengan pasangan suami isteri yang berbeda
keyakinan. Mereka tidak harus bercerai, kecuali atas kesepakatan
bersama. Pernikahan adalah sesuatu yang kudus dan harus
dipertanggungjawabkan kepada Allah dan sesama. Perceraian tidak
seharusnya dijadikan senjata, ketika persoalan melanda kehidupan
rumah tangga. Hanya maut yang dapat menceraikan manusia dari
pernikahan.
Persoalan etis dari surat I Korintus 7 sebenarnya berkaitan erat
dengan isu mengenai perkawinan. Masalah perceraian sebenarnya
adalah bukan isu utama dalam bagian I Korintus pasal 7 ini. Namun
demikian, bukan berarti kita tidak dapat berbicara mengenai hal
tersebut. Melalui pengkajian sederhana yang saya lakukan di atas,
ternyata banyak nilai-nilai etis yang dapat ditarik dari I Korintus 7
terkait dengan masalah perceraian.
Dari hasil pengkajian Hendi Rusli, ia menyimpulkan bahwa
sumber dari ajaran paulus dalam I Korintus 7:1-40 bisa berasal dari
tiga sumber utama, yaitu Perjanjian Lama, ajaran Yesus, dan
pemikiran Paulus sendiri, yaitu hasil pergumulannya dengan konteks
jemaat Korintus. Juga, pengkajian yang serius atas teks-teks kitab
suci dapat memberi manfaat yang besar bagi kehidupan orang-orang
percaya, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai etis Kristiani serta
menghasilkan pesan atau kerugma yang segar dan relevan untuk
kehidupan kita sekarang ini.
b. Tinjauan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
1. Aturan tentang Perceraian
Aturan perceraian di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan termaktub dalam pasal 39 berbunyi:
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-
isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3) Tatacara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Di dalam Penjelasan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 39 disebutkan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar
untuk perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dam isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukum lagi dalam rumah tangga.
Ketentuan ini juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 19 yang berbunyi: Perceraian dapat
terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selarna 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang syah
atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/isteri;
f. Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.
2. Aturan tentang Izin Poligami
Pembahasan yang berkaitan dalam masalah poligami dalam Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 ada dalam pasal 3 sampai dengan pasal 5.
Pasal 3 berbunyi:
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihakyang bersangkutan.
Pasal 4 berbunyi:
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disebuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan;
Pasal 5 menyatakan
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-
anak mereka;
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mugkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
B. Selingkuh Penyebab Utama Perceraian
by EYANKGHAIB® on 03:32 AM, 12-Oct-11
Setiap dua jam tiga pasang suami istri bercerai gara- gara selingkuh. Anggota DPRD
Provinsi Maluku Utara, Yusman Arifin, tertangkap basah bersama pasangan
selingkuhannya di sebuah wisma di Jalan Mardani, Jakarta Pusat. Sang istri, Naila
Ibrahim sendiri yang memergokinya sembari membawa rombongan wartawan.36
Sementara itu, Polres Tulungagung menetapkan anggota DPRD Kabupaten
Tulungagung Agus Sukarno Putro (29) dari Fraksi PKNU dan pasangan
selingkuhnya, Apriliana (30) yang juga bendahara sekwan sebagai tersangka. Mereka
dijerat pasal 284 KUHP tentang perzinaan. Berita seperti itu banyak menghiasi
media massa, bukan satu-dua kasus. Bukan hanya menyangkut kalangan artis, tapi
juga kaum elitis. Itupun yang ketahuan saja, yang tak terendus jauh lebih banyak.
Tak heran bila di Indonesia, detektif swasta banyak yang disewa untuk menyelidiki
perselingkuhan, khususnya yang dilakukan pejabat. “Memang, klien kami
kebanyakan mengadukan soal perselingkuhan,” kata CJ Ryon, pimpinan dan pendiri
Pancaindera.com, sebuah lembaga penyelidik swasta spesialis perselingkuhan. Picu
Perceraian Ya, praktik selingkuh telah begitu meluas. Bahkan, kini menjadi ancaman
serius bagi institusi keluarga bahagia. Sejumlah hasil penelitian dalam dan luar
negeri membuktikan bahwa dari sekian banyak penyebab perceraian, selingkuh
menjadi penyebab utama. Menurut data Ditjen Pembinaan Peradilan Agama (PPA)
Mahkamah Agung, persentase perselingkuhan perempuan lebih kecil dari pria.
Sedangkan Amir Sjarifoedin Tjunti Agus, dalam bukunya “Wanita-Wanita
Selingkuh; Rumput Tetangga Terlihat lebih Hijau”, melakukan penelitian terhadap
100 "wanita peselingkuh" usia 24-50 tahun, berdasarkan strata ekonomi, sosial, dan
36 http://eyank.mywapblog.com/selingkuh-penyebab-utama-perceraian.xhtml
sebagainya, -dengan latar belakang pendidikan (SLTA sampai S-2). Terungkap,
banyak wanita lebih memilih selingkuh daripada memperbaiki hubungan dengan
suami. Bahkan, mereka berselingkuh tidak saja dengan PIL (pria idaman lain), tapi
juga dengan adik ipar, anak kos, siswa, mahasiswa, "brondong", lesbian, bahkan
gigolo. Menjijikkan! Hasil perselingkuhan ini, mendorong pergerakan stastistik
perceraian dari tahun ke tahun. Direktorat Jendral Pembinaan Peradilan Agama
mencatat, kini selingkuh menjadi virus keluarga nomor empat. Tahun 2005 lalu,
misalnya, ada 13.779 kasus perceraian yang bisa dikategorikan akibat selingkuh;
9.071 karena gangguan orang ketiga, dan 4.708 akibat cemburu. Persentasenya
mencapai 9,16 persen dari 150.395 kasus perceraian tahun 2005 atau 13.779 kasus.
Alhasil, dari 10 keluarga bercerai, 1 di antaranya karena selingkuh. Atau, rata- rata,
setiap 2 jam ada tiga pasang suami istri bercerai gara-gara selingkuh. Perceraian
karena selingkuh itu jauh melampaui perceraian akibat poligami tidak sehat yang
hanya 879 kasus atau 0,58 persen dari total perceraian tahun 2005. Perceraian gara-
gara selingkuh juga 10 kali lipat dibanding perceraian karena penganiayaan yang
hanya 916 kasus atau 0,6 persen. Dan, data perselingkuhan itu diprediksi akan terus
meroket. "Karena banyak tokoh yang melakukannya," kata Direktur Lembaga
Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH APIK), Ratna Batara
Munti. "Selingkuh adalah fenomena tidak sehat bagi bangsa ini. Selingkuh itu zina,"
tandas Nasaruddin Umar, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag.
Sayang, istilah selingkuh sendiri kerap diakronimkan 'selingan indah keluarga utuh',
hingga banyak yang penasaran mencobanya. Padahal mereka Muslim dan Muslimah.
Ironi! Selingkuh Haram Lafal selingkuh berasal dari bahasa Jawa yang artinya
perbuatan tidak jujur, sembunyi-sembunyi, atau menyembunyikan sesuatu yang
bukan haknya. Dalam makna itu ada pula kandungan makna perbuatan serong.
Namun, lafal selingkuh di Indonesia muncul secara nasional dalam bahasa Indonesia
dengan makna khusus "hubungan gelap" atau tingkah serong orang yang sudah
bersuami atau beristri dengan pasangan lain. Sehingga begitu bahasa Jawa selingkuh
ini mencuat jadi bahasa Indonesia tahun 1995-an, langsung punya makna lain
(tersendiri) yaitu hubungan gelap ataupun perzinaan orang yang sudah bersuami atau
beristri. Ini satu perpindahan makna bahasa serta budaya bahkan ajaran. Sebab
menurut budaya Barat (bahkan hukum Barat), yang namanya zina itu hanya kalau
sudah bersuami atau beristri, sedangkan jika masih bujangan atau suka sama suka,
dianggap tidak. Itu sama sekali berlainan dengan Islam, karena ada zina muhshan
(yang sudah pernah berhubungan badan karena nikah yang sah, hukumannya
menurut Islam, dirajam/dilempari batu sampai mati) dan zina ghairu muhshan (belum
pernah nikah, hukumannya dicambuk 100 kali dan dibuang setahun bagi lelaki, dan
didera 100 kali bagi perempuan). Sampai sekarang, lafal selingkuh lebih dekat
kepada makna hubungan gelap antara orang yang sudah bersuami atau beristeri
dengan pasangan lain. Kalau pacaran dianggap bukan selingkuh, tetapi kalau diam-
diam ada pacar lain lagi, baru dianggap selingkuh. Ini semua makna-makna yang
berkembang, tetapi sebenarnya tidak sesuai dengan syariat Islam karena Islam tidak
memperbolehkan pacaran. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), selingkuh adalah: (1). Suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan
sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong. (2) Suka menggelapkan
uang; korup. (3) Suka menyeleweng. Dilihat dari definisi itu, lafal selingkuh
sekarang sudah mengalami perubahan makna, menjadi makna khusus, hubungan
gelap bagi orang bersuami atau beristeri. Dan perbuatan itu dianggapnya lumrah.
Padahal diharamkan menurut Islam Pernikahan Ditinggalkan Rusaknya moral kaum
elite (al-mutrafin) adalah menyangkut selingkuh secara utuh, yaitu makna secara
keseluruhan. Baik selingkuh yang maknanya korupsi, tidak jujur, serong maupun
zina. Diadili saja tidak, apalagi dirajam, yaitu dibunuh dengan cara dilempari batu.
Kalau yang cerai gara-gara selingkuh saja tiap dua jam ada, lantas kalau mereka
diadili, berarti tiap dua jam ada sepasang selingkuh yang bisa divonis mati dengan
dirajam. Karena yang diseret ke pangadilan hanya yang korupsi, bukan yang berzina,
maka suatu ketika lembaga ulama mengeluarkan semacam fatwa atau imbauan hanya
menyangkut pemberantasan korupsi, bukan untuk mengadili yang berzina. Kenapa
separah ini? Karena, ada kekuatan-kekuatan jahat yang bersekongkol atau
berkomplot yang merusak umat Islam Indonesia ini secara sistematis. Antara lain
melalui majalah porno (Playboy misalnya), film porno, situs porno, dll. Sedangkan
aturan yang 'berbau' Islam terus diobrak-abrik. Seperti UU Perkawinan, tentang
kebolehan poligami, diikuti dengan syarat yang ketat. Sebaliknya, bagi yang ingin
zina, sarananya telah tersedia, sedang sistemnya tidak mempersoalkannya. Lebih dari
itu justru perzinaan menjadi salah satu lahan pemasukan bagi pemerintah daerah atau
orang-orang yang berbisnis maksiat. Bahkan ketika kerusakan akibat perzinaan ini
terjadi, seperti menjalarnya penyakit AIDS, pemerintah dan media menolong mereka
dengan berbagai program indahnya. Seperti kondomisasi, kesehatan reproduksi,
antidiskriminasi ODHA (orang dengan HIV/Aids), dll. Dianjurkanlah kondom,
disebar gratis di lokasi maksiat. Merebaklan seks bebas. Dan ketika seks bebas sudah
menjadi budaya, ikatan suci pernikahan pun ditinggalkan. Ya, saat angka perceraian
terus meningkat dari tahun ke tahun, pernikahan justru terus mengalami penurunan.
Lembaga pernikahan tidak lagi menarik. Jumlah pernikahan tahun 2005 lalu, bahkan
hanya sedikit meningkat dibanding 1950-an, di saat jumlah penduduk baru 50 juta
orang. "Jumlah pernikahan tahun 1950-an lalu sudah mencapai 1,4 juta, lho," kata
peneliti ahli Litbang Departemen Agama, Moh Zahid (Republika, 7/1/07). Kalau
sudah begitu, malapetaka kehancuran keluarga, runtuhnya institusi pernikahan
tinggal menunggu waktu. Semai generasi mujahid dalam keluarga pun terancam
gagal. Ini jelas harus dihentikan! Ingat, akronim selingkuh sebagai `selingan indah
keluarga utuh', tidak pernah berlaku, karena sejatinya selingkuh adalah `selingan
indah keluarga runtuh'. Untuk menghentikan itu, tegakkan hukum zina! Tegakkan
Syariat Islam melalui Khilafah Islamiyah!37
Menurut Psikolog Augustine menyebutkan bahwa perselingkuhan bisa dipengaruhi oleh faktor
internal maupun eksternal.38 Tidak hanya dilakukan oleh salah satu pasangan suami istri saja, bahkan
kadang ditemui kasus sepasang suami istri sama-sama melakukan perselingkuhan. Selanjutnya
perselingkuhan akan memicu terjadinya pertengkaran, dan pertengkaran menimbulkan suasana
ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Sehingga kata perceraian disebut sebagai jalan keluar untuk
mengakhiri sebuah ikatan perkawinan yang sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk berbuat selingkuh antara lain adalah
ketidakpuasan salah satu pasangan dalam pergaulan biologis, pengaruh gaya hidup tinggi dalam
pergaulan di lingkungan kerja, dekadensi moral, lemahnya iman dan lain sebagainya.
37 http://eyank.mywapblog.com/selingkuh-penyebab-utama-perceraian.xhtml, diakses 5 Mei 2012 pukul 09.17.38 Budi Sutomo, Teman Tapi Mesra Sebuah Awal Perselingkuhan,, http://budiboga.blogspot.com/2006/04/teman-tapi-mesra-sebuah-awal.html , (diakses pada tanggal 11 November 2009).
Perbuatan selingkuh bukan hanya berpeluang pada perzinahan, melainkan juga memberikan
kontribusi kedhaliman yang dahsyat terutama kehancuran hubungan keluarga. Akibat dari selingkuh
itu sendiri akan mendorong seseorang untuk melakukan dosa-dosa yang lain misalnya berbohong,
zina, menyakiti hati pasangan dan lain sebagainya. Beberapa akibat tersebut kemudian bisa membawa
pada dampak yang lebih besar yaitu kehancuran rumah tangganya sendiri bahkan juga dapat
menghancurkan rumah tangga orang lain.39
Menjadi suatu kewajaran jika seorang istri mencerai gugat suaminya karena suaminya
selingkuh dengan wanita lain, begitu pula sebaliknya, wajar jika seorang suami mentalak istrinya
karena istrinya melakukan hubungan gelap dengan laki-laki lain. Namun menjadi menarik jika ada
seseorang yang telah bersuami atau beristri melakukan perselingkuhan dengan orang lain, kemudian
atas inisiatifnya sendiri mengajukan perceraian terhadap suami atau istrinya ke pengadilan.
Dalam kasus yang nyata, dapat dilihat kasus perceraian selebritis Indonesia yaitu penyanyi
Krisdayanti dan Anang Hermansyah. Diberitakan oleh berbagai media, bahwa penyebab keretakan
rumah tangga pasangan selebritis tersebut karena istri yaitu Krisdayanti telah selingkuh dengan
seorang pengusaha kaya dari Timor Leste. Namun alasan perselingkuhan tersebut tentu saja tidak
secara mentah dijadikan alasan cerai gugat oleh krisdayanti dalam surat gugatannya.
Perceraian dapat diterima dan dilakukan di PA apabila sudah memenuhi alasan yang
dibenarkan oleh hukum maupun pertimbangan hakim. Perceraian tidak dapat dilakukan dengan jalan
permufakatan saja, hal ini sesuai dengan pendapat Subekti bahwa undang-undang tidak membolehkan
perceraian dengan permufakatan saja antara suami istri, tetapi harus ada alasan yang sah.
Alasan perceraian menurut Undang-undang (UU) No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
diatur di dalamnya, akan tetapi hal ini diterapkan dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) No. 9
Tahun 1975 tentang pelaksanaan dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, selain itu juga
disebutkan dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 pasal 116, yang dalam keduanya sama-sama menyebutkan
alasan perceraian dari huruf a sampai f, alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan.
39 Nurul Huda Haem, Awas Illegal Wedding, (Jakarta: Hikmah, 2007), 188.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dari beberapa poin alasan perceraian tersebut yang termasuk dalam kategori selingkuh terdapat
pada huruf (a). Dalam ayat tersebut terdapat kalimat "salah satu pihak berbuat zina" yang secara
tersirat dapat juga diistilahkan dengan perselingkuhan. Adapun kata selingkuh dalam Kamus Bahasa
Indonesia diartikan sebagai "sikap tidak berterus terang, tidak jujur, suka menyembunyikan sesuatu
untuk kepentingan sendiri". Dalam kaitannya dengan hubungan gelap lawan jenis, maka
perselingkuhan bisa diartikan sebagai perbuatan menjalin hubungan dengan orang lain (hubungan
gelap) baik hubungan yang sudah sampai pada perbuatan zina atau belum, yang dilakukan oleh orang
yang telah bersuami atau beristri.
Perselingkuhan merupakan salah satu alasan diperbolehkannya seorang pasangan mengajukan
perceraian di pengadilan. Misalnya seorang istri boleh mengajukan cerai gugat apabila dapat
dibuktikan bahwa suaminya telah melakukan perselingkuhan dengan wanita lain dan sebaliknya. Akan
tetapi tidak dibenarkan apabila seorang suami atau istri menceraikan pasangannya karena dia sendiri
telah melakukan perceraian. Walaupun dalam fenomena perceraian hal semacam ini memang terjadi,
akan tetapi pihak yang akan mengajukan perceraian biasanya menggunakan alasan lain yang
dibenarkan secara hukum untuk mengajukan perceraian, dalam hal ini pasal yang dipakai adalah PP
No. 9 tahun 1975 pasal 19 huruf (f).
Mengacu pada pasal ini, pihak penggugat atau pemohon yang akan mengajukan perceraian bisa
saja membuat-buat masalah dan konflik rumah tangga agar menimbulkan keadaan tidak harmonis
hingga akhirnya dapat mengajukan perceraian di pengadilan. Padahal majelis hakim dalam proses
persidangan perceraian tidak bisa begitu saja mengeluarkan putusannya tanpa memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan yang memberatkan pada jatuhnya perceraian. Maka untuk dapat
mengetahui faktor-faktor penyebab terjadi perceraian yang sebenarnya terjadi dalam sebuah rumah
tangga, dalam proses cerai gugat akan didahului dengan proses perdamaian yang bersifat tertutup.
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 menjadikan mediasi sebagai bagian dari
proses beracara pada pengadilan. Mediasi menjadi bagian integral dalam penyelesaian sengketa di
pengadilan.40 Mediasi pada pengadilan memperkuat upaya damai sebagaimana yang tertuang dalam
hukum acara pasal 2 PERMA No. 02 Tahun 2003, yaitu semua perkara perdata yang diajukan ke
pengadilan tingkat pertama wajib untuk terlebih dahulu diselesaikan melalui upaya perdamaian
dengan bantuan seorang mediator.
Mediasi berasal dari kata "mediation" dalam bahasa inggris yang artinya penyelesaian sengketa
yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi, dan
yang menengahi dinamakan
40 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syari'ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), 306.
mediator.41 Mediator tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk
membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima
oleh masing-masing pihak dalam sebuah sengketa.42
Munasik43 sebagai salah seorang Hakim di Pengadilan Agama Kota Malang menjelaskan
bahwa sebelum melaksanakan mediasi, seorang mediator terlebih dahulu mempelajari surat gugatan
yang memuat latar belakang terjadinya sebuah perkara. Sehingga ketika melaksanakan mediasi,
seorang mediator tahu siapa yang harus ditekan dalam pemberian nasihat supaya yang bersangkutan
introspeksi diri. Dari sini mediator akan dengan mudah menggali faktor yang sebenarnya menjadi
penyebab sebuah perceraian. Dari proses mediasi inilah kemudian secara lebih mendalam seorang
mediator bisa mengetahui alasan sebenarnya terjadi perceraian antara suami dan istri, termasuk alasan-
alasan perceraian yang disembunyikan oleh pasangan suami istri. Termasuk juga dalam penelitian ini,
cerai gugat yang diajukan oleh istri dengan alasan ketidakjujuran dari suami, ternyata terungkap
masalah yang sebenarnya yaitu kesalahan yang telah dibuat oleh pihak istri sendiri.
Dalam mengajukan perceraian, apabila pihak yang mengajukan adalah pihak yang bersalah,
maka gugatan perceraian tersebut akan ditolak di Pengadilan Agama. Karena berdasarkan prinsip yang
ada, seseorang yang berbuat salah tidak boleh mengajukan gugatan.
41 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian di Luar Pengadilan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,422003), 79.43 Ibid., 80.12 Hasil Wawancara dengan Munasik, M.HI Hakim Pengadilan Agama Malang, 6 November 2009, Pengadilan Agama Malang.
BAB III
PROSES PERCERAIAN KARENA SELINGKUH DI
PENGADILAN NEGERI
A. PROSES PERCERAIN DI PENGADILAN NEGERI
Mengenai proses persidangan apabila dalam mengajukan gugatan perceraian, kami akan menjelaskan mengenai proses-prosesnya sebagai berikut:
1. Suami atau isteri yang akan mengajukan perceraian harus memahami bahwa gugatan yang diajukan telah memenuhi syarat-syarat alasan perceraian sesuai ketentuan undang-undang;2. Suami atau isteri yang akan mengajukan gugatan perceraian dapat mewakili dirinya sendiri di pengadilan atau mewakilkan kepada advokat atau kuasa hukum, dan gugatan dapat dibuat sendiri, jika tidak mengetahui format gugatan dapat meminta contoh gugatan perceraian kepada kepaniteraan pengadilan, pengadilan agama dan lembaga bantuan hukum yang ada;3. Suami atau isteri yang akan mengajukan perceraian dapat mempersiapkan gugatan perceraian dengan alasan-alasan yang jelas secara hukum (serta dapat juga memasukan tuntutan pengasuhan anak dan harta gono gini), seperti penjelasan di bawah ini:* Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemakai obat terlarang, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan;* Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin dan alasan yang sah serta karena hal lain diluar kemampuannya;* Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat;* Salah satu pihak mengalami cacat badan atau penyakit sehingga tidak bisa melakukan kewajiban sebagai suami/isteri;* Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa ada kemungkinan penyelesaian; dan* Salah satu pihak dipenjara selama lima tahun atau hukuman yang lebih berat, yang menimbulkan tidak adanya harapan untuk hidup berumah tangga lagi.4. Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat tinggal tergugat;5. Bila tempat tinggal tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat tinggal tetap, gugatan diajukan ke pengadilan di daerah tempat tinggal penggugat, dan bila tergugat di luar negeri gugatan diajukan ke pengadilan di daerah tempat tinggal penggugat melalui perwakilan RI setempat;6. Gugatan yang telah dibuat, ditandatangani di atas materai dan dibuat rangkap lima (tiga rangkap untuk hakim, satu rangkap untuk tergugat dan satu rangkap untuk berkas di kepaniteraan);7. Gugatan tersebut didaftarkan di kepaniteraan perdata Pengadilan Negeri yang berkompeten;8. Saat mendaftarkan gugatan diharuskan membayar biaya perkara; dan9. Setelah Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan, maka harus segera mengurus akta cerai di kantor catatan sipil tempat perkawinan dicatat.
Lamanya proses perceraian tidak bisa diprediksi secara pasti, karena sejak panggilan untuk sidang pertama yang selambat-lambatnya dilakukan 30 (tiga puluh) hari setelah pendaftaran gugatan, kemudian dilanjutkan dengan acara dalam persidangan yang memuat pembacaan gugatan, jawaban tergugat, Replik (jawaban balasan penggugat atas jawaban tergugat), Duplik (jawaban tergugat atas replik penggugat), pembuktian (bukti tertulis ataupun bukti saksi), kesimpulan (terbukti atau tidaknya gugatan) dan yang terakhir adalah putusan atau hasil akhir dari pemeriksaan perkara di pengadilan.
Besarnya biaya dalam persidangan juga memiliki jawaban yang relatif, namun dalam hal pihak penggugat tidak mampu membayar biaya perkara maka dapat bisa mengajukan permohonan prodeo atau berperkara tanpa biaya kepada ketua Pengadilan Negeri, dengan catatan harus membuktikan terlebih dahulu bahwa pihak tersebut tidak mampu membayar berdasarkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan atau kecamatan.
Dalam hal terjadinya perceraian, maka harta yang pernah didapat selama perkawinan akan menjadi harta bersama, Persoalan pembagian harta ini bisa diajukan bersamaan dengan gugatan cerai. Dalam hal demikian maka daftar harta bersama dan bukti-bukti jika harta tersebut diperoleh selama perkawinan disebutkan dalam alasan pengajuan gugatan cerai (posita), yang kemudian disebutkan dalam permintaan pembagian harta dalam berkas tuntutan (petitum). Akan tetapi jika dalam gugatan cerai tidak menyebutkan tentang pembagian harta bersama, suami atau istri harus mengajukan gugatan baru yang terpisah setelah putusan perceraian dikeluarkan pengadilan. Gugatan terhadap pembagian harta bersama ini diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat tergugat tinggal dan Pengadilan Negeri yang akan mensahkan tentang pembagian harta bersama tersebut. (dalam KUH Perdata ketentuan mengenai harta bersama perkawinan diatur pada Pasal 119 sampai 122 dan Pasal 128).
Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing, dan perkawinan tersebut dicatatkan pada lembaga yang berkompeten, yakni catatan sipil bagi non muslim. Berdasarkan Pasal 1 Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 ada 6 (enam) agama yang dianut di Indonesia, yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu, maka sepanjang perkawinan tersebut dilakukan antara calon suami dan calon isteri yang menganut agama atau kepercayaan yang sama serta dicatatkan pada kantor catatan sipil (bagi non muslim), maka perkawinan tersebut sah dimata hukum dan diakui oleh negara, namun bilamana antara calon suami dan isteri menganut agama yang berbeda dan salah satu tidak mau menundukan diri kepada agama pasangannya, maka dapat dilakukan perkawinan di luar negeri yang kemudian dicatatkan di Indonesia.
Terkait pengasuhan anak, apabila terjadi perceraian maka pengasuhan dan pemeliharaan anak dapat disepakati oleh orangtua, namun jika terjadi perselisihan ketika masing-masing pihak menuntut pengasuhan dan pemeliharaan, maka permohonan dapat diajukan bersamaan dengan gugatan cerai atau diajukan terpisah setelah ada putusan perceraian ke Pengadilan Negeri tempat Tergugat tinggal. Penggugat disini adalah pihak yang mengajukan permohonan hak pengasuhan dan pemeliharaan kepada Pengadilan Negeri, sedangkan Tergugat adalah pihak yang dituntut untuk memenuhi permohonan dari pemohon.
B. TATACARA PERCERAIAN DI PENGADILAN NEGERI MAUPUN DI
PENGADILAN AGAMA
Adapun tata cara perceraian sebagaimana diatur dan ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan :Pasal 14Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Pasal 15Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud dalam pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.
Pasal 16Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 14 apabila memang terdapat alasan seperti yang dimaksud dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pasal 17Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat Keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
Pasal 18Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang Pengadilan.
Pasal 19Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selarna 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang syah atau karena hal lain diluar kemampuannya;c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;f. Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pasal 20(1) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.(2) Dalam hal kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.(3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 21(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 huruf b, diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampaui 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.(3) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali kerumah kediaman bersama.
Pasal 22(1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman tergugat.(2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri itu.
Pasal 23Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk rnendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakaan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 24
(1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan Penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan. Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.(2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan pengugat atau tergugat,Pengadilan dapat:a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
Pasal 25Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.
Pasal 26(1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.(2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Agama.
(3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpai, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.
(4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.
(5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.
Pasal 27(1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan.(2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud dalam ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.(4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tercatat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.Pasal 28Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 29(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan perceraian.(2) Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian perludiperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.(3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 20 ayat (3) sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan.
Pasal 30Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.
Pasal 31(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak.(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang perneriksaan.
Pasal 32Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.
Pasal 33Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 34(1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saatpendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
PAPARAN DAN ANALISIS DATA
A. Paparan Data
1.
2.
"Kalau dalam masalah ini sebenarnya asasnya adalah apabila dia sendiri yang
mengaku berselingkuh, maka sebenarnya yang menggugat perceraian itu adalah suami.
Dalam masalah ini kan sudah terjadi suatu pertengkaran, karena dia tidak bisa mendahului
apapun yang terjadi istri berfikir kalau begitu lebih baik selingkuh sekalian. Tadinya tidak
ada dasarnya seperti itu, tapi akhirnya itu ditonjolkan dalam gugatannya bahwa dia telah
dibohongi
suaminya. Cuma didalamnya nanti dasar hukum untuk memutuskan itu adalah
pertengkaran dan perselisihan tidak selingkuhnya. Sehingga majelis hakim memberi suatu
pertimbangan kita merujuk kepada yurisprudensi mahkamah agung dan sebagainya yang
nomer dan tanggalnya berbeda-beda, nanti kita hanya merujuk kesitu untuk menyesuaikan
dengan kasus itu. Sedangkan dalam huruf (f saja seperti itu, Karena tidak percaya terus
akhirnya dibuat seperti itu. Makanya kalau alasannya hanya pertengkaran maka tidak
bisa. Kalau itu yang mengajukan istri juga tidak bisa ya harus suami. Maka kami sebagai
majelis hakim harus menarik dalam beberapa cabang agar sesuai dengan dasar hukum
dalam masalah ini. "
Huruf (f) yang dimaksud Ibu Masnah adalah pasal 19 huruf (f) PP No. 9
Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI, yang bunyinya sebagai berikut:
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
Adapun dasar hukum yang lain selain dari kedua pasal tersebut, Ibu Masnah tidak
menyebutkan secara terperinci.
b. Drs. Munasik, M.H.
Bapak Munasik adalah salah satu Hakim Anggota dalam menangani perkara
cerai gugat karena istri selingkuh. Selain itu Bapak Munasik juga bertindak
sebagai hakim Mediator dalam proses mediasi atau perdamaian antara kedua
belah pihak. Menanggapi pertanyaan peneliti mengenai dasar hukum yang
digunakan hakim dalam putusan gugat cerai karena istri selingkuh, Bapak
Munasik memaparkan sebagai berikut:
"Dalam undang-undang perkawinan tidak ada pasal yang menyebutkan perselingkuhan
sebagai salah satu alasan perceraian, jadi perselingkuhan tidak bisa dijadikan alasan cerai.
Lalu perselingkuhan seperti apa yang bisa dijadikan alasan perceraian? Adalah
perselingkuhan yang menyebabkan suami istri melalaikannya hak dan kewajibannya, rumah
tangga berjalan tidak seperti pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974, maka hal ini bisa dianalogikan
ke pasal 19 huruf (f) PP no. 9 Tahun 1975. "
Pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974 sebagai dasar hukum diputuskan cerai gugat karena
selingkuh, bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 33
Suami istri wajib saling saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.44
"Dalam undang-undang tidak ada pasal yang mengatur alasan perceraian tentang selingkuh.
Yang terakhir adalah terjadinya perselisihan dan pertengkaran. Alasan yang terakhir ini kan
macam-macam. Pertengkarannya adalah fakta, tapi faktor penyebabnya banyak. Sekarang
44 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, BAB VI, Pasal 33.
dalam kasus ini perselingkuhan ini adalah merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
perselisihan dan pertengkaran. Karena adanya perselingkuhan menimbulkan pertengkaran antara
suami dan istri, sehingga perselingkuhan dalam pasal itu merupakan bagian dari pada faktor penyebab
terjadinya perselisihan dan pertengkaran. Selain dari pada pasal yang menyebutkan tentang alasan
perceraian ini, dasar hukum lain yang pasti dipakai itu bahwa keadaan rumah tangga sudah tidak
seperti yang dimaksud dalam pasal 1 dan pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974.
Selain itu juga dasar hukum berupa pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang bunyinya sebagai
berikut:
Pasal 1
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara Cerai Gugat Karena Selingkuh
Adapun pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara cerai gugat karena
istri selingkuh yang telah peneliti dapatkan melalui hasil wawancara dengan hakim
yang sama, dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Dra. Hj. Masnah Ali
Dalam menanggapi pertanyaan peneliti tentang pertimbangan hakim dalam
putusan gugat cerai karena istri selingkuh, Ibu Masnah memberikan keterangan
yang tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah disampaikan tentang dasar
hukum dalam putusan gugat cerai karena istri selingkuh, sebagai berikut:
"Kalau dalam masalah ini sebenarnya asasnya adalah apabila dia sendiri yang mengaku
berselingkuh, maka sebenarnya yang menggugat perceraian itu adalah suami. Dalam
masalah ini kan sudah terjadi suatu pertengkaran, karena dia tidak bisa mendahului
apapun yang terjadi istri berfikir kalau begitu lebih baik selingkuh sekalian. Tadinya tidak
ada dasarnya seperti itu, tapi akhirnya itu ditonjolkan dalam gugatannya bahwa dia telah
dibohongi suaminya. Cuma didalamnya nanti dasar hukum untuk memutuskan itu adalah
46 Masnah Ali, Wawancara, (Pengadilan Agama Malang, 24 Juni 2010).
pertengkaran dan perselisihan tidak selingkuhnya. Sehingga majelis hakim memberi suatu
pertimbangan kita merujuk kepada yurisprudensi mahkamah agung dan sebagainya yang
nomer dan tanggalnya berbeda-beda, nanti kita hanya merujuk kesitu untuk menyesuaikan
dengan kasus itu. Sedangkan dalam huruf (f) saja seperti itu, Karena tidak percaya terus
akhirnya dibuat seperti itu. Makanya kalau alasannya hanya pertengkaran maka tidak bisa.
Kalau itu yang mengajukan istri juga tidak bisa ya harus suami. Maka kami sebagai majelis
hakim harus menarik dalam beberapa cabang agar sesuai dengan dasar hukum dalam
masalah ini. "1U
Pada intinya, Ibu Masnah selaku Hakim Ketua memiliki pertimbangan untuk memutus
perkara gugat cerai karena istri selingkuh ini kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung
47 Masnah Ali, Wawancara, (Pengadilan Agama Malang, 24 Juni 2010).
b. Drs. Munasik, M.H.
Tidak berbeda dengan pertimbangan yang telah disampaikan Ibu Masnah,
Bapak Munasik memberikan pertimbangan yang sama dengan memberikan
informasi tentang tanggal dan isi dari Yurisprudensi tersebut. Hasil wawancara
adalah sebagai berikut:
"Hakim PA itu hakim hukum perdata, perdata yang dicari adalah kebenaran formal.
Nah kalau ditanyapertimbangan hakimnya apa? Kenapa kok istri selingkuh bisa
mengajukan gugat cerai di pengadilan? Itu berdasarkan Yurisprudensi No. 38 tahun 1990
MA 38/K/AB/1990 tanggal 5 Desember 1991. Isinya begini "bahwa dalam perkara
perceraian itu tidak mempersoalkan siapa yang salah dan siapa yang benar, serta apa
penyebabnya". Jika dulu masih diteliti siapa yang salah dan siapa yang benar dan apa
penyebab perceraian. Namun sekarang asas ini sudah tidak dipakai lagi karena sudah ada
yurisprudensi yang baru. Yang jadi masalah sekarang sejauh mana perselisihan itu terjadi
dalam rumah tangga dan
113
tidak ada harapan lagi untuk kembali. "
c. Drs. Sarmin Syukur, M.H.
Bapak Sarmin juga memberikan pertimbangan yang sama dalam perkara ini.
Beliau juga memberi perbandingan dengan Yurisprudensi yang berlaku
sebelumnya. Hasil wawancaranya adalah sebagai berikut:
"Hakim itu juga punya pendapat bahwa orang yang berbuat salah tidak bisa
mengajukan gugutan karena dia sebagai pembuat masalah, oleh karena itu putusan-
putusan yang diajukan oleh salah satu pihak suami atau istri dimana penyebab terjadinya
masalah dalam rumah tangga itu suami atau istri sendiri itu ditolak oleh pengadilan,
dengan asumsi tersebut. Ini berdasarkan Yurisprudensi dulu kala. Tetapi ada yurisprudensi
baru yang membatalkan, putusan-putusan yang berdasarkan pemikiran semacam itu. Isi
dari yurisprudensi itu bahwa hakim dalam memutus perkara tidak boleh melihat siapa yang
48 Munasik, Wawancara, (Pengadilan Agama Malang, 25 Maret 2010).
membuat masalah. Tapi yang dilihat adalah dimana fakta rumah tangganya sekarang, jika
sudah sedemikian parah tidak harmonisnya, maka hakim harus memutuskan cerai, tanpa
melihat siapa yang membuat salah dan siapa yang mengajukan cerai. Sebab kalau logica
hukum yang pertama tadi dipertahankan, nanti kasihan rumah tangga
49 Munasik, Wawancara, (Pengadilan Agama Malang, 25 Maret 2010).
mereka akan mendatangkan madharat yang luar biasa lebih besar dari maslahat nya.
Itu pertimbangan pokok yang diambil hakim dari yurisprudensi."114
B. Analisis Data
1. Dasar Hukum Yang Digunakan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Cerai Gugat Karena Istri
Selingkuh
Dalam Cerai gugat yang menjadi penggugat adalah dari pihak istri. Jika seorang istri menggugat
cerai suaminya, maka idealnya yang menjadi penyebab keretakan rumah tangga berasal dari suami,
sehingga istri merasa hak-hak dan kewajibannya sebagai suami terhadap istri telah dilanggar. Dengan
berbagai alasan perceraian yang diperbolehkan seperti yang telah diatur dalam fikih maupun undang-
undang perkawinan, seorang istri boleh mengajukan gugat cerai terhadap suaminya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam keterangan para saksi, dalam perkara ini ternyata
Penggugat terbukti telah selingkuh dengan laki-laki lain. Alasan ini menjadi salah satu faktor
terjadinya perselisihan antara Penggugat dan Tergugat, padahal inisiatif untuk bercerai justru datang
dari pihak istri. Sedangkan dalam undang-undang, tidak ada satupun Pasal yang menyebutkan tentang
alasan gugat cerai karena istri selingkuh.
Perkara yang dasar-dasarnya tidak terdapat dalam kitab-kitab fikih atau perundang-undangan
Indonesia tidak boleh menjadi suatu alasan bagi Hakim untuk tidak mau memutuskan perkara yang
telah diajukan di Pengadilan. Hakim harus tetap mencari hukumnya baik dengan menganalogikan
dengan undang-undang yang ada
50 Sarmin Syukur, Wawancara, (Pengadilan Agama Malang, 24 Juni 2010).
atau mengeluarkan ijtihad sendiri sepanjang dipandang adil dan mengandung kemashlahatan.
Tidak mustahil jika perkara gugat cerai karena istri ini bisa diputuskan oleh Majelis Hakim. Hal
ini dilatarbelakangi oleh dasar-dasar hukum yang ada serta pertimbangan-pertimbangan Majelis
Hakim dalam menganalisa perkara gugat cerai karena istri selingkuh.
Mengingat bahwa pada awal proses persidangan sampai akhir persidangan, Penggugat tidak
dapat dirukunkan lagi dengan Tergugat, dan Penggugat bersikeras untuk bercerai dari Tergugat.
Tergugat pun menyatakan tidak keberatan atas permintaan Penggugat untuk bercerai dengan Tergugat,
maka sudah menunjukkan bahwa keutuhan rumah tangga benar-benar tidak dapat dipertahankan lagi.
Apabila dipaksakan untuk tetap bersatu akan dikhawatirkan menimbulkan madharat bagi Penggugat
dan Tergugat. Oleh karena itu penyelesaian yang dipandang adil dan mengandung maslahat bagi
Penggugat dan Tergugat adalah perceraian.
Seperti yang telah dijabarkan dalam paparan data mengenai dasar hukum yang digunakan hakim
dalam menjatuhkan putusan cerai gugat karena istri selingkuh, maka secara ringkas dapat disebutkan
sebagai berikut:
1. Rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak bisa dirukunkan lagi, sehingga maksud
dan tujuan perkawinan sebagaimana yang dikendaki oleh Pasal 1 dan Pasal 33 UU No. 1
Tahun 1974 jo. Pasal 3 dan pasal 77 KHI sudah sangat sulit diwujudkan dalam rumah tangga
Penggugat dan Tergugat.
2. Karena antara Penggugat dan Tergugat terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
yang berakibat Penggugat dan Tergugat pisah tempat tinggal dan
sudah tidak ada harapan untuk rukun lagi, maka hal ini telah memenuhi pasal 19 huruf (f) PP No.
9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI.
3. Demi menghindari madharat apabila rumah tangga ini tetap dipertahankan, maka
penyelesaian yang dipandang adil dan mashlahat bagi keduanya adalah peceraian,
hal ini sesuai dengan pendapat Abdurrahman Ash-Shabuni dalam kitab Mada
Hurriyyatuzzaujain fi ath-thalaq.
4. Selain itu juga merujuk pada pendapat Syekh al-Majidi dalam kitab Ghayatul
Maram tentang talak.
5. Kaidah fiqih tentang sad ad-dzari'ah yang berbunyi sebagai berikut:
U^aAl! j,/'^ ^-ic ^Aia AuiLaAl! f-!jA
"Menolak kerusakan diutamakan daripada mengambil kemashlahatan."
Untuk landasan hukum yang pertama mengenai Pasal 1 dan Pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974 jo.
Pasal 3 dan pasal 77 KHI yang menyebutkan tentang maksud dan tujuan perkawinan, menjadi
landasan bagi setiap putusan perceraian, baik permohonan cerai talak maupun cerai gugat. Dalam
pasal-pasal tersebut membicarakan tentang maksud, tujuan serta hak dan kewajiban suami istri yang
harus dipenuhi dalam membangun sebuah rumah tangga.
Dalam pasal-pasal ini secara tegas menekankan bahwa pintu terjadinya perkawinan telah tertutup
karena pada dasarnya perundang-undangan Indonesia yang mengatur tentang perkawinan menganut
asas mempersulit perceraian. Kendati demikian, selama dalam kondisi rumah tangga kemudian
didukung oleh alasan-alasan yang dibenarkan syariat, maka peluang untuk bercerai tetap terbuka.
Adapun mengenai kasus cerai gugat ini, apabila dilihat melalui sudut pandang undang-undang
terutama pada Pasal 1 dan Pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3
dan pasal 77 KHI ini bahwa fakta antara suami istri tersebut sudah tidak bisa dirukunkan lagi dalam
satu ikatan perkawinan. Meski pada dasarnya yang berbuat salah adalah istri, namun berdasarkan
pasal-pasal ini tujuan perkawinan sudah tidak dapat dicapai dan hak serta kewajiban suami istri tidak
bisa dipenuhi, maka perceraian dianggap solusi yang paling adil.
Selanjutnya mengenai dasar hukum yang merujuk pada pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975
jo. Pasal 116 huruf (f) KHI yang membicarakan tentang alasan perceraian yaitu antara suami dan istri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran sehingga tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun
dalam rumah tangga, hal ini masih bersifat umum. Bunyi huruf (f) dalam kedua pasal tersebut
merupakan implikasi dari gejolak rumah tangga yang dilatarbelakangi oleh berbagai macam faktor
sehingga menimbulkan perselisihan diantara suami dan istri. Dalam hal ini yang menjadi faktor
perselisihan adalah selingkuhnya istri yang memiliki PIL diluar pernikahan.
Oleh karena alasan selingkuh secara khusus tidak diatur dalam pasal yang mengklasifikasikan
alasan-alasan perceraian, maka selingkuh dianggap masuk dalam salah satu faktor yang menjadikan
pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI terpenuhi. Maka dari itu dalam
membahasakan alasan perselingkuhan, hakim menggunakan kedua pasal ini sebagai alasan perceraian
yang dijadikan landasan dalam memutus perkara cerai gugat karena istri selingkuh.
Mengenai dasar hukum yang ketiga dan keempat terkait dengan pendapat para ahli fiqih, hal ini
sangat terkait dengan dalil saddu al-dzari 'ah. Bahwa segala sesuatu itu memiliki akibat, yaitu akibat
yang baik dan yang buruk. Dalam suatu hal yang mengarahkan pada kebaikan, maka dituntut untuk
dikerjakan. Begitu juga dalam
suatu hal yang mengarahkan pada keburukan, maka dituntut untuk menghindari. Apabila kebaikan dan
keburukan itu bercampur, maka akibat yang paling berpengaruh harus diprioritaskan. Dalam kasus
cerai gugat karena selingkuh ini, mempertahankan rumah tangga dianggap sama halnya dengan
hukuman seumur hidup karena sudah tidak tercapai lagi perdamaian antara suami dan istri. Oleh
karena itu perceraian merupakan solusi yang yang tidak bisa ditawar demi menghindari madharat yang
lebih besar.
2. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perkara Cerai Gugat Karena Istri Selingkuh
Seorang hakim akan mendapatkan informasi tentang duduk perkara yang jelas ketika
melaksanakan proses mediasi. Mediasi yang dimaksud adalah mediasi sebagaimana yang diatur dalam
PERMA No. 01 tahun 2008 yaitu mediasi tertutup yang dilaksanakan diluar persidangan dengan
perantara seorang mediator. Dalam mediasi Penggugat dan Tergugat juga dituntut untuk menjelaskan
secara terbuka tentang masalah dalam rumah tangga mereka, agar mediator bisa menengahi dan
memberikan alternatif solusi yang terbaik selain perceraian.
Apabila mediasi tidak berhasil mendamaikan Penggugat dan Tergugat, maka hasil mediasi
tersebut dapat dijadikan sebagai pertimbangan hakim dalam memutus perkara yang mana dalam hal
ini adalah perkara gugat cerai karena istri selingkuh. Dalam mediasi ini pula, Bapak Munasik selaku
hakim mediator mendapatkan beberapa informasi mengenai duduk perkara yang sebenarnya antara
Penggugat dan Tergugat, bahwa ternyata Penggugat telah memiliki PIL .
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa hakim di atas dapat dijelaskan bahwa dahulu
sistem yang berlaku di Pengadilan Agama terkait dengan penanganan kasus permohonan atau
gugatan perceraian, masih menekankan prinsip bahwa orang yang berbuat salah tidak boleh
mengajukan gugatan. Oleh karena itu permohonan atau gugatan yang diajukan oleh salah satu
pihak suami atau istri dimana penyebab terjadinya masalah dalam rumah tangga itu suami atau itu
istri sendiri, maka ditolak oleh pengadilan. Contoh dari penelitian ini, dimana seorang istri
mengajukan gugatan perceraian kepada Pengadilan, padahal penyebab diajukannya gugatan
perceraian ini adalah karena perselingkuhan yang dilakukan oleh Penggugat itu sendiri, maka
dengan menerapkan prinsip tersebut, gugatan cerai ini akan ditolak di Pengadilan.
Namun kemudian, prinsip tersebut saat ini telah dibatalkan dengan Yurisprudensi Mahkamah
Agung yang baru yaitu Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 38 tahun 1990 MA 38/K/AB/1990
tanggal 5 Desember 1991 yang isinya telah disampaikan dalam paparan data di atas.. Yurisprudensi
inilah yang menjadi pertimbangan utama hakim dalam memutus perkara cerai gugat karena istri
selingkuh.
Yurisprudensi Mahkamah Agung ini sekilas terkesan mengabaikan prinsip yang dianut dalam
undang-undang perkawinan yaitu prinsip mempersulit perceraian. Hal ini dikarenakan prinsip yang
dipakai dalam Yurisprudensi ini sudah tidak lagi mempersoalkan siapa yang salah dan siapa yang
benar, serta apa penyebabnya. Dengan Yurisprudensi ini hakim diwajibkan untuk melihat fakta yang
sebenarnya. Sejauh mana perselisihan itu terjadi sehingga keduanya tidak dapat disatukan kembali
dalam ikatan perkawinan. Sehingga dalam penelitian ini, walaupun dalam
kasus cerai gugat ternyata Penggugat sendirilah yang berperan sebagai penyebab retaknya rumah
tangga, maka gugatan cerai tetap dapat dikabulkan.
Sedangkan prinsip mempersulit perceraian tetep dijalankan dalam menangani kasus gugatan
perceraian. Hal ini dapat dilihat dalam proses jalannya persidangan, bahwa sebelum melaksanakan
persidangan hakim wajib mendamaikan para pihak. Terlebih saat ini telah berlaku PERMA No. 1
Tahun 2008 tentang mediasi yang mewajibkan hakim, mediator dan para pihak yang berperkara untuk
mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi.
Dengan adanya Yurisprudensi ini, setiap pasangan yang mengajukan permohonan atau gugatan
cerai akan dijatuhkan putusan perceraiannya asalkan pasangan tersebut bisa menunjukkan kepada
Pengadilan bahwa kehidupan rumah tangga mereka sudah tidak dapat disatukan kembali.
Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi mengapa Penggugat selingkuh, faktor-faktor ini
yang kemudian membawa pada pertengkaran dan perselisihan antara Penggugat dan Tergugat,
sehingga bisa menjadi salah satu pertimbangan hakim dalam memutus perkara cerai gugat karena istri
selingkuh. Perselingkuhan yang termasuk dalam jenis The boat-rocking affair ini dilatarbelakangi oleh
beberapa faktor sebagai berikut: a. Tidak Kufu
Kafaah atau kufu dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya
kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan pasangan dari kegagalan atau
kegoncangan rumah tangga. Suatu perkawinan yang tidak seimbang, serasi atau sesuai akan
menimbulkan problema berkelanjutan dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya
perceraian. Ukuran kafaah yang
disebutkan dalam hadis mencakup agama, nasab, harta dan kecantikan merupakan ukuran
standar dalam memilih calon pasangan. Namun bukan berarti hal-hal diluar ukuran empat itu
tidak penting untuk dipertimbangkan, seperti usia. Dalam kasus gugat cerai karena istri selingkuh
ini, perbedaan usia yang cukup jauh menjadikan ketimpangan atau tidak sekufunya antara
Penggugat dan Tergugat. Penggugat berumur 33 tahun dan Tergugat berumur 54 tahun. Jadi
selisih umur mereka adalah 21 tahun. Hal ini juga sangat terlihat secara fisik, bahwa Penggugat
terlihat masih muda sedangkan Tergugat terlihat sangat tua, bahkan berjalannya sudah bungkuk.
Perbedaan usia berpengaruh pada psikis dan fisik seseorang, maka hal ini sangat mungkin
menjadi salah satu penyebab keretakan rumah tangga Penggugat dan Tergugat.
b. Menikah karena Terpaksa
Bapak Munasik sebagai mediator dalam mediasi antara Penggugat dan Tergugat juga
memberikan keterangan tentang bagaimana awal mulanya Penggugat kenal dan akhirnya
menikah. Bahwa Penggugat berprofesi sebagai penyanyi di Malang dan Tergugat sebagai salah
satu penggemar Penggugat. Karena Tergugat sangat menggemari Penggugat, Tergugatpun sering
mengikuti kemana Penggugat sedang ada acara untuk bernyanyi. Berawal dari situ, Tergugat
memberanikan diri untuk mengantar pulang Penggugat setelah selesai acara. Hal ini berlangsung
terus menerus sehingga keduanya akrab. Sampai pada akhirnya Tergugat melamar Penggugat
untuk dinikahi. Penggugat pun menerima lamaran Tergugat karena tidak sampai hati menolak
mengingat selama ini Tergugat telah banyak membantu dalam karirnya.
c. Ketidakjujuran
Status Penggugat sebelum menikah dengan Tergugat adalah janda beranak dua, sedangkan Tergugat
adalah Duda beranak tiga. Sebagaimana yang telah dideskripsikan tentang surat gugatan
Penggugat terhadap Tergugat, bahwa yang menjadi faktor perselisihan yang terjadi antara
keduanya adalah karena Tergugat telah membohongi Penggugat dengan mengatakan Tergugat
memiliki dua anak, padahal sebenarnya Tergugat memiliki tiga anak. Namun dalam kesempatan
wawancara Bapak Munasik memberikan penilaiannya tentang faktor ketidakjujuran bahwa
masalah tidak jujur itu sebenarnya hanya alasan yang dibuat-buat dan dibesar-besarkan oleh
Tergugat agar bisa cerai dari suaminya. Kalau hanya masalah jumlah anak saja tidak terlalu
berarti, Penggugat juga sudah tahu bahwa sebelum menikah Tergugat telah mempunyai anak,
maka selanjutnya tidak penting anaknya berapa, lagipula antara keterangan awal dan akhir hanya
selisih satu anak saja.
Dalam kesempatan mediasi yang sempat peneliti ikuti, ketika bapak Munasik mendapat
pengakuan dari Penggugat bahwa Penggugat telah selingkuh, kemudian Bapak Munasik memberikan
kesimpulan bahwa Penggugat telah nusyuz terhadap suaminya.
Dalam hal ini Penggugat sebagai orang yang memiliki inisiatif perceraian ternyata mengakui
bahwa dirinya sendiri telah ikut bagian dalam menjadi sumber keretakan rumah tangga, maka dalam
putusan yang dikabulkan oleh hakim tidak menyebutkan bahwa perselingkuhan sebagai faktor utama
perceraian karena dalam undang-undang tidak disebutkan pasal tentang gugat cerai dengan alasan istri
selingkuh.
Kemudian bagaimana hakim membahasakan perselingkuhan istri sebagai salah satu faktor
keretakan rumah tangga dalam kasus gugat cerai. Bapak munasik menjelaskan bahwa segala faktor
penyebab keretakan rumah tangga akan berujung pada perselisihan terus menerus dan sudah tidak ada
harapan untuk dapat disatukan lagi dalam ikatan perkawinan. Tidak mungkin setiap pasangan akan
berselisih atau bertengkar tanpa alasan. Untuk itu dalam perselisihan yang terjadi pasti ada masalah
yang sedang dihadapi oleh pasangan suami istri. Namun tidak semua faktor penyebab perceraian
dijadikan sebagai konflik dalam rumah tangga. Misalnya perselingkuhan yang dilakukan oleh suami
kemudian istri diam saja karena merasa hak dan kewajibannya masih dipenuhi atau karena jika
mengajukan cerai si istri takut akan masa depan anak-anaknya jika harus bercerai dari suaminya.
Untuk itu dalam kasus gugat cerai karena istri selingkuh ini, hakim tidak menjadikan perselingkuhan
sang istri sebagai alasan utama dikabulkannya tuntutan Penggugat. Akibat dari beberapa faktor yang
melatarbelakangi keretakan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat terutama selingkuh akan
berujung pada Pasal 19 (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 (f) Kompilasi
Hukum Islam tentang alasan perceraian.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melalui beberapa tahap pengolahan serta analisis data penelitian, maka dalam langkah
terakhir ini peneliti menarik kesimpulan dari kumpulan data yang sudah melalui tahapan-tahapan
sebelumnya dengan cermat terutama dalam menjawab permasalahan yang tertuang dalam rumusan
masalah. Kesimpulan tersebut adalah:
1. Bahwa dasar hukum yang digunakan Hakim dalam memutus perkara cerai gugat karena istri
selingkuh adalah sebagai berikut:
a.Pasal 1 dan Pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3 dan pasal 77 KHI.
b.Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI.
c.Kaedah fiqhiyyah tentang saddu al-dzari 'ah:
L^a-oJI j./'?' ^A2-a .luila-oil f l j A
"Menolak kerusakan diutamakan daripada mengambil kemashlahatan. "
d. Pendapat Abdurrahman Ash-Shabuni dalam kitab Mada Hurriyyatuzzaujain fi ath-thalaq,
yang artinya sebagai berikut:
"Islam telah memilih jalan perceraian pada saat kehidupan rumah tangga mengalami
ketegangan dan kegoncangan yang berat, sudah tidak berguna lagi nasehat-nasehat dan
tidak tercapai lagi perdamaian antara suami-istri serta ikatan perkawinan sudah
mencerminkan tidak mungkin akan dapat mencapai tujuannya, sebab mengharuskan untuk
tetap melestarikan dan mempertahankan perkawinan tersebut sama halnya dengan
menghukum salah satu pihak dengan hukuman seumur hidup dan ini adalah kedzaliman
yang ditentang oleh jiwa keadilan."
e. Selain itu juga merujuk pada pendapat Syekh al-Majidi dalam kitab GhayatulMaram
tentang talak sebagai berikut:
^IJAJI AJ Li) ASHa ^gjJa LSI I AJIC. (jUa L^?JJJ AJC-J ^Ac. Aluil Iijj
"Dan apabila kebencian istri terhadap suaminya telah memuncak, maka saat itu Hakim
diperkenankan menjatuhkan talak satu suami terhadap istri tersebut"
2. Pertimbangan yang digunakan hakim dalam memutus perkara gugat cerai karena
istri selingkuh adalah Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 38 tahun 1990 MA
38/K/AB/1990 tanggal 5 Desember 1991 yang bunyinya adalah sebagai berikut:
"bahwa dalam perkara perceraian itu tidak mempersoalkan siapa yang salah dan siapa
yang benar, serta apa penyebabnya"
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat peneliti berikan berdasarkan kesimpulan-kesimpulan di atas
adalah sebagai berikut:
1. Dalam mengajukan permohonan atau gugatan perceraian, hendaknya masing-masing pihak
terlebih dahulu instropeksi diri untuk tidak tergesa-gesa memutuskan perceraian. Apalagi
pihak yang menggugat adalah pihak yang
sebenarnya menjadi penyebab retaknya rumah tangga. Hal ini perlu diperhatikan,
karena walaupun secara hukum positif perceraian dapat dikabulkan, namun secara
syari'ah orang yang mengajukan perceraian tanpa alasan yang sah, maka haram
baginya bau surga. 2. Untuk hakim mediator yang bertugas mendamaikan para pihak,
hendaknya selalu teliti dan cermat dalam mempelajari perkara perceraian yang masuk
di Pengadilan. Karena jika hakim mediator jeli dalam menangkap permasalahan yang
ada, maka hakim mediator akan dengan mudah menggali fakta yang sebenarnya dalam
rumah tangga para pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Syahrizal. 2009. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syari'ah, Hukum Adat
dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana. Abdul Mun'im, Amru. 2005. Fiqh Ath-Thalaq min Al-
Kitab wa Shahih As-Sunnah,
penerjemah Futuhatul Arifin dalam Judul Fikih Thalak Berdasarkan Al-Qur 'an
dan Sunnah. Jakarta: Pustaka Azzam. Akmal Tarigan, Azhari, Nurudin, Amiur. 2006. Hukum
Perdata Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Amiruddin dan Asikin, Zainal. , 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Hukum.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta:
PT. Asdi Mahasatya.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Arto, Mukti. 2004. Prakterk Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ashshofa, Burhan. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Ayyub, Syaikh Hasan.
Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Basri, Cik Hasan. 2003. Peradilan Agama di Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Daryanto S.S. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo. Departemen Agama RI.
2003. Al-Qur'an dan Terjemahan. Bandung: Diponegoro. Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam. 1998. Instruksi Presiden
RI Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam. Farid Muhammad Washil, Nashr dan
Azzam, Abdul Aziz Muhammd. 2009. al-
Madkhalu fi al-qawa 'idi alfiqhiyyati wa atsaruha fi al-ahkami asy-syar 'iyyati.
penerjemah Wahyu Setiawan dalam judul Qawa'idFiqhiyah. Jakarta: Amzah. Febianto, Totok
Hari. 2008. Tinjauan Yuridis Sosiologis Terhadap Penganiayaan
sebagai Alasan Gugat Cerai dan Prosedur Pembuktian. Skripsi Universitas
Muhammadiyah Malang. Ghazali, Abdul Rahman. 2006. Fiqh
Munakahat. Jakarta: Kencana.
_______________. 1998. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama R.I.
_______________. 2008. Kamus Hukum. Bandung: Mandar Maju.
Hamami, Taufiq. 2003. Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem
Tata Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni. Harahap, M. Yahya. 2006. Hukum Acara
Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. Hasby Ash-Shiddieqy, Muhammad. 1997. Peradilan dan Hukum
Acara Islam.
Semarang: Pustaka Rizki Putra. Idhami, Dahlan. 1984. Azaz-azas Fiqh Munakahat Hukum
Keluarga Islam.
Surabaya: Al-Ikhlas.
Jauhari, Heri. 2008. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia.
_______________. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Jakarta: Balai
Pustaka.
Kamal, Malik. 2007. Fiqih Sunnah Wanita. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Mahmud Marzuki, Peter. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Manan, Abdul. 2005. Penerapan Hukum Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Manan, Abdul dan Fauzan. 2002. Pokok-pokok
Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Marzuki.
1995. Metodologi Riset. Jakarta: BPFE-UII.
Masrurotin, Malik. 2008. Persepsi Hakim Tentang Keterlibatan Pihak Ketiga Terhadap Terjadinya
Perceraian. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim, Fakultas Syari'ah, Jurusan Al-Ahwal Asy-Shakhshiyyah.
Mertokusumo, Sudikno. 1999. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Moleong, Lexi J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Muchtar, Kamal. 1974. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang.
Muhammad Bin Isa Saurah, Abi Isa. 1994. Sunan At-Tirmidzi, Juz II. Beirut, Libanon: Dar al-Fikr.
Nadzir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bandung: Remaja Rosdakarya. Narbuko, Cholid, Abu
Achmadi. 2007. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Nashiruddin Al-Bani, Muhammad. 2002. Dha'if Sunan Abi Dawud, Juz III. Kuwait: Gharras.
Nurudin, Amiur, Akmal Taligan, Azhari. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Rahman, Abdul. 1996. Perkawinan dalam Syari 'at Islam. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Ramulyo, Mohd.
Idris. 2004. Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: PT.
Bumi Aksara.
Redaksi Sinar Grafika. 2006. Undang-undang Pokok Perkawinan. Jakarta: Sinar Grafikan.
Salim, Peter dan Salim, Yenny. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer.
Jakarta: Modern English Press. Siregar, Bismar. 1995. Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan.
Jakarta: Gema Insani
Press.
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty.
Strauss, Anselm, Corbin, Juliet. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Subagyo, Joko. 1999. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Subekti, R. Tjitrosoedibio. 1980. Kamus Hukum. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Subekti. 1985. Pokok-pokokHukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
Sukandarrumidi. 2006. Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Peneliti
Pemula. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Zuhriah, Erfaniah. 2008. Peradilan
Agama di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan
Pasang Surut. Malang: UIN Press.
RUJUKAN DARI INTERNET
http://www.harianku.com/2008/11/faktor-perceraian-dalam-rumah-tangga.html http://budiboga.blogspot.com/2006/04/teman-tapi-mesra-sebuah-awal.html http://fadliyanur.blogspot.com/2008/01/kode-etik-hakim.html. http://www.komisiinformasi.go.id/assets/data/arsip/UU_48_Tahun_2009.pdf http://pa- malangkota.go.id/news/pengadilan/faktor-faktor-penyebab-perceraian-tahun-2009.html.