Download - Perairan Tuna
-
TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERAIRAN
FAKULTAS
JURUSAN
TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERAIRAN
TUNA LOIN BEKU
Disusun oleh :
Victorinus Widya Yuwana
D.141.13.0008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
UNIVERSITAS SEMARANG
2014
TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERAIRAN
TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
-
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan tuna adalah salah satu jenis ikan ekonomis penting di dunia dan
merupakan komoditi perikanan terbesar ketiga setelah udang dan ikan dasar. Ikan
tuna memiliki harga yang relatif mahal dibandingkan harga komoditas ikan
lainnya dengan permintaan terus meningkat. Salah satu penyebab tingginya harga
ikan tuna adalah kegemaran orang-orang Jepang menyantap sushi dan sashimi
yang terbuat dari daging ikan tuna segar dan menyebar ke negara-negara Eropa
dan Timur Tengah (Perikanan Tuna, 2011).
Ekspor tuna Indonesia terus mengalami peningkatan sejak 2009. Jika
pada 2009 nilai ekspor tuna adalah sebesar 352 juta dolar AS dan meningkat
menjadi 383 juta dolar AS pada 2010, pada 2011 ekspor tuna mencapai 499 juta
dolar AS (Statistik ekspor hasil perikanan, 2012). Vulume ekspor komoditi
perikanan tuna disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Volume ekspor komoditi perikanan Tuna pada tahun 2009 2011
Tahun Volume Ekspor (1.000 US$)
2009 352.300
2010 383.230
2011 498.591
Sumber : Statistik Ekspor Hasil Perikanan (2012)
Ikan tuna merupakan salah satu komoditas perikanan utama Indonesia
yang memiliki wilayah laut terluas di ASEAN. Indonesia sendiri diperhitungkan
sebagai produsen utama tuna dunia. Berdasarkan data Organisasi Pangan Dunia
(FAO), produksi tuna ASEAN mencapai 26,2 persen atau sebesar 1,7 juta ton.
Produksi ikan tuna, cakalang, dan tongkol nasional pada 2011 sebesar 955.520 ton
dengan tuna sendiri sebesar 230.580 ton (Suara Karya, 25 Juli 2012 hal. 6).
Ikan tuna memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, adapun kandungan
gizi pada ikan tuna adalah air 68,1%, protein 20,9%, lemak 9,4%, vitamin A 25
IU/g, vitamin B 16000 42000 IU/g. Kaya asam lemak omega-3 yang dapat
menurunkan kadar kolesterol darah dan menghambat proses
terjadinya ateroklerosis (penyumbatan pembuluh darah). Asam lemak omega-
3 juga mempunyai peran penting untuk proses tumbuh kembang sel-sel saraf,
-
termasuk sel otak, sehingga dapat meningkatkan kecerdasan, terutama pada anak-
anak yang sedang mengalami proses tumbuh kembang (Hadiwiyoto, 1993).
Pengembangan produk yang efisien dan produktif dari pengembangan
produk bernilai tambah adalah dengan mengolah produk primer menjadi produk
sekunder atau produk akhir yang berbeda, ini sejalan dengan kebijakan dalam
penanganan pasca panen hasil perikanan yaitu peningkatan mutu dan
pengembangan produk bernilai tambah. Strategi pengembangan produk bernilai
tambah adalah dengan menambahkan pola produk primer yang menghasilkan
produk sekunder atau produk akhir dengan menerapkan teknologi yang Nasional
dan ramah lingkungan. Salah satu bentuk diversifikasi atau pengembangan nilai
tambah produk tuna adalah pengolahan tuna loin beku.
Cara yang sering dilakukan adalah dengan teknik pemotongan loin.
Istilah loin Tuna menunjukkan model potongan produk Tuna ekspor. Loin Tuna
sirip kuning berarti potongan memanjang ikan Tuna, terdiri atas sisi kiri atas,
sisi kiri bawah, sisi kanan atas dan sisi kanan bawah, tidak termasuk kepala,
tulang tengah dan ekor ikan. Keunggulan teknik loin adalah tidak membutuhkan
waktu yang lama untuk proses pembuatannya, berbeda dengan teknik steak yang
membutuhkan waktu lama dalam proses dikarenakan pemotongan bentuk daging
ikan Tuna menjadi kecil (Junianto, 2003).
penerapan sistem rantai dingin dan sanitasi hygiene dalam bisnis usaha
perikanan diharapkan kesegaran ikan sejak ditangkap sampai ke tangan konsumen
dapat dipertahankan, dapat mengurangi tingkat kerusakan ikan (losses),
meningkatkan nilai jual ikan, mutu hasil olahan yang lebih baik, meningkatkan
ekspor yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
nelayan (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, 2007).
-
ISI
2.1 Pengenalan Umum Tuna
Menurut Junianto (2003), tuna merupakan salah satu jenis ikan yang
berharga sangat mahal. Oleh karena itu, metode penangkapan tuna sangat penting
artinya untuk mendapatkan nilai jual ikan tuna yang sangat tinggi. Penanganan
dan pengolahan ikan tuna di atas kapal sangat penting untuk diketahui dan
dipahami dalam upaya menjaga konsistensi kualitas produk. Untuk mendapatkan
kualitas tuna yang baik, penanganannya sudah dimulai sejak dilakukan
penangkapan. Pemahaman tentang biologi tuna akan mempermudah penanganan
ikan tuna.
2.1.1 Klasifikasi Tuna
Menurut Junianto (2003) bahwa dalam sistem klasifikasi, tuna termasuk
family Scombroidea dimana salah satu ciri dari ikan anggota Scombroidea yaitu
kandungan asam amino bebas histidin yang tinggi.
Menurut Saanin (1983 dalam Widiastuty (2007), ikan tuna diklasifikasikan
sebagai berikut:
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Scombroidae
Familia : Scombroidea
Genus : Thunnus
Species : Thunnus Albacores
Thunnus Obesus
Thunnus alalunga (albacore)
Thunnus tongkol (longtail tuna)
Thunnusmaccoyii (southern bluefin tuna)
Menurut Tampubolon (1983), spesies tuna yang dianggap paling komersil
adalah seperti pada Tabel 1 dibawah ini.
-
Tabel 1. Jenis Ikan Tuna dan Nama Perdagangannya.
Nama Indonesia Nama Perdagangan Nama Latin
Albakora Albacore Thunnus alalunga
Abu-abu Selatan Southern bluefin Thunnus maccoyii
Abu-abu Utara Northern bluefin Thunnus thynnus
Cakalang Skipjack Katsuwonus Pelamis
Madidihang Yellowfin Thunnus albacores
Matabesar Bigeye Thunnus obesus
Tongkol Little tuna Euthynnus affinis
Tongkol pisang Frigated mackerel Auxis thazard
2.1.2 Morfologi Tuna
Umumnya badan ikan tuna tampak padat, silindris panjang. Mulutnya
cukup lebar, posisinya terletak di muka sedikit di bawah matanya. Mempunyai
gigi kecil dan runcing yang makin ke belakang makin kecil ukurannya. Matanya
lebar, mempunyai dua sirip dorsal yang berdekatan, di belakang sirip dorsal yang
kedua sampai ekornya terdapat 8-9 sirip-sirip kecil. Sirip-sirip demikian juga
terdapat antara sirip anal dan ekornyadibagian bawah badan (Hadiwiyoto, 1993).
Tuna mempunyai panjang antara 40 cm 200 cm dengan berat antara 3-
130 kg. Tuna terbagi atas beberapa jenis seperti Yellow fin tuna, Albacore, Long
tail tuna, Black fin tuna, dan Southern blue fin tuna. Sedangkan di Indonesia
jenis-jenis yang tertangkap adalah Yellow fin tuna atau madidihang, Big eye tuna
atau biasa di sebut tuna mata besar, Albacore, dan Southtern blue fin tuna
(Tampubolon, 1983 dalam Novriyanti, 2007).
2.1.3 Komposisi Daging Tuna
Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan
lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g
daging. Lemak antara 0,2-2,7 g/100 g daging. Di samping itu ikan tuna
mengandung mineral kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan
vitamin B golongan thiamin, riboflavin dan niasin (Departemen of Health
Education and Walfare 1972 yang diacu Maghfiroh, 2000).
-
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), komposisi kimia daging ikan
tuna bervariasi menurut jenis, umur, kelamin dan musim. Perubahan yang nyata
terjadi pada kandungan lemak sebelum dan sesudah memijah. Kandungan lemak
juga berbeda nyata pada bagian tubuh yang satu dengan yang lain.
Menurut Soenan (2004), bahwa semakin bertambah usia, kandungan
lemaknya semakin tinggi. Ikan yang bermigrasi dalam kondisi buruk dapat
menurunkan lemaknya. Pada masa setelah bertelur lemak ikan meninggi. Dan
ikan yang tinggal di habitat yang kaya makanan banyak mengandung lemak.
Untuk lebih jelasnya komposisi kimia ikan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Ikan Tuna (%)
Species Air Protein Lemak Karbohidrat Abu
Bluefin 68,70 28,30 1,40 0,10 1,50
Southern Bluefin 65,60 23,60 9,30 0,10 1,40
Yellow Fin 74,20 22,20 2,10 0,10 1,40
Skipjack 70,40 25,80 2,00 0,40 1,40
Marlin 72,10 25,40 3,00 0,10 1,40
Mackerel 62,50 19,80 16,50 0,10 1,10
Sumber : Murniyati dan Sunarman (2000)
2.2 Penurunan Mutu Ikan
Setelah ikan ditangkap/dipanen dan mati, berbagai proses perubahan fisik,
kimia dan organoleptik terjadi dengan cepat yang diakibatkan oleh reaksi kimia,
enzim autolysis dan aktifitas mikroba. Semua proses perubahan ini akhirnya
mengarah pada pembusukan. Tahap-tahap kemunduran kesegaran ikan adalah
hiperaemia, rigor mortis, autolysis dan penyerangan bakteri. Fase yang terjadi
pada ikan yang baru mengalami kematian disebut fase pre-rigor. Perubahan pada
fase ini ditandai terlepasnya lendir dari kelenjar dibawah permukaan kulit ikan
yang membentuk lapisan bening tebal di sekeliling tubuh (Zaitsev et al, 1969
dalam Ditjen P2HP, 2008).
Penurunan mutu pada ikan yang terjadi dapat meliputi perubahan oleh
karena proses kimiawi, enzimatis, dan bakteriologis.
-
2.2.1 Kemunduran Mutu Secara Kimiawi
Kemunduran mutu secara kimiawi meliputi terjadinya proses oksidasi
lemak. oksidasi ini terjadi karena enzim lipolitik mengurai lemak menjadi asam-
asam lemak bebas dan gliserol, dimana proses yang terjadi adalah oto-oksidasi,
lipolisis, dan lipoksida. Proses oto-oksidasi disebabkan oleh enzim
hidroperoksida, lipolisis disebabkan oleh enzim-enzim hidrolase atau lipase, dan
lipoksidasi disebabkan oleh enzim lipoksidase. Dan apabila pembongkaran lemak
berlanjut maka akan menghasilkan senyawa-senyawa keton, dan aldehid.
Sehingga lemak mengalami proses ketengikkan (Hadiwiyoto, 1993).
2.2.2 Kemunduran Mutu Secara Enzimatis
Selama ikan hidup, enzim ini menbantu proses metabolism makanan
sehingga aktivitas enzim selalu menguntungkan bagi kehidupan ikan itu sendiri.
Tetapi setelah ikan mati, sistem kerja enzim menjadi tidak terkontrol lagi,
sehingga merusak tubuhnya sendiri, seperti dinding usus, daging, bagian tubuh
lain, serta menguraikan senyawa yang semula kompleks menjadi senyawa lebih
sederhana. Semua hasil penguraian enzim selama proses autolysis merupakan
media yang sangat cocok untuk fase pertumbuhan bakteri (Sarmono, 2002).
Autolisis adalah proses perombakan sendiri, yaitu proses perombakan
jaringan oleh enzim yang berasal dari bahan pangan itu tersebut. Proses autolysis
terjadi pada saat bahan pangan memasuki fase post rigor mortis. Ikan yang
mengalami autolysis memiliki tekstur tubuh yang tidak elastis, sehingga apabila
daging tubuhnya ditekan dengan jari akan membutuhkan waktu relatif lama untuk
kembali kekeadaan semula. Proses autolisis dapat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan di sekelilingnya. Suhu yang tinggi akan mempercepat proses autolysis
ikan yang tidak diberi es (Afrianto, 2005).
Autolysis belum dapat disebutkan pembusukan karena hasil hidrolisis
protein dan lemak masih dapat dimakan manusia. Namun demikian, autolysis
merubah struktur daging sehingga kekenyalannya menurun; daging menjadi
lembek; terbagi menjadi lapisan-lapisan dan terpisah dari tulang. Kerusakan ini
menyebabkan bagian perut sobek. Selain itu, pemecahan protein menghasilkan
substrat yang disukai bakteri yang menyebabkan pembusukan (Murniyati dan
Sunarman, 2000). Kecepatan autolisis tergantung pada suhu dan tidak dapat
-
dihentikan total, akan tetapi bisa diperlambat. Biasanya proses autolisis akan
selalu diikuti dengan meningkatnya bakteri (Junianto, 2003).
2.2.3 Kemunduran Mutu Secara Bakteriologis
Fase perubahan selanjutnya setelah autolysis adalah perubahan yang
disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme, terutama bakteri. Dalam keadaan
masih hidup ikan dianggap mengandung bakteri, bahkan ada yang menyebutkan
steril, walaupun sebenarnya pada tubuh ikan itu banyak dijumpai mikroorganisme.
Ikan hidup memiliki kemampuan untuk mengatasi aktivitas mikroorganisme itu,
sehingga tidak bermasalah bagi hidupnya (Sarmono, 2002).
Dalam keadaan hidup ikan dianggap tidak mengandung bakteri yang
bersifat merusak (steril), meskipun di dalam lendir yang melapisi badan dan
didalam insang maupun sistim pencernaan terdapat banyak mikroorganisme
(Moeljanto, 1992).
Aksi bakteri ini dimulai pada saat yang hampir bersamaan dengan autolisis
dan kemudian sejajar. Bakteri merusak lebih parah daripada kerusakan yang
diakibatkan oleh enzim (Murniyati dan Sunarman, 2000).
Selama ikan hidup, bakteri yang hidup dalam saluran pencernaan, insang
saluran darah dan permukaan kulit tidak dapat merusak atau menyerang bagian-
bagian tubuh ikan tersebut mempunyai batas pencegah (barier) terhadap
penyerangan bakteri. Setelah ikan mati kemampuan barier tadi hilang sehingga
bakteri segera masuk ke dalam daging ikan (Junianto, 2003).
Daging ikan yang baru saja mati boleh dikatakan steril, tetapi sejumlah
besar bakteri bersarang dipermukaan tubuh, insang dan didalam perutnya. Bakteri
itu secara bertahap memasuki daging ikan, sehingga penguraian oleh bakteri
mulai berlangsung intensif setelah rigor mortis berlalu, yaitu setelah daging
mengendur dan celah-celah serat-seratnya terisi cairan (Murniyati dan Sunarman,
2000).
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), untuk dapat hidup dengan baik,
bakteri memerlukan suhu tertentu tergantung jenisnya. Ada tiga macam jenis
bakteri bedasarkan ketahanan terhadap suhu, yang antaranya dapat dilihat pada
Tabel 3.
-
Tabel 3. Kisaran Suhu Bagi Pertumbuhan Bakteri.
Jenis Bakteri Suhu Minimum Suhu Optimum Suhu Maksimum
Thermophylic
Mesophylic
Psycrophylic
25 - 450C
5 250C
00C
50 550C
25 370C
14 200C
60 800C
430C
300C
2.2.4 Histamin
Histamin adalah senyawa yang terdapat pada famili ikan scromboidae
atau lebih dikenal dengan tuna. Pada jenis ikan tuna yang memiliki dua jenis
daging yaitu putih dan gelap justru daging-daging putihlah yang tinggi
histaminnya sedangkan daging yang merah jauh lebih sedikit. Untuk konsumsi
manusia, daging merah lebih aman daripada daging putihnya bila dipandang dari
segi histamin. Mengapa daging merah justru kecil kandungan histaminnya, hal itu
disebabkan daging merah tinggi kandungan 20 trimetil amina oksida (TMAO)
yang berfungsi menghambat proses terbentuknya histamin. Histamin di dalam
daging diproduksi oleh enzim yang menyebabkan meningkatnya pemecahan
histidin melalui proses dekarboksilase (Winarno, 1993).
Menurut Hadiwiyoto (1993), degradasi histidin yang dikatalis oleh enzim
histidine dekarboksilase menjadi histamin. Senyawa histamin mungkin tidak
berbau busuk, tetapi keberadaannya dalam daging ikan menjadi berbahaya.
Senyawa histamin bersifat racun yang dalam beberapa hal menimbulkan
keracunan yang disebut Scromboid Food Poisoning.
Keberadaan histamin pada bahan pangan menandakan tingkat kemunduran
mutu bahan tersebut. Pembentukan amina biogenic ini tergantung dari
ketersediaan asam amino bebas, keberadaan dekarboksilase yang dikandung
mikroorganisme (bakteri dengan enzim yang menyebabkan dekarboksilasi asam
amino bebas) dan kondisi yang mendukung pertumbuhan mikroba dan aktifitas
enzim (Putro, 2002 dalam Widiastuty, 2007).
Meskipun enzim pemecah karboksil dapat berasal dari daging tubuh ikan
sendiri, sebagian besar enzim pemecah tersebut dapat dihasilkan oleh mikroba
yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang
mengkontaminasi ikan dari luar. Di Amerika Serikat, khususnya oleh US-FDA
-
telah dikeluarkan pedoman kadar histamin dalam tuna, yaitu: 20 mg per 100 g
menunjukkan indikasi penanganan yang tidak higienis pada beberapa tahap
penanganan pasca tangkap dan 50 mg per 100 g menunjukkan bahwa ikan tuna
tersebut telah membahayakan kesehatan konsumen bila dikonsumsi. Bagian depan
tubuh ikan biasanya memiliki kadar histamin paling tinggi, dan terendah di bagian
ekor (Winarno, 1993).
Dari ratusan jenis bakteri yang diteliti ada tiga jenis yang mampu
memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi yaitu antara lain Proteus
morganii, Enterobacter aerogeneses, Clostridium prefringens.
Penyimpanan ikan pada kondisi refrigerasi sejak ikan ditangkap hingga
dikonsumsi merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi kerusakan ikan
dan menghindari terjadinya keracunan histamin. Suhu rendah mengontrol bakteri
penghasil histamin selama ikan ditangani dan diolah (Public Health Divisin, 2002
dalam Widiastuty, 2007).
Selama pendinginan kadar histamin tidak mengalami perubahan, tetapi
pada waktu pendinginan karena suatu hal tertunda sehingga menjadi 24 jam, maka
kadar histaminnya akan meningkat, demikian juga jumlah bakteri akan meningkat
100 kali lebih banyak, tetapi bila pendinginan dilakukan pada suhu 4oC selama 24
jam tidak berpengaruh terhadap kadar histamin (Winarno,1993).
Menurut Huss (1994) dalam Widiastuty (2007), bahwa apabila histamin
telah terbentuk selama penanganan maka walau ikan tersebut dikalengkan atau
dimasak pada suhu tinggi tidak akan merubah kadar histamin sehingga tetap
potensial membahayakan manusia. Menurut Purnomo, Irianto dan Chasanah
(1990) dalam penelitiannya, bahwa tuna memiliki kandungan histamin yang
bervariasi sesuai dengan asalnya pada tubuh tuna dan lama penyimpanan.
2.3 Tuna Loin
2.3.1 Deskripsi Produk
Tuna loin beku adalah suatu produk olahan hasil perikanan dengan bahan
baku ikan tuna segar yang mengalami perlakuan sebagai berikut: sortasi,
pemotongan kepala, sirip dan ekor, pencucian, pembuatan loin, pembuangan
daging gelap, pembuangan kulit dan perapihan, pembekuan dengan atau tanpa
penggelasan, pengepakan dan penyimpanan beku (Ditjenkan, 1993).
-
Menurut SNI 01-4104-2006, bahwa semua jenis tuna dapat dibuat menjadi
produk tuna loin namun pada umumnya bahan baku tuna loin adalah yellowfin,
bluefin, bigeye dan longfin.
2.3.2 Proses Pengolahan Tuna Loin Beku
Penanganan yang kasar dan ceroboh harus dicegah, saat dinaikkan ke atas
kapal jangan terbentur benda keras, jangan terjatuh bengkok, dan tidak banyak
kehilangan tenaga artinya tidak banyak berjuang keras menghadapi kematiannya
yang dapat menjadi penyebab kerusakan mutu ikan segar karena proses rigor
mortis yang berlangsung cepat (Murnyati dan Sunarman, 2000).
Pengolahan bahan baku yang dilakukan secara cermat akan menghasilkan
produk bermutu baik. Cara penanganan dan proses pengolahan bahan baku,
penanganan, distribusi, dan pemasaran produk pangan berpengaruh terhadap mutu
produk pangan yang dipasarkan (Afrianto, 2008).
Tuna loin beku adalah tuna yang telah mengalami perlakuan sehingga
suhu pusatnya maksimum -18oC, merupakan produk olahan hasil perikanan
dengan bahan baku tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan sebagai
berikut: penerimaan, penyiangan atau tanpa penyiangan, pencucian, pembuatan
loin, pengulitan dan perapihan, sortasi mutu, pembungkusan (wrapping),
pembekuan, penimbangan, pengepakan, pelabelan dan penyimpanan. Standar
mencakup klasifikasi, syarat bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan
makanan, cara penanganan dan pengolahan, teknik sanitasi dan higiene, syarat
mutu dan keamanan pangan, pengambilan contoh, cara uji, serta syarat penandaan
dan pengemasan untuk tuna loin beku.
(http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/7576, 2010).
Berdasarkan SNI 01-4104-2006 penanganan dan pengolahan tuna loin
beku dibedakan menjadi dua berdasarkan kondisi bahan baku yang digunakan,
yaitu bahan baku tuna segar dan bahan baku tuna beku
-
2.3.2.1 Bahan Baku Tuna Segar
Penerimaan
Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik,
untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati,
cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4C.
Menurut Ditjenkan (1993), Ikan terlebih dahulu dicuci untuk
menghilangkan lendir atau kotoran yang menempel pada tubuh ikan tuna,
kemudian disortasi menurut ukuran dan mutu. Ukuran tuna yang diterima untuk
pengolahan tuna loin adalah yang berukuran 30 kg keatas, mutu tuna yang dapat
diterima sebagai bahan baku loin adalah Warna daging kemerah-merahan seperti
merah semangka untuk jenis Yellowfin tuna sedangkan untuk jenis Big eye tuna
merahnya seperti bunga rose (dihindarkan warna daging ikan yang pucat/putih),
Elastis atau daging masih kenyal tidak boleh pecah atau mudah hancur, dan
kecerahan tuna bila diusap seperti kaca.
Ukuran ikan menunjukkan besar kecilnya ikan. Pada umumnya ikan
dikatakan besar apabila panjangnya melebihi ukuran 20 cm, sedangkan ikan
dikatakan kecil apabila panjang ikan kurang dari 10 cm. Ukuran panjang
keseluruhan seekor ikan adalah panjang yang diukur dari ujung mulut ikan sampai
dengan ujung ekor ikan (Hadiwiyoto, 1993).
Pemotongan Kepala, Sirip dan Ekor
Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi
dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat,
cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap
berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4C.
Pemotongan dimulai dari bagian kepala, pisau kemudian diarahkan
kebagian punggung sampai tepat pada tulang belakangnya, kemudian disayat pada
bagian samping kiri kanan daging punggung dan perut yang selanjutnya dilakukan
pembelahan dari pangkal kapala sampai pada inlet 3 dari pangkal ekor, searah
dengan linea literalis sehingga bisa lepas (Ditjenkan, 1993).
Pada saat ikan mati, enzim pencernaan yang ada dalam perut dan usus
masih aktif. Jika usus dan alat pencernaan yang banyak mengandung enzim tidak
-
dibuang maka enzim ini akan memecah jaringan saluran pencernaan dan
menghancurkan dinding perut (Junianto, 2000).
Pencucian
Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir
secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk
maksimal 4.4C.Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan sisa kotoran dan
darah yang menempel di tubuh ikan sehingga bebas dari kontaminasi bakteri
pathogen.
Pencucian bahan pangan yang ditujukan untuk mengurangi populasi
mikroba alami (flora alami) yang terdapat dalam bahan pangan, sehingga
populasinya tidak berpengaruh pada proses selanjutnya. Pencucian dilakukan
dalam air mengalir, bersih dan sudah didinginkan antara suhu 0-5oC (Afrianto,
2008).
Pembuatan Loin
Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat
bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat
dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4C. Pembuatan loin
ini bertujuan untuk mendapatkan bentuk loin sesuai dengan ukuran yang
ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen
Pengulitan dan Perapihan
Tahap berikutnya yaitu pembuangan kulit, dilanjutkan dengan merapihkan
bentuk loin dan membuang lapisan lemak yang masih terdapat pada permukaan
daging guna mencegah terjadinya kontaminasi.
Sortasi Mutu
Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat
tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan secara hati-
hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4C.
Menurut Afrianto (2008), sortasi pada bahan baku bertujuan untuk
mendapatkan bahan baku ikan dengan jenis, ukuran dan mutu yang seragam.
Pemisahan ini akan menjaga mutu bahan baku tetap baik. Dengan bahan baku
bermutu baik akan dapat dihasilkan produk pangan dengan mutu yang relatif
sama.
-
Menurut Ditjenkan (1997), sebelum dimasukkan ke dalam ruang
pengolahan bahan baku harus diperiksa dan disortir dengan cara saniter hanya
bahan baku yang memenuhi syarat kesegaran dan bersih yang boleh diolah.
Pembungkusan (Wrapping)
Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual
vakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara
cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal
4,4C.
Pembekuan
Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku
(freezer) seperti ABF, CDF, Brain hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal
-18C dalam waktu maksimal 4 jam.
Pembekuan adalah cara yang paling banyak digunakan untuk mengolah
hasil perikanan. Keunggulan paling utama dibanding cara pengolahan yang lain
adalah kemapuan pembekuan dalam mengawetkan bahan baku atau produk hasil
perikanan tanpa harus merubah sifat asli produknya. Pendinginan adalah
pengolahan dengan cara menurunkan suhu ikan mendekati titik beku. Kondisi ini
menunda kegiatan biokomiawi dan bakteriologis dari bahan baku, sehingga dapat
memperpanjang daya awet atau masa simpan produk. Pembekuan adalah suatu
cara pengolahan dengan mengurangi suhu produk dari temperatur asal sampai
mencapai -180C dan sebagian besar dalam tubuh telah berubah menjadi es
(Soenan, 2002).
Penimbangan
Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah
dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap
mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18C. Tujuan dari penimbangan
ini adalah mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran yang telah
ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen.
Pengepakan
Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan
plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter
-
sehingga melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi
dan penyimpanan serta sesuai dengan label.
2.3.2.2 Bahan Baku Tuna Beku
Penerimaan
Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik,
untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati,
cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal -18C. Dengan
demikian akan didapatkan bahan baku yang bebas bakteri patogen dan memenuhi
persyaratan mutu, ukuran dan jenis.
Penyiangan Atau Tanpa Penyiangan
Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi
dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat,
cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap
berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal -18C. Penyiangan dilakukan
bertujuan untuk mendapatkan ikan yang bersih, tanpa kepala dan isi perut serta
mereduksi kontaminasi bakteri patogen.
Pembuatan Loin
Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat
bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat
dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18C
Pengulitan dan Perapihan
Tulang, daging hitam (dark meat) dan kulit yang ada pada loin dibuang
hingga bersih. Pengkulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan
saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18C
Okada (1990) dalam Widiastuty (2007) menyatakan bahwa daging merah
mengandung mioglobin dan hemoglobin yang bersifat prooksidan serta kaya akan
lemak. Warna merah pada daging ikan disebabkan kandungan hemoproteinnya
tinggi yang tersusun atas protein moiety, globin dan struktur heme. Di antara
hemoprotein yang ada, mioglobin adalah hemoprotein yang terbanyak. Lebih 80%
hemoprotein pada daging merah adalah mioglobin dan hemoglobin. Kandungan
mioglobin pada daging merah ikan tuna dapat lebih dari 3.500 mg/100 g
-
(Watanabe, 1990). Hal ini yang menyebabkan mudahnya terjadi ketengikan pada
daging merah ikan tuna.
Pembekuan
Loin yang sudah disusun dalam pan pembekuan, dibekukan dalam alat
pembeku (Freezer) hingga suhu pusat ikan mencapai maksimum -18C secara
cepat. Bertujuan untuk membekukan produk hingga mencapai suhu pusat
maksimal -18C secara cepat dan tidak mengakibatkan pengeringan terhadap
produk.
Menurut Moeljanto (1992), proses pembekuan yaitu panas yang diambil
diikuti dengan turunnya suhu produk dibekukan dan berubahnya sebagian kadar
air yang terkandung dalam produk menjadi es.
Penimbangan
Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah
dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap
mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18C. tujuannya adalah untuk
mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan
bebas dari kontaminasi bakteri patogen.
Pengepakan
Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan
plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter. Hal
ini bertujuan untuk melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama
transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label.
2.3.2.3 Penyimpanan
Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan
suhu maksimal -25C dengan fluktuasi suhu maksimal 2C. Penataan produk
dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi
udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran.
Produk pangan yang sudah dihasilkan perlu ditangani secara baik agar tidak
mengalami rekontaminasi, sehingga mutu produk pangan tetap terjaga sampai ke
konsumen. Pengemasan merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya
rekontaminasi. Pemilihan waktu untuk mengemas, jenis bahan pengemas, dan
-
kebersihan bahan pengemas sangat berpengaruh terhadap upaya pencegahan
rekontaminasi (Afrianto, 2008).
2.3.3 Persyaratan Bahan Baku
Menurut SNI 01-4104-2006, bahan baku Tuna Loin Beku adalah semua
jenis tuna yang dapat diolah untuk dijadikan produk berupa Tuna Loin Beku.
Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan,
bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan,bebas dari sifat-sifat alamiah lain
yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan, juga harus
berasal dari perairan yang tidak tercemar serta secara organoleptik bahan baku
tersbut harus mempunyai karateristik kesegaran sekurang-kurangnya sebagai
berikut :
Rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik jenis tuna
Bau : segar spesifik jenis, dan berbau rumput laut segar
Rasa : manis spesifik jenis ikan tuna
Konsistensi : elstis, padat dan kompak
2.3.4 Persyaratan Mutu Tuna Loin Mentah Beku
Persyaratan mutu tuna loin beku harus sesui dengan syarat mutu
berdasarkan SNI 01-4104-2006, seperti yang terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4 . Standar Mutu Tuna Loin Beku
JENIS UJI SATUAN PERSYARATAN
Organoleptik Skala hidonik 1-9 Minimal 7
Cemaran mikroba*:
ALT
Eschericia coli
salmonella
vibrio cholera
Koloni/gram
APM/gram
APM/gram
APM/gram
5 x 105
-
Fisika :
Suhu pusat
oC
Maksimal -18
Parasit ekor Maksimal 0
Catatan * bila diperlukan
2.4 Penerapan Sistem Rantai Dingin
Pengawetan ikan dengan suhu rendah merupakan suatu proses
pengambilan/pemindahan panas dari tubuh ikan ke bahan lain. Adapula yang
mengatakan bahwa pendinginan adalah pengambilan panas dari suatu ruangan
yang terbatas untuk menurunkan dan mempertahankan suhu ruangan tersebut
bersama isinya agar selalu lebih rendah daripada suhu diluar ruangan (Adawyah,
2008).
Menurut Sarmono (2002), besarnya pengaruh suhu terhadap daya awet
ikan segar dapat dijelaskan antara lain, pada suhu 0oC ikan dapat awet selama 15
hari, pada suhu 4,4oC ikan dapat awet selama 6 hari dan pada suhu 15,6oC ikan
dapat awet hanya 3 hari.
Pada suhu rendah (dingin dan beku), proses-proses biokimia yang
berlangsung dalam tubuh ikan yang mengarah pada kemunduran mutu ikan
menjadi lebih lambat. Selain itu, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri
pembusuk dalam tubuh ikan juga dapat diperlambat. Dengan demikian. Kesegaran
ikan akan semakin lama dipertahankan (Junianto, 2003).
Menurut Moeljanto (1992), penerapan rantai dingin ini dilakukan dengan
pengusahaan suhu rendah sekitar 00C mulai dari tahap awal sampai akhir. Dengan
mendinginkan ikan sampai sekitar 00C kita dapat memperpanjang masa kesegaran
(daya simpan, shelf-life) ikan sampai 12-18 hari sejak saat ikan itu ditangkap dan
mati, tergantung pada jenis ikan, cara penanganan dan keadaan pendinginannya,
untuk ikan tuna yang ditangani dan didinginkan dengan baik sejak ditangkap,
dapat bertahan sampai 21 hari sebelum dinyatakan tidak layak untuk dimakan
manusia (Murniyati dan Sunarman, 2000). Menurut Ilyas (1993), kecepatan
penurunan mutu kesegaran ikan sampai saat ikan menjadi busuk, dipengaruhi oleh
suhu, semakin rendah suhu produk semakin awet kesegarannya dan semakin
tinggi kadar awal bakteri bahan mentah sebelum dibekukan, relative akan besar
pula jumlah bakteri yang tersisa sesudah pembekuan dan penyimpanan beku.
-
Menurut Muchtadi (1997) setiap bahan pangan mempunyai suhu yang
optimum untuk berlangsungnya proses metabolisme secara normal. Suhu
penyimpanan yang lebih tinggi dari suhu optimum akan mempercepat terjadinya
proses pembusukan. Suhu rendah di atas suhu pembekuan dan di bawah 15oC
efektif dalam mengurangi laju metabolisme. Suhu seperti ini diketahui sangat
berguna untuk pengawetan jangka pendek. Setiap penurunan suhu 8oC
menyebabkan laju metabolisme akan berkurang setengahnya. Menyimpan bahan
pangan pada suhu sekitar -2oC sampai 10oC diharapkan dapat memperpanjang
masa simpan bahan pangan. Hal ini disebabkan suhu rendah dapat memperlambat
aktivitas metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba. Selain itu juga
mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia dan hilangnya kadar air dari bahan
pangan.
2.4.1 Pendinginan
Pendinginan umumnya merupakan suatu metode pengawetan yang ringan,
pengaruhnya kecil sekali terhadap mutu bahan pangan secara keseluruhan. Oleh
sebab itu pendinginan seperti di dalam lemari es sangat cocok untuk
memperpanjang kesegaran atau masa simpan sayuran dan buah-buahan. Sayuran
dan buah-buahan tropis tidak tahan terhadap suhu rendah dan ketahanan terhadap
suhu rendah ini berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Sebagai contoh, buah pisang
dan tomat tidak boleh disimpan pada suhu lebih rendah dari 13oC karena akan
mengalami chilling injury yaitu kerusakan karena suhu rendah. Buah pisang yang
disimpan pada suhu terlalu rendah kulitnya akan menjadi bernoda hitam atau
berubah menjadi coklat, sedangkan buah tomat akan menjadi lunak karena
teksturnya rusak (www.wordpress/munzir08.com, 2009).
Pada prinsipnya pendinginan adalah mendinginkan ikan secepat mungkin
ke suhu serendah mungkin, tetapi tidak sampai menjadi beku. Pada umumnya,
pendinginan tidak dapat mencegah pembusukan secara total, tetapi semakin
dingin suhu ikan, semakin besar penurunan aktivitas bakteri dan enzim. Dengan
demikian melalui pendinginan proses bakteriologi dan biokimia pada ikan hanya
tertunda, tidak dihentikan. Untuk mendinginkan ikan, seharusnya ikan diselimuti
oleh medium yang lebih dingin dari-nya, dapat berbentuk cair, padat, atau gas.
Pendinginan ikan dapat dilakukan dengan menggunakan refrigerasi, es, slurry ice
-
(es cair), dan air laut dingin (chilled sea water). Cara yang paling mudah dalam
mengawetkan ikan dengan pendinginan adalah menggunakan es sebagai bahan
pengawet, baik untuk pengawetan di atas kapal maupun setelah di daratkan, yaitu
ketika di tempat pelelangan, selama distribusi dan ketika dipasarkan.
Penyimpanan ikan segar dengan menggunakan es atau sistem pendinginan yang
lain memiliki kemampuan yang terbatas untuk menjaga kesegaran ikan,
biasanya1014 hari (Wibowo dan Yunizal, 1998).
Menurut Irawan (1995), banyak cara yang dilakukan dalam pengawetan
dengan pendinginan, diantaranya adalah dengan es (termasuk es kering dan es
biasa), larutan garam dingin, udara dingin dan lain-lain.
2.4.2 Pembekuan
Pembekuan berarti mengubah kandungan cairan yang terdapat pada
sebagian besar tubuh ikan itu menjadi es. Ikan akan mulai membeku pada suhu
antara -0,6oC sampai -2oC, atau rata-rata pada -1oC. yang mula-mula membeku
adalah air bebas (free water), disusul oleh air terikat (bound water). Pembekuan
dimulai dari bagian luar, bagian tengah membeku paling akhir (Adawyah, 2008).
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), Pembekuan membutuhkan
pengeluaran panas dari tubuh ikan. Prosesnya, terbagi atas tiga tahapan, yaitu
- Pada tahap pertama suhu menurun dengan cepat hingga saat tercapainya titik
beku (20oC hingga 0oC)
- Kemudian, pada tahapan kedua suhu turun perlahan-lahan (0oC hingga
mencapai -5oC)karena dua hal yaitu penarikan panas dari ikan bukan berakibat
pada penurunan suhu, melainkan berakibat pada pembekuan air di dalam tubuh
ikan dan terbentuknya es pada bagian luar dari ikan merupakan penghambat bagi
proses pendinginan dari bagian-bagian di dalamnya. Pada tahapan ketiga, jika
kira-kira bagian dari kandungan air sudah beku, penurunan suhu berjalan cepat
kembali (dibawah -5oC)
Waktu yang dibutuhkan ikan dalam pembekuan untuk melintasi tahapan
kedua (0oC hingga -5oC ) disebut thermal arrest time. Berdasarkan panjang-
pendeknya waktu ini, pembekuan dibagi menjadi dua, yaitu pembekuan cepat
(quick freezing) yang tidak lebih dari dua jam dan pembekuan lambat (slow
freezing atau sharp freezing) yang lebih dari dua jam.
-
Pembekuan cepat dan pembekuan lambat mempengaruhi besar dan
kecilnya kristal es yang terbentuk. Semakin cepat pembekuan semakin kecil
kristal es yang terbentuk, sebaliknya semakin lama pembekuan semakin besar
kristal es yang terbentuk. Oleh karena itu, pada pembekuan lambat jika dicairkan
kembali maka kristal yang mencair akan mendesak dan merusak susunan jaringan
daging serta menimbulkan terjadinya drip yang cukup banyak. Dengan demikian,
pembekuan lambat menghasilkan produk ikan bermutu rendah karena terjadinya
denaturasi protein, khususnya pada suhu -1oC dan -2oC (Murniyati dan Sunarman,
2000).
Pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan pangan sampai bahan
pangan membeku, yaitu jika suhu pada bagian dalamnya paling tinggi sekitar
-18oC, meskipun umumnya produk beku mempunyai suhu lebih rendah dari ini.
Pada kondisi suhu beku ini bahan pangan menjadi awet karena mikroba tidak
dapat tumbuh dan enzim tidak aktif. (www.wordpress/munzir08.com, 2009).
Dalam melakukan pembekuan, baik yang dilakukan dilaut (kapal) maupun
yang dilakukan di darat (perusahaan/pabrik pengawetan ikan), tata cara tidak
berbeda. Proses pelaksanaan awalnya adalah memisahkan ikan menurut
ukurannya. Jadi, antara ikan ukuran kecil, sedang dan besar tidak tercampur
menjadi satu (Irawan, 1995).
Blok-blok ikan harus mempunyai ukuran dan bentuk tertentu. Sistem
pemberian etiket atau kode-kode warna harus dilakukan pada waktu yang memuat
bahan baku untuk membantu identifikasi produk akhir. Bila dipakai alat pembeku
yang horizontal, bahan baku harus dipak dalam pan pembeku atau alat lain agar
didapatkan blok-blok ikan yang seragam. Bila digunakan alat pembeku plat yang
vertikal, bahan baku harus dipak dengan baik diantara plat pembeku sehingga
sedikit mungkin terdapat ruangan udara. Bila hasil perikanan dibekukan tanpa
dibungkus terlebih dahulu, harus diatur dengan rapi dalam pan-pan
aluminium,atau bahan-bahan lain yang sejenis (Ditjenkan,1997).
Berdasarkan cara kerjanya, terdapat beberapa jenis alat-alat pembekuan
antara lain sebagai berikut:
a. Air Blast Freezing
-
Freezer ini memanfaatkan udara dingin sebagai refrigerant. Alat ini terdiri
dari beberapa tipe, yaitu tipe ruangan, terowongan dan tipe ban berjalan (belt
conveyor) (Hariadi, 1994).
b. Contact Plate Freezing
Contact Plate Freezer sangat cocok untuk membekukan produk-produk
perikanan yang dikemas dalam kotak-kotak persegi, dengan bobot 1-4 kg. Pada
pembekuan sistem ini, produk yang dibekukan dijepit di antara dua plat berongga
yang diisi refrigerant (Hariadi, 1994).
c. Immersion freezing
Jenis freezer ini khusus digunakan untuk pembekuan ikan-ikan utuh
seperti tuna (tongkol besar), udang dengan kepala. Cara pembekuannya yaitu
dengan mencelupkan ikan kedalam larutan garam (NaCl) bersuhu -17oC atau
dengan menyemprotkan ikan memakai brine dingin itu (Moeljanto, 1992).
d. Cryogenic freezing
Cryogenic freezer adalah jenis freezer yang menggunakan CO2 dan N2
cair. Jenis freezer ini dapat menghasilkan suhu yang sangat rendah, yaitu 78oC
untuk CO2 cair dan 196oC untuk N2 cair (Moeljanto, 1992).
e. Pembekuan dengan IQF freezer
Pembekuan dengan IQF (Individually Quick Frozen) freezer bertujuan
agar tiap potong ikan atau udang menjadi beku tanpa menempel satu sama lain.
Olahan ikan atau jenis makanan lain masuk ke dalam freezer dengan conveyor
pada suhu 5-10oC dan keluar dalam keadaan beku dengan suhu -18o sampai -20oC,
waktu pembekuan 20 menit sampai 45 menit tergantung pada ketebalan produk
(Moeljanto, 1992).
f. Sharp Freezing
Pembekuan dengan Sharp freezer ini termasuk pembekuan secara lambat.
Adapun cara pembekuannya adalah dengan meletakkan produk-produk pada
sejumlah rak pendingin yang disusun secara horizontal. Rak-rak tersebut terdiri
dari pipa-pipa pendingin, dengan menggunakan refrigerant Amonia atau Freon 12.
-
Penutup
Ikan tuna yang menjadi produk ekspor andalan hasil perikanan ke negeri Jepang.
Hampir semua ikan tuna yang ditangkap diekspor, hanya sebagian kecil yang
menjadi konsumsi dalam negeri. ikan tersebut diekspor dalam bentuk segar, loin,
atau tuna dalam kaleng. Semua pengiriman menggunakan metode pembekuan
yang lebih aman dan hemat biayanya.
Proses penyiangan dan pencucian harus dilakukan dengan seksama dan sebersih
mungkin untuk mencegah adanya kontaminan. Kontaminan yang masih tersisa
pada tubuh ikan dapat mempercepat proses kerusakan yang terjadinya. Proses
pembekuan juga harus dilakukan juga harus secepat mungkin untuk mencegah
kerusakan karena proses pembekuan. Suhu penyimpanan harus dijaga serendah
mungkin dan stabil agar masa simpan ikan tuna dapat lebih lama sehingga ikan
menjadi lebih awet. Proses pengolahan setelah penyimpanan dalam waktu lama
harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya kerusakan karena
perubahan suhu dan kelembaban.
-
Daftar Pustaka
Adawyah, R. 2008. Teknologi Referigrasi Hasil Perikanan Jilid II Teknik Pembekuan Ikan. CV. Paripurna, Jakarta. Afrianto, Eddy dan Evi, L. 2005. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.
Yogyakarta. Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I. Liberty,
Yogyakarta. Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I.
Liberty, Yogyakarta.
lyas, Ilyas. 1993. Teknologi Referigrasi Hasil Perikanan Jilid II Teknik Pembekuan Ikan. CV. Paripurna, Jakarta. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Moeljanto.1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta : Penebar
Swadaya Murniyati dan Sunarman. 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan.
Kanisius.Yogyakarta.
Winarno, F.G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
PENDAHULUAN