1
2
Penyelesaian Sengketa Konstruksi Dalam Bidang Investasi
Infrastruktur
A. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat
memiliki tujuan dan cita-cita untuk mengisi kemerdekaanya,
cita-cita negara Indonesia termaktub dalam Pembukaan
UUD 1945 alinea ke 4 yang menyatakan bahwa “ Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”.
Melihat daripada rumusan pembukaan UUD 1945 tersebut
maka Negara Indonesia memiliki 4 cita-cita utama yakni
Melindungi seluruh rakyat Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan rakyat Indonesia dan
berperan aktif untuk mewujudkan perdamaian dan
ketertiban dunia.
Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum tentu
dibutuhkan suatu pertumbuhan ekonomi yang baik yang
dapat memberikan pendapatan layak bagi rakyat Indonesia
sehingga kebutuhan hidupnya dapat tercukupi. Pertumbuhan
ekonomi tidak dapat kita lepaskan dengan melakukan
pembangunan-pembangunan infrastruktur karena dengan
adanya infrastruktur yang memadai akan membuka peluang
terciptanya suatu lapangan kerja yang merupakan bagian
daripada penggerak ekonomi. Pembangunan berbagai
3
infrastruktur tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit
oleh karena itu dibutuhkan peranan berbagai pihak untuk
dapat bersama-sama mengambil andil dalam pembangunan
infrastruktur di Indonesia.
Perkiraan kebutuhan pendanaan untuk penyediaan
infrastruktur yang ditetapkan dalam MP3EI dalam RPJMN
2010-2014 adalah sebesar Rp.1.923,7 Triliun. Angka
kebutuhan ini cukup besar namun harus diupayakan agar
dapat tercapai sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia
dapat mencapai 7%. Dari jumlah Rp. 1.923,7 Triliun
tersebut kemampuan pemerintah hanya sekitar Rp. 559, 54
Triliun sedangkan potensi pendanaan dari yang bersumber
dari Non APBN (BUMN, Swasta, dan APBD) sekitar Rp.
1.040, 59 Triliun. Apabila ditambah antara kesanggupan
APBN dan non APBN tersebut diatas maka jumlahnya Rp.
1.600, 13 Triliun artinya masih ada gap (kekurangan) untuk
membiaya pembangunan infrastruktur sebagaimana yang
telah ditargetkan pemerintah yakni sebesar Rp. 323, 67
Triliun.1 Kekurangan pendanaan untuk membangun
infrastruktur itu diharapkan dapat diisi dengan adanya
investasi dari luar negeri atau Penanaman Modal Asing agar
dapat menutupi kekurangan dimaksud sehingga
pembangunan infrastruktur sebagaimana yang ditargetkan
pemerintah dapat tercapai.
1 Terms Of Reference Pada Seminar Nasional Kebijakan
Penyelesaian Sengketa Investasi Infrastrktur yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Jakarta Pada Tanggal 7 September 2015.
4
Investasi dari luar negeri memang dapat menjadi suatu
harapan dalam mengisi kekurangan pembiayaan
pembangunan infrastruktur di Indonesia, akan tetapi hal ini
bukanlah perkara yang mudah mengingat investor dari luar
negeri memiliki beberapa pertimbangan sebelum
menginvestasikan modalnya di suatu negara. Sedikitnya
ada 3 faktor penghambat masuknya investai luar negeri
yakni: Pertama faktor politik, faktor politik dalam negeri
sangat memberikan pengaruh kepada niat investor asing
dalam melakukan penanaman modal. Faktor politik ini
terkait dengan faktor keamanan dalam hal ini pemerintah
harus dapat memberikan jaminan bahwa kondisi keamanan
di negaranya kondusif dan tidak ada kerusuhan sosial yang
dapat merugikan investor. Faktor politik terkait juga dengan
kebijakan pemerintah artinya kebijakan pemerintah harus
konsisten untuk memberikan jaminan kepada investor
bahwa kebijakan yang diambil pemerintah dapat
memberikan keuntungan bagi para investor. Kedua faktor
ekonomi, faktor ekonomi berkaitan dengan sarana, pra
sarana, tekhnologi, dan sumber daya manusia. Hal demikian
sangat berpengaruh terhadap keinginan investor asing untuk
dapat menanamkan modalnya di suatu negara tertentu,
karena jika investor asing yang ingin menanamkan
modalnya pasti memperhatikan sarana dan pra sarana yang
ada agar investasi yang sesuai dengan bidang yang ingin
diinvestasikan dapat terealisasi begitu pun dengan
tekhnologi dan sumber daya manusia merupakan faktor
yang menjadi perhatian investor mengingat jika investor
yang berencana menanamkan modalnya namun negara yang
5
dituju belum memiliki tekhnologi dan sumber daya manusia
yang dapat mengoperasikannya maka investasi yang ingin
dilakukan oleh investor akan terhambat. Ketiga faktor
hukum, faktor hukum merupakan faktor yang sangat
penting dan menjadi perhatian bagi investor sebelum
melakukan penanaman modal di suatu negara.
Ketidakpastian hukum akan mengakibatkan investor tidak
ingin menanamkan modalnya di suatu negara.
Ketidakpastian hukum tersebut seringkali terkait dengan
peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih
satu sama lain misalnya adanya perbedaan pengaturan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau terkait dengan
suatu pemahaman hukum misalnya dalam pemahaman
universal suatu sengketa merupakan sengketa di bidang
keperdataan namun dengan alasan tertentu ditarik menjadi
permasalahan pidana. Hal-hal yang demikian memunculkan
suatu ketidakpastian hukum yang tentunya dapat
menghambat investasi di Indonesia, dan dengan
terhambatnya investasi tersebut maka pembangunan
infrastruktur juga dapat terhambat.
Pembangunan infrastruktur dapat dilakukan dengan
beberapa cara yakni bisa dengan government to government
atau government dengan pihak swasta. Tentu di dalam
pelaksanaan pembangunan infrastruktur tidak jarang terjadi
sengketa (dispute) antara pengguna jasa konstruksi dengan
pelaksana jasa konstruksi. Sengketa demikian merupakan
hal yang biasa-biasa saja dan merupakan suatu hal yang
sudah sering terjadi, namun yang perlu dicermati adalah
bahwa dispute tersebut harus dapat diselesaikan secara adil
6
bagi seluruh pihak. Penyelesaian sengketa pembangunan
infrastruktur ini dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan,
namun juga dapat diselesaikan melalui jalur alternatif
penyelesaian sengketa (Badan Arbitrase). Pada saat ini
arbitrase telah berkembang menjadi salah satu metode
penyelesaian sengketa yang diminati oleh para pelaku usaha
karena karakteristik penyelesaian sengketa melalui badan
arbitrase dipandang cukup friendly bagi dunia usaha.
B. Kontrak Kerja Konstruksi Sebagai Landasan Hukum
Pembangunan Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur erat kaitannya dengan
pengerjaan jasa konstruksi karena pembangunan
infrastruktur selalu diikuti dengan pengerjaan dibidang
konstruksi. Pekerjaan di bidang jasa konstruksi minimal
melibatkan dua pihak dalam pengerjaannya yakni
pengguna jasa konstruksi dan pelaksana jasa konstruksi,
pengguna jasa konstruksi ini bisa berasal dari pihak
pemerintah dengan mengunakan anggaran APBN atau
APBD, perusahaan swasta, BUMN, BUMD dll, atau dari
investor asing yang ingin menanamkan modalnya di bidang
pembangunan infrastruktur di Indonesia. Di dalam
melaksanakan pekerjaan jasa konstruksi dibutuhkan suatu
hal yang dapat menjelaskan hak dan kewajiban pengguna
jasa konstruksi maupun pelaksana jasa konstruksi. Hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengguna jasa
konstruksi maupun pelaksana jasa konstruksi tersebut
dituangkan dalam kontrak/perjanjian. Perlunya dituangkan
terkait dengan hak dan kewajiban pengguna jasa konstruksi
7
dan pelaksana jasa konstruksi ke dalam kontrak/perjanjian
agar ada acuan dan kepastian hukum di dalam mengerjakan
pekerjaan jasa konstruksi.
Kontrak/perjanjian bersumber dari suatu perikatan
sebagaimana yang dijelaskan dalam Buku III KUHPerdata
(mengenai kekayaan harta benda) dalam Pasal 1313 yang
menyatakan bahwa perikatan adalah suatu hubungan antara
dua orang yang memberi hak pada yang satu untuk
menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan
orang-orang yang lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan
itu. Melihat definisi dari perikatan sebagaimana Pasal 1313
KUHPerdata maka dapat dinyatakan bahwa
kontrak/perjanjian merupakan suatu hubungan hukum
karena itu setiap kontrak/perjanjian wajib hukumnya untuk
dilaksanakan apabila tidak dilaksanakan tentu memiliki
konsekuensi hukum.
Saat ini istilah kontrak atau perjanjian seringkali
masih dipahami secara kurang tepat dalam praktik bisnis.
Pelaku bisnis banyak yang memahami kedua istilah
tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Padahal
secara dogmatic, KUHPerdara sebagai produk hukum
kontrak warisan kolonial Belanda menggunakan istilah
“overenkomst” dan “contract” untuk pengertian yang
sama, sebagaimana dapat dicermati dari judul Buku III titel
kedua tentang perikatan-perikatan yang lahir dari kontrak
atau perjanjian yang dalam Bahasa Belanda sebagai bahasa
aslinya yakni “Van verbantenissen die uit contract of
overeenkomst geboren worden”. Selain itu secara teoritik,
8
banyak juga ahli hukum kontrak yang berpandangan bahwa
istilah kontrak dan perjanjian mempunyai pengertian yang
sama yaitu antara lain Nieuwehuis, Mariam Darul
Badrulzaman, J. Satrio, dan Purwahid Patrik.2 Pemahaman
berbeda tentang istilah kontrak dengan perjanjian
ditegaskan oleh R. Subekti. Ia menyatakan bahwa istilah
kontrak mempunyai pengertian yang lebih sempit karena
ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang dibuat
secara tertulis.3 Jadi dalam pemahaman R. Subekti, suatu
perjanjian yang dibuat secara tertulis saja yang dapat
disebut sebagai kontrak sedangakan perjanjian yang dibuat
secara tidak tertulis (lisan) tidak dapat disebut dengan
istilah kontrak, melainkan perjanjian atau persetujuan.
Perbedaan pandangan ahli hukum terkait dengan
pengertian kontrak dan perjanjian hanya sebatas pada
tertulis atau tidaknya suatu persetujuan diantara kedua
belah pihak, akan tetapi tertulis atau tidaknya persetujuan
tersebut tidak mengurangi esensi dari hubugan hukum
antara kedua belah pihak karena baik tertulis atau tidak
sama-sama merupakan hubungan hukum yang mengikat
dalam suatu perikatan. Selain itu syarat sahnya suatu
perjanjian atau kontrak diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata yang memberikan 4 syarat sahnya suatu
perjanjian yakni:
2 Muhammad Syaifudin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak Dalam
Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), CV. Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm. 15. 3 R. Subekti Hukum Perjanjian, Intermesa, Jakarta, 1996, hlm. 1.
9
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de
toestemming van degen die zich verbinden);
2. Cakap untuk membuat suatu kontrak (de
bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan)
3. Objek atau pokok persoalan tertentu atau dapat
ditentukan (eene bepald onderwerp objekt)
4. Sebab atau cause yang tidak dilarang (eene
geoorloofde oorzak).
Suatu kontrak yang tidak memenuhi syarat sahnya
suatu perikatan sebagaimana yang dinyatakan diatas maka
akan mempunyai akibat terhadap sahnya suatu
kontrak/perjanjian. Akibat tersebut yakni: jika syarat
sepakat dan kecakapan (syarat subjektif) tidak dipenuhi
maka akan mengakibatkan kontrak/perjanjian tersebut
dapat dibatalkan sehingga tidak berlaku lagi. Pembatalan
karena tidak terpenuhinya syarat subjektif dimaksud harus
dimintakan pembatalannya ke Pengadilan. Sedangkan
apabila syarat objek dan sebab yang tidak terlarang tidak
terpenuhi maka perjanjian tersebut akan batal demi hukum
artinya tanpa melalui proses pembatalan, kontrak tersebut
sudah batal atau dengan kata lain kontrak tersebut dianggap
tidak pernah ada.
Namun apabila kontrak/perjanjian telah memenuhi
rumusan Pasal 1320 KUHPerdata yang merupakan syarat
sahnya suatu kontrak/perjanjian maka kontrak/perjanjian
tersebut akan mengikat bagi para pihak yang telah
mengikatkan dirinya pada kontrak/perjanjian yang telah
dibuat tersebut. Asas kekuatan mengikat kontrak
mengharuskan para pihak untuk memenuhi apa yang telah
10
mereka rumuskan kedalam kontrak. Mengikatnya suatu
kontrak/pejanjian bagi para pihak yang membuatnya diatur
dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan
bahwa semua kontrak yang dibuat sesuai dengan undang-
undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Mengikatnya suatu kontrak layaknya
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya
merupakan suatu asas hukum yang berlaku universal yakni
asas pacta sun servanda. Rumusan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata jelas mengatakan bahwa kontrak itu mengikat
bagi para pihak yang membuatnya, hal ini memiliki arti
bahwa yang bertangung jawab penuh terhadap pelaksanaan
suatu kontrak yang telah dibuat adalah para pihak yang
membuatnya maka pihak-pihak yang tidak terikat dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat menuntut terhadap
pelaksanaan suatu kontrak/perjanjian yang telah disepakati
oleh para pihak.
Mengingat Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
menyatakan bahwa kontrak itu memiliki kekuatan
mengikat sehingga apabila kontrak itu diingkari oleh salah
satu pihak maka pelaksanaan terhadap kontrak dimaksud
bisa dipaksakan melalui pranata hukum yang telah diatur
dalam undang-undang yakni bisa melalui Pengadilan atau
pun dengan cara Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hal ini
sejalan dengan pendapat Herlien Budiono yang
menyatakan bahwa adagium pacta sun servanda (yang
terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata) diakui
sebagai aturan yang menetapkan bahwa semua kontrak
yang dibuat manusia satu sama lain, dengan mengingat
11
kekuatan hukum yang terkandung di dalamnya,
dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat
dipaksakan penataannya.4
Asas mengikatnya suatu kontrak sangat berkaitan
dengan asas kebebasan berkontrak mengingat apabila di
dalam menjalankan asas kebebasan berkontrak terdapat
unsur-unsur yang melanggar ketentuan undang-undang
maka asas kekuatan mengikatnya suatu kontrak dapat
dikesampingkan sehingga kontrak yang dibuat menjadi
tidak mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Pada
dasarnya asas kebebasan membuat kontrak memberikan
kebebasan bagi para pihak untuk menentukan apa saja yang
ingin mereka perjanjikan sekaligus menentukan apa saja
yang tidak dikehendakinya untuk dicantumkan dalam
kontrak. Namun, asas kebebasan membuat kontrak tidak
berarti bebas tanpa batas karena ada peran negara
mengintervensi hal ini untuk melindungi pihak yang lemah
secara sosial dan ekonomi atau untuk melindungi
ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan.5 Hal ini sejalan
dengan Pasal 1337 KUHPerdata yang melarang kontrak
dengan substansi isinya bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Pelaksanaan pekerjaan jasa konstruksi untuk melakukan
pembangunan infrastruktur dilakukan berdasarkan kontrak
4 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian
Indonesia; Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 117. 5 Muhammad Syaifuddin, op.cit. hlm. 89.
12
kerja konstruksi antara pengguna jasa konstruksi dan
pelaksana jasa konstruksi. Kontrak kerja konstruksi sama
dengan prinsip kontrak secara umum baik itu terkait dengan
syarat sahnya kontak/perjanjian atau prinsip mengikatnya
suatu kontrak/perjanjian bagi para pihak. Di dalam Undang-
Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi pada Pasal
1 angka 8 menyatakan bahwa kontrak kerja konstruksi adalah
keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur hubungan
hukum antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Selanjutnya di dalam Pasal
47 Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang jasa konstruksi
mengatur mengenai persyaratan isi dalam suatu kontrak kerja
konstruksi yakni kontrak jasa konstruksi paling sedikit harus
mencakup sebagai berikut:
Kontrak Kerja Konstruksi paling sedikit harus mencakup
uraian mengenai:
1. Para pihak, memuat secara jelas identitas para pihak;
2. Rumusan pekerjaan, memuat uraian yang jelas dan rinci
tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, harga satuan,
lumsum, dan batasan waktu pelaksanaan;
3. Masa pertanggungan, memuat tentang jangka waktu
pelaksanaan dan pemeliharaan yang menjadi tanggung
jawab Penyedia Jasa;
4. Hak dan kewajiban yang setara, memuat hak Pengguna
Jasa untuk memperoleh hasil Jasa Konstruksi dan
kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang
diperjanjikan, serta hak Penyedia Jasa untuk memperoleh
informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya
melaksanakan layanan Jasa Konstruksi;
13
5. Penggunaan tenaga kerja konstruksi, memuat kewajiban
mempekerjakan tenaga kerja konstruksi bersertifikat;
6. Cara pembayaran, memuat ketentuan tentang kewajiban
Pengguna Jasa dalam melakukan pembayaran hasil layanan
Jasa Konstruksi, termasuk di dalamnya jaminan atas
pembayaran;
7. Wanprestasi, memuat ketentuan tentang tanggung jawab
dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana diperjanjikan;
8. Penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata
cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
9. Pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi, memuat ketentuan
tentang pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi yang timbul
akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
10. Keadaan memaksa, memuat ketentuan tentang kejadian
yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak
yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak;
11. Kegagalan Bangunan, memuat ketentuan tentang
kewajiban Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa atas
Kegagalan Bangunan dan jangka waktu
pertanggungjawaban Kegagalan Bangunan;
12. Pelindungan pekerja, memuat ketentuan tentang
kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan
dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;
13. Pelindungan terhadap pihak ketiga selain para pihak dan
pekerja, memuat kewajiban para pihak dalam hal terjadi
suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian atau
menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian;
14
14. Aspek lingkungan, memuat kewajiban para pihak dalam
pemenuhan ketentuan tentang lingkungan;
15. Jaminan atas risiko yang timbul dan tanggung jawab
hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan Pekerjaan
Konstruksi atau akibat dari Kegagalan Bangunan; dan
16. Pilihan penyelesaian sengketa konstruksi.
Selain dari ke 16 syarat tersebut jika terkait dengan
perencanaan jasa konstruksi maka harus memuat tentang
ketentuan Hak Atas Kekayaan Intektual (Pasal 48).
Merujuk pada Pasal 1 angka 8 jo Pasal 47 Undang-Undang
tentang Jasa Konstruksi maka pekerjaan jasa konstruksi
merupakan suatu hubungan hukum yang dituangkan dalam
bentuk kontrak dengan memiliki syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh undang-undang. Oleh karena itu kontrak
kerja konstruksi yang dibuat sesuai dengan undang-undang
yang berlaku baik itu KUHPerdata (1320 KUHPerdata)
maupun Undang-Undang Jasa Konstruksi akan mengikat
layaknya undang-undang bagi para pihak yang telah
menyepakati/mengikatkan diri dalam kontrak dimaksud
(1338 KUHPerdata).
Di dalam KUHPerdata juga mengenal adanya bentuk-
bentuk perjanjian untuk melakukan pekerjaan yaitu terdiri
dari:6
1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu
2. Perjanjian kerja/buruh
3. Perjanjian pemborongan pekerjaan
6 R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1995, hlm. 57.
15
Dalam perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu suatu
pihak menghendaki dari pihak yang lain untuk melakukan
suatu pekerjaan dimana untuk mencapai suatu tujuan
tersebut ia bersedia membayar upah/jasa sedangkan apa
yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut dan
biasanya juga sudah ditentukan tarif jasanya.7
Pasal 1601 KUHPerdata menyatakan bahwa selain
persetujuan-persetujuan untuk melakukan sementara jasa-
jasa yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus
untuk itu dan syarat-syarat yang diperjanjikan dan jika itu
tidak ada oleh kebiasaan, maka adalah dua macam
persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainnya
untuk menerima upah, persetujuan perburuhan dan
pemborongan pekerjaan”. Berdasarkan ketentuan dalam
KUHPerdata dan bentuk-bentuk perjanjian yang ada di
KUHPerdata maka kontrak kerja konstruksi dapat
digolongkan sebagai perjanjian untuk melakukan jasa-jasa
tertentu.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas dapat
dijelaskan bahwa kontrak kerja konstruksi sebagai landasan
pengerjaan pembangunan infrastruktur merupakan suatu
hubungan hukum yang bersifat keperdataan bagi para pihak
yang secara sepakat telah mengikatkan dirinya dalam suatu
kontrak kerja konstruksi. Oleh karena itu apabila terjadi
sengketa terkait dengan pelaksanaan kontrak kerja
konstruksi baik itu karena didasari adanya suatu wanprestasi
7 Ibid. hlm. 58.
16
maupun perbuatan melawan hukum (onrechmatigdaad)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata
maka penyelesaian sengketa dimaksud melalui jalur hukum
perdata yang sengketanya dapat diselesaikan melalui
Pengadilan atau melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa.
C. Berbagai Permasalahan Hukum yang Menghambat
Pembangunan Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur pada negara berkembang
seperti Indonesia merupakan suatu hal penting karena
semakin cepat dilakukan suatu pembangunan infrastruktur
maka juga akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi
yang kemudian akan berdampak pada kesejahteraan rakyat.
Di dalam melakukan pembangunan infrastruktur dibutuhkan
suatu anggaran yang cukup besar, anggaran tersebut bisa
berasal dari APBN, APBD, dana dari BUMN, BUMD atau
melalui pihak swasta dengan penanaman modal dalam
negeri maupun dengan penanaman modal asing. Namun
untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur yang
dananya bersumber dari dana tersebut diatas seringkali
terkendala dengan beberapa aspek diantaranya yang paling
sering menghambat ialah terkait dengan aspek hukum.
Setidaknya belakangan ini ada 3 hal terkait dengan aspek
hukum yang menghambat pelaksanaan pembangunan
infrastruktur yaitu Pertama Kriminalisasi terhadap
kebijakan pejabat pemerintah sehingga membuat
penyerapan anggaran menjadi minim. Kedua Kriminlisasi
terhadap kontrak kerja konstruksi sehingga banyak
pekerjaan konstruksi menjadi terbengkalai. Ketiga masih
17
tumpang tindihnya kebijakan/peraturan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah sehingga tidak memberikan
kepastian hukum bagi para investor. Untuk lebih jelasnya
maka dibawah ini akan diuraikan lebih rinci dan
komprehensif.
1. Kriminalisasi Kebijakan Pejabat Pemerintah
Belakangan ini kita sering mendengar di media
elektronik maupun melihat dalam media cetak bahwa
pemerintah pusat akan segera mengeluarkan statement
berkali kali bahwa jangan pernah melakukan kriminalisasi
terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah baik
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Langkah ini
diambil oleh pemerintah agar pejabat publik tidak takut
untuk melakukan kebijakan agar penyerapan anggaran dapat
lebih dioptimalkan mengingat bahwa pada Semester I Tahun
2016 penyerapan Anggaran masih sangat minim
berdasarkan catatan dari Kementerian Keuangan rata-rata
kementerian dan lembaga negara penyerapannya masih
dibawah 30%. Melihat dari data tersebut diatas maka pada
semester awal ini penyerapan anggaran belum optimal, hal
ini tentu akan berdampak pada pembangunan infrastruktur
mengingat pembangunan infrastruktur salah satu
pendanaanya ialah melalui APBN.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah
suatu kebijakan dapat di kriminalisasi? Pertanyaan ini
menjadi pertanyaan yang cukup penting untuk dijawab
karena apabila suatu kebijakan memang dapat
dikriminalisasi maka hal ini tentu akan berdampak buruk
18
bagi proses pembangunan infrastruktur maupun
pembangunan nasional secara umum mengingat jika dapat
dikriminalisasi maka setiap pejabat publik akan takut
melakukan kebijakan padahal kebijakan merupakan salah
satu cara untuk mempercepat pembangunan nasional.
Kebijakan adalah berasal dari kata bijak yang menurut
Kamus Besar Bahsa Indonesia artinya selalu menggunakan
akal budi, pandai atau mahir, sedangkan kebijakan itu
sendiri adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis
besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan
atau cara bertindak dari pemerintah atau organisasi dalam
menghadapi atau menangani suatu masalah atau dapat juga
diartikan sebagai pernyataan cita-cita, tujuan atau prinsip
atau maksud sebagai garis pedoman dalam usaha mencapai
sasaran.8 Kebijakan seringkali juga disebut sebagai diskresi
atau dalam Bahasa Inggris sering disebut dengan
discression. David L. Sills mengartikan kebijakan/diskresi
sebagai suatu perencanaan atau program mengenai apa yang
akan dilakukan dalam menghadapi problem tertentu dan
cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang
telah direncanakan atau diprogramkan.9
Thomas J. Aroon mendefiniskan kebijakan atau
diskresi yaitu “discretion is power authority conferred by
law to action on the basic of judgement of conscience, and it
8 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1990. 9 Barda Nawai Arief, Kebijakan Legisatif dalam Penanggulangan
Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit UNDIP, 1994, hlm. 63.
19
use is more than idea of morals than law”. (diskresi adalah
suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan
berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinan serta
lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan moral dari
pertimbangan hukum).10 Paul B Weston juga memberikan
definisi terkait dengan diskresi yaitu a decision making has
been termed the selection of the best, the most protocol or
factory in action”. (diskresi adalah suatu cara yang
bijaksana dalam menghimpun tugasnya berdasarkan
pendekatan moral ketimbang ketentuan-ketentuan formal.11
Melihat dari definisi-definisi kebijakan/diskresi maka
dapat dikatakan bahwa kebijakan/diskresi adalah cara untuk
melakukan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan yang telah
disepakati dengan proses pelaksanaannya lebih pada
pendekatan moral ketimbang pendekatan aturan-aturan
hukum. Pertimbangan untuk tidak terlalu menitikberatkan
pada aturan hukum dikarenakan peraturan hukum belum
tentu mengatur segala sesuatu yang harus dilakukan oleh
pejabat pemerintah terhadap persoalan konkret yang sedang
dihadapi, selain itu aturan hukum cenderung kaku sehingga
apabila merujuk pada aturan hukum yang kaku atau belum
jelas tersebut dikhawatirkan tujuan yang ingin dicapai malah
justru tidak tercapai.
Secara yuridis pengertian mengenai diksresi telah
10 M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi
Kepolisian), Pradya Paramita, Jakarta, 1991, hlm. 16. 11 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 15.
20
diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang
Administrasi Pemerintahan Pada Pasal 1 angka 9
menyatakan bahwa “Diskresi adalah Keputusan dan/atau
Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang
dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal
peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan,
tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau
adanya stagnansi pemerintahan.” Diskresi merupakan
wewenang dari pejabat pemerintahan sebagaimana yang
telah diberikan oleh undang-undang. Penggunaan diskresi
ini harus sesuai dengan tujuannya dan harus mematuhi
peraturan perundang-undangan serta tidak boleh melakukan
penyalahgunaan wewenang di dalam menggunkaan diskresi.
Dalam melakukan diskresi pejabat pemerintah harus
memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24
UU No. 30 Tahun 2014 yakni:
1. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (2) yakni;
- Melancarkan penyelenggaraan pemerintah
- Mengisi kekosongan hukum
- Memberikan kepastian hukum
- Mengatasi stagnansi pemerintah dalam keadaan
tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan
umum.
2. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
3. sesuai dengan AUPB;
4. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
21
5. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
6. dilakukan dengan iktikad baik.
Apabila pejabat pemerintah dalam melaksanakan
diskresinya sudah sesuai dengan persyaratan sebagaimana
dalam Pasal 24 tersebut namun terdapat suatu kesalahan
administrasi yang merugikan keuangan negara ataupun tidak
merugikan keuangan negara maka penyelesaiaanya
dilakukan melalui mekanisme penyempurnaan
administrasi.12 Oleh karena itu sesuai dengan UU No. 30
Tahun 2004 tentang Administrasi Pemerintahan jelas bahwa
diskresi yang dilakukan secara benar oleh pejabat
pemerintah tidak dapat dilakukan proses pidana atau
dilakukan kriminalisasi. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Indriyanto Seno Adji yang mengatakan bahwa
discretionary power atau freies ermessen merupakan
kebijakan yang dapat dibagi kedalam dua bagian yaitu
kebijakan terikat dan kebijakan aktif. Dari sisi yuridis
akademis, suatu kebijakan (beleid) itu, baik sebagai
kebijakan (discretioner) yang terikat maupun kebijakan
(disretioner) yang aktif bukan merupakan ranah penilaian
hukum pidana.13
Kebijakan yang dilakukan oleh Pejabat pemerintah
dapat dilakukan tindakan pidana apabila dalam melakukan
kebijakan/diskresi menyimpang dari Pasal 22 UU No. 30
12 Liat Pasal 18 UU No.30 Tahun 2004 13 Indriyanto Seno Adji, dalam Marwan Effendy, Diskresi, Penemuan
Hukum, Korporasi & Tax Amnesty Dalam Penegakan Hukum, Referensi, Jakarta, 2012, hlm. 8.
22
Tahun 2014, dan di dalam mengambil kebijakan/diskresi
mengandung unsur penyalahgunaan wewenang atau dibalik
penetapan kebijakan/diskresi yang ditetapkannya itu pejabat
tersebut memperoleh keuntungan sendiri atau orang lain
yang akibat dari tindakan dimaksud dapat menimbulkan
kerugian negara.14
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka pada
dasarnya kebijakan/diskresi tidak dapat dipidana atau
dikriminalisasi sepanjang di dalam melaksanakan diskresi
dimaksud sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
dilandasi dengan itikad baik, namun apabila dalam
mengambil suatu kebijakan/diskresi merupakan suatu
tindakan penyalahgunaan wewenang dan memiliki niat jahat
untuk memberikan keuntungan bagi diri pribadi atau orang
lain sehingga dapat merugikan keuangan negara maka
tindakan tersebut tidak lagi dapat dikatakan sebagai tindakan
kebijakan/diskresi karena itu perbuatannya dapat dijerat
dengan ancaman pidana.
2. Kriminalisasi Kontrak Kerja Konstruksi
Pembangunan infrastruktur sangat erat kaitannya
dengan proses pelaksanaan jasa konstruksi karena
pembangunan infrastruktur selalu akan melibatkan pihak
jasa konstruksi untuk melakukan pembangunan. Pekerjaan
jasa konstruksi sebagaimana yang telah diuraikan diatas
selalu melandaskan pekerjaannya melalui kontrak kerja
14 Marwan Effendy, Kapita Selekta Hukum Pidana, Referensi
,Jakarta, 2011, hlm. 123.
23
konstruksi antara pengguna jasa konstruksi dan pelaksana
jasa konstruksi, hal tersebut sesuai dengan yang
diamanahkan dalam UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa
Konstruksi. Kontrak kerja konstruksi tersebut sangat
penting sebagai acuan dalam mengerjakan pekerjaan
konstruksi sehinga apabila ada yang tidak sesuai dengan
kontrak yang disepakati maka hal tersebut dapat
diselesaikan baik secara musyawarah maupun melalui
pranata hukum yang ada.
Kontrak kerja konstruksi merupakan hubungan hukum
yang bersifat keperdataan antara pihak pengguna jasa
konstruksi dengan pelaksana jasa konstruksi, hubungan
hukum tersebut secara umum diatur dalam Pasal 1313
KUHPerdata tentang Perikatan, Pasal 1320 KUHPerdata
tentang syarat sahnya kontrak/perjanjian dan Pasal 1338
KUHPerdata tentang mengikatnya suatu kontrak bagi para
pihak yang membuatnya, sedangkan secara khusus
persyaratan isi kontrak dijelaskan dalam Pasal 47 UU No. 2
Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Oleh karena itu
pihak-pihak yang telah membuat kontrak jasa konstruksi
harus mematuhi kontrak yang telah disepakati karena
kontrak tersebut mengikat bagi para pihak yang
membuatnya. Terhadap pelaksanaan suatu kontrak secara
umum ada 3 macam hal yang dapat dimintakan
pelaksanaannya/prestasinya yakni:15
a. Menyerahkan suatu barang
15 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermesa, Jakarta,
1984, hlm. 122
24
b. Melakukan suatu perbuatan
c. Tidak melakukan suatu perbuatan
Ketiga jenis permintaan pelaksanaan/prestasi tersebut dapat
dilihat dari isi kontrak kerja konstruksi yang telah dibuat
dan disepakati.
Kesepakatan dalam kontrak kerja tersebut wajib
dilaksanakan karena apabila tidak dilaksanakan maka akan
ada konsekuensi hukumnya secara keperdataan. Menurut
R. Subketi ada 4 cara yang dapat dituntut apabila salah satu
pihak yang telah menyepakatkan dirinya tidak
melaksanakan kewajiban/prestasinya yakni:16
a. Meminta kepada pihak yang tidak melaksanakan
kewajibannya untuk melaksanakan kewajibannya
sesuai dengan kontrak/perjanjian yang disepakati
b. Meminta penggantian kerugian saja kepada pihak
yang tidak melaksanakan kewajibannya yaitu
kerugian yang dideritanya, karena perjanjian tidak
atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan
tetapi tidak sebagaimana mestinya.
c. Meminta kepada pihak yang tidak melaksanakan
kewajibannya untuk melaksanakan kewajibannya
sebagaimana yang telah diperjanjikan disertai
dengan permintaan penggantian kerugian sebagai
akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian
d. Dalam hal suatu perjanjian yang meletakkan
kewajiban timbal balik, kelalaian satu pihak
16 Ibid. hlm. 147-148.
25
memberikan hak kepada pihak yang lain untuk
meminta kepada hakim supaya perjanjian
dibatalkan, disertai dengan permintaan
penggantian kerugian.
Keempat hal tersebut dapat dilakukan penuntutannya ke
pranata hukum yang telah disediakan oleh undang-undang
dan tergantung dari pihak yang membuat kontrak. Apabila
di dalam kontrak disepakati jika terjadi sengketa,
penyelesaiannya melalui pengadilan maka proses
penyelesaiaannya akan dilaksanakan melalui pengadilan
akan tetapi jika di dalam kontrak disepakati bahwa proses
penyelesaiaannya melalui badan arbitrase maka proses
penyelesaiannya akan dilakukan melalui Badan Arbitrase.
Dari penjelasan tersebut diatas jelas bahwa sengketa
kerja konstruksi merupakan ranah hukum perdata, hal
tersebut tercermin dari segala pengaturannya mulai dari
pembuatan kontrak hinggga proses penyelesaian apabila
kontrak tidak dilaksanakan diatur dalam KUHPerdata. Oleh
karena itu sengketa terkait dengan kontrak adalah murni
ranah perdata dan bukan ranah pidana.
Selanjutnya yang sering menjadi pertanyaan apakah
kontrak kerja konstruksi dapat dikenakan sanksi pidana?
Pertanyaan ini cukup penting mengingat seringkali terjadi
dalam pengerjaan pembangunan infrastruktur melalui
pekerjaan jasa konstruksi dikenakan sanksi tindak pidana
korupsi. Dalam tulisan ini akan dibahas proses pelaksanaan
pekerjaan jasa konstruksi yang seperti apa yang dapat dijerat
dengan tindak pidana korupsi.
Pekerjaan jasa konstruksi yang seringkali masuk ke
26
ranah tindak pidana korupsi adalah pada saat proses tender
yaitu proses sebelum pelaksanaan pekerjaan jasa konstuksi
akan tetapi dalam beberapa kasus ada juga terkait dengan
kontrak jasa konstruksi yang masuk ke wilayah tindak
pidana korupsi pada saat pelaksanaan pekerjaan jasa
konstruksi. Marwan Effendy membagi kedalam 6 tindakan
yang sering mengarah kepada tindak pidana korupsi dalam
proses tender pengadaaan barang/ jasa (termasuk pengadaan
jasa konstruksi) yakni:17
a. Pembentukan panitia lelang, yang menjadi
problem dalam hal ini biasanya terkait dengan
integritas yakni apabila dalam kepanitiaan
terdapat salah seorang oknum yang biasa
melakukan KKN, maka dapat mendorong
kedekatan dengan rekanan.
b. Perkualifikasi Perusahaan, hal ini terkait
dengan meloloskan perusahaan yang tidak
memenuhi syarat, baik administratif maupun
teknis (biasanya syarat administrative sering
diabaikan dengan alasan bisa menyusul, tetapi
setelah ditetapkan sebagai pemenang, syarat
tersebut tidak terpenuhi.
c. Mekanisme Penunjukan dan Pengadaan
Langsung, hal ini berkaitan dengan seringkali
suatu proyek tidak boleh dengan penunjukan
langsung melainkan harus melalui mekanisme
17 Marwan Effendy, Kapita Selekta….., op.cit. hlm. 99.
27
lelang akan tetapi dengan alasan tertentu
dilakukan penunjukan langsung padahal hal
demikian tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
d. Penentuan harga perkiraan sendiri (HPS), hal
ini sering dijadikan celah bagi oknum-oknum
tertentu untuk melakukan mark-up harga,
penggelembungan anggaran, telah melibatkan
rekanan calon pemenang dengan penawaran harga
yang sudah dilakukan penggelembungan.
e. Indikasi mark-up dan kecurangan dalam
proses tender, dalam hal ini serinngkali
dilakukan mark-up anggaran atau bentuk
kecurangan lain seperti menerima suap,
penggelapan serta pengadaan barang dan jasa
fiktif. Selain itu di daerah tertentu seringkali
pemerintah daerah melakukan praktek tender
“bergilir” yang diberikan oleh pemerintah daerah
secara bergiliran kepada pengusaha yang
merupakan rekanannya.
f. Turut serta dalam pemborongan, Di dalam
praktek seringkali ditemukan adanya arahan dari
pejabat-pejabat tertentu di suatu lembaga
departemen atau non departemen atau kepala
daerah atau kepala satuan kerja baik langsung
maupun tidak langsung memerintahkan untuk
memenangkan perusahaan-perusahaan tertentu.
Apabila hal demikian yang terjadi sebagaimana yang
28
dinyatakan diatas dalam proses tender pengadaan jasa
konstruksi maka menurut hemat penulis penyelesaiannya
dapat dilakukan melalui ranah hukum pidana karena sudah
terpenuhi prinsip actus reus dan mens rea yaitu sudah ada
tindakan yang melawan hukum dengan diikuti suatu
tindakan yang salah serta sudah terdapat niat jahat yang
mendasari perbuatannya sehingga perbuatanya tersebut
dapat dipertanggung jawabkan secara pidana
Selain daripada proses sebelum pelaksanaan
pengerjaan jasa konstruksi untuk melakukan pembangunan
infrastruktur, seringkali juga dilakukan upaya hukum pidana
khususnya tindak pidana korupsi dalam hal terjadi tindakan
yang menyalahi kontrak kerja konstruksi. Sebagai contoh
apabila ada proyek pembangunan gedung yang mana
dipersyaratkan dalam kontrak kerja konstruksi bahwa
pembangunan tersebut harus menggunakan Batu Bata Jenis
A akan tetapi dalam proses pelaksanaanya pelaksana jasa
konstruksi menggunakan Batu Bata Jenis B yang notabene
harganya lebih murah. Akibat dari tindakan tersebut tentu
merugikan keuangan negara, akan tetapi tindakan dimaksud
tidak dapat dimasukkan ke ranah hukum pidana mengingat
pekerjaan yang dilakukan oleh pelaksana jasa konstruksi
berdasarkan pada kontrak kerja konstruksi. Apabila terjadi
perbuatan yang tidak sesuai dengan kesepakatan kontrak
kerja konstruksi tindakan tersebut merupakan tindakan
wanprestasi yang merupakan ranah hukum perdata dan
untuk mengembalikan kerugian keuangan negara akibat dari
tindakan wanprestasi maka dapat ditempuh melalui jalur
hukum perdata yakni melalui pengadilan atau melalui Badan
29
Arbitrase. Namun apabila tindakan tersebut didasarkan pada
suatu tindakan kecurangan, manipulatif, suap dll maka hal
tersebut barulah dapat ditarik ke ranah hukum pidana
(tindak pidana korupsi)
Penyelesaian sengketa kontrak memang sudah
seharusnya menjadi ranah hukum perdata dan bukan
merupakan ranah hukum pidana. Hal ini sejalan dengan
Pasal 11 ICCPR yang menegaskan “No one shall be
imprisioned merely on the ground of inability to fulfill a
contractual obligation”. Selain itu hukum pidana memiliki
sifat sebagai ultimum remedium (sarana terakhir) karena itu
setiap permasalahan yang berbasis pada kontraktual
meskipun di dalam pelaksanaan kontrak tersebut ada
kesalahan yang mengakibatkan kerugian negara maka
prosedurnya tetap harus melalui hukum perdata.
3. Tumpang tindih kebijakan/peraturan pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah sehingga tidak memberikan
kepastian hukum
Salah satu Penghambat pembangunan infrastruktur di
Indonesia yakni terkait dengan kebijakan/peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Seringkali dikeluhkan oleh banyak investor bahwa
kebijakan pemerintah di daerah dan pusat selain sering
bertentangan juga selalu berubah-ubah. Tumpang tindihnya
peraturan yang diikuti dengan kebijakan/peraturan yang
berubah membawa suatu ketidakpastian hukum sehingga
menyulitkan bagi para investor untuk melakukan investasi.
30
Selain itu rumitnya proses perizinan karena harus meminta
persetujuan dari beberapa instansi terkait dan seringkali
diikuti dengan praktek pungli (pungutan liar) menyebabkan
sulitnya para investor untuk mengukur berapa biaya yang
dia harus keluarkan untuk melakukan investasi di wilayah
dan di bidang tertentu. Ketidakpastian hukum yang seperti
ini harus dapat segera dibenahi agar investor dapat dengan
mudah menginvestasikan dananya dalam proyek
pembangunan infrastruktur di berbagai bidang.
D. Penyelesaian Sengketa di Bidang Jasa Konstruksi
Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya bahwa
sengketa terkait dengan pekerjaan di bidang jasa konstruksi
adalah merupakan sengketa keperdataan. Hal tersebut
didasari karena suatu pengerjaan jasa konstruksi didasarkan
pada kontrak kerja konstruksi yang mana apabila terjadi
sengketa terhadap kontrak kerja konstruksi upaya yang
dapat dilakukan adalah melalui gugatan keperdataan.
Terkait dengan proses penyelesaian apabila terjadi
sengketa di bidang jasa konstruksi, Undang-Undang No. 2
Tahun 2017 tentang jasa konstruksi dan Peraturan
Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dalam Peraturan
Pemerintah No. 59 Tahun 2010 telah mengatur proses
penyelesaian sengketa di bidang jasa konstruksi yakni
sebagai berikut:
31
Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang
Jasa Konstruksi
BAB XI
Penyelesaian Sengketa
Pasal 88
1) Sengketa yang terjadi dalam Kontrak Kerja Konstruksi
diselesaikan dengan prinsip dasar musyawarah untuk
mencapai kemufakatan.
2) Dalam hal musyawarah para pihak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mencapai suatu
kemufakatan, para pihak menempuh tahapan upaya
penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak
Kerja Konstruksi.
3) Dalam hal upaya penyelesaian sengketa tidak tercantum
dalam Kontrak Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), para pihak yang bersengketa membuat
suatu persetujuan tertulis mengenai tata cara penyelesaian
sengketa yang akan dipilih.
4) Tahapan upaya penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. mediasi;
b. konsiliasi; dan
c. arbitrase.
32
5) Selain upaya penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b, para pihak
dapat membentuk dewan sengketa.
6) Dalam hal upaya penyelesaian sengketa dilakukan
dengan membentuk dewan sengketa sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), pemilihan keanggotaan dewan
sengketa dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalitas
dan tidak menjadi bagian dari salah satu pihak.
Yang dimaksud dengan “dewan sengketa” dalam ayat (5)
adalah tim yang dibentuk berdasarkan kesepakatan para pihak
sejak pengikatan Jasa Konstruksi untuk mencegah dan
menengahi sengketa yang terjadi di dalam pelaksanaan
Kontrak Kerja Konstruksi.
Berdasarakan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000
tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana
telah diubah dalam Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun
2010
BAB VI : PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 49
(1) Penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan
jasa konstruksi di luar pengadilan dapat
dilakukan dengan cara :
a. melalui pihak ketiga yaitu :
33
1) mediasi (yang ditunjuk oleh para pihak atau
oleh Lembaga Arbitrase dan Lembaga
AlternatifPenyelesaian Sengketa);
2) konsiliasi; atau
b. arbitrase melalui Lembaga Arbitrase atau
Arbitrase Ad Hoc.
(2) Penyelesaian sengketa secara mediasi atau
konsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a dapat dibantu penilai ahli untuk
memberikan pertimbangan profesional aspek
tertentu sesuai kebutuhan.
Merujuk pada aturan-aturan tersebut diatas yang
mengatur terkait dengan tata cara penyelesaian sengketa
apabila terjadi sengketa dalam bidang jasa konstruksi secara
garis besar ada dua cara dalam menyelesaikan sengketa
yakni melalui proses peradilan atau dengan cara alternatif
penyelesaian sengketa yaitu dengan mediasi, konsiliasi,
negosiasi, konsultasi atau melalui arbitrase. Proses
penyelesaian sengketa dengan menggunakan metode
alternative penyelesaian sengketa (diluar pengadilan) tata
cara telah diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa “Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
34
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”,
Pasal 1 ayat (10) “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.” Pasal 34 ayat (1)
“Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan
dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau
internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.”
Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa
perdata diluar dari peradilan umum (alternatif penyelesaian
sengketa) yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Artinya adalah apabila para pihak ingin menyelesaikan
perselisihannya dengan menggunakan Arbitrase maka harus
disepakati terlebih dahulu untuk menggunakan Arbitrase
apabila tidak disepakati maka proses penyelesaiannya
dilakukan melalui Pengadilan.
V PENUTUP
Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat di tarik suatu
konklusi bahwa pembangunan infrastruktur disuatu negara
merupakan suatu keharusan agar pertumbuhan ekonomi
dapat meningkat yang kemudian dengan besarnya
pertumbuhan ekonomi tersebut akan memberikan
kesejahteraan bagi rakyat. Namun untuk meningkatkan
pembangunan infrastruktur harus dilakukan berbagai
pembenahan di bidang hukum yakni terkait dengan
seringnya terjadi kriminalisasi terhadap kebijakan,
35
kriminalisasi terhadap kontrak kerja konstruksi, dan masih
banyaknya aturan yang tumpang tindih antara peraturan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan
dilakukannya pembenahan seperti hal dimaksud maka besar
harapan penyerapan anggaran akan semakin baik, dan minat
investor untuk berinvestasi juga akan semakin baik sehingga
dengan demikian diharapakan pertumbuhan pembangunan
infrastruktur akan semakin membaik.
Dalam melakukan suatu pembangunan infrastruktur
tentu tidak mugkin untuk menihilkan terjadinya sengketa
akan tetapi sengketa tersebut harus diselesaikan sebaik dan
seadil mungkin sehingga pihak-pihak yang bersegketa tetap
dapat memperoleh keadilan dan kepastian hukum. Selain itu
seringkali pihak perusahaan apabila terjadi perselisihan
terhadap perselisihannya tersebut mereka tidak ingin
diketahui oleh publik dan dalam penyelesaian sengketa
dapat memberikan penyelesaian yang bersifat win win
solution, serta dalam proses penyelesaiannya dapat diproses
secara cepat, terkait dengan hal tersebut maka penyelesaian
sengketanya dapat diselesaikan melalui badan arbitrase yang
pengaturan dan prosedurnya sudah di tetapkan dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
36
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legisatif dalam
Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,
Badan Penerbit UNDIP, 1994.
Budiono, Herlien, Asas Keseimbangan bagi Hukum
Perjanjian Indonesia; Hukum Perjanjian
Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006.
Effendy, Marwan, Diskresi, Penemuan Hukum, Korporasi &
Tax Amnesty Dalam Penegakan Hukum, Referensi,
Jakarta, 2012.
, Kapita Selekta Hukum Pidana, Referensi
,Jakarta, 2011.
Faal, M. , Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi
Kepolisian), Pradya Paramita, Jakarta, 1991.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1990.
Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002.
Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermesa,
Jakarta, 1984.
37
, Hukum Perjanjian, Intermesa, Jakarta, 1996.
, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1995.
Syaifudin, Muhammad, Hukum Kontrak Memahami Kontrak
Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik dan
Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum
Perikatan), CV. Mandar Maju, Bandung, 2012.
http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/07/02/nq
v52c-menkeu-pemerintah-berhasil-kendalikan-inflasi-saat-
ramadhan diakses pada tanggal 31 Agustus 2015.
38