1
PENURUNAN KADAR CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD) DAN
AMONIA PADA AIR LINDI DENGAN METODE CONSTRUCTED
WETLAND ALIRAN SUBSURFACE FLOW MENGGUNAKAN TANAMAN
SCIRPUS GROSSUS (Studi Kasus : TPST Bantar Gebang)
Diza Rahmania Zawatki
1 dan Cindy Rianti Priadi
2
1,2
Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok 1624, Indonesia
E-mail : [email protected]
Abstrak
Lindi hasil pengolahan IPAS III TPST Bantar Gebang yang dibuang ke badan air masih mengandung zat pencemar
COD dan amonia dengan konsentrasi yang tinggi. Konsentrasi COD dan amonia akan menurukan kualitas badan air
dan ekosistemnya jika tidak dilakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang. Penelitian skala laboratorium
menggunakan lahan basah buatan dilakukan menurunkan konsentrasi COD dan amonia pada air lindi IPAS III TPST
Bantar Gebang. Penelitian dilakukan menggunakan reaktor (50x25x40 cm) yang ditanami 6 batang Scirpus grossus
dengan media tanam kerikil dan tanah merah, dengan variasi waktu tinggal 2 4, 6, 8, dan 10 hari. Nilai k (laju
penurunan) dari perhitungan kinetika orde-1 untuk COD dan amonia adalah 0,1044 hari-1
dan 0,1108 hari-1
. Hasil
penelitian menunjukkan efisiensi penyisihan COD dan amonia yang paling baik pada lahan basah buatan didapatkan
pada hari ke-10 penelitian dengan efisiensi sebesar 70,4% dan 75,8%. Lahan basah buatan dapat digunakan sebagai
pengolahan lanjutan yang tepat untuk menurunkan konsentrasi COD dan amonia pada air lindi IPAS III TPST Bantar
Gebang, dengan waktu tinggal optimum untuk menurunkan konsentrasi keduanya sesuai baku mutu berdasarkan
hasil perhitungan kinetika orde-1 adalah 12 hari dan 24 hari.
Kata Kunci : Scirpus grossus, Air Lindi, Waktu Tinggal, COD, Amonia
DECREASED LEVELS OF CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD) AND AMMONIA
IN LEACHATE WITH SUBSURFACE FLOW CONSTRUCTED WETLAND METHOD
USING SCIRPUS GROSSUS (Case Study: Bantar Gebang Landfill)
Abstract
Leachate from IPAS III Bantar Gebang that discharged into the stream still contain of COD and ammonia in high
concentrations. Both concentrations will decreased the quality of the stream and ruined the aquatic ecosystems if it’s
not processed well before discharged. A laboratory-scale research using constructed wetland has been done to
reduced the concentration of COD and amonia that contain in landfill leachate from IPAS III TPST Bantar Gebang.
This research used a reactor with the dimension of 50x25x40 cm which was planted by 6 stems of (Scirpus grossus)
plant on the growing media that consists of gravel and red soil, with variation of time 2, 4, 6, 8, and 10 days. The
value of k (decrease rate) for COD and ammonia was 0,1044 day-1
and 0,1108 day-1
. The results show that the best
removal efficiency of COD and ammonia in this study was in the tenth day with the efficiency of 70,4% and 75,8%.
Constructed wetlands can be used as an appropriate advanced treatment to reduce COD and ammonia that contain in
leachate IPAS III TPST Bantar Gebang, with the optimum time to reach the quality standard based on the first-order
kinetics calculations is 12 days and 24 days.
Keywords : Scirpus grossus, Leachate, Hydraulic Retention Time (HRT), COD, Ammonia
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
2
Pendahuluan
TPST Bantar Gebang mulai dioperasikan pada tahun 1988 untuk menangani sampah yang
sebagian besar berasal dari Jakarta. Pengolahan akhir sampah yang diterapkan pada TPST Bantar
Gebang adalah sistem sanitary landfill. Timbulan sampah pada sanitary landfill akan
menghasilkan limbah cair yang disebut dengan lindi sebagai hasil dari penetrasi air hujan atau air
yang berada di sekitar timbulan sampah (Farquhar, 1989). Air lindi mengandung zat pencemar
yang tinggi, sehingga berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan apabila mencemari air tanah atau
badan air. Air lindi yang tidak melalui proses pengolahan juga berbahaya bagi kesehatan
manusia. Terganggunya kesehatan dan pencemaran harus dicegah, salah satunya dengan
menerapkan sistem pengolahan air lindi.
TPST Bantar Gebang sudah memiliki 4 zona Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS) untuk
mengolah air lindi, namun zona IPAS III masih belum maksimal dalam mengolah air lindinya.
Air lindi hasil pengolahan IPAS III TPST Bantar Gebang masih tinggi kandungan pencemar pada
kolam efluen, sehingga dibutuhkan pengolahan lanjutan untuk mengolah air lindi sebelum
dibuang ke badan air. Terdapat beberapa metode alternatif pengolahan yang digunakan sebagai
pengolahan lanjutan untuk mengolah air lindi. Metode alternatif pengolahan air lindi terbagi ke
dalam tiga jenis proses, yaitu secara biologis, fisika, dan kimiawi (Tchnobanoglous, et. al., 1998).
Pengolahan secara fisika dan kimia cenderung lebih mahal untuk dijadikan pengolahan lanjutan
sebuah instalasi pengolahan air lindi. Selain itu, teknologi pengolahan dengan proses fisika dan
kimiawi akan membutuhkan energi besar serta tenaga ahli yang cukup handal dalam
pengoperasiannya.
Sementara itu, pengolahan biologis adalah pengolahan air lindi yang relatif murah dibandingkan
dengan pengolahan fisika/kimia, dan umumnya melibatkan makhluk hidup seperti
mikroorganisme atau tumbuhan untuk keberlangsungan prosesnya. Lahan basah buatan
(constructed wetlands) adalah teknologi pengolahan air lindi secara biologis yang akan
digunakan pada penelitian ini. Penerapan teknologi pengolahan secara biologis yang relatif
mudah dan murah menjadikan lahan basah buatan dipilih sebagai pengolahan lanjutan air lindi di
IPAS III TPST Bantar Gebang.
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
3
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa efisiensi penyisihan konsentrasi COD dan
amonia terhadap waktu tinggal, menggunakan metode constructed wetland. Constructed wetland
akan diterapkan sebagai pengolahan lanjutan pada IPAS III TPST Bantar Gebang menggunakan
tanaman Lingi (Scirpus grossus). Tanaman Scirpus grossus dipilih dengan tujuan untuk
memberikan alternatif tanaman yang dapat digunakan pada lahan basah buatan, sehingga tidak
lagi menggunakan tanaman yang umumnya dikonsumsi oleh manusia. Selain itu pemilihan
tanaman juga didasarkan terhadap kemudahan dalam memperoleh tanamannya, dimana Scirpus
grossus banyak ditemukan tumbuh liar di tepi kolam dan di rawa-rawa. Pemilihan tanaman juga
didasarkan pada nilai ekonomis, dimana Scirpus grossus sering digunakan sebagai pupuk,
benang, sumber pati, bahan baku tikar dan tali, dan obat tradisional di India.
Tinjauan Teoritis
Lahan basah buatan (constructed wetlands) menjadi alternatif metode pengolahan air lindi
dengan proses biologis yang membutuhkan biaya operasi yang murah dan mudah untuk
perawatanya. Constructed wetland adalah sistem pengolahan secara alami yang melibatkan alam
dalam prosesnya, seperti tumbuhan dan mikroorganisme (EPA, 2000). Constructed wetland
terbagi menjadi empat tipe aliran, yaitu Free Water Surface (FWS), Subsurface-Flow, Floating
Aquatic Plant Systems, dan Combination Systems (Tchnobanoglous et, al., 1998).
Penelitian kali ini akan menggunakan lahan basah buatan dengan tipe subsurface-flow (aliran
bawah permukaan) dengan aliran horizontal. Metode ini dipilih karena pada sistem ini air lindi
akan mengalir di bawah permukaan, sehingga air lindi tidak memiliki kontak langsung terhadap
manusia, hewan, dan tidak terbentuk sarang nyamuk atau serangga lainnya (EPA, 2000). Selain
itu, penerapan sistem lahan basah buatan aliran horizontal ini juga dapat mencegah timbulnya bau
yang tidak sedap akibat air yang tergenang pada permukaan media tumbuh (Kopec, 2007; EPA,
1993).
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa efisiensi penurunan kandungan pencemar pada air lindi
dengan sistem lahan basah buatan aliran secara vertikal mencapai presentase 63,4% untuk COD,
57,6% untuk nitrit, dan 59% untuk nitrat (Gunawan, et. al, 2012). Efisiensi penurunan ini juga
dibuktikan oleh Satya et al. (2011), dimana efisiensi penyisihan kandungan pencemar pada
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
4
limpasan air lindi mencapai angka 93,88% untuk NH3, 85,82% untuk TN, 50,76% untuk COD,
dan 29,8%-53,8% untuk BOD5. Meskipun dibutuhkan waktu tinggal yang cukup lama untuk
menurunkan kandungan pencemar terutama kandungan organik, namun efisiensi penurunannya
menggunakan lahan basah buatan dapat mencapai 80-90% (Yalcuk dan Ugurlu, 2009).
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penerapan lahan basah buatan ini adalah media dan
jenis tanaman. Media yang akan digunakan harus memiliki ukuran yang sama, hal ini untuk
menghindari pengendapan material di antara celah antar media (Kopec, 2007). Pemilihan ukuran
dan tipe media juga dilakukan untuk menghindari penyumbatan pada zona inlet, yang seringkali
menyebabkan terjadinya luapan air lindi di permukaan lahan basah. Penyumbatan pada zona inlet
dari reaktor pengolahan dapat diatasi dengan media kerikil berdiameter ±50 mm yang diletakkan
di sekitar zona inlet (Suswati dan Wibisono, 2013).
Tanaman yang dipilih haruslah yang dapat tumbuh di hampir segala kondisi, dan bukan
merupakan tanaman yang dikonsumsi oleh manusia. Scirpus grossus adalah sebuah tanaman
yang tegak, kuat, dan berbentuk segitiga dengan tinggi sekitar 1,5-2 m. Tanaman ini banyak
ditemukan tumbuh di tepi kolam dan di rawa-rawa. Scirpus grossus memiliki daun yang panjang
antara 50-80 cm dengan lebar 1,5-2 cm yang berbentuk runcing pada bagian ujungnya. Batang
tanaman ini berumbai dan pangkal berbentuk umbi kecil.
Metode Penelitian
Penelitian skala laboratorium ini dilaksakan pada bulan Desember 2014 hingga Maret 2015
dengan penempatan reaktor yang berlokasi di Gedung Engineering Center, dan pengujian
dilakukan di Laboratorium Penyehatan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.
Penelitian ini akan dilakukan secara duplo untuk mengamati efisiensi penyisihan konsentrasi
COD dan amonia yang terdapat pada air lindi efluen IPAS III TPST Bantar Gebang, dengan
variasi waktu tinggal yang telah ditentukan. Pengumpulan data dan analisis data akan dilakukan
secara kuantitatif.
Penyediaan alat dan bahan
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
5
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerikil, tanah merah, air lindi dari
kolam efluen IPAS III TPST Bantar Gebang, dua buah reaktor, dan tanaman Scirpus grossus.
Tanaman Scirpus grossus dikenal dengan Lingi di Indonesia merupakan tanaman dengan tinggi
sekitar 1,5-2 m yang banyak ditemukan tumbuh di tepi kolam dan di rawa-rawa. Pada penelitian
ini digunakan tanaman dengan ketinggian ±30 cm sebanyak 6 buah untuk masing-masing reaktor.
Tanaman Scirpus grossus ditunjukkan pada Gambar 1.
Pembuatan reaktor
Reaktor lahan basah terbuat dari kaca dengan tebal 8 mm yang berdimensi 50 cm x 25 cm x 40
cm. Pada penelitian ini digunakan dua buah reaktor dengan jenis aliran bawah permukaan, yang
diberi nama reaktor A dan reaktor B. Reaktor A merepresentasikan running pertama, dan reaktor
B merepresentasikan running kedua. Zona inlet dan outlet dari reaktor diisi dengan media kerikil
(diameter 30-50 cm) setebal 30 cm. Sementara untuk media tanamnya disusun media kerikil
(diameter 10-25 cm) setebal 10 cm dan tanah merah setebal 20 cm, yang kemudian ditanami
Scirpus grossus dengan jarak antar tanaman adalah 10 cm. Reaktor lahan basah ditunjukkan pada
Gambar 2.
Gambar 1. Scirpus grossus
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
6
Pengoperasian reaktor
Penelitian dilakukan secara batch, dimana air lindi yang dialirkan ke dalam reaktor kemudian
didiamkan hingga waktu tinggal yang direncanakan dan kemudian diuji di laboratorium. Tahap
awal pengoperasian reaktor adalah tahap aklimatisasi yang dilakukan selama 30 hari, dengan
penggantian air lindi secara bertahap (dicampur dengan air bersih dengan penambahan volume
air lindi sebesar 25%) setiap 2 hari. Pada tahap aklimatisasi diamati efisiensi penurunan COD
serta kondisi pH dan suhu. Efisiensi penurunan COD yang stabil menunjukkan reaktor lahan
basah siap untuk melanjutkan ke tahap penelitian. Variasi waktu tinggal pada tahap penelitian
adalah 2, 4, 6, 8, dan 10 hari. Sampel yang akan diuji diambil secara grab sample dari kran efluen
reaktor. Parameter utama yang diuji adalah COD dan amonia, dengan parameter kontrolnya
adalah pH dan suhu.
Analisis data
Gambar 2. Reaktor Lahan Basah
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
7
Data yang dianalisa berasal dari pengumpulan data untuk dua kali percobaan, yang kemudian
diambil rata-rata efisiensinya. Persentase penurunan kandungan COD dan amonia dalam sistem
lahan basah buatan dapat dihitung menggunakan rumus efisiensi sebagai berikut :
Keterangan :
Co : Konsentrasi awal
Ct : Konsentrasi akhir
Perhitungan waktu tinggal optimum untuk menurunkan konsentrasi COD dan amonia dilakukan
dengan reaksi kinetika orde-1 sebagai berikut :
Keterangan :
Co : Konsentrasi influen
t : Durasi periode pengamatan
k : Laju penurunan konsentrasi
Hasil penelitian
Karakteristik Air Lindi
Air lindi yang menjadi objek studi pada penelitian ini berasal dari efluen IPAS III TPST Bantar
Gebang. Sebelum melakukan penelitian, penting untuk diketahui bagaimana karakteristik dari air
lindi tersebut. Pengujian laboratorium dilakukan terhadap air lindi IPAS III TPST Bantar Gebang
pada bulan Januari hingga April 2015. Hal ini dilakukan untuk melihat fluktuasi data
karakteristik air lindi ini pada bulan tersebut, dengan musim yang berbeda. Hasil pengujian
( )
(1)
(
) (2)
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
8
karakteristik air lindi efluen IPAS III TPST Bantar Gebang bulan Januari-April 2015 dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik Air Lindi Efluen IPAS III TPST Bantar Gebang
No. Parameter Satuan Baku
Mutu
Januari
2015
Februari
2015
Maret
2015 April 2015
1 pH - 6,0-9,0 6 6,5 6 5,3
2 Temperatur oC 38 27,8 27,2 27,6 27,1
3 Zat padat suspensi
(TSS) mg/L 200 13 - - 15
4 BOD5 mg/L 50 207 - - 43
5 COD mg/L 100 597 303 402 133
6 Amonia-nitrogen
(NH3-N) mg/L 5 <0,01 120 120 82
7 Nitrat (NO3-N) mg/L 20 113,3 - - 124
8 Nitrit (NO2-N) mg/L 1 0,725 - - 14
9 Kadmium (Cd) mg/L 0,05 <0,002 - - <0,002
10 Khromium VI
(Cr6+
) mg/L 0,1 <0,01 - - <0,01
12 Khromium total
(Cr) mg/L 0,5 <0,003 - - <0,003
13 Tembaga (Cu) mg/L 2 <0,009 - - <0,009
14 Seng (Zn) mg/L 5 <0,008 - - 0,1
15 Besi terlarut (Fe) mg/L 5 <0,003 - - <0,003
16 Mangan terlarut
(Mn) mg/L 2 1 - - 1
Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa konsentrasi BOD dan COD pada air lindi efluen IPAS
III ini sangat fluktuatif dari bulan Januari-April 2015. Pengambilan sampel di bulan Januari 2015
dilakukan pada cuaca yang cerah dengan paparan matahari yang sangat terik. Kondisi cuaca
sedang tidak hujan pada bulan Januari yang berarti tidak ada pencampuran air hujan dengan air
lindi, sehingga konsentrasi COD mencapai 597 mg/L, dan BOD sebesar 207 mg/L. Pada bulan
Februari, pengambilan sampel dilakukan pada kondisi hujan sehingga konsentrasi COD sempat
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
9
mengalami penurunan akibat adanya pengenceran air lindi oleh air hujan. Konsentrasi COD
mengalami peningkatan di bulan Maret, sebesar 402 mg/L. Sementara itu, hasil pengujian
karakteristik di bulan April menunjukkan konsentrasi BOD dan COD yang menurun secara
signifikan dan hampir memenuhi baku mutu, dimana saat dilakukan pengambilan sampel sedang
turun hujan. Hujan yang turun berlangsung kurang lebih hampir setiap hari dalam seminggu,
dengan intensitas yang tinggi. Hal ini menyebabkan terjadi pencampuran air lindi dengan air
hujan, sehingga konsentrasi BOD dan COD sangat rendah masing-masing sebesar 43 mg/L dan
133 mg/L.
Parameter lain yang diuji untuk melihat karakteristik air lindi pada penelitian ini adalah
kandungan Total Suspended Solids (TSS). Hasil pengujian menunjukkan kandungan TSS pada air
lindi efluen ini sudah memenuhi baku mutu di bulan Januari dan April 2015. Untuk konsentrasi
amonia diperoleh hasil pengujian di bulan Januari sangat rendah, yaitu sebesar <0,01 mg/L dan
pada bulan April sebesar 82 mg/L. Pengujian karakteristik ini juga memeriksa kandungan nitrat
dan nitrit pada air lindi efluen IPAS III. Berdasarkan hasil pengujian, dapat dilihat bahwa
konsentrasi nitrit lebih rendah pada bulan Januari dibandingkan dengan bulan April. Sementara
itu, pengujian nitrat menunjukkan hasil konsentrasi nitrat yang tinggi dan melebih baku mutu
yang ditetapkan.
Hasil pengujian terhadap konsentrasi logam berat menunjukkan hampir semua logam berat yang
diuji berada di bawah 1 mg/L kecuali konsentrasi mangan yang bernilai 1 mg/L. Sementara untuk
pH berada pada rentang yang asam dari bulan Januari-April, yaitu berada pada rentang 5,3-6,5.
Suhu air lindi pada bulan Januari-April dipengaruhi oleh kondisi cuaca, yang berada pada rentang
27,1-27,8°C.
Penelitian dilakukan sebanyak 2 kali running untuk memperoleh variasi data yang kemudian
dihitung rata-rata efisiensi penyisihannya untuk dianalisa. Dua kali running pada penelitian ini
dilakukan dengan 2 reaktor, dimana running 1 direpresentasikan dengan reaktor A dan running 2
direpresentasikan dengan reaktor B. Hasil penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 3.
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
10
Berdasarkan Gambar 3, efisiensi penyisihan COD dan amonia terus meningkat dari waktu tinggal
2 hari hingga 10 hari. Efisiensi penyisihan amonia mencapai lebih dari 50% pada waktu tinggal 2
hari, sedangkan untuk COD berada dibawah 50%. Namun, pada waktu tinggal 4 hari hingga 10
hari, peningkatan efisiensi yang signifikan terjadi pada penyisihan COD. Peningkatan efisiensi
penyisihan COD semakin tinggi setiap harinya, berbeda dengan efisiensi amonia yang
peningkatannya tidak terlalu signifikan.
Gambar 3. Hasil Penelitian
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
11
Untuk parameter pH dan suhu berdasarkan Gambar 3, keduanya berada pada rentang yang stabil
dan tidak mengalami peningkatan atau penurunan secara signifikan. Parameter kontrol ini tidak
berpengaruh terhadap efisiensi penyisihan COD dan amonia. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3,
dimana efisiensi penyisihan COD dan amonia terus meningkat dengan kondisi pH dan suhu yang
stabil. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa efisiensi penyisihan COD dan amonia
dipengaruhi oleh variasi waktu tinggal. Semakin lama waktu tinggal, efisiensi penyisihan COD
dan amonia semakin meningkat.
Pembahasan
Penurunan Konsentrasi COD efluen terhadap waktu tinggal
Berdasarkan Gambar 3, didapatkan rata-rata efisiensi penyisihan COD selama penelitian
berlangsung. Rata-rata efisiensi penyisihan COD paling rendah adalah pada waktu tinggal 2 hari
sebesar 40,5%. Peningkatan yang terjadi pada penyisihan COD ini sangat signifikan. Pada waktu
tinggal 10 hari, efisiensi penyisihan COD mencapai kondisi optimum dengan persentase
penyisihan mencapai 70,6%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu tinggal, efisiensi
penyisihan COD akan semakin meningkat.
Hasil penelitian kali ini lebih baik jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Gunawan, et al. (2012), yang menurunkan konsentrasi air lindi influen TPA Ngronggo
menggunakan Scirpus grossus dengan pencapaian efisiensi penyisihan kandungan COD sebesar
48,2% untuk waktu tinggal 3 hari; 60,4% untuk waktu tinggal 6 hari; dan 63,4% untuk 9 hari. Hal
ini disebabkan konsentrasi COD influen pada penelitian sebelumnya lebih tinggi yaitu sebesar
1.911,67-2119,87 mg/L, sehingga diperlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai efisiensi
yang lebih baik. Selain itu, pada penelitian tersebut konsentrasi COD influen lahan basah buatan
lebih besar dibandingkan dengan yang mampu diterima oleh tanaman Scirpus grossus, yaitu 994
mg/L (Widiyanti, 2015). Kondisi ini menyebabkan tanaman sulit untuk beradaptasi dengan air
lindi dan ditambah dengan kondisi tanaman yang sudah jenuh.
Tingginya efisiensi penyisihan dengan waktu tinggal 10 hari belum dapat menurunkan
konsentrasi COD efluen sesuai baku mutu yang ditetapkan oleh Permen LH No. 5 tahun 2014
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
12
tentang Baku Mutu Air Limbah, sehingga dilakukan perhitungan waktu tinggal optimum dengan
rumus kinetika orde-1 yang ditunjukkan pada Gambar 4.
Berdasarkan Gambar 4, didapatkan waktu tinggal yang dapat menyisihkan kandungan COD
hingga memenuhi baku mutu adalah 12 hari dengan nilai k sebesar 0,1044 hari-1. Hal ini
dibuktikan dengan trendline perkiraan pada waktu 12 hari yang ditunjukkan secara langsung pada
Gambar 4, dimana penurunan konsentrasi COD mencapai 4,5. Nilai tersebut kemudian
dikonversi menggunakan rumus eksponensial, dan didapatkan konsentrasi COD yang sudah
berada di bawah baku mutu, yaitu sebesar 90 mg/L.
Penurunan Konsentrasi Amonia Efluen terhadap Waktu Tinggal
Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa efisiensi penyisihan amonia semakin meningkat
seiring dengan lamanya variasi waktu tinggal. Rata-rata efisiensi hasil penelitian running pertama
y = -0.1044x + 5.8603 R² = 0.9213
0.0000
2.0000
4.0000
6.0000
8.0000
10.0000
0 2 4 6 8 10 12 14
ln C
Waktu Tinggal (Hari)
COD Linear (COD)
Gambar 4 Hubungan Penurunan Konsentrasi COD efluen dengan Waktu Tinggal
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
13
dan kedua menunjukkan bahwa efisiensi penyisihan amonia terendah diperoleh pada waktu
tinggal 2 hari, yaitu sebesar 67,7%. Efisiensi penyisihan ini terus mengalami peningkatan pada
waktu tinggal 4 hari hingga 10 hari, namun tidak teralu signifikan peningkatannya. Pada
penelitian ini, efisiensi tertinggi yang merupakan waktu tinggal optimum untuk penyisihan
amonia adalah 10 hari dengan persentase penyisihan sebesar 75,8%.
Hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Anggraeni et al. (2013), dimana penyisihan amonia mencapai 86% dengan waktu tinggal 15 hari.
Namun, penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Akinbile et al. (2012), dimana efisinsi penyisihan amonia hanya mencapai rentang 29,8%-53,8%
dengan waktu penelitian selama 3 minggu. Perbedaan ini dapat dikarenakan tingginya
konsentrasi amonia influen untuk penelitian sebelumnya, dimana, influen pada penelitian ini
berasal dari air lindi yang telah melalui proses pengolahan pada IPAS III. Waktu tinggal 10 hari
ternyata belum dapat menurunkan konsentrasi amonia yang memenuhi baku mutu, sehingga
dilakukan perhitungan waktu tinggal optimum dengan kinetika orde-1 yang ditunjukkan pada
Gambar 5.
y = -0.1108x + 4.2929 R² = 0.6247
0
2
4
6
8
10
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26
ln c
Waktu Tingal (Hari)
Amonia Linear (Amonia)
Gambar 5 Hubungan Penurunan Konsentrasi Amonia Efluen dengan Waktu
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
14
Berdasarkan Gambar 5, grafik linier didapatkan hanya pada waktu tinggal 2 hari. Sementara itu,
pada waktu tinggal 4-10 hari tidak didapatkan grafik linier. Hal ini menunjukkan bahwa
penurunan konsentrasi amonia pada waktu tinggal 2 hari terjadi melalui proses degradasi biologis
oleh mikroorganisme. Namun, pada waktu tinggal 4-10 hari ketersediaan oksigen sudah mulai
menurun sehingga penyisihan amonia tidak lagi mengandalkan mikroorganisme.
Plot reaksi kinetika orde-1 ini menghasilkan nilai k sebesar 0,1108 hari-1, dengan waktu tinggal
yang sesuai untuk menyisihkan kandungan amonia hingga memenuhi baku mutu adalah 24 hari.
Hal ini dibuktikan langsung dengan prediksi pada Gambar 5, yang menunjukkan konsentrasi
amonia mencapai 1,5. Nilai tersebut kemudian dikonversikan menggunakan rumus eksponensial,
yang kemudian diperoleh konsentrasi amonia pada waktu tinggal 24 hari, yaitu sebesar 4,5
mg/L. Konsentrasi tersebut sudah memenuhi baku mutu yang diizinkan, dimana untuk
konsentrasi amonia maksimalnya adalah sebesar 5 mg/L.
Mekanisme Penyisihan COD
Penurunan konsentrasi COD pada lahan basah buatan berlangsung dengan proses degradasi
secara biologis dengan proses biokonversi oleh bakteri fakultatif dan anaerob (Tchnobanoglous,
et. al., 1998). Konsentrasi COD pada air lindi mengandung nutrisi yang kemudian dikonsumsi
oleh mikroorganisme sebagai sumber energi. Aktivitas mikroorganisme tersebut dipengaruhi oleh
kondisi pH dan suhu, dimana pada penelitian kali ini kondisi keduanya berada pada rentang yang
baik untuk mendukung aktivitas mikroorganisme pengurai.
Mekanisme penyisihan konsentrasi COD oleh mikroorganisme didukung dengan keberadaan akar
tanaman pada lahan basah buatan yang akan menghasilkan enzim untuk mempercepat proses
degradasi COD (Pivetz, 2001). Akar tanaman juga berperan sebagai tempat tumbuhnya
mikroorganisme dan sebagai penyedia oksigen (Villalobos, et. al., 2013). Ketersediaan oksigen
pada tanaman berasal dari proses difusi secara langsung dari atmosfer menuju bagian akarnya
(Vymazal, 1998). Penggunaan media juga mempengaruhi proses penyisihan COD. Penggunaan
media campuran (mixing substrates) meningkatkan jumlah mikroba (microbial carbon) yang
terdapat pada media, tidak seperti jumlah mikroba pada media tunggal (Li, et. al., 2013). Media
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
15
komposit jauh lebih baik dalam mengadsorpsi senyawa organik bila dibandingkan dengan media
tanpa campuran (Li, et. al., 2013).
Mekanisme Penyisihan Amonia
Mekanisme penyisihan amonia pada lahan basah buatan aliran bawah permukaan terjadi melalui
proses nitrifikasi, volatilisasi dan plant uptake (Tchnobanoglous, et. al., 1998). Namun, proses
volatilisasi tidak terjadi secara signifikan pada kondisi pH di bawah 8 (Koottatep & Polprasert,
1997). Selain itu, proses nitrifikasi juga jarang sekali terjadi pada lahan basah buatan aliran
bawah permukaan karena minimnya oksigen yang tersedia, kecuali adanya difusi oksigen dalam
jumah yang besar melalui tanaman (Crites, et. al., 2006).
Mekanisme penyisihan amonia pada penelitian ini juga didukung oleh proses plant uptake.
Penurunan konsentrasi amonia dengan plant uptake ini salah satunya dipengaruhi oleh
kemampuan akar tanaman untuk tumbuh dan menyebar pada media tumbuhnya. Kemampuan
tanaman Scirpus grossus untuk menyisihkan kandungan amonia adalah sebesar 94% dengan
penetrasi akar yang mampu dicapai hingga kedalaman 0,8 m (Gersberg, et. al., 1985 dalam
Crites, et. al., 2006). Proses plant uptake dapat dilihat dari proses pertumbuhan tanaman yang
cepat, kandungan nutrisi yang tinggi pada jaringan tanaman, dan kemampuan tanaman untuk
tumbuh tinggi dengan tegak (Vymazal, 1998).
Kesimpulan
Penelitian mengenai efisiensi penurunan konsentrasi COD dan amonia terhadap variasi waktu
tinggal, dengan lahan basah buatan sebagai pengolahan lanjutan menghasilkan nilai k (laju
penurunan) dari perhitungan kinetika orde-1 untuk COD dan amonia adalah 0,1044 hari-1
dan
0,1108 hari-1
. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh efisiensi penyisihan COD
dan amonia yang paling baik pada lahan basah buatan didapatkan pada hari ke-10 penelitian
dengan efisiensi sebesar 70,4% dan 75,8%. Lahan basah buatan dapat digunakan sebagai
pengolahan lanjutan yang tepat untuk menurunkan konsentrasi COD dan amonia pada air lindi
IPAS III TPST Bantar Gebang, dengan waktu tinggal optimum untuk menurunkan konsentrasi
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
16
keduanya sesuai baku mutu, berdasarkan hasil perhitungan kinetika orde-1 adalah 12 hari dan 24
hari.
Saran
Saran yang diberikan untuk pengembangan lanjutan dari penelitian ini adalah melakukan
pemeriksaan lebih lanjut terkait dengan kandungan oksigen terlarut (DO) pada lahan basah, dan
melakukan penggunaan campuran media. Selain itu, juga diperlukan penelitian mengenai
mekanisme penyerapan polutan oleh tanaman serta akumulasinya di setiap bagian tanaman,
dengan variasi jumlah dan jarak dari tanaman untuk dapat mengetahui pengaruhnya terhadap
kinerja lahan basah buatan.
.
Referensi
Akinbile, C. O., Yusoff, M. S., & Zuki, A. A. (2012). Landfill leachate treatment using sub-
surface flow constructed wetland by Cyperus haspan. Waste management, 32(7), 1387-
1393.
Anggraeni, M., Sunoko, H. R., & Hadiyanto, H. (2013, October). Pengolahan Effluent dari IPAL
Industri Farmasi dengan Sistem Lahan Basah Buatan Aliran Bawah Permukaan (Studi
Kasus: PT. PHAPROS Tbk., Semarang). In Prosiding Seminar Biologi (Vol. 10, No. 2).
Crites, R. W., Middlebrooks, E. J., & Bastian, R. K. (2006). Natural wastewater treatment
systems. CRC Press.
Crites, R., & Tchnobanoglous, G. (1998). Small and decentralized wastewater management
systems. McGraw-Hill.
EPA. (2000). Wastewater Technology Fact Sheet Free Water Surface Wetlands. Washington,
D.C.: Environmental Protection Agency (EPA)
Farquhar, G. J. (1989). Leachate: production and characterization. Canadian Journal of Civil
Engineering, 16(3), 317-325.
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
17
Gersberg, R. M., Elkins, B. V., Lyon, S. R., & Goldman, C. R. (1986). Role of aquatic plants in
wastewater treatment by artificial wetlands. Water research, 20(3), 363-368.
Gunawan, I., Oktiawan, W., & Hadiwidodo, M. (2013). Studi Kemampuan Vertical Subsurface
Flow Constructed Wetlands Dalam Menyisihkan Cod, Nitrit, Dan Nitrat Pada Air Lindi
(Studi Kasus: Tpa Ngronggo, Salatiga). Jurnal Teknik Lingkungan, 2(2), 1-6.
EPA. (1993). Subsurface Flow Constructed Wetlands for WasteWater Treatment. United States
of America (USA): Environmental Protection Agency (EPA).
Kopec, D. A. (2007). Guidance Document for Small Subsurface Flow Constructed Wetlands with
Soil Dispersal System. Ohio: Environmental Protection Agency (EPA).
Koottatep, T., & Polprasert, C. (1997). Role of plant uptake on nitrogen removal in constructed
wetlands located in the tropics. Water Science and Technology,36(12), 1-8.
Li, G., Cui, L., Xu, Q., Liu, Z., Fan, J., & Cui, H. (2013). COD Removal Mechanism of Different
Compound Substrates in Vertical Flow Constructed Wetland. Frontier of Environmental
Science, 2(4).
Pivetz, B. E. (2001). Phytoremediation of Contaminated Soil and Ground Water at Hazardous
Waste Sites. United States Environmental Protection Agency.
Suswati, A. C. S. P., & Wibisono, G. (2013). Pengolahan Limbah Domestik Dengan Teknologi
Taman Tanaman Air (Constructed Wetlands). The Indonesian Green Technology
Journal, 2(2), 70-77.
Satya, A., Puspita, L., Sunanisari, S., & Sulawesty, F. (2011). Kemampuan Sub Surface Flow
Constructed Wetland untuk Memperbaiki Kualitasi Air Limpasan Lindi. Prosiding
Simposium Nasional Ekohidrologi, 248-263.
Villalobos, R. M., Zúñiga, J., Salgado, E., Schiappacasse, M. C., & Maggi, R. C. (2013).
Constructed wetlands for domestic wastewater treatment in a Mediterranean climate
region in Chile. Electronic Journal of Biotechnology, 16(4), 1-13.
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015
18
Vymazal, J., Brix, H., Cooper, P. F., Haberl, R., Perfler, R., & Laber, J. (1998). Removal
mechanisms and types of constructed wetlands. Constructed wetlands for wastewater
treatment in Europe, 17-66.
Widiyanti, A. (2015). Selenium Effect and Scirpus grossus on Efficiency of Leachate Treatment
at Final Disposal Sidoarjo District with Different Media Composition. Digilib ITS Master,
1-4.
Yalcuk, A., & Ugurlu, A. (2009). Comparison of horizontal and vertical constructed wetland
systems for landfill leachate treatment. Bioresource Technology, 100(9), 2521-2526.
Penurunan kadar..., Diza Rahmania Zawatki, FT UI, 2015