Seminar Nasional Teknologi Peternakan. Mataram, 11 Desember 2012
56
PENINGKATAN POPULASI TERNAK SAPI MELALUI PENDAMPINGAN SMD
MENDUKUNG AGRIBISNIS PETERNAKAN DI NUSA TENGGARA BARAT
Yohanes Geli Bulu
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat
Fokus: Ketahanan Pangan; Lokus: Nusa Tenggara Barat (Koridor 5)
ABSTRAK
Wilayah Nusa Tenggara Barat termasuk kawasan pengembangan ekonomi koridor 5
berpotensi untuk pengembangan ternak sapi dengan daya dukung sekitar 2 juta ekor.
Produktivitas ternak sapi bali masih rendah karena penerapan teknologi yang belum
optimal. Dalam upaya meningkatkan populasi ternak sapi di Indonesia, Direktorat Jenderal
Peternakan meluncurkan program Sarjana Membangun Desa (SMD) sebagai upaya
pengembangan usaha peternakan sapi untuk percepatan pembangunan ekonomi wilayah.
Penelitian bertujuan untuk: 1) Menganalisis model pendampingan terhadap peningkatan
populasi ternak sapi di Nusa Tenggara Barat, 2) Mengetahui model pendampingan yang
efektif dalam usaha agribisnis ternak sapi berbasis inovasi. Penelitian dilaksanakan di
propinsi Nusa Tenggara Barat dari bulan Pebruari hingga September 2012. Pendekatan
penelitian adalah memadukan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian
menggunakan metode survei. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi
dan diskusi kelompok terfokus (FGD). Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan teknologi pemeliharaan sapi oleh petani
belum optimal menyebabkan tingkat produktivitas sapi di NTB masih rendah. Proses dan
pelaksanaan pendampingan oleh SMD pada kelompok ternak sapi belum maksimal.
Kondisi ini menyebabkan tingkat pengetahuan dan pemahaman petani terhadap teknologi
pemeliharaan sapi relatif rendah. Kurangnya penbinaan teknis dan bisnis bagi pendamping
merupakan bagian permasalahan yang dihadapi dalam pemberdayaan kelompok.
Kata kunci: Ternak sapi, pendampingan, agribisnis, inovasi
ABSTRACT
The research objectives are to: 1) analyze the model guidance to increase the cattle
population in West Nusa Tenggara. 2) knowing that effective mentoring models in cattle
agribusiness innovation based. The research was conducted in West Nusa Tenggara
province from February to September 2012. The research methods to combine quantitative
and qualitative approaches. Data were collected through in-depth interviews, observation
and focus group discussions. The collected data were analyzed descriptively. The results
showed that the application of technology by farmers raising cattle has not been optimal
productivity levels are still lower cattle in NTB. Process and implementation of mentoring
Seminar Nasional Teknologi Peternakan. Mataram, 11 Desember 2012
57
by SMD on the cattle group is not maximized. This condition causes the level of farmers'
knowledge and comprehension of the technology is relatively low maintenance cattle.
Keywords: Cattle, mentoring, agribusiness, innovation
PENDAHULUAN
Penyediaan daging untuk
memenuhi permintaan dalam negeri
selama ini dipenuhi melalui produksi
lokal dan impor. Impor daging dan sapi
bakalan secara nasional menguras devisa
yang tidak kecil, mencapai 5,1 triliun per
tahun. Di samping itu dapat mengancam
ekonomi rumah tangga peternak sapi
potong yang berjumlah 2,6 juta rumah
tangga dan pada gilirannya akan
melemahkan ketahanan pangan
(Dirjennak, 2009).
Dalam upaya meningkatkan
populasi ternak sapi di Indonesia,
Direktorat Jenderal Peternakan melalui
program Sarjana Membangun Desa
(SMD) merupakan program
pengembangan usaha peternakan untuk
percepatan pembangunan ekonomi
wilayah. Permintaan daging nasional
terus meningkat dan belum mampu
dipenuhi dari dalam negeri. Untuk
mengatasi persoalan tersebut pemerintah
merencanakan langkah-langkah untuk
dapat mencapai swasembada daging.
Program swasembada daging menjadi
salah satu program strategis Kementerian
Pertanian yang didukung dengan
Peraturan Menteri Pertanian nomor:
59/permentan/ HK.060/8/2007 untuk
melakukan percepatan swasembada
daging sapi pada tahun 2010 (Deptan,
2007). Swasembada daging dimaksud
adalah kemampuan penyediaan daging
dari produksi lokal sebesar 90-95% dari
total kebutuhan daging dalam negeri.
Swasembada daging belum dapat dicapai
pada tahun 2010.
Dalam upaya meningkatkan
populasi ternak sapi di Indonesia,
Direktorat Jenderal Peternakan melalui
program Sarjana Membangun Desa
(SMD) sebagai bagian dari komponen
pengembangan usaha peternakan sapi
untuk percepatan pembangunan ekonomi
wilayah. Pelaksanaan program SMD di
NTB dimulai sejak tahun 2008 hingga
2011 berjumlah 150 SMD yang
mengelola ternak sapi bibit dan sapi
potong dengan total investasi Rp
46.370.400.000 (Dinas Peternakan, 2011).
Rata-rata jumlah anggota kelompok
peternak sapi untuk setiap SMD sebanyak
20 orang. Setiap anggota akan
memperoleh bantuan 3 ekor ternak sapi,
yaitu masing-masing 1 ekor jantan dan 2
Seminar Nasional Teknologi Peternakan. Mataram, 11 Desember 2012
58
ekor betina. Ini berarti bahwa 1 kelompok
ternak mengelola ternak sebanyak 20 ekor
jantan dan 40 ekor betina. Dari 150
kelompok peternak yang didampingi oleh
150 SMD mengelola ternak sapi sebanyak
6.640 ekor dalam bentuk usaha agribisnis
penggemukan dan pembibitan.
Propinsi Nusa Tenggara Barat
sebagai koridor 5 pembangunan ekonomi
terutama dalam pengembangan
peternakan melalui usaha agribisnis
dalam program SMD akan mampu
meningkatkan produktivitas atau populasi
ternak sapi di NTB. Dengan demikian
akan meningkatkan pertumbuhan
populasi sapi potong sebesar 15 %
sehingga dapat memenuhi permintaan
sapi potong di NTB sebesar 6,41 % serta
mendukung kebutuhan daging nasional.
Berkembangnya daerah pariwisata dari
Bali ke wilayah Nusa Tenggara lainnya
(NTB dan NTT) perlu didukung oleh
ketersediaan daging sapi dalam industri
pariwisata. Model pendampingan usaha
agribisnis dalam program SMD menjadi
fokus penelitian.
Populasi ternak sapi yang relatif
banyak di propinsi Nusa Tenggara Barat,
sekitar 780.000 ekor pada tahun 2012
merupakan hasil peternakan rakyat yang
didukung berbagai program percepatan
yang dilakukan oleh pemerintah daerah,
antara lain melalui kegiatan yang
spiritnya adalah Percepatan lnovasi dan
Nilai tambah (PlN) yang dikenal dengan
program "Bumi Sejuta Sapi" (BSS).
Kenyataan ini memberikan gambaran
bahwa peternak adalah partisipan utama
dan berperan sangat penting dalam
menentukan perkembangan populasi
ternak sapi di daerah ini. Walaupun
pengetahuan dan pengalaman petani
dalam beternak dapat dikatakan sudah
cukup banyak, namun karena berbagai
kendala, masih belum mampu
mewujudkan potensi (produksi) optimal
ternak sapi yang dipeliharanya.
Tulisan ini bertujuan untuk
mengetahui dan menganalisis model
pendampingan kelembagaan ternak sapi
terhadap peningkatan populasi ternak sapi
dalam mendukung usaha agribisnis ternak
sapi berbasis inovasi di Nusa Tenggara
Barat.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan dari bulan
Pebruari hingga September 2012 di
kabupaten Lombok Tengah, Lombok
Barat, dan Dompu Nusa Tenggara Barat.
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah mengkombinasikan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif,
dimana pendekatan kualitatif didukung
Seminar Nasional Teknologi Peternakan. Mataram, 11 Desember 2012
59
kuantitatif (Tashakori dan Teddlie, 1998).
Penelitian dilaksanakan dengan
menggunakan metode survey
(Singarimbun dan Sofyan, 1995). Teknik
pengumpulan data melalui observasi,
wawancara mendalam dengan pada
responden dan informan kunci dengan
menggunakan kuesioner, dan diskusi
kelompok terfokus (FGD). Data yang
telah dikumpulkan kemudian dianalisis
secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Penerapan Teknologi
Teknologi mempunyai peranan
penting terhadap peningkatan
produktivitas ternak sapi. Produktivitas
sapi sangat ditentukan oleh tingkat
penerapan teknologi, terutama teknologi
perkawinan dan teknologi pakan. Secara
umum tingkat penerapan teknologi
pemeliharaan ternak sapi oleh sebagian
besar peternak di Nusa Tenggara Barat
relatif rendah (Tabel 1).
Tingkat penerapan teknologi
kawin, pemberian pakan, penyapihan dan
kesehatan hewan belum optimal. Kawin
alam merupakan merupakan salah satu
komponen teknologi yang dominan
diterapkan petani dibandingkan dengan
sistem IB. Penerpan teknologi kawin alam
belum dilakukan secara terencana untuk
disesuaikan dengan ketersediaan pakan
pada saat anak sapi lahir. Jika penentuan
waktu kawin yang tepat yaitu bulan April
dan September maka anak sapi akan lahir
pada bulan Januari dan bulan Juni. Anak
sapi yang lahir pada bulan tersebut akan
memperoleh ketersediaan pakan yang
memadai.
Tabel 1. Tingkat penerapan teknologi pemeliharaan ternak sapi oleh peternak di Nusa
Tenggara Barat
No. Komponen teknologi
Tingkat penerapan teknologi (%)
Lombok
Tengah
Lombok
Barat
Dompu
1. Manajemen kawin 75,54 2,72 21,74
2. Waktu induk sapi dikawinkan
(40 – 60) setelah melahirkan
45,11 12,72 15,76
3. Menggunakan pejantan
terseleksi
65,76 2,82 13,04
4. Manajemen pemberian pakan 75,26 2,7 22,04
5. Penyapihan (5 - 6 bulan) 39,67 2,17 49,45
Sumber: Analisis data primer, 2012
Seminar Nasional Teknologi Peternakan. Mataram, 11 Desember 2012
60
Pemberian pakan pada ternak sapi
belum didasarkan atas perkembangan
fisiologis ternak. Jenis dan tempat
pemberian pakan untuk sapi betina, sapi
muda, anak sapid an pedet relatif sama.
Jenis pakan hijauan yang diberikan masih
lebih dominan rumput alam dan relatif
sedikit petani yang memberikan pakan
hijauan dari legume pohon.
Program sarjana membangun desa
(SMD) sebagai upaya dalam peningkatan
produktivitas ternak sapi seyogyanya
dioptimalkan pendampingan teknologi.
Hasil studi di lapangan menunjukkan
bahwa tingkat produktivitas ternak sapi
melalui pendampingan program SMD
belum optimal.
Pemahaman peternak mengenai
manajemen alam terkontrol masih rendah,
sementara SMD yang diharapkan
mempercepat transfer ilmu pengetahuan
dan teknologi kepada kelembagaan ternak
sapi belum dilakukan secara optimal.
Sejumlah sarjana membangun desa yang
direkrut memiliki besik pengetahuan
bukan peternakan, sehingga pengalaman
mereka mengenai teknologi juga relatif
rendah.
Produktivitas Ternak sapi
Pola pemeliharaan ternak sapi di
kabupaten Lombok Tengah dan
kabupaten Lombok Barat lebih dominan
secara semi intensif dimana pada siang
hari kadang-kadang di keluarkan dari
kandang. Sebagian besar peternak sapi di
pulau Lombok memelihara sapi dalam
kandang kolektif.
Berbeda di kabupaten Dompu
bahwa sebagian besar bahwa ternak sapi
dipelihara secara ikat pindah atau bahkan
di lepas. Hal tersebut menyebabkan
tingkat produktivitas sapi kurang optimal
karena penerapan manajemen kawin alam
terkontrol belum dilakukan secara tepat
oleh peternak.
Tabel 2. Rata-rata jumlah sapi di kelompok sebelum pelaksanaan program SMD di Nusa
Tenggara Barat.
No. Ternak sapi Jumlah sapi sebelum program/ kabupaten (ekor)
Total Lombok Tengah Dompu Lombok Barat
1. Induk 14 3 7 24
2. Jantan 5 2 2 9
3. Dara 3 2 2 7
4. Jantan Muda 4 2 2 8
5. Anak sapi 7 2 3 12
Jumlah 29 11 16 56
Seminar Nasional Teknologi Peternakan. Mataram, 11 Desember 2012
61
Sumber: Analisis data primer, 2012
Rata-rata jumlah ternak sapi di kandang
kelompok sebelum pelaksanaan program
pendampingan SMD relatif sedikit.
Jumlah sapi yang dimiliki anggota yang
relatif sedikit sebelum pelaksanaan
program karena sebagian besar anggota
kelompok tidak memiliki modal untuk
membeli sapi yang akan dipelihara.
Setelah pelaksanaan program
pendampingan SMD baik yang dibiayai
dari APBN maupun APBD propinsi
terjadi pertambahan jumlah anggota
kelompok yang memelihara sapi dan
jumlah sapi pada setiap kelompok
kandang kolektif. Akan tetapi tingkat
produktivitas ternak sapi selama
pendampingan SMD dari tahun 2008 -
2010 relatif rendah.
Tingkat produktivitas ternak sapi
atau peningkatan jumlah anak sapi lahir
selama pendampingan SMD pada
kelompok ternak sapi belum optimal
(Tabel 3). Kondisi tersebut disebabkan
tingkat penerapan teknologi pemeliharaan
ternak sapi yang masih tergolong rendah.
Tabel 3. Rata jumlah ternak sapi di kelompok selama pelaksanaan program pendampingan
SMD (tahun 2008 – 2010) kondisi bulan Juni 2011 – Agustus 2012).
No. Ternak sapi
Jumlah sapi selama program/ kabupaten
(ekor) Total
NTB Lombok
Tengah Dompu Lombok Barat
1. Induk 24 32 22 68
2. Jantan 13 11 15 39
3. Dara 6 4 7 17
4. Jantan Muda 5 1 4 10
5. Anak sapi 11 25 7 43
Jumlah 59 72 58 189
Sumber: Analisis data primer, 2012
Ternak sapi yang mati di NTB lebih
dominan adalah anak sapi yang baru lahir.
Rata-rata sapi pedet yang mati di NTB
mencapai 10 - 17 %. Kematian anak sapi
setelah lahir disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, kualitas genetik induk
dan kualitas pejantan relatif rendah.
Kedua, keterbatasan pakan pada saat
induk bunting sehingga menyebabkan
anak sapi lahir dengan berat badan di
bawah 10 kg. Kondisi ini menyebabkan
pedet mengalami kekurangan nutrisi
untuk perumbuhan selanjutnya. Ketiga,
anak sapi lahir pada musim kemarau
Seminar Nasional Teknologi Peternakan. Mataram, 11 Desember 2012
62
(antara bulan Agustus – Oktober) dimana
terjadi keterbatasan pakan hijauan.
Keempat, kematian ternak sapi juga
disebabkan oleh penyakit cacing yang
disebabkan oleh kandang yang kurang
bersih.
Strategi untuk menekan kematian
pedet setelah lahir adalah meningkatkan
kualitas genetik induk saat bunting
dengan pemberian pakan yang
berkualitas. Perbaikan kualitas genetik
sapi dapat pula dilakukan dengan
mengatur waktu perkawinan sapi induk
secara terkontrol dengan menggunakan
pejantan terseleksi. Manajemen kawin
alam terkotrol pada prinsipnya mengatur
waktu perkawinan sapi induk agar saat
melahirkan anak sapi tepat pada saat
tersedianya pakan hijauan.
Tabel 4. Rata-rata jumlah sapi yang mati di kelompok ternak sapi di Nusa Tenggara Barat.
No. Ternak sapi
Jumlah sapi yang mati/ kabupaten (ekor)
Total NTB Lombok
Tengah Dompu
Lombok
Barat
1. Induk 2 2 1 5
2. Jantan 1 1 1 3
3. Dara 1 - 1 2
4. Jantan
Muda 1 - 1 2
5. Anak sapi 5 8 5 18
Jumlah 10 13 9 32
Sumber: Analisis data primer, 2012
Prospek Agribisnis Ternak Sapi
Kriteria ternak sapi yang dominan
dijual peternak selama pemeliharaan
antara 1 – 2 tahun. Sapi yang dijual lebih
dominan sapi jantan dan dipelihara
melalui usaha penggemukan. Usaha
penggemukan oleh setiap kelompok
ternak sapi hanya dilakukan oleh sebagian
anggota kelompok dengan rata-rata siklus
produksi penggemukan enam bulan.
Penjualan sapi dara, jantan muda
dan anak sapi oleh petani lebih dominan
untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga. Penjualan sapi induk oleh
peternak karena induk yang dipelihara
tidak produktif selama 2 tahun.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan. Mataram, 11 Desember 2012
63
Tabel 5. Rata-rata jumlah sapi yang dijual kelompok selama pelaksanaan program SMD di
Nusa Tenggara Barat.
No. Ternak sapi
Rata-rata jumlah sapi yang dijual/ kabupaten
(ekor) Total
NTB Lombok
Tengah Dompu Lombok Barat
1. Induk 6 - 5 11
2. Jantan 14 16 18 48
3. Dara 5 1 4 10
4. Jantan Muda 7 1 6 14
5. Anak sapi 11 1 1 13
Jumlah 43 19 34 96
Sumber: Analisis data primer, 2012
REKOMENDASI HASIL KAJIAN
Hasil pengkajian disusun model
pendampingan kelembagaan ternak sapi guna
mendukng program pengembangan
peternakan di Nusa Tenggara Barat. Model
pendampingan kelembagaan ternak sapi yang
akan direkomendasikan ini membutuhkan
dukungan semua pihak dalam meningkatkan
kualitas sosialisasi dan koordinasi serta
kerjasama sebagai langkah strategis dalam
pembangunan ekonomi wilayah perdesaan
melalui pengembangan peternakan.
Produk berupa model pendampingan
dapat direkomendasikan dan disosialisasikan
dalam mengintensifkan pendampingan
kelembagaan ternak sapi guna mendukung
pengembangan ternak sapi dan pembangunan
ekonomi pada wilayah Nusa Tenggara Barat
dan regional. Usaha agribisnis pembibitan
dan penggemukan ternak sapi relatif
menguntungkan bagi peternak.
Pengembangan agribisnis peternakan berbasis
inovasi melalui pendampingan yang intensif
akan meningkatkan produktivitas ternak sapi.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan. Mataram, 11 Desember 2012
64
Gambar: Model pendampingan kelembagaan ternak sapi
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pengalaman Sarjana Membangun
Desa (SMD) dalam pendampingan
kelembagaan ternak sapi relatif
rendah. Kurangnya penbinaan
(kegiatan teknis dan usaha agribisnis)
dari instansi terkait, sangat dirasakan
melengkapi kelemahan pendamping
dalam manghadapi dan mengatasi
masalah-masalah di kelompok ternak.
2. Pola pendampingan yang dilakukan
penyuluh bersifat umum, tidak
dikhususkan untuk membina
kelompok petemak sapi saja, tetapi
semua kelompok tani dan ternak yang
ada diwilayah kerjanya. Beberapa
keterbatasan yang dialami oleh
penyuluh adalah kompetensi keilmuan
yang tidak sesuai, prasarana kegiatan
yang kurang mendukung dan
pembinaan yang kurang maksimal
dari instansi terkait, salah satu
penyebab kurangnya intensitas
kunjungan untuk pembinaan ke
kelompok.
3. Komunikasi antara SMD dengan
Dinas Peternakan selaku Tim Teknis
dalam program SMD relatif rendah
sehingga mempengaruhi proses
pendampingan kelembagaan ternak
oleh SMD. Hampir sebagain besar
pendamping (SMD) memiliki
keterbatasan strategi, pendekatan dan
pengalaman dalam melakukan
pemberdayaan kelompok ternak serta
penguasaan teknologi dan materi
untuk melakukan pendampingan
relatif masih sangat kurang.
4. Proses dan pendampingan
kelembagaan ternak sapi oleh
pendamping SMD yang kurang efektif
menyebabkan tingkat penerapan
teknologi dan produktivitas ternak
sapi relatif rendah.
Saran-Saran
1. Rancangan model yang dihasilkan
dari penelitian akanini perlu
ditindaklanjuti melalui kegiatan
pemberdayaan kelembagaan ternak
sapi dalam usaha agribisnis
pembibitan dan penggemukan dengan
mengintensifkan pendampingan dan
membangun jaringan kerjasama
agribisnis dengan pihak lain.
2. Untuk pengembangan program ke
depan sangat perlu dilakukan
pemberdayaan kelembagaan ternak
sapi dalam pengembangan usaha
Seminar Nasional Teknologi Peternakan. Mataram, 11 Desember 2012
65
agribisnis dengan melibatkan
pendamping SMD dan penyuluh
secara penuh dalam pendampingan
serta mengintegrasikan program
pengembangan ternak sapi dengan
program-program lain yang terkait
dengan pengembangan ekonomi
wilayah. Strategi pembangunan
wilayah ke depan adalah dengan
membangun kerjasama dengan
perusahaan atau kelembagaan lain
yang dapat mendukung
pengembangan ternak sapi di NTB.
3. Diperlukan koordinasi secara intensif
untuk mendukung pendamping SMD
dan penyuluh dalam upaya
peningkatan produksi, pengembangan
jaringan komunikasi dan kerjasama
dalam akses informasi teknologi dan
informasi pasar serta memperkuat
asosiasi SMD yang di NTB agar
mendukung pengembangan ternak
sapi melalui usaha agribisnis.
4. Dalam menghadapi kelompok
peternak dipedesaan, intensitas
kunjungan pembinaan yang lebih
intensif akan lebih efektif dalam
proses alih teknologi kepada
kelompok ternak dan akan
menghasilkan rasa tanggung jawab
yang lebih besar dari kelompok
peternak sapi yang dibina, sehingga
dicapai keberhasilan yang lebih
tinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan Terima kasih kami
sampaikan kepada Kementrian Riset dan
Teknologi yang mendanai kegiatan
penelitian ini dan seluruh staf Kerjasama
Penelitian PKPP (Peningkatan
Kemampuan Peneliti dan Perekayasa)
Badan Litbang Pertanian dan Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian yang mendorong kelancaran
pelaksanaan penelitian. Ucapan terima
kasih juga kami disampaikan kepada
teman-teman Penyuluh yang telah
membantuh dalam pelaksanaan kegiatan
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Blue Print PSDS, 2009. Kegiatan
Priorotas Pencapaian Swasembada
Daging Sapi (PSDS) Tahun 2014.
Kementerian Pertanian. Direktorat
Jenderal Peternakan.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan. Mataram, 11 Desember 2012
66
BPS-NTB 2009. Nusa Tenggara Barat
dalam Angka. Kerjasama BPS
dengan BAPPEDA Provinsi NTB.
Dahlanuddin, Muzani, Yusuf, Cam Mc
Donald. 2009. Strategi
Peningkatan Produktivitas Sapi
Bali pada Sistem Kandang
Kompleks, Pengalaman di
Lombok Tengah, NTB. Prosiding
Seminar Pengembangan Sapi Bali
Berkelanjutan dalam Sistem
Peternakan Rakyat. SADI, IFC.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,
Departemen Pertanian. 2009.
Pedoman Pelaksanaan Sekolah
Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu Padi, Jagung, Kedelai.
Direktorat Jenderal Peternakan,
Kementrian Pertanian Pertanian.
2010. Blue Print Program
Swasembada Daging Sapi 2014.
Pemda NTB. 2009. Blue Print NTB Bumi
Sejuta Sapi. Pemerintah Provinsi
NTB.
Singarimbun M, Sofian E. 1995. Metode
Penelitian Survai. Edisi kedua,
LP3ES, Jakarta.
Tashakkori, A. dan Ch. Teddlie. 1998.
Mixed Methodology, Combining
Qulaitative and Quantitative
Approaches. SAGE Publications.
Thousand Oaks London-New
Delhi.