1
PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENILAIAN DIAGNOSTIK
BENTUK PILIHAN GANDA 2 TINGKAT UNTUK MENGETAHUI
KELEMAHAN PEMAHAMAN KONSEP MATERI KALOR
SISWA KELAS X-7 SMA LABORATORIUM UM
Khoirun Nisa Retno Ning Tiyas*
Muhardjito**
Kadim Masjkur***
*Jurusan Fisika FMIPA UM, e-mail: [email protected]
**Pembimbing I, Jurusan FMIPA UM, e-mail: [email protected]
**Pembimbing II, Jurusan FMIPA UM, e-mail: [email protected]
Jalan Semarang 5 Malang 65145
ABSTRAK: Penelitian ini mengembangkan instrumen penilaian diagnostik
bentuk pilihan ganda 2 tingkat untuk mengetahui kelemahan pemahaman konsep
materi kalor siswa kelas X-7 SMA Laboratorium UM. Penelitian ini
menggunakan rancangan penelitian pengembangan. Hasil penelitian berupa data
kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari presentase jawaban salah
siswa pada setiap butir soal. Data kualitatif diwakili oleh informasi kesalahan
pemahaman konsep materi kalor siswa kelas X-7 SMA Laboratorium UM.
Kata kunci: penilaian diagnostik, pilihan ganda 2 tingkat, kesalahan pemahaman
konsep
ABSTRACT: This research to develop a two tier multiple choices diagnostic
assessment instrument to know the misconceptions of X-7s students of SMA
Laboratorium UM of heat topic. This research uses a research design development.
The results are quantitative and qualitative data. Quantitative data is obtained by the
percentage of students at each wrong answer items. Qualitative data is represented
by the error information misconceptions of heat topic of X-7s students of SMA
Laboratorium UM.
Keywords: diagnostic assessment, two tier multiple choices, misconceptions
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 35 ayat (1)
dinyatakan bahwa standar nasional pendidikan mencakup standar isi, proses,
kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Standar nasional pendidikan
merupakan dasar untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan.
Standar penilaian berorientasi pada tingkat penguasaan kompetensi yang
ditargetkan dalam Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 19 Pasal 1
butir 5 dinyatakan bahwa Standar Isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat
kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan,
kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran
yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Pada Pasal 1 butir 4 dinyatakan bahwa yang dimaksud Standar Kompetensi
Lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2005 Pasal
63 ayat (1) penilaian pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: (a)
mailto:[email protected]
2
penilaian hasil belajar oleh pendidik, (b) penilaian hasil belajar oleh satuan
pendidikan, dan (c) penilaian hasil belajar oleh pemerintah.
Hasil dari wawancara terhadap guru mata pelajaran Fisika SMA
Laboratorium UM menyatakan bahwa penilaian hasil belajar oleh guru mata
pelajaran Fisika belum berinovasi dalam mengembangkan instrumen penilaian.
Guru terbiasa dengan instrumen penilaian bentuk pilihan ganda biasa dan uraian
untuk mengetahui hasil belajar siswa berupa nilai. Guru seharusnya dapat
mengembangkan suatu instrumen penilaian hasil belajar yang efektif dan efisien
sehingga kesalahan dari hasil belajar siswa diketahui secara cepat dan tepat. Guru
dapat mengetahui melalui suatu instrumen yang bertujuan untuk mengetahui
kesalahan-kesalahan siswa dalam memahami konsep materi dari pembelajaran
Fisika.
Hasil angket menyatakan bahwa sebanyak 73,17% siswa kelas X-7 SMA
Laboratorium menyatakan bahwa penjelasan guru dalam menyampaikan materi
Fisika tidak mudah untuk dipahami. Hal tersebut dapat mengakibatkan siswa
mengalami banyak kesulitan untuk mempelajari Fisika. Selain itu, hasil angket
juga menyatakan bahwa sebanyak 78,05% siswa kelas X-7 menyatakan bahwa
penyampaian materi Fisika oleh guru tidak dapat memberikan penjelasan yang
berkaitan dengan gejala kehidupan sehari-hari dan hanya memberikan persamaan-
persamaan matematis. Pembelajaran yang baik tidak hanya memberikan
persamaan matematis semata, tetapi juga memberikan pemahaman konsep dengan
baik. Banyak fenomena atau kegiatan sehari-hari yang berhubungan dengan mata
pelajaran Fisika yang dapat dikaitkan oleh guru. Misalnya, saat proses es melebur
terjadi pelepasan kalor, seharusnya proses melebur tersebut terjadi penyerapan
kalor. Akibat hal tersebut, siswa dituntut untuk belajar sendiri sehingga
membentuk konsep-konsep baru pada pemikirannya. Konsep-konsep baru tersebut
terbentuk tanpa adanya pembenaran dari guru sehingga menyebabkan siswa
mengalami kesalahan dalam memahami konsep. Rahmawati (2009: 6)
mengatakan bahwa penilaian yang bertujuan untuk mengetahui kelemahan siswa
berupa kesalahan dalam memahami konsep materi adalah penilaian diagnostik.
Alat ukur untuk mengetahui kesalahan konsep siswa dapat menggunakan tes. Tes
adalah alat untuk mengetahui atau mengukur data atau informasi yang dirancang
khusus sesuai dengan karakteristik informasi yang diinginkan penilai (Arikunto,
2009: 53). Sebelum menyusun penilaian kelas, guru harus menentukan jenis tes
yang memadai untuk mengukur suatu tujuan tes tersebut dibuat. Tes secara
umum dikategorikan menjadi dua, yakni tes objektif dan subjektif (Arikunto,
2009: 162).
Salah satu bentuk tes objektif yang sering digunakan adalah tes pilihan
ganda. Tes pilihan ganda adalah bentuk tes objektif yang terdiri atas kalimat tanya
atau kalimat tak lengkap dan pilihan jawaban. Pilihan jawaban sudah jelas dan
pasti sehingga hasilnya dapat dinilai secara objektif. Butir soal objektif adalah
jenis soal yang meminta siswa memilih jawaban benar dari beberapa pilihan
jawaban, atau menjawab pertanyaan dengan satu kata atau satu istilah
(Rahmawati, 2009: 15).
Menurut Rahmawati (2009: 21), salah satu kelebihan tes pilihan ganda
adalah dapat mengukur tingkat kognitif siswa pada berbagai tingkatan, mudah
dikoreksi, dan mencakup materi yang diujikan. Meskipun demikian, tes pilihan
ganda juga memiliki kelemahan, yaitu kurang mencerminkan siswa yang
3
sesungguhnya. Kelemahan tersebut bisa dihindari dengan mengembangkan
instrumen penilaian berupa tes pilihan ganda 2 tingkat. Tes pilihan ganda 2
tingkat ini memiliki dua tingkatan pemikiran siswa. Tingkat pertama merupakan
pemikiran siswa pada pilihan jawaban dan tingkat kedua merupakan alasan
pemilihan jawaban siswa (Suwarto, 2013: 137).
Chandrasegaran (2007: 295) mengatakan bahwa pada bentuk pilihan ganda
2 tingkat atau two tier test, peserta tes dituntut untuk menentukan hubungan sebab
akibat antara pernyatan dalam 2 tingkat pilihan jawaban. Tingkat pertama
merupakan pilihan jawaban dan tingkat kedua merupakan pilihan alasan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mendeskripsikan
pengembangan instrumen penilaian diagnostik bentuk pilihan ganda 2 tingkat
untuk mengetahui kesalahan pemahaman konsep materi kalor siswa kelas X-7
SMA Laboratorium UM, (2) mengetahui kelayakan instrumen penilaian
diagnostik bentuk pilihan ganda 2 tingkat untuk mengetahui kesalahan
pemahaman konsep materi kalor siswa kelas X-7 SMA Laboratorium UM, dan (3)
mengidentifikasi kesalahan pemahaman konsep materi kalor siswa kelas X-7
SMA Laboratorium UM.
METODE Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian pengembangan.
Rancangan pengembangan yang digunakan dalam pengembangan instrumen
penilaian diagnostik bentuk pilihan ganda 2 tingkat ini menggunakan model
pengembangan 4-D (Four-D models). Menurut Thiagarajan (1974: 5), model
pengembangan 4-D dibagi menjadi beberapa tahap pengembangan yaitu tahap
pendefinisian (define), perancangan (design), pengembangan (develop), dan
penyebaran (disseminate). Pengembangan instrumen penilaian diagnostik bentuk
pilihan ganda 2 tingkat ini dikembangkan sampai pada tahap pengembangan.
Desain uji coba produk berupa uji coba penerapan produk kepada siswa.
Uji coba produk dilakukan dengan mencobakan instrumen penilaian diagnostik
bentuk pilihan ganda 2 tingkat yang telah dikembangkan kepada siswa. Dalam uji
coba produk ini, siswa diberi instrumen penilaian kemudian siswa diminta untuk
mengerjakan. Siswa yang menjadi subjek coba adalah siswa kelas X-7 SMA
Laboratorium UM sebanyak 38 siswa. Uji coba bertujuan untuk menganalisis data
secara kualitatif dan kuantitatif kesalahan pemahaman konsep siswa pada materi
kalor.
Data penelitian dikumpulkan dengan metode dokumentasi. Metode
dokumentasi digunakan untuk memperoleh data hasil jawaban salah siswa pada
setiap butir soal instrumen tes. Hasil jawaban salah siswa pada setiap butir soal
menyatakan data kuantitatif dan kualitatif.
Data kuantitatif diperoleh dari presentase jawaban salah siswa pada setiap
butir soal. Persentase setiap pemilihan jawaban dan alasan dihitung dengan rumus
sebagai berikut.
100%S
P xJs
Keterangan:
P = persentase jumlah siswa yang mengalami false positive/negative,
S = banyaknya siswa yang false positive/negative,
Js = jumlah seluruh siswa peserta tes.
4
Data kualitatif diwakili oleh kesalahan pemahaman konsep siswa sebagai
subjek coba pada setiap butir soal. Skor data yang dianalisis adalah skor yang
dijawab salah oleh siswa. Dalam menganalisis secara deskriptif terdapat dua
tahap. Tahap pertama adalah mengoreksi jawaban siswa dengan berpedoman pada
kunci jawaban. Tahap kedua adalah menentukan jenis-jenis kesalahan siswa.
Kesalahan-kesalahan siswa tersebut dapat diketahui berdasarkan kombinasi
pilihan jawaban dan alasannya. Menurut Hestenes (1992) dalam Pesman (2005:
5), kondisi false positive ditandai dengan respon pada tingkat pertama benar dan
tingkat kedua salah dan false negative ditandai dengan respon pada tingkat
pertama salah dan tingkat kedua salah/benar.
HASIL
Hasil penerapan produk berupa hasil jawaban salah siswa pada setiap butir
soal. Hasil jawaban salah siswa pada setiap butir soal menyatakan data kuantitatif
dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari presentase jawaban salah siswa
dalam kondisi false positive dan false negative pada setiap butir soal. Data
kualitatif diwakili oleh kesalahan pemahaman konsep siswa sebagai subjek coba
pada setiap butir soal.
Siswa mengalami kesalahan pemahaman konsep pada dua kondisi.
Pertama, kondisi false positive merupakan kondisi yang ditunjukkan pada jawaban
siswa yang benar pada tingkat pertama tetapi salah pada tingkat kedua. Kedua,
kondisi false negative merupakan kondisi yang ditunjukkan pada jawaban siswa
yang salah pada tingkat pertama dan salah/benar pada tingkat kedua.
Tabel 1. Jumlah Jawaban Salah Siswa pada Kondisi False Positive dan False Negative
Butir Soal Jumlah Jawaban Salah
False Positive False Negative
1 14 20
2 0 25
3 5 8
4 3 0
5 0 33
6 4 1
7 1 1
8 4 11
9 0 6
10 19 0
11 4 1
12 0 31
13 0 19
14 1 33
15 13 0
16 5 20
17 0 34
18 6 5
19 3 18
20 22 7
21 0 7
22 4 6
23 7 30
5
Tabel 2. Persentase Jawaban Salah Siswa pada Kondisi False Positive dan False Negative
Butir
Soal
Persentase Jawaban Salah (%)
False Positive False Negative
1 36,8 52,6
2 0 65,8
3 13,2 21,1
4 7,9 0
5 0 86,8
6 10,5 2,6
7 2,6 2,6
8 10,5 28,9
9 0 15,8
10 50 0
11 10,5 2,6
12 0 81,6
13 0 50
14 2,6 86,8
15 34,2 0
16 13,2 52,6
17 0 89,5
18 15,8 13,2
19 7,9 47,4
20 57,9 18,4
21 0 18,4
22 10,5 15,4
23 18,4 78,9
Total 302,6 831,6
Rerata 13,2 36,2
Hasil analisis data kuantitatif diperoleh rerata persentase kondisi false
negative sebesar 36,2% lebih besar dibandingkan rerata persentase kondisi false
positive sebesar 13,2%. Sebanyak 36,2% dari 38 siswa kelas X-7 mengalami
kesalahan pemahaman konsep dengan kondisi false negative pada materi kalor
yang mencakup sub materi definisi kalor, perubahan wujud, perpindahan kalor,
dan Asas Black. Sebanyak 13,2% dari 38 siswa kelas X-7 mengalami kesalahan
pemahaman konsep dengan kondisi false positive pada materi kalor yang
mencakup sub materi definisi kalor, perubahan wujud, perpindahan kalor, dan
Asas Black.
PEMBAHASAN
Kesalahan Pemahaman Konsep pada Sub Materi Definisi Kalor
Siswa mengalami kondisi false positive tertinggi pada bagian menjawab
alasan dari menjabarkan pengertian kalor. Sebanyak 12 dari 38 siswa beranggapan
bahwa kalor merupakan energi yang berpindah dari suhu yang lebih rendah ke
suhu yang lebih tinggi. Pada teori yang lebih tepat menguraikan bahwa kalor
didefinisikan sebagai proses transfer energi akibat adanya perbedaan suhu dari
suatu zat yang bersuhu tinggi ke zat lain yang bersuhu rendah (Saripudin, 2009:
113).
Siswa mengalami kondisi false negative tertinggi pada bagian menjawab
perubahan suhu yang dialami suatu zat dari mengidentifikasi kalor jenis zat yang
berbeda jika massa beberapa zat tersebut sama. Sebanyak 31 dari 38 siswa
6
beranggapan bahwa zat yang memiliki kalor jenis lebih tinggi dibandingkan zat
yang lain akan paling cepat panas apabila dimasukkan ke dalam air mendidih
dengan kondisi massa dan suhu awal semua zat tersebut sama. Pada teori yang
lebih tepat menguraikan bahwa zat yang memiliki kalor jenis lebih rendah
dibandingkan zat yang lain akan paling cepat panas apabila dimasukkan ke dalam
air mendidih dengan kondisi massa dan suhu awal semua zat tersebut sama
(Saripudin, 2009: 114).
Kesalahan Pemahaman Konsep pada Sub Materi Perubahan Wujud
Siswa mengalami kondisi false positive tertinggi pada bagian menjawab
alasan dari perhitungan besar kalor yang dibutuhkan untuk mengubah wujud suatu
zat pada fase suhu yang sama. Sebanyak 16 dari 38 siswa beranggapan bahwa
kalor yang dibutuhkan zat untuk mengubah wujud sebanding dengan perkalian
jumlah massa zat dengan kalor lebur zat. Pada teori yang lebih tepat menguraikan
bahwa kalor yang dibutuhkan zat untuk mengubah wujud sama dengan perkalian
jumlah massa zat dengan kalor lebur zat (Saripudin, 2009: 115).
Siswa mengalami kondisi false negative tertinggi pada bagian menjawab
faktor penyebab terjadinya perubahan wujud suatu zat. Sebanyak 30 dari 38 siswa
beranggapan bahwa jika satu kilogram es pada suhu 0C dicampur dengan setengah kilogram air pada suhu 0C maka sebagian es mencair dikarenakan perubahan wujud disebabkan adanya pengaruh dari dua benda yang berbeda
massa tetapi suhunya sama. Pada teori yang lebih tepat menguraikan bahwa
apabila suhu dari dua zat yang berinteraksi adalah sama maka tidak ada perubahan
wujud sehingga massa antara dua zat tersebut tetap meskipun dicampur
(Saripudin, 2009: 115).
Kesalahan Pemahaman Konsep pada Sub Materi Perpindahan Kalor
Siswa mengalami kondisi false positive tertinggi pada bagian menjawab
alasan dari fungsi isolator untuk mencegah proses konduksi pada suatu zat padat.
Sebanyak 9 dari 38 siswa beranggapan bahwa jika seseorang mengangkat
konduktor panas dengan menggunakan isolator maka panas akan berpindah ke
isolator dan udara sekitar konduktor. Pada teori yang lebih tepat menguraikan
bahwa isolator dapat mencegah perpindahan panas pada konduktor (Saripudin,
2009: 119).
Siswa mengalami kondisi false negative tertinggi pada bagian
membandingkan daya kalor secara radiasi pada suhu yang berbeda. Sebanyak 26
dari 38 siswa beranggapan bahwa daya kalor secara radiasi sebanding dengan
suhu. Pada teori yang lebih tepat menguraikan bahwa daya kalor secara radiasi
sebanding dengan suhu pangkat empat (Kamajaya: 244).
Kesalahan Pemahaman Konsep pada Sub Materi Asas Black
Siswa mengalami kondisi false positive tertinggi pada bagian menjawab
alasan dari proses terjadinya Asas Black. Sebanyak 21 dari 38 siswa beranggapan
bahwa kalor yang diterima suatu zat dari lingkungan yang bersuhu lebih rendah
dan kalor yang dilepaskan suatu zat ke lingkungan yang bersuhu lebih tinggi.
Pada teori yang lebih tepat menguraikan bahwa kalor yang diterima suatu zat dari
lingkungan yang bersuhu lebih tinggi dan kalor yang dilepaskan suatu zat ke
lingkungan yang bersuhu lebih rendah (Kamajaya, 2007: 225).
7
Siswa mengalami kondisi false negative tertinggi pada bagian menentukan
benda mana yang melepas kalor dan mana yang menerima kalor pada
pencampuran dua benda sampai mencapai kesetimbangan suhu. Sebanyak 20 dari
38 siswa beranggapan bahwa jika es dimasukkan dalam secangkir teh hangat yang
sesaat kemudian teh menjadi dingin disebabkan adanya suhu awal teh lebih besar
dibandingkan suhu es sehingga es melepas kalor dan teh menerima kalor. Pada
teori yang lebih tepat menguraikan bahwa apabila ada dua zat dengan suhu yang
berbeda dicampurkan maka akan terjadi kesetimbangan suhu antara dua zat
tersebut dengan zat yang bersuhu lebih tinggi melepaskan kalor dan zat yang
bersuhu lebih rendah menerima kalor (Kamajaya, 2007: 225).
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan yaitu: (1) tahap
instrumen penilaian diagnostik dengan bentuk pilihan ganda 2 tingkat yang
dikembangkan dalam penelitian ini menggunakan modifikasi model
pengembangan 4-D, yaitu tahap pendefinisian (define), perancangan (design), dan
pengembangan (develop); (2) kelayakan jumlah instrumen penilaian diagnostik
bentuk pilihan ganda 2 tingkat terdiri dari 23 butir soal. Hasil analisis pada tahap
revisi menghilangkan 2 butir soal yang tidak valid, yakni butir soal nomor 15 dan
25. Hasil reliabilitas instrumen soal penilaian diagnostik dengan bentuk pilihan
ganda 2 tingkat pada penelitian ini sebesar 0,649 sehingga instrumen soal ini
mempunyai tingkat reliabilitas yang tinggi. Hasil analisis tingkat kesukaran
produk menghasilkan sebanyak 6 butir soal (26,1%) dengan kriteria mudah, 13
butir soal (56,5%) dengan kriteria sedang, dan 4 butir soal (17,4%) dengan kriteria
sukar. Hasil analisis daya beda produk menghasilkan sebanyak 10 butir soal
(43,5%) dengan kriteria baik dan status diterima, 9 butir soal (39,1%) dengan
kriteria cukup baik dan status diterima, dan 4 butir soal (17,4%) dengan kriteria
jelek dan status sudah direvisi; dan (3) Hasil identifikasi kelemahan pemahaman
konsep materi kalor siswa kelas X-7 SMA Laboratorium UM diperoleh bahwa
sebanyak 36,2% dari 38 siswa mengalami kesalahan pemahaman konsep dengan
kondisi false positive dan 13,2% dari 38 siswa mengalami kesalahan pemahaman
konsep dengan kondisi false negative pada sub materi definisi kalor, perubahan
wujud, perpindahan kalor, dan Asas Black.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut penulis menyarankan instrumen
penilaian diagnostik dengan bentuk pihan ganda 2 tingkat yang dikembangkan
dalam penelitian ini dapat langsung digunakan oleh guru mata pelajaran Fisika
SMA Laboratorium UM ataupun SMA lainnya untuk mengetahui kesalahan
pemahaman konsep siswa kelas X pada materi kalor dikarenakan soal-soal yang
dihasilkan telah memenuhi kriteria dari analisis validasi butir soal. Model yang
digunakan dalam pengembangan instrumen penilaian diagnostik dengan bentuk
pihan ganda 2 tingkat ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk mengembangkan
instrumen penilaian pada materi lain ataupun mata pelajaran lain, mengingat
sangat pentingnya penilaian diagnostik dengan bentuk pihan ganda 2 tingkat
untuk mengetahui kesalahan pemahaman konsep siswa setelah mempelajari suatu
8
materi. Saran bagi peneliti lain yang akan mengembangkan produk lebih lanjut
atau membuat produk baru berupa instrumen penilaian untuk memanfaatkan
waktu dengan baik dan benar sehingga produk dapat digunakan dengan segera.
Selain itu disarankan untuk lebih memperhatikan kesesuaian indikator soal
terhadap tujuan pembelajaran yang direncanakan, kebenaran-kebenaran konsep
yang dipergunakan, kesesuaian jumlah soal dengan waktu yang disediakan, dan
isi butir soal ditinjau dari ranah bahasa, materi, dan konstruksi yang baik,
sehingga dapat menghasilkan instrumen penilaian diagnostik dengan kualitas yang
baik. Peneliti lain juga disarankan mengembangkan produk melalui program pada
komputer sehingga memberikan kemudahan guru untuk memberikan feedback
(umpan balik) kepada siswa. Guru juga dapat menyimpan hasil feedback tersebut
sebagai arsip.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, S. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Chandrasegaran, A. L., Treagust, David F. & Mocerino, Mauro. 2007. The
Development of A Two-Tier Multiple-Choice Diagnostic Instrument for
Evaluating Secondary School Students Ability to Describe and Explain
Chemical Reactions Using Multiple Levels of Representation. Chemistry
Education Research and Practice, 8 (3): 293-307.
Kamajaya. 2007. Cerdas Belajar Fisika untuk Kelas X SMA/MA. Bandung:
Grafindo Media Pratama.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. 2005. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI.
Pesman, Haki. 2005. Development of a Three-Tier Test to Assess Misconceptions
About Simple Electric Circuits. Tesis. Turkey: Middle East Technical
University in Ankara.
Rahmawati. 2009. Penyusunan dan Pengujian Penilaian Kelas (Modul
Instruksional untuk Guru Kelas). Bandung: Universitas Padjadjaran.
Saripudin, Aip, K., Dede Rustiawan, dan Suganda, Adit. 2009. Praktis Belajar
Fisika untuk Kelas X SMA dan MA. Jakarta: Pusat Perbukuan Diknas
Pendidikan Nasional.
Suwarto. 2013. Pengembangan Tes Diagnostik dalam Pembelajaran. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Thiagarajan, S., Semmel, D.S., & Semmel, M.I. 1974. Instructional Development
for Training Teachers of Expectional Children. Minneapolis, Minnesota:
Leadership Training Institute/Special Education, University of Minnesota.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003. 2003. Jakarta: Sekretariat Negara RI.