PENGARUH SELANG PEMERAHAN TERHADAP PRODUKSI
SUSU SAPI FRIES HOLLAND (FH)
SKRIPSI
YUNI RESTI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
RINGKASAN
YUNI RESTI. D14050133. 2009. Pengaruh Selang Pemerahan Terhadap
Produksi Susu Sapi Fries Holland (FH). Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Bagus Priyo Purwanto
Pembimbing Anggota : Ir. Andi Murfi, MSi
Susu merupakan sumber protein, vitamin D, kalsium, fosfor, magnesium
yang penting untuk pertumbuhan tulang dan gigi. Susu juga mengandung
imunoglobulin, vitamin A dan zinc yang bisa meningkatkan kekebalan tubuh, dan
asam lemak esensial untuk kesehatan. Namun, dalam penyediaan pangan dan gizi
khususnya susu, Indonesia tergolong sebagai negara dengan tingkat konsumsi susu
paling rendah di kawasan Asia. Suplai susu saat ini hanya berkisar 30-35 persen dari
total kebutuhan susu di Indonesia, sehingga perlu peningkatan produksi susu secara
nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui selang pemerahan yang tepat
dalam memerah sapi agar didapat produksi susu yang optimal.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok
menggunakan 2 perlakuan dan 4 kelompok. Penelitian ini menggunakan 4 ekor sapi
laktasi yang diperah dengan selang pemerahan 12:12 (A) dan 10:14 (B). Penelitian
dilakukan di kandang sapi perah, Fakultas Peternakan IPB. Produksi susu pada
perlakuan 12:12 adalah 4242,32 ± 1537,45 ml/hari dan perlakuan 10:14 didapat
produksi susu sebesar 4184,41 ± 1548,39 ml/hari. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh nyata terhadap perlakuan yang
diberikan terhadap produksi susu. Secara deskriptif, dapat diketahui bahwa sapi yang
diperah dengan selang pemerahan 12:12 memiliki produksi susu yang lebih banyak
dibandingkan dengan sapi yang diperah dengan selang pemerahan 10:14.
Kata-kata kunci : selang pemerahan, produksi susu, sapi perah
ABSTRACT
Effect of Milking Interval on Milk Production of the Fries Holland (FH) Cows
Resti, Y., B. P. Purwanto and A. Murfi
The objective of this research was to know the right milking interval for maximum
milk production. Four of Fries Holland cows were milked at 12:12 and 10:14 daily
interval to determine the effect of milking interval on the milk production. The cows
were kept at Field Laboratory, Faculty of Animal Science. The data were analyzed
by randomize complete block design. The result showed that cows milked at 10:14
interval produce less milk than the cows milked at 12:12 interval, but it was not
significant (P>0.05). The milk production in10:14 interval were 1.37% less than that
of the cows milked at 12:12 interval. More milk secreted was observed at shorter
milking interval than that of longer milking interval. Udder pressure gradually
increased after milking it will make decreasing milk secretion rate due to increasing
milking interval.
Keywords: Milking Interval, Milk Production, Dairy Cattle
PENGARUH SELANG PEMERAHAN TERHADAP PRODUKSI
SUSU SAPI FRIES HOLLAND (FH)
YUNI RESTI
D14050133
Skipsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
PENGARUH SELANG PEMERAHAN TERHADAP PRODUKSI
SUSU SAPI FRIES HOLLAND (FH)
Oleh
YUNI RESTI
D14050133
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan
Komisi Ujian Lisan pada tanggal 5 Agustus 2009
Pembimbing Utama
Dr. Bagus Priyo Purwanto
Dekan
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr
Pembimbing Anggota
Ir. Andi Murfi, MSi
Ketua Depatemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Juni 1988 di Pariaman, Sumatera Barat.
Penulis anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Syahril dan Ibu
Jusra Anom. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SD N 04 Rawang,
Pariaman. Pendidikan lanjutan sekolah menengah pertama diselesaikan pada tahun
2002 di SLTP N 4 Pariaman, tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikan di SMU
N 2 Pariaman. Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI) pada tahun 2005.
Penulis aktif di berbagai organisasi meliputi UKM Pramuka IPB, BEM TPB
IPB, Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
(HIMAPROTER), dan aktif pada berbagai kegiatan kampus. Penulis juga pernah
menjadi asisten mata kuliah pengelolaan kesehatan ternak tropis (2007-2008/2008-
2009). Penulis memperoleh pendanaan program kreativitas mahasiswa dari
Departemen Pendidikan Nasional (DIKTI) bidang kewirausahaan tahun 2008, dan
bidang penelitian tahun 2009.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
Pengaruh Selang Pemerahan Terhadap Produksi Susu Sapi Fries Holland (FH).
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Susu merupakan sumber protein, vitamin D, kalsium, fosfor, magnesium
yang penting untuk pertumbuhan tulang dan gigi. Susu juga mengandung
imunoglobulin, vitamin A dan zinc yang bisa meningkatkan kekebalan tubuh, dan
asam lemak esensial untuk kesehatan. Namun, dalam penyediaan pangan dan gizi
khususnya susu, Indonesia tergolong sebagai negara dengan tingkat konsumsi susu
paling rendah di kawasan Asia. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium lapang,
Kandang sapi perah, Fakultas Peternakan IPB pada bulan Februari-April 2009.
Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui selang pemerahan yang tepat dalam
memerah sapi agar didapat produksi susu yang optimal.
Penulis menyadari adanya kekurangan-kekurangan dalam penelitian maupun
penulisan skripsi ini, walaupun demikian penulis berharap semoga skripsi ini
bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan pembaca.
Bogor, Agustus 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ............................................................................................ i
ABSTRACT ............................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP .................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................ vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ x
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................. 1
Tujuan .............................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3
Sapi Fries Holland ............................................................................ 3
Produksi Susu ................................................................................... 3
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu ......................... 4
Selang Pemerahan ............................................................................ 5
Sekresi Susu ..................................................................................... 6
Mastitis ............................................................................................. 7
METODE ..................................................................................................... 9
Lokasi dan Waktu ............................................................................ 9
Materi ............................................................................................... 9
Rancangan ....................................................................................... 9
Prosedur ......................................................................................... 10
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 12
Uji Mastitis ....................................................................................... 12
Variasi Produksi Harian ................................................................... 13
Variasi Perlakuan Terhadap Kelompok ........................................... 16
Pengaruh Selang Pemerahan Terhadap Produksi Susu .................... 17
Variasi Produksi Susu Masing-masing Waktu Pemerahan .............. 19
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 22
Kesimpulan ...................................................................................... 22
Saran................................................................................................. 22
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 24
L A M P I R A N .......................................................................................... 26
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Produksi Susu Berbagai Bangsa Sapi .............................................. 4
2. Tingkat Reaksi dan Interpretasi dari Reaksi Modified Aulendorfer
Mastitis Probe ................................................................................. 8
3. Umur, Laktasi dan Masa Laktasi Sapi ............................................. 9
4. Hasil Uji Mastitis Pertama pada Minggu Ke-6 ................................ 12
5. Hasil Uji Mastitis Kedua pada Minggu Ke-8 .................................. 12
6. Protein dan TDN pakan, Kebutuhan Pokok dan Sisa Protein dan
TDN untuk Produksi Susu (kg) ....................................................... 14
7. Nilai Rataan Produksi Susu Individu Per hari (ml) ......................... 16
8. Nilai Rataan Produksi Susu Per hari (ml) ....................................... 18
9. Nilai Rataan Produksi Susu Pagi dan Sore (ml) .............................. 19
10. Nilai Rataan Kecepatan Sekresi Susu Pagi dan Sore (ml) ............... 21
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Grafik Nilai Rataan Produksi Susu Per hari .................................... 13
2. Grafik Nilai Rataan Produksi Susu Per hari Sebelum Hari ke-11
(Masa Adaptasi) .............................................................................. 15
3. Grafik Nilai Rataan Produksi Susu Per hari Setelah Hari ke-11
(Pengumpulan Data) ....................................................................... 15
4. Grafik Nilai Rataan Produksi Susu Individu terhadap Perlakuan
Per hari ............................................................................................ 17
5. Grafik Rataan Nilai Produksi Susu Per hari .................................... 18
6. Grafik Nilai Rataan Produksi Susu Pagi dan Sore .......................... 20
7. Grafik Nilai Rataan Produksi Susu Pagi dan Sore .......................... 21
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Susu
Per hari .............................................................................................. 27
2. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Susu .......... 32
3. Produksi Susu Pagi dan Sore ............................................................. 27
4. Data Bobot Badan Sapi ...................................................................... 34
5. Perhitungan Komposisi Pakan dan Perkiraan Produksi Susu ............ 35
6. Gambar Hasil Uji Mastitis Salah Satu Kuartir Ambing Sapi yang
Menderita Infeksi Ringan .................................................................. 36
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Makanan yang berasal dari ternak termasuk susu menyediakan zat-zat
makanan yang lebih baik dan berimbang dibandingkan dengan makanan yang berasal
dari tumbuhan. Susu merupakan sumber protein, vitamin D, kalsium, fosfor,
magnesium yang penting untuk pertumbuhan tulang dan gigi. Susu juga mengandung
imunoglobulin, vitamin A dan zinc yang bisa meningkatkan kekebalan tubuh, dan
asam lemak esensial untuk kesehatan.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi penduduk terbesar di
dunia. Namun, dalam penyediaan pangan dan gizi khususnya susu, Indonesia
tergolong sebagai negara dengan tingkat konsumsi dan produksi susu paling rendah
di kawasan Asia.
Departemen Pertanian menyatakan, pada tahun 2006 tingkat konsumsi susu
per kapita per tahun hanya 7,7 liter. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan
dengan sejumlah negara lain di Asia diantaranya Malaysia (25 liter), Singapura (32
liter), Filipina (11 liter), dan China (13,2 liter). Bahkan, di Finlandia tingkat
konsumsi susu mencapai 183,9 liter per kapita per tahun. Berdasarkan data yang
dilansir PT Tetra Pak Indonesia tahun 2007, konsumsi susu di Indonesia adalah 9
liter per kapita pertahun, sedangkan Malaysia dan Vietnam tercatat 25,4 liter dan
10,7 liter per kapita per tahun (Pdpersi, 2008). Kebutuhan susu nasional mencapai
1,306 juta ton per tahun. Namun, hingga tahun 2007, produksi susu dalam negeri
baru sekitar 444,096 juta per tahun dari kurang lebih 400.000 ekor sapi perah. Suplai
susu ini hanya berkisar 30-35 persen dari total kebutuhan susu di Indonesia.
Nilai penjualan susu pada usaha ternak perah ditentukan oleh jumlah susu yang
dihasilkan, sedangkan harga dipengaruhi oleh kualitas susu. Oleh karena itu, total nilai
penerimaan usaha sangat tergantung pada kuantitas dan kualitas susu yang dihasilkan.
Produksi susu dipengaruhi oleh bangsa atau rumpun sapi, lama bunting, masa laktasi,
besar sapi, estrus atau birahi, umur sapi, selang beranak, masa kering, frekuensi
pemerahan, dan tata laksana pemberian pakan. Semakin sering sapi diperah, maka
hasil susu akan lebih banyak (Sudono et al., 2003). Pelepasan air susu saat
pemerahan disebabkan oleh adanya rangsangan yang dipengaruhi hormon oksitosin
yang menimbulkan beberapa kontraksi jaringan alveolus dan saluran-saluran kecil
2
sehingga mendorong susu untuk keluar. Ambing akan mengembang 1/3 bagian
selama periode antar pemerahan, sehingga menyebabkan meningkatnya tekanan.
Laju sekresi terus menurun hingga tercapai keseimbangan dan tekanan akan
meningkat melebihi 40 mmHg jika susu tidak diperah dan akan terjadi penyerapan
kembali air susu (Blakely dan Bade, 1994). Dengan demikian produksi susu
ditentukan oleh frekuensi pemerahan dan selang pemerahan. Hal inilah yang
mungkin menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi susu sapi di Indonesia
disamping banyak faktor yang lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu
adanya penelitian untuk mencari dan mempelajari selang pemerahan dalam sehari
yang dapat memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap produksi susu.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui selang pemerahan yang tepat
dalam memerah sapi agar didapat produksi susu yang optimal.
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Fries Holland
Bangsa sapi perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah sapi
perah Fries Holland (FH) dan sapi perah persilangan FH dengan sapi lokal (Sapi
Grati) (Ungerer, 1985). Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya terbanyak
dibandingkan dengan sapi perah lainnya, tetapi memiliki kadar lemak susu yang
rendah. Bobot jantan dewasa adalah 1.000 kg dan betina dewasa adalah 682 kg
(Sudono et al., 2003).
Bangsa sapi FH berasal dari negara Belanda tepatnya di Provinsi North
Holland dan West Friesland, kedua daerah tersebut memiliki padang rumput yang
bagus. Sapi ini berwarna hitam dan putih (ada juga Holstein yang bewarna merah
dan putih). Sejarah mencatat bahwa bangsa sapi ini ada sejak 2.000 tahun yang lalu
(Ensminger dan Tyler, 2006). Produktivitas susu yang dicapai sapi FH lokal masih
lebih sedikit dibandingkan dengan sapi-sapi perah FH daerah iklim sedang. Oleh
karena itu diperlukannya pengembangan pengetahuan budidaya sapi perah yang
mampu menghasilkan produktivitas secara maksimal (Soedjana, 1999).
Produksi Susu
Produksi susu di Indonesia sampai saat ini belum mencukupi kebutuhan dan
permintaan konsumen. Hal ini antara lain disebabkan jumlah/populasi ternak yang
masih kurang, selain daya produksi susu per ekor yang belum mencapai titik
optimum (Sudarwanto, 1999). Rataan produksi susu sapi FH adalah 10.209,96 kg per
laktasi. Total produksi susu umumnya bertambah untuk bulan pertama setelah
melahirkan, kemudian perlahan-lahan berkurang pada bulan laktasi berikutnya
(Ensminger dan Tyler, 2006). Sebagaimana dinyatakan Schmidt (1971) sebelumnya
bahwa produksi susu relatif banyak dan akan bertambah empat sampai enam minggu
setelah melahirkan, kemudian produksi susu menurun sampai berakhirnya periode
laktasi.
Menurut Sudono et al. (2003), produksi susu sapi FH di Amerika serikat rata-
rata 7.425 kg per laktasi dan di Indonesia 10 liter per ekor per hari atau lebih kurang
3.050 kg per laktasi. Produksi susu beberapa bangsa sapi dapat dilihat pada Tabel 1.
4
Tabel 1. Produksi Susu Berbagai Bangsa Sapi
Bangsa
Tahun Beranak
1980 1990 1995 1999 2002
----------------------- (Pon) -----------------------
Ayrshire 13.114 14.799 15.684 17.424 17.880
Brown Swiss 14.172 16.250 17.493 20.148 20.869
Guernsey 11.666 13.297 14.051 15.963 16.398
Holstein 17.566 20.178 21.618 24.380 24.996
Jersey 11.437 13.407 14.812 16.940 17.663
Milking Shorthorn 11.560 14.011 15.341 16.704 17.144 Sumber : Ensminger dan Tyler, 2006
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu
Kemampuan sapi yang bervariasi dalam memproduksi susu merupakan
karakteristik dari keturunan dan ini berbeda pula di antara bangsa dan individu
(Ensminger dan Tyler, 2006). Produksi susu akan bertambah sampai kira-kira sapi
berumur delapan tahun (Bath et al., 1985). Menurut Sudono et al. (2003), faktor
yang mempengaruhi kualitas, kuantitas dan susunan susu sapi perah adalah bangsa
sapi, lama bunting, masa laktasi, besar sapi, estrus atau birahi, umur sapi, selang
beranak, masa kering, frekuensi pemerahan, dan tata laksana pemberian pakan.
Campbell et al. (2003) menyatakan bahwa sapi yang bertubuh besar secara normal
mampu mensekresi susu lebih banyak dibandingkan dengan sapi yang berukuran
kecil, tetapi mereka tidak efisien dalam mengubah nutrisi pada susu. Secara normal,
sapi tidak akan mensekresi susu lebih dari 8-12% berat badannya, kambing bisa
mensekresi lebih dari 20% dari berat badannya.
Pakan dan manajemen juga akan berpengaruh terhadap kuantitas, komposisi
dan palatabilitas (rasa) terhadap susu (Acker, 1960). Pakan yang diberikan pada
seekor sapi perah dewasa digunakan untuk kebutuhan hidup pokok, produksi dan
pertumbuhan. Nutrisi yang digunakan untuk hidup pokok adalah sejumlah nutrisi
yang harus tersedia guna mempertahankan tubuh dalam keadaan normal seperti
bernafas, mencerna pakan, memperbaiki bagian tubuh yang aus, dan lain-lain (Foley
et al., 1973). Sapi perah mempunyai daya produksi yang tinggi sehingga jika tidak
mendapatkan makanan yang cukup sapi tersebut tidak akan dapat memproduksi susu
dengan baik (Ensminger dan Tyler, 2006).
5
Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10
bulan antara saat beranak dan masa kering kandang. Produksi susu per hari mulai
menurun setelah laktasi dua bulan. Menurut Calder (1996), laktasi merupakan proses
yang ditandai oleh sintesis dan sekresi senyawa organik dan anorganik, dan juga
darah secara aktif dan pasif oleh sel epitel khusus dari kelenjar susu. Sapi laktasi
yang sedang bunting akan mengurangi produksi susu karena adanya pengaruh
hormon yang akan mengurangi sekresi susu dan peningkatan kebutuhan zat-zat
makanan untuk pertumbuhan dan hidup pokok dari fetus.
Apabila interval antara pemerahan tidak sama, maka produksi susu akan lebih
banyak pada interval yang lebih lama, dan kandungan lemak akan lebih tinggi dari
hasil pemerahan dengan interval yang lebih singkat (Eckles dan Anthony, 1956). Jika
sapi diperah dua kali sehari dengan jarak waktu antar pemerahan sama akan sedikit
sekali perubahan susunan susu tersebut. Produksi susu akan meningkat tergantung
dari kemampuan sapi berproduksi, pakan yang diberikan, dan manajemen yang
dilakukan peternak (Sudono et al., 2003).
Beberapa faktor lainnya yang juga mempengaruhi produksi susu ialah
jaringan sekresi, umur, hormon, estrus dan ukuran tubuh. Produksi susu terbanyak
akan dicapai pada usia 7-8 tahun (McNeilly, 2001). Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa sapi-sapi yang badannya besar akan menghasilkan susu lebih
banyak daripada sapi yang berbadan kecil. Sapi yang sedang estrus juga akan
mengalami pengurangan produksi susu (Campbell et al., 2003). Produksi susu juga
akan berkurang selama ternak mengalami stres panas. Pengaruh langsung stres panas
terhadap produksi susu disebabkan meningkatnya kebutuhan maintenance untuk
menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolis, dan mengurangi
konsumsi makanan (Anderson et al., 1985).
Selang Pemerahan
Produksi susu pada ambing dalam keadaan kosong akan bertambah setelah
diperah dengan memperlama selang pemerahan. Produksi susu di alveolus akan
bertambah dengan lama selang pemerahan setelah 20 jam (McKusick et al., 2002)
Selang pemerahan tetap, memiliki beberapa kepentingan untuk memperoleh produksi
susu yang optimal. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Woodward (dalam
Schmidt 1971) menunjukkan bahwa produksi susu sapi yang diperah selama tiga kali
6
dalam sehari dengan selang 6, 7 dan 11 jam per hari menghasilkan 3,9% susu lebih
banyak dan memiliki kadar lemak lebih besar dari 5,2% dibandingkan dengan sapi
yang diperah dengan selang yang berbeda. Pada waktu pemerahan lainnya, sapi yang
diperah dengan selang pemerahan 12:12 jam memproduksi susu 1,8% lebih banyak
dibandingkan dengan sapi yang diperah dengan selang pemerahan 15:9 jam
(Schmidt, 1971).
Efek lamanya interval antar pemerahan terhadap produksi susu akan banyak
dipengaruhi oleh karakteristik individu sapi seperti : kapasitas ambing, lama laktasi,
dan jumlah susu yang biasa diproduksi. Bila dihubungkan dengan laju sekresi susu
dan lemak maka pada interval yang lebih lama yaitu pemerahan pagi hari akan lebih
sedikit lemaknya bila dibandingkan dengan pemerahan sore hari (Smith, 1969).
Penelitian Schmidt dan Trimberger (1962) menyatakan bahwa selang pemerahan
yang lama akan memiliki sisa susu yang lebih banyak. Sapi yang diperah dengan
selang pemerahan 15:9 jam, dan 16:8 jam, memproduksi susu lebih rendah
dibandingkan dengan selang pemerahan 12:12 jam.
Sekresi Susu
Susu disekresikan oleh unit-unit sekretoris individual yang bentuknya
menyerupai buah anggur yang disebut alveolus. Unit kecil ini berukuran 0,1 sampai
0,3 milimeter dan terdiri atas suatu lapis dalam sel epitel yang menyelubungi suatu
rongga yang disebut lumen. Sel-sel tersebut mensekresi susu dengan cara menyerap
zat-zat dari dalam darah dan mensintesisnya menjadi susu (Blakely dan Bade, 1994).
Hal ini karena unsur dasar pembentukan susu adalah kandungan darah (Alim, 2002).
Interval yang lama akan mempengaruhi kecepatan jumlah sekresi. Penurunan
dalam sekresi susu terjadi setelah 12 jam dan akan memberikan pengaruh pada
interval pemerahan berikutnya. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa
sekresi susu dan lemak susu mengalami pengurangan dengan memperlama interval
pemerahan dengan jumlah yang lebih banyak untuk pengurangan susu dibandingkan
dengan lemak susu dan persentase lemak susu akan cenderung bertambah pada
interval pemerahan yang lama (Schmidt, 1971).
Rata-rata kecepatan sekresi susu mengalami pengurangan mulai 10-12 jam
setelah pemerahan sebelumnya, tetapi tidak langsung berkurang secara drastis.
Proses pelepasan air susu saat pemerahan disebabkan oleh adanya rangsangan pada
7
saat pemerahan yang mengakibatkan terlepasnya hormon oksitosin dari lobus
posterior kelenjar pituitary dan masuk ke dalam aliran darah. Oksitosin mencapai
ambing dalam beberapa detik dan menyebabkan timbulnya kontraksi jaringan
alveolus dan saluran-saluran kecil sehingga mendorong susu memasuki sistem
saluran yang lebih besar. Oleh karena pelepasan air susu hanya berlangsung 6 sampai
8 menit, maka pemerahan harus selesai dalam masa pelepasan itu agar diperoleh
hasil yang maksimum (Blakely dan Bade, 1994).
Mastitis
Mastitis adalah penyakit radang ambing yang merupakan radang infeksi.
Biasanya penyakit ini berlangsung secara akut, sub akut dan kronis. Mastitis ditandai
dengan peningkatan jumlah sel di dalam air susu, perubahan fisik maupun susunan
air susu yang disertai atau tanpa disertai perubahan patologis atau kelenjarnya
sendiri. Berdasarkan faktor penyebabnya, mastitis dapat disebabkan oleh bakteri
Streptococcus agalactiae, S. dysgalactiae, S. uberis, S. zooepidemicus, dan
Staphylococcus aureus, serta berbagai spesies lain yang juga dapat menyebabkan
terjadinya mastitis walaupun dalam persentase kecil (Admin, 2007).
Meskipun sering terlihat, penyakit ini dapat tersembunyi. Oleh karena itu
beberapa tes mastitis telah dikembangkan untuk mendeteksi adanya penyakit ini.
CMT (Califonia Mastitis Test) merupakan tes yang paling sering digunakan. Alat ini
menggunakan satu atau dua pancaran susu dari 4 puting ditambah dengan reagent
CMT dalam jumlah yang sama. Pembentukan jel menunjukkan sel somatik yang
banyak didalam susu (Ensminger dan Tyler, 2006).
Mastitis dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu : mastitis klinis, mastitis
subklinis, dan mastitis nonspesifik. Pada mastitis klinis ditemukan gejala kelenjar
ambing membengkak, berisi cairan eksudat disertai tanda-tanda peradangan lainnya
seperti suhu meningkat, kemerahan, rasa sakit dan penurunan fungsi (Sudarwanto et
al., 1993). Mastitis subklinis tidak menampakkan perubahan yang nyata pada ambing
dan susu yang dihasilkan, hanya produksi susu berkurang sehingga peternak kurang
menyadari kerugian yang diakibatkannya (Sudarwanto, 1999).
Suatu modifikasi terhadap Aulendorfer Mastitis Probe telah dilakukan
dengan menggunakan paddle yang biasa digunakan pada uji CMT. Pengembangan
metode ini adalah untuk mempercepat pembacaan hasil di lapangan dan hasil yang
8
didapat cukup akurat. Tingkat reaksi dan interpretasi metode ini dapat dilihat dalam
Tabel 2.
Tabel 2. Tingkat Reaksi dan Interpretasi dari Reaksi Modified Aulendorfer
Mastitis Probe
Tingkat
Reaksi
Arti Reaksi yang Terlihat Interpretasi
-
±
+
++
+++
Negatif
Trace
Positif
lemah
Positif
Positif
kuat
Campuran tetap cair, tetap
homogen
Terbentuk lendir tipis yang
cenderung hilang kembali
dengan menggerakkan paddle
terus menerus
Terbentuk lendir yang jelas,
tetapi jel tidak terbentuk
Campuran membentuk jel yang
cenderung bergerak ketengah
jika paddle digerakkan. Jika
gerakan dihentikan, jel akan
kembali menyebar ke dasar
Terbentuk jel yang cenderung
melekat pada dasar paddle dan
bila digerakkan akan
menyebabkan permukaan
menjadi cembung
Tidak dicurigai adanya
mastitis
Dubius
Infeksi ringan
Mastitis
Mastitis dan merupakan
masalah peternakan
Sumber : Hartomo dalam Jaya,1992
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Kandang sapi perah, Laboratorium Lapang IPT
Perah, Fakultas Peternakan IPB selama dua bulan dari bulan Maret-April 2009.
Materi
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah milk can, gelas ukur, pita ukur, alat tulis, paddle,
dan bahan reaksi untuk uji CMT dengan merk Bovi-Vet.
Ternak
Ternak yang digunakan adalah empat ekor sapi FH laktasi (Tabel 3) yang
diperah dengan dua kali pemerahan, dengan selang pemerahan yang berbeda yaitu
12:12 dan 10:14. Pakan diberikan dua kali dalam sehari yaitu sebanyak 12 kg rumput
lapang, 8 kg rumput gajah dan 3 kg konsentrat.
Tabel 3. Umur, Laktasi dan Masa Laktasi Sapi
Sapi Umur Laktasi Masa Laktasi
1 3,5 tahun Pertama 1 Bulan
2 4 tahun Kedua 1 Bulan
3 4 tahun Pertama 4 Bulan
4 3 tahun Pertama 7 Bulan
Rancangan
Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan 2 perlakuan dan 4 kelompok. Peubah yang diamati adalah
produksi susu. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) model matematika dalam
rancangan percobaan adalah :
10
Y ij = μ + τ i + β j + ε ij
Keterangan :
Y ij : pengamatan pada perlakuan ke –i dan kelompok ke -j
µ : rataan umum
τ i : pengaruh perlakuan ke -i
β j : pengaruh kelompok ke -j
ε ij : pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke -j
j : kelompok (1, 2, 3, 4)
i : perlakuan
Analisis Data
Data berupa produksi susu yang diperoleh dari setiap perlakuan dianalisis
menggunakan sidik ragam (ANOVA).
Prosedur
Penelitian ini dilaksanakan dengan dua perlakuan waktu pemerahan yaitu
selang pemerahan 12 jam : 12 jam (Perlakuan A) dan 10 jam : 14 jam (Perlakuan B).
Perlakuan diberikan pada masing-masing sapi selama 27 hari (empat minggu). Sapi
dengan puting sebelah kanan diberikan perlakuan A, sedangkan puting sebelah kiri
diberikan perlakuan B. Selanjutnya dilakukan pergantian perlakuan, puting sebelah
kanan diberikan perlakuan B dan puting sebelah kiri diberikan perlakuan A.
Perlakuan diberikan sama pada tiga ekor sapi lainnya.
Penelitian ini dilakukan dengan dua tahap yaitu tahap adaptasi dan
pengambilan data. Seminggu sebelum pengambilan data dilakukan adaptasi terhadap
sapi, setelah itu dilakukan pengumpulan data selama tiga minggu. Lalu tahap
adaptasi kembali dilakukan selama satu minggu, dan setelah itu kembali dilakukan
pengambilan data selama tiga minggu. Produksi susu dari setiap perlakuan diukur
pada setiap pemerahan. Pemerahan dilakukan dua kali sehari dengan menggunakan
tangan yaitu pada pukul 05.00 WIB dan 17.00 WIB untuk perlakuan A, dan pukul
05.00 WIB dan 15.00 WIB untuk perlakuan B.
Tahap adaptasi merupakan masa pergantian perlakuan yang dilakukan agar
sapi dapat berproduksi normal untuk perlakuan selanjutnya. Tahap ini dilakukan
selama satu minggu sebelum data dianalisis untuk masing-masing perlakuan.
11
Produksi susu harian diperoleh dengan mengukur hasil pemerahan pagi dan sore
menurut waktu dan perlakuan selang pemerahan. Produksi susu dibedakan dalam
empat waktu, yaitu :
1. Produksi selama tahap pengambilan data 21 hari (untuk dianalisis).
2. Produksi selama 11 hari pertama (dalam pelaksanaannya, dibutuhkan waktu
adaptasi yang lebih lama dari waktu yang direncanakan).
3. Produksi selama 16 hari berikutnya (saat produksi mulai normal).
4. Produksi susu pagi dan sore (variasi kecepatan sekresi susu per jam).
Kecepatan sekresi susu per jam dihitung berdasarkan jumlah produksi susu
pada pagi/sore hari dibagi dengan lamanya interval pemerahan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Mastitis
Uji mastitis pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan CMT
(California Mastitis Test). Menurut Rice (1997), keuntungan menggunakan CMT
adalah mudah, murah, sederhana, membutuhkan sedikit peralatan, dan mudah
dibersihkan. Uji mastitis dilakukan pada masing-masing sapi pada minggu ke-6 dan
minggu ke-8 selama penelitian berlangsung. Hasil dari uji mastitis pada pengujian
pertama dapat dilihat pada Tabel 4, dan pengujian kedua dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 4. Hasil Uji Mastitis Pertama pada minggu ke-6
No. Sapi A B C D
1
2
3
4
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
Keterangan :
A = Kuartir Kanan Depan
B = Kuartir Kanan Belakang
C = Kuartir Kiri Depan
D = Kuartir Kiri Belakang
Tabel 5. Hasil Uji Mastitis Kedua pada minggu ke-8
No. Sapi A B C D
1
2
3
4
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
Keterangan :
A = Kuartir Kanan Depan
B = Kuartir Kanan Belakang
C = Kuartir Kiri Depan
D = Kuartir Kiri Belakang
Tingkat infeksi mastitis ditunjukkan dengan banyaknya jel yang terbentuk.
Berdasarkan pengamatan, diperoleh tanda positif 1 untuk sapi 3 pada kuartir kiri
belakang. Hasil ini didapatkan karena pada susu yang diuji terdapat lendir yang jelas,
tetapi jel tidak terbentuk sehingga sapi dideteksi menderita infeksi ringan.
13
Variasi Produksi Harian
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap adaptasi dan tahap
pengambilan data. Tahap adaptasi dilakukan selama satu minggu dan pengambilan
data dilakukan selama tiga minggu. Namun, dalam pelaksanaannya, dibutuhkan
waktu adaptasi yang lebih lama dari waktu yang direncanakan (11 hari). Hal ini
disebabkan karena sapi memiliki produksi susu yang fluktuatif sehingga produksi
susu cenderung tidak sama setiap harinya (Gambar 1).
Gambar 1. Grafik Nilai Rataan Produksi Susu Per hari
Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi susu pada penelitian ini di
antaranya adalah pemberian pakan. Pemberian pakan dipengaruhi oleh ketersediaan
pakan dan frekuensi pemberian pakan. Pemberian pakan pada ternak dilakukan dua
kali dalam sehari. Pakan hijauan diberikan setelah pemerahan dalam bentuk
utuh/tidak dicacah. Hal ini kurang baik karena sapi hanya mengunyahnya sebentar
lalu dicerna lebih lanjut di dalam rumen yang akan berakibat pada kerja mikroba
rumen menjadi terlalu berat. Hijauan yang tidak dicacah terlebih dahulu akan
mengakibatkan sapi cepat kenyang sehingga konsumsi hijauan menjadi sedikit.
Pemberian konsentrat yang tidak teratur juga mengakibatkan produksi susu yang
tidak teratur pada sapi. Ensminger dan Tyler (2006) menyatakan bahwa sapi perah
mempunyai daya produksi yang tinggi sehingga jika tidak mendapatkan makanan
yang cukup sapi tersebut tidak akan dapat memproduksi susu dengan baik. Sapi
diberi pakan hijauan rumput lapang dan rumput gajah sebanyak 12 kg dan 8 kg setiap
14
hari, sedangkan konsentrat yang diberikan adalah 3 kg. Komposisi pakan dan
perkiraan produksi susu sapi dalam sehari dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Protein dan TDN Pakan, Kebutuhan Pokok dan Sisa Protein dan
TDN untuk Produksi Susu (kg)
Komposisi Pakan Kebutuhan Hidup Pokok Sisa Produksi Susu
PK TDN PK TDN PK TDN
0,656 4,522 0,349 2,934 0,307 1,588
Tabel 6 menunjukkan kebutuhan protein kasar (PK) untuk memenuhi
kebutuhan hidup pokok lebih tinggi dibandingkan untuk menghasilkan susu. Seperti
halnya PK, total nutrien tercerna (TDN) untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok
juga lebih tinggi dibandingkan dengan produksi susu. Hal ini menunjukkan bahwa
untuk memperbaiki produksi susu maka kebutuhan hidup pokok harus dipenuhi
terlebih dahulu. Oleh karena itu, pakan yang diberikan tanpa konsentrat akan
menyebabkan penurunan produksi susu, karena sapi kekurangan energi untuk
memproduksi susu.
Faktor lain yang menyebabkan rendahnya produksi susu ini adalah suhu
lingkungan. Suhu lingkungan yang berubah-ubah juga menjadi salah satu faktor
penyebab rendahnya produksi susu pada sapi ini. Menurut Smith (1969) konsumsi
pakan akan menurun apabila terjadi peningkatan suhu lingkungan dan ini akan
menyebabkan penurunan produksi susu.
Adanya tahap adaptasi sebelum penelitian dilakukan agar sapi dapat
berproduksi normal sehingga tidak mempengaruhi produksi susu selanjutnya.
Gambar 2 menunjukkan bahwa pada awal adaptasi terjadi peningkatan jumlah
produksi susu, meskipun pada hari berikutnya masih terdapat produksi susu yang
tidak stabil.
15
Gambar 2. Grafik Nilai Rataan Produksi Susu Per hari Sebelum Hari ke-11
(Masa Adaptasi)
Waktu adaptasi yang diperkirakan selama satu minggu ternyata tidak begitu
berpengaruh. Hal ini karena produksi susu yang dihasilkan sangat fluktuatif.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hal ini disebabkan oleh pemberian pakan yang
tidak teratur dan suhu lingkungan yang sering berubah. Produksi susu yang relatif
stabil diperoleh setelah hari ke-11. Gambar 3 menunjukkan bahwa sapi menghasilkan
susu dengan produksi stabil beberapa hari setelah hari ke-12 dan perlahan-lahan naik
hingga mencapai puncak produksi pada hari ke-18. Peningkatan ini disebabkan
karena sapi diberikan konsentrat, sehingga sapi dapat memproduksi susu lebih tinggi
dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya.
Gambar 3. Grafik Nilai Rataan Produksi Susu Per hari Setelah Hari ke-11
(Pengumpulan Data)
16
Variasi Perlakuan Terhadap Kelompok
Nilai rataan produksi susu individu dihitung berdasarkan nilai produksi susu
selama penelitian yang disajikan dalam waktu yang berbeda (Tabel 7), yaitu produksi
selama pengambilan data (21 hari), produksi selama adaptasi (11 hari) dan produksi
setelah adaptasi (16 hari).
Tabel 7. Nilai Rataan Produksi Susu Individu Per hari (ml)
Perlakuan Hari
Sapi
1 2 3 4
21 Hari
6564,52 ±
524,64
3119,52 ±
300,89
4442,38 ±
471,71
2842,86 ±
370,04
12:12 11 Hari
7153,75 ±
335,33
3385 ±
279,14
5047,5 ±
340,28
3375 ±
380,664
16 Hari
6398,13 ±
479,73
3054,38 ±
307,29
4249,38 ±
343,46
2673,75 ±
224,5
21 Hari
6540 ±
579,37
3060,95 ±
274,44
4303,81 ±
552,06
2832,86 ±
386,50
10:14 11 Hari 7290 ± 259,58
3290 ± 257,21
5045 ± 321,086
3375 ± 365,814
16 Hari
6301,88 ±
438,14
2998,13 ±
272,13
4048,75 ±
303,97
2657,5 ±
240,82
Secara umum, produksi susu terbanyak diperoleh pada sapi 1 dan produksi
susu yang paling sedikit diperoleh pada sapi 4. Hasil analisis yang dilakukan pada
pengamatan 21 hari menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap
produksi susu masing-masing kelompok sapi (P<0,05). Perbedaan produksi ini
disebabkan karena sapi 1 masih berada dalam masa laktasi satu bulan sehingga
produksi susunya akan terus meningkat hingga mencapai puncak laktasi, sedangkan
sapi 2 berada pada masa laktasi 7 bulan sehingga produksi susunya akan terus
menurun hingga akhir masa laktasi. Menurut Blakely dan Bade (1994), produksi susu
akan meningkat setelah enam minggu sampai tercapai tingkat produksi maksimum.
Mulai saat ini terjadi penurunan produksi susu bertahap sampai pada akhir laktasi.
Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi susu pada sapi 4.
Pola produksi susu individu terhadap masing-masing perlakuan dapat dilihat
pada Gambar 4. Tidak terdapat perbedaan produksi yang cukup signifikan antara
kedua perlakuan terhadap produksi susu masing-masing individu sapi. Pengamatan
17
yang dilakukan selama 21 hari menunjukkan bahwa produksi susu pada perlakuan
12:12 sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan 10:14.
Gambar 4. Grafik Nilai Rataan Produksi Susu Individu terhadap Perlakuan
Per hari
Pengaruh Selang Pemerahan Terhadap Produksi Susu
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan waktu pemerahan tidak memberi
pengaruh terhadap produksi susu. Hasil analisis data menunjukkan bahwa interval
pemerahan secara statistik tidak mempengaruhi produksi susu sapi FH (P>0,05).
Secara deskriptif terdapat perbedaan produksi susu antara perlakuan pemerahan
12:12 (A) dengan 10:14 (B). Berdasarkan hasil yang diperoleh pada pengamatan 21
hari, didapatkan bahwa persentase produksi susu pada perlakuan 10:14 lebih rendah
1,37% dibandingkan dengan perlakuan 12:12, sedangkan Schimdt dan Trimberger
(1962) menemukan bahwa persentase produksi susu dengan interval 10:14 lebih
rendah 0,3 % dibandingkan dengan pemerahan 12:12.
Nilai rataan produksi susu terhadap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8.
Pemerahan dengan perlakuan A diperoleh produksi sebesar 4242,32 ± 1537,45
ml/hari, dan pada perlakuan B sebesar 4184,41 ± 1548,39 ml/hari. Seperti yang
dikemukakan Schimdt (1971), kecepatan sekresi susu berbagai macam interval
pemerahan mengindikasikan bahwa sekresi susu dan lemak susu mengalami
penurunan dengan peningkatan interval pemerahan. Interval yang panjang akan
mempengaruhi kecepatan sekresi. Penurunan dalam sekresi susu terjadi setelah 12
18
jam dan akan mempengaruhi interval pemerahan berikutnya. Rata-rata kecepatan
sekresi mengalami penurunan setelah 10-12 jam setelah pemerahan sebelumnya.
Perlakuan A memiliki produksi yang lebih banyak karena pada perlakuan B sapi
diperah lebih awal yaitu pada pukul 15.00 WIB, sedangkan perlakuan A diperah
pada pukul 17.00 WIB. Pada pemerahan interval pendek (perlakuan B), keadaan
alveolus belum penuh, sedangkan pada interval panjang (perlakuan A) keadaan
alveolus telah penuh beberapa jam sebelum diperah, sehingga alveolus telah mampu
memproduksi susu secara optimal.
Tabel 8. Nilai Rataan Produksi Susu Per hari (ml)
Selang 21 hari 11 Hari 16 Hari
12:12 4242,32 ± 1537,46 4741,56 ± 1611,84 4093,91 ± 1502,86
10:14 4184,40 ± 1548,39 4750 ± 1686,18 4001,56 ± 1469,04
Berdasarkan Tabel 8, diketahui bahwa pengamatan 11 hari pertama
menghasilkan produksi susu yang relatif lebih banyak pada perlakuan B
dibandingkan dengan perlakuan A, sedangkan pada pengamatan setelah 11 hari
didapatkan produksi susu yang lebih banyak pada perlakuan A dibandingkan dengan
perlakuan B. Hal ini disebabkan saat pengamatan 11 hari pertama sapi masih berada
pada tahap adaptasi terhadap perlakuan yang diberikan sehingga produksi susu masih
belum normal. Produksi susu sapi mulai normal beberapa hari setelah adaptasi
dilakukan yaitu pada hari ke-12.
Pola nilai rataan produksi susu untuk masing-masing perlakuan ini dapat
dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Grafik Rataan Nilai Produksi Susu Per hari
19
Variasi Produksi Susu Masing-masing Waktu Pemerahan
Hasil analisis data menunjukkan bahwa pemerahan pagi hari memiliki
produksi yang lebih banyak dibandingkan dengan pemerahan sore hari (P<0,05).
Produksi susu antara pagi dan sore hari dapat dilihat pada Tabel 9. Dari tabel tersebut
terlihat bahwa produksi susu pada pagi hari lebih banyak dibandingkan dengan
produksi susu pada sore hari. Pengamatan selama 21 hari menunjukkan produksi
susu pagi hari pada perlakuan A adalah 2287,08 ± 849,91 ml dan sore hari diperoleh
1955,24 ± 701,09 ml. Pada perlakuan B, produksi pagi hari diperoleh 2572,26 ±
949,31 ml, dan produksi sore hari diperoleh 1612,14 ± 608,21 ml.
Produksi susu pagi hari baik pada perlakuan A ataupun perlakuan B lebih
banyak dibandingkan pada sore hari. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan alveolus
dalam memproduksi susu. Nilai rataan produksi susu pagi dan sore dapat dilihat pada
Tabel 9.
Tabel 9. Nilai Rataan Produksi Susu Pagi dan Sore (ml)
Selang Pemerahan 21 hari 11 Hari 16 Hari
12:12 Pagi 2287,08 ± 849,91 2438,75 ± 857,36 2199,53± 837,07
Sore 1955,24 ± 701,09 2134,77± 794, 08 1894,38 ± 679,26
10:14 Pagi 2572,26 ± 949,31 2821,59 ± 1014,33 2452,38 ± 896,11
Sore 1612,14 ± 608,21 1814,32 ± 673,45 1548,91 ± 580,63
Pola rataan nilai produksi susu antara pagi hari dan sore dapat dilihat pada
Gambar 6. Produksi yang tinggi pada pagi hari juga disebabkan oleh kondisi
fisiologis sapi. Pada malam hari sapi cenderung beristirahat. Keadaan lingkungan
sekitar kandang yang tenang membuat sapi merasa nyaman dan tenang, sedangkan
pada siang hari, penggunaan kandang sebagai media praktikum mahasiswa juga
mempengaruhi produktivitas sapi. Sapi menjadi terganggu dan stres akibat
penggunaan hewan ini sebagai materi praktikum. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan Ouweltjles (1998) bahwa produksi susu pagi hari lebih banyak
dibandingkan dengan produksi susu sore hari. Jumlah produksi yang lebih rendah
pada sore hari disebabkan karena semakin meningkatnya suhu lingkungan di sekitar
kandang sehingga mempengaruhi kondisi fisiologis sapi dan mempengaruhi
produktivitas air susu. Pengaruh stres panas terhadap produksi susu disebabkan
meningkatnya kebutuhan maintenance untuk menghilangkan kelebihan beban panas,
20
mengurangi laju metabolis dan menurunkan konsumsi makanan (Anderson et
al.,1985).
Gambar 6. Grafik Nilai Rataan Produksi Susu Pagi dan Sore
Kecepatan sekresi susu untuk setiap interval pemerahan dapat dilihat pada
Tabel 10. Kecepatan sekresi susu diperoleh dari total produksi pada masing-masing
interval pemerahan dibagi dengan lama interval pemerahan. Kecepatan sekresi paling
tinggi terjadi pada pemerahan pagi hari dengan selang pemerahan 12 jam. Meskipun
total produksi susu paling banyak diperoleh pada pemerahan pagi hari dengan
perlakuan B, tetapi kecepatan sekresi susu paling tinggi didapatkan pada pemerahan
pagi hari dengan perlakuan A. Hal ini karena selang pemerahan pada perlakuan B
lebih lama dibandingkan dengan selang pemerahan pada perlakuan A. Menurut
penelitian McKusick (2002), produksi susu setelah ambing kosong akan meningkat
dengan peningkatan selang pemerahan. Air susu dibentuk atau disekresi oleh seekor
sapi pada waktu atau periode antar waktu pemerahan. Sintesis susu yang paling cepat
terjadi sesaat setelah pemerahan, susu pertama yang disintesis mengisi tempat-tempat
penampungan yang ada di dalam ambing, sehingga tekanan mamae meningkat dan
laju sekresi air susu berkurang.
21
Tabel 10. Nilai Rataan Kecepatan Sekresi Susu Pagi dan Sore (ml)
Selang Pemerahan 21 hari 11 Hari 16 Hari
12:12 Pagi 190,59 203,23 183,29
Sore 162,94 177,89 157,86
10:14 Pagi 183,73 201,54 175,19
Sore 161,21 181,43 154,89
Pola rataan kecepatan sekresi susu pagi dan sore dapat dilihat pada pada
Gambar 7. Gambar menunjukkan bahwa sekresi susu pagi hari lebih tinggi
dibandingkan dengan produksi sore hari.
Gambar 7. Grafik Nilai Rataan Produksi Susu Pagi dan Sore
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Sapi yang diperah dengan selang pemerahan 12:12 memiliki produksi susu
yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang diperah dengan selang pemerahan
10:14.
Saran
Selang pemerahan yang seimbang memiliki pengaruh penting agar sapi
berproduksi optimal, tetapi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
selang pemerahan yang baik agar sapi dapat berproduksi optimal dengan
memperhatikan berbagai macam faktor lainnya seperti kadar lemak, umur, masa
laktasi dan jumlah ternak yang digunakan. Disamping itu, manajemen pakan juga
sangat mempengaruhi produktivitas susu sapi. Sapi harus diberikan pakan yang
cukup dan teratur agar memiliki energi yang cukup untuk memproduksi susu.
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi, penelitian dan skripsi ini. Secara khusus skripsi ini penulis
persembahkan kepada ayahanda Syahril dan ibunda Jusra Anom, terima kasih yang
tak terhingga yang senantiasa melimpahkan doa, nasihat, kasih sayang, dan motivasi
kepada penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ir. Neni
Polii, Su selaku pembimbing akademik, Dr. Bagus Priyo Purwanto dan Ir. Andi
Murfi, MSi selaku dosen pembimbing atas bimbingan, saran dan arahannya selama
penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini hingga tahap akhir.
Ir. Afton Atabany, Msi dan Ir. Anita Sardiana T., M.Rur.Sc yang telah memberikan
kritikan dan saran guna penyempurnaan penulisan skripsi ini.
Terimakasih untuk UKM Pramuka IPB atas suasana kekeluargaan dan
pengalaman hidup yang luar biasa, sahabat- sahabatku Ratih, Fajri, Hendro, Kak
Supri, Wulan, Kokom, Tri, Heni, Ides, Ayu C., Nengia, Hida, Mala, Pipit, Ninuk,
Ayu W., Tristy serta teman-teman IPTP 42, terimakasih atas bantuan, semangat dan
kebersamaannya. Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh civitas
akademika Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Bogor, Agustus 2009
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Acker, D. 1960. Animal Science and Industry. Prentice-Hall. Inc., Englewood Cliff,
N. J. New York.
Admin. 2007. Bagaimana pengobatan mastitis yang efektif ?. http://www.vet-
indo.com/Kasus-Medis/Bagaimana-Pengobatan-Mastitis-yang-Efektif.html. (15
Mei 2009).
Alim, A. F dan T. Hidaka. 2002. Pakan dan Tata Laksana Sapi Perah. Dairy
Technology Improvement Project in Indonesia. PT Sonysugema Pressindo,
Bandung.
Anderson R. R., R. J. Collier, A. J. Guidry, C. W. Heald, R. Jennes, B. L. Larson dan
H. A. Tucker. 1985. Lactation. The Lowa University Press. Ames. Lowa.
Bath, D. L., F. N. Dickinson, H. A. Tucker, dan R. D. Appleman. 1985. Dairy Cattle
: Principles, Practices, Problems, Profits. Third Edition. Lea Febiger,
Philadelphia.
Blakely, J. dan D. H. Bade. 1994. Ilmu Peternakan. Terjemahan. Edisi Keempat.
Gadjah Mada University Press, Yogjakarta.
Calder, W. A. 1996. Size, Function and Life Story. Dover, New York.
Campbell, J. R., M. D. Kenealy, dan K. L. Campbell. 2003. Animal Science, The
Biology, Care, and Production of Domestic Animals. McGraw-Hill, New
York.
Eckles, H. dan L. Anthony. 1956. Dairy Cattle and Milk Production. Fifth Edition.
The Macmillan Co., New York.
Ensminger, M. E., dan H. D. Tyler. 2006. Dairy Cattle Science. Fourth Edition.
Upper Saddle River, New Jersey.
Foley, R. C., D. C. Bath, E. Bath, N. Dickinson dan H. A. Tucker. 1973. Dairy Cattle
Principles, Practices, Problems, Profits. Lea and Febiger, Philadelphia.
Jaya, K. 1992. Daya simpan susu pasteurisasi HTST asal mastitis sub klinis ditinjau
dari jumlah kuman dengan metode hitungan cawan. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pdpersi. 2008. Daerah perlu kembali menggalakkan program minum susu gratis di
sekolah.
http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=BeritaUtama&topik=7&id=1021.
[15 Oktober 2008]
Mattjik, A. A. dan I M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab. Jilid I. IPB Press, Bogor.
McNeilly, A. S. 2001. Reproduction, fertility and development. CSIRO Publishing,
13 : 583-590.
McKusick, B. C., D. L. Thomas, Y. M. Berger, dan P. G. Marnet. 2002. Effect of
milking interval on alveolar versus cisternal milk accumulation and milk
production and composition in dairy ewes. Journal Dairy Science. 85 : 2197-
2206.
25
Ouweltjes, W. 1998. The relationship between milking yield and milking interval in
dairy cows. Livestock Production Science. 56 : 193 - 201
Rice, D. N. dan G. R. Bodman. 1997. The Somatic Cell Count and Milk Quality.
http.//www.farminfo.org/dairy/somatic.htm. [5 Mei 2009]
Schmidt, G. H. 1971. Biology of Lactation. W.H. Freeman and Company, San
Fransisco.
Schmidt, G. H. dan G. W. Trimberger. 1962. Effect of unequal milking on lactation
milk, milk fat, and total solids production of cows. Journal Dairy Science. 46 :
19.
Smith, V. R. 1969. Physiology of Lactation. Fifth Edition. Lowa State University
Press, USA.
Soedjana, D. T. 1999. Analisis pengembangan dalam produksi susu nasional melalui
peningkatan efisiensi. Laporan Bagian Proyek Rekayasa Peternakan ARMP. II
Th. 1999/2000. Pusat Penelitian Peternakan, Bogor.
Soedono, A., R. F. Rosdiana, dan B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara
Intensif. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Sudarwanto, M. 2003. Mastitis dan Manajemen Kesehatan Ambing. Mastitis
Research Center. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sudarwanto, M. 1999. Usaha peningkatan produksi susu melalui program
pengendalian mastitis subklinis Disampaikan pada Orasi Ilmiah Guru Besar
Tetap Ilmu Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB di Bogor (22 Mei 1999).
Sudarwanto, M., C.S. Leksmono, M. Fachrudin, dan D. W. Lukman. 1993.
Penembangan Metode dan Pereaksi untuk deteksi Mastitis Subklinis (Laporan
Penelitian). Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB, Bogor.
Ungerer, T. 1985. Study Faal tentang Produktivitas Sapi Perah dalam Kondisi
Lingkungan Panas. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta.
27
Lampiran 1. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Susu Per
hari
1. Hari 1
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok
Perlakuan
Galat
Total
3
1
3
7
20260638
103513
72038
20436188
6753546
103513
24013
281,25
4,31
0,000
0,129
S = 154,960 R-Sq = 99,65% R-Sq(adj) = 99,18%
2. Hari 2
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 21118738 7039579 330,30 0,000
Perlakuan 1 2813 2813 0,13 0,740
Galat 3 63938 21313
Total 7 21185488
S = 145,988 R-Sq = 99,70% R-Sq(adj) = 99,30%
3. Hari 3
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 18587500 6195833 626,90 0,000
Perlakuan 1 61250 61250 6,20 0,089
Galat 3 29650 9883
Total 7 18678400
S = 99,4150 R-Sq = 99,84% R-Sq(adj) = 99,63%
4. Hari 4
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 21066259 7022086 4671,66 0,000
Perlakuan 1 20503 20503 13,64 0,034
Galat 3 4509 1503
Total 7 21091272
S = 38,7702 R-Sq = 99,98% R-Sq(adj) = 99,95%
5. Hari 5
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 20174138 6724713 662,81 0,000
Perlakuan 1 13 13 0,00 0,974
Galat 3 30438 10146
Total 7 20204588
S = 100,727 R-Sq = 99,85% R-Sq(adj) = 99,65%
28
6. Hari 6
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 16803650 5601217 889,08 0,000
Perlakuan 1 0 0 0,00 1,000
Galat 3 18900 6300
Total 7 16822550
S = 79,3725 R-Sq = 99,89% R-Sq(adj) = 99,74%
7. Hari 7
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 14490038 4830013 4770,38 0,000
Perlakuan 1 56113 56113 55,42 0,005
Galat 3 3038 1013
Total 7 14549188
S = 31,8198 R-Sq = 99,98% R-Sq(adj) = 99,95%
8. Hari 8
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 18187350 6062450 439,84 0,000
Perlakuan 1 2450 2450 0,18 0,702
Galat 3 41350 13783
Total 7 18231150
S = 117,402 R-Sq = 99,77% R-Sq(adj) = 99,47%
9. Hari 9
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 15185838 5061946 907,29 0,000
Perlakuan 1 35113 35113 6,29 0,087
Galat 3 16738 5579
Total 7 15237688
S = 74,6938 R-Sq = 99,89% R-Sq(adj) = 99,74%
10. Hari 10
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 12986838 4328946 293,57 0,000
Perlakuan 1 103513 103513 7,02 0,077
Galat 3 44238 14746
Total 7 13134588
S = 121,432 R-Sq = 99,66% R-Sq(adj) = 99,21%
29
11. Hari 11
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 20773650 6924550 531,98 0,000
Perlakuan 1 61250 61250 4,71 0,119
Galat 3 39050 13017
Total 7 20873950
S = 114,091 R-Sq = 99,81% R-Sq(adj) = 99,56%
12. Hari 12
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 21710538 7236846 370,88 0,000
Perlakuan 1 78013 78013 4,00 0,139
Galat 3 58538 19513
Total 7 21847088
S = 139,687 R-Sq = 99,73% R-Sq(adj) = 99,37%
13. Hari 13
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 21008238 7002746 668,25 0,000
Perlakuan 1 5513 5513 0,53 0,521
Galat 3 31438 10479
Total 7 21045188
S = 102,368 R-Sq = 99,85% R-Sq(adj) = 99,65%
14. Hari 14
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 17177100 5725700 269,66 0,000
Perlakuan 1 9800 9800 0,46 0,546
Galat 3 63700 21233
Total 7 17250600
S = 145,717 R-Sq = 99,63% R-Sq(adj) = 99,14%
15. Hari 15
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 15384438 5128146 346,20 0,000
Perlakuan 1 5513 5513 0,37 0,585
Galat 3 44438 14813
Total 7 15434388
S = 121,707 R-Sq = 99,71% R-Sq(adj) = 99,33%
30
16. Hari 16
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 11352638 3784213 213,25 0,001
Perlakuan 1 13 13 0,00 0,980
Galat 3 53238 17746
Total 7 11405888
S = 133,213 R-Sq = 99,53% R-Sq(adj) = 98,91%
17. Hari 17
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 16794638 5598213 601,15 0,000
Perlakuan 1 4513 4513 0,48 0,536
Galat 3 27938 9313
Total 7 16827088
S = 96,5013 R-Sq = 99,83% R-Sq(adj) = 99,61%
18. Hari 18
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 16806450 5602150 173,80 0,001
Perlakuan 1 33800 33800 1,05 0,381
Galat 3 96700 32233
Total 7 16936950
S = 179,536 R-Sq = 99,43% R-Sq(adj) = 98,67%
19. Hari 19
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 14635738 4878579 685,92 0,000
Perlakuan 1 9113 9113 1,28 0,340
Galat 3 21338 7113
Total 7 14666188
S = 84,3356 R-Sq = 99,85% R-Sq(adj) = 99,66%
20. Hari 20
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 15691638 5230546 495,98 0,000
Perlakuan 1 5513 5513 0,52 0,522
Galat 3 31638 10546
Total 7 15728788
S = 102,693 R-Sq = 99,80% R-Sq(adj) = 99,53%
31
21. Hari 21
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 18566238 6188746 393,04 0,000
Perlakuan 1 10513 10513 0,67 0,474
Galat 3 47238 15746
Total 7 18623988
S = 125,482 R-Sq = 99,75% R-Sq(adj) = 99,41%
32
Lampiran 2. Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Susu
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok
Perlakuan
Galat
Total
3
1
3
7
16528702
17055
9417
16555173
5509567
17055
3149
1755,28
5,43
0,000
0,102
S = 56,0254 R-Sq = 99,94% R-Sq(adj) = 99,87%
33
Lampiran 3. Produksi Susu Pagi Hari dan Sore Hari
- 12:12
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 4325911 1441970 77,16 0,002
Perlakuan 1 220243 220243 11,78 0,041
Galat 3 56068 18689
Total 7 4602221
S = 136,709 R-Sq = 98,78% R-Sq(adj) = 97,16%
- 10:14
Sumber
Keragaman
db JK KT F P
Kelompok 3 4325956 1441985 20,34 0,017
Perlakuan 1 1843657 1843657 26,00 0,015
Galat 3 212691 70897
Total 7 6382304
S = 266,265 R-Sq = 96,67% R-Sq(adj) = 92,22%
35
Lampiran 5. Perhitungan Komposisi Pakan dan Perkiraan Produksi Susu
1. Kandungan BK dalam Pakan ( % BK x jumlah pakan)
- Rumput Gajah = 22,2% x 8 kg
= 1,776 kg
- Rumput Lapang = 24,4% x 12 kg
= 2,928 kg
- Konsentrat = 85,3% x 3 kg
= 2,559 kg
Total BK dalam pakan adalah 7,263 kg
2. Kandungan PK dalam Pakan ( % BK x jumlah pakan x % PK)
- Rumput Gajah = 1,776 kg x 8,69%
= 0,154 kg
- Rumput Lapang = 2,928 kg x 8,20%
= 0,24 kg
- Konsentrat = 2,559 kg x 10,23%
= 0,262 kg
Total PK dalam Pakan adalah 0,656 kg
3. Kandungan TDN dalam Pakan (% BK x Jumlah Pakan x % TDN)
- Rumput Gajah = 1,776 kg x 52,4%
= 0,931 kg
- Rumput Lapang = 2,928 kg x 56,2%
= 1,646 kg
- Konsentrat = 2,559 kg x 76%
= 1,945 kg
Total TDN dalam pakan adalah 4,522 kg
4. Perkiraan Produksi susu dalam satu hari
- Berdasarkan TDN = (TDN dalam Pakan – TDN kebutuhan hidup pokok) kg
Kebutuhan hidup pokok untuk 1 kg susu
= (4,522 – 2,934) kg
0,326
= 4,87 kg
- Berdasarkan PK = (PK dalam Pakan – PK kebutuhan hidup pokok) kg
Kebutuhan hidup pokok untuk 1 kg susu
= (0,656 – 0,34996) kg
0,087
= 3,518 kg