BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Industri Semen
2.1.1. Proses pembuatan semen
Seperti yang ditunjukkan pada diagram proses dibawah, proses
pembentukan dapat dibagi menjadi 4 komponen utama berikut : akuisisi bahan
baku dan penanganan, persiapan bahan untuk kiln, pyroprocessing, dan grinding
semen. Inti dari proses pembentukan ini terletak pada pyroprocessing.
Gambar 2.1
Dari setiap proses diatas digambarkan bahwa dalam setiap proses terdapat
emisi berupa PM (Particulate Matter) dan gas. Partikulat ( PM dan PM10 ),
nitrogen oksida ( NOx ), sulfur dioksida ( SO2 ) , karbon monoksida ( CO ), dan
CO2 adalah emisi utama dalam pembuatan semen. Sejumlah kecil senyawa
7
organik volatil (SOV), amonia ( NH3 ), klorin, dan hidrogen klorida ( HCl ) juga
dapat dipancarkan dalam proses ini (EPA, 2001).
2.1.2 Emisi udara dari pembuatan semen
Terdapat empat bahan emisi utama dari pembuatan semen di udara :
2.1.2.1. PM (Particulate Matter)
Sumber PM di pabrik semen meliputi (1) penggalian dan penghancuran, (2)
penyimpanan bahan baku, (3) penggilingan dan pencampuran (dalam proses
kering saja), (4) produksi klinker, (5) setelah penggilingan dan (6) kemasan dan
pemuatan. Sumber emisi terbesar dari PM dalam pabrik semen adalah sistem
pyroprocessor yang mencakup penumpukan pada kiln dan pendingin klinker.
Seringkali, debu dari kiln dikumpulkan dan didaur ulang menjadi kiln, sehingga
menghasilkan klinker dari debu (EPA, 2001).
Sumber tambahan PM adalah penyimpanan bahan baku tumpukan,
konveyor, silo penyimpanan, dan fasilitas bongkar muat. Aturan untuk emisi dari
pabrik semen portland dibuat pada 17 Agustus 1971 untuk membatasi emisi PM
dari portland kiln semen 0,15 kg / Mg (£ 0,30 / ton) pakan (basis kering), dan
untuk membatasi PM emisi dari klinker pendingin untuk 0.050 kg / Mg (£ 0,10 /
ton) pakan (basis kering) (EPA, 2001).
2.1.2.2. NOX (Nitrogen Oksida)
Nitrogen oxida dihasilkan selama pembakaran melalui oksidasi ikatan kimia
dan fiksasi termal nitrogen di udara pembakaran. Dengan meningkatnya suhu,
jumlah termal yang menghasilkan nitrogen oksida meningkat, begitu juga dengan
NOX yang dihasilkan oleh bahan bakar. Dalam pembuatan semen, NOX
dihasilkan pada zona pembakaran di kiln dan di pipa precalcining. Dalam proses
8
pembakaran di kiln, jenis bahan bakar dan suhu pembakaran mempengaruhi emisi
NOX yang dihasilkan. Jika suhu api tinggi dan bahan bakarnya mengandung
banyak nitrogen, NOX yang dihasilkan lebih sedikit daripada yang menggunakan
batu bara atau minyak tapi suhu api lebih rendah (EPA, 2001).
2.1.2.3. SO2 (Sulfur Dioksida)
Sulfur dioksida dapat dihasilkan melalui bahan baku ataupun melalui bahan
bakar. SO2 ditentukan dari kadar volatile sulfur dalam bahan bakar, dan
diemisikan pada akhir sistem kiln ketika suhu rendah (EEA, 2013).
2.2 PPOK
2.2.1 Definisi
Penyakit paru obstuktif kronis adalah penyakit paru kronik yang ditandai
oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel
atau reversibel parsial. PPOK ditandai dengan adanya emfisema dan bronkitis
kronis. (PDPI, 2003). Sedangkan menurut Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD, 2013), PPOK adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai dengan limitasi aliran udara yang persisten dan
progresif, akibat respons inflamasi kronik pada jalan napas dan parenkim paru
yang disebabkan gas atau partikel beracun. Eksaserbasi dan komorbid
berkontribusi pada beratnya penyakit ini.
2.2.2 Epidemiologi
Data prevalensi PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada setiap
negara di seluruh dunia. Tahun 2000, prevalensi PPOK di Amerika dan Eropa
berkisar 5-9% pada individu usia > 45 tahun (Miller et al, 2005). Data penelitian
lain menunjukkan prevalensi PPOK bervariasi dari 7,8%-32,1% di beberapa kota
9
Amerika Latin. Prevalensi PPOK di Asia Pasifik rata-rata 6,3%, yang terendah
3,5% di Hongkong dan Singapura dan tertinggi 6,7% di Vietnam (GOLD, 2011).
Saat ini PPOK menempati urutan keempat dalam hal penyebab kematian di
seluruh dunia dan WHO memperkirakan pada tahun 2020 PPOK akan menempati
peringkat ketiga penyakit dalam menyebabkan kematian. Hal ini mungkin
disebabkan oleh karena meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya
pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan
kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok
usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan
di tempat kerja (NHLBI, 2009).
Di Indonesia sendiri berdasarkan hasil survey Riskesdas melalui wawancara
pada umur ≥ 30 tahun berdasarkan gejala pada tahun 2013, prevalensi penyakit
PPOK di Indonesia adalah sebanyak 3,7% . Sementara Sumatera Barat menduduki
peringkat ke-3 di Sumatera dengan prevalensi 3% (RISKESDAS,? ). Di poliklinik
Paru RS Dr M Djamil Padang angka kunjungan penderita PPOK mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Data dari rekam medik menunjukkan pada tahun
2006 jumlah kunjungan kasus baru penderita PPOK sebanyak 38 orang, 2007
sebanyak 68 orang dan tahun 2008 berjumlah 79 orang. Dari data ini terlihat
adanya peningkatan kasus PPOK setiap tahun (Sutan Hasibuan, 2010)
2.2.3 Faktor risiko
Faktor risiko meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan faktor
lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas dan
pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1 antitripsin,
yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas juga dapat terjadi
10
akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru dikaitan dengan masa
kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak. Penurunan fungsi paru
akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan dengan risiko mendapatkan
PPOK (UNEP, 2013).
Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Prevalensi
tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada
perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus per tahun dan perokok aktif
berhubungan dengan angka kematian. Tidak semua perokok akan menderita
PPOK, hal ini mungkin berhubungan juga dengan faktor genetik. Perokok pasif
dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko PPOK. Pada perokok
pasif didapati penurunan FEV1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda
yang bukan perokok. Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan
hubungan dose response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap
hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang
ditimbulkan akan lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada
Indeks Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah
hari lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya jika
seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita bronkitis
kronik minimal setelah 10 tahun merokok (WHO, 2008).
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap
rokok, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan
(outdoor), seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu
jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat
iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus menerus oleh polusi udara
11
merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor polution)
masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingkan asap rokok. Polusi dalam ruangan
(indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa yang digunakan
untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko lainnya. Status
sosioekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK, kemungkinan
berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada tempat tinggal, gizi
buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosioekonomi (WHO, 2008).
2.2.4 Patogenesis
2.2.4.1. Mekanisme Imunologis
PPOK berhubungan dengan respon inflamasi paru yang abnormal terhadap
partikel atau gas berbahaya, terutama rokok (GOLD, 2011). Menurut Braber et al.
(2012) dalam Vijayan (2013), pasien dengan PPOK dilaporkan mengalami
peningkatan netrofil di sputum, jaringan paru dan bronchoalveolar lavage (BAL)
dan neutrofil berperan penting dalam patogensis PPOK. Level serum
immunoglobulin free light chains (IgLC) meningkat pada PPOK karena rokok.
IgLC mengikat netrofil dan cross-linking IgLC pada netrofil menghasilkan
peningkatan produksi IL8 yang merupakan atraktan selektif untuk netrofil.
Menurut Chauhan et al. (1990) dalam Dolina (2013), sel B juga meningkat pada
pasien PPOK dan sel ini memproduksi IgCL, selain memproduksi IgG dan IgA.
Level serum IgE juga meningkat dan berhubungan dengan merokok (Singh et al,
2010).
2.2.4.2. Keseimbangan Oksidan-antioksidan
Stress oksidatif dapat menggangu vasodilatasi dan pertumbuhan sel endotel.
Ketika oksidan melebihi antioksidan paru maka terjadi modifikasi protein, lemak,
12
karbohidrat, dan DNA terjadi dan menghasilkan kerusakan jaringan. Oksidan
tersebut dapat memodifikasi elastin, sehingga lebih rentan terhadap pembelahan
proteolitik. Merokok dapat menginaktivasi histone deacetylase (HDAC2) dan
menyebabkan transkripsi kemokin/sitokin netrofil (TNF-α dan IL-8) dan MMP
sehingga terjadi degradasi matriks yang mendukung terbentuknya emfisema
(Vijayan, 2013).
2.2.4.3. Inflamasi Sistemik
PPOK juga memiliki manifestasi ekstrapulmomal. Dinyatakan bahwa
inflamasi pulmonal persisten dapat menyebabkan pelepasan kemokin dan sitokin
proinflamasi ke sirkulasi. Mediator ini dapat menstimulasi liver, jaringan adipose
dan sumsum tulang untuk melepaskan sejumlah leukosit, CRP, interleukin (IL)-6,
IL-8, fibrinogen dan TNF-α ke sirkulasi dan menyebabkan inflamasi sistemik
(Tkac et al., 2007). Menurut Thomensen et al. (2012) dalam Vijayan (2013)
inflamasi sistemik dapat memulai atau memperburuk penyakit komorbid, seperti
penyakit jantung iskemik, osteoporosis, anemia normositik, kanker paru, depresi,
dll (Vijayan, 2013).
2.2.4.4. Apoptosis
Studi terbaru menyatakan bahwa apoptosis terlibat dalam perkembangan
PPOK dan telah ditunjukkan adanya peningkatan apoptosis epitel alveolar dan sel
endotel di paru pasien PPOK.Karena tidak diimbangi dengan peningkatan
proliferasi protein struktural, maka hal ini akan berakhir dengan kerusakan
jaringan paru dan emfisema (Vijayan, 2013).
13
2.2.4.5. Perbaikan yang Tidak Efektif
Ada perbaikan yang tidak efektif pada emfisema dan keterbatasan
kemampuan paru dewasa untuk memperbaiki alveolus yang rusak (Vijayan,
2013).
2.2.5 Patofisiologi
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh PPOK merupakan konsekuensi dari
mekanisme patofisiologi PPOK, diantaranya adalah:
2.2.5.1. Pembatasan Aliran udara dan Udara yang Terjebak
Inflamasi luas, fibrosis dan eksudat lumen pada saluran pernapasan kecil
berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC, dan mungkin
dengan percepatan penurunan FEV1 (karakteristik PPOK) (Hogg et al, 2004).
O’Donnel dan Laneveziana (2007) dalam GOLD (2013) menyatakan bahwa
obstruksi saluran napas ini akan menjebak udara saat ekspirasi dan menyebabkan
hiperinflasi. Emfisema juga berperan dalam menjebak udara selama ekspirasi.
Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi demikian juga kapasitas residual
fungsional meningkat, khususnya selama aktivitas, menghasilkan peningkatan
dispnea dan keterbatasan kapasitas saat aktivitas. Hiperinflasi berkembang pada
tahap awal penyakit dan menjadi mekanisme utama dispnea saat aktivitas (?).
2.2.5.2. Abnormalitas Pertukaran Gas
Menurut Rodriguez-Roisin dan MacNee(1998) dalam ATS-ERS (2004)
abnormalitas pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Distribusi
abnormal rasio ventilasi-perfusi adalah mekanisme pertukaran gas abnormal pada
PPOK. Rodriguez et al. (2009) dalam GOLD (2013), menyatakan bahwa
umumnya transfer oksigen dan karbon dioksida memburuk selama perjalanan
14
penyakit. Hal ini menyebabkan retensi karbon dioksida saat dikombinasikan
dengan penurunan ventilasi selama kerja pernapasan tinggi karena obstruksi berat
dan hiperinflasi bersamaan dengan gangguan dari otot ventilasi.
2.2.5.3. Hipersekresi Mukus
Hipersekresi mukus adalah abnormalitas fisiologis pertama pada PPOK.
Awalnya adalah stimulasi sekresi dari kelenjar mukus yang membesar. Lama-
kelaman hipersekresi mukus terjadi karena metaplasia epitel skuamosa.
Hipersekresi mukus ini menghasilkan batuk produktif yang kronis. Pasien dengan
hipersekresi mukus adalah bila terjadi peningkatan jumlah sel goblet dan
pembesaran kelenjar submukosa (ATSERS 2004).
2.2.5.4. Hipertensi Pulmonal
Terjadi pada kasus PPOK yang sudah lama, biasanya setelah terjadi
abnormalitas pertukaran gas. Faktor yang berkontribusi menyebabkan hipertensi
pulmonal pada PPOK termasuk vasokonstriksi, disfungsi endotel, dan remodelling
arteri pulmonal. Kombinasi ini mungkin suatu saat menyebabkan pembesaran
ventrikel jantung kanan (ATS-ERS, 2004). Ada respon inflamasi pada pembuluh
darah yang sama dengan yang terjadi pada saluran napas. Emfisema dan
hilangnya capillary bed juga berkontribusi terjadinya peningkatan tekanan di
sirkulasi pulmonal (GOLD, 2013).
2.2.5.5. Gambaran Sistemik
Keterbatasan aliran udara dan khususnya hiperinflasi mempengaruhi fungsi
jantung dan pertukaran gas (Barr et al, 2010). Mediator inflamasi ke sirkulasi
mungkin berkontribusi pada penurunan massa otot skeletal dan kaheksia, dan
mungkin memulai atau memperburuk penyakit komorbid seperti penyakit jantung
15
iskemik, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik, diabetes, sindroma
metabolik, dan depresi (GOLD, 2013). Efek sistemik ini berkontribusi pada
pembatasan kapasitas aktivitas pada pasien dan memperburuk prognosis, tidak
bergantung pada fungsi paru mereka (Postma dan Boezen, 2006).
2.2.6 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pasien PPOK yang masih dini biasanya tidak
menunjukkan kelainan (PDPI, 2011). Seiring dengan perjalanan penyakit,
muncullah beberapa tanda dan gejala yang makin lama akan makin khas menjadi
gejala PPOK. PPOK memberikan tanda berupa gangguan baik pada sistem
pernapasan maupun sistemik.
2.2.6.1. Tanda Pernapasan
Inspeksi : barrel chest, pursed-lips breathing, gerakan tidak normal dari
dada/abdomen dan penggunaan otot-otot pernapasan. Semua ini merupakan tanda
pembatasan aliran udara, hiperinflasi dan gangguan mekanis dari bernapas (ATS-
ERS, 2004)
- Palpasi : ditemukan fremitus melemah pada emfisema
(PDPI, 2011)
- Perkusi : penurunan letak diafragma, suara timpani karena
hiperinflasi, hati dapat teraba (ATS-ERS, 2004)
- Auskultasi : suara napas vesikuler normal, atau melemah,
terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar jauh
(PDPI, 2011).
2.2.6.2. Tanda Sistemik
16
Distensi vena leher, pembesaran hatidan edema perifer dapat terjadi karena
cor pulmonale atau selama inflasi yang parah. Kehilangan massa otot dan
kelemahan otot perifer yang konsisten dengan malnutrisi dan/atau disfungsi otot
skelet (PDPI, 2011).
2.2.7 Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai dalam mendiagnosis
PPOK adalah:
2.2.7.1. Pemeriksaan darah rutin
Untuk melihat nilai Hb, Ht, leukosit, dll. Peningkatan sel darah merah
(eritrositosis), terjadi ketika level oksigen di darah rendah (hipoksemia) dalam
waktu yang lama. Sel darah merah membawa oksigen di darah.
Karena kerusakan paru, pasien PPOK tidak dapat memperoleh cukup udara.
Sehingga reaksi tubuh adalah meningkatkan produksi sel darah merah untuk
meningkatkan jumlah oksigen di darah (Husney, 2010).
2.2.7.2. Pemeriksaan faal paru dengan spirometri
Pemeriksaan faal paru merupakan hal yang esensial untuk diagnosis dan
penilaian keparahan penyakit, dan juga membantu memantau progresnya. Nilai
yang didapat dari pemeriksaan dengan spirometri adalah FVC, FEV1dan FEV1
/FVC. Penurunan nilai dari ketiga parameter diatas menunjukkan adanya
gangguan dalam faal paru. Nilai FEV1 yang didapatkan dari hasil spirometri
adalah indeks yang paling sering digunakan untuk menilai obstruki aliran udara,
menilai beratnya PPOK dan juga untuk memantau perjalanan penyakit.
2.2.7.3. Pemeriksaan Radiologi
17
Harus dilakukan pada semua pasien. Pemeriksaan radiologi memang tidak
sensitif untuk diagnosis, tetapi membantu dalam menyingkirkan penyakit lain
(pneumonia, kanker, efusi pleura, dan pneumotoraks). Umum walaupun tidak
spesifik, tanda emfisema adalah diafragma yang mendatar, radiolusensi paru yang
ireguler. (ATS-ERS, 2004). Bronkitis kronis berhubungan dengan peningkatan
tanda bronkovaskular dan kardiomegali. (Mosenifar, 2013). Dengan komplikasi
hipertensi pulmonal, bayangan vaskular hilus menjadi sering, dengan
kemungkinan adanya pembersaran ventrikular kanan.
2.2.7.4. Analisa Gas Darah Arteri (AGDA)
Analisa gas darah arteri memberikan petunjuk tentang keakutan dan
keparahan eksaserbasi dari penyakit. Pasien PPOK mengalami hipoksemia ringan
sedang tanpa hiperkapnia. Seiring perjalanan penyakit, hipoksemia memburuk dan
hiperkapnia mulai berkembang. Mekanisme paru dan pertukaran gas memburuk
selama eksaserbasi akut. Umumnya ada mekanisme kompensasi ginjal yang
terjadi bahkan saat CO2 yang kronis bertahan dalam tubuh (bronkitis), sehingga
pH biasanya mendekati normal. Biasanya, bila didapati pH dibawah 7,3 dapat
menjadi tanda gangguan akut dari sistem pernapasan (Mosenifar, 2013).
2.2.7.5. Evaluasi Sputum
Pada bronkitis kronis stabil, sputumnya mukoid dan makrofag sangat
banyak. Dengan eksaserbasi, sputum menjad purulen karena adanya neutrofil.
Peningkatan jumlah sputum merupakan tanda eksaserbasi akut (Mosenifar, 2013).
Beberapa organisme yang sering ditemukan dari kultur adalah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Moraxella catarrhalis juga sering, dan
Pseudomonas aeruginosa dapat ditemukan pada pasien dengan obstruksi berat.
18
2.2.7.6. Pemeriksaan Alfa-1 Antitripsin
Pasien dengan tingkat AAT rendah, diagnosis definitifnya membutuhkan
penentuan tipe Pi. Hal ini dilakukan dengan fokus isoelektris pada serum yang
mewakili lokus Pi untuk alel umum dan alel Pi lain yang jarang. Molecular
genotyping DNA dapat dilakukan untuk alel Pi yang umum (Reilly, 2010).
Tingkat α1-antitripsinharus diperkirakan pada pasien PPOK muda (dekade 4 atau
5) dan memiliki riwayat keluarga yang kuat. Nilai serum α1-antitripsin <15–20%
dari batas normal merupakan tanda dari defisiensi α1-antitripsin (ATS-ERS,
2004).
2.3 Uji fungsi paru
2.3.1. Definisi
Uji fungsi paru atau lung function test atau disebut juga pulmonary function
test, digunakan untuk mengevaluasi kemampuan paru dan menangani pasien
penyakit paru. Pemeriksaan fungsi paru berguna untuk menentukan adanya
gangguan dan derajat gangguan fungsi paru. Uji fungsi paru yang paling
sederhana adalah ekspirasi paksa (Djojodibroto, 2009). Tes untuk menilai
kemampuan paru dalam menampung udara pernafasan, alat yang digunakan salah
satunya adalah spirometer (Sylvia, 2006).
2.3.2. Prinsip pemeriksaan
Volume ekspirasi paksa (FEV) adalah volume gas yang dikeluarkan dalam
satu detik melalui ekspirasi paksa sesudah inspirasi penuh. Parameter yang
biasanya diperlukan adalah kapasitas vital (KV) atau vital capasity (VC), volume
ekspirastori paksa (VEP) atau FEV pada beberapa interval waktu, misalnya 0,5;
0,75 maupun 1 detik, tetapi paling sering digunakan adalah FEV1 atau VEP1.
19
Pada orang sehat dan normal, nilai VC hampir sama dengan FVC. Pada orang
yang mengalami obstruksi jalan napas, FVC lebih kecil dibandingkan VC.
Adapun nilai VC menurun pada penurunan keregangan paru, perubahan bentuk
dada, kelemahan otot respirasi, dan obstruksi saluran pernapasan (Djojodibroto,
2009).
Gambar 2.2
Dengan demikian dapat diketahui gangguan fungsional ventilasi paru
dengan jenis gangguan digolongkan menjadi 2 bagian yaitu:
1. Gangguan faal paru obstruktif, yaitu hambatan pada aliran udara yang
ditandai dengan penurunan VC dan FEV1/FVC
2. Gangguan faal paru restriktif, adalah hambatan pada pengembangan paru
yang ditandai dengan penurunan pada VC, dan RV (Khumaidah, 2010).
Dari berbagi pemeriksaan faal paru, yang sering dilakukan adalah :
20
a. Vital Capacity (VC)
Adalah volume udara maksimal yang dapat dihembuskan setelah inspirasi
yang maksimal. Ada 2 macam vital capacity berdasarkan cara pengukurannya,
yaitu: 1) Vital Capacity, disini subyek tidak perlu melakukan aktivitas pernapasan
dengan kekuatan penuh dan 2) Forced Vital Capacity. Pemeriksaan dilakukan
dengan kekuatan maksimal. Sedangkan berdasarkan fase yang diukur, ada 2
macam VC yaitu: 1) VC inspirasi, VC diukur hanya fase inspirasi dan 2) VC
ekspirasi, diukur hanya pada fase ekspirasi. Pada orang normal tidak ada
perbedaan antara FVC dan VC, sedangkan pada keadaan kelainan obstruksi
terdapat perbedaan antara VC dan FVC. Vital Capacity merupakan refleksi dari
kemampuan elastisitas atau jaringan paru atau kekakuan pergerakan dinding
toraks. Vital Capacity yang menurun merupakan kekuatan jaringan paru atau
dinding toraks, sehingga dapat dikatakan pemenuhan (compliance) paru atau
dinding toraks mempunyai korelasi dengan penurunan VC. Pada kelainan
obstruksi ringan VC hanya mengalami penurunan sedikit atau mungkin normal.
b. Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV1)
Adalah besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama.
Lama ekspirasi orang normal berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama
orang normal dapat mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80% dari nilai VC.
Fase detik pertama ini dikatakan lebih penting dari fase-fase selanjutnya. Adanya
obstruksi pernapasan didasarkan atas besarnya volume pada detik pertama
tersebut. Interpretasi tidak didasarkan nilai absolutnya tetapi pada perbandingan
dengan FVC-nya. Bila FEV/FVC kurang dari 75 % berarti normal. Penyakit
obstruktif seperti bronkitis kronik atau emfisema terjadi pengurangan FEV lebih
21
besar dibandingkan kapasitas vital (kapasitas vital mungkin normal) sehingga
rasio FEV/FVC kurang 80 %.
2.4 Efek polusi udara akibat emisi semen terhadap uji kapasitas paru
Industri semen adalah salah satu penyumbang terbesar partikel
debu/particulate matter PM terbesar terhadap polusi udara (Lei et al, 2010).
Particulate Matter yang berukuran < 10 (PM10) menyebabkan kerusakan pada
paru. Partikel debu mengandung beberapa komponen metal seperti sulfat, nitrat,
klorida, dan amonium, lalu ada partikel ultra. Yang paling menimbulkan bahaya
terhadap kesehatan adalah partikel ultra yang berukuran <100nm. Penelitian yang
dilakukan pada hewan menunjukkan efek inflamasi yang ditimbulkan partikel
ultra lebih besar dibandingkan partikel halus (McNee, 2003).
Mekanisme efek inflamasi yang ditimbulkan partikel debu terjadi melalui
beberapa cara :
a. Efek pada fagositosis
Fagositosis yang dilakukan oleh makrofag alveolar penting dalam proses
clearance di paru-paru. Partikel debu yang masuk mampu menimbulkan jejas pada
paru. Sementara, partikel ultra mampu melewati sistem fagositosis yang ada di
tubuh sehingga mampu menstimulasi sel epitel dan berkemungkinan melewati
intersisial.
b. Peran stres oksidatif
Eksperimen yang dilakukan menunjukkan bahwa pada paru-paru tikus yang
dipapar dengan PM10 menunjukkan gambaran peradangan, dibuktikan dengan
penurunan kadar glutathion tereduksi. PM10 menyebabkan translokasi NF-Kb
(Nuclear Factor Kappa Beta) dari sitoplasma ke inti di sel epitel paru-paru, yang
22
menyebabkan reaksi radang. NF-KB adalah kompleks protein yang berada dalam
sitoplasma yang mempunyai peran penting dalam regulasi seluler di dalam tubuh
seperti respon imun, respon inflamasi, stres oksidatif, sitokin redikal bebas,
perkembangan bakteri serta proliferasi sel, diferensiasi, serta apoptosis (Ghosh,
1998; Hayden, 2006). NF-KB juga mengontrol transkripsi DNA dan ditemukan
hampir pada semua jenis sel. NF-KB memainkan peranan penting dalam
mengatur respon kekebalan tubuh terhadap infeksi. Kelainan NF-KB telah
dikaitkan dengan kanker, penyakit inflamasi, autoimun, syok septik, infeksi virus,
dan perkembangan kekebalan tubuh yang tidak tepat (Gilmore, 2006; Rudd,
2007).
23