1
PENERAPAN ANALITICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)
DALAM PENYUSUNAN SKALA PRIORITAS
UNTUK MENJAGA KINERJA SALURAN IRIGASI
(STUDI KASUS SALURAN INDUK MATARAM DI
D.I YOGYAKARTA)
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi
Magister Teknik Sipil Sekolah Pascasarjana
oleh:
MUHAMMAD HIDAYAT ANWAR
NIM : S . 100120014
MAGISTER TEKNIK SIPIL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
1
PENERAPAN ANALITICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)
DALAM PENYUSUNAN SKALA PRIORITAS
UNTUK MENJAGA KINERJA SALURAN IRIGASI
(STUDI KASUS SALURAN INDUK MATARAM DI
D.I YOGYAKARTA)
ABSTRAK
Daerah Irigasi Mataram mempunyai bangunan penangkap air (intake)
berupa bendung dengan nama Bendung Karang Talun yang dibangun pada tahun
1970 dan direhabilitasi oleh Proyek Kali Progo tahun 1980 yang mengairi 30.000
ha. Kerusakan yang terjadi disebabkan karena faktor usia dari bangunan fisik
tersebut, pembebanan yang bertambah karena juga untuk saluran pembungan
limbah rumah tangga, juga menjadi saluran drainase.
Metode penelitian dilakukan dengan cara penelusuran pada 16 jaringan
irigasi Mataram di D.I Yogyakarta untuk mendapatkan data kondisi prasarana
fisik, wawancara untuk mendapatkan data produktifitas tanam, sarana penunjang,
dokumentasi. Dari data yang diperoleh, dibuat kriteria evaluasi penilaian kinerja
sisten irigasi.
Dari hasil penelitian diperoleh hasil : Nilai RPPA lebih dari 1,25 ada 5
saluran (Induk mataram, Induk van der wijk, Sekunder sedayu rewulu, Sekunder
sendang pitu, Sekunder brongkol), nilai RPPA 0,75 sampai 1,25 ( baik) ada 6
saluran (Sekunder sedayu, Sekunder rewulu I, Sekunder jamur kulon, Sekunder
cerbonan kulon, Sekunder gancahan sekunder kergan), nilai RPPA kurang dari
0,75 ada 5 saluran (Sekunder sedayu selatan, Sekunder sedayu barat, Sekunder
jamur wetan, Sekunder rewulu II, Sekunder cerbonan wetan).
Dengan menggunakan analytical hierarchy process (AHP) dilakukan
perhitungan bobot dari tiap kriteria dan alternatif, didapat urutan skala prioritas
rehabilitasi Prioritas 1 : Saluran Rewulu II dengan nilai 0,23913; Prioritas 2:
Saluran Jamur Wetan dengan nilai 0,22157; Prioritas 3: Saluran Sedayu Barat
dengan nilai 0,21969; Prioritas 4: Saluran Sedayu Selatan dengan nilai 0,19505;
Prioritas 5: Saluran Cerbonan Wetan dengan nilai 0,1775.
Kata kunci : AHP, Kinerja Sistem Irigasi, Skala Prioritas.
ABSTRACT
The Mataram Irrigation Area has a water catchment building (intake) in
the form of a dam named Bendung Karang Talun which was built in 1970 and
rehabilitated by the Kali Progo Project in 1980 which irrigates 30,000 ha. The
damage that occurs due to the age factor of the physical building, the increased
loading as well as for the sewerage channel of household waste, is also a drainage
channel.
2
The research method was conducted by tracing on 16 Mataram irrigation
networks in D.I Yogyakarta to get physical condition condition data, interview to
get plant productivity data, supporting facilities, documentation. From the data
obtained, the evaluation criteria of irrigation system performance evaluation were
made.
The results of the research showed that RPPA values were more than 1.25,
there were 5 channels (Parent mataram, Parent van der Wijk, Secondary sedayu
rewulu, Secondary pitu, Brongkol Secondary), RPPA value 0.75 to 1.25 (good) 6
channels (Secondary secondary, Secondary rewulu I, Secondary cultivated kulon,
Secondary congondon of kulon, Secondary gancahan secondary kergan), RPPA
value less than 0.75 there are 5 channels (Secondary south sedayu, Secondary
sedayu barat, Secondary mushroom wetan, Secondary rewulu II , Secondary
conglomerate wetan)
By using analytical hierarchy process (AHP) we calculate the weight of
each criteria and alternatives, obtained priority scale of rehabilitation priority 1:
Rewulu II channel with value 0,23913; Priority 2: Wetan Mushroom Channel with
value 0,22157; Priority 3: Western Sedayu Channel with a value of 0.21969;
Priority 4: South Sedayu channel with a value of 0.19505; Priority 5: Wetan
Cerbonan with value 0,1775.
Keywords: AHP, Irrigation System Performance, Priority Scale.
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai dengan UU No. 11 tahun 1974 Tentang Pengairan, bahwasannya
air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai manfaat serba
guna dan dibutuhkan manusia sepanjang masa, baik di bidang ekonomi, sosial
maupun budaya. Namun masalah yang dihadapi ialah ketidakseimbangan sumber
daya air antara kesediaan air (water available) yang cenderung menurun dan
kebutuhan air (water demand) yang semakin meningkat sehingga perlu dikelola
dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara
selaras agar sumber daya air dapat memberikan manfaat untuk kepentingan
rakyat. Pengelolaan sumber daya air diarahkan guna mewujudkan sinergi dan
keterpaduan yang harmonis antar wilayah, antar sektor, dan antar generasi.
Permasalahan yang dihadapi di lapangan adalah menurunnya kinerja
prasarana irigasi disebabkan faktor usia bangunan yang telah lama juga minimnya
3
biaya operasi pemeliharaan yang dibutuhkan mengakibatkan turunnya
kemampuan jaringan irigasi untuk mendistribusikan ketersediaan air ke areal
irigasi, terutama untuk daerah-daerah irigasi berskala besar (> 3000 Ha), seperti
Daerah Irigasi Mataram dengan luas 5.159 Ha dan saat ini daerah irigasi tersebut
telah menjadi kewenangan BBWS Serayu Opak.
Daerah Irigasi Mataram mempunyai bangunan penangkap air (intake)
berupa bendung dengan nama Bendung Karang Talun yang dibangun pada tahun
1970 dan direhabilitasi oleh Proyek Kali Progo tahun 1980 yang mengairi 30.000
ha. Secara umum kondisi fisik dari jaringan irigasi Mataram 25% kondisinya baik,
28% kondisinya rusak ringan, 32% kondisinya rusak sedang dan 15% kondisinya
rusak berat (DPU, 2015). Kerusakan yang terjadi disebabkan karena faktor usia
dari bangunan fisik tersebut, pembebanan yang bertambah karena juga untuk
saluran pembungan limbah rumah tangga, juga menjadi saluran drainase.
Berdasarkan hasil inventarisasi kondisi di lapangan jaringan irigasi
Mataram menunjukan adanya kerusakan badan saluran, sedimentasi dan bocornya
pintu pintu air. Kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas air
saluran dan menurunkan kinerja sistem operasi jaringan irigasi. Guna mengurangi
volume kehilangan air di saluran dan upaya meningkatkan kinerja sistem secara
keseluruhan, maka perlu dilakukan rehabilitasi pada lokasi lokasi kerusakan.
Sumber kerumitan masalah dalam pengambilan suatu keputusan tidak
hanya karena ketidakpastian atau ketidaksempurnaan informasi. Penyebab lain
dikarenakan adanya faktor yang berpengaruh terhadap pilihan pilihan yang telah
ada, beragamnya kriteria, pemilihan dan jika pengambilan keputusan melebihi
satu pilihan keputusan. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, metode AHP
tidak hanya digunakan untuk menentukan skala prioritas dari berbagai pilihan
dengan banyak alternatif kriteria, tetapi sudah meluas untuk menyelesaikan
berbagai masalah; seperti analisis biaya, memilih portofolio, peramalan dan lain
lain. AHP menawarkan dalam penyelesaian masalah dengan keputusan yang
melibatkan seluruh sumber kerumitan. Pada hakekatnya AHP adalah suatu teori
umum tentang pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala rasio baik
4
dari perbandingan pasangan yang diskrit maupun yang kontinyu.AHP mempunyai
perhatian khusus tentang penyimpangan dari konsistensi, pengukuran juga pada
ketergantungan di dalam juga diantara kelompok elemen strukturnya.
Tindakan yang dilakukan Pemerintah, perusahaan besar, atau individu
sering kali berdampak macam macam pada berbagai sektor dalam kehidupan.
Yang kemudian menjadi pertanyaan apakah tindakan yang sudah diambil itu
sudah lebih baik dari tindakan yang lain. Kesulitan dalam menjawab pertanyaan
ini disebabkan karena pengaruh pengaruh itu terkadang saling bersinggungan,
yang artinya perbaikan pengaruh yang satu hanya dapat dicapai dengan
memperburuk faktor yang lain. Alasan ini menyulitkan kita dalam menentukan
ekuivalensi antar pengaruh. Berdasarkan hal ini, maka diperlukan suatu skala
yang luwes yang kita sebut skala prioritas, yaitu suatu ukuran abstrak yang
berlaku untuk semua skala. Penentuan prioritas dalam pengambilan keputusan
inilah yang akan dilakukan dengan menggunakan AHP (Mulyono, 1996)
Metode AHP yang dikembangkan oleh Thomas L Saaty, dapat digunakan
untuk memecahkan suatu masalah yang kompleks, dimana aspek atau kriteria
yang tersedia sangat banyak. Kompleksitas ini juga disebabkan oleh struktur
masalah yang belum jelas, ketidakpastian persepsi dalam menentukan suatu
keputusan serta belum tersedianya data statistik yang akurat atau bahkan tidak
ada. Ketika timbul suatu masalah dan harus diambil suatu keputusan secepat
mungkin untuk menyelesaiakannya, namun variasi tergolong rumit sehingga data
dari permasalahan tersebut tidak mungkin dapat diselesaiakan secara manual
ataupun dicacat secara numerik maka pengunaan metode AHP ini dapat menjadi
alternatif cara untuk pengambilan keputusan.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian yang telah disebutkan diatas, maka dapat kita rumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana penilaian kondisi debit atau faktor keseimbangan debit (RPPA)
saluran irigasi di D.I Mataram Yogyakarta.
5
2. Bagaimanakah skala prioritas untuk menjaga kinerja saluran irigasi di saluran
induk Mataram dengan menggunakan metode Analitical Hierarchy Process
(AHP).
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan paparan di latar belakang, maka penelitian ini dilakukan
dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui kondisi saluran irigasi di saluran induk Mataram.
2. Menentukan skala prioritas untuk menjaga kinerja saluran irigasi di saluran
induk Mataram dengan menggunakan metode Analitical Hierarchy Process
(AHP).
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan rekomendasi
Operasi dan Pemeliharaan untuk mengantisipasi penyebab penurunan kinerja
jaringan irigasi kepada BBWS Serayu Opak.
E. Batasan Penelitian
Penelitian ini perlu dibatasi agar tidak menyimpang dari rumusan masalah.
Batasan penelitian yang digunakan antara lain :
1. Lokasi penelitian secara administratif berada di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, seperti terlihat pada Gambar 1.1.
2. Data penelitian merupakan data sekunder dari instansi BBWS SerayuOpak.
3. Besarnya kehilangan air pada saluran pembawa diasumsikan sesuai dengan
tingkat kerusakan fungsi saluran.
4. Penilaian kondisi fisik dan fungsi jaringan irigasi dan pemberian bobot pada
komponen saluran memakai pedoman Subdit, Ditjen Air, Departemen
Pekerjaan Umum, 1999.
6
5. Penentuan skala prioritas perbaikan saluran irigasi berdasarkan pada kriteria
tingkat kerusakan, estimasi biaya, luas areal, panjang saluran primer
menggunakan metode Analitical Hierarchy Process (AHP).
Gambar 1.1 Lokasi Penelitian
F. Keaslian Penelitian
Atmaja,IT.,2008 menggunakan metode Analitical Hierarchy Process
(AHP) dalam penentuan skala prioritas rehabilitasi daerah irigasi Bapang, Sragen.
Dengan hasil berbagai alternatif rehabilitasi.
Anton Zamroni, Magister Pemeliharaan dan Rehabilitasi Infrastruktur,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta. 2013, “ Skala Prioritas Pemeliharaan Dan
Rehabilitasi Jaringan Irigasi Sederhana (Studi Kasus Di Kabupaten Semarang)
dengan hasil menggunakan metode Analitical Hierarchy Process (AHP) diperoleh
penilaian kinerja sistem jaringan irigasi di Kecamatan Susukan Kabupaten
Semarang sebesar 69,21% yang berarti Indeks kinerjanya kurang dan perlu
mendapat perhatian
Evaluasi Kinerja Daerah Irigasi Jragung Kabupaten Demak oleh Eka
Wulandari Srihadi Putri, Donny harisuseno dan Endang Purwati. Magister Teknik
Pengairan universitas Brawijaya Malang, 2014, dengan hasil berdasarkan metode
Analitical Hierarchy Process (AHP) prioritas utama rehabilitasi adalah bendung
Jragung.
7
Taryono, 2016 Magister Pemeliharaan dan Rehabilitasi Infrastruktur,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta. dalam Evaluasi Kinerja Infrastruktur
Jaringan Irigasi Daerah Irigasi Sarangan Kecamatan Wonoasri Kabupaten
Madiun dengan hasil penentuan prioritas rehabilitasi menggunakan metode
Analitical Hierarchy Process (AHP) dititik beratkan pada saluran pembawa pada
perbaikan profil saluran.
Mengukur Potensi Air Conflict: Prinsip dasar , Purwanti Sri Pudyastuti,
Jaji Abdurrosyid. 2012. Menurut beberapa penelitian dan laporan, ada beberapa
indikator penting yang dapat digunakan dalam mengukur potensi konflik air,
seperti Indeks Kerawanan Manusia (IHI), Indeks Tekanan Air (WSI), dan Indeks
Tekanan Air Sosial (SWSI).
Penelitian mengenai penyusunan skala prioritas untuk menjaga kinerja
saluran irigasi di Saluran Induk Mataram dengan menggunakan Analitical
Hierarchy Process (AHP) belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya
berdasarkan studi pustaka dan kajian berbagai laporan.
LANDASAN TEORI
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2006 Tentang Irigasi menyebutkan
bahwa irigasi diselenggarakan untuk kepentingan masyarakat petani dan
menempatkan perkumpulan petani pemakai air (P3A) sebagai pengambil dan
pelaku utama dalam pengelolaan irigasi di wilayahnya.
Irigasi bermakna luas yaitu proses kegiatan memanfaatan jaringan irigasi
agar dapat dimanfaatkan secara maksimal sehingga terjadi keseimbangan antara
kebutuhan air dan ketersediaan air. Dalam arti sempit Operasi Irigasi merupakan
proses kegiatan pengaturan, pengambilan air dari sumber air, pengaliran air ke
jaringan irigasi dan pembagian air secara rasional ke areal tanah yang diairi secara
efektif, efisien, adil juga merata serta pembuangan kelebihan air ke saluran-
saluran pembuang.
8
A. Pemeliharaan Jaringan Irigasi
Pengertian Pemeliharaan Jaringan Irigasi menurut Peraturan Pemerintah No. 20
Tahun 2006 adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan irigasi supaya
selalu dapat berfungsi dengan baik untuk memperlancar pelaksanaan operasi dan
mempertahankan kelestariannya. Pemeliharaan yang benar adalah pengoperasian
sistem irigasi yang efisien. Pemeliharan yang buruk mengurangi usia kerja sistem.
Pemeliharaan sistem jaringan irigasi yang benar adalah :
1. Memastikan suatu sistem bekerja pada kondisi yang baik di setiap waktu,
2. Dapat menghasilkan penggunaan fasilitas sistem dengan pemeliharaan dan
penggantian yang tepat,
3. Memastikan umur kerja dari suatu sistem tanpa harus melakukan rehabilitasi
sebelum batas waktu yang telah ditentukan,
4. Melaksanakan program pemeliharaan dengan biaya rendah.
Pelaksanaan pekerjaan untuk pemeliharaan dibagi menjadi
pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala dan pemeliharaan darurat. Tugas
pemeliharaan rutin dilaksanakan oleh staf lapangan, dengan beberapa pekerjaan
membutuhkan penambahan tenaga terampil di bawah rencana swakelola.
Perawatan berkala dilaksanakan secara swakelola atau melalui kontrak kecil yang
diurus oleh Dinas Pengairan Kabupaten. Perbaikan darurat dapat dilaksanakan
oleh salah satu atau gabungan dari rencana di atas dengan bantuan dari petani dan
masyarakat tergantung dari kegawatan dan kegentingan pekerjaan perbaikan.
B. Analisis Neraca Air
Bertujuan untuk mengetahui gambaran global mengenai ketersediaan dan
kebutuhan air, dan pengaturan pemberian air yang wajar sesuai hasil perhitungan
neraca air tersebut. Saluran Induk Mataram merupakan daerah irigasi
interkoneksi, dimana sumber air dan areal irigasi layanannya tidak hanya satu,
maka metode perhitungan neraca dilakukan secara seksama dan sesuai standar
perencanaan irigasi. Adapun tahapannya meliputi :
9
1. Analisis Hidrologi
Kondisi hidrologi juga iklim di daerah irigasi berpengaruh pada pola
tanam budi daya yang diusahakan untuk mencapai peningkatan produksi dan
pendapatan petani. Data air di lahan persawahan seperti curah hujan, tinggi muka
air sungai, debit air dan kualitas air digunakan sebagai dasar dalam penetapan
perencanaan jaringan, bangunan bangunan pengatur dan pelengkap lain yang
dibutuhkan dalam kegiatan pengembangan irigasi.
2. Analisis Klimatologi
Metode ini dikembangkan berdasarkan hasil empiris yang merupakan
pendekatan konsep keseimbangan energi radiasi matahari. Selain itu, metode
tersebut menggunakan variabel suhu rerata bulanan, kelembaban relatif bulanan
rerata, kecerahan matahari bulanan, kecepatan angin bulanan rerata, letak lintang
daerah, dan angka koreksi (c) sesuai dengan bulan yang ditinjau.
Evapotranspirasi (ET) yang merupakan kombinasi antara evaporasi dan
transpirasi, adalah penguapan total baik dari permukaan air, daratan, maupun dari
tumbuh-tumbuhan. Banyak faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi ini antara
lain: suhu udara, kembaban udara, kecepatan angin, tekanan udara, sinar matahari,
ketinggian lokasi proyek, dan lain sebagainya. Umumnya besar kebutuhan air bagi
tanaman secara detail terbentur pada kesukaran untuk mendapatkan hasil
pengukuran yang teliti di lapangan.
H.L. Penman (1948) mengembangkan rumus empiris radiasi guna
perhitungan ET0 sebagai berikut :
Perhitungan untuk evapotransporasi potensial adalah sebagai berikut:
Data terukur yang diperlukan antara lain :
1. Suhu rerata bulanan (oC)
2. Kelembaban relatif bulanan rerata, RH (%)
3. Kecerahan matahari bulanan, n/N (%)
10
4. Kecepatan angin bulanan rerata U (m/s)
5. Letak lintang daerah
3. Koefisien Tanaman
Hubungan antara koefisien tanaman dan evapotranspirasi potensial
menentukan besarnya penggunaan air konsumtif (ETc) untuk tanaman tanaman.
Penggunaan air konsumtif merupakan kedalaman air yang dibutuhkan guna
memenuhi evapotranspirasi tanaman.
4. Kebutuhan Air
Kebutuhan air irigasi bisa ditentukan berdasarkan pada kebutuhan air
irigasi di daerah irigasi sekitarnya atau kebiasaan yang sudah berjalan selama ini
dengan mempertimbangkan karakteristik dan kondisi yang berbeda. Faktor–faktor
yang mempengaruhi kebutuhan irigasi adalah sebagai berikut :
1. Penyiapan lahan
2. Kebutuhan air untuk tanaman
3. Perkolasi dan rembesan
4. Penggantian lapisan air
5. Curah hujan efektif
1) Penyiapan lahan
Kebutuhan air untuk penyiapan lahan, umumnya mempunyai nilai yang
paling besar. Oleh karenanya, kebutuhan maksimum air irigasi pada suatu proyek
irigasi umumnya ditentukan berdasarkan kebutuhan air untuk penyiapan lahan.
Besarnya kebutuhan air untuk penyiapan lahan ditentukan olah faktor-faktor
berikut ini, yaitu jangka waktu untuk penyiapan lahan dan jumlah air untuk
penjenuhan serta lapisan air. Dalam kegiatan ini jangka waktu untuk penyiapan
lahan diambil 1 bulan. Sedangkan jumlah air untuk penjenuhan dan lapisan air
11
untuk lahan yang tidak dibiarkan bera sebesar 250 mm (200 mm untuk
penjenuhan tanah dan 50 mm untuk penggenangan lapisan air awal setelah
transplantasi atau pemindahan bibit ke petak sawah selesai).
Besarnya kebutuhan air untuk penyiapan lahan dihitung dengan rumus
yang dikembangkan oleh Van De Goor dan Zijlstra, seperti diperlihatkan pada
rumus:
2) Perkolasi dan rembesan
Laju perkolasi sangat tergantung pada jenis dan sifat tanah. Selanjutnya
digunakan standar kriteria “Pedoman Proyek Proyek Pengairan”. Perkolasi adalah
kehilangan air pada petak sawah baik yang meresap kesamping ke bawah
(vertikal) maupun yang meresap ke samping (horisontal). Besarnya perkolasi
dipengaruhi oleh sifat tanah dan kedalaman permukaan tanah terutama sifat fisik
tanah seperti clay, clayloam, loam, silty clay, & sebagainya. Struktur tanah lahan
sawah baru belum padat dan belum terbentuk lapisan yang jenuh air sehingga
kebutuhan air (lt/det/ha) masih tergantung pada jenis tanah dan aktifitas
pengelolaan. Harga perkolasi berkisar antara 1 – 6 mm/hari.
Penggantian air genangan diperlukan untuk pemberian pupuk pada tanaman yang
terjadi pengurangan air pada petak sawah sebelum pemberian pupuk. Besarnya
adalah 50 mm selama ½ bulan atau sebesar 3,33 mm /hari pada bulan 1 dan ke 2.
Sedangkan kebutuhan air untuk pembibitan dianggap sudah tercakup dalam
pengolahan tanah (areal untuk pembibitan sempit dan waktu bersamaan ± 30 hari.
3) Curah hujan efektif
Curah hujan efektif adalah curah hujan yang langsung mempengaruhi
pemberian air di sawah.
4).Ratio Pelaksanaan Pembagian Air (RPPA)
Menurut Suroso,dkk.2007 menyatakan bahwa Tingkat efisiensi jaringan
irigasi terutama pada jaringan irigasi primer dan sekunder adalah perbandingan
antara debit realisasi dan debit rencana. Menjadi konsep kinerja jaringan irigasi
adalah membandingkan debit air nyata yang dikirim ke pintu dan debit air rencana
12
yang dihitung untuk periode irigasi yang dimaksud. Hal ini merupakan
pendekatan yang cepat dan sederhana dan dapat dilaksanakan di mana saja pada
suatu sistem dimana terdapat pintu dan bangunan pengukur lainnya. Lebih cepat
lagi dengan mengisi papan eksploitasi yang memperlihatkan perbandingan kedua
data tersebut. Perbandingan yang tepat dapat dibuat jika papan eksploitasi
dilaksanakan semestinya. Perbandingan antara 2 debit air dihasilkan dengan
menghitung Ratio Pelaksanaan Pembagian Air (RPPA), yang dirumuskan :
Dari angka-angka RPPA dapat disimpulkan apakah jaringan, sub jaringan
atau sadap tersier dioperasikan dengan benar. Nilai RPPA yang lebih besar dari
satu akan menunjukkan kelebihan air. Sebaliknya dengan RPPA kurang dari satu,
tanaman menerima air kurang dari yang direncanakan.
Suroso dkk, 2007 menyebutkan bahwa Ketersediaan air irigasi di
bangunan pengambilan air adalah air yang tersedia di suatu bangunan
pengambilan yang dapat digunakan untuk mengairi lahan pertanian melalui sistem
irigasi.
Perhitungan Kebutuhan Air Irigasi pada Pola Tata Tanam
Dalam menentukan kebutuhan air irigasi tanaman, dilakukan perhitungan
kebutuhan yang berdasarkan pola tata tanam yang dipengaruhi oleh faktor seperti
evapotranspirasi potensial, perkolasi, penyiapan lahan, pergantian lapisan air dan
efisiensi irigasi. Di lokasi studi DI Karangtalun, tanaman yang diterapkan pada DI
tersebut adalah padi, palawija dan tebu. Tabel 4.19 Luas tanam eksisting pada
setiap musim tanam di DI Karangtalun
Tahapan perhitungan debit dengan menggunakan metode KP PU adalah seperti
berikut:
1. Menggambarkan pola tata tanam sesuai dengan jenis tanaman, durasi
penyiapan lahan, durasi sesuai usia tanaman dan durasi WLR untuk tanaman
padi.
2. Menentukan koefisien tanaman sesuai dengan gambar pola tata tanam dan
usia tanaman.
13
3. Memasukkan nilai evapotranspirasi potensial ETo
4. Mengitung penggunaan air konsumtif (PAK) dengan mengalikan nilai
koefisien masing-masing tanaman dengan nilai evapotranspirasi potensial,
untuk tanaman :
PAK = Koefisien x ETo mm/hari
5. Menentukan rasio luas tanam
6. Menghitung kebutuhan air tanaman dengan mengalikan nilai PAK dengan
rasio luas tanam:
7. Memasukkan nilai perkolasi
8. Menentukan nilai rasio luas perkolasi sesuai dengan gambar pola tata tanam
untuk tanaman
9. Menghitung nilai perkolasi dengan rasio luas perkolasi:
= Perkolasi x Rasio luas perkolasi mm/hari
10. Memasukkan nilai kebutuhan air untuk penyiapan lahan (LP)
11. Menentukan rasio luas LP sesuai dengan gambar pola tata tanam
12. Menghitung nilai LP dengan rasio luas LP:
= LP x rasio luas LP
13. Pergantian lapisan air (WLR)
14. Menentukan rasio luas WLR berdasarkan gambar pola tata tanam
15. Menghitung nilai WLR dengan rasio luas WLR:
= WLR x Rasio luas WLR
16. Menghitung kebutuhan bruto air tanaman
17. Memasukkan nilai curah hujan efektif
14
18. Menghitung kebutuhan neto air tanaman (netto farm requirement atau NFR)
dengan mengurangkan nilai kebutuhan bruto tanaman dengan nilai curah
hujan efektif.
19. Selanjutnya, nilai hasil perhitungan NFR dikonversi dari mm/hari ke l/dt/ha
20. Menghitung nilai efisiensi saluran irigasi untuk saluran primer, sekunder
dan tersier dimana masing-masing adalah sebesar 90% dan 80%:
21. Menghitung nilai kebutuhan neto air irigasi (demand requirement atau DR)
per satuan luas
22. DR per satuan luas = (NFR)/(Efisiensi saluran irigasi)
23. Berdasarkan hasil perhitungan DR diperoleh nilai DR persatuan luas
C. Analitical Hierarchy Process (AHP)
Metode AHP berperan dalam menstrukturkan kriteria-kriteria yang ada
untuk suatu masalah pengambilan keputusan dengan banyak kriteria. Pengambil
keputusan perlu menentukan tingkat kepentingan antara kriteria-kriteria yang ada
dengan membandingkan semua kombinasi kriteria yang mungkin. Selanjutnya
disusun suatu matriks hubungan relatif nilai kepentingan dari kriteria-kriteria yang
ada. Urutan prioritas/ranking dari kriteria dapat disusun dengan mencari eigen
vektor matriks tersebut.
Dewi, E.M. dan Heru,P.H.P.(2015) menggunakan AHP untuk
memecahkan suatu permasalahan dikarenakan metode AHP:
1. Struktur yang berhirarki
2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi berbagai alternatif
dan kriteria yang dipilih
3. Mengunakan perhitungan daya tahan output analisis sensitivitas
Struktur formulasi masalah dalam AHP dapat dilihat sepertiGambar 2.1.
15
Tiap alternatif diuji konsekuensi-konsekuensi (outcomes) yang
ditimbulkan, kemudian dinilai dengan masing-masing kriteria sesuai dengan Tabel
2.10. Sehingga tiap alternatif mempunyai nilai untuk semua kriteria. Selanjutnya
nilai tersebut dikalikan dengan bobot kriteria dari hasil analisis eigen vektor
matriks hubungan relatif nilai kepentingan di atas. Jumlah nilai setelah perkalian
ini adalah nilai akhir alternatif tindakan. Pengambil keputusan selanjutnya
memilih alternatif tindakan yang paling tinggi nilainya.
Saaty (2008) menggunakan skala kuantitatif 1 sampai 9 sebagai penilaian
perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap yang lain.
Tabel 2.10 Skala Banding Secara Berpasangan
INTENSITAS
PENTINGNYA DEFINISI PENJELASAN
1 Kedua elemen sama pentingnya. Dua elemen menyumbangnya
sama besar pada sifat itu.
3 Elemen yang satu sedikit lebih
penting ketimbang yang lainnya.
Pengalaman dan pertimbangan
sedikit menyokong satu elemen
atas yang lainnya.
5 Elemen yang satu esensial atau
sangat penting ketimbang
elemen yang lainnya.
Pengalaman dan pertimbangan
dengan kuat menyokong satu
elemen atas elemen yang
lainnya.
7 Satu elemen jelas lebih penting
dari elemen yang lainnya.
Satu elemen dengan kuat
disokong dan dominannya telah
terlihat dalam praktek.
9 Satu elemen mutlak lebih
penting ketimbang elemen yang
lainnya.
Bukti yang menyokong elemen
yang satu atas yang lain
memiliki tingkat penegasan
tertinggi yang mungkin
menguatkan.
2,4,6,8 Nilai – nilai diantara dua
pertimbangan yang berdekatan.
Kompromi diperlukan antara
dua pertimbangan.
Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat
satu angka bila dibandingkan
dengan aktivitas j, maka j
mempunyai nilai kebalikannya
bila dibandingkan dengan i.
Sumber : Saaty, 1993
16
Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan
dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan
dengan i.
Prosedur Analitical Hierarchy Process (AHP) dapat diuraikan sebagai
berikut :
1. Menyusun struktur kriteria-kriteria yang ada untuk suatu masalah
pengambilan keputusan.
2. Menentukan tingkat kepentingan antara kriteria-kriteria yang ada dengan
membandingkan semua kombinasi kriteria yang mungkin.
3. Menyusun matriks hubungan relatif nilai kepentingan dari kriteria-kriteria
yang ada.
4. Selanjutnya urutan prioritas/ranking dari kriteria dapat disusun dengan
mencari eigen vektor matriks tersebut.
5. Tiap alternatif diuji konsekuensi-konsekuensi (outcomes) yang ditimbulkan
kemudian dinilai dengan masing-masing kriteria, sehingga tiap alternatif
mempunyai nilai untuk semua kriteria.
6. Selanjutnya nilai tersebut dikalikan dengan bobot kriteria tersebut dari hasil
analisis eigen vektor matriks hubungan relatif nilai kepentingan di atas.
Jumlah nilai setelah perkalian ini adalah nilai akhir alternatif tindakan
tersebut.
7. Pengambil keputusan selanjutnya memilih alternatif tindakan yang paling
tinggi nilainya
2. METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
1. Saluran Induk Mataram merupakan saluran primer yang berfungsi
memenuhi kebutuhan air irigasi di beberapa wilayah di Propinsi D.I.
Yogyakarta, meliputi Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan
Kabupaten Bantul. Saluran ini mengambil air dari Sungai Progo di
17
Bendung Karangtalun dan berakhir di daerah Kalasan di Sungai Opak,
dengan debit rencana 21,5 m3/dt. Saluran ini direncanakan mampu
mengairi 33.000 Ha persawahan di sebelah selatan saluran.
Keberadaan Saluran Induk Mataram yang berfungsi sebagai saluran
irigasi menjadi semakin terancam dengan bertambahnya fungsi saluran
menjadi sarana saluran drainase dan sarana pembuangan sampah. Di
samping itu pada saat ini di beberapa bagian sarana Saluran Induk
Mataram juga telah mengalami kerusakan. Kesadaran masyarakat
untuk ikut memelihara kelanjutan fungsi Saluran Induk Mataram juga
perlu ditingkatkan dengan adanya fenomena pembuangan limbah
rumah tangga ke saluran sehingga mengalami penurunan produktivitas.
2. Saluran Induk Mataram sebagai sarana dan prasarana sumberdaya air
khususnya irigasi, telah beberapa kali direhab sehingga nilai manfaat
air irigasi yang optimal dapat diperoleh melalui operasi dan
pemeliharaan. Operasi dan pemeliharaan irigasi pada dasarnya
meliputi pengaturan, pelaksanaan, dan evaluasi beroperasinya
prasarana irigasi dan pemeliharaannya untuk menjamin kelestarian
sistem irigasi. Ketiadaan O & P dapat mengakibatkan degradasi
prasarana dan sarana sumberdaya air sehingga memperbesar kebutuhan
biaya untuk kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi.
3. Daerah irigasi Mataram memiliki luas areal 5.159 Ha. Sumber air
berasal dari penyadapan Sungai Progo melalui Bendung Karang Talun
yang terletak di Desa Karang Talun, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten
Magelang. Areal pertanian mendapat pasokan air irigasi dari Saluran
Induk Mataram maupun melalui bendung pada sungai yang disuplesi
dari Saluran Induk Mataram.
18
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian Daerah Irigasi Mataram
4. Daerah irigasi ini memiliki 3 (tiga) pengamatan yaitu :
1. Pengamatan Pucang Anom yang mengelola jaringan irigasi D. I.
Van Der Wicjk
2. Pengamatan Mataram I
3. Pengamatan Mataram II
5. Bangunan utama Bendung Karang Talun merupakan bendung tetap
dengan konstruksi beton bertulang. Bendung Karang Talun memiliki 4
(empat) buah pintu intake yang dioperasikan secara mekanis.
6. Saluran Induk D. I. Mataram hanya berupa satu Saluran Induk
Mataram mulai dari intake di Sungai Progo sampai ke Sungai Opak.
Sepanjang saluran tersebut memberikan air ke petak-petak sawah
melalui bangunan sadap dan mensuplai debit kali yang dilintasinya
agar dapat di bendung untuk daerah irigasi di hilirnya.
7. Berdasarkan kewenangan pengelolaannya maka Saluran Induk
Mataram terbagi 4 (empat) bagian yaitu :
1. Dari Bendung Mataram sampai bendung bagi KT4 / B1 atau
BVW0 (bangunan bagi menuju Saluran Van Der Wicjk) dan dari
KT4 / B1 sampai MA 22 masuk dalam kewenangan Pengamatan
Mataram I
2. Dari BVW0 ke arah hilir termasuk D. I. Van Der Wicjk masuk
dalam Pengamatan Pucang Anom
19
3. Dari MA 22 sampai BM 40 masuk dalam kewenangan Pengamatan
Mataram II
Kondisi Eksisting
1. Daerah Irigasi Mataram mempunyai bangunan penangkap air (intake) berupa
bendung dengan nama Bendung Karang Talun yang dibangun pada tahun
1970 dan direhabilitasi oleh Proyek Kali Progo tahun 1980 yang mengairi
30.000 ha. Secara umum kondisi Bendung Karang Talun masih baik dan
berfungsi dengan normal.
2. Pintu pengambilan (intake) di Bendung Karang Talun berjumlah 4 buah
dengan saluran pengarah di masing-masing pintunya, yang bisa dioperasikan
baik manual maupun elektrik.
3. Daerah Irigasi Mataram mempunyai saluran induk Karang Talun yang
memanjang dari Intake Bendung Karang Talun kemudian terpecah menjadi 2,
yaitu yang lurus ke arah Saluran Induk Mataram dan yang berbelok ke kanan
menjadi Saluran Induk Van Der Wijck.
4. Sesuai dengan skema Jaringan Irigasi yang ada di DI. Mataram, terdapat
beberapa bangunan bagi yang membagi aliran air di DI. Mataram menjadi 2
(dua) saluran induk yaitu Saluran Induk Mataram dan Saluran Induk Van Der
Wijck. Di Saluran Induk Van Der Wijck terdapat 14 (empat belas) bangunan
bagi yang mengalirkan air dari Saluran Induk Van Der Wijck ke-14 (empat
belas) saluran sekunder. Bangunan bagi yang terdapat di kedua saluran induk
itu adalah :
1. Saluran Induk Mataram :
a. Bangunan Bagi Saluran Sekunder Cibuk
2. Saluran Induk Van Der Wijck :
a.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Sendang Pitu
b.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Sedayu Rewulu
c.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Sedayu Barat
d.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Sedayu Selatan
e.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Jamur Wetan
20
f.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Jamur Kulon
g.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Cerbonan Wetan
h.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Cerbonan Kulon
i.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Kergan
j.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Rewulu I
k.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Rewulu II
l.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Gancahan
m.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Brongkol
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 4. 1 Data klimatologi rerata dari tahun 2006 s.d. 2015
Sumber: BMKG Stasiun Klimatologi Tegal
21
Tabel 4.2 Hubungan antara temperatur (T), tekanan uap jenuh (es), nilai w dan nilai f(t)
Tabel 4.3 Nilai radiasi gelombang pendek (Ra) sesuai dengan letak lintang
22
Tabel 4.4 Nilai angka koefisien bulanan (c)
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Koefisien (c) 1,10 1,10 1,00 0,90 0,90 0,90 0,90 1,00 1,10 1,10 1,10 1,10
Bulan Koefisien Bulan Koefisien
Januari 1,10 Juli 0,90
Februari 1,10 Agustus 1,00
Maret 1,00 September 1,10
April 0,90 Oktober 1,10
Mei 0,90 November 1,10
Juni 0,90 Desember 1,10
Sumber: Hadisusanto (Aplikasi Hidrologi, 2010: 284-285)
Keterangan: 1 mmHg = 1,33 mbar
Bulan
Janu
ari
Febr
uari
Mar
etAp
rilM
eiJu
niJu
liAg
ustu
sSe
ptem
ber
Oktob
erNo
vemb
erDe
sembe
r
IDA
TA
1
Su
hu ud
ara (T
)°C
24,82
24,90
25,19
25,22
22,13
20,95
20,05
23,48
23,81
24
,81
25
,15
24,90
2
Ke
cepata
n ang
in (U
)km
/hari
15,66
14,22
14,82
12,80
12,13
14,16
15,58
25,83
24,11
31
,65
23
,95
14,42
3
Ke
lemba
ban u
dara
relati
f (RH
)%
84,00
83,60
82,80
83,10
82,80
80,90
81,20
77,70
75,60
76
,70
78
,60
83,00
4
Pe
nyina
ran m
ataha
ri (n/N
)%
35,55
34,71
40,83
47,50
54,57
50,58
60,74
70,95
62,70
60
,02
43
,75
33,21
IIAN
ALIS
A DA
TA
1
Te
kana
n uap
jenu
h (es)
mbar
31,22
31,39
31,97
32,02
26,56
24,69
23,25
28,84
28,20
31
,20
31
,89
31,39
2
w
0,75
0,75
0,76
0,76
0,73
0,71
0,70
0,74
0,74
0,7
5
0,7
6
0,75
3
(1
- w)
0,25
0,25
0,24
0,24
0,27
0,29
0,30
0,26
0,26
0,2
5
0,2
4
0,25
4
Fu
ngsi
suhu
[f(T
)]15
,60
15
,63
15
,70
15
,70
15
,03
14
,79
14
,61
15
,30
15
,36
15,60
15,69
15
,62
5
Te
kana
n uap
jenu
h (ea)
mbar
26,23
26,24
26,47
26,61
21,99
19,98
18,88
22,41
21,32
23
,93
25
,06
26,05
6
Te
kana
n uap
sebe
narny
a (sd
)mb
ar5,0
0
5,1
5
5,5
0
5,4
1
4,5
7
4,7
2
4,3
7
6,4
3
6,8
8
7,27
6,82
5,3
4
7
Ni
lai ra
diasi
matah
ari (R
a)mm
/hari
16,07
16,09
15,51
14,43
13,13
12,45
12,75
13,73
14,91
15
,79
15
,98
15,97
8
Ni
lai ra
diasi
gelom
bang
pend
ek (R
s) mm
/hari
7,10
7,04
7,30
7,31
7,15
6,51
7,37
8,69
8,78
9,0
7
7,7
7
6,86
Nilai
radia
si ge
loban
g pen
dek y
ang
dipan
carka
n (Rn
s)
10 Fu
ngsi
tekan
an ua
p jen
uh [f
(ea)]
0,11
0,11
0,11
0,11
0,13
0,14
0,15
0,13
0,14
0,1
2
0,1
2
0,12
11 Fu
ngsi
peny
inaran
mata
hari [
f(n/N
)] 0,4
2
0,4
1
0,4
7
0,5
3
0,5
9
0,5
6
0,6
5
0,7
4
0,6
6
0,64
0,49
0,4
0
12 Fu
ngsi
kecep
atan a
ngin
[f(U)
] 0,3
1
0,3
1
0,3
1
0,3
0
0,3
0
0,3
1
0,3
1
0,3
4
0,3
4
0,36
0,33
0,3
1
13 Ni
lai ra
diasi
gelom
bang
panja
ng be
rsih (
Rnl)
mm/ha
ri0,7
5
0,7
4
0,8
3
0,9
4
1,1
9
1,1
8
1,4
1
1,4
9
1,4
0
1,25
0,93
0,7
2
14 Ne
t radia
si ek
uivale
n eva
poras
i (Rn)
mm/ha
ri4,5
8
4,5
4
4,6
4
4,5
5
4,1
8
3,7
1
4,1
2
5,0
3
5,1
9
5,55
4,90
4,4
2
15 Ko
efisie
n bula
nan P
enma
n (C)
1,10
1,10
1,00
0,90
0,90
0,90
0,90
1,00
1,10
1,1
0
1,1
0
1,10
mm/ha
ri4,2
1
4,1
9
3,9
2
3,4
6
3,0
7
2,7
6
2,9
8
4,2
9
4,8
9
5,30
4,69
4,1
1
mm/bu
lan13
0,54
12
1,57
12
1,61
10
3,65
95
,12
82
,67
92
,25
13
2,91
14
6,61
164,2
5
140,6
0
12
7,45
16 Ev
apotr
ansp
irasi
poten
sial (E
To)
Sumb
er: H
asil p
erhitu
ngan
(201
7)
5,53
6,52
6,58
6,8
0
5,8
3
5,14
9
mm/ha
ri5,3
3
5,2
8
5,4
7
5,4
8
5,3
6
4,8
8
No.
Ura
ian
Satu
an
Bulan
`√
23
Tabel 4.12 Rekap curah hujan efektif untuk padi, palawija, tebu
Tabel 4.14 Hasil perhitungan debit air irigasi andalan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
I 297.47 175.93 139.43 120.74 103.31 96.66 96.66 89.17 87.48 79.87 70.98 59.37 56.65 43.37 10.73
II 372.87 185.63 152.95 145.48 137.37 124.50 124.50 124.41 110.72 88.38 73.44 59.97 54.27 39.22 31.43
I 320.79 185.93 185.93 177.53 149.34 132.73 131.73 123.10 107.52 99.33 98.12 97.68 84.23 72.41 63.91
II 429.00 207.05 206.08 206.08 155.27 154.25 147.37 129.50 124.56 120.13 117.13 77.66 77.66 62.01 49.98
I 373.29 194.67 194.67 175.07 152.47 138.31 127.07 107.06 105.91 103.70 82.47 68.57 64.83 58.22 58.22
II 247.41 158.79 151.09 144.19 126.41 126.06 121.16 121.16 113.73 110.98 103.01 90.49 73.24 73.24 63.55
I 312.65 169.88 155.35 147.73 145.15 134.17 133.24 133.08 126.38 121.40 103.04 74.62 60.82 60.82 56.45
II 244.57 167.61 133.88 125.93 120.39 112.48 108.50 103.97 79.94 73.75 63.96 59.41 59.40 22.70 22.70
I 282.76 145.23 122.11 83.72 77.12 73.77 66.39 62.26 59.17 55.70 47.71 40.45 37.79 32.02 32.02
II 221.16 151.82 103.05 102.55 80.76 69.43 55.78 53.50 51.72 50.81 46.51 40.50 29.76 23.61 23.61
I 215.06 126.52 95.92 89.33 50.87 50.50 50.31 48.43 47.70 44.85 35.64 34.89 27.17 24.80 24.80
II 164.30 91.21 76.64 46.90 42.80 38.73 37.93 33.53 33.19 28.06 26.85 22.13 22.13 20.90 16.47
I 144.83 91.69 73.70 40.59 39.31 33.71 33.40 30.31 27.24 23.31 23.31 20.51 18.98 15.43 14.60
II 134.46 61.87 45.97 39.89 36.17 34.46 31.66 27.03 25.90 25.08 24.93 22.83 19.63 19.37 14.67
I 130.46 38.59 35.93 33.70 33.13 33.03 20.60 20.11 19.96 19.40 18.94 18.07 16.50 16.30 14.31
II 122.81 56.01 34.02 33.25 30.70 22.42 18.20 16.94 16.78 16.19 15.63 14.84 14.61 14.33 12.59
I 114.46 113.04 29.79 29.52 26.51 20.25 19.02 17.43 17.43 15.47 14.98 14.95 14.35 13.48 12.56
II 118.84 108.28 26.69 24.96 21.46 20.97 16.57 16.47 16.47 16.35 13.07 12.89 12.81 11.75 11.38
I 104.00 96.41 61.35 37.01 28.01 26.78 24.43 20.11 20.11 18.33 16.45 13.11 12.83 11.56 10.28
II 135.78 107.40 96.33 48.19 44.76 42.11 29.69 29.69 27.33 24.75 17.95 17.64 13.50 11.85 9.74
I 128.98 121.57 116.17 90.95 63.81 57.23 51.02 49.83 39.67 39.67 38.41 35.12 18.92 14.74 13.57
II 248.01 192.42 111.66 104.33 83.92 80.10 74.89 74.89 61.74 52.37 48.69 45.31 27.63 26.79 21.17
I 299.80 100.48 100.48 97.43 87.22 79.78 78.49 78.12 69.69 69.57 64.67 63.64 41.77 33.30 30.05
II 321.94 171.51 161.15 122.44 98.23 95.14 90.34 86.50 86.50 69.65 58.30 56.25 42.58 41.45 12.67
5485.69 3219.53 2610.33 2267.51 1934.49 1797.58 1688.94 1596.57 1476.85 1367.10 1224.17 1060.88 902.04 763.68 631.48
9.09 18.18 27.27 36.36 45.45 54.55 63.64 72.73 81.82 90.91 100.00 109.09 118.18 127.27 136.36
Qp = 0,25 Qp = 0,50 Qp = 0,80
November
Desember
Jumlah
Probabilitas
keandalan`
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Bulan PeriodeDebit air rerata 15 harian (m
3/dt) peringkat ke-
Januari
Februari
24
Contoh perhitungan kebutuhan air untuk penyiapan lahan pada bulan Januari
adalah seperti berikut:
ET0 = 4,21 mm/hari
E0 = 1,1 ET0 = 1,1 (4,21) = 4,63mm/hari
P = 2,00 mm/hari
M = E0 + P = 4,63 + 2,00 = 6,63 mm/hari
T = 31 hari
S = 300 mm
k = (M . T) / S = (6,63) (31) / 300 = 0,69
PL =
= 13,37 mm/hari = 1,55 l/dt/ha
Perhitungan selengkapnya pada Tabel 4.15
Tabel 4.1 Hasil perhitungan kebutuhan air untuk penyiapan lahan (land preparation)
1. Pergantian Lapisan Air (Water Layer Requirement)
Pergantian lapis air membutuhkan genangan air setinggi 50 mm selama 1 bulan atau
30 hari dan diberikan saat 30 hari setelah pemindahan tanaman. Proses tersebut hanya
diperlukan untuk tanaman padi, sedangkan pada palawija proses tersebut tidak
diperlukan.
Untuk kebutuhan pergantian lapisan air dalam bentuk harian, dijabarkan dalam
rumus berikut: WLR = = 1,67 mm/hari.
25
2. Koefisien Tanaman
Hubungan antara koefisien tanaman dan evapotranspirasi potensial menentukan
besarnya penggunaan air konsumtif (ETc) untuk tanaman tanaman. Penggunaan air
konsumtif merupakan kedalaman air yang dibutuhkan guna memenuhi evapotranspirasi
tanaman.
Berdasarkan data yang diterpakan di DI Karangtalun, jenis tanaman yang diterapkan
adalah tanaman padi (varietas biasa) dan palawija (jagung) dan tebu. Untuk koefisien
pada masing-masing tanaman dapat dilihat pada tabel-tabel berikut :
Tabel 4.2 Harga-harga koefisien tanaman padi
Bulan Ndeco/Prosida FAO
Varietas Biasa Varietas Unggul Varietas Biasa Varietas Unggul
0,5 1,20 1,20 1,10 1,10
1,0 1,20 1,27 1,10 1,10
1,5 1,32 1,33 1,10 1,05
2,0 1,40 1,30 1,10 1,05
2,5 1,35 1,30 1,10 0,95
3,0 1,24 0 1,05 0
3,5 1,12 0,95
4,0 0 0
Sumber: KP-01 Lampiran II (2013:167)
Tabel 4.3 Koefisien beberapa tanaman ½ bulanan menurut FAO
Tanaman Jml
hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kedelai 85 0,5 0,75 1 1 0,82 0,45*
Jagung 80 0,5 0,59 0,96 1,05 1,02 0,95*
K. Tanah 130 0,5 0,51 0,66 0,85 0,95 0,95 0,95 0,55 0,55*
Bawang 70 0,5 0,51 0,69 0,9 0,95*
Buncis 75 0,5 0,64 0,89 0,95 0,88
Kapas 195 0,5 0,5 0,58 0,75 0,91 1,04 1,05 1,05 1,05 0,78 0,65 0,65 0
26
Keterangan : * untuk sisa kurang dari ½ bulan
Sumber: KP-01 Lampiran II (2013:175)
Tabel 4.4 Koefisien tanaman tebu
Sumber: KP-01 Lampiran II (2013:175)
Tahapan perhitungan dengan menggunakan metode KP PU adalah seperti
berikut:
1. Menggambarkan pola tata tanam sesuai dengan jenis tanaman, durasi penyiapan
lahan, durasi sesuai usia tanaman dan durasi WLR untuk tanaman padi.
2. Menentukan koefisien tanaman sesuai dengan gambar pola tata tanam dan usia
tanaman.
3. Menghitung rerata koefisien tanaman padi;
Rerata = = 1,05
Untuk rerata koefisien tebu masing adalah 0,55.
4. Memasukkan nilai evapotranspirasi potensial pada bulan Oktober yakni sebesar 5,30
mm/hari.
5. Mengitung penggunaan air konsumtif (PAK) dengan mengalikan nilai koefisien
masing-masing tanaman dengan nilai evapotranspirasi potensial, untuk tanaman
padi:
PAK = Koefisien x ET0 = 1,05 x 5,30 = 5,565 mm/hari
Nilai PAK untuk tanaman tebu adalah = 0,55 x 5,30 = 2,915 mm/hari.
6. Menentukan rasio luas tanam pada bulan Oktober periode I berdasarkan
gambar pola tata tanam. Nilai rasio luas tanam untuk tanaman padi sebesar
0,25 Sedangkan nilai rasio luas tanam untuk tanaman tebu adalah 1,00.
27
7. Menghitung kebutuhan air tanaman dengan mengalikan nilai PAK dengan
rasio luas tanam:
Kebutuhan air tanaman padi = PAK x Rasio luas tanam = 5,565 x 0,25
= 1,391 mm/hari
Nilai kebutuhan air tanaman tebu sebesar 2,915 x 1,00 = 2,915 mm/hari.
8. Memasukkan nilai perkolasi untuk tanaman padi dan tebu dimana sebesar
2,00 mm/hari.
9. Menentukan nilai rasio luas perkolasi pada bulan Oktober periode I sesuai
dengan gambar pola tata tanam untuk tanaman padi dan palawija, yakni
sebesar 0,25
10. Menghitung nilai perkolasi dengan rasio luas perkolasi:
= Perkolasi x Rasio luas perkolasi = 2,00 x 0,25 = 0,5 mm/hari
11. Memasukkan nilai kebutuhan air untuk penyiapan lahan (LP) untuk tanaman
padi pada bulan Oktober dimana sebesar 14,11 mm/hari.
12. Menentukan rasio luas LP pada bulan Oktober periode I sesuai dengan
gambar pola tata tanam padi, yakni sebesar 0,75.
13. Menghitung nilai LP dengan rasio luas LP:
= LP x rasio luas LP = 14,11 x 0,75 = 10,583 mm/hari.
14. Pergantian lapisan air (WLR) dimulai 30 hari atau 2 periode setelah awal
musim tanam padi.
15. Menentukan rasio luas WLR berdasarkan gambar pola tata tanam dan
terhitung setelah 30 hari atau 2 periode setelah awal musim tanam padi.
16. Menghitung nilai WLR dengan rasio luas WLR:
= WLR x Rasio luas WLR
17. Menghitung kebutuhan bruto air tanaman padi dengan menjumlahkan hasil
perhitungan dari tahapan nomor 7, 10, 13 dan 16. Untuk kebutuhan bruto air
tanaman tebu, dengan menjumlahkan hasil perhitungan dari tahapan 7 dan 8.
tanaman padi = 1,391 + 0,5 + 10,583 = 12,474 mm/hari
Tanaman tebu = 2,915 + 2 = 4,915 mm/hari
28
18. Memasukkan nilai curah hujan efektif untuk tanaman padi, tebu untuk bulan
Oktober periode I dimana masing-masing adalah sebesar 0,1 mm/hari dan
0,08 mm/hari.
19. Menghitung kebutuhan neto air tanaman (netto farm requirement atau NFR)
dengan mengurangkan nilai kebutuhan bruto tanaman dengan nilai curah
hujan efektif. Hitungan no. 17 dikurangi no 18. Dari hasil perhitungan,
diperoleh nilai NFR untuk tanaman padi = 12,474 – 0,1 = 12,374 mm/hari,
tebu sebesar = 4,915 – 0,085,74 = 4,835 mm/hari.
Selanjutnya, nilai hasil perhitungan NFR dikonversi dari mm/hari ke l/dt/ha,
Padi = 12,374 x (10000/(24x60x60)) = 1,432 l/dt/ha
Tebu = 4,835 x (10000/(24x60x60)) = 0,560 l/dt/ha
20. Menghitung nilai efisiensi saluran irigasi untuk saluran primer, sekunder dan
tersier dimana masing-masing adalah sebesar 90% dan 80%:
= 90% x 80% = 72%
21. Menghitung nilai kebutuhan neto air irigasi (demand requirement atau DR)
per satuan luas dengan contoh perhitungan untuk tanaman padi adalah seperti
berikut:
DR per satuan luas = = = 1,989 l/dt/ha
Berdasarkan hasil perhitungan DR untuk tebu diperoleh nilai DR persatuan
luas sebesar = 0,56/ 0,72 = 0,777 l/dt/ha
30
Perhitungan RPPA
1. Menghitung jumlah kebutuhan air di tiap saluran. Contoh dipakai saluran induk mataram dengan luas tanam padi = 1.500 Ha dan tebu
= 50 Ha ( Tabel 4.21)
No Nama Saluran Luas Ha No Nama Saluran Luas Ha
induk mataram 2.202,80 sekunder jamur kulon 147,00
padi 1.500,00 padi 147,00
tebu 50,00 tebu -
palawija 652,80 palawija -
jumlah jumlah
induk van der wijck 69,50 sekunder jamur wetan 89,50
padi 30,00 padi 50,00
tebu 7,00 tebu -
palawija 32,50 palawija 39,50
jumlah jumlah
sekunder sedayu rewulu 126,00 sekunder cerbonan wetan 299,50
padi 100,00 padi 299,50
tebu - tebu -
palawija 26,00 palawija -
jumlah jumlah
sekunder sedayu 205,50 sekunder cerbonan kulon 182,50
padi 180,00 padi 132,50
tebu - tebu 50,00
palawija 25,50 palawija
jumlah jumlah
sekunder sedayu selatan 699,00 sekunder kergan 372,50
padi 500,00 padi 300,00
tebu - tebu -
palawija 199,00 palawija 72,50
jumlah jumlah
sekunder sedayu barat 447,00 sekunder brongkol 92,50
padi 400,00 padi 92,50
tebu - tebu -
palawija 47,00 palawija -
jumlah jumlah
sekunder rewulu I 189,50 sekunder rewulu II 259,50
padi 150,00 padi 259,50
tebu - tebu -
palawija 39,50 palawija -
jumlah jumlah
sekunder sendang pitu 40,50 sekunder gancahan 34,00
padi 40,50 padi 34,00
tebu - tebu -
palawija - palawija -
jumlah jumlah
16
Tabel 4.21 Luas daerah tanam
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
1
2
3
4
5
Nilai DR per satuan luas (Tabel 4.20) dikalikan dengan luas tanam padi eksisting
dikonversi dari l/dt ke m3/dt.
DR = = m3/dt
= (1,989x1.500) / 1000 = 2,98 m3/dt
Berdasarkan hasil perhitungan DR untuk tebu diperoleh nilai DR persatuan luas
sebesar DR = (0,777 x 50) / 1000 = 0,04 m3/dt
31
luas
ha
III
III
III
III
III
III
III
III
III
III
III
III
Keb
utu
han
nett
o a
ir i
rig
asi
(D
R)
:
Tanam
an P
adi
lt/d
t/ha
1,9
89
1,3
28
0,7
15
0,4
42
0,0
18
0,0
00
0,2
97
0,2
20
0,6
02
0,3
80
0,0
00
0,1
13
0,0
57
0,5
88
0,6
10
1,5
07
1,6
76
1,1
09
0,9
11
1,0
48
1,2
81
1,1
30
1,3
99
1,9
72
Tanam
an T
ebu
lt/d
t/ha
0,7
77
0,6
36
0,3
04
0,1
45
0,0
00
0,0
00
0,0
83
0,0
00
0,0
00
0,1
56
0,0
00
0,0
06
0,0
00
0,3
92
0,4
04
0,6
59
0,7
35
0,7
80
0,8
21
0,8
23
1,0
46
1,0
46
1,1
47
1,1
47
Tanam
an P
ala
wij
alt
/dt/
ha
0,0
00
0,0
00
0,0
00
0,0
00
0,0
00
0,0
00
0,0
00
0,0
00
0,0
00
0,0
00
0,0
00
0,0
00
0,0
00
0,0
00
0,0
00
0,0
00
0,0
00
0,0
00
0,3
80
0,5
44
0,9
25
1,0
11
0,7
86
0,2
47
induk m
ata
ram
2.2
02,8
0
padi
1.5
00,0
0
2,9
8
1,9
9
1,0
7
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
1,0
80
tebu
50,0
0
0,0
4
0,0
3
0,0
2
0,0
22
0,0
01
-
0,0
15
0,0
11
0,0
30
0,0
19
-
0,0
06
0,0
03
0,0
29
0,0
31
0,0
75
0,0
84
0,0
55
0,0
46
0,0
52
0,0
64
0,0
56
0,0
70
0,0
99
pala
wij
a652,8
0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,5
36
0,5
37
0,6
83
0,6
83
0,7
49
0,7
49
jum
lah
3,0
2
2,0
2
1,0
87
1,1
02
1,0
81
1,0
80
1,0
95
1,0
91
1,1
10
1,0
99
1,0
80
1,0
86
1,0
83
1,1
09
1,1
11
1,1
55
1,1
64
1,1
35
1,6
61
1,6
69
1,8
27
1,8
19
1,8
99
1,9
27
induk v
an d
er
wij
ck
69,5
0
padi
30,0
0
0,0
6
0,0
2
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
22
tebu
7,0
0
0,0
1
0,0
1
0,0
05
0,0
03
0,0
00
-
0,0
02
0,0
02
0,0
04
0,0
03
-
0,0
01
0,0
00
0,0
04
0,0
04
0,0
11
0,0
12
0,0
08
0,0
06
0,0
07
0,0
09
0,0
08
0,0
10
0,0
14
pala
wij
a32,5
0
0,0
3
0,0
0
0,0
00
0,0
00
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,0
27
0,0
27
0,0
34
0,0
34
0,0
37
0,0
37
jum
lah
0,1
0
0,0
3
0,0
27
0,0
25
0,0
22
0,0
22
0,0
24
0,0
23
0,0
26
0,0
24
0,0
22
0,0
22
0,0
22
0,0
26
0,0
26
0,0
32
0,0
33
0,0
29
0,0
55
0,0
56
0,0
65
0,0
63
0,0
69
0,0
73
sekunder
sedayu r
ew
ulu
126,0
0
padi
100,0
0
0,0
7
0,0
7
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
tebu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
pala
wij
a26,0
0
0,0
2
0,0
0
0,0
00
0,0
00
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,0
21
0,0
21
0,0
27
0,0
27
0,0
30
0,0
30
jum
lah
0,0
9
0,0
7
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
72
0,0
93
0,0
93
0,0
99
0,0
99
0,1
02
0,1
02
sekunder
sedayu
205,5
0
padi
180,0
0
0,1
3
0,1
3
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
tebu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
pala
wij
a25,5
0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,0
21
0,0
21
0,0
27
0,0
27
0,0
29
0,0
29
jum
lah
0,1
3
0,1
3
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
30
0,1
51
0,1
51
0,1
56
0,1
56
0,1
59
0,1
59
sekunder
sedayu s
ela
tan
699,0
0
padi
500,0
0
0,3
6
0,3
6
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
tebu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
pala
wij
a199,0
0
0,1
5
0,0
0
0,0
00
0,0
00
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,1
63
0,1
64
0,2
08
0,2
08
0,2
28
0,2
28
jum
lah
0,5
1
0,3
6
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,3
60
0,5
23
0,5
24
0,5
68
0,5
68
0,5
88
0,5
88
sekunder
sedayu b
ara
t447,0
0
padi
400,0
0
0,2
9
0,2
9
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
tebu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
pala
wij
a47,0
0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,0
39
0,0
39
0,0
49
0,0
49
0,0
54
0,0
54
jum
lah
0,2
9
0,2
9
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,2
88
0,3
27
0,3
27
0,3
37
0,3
37
0,3
42
0,3
42
sekunder
rew
ulu
I189,5
0
padi
150,0
0
0,1
1
0,1
1
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
tebu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
pala
wij
a39,5
0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
jum
lah
0,1
1
0,1
1
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
0,1
08
sekunder
sendang p
itu
40,5
0
padi
40,5
0
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
0,0
3
tebu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
pala
wij
a-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
jum
lah
0,0
3
0,0
3
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
0,0
29
sekunder
jam
ur
kulo
n147,0
0
padi
147,0
0
0,1
1
0,1
1
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
tebu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
pala
wij
a-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
jum
lah
0,1
1
0,1
1
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
0,1
06
sekunder
jam
ur
weta
n89,5
0
padi
50,0
0
0,0
4
0,0
4
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
tebu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
pala
wij
a39,5
0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
jum
lah
0,0
4
0,0
4
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
0,0
36
sekunder
cerb
onan w
eta
n299,5
0
padi
299,5
0
0,2
2
0,2
2
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
tebu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
pala
wij
a-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
jum
lah
0,2
2
0,2
2
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
sekunder
cerb
onan k
ulo
n182,5
0
padi
132,5
0
0,1
0
0,1
0
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
0,0
95
tebu
50,0
0
0,1
0
0,0
7
0,0
36
0,0
22
0,0
01
-
0,0
15
0,0
11
0,0
30
0,0
19
-
0,0
06
0,0
03
0,0
29
0,0
31
0,0
75
0,0
84
0,0
55
0,0
46
0,0
52
0,0
64
0,0
56
0,0
70
0,0
99
pala
wij
a-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
jum
lah
0,1
9
0,1
6
0,1
31
0,1
17
0,0
96
0,0
95
0,1
10
0,1
06
0,1
25
0,1
14
0,0
95
0,1
01
0,0
98
0,1
25
0,1
26
0,1
71
0,1
79
0,1
51
0,1
41
0,1
48
0,1
59
0,1
52
0,1
65
0,1
94
sekunder
kerg
an
372,5
0
padi
300,0
0
0,2
2
0,2
2
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
tebu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
pala
wij
a72,5
0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,0
59
0,0
60
0,0
76
0,0
76
0,0
83
0,0
83
jum
lah
0,2
2
0,2
2
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
16
0,2
75
0,2
76
0,2
92
0,2
92
0,2
99
0,2
99
sekunder
bro
ngkol
92,5
0
padi
92,5
0
0,0
7
0,0
7
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
tebu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
pala
wij
a-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
jum
lah
0,0
7
0,0
7
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
0,0
67
sekunder
rew
ulu
II
259,5
0
padi
259,5
0
0,1
9
0,1
9
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
tebu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
pala
wij
a-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
jum
lah
0,1
9
0,1
9
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
0,1
87
sekunder
gancahan
34,0
0
padi
34,0
0
0,0
2
0,0
2
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
tebu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
pala
wij
a-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
jum
lah
34,0
0
0,0
2
0,0
2
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
0,0
24
TA
BE
L 4
.22 P
ER
HIT
UN
GA
N K
EB
UT
UH
AN
AIR
IR
IGA
SI
DI
TIA
P S
AL
UR
AN
DE
NG
AN
ME
TO
DE
PU
( m
3/d
t)
No
Nam
a s
alu
ran
Okto
ber
No
vem
ber
Dese
mber
Januari
Febru
ari
Mare
t
1 2 3 4
Apri
lM
ei
Juni
Juli
Agust
us
Septe
mber
11
12
13
14
15
165 6 7 8 9 10
32
Dari tabel 4.23 debit sesungguhnya di tiap saluran maka dicari nilai RPPA, yaitu:
Diambil contoh pada saluran induk mataram dengan debit sebenarnya 3,010 (tabel
4.23) dan debit rencana 3,023 (tabel 4.22)
Debit sebenarnya
Debit rencanaRPPA =
3,01
3,023
= 0,996
RPPA =
luas
ha I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II
induk mataram m3/dt 3,010 1,800 1,500 1,600 1,900 1,200 1,600 2,100 2,200 2,300 2,100 0,500 2,200 0,500 0,400 2,000 2,000 1,500 1,100 1,100 1,900 1,900 2,200 2,300
debit rencana m3/dt 3,023 2,024 1,087 1,102 1,081 1,080 1,095 1,091 1,110 1,099 1,080 1,086 1,083 1,109 1,111 1,155 1,164 1,135 1,661 1,669 1,827 1,819 1,899 1,927
RPPA 0,996 0,890 1,380 1,452 1,758 1,111 1,461 1,925 1,982 2,093 1,944 0,461 2,032 0,451 0,360 1,731 1,719 1,321 0,662 0,659 1,040 1,044 1,159 1,193 30,823 1,284
induk van der wijck m3/dt 0,100 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,050 0,100 0,100 0,100 0,100 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,030 0,100 0,020 0,100
debit rencana m3/dt 0,099 0,031 0,027 0,025 0,022 0,022 0,024 0,023 0,026 0,024 0,022 0,022 0,022 0,026 0,026 0,032 0,033 0,029 0,055 0,056 0,065 0,063 0,069 0,073
RPPA 1,012 0,971 1,128 1,215 1,381 1,389 2,111 4,322 3,874 4,121 4,630 1,340 1,364 1,167 1,160 0,933 0,900 1,022 0,549 0,539 0,465 1,575 0,291 1,376 38,833 1,618
sekunder sedayu rewulu m3/dt 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,140 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100
debit rencana m3/dt 0,092 0,072 0,072 0,072 0,072 0,072 0,072 0,072 0,072 0,072 0,072 0,072 0,072 0,072 0,072 0,072 0,072 0,072 0,093 0,093 0,099 0,099 0,102 0,102
RPPA 1,085 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 1,944 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 1,071 1,071 1,008 1,008 0,982 0,982 31,374 1,307
sekunder sedayu m3/dt 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140 0,140
debit rencana m3/dt 0,130 0,130 0,130 0,130 0,130 0,130 0,130 0,130 0,130 0,130 0,130 0,130 0,130 0,130 0,130 0,130 0,130 0,130 0,151 0,151 0,156 0,156 0,159 0,159
RPPA 1,080 1,080 1,080 1,080 1,080 1,080 1,080 1,080 1,080 1,080 1,080 1,080 1,080 1,080 1,080 1,080 1,080 1,080 0,930 0,930 0,896 0,896 0,881 0,881 24,859 1,036
sekunder sedayu selatan m3/dt 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 0,200
debit rencana m3/dt 0,515 0,360 0,360 0,360 0,360 0,360 0,360 0,360 0,360 0,360 0,360 0,360 0,360 0,360 0,360 0,360 0,360 0,360 0,523 0,524 0,568 0,568 0,588 0,588
RPPA 0,389 0,555 0,556 0,556 0,556 0,556 0,556 0,556 0,556 0,556 0,556 0,556 0,556 0,556 0,556 0,556 0,556 0,556 0,382 0,382 0,352 0,352 0,340 0,340 11,981 0,499
sekunder sedayu barat m3/dt 0,100 0,100 0,100 0,100 0,150 0,150 0,150 0,150 0,100 0,200 0,100 0,001 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,500
debit rencana m3/dt 0,288 0,288 0,288 0,288 0,288 0,288 0,288 0,288 0,288 0,288 0,288 0,288 0,288 0,288 0,288 0,288 0,288 0,288 0,327 0,327 0,337 0,337 0,342 0,342
RPPA 0,347 0,347 0,347 0,347 0,521 0,521 0,521 0,521 0,347 0,694 0,347 0,003 0,347 0,347 0,347 0,347 0,347 0,347 0,306 0,306 0,297 0,297 0,292 1,462 9,908 0,413
sekunder rewulu I m3/dt 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100
debit rencana m3/dt 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108 0,108
RPPA 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 0,926 22,222 0,926
sekunder sendang pitu m3/dt 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100
debit rencana m3/dt 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029
RPPA 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 3,429 82,305 3,429
sekunder jamur kulon m3/dt 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100
debit rencana m3/dt 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106 0,106
RPPA 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 0,945 22,676 0,945
sekunder jamur wetan m3/dt 0,100 0,100 0,100 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,001 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010 0,010
debit rencana m3/dt 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036 0,036
RPPA 2,778 2,778 2,778 0,278 0,278 0,278 0,278 0,278 0,278 0,278 0,278 0,028 0,278 0,278 0,278 0,278 0,278 0,278 0,278 0,278 0,278 0,278 0,278 0,278 13,917 0,580
sekunder cerbonan wetan m3/dt 0,010 0,010 0,010 0,010 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100
debit rencana m3/dt 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216
RPPA 0,046 0,046 0,046 0,046 0,464 0,464 0,464 0,464 0,464 0,464 0,464 0,464 0,464 0,464 0,464 0,464 0,464 0,464 0,464 0,464 0,464 0,464 0,464 0,464 9,460 0,394
sekunder cerbonan kulon m3/dt 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110 0,110
debit rencana m3/dt 0,195 0,162 0,131 0,117 0,096 0,095 0,110 0,106 0,125 0,114 0,095 0,101 0,098 0,125 0,126 0,171 0,179 0,151 0,141 0,148 0,159 0,152 0,165 0,194
RPPA 0,565 0,680 0,839 0,936 1,142 1,153 0,998 1,034 0,877 0,961 1,153 1,089 1,119 0,882 0,874 0,644 0,614 0,729 0,781 0,744 0,690 0,724 0,665 0,567 20,459 0,852
sekunder kergan m3/dt 0,300 0,300 0,300 0,300 0,300 0,300 0,300 0,300 0,300 0,300 0,300 - 0,300 0,300 0,300 0,300 0,300 0,300 0,300 0,300 0,300 0,300 0,300 0,300
debit rencana m3/dt 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,216 0,275 0,276 0,292 0,292 0,299 0,299
RPPA 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 - 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 1,389 1,089 1,088 1,028 1,028 1,003 1,003 29,850 1,244
sekunder brongkol m3/dt 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,001 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100 0,100
debit rencana m3/dt 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067 0,067
RPPA 1,502 1,502 1,502 1,502 1,502 1,502 1,502 1,502 1,502 1,502 1,502 0,015 1,502 1,502 1,502 1,502 1,502 1,502 1,502 1,502 1,502 1,502 1,502 1,502 34,550 1,440
sekunder rewulu II m3/dt 0,019 0,019 0,019 0,019 0,200 0,019 0,019 0,019 0,019 0,019 0,019 0,002 0,019 0,019 0,019 0,300 0,300 0,100 0,019 0,019 0,020 0,190 0,200 0,019
debit rencana m3/dt 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187 0,187
RPPA 0,102 0,102 0,102 0,102 1,070 0,102 0,102 0,102 0,102 0,102 0,102 0,010 0,102 0,102 0,102 1,606 1,606 0,535 0,102 0,102 0,107 1,017 1,070 0,102 8,649 0,360
sekunder gancahan m3/dt 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029 0,029
debit rencana m3/dt 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024 0,024
RPPA 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 1,185 28,431 1,185
10
11
12
13
14
15
16
nilai RPPA
1
2
3
4
5
6
7
8
9
TABEL 4.24 PERHITUNGAN RPPA
No Nama saluranOktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September
Dari angka-angka RPPA dapat disimpulkan apakah jaringan, sub jaringan
atau sadap tersier sudah dioperasikan dengan benar atau belum. Nilai RPPA yang
lebih besar dari satu akan menunjukkan kelebihan air. Sebaliknya dengan RPPA
kurang dari satu, tanaman menerima air kurang dari yang direncanakan.
33
Tabel 4.25 Hasil penilaian RPPA
1 induk mataram 1,284 cukup kelebihan debit air
2 induk van der wijck 1,618 buruk kelebihan debit air
3 sekunder sedayu rewulu 1,307 cukup kelebihan debit air
4 sekunder sedayu 1,036 baik
5 sekunder sedayu selatan 0,499 buruk kekurangan debit air
6 sekunder sedayu barat 0,413 buruk kekurangan debit air
7 sekunder rewulu I 0,926 baik
8 sekunder sendang pitu 3,429 sangat buruk kelebihan debit air
9 sekunder jamur kulon 0,945 baik
10 sekunder jamur wetan 0,580 buruk kekurangan debit air
11 sekunder cerbonan wetan 0,394 sangat buruk kekurangan debit air
12 sekunder cerbonan kulon 0,852 baik
13 sekunder kergan 1,244 baik
14 sekunder brongkol 1,440 buruk kelebihan debit air
15 sekunder rewulu II 0,360 sangat buruk kekurangan debit air
16 sekunder gancahan 1,185 baik
No Nama saluran Nilai RPPA Nilai Keterangan
Dari hasil analisa data diatas, maka dapat disimpulkan:
a. Saluran yang nilai RPPA lebih 1,25 dinilai kurang baik dikarenakan kelebihan
air, yaitu
b. Saluran yang nilai RPPA 0,75 sampai 1,25 dinilai baik dikarenakan tanaman
cukup menerima air yg tidak berlebihan
c. Saluran yang nilai RPPA kurang dari 0,75 dinilai kurang baik dikarenakan
kekurangan air.
34
Perhitungan Penilaian AHP
Mulai
Tujuan Utama
Studi Awal dan Pertimbangan
Teknik Rekayasa
Studi Visi, Misi, Aspirasi
Masyakakat, dan Peraturan-
perundangan
Alternatif Program yang
Dapat Dilakukan
Identifikasi dan Perumusan Kriteria serta Penyusunan
Hierarchi
Penyusunan Alternatif
Proporsional Tiap Jenis Tindakan
Perumusan Cara Penilaian dan
Ukuran Tiap Kriteria
Simulasi Konsekuensi
Alternatif Tindakan Berdasar Kriteria
yang Ada
Penyusunan Matriks Nilai Kepentingan dan Bobot Kriteria
Global
Penilaian Konsekuensi Matriks
Semua Kriteria
Pembobotan berdasar porsi jenis tindakan untuk tiap alternatif tindakan
Pembobotan berdasar nilai bobot kriteria global dan
pemilihan nilai tertinggi
Selesai
Sistem Pendukung Pengambilan Keputusan KAJIAN PENURUNAN KINERJA SALURAN IRIGASI
STUDI KASUS SALURAN INDUK MATARAM DALAM PERSPEKTIF OPERASI DAN PEMELIHARAAN
35
Pada kasus Saluran Induk Mataram ini akan diusulkan 4 jenis alternatif tindakan
yaitu
(1) pembobotan panjang saluran
(2) tingkat kerusakan jaringan irigasi
(3) luas daerah layanan
(4) rencana anggaran biaya rehabilitasi
PENILAIAN KRITERIA
Pada prinsip kerja AHP kriteria dinilai melalui perbandingan berpasangan
menggunakan Skala 1 sampai 9 yang merupakan skala terbaik untuk
mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala
perbandingan Saaty.
Tabel 4. 29 Skala perbandingan nilai kriteria
Nilai Keterangan
1 Kriteria / alternatif A sama penting dari kriteria / alternatif B
3 Kriteria / alternatif A sedikit lebih penting dari kriteria / alternatif B
5 Kriteria / alternatif A jelas lebih penting dari kriteria / alternatif B
7 Kriteria / alternatif A sangat jelas lebih penting dari kriteria / alternatif B
9 Kriteria / alternatif A mutlak lebih penting dari kriteria / alternatif B
2,4,6,8 Apabila ragu ragu antara dua nilai yang berdekatan
Sumber: Saaty, 1983
Nilai perbandingan B dengan A adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan
A dengan B
Perbandingan kriteria dapat dijelaskan sebagai berikut:
36
1. Tingkat kerusakan dianggap sama penting atau sedikit lebih penting dari
RAB/estimasi biaya. Hal ini dikarenakan besarnya kerusakan akan
mempengaruhi besarnya biaya yang dibutuhkan.
2. Estimasi biaya dianggap sama penting atau sedikit lebih penting dari luas
daerah layanan.
3. Estimasi biaya dianggap sangat jelas lebih penting dari panjang saluran
4. Tingkat kerusakan dianggap sama penting atau sedikit lebih penting dari
luas daerah layanan.
5. Tingkat kerusakan dianggap jelas lebih penting dari panjang saluran
6. Luas daerah layanan dianggap sedikit lebih penting dari panjang saluran.
Tabel 4.30 Matrik perbandingan kriteria
tingkat kerusakan estimasi biaya / RAB panjang saluran luas daerah layanan
tingkat kerusakan 1 2 5 2
estimasi biaya / RAB 1/2 1 7 2
panjang saluran 1/5 1/7 1 1/3
luas daerah layanan 1/2 1/2 3 1
PENILAIAN ALTERNATIF
Penilaian alternatif dilakukan dengan cara memberikan nilai bobot pada
masing masing daerah yang di tinjau untuk setiap kriteria.
1. Alternatif 1 adalah saluran Cerbonan Wetan.
2. Alternatif 2 adalah saluran Rewulu II
3. Alternatif 3 adalah saluran Sedayu Selatan
4. Alternatif 4 adalah saluran Sedayu Barat
5. Alternatif 5 adalah saluran Jamur wetan
37
Perhitungan kriteria
a. Melakukan perkalian matriks antara matriks perbandingan dan vektor
prioritas.
Matriks Vektor Tingkat Kepentingan
Kerusakan saluran Estimasi Biaya / RAB Panjang Saluran Luas Daerah
LayananKerusakan saluran 1,00 2,00 5,00 2,00
Estimasi Biaya / RAB 0,50 1,00 7,00 2,00
Panjang Saluran 0,20 0,14 1,00 0,33
Luas Daerah Layanan 0,50 0,50 3,00 1,00
Normalisasi
Kerusakan saluran Estimasi Biaya / RAB Panjang Saluran Luas Daerah
LayananKerusakan saluran 1,00 2,00 5,00 2,00
Estimasi Biaya / RAB 0,50 1,00 7,00 2,00
Panjang Saluran 0,20 0,14 1,00 0,33
Luas Daerah Layanan 0,50 0,50 3,00 1,00
Jumlah 2,20 3,64 16,00 5,33
Vektor Bobot
Kerusakan saluran Estimasi Biaya / RAB Panjang Saluran Luas Daerah
LayananKerusakan saluran 0,455 0,549 0,313 0,375
Estimasi Biaya / RAB 0,227 0,275 0,438 0,375
Panjang Saluran 0,091 0,039 0,063 0,063
Luas Daerah Layanan 0,227 0,137 0,188 0,188
Jumlah 1,00 1,00 1,00 1,00
vektor bobot rata rata
Kerusakan saluran Estimasi Biaya / RAB Panjang Saluran Luas Daerah Layanan Jumlah Rata rata
Kerusakan saluran 0,455 0,549 0,313 0,375 1,6911 0,4228
Estimasi Biaya / RAB 0,227 0,275 0,438 0,375 1,3143 0,3286
Panjang Saluran 0,091 0,039 0,063 0,063 0,2551 0,0638
Luas Daerah Layanan 0,227 0,137 0,188 0,188 0,7395 0,1849
Jumlah 1,00 1,00 1,00 1,00
Dari hasil perhitungan matriks diatas dapat diketahui nilai bobot prioritas:
1. Tingkat kerusakan = 42,28 %
2. Estimasi biaya / RAB = 32,86%
3. Panjang saluran = 6,38%
4. Luas daerah layanan = 18,49%
1,00 2,00 5,00 2,00 0,4228 1,7686
0,50 1,00 7,00 2,00 X 0,3286 = 1,3562
0,20 0,14 1,00 0,33 0,0638 0,2569
0,50 0,50 3,00 1,00 0,1849 0,7519
38
1,7686 0,4228 4,1833454
1,3562 : 0,3286 = 4,1275324
0,2569 0,0638 4,0278395
0,7519 0,1849 4,0668876
b. Mencari nilai eigen max dengan perhitungan berikut:
c.
4,183345 + 4,127532 + 4,0278395 + 4,06689 = 4,101401
4
Menghitung nilai Consistency Index (CI)
1
max
n
n
= 4,101401 - 4
4 - 1
= 0,0338 d. Menghitung nilai CR berdasarkan nilai CI dan C
CR = RI
CI
0,0338 = 0,037978
0,89 Nilai 0,037978 atau 3,7978% ini menyatakan bahwa rasio konsistensi dari hasil
penilaian perbandingan dapat diterima karena lebih kecil dari 10%. (Saaty)
39
kerusakan saluran Nilai pembobotan
(1) Cerbonan Wetan 5,0 15,63% 0,1563
(2) Rewulu II 7,0 21,88% 0,2188
(3) Sedayu Selatan 5,0 15,63% 0,1563
(4) Sedayu Barat 6,0 18,75% 0,1875
(5) Jamur Wetan 9,0 28,13% 0,2813
32,0 100,00%
RAB / Estimasi Dana Nilai pembobotan
(1) Cerbonan Wetan 6,0 21,43% 0,2143
(2) Rewulu II 9,0 32,14% 0,3214
(3) Sedayu Selatan 2,0 7,14% 0,0714
(4) Sedayu Barat 4,0 14,29% 0,1429
(5) Jamur Wetan 7,0 25,00% 0,2500
28,0 100,00%
Luas Area Layanan Nilai pembobotan
(1) Cerbonan Wetan 4,0 16,00% 0,1600
(2) Rewulu II 4,0 16,00% 0,1600
(3) Sedayu Selatan 9,0 36,00% 0,3600
(4) Sedayu Barat 6,0 24,00% 0,2400
(5) Jamur Wetan 2,0 8,00% 0,0800
25,0 100,00%
Panjang Saluran Nilai pembobotan
(1) Cerbonan Wetan 4,0 16,67% 0,1667
(2) Rewulu II 4,0 16,67% 0,1667
(3) Sedayu Selatan 9,0 37,50% 0,3750
(4) Sedayu Barat 5,0 20,83% 0,2083
(5) Jamur Wetan 2,0 8,33% 0,0833
24,0 100,00%
Hitungan Pembobotan Berdasarkan Survey dan Investigasi
dinormalisasi
dinormalisasi
dinormalisasi
dinormalisasi
(1) Cerbonan Wetan 0,1563 (1) Cerbonan Wetan 0,2143 (1) Cerbonan Wetan 0,1600 (1) Cerbonan Wetan 0,1667
(2) Rewulu II 0,2188 (2) Rewulu II 0,3214 (2) Rewulu II 0,1600 (2) Rewulu II 0,1667
(3) Sedayu Selatan 0,1563 (3) Sedayu Selatan 0,0714 (3) Sedayu Selatan 0,3600 (3) Sedayu Selatan 0,3750
(4) Sedayu Barat 0,1875 (4) Sedayu Barat 0,1429 (4) Sedayu Barat 0,2400 (4) Sedayu Barat 0,2083
(5) Jamur Wetan 0,2813 (5) Jamur Wetan 0,2500 (5) Jamur Wetan 0,0800 (5) Jamur Wetan 0,0833
memilih skala prioritas
estimasi dada / RAB (32,86%)tingkat kerusakan (42,28%) luas area layanan (6,38 %) panjang saluran ( 18,49% )
Menentukan nilai masing masing alternatif dengan mengalikan antara nilai matriks
alternatif dengan nilai matriks kriteria sebagai berikut:
40
(1) Cerbonan Wetan 0,1563 0,2143 0,1600 0,16667 42,28%
(2) Rewulu II 0,2188 0,3214 0,1600 0,16667 32,86%
(3) Sedayu Selatan 0,1875 0,0714 0,3600 0,375 X 6,38%
(4) Sedayu Barat 0,2813 0,1429 0,2400 0,20833 18,49%
(5) Jamur Wetan 0,2813 0,2500 0,0800 0,08333
(1) Cerbonan Wetan 0,1775
(2) Rewulu II 0,23913
(3) Sedayu Selatan 0,19505
(4) Sedayu Barat 0,21969
(5) Jamur Wetan 0,22157
Dari hasil diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang mendapat prioritas
rehabilitasi adalah:
1. Prioritas 1 : Saluran Rewulu II dengan nilai 0,23913
a. Tingkat kerusakan = 21,88%
b. Estimasi dana = 32,14%
c. Luas area layanan = 16,00%
d. Panjang saluran = 16,67%
2. Prioritas 2 : Saluran Jamur Wetan dengan nilai 0,22157
a. Tingkat kerusakan = 28,13%
b. Estimasi dana = 25,00%
c. Luas area layanan = 8,00%
d. Panjang saluran = 8,33%
3. Prioritas 3 : Saluran Sedayu Barat dengan nilai 0,21969
a. Tingkat kerusakan = 28,13%
b. Estimasi dana = 14,29%
c. Luas area layanan = 24,00%
d. Panjang saluran = 20,83%
41
4. Prioritas 4 : Saluran Sedayu Selatan dengan nilai 0,19505
a. Tingkat kerusakan = 18,75%
b. Estimasi dana = 7,14%
c. Luas area layanan = 36,00%
d. Panjang saluran = 37,50%
5. Prioritas 5 : Saluran Cerbonan Wetan dengan nilai 0,1775
a. Tingkat kerusakan = 15,63%
b. Estimasi dana = 21,43%
c. Luas area layanan = 16,00%
d. Panjang saluran = 16,67%
4. PENUTUP
A. Kesimpulan.
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Hasil perhitungan analisa data debit RPPA yaitu:
a. Nilai RPPA lebih dari 1,25 ( buruk : kelebihan debit air )
- Induk mataram
- Induk van der wijk
- Sekunder sedayu rewulu
- Sekunder sendang pitu
- Sekunder brongkol
b. Nilai RPPA 0,75 sampai 1,25 ( baik)
- Sekunder sedayu
- Sekunder rewulu I
- Sekunder jamur kulon
- Sekunder cerbonan kulon
- Sekunder gancahan
- Sekunder kergan
42
c. Nilai RPPA kurang dari 0,75 ( buruk: kekurangan debit air )
- Sekunder sedayu selatan
- Sekunder sedayu barat
- Sekunder jamur wetan
- Sekunder rewulu II
- Sekunder cerbonan wetan
2. Dari hasil perhitungan AHP maka dapat disimpulkan bahwa yang mendapat
prioritas rehabilitasi adalah:
a. Prioritas 1 : Saluran Rewulu II dengan nilai 0,23913
1. Tingkat kerusakan = 21,88%
2. Estimasi dana = 32,14%
3. Luas area layanan = 16,00%
4. Panjang saluran = 16,67%
b. Prioritas 2 : Saluran Jamur Wetan dengan nilai 0,22157
1. Tingkat kerusakan = 28,13%
2. Estimasi dana = 25,00%
3. Luas area layanan = 8,00%
4. Panjang saluran = 8,33%
c. Prioritas 3 : Saluran Sedayu Barat dengan nilai 0,21969
1. Tingkat kerusakan = 28,13%
2. Estimasi dana = 14,29%
3. Luas area layanan = 24,00%
4. Panjang saluran = 20,83%
d. Prioritas 4 : Saluran Sedayu Selatan dengan nilai 0,19505
1. Tingkat kerusakan = 18,75%
2. Estimasi dana = 7,14%
3. Luas area layanan = 36,00%
4. Panjang saluran = 37,50%
e. Prioritas 5 : Saluran Cerbonan Wetan dengan nilai 0,1775
1. Tingkat kerusakan = 15,63%
2. Estimasi dana = 21,43%
43
3. Luas area layanan = 16,00%
4. Panjang saluran = 16,67%
B. S a r a n.
1. Dalam pengambilan keputusan dilapangan masih menggunakan analisa
manual, dan diharapkan untuk pengambilan keputusan menggunakan analisis
data, salah satunya menggunakan metode AHP.
2. Pada penelitian ini belum di kaji lebih lanjut tentang kelebihan debit air pada
saluran, sehingga diharapkan adanya penelitian lebih lanjut tentang
pemanfaatan kelebihan air pada saluran.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pekerjaan Umum. Ditjen Pengairan. 1986. Standar Perencanaan
Irigasi, KP-01. Jakarta
Departemen Pekerjaan Umum, Ditjen Pengairan. 1986. Buku Petunjuk
Perencanaan Irigasi: Penunjang Standar Perencanaan Irigasi. Jakarta
Dewi, E.M. dan Heru, P.H.P. 2015. Penentuan Prioritas Penanganan Daerah
Irigasi di Kawasan Terdampak Banjir Lahar Dingin Gunung Merapi di
Kabupaten Magelang. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota BSAPPK
V4NI
Dinas Kimpraswil DIY. 2005. Data Daerah Irigasi Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Yogyakarta
Doorenbos, J and Pruitt, W.O. 1977. Guidelines for Predicting Crop Water
Requirements, FAO Irrigation and Drainage Paper. Rome : Food and
Agriculture Organization of The United Nations
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:12/PRT/M/2015. Tentang Pedoman
Eksploitasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi. Jakarta.
Prinz, D dan Anupam, K Singh. 2000. Decision Support for Water Resources
Development. Universitas Karlsruhe
Pudyastuti,P.S dan Jaji Abdurrosyid. 2012. Measuring Water Conflict Potential :
A Basic Principles. Jurnal Dinamika Teknik Sipil Universitas
Muhammadiyah Surakarta Vol. 12 No.1 Januari 2012.
Putri, E.W.S Harisuseno, D dan Purwati, E. 2014. Evaluasi Kinerja Daerah
Irigasi Jragung Kabupaten Demak. Malang : Magister Teknik Pengairan
universitas Brawijaya Malang
44
Taryono. 2016. Evaluasi Kinerja Infrastruktur Jaringan Irigasi Daerah Irigasi
Sarangan Kecamatan Wonoasri Kabupaten Madiun. Surakarta : Magister
Pemeliharaan dan Rehabilitasi Infrastruktur, Universitas Sebelas Maret
Saaty, Thomas L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta:
PT. Pustaka Binaman Pressindo
Saaty, Thomas L. 2008. Decision making with the Analytic Hierarchy Process.
International Journal Services Science, Vol.1, No .1, pp.83-98.
Sri Harto, B R. 2000. Hidrologi Teori Masalah Penyelesaian. Yogyakarta: Nafiri
off set
Sudjarwadi, CD. 1990. Teori dan Praktek Irigasi. Yogyakarta: Pusat Antar
Universitas Ilmu Teknik, UGM
Soroso, Paulus Setyo Nugroho, Pasrah Pamuji. 2007. Evaluasi Kinerja Jaringan
Irigasi Banjaran Untuk Meningkatkan Effektifitas dan Efisiensi
Pengelolaan Air Irigasi. Surakarta : DINAMIKA TEKNIK SIPIL UMS
Volume 7, No 1 januari 2007: 55-62.
Triatmodjo, Bambang. 2008. Hidrologi Terapan. Yogyakarta: Beta Offset
Zamroni, Anton. 2013. Skala Prioritas Pemeliharaan Dan Rehabilitasi Jaringan
Irigasi Sederhana (Studi Kasus Di Kabupaten Semarang). Surakarta:
Magister Pemeliharaan dan Rehabilitasi Infrastruktur, Universitas Sebelas
Maret