Download - PENENTUAN SKALA PRIORITAS PENANGANAN JALAN
1
TESIS
PENENTUAN SKALA PRIORITAS PENANGANAN JALAN KABUPATEN
DI KABUPATEN BANGLI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
I DEWA AYU NGURAH ALIT PUTRI
2
TESIS
PENENTUAN SKALA PRIORITAS PENANGANAN JALAN KABUPATEN
DI KABUPATEN BANGLI
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2011
I DEWA AYU NGURAH ALIT PUTRI
NIM : 0791561055
3
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan Kehadapan Ida Shang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Maha Esa, atas karunia dan rakhmat-Nya maka penulis dapat
menyusun Tesis dengan judul “Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan
Kabupaten Di Kabupaten Bangli” Penyusunan Tesis ini bertujuan untuk
memenuhi salah satu persyaratan bagi mahasiswa untuk menyelesaikan studi
strata dua Program Megister Teknik Sipil Universitas Udayana. Dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
Bapak I Putu Alit Suthanaya, ST.,MEng,Sc.,Ph.D, selaku Dosen Pembimbing I
dan Bapak Ir. Dewa Ketut Sudarsana, MT selaku Dosen Pembimbing II, yang
dengan sabar membimbing dan memberikan petunjuk dalam penyusunan Tesis
ini. Terimakasih kepada Bapak Kadis Bina Marga DPU Kab.Bangli, Kabid Bina
Marga DPU Kab.Bangli dan Bapak Ketua Bappeda Kab.Bangli yang sangat
membantu dalam penyelesaian Tesis ini. Terimakasih kepada rekan-rekan kuliah
dan karyawan Program Magister Teknik Sipil Universitas Udayana atas dukungan
bantuan dan kerjasamanya. Terimakasih yang tak ternilai kepada ayah dan ibu
serta saudara yang telah memberikan dukungan dan doa sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tesis ini. Terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak bisa
penulis sebutkan namanya satu persatu atas bantuannya dalam penyusunan Tesis
ini.
Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih banyak kekurangan-kekurangan
dan masih jauh dari sempurna, untuk itu masih perlu mendapatkan masukan,
kritik dan saran dari pembaca atas tulisan ini sehingga menjadi sempurna.
Denpasar, 8 Juni 2011
4
PENENTUAN SKALA PRIORITAS PENANGANAN JALAN KABUPATEN DI KABUPATEN BANGLI
ABSTRAK
Jalan Kabupaten merupakan prasarana transportasi yang penting dalam
pertumbuhan pembangunan sosial dan ekonomi. Kabupaten Bangli yang merupakan salah
satu kabupaten yang ada di Provinsi Bali, terdiri atas 4 (empat) kecamatan dan memiliki
panjang jalan kabupaten 73.823 Km dan terbagi dalam 369 ruas jalan. Dengan
keterbatasan dana sulit menentukan prioritas penanganannya, sehingga banyak ditemukan
ketimpangan seperti banyaknya jalan yang belum mendapat penanganan dan wilayah
Bangli timur hanya sebagian kecil yang mendapat penanganan. Dengan demikian perlu
mengkaji metode penetapan prioritas penanganan jalan sesuai kebutuhan masyarakat.
Pada penentuan prioritas dengan berdasarkan SK No. 77 Dirjen Bina Marga,
Tahun 1990, dapat diperoleh bahwa urutan prioritas tertinggi adalah jalan dengan nilai
LHR dan NPV tertinggi demikian sebaliknya nilai LHR rendah dengan NPV yang rendah
akan memperoleh hasil perhitungan skala prioritas dengan urutan rendah. Sedangkan
penentuan skala prioritas dengan bantuan metode Analytical Hierarcy Process (AHP)
dilakukan dengan mengkombinasikan berbagai faktor yaitu : kondisi jalan, volume lalu
lintas, manfaat ekonomi, kebijakan dan aspek tata guna lahan. Berdasarkan penentuan
urutan/skala prioritas penanganan jalan dengan metode AHP diperoleh tingkat
kepentingan dengan bobot masing-masing kriteria yang dipakai untuk menentukan
prioritas penanganan jalan. Adapun bobot masing-masing kriteria diurut berdasarkan
urutannya yaitu : kondisi jalan (23,9%), volume lalu lintas (22,9%), ekonomi (22,8%),
tata guna lahan (15,3%) dan kebijakan (15,1%). Perolehan urutan prioritas penanganan
jalan dengan metode AHP pada penelitian ini berbeda hasilnya dengan menggunakan SK
No.77 Dirjen Bina Marga, Tahun 1990. Hal ini disebabkan tidak hanya mengutamakan
nilai NPV tetapi adanya kombinasi beberapa faktor kriteria. Beberapa perubahan tersebut
terlihat pada ruas jalan yang LHRnya kecil, dengan nilai NPV rendah tetapi dibutuhkan
masyarakat memperoleh urutan skala prioritas tinggi.
5
Berdasarkan hasil perbandingan dari kedua metode, metode AHP disarankan
untuk digunakan karena beberapa aspek dan kriteria dapat dikombinasikan sehingga
urutan prioritas dapat menggambarkan kebutuhan masyarakat dengan baik.
Kata kunci : Jalan kabupaten, prioritas penanganan, metode AHP.
DETERMINATION OF REGENCIAL ROAD HANDLING PRIORITY IN BANGLI REGENCY
ABSTRACT
Regencial road is an important transport infrastructure to support social
and economic development. Bangli Regency is one of the regencies in Bali
Proivince, wich consists of 4 ( four) district and has 73.823 km length of regencial
road, divided into 369 road section. It is difficult to determine road handling
priority because of limited availability of funding. Unbalance road development
was found such as lack of road development in the eastern of Bangli. Therefore, it
is required to study suitable method that can be applied to determine road
handling priority.
In determining road handling priority based on SK No.77 Dirjen Bina
Marga 1990, it was found that road section wich has hight priority is the road with
the highest AADT and NPV value and vice versa. In determining road handling
priority based on AHP method, several factors were considered such as road
condition, traffic volume, economic benefid, policy and land use factor.
Determination of road handling priority based on AHP method, it was found the
weighting of each criteria i.e road condition (23,9%), traffic volume (22,9%),
economic (22,8%), land use (15,3%) and Policy (5,1%). It was found that the road
handling priority based on AHP Method, 1990 because was different from Sk
No.77 Dirjen Bina Marga. Considering several factors as mentioned above. It was
found that although having low AADT and NPV values, several road section had
a high priority because required by the communities.
Based on the comparison of the two methods, it is recommended to use
AHP method because several aspects and criterias can be combined. Therefore the
rank of priority obtained may closely represent community requirement.
6
Keyword : regencial road, handling priority, AHP Method.
DAFTAR ISI
Hal
Sampul Dalam ................................................................................................... i
Prasyarat Gelar ................................................................................................ ii
Lembar Persetujuan................ .......................................................................... iii
Lembar Panitia Penguji Tesis ........................................................................... iv
Ucapan Terima Kasih ....................................................................................... v
Abstrak............................................................................................................... vi
Abstract ............................................................................................................. vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN...................................... .................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah... ............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian............. ............................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 6
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. 7
1.6 Sistematika Penulisan.................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 10
2.1 Pengertian Jalan... ........................................................................ 10
2.2 Klasifikasi Jalan............................................................................ 10
7
2.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsinya .................................. 10
2.2.2 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Muatan Sumbu .................... 11
2.2.3 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Administrasi Pemerintahan . 12
2.3 Volume Lalu Lintas....................................................................... 14
2.4 Penanganan Jalan ......................................................................... 15
2.4.1 Pekerjaan Berat.................................................................... 16
2.4.2 Pemeliharaan Jalan .............................................................. 17
2.2.3 Pekerjaan Penyangga dan Pekerjaan Darurat Jalan ........... . 18
2.5 Sumber Dana Penanganan Jalan ................................................. 19
2.6 Kebijakan Penanganan Jalan ..................................................... 19
2.6.1 Metode-Metode Dalam Pengambilan Keputusan ................. 21
2.7 Tata Guna Lahan ............................................................................ 23
2.8 Penentuan Skala Prioritas Berdasarkan SK. No.77, Tahun 1990.... 25
2.9 Penentuan Skala Prioritas dg Metode Analytical Hierarcy Process. 25
2.9.1 Penentuan Prioritas.................................................................. 31
2.9.2 Proses-proses dalam Metode Analytical Hierarcy Process..... 32
2.9.3 Matrik Perbandingan Berpasangan......................................... 33
2.9.4 Perhitungan Bobot Elemen.................................................... 34
2.9.5 Perhitungan Konsistensi......................................................... 36
2.9.6 Pembobotan Kriteria Total Responden.................................. 39
2.9.7 Model Matematis................................................................... 39
2.10 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel................................... 40
2.10.1 Teknik Sampling Dalam Pengambilan Sampel.................... 41
2.11 Kuisioner....................................................................................... 45
2.11.1 Petunjuk Pembuatan Kuisioner............................................ 45
2.11.2 Isi Pertanyaan....................................................................... 46
2.11.3 Jenis Pertanyaan................................................................... 47
2.11.4 Skala Pengukuran Kuisioner................................................ 47
2.12 Jenis Penelitian.............................................................................. 49
8
BAB III METODE PENELITIAN.............................................................. 50
3.1 Tahapan Penelitian......................................................................... 50
3.2 Studi Pendahuluan ......................................................................... 52
3.3 Latar Belakang dan Rumusan Masalah.......................................... 53
3.4 Tujuan Penelitian........................................................................... 54
3.5 Pengumpulan Data......................................................................... 54
3.5.1 Pengumpulan Data Sekunder................................................. 55
3.5.2 Pengumpulan Data Primer..................................................... 58
3.6 Variabel Penelitian......................................................................... 59
3.7 Analisis Data ................................................................................. 61
BAB IV DESKRIPSI DATA........................................................................ 62
4.1 Gambaran Umum dan Letak Geografis.......................................... 62
4.2 Prasarana Jalan................................................................................ 62
4.3 Hasil Penilaian Responden.............................................................. 63
4.3.1 Jawaban Terhadap Penilaian pada Level 2 (Kriteria)............ 65
4.3.2 Jawaban Terhadap Penilaian pada Level 3 (Sub Kriteria)..... 66
BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN...................................... 74
5.1 Penyusunan Hirarki dan Bobot....................................................... 74
5.1.1 Struktur Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan
Kabupaten.............................................................................. 74
5.1.2 Bobot Penilaian Kriteria......................................................... 76
5.1.3 Perhitungan Bobot Sub Kriteria............................................. 82
5.1.3.1 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Kondisi Jalan......... 82
5.1.3.1 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Volume Lalulintas. 86
5.1.3.1 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Ekonomi................ 89
5.1.3.1 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Kebijakan............... 91
5.1.3.1 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Tata Guna Lahan.... 94
5.2 Penerapan Bobot Kriteria untuk Penanganan Jalan........................ 99
9
5.2.1 Data Kondisi Jalan.................................................................. 99
5.2.2 Data Volume Lalu Lintas...................................................... 101
5.2.3 Data Ekonomi......................................................................... 101
5.2.4 Data Kebijakan....................................................................... 102
5.2.5 Data Tata Guna Lahan............................................................. 103
5.3 Penerapan Bobot Sub Kriteria untuk Penanganan Jalan.................. 104
5.3.1 Penerapan Bobot Sub Kriteria Kondisi Jalan.......................... 104
53.2 Penerapan Bobot Sub Kriteria Volume Lalu Lintas................ 106
5.3.3 Penerapan Bobot Sub Kriteria Ekonomi................................. 108
5.3.4 Penerapan Bobot Sub Kriteria Kebijakan............................... 109
5.3.5 Penerapan Bobot Sub Kriteria Tata Guna Lahan.................... 104
5.3.6 Perhitungan Skal Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan
Metode AHP........................................................................... 112
5.4 Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten Berdasarkan SK. No.77,
Dirjen Bina Marga Tahun 1990.......................................................
115
5.5 Perbandingan Hasil Skala/Urutan Prioritas Penanganan Jalan
Kabupaten antara Berdasarkan SK. No.77, Tahun 1990 dengan
Metode AHP................................................................................... 116
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN........................................................... 119
6.1 Simpulan....................................................................................... 119
6.2 Saran.............................................................................................. 124
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 125
10
LAMPIRAN.................................................................................................... 127
LAMPIRAN A PETA WILAYAH STUDI.................................................... 127
LAMPIRAN B KUISIONER.......................................................................... 129
LAMPIRAN C DATA SEKUNDER
( Data Penganganan Jalan Kabupaten di Kab. Bangli).......... 150
LAMPIRAN D ANALISIS DATA
(Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten di
Kabupaten Bangli)................................................................. 159
11
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 2.1 : Abstraksi Susunan Hirarki Keputusan........................................ 32
Gambar 2.2 : Konsistensi Matrik...................................................................... 37
Gambar 3.1 : Langkah-langkah Penelitian....................................................... 52
Gambar 3.2 : Penyusunan Level Hirarki Penanganan Jalan............................. 61
Gambar 5.1 : Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan
Kabupaten.................................................................................. 75
Gambar 5.2 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Kriteria”................................... 80
Gambar 5.3 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Kondisi Jalan”.......................... 84
Gambar 5.4 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Volume Lalu Lintas”............... 88
Gambar 5.5 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Ekonomi”................................. 90
Gambar 5.6 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Kebijakan”........................ ....... 93
Gambar 5.7 : Matrik Nilai Eigen Maximum ”Tata Guna Lahan...................... 96
Gambar 5.8 : Bobot Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan
Kabupaten.................................................................................. 98
Gambar A.1 : Peta Wilayah Studi.................................................................... 127
Gambar A.2 : Peta Jaringan Jalan Kabupaten Bangli...................................... 128
12
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 2.1 : Perbandingan Matrik Perbandingan Berpasangan.......................... 32
Tabel 2.2 : Perbandingan Kriteria Berpasangan................................................ 34
Tabel 2.3 : Matrik Perbandingan Berpasangan Bobot Elemen.......................... 35
Tabel 2.4 : Matrik Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan............ 35
Tabel 2.5 : Random Indeks................................................................................ 38
Tabel 4.1 : Jumlah Ruas Jalan dan Panjang Jalan Kabupaten Bangli................ 63
Tabel 4.2 : Rekapitulasi Jawaban Responden tentang ”Kriteria”...................... 65
Tabel 4.3 : Rekap. Jawaban Resp.Sub Kriteria ”Kondisi Jalan”....................... 67
Tabel 4.4 : Rekap. Jawaban Resp.Sub Kriteria ”Volume Lalu Lintas ............. 69
Tbel 4.5 : Rekap. Jawaban Resp.Sub Kriteria ”Ekonomi”............................... 70
Tabel 4.6 : Rekap. Jawaban Resp.Sub Kriteria ”Kebijakan”............................ 71
Tabel 4.7 : Rekap. Jawaban Resp.Sub Kriteria ”Tata Guna Lahan”................. 72
Tabel 5.1 : Skala Perbandingan Penilaian ”Kriteria”......................................... 77
Tabel 5.2 : Matrik Awal Sub ”Kriteria”............................................................. 79
Tabel 5.3 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ”Kriteria”....... .......................... 80
Tabel 5.4 : Bobot Kriteria Penanganan Jalan Kabupaten.................................. 81
Tabel 5.5 : Skala Perbandingan Penilaian ”Kondisi Jalan”............................... 82
Tabel 5.6 : Matrik Awal Sub ”Kondisi Jalan”................................................... 84
Tabel 5.7 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ” Kondisi Jalan ”. ................... 84
Tabel 5.8 : Bobot Sub Kriteria Kondisi Jalan .................................................. 85
Tabel 5.9 : Skala Perbandingan Penilaian ”Volume Lalu Lintas”.................... 86
Tabel 5.10 : Matrik Awal Sub ” Volume Lalu Lintas ”..................................... 87
Tabel 5.11 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ” Volume Lalu Lintas”........... 87
Tabel 5.12 : Bobot Sub Kriteria Volume Lalu Lintas ...................................... 88
13
Tabel 5.13 : Skala Perbandingan Penilaian ”Ekonomi”..................................... 89
Tabel 5.14 : Matrik Awal Sub ” Ekonomi ”...................................................... 90
Tabel 5.15 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ” Ekonomi”............................ 90
Tabel 5.16 : Bobot Sub Kriteria Ekonomi ....................................................... 91
Tabel 5.17 : Skala Perbandingan Penilaian ”Kebijakan”................................... 92
Tabel 5.18 : Matrik Awal Sub ”Kebijakan”...................................................... 92
Tabel 5.19 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ”Kebijakan”............................ 93
Tabel 5.20 : Bobot Sub Kriteria Kebijakan ..................................................... 94
Tabel 5.21 : Skala Perbandingan Penilaian ”Tata Guna Lahan”........................ 95
Tabel 5.22 : Matrik Awal Sub ”Tata Guna Lahan”.......................................... 95
Tabel 5.23 : Nilai Eigen Vektor Skala Prioritas ”Tata Guna Lahan”................ 96
Tabel 5.24 : Bobot Sub Kriteria Tata Guna Lahan .......................................... 97
Tabel 5.25 : Penilaian Tingkat Keerusakan Jalan Kabupaten ......................... 100
Tabel B.1 : Daftar Peserta Responden............................................................ 149
Tabel C.1 : Penuntun Manfaat Lalu Lintas Rendah........................................ 150
Tabel C.2 : Penuntun Manfaat Lalu Lintas Tinggi......................................... 151
Tabel C.3 : Data Penanganan Jalan Kabupaten (Kondisi Baik)..................... 152
Tabel C.4 : Data Penanganan Jalan Kabupaten (Kondisi Sedang)................. 154
Tabel C.5 : Data Penanganan Jalan Kabupaten (Kondisi Rusak)................... 158
Tabel D.1 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
Berdasarkan SK No.77/BM/1990 (Kondisi Baik)...................... 159
Tabel D.2 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
Berdasarkan SK No.77/BM/1990 (Kondisi Sedang).................. 161
Tabel D.3 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
Berdasarkan SK No.77/BM/1990 (Kondisi Rusak).................... 165
Tabel D.4 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
dengan Metode AHP (Kondisi Baik).......................................... 166
Tabel D.5 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
dengan Metode AHP (Kondisi Sedang)...................................... 168
Tabel D.6 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
14
dengan Metode AHP (Kondisi Rusak)........................................ 172
Tabel D.7 : Perbandingan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten antara
Metode SK No.77 dengan Metode AHP (Kondisi Baik)............ 173
Tabel D.8 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
dengan Metode AHP (Kondisi Sedang)...................................... 175
Tabel D.9 : Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
dengan Metode AHP (Kondisi Rusak)........................................ 179
15
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diterbitkannya Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang
Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Daerah dilaksanakan dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah. Pemberian
kewenangan yang luas tersebut memerlukan koordinasi dan pengaturan yang lebih
mengharmoniskan dan menyelaraskan pembangunan, baik pembangunan
nasional, pembangunan daerah maupun pembangunan antar daerah. Hal ini
merupakan respon pemerintah terhadap aspirasi yang muncul baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah dengan tujuan agar pelaksanaan otonomi daerah
semakin baik. Salah satu penyerahan wewenang tersebut sebagai pendukung
Peraturan Pemerintah yang terdahulu yaitu PP No. 14 Tahun 1988 tentang
penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang Pekerjaan Umum kepada
daerah.
Dengan adanya penyerahan sebagian urusan pemerintahan khususnya di
bidang Pekerjaan Umum, Pemerintah Kabupaten Bangli telah mengadakan
berbagai usaha untuk melaksanakan otonomi daerah sebaik mungkin, salah
satunya adalah perbaikan prasarana transportasi jalan, dimana Kabupaten Bangli
16
memiliki 369 ruas jalan jalan kabupaten, dengan panjang jalan keseluruhan
731.823 km yang tersebar di 4 (empat) kecamatan.
Dalam perkembangan pembangunan selanjutnya di Kabupaten Bangli
perlu dilakukan pemerataan pembangunan di segala bidang, sehingga sangat
diperlukan faktor-faktor pendukung seperti tersedianya jalan yang stabil dan
selalu mendapat penanganan, karena bila kondisi jalan tidak ditangani secara tepat
tidak akan mencapai umur rencana.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Kabupaten Bangli Tahun 2006-2010, penanganan jalan saat ini dilakukan
terhadap jalan Kabupaten sepanjang 238.799 km. Adapun beberapa program yang
dicanangkan yaitu: pemeliharaan, pembangunan dan peningkatan serta
rehabilitasi jalan dan jembatan. Untuk melaksanakan RPJMD tersebut, sangat
diperlukan penentuan skala prioritas penanganan jalan yang tepat dan perhitungan
yang matang, agar tujuan dapat tercapai serta tidak mengurangi kualitas
pekerjaan.
Adapun pelaksanaan program prasarana jalan yang telah dilaksanakan
Pemerintah Kabupaten Bangli periode Tahun Anggaran 2008 sampai dengan 2010
secara keseluruhan sepanjang 178.939 km sebanyak 201 ruas. Pelaksanaan
kegiatan tersebut sebagian besar terletak di Kecamatan Kintamani dan di
Kecamatan Bangli.
17
Dengan memperhatikan pelaksanaan penanganan jalan di Kabupaten
Bangli, banyak terjadi ketimpangan–ketimpangan, seperti: banyaknya jalan yang
belum mendapat penanganan baik pemeliharaan maupun peningkatan, aspirasi
masyarakat melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di
tingkat desa dan kecamatan hanya sebagian kecil yang direalisasikan dalam
APBD dan penentuan skala prioritas yang telah dilakukan selama ini masih
didominasi kebijaksanaan pengambil keputusan dalam menetapkan kebijakan
yaitu memprioritaskan penanganan proyek jalan yang belum mendapat
penanganan dengan mengesampingkan kriteria teknis, manfaat dan biaya.
Pedoman perencanaan jalan selama ini yang digunakan dalam penentuan
skala prioritas penanganan jalan kabupaten berdasarkan SK.No.77, Dirjen Bina
Marga, Tahun 1990, yaitu berdasarkan data Lalu Lintas Harian Rata (LHR) dan
Nilai Net Present Value (NPV) saja. Hal ini kurang tepat karena hasil prioritas
penanganan jalan yang dilaksanakan selama ini menyimpang dari hasil prioritas
sebagaimana prioritas penanganan jalan yang didapat dari Surat Keputusan.
No.77, Dirjen Bina Marga yang telah ditetapkan. Hal ini disebabkan karena
kompleksnya permasalahan di lapangan yang dipengaruhi oleh berbagai aspek
seperti: kondisi jalan (yang ditentukan berdasarkan hasil survey Bidang Bina
Marga), lalu lintas harian rata-rata (LHR), kebijakan (kewenangan kepala daerah
yang dilakukan saat Musrenbang Kabupaten maupun saat pengesahan di provinsi
serta Anggaran Biaya Tambahan/ABT), aspirasi masyarakat (pemerataan
18
penanganan jalan di tiap-tiap kecamatan), dana anggaran (besaran biaya yang
dibutuhkan dalam penanganan jalan) dan aspek tata guna lahan.
Maka dari itu diperlukan sebuah metode yang dapat menampung semua
aspek tersebut dan dapat mengantisipasi ketimpangannya. Selanjutnya diharapkan
dapat mengurangi permasalahan dan disusun urutan penanganan jalan yang sesuai
kebutuhan, sebagaimana hasil perumusan terhadap penentuan prioritas
penanganan jalan kabupaten yang telah dilaksanakan di Kabupaten Badung
(Suyasa, 2007) dan di Kabupaten Gianyar (Karya, 2004).
Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Suyasa (2007), yang bertujuan
untuk menentukan skala prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten
Badung dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Adapun faktor
kriteria yang digunakan ada 4 (empat) faktor kriteria yaitu kondisi jalan, volume
lalu lintas, ekonomi dan kebijakan. Adapun hasil yang didapat dari penelitian
yang dilakukan dalam penentuan skala prioritas jalan secara hirarki diharapkan
akan memberikan hasil yang lebih representatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Suyasa(2007) dan
Karya (2004) dalam penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten dengan
menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) maka dalam penelitian
ini, akan dikaji skala prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli
dengan metode AHP. Berbeda dengan dengan penelitian sebelumnya, dalam
penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten selain faktor kondisi jalan,
faktor volume lalu lintas, faktor ekonomi dan faktor kebijakan juga disertakan
19
fakor tata guna lahan. Hasil analisis penentuan skala prioritas penanganan jalan
dari metode AHP akan dibandingkan dengan analisis berdasarkan pedoman
perencanaan jalan kabupaten yaitu SK No.77 KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga.
Dari hasil perbandingan kedua metode tersebut diharapkan akan diperoleh suatu
kesimpulan metode mana yang lebih representaif yang dapat digunakan dalam
penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli di
masa yang akan datang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan kondisi seperti yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimanakah urutan prioritas penanganan jalan di Kabupaten Bangli
berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga ?
2. Bagaimanakah urutan prioritas penanganan jalan di Kabupaten Bangli
berdasarkan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ?
3. Bagaimanakah perbandingan urutan prioritas penanganan jalan kabupaten
di Kabupaten Bangli berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen Bina
Marga dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ?
4. Bagaimanakah kelebihan dan kelemahan penentuan skala prioritas
penanganan jalan kabupaten berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen
Bina Marga dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ?
20
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1. Menentukan urutan prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten
Bangli berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga.
2. Menentukan urutan prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten
Bangli dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).
3. Membandingkan hasil urutan prioritas penanganan jalan kabupaten
berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen Bina Marga dengan metode
Analytical Hierarchy Process (AHP).
4. Mengetahui kelebihan dan kelemahan penentuan skala prioritas
penanganan jalan kabupaten berdasarkan SK.No.77/KPTS/Db/1990 Dirjen
Bina Marga dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat dibedakan atas 2 (dua) sudut pandang
yaitu sudut pandang pemerintah dan sudut pandang masyarakaat.
1. Dari sudut Pemerintah Kabupaten Bangli sebagai acuan dalam
manentukan skala prioritas penanganan jalan kabupaten.
21
2. Dari sudut masyarakat dapat memberi gambaran yang jelas tentang
penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli dan diharapkan
dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dengan tujuan memberi arah yang
lebih baik dan jelas. Dalam hal ini batasan permasalahan adalah sebagai berikut :
1. Data jalan kabupaten yang digunakan pada penelitian tesis ini adalah
data jalan kabupaten di Kabupaten Bangli tahun anggaran 2008-
2010.
2. Penentuan skala prioritas dengan menggunakan metode Analytical
Hierarchy Process (AHP) dan metode SK.No.77 Dirjen Bina Marga
Tahun 1990.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini meliputi :
1. Bab I Pendahuluan :
Pada Bab I Pendahuluan, akan diuraikan tentang latar belakang,
rumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, ruang lingkup dan
sistematika penulisan.
2. Bab II Tinjauan Pustaka :
22
Pada Bab II atau pada Tinjauan Pustaka, akan diuraikan tentang
teori, atau pendekatan teori, proposisi dan konsep yang relevan untuk
digunakan dalam menyelesaikan masalah yang telah dirumuskan,
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3. Bab III Metode Penelitian :
Pada Bab III atau pada Metode Penelitian, akan diuraikan tentang
rancangan dan diagram alir penelitian, lokasi dan objek penelitian,
sumber data, serta responden penelitian.
4. Bab IV Deskripsi data :
Pada Bab IV atau pada Deskripsi Data, akan diuraikan tentang data
yang akan diperlukan/dipergunakan, proses pengumpulan data
tersebut, serta hasil pengumpulan data dalam bentuk rekapitulasi dan
kompilasi data sesuai kebutuhan data dalam gambar dan tabel.
Khusus hasil pengumpulan data yang ditampilkan dalam bentuk
gambar dan tabel yang tidak dapat ditampilkan pada 1 (satu) halaman
yang tersedia maka data tersebut akan ditampilkan pada bagian
lampiran.
5. Bab V Analisis Data dan Pembahasan :
Pada Bab V atau pada Analisis Data dan Pembahasan ini, akan
diuraikan tentang proses penyelesaian rumusan masalah yang telah
dirumuskan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan teori, atau
23
pendekatan teori, propisisi, konsep yang telah diuraikan pada Bab II
(Tinjauan Pustaka) dan Bab III (Metode Penelitian) dengan data
masukan sebagaimana yang diuraikan, direkapitulasi dan dikompilasi
pada Bab IV (Deskripsi Data). Sebagaimana halnya pada Bab IV,
bilamana ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar yang mana
hasil analisis penelitian dalam bentuk gambar dan tabel yang tidak
dapat ditampilkan pada 1 (satu) halaman yang tersedia maka hasil
penelitian tersebut akan ditampilkan pada bagian lampiran.
6. Bab VI Simpulan dan Saran :
Pada Bab VI atau pada Simpulan dan Saran, akan diuraikan intisari
dari hasil penelitian yang telah dianalisis dan dibahas. Simpulan
dalam penelitian ini merupakan rangkuman jawaban atas rumusan
masalah. Sedangkan saran dalam penelitian ini merupakan anjuran
tentang prospek dari hasil penelitian dalam penerapannya
dimasyarakat sebagai hasil yang bersifat applicable.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Jalan
Menurut Undang–Undang RI No.22 Tahun 2009 yang dimaksud dengan
jalan adalah seluruh bagian jalan, termasuk bangunan pelengkapnya yang
diperuntukan bagi lalu lintas umum, yang berada dibawah permukaan tanah,
diatas pemukaaan tanah, dibawah permukaan air, serta diatas pemukaan air,
24
kecuali jalan rel dan jalan kabel. Jalan mempunyai peranan untuk mendorong
pembangunan semua satuan wilayah pengembangan, dalam usaha mencapai
tingkat perkembangan antar daerah. Jalan merupakan satu kesatuan sistem
jaringan jalan yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan
dengan wilayah lainnya.
2.2 Klasifikasi Jalan
Berdasarkan UU RI No.22 Tahun 2009, jalan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
2.2.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsinya
Pengelompokan jalan menurut fungsinya dapat dibedakan atas :
1. Jalan Arteri
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan
ciri perjalanan jarak jauh kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan
masuk dibatasi dengan berdaya guna.
2. Jalan Kolektor
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul
atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata
sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3. Jalan Lokal
Merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat
dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah
jalan masuk tidak dibatasi.
25
2.2.2 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Muatan Sumbu
Untuk keperluan pengaturan penggunaan jalan dan pemenuhan kebutuhan
angkutan, jalan dibagi dalam beberapa kelas yaitu :
1. Jalan Kelas I
Yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran
panjang tidak melebihi 18.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm dan
muatan sumbu terberat sebesar 10 ton.
2. Jalan Kelas II
Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat dilalui
kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm,
ukuran panjang tidak melebihi 12.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200
mm dan muatan sumbu terberat sebesar 8 ton.
3. Jalan Kelas III
Yaitu jalan arteri, kolektor, lokal dan lingkungan yang dapat dilalui
kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 mm, ukuran
panjang tidak melebihi 9.000 mm, ukuran paling tinggi 3.500 mm dan
muatan sumbu terberat sebesar 8 ton.
4. Jalan Kelas Khusus
26
Yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran
lebar melebihi 2.500 mm, ukuran panjang melebihi 18.000 mm, ukuran
paling tinggi 4.200 mm dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 ton.
Disebutkan pula bahwa volume lalu lintas adalah jumlah kendaraaan yang
melewati suatu titik pengamatan dalam satuan waktu (hari, jam, menit). Satuan
volume yang umum digunakan dalam perhitungan LHR (Lalu lintas harian rata-
rata) adalah smp.
2.2.3 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Administrasi Pemerintahan
Pengelompokan jalan dimaksudkan untuk mewujudkan kepastian jalan
berdasarkan wewenang Pembinaan Jalan. Menurut PP No.26 tahun 1985 tentang
jalan, pengelompokan berdasarkan wewenang tersebut adalah sebagai berikut :
1. Jalan Nasional
Adalah jalan menghubungkan antar ibukota provinsi, yang memiliki
kepentingan strategis terhadap kepentingan nasional di bawah pembinaan
menteri atau pejabat yang ditunjuk, diantaranya:
a. Jalan arteri primer, berfungsi melayani angkutan utama yang
merupakan tulang punggung transportasi nasional yang
menghubungkan pintu gerbang utama (pelabuhan utama dan Bandar
udara kelas utama).
b. Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar provinsi.
c. Jalan yang mempunyai nilai strategis kepentingan nasional.
2. Jalan Provinsi
27
Adalah jalan dibawah pembinaan provinsi atau instansi yang ditunjuk,
diantaranya adalah jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota
provinsi dengan ibukota kabupaten/kotamadya.
3. Jalan Kabupaten
Adalah jalan dibawah pembinaan kabupaten atau instansi yang ditunjuk
diantaranya :
a. Jalan kolektor primer yang tidak termasuk dalam jalan nasional atau
provinsi.
b. Jalan lokal primer.
c. Jalan yang memiliki strategis untuk kepentingan kabupaten.
4. Jalan Kotamadya
Adalah jalan dibawah pembinaan kotamadya, diantaranya jalan kota dan
sekunder dalam kota.
5. Jalan Desa
Adalah jalan dibawah pembinaan desa yaitu : jalan sekunder yang ada di
desa.
6. Jalan Khusus
Adalah jalan dibawah pembinaaan pejabat atau instansi yang ditunjuk
yaitu jalan yang dibangun secara khusus oleh instansi atau kelompok.
28
2.3 Volume lalu lintas
Menurut Pedoman Pengumpulan data lalu lintas jalan Direktorat Jendral
Perhubungan Darat Departemen Perhubungan (1999), Pada moda transportasi
darat pergerakan lalu lintas dikelompokkan berdasarkan atas beberapa hal,
diantaranya berdasarkan jenis kendaraan yang digunakan akan ada pergerakan
dengan kendaraan bermotor dan tanpa kendaraan bermotor. Pergerakan dengan
kendaraan bermotor dikelompokkan atas beberapa hal diantarannya berdasarkan
kepemilikannya yang dikelompokan menjadi pergerakan dengan kendaraan
pribadi dan kendaraan umum. Berdasarkan jenis muatan yang dipindahkan akan
ada pergerakan angkutan barang dan pergerakan angkutan orang.
Dalam survey tahunan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bangli
dilakukan survey terhadap jumlah volume lalu lintas masing-masing kendaraan
diantaranya : truk ringan, truksedang/berat, kendaraan roda empat dan sepeda
motor. Adapun salah satu tujuan dalam survey tahunan tersebut adalah untuk
mendapatkan volume lalu lintas harian rata-rata (LHR).
2.4 Penanganan Jalan
Menurut SK No. 77 Dirjen Bina Marga, Tahun 1990 (modul 1. Gambaran
umum, halaman 6), jaringan jalan dibagi dalam 2 (dua) bagian yaitu :
1. Jalan dengan kondisi yang mantap (stabil ) adalah jalan yang selalu dapat
diandalkan untuk dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun, terutama yang
kondisinya sudah baik/sedang yang hanya memerlukan pemeliharaan.
29
2. Jalan dengan kondisi tidak mantap adalah jalan yang tidak dapat
diandalkan untuk dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun, terutama
kondisinya rusak/rusak berat yang memerlukan pekerjaan berat
(rehabilitasi, perbaikan, konstruksi) termasuk jalan tanah yang saat ini
tidak dapat dilewati kendaraan roda 4.
Pada prinsipnya, semua kondisi jalan yang mantap setiap tahunnya harus
mendapat prioritas untuk ditangani dengan pemeliharaan rutin dan berkala. Untuk
itu informasi survei terbaru diperlukan dalam menentukan kebutuhan teknis yang
tepat, yang biasanya disebut survei tahunan. Survei tahunan sangat perlu
dilakukan untuk memperbaharui informasi inventarisasi jalan sebagai bagian dari
prosedur perencanaan pemeliharaan tahunan.
Untuk keperluan perencanaan dan penyusunan program, menurut SK
No.77 pembagian pekerjaan bila ditinjau dari nilainya, dapat dibedakan sebagai
berikut :
1. Pekerjaan Berat, meliputi: pembangunan baru, peningkatan dan
rehabilitasi.
2. Pekerjaan Ringan, meliputi: pemeliharaan, penyangga, dan darurat.
2.4.1 Pekerjaan Berat
Pekerjaan berat dimaksudkan untuk meningkatkan jalan yang sesuai
dengan tingkat lalu lintas yang diperkirakan dengan membangun kembali
perkerasan. Pekerjaan berat ini dapat berupa pembangunan jalan baru,
peningkatan jalan dan rehabilitasi jalan. Peningkatan dan rehabilitasi dengan umur
30
rencana paling sedikit 10 tahun, diperkirakan hampir menyerap semua dana yang
tersedia setelah dikurangi dengan biaya pemeliharaan.
1. Pembangunan Jalan Baru
Pada umumnya terdiri atas pekerjaan untuk meningkatkan jalan tanah atau
jalan setapak agar dapat dilalui kendaraan roda 4, kondisi jalan yang berat
ini memerlukan biaya yang besar dan pekerjaan tanah yang besar pula.
2. Peningkatan Jalan
Peningkatan ini dapat dikatakan sebagai usaha untuk meningkatkan
standar pelayanan jalan yang ada, baik membuat lapisan permukaan
menjadi lebih halus, seperti pengaspalan jalan yang belum diaspal atau
dengan menambah Lapis Tipis Aspal (Laston) atau Hot Roller Sheet
(HRS) kepada jalan yang menggunakan Lapis Penetrasi (Lapen), atau
menambah lapisan struktural yang berarti menambah kekuatan perkerasan
atau memperlebar lapisan perkerasan yang ada.
3. Rehabilitasi Jalan
Diperlukan bila pekerjaan pemeliharaan rutin yang secara teratur harus
dilaksanakan itu diabaikan atau pemeliharaan berkala (pelapisan ulang)
terlalu lama ditunda sehingga keadaan permukaan lapisan semakin
memburuk. Yang termasuk katagori ini adalah perbaikan terhadap
kerusakan lapisan permukaan seperti lubang–lubang dan kerusakan
struktural seperti amblas atau kerusakan tersebut kurang dari (15 – 20)%
dari seluruh perkerasan yang berkaitan dengan lapisan aus baru.
31
Pembangunan kembali secara total biasanya diperlukan apabila struktural
sudah tersebar luas sebagai akibat dari diabaikannya pemeliharaan, atau
kekuatan desain yang tidak sesuai, atau karena umur rencana tidak
terlampaui.
2.4.2 Pemeliharaan Jalan
Pemeliharaan jalan merupakan kegiatan penanganan jalan yang berkondisi
baik/sedang yang harus mendapat prioritas untuk ditangani, agar jalan dapat
berfungsi sesuai dengan yang diperhitungkan dan menjaga agar permukaan ruas
jalan mendekati kondisi semula. Pemeliharaan yang dilakukan disini dibagi
menjadi dua bagian yaitu pemeliharaan rutin jalan dan pemeliharaan berkala
jalan.
a. Pemeliharaan Rutin Jalan
Pemeliharaan rutin jalan adalah pekerjaan yang skalanya cukup kecil
dan dikerjakan tersebar diseluruh jaringan jalan secara rutin. Dengan
melaksanakan pemeliharaan rutin diharapkan tingkat penurunan nilai
kondisi struktural perkerasan akan sesuai dengan kurva kecenderungan
yang diperkirakan pada tahap desain.
b. Pemeliharaan Berkala Jalan
Pemeliharaan berkala dibedakan dengan pemeliharaan rutin dalam hal
ini periode waktu antar kegiatan pemeliharaan yang diberikan.
32
Pemeliharaan berkala dilakukan dalam selang waktu beberapa tahun,
sedangkan pemeliharaan rutin di lakukan beberapa kali atau terus
menerus sepanjang tahun. Pemeliharaan dilakukan secara berkala
tersebut adalah pemberian lapisan aus menyeluruh dan lapisan
tambahan fungsional.
2.4.3 Pekerjaan Penyangga dan Pekerjaan Darurat Jalan
Pekerjaan penyangga jalan adalah pekerjaan tahunan dengan biaya rendah
yang diperlukan untuk perbaikan jalan agar kondisi jalan tidak semakin
memburuk atau semakin parah. Hal ini dilakukan bila pekerjaan berat
(peningkatan/rehabilitasi) yang harus dilakukan tidak dibenarkan karena tingkat
lalu lintas yang melintasi jalan tersebut rendah atau dana yang tersedia untuk
melaksanakan pekerjaan berat seperti rahabilitasi atau peningkatan tidak
mencukupi. Dana yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan penyangga jalan
ini perlu selalu dicadangkan dengan jumlah dana yang cukup. Sedangkan
pekerjaan darurat adalah pekerjaan yang sangat diperlukan untuk membuka
kembali jalan yang baru saja tertutup untuk lalu lintas kendaraan roda empat
karena mendadak terganggu, misalnya akibat tebing longsor. Dana pekerjaan
darurat tidak dapat disiapkan sebelumnya, tetapi perlu dicadangkan dalam jumlah
yang cukup.
2.5 Sumber Dana Penanganan Jalan
33
Sumber dana penanganan jalan, baik itu dana pemeliharaan rutin,
pemeliharaan berkala, rehabilitasi maupun peningkatan jalan diperoleh dari
beberapa sumber antara lain :
a. Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) seperti :
DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus)
b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi (APBD Prov.)
c. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten (APBD Kab.) termasuk
PAD (Pendapatan Asli daerah)
d. Bantuan Luar Negeri (BLN)
2.6 Kebijakan Penanganan Jalan
Secara umum kebijakan adalah suatu proses akomodasi dari suatu
perbedaan agar menjadi bersamaan yang dapat diemplementasikan yang
merupakan kewenangan Kepala Daerah.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Surat Edaran bersama antara
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Keuangan Nomor 18/M.PPN/02/200.050/244/SJ tanggal 14 Pebruarai 2006
tentang Musrenbang, Pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Daerah Bangli
perencanaan pembangunan jalan diwujudkan dalam bentuk usulan pengajuan
program penanganan jalan pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah
yaitu Musrenbang Kecamatan, Musrenbang Kabupaten, Musrenbang Provinsi,
dan Anggaran Biaya Tambahan (ABT).
34
Dalam penentuan usulan kegiatan yang lolos Musrenbang Kecamatan
didasarkan atas hasil musyawarah di kecamatan dengan diikuti oleh wakil–wakil
masyarakat desa yang dikirim ke kecamatan. Hasil dari musyawarah kecamatan
dibawa ke kabupaten dan disaring kembali oleh pihak kabupaten melalui wakil-
wakil masyarakat di tingkat kabupaten. Sehingga akhirnya dilakukan musyawarah
di provinsi terhadap hasil Musrenbang Kabupaten ditingkat provinsi, yang
selanjutnya disebut Musrenbang Provinsi.
Pada beberapa kegiatan yang belum 100% selesai dipandang perlu oleh
pemerintah untuk dilanjutkan pembangunannya diperlukan biaya tambahan untuk
penyelesaian kegiatan tersebut melalui Anggaran Biaya Tambahan (ABT).
2.6.1 Metode-Metode Dalam Pengambilan Keputusan
Ada beberapa metode pengambilan keputusan yang digunakan dan
diterima oleh banyak kalangan secara umum yaitu (Mulyono, 2006) :
1. Metode Rasional Komprehensif
Metode Rasional Komprehensif adalah metode pengambilan keputusan
dimana pembuatan keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu
yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai
sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain
(dapat diurutkan menurut prioritas masalah). Adapun kriteria-kriteria
pengambilan keputusaan dengan metode ini adalah sebagai berikut:
35
a. Tujuan–tujuan, nilai-nilai dan sasaran yang menjadi pedoman
pembuat keputusan sangat jelas dan dapat diuraikan prioritas-
prioritasnya.
b. Bermacam-macam alternatif untuk memecahkan masalah diteliti
secara seksama.
c. Asas biaya manfaat atau sebab akibat digunakan untuk menentukan
prioritas.
d. Setiap alternatif dan implikasi yang menyertainya dipakai untuk
membandingkan dengan alternatif lain.
e. Pembuat keputusan akan memilih alternatif terbaik untuk mencapai
tujuan, nilai dan sasaran yang ditetapkan.
Metode pengambilan keputusan ini menuntut hal-hal yang tidak rasional dalam
diri pengambilan keputusan. Asumsinya adalah seorang pengambilan keputusan
memiliki cukup informasi mengenai berbagai alternatif sehingga mampu
meramalkan secara tepat akibat-akibat dari pilihan alternatif yang ada. Pengambil
keputusan sering memiliki komplik kepentingan antara nilai-nilai sendiri dengan
nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat. Karena metode ini mengasumsikan
bahwa fakta-fakta dan nilai-nilai yang ada dapat dibedakan dengan cara mudah
akan tetapi kenyataannya sulit membedakan antara fakta dilapangan dengan nilai-
nilai yang ada. Ada beberapa masalah diberbagai negara berkembang seperti di
Indonesia untuk menerapkan metode rasional komprehensif ini karena beberapa
alasan yaitu informasi dan data yang tidak lengkap sehingga tidak bisa dipakai
36
sebagai dasar pengambilan keputusan. Kalau dipaksakan maka akan terjadi
sebuah keputusan yang kurang akurat.
1. Metode Inkremental
Adalah metode pengambilan keputusan dengan cara menghindari banyak
masalah yang harus dipertimbangkan dan merupakan model yang sering
ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam pengambilan keputusan.
Dasar pengambilan Keputusan dengan metode ini adalah pemilihan tujuan
atau sasaran dan analisis tindakan emperis yang diperlukan untuk
mencapainya merupakan hal yang saling terkait.
Kelemahan penerapan metode Inkremental adalah :
a. Keputusan-keputusan yang diambil akan lebih mewakili atau
mencerminkan kepentingan dari kelompok yang kuat/mapan, sehingga
kepentingan kelompok lemah terabaikan.
b. Keputusan yang diambil lebih ditekankan pada keputusan jangka
pendek dan tidak memperhatikan berbagai macam alternatif lain.
2.7 Tata Guna Lahan
Tata Guna Lahan (land use) adalah suatu upaya dalam merencanakan
pembagian wilayah dan merupakan kerangka kerja yang meliputi lokasi, kapasitas
dan jadwal pembuatan jalan, jaringan air bersih dan pusat-pusat pelayanan serta
fasilitas umum lainnya. Pembagian wilayah dibagi berdasarkan fungsi-fungsi
kawasan diantaranya kawasan permukiman, industri , pariwisata dan lainnya.
37
Adapun maksud dari perencanaan tata guna lahan kawasan adalah sebagai
pedoman untuk :
1. Penyusunan rencana rinci tata ruang kota
2. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan dan pengendalian ruang
diwilayah kota.
3. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan kesinambungan
perkembangan antar kawasan wilayah kota serta keserasian antar
sektor.
4. Penetapan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan
masyarakat.
5. Pelaksanaan pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan
pembangunan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.
Dalam pengelolaan lahan yang berkelanjutan sangat perlu dipahami dalam
melihat permasalahan pengelolaan sumber daya lahan di indonesia. Pada
dasarnya penggunaan lahan dibedakan atas dua kelompok yaitu untuk kawasan
terbangun dan kawasan tidak terbangun. Untuk kawasan terbangun digunakan
untuk perumahan dan fasilitas umum ( http://tata-guna-lahan/html, 2008).
Menurut Peraturan Bupati Bangli No.6 tahun 2006, tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Bangli, tata guna lahan atau peruntukan wilayah
Daerah Bangli dibedakan atas 4 (empat) peruntukan yaitu :
1. Bidang Pertanian, mencakup kawasan pertanian dalam arti luas yaitu
pertanian tanaman pangan lahan basah dan lahan kering.
38
2. Bidang Pendidikan, mencakup kawasan pendidikan untuk
pembangunan sekolah-sekolah.
3. Bidang Sosial – Budaya, mencakup tempat tinggal, tempat suci dan
obyek wisata.
4. Perdagangan – Jasa, mencakup pasar dan pusat perbelanjaan serta
usaha jasa.
2.8 Penentuan Skala Prioritas Jalan berdasarkan SK.No.77 Dirjen Bina
Marga, Tahun 1990
Metode SK No 77/KPTS/Db /1990 dari Dijen Bina Marga adalah
merupakan pedoman perencanaan jalan kabupaten yang diterbitkan oleh Dirjen
Bina Marga sebagai acuan dalam menentukan urutan prioritas penanganan jalan
kabupaten (Dirjen Bina Marga, 1990). Pada persiapan program tahunan
dijelaskan beberapa kriteria peringkat prioritas penanganan jalan (SK No.77,
Th.1990 pada modul 6 : tugas 5, hal. 5E-1 sampai 5E-2 ) yaitu :
1. Kriteria pokok yang dipakai untuk pemilihan prioritas adalah NPV/Km,
dengan memberikan prioritas pertama pada proyek yang NPV/Km-nya
tertinggi.
39
2. Kode evaluasi proyek juga diberikan pada proyek-proyek dengan tanda
kisaran NPV/Km untuk petunjuk pemilihannya, dengan petunjuk pemilihan
adalah sebagai berikut :
a. Berikan prioritas pada kelompok proyek-proyek yang mempunyai
kelayakan tertinggi.
b. Berikan prioritas terendah kepada kelompok proyek-proyek
berkelayakan rendah.
c. Berikan prioritas kepada proyek-proyek luncuran, terutama
penyelesaian proyek yang pelaksanaannya dipisah (split) atau proyek
yang pelaksanaannya secara bertahap. Penyelesaian proyek-proyek
sampai pada panjang yang telah direncanakan semula atau sesuai
rencana desain awal, akan sangat penting untuk memberikan manfaat
secara penuh atas investasinya.
d. Hindari proyek yang sangat panjang (umumnya proyek yang
panjangnya lebih dari 15 km) harus sudah dihindari pada tahap
penentuan proyek.
e. Berikan prioritas pada ruas-ruas jaringan jalan strategis yang telah
ditentukan
f. Berikan prioritas pada proyek-proyek yang memenuhi sasaran
pembangunan kabupaten dan provinsi (namun proyek-proyek tersebut
harus tetap distudi dan hasilnya layak berdasarkan prosedur standar).
2.9 Penentuan Skala Prioritas Dengan Analytical Hierarchy Process (AHP)
40
Analytical Hierarchy Process (AHP) atau Proses Hirarki Analitik dalam
buku “ Proses Hirarki Analitik Dalam Pengambilan Keputusan Dalam Situasi
yang Kompleks”(Saaty, 1986), adalah suatu metode yang sederhana dan fleksibel
yang menampung kreativitas dalam ancangannya terhadap suatu masalah. Metode
ini merumuskan masalah dalam bentuk hierarki dan masukan pertimbangan–
pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif.
Dalam penyelesaian persoalan dengan metode AHP dalam buku Saaty
(1986) tersebut, dijelaskan pula beberapa prinsip dasar Proses Hirarki Analitik
yaitu :
1. Dekomposisi. Setelah mendifinisikan permasalahan, maka perlu dilakukan
dekomposisi yaitu memecah persoalan utuh menjadi unsur-unsurnya
sampai yang sekecil kecilnya.
2. Comparative Judgment. Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang
kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya
dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena
akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen.
3. Synthesis of Priority. Dari setiap matriks pairwise comparison vector
eigen-nya mendapat prioritas lokal, karena pairwise comparison terdapat
pada setiap tingkat, maka untuk melakukan global harus dilakukan sintesis
diantara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesis berbeda menurut
bantuk hirarki.
3. Logical Consistency. Konsistensi memiliki dua makna yang pertama
bahwa obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keragaman
41
dan relevansinya. Kedua adalah tingkat hubungan antar obyek-obyek yang
didasarkan pada kriteria tertentu.
Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah :
1. Dapat memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk
beragam persoalan yang tak berstruktur.
2. Dapat memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem
dalam memecahkan persolan kompleks.
3. Dapat menangani saling ketergantungan elemen–elemen dalam suatu
sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
4. Mencerminkan kecendrungan alami pikiran untuk memilah–milah eleman-
elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat belaian dan mengelompokan
unsur-unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
5. Memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk
mendapatkan prioritas.
6. Melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan
dalam menetapkan berbagai prioritas.
7. Menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebijakan setiap
alternatif.
8. Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem
dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-
tujuan mereka.
9. Tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil representatif
dari penilaian yang berbeda-beda.
42
10. Memungkinkan orang memperluas definisi mereka pada suatu persoalan
dan memperbaiki pertimbangan serta pengertian mereka melalui
pengulangan.
AHP dapat digunakan dalam memecahkan berbagai masalah diantaranya untuk
mengalokasikan sumber daya, analisis keputusan manfaat atau biaya, menentukan
peringkat beberapa alternatif, melaksanakan perencanaan ke masa depan yang
diproyeksikan dan menetapkan prioritas pengembangan suatu unit usaha dan
permasalahan kompleks lainnya (http://www.itelkom.ac.id/ahp/library/1998).
Hirarki adalah alat yang paling mudah untuk memahami masalah yang
kompleks dimana masalah tersebut diuraikan ke dalam elemen-elemen yang
bersangkutan, menyusun elemen-elemen tersebut secara hirarki dan akhirnya
melakukan penilaian atas elemen tersebut sekaligus menentukan keputusan mana
yang diambil. Proses penyusunan elemen secara hirarki meliputi pengelompokan
elemen komponen yang sifatnya homogen dan menyusunan komponen tersebut
dalam level hirarki yang tepat. Hirarki juga merupakan abstraksi struktur suatu
sistem yang mempelajari fungsi interaksi antara komponen dan dampaknya pada
sistem. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling terkait tersusun dalam suatu
sasaran utama (ultimate goal) turun ke sub-sub tujuan, ke pelaku (aktor) yang
memberi dorongan dan turun ke tujuan pelaku, kemudian kebijakan-kebijakan,
strategi-strategi tersebut. Adapun abstraksi susunan hirarki keputusan seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 2.1. berikut ini :
Level 1 : Fokus/sasaran/goal
Level 2 : Faktor/kriteria
43
Level 3 : Alternatif/subkriteria
Gambar 2.1 Abstraksi Susunan Hirarki Keputusan Sumber : Saaty (1986)
Sedangkan kelemahan metode AHP adalah : ketergantungan model AHP pada
input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal
ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti
jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru.
Beberapa contoh aplikasi AHP adalah sebagai berikut:
1. Membuat suatu set alternatif.
2. Perencanaan, merancang system.
3. Menentukan prioritas.
4. Memilih kebijakan terbaik setelah menemukan satu set alternatif.
5. Alokasi sumber daya dan memastikan stabilitas sistem.
6. Menentukan kebutuhan/persyaratan.
Goal
Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 4 Kriteria 3
Subkriteria Subkriteria Subkriteria Subkriteria
44
2.9.1 Penentuan Prioritas dalam Metode AHP
Dalam pengambilan keputusan hal yang perlu diperhatikan adalah pada
saat pengambilan data, dimana data ini diharapkan dapat mendekati nilai
sesungguhnya. Derajat kepentingan pelanggan dapat dilakukan dengan
pendekatan perbandingan berpasangan. Perbandingan berpasangan sering
digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari elemen dan kriteria yang
ada. Perbandingan berpasangan tersebut diulang untuk semua elemen dalam tiap
tingkat. Elemen dengan bobot paling tinggi adalah pilihan keputusan yang layak
dipertimbangkan untuk diambil. Untuk setiap kriteria dan alternatif kita harus
melakukan perbandingan berpasangan (Pairwise comparison) yaitu
membandingkan setiap elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki secara
berpasangan sehingga nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat
kualitatif.
Untuk mengkuantitifkan pendapat kualitatif tersebut digunakan skala
penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kualitatif).
Menurut Saaty (1986) untuk berbagai permasalahan skala 1 sampai dengan 9
merupakan skala terbaik dalam mengkualitatifkan pendapat, dengan akurasinya
berdasarkan nilai RMS (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median
Absolute Deviation). Nilai dan difinisi pendapat kualitatif dalam skala
perbandingan Saaty seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.1.
45
Tabel 2.1 Skala Matrik Perbandingan Berpasangan
Intensitas Definisi Penjelasan Kepentingan
1
Elemen yang sama pentingnya dibanding dg elemen yang lain (Equal importance)
Kedua elemen menyumbang sama besar pd sifat tersebut.
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yg lain (Moderate more importance)
Pengalaman menyatakan sedikit berpihak pd satu elemen
5
Elemen yang satu jelas lebih penting dari pada elemen lain (Essential, Strong more importance)
Pengalaman menunjukan secara kuat memihak pada satu elemen
7
Elemen yang satu sangat jelas lebih penting dari pada elemen yg lain (Demonstrated importance)
Pengalaman menunjukan secara kuat disukai dan dominannya terlihat dlm praktek
9
Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yg lain ( Absolutely more importance)
Pengalaman menunjukan satu elemen sangat jelas lebih penting
2,4,6,8
Apabila ragu-ragu antara dua nilai ruang berdekatan (grey area)
Nilai ini diberikan bila diperlukan kompromi
Sumber : Saaty (1986)
2.9.2 Proses-proses dalam Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
Adapun Proses-proses yang terjadi pada metode AHP adalah sebagai
berikut (Saaty, 1986) :
1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.
2. Membuat struktur hirarki yang diawali tujuan umum dilanjutkan dengan
kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria paling
bawah.
46
3. Membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan
kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap kriteria yang
setingkat di atasnya.
4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh judgment
(keputusan) sebanyak n x ((n-1)/2)bh, dengan n adalah banyaknya
elemen yang dibandingkan.
5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya jika tidak konsisten
maka pengambilan data diulangi lagi.
6. Mengulangi langkah 3,4 dan 5 untuk setiap tingkatan hirarki.
7. Menghitung vector eigen dari setiap matrik perbandingan berpasangan.
8. Memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih dari 10 persen maka
penilaian data judgment harus diperbaiki.
2.9.3 Matrik Perbandingan Berpasangan
Skala perbandingan berpasangan didasarkan pada nilai–nilai
fundamental AHP dengan pembobotan dari nilai 1 untuk sama penting sampai 9
untuk sangat penting sekali sesuai dengan Tabel 2.1 (Skala Matrik Perbandingan
Berpasangan). Dari susunan matrik perbandingan berpasangan dihasilkan
sejumlah prioritas yang merupakan pengaruh relatif sejumlah elemen pada elemen
di dalam tingkat yang ada diatasnya. Perhitungan eigen vector dengan mengalikan
elemen-elemen pada setiap baris dan mengalikan dengan akar n, dimana n adalah
elemen. Kemudian melakukan normalisasi untuk menyatukan jumlah kolom yang
diperoleh. Dengan membagi setiap nilai dengan total nilai pembuat keputusan
47
bisa menentukan tidak hanya urutan ranking prioritas setiap tahap perhitungannya
tetapi juga besaran prioritasnya. Kriteria tersebut dibandingkan berdasarkan opini
setiap pembuat keputusan dan kemudian diperhitungkan prioritasnya.
Perbandingan Kriteria berpasangan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Perbandingan Kriteria Berpasangan
PK Kriteria A Kriteria B Kriteria C Kriteria D Kriteria E Prioritas Kriteria A 1,00 Kriteria B 1,00 Kriteria C 1,00 Kriteria D 1,00 Kriteria E 1,00
Sumber : Saaty (1986)
2.9.4 Perhitungan Bobot Elemen
Perhitungan bobot elemen dilakukan dengan menggunakan suatu matriks.
Bila dalam suatu sub sistem operasi terdapat ‘n” elemen operasi yaitu elemen-
elemen operasi A1, A2, A3, ...An maka hasil perbandingan secara berpasangan
elemen-elemen tersebut akan membentuk suatu matrik pembanding.
Perbandingan berpasangan dimulai dari tingkat hirarki paling tinggi,
dimana suatu kriteria digunakan sebagai dasar pembuatan perbandingan. Bentuk
matrik perbandingan berpasangan bobot elemen seperti yang diperlihatkan pada
Tabel 2.3.
48
Tabel 2.3 Matrik Perbandingan Berpasangan Bobot Elemen
Sumber : Saaty (1986)
Bila elemen A dengan parameter i, dibandingkan dengan elemen operasi A
dengan parameter j, maka bobot perbandingan elemen operasi Ai berbanding Aj
dilambangkan dengan Aij maka :
a(ij) = Ai / Aj, dimana : i,j = 1,2,3,...n .................................. Pers.
(2.1)
Bila vektor-vektor pembobotan operasi A1,A2,... An maka hasil
perbandingan berpasangan dinyatakan dengan vektor W, dengan W = (W1, W2,
W3....Wn) maka nilai Intensitas kepentingan elemen operasi Ai terhadap Aj yang
dinyatakan sama dengan aij.
Dari penjelasan tersebut diatas maka matrik perbandingan berpasangan (pairwise
comparison matrik), dapat digambarkan menjadi matrik perbandingan preferensi
seperti diperlihatkan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Matrik Perbandingan Berpasangan Intensitas Kepentingan
W1 W2 …….. Wn
W1 W1/W1 W1/W2 …….. W1/WnW2 W2/W1 W2/W2 …….. W2/Wn
…… …… …… …….. ……..…… …… …… …….. ……..Wn Wn/W1 Wn/W2 …….. Wn/Wn
Sumber : Saaty (1986)
A1 A2 …….. An
A1 A11 Ann …….. A1nA2 A21 A22 …….. A2n
…… …… …… …….. ……..An An1 An2 …….. Ann
49
Nilai Wi/Wj dengan i,j = 1,2,…,n dijajagi dengan melibatkan Responden yang
memiliki kompetensi dalam permasalahan yang dianalisis. Matrik perbandingan
preferensi tersebut diolah dengan melakukan perhitungan pada tiap baris tersebut
dengan menggunakan rumus :
Wi = n√(ai1 x ai2 x ai3,….x ain) ………………….....…Pers. (2.2)
Matrik yang diperoleh tersebut merupakan eigen vector yang juga merupakan
bobot kriteria. Bobot kriteria atau Eigen Vektor adalah ( Xi), dimana :
Xi = (Wi / Σ Wi) ...........................................Pers. (2.3)
Dengan nilai eigan vector terbesar (λmaks) dimana :
λmaks = Σ aij.Xj ………………………......Pers. (2.4)
2.9.5 Perhitungan Konsistensi Dalam Metode AHP
Matrik bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan
tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal sebagai berikut:
1. Hubungan Kardinal : aij – ajk = aik
2. Hubungan ordinal : Ai > Aj, Aj > Ak maka Ai > Ak
Hubungan diatas dapat dilihat dari dua hal sebagai berikat :
a. Dengan melihat preferensi multiplikatif misalnya keselamatan lalu lintas
lebih penting 4 kali dari kerusakan jalan, dan kerusakan jalan lebih penting
2 kali dari kemacetan maka keselamatan lalu lintas lebih penting 8 kali
dari kemacetan.
50
b. Dengan melihat preferensi trasitif, misalnya keselamatan lalu lintas lebih
penting dari kerusakan jalan dan kerusakan jalan lebih penting dari
kemacetan, maka keselamatan lalu lintas lebih penting dari kemacetan.
Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan
tersebut, sehingga matrik tersebut tidak konsisten sempurna. Hal ini dapat terjadi
karena tidak konsisten dalam preferensi seseorang, contoh konsistensi matrik
sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.2
i j ki 1 4 2
A = j 1/4 1 1/2k 1/2 2 1
Gambar 2.2 Konsistensi Matrik Sumber : Saaty (1986, hal.86)
Matrik A tersebut konsisten karena :
aij x ajk = aik ---- = 4 x ½ = 2
aik x akj = aij ---- = 2 x 2 = 4
ajk x aki = aji ---- = ½ x ½ = ¼
Permasalahan di dalam metode Analytical Hierarchy Process
(AHP) pengukuran pendapat terhadap responden, karena konsistensi tidak dapat
dipaksakan. Pengumpulan pendapat antara satu kriteria dengan kriteria yang lain
adalah bebas satu sama lain, dan hal ini dapat mengarah pada tidak konsistennya
jawaban yang diberikan.
51
Pengulangan wawancara pada sejumlah responden dalam waktu yang
sama kadang diperlukan apabila derajat tidak konsestennya atau penyimpangan
terhadap konsistensi dinilai besar.
Penyimpangan terhadap konsistensi dinyatakan dengan indeks
konsistensi didapat rumus :
λ maks. – n CI = .............................................................Pers. (2.5) n -1
Dimana, λmaks = Nilai Eigen Vektor Maksimum,
n = Ukuran Matrik.
Matrik random dengan skala penilaian 1 sampai dengan 9 beserta
kebalikannya sebagai Indeks Random (RI). Dengan Indeks Random (RI) setiap
ordo matriks seperti diperlihatkan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Random Indek
Ordo Matrik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
RI 0 0 0,58 0,9 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 Sumber : Saaty (1986)
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan 500 sampel, jika keputusan
numerik diambil secara acak dari skala 1/9, 1/8, ..,1, 2, …,9 akan memperoleh
rata-rata konsistensi untuk matriks dengan ukuran berbeda. Perbandingan antara
CI dan RI untuk suatu matriks didefinisikan sebagai Ratio Konsistensi (CR).
52
Untuk model AHP matrik perbandingan dapat diterima jika nilai ratio konsisten
tidak lebih dari 10% atau sama dengan 0,1
CI CR = ≤ 0,1 (OK) .......................................... Pers. (2.6) RI
2.9.6 Pembobotan Kriteria Total Responden
Pembobotan kriteria dari masing-masing responden telah diperoleh
perhitungan dan dilanjutkan dengan menjumlahkan tiap kriteria pada masing-
masing responden. Nilai ini kemudian dirata-ratakan dengan cara membaginya
dengan jumlah responden, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Rekapitulasi Bobot Seluruh Responden
Kriteria Resp.1 Resp.2 Resp.3 Resp.nABCDE
Sumber : Saaty (1986)
2.9.7 Model Matematis
Model matematis adalah suatu system persamaam matematik yang
digunakan untuk meyelesaikan suatu permasalahan, sehingga penyelesaiannya
lebih sederhana.
53
Dari pembobotan kriteria total responden diatas setelah dihitung rata-
ratanya selanjutnya dihitung prioritasnya dengan sistem persamaan matematis
menurut Brodjonegoro (1991) adalah :
Y= A (a1 x bobot a1 + …….+ a6 x bobot a6 + ……+D(d1 x bobot d1 +
… + d5 x bobot d5) ..............…………….….. Pers. (2.7)
Dimana :
Y = Skala prioritas
A s/d D = Bobot Alternatif level 2 (berdasar
analisa responden)
a1, a2, , ….d4, d5 = Bobot Alternatif level 3 (berdasar analisa responden)
bobot a1, bobot a2, …., bobot d5 = Bobot Alternatif level 3 (berdasarkan
analisis data)
2.10 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
Pengertian populasi secara sederhana dapat dikatakan bahwa
populasi adalah semua obyek penelitian. Nilai populasi adalah semua nilai baik
hasil perhitungan maupun pengukuran, baik kuantitatif mengenai karakteristik
tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin
dipelajari sifatnya (Hasan, 2003).
Ditinjau dari banyaknya anggota populasi, menurut Usman (1996) maka
populasi dapat dibagi menjadi: populasi terbatas (terhingga) dan populasi tak
terbatas (tak terhingga). Namun dalam kenyataannya populasi terhingga selalu
54
menjadi populasi yang tak hingga. Ditinjau dari sudut sifatnya, maka populasi
dapat bersifat homogen dan populasi heterogen.
2.10.1 Teknik Sampling Dalam Penelitian
Menurut Sugiyono (2009), Teknik Pengambilan Sampel adalah
suatu teknik untuk mendapatkan sampel pada suatu penelitian agar sampel
tersebut representatif terhadap populasi yang mewakilinya. Teknik sampling dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :
1. Probability Sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang mana
memberikan peluang yang sama untuk setiap unsur/anggota populasi (untuk
penelitian kuantitafif) yang dijadikan sebagai sampel. Teknik ini terdiri dari :
a. Sampling Random Sampling :
Sampel yang diambil pada teknik ini dilakukan secara acak dan tanpa ada
strata/tingkatan karena anggota/unsur dalam populasi pada teknik ini
dianggap homogen.
b. Proportionate Stratified Random Sampling :
Sampel yang diambil pada teknik ini dilakukan secara acak secara
proporsional pada strata/tingkatan tertentu. Pada teknik ini populasi
memiliki strata/tingkatan tertentu dan bersifat homogen pada suatu
strata/tingkatan memiliki peluang yang sama pada tingkat yang sama.
c. Disproportionate Stratified Random Sampling :
Sampel yang diambil pada teknik ini dilakukan secara acak secara
proporsional pada strata/tingkatan dengan unsur/anggota dengan jumlah
55
yang banyak dan diambil secara keseluruhan pada strata/tingkatan dengan
unsur – unsur yang sangat kecil, sehingga pada setiap tingkatan tidak
bersifat proporsional.
d. Area/Cluster Sampling :
Merupakan suatu teknik pengambilan sampel berdasarkan pembagian
suatu wilayah, karena lokasi penelitian terletak pada wilayah yang cukup
luas dengan karakteristik wilayah yang satu tidak sama dengan
karakteristik wilayah yang lain.
2. Non Probability Sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang mana
memberikan peluang yang tidak sama untuk setiap unsur/anggota populasi
(untuk penelitian kuantitafif) untuk menjadi sampel. Teknik pengambilan
sampel ini terdiri dari :
a. Sistematis Sampling :
Merupakan teknik pengambilan sampel berdasarkan nomor urut tertentu
dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut tertentu.
b. Sampling Kuota :
Merupakan teknik pengambilan sampel pada suatu populasi yang telah
memenuhi jumlah unsur/anggota tertentu.
56
c. Sampling Incedental :
Merupakan teknik pengambilan sampel secara insedental atau kebetulan.
Sampling ini digunakan pada penelitian yang sangat umum dan semua
unsur/anggota populasi memenuhi topik penelitian.
d. Purposive Sampling :
Merupakan teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu,
sesuai dengan persyaratan yang diisyaratkan dalam penelitian yangakan
dilaksanakan, karena tidak semua unsur/anggota populasi memahami
tentang topik dari penelitian tersebut. Umumnya sampel/responden dalam
metode ini memiliki keahlian sesuai dengan topik penelitian yang
dilaksanakan. Sampel/responden yang diambil pada metode ini umumnya
disebut dengan respon exspert. Menurut Sogiyono, (2009), respon yang
dianggap sebagai pakar/ahli/expertist adalah mereka yang memiliki
kompetensi terdiri dari mereka yang memiliki kewewenangan/kebijakan
untuk memutuskan, tugas yang bersifat rutinitas dan profesi sehubungan
dengan topik yang diteliti, atau mereka yang memiliki kemampuan
akademik, sesuai dengan topik penelitian.
e. Sampel Jenuh :
Merupakan teknik pengambilan sampel dengan mengambil semua
unsur/anggoata populasi menjadi sampel. Metode ini disebabkan karena
jumlah unsur/anggota populasi sangat sedikit.
57
f. Snowball Sampling :
Merupakan teknik pengambilan sampel yang diawali dengan jumlah yang
kecil, dan bilamana data yang akan diambil kurang memenuhi peryaratan
sesuai dengan yang diperlukan maka sampel ini ditambah sampai semua
data yang diperlukan didapat.
Pada dasarnya teknik sampling berguna agar :
1. Mereduksi anggota populasi menjadi anggota sampel yang mewakili
populasinya (representatif), sehingga kesimpulan terhadap populasi dapat
dipertanggung jawabkan.
2. Lebih teliti menghitung yang sedikit dari pada yang banyak.
3. Menghemat waktu, tenaga dan biaya.
Beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam pengambilan sampel adalah
sebagai berikut :
1. Tentukan dulu daerah generalisasinya. Banyak penelitian menurun
mutunya karena generalisasi kesimpulannya terlalu luas, penyebabnya
adalah karena peneliti ingin agar hasil penelitiannya berlaku secara meluas
dan menganggap sampel yang dipilihnya sudah mewakili populasinya.
2. Berilah batas-batas yang tegas tentang sifat-sifat populasi. Populasi tidak
harus manusia. Populasi dapat berupa benda-benda lainnya. Semua benda-
benda yang akan dijadikan populasi harus ditegaskan batas-batas
karakteristiknya, sehingga dapat menghindari kekaburan dan kebingungan.
58
3. Tentukan sumber-sumber informasi tentang populasi. Ada beberapa
sumber informasi yang dapat memberi petunjuk tentang karakteristik suatu
populasi, misalnya didapat dari dokumen-dokumen.
4. Pilihlah teknik sampling dan hitunglah besar anggota sampel yang sesuai
dengan tujuan penelitiannya.
2.11 Kuisioner
Kuisioner adalah intsrumen pengumpulan data atau informasi yang
dioperasionalisasikan ke dalam bentuk item atau pertanyaan. Subyek penelitian
adalah orang yang dilibatkan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan
terkait pertanyaan penelitian (http:SPSS-Metode kuisioner penanganan jalan-
online blongspot.com, 2008). Adapun tujuan pokok pembuatan kuisioner adalah :
1. Untuk mendapatkan informasi yang relevan dan tujuan survei.
2. Untuk memperoleh informasi dengan reliabilitas dan validitas setinggi
mungkin.
Agar kuisioner yang dibuat dapat mencapai sasaran sesuai dengan tujuan maka
pertanyaan yang dibuat hendaknya, singkat, tepat, sederhana dan berkaitan
langsung dengan tujuan penelitian.
59
2.11.1 Petunjuk Pembuatan Kuisioner
Kuisioner yang baik hendaklah memperhatikan petunjuk-petunjuk sebagai
berikut :
1. Bahasa harus singkat, jelas dan sederhana
2. Kata-kata yang digunakan tidak mengandung makna rangkap
3. Hindari pertanyaan yang relatif lama, sehingga sukar diingat responden
4. Hindari kata-kata yang membingungkan atau kurang dimengerti oleh
responden
5. Hindari pertanyaan-pertanyaan yang memalukan dan menakutkan
masyarakat.
6. Buatlah pertanyaan atau pernyataan yang mangandung makna positif dan
negatif yang disusun secara acak.
7. Jangan membuat kuisioner yang banyak menyita waktu responden,
karena jika responden bosan maka angket tidak diisi dan dikembalikan.
2.11.2 Isi Pertanyaan
Isi pertanyaan ataupun pernyataan yang ada dalam kuisioner harus sesuai
dengan tujuan penelitian, untuk itu pertanyaan – pertanyaan harus berisi :
1. Pertanyaan mengenai penilaianan tingkat kepentingan antar kriteria.
2. Pertanyaan mengenai penilaian tingkat kepentingan antar subkriteria.
60
2.11.3 Jenis Pertanyaan
Dalam pembuatan kuisioner, pertanyaan-pertanyaan dapat dikelompokan
dalam beberapa jenis yaitu
1. Pertanyaan tertutup yaitu, pertanyaan yang kemungkinan jawabannya
sudah ditentukan terlebih dahulu oleh peneliti, responden tidak diberi
kesempatan memberikan jawaban lain.
2. Pertanyaan terbuka yaitu, pertanyaan yang boleh dijawab sendiri oleh
responden.
3. Kombinasi terbuka dan tertutup yaitu, pertanyaan yang diberikan
kepada responden berupa pertanyaan kombinasi sebagaian jawaban
sudah ditentukan oleh peneliti dan sebagian dapat dijawab sendiri oleh
responden.
4. Pertanyaan semi terbuka, yaitu jawabannnya sudah disusun tetapi
masih kemungkinan penambahan jawaban.
2.11.4 Skala Pengukuran Kuisioner
Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan
untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga
alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data
kuantitatif. Ada beberapa jenis skala pengukuran yaitu (Firdaus, 2008):
1. Skala Guttman
Adalah skala pengukuran yang digunakan bila peneliti ingin mendapat
jawaban yang tegas yaitu ya-tidak, benar-salah dan lain-lain.
61
2. Semantik Deferential
Adalah skala pengukuran yang digunakan untuk mengukur
sikap/karakteristik seseorang. Bentuknya tidak pilihan ganda atau
ceklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontunue yang jawabannya
sangat positifnya paling kanan dan sangat negatifnya paling kiri.yang
didasarkan pada ranking, diurutkan dari jenjang yang lebih tinggi
sampai jenjang yang lebih rendah atau sebaliknya.
3. Rating Schale
Adalah skala pengukuran dimana data mentah yang diperoleh berupa
angka kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif.
4. Skala Likert
Adalah suatu interval pengukuran sikap, pendapat dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena. Variabel yang
akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator
tersebut dijadikan titik tolak untuk menyusun item-item instrumen
yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan.
62
2.12 Jenis Penelitian
Setiap penelitian harus menyajikan data yang telah diperoleh baik yang
diperoleh melalui observasi, wawancara, kuisioner maupun dokumentasi. Prinsip
dasar penyajian data adalah komunikatif dan lengkap dalam arti data yang
disajikan dapat menarik perhatian pihak lain untuk membacanya dan mudah
memahami isinya.
Menurut Hasan (2003), ada beberapa jenis data menurut kriteria yang
menyertainya baik menurut susunannya, sifatnya, waktu pengambilannya, sumber
pengambilannya dan skala pengukurannya. Menurut sumber pangambilannya data
dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu (Hasan, 2003):
1. Data primer yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang
melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya.
Data primer disebut juga data asli atau data baru.
2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan dari sumber-
sumber yang ada. Data ini biasanya diperoleh dari perpustakaan atau
dari laporan peneliti yang terdahulu. Data sekunder disebut juga data
tersedia.
63
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tahapan Penelitian
Langkah-langkah dalam penelitian ini di mulai dengan melakukan studi
pendahuluan yang meliputi : pengenalan daerah studi, tinjauan pustaka,
identifikasi data dan perangkat lunak yang digunakan. Dari studi pendahuluan
yang dilakukan, dilanjutkan identifikasi masalah sehingga dapat disusun latar
belakang masalah dan rumusan masalah serta penetapan tujuan penelitian ini.
Selanjutnya dilakukan pengumpulan data baik diperoleh dari data primer maupun
dari data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui kuisioner
atau wawancara kepada pihak-pihak (stakeholders) yang berkompeten dalam
penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli. Sedangkan data sekunder
dalam penelitian ini diperoleh dari data penanganan jalan kabupaten di Kabupaten
Bangli pada tahun anggaran 2008 – 2010 serta pedoman perencanaan jalan
kabupaten sesuai SK No.77/KPTS/Db/1990. Langkah selanjutnya akan dilakukan
penentuan urutan prioritas penanganan jalan kabupaten dengan metode Analytical
Hierarchy Process (AHP) yang diawali dengan penyusunan hirarki yaitu dengan
penentuan kriteria dan penentuan subkriteria. Selanjutnya dilakukan analisis
pembobotan dalam penentuan skala prioritas jalan dengan metode AHP. Hasil
skala prioritas penanganan jalan kabupaten yang diperoleh dari metode AHP akan
dibandingkan dengan hasil skala prioritas berdasarkan SK No.77/KPTS/Db/1990.
Adapun langkah-langkah penelitian ini, diperlihatkan pada Diagram Alir
Penelitian pada Gambar 3.1.
64
Latar belakang dan rumusan masalah
Pengumpulan Data
Data Primer - Kuisioner/ Wawancara
Data Sekunder - Data Penanganan Jalan Kab.
Bangli T.A.2008-2010 - Pedoman Perenc Jalan Kab (SK No.77/KPTS/Db/1990
Penyusunan Hirarki Model AHP
- Penentuan Kriteria - Penentuan Subkriteria
Tujuan Penelitian
Analisis Pembobotan dalam penentuan skala prioritas jalan dg Metode AHP
Analisis penentuan skala prioritas jalan Berdasarkan SK No.77/KPTS/ Db/1990
Studi Pendahuluan (Penentuan lokasi studi,tinjauan pustaka,identifikasi data dan
perangkat lunak yg digunakan)
T
Y
Uji Konsistensi
CR ≤ 1
I
I
65
Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian.
3.2 Studi Pendahuluan
Kegiatan–kegiatan yang dilakukan di dalam sudi pendahuluan ini pada
dasarnya adalah untuk mengidentifikasi ketersediaan sarana pendukung dalam
melakukan penelitian ini. Hal-hal tersebut meliputi pemilihan lokasi studi,
ketersediaan data, ketersediaan pustaka atau literatur referensi dan ketersediaan
alat bantu dalam hal ini perangkat lunak untuk melakukan anlisis data. Hal ini
dilakukan mengingat suatu studi tentu dibatasi oleh ketersediaan waktu dan dana.
Hasil dari studi pendahuluan ini adalah sebagai berikut :
1. Lokasi Penelitian di Kabupaten Bangli (Lamp.A1, Gambar Peta Wilayah
Studi, hal 117).
Analisis Skala Prioritas dg Metode AHP
Perbandingan hasil Skala Prioritas AHP dg SK No.77/KPTS/Db/1990
Simpulan dan Saran
I
I
66
2. Waktu penelitian, penelitian ini dilakukan dari pagi hingga sore selama
jam kerja pemerintahan.
3. Obyek penelitian dilakukan pada Asisten Pembangunan Setda Kabupaten
Bangli, Bidang Bina Marga Dinas PU Kab.Bangli, Badan Pembangunan
Daerah (Bappeda) Kab.Bangli, Camat se-Kab Bangli, Anggota DPRD
pada Komisi Pembangunan dan beberapa tokoh masyarakat yang
memahami penanganan jalan di wilayahnya masing-masing.
4. Data perencanaan penanganan jalan kabupaten tahun anggaran 2008- 2010
di dapat dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten
Bangli dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bangli
5. Pustaka atau literatur referensi sebagai acuan landasan teori diperoleh dari
beberapa textbook yang berkaitan dengan metode Analytical Hierarchy
Process (AHP) dan acuan berdasarkan Surat keputusan Dirjen Bina Marga
No.77/KPTS/Db/1990 tentang Petunjuk Teknis Perencanaan dan
Pengendalian Pembangunan di Daerah.
6. Perangkat lunak sebagai alat bantu yang digunakan dalam melakukan
analisis dapat digunakan program Microsof Excel.
3.3 Latar Belakang dan Rumusan Masalah
Selama ini penentuan prioritas proyek jalan kabupaten yang disusun
Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bangli dibuat berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 77/KPTS/Db/1990 tentang Petunjuk Teknis
Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah. Penentuan usulan proyek
67
jalan hanya mempertimbangkan lalu lintas harian rata-rata (LHR) dan manfaat
lalulintas (NPV) saja. Dengan metode tersebut masih banyak jalan yang belum
mendapat penanganan baik pemeliharaan maupun peningkatan serta aspirasi
masyarakat melalui musrenbang di tingkat desa dan tingkat kecamatan hanya
sebagaian kecil direalisasikan dalam APBD. Berdasarkan hal tersebut perlu
penerapan metode lain yang dapat mengatasi permasalahan tersebut. Adapun
metode yang akan digunakan adalah Metode Analytical Hierarchy Process (AHP).
Penggunaan metode dengan sistem hirarki sudah diterapkan di Kabupaten Badung
dan Kabupaten Gianyar dalam penentuan prioritas jalan kabupaten. Adapun
parameter atau kriteria yang digunakan adalah : faktor kondisi jalan, faktor
volume lalu lintas, faktor ekonomi, faktor kebijakan dan faktor tata guna lahan.
Penentuan prioritas proyek dengan metode hirarki yang akan di laksanakan dapat
memberi hasil yang lebih representatif dalam penentuan prioritas penanganan
jalan di Kabupaten Bangli.
3.4 Tujuan Penelitian
Dari permasalahan tersebut kemudian ditetapkan tujuan penelitian.
Tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah seperti yang
disebutkan pada BAB I Pendahuluan, hal.6.
3.5 Pengumpulan data
Dalam studi ini dilakukan pengumpulan data yang meliputi data primer
dan data sekunder. Data primer yang diperoleh adalah data yang dicatat dan
68
didapat langsung dari obyek penelitian melalui wawancara/intervew dan data
sekunder diambil langsung dari instansi pemerintah Kabupaten Bangli. Adapun
langkah-langkah pengumpulan data pada penelitian ini dijelaskan pada sub bab
berikut.
3.5.1 Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dimaksudkan untuk menentukan skala
prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli. Data sekunder
diperoleh dari instansi Pemerintah Kabupaten Bangli yaitu Bappeda Kabupaten
Bangli dan Dinas PU Bidang Bina Marga Kabupaten Bangli. Adapun data
tersebut meliputi : data kondisi jalan, data volume lalu lintas, dana anggaran/biaya
penanganan jalan per meter persegi, kebijakan dan tata guna lahan serta pedoman
perencanaan jalan kabupaten berdasarkan SK No.77 Dirjen Bina Marga Tahun
1990. Adapun langkah-langkah pengumpulan data sekunder adalah :
1. Permintaan data diajukan secara tertulis, dimana data yang diminta adalah :
a. Kriteria yang dipakai untuk menentukan skla prioritas penanganan
jalan kabupaten di Kabupaten Bangli.
b. Data yang berhubungan dengan kriteria yang dipakai untuk
penentuan skala prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten
Bangli.
2. Setelah data yang sesuai dengan diktum 1 didapat, maka data tersebut
direkapitulasi dan dikompilasi ke masing-masing unsur kelompok
penanganan jalan kabupaten, dengan tujuan :
a. Sebagai dasar dalam penyusunan struktur hirarki,
69
b. Sebagai dasar olahan dalam penentuan skala prioritas penanganan
jalan kabupaten yang akan ditinjau.
3. Setelah struktur hirarki disusun, selanjutnya disusun kuisioner untuk dipakai
sebagai instrumen dalam melaksanakan pengumpulan data primer. Rancangan
kuisioner pada penelitian ini diperlihatkan pada lampiran B, hal.129. Dalam
penelitian ini, penyusunan kuisioner yang digunakan pada penelitian ini
dengan melibatkan beberapa stake holders yang berkompeten dalam
penanganan jalan di Kabupaten Bangli yaitu Bapak Wayan Budi Utama
(Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setda Kab. Bangli), Ir.Ida Bagus
Sentanu,MM (Kepala Dinas PU Kab. Bangli), Ir. Ida Bagus Wediatmika,MM
(Kepala Bidang Bina Marga), A.A Darmawan, Ap.,MM (Camat Kec.Susut), I
Wayan Pasek Wiratama, ST (Staf Teknis dari Bappeda) dan I Wayan Yasa
(Kaur Pemb.Desa Susut). Skala pengukuran sikap responden dalam
penentuan prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli
digunakan skala Penilaian Saaty (1986). Untuk mempermudah responden
dalam memberi jawaban atas penilaiannya maka kuisioner disusun dalam
bentuk interval dalam skala 1 sampai dengan 9 berdasarkan nilai preferensi
berpasangan dari Saaty (1986) dan dengan melingkari salah satu angka pada
interval terhadap penilaian yang diberikan, dimana masing-masing skala
menunjukan tingkat kepentingan indikator kriteria yang dibandingkan
terhadap indikator kriteria yang melingkupinya. Dalam penelitian ini
dilakukan penyebaran kuisioner dengan wawancara langsung kepada
responden yang mempunyai tugas, fungsi dan pengalaman di bidang
70
penanganan dan perencanaan jalan kabupaten di Kabupaten Bangli.
Penyebaran kuisioner kepada 26 (dua puluh enam) responden dipilih secara
Purposive yaitu pemilihan responden berdasarkan pertimbangan dengan
persyaratan responden yang dipilih memiliki pengetahuan dan kompetensi
dibidang penanganan jalan. Adapun respon expert yang dipilih terdiri dari :
1. Pemerintah Kabupaten Bangli :
Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setda Kab. Bangli (1 orang), Kadis PU
Kab. Bangli (1 orang), Kabid Bina Marga (1 orang), Kasi Pemeliharaan
dan Rehabilitasi Jalan Bidang Bina Marga (1 orang), Kasi Peningkatan dan
Pembangunan Jalan Bidang Bina Marga (1 orang), Staf Perencana Bidang
Bina Marga (1 orang), Ka. Bidang Fisik dan Prasarana di Bappeda (1
orang), Kasubdin Tata Ruang di Bappeda (1 orang), Staf dari Bappeda (1
orang).
2. Badan Legislatif
Anggota DPRD Bangli Komisi C (1 orang).
3. Pemerintah Kecamatan
Para Camat Se Kabupaten Bangli yaitu Camat Kecamatan Bangli, Camat
Kecamatan Susut, Camat Kecamatan Tembuku dan Camat Kecamatan
Kintamani (4 Orang)
4. Tokoh Masyarakat (12 orang) yaitu dari Kaur Pembangunan Desa Se
Kabupaten Bangli.
Sedangkan waktu penyebaran kuisioner kepada responden dilaksanakan selama
3 (tiga) bulan yaitu dari bulan Januari sampai bulan Maret 2010.
71
3.5.1 Pengumpulan Data Primer
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada penelitian ini pengumpulan data
primer mempergunakan metode kuisioner/interview. Adapun tahapan dalam
melakukan interview kepada responden pada penelitian ini adalah :
1. Sebelum dilaksanakan interview terlebih dahulu responden diberikan
pertanyaan secara tertulis dengan model pertanyaan berupa skala
penilaian.
2. Bersamaan dengan pertanyaan yang diserahkan/diberikan, kepada para
responden dijelaskan secara umum tentang maksud dan cara menjawab
dari masing-masing pertanyaan yang harus dijawab.
3. Interview dilaksanakan sesuai dengan waktu dan tempat yang disepakati
oleh para responden dengan mempertimbangkan :
a. Waktu dari para responden untuk mempelajari dan memahami
pertanyaan yang harus dijawab,
b. Waktu yang terluang untuk melaksanakan interview,
c. Beban fisikologis responden saat menjawab pertanyaan.
4. Akibat pertimbangan pada item 3.c para responden diharapkan menjawab
pertanyaan pada saat tidak terjadi beban fisikologis, sehingga interview
hanya dilaksanakan terhadap hal-hal atau pertanyaan yang
meragukan/membingungkan responden.
5. Pada saat dilakukan interview, terlebih dahulu responden ditanyakan
apakah dari pertanyaan yang akan ditanyakan membingungkan/meragukan
responden apa tidak?, dan apabila ada pertanyaan yang membingungkan
72
bagi responden maka interview tidak dapat dilanjutkan sampai pada batas
responden mengerti betul terhadap pertanyaan yang akan dijawab. Dan
apabila ada pertanyaan/hal-hal yang masih meragukan/membingungkan
responden maka dilakukan penjelasan ulang terhadap pertanyaan yang
akan dijawab.
6. Hasil jawaban penilaian level hiraki yang diperoleh dari responden sangat
menentukan besarnya bobot elemen level hirarki, apabila ditemukan hasil
penilaian responden setelah diuji tingkat konsisten (rasio konsisten)
jawaban responden melebihi batas 10% maka dilakukan pengulangan
interview sampai memperoleh tingkat konsistensi ≤ 10%.
3.6 Variabel Penelitian
Variabel yang dipakai pada penelitian ini terdiri dari kriteria/pertimbangan
yang menjadi latar belakang prioritas penanganan jalan kabupaten di Kabupaten
Bangli, variabel pada penelitian ini baru akan dirumuskan dalam bentuk struktur
hirarki setelah didapatkan data sekunder.
Dalam penelitian ini penyusunan level hiraki yang digunakan dalam
metode Analytical Hierarchy Process (AHP) terdiri dari 3 (tiga) level yaitu :
1. Level 1 (tujuan), adalah menentukan prioritas jalan yang mendapat
prioritas penanganan jalan secara rutin dan berkala, rehabilitasi jalan
dan peningkatan jalan.
2. Level II (Kriteria) terdiri dari beberapa kriteria dalam menentukan
prioritas jalan. Kriteria tersebut adalah : Faktor Kondisi Jalan (A),
73
Faktor Volume Lalu Lintas (B), Faktor Ekonomi (C), Faktor
Kebijakan (D) dan Faktor Tata Guna Lahan (E).
2. Level III (Pengembangan dari Level II, yang selanjutnya disebut
subkriteria), Sub kriteria kondisi jalan, volume lalu lintas, ekonomi
diperoleh dari SK No.77 Dirjen Bina Marga, Tahun 1990 sedangkan
sub kriteria kebijakan dan tata guna lahan diperoleh melalui
wawancara responden yang berperan dalam pengambilan kebijakan di
pemerintahan.
Selanjutnya Penyusunan level hirarki yang terdiri dari 3 (tiga) level tersebut
diperlihatkan pada Gambar 3.2.
74
Gambar 3.2 Penyusunan Level Hirarki Penanganan Jalan
3.7 Analisis Data
Analisis data merupakan pekerjaan yang terintegrasi setelah data
didapatkan, kemudian dikumpulkan untuk direkapitulasi sesuai kebutuhan dan
selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode AHP dan membandingkan
hasil analisis tersebut dengan hasil analisis yang didapat berdasarkan SK No.77
Dirjen Bina Marga Tahun 1990 sehingga diperoleh kelebihan dan kelemahan
penentukan skala prioritas penanganan jalan dari kedua metode tersebut.
Level II (Kriteria) Level III (Subkriteria)
F. Kondisi Jalan (A)
F.Volume Lalu-lintas(B)
-Lubang-lubang (a1) -Legokan / Amblas (a2) -Retak-retak (a3) -Alur bekas roda (a4) -Bahu Jalan (a5) -Kemiringan jalan (a6)
-Truk Ringan (b1) -Truk Sedang dan Berat (b2) -Mobil roda 4 (b1) -Bis (b3) -Sepeda motor (b4)
F. Ekonomi (C)
F. Kebijakan (D)
-Manfaat/Kelayakan (c1) (NPV) -Estimasi Biaya Kegiatan (c2)
-Bidang Pertanian (e1) -Bidang Pendidikan (e2) -Bidang Sosial -Budaya (e3) -Bidang Perdagangan - Jasa (e4)
F. Tata Guna Lahan (E)
-Musrenbang Camat (d1) -Musrenbang Kabupaten (d2) -Musrenbang Provinsi (d3) -ABT (d4)
Penentuan Skala Prioritas
Penanganan Jalan Kabupaten
Level I (Tujuan)
75
BAB IV
DESKRIPSI DATA
4.1 Gambaran Umum dan Letak Geografis
Kabupaten Bangli secara Geografis terletak antara 115º13’48”-
115º27’24’’ bujur Timur dan 8º 8’30”-8º3’87” Lintang Selatan. Luas wilayah
Kabupaten Bangli sebesar 520,81 Km2 atau sekitaar 9,25 persen dari seluruh luas
pulau Bali, dengan batas – batas sebagai berikut :
a. Disebelah Utara : Kabupaten Buleleng.
b. Di sebelah Timur : Kabupaten Kelungkung dan Kab. Karangasem.
c. Disebelah Selatan : Kabupaten Gianyar.
d. Disebelah Barat : Kabupaten Gianyar.
4.2 Prasarana Jalan
Prasarana jalan merupakan salah satu unsur yang cukup strategis dalam
menunjang pembangunan disamping dapat mempercepat arus kegiatan, ekonomi
serta memperlancar mobilitas penduduk antar daerah. Dengan semakin
meningkatnya aktifitas pembangunan maka dituntut pula adanya jaringan jalan
yang semakin memadai.
Di Kabupaten Bangli terdapat jalan dengan panjang total 731.823 Km,
yaitu terdiri dari 452.989 Km Jalan Kabupaten dan 37.120 Km Jalan Provinsi
serta 241.714 Km Jalan Lingkungan. Jumlah ruas jalan yang dimiliki Kabupaten
76
Bangli adalah 369 yang tersebar di 4 (empat) kecamatan dengan rincian
sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Jumlah Ruas Jalan dan Panjang Jalan di Kab. Bangli
Untuk penentuan skala prioritas penanganan prasarana jalan tersebut diatas
digunakan metode berdasarkan SK No.77, Bina Marga, 1990 dan hasil urutan
prioritas yang didapat akan dibandingkan dengan Metode Analytical Hierarchy
Process (AHP) yang menggunakan sistem hierarki dalam penentuan urutan
prioritasnya.
4.3 Hasil Penilaian Responden
Dalam metode AHP diawali dengan penyebaran kuisioner kepada
beberapa responden, dalam hal ini telah dilakukan terhadap 26 responden. Data
yang dikumpulkan dari responden ini adalah data primer hasil kuisioner atau
wawancara. Jumlah kuisioner disebarkan kepada 26 responden yang dipilih secara
purposive terdiri dari :
1. Pemerintah Kabupaten Bangli :
Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setda Kab. Bangli (1 orang), Kadis PU
Kab. Bangli (1 orang), Kabid Bina Marga (1 orang), Kasi Pemeliharaan
No Kecamatan Ruas Jalan Panjang Jalan (bh) (km) 1 Kintamani 157 339,872 2 Susut 73 173,95 3 Bangli 71 77,46 4 Tembuku 68 140,541
Jumlah 369 731,823 Sumber : Hasil Survey Dinas PU Bid.Bina Marga, 2008
77
dan Rehabilitasi Jalan Bidang Bina Marga (1 orang), Kasi Peningkatan dan
Pembangunan Jalan Bidang Bina Marga (1 orang), Staf Perencana Bidang
Bina Marga (1 orang), Ka. Bidang Fisik dan Prasarana di Bappeda (1
orang), Kasubdin Tata Ruang di Bappeda (1 orang), Staf dari Bappeda (1
orang).
2. Badan Legislatif
Anggota DPRD Bangli Komisi C (1 orang).
3. Pemerintah Kecamatan
Para Camat Se Kabupaten Bangli yaitu Camat Kecamatan Bangli, Camat
Kecamatan Susut, Camat Kecamatan Tembuku dan Camat Kecamatan
Kintamani (4 Orang)
4. Tokoh Masyarakat (12 orang)
Penyebaran kuisioner sebanyak 26 eksemplar dilakukan dengan memberikan
langsung kepada responden. Responden membuat jawaban langsung dan
sekaligus melakukan diskusi dengan penulis. Angka-angka yang diberikan pada
persepsi responden merupakan skala perbandingan dari masing-masing faktor
kriteria dan sub kritaria. Besaran skala diambil dari Tabel 2.1 Skala Matrik
Perbandingan Berpasangan (pada BAB II, hal 32).
Data dari penyebaran kuisioner kepada 26 responden diringkas dalam
beberapa tabel sesuai kelompok pertanyaan pada kuisioner dan diuraikan pada
sub bab berikut.
78
4.3.1 Jawaban terhadap penilaian pada level 2 (terhadap kriteria)
Dari hasil wawancara/interview terhadap responden dengan cara
melakukan kuisioner dalam menentukan tingkat kepentingan terhadap kriteria,
diperoleh jawaban berdasarkan skala/range penilaian yang diberikan pada lembar
kuisioner (Lamp.B, 129). Adapun jawaban persepsi masing-masing responden
terhadap “ Kriteria” ditabelkan seperti diperlihatkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Rekapitulasi Jawaban Responden Terhadap “ Kriteria” Responden PERSEPSI RESPONDEN A:B A: C A:D A:E B:C B:D B:E C:D C:E D:E
R1 3 2 2 3 2 2 2 2 2 2 R2 2 4 2 1 2 2 3 2 2 2 R3 2 4 3 5 2 2 2 3 2 2 R4 3 3 3 2 2 3 3 3 2 2 R5 2 3 3 3 3 5 2 2 2 1 R6 3 2 3 3 2 3 2 3 2 R7 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 R8 5 2 2 3 2 2 2 1 1 2 R9 2 3 2 4 4 2 3 3 2 2 R10 3 2 3 5 3 3 2 2 2 3 R11 3 2 3 6 3 3 4 5 2 2 R12 6 4 4 2 2 4 4 3 1 2 R13 7 4 3 4 3 3 4 2 3 4 R14 5 3 2 2 2 2 3 3 2 2 R15 4 3 4 4 3 3 3 4 2 4 R16 3 2 4 2 2 4 2 2 2 3 2 R17 5 2 3 4 2 2 2 2 5 R18 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 R19 3 2 2 5 3 6 2 2 2 2 R20 4 2 2 2 4 4 2 2 4 3 R21 2 2 3 3 4 2 2 2 2 2 R22 3 2 2 3 2 2 2 3 4 2 R23 2 2 2 2 3 2 3 2 5 2 R24 2 4 2 2 4 2 2 2 5 5 R25 5 4 2 2 4 2 2 2 2 5 R26 4 2 2 2 2 2 2 2 2 3
Sumber : Hasil Analisis, 2010
79
Keterangan Tabel 4.2 tersebut diatas adalah :
R adalah : Responden (dari responden 1 s/d 26)
A : B adalah : Pertimbangan faktor kondisi jalan terhadap faktor volume
lalulintas.
A : C adalah : Pertimbangan faktor kondisi jalan terhadap faktor ekonomi.
A : D adalah : Pertimbangan faktor kondisi jalan terhadap faktor kebijakan.
A : E adalah : Pertimbangan faktor kondisi jalan terhadap faktor tata guna lahan.
B : C adalah : Pertimbangan faktor volume lalu lintas terhadap faktor ekonomi.
B : D adalah : Pertimbangan faktor volume lalu lintas terhadap faktor kebijakan.
B : E adalah : Pertimbangan faktor volume lalu lintas terhadap faktor tata guna
lahan.
C : D adalah : Pertimbangan faktor ekonomi terhadap faktor kebijakan.
C : E adalah : Pertimbangan faktor ekonomi terhadap faktor tata guna lahan
D : E adalah : Pertimbangan faktor kebijakan terhadap faktor tata guna lahan
Contoh : Persepsi Responden 2(R2) yaitu :
- Penilaian A:B diberikan skala 2 berarti: Faktor A sedikit lebih penting di
banding faktor B
- Penilaian A:C diberikan skala 4 berarti: Faktor C lebih penting dari faktor A.
4.3.2 Jawaban terhadap penilaian pada level 3 (sub kriteria)
1. Sub Kriteria Kondisi Jalan
Jawaban dari 26 responden berdasarkan skala/range penilaian yang
diberikan pada lembar kuisioner terhadap sub kriteria kondisi jalan dapat
dikelompokkan seperti diperlihatkan pada Tabel 4.3.
80
Tabel 4.3 Rekapitulasi Jawaban Responden Terhadap Sub.Kriteria ” Kondisi Jalan”.
Resp. Persepsi responden
A1: a2 a1: a3 a1:a4 a1-a5 a1: a6 a2: a3 a2; a4 a2:a5 a2: a6 a3:a4 a3: a5 a3:a6 a4:a5 a4:a6 a5-a6
R1 3 5 2 4 4 3 2 3 5 2 2 2 2 3 2
R2 3 3 2 3 3 2 2 2 6 4 2 2 4 3 4
R3 2 5 3 3 4 3 2 2 4 5 2 2 3 3
R4 2 2 4 5 5 3 3 4 4 3 2 3 5 2
R5 2 2 3 5 2 5 3 2 3 3 2 2 4 2
R6 4 5 4 4 4 3 4 6 4 3 3 2 4 3 2
R7 4 5 3 5 4 3 3 4 2 3 2 3 2 2 3
R8 2 2 2 3 2 2 2 7 4 2 2 2 3 2 2
R9 2 3 4 5 2 3 2 3 4 2 2 2 2 2 3
R10 2 2 2 3 6 4 5 3 7 2 2 2 3 2
R11 2 2 2 3 4 3 2 2 5 4 2 2 2 3 2
R12 3 2 3 3 3 2 3 2 2 2 2 2 3 2
R13 2 2 3 2 2 2 3 3 2 3 2 3 3 3 2
R14 2 3 2 3 2 3 3 2 4 6 3 3 3 2 3
R15 4 4 3 4 2 3 4 2 5 2 3 2 2 2 2
R16 4 2 3 2 2 2 3 2 5 2 2 2 2 3 2
R17 2 3 2 2 3 3 3 2 3 2 2 3 2 2 2
R18 2 5 5 4 5 2 2 2 5 2 2 2 2 3 2
R19 3 2 3 5 2 3 2 5 2 3 2 2 3 3 2
R20 3 2 2 2 2 2 4 2 2 2 2 2 2 3 2
R21 3 3 2 5 5 2 3 4 2 2 2 2 2 2 3
R22 2 3 2 2 3 6 5 4 2 2 4 2 3 3
R23 2 3 3 2 4 5 5 3 3 2 4 3 3 4
R24 2 2 4 4 2 5 3 3 4 3 4 2 5 4
R25 5 3 3 4 2 5 2 5 4 3 3 2 4 4
R26 5 2 2 4 2 2 2 3 4 2 2 2 4 2
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Keterangan Tabel 4.3 tersebut diatas adalah :
R adalah : Responden (dari responden 1 s/d 26)
a1 : a2 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan lubang-lubang
terhadap perbaikan legokan/ amblas.
a1 : a3 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan lubang-lubang
terhadap perbaikan retak-retak.
81
a1 : a4 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan lubang-lubang
terhadap perbaikan alur bekas roda.
a1 : a5 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan lubang-lubang
terhadap perbaikan bahu jalan.
a1: a6 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan lubang-lubang
terhadap perbaikan kemiringan jalan.
a2 : a3 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan legokan/amblas
terhadap perbaikan retak-retak.
a2 : a4 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan legokan/amblas
terhadap perbaikan alur bekas roda.
a2 : a5 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan legokan/amblas
terhadap perbaikan alur bekas.
a2 : a6 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan legokan/amblas
terhadap perbaikan bahu jalan.
a3 : a4 adalah : Pertimbangan ttingkat kepentingan perbaikan retak-retak
terhadap perbaikan alur bekas roda.
a3 : a5 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan retak-retak terhadap
perbaikan bahu jalan.
a3 : a6 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan retak-retak terhadap
perbaikan kemiringan jalan.
82
2. Subkriteria Volume Lalu Lintas
Jawaban dari 26 responden berdasarkan skala/range penilaian yang diberikan
pada lembar kuisioner terhadap sub kriteria volume lalulintas dikelompokkan
seperti diperlihatkan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Rekapitulasi Jawaban Responden Terhadap Sub Kriteria ”Volume Lalu Lintas”.
Responden PERSEPSI RESPONDEN b1:b2 b1:b3 b1:b4 b1:b5 b2:b3 b2:b4 b2:b5 b3:b4 b3:b5 b4:b5
R1 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 R2 2 2 2 2 3 3 3 2 2 2 R3 3 2 2 4 3 3 3 2 2 2 R4 3 2 3 3 2 2 3 3 2 2 R5 2 2 2 4 2 3 3 2 2 5 R6 2 2 3 2 3 2 3 2 3 2 R7 2 2 3 2 3 3 3 3 2 3 R8 2 2 2 2 2 4 2 3 4 2 R9 3 2 2 4 2 3 5 4 2 2 R10 3 2 3 4 2 2 2 4 2 2 R11 2 2 5 2 2 2 2 3 2 3 R12 2 4 4 2 2 3 2 2 2 3 R13 2 4 2 3 2 2 2 4 2 3 R14 3 3 2 4 2 2 3 2 2 2 R15 3 3 2 3 2 2 1 2 2 2 R16 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 R17 2 2 2 4 3 2 2 2 2 2 R18 2 2 3 3 2 2 2 2 3 2 R19 2 2 2 5 2 2 2 2 3 2 R20 2 2 2 4 2 5 2 2 2 3 R21 2 2 2 2 2 4 3 2 2 2 R22 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 R23 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 R24 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 R25 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 R26 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Keterangan Tabel 4.4 tersebut diatas adalah :
R adalah : Responden (dari responden 1 sampai 26)
Sub kriteria : Truk Ringan (b1), Truksedang dan Berat (b2), Mobil roda 4
(b3), Bis (b4) dan sepeda motor (b5).
83
3. Sub Kriteria Faktor Ekonomi
Jawaban dari 26 responden berdasarkan skala/range penilaian yang diberikan
pada lembar kuisioner terhadap sub kriteria ekonomi, dapat dikelompokkan
seperti diperlihatkan pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Rekap. Jawaban Responden Terhadap Sub.Kriteria ” Ekonomi”.
Responden Persepsi Responden c1 - c2
R1 7 R2 5 R3 5 R4 5 R5 6 R6 4 R7 7 R8 7 R9 5 R10 3 R11 4 R12 4 R13 4 R14 3 R15 3 R16 3 R17 4 R18 3 R19 4 R20 3 R21 3 R22 3 R23 3 R24 3 R25 3 R26 3
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Keterangan Tabel 4.5 tersebut diatas adalah :
R adalah : Responden (dari responden 1 sampai 26)
c1 adalah : Manfaat/Kelayakan (NPV) dan c2 adalah : Biaya Kegiatan
84
4. Sub Kriteria Faktor Kebijakan
Adapun jawaban dari 26 responden berdasarkan skala/range penilaian
terhadap sub kriteria kebijakan dapat dikelompokkan seperti diperlihatkan pada
Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Rekapitulasi Jawaban Responden Terhadap Sub Kriteria ”Kebijakan”.
Responden Persepsi Responden d1: d2 d1 : d3 d1: d4 D2 : d3 d2 : d4 d3:d4
R1 2 2 4 3 2 4 R2 2 2 4 3 2 4 R3 4 2 3 3 2 4 R4 2 2 3 3 2 4 R5 2 2 3 3 2 3 R6 2 3 4 4 2 4 R7 4 2 3 5 2 2 R8 2 2 3 5 2 4 R9 2 4 5 3 3 3 R10 4 3 3 3 4 3 R11 4 3 3 3 2 2 R12 3 5 3 5 2 2 R13 2 3 3 4 3 7 R14 2 2 3 3 3 5 R15 2 3 3 2 2 4 R16 3 3 3 2 2 4 R17 3 3 3 3 3 3 R18 3 3 3 3 3 3 R19 3 2 5 3 3 2 R20 3 2 2 3 3 2 R21 4 2 2 3 2 2 R22 4 2 3 4 2 7 R23 3 2 3 3 2 5 R24 3 4 2 2 3 2 R25 5 5 5 3 3 5 R26 3 4 2 3 3 2
Sumber : Hasil Analisis, 2010
85
Keterangan Tabel 4.6 tersebut diatas adalah :
R adalah : Responden (dari responden 1 sampai 26)
d1 adalah : Musrenbang Camat
d2 adalah : Musrenbang Kabupaten
d3 adalah : Musrenbang Provinsi
d4 adalah : Anggaran Biaya Tambahan (ABT)
4. Sub Kriteria Faktor Tata Guna Lahan
Dari 26 Responden, jawaban persepsi mengenai sub kriteria tata guna
lahan dapat dikelompokkan seperti diperlihatkan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Rekap. Jawaban Responden terhadap Sub Kriteria ” Tata Guna Lahan”.
Responden Persepsi Responden e1:e2 e1: e3 e1: e4 e2 : e3 e2 : e4 e3 :e4
R1 2 2 3 2 2 2 R2 2 2 5 2 4 4 R3 2 2 3 2 2 4 R4 4 2 3 3 2 4 R5 2 2 3 0 2 4 2 R6 2 5 3 2 2 3 R7 4 3 3 2 2 4 R8 2 3 2 3 3 R9 3 2 3 2 3 3 R10 2 2 3 3 2 3 R11 2 3 3 2 2 2 R12 2 2 3 2 3 2 R13 5 2 4 2 3 3 R14 2 3 4 2 2 3 R15 3 2 2 5 2 3 R16 2 4 2 2 2 2 R17 2 3 2 2 2 2 R18 3 3 3 2 2 2 R19 3 3 3 2 3 2
86
Tabel 4.7 Lanjutan ….Rekap. Jawaban Responden thd sub Kriteria tata guna lahan Responden Persepsi Responden e1-e2 e1- e3 e1- e4 e2 - e3 e2- e4 e3 -e4
R20 3 2 3 2 3 2 R21 3 2 2 3 2 3 R22 3 3 2 3 3 3 R23 3 2 3 3 3 3 R24 5 2 3 3 2 4 R25 2 2 3 3 2 2 R26 3 2 3 3 2 2
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Keterangan :
R adalah : Responden
e1 –e2 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan jalan
dalam menujang bidang pertanian terhadap bidang
pendidikan.
e1 –e3 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan jalan
dalam menunjang bidang pertanian terhadap bidang
sosial-budaya.
e1 –e4 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan jalan
dalam menunjang bidang pertanian terhadap bidang
perdagangan-jasa.
e2 –e3 adalah : Pertimbangan tingkat kepentingan perbaikan jalan
dalam menunjang bidang Pendidikan terhadap bidang
social-budaya
87
BAB V
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
5.1 Penyusunan Hirarki dan Bobot
Hasil data Kuisioner sebanyak 26 responden seperti telah diuraikan pada sub
bab sebelumnya, selanjutnya dianalisis dengan metode AHP sehingga diperoleh
bobot dari masing-masing kriteria dan sub kriteria yang nantinya dipakai untuk
mencari skala prioritas penanganan jalan.
5.1.1 Struktur Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan
Kabupaten
Dari hasil identifikasi kriteria kepada responden terdiri dari 3 (tiga) level.
Yaitu Level pertama adalah tujuan yaitu Penentuan Skala Prioritas Penanganan
Jalan Kabupaten di Kabupaten Bangli, Level kedua terdiri dari 5 faktor yaitu :
Faktor Kondisi Jalan, Faktor Volume Lalu –Lintas, Faktor Ekonomi, Faktor
Kebijakan dan terakhir Faktor Tata Guna Lahan. Level ketiga merupakan
pengembangan dari Level2 dan terdiri dari beberapa sub kriteria. Secara
keseluruhan hirarki penentuan skala prioritas dapat digambarkan sebagai berikut :
Selanjutnya penyusunan level hirarki yang terdiri dari 3 (tiga) level tersebut
diperlihatkan pada Gambar 5.1.
88
Gambar 5.1 Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten Sumber : Hasil Analisis, 2010
Level II (Kriteria) Level III (Subkriteria)
F. Kondisi Jalan (A)
F.Volume Lalu-lintas(B)
-Lubang-lubang (a1) -Legokan / Amblas (a2) -Retak-retak (a3) -Alur bekas roda (a4) -Bahu Jalan (a5) -Kemiringan jalan (a6)
-Truk Ringan (b1) -Truk Sedang dan Berat (b2) -Mobil roda 4 (b1) -Bis (b3) -Sepeda motor (b4)
F. Ekonomi (C)
F. Kebijakan (D)
-Manfaat/Kelayakan (c1) (NPV) -Estimasi Biaya Kegiatan (c2)
-Bidang Pertanian (e1) -Bidang Pendidikan (e2) -Bidang Sosial -Budaya (e3) -Bidang Perdagangan - Jasa (e4)
F. Tata Guna Lahan (E)
-Musrenbang Camat (d1) -Musrenbang Kabupaten (d2) -Musrenbang Provinsi (d3) -ABT (d4)
Penentuan Skala Prioritas
Penanganan Jalan Kabupaten
Level I (Tujuan)
89
5.1.2 Bobot Penilaian Kriteria
Bobot dari masing-masing kriteria yang terdapat seperti Gambar 5.1 diatas
dianalisis dengan metode Analitycal Hierarchy Process (AHP) dengan langkah –
langkah sebagai berikut:
1. Dilakukan perhitungan matrik awal.
2. Perhitungan Eigen Vektor.
3. Perhitungan Nilai Eigen Maksimum.
4. Kontrol terhadap Indek Consistensi.
5. Pembobotan Kriteria.
Langkah 1 Perhitungan matrik awal untuk level 2 (kriteria)
Diawali dengan menganalisis data pada Tabel 4.2 (Rekapitulasi jawaban
Responden terhadap ” Kriteria”). Pada Tabel 4.2 tersebut diatas dianalisis dengan
perhitungan kebalikan sesuai matrik perbandingan berpasangan.
Contoh :
Jawaban responden 2(R2) terhadap A-C adalah dengan skala 4 dimana C
faktor ekonomi lebih penting dari pada faktor kondisi jalan. Ini
dilakukan perbandingan terbalik ditinjau terhadap faktor yang
didepannya yaitu A, sehingga skalanya menjadi 1/4 atau 0,25. Akan
tetapi seperti Responden 16(R16) terhadap A-B adalah dengan skala 3,
dimana A lebih penting dari pada B. Hal ini tidak dilakukan
perbandingan terbalik karena ditinjau terhadap faktor yang didepannya
90
yaitu A sudah menunjukkan skala yang lebih penting sehingga skala
yang dipakai tetap 3.
Data selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 5.1 berikut ini :
Tabel 5.1 Skala Perbandingan Penilaian ” Kriteria” Kode Skala Penilaian Resp. A -B A -C A -D A –E B-C B-D B-E C-D C-E D-E
R1 0,333 2,000 2,000 0,333 0,500 2,000 0,500 2,000 2,000 2,000
R2 2,000 0,250 2,000 0,500 2,000 2,000 3,000 2,000 2,000 0,500
R3 2,000 0,250 3,000 0,200 0,500 0,500 2,000 0,333 0,500 0,500
R4 3,000 3,000 3,000 2,000 0,500 3,000 0,333 3,000 0,500 0,500
R5 2,000 3,000 3,000 0,333 0,333 5,000 0,500 2,000 2,000 1,000
R6 0,333 0,500 0,333 3,000 0,500 3,000 0,500 0,333 0,500 0,500
R7 0,500 0,500 0,333 0,500 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000 2,000
R8 0,200 0,500 0,500 3,000 0,500 0,500 0,500 0,500 1,000 2,000
R9 2,000 0,333 2,000 4,000 0,250 2,000 0,333 0,333 0,500 2,000
R10 0,333 0,500 3,000 5,000 0,333 0,333 0,500 2,000 0,500 3,000
R11 0,333 0,500 0,333 6,000 3,000 3,000 0,250 0,200 2,000 2,000
R12 0,167 0,250 0,250 0,500 0,500 4,000 0,250 3,000 1,000 0,500
R13 0,143 0,250 0,333 4,000 3,000 3,000 0,250 0,500 0,333 4,000
R14 0,200 0,333 0,500 2,000 2,000 2,000 0,333 3,000 0,500 2,000
R15 0,250 0,333 0,250 4,000 0,333 3,000 0,333 4,000 2,000 0,250
R16 3,000 0,500 0,250 0,500 0,500 4,000 0,500 2,000 0,500 0,500
R17 0,200 0,500 0,333 4,000 0,500 0,500 0,500 0,500 0,500 0,200
R18 2,000 0,500 0,500 3,000 2,000 2,000 0,500 0,500 0,500 0,500
R19 0,333 0,500 2,000 5,000 0,333 6,000 2,000 2,000 2,000 0,333
R20 0,250 0,500 0,500 0,500 0,250 4,000 0,500 2,000 0,250 0,333
R21 0,500 2,000 3,000 3,000 0,250 0,500 2,000 0,500 0,500 0,500
R22 0,333 2,000 2,000 3,000 0,500 0,500 2,000 3,000 0,250 0,500
R23 2,000 0,500 0,500 2,000 0,333 2,000 0,333 2,000 0,200 2,000
R24 2,000 0,250 0,500 2,000 0,250 2,000 2,000 0,500 0,200 0,200
R25 0,200 0,250 0,500 2,000 0,250 2,000 0,500 0,500 0,500 0,200
R26 0,250 2,000 2,000 0,500 0,500 2,000 2,000 0,500 0,500 0,333
∑ R 24,858 21,999 32,915 60,866 21,915 60,833 24,415 39,199 23,233 28,349
R/26 0,956 0,846 1,266 2,341 0,843 2,340 0,939 1,508 0,894 1,09 Sumber : Hasil Analisis, 2010
Keterangan :
∑ R = Jumlah komulatif skala perbandingan penilaian. R/26 = Rata-rata perbandingan penilaian dengan membagi R terhadap 26 Responden.
91
Selanjutnya nilai yang dipakai adalah pada rata-rata komulatif (R/26) tersebut.
Pada Matrik diagonal AA = BB=CC=DD=EE=1, karena melakukan perbandingan
dengan faktor diri sendiri. Kemudian besaran matrik masing-masing adalah :
Matrik A-B = 0,956 Matrik B-D = 2,340
Marik A-C = 0,846 Matrik B-E = 0,939
Matrik A-D = 1,266 Matrik C-D = 1,508
Matrik A-E = 2,341 Matrik C-E = 0,894
Matrik B-C = 0,843 Matrik D-E = 1,090
Sedangkan :
Matrik B-A merupakan kebalikan dari matrik A-B = 1/(A-B) = 1/0,956 = 1,046
Matrik C-A merupakan kebalikan dari matrik A-C = 1/(A-C) = 1/0,846 = 1,182
Matrik D-A merupakan kebalikan dari matrik A-D = 1/(A-D) = 1/1,266 = 0,790
Matrik E-A merupakan kebalikan dari matrik A-E = 1/(A-E) = 1/2,34 = 0,427
Matrik C-B merupakan kebalikan dari matrik B-C = 1/(B-C) =1/0,843 = 1,186
Matrik D-B merupakan kebalikan dari matrik B-D = 1/(B-D)=1/2,340 = 0,427
Matrik E-B merupakan kebalikan dari matrik B-E = 1/(B-E) =1/0,939 = 1,065
Matrik D-C merupakan kebalikan dari matrik C-D = 1/(C-D) =1/1,508 = 0,663
Matrik E-C merupakan kebalikan dari matrik C-E = 1/(C-E) =1/0,894 = 1,119
Matrik E-D merupakan kebalikan dari matrik D-E =1/(D-E) =1/1,09 = 0,917
92
Tabel 5.2 Matrik Awal Sub”Kriteria” A B C D E
A 1,000 0,956 0,846 1,266 2,341 B 1,046 1,000 0,843 2,340 0,939 C 1,182 1,186 1,000 1,508 0,894 D 0,790 0,427 0,663 1,000 1,090 E 0,427 1,065 1,119 0,917 1,000
∑ 4,445 4,635 4,471 7,030 6,264 Sumber : Hasil Analisis, 2010
Langkah 2. Perhitungan Nilai Eigen Vektor Jumlah baris A = Matrik AA x Matrik AB x Matrik AC x Matrik AD x Matrik AE
= 1,000 x 0,956 x 0,846 x 1,266 x 2,341 = 2,397
Jumlah baris B = Matrik BA x Matrik BB x Matrik BC x Matrik BD x Matrik BE
= 1,046 x1,000 x 0,843 x2,340 x 0,939 = 1,937
Menentukan Besaran wi :
wi = n√ Jumlah Baris ; n uk matrik =5 x 5 Sehingga :
wi baris A = 5√ 2,397 = 1,191
Maka : Eigen Vektor (Xi) = wi / Σ wi
= 1,191 / 4,976
= 0,239
93
Tabel 5.3 Nilai Eigen Vektor untuk Skala Penentuan Prioritas ”Kriteria” A B C D E Jumlah Wi E-Vektor
A 1,000 0,956 0,846 1,266 2,341 2,397 1,191 0,239 B 1,046 1,000 0,843 2,340 0,939 1,937 1,141 0,229 C 1,182 1,186 1,000 1,508 0,894 1,889 1,135 0,228 D 0,790 0,427 0,663 1,000 1,090 0,244 0,754 0,151 E 0,427 1,065 1,119 0,917 1,000 0,467 0,755 0,153
∑ 4,445 4,635 4,471 7,030 6,264 6,934 4,976 1,000 Sumber : Hasil Analisis, 2010
Langkah 3. Perhitungan Nilai Eigen Maksimum
Nilai Eigen Maksimum diperoleh dari Matrik Awal dikalikan dengan E-
Vektor masing-masing matrik dan kemudian hasil perkalian tersebut dijumlahkan.
Hal ini diperlihatkan pada Gambar 5.2 berikut ini:
A B C D E E-Vektor A 1,000 0,956 0,846 1,266 2,341 0,239 1,199 B 1,046 1,000 0,843 2,340 0,939 0,229 1,169 C 1,182 1,186 1,000 1,508 0,894 x 0,228 = 1,147 D 0,790 0,427 0,663 1,000 1,090 0,151 0,755 E 0,427 1,065 1,119 0,917 1,000 0,153 0,892
Jumlah = 5,162 Gambar 5.2 Matrik Nilai Eigen Maksimum ”Kriteria”
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Eigen Maksimum (λmaks ) = Σ aij.Xj
= 5,162
Langkah 4. Control terhadap Indek konsistensi (CI) Indek Consistensi (CI) = ( λ maks. – n) / (n-1), dimana n= ukuran matrik
5x5
= ( 5,160 – 5) / (5-1)
= 0,0401
94
Ratio Consistensi (CR) = CI/RI, untuk n=5 maka RI = 1,12
= 0,0401/ 1,12
= 0,0358 < 0,1 konsisten !
Nilai Ratio Consistensi (CR) lebih kecil dari 0,1 sama artinya lebih kecil dari
10%, maka nilai tersebut sudah sesuai dengan syarat konsistensi yaitu harus lebih
kecil dari 0,1 atau 10%.
Langkah 5. Pembobotan Kriteria
Bobot elemen diperoleh dari nilai E-Vektor yang dinyatakan dalam
Prosentase seperti diperlihatkan pada Tabel 4.12 berikut ini:
Tabel 5.4 Bobot Kriteria” Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten”. Kriteria Bobot
Faktor Kondisi Jalan 0,239 Faktor Volume Lalu Lintas 0,229 Faktor Ekonomi 0,228 Faktor Kebijakan 0,151 Faktor Tata Guna Lahan 0,153
Jumlah 1,000 Sumber : Hasil Analisis, 2010
Dari Tabel 5.4 tersebut diatas, dapat dilihat bahwa penilaian Responden
terhadap beberapa kriteria menunjukkan bahwa kriteria faktor kondisi jalan
memiliki pengaruh tingkat kepentingan yaitu dengan bobot 0,239 (23,9%)
kemudian disusul dengan faktor volume lalu lintas dengan bobot 0,229 (22,9%),
faktor ekonomi dengan bobot 0,228 (22,8%), faktor tata guna lahan 0,153
(15,3%) dan terakhir faktor kebijakan dengan bobot 0,151 (15,1%).
95
5.1.3 Perhitungan Bobot Subkriteria
Selanjutnya perhitungan untuk level 3 (sub kriteria) dilakukan tahapan
yang sama dengan perhitungan kriteria diatas, mulai tahapan matrik awal sampai
pembobotan.
5.1.3.1 Perhitungan Bobot Subkriteria Pada Faktor Kondisi Jalan
Diawali dengan perhitungan analisis rekap jawaban responden terhadap
Sub.kriteria: Faktor Kondisi Jalan”, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 4.3
diperoleh hasil perbandingan penilaian sub kriteria kondisi jalan (hal 58)
diperlihatkan pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Skala Perbandingan Penilaian Sub.Kriteria ” Kondisi Jalan”. Koderesp. A –B A –C A –D A –E A -F B-C B-D B-E
R1 0,333 5,000 2,000 4,000 4,000 3,000 2,000 3,000 R2 0,333 3,000 2,000 3,000 3,000 0,500 2,000 2,000 R3 0,500 5,000 3,000 3,000 4,000 0,333 2,000 2,000 R4 0,500 0,500 4,000 5,000 5,000 0,333 3,000 0,333 R5 2,000 0,500 0,333 5,000 2,000 5,000 3,000 0,333 R6 0,250 5,000 4,000 4,000 0,250 0,333 4,000 6,000 R7 0,250 5,000 3,000 5,000 0,250 0,333 3,000 4,000 R8 2,000 2,000 2,000 3,000 2,000 2,000 2,000 7,000 R9 2,000 3,000 4,000 5,000 2,000 3,000 2,000 3,000
R10 0,500 0,500 2,000 3,000 6,000 4,000 5,000 0,500 R11 0,500 2,000 2,000 3,000 4,000 3,000 2,000 2,000 R12 3,000 0,500 3,000 3,000 3,000 2,000 3,000 0,500 R13 0,500 0,500 3,000 2,000 0,500 0,500 3,000 3,000 R14 0,500 3,000 0,500 3,000 0,500 0,333 0,333 2,000 R15 0,250 0,250 0,333 4,000 0,500 0,333 0,250 2,000 R16 0,250 2,000 0,333 2,000 0,500 0,500 0,333 2,000 R17 2,000 3,000 0,500 2,000 0,333 3,000 0,333 2,000 R18 2,000 5,000 5,000 4,000 5,000 0,500 2,000 2,000 R19 0,333 2,000 0,333 5,000 2,000 3,000 2,000 5,000 R20 0,333 0,500 2,000 2,000 2,000 0,500 4,000 2,000 R21 0,333 0,333 2,000 5,000 5,000 0,500 0,333 4,000
96
Tabel 5.5 Lanjutan... Skala Perbandingan Penilaian Sub.Kriteria ” Kondisi Jalan”. Koderesp. A –B A –C A –D A –E A -F B-C B-D B-E
R22 2,000 0,333 2,000 0,500 3,000 0,167 0,200 4,000 R23 2,000 0,333 3,000 0,500 4,000 0,200 0,200 3,000 R24 0,500 2,000 4,000 0,250 0,500 0,200 0,333 3,000 R25 5,000 3,000 3,000 0,250 0,500 0,200 0,500 5,000 R26 5,000 2,000 2,000 0,250 0,500 0,500 0,500 3,000 ∑ R 33,165 56,249 59,333 76,750 60,333 34,267 47,316 72,667 R/26 1,276 2,163 2,282 2,952 2,321 1,318 1,820 2,795
Tabel 5.5 Lanjutan ...Skala Perbandingan Penilaian Sub.Kriteria
” Kondisi Jalan”. Kode resp. B-F C-D C-E C-F D-E D-F E-F
R1 5,000 2,000 2,000 2,000 2,000 0,333 2,000 R2 6,000 4,000 2,000 2,000 0,250 0,333 0,250 R3 4,000 5,000 0,500 2,000 0,250 0,333 0,333 R4 4,000 4,000 3,000 0,500 0,333 0,200 0,500 R5 2,000 3,000 3,000 0,500 0,500 0,250 2,000 R6 4,000 3,000 3,000 2,000 0,250 0,333 2,000 R7 2,000 3,000 2,000 3,000 2,000 0,500 0,333 R8 4,000 2,000 2,000 2,000 0,333 0,500 0,500 R9 4,000 0,500 0,500 0,500 0,500 2,000 0,333 R10 3,000 7,000 0,500 0,500 0,500 0,333 2,000 R11 5,000 4,000 2,000 2,000 2,000 0,333 0,500 R12 0,500 2,000 2,000 2,000 2,000 0,333 0,500 R13 2,000 3,000 2,000 0,333 0,333 0,333 0,500 R14 4,000 6,000 3,000 0,333 0,333 2,000 0,333 R15 5,000 2,000 3,000 0,500 0,500 2,000 0,500 R16 5,000 2,000 2,000 0,500 0,500 0,333 0,500 R17 3,000 2,000 0,500 0,333 2,000 0,500 0,500 R18 5,000 2,000 0,500 0,500 2,000 3,000 0,500 R19 2,000 3,000 2,000 2,000 3,000 3,000 2,000 R20 2,000 0,500 2,000 2,000 2,000 0,333 0,500 R21 0,500 0,500 2,000 0,500 0,500 0,500 0,333 R22 2,000 2,000 0,500 0,250 2,000 0,333 0,333 R23 3,000 2,000 0,500 0,250 0,333 0,333 0,250 R24 4,000 3,000 0,500 0,250 2,000 5,000 0,250 R25 0,250 3,000 0,500 0,333 2,000 4,000 0,250 R26 0,250 2,000 0,500 2,000 2,000 4,000 0,500 ∑ R 81,500 72,500 42,000 29,083 30,416 31,449 18,499 R/26 3,135 2,788 1,615 1,119 1,170 1,210 0,712
Sumber : Hasil Analisis, 2010
97
Selanjutnya besaran matrik awal diperlihatkan pada Tabel 5.6 berikut ini :
Tabel 5.6 Matrik Awal Sub.Kriteria ”Kondisi Jalan”. a1 a2 a3 a4 a5 a6
a1 1,000 1,276 2,163 2,282 2,952 2,321 a2 0,784 1,000 1,318 1,820 2,795 3,135 a3 0,462 0,759 1,000 2,788 1,615 1,119 a4 0,438 0,759 0,359 1,000 1,170 1,210 a5 0,339 0,358 0,619 0,855 1,000 0,712 a6 0,431 0,319 0,894 0,827 1,405 1,000 ∑ 3,454 4,470 6,353 9,572 10,937 9,495
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Perhitungan Nilai Eigen Vektor untuk sub.kriteria kondisi jalan diperlihatkan pada Tabel 5.7 berikut ini:
Tabal 5.7 Nilai Eigen Vektor sub.kriteria ”Kondisi Jalan”.
a1 a2 a3 a4 a5 a6 Jumlah Wi E-
Vektor a1 1,000 1,276 2,163 2,769 3,346 2,321 59,332 1,979 0,279 a2 0,784 1,000 1,318 1,820 2,795 3,135 21,013 1,661 0,234 a3 0,462 0,759 1,000 2,788 1,615 1,119 3,823 1,25 0,177 a4 0,438 0,759 0,359 1,000 1,170 1,210 0,385 0,853 0,120 a5 0,299 0,358 0,619 0,855 1,000 0,712 0,135 0,516 0,073 a6 0,431 0,319 0,894 0,827 1,405 1,000 0,331 0,831 0,117 ∑ 3,414 4,470 6,353 10,059 11,332 9,495 85,018 7,090 1,000
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Nilai Eigen Maksimum sub kriteria kondisi jalan diperlihatkan pada Gambar 5.3.
a1 a2 a3 a4 a5 a6 E-
Vektor a1 1,000 1,276 2,163 2,769 3,346 2,321 0,279 1,808 a2 0,784 1,000 1,318 1,820 2,795 3,135 0,234 1,475 a3 0,462 0,759 1,000 2,788 1,615 1,119 0,177 1,067 a4 0,438 0,759 0,359 1,000 1,170 1,210 x 0,120 0,711 a5 0,299 0,358 0,619 0,855 1,000 0,712 0,073 0,535 a6 0,431 0,319 0,894 0,827 1,405 1,000 0,117 0,672 = 6,268
Gambar 5.3 Eigen Maximum Sub Kriteria”Kondisi Jalan”. Sumber : Hasil Analisis, 2010
98
Indek Consistensi (CI) = ( λ maks. – n) / (n-1), dimana n= ukuran matrik 6x6
= (6,268 – 6) / (6-1)
= 0,054
Ratio Consistensi (CR) = CI/RI, untuk n=6 maka RI = 1,24
= 0,054/1,24
= 0,043< 0,1 konsisten !
Setelah diuji konsistensinya ternyata lebih kecil dari 10%, maka bobot sub kriteria
kondisi jalan berdasarkan nilai E-Vektor sebagaimana diperlihatkan pada Tabel
5.8 berikut ini:
Tabel 5.8 Bobot Kriteria Sub Kriteria ” Kondisi Jalan”.
Kriteria Bobot Lubang – lubang 0,279 Legokan/amblas 0,234 Retak-retak 0,177 Alur Bekas Roda 0,120 Bahu Jalan 0,073 Kemiringan Jalan 0,117
Jumlah 1,000 Sumber : Hasil Analisis, 2010
Dari Tabel 5.8 tersebut diatas dapat dilihat bahwa penilaian responden terhadap
beberapa sub kriteria menujukan bahwa lubang-lubang memiliki pengaruh yang
paling penting yaitu dengan bobot 0,279 (27,9%), kemudian disusul dengan
legokan/amblas 0,234 (23,4%), retak-retak 0,177 (17,7%), alur bekas roda 0,12
(12,0%), Kemiringan Jalan 0,117 (11,7%) dan terakhir bahu jalan 0,073 (7,3%).
99
5.1.3.2 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Faktor Volume Lalu lintas
Dari hasil rekap jawaban responden terhadap sub kriteria volume lalu
lintas dengan Perhitungan kebalikan sesuai matrik perbandingan berpasangan
didapat hasil skala perbandingan penilaian subkriteria volume lalu lintas seperti
diperlihatkan pada Tabel 5.9.
Tabel 5.9 Skala Perbandingan Penilaian Sub.Kriteria ” Volume Lalu Lintas. Kode resp. A -B A -C A –D A –E B-C B-D B-E C-D C-E D-E R1 0,500 2,000 3,000 2,000 0,500 2,000 0,500 2,000 2,000 0,500 R2 0,500 0,500 2,000 2,000 0,333 3,000 0,333 2,000 2,000 0,500 R3 0,333 0,500 2,000 4,000 0,333 3,000 0,333 2,000 2,000 0,500 R4 0,333 0,500 0,333 3,000 0,500 2,000 0,333 3,000 2,000 0,500 R5 0,500 0,500 0,500 4,000 0,500 3,000 0,333 2,000 2,000 0,200 R6 0,500 0,500 0,333 2,000 0,333 2,000 0,333 2,000 3,000 0,500 R7 0,500 0,500 0,333 2,000 0,333 3,000 0,333 0,333 2,000 0,333 R8 2,000 0,500 0,500 0,500 0,500 4,000 0,500 0,333 4,000 0,500 R9 0,333 2,000 2,000 4,000 0,500 0,333 5,000 4,000 0,500 0,500
R10 3,000 0,500 3,000 4,000 0,500 2,000 0,500 4,000 2,000 2,000 R11 2,000 0,500 0,200 0,500 2,000 2,000 0,500 3,000 2,000 3,000 R12 0,500 0,250 0,250 0,500 2,000 3,000 0,500 2,000 0,500 3,000 R13 0,500 0,250 2,000 3,000 2,000 2,000 2,000 4,000 2,000 0,333 R14 0,333 0,333 2,000 4,000 2,000 2,000 0,333 0,500 0,500 0,500 R15 0,333 0,333 0,500 3,000 0,500 2,000 1,000 2,000 0,500 0,500 R16 2,000 0,500 2,000 2,000 0,500 0,500 2,000 2,000 2,000 2,000 R17 0,500 0,500 0,500 4,000 0,333 2,000 2,000 2,000 0,500 2,000 R18 0,500 0,500 0,333 3,000 2,000 2,000 2,000 2,000 0,333 0,500 R19 2,000 0,500 2,000 5,000 2,000 0,500 0,500 2,000 0,333 2,000 R20 0,500 0,500 0,500 4,000 0,500 5,000 0,500 0,500 2,000 0,333 R21 0,500 2,000 2,000 2,000 0,500 4,000 0,333 0,500 2,000 2,000 R22 2,000 0,500 2,000 0,500 0,500 2,000 0,333 2,000 0,500 2,000 R23 0,500 0,500 0,500 0,500 0,500 2,000 0,333 2,000 0,500 2,000 R24 2,000 2,000 0,500 0,500 0,500 2,000 0,500 0,333 0,500 2,000 R25 0,500 2,000 2,000 0,500 0,500 2,000 0,500 0,333 0,500 2,000 R26 2,000 2,000 0,500 0,500 0,500 2,000 2,000 0,333 0,500 2,000 ∑ R 25,165 21,166 31,782 61,000 21,165 59,333 23,830 47,165 36,666 32,199 R/26 0,968 0,814 1,222 2,346 0,814 2,282 0,917 1,814 1,410 1,238
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Selanjutnya nilai yang dipakai adalah rata-rata komulatif (R/26) tersebut. Pada
Matrik diagonal AA = BB = CC = DD = EE = 1, karena melakukan perbandingan
100
dengan faktor diri sendiri. Kemudian besaran matrik awal diperlihatkan pada
Tabel 5.10.
Tabel 5.10 Matrik Awal Sub.Kriteria ” Volume Lalu Lintas”. A B C D E
A 1,000 0,968 0,814 1,222 2,346 B 1,033 1,000 0,814 2,282 0,917 C 1,228 1,228 1,000 1,814 1,410 D 0,818 0,438 0,551 1,000 1,238 E 0,426 1,091 0,709 0,807 1,000 ∑ 4,506 4,726 3,888 7,126 6,911
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Perhitungan Nilai Eigen vektor untuk sub kriteria volume lalu lintas diperlihatkan
pada Tabel 5.11 berikut ini:
Tabel 5.11 Eigen Vektor Sub.Kriteria ” Volume Lalu Lintas”.
A B C D E Jumlah Wi E-
Vektor A 1,000 0,968 0,814 1,222 2,346 2,260 1,177 0,229 B 1,033 1,000 0,814 2,282 0,917 1,759 1,12 0,218 C 1,228 1,228 1,000 1,814 1,410 3,860 1,31 0,255 D 0,818 0,438 0,551 1,000 1,238 0,245 0,755 0,147 E 0,426 1,091 0,709 0,807 1,000 0,266 0,767 0,151 ∑ 4,506 4,726 3,888 7,126 6,911 8,390 5,129 1,000
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Nilai Eigen Maksimum = Matrik Awal x E-Vektor, sebagaimana diperlihatkan
pada Gambar 5.4 berikut ini :
A B C D E E-Vektor A 1,000 0,968 0,814 1,222 2,346 0,229 1,180 B 1,033 1,000 0,814 2,282 0,917 0,218 1,136 C 1,228 1,228 1,000 1,814 1,410 x 0,255 = 1,283 D 0,818 0,438 0,438 1,000 1,238 0,147 0,728 E 0,426 1,091 0,709 0,807 1,000 0,151 0,786 = 5,113 Gambar 5.4 Eigen Maximum Sub Kriteria”Volume Lalu Lintas”.
Sumber : Hasil Analisis, 2010
101
Indek Consistensi (CI) = ( λ maks. – n) / (n-1), dimana n= ukuran matrik 5 x 5
= ( 5,113 – 5 ) / ( 5-1)
= 0,028
Ratio Consistensi (CR) = CI/RI, untuk n=5 maka RI = 1,12
= 0,028/ 1,12
= 0,025 < 0,1 konsisten !
Setelah diuji konsistensinya ternyata lebih kecil dari 10%, maka bobot sub.kriteria
volume lalu lintas berdasarkan nilai E-Vektor diperlihatkan pada Tabel 5.12.
Tabel 5.12 Bobot Sub Kriteria ” Volume Lalu Lintas”
Kriteria Bobot Truk ringan 0,229 Truk sedang/berat 0,218 Mobil roda 4 0,255 Bis 0,147 Sepeda Motor 0,151
Jumlah 1,000 Sumber : Hasil Analisis, 2010
Dari Tabel 5.12 diatas dapat dilihat bahwa penilaian Responden terhadap
beberapa subkriteria menujukan bahwa Mobil roda 4 memiliki pengaruh yang
paling penting yaitu dengan bobot 0,255 (25,5%), kemudian disusul dengan Truk
ringan 0,229 (22,9%),Truk sedang dan berat 0,218 (21,8%), selanjutnya Sepeda
motor 0,151 (15,1%), dan terakhir Bis 0,147 (14,7%).
102
5.1.3.3 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Faktor Ekonomi
Sub kriteria faktor ekonomi terdiri dari 2 bagian yaitu : manfaat/kelayakan
(NPV) dan estimasi biaya kegiatan. Diawali dengan perhitungan Tabel 4.5 Rekap
5 Responden terhadap sub kriteria” Ekonomi” (hal.61), selanjutnya dianalisis
dengan perhitungn kebalikan sesuai matrik perbandingan berpasangan dan hasil
skala perbandingan penilaian terhadap sub kriteria ekonomi diperlihatkan pada
Tabel 5.13.
Tabel 5.13 Skala Perbandingan Penilaian Sub. Kriteria ”Ekonomi”. Kode resp. A - B
Kode resp. A - B
R1 0,143 R15 3,000 R2 5,000 R16 3,000 R3 5,000 R17 0,250 R4 5,000 R18 0,333 R5 6,000 R19 4,000 R6 4,000 R20 0,333 R7 0,143 R21 0,333 R8 0,143 R22 3,000 R9 0,200 R23 3,000
R10 0,333 R24 0,333 R11 4,000 R25 0,333 R12 4,000 R26 0,333 R13 4,000 ∑R 59,212 R14 3,000 R/26 2,277
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Keterangan : R = Jumlah Komulatif skala perbandingan R/26 = Jumlah rata-rata komulatif skala perbandingan dengan
membagi R terhadap 26 responden.
Selanjutnya nilai yang dipakai adalah rata-rata komulatif (R/26) tersebut. Pada
matrik diagonal AA = 1, karena melakukan perbandingan dengan faktor diri
sendiri. Kemudian besaran matrik awal diperlihatkan pada Tabel 5.14 berikut ini :
103
Tabel. 5.14 Matrik Awal Sub.Kriteria ”Ekonomi”. A B
A 1,000 2,277 B 0,439 1,000 ∑ 1,439 3,277
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Perhitungan Nilai Eigen vektor untuk sub kriteria ekonomi diperlihatkan pada
Tabel 5.15.
Tabal 5.15 Nilai Eigen Vektor Sub Kriteria ”Kondisi Jalan”. A B Jumlah Wi E-Vektor
A 1,000 2,277 2,277 1,509 0,695 B 0,439 1,000 0,439 0,663 0,305 ∑ 1,439 3,277 2,716 2,172 1,000
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Nilai Eigen Maksimum – Matrik Awal x E-Vektor, sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar 5.5 berikut ini :
A B E-Vektor A 1,000 2,277 x 0,695 = 1,390 B 0,439 1,000 0,305 0,610 = 2,000
Gambar 5.5 Eigen Maximum sub.kriteria”Ekonomi”. Sumber : Hasil Analisis, 2010
Indek Consistensi (CI) = ( λ maks. – n) / (n-1), dimana n= ukuran matrik
2x2
= (2,000 – 2) / ( 2-1)
= 0.
Ratio Consistensi (CR) = CI/RI, untuk n=2 maka RI = 0
= 0 / 0
= 0 < 0,1 konsisten !
104
Setelah diuji konsistensinya ternyata lebih kecil dari 10%, maka bobot sub kriteria
berdasarkan nilai E-Vektor sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5.16.
Tabel 5.16 Bobot Sub Kriteria ” Ekonomi”
Kriteria Bobot
Manfaat/Kelayakan (NPV) 0,695 Estimasi Biaya Kegiatan 0,305
Jumlah 1,000
Sumber : Hasil Analisis, 2010
5.1.3.4 Perhitungan Bobot Sub Kriteria Faktor Kebijakan
Sub kriteria pada faktor kebijakan terdiri dari 4 bagian yaitu : Musrenbang
Kecamatan, Musrenbang Kabupaten, Musrenbang Provinsi dan Anggaran Biaya
Tambahan (ABT). Diawali dengan perhitungan Tabel 4.6 Rekap jawaban
responden terhadap sub kriteria” Faktor Kebijakan” (hal.76), selanjutnya
dianalisis dengan perhitungan kebalikan sesuai matrik perbandingan berpasangan
dan hasil skala perbandingan penilaian terhadap sub kriteria faktor kebijakan
diperlihatkan pada Tabel 5.17.
105
Tabel 5.17 Skala Perbandingan Penilaian Sub.Kriteria ” Kebijakan”. Kode resp. A -B A -C A -D B -C B-D C-D R1 2,000 2,000 0,250 3,000 0,500 0,250 R2 2,000 2,000 0,250 3,000 0,500 0,250 R3 4,000 2,000 0,333 0,333 0,500 0,250 R4 2,000 2,000 0,333 0,333 0,500 0,250 R5 2,000 2,000 0,333 0,333 2,000 0,333 R6 2,000 3,000 0,250 0,250 0,500 0,250 R7 0,250 2,000 0,333 0,200 0,500 0,500 R8 0,500 2,000 0,333 0,200 2,000 0,250 R9 0,500 0,250 0,200 3,000 0,333 0,333
R10 0,250 0,333 0,333 3,000 0,250 0,333 R11 0,250 3,000 3,000 0,333 2,000 2,000 R12 0,333 0,200 3,000 0,200 2,000 2,000 R13 0,500 3,000 3,000 0,250 0,333 0,143 R14 0,500 2,000 3,000 0,333 3,000 0,200 R15 2,000 3,000 3,000 2,000 0,500 0,250 R16 3,000 3,000 3,000 2,000 0,500 0,250 R17 0,333 0,333 0,333 0,333 3,000 0,333 R18 0,333 0,333 0,333 0,333 3,000 0,333 R19 3,000 2,000 5,000 3,000 3,000 0,500 R20 3,000 2,000 2,000 3,000 0,333 0,500 R21 4,000 0,500 2,000 3,000 0,500 2,000 R22 4,000 0,500 0,333 0,250 0,500 0,143 R23 3,000 0,500 0,333 0,333 0,500 0,200 R24 3,000 4,000 2,000 2,000 0,333 2,000 R25 5,000 5,000 5,000 3,000 0,333 5,000 R26 3,000 4,000 2,000 3,000 0,333 2,000 ∑ R 50,750 50,950 40,283 37,017 27,749 20,852 R/26 1,952 1,960 1,549 1,424 1,067 0,802
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Adapun besaran matrik awal subkriteria Kebijakan diperlihatkan pada Tabel 5.18.
Tabel 5.18 Matrik Awal Sub.Kriteria ”Kebijakan”. A B C D
A 1,000 1,952 1,960 1,549 B 0,512 1,000 1,424 1,067 C 0,510 0,702 1,000 0,802 D 0,645 0,937 1,247 1,000 ∑ 2,668 4,591 5,630 4,419
Sumber : Hasil Analisis, 2010
106
Selanjutnya perhitungan nilai Eigen Vektor untuk sub kriteria ” Kebijakan”
diperlihatkan pada Tabel 5.19 berikut ini:
Tabal 5.19 Nilai Eigen Vektor Sub Kriteria ”Kondisi Jalan”.
A B C D Jumlah Wi E-Vektor A 1,000 1,952 1,960 1,549 5,926 1,56 0,375 B 0,512 1,000 1,424 1,067 0,778 0,939 0,226 C 0,510 0,702 1,000 0,802 0,287 0,732 0,175 D 0,645 0,937 1,247 1,000 0,754 0,931 0,224 ∑ 2,668 4,591 5,630 4,419 7,746 4,162 1,000
Sumber : Hasil Analisis, 2010 Nilai Eigen Maksimum = Matrik Awal x E-Vektor, sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar 5.6 berikut ini :
A B C D E-Vektor
A 1,000 1,952 1,960 1,549 0,375 1,506 B 0,512 1,000 1,424 1,067 x 0,226 = 0,907 C 0,510 0,702 1,000 0,802 0,175 0,706 D 0,645 0,937 1,247 1,000 0,224 0,896 = 4,015
Gambar 5.6 Eigen Maximum Sub Kriteria”Kebijakan”.
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Indek Consistensi (CI) = ( λ maks. – n) / (n-1), dimana n= ukuran matrik
4x4
= (4,015 – 4) / ( 4-1)
= 0,005
Ratio Consistensi (CR) = CI/RI, untuk n=4 maka RI = 0,9
= 0,005/0,9
= 0,005 < 0,1 konsisten !
107
Setelah diuji konsistensinya ternyata lebih kecil dari 10%, maka bobot sub
kriteria kebijakan berdasarkan nilai E-Vektor sebagaimana diperlihatkan
pada Tabel 5.20 berikut ini:
Tabel 5.20 Bobot Sub Kriteria ”Kebijakan”. Kriteria Bobot
Musrenbang Kecamatan 0,375 Musrenbang Kabupaten 0,226 Musrenbang Provinsi 0,175 Anggaran Biaya Tambahan (ABT) 0,224
Jumlah 1,000 Sumber : Hasil Analisis, 2010
Dari Tabel 5.20 diatas dapat dilihat bahwa penilaian responden terhadap beberapa
sub kriteria faktor kebijakan menujukan bahwa Murenbang Kecamatan memiliki
pengaruh yang paling penting yaitu dengan bobot 0,375 (37,5%), kemudian
disusul dengan Musrenbang Kabupaten 0,226 (22,6%), selanjutnya Anggaran
Biaya Tambahan (ABT) 0,224 (22,4%) dan terakhir Musrenbang Provinsi 0,175
(17,5%).
5.1.3.5 Perhitungan bobot Subkriteria pada Faktor Tata Guna Lahan
Sub kriteria pada faktor tata guna lahan terdiri dari 4 bagian yaitu : Bidang
Pertanian, Bidang Pendidikan, Bidang Sosial-Budaya dan Bidang Perdagangan-
Jasa. Diawali dengan perhitungan Tabel 4.7 Rekap jawaban Responden terhadap
sub kriteria ”Faktor Kebijakan” (hal 63), selanjutnya dianalisis dengan
perhitungan kebalikan sesuai matrik perbandingan berpasangan dan hasil skala
perbandingan penilaian terhadap sub kriteria faktor tata guna lahan diperlihatkan
pada Tabel 5.21.
108
Tabel 5.21 Skala Perbandingan Penilaian Sub.Kriteria ” Tata Guna Lahan”. Kode resp. A -B A –C A –D B -C B-D C-D
R1 2,000 0,500 3,000 2,000 0,500 0,500 R2 2,000 0,500 5,000 2,000 0,250 0,250 R3 2,000 2,000 0,333 2,000 0,500 0,250 R4 0,250 2,000 0,333 3,000 0,500 0,250 R5 0,500 2,000 3,000 2,000 0,250 0,500 R6 0,500 5,000 0,333 0,500 2,000 0,333 R7 0,250 3,000 0,333 2,000 0,500 0,250 R8 0,250 2,000 3,000 0,500 0,333 0,333 R9 0,333 0,500 3,000 0,500 0,333 0,333 R10 0,500 0,500 0,333 3,000 0,500 0,333 R11 0,500 0,333 0,333 0,500 0,500 0,500 R12 2,000 0,500 0,333 0,500 3,000 0,500 R13 0,200 2,000 0,250 2,000 0,333 0,333 R14 2,000 3,000 4,000 2,000 0,500 0,333 R15 3,000 2,000 2,000 5,000 2,000 0,333 R16 2,000 4,000 2,000 2,000 2,000 0,500 R17 2,000 3,000 2,000 0,500 2,000 0,500 R18 0,333 0,333 0,333 0,500 2,000 0,500 R19 0,333 0,333 0,333 0,500 3,000 0,500 R20 3,000 0,500 0,333 2,000 3,000 2,000 R21 3,000 0,500 2,000 0,333 0,500 3,000 R22 3,000 3,000 2,000 3,000 3,000 0,333 R23 3,000 2,000 0,333 0,333 0,333 3,000 R24 5,000 2,000 0,333 0,333 0,500 0,250 R25 2,000 2,000 0,333 0,333 0,500 0,500 R26 3,000 2,000 0,333 3,000 0,500 0,500 ∑ 42,950 45,499 35,917 40,333 29,333 16,916
R/26 1,652 1,750 1,381 1,551 1,128 0,651 Sumber : Hasil Analisis, 2010
Berdasarkan nilai rata-rata komulatif (R/26) tersebut dapat dihitung besaran
matrik awal sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5.22.
Tabel 5.22 Matrik Awal Sub.Kriteria ”Tata Guna Lahan”. A B C D
A 1,000 1,652 1,750 1,381 B 0,605 1,000 1,551 1,128 C 0,571 0,645 1,000 0,651 D 0,724 0,886 1,537 1,000 ∑ 2,901 4,183 5,838 4,160
Sumber : Hasil Analisis, 2010
109
Perhitungan Nilai E-Vektor untuk sub kriteria tata guna lahan diperlihatkan pada
Tabel 5.23 berikut ini:
Tabal 5.23 Nilai Eigen Vektor Sub Kriteria ”Tata Guna Lahan”. A B C D Jumlah Wi E-Vektor
A 1,000 1,652 1,750 1,381 3,993 1,413 0,343 B 0,605 1,000 1,551 1,128 1,059 1,014 0,246 C 0,571 0,645 1,000 0,651 0,240 0,699 0,170 D 0,724 0,886 1,537 1,000 0,986 0,996 0,241 ∑ 2,901 4,183 5,838 4,160 6,279 4,122 1,000
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Nilai Eigen Maksimum – Matrik Awal x E-Vektor, sebagaimana diperlihatkan
pada Gambar 5.7 berikut ini :
A B C D E-Vektor
A 1,000 1,652 1,750 1,381 0,343 1,380 B 0,605 1,000 1,551 1,128 X 0,246 = 0,989 C 0,571 0,645 1,000 0,651 0,170 0,681 D 0,724 0,886 1,537 1,000 0,241 0,968 = 4,018
Gambar 5.7 Eigen Maximum Sub Kriteria”Tata Guna Lahan”.
Sumber : Hasil Analisis
Indek Consistensi (CI) = ( λ maks. – n) / (n-1), dimana n= ukuran matrik 4x4 = ( 4,018 – 4) / ( 4-1) = 0,006
Ratio Consistensi (CR) = CI/RI, untuk n=4 maka RI = 0,9 = 0,006/0,9 = 0,0067 < 0,1 konsisten !
110
Setelah diuji konsistensinya ternyata lebih kecil dari 10%, maka bobot subkriteria
berdasarkan nilai E-Vektor sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5.24.
Tabel. 5.24 Bobot Sub Kriteria ”Tata Guna Lahan”. Kriteria Bobot
Bidang Pertanian 0,343 Bidang Pendidikan 0,246 Bidang Sosial - Budaya 0,170 Bidang Perdagangan - Jasa 0,241
Jumlah 1,000 Sumber : Hasil Analisis
Dari Tabel 5.24 tersebut diatas dapat dilihat bahwa penilaian responden terhadap
beberapa sub kriteria menujukan bahwa Bidang Pertanian memiliki pengaruh
yang paling penting yaitu dengan bobot 0,343 (34,3%), kemudian disusul dengan
Bidang Pendidikan 0,246 (24,6%), selanjutnya Bidang Perdagangan - jasa 0,241
(24,1%) dan terakhir Bidang Sosial -Budaya 0,170 (17%).
Selanjutnya perolehan bobot dengan metode AHP sebagaimana diuraikan
pada sub. bab tersebut diatas, diaplikasikan pada pelaksanaan penentuan skala
prioritas penangan jalan kabupaten dengan menggunakan data kondisi jalan,
volume lalu lintas, manfaat/kelayakan (NPV), biaya kegiatan, kebijakan dan tata
guna lahan.
Besaran bobot kriteria pada Tabel 5.4 dan subkriteria pada Tabel 5.8, Tabel
5.12, Tabel 5.16, Tabel 5.20 dan Tabel 5.24 selanjutnya dapat dirangkum pada
Gambar5.8.
111
.
Gambar 5.8 Bobot Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Level II (Kriteria) Level III (Subkriteria)
F. Kondisi Jalan (A) ( 0,239 )
F.Volume Lalu-lintas(B) (0,229)
-Lubang-lubang a1 (0,279) -Legokan / Amblas a2 (0,234) -Retak-retaka a3 (0,177) -Alur bekas roda a4 (0,120) -Bahu Jalan a5 (0,073) -Kemiringan jalan a6 (0,117)
-Truk Ringan b1 (0,229) -Truk Sedang dan Berat b2 (0,218) --Mobil roda 4 b3 (0,255) -Bis b4 (0,147) -Sepeda motor b5 (0,151)
F. Ekonomi (C) ( 0,228 )
F. Kebijakan (D) ( 0,151)
--Manfaat/Kelayakan c1 (0,695) (NPV) -Estimasi Biaya Kegiatan c2 (0,305)
-Bidang Pertanian e1 (0,343) -Bidang Pndidikan e2 (0,246) -Bidang Sosial-Budaya e3 (0,170) -Bidang Perdagangan-Jasa e4 (0,241)
F. Tata Guna Lahan (E) (0,153)
-Musrenbang Camat d1 (0,375) -Musrenbang Kabupaten d2 (0,226) -Musrenbang Provinsi d3 (0,175) -ABT d4 (0,224)
Penentuan Skala Prioritas
Penanganan Jalan Kabupaten
Level I (Tujuan)
112
5.2 Penerapan Bobot Kriteria untuk Penanganan Jalan
Perolehan bobot dengan metode AHP, diaplikasikan pada pelaksanaan
penentuan skala prioritas dengan menggunakan data-data seperti dijelaskan pada
sub.bab berikut ini.
5.2.1 Data Kondisi Jalan
Kondisi jalan di Kabupaten Bangli dikelompokkan menjadi 4
katagori penilaian yaitu : Nilai(1) kondisi baik, Nilai (2) kondisi sedang,
Nilai (3) kondisi rusak dan Nilai (4) kondisi rusak berat. Tingkat
kerusakan ditentukan pada prosentase luas kerusakan yang terjadi
terhadap luas seluruh perkerasan persatuan jarak (misalnya 100m).
Type dan tingkat kerusakan jalan di tentukan sebagai berikut :
Baik Sedang Rusak Rusak berat
1. Lubang-lubang : 0 - 1 1 – 5 5 - 15 > 15
2. Legokan/amblas : 0 - 5 5 – 10 10 - 50 > 50
3. Retak-retak : 0 - 3 3 – 12 12 - 25 > 25
4. Alur bekas roda : 0 - 3 3 – 5 5 - 25 > 25
Untuk katagori K (kemiringan melintang jalan) dilakukan penilaian
sebagai berikut :
1. Baik : 4-2 %
2. Sedang : 2-0% (hampir datar)
3. Rusak : Tidak rata, Kemiringan buruk
4. Rusak berat : Tidak berbentuk
113
Untuk katagori L (kondisi bahu jalan) dilakukan penilaian sebagai berikut :
1. Baik : Bentuk dan kemiringan memadai
2. Sedang : Bentuk dan kemiringan buruk
3. Rusak : Bahu terlalu tinggi/rendah< 10 cm
4. Rusak berat : Bahu terlalu tinggi/rendah > 10 cm atau tanpa
bahu padahal diperlukan.
Selanjutnya dapat dikelompokkan penanganan jalan tersebut berdasarkan jumlah
penilaian yang dilakukan. Jumlah penilaian dari 6 – 10 dilakukan penanganan
dengan pemeliharaan rutin jalan, jumlah penilaian 11 - 15 dilakukan penanganan
pemeliharaan pemeliharaan periodik/pemeliharaan berkala jalan, jumlah penilaian
diatas 15 dilakukan penanganan dengan rehabilitasi dan peningkatan jalan.
Contoh penilaian beberapa ruas jalan berdasarkan tingkat kerusakan jalan di
Kabupaten Bangli diperlihatkan pada Tabel 5.25.
Tabel 5.25 Penilaian Tingkat Kerusakan Jalan Kabupaten
Nilai Kerusakan Jalan Jumlah No.
Ruas Nama Ruas Lubang2 Legokan Retak2 Alur Bahu Kemi
- Nilai Katagori
Bekas Roda Jalan ringan
008 Jl. Cendrawasih 2 2 2 1 2 1 10 Baik 011 Jl. Brigjen
Ngurah Rai 1 2 2 1 1 1 8 Baik 055 Jl. Kubu -
Sedembunut 1 2 1 2 2 2 10 Baik 018 Jl.Tingas –
Penaga Landih 2 2 3 2 2 2 13 Sedang 094 Jl. Palak Tiying-
Pucangan 3 2 3 1 2 2 13 Sedang 017 Jl.Yangapi –
Tingas 3 3 3 2 2 2 15 Rusak 019 Jl. Peninjoan –
Metro Kaja 3 2 3 3 2 3 16 Rusak Sumber : Bina Marga, DPU, Kab. Bangli, 2008-2010
114
5.2.2 Data Volume Lalu lintas
Pada penelitian ini volume lalu-lintas yang melalui ruas jalan di
Kabupaten Bangli, hanya diambil beberapa contoh kendaraan yaitu : Truk ringan,
Truk sedang/ berat, Mobil roda 4, Bis dan Sepeda motor. Pada penelitian ini
ditampilkan sebanyak 201 ruas jalan dengan jumlah volume lalu lintas masing-
masing ruas jalan seperti diperlihatkan pada Tabel C3-C4 Data Penanganan Jalan
Kabupaten, (Lamp.C, hal 141-147).
5.2.3 Data Ekonomi
Sub kriteria ekonomi yang digunakan pada penelitian ini adalah : manfaat
/kelayakan dan biaya kegiatan. Penggunakan Tabel Penuntun Manfaat yaitu
berupa matriks yang mengkombinasikan jumlah lalu lintas saat ini dengan
tipe/kondisi permukaan jalan, yang akan menunjukan total nilai manfaat yang
diharapkan terjadi selama umur proyek sebagai hasil dari peningkatan jalan
(peningkatan kondisi jalan sampai standar minimum untuk pemeliharaan sesuai
dengan tingkat lalu lintasnya, sebagaimana yang direkombinasikan oleh Bina
Marga. Nilai manfaat ini dapat diperbandingkan secara langsung dengan biaya
peningkatan jalan untuk mendapatkan nilai kelayakan dari proyek. Nilai
kelayakan dari masing-masing proyek, kemudian akan disusun berdasarkan
peringkatnya menurut kriteria ekonomi. Perhitungan nilai manfaat pada tabel
penuntun ini sudah mencakup perkiraan untuk seluruh katagori manfaat yang
telah disebutkan diatas.
115
Selanjutnya Penuntun Manfaat Lalu Lintas dapat ditabelkan pada Lamp C
(hal. 139-140) Tabel C.1 Penuntun Manfaat Lalulintas rendah dan Tabel C.2,
Penuntun Manfaat Lalu lintas Tinggi.
Sedangkan Biaya kegiatan dhitung berdasarkan kelompok jenis
penanganan jalan yang dilaksanakan. Adapun biaya pekerjaan berdasarkan jenis
penanganannya adalah sebagai berikut :
1. Pemeliharaan jalan secara rutin diperhitungkan biaya pekerjaan dengan
nilai sebesar Rp.15.000/m2.
2. Pemeliharaan jalan secara berkala diperhitungkan biaya pekerjaan dengan
nilai sebesar Rp.72.000/m2.
3. Rehabilitasi jalan diperhitungkan biaya pekerjaan dengan nilai sebesar
Rp.94.000/m2.
4. Peningkatan jalan diperhitungkan biaya pekerjaan dengan nilai sebesar
Rp.127.000/m2.
5.2.4 Data Kebijakan
Data kebijakan diambil dari Bappeda Kab.Bangli dan Dinas Pekerjaan
Umum Kabupaten Bangli berdasarkan hasil Musrenbang baik di tingkat
kecamatan, kabupaten maupun provinsi serta adanya Anggaran Biaya Tambahan
(ABT) tahun anggaran 2008-2010 sesuai usulan kegiatan Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah Kab.Bangli (Bappeda, 2008-2010).
116
Besaran angka kebijakan tersebut nilainya dari angka 1 sampai dengan 4,
dimana nilai tersebut disesuaikan dengan usulan yang pernah diberikan pada suatu
ruas jalan apabila :
1. Mendapat usulan pada Musenbang Camat diberi nilai 1, tapi bila tidak
dapat diberi nilai 0.
2. Mendapat usulan pada Musrenbang Kabupaten. diberi nilai 1, tapi bila
tidak dapat diberi nilai 0.
3. Mendapat usulan pada Musrenbang Provinsi diberi nilai 1, tapi bila
tidak diberi nilai 0.
4. Mendapat usulan pada Anggaran Biaya Tambahan (ABT) diberi nilai 1,
tapi bila tidak diberi nilai 0.
5.2.5 Tata Guna Lahan
Terhadap tata guna lahan dimana diuraikan menjadi 4 (empat) sub kriteria
yaitu bidang pertanian, bidang pendidikan, bidang sosial-budaya dan bidang
perdagangan-jasa. Penilaian dari kriteria tata guna lahan berdasarkan atas manfaat
lahan setelah dibukanya/diperbaikinya akses/jaringan jalan tersebut. Besaran
angka tata guna lahan tersebut nilainya dari angka 1 sampai dengan 4, dimana
nilai tersebut disesuaikan dengan pemanfaatan lahan tersebut dengan sistem
penilaian sebagai berikut :
117
a. Bila dibukanya akses/jaringan jalan dapat menunjang pertanian maka
diberi nilai 1, bila tidak diberi nilai 0
b. Bila dibukanya akses/jaringan jalan dapat menunjang sosial-budaya
diberi nilai 1, bila tidak diberi nilai 0.
c. Bila dibukanya akses/jaringan jalan dapat menunjang tingkat pendidikan
penduduk diberi nilai 1, bila tidak diberi nilai 0.
d. Bila dibukanya akses/jaringan jalan dapat menunjang peningkatan
bidang perdagangan -jasa diberi nilai 1 dan bila tidak diberi nilai 0.
5.3 Penerapan Bobot Sub Kriteria untuk Penanganan Jalan
Perhitungan bobot data sekunder yang sudah dirangkum dalam Tabel C.3
s/d Tabel C.5 Data Penanganan Jalan Kabupaten (Lamp C, Hal 141-147), akan
dipakai pada level 3 yaitu sub kriteria.
5.3.1 Penerapan Bobot Sub Kriteria Kondisi Jalan
Perhitungan bobot sub kriteria kondisi jalan diuraikan menjadi 6 bagian :
a. Lubang-lubang, diberi kode x1
b. Legokan/amblas, diberi kode x2
c. Retak-retak, diberi kode x3
d. Alur bekas roda, diberi kode x4
e. Bahu jalan, diberi kode x5
f. Kemiringan jalan, diberi kode x6
118
Besaran bobot x1 sampai x6 merupakan analisa angka, dimana nilai masing-
masing elemen tersebut besarannya dari angka 1 sampai dengan 4, sehingga
perhitungan bobot diperoleh dengan menormalisasikan angka tersebut menjadi
angka dari 0,25 sampai 1 dengan cara membagi 4 (angka maksimal) pada masing-
masing elemen.
Contoh :
Perhitungan bobot pada No. Ruas 077 (Jalan Kehen – Sidembunut)terletak di
Kec. Bangli.
a. Perhitungan x1 (lubang-lubang) penilaian sebesar 2, sehingga
bobotnya menjadi 1/4 = 0,25.
b. Perhitungan x2 (legokan/amblas) penilaian sebesar 1, sehingga
bobotnya menjadi 2/4 = 0,5.
c. Perhitungan x3(retak-retak) penilaian sebesar 3, sehingga bobotnya
menjadi 1/4 = 0,25.
d. Perhitungan x4(Alur bekas roda) penilaian sebesar 1, sehingga
bobotnya menjadi 2/4 = 0,5.
e. Perhitungan x5(Bahu jalan) penilaian sebesar 1, sehingga bobotnya
menjadi 2/4 = 0,5.
f. Perhitungan x6(Kemiringan jalan) penilaian sebesar 2, sehingga
bobotnya menjadi 2/4 = 0, 5.
119
5.3.2 Penerapan Bobot Sub Kriteria Volume Lalu Lintas
Perhitungan Bobot sub kriteria volume lalu lintas dapat diuraikan menjadi
5 (lima) bagian yaitu :
a. Truk ringan, diberi kode x7
b. Truk sedang dan berat, diberi kode x8
c. Mobil roda 4, diberi kode x9
d. Bis, diberi kode x10
e. Sepeda motor, diberi kode x11
Besaran bobot x7 sampai x11 diambil dari perbandingan masing-masing
kelompok jenis penanganan pada Tabel C.3 s/d Tabel C.5 Data Penanganan Jalan
Kabupaten (Lamp C, Hal 141-147). Kelompok tersebut terbagi dalam 3 bagian
yaitu kelompok kondisi baik, sedang dan rusak. Adapun penjelasan jenis
kelompok tersebut :
1. Pada kelompok kondisi baik.
Nilai LHR tertinggi sebesar 317 smp pada jenis kendaraan sepeda
motor, pada ruas jalan Brigjen Ngurah Rai (No Ruas.011). Selanjutnya
perhitungan bobot x7 sampai x11 diperoleh dengan menormalisasi
angka tersebut menjadi angka dari 0,25 sampai 1 dengan cara
membagi semua nilai LHR dengan 317.
2. Pada kelompok kondisi sedang.
Nilai LHR tertinggi sebesar 181 smp pada jenis kendaraan sepeda
motor, pada ruas jalan Kubu – Tegalsuci (No.Ruas 078) Selanjutnya
perhitungan bobot x7 sampai x11 diperoleh dengan menormalisasi
120
angka tersebut menjadi angka dari 0,25 sampai 1 dengan cara
membagi semua nilai LHR dengan 598.
3. Pada kelompok kondisi rusak
Nilai LHR tertinggi sebesar 179 smp pada jenis kendaraan sepeda
motor, pada ruas jalan Undisan - Peninjoan (Ruas Jalan No.020)
Selanjutnya perhitungan bobot x7 sampai x11 diperoleh dengan
menormalisasi angka tersebut menjadi angka dari 0,25 sampai 1
dengan cara membagi semua nilai LHR dengan 179.
Contoh :
Perhitungan bobot pada No. Ruas 077 (Jalan Kehen – Sidembunut)
terletak di Kec. Bangli.
Ruas jalan tersebut termasuk kelompok 1 (kondisi baik) dengan penanganan
Pemeliharan Berkala, LHR tertinggi kelompok ini sebesar 317 smp.
Maka :
- Perhitungan x7 (truk ringan), LHR = 9, sehingga bobot didapat
9/317 = 0,03
- Perhitungan x8 (truk sedang/berat), LHR =21, sehingga bobot didapat
21/317 = 0,07
- Perhitungan x9 (Mobil Roda 4), LHR = 95, sehingga bobot didapat
95/317 = 0,3
- Perhitungan x10 (Bis), LHR = 10, sehingga bobot didapat 10/317 = 0,03
- Perhitungan x11 (Sepeda motor), LHR = 169, sehingga bobot didapat
169/317 = 0,53
121
5.3.3 Penerapan Bobot Sub Kriteria Faktor Ekonomi
Perhitungan bobot sub kriteria ekonomi diuraikan menjadi 2 bagian yaitu:
a. Nilai Manfaat/Kelayakan (NPV), diberi kode x12
b. Biaya Kegiatan, diberi kode x13
a. Nilai Manfaat/kelayakan (NPV).
Besaran nilai manfaat/kelayakan (NPV) diambil dari data Tabel
Penuntun Manfaat Lalu Lintas, selanjutnya perhitungan bobot Nilai
Manfaat Kelayakan (NPV) dengan kode x12 dihitung berdasarkan
perbandingan nilai manfaat pada ruas yang bersangkutan dibagi dengan
nilai Manfaat/Kelayakan terbesar dalam satu kelompok penanganan jalan.
b. Biaya Kegiatan
Biaya kegiatan dihitung berdasarkan luas jalan (panjang x lebar)
dalam meter dikalikan nilai penanganan jalan, yaitu :
- Biaya untuk pemeliharaan rutin jalan :
= Panjang x lebar x Rp. 15.000/m2
- Biaya untuk pemeliharaan berkala jalan :
= Panjang x lebar x Rp. 72.000/m2
- Biaya untuk rehabilitasi Jalan : = Panjang x lebar x Rp. 94.000/m2
- Biaya untuk peningkatan jalan : = Panjang x lebar x Rp. 127.000/m2.
Perhitungan bobot biaya dengan kode x13 dihitung berdasarkan
perbandingan biaya kegiatan pada ruas yang bersangkutan dibagi dengan
biaya tertinggi pada satu kelompok penanganan jalan.
122
Contoh :
Perhitungan bobot pada No. Ruas 077 (Jalan Kehen – Sidembunut)
terletak di Kec. Bangli.
a. Perhitungan x12, nilai manfaat/Kelayakan (NPV) :
Ruas jalan tersebut termasuk kelompok kondisi baik dengan
penanganan pemeliharaan berkala dengan nilai NPV sebesar Rp.253
(juta). Pada kelompok tersebut nilai NPV tertinggi sebesar
Rp.463(juta) pada Jalan Brigjen Ngurah Rai (No.Ruas 011).
Selanjutnya bobot x12 adalah 253/463 = 0,55.
b. Perhitungan x13 (bobot biaya kegiatan) :
Biaya kegiatan penanganan pemeliharaan berkala jalan sebesar luas
jalan x biaya pemeliharaan = (1,000 x 3,5) x Rp.72.000 =
Rp.252.000.000 atau Rp.252 juta. Pada kelompok tersebut biaya
kegiatan tertinggi sebesar Rp. 2.795,67 juta yaitu pada Jalan Brigjen
Ngurah Rai (No.Ruas 011).
Sehingga perhitungan bobot x13 adalah
= Rp.252 juta / Rp. 2795,67 juta = 0,09.
5.3.4 Penerapan Bobot Sub Kriteria Faktor Kebijakan
Perhitungan bobot sub kriteria faktor kebijakan dapat diuraikan menjadi 4
bagian yaitu :
a. Musrenbang Camat, diberi kode x14
b. Musrenbang Kabupaten, diberi kode x15
123
c. Musrenbang Provinsi, diberi kode x16
d. Anggaran Biaya Tambahan (ABT), diberi kode x17
Nilai bobot x14 sampai x17 diperlihatkan pada Tabel C.3 s/d Tabel C.5 (Data
Penanganan Jalan Kabupaten Bangli), dimana nilai tersebut diberi angka 0 atau 1.
Contoh :
Perhitungan bobot pada No. Ruas 077 (Jalan Kehen – Sidembunut)
terletak di Kec. Bangli.
Pada ruas jalan tersebut diperoleh Bobot sub. Kebijakan sebagai
berikut :
a. Diusulkan pada Musrenbang Camat, nilai =1 , diberi kode x14
b. Diusulkan pada Musrenbang Kabupaten, nilai =1, diberi kode
x15
c. Diusulkan pada Musrenbang Provinsi, nilai =1, diberi kode x16
d. Tidak diusulkan pada Anggaran Biaya Tambahan (ABT), nilai
=0 diberi kode x17
Bobot sub kebijakan ditampilkan bersama pada Tabel D.1 s/d Tabel D.3
Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP
(lamp.D, hal.157-164).
5.3.5 Penerapan Bobot Sub Kriteria Faktor Tata Guna Lahan
Perhitungan bobot sub kriteria faktor tata guna lahan dapat diuraikan
menjadi 4 bagian yaitu :
a. Bidang Pertanian, diberi kode x18
124
b. Bidang Pendidikan, diberi kode x19
c. Bidang Sosial - Budaya, diberi kode x20
d. Bidang Perdagangan - Jasa, diberi kode x21
Contoh :
Perhitungan bobot pada No. Ruas 077 (Jalan Kehen – Sidembunut)
terletak di Kec. Bangli.
Pada ruas jalan tersebut diperoleh Bobot sub. Tata guna lahan sebagai
berikut :
a. Diperbaikinya prasarana jalan tersebut dapat memperlancar
akses masyarakat dibidang Pertanian, nilai =1, diberi kode x18
b. Diperbaikinya prasarana jalan tersebut dapat memberikan
pengaruh dibidang pendidikan karena di sepanjang ruas jalan
tersebut tidak ada pembangunan sekolah, nilai =0, diberi kode
x19
c. Diperbaikinya prasarana jalan tersebut dapat memperlancar
akses masyarakat dibidang Sosial - Budaya khususnya bidang
pariwisata, nilai =1, diberi kode x20
d. Diperbaikinya prasarana jalan tersebut dapat memperlancar
akses masyarakat dibidang perdagangan - jasa, terutama untuk
pemasaran hasi industri kerajinan daerah, nilai =1, diberi kode
x21
125
Demikian untuk ruas jalan lainnya, bobot sub kriteria tata guna lahan ditampilkan
bersama pada Tabel D.1 s/d Tabel D.3 Penentuan Skala Prioritas Penanganan
Jalan Kabupaten dengan Metode AHP (lamp.D, hal.155-161).
5.3.6 Perhitungan Skala Prioritas Penanganan Jalan dengan Metode AHP
Setelah ditentukan besaran bobot pada masing – masing elemen (x1 s/d
x21) maka untuk menentukan skala prioritas penanganan jalan kabupaten dengan
Metode Analitycal Hierarcy Process (AHP) selanjutnya dimasukan dengan
perhitungan model matematis menurut Brojonegoro (1991). Dimana perhitungan
dalam penentuan prioritas jalan dengan metode ini dilakukan sesuai dengan
kelompok penanganannya yaitu : Pemeliharaan rutin jalan, Pemeliharaan berkala
jalan, Rehabilitasi jalan dan Peningkatan jalan.
Selanjutnya dalam perhitungan menggunakan Model matematis yang
dihitung dengan sistem persamaan matematis menurut Brojonegoro (1991) sesuai
dengan kelompok penanganannya adalah :
Y= A( a1 x bobot a1 + ….. + a6 x bobot a6 ) + ….. + D( d1 x bobot d1
+ …. + d4 x bobot d4 )
Dimana :
Y = Skala Prioritas Penanganan Jalan
A s/d D = Bobot kriteria Level 2( berdasar analisa responden)
a1, a2, a3… d5 = Bobot alternatif level 3 (berdasar analisa responden)
126
bobot a1,……bobot d5 = Bobot alternatif level 3 (berdasar analisa data
sekunder)
Dari Gambar 5.7 Hirarki Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten,
didapat besaran :
Nilai A = 0,239 Nilai B = 0,229 Nilai E = 0,153
Nilai C = 0,228 Nilai D = 0,151
Besaran nilai a1 = 0,279 b1= 0,229 c1 = 0,695 d1 = 0,375 e1 = 0,343
a2 = 0,234 b2= 0,218 c2 = 0,305 d2 = 0,226 e2 = 0,246
a3= 0,177 b3= 0,255 d3 = 0,175 e3 = 0,170
a4 = 0,120 b4= 0,147 d4 = 0,224 e4 = 0,241
a5 = 0,073 b5= 0,117
a6 = 0,117
Selanjutnya dilakukan perhitungan besaran y :
Y = bobot kriteria x (bobot alternatif responden x bobot alternatif sekunder)
Y = A(a1.x1 + a2.x2 + a3.x3 + a4 .x4 + a5.x5 + a6.x6) + B(b2.x7 + …+b4.x11)
+ C(c1.x12+….+c2.x13) + D(d1.x14 +… + d4 . x17) + E(e1.x18
+…+e2.x22)
= 0,239(0,279.x1+0,234.x2+0,177.x3+0,120.x4+0,073.x5+0,279.x6) +
0,229(0,229.x7+0,218.x8+0,255.x9+0,47.x10+0,151.x11)
+0,228(0,695.x12+
0,305.x13)+0,151(0,373.x14+0,226.x15+0,175.x16+0,224.x17)+0,153(0,3
43.x18 +0,246.x19+0,170.x20)+(0,241.x1)
127
Contoh perhitungan Skala Prioritas Penanganan Jalan
Perhitungan Skala Prioritas Penanganan Jalan pada No. Ruas 077 (Jalan
Kehen – Sidembunut) terletak di Kec. Bangli.
Ruas jalan ini termasuk kelompok kondisi baik dan ditangani dengan
pemeliharaan secara berkala. Berdasarkan hasil analisis , diperoleh besaran bobot
data sekunder dengan nilai x1 sampai x21. Adapun besaran nilai –nilai tersebut
adalah sebagaimana yang diperlihatkan pada Tabel D.1 Penentuan Skala Prioritas
Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP (lamp.D, hal.155) untuk ruas
jalan Kehen - Sidembunut adalah :
Y = A(a1.x1 + a2.x2 + a3.x3 + a4 .x4 + a5.x5 + a6.x6) + B(b2.x7 + …+b4.x11)
+ C(c1.x12+….+c2.x13) + D(d1.x14 +… + d4 . x17) + E(e1.x18
+…+e2.x22)
= 0,239(0,279.x1+0,234.x2+0,177.x3+0,120.x4+0,073.x5+0,279.x6) +
0,229(0,229.x7+0,218.x8+0,255.x9+0,47.x10+0,151.x11)
+0,228(0,695.x12+
0,305.x13)+0,151(0,373.x14+0,226.x15+0,175.x16+0,224.x17)+0,153(0,3
43.x18 +0,246.x19+0,170.x20)+(0,241.x1)
= 0,239(0,279*0,3+0,234*0,5+0,177*0,3+0,120*0,5+0,073*0,5+0,279*0,5) +
0,229(0,229*0,03+0,218*0,07+0,255*0,3+0,47*0,03+0,151*0,53)+
0,228(0,695*0,55+
0,305*0,09)+0,151(0,373*1+0,226*1+0,175*1+0,224*0)
+0,153(0,343*1 +0,246*0+0,170*1+0,241*1)
= 0,450
128
Perhitungan ruas jalan yang lain dilakukan dengan cara yang sama sehingga
hasilnya diberi kode Y. Selanjutnya nilai Y pada semua ruas jalan diurut kembali
besaran nilai Y tersebut dari nilai terbesar sampai terkecil pada tiap-tiap kelompok
penanganan : pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala, rehabilitasi dan
peningkatan, sehingga nilai terbesar merupakan prioritas utama dan selanjutnya
menyusul nilai yang lebih kecil. Urutan ini diberi kode Y” seperti diperlihatkan
pada Tabel D.1 s/d Tabel D.3 Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan
Kabupaten dengan Metode AHP (lamp.D, hal.155-161).
Untuk contoh skala prioritas penanganan jalan pada No. Ruas 077 (Jalan
Kehen – Sidembunut) yang terletak di Kec. Bangli sebagaimana diperlihatkan
pada Tabel D.1 Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode AHP
(Kondisi Baik), menempati urutan ke 12.
5.4 Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan Berdasarkan
SK.No.77 Dirjen Bina Marga Tahun 1990
Dari kriteria yang ditentukan pada SK No.77 Dirjen Bina Marga, dimana
NPV tertinggi mendapat prioritas utama dalam penanganan jalan sehingga dari
tabel data yang ada yaitu Tabel C.3 s/d Tabel C.5 Data Penanganan Jalan
Kabupaten (Lamp C, Hal 141-147) maka dibuat skala prioritas penanganan jalan
sesuai urutan NPV tertinggi.
Selanjutnya urutan skala prioritas penanganan jalan kabupaten
disesuaikan besaran NPV diperlihatkan pada Tabel C.6 s/d Tabel C.8 Skala
129
Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten Berdasarkan SK No.77, Tahun 1990
(Lamp.C, Hal 148- 154).
Contoh :
Pada No. Ruas 077, Jalan Kehen – Sidembunut terletak di Kecamatan
Bangli.
Ruas jalan Kehen – Sidembunut termasuk dalam kelompok kondisi baik
dengan penanganan jalan dilakukan secara berkala. Permukaan sudah dilapisi
aspal tetapi perlu dilakukan penambahan overly pada permukaan perkerasan. Lalu
lintas harian rata-rata ruas jalan tersebut sebesar 304 dengan nilai NPV sebesar
253. berdasarkan data tersebut ruas jalan Kehen – Sidembunut menempati urutan
ke 13. Demikian selanjutnya urutan prioritas terhadap ruas jalan lainnya
berdasarkan SK No.77, Tahun 1990 dapat dilihat pada Tabel C.6 s/d C.8
(Lamp.C, hal 149-156).
5.5 Perbandingan Hasil Skala/Urutan Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten antara Metode SK.No.77, Tahun 1990 dengan Metode Analytical Hierarcy Process (AHP)
Dari hasil perhitungan skala prioritas penanganan jalan dengan
menggunakan bobot yang diperoleh bedasarkan SK No.77, Tahun 1990
sebagaimana dilampirkan pada Tabel C.6 s/d Tabel C.8 Skala Prioritas
Penanganan Jalan Kabupaten dengan Metode SK.No.77, Tahun 1990 (lamp C,
hal 148-154) dan Tabel D.1 s/d Tabel D.3 Penentuan Skala Prioritas Penanganan
Jalan Kabupaten dengan Metode AHP (lamp.D, hal.155-161), dapat dibandingkan
perolehan urutan skala prioritasnya yang diperlihatkan pada Tabel D.4 s/d Tabel
130
D.6 Perbandingan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten antara Metode
SK.No.77, Tahun 1990 dengan Metode AHP (lamp.D, hal.162-168).
Pada tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa perolehan urutan prioritas yang
menggunakan perhitungan SK No.77, Tahun 1990 akan berubah posisi bila
dihitung dengan menggunakan bobot yang diperoleh pada perhitungan
pembobotan kriteria. Setelah diteliti perubahan urutan prioritas tersebut dari
menggunakan SK No.77, Tahun 1990 akan menjadi urutan atas pada perhitungan
pembobotan kriteria, hal ini terjadi karena beberapa hal seperti :
a. Jumlah penilaian pada kondisi jalan maksimal.
b. Jumlah LHR tinggi
c. Nilai NPV tinggi
d. Biaya kegiatan tinggi
e. Perolehan kebijakan tinggi
f. Pemanfaatan tata guna lahan tinggi
Contoh :
Pada Ruas No.077 (Jalan Kehen – Sidembunut) yang terletak di Kec. Bangli,
dengan nomor urut 13 pada SK No,77 berubah menjadi nomor urut 12 dengan
menggunakan pembobotan kriteria karena :
- Jumlah Penilaian kondisi jalan tertinggi = 10 (pada kondisi baik jumlah
penilaian kondisi jalan antara 6-10)
- Nilai biaya sebesar Rp.252 Juta
- Nilai Kebijakan diperolehnya sebesar 3.
- Jumlah nilai tata guna lahan sebesar 3.
131
Sebaliknya apabila salah satu dari kelima hal tersebut besar terutama bila jumlah
penilaian kondisi jalan kecil, maka urutan skala prioritasnya menjadi turun.
Contoh :
Pada Ruas No.47 (Jalan Waturenggong), dengan skala prioritas urutan 10 pada
SK No 77, turun menjadi urutan 25 dengan menggunakan pembobotan kriteria
karena :
- Jumlah Penilaian kondisi jalan sebesar 7 (Nilai lebih rendah dari 10)
- Jumlah Nilai Biaya Kegiatan lebih rendah yaitu Rp.222,46 juta.
- Jumlah nilai kebijakan diperoleh 3
- Jumlah nilai tata guna lahan 1
Dari perbandingan kedua perhitungan tersebut, bila diteliti lebih mendalam akan
banyak terjadi perubahan urutan prioritas yang disebabkan oleh kombinasi
beberapa faktor yaitu faktor kondisi jalan, faktor volume lalu lintas, faktor
ekonomi, faktor kebijakan dan faktor tata guna lahan.
132
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Dari analisa yang telah dilakukan dapat diambil simpulan sebagai berikut :
1. Hasil Urutan Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten dengan berdasarkan
SK N0.77 Dirjen Bina Marga Tahun 1990 :
a. Diperoleh bahwa urutan prioritas tertinggi dengan niai LHR dan NPV
tertinggi demikian juga sebaliknya nilai LHR rendah dengan NPV
yang rendah akan memperoleh hasil perhitungan skala prioritas dengan
urutan terendah. Adapun urutan prioritas penangan jalan berdasarkan
kelompok kondisi penanganannya dengan metode ini adalah sebagai
berikut :
- Urutan Prioritas Penanganan jalan pada kondisi baik adalah : Jl.
Brigjen Ngurah Rai, Jl Bebalang - Tamanbali, Jl Kayubihi –
Kayang, Jl Nangka, Jl Nusantara I, Jl. Nusantara II, Jl Serma
Meranggi, Jl. Kubu – Sidembunut, Jl Bubung Bayung - Bayung
Gede, Jl.Waturenggong, Jl. Belimbing, Jl Tembuku – Bakas, Jl.
Kehen – Sidembunut, dst... (sesuai Lamp.C, Tabel C.6, hal.148).
- Urutan Prioritas Penanganan jalan pada kondisi sedang adalah : Jl.
Kubu – Tegalsuci, Jl. Tingkad Batu Uma Anyar, Jl. Tingas -
Penaga Landih, Jl. Batur - Yeh Mampeh, Jl. Jehem – Pembungan,
Jl. Tembuku – Tohpati, Jl. Kebon Kawan - Kebon Kangin, Jl.
133
Belantih – Pengejaran, Jl. Penatahan – Br. Lebah, Jl. Palaktiying –
Pucangan, dst.. (sesuai Lamp C, Tabel C.7, hal 150-153).
- Urutan Prioritas Penanganan jalan pada kondisi rusak adalah : Jl.
Undisan – Peninjoan, Jl. Peninjoan – Metro Kaja, Jl. Peninjoan –
Mapagan, Jl. Tembuku – Kelempung, Jl. Yangapi – Tingas, Jl.
Songan – Belandingan, Jl. Songan - Kayuselem, Jl. Abuan- Abuan,
Jl. Belantih – Selulung, Jl. Penulisan - Belandingan, dst.... (Sesuai
Lam C, Tabel C.8, hal.154).
2. Hasil penelitian dengan Metode AHP :
a. Metode ini menghasilkan kriteria kondisi jalan terpenuhi dengan bobot
(23,9%) kemudian disusul tingkat kepentingan volume lalu lintas
dengan bobot (22,9%), faktor kriteria ekonomi dengan bobot (22,8%),
faktor tata guna lahan dengan bobot (15,3%) dan faktor kebijakan
dengan bobot (15,1%).
b. Pada bobot yang diperoleh tersebut, bila diaplikasikan terhadap
penentuan prioritas penanganan jalan akan diperoleh hasil yang
berbeda bila dibandingkan dengan skala prioritas berdasarkan SK No
77, Tahun 1990, dimana tidak hanya mengutamakan nilai ekonomi
saja tetapi tampak pada ruas jalan yang mendapat usulan pada
musrenbang dan memperhitungkan pengaruh perbaikan pasarana
tersebut terhadap akses masyarakat.
c. Adapun urutan Prioritas penanganan jalan dengan metode ini adalah
sebagai berikut :
134
- Urutan Penentuan Prioritas pada kondisi baik adalah : Jl. Bebalang
Tamanbali, Jl. Penglipuran – Buungan – Tiga, Jl. Brigjen Ngurah
Rai, Jl. Kayubihi – Kayang, Jl. Kubu –Sidembunut, Jl. Bunutin
Selati, Jl. Bubung Bayung – Bayung Gede, Jl. Nangka, Jl.
Nusantara I, Jl. Nusantara II, dst.. (Lamp.D, Tabel D.1, hal 155).
- Urutan Penentuan Prioritas pada kondisi sedang adalah : Jl. Batur –
Yeh Mampeh, Jl. Tembuku – Tohpati, Jl. Kubu – Tegalsuci, Jl.
Batukaang – Mengani, Jl. Kintamani – Langgahan, Jl. Belantih
Pengejaran, Jalan Penelokan - Yeh Mampeh, Jl. Palaktiying –
Pucangan, Jl. Tingkad Batu – Uma Anyar , Jl. Siakian – Pinggan,
dst.. (Lamp.D, Tabel D.2, hal 157).
- Urutan Penentuan Prioritas pada kondisi rusak adalah : Jl. Peninjoan
– Metro Kaja, Jl. Songan - Kayuselem, Jl. Belantih – Selulung, Jl.
Undisan – Peninjoan, Jl. Penulisan – Belandingan, Jl. Songan –
Belandingan, Jl. Yangapi – Tingas, Jl. Tembuku Kelempung, Jl.
Sudhamala – Bebalang, Jl. Penulisan – Sukawana, dst.. (Lamp.D,
Tabel D.3, hal 161).
3. Berdasarkan hasil analisis, penentuan skala prioritas ke dua metode
tersebut dapat dibandingkan yaitu Adanya perbedaan urutan prioritas
dibeberapa ruas jalan seperti :
- Ruas Jalan No.077 Jl. Kehen - Sidembunut :
Penentuan urutan prioritas dengan metode SK No.77, Tahun 1990
menempati urutan prioritas No.13 dan berubah manjadi No. 12 dengan
135
metode AHP hal ini disebabkan pengaruh kombinasi dari beberapa
faktor kriteria . (sesuai Lamp D,Tabel D.1, hal.155).
4. Berdasarkan hasil analisis dalam penentuan urutan prioritas dan dengan
membandingkan hasil urutan prioritas baik yang diperoleh dengan metode
SK No. 77 Dirjen Bina Marga Tahun 1990 maupun dengan metode AHP
maka terdapat beberapa perbedaan urutan prioritas sebagaimana terlampir
dalam lampiran D, Tabel D.4 s/d D.6, hal 162 - 168 maka diketahui
beberapa kelebihan dan kelemahan dari kedua metode tersebut seperti :
1. Pada penentuan Skala Prioritas berdasarkan SK No.77 Dirjen Bina
Marga Tahun 1990 :
a. Kelebihannya :
- Penentuan Prioritas dengan metode ini lebih mudah dan tidak
memerlukan waktu yang lama karena penentuan skala prioritas
hanya berdasarkan nilai LHR dan NPV saja.
b. Kelemahannya :
- Penentuan skala prioritas hanya berdasarkan nilai LHR tinggi
(NPV tertinggi saja), sedangkan bila terdapat jalan dengan LHR
rendah atau adanya pengembangan wilayah maka tidak dapat
penanganan jalan, sehingga wilayah yang ekonominya maju akan
terus berkembang tetapi sebaliknya nilai ekonomi rendah akan
terus tertinggal.
- Pada jalan dengan kondisi rusak dengan LHR rendah dan NPV
rendah cenderung tidak masuk daftar urutan atas.
136
- Karena peninjauan didasarkan hanya pada aspek lalu lintas saja,
ada indikasi bahwa dalam pelaksanaan penanganan skala
prioritas pihak pelaksana dalam hal ini Dinas PU memodifikasi
data lalu lintas akibat pertimbangan politis, agar ruas jalan
dimaksud mendapat dana untuk penanganan.
2. Pada penentuan Skala Prioritas dengan menggunakan pembobotan
kriteria yang diperoleh dari metode AHP :
a. Kelebihannya :
- Dapat mengkombinasikan berbagai kriteria dalam menangani
permasalahan yang terjadi.
- Dalam pengembangan wilayah, dimana Nilai LHR rendah, tingkat
perekonomian penduduk rendah dan kondisi jalan rusak akan tetapi
sangat dibutuhkan masyarakat akan selalu diperhitungkan dalam
penanganan jalan.
- Dengan alokasi dana terbatas dapat diarahkan secara merata tidak
hanya pada wilayah dengan perekonomian tinggi saja.
b. Kelemahannya :
- Dalam pemilihan dan penyebaran responden melibatkan
berbagai pihak baik masyarakat setempat, tokoh masyarakat
dan pimbinaan wilayah sehingga dapat mewakili lapisan
masyarakat
- Karena Penentuan Skala Prioritas melibatkan banyak stake
holders sehingga waktu yang diperlukan dalam penentuan
137
skala prioritas dengan metode ini membutuhkan waktu yang
lebih lama.
6.2 Saran
Dari hasil simpulan studi ini dapat diberikan saran yaitu :
1. Dalam menentukan Skala prioritas penanganan jalan di Kabupaten Bangli,
pemerintah daerah sebaiknya mempertimbangkan cara AHP selain
Berdasarkan SK No.77 Dirjen Bina Marga, Tahun 1990. Adapun
pertimbangannya yaitu dengan Metode AHP dapat mengkombinasikan
berbagai aspek dan kriteria yang dilakukan dengan pembobotan berdasarkan
tingkat kepentingan sehingga hasil urutan prioritas penanganan jalan yang
dihasilkan lebih representatif.
2. Untuk mendapatkan hasil sesuai harapan dan tujuan, dalam penentuan skala
prioritas penanganan jalan dengan metode AHP, respon exspert yang dituju
harus benar - benar memiliki kemampuan/keahlian di bidangnya dan tingkat
konsistensi terhadap jawaban yang disampaikan, apabila tidak konsisten maka
hasilnya tidak sesuai yang diharapkan.
138
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (2004), Undang –Undang No.32. Th. 2004, tentang Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Daerah, Jakarta: Bappenas.
Anonim, (1988), Peraturan Pemerintah No.14 Th.1988, tentang Penyerahan
Urusan Pemerintahan di Bidang Pekerjaan Umum kepada Daerah, Jakarta: Bappenas.
Anonim, (2007), Peraturan Menteri Dalam Negeri No.59 Th.2007, tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Sekretariat Republik Indonesia. Anonim, (1987), Peraturan Bupati Bangli No.6 Tahun 2006, tentang Rencana
Tata Ruang Wiayah Kabupaten Bangli,Bangli: Bappeda. Anonim, (1998), Pemecahan masalah dengan metode AHP, Available from:
http://www.itelkom.ac.id/ahp/library. Anonim, (2008), Daftar Usulan Rencana Kegiatan Tahun 2008 - 2010 (Hasil
Musrenbang Daerah Kabupaten Bangli Th. 2008-2010, Bangli: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bangli.
Anonim, (2008), Metode kuisioner penanganan jalan, Available from:
http:/SPSS-online blon spot.com. Anonim, (2008), Tata Guna Lahan, Available from: http:// www.digilib.itb.ac.id Brodjonegoro, P.S, (1991), Petunjuk Mengenai Teori dan Aplikasi dari Model The
Analytic Hierarchy Process. Jakarta : Sapta Utama. Dirjen Bina Marga, (1990), Petunjuk Teknis Perencanaan dan Penyusunan
Program Jalan Kabupaten. Surat Keputusan No.77/KPTS/Db/1990. Jakarta: Dinas Pekerjaan Umum RI.
Dirjen Perhubungan Darat, (2005), Peraturan Pemerintah No.26 tahun 1985,
tentang jalan, Jakarta: Departemen Perhubungan Republik Indonesia. Dirjen Perhubungan Darat, (2009), Tentang Lalu lintas Jalan. Udang-Undang
Republik Indonesia No.22, Th.2009, Jakarta: Departemen Perhubungan RI. Firdaus, M.A., (2008), Skala Pengukuran dan Instrumen Penelitian, http://azis-
artikel.Blogspoot.com. Hasan, M.I., (2003), Pokok-pokok Materi Statistik. Edisi Kedua. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
139
Karya, I W., (2004), Skala Prioritas Penanganan Jaringan Jalan Pada Ruas-ruas
Jalan Di Kabupaten Gianyar (Tesis), Denpasar: Universitas Udayana. Mulyono, A.,(2006), Teori Pengambilan Keputusan, Jakarta : PT Bumi Aksara. Saaty, T.L., (1986), Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan Dalam
Situasi yang Kompleks, Jakarta : PT Pustaka Binman Pressindo. Sjrafruddin,A., (1997), Studi Kelayakan Proyek Transportasi, Bandung: FTSP-
ITB. Sugiyono, (2009), Metode Penelitian Kuantitatif, Bandung: Alfabeta Suyasa, D.G., (2007), Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
Badung dengan Metode AHP (Tesis), Denpasar: Program Magister Teknik Sipil Universitas Udayana.
Usman, H., (1996), Metodelogi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara.
140
141
LAMPIRAN A
(Peta Wilayah Studi)
142
143
Gambar A.2 Peta Jaringan Jalan di Kabupaten Bangli
144
LAMPIRAN B
(Kuisioner)
145
KUISIONER
Kepada :
Yth. Para Responden
di –
Tempat
Dengan hormat,
Dalam rangka penyusunan penelitian tesis pada Program Magister Teknik
Sipil Universitas Udayana, bidang keahlian Transportasi, kami mohon kepada
bapak/ ibu/saudara untuk mengisi kuisioner ini sebagai bahan masukan dan
kelengkapan data. Adapun judul usulan penelitian ini adalah ”Penentuan Skala
Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten di Kabupaten Bangli ”.
Keberhasilan penelitian ini akan sangat tergantung pada kebenaran data
yang diperoleh, karenanya dalam proses pengisian kuisioner kami sangat
mengharapkan partisipasinya seobyektif mungkin.
Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan banyak terimakasih.
Bangli, Januari 2010
Hormat kami
I Dewa Ayu Ngr Alit Putri
.
146
KUISIONER Petunjuk penulisan kuisioner
A. Dalam memberikan penilaian, digunakan skala penilaian dari 1 sampai
dengan 9 dimana terdapat masing-masing skala menunjukan tingkat
kepentingan indikator kriteria yang dibandingkan terhadap indikator
kriteria yang melengkapinya.
Masing–masing angka dalam skala perbandingan memiliki arti sebagai
berikut :
1. Sama penting
2. Diantara sama penting dan lebih penting
3. Lebih Penting
4. Diantara lebih penting dengan penting
5. Penting
6. Diantara penting dan sangat penting
7. Sangat penting
8. Diantara nilai sangat penting dengan sangat penting sekali
9. Sangat penting sekali
B. Berdasarkan nomor urut prioritas yang bapak/ibu pilih, isilah penilaian
terhadap uraian di bawah ini (beri tanda “ V “ pada salah satu jawaban)
I. PENILAIAN PADA LEVEL 2
Penilaian level ini menggunakan :
1. Faktor Kondisi Jalan
2. Faktor Volume Lalu Lintas
3. Faktor Ekonomi
4. Faktor Kebijakan
5. Faktor Tata Guna Lahan
147
1. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor kondisi jalan lebih penting dari pada faktor volume lalu lintas
Faktor volume lalu lintas lebih penting dari pada factor kondisi jalan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
2. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor kondisi jalan lebih penting dari pada faktor ekonomi
Faktor ekonomi lebih penting dari pada faktor kondisi jalan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
3. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor kondisi jalan lebih penting dari pada faktor kebijakan
Faktor kebijakan lebih penting dari pada faktor kondisi jalan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
4. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor kondisi jalan lebih penting dari pada faktor tata guna lahan
Faktor tata guna lahan lebih penting dari pada faktor kondisi jalan
Faktor Kondisi jalan Faktor Volume lalu lintas
Faktor Kondisi jalan Faktor Ekonomi
Faktor Kondisi jalan Faktor Kebijakan
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
148
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
5. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor volume lalu lintas lebih penting dari pada faktor ekonomi
Faktor ekonomi lebih penting dari pada faktor volume lalu lintas
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
6. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor volume lalu lintas lebih penting dari pada faktor kebijakan
Faktor kebijakan lebih penting dari pada faktor volume lalu lintas
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
7. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor volume lalu lintas lebih penting dari pada faktor tata guna
lahan
Faktor tata guna lahan lebih penting dari pada faktor volume lalu lintas
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
Faktor Kondisi jalan Faktor Tata guna lahan
Faktor Volume Lalu lintas Faktor Ekonomi
Faktor Volume Lalu lintas Faktor Kebijakan
Faktor Volume Lalu lintas Faktor tata guna lahan
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
149
8. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor ekonomi lebih penting dari pada faktor kebijakan
Faktor kebijakan lebih penting dari pada faktor ekonomi
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
9. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor ekonomi lebih penting dari pada faktor tata guna lahan
Faktor tata guna lahan lebih penting dari pada faktor ekonomi
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
10. Dalam penilaian skala prioritas penanganan jalan
Faktor kebijakan lebih penting dari pada faktor tata guna lahan
Faktor tata guna lahan lebih penting dari pada faktor kebijakan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
Faktor Ekonomi Faktor Kebijakan
Faktor Ekonomi Faktor Tata guna lahan
Faktor Kebijakan Faktor Tata guna lahan
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
150
II PENILAIAN PADA LEVEL 3
II.A Faktor Kondisi Jalan
Dalam penilaian subkriteria kondisi jalan menggunakan data :
1. Lubang - lubang
2. Legikan/amblas
3. Alur bekas roda
4. Bahu jalan
5. Kemiringan Jalan
Pertanyaan :
1. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan lubang-lubang lebih penting dari pada jalan
legokan/amblas.
Perbaikan pada jalan legokan /amblas lebih penting dari pada jalan
lubang-lubang.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
2. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan lubang-lubang lebih penting dari pada jalan retak-
retak.
Perbaikan pada jalan retak-retak lebih penting dari pada jalan lubang-
lubang.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
Lubang-lubang Legokan/amblas
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
151
3. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan lubang-lubang lebih penting dari pada alur bekas
roda.
Perbaikan pada alur bekas roda lebih penting dari pada jalan lubang-
lubang.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
4. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan lubang-lubang lebih penting dari pada bahu jalan.
Perbaikan pada bahu jalan lebih penting dari pada jalan lubang-lubang.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
5. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan lubang-lubang lebih penting dari pada
kemiringan jalan.
Perbaikan pada kemiringan jalan lebih penting dari pada jalan lubang-
lubang.
Lubang-lubang Retak-retak
Lubang-lubang Alur bekas roda
Lubang-lubang Bahu jalan
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
152
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
6. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan legokan/amblas lebih penting dari pada jalan
retak-retak.
Perbaikan pada jalan retak-retak lebih penting dari pada jalan lubang-
lubang.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
7. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan legokan/amblas lebih penting dari pada alur
bekas roda.
Perbaikan pada alur bekas roda lebih penting dari pada
legokan/amblas.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
Lubang-lubang Kemiringan Jalan
Legokan/amblas Retak-retak
Legokan/amblas Alur bekas roda
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
153
8. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan legokan/amblas lebih penting dari pada bahu
jalan.
Perbaikan pada bahu jalan lebih penting dari pada legokan/amblas.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
9. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan legokan/amblas lebih penting dari pada
kemiringan jalan.
Perbaikan pada kemiringan jalan lebih penting dari pada
legokan/amblas.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
10. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan retak-retak lebih penting dari pada alur bekas
roda.
Perbaikan pada alur bekas roda lebih penting dari pada jalan retak-
retak.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
Legokan/amblas Bahu jalan
Legokan/amblas Kemiringan Jalan
Retak-retak Alur bekas roda
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
154
11. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan retak-retak lebih penting dari pada bahu jalan.
Perbaikan pada bahu jalan lebih penting dari pada jalan retak-retak.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
12. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada jalan retak-retak lebih penting dari pada kemiringan
jalan.
Perbaikan pada kemiringan jalan lebih penting dari pada jalan retak-
retak.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
13. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada alur bekas roda lebih penting dari pada bahu jalan.
Perbaikan pada bahu jalan lebih penting dari pada alur bekas roda.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
Retak-retak Bahu jalan
Retak-retak Kemiringan jalan
Alur bekas roda Bahu jalan
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
155
14. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada alur bekas roda lebih penting dari pada kemiringan
jalan.
Perbaikan pada kemiringan jalan lebih penting dari pada alur bekas
roda.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
15. Dalam menentukan faktor kondisi jalan
Perbaikan pada bahu jalan lebih penting dari pada kemiringan jalan.
Perbaikan pada kemiringan jalan lebih penting dari pada bahu jalan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
II.B Faktor Volume Lalu lintas
Dalam penilaian subkriteria faktor volume lalu lintas menggunakan data :
1. Truk ringan
2. Truk sedang dan berat
3. Bis
4. Mobil roda empat
5. Sepeda motor
Pertanyaan :
1. Dalam menentukan factor volume lalu lintas
Alur bekas roda Kemiringan jalan
Bahu jalan Kemiringan jalan
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
156
Truk ringan lebih penting dari pada truk sedang dan berat.
Truk sedang dan berat lebih penting dari pada truk ringan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
2. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Truk ringan lebih penting dari pada mobil roda empat.
Mobil roda empat lebih penting dari pada truk ringan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
3. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Truk ringan lebih penting dari pada bis.
Bis lebih penting dari pada truk ringan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
4. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Truk ringan lebih penting dari pada sepeda motor.
Sepeda motor lebih penting dari pada truk ringan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
Truk ringan Truk sedang dan berat
Truk ringan Mobil roda empat
Truk ringan Bis
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
157
5. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Truk sedang dan berat lebih penting dari pada mobil roda empat.
Mobil roda empat lebih penting dari pada truk sedang dan berat
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
6. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Truk sedang dan berat lebih penting dari pada Bis.
Bis lebih penting dari pada truk sedang dan berat
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
7. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Truk sedang dan berat lebih penting dari pada sepeda motor.
Sepeda motor lebih penting dari pada truk sedang dan berat
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
Truk ringan Sepeda motor
Truk sedang dan berat Mobil roda empat
Truk sedang dan berat Bis
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
158
8. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Mobil roda empat lebih penting dari pada Bis.
Bis lebih penting dari pada mobil roda empat
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
9. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Mobil roda empat lebih penting dari pada sepeda motor .
Sepeda motor lebih penting dari pada mobil roda empat
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
10. Dalam menentukan faktor volume lalu lintas
Bis lebih penting dari pada sepeda motor .
Sepeda motor lebih penting dari pada Bis
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
Truk sedang dan berat Sepeda motor
Mobil roda empat Bis
Mobil roda empat Sepeda motor
Bis Sepeda motor
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
159
II.C Faktor Manfaat Ekonomi
Dalam penilaian subkriteria faktor ekonomi menggunakan data :
1. Manfaat/kelayakan (NPV)
2. Biaya Kegiatan
Pertanyaan :
1. Dalam menentukan faktor ekonomi
Manfaat /kelayakan (NPV) lebih penting dari pada Biaya kegiatan.
Biaya kegiatan lebih penting dari pada manfaat/kelayakan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
II.D Faktor Kebijakan
Dalam penilaian subkriteria faktor kebijakan menggunakan data :
1. Musrenbang Camat.
2. Musrenbang Kabupaten
3. Musrenbang Provinsi
4. Anggaran Biaya Tambahan (ABT)
Pertanyaan :
1. Dalam menentukan faktor kebijakan
Musrenbang Camat lebih penting dari pada Musrenbang Kabupaten.
Musrenbang Kabupaten lebih penting dari pada Musrenbang Camat.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
Manfaat/kelayakan (NPV) Biaya kegiatan
Musrenbang Camat Musrenbang Kabupaten
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
160
2. Dalam menentukan faktor kebijakan
Musrenbang Camat lebih penting dari pada Musrenbang Provinsi.
Musrenbang Provinsi lebih penting dari pada Musrenbang Camat.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
3. Dalam menentukan faktor kebijakan
Musrenbang Camat lebih penting dari pada Anggaran Biaya Tambahan
(ABT).
Musrenbang Anggaran Biaya Tambahan (ABT). lebih penting dari
pada Musrenbang Camat.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
4. Dalam menentukan faktor kebijakan
Musrenbang Kabupaten lebih penting dari pada Musrenbang Provinsi.
Musrenbang Provinsi lebih penting dari pada Musrenbang Kabupaten.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
Musrenbang Camat Musrenbang Provinsi
Musrenbang Camat Anggaran Biaya Tambahan (ABT)
Musrenbang Kab. Musrenbang Prov.
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
161
5. Dalam menentukan faktor kebijakan
Musrenbang Kabupaten lebih penting dari pada Anggaran Biaya
Tambahan (ABT).
Anggaran Biaya Tambahan (ABT) lebih penting dari pada
Musrenbang Kabupaten.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
6. Dalam menentukan faktor kebijakan
Musrenbang Provinsi lebih penting dari pada Anggaran Biaya
Tambahan (ABT).
Anggaran Biaya Tambahan (ABT) lebih penting dari pada
Musrenbang Provinsi.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
II.E Faktor Tata Guna Lahan
Dalam penilaian subkriteria faktor Tata Guna Lahan menggunakan data :
1. Bidang Pertanian
2. Bidang Pendidikan
3. Bidang Sosal - Budaya
4. Bidang Perdagangan - Jasa
Musrenbang Kab. Anggaran Biaya Tambahan (ABT)
Musrenbang Provinsi Anggaran Biaya Tambahan (ABT)
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
162
Pertanyaan :
1. Dalam menentukan faktor tata guna lahan terhadap pengembangan akses
Penunjang di bidang pertanian/perkebunan lebih penting dari pada
penunjang di bidang pendidikan.
Penunjang di bid.pendidikan lebih penting dari pada penunjang
dibidang pertanian.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
2. Dalam menentukan faktor tata guna lahan terhadap pengembangan akses
Penunjang di bidang pertanian lebih penting dari pada penunjang di
bidang sosial-budaya.
Penunjang di bid.sosial-budaya lebih penting dari pada penunjang
dibidang pertanian.
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
3. Dalam menentukan faktor tata guna lahan terhadap pengembangan akses
Penunjang di bidang pertanian lebih penting dari pada penunjang di
bidang perdagangan & jasa.
Penunjang di bid.perdagangan & jasa lebih penting dari pada
penunjang dibidang pertanian
Bidang pertanian Bidang Pendidikan
Bidang Pertanian Bidang Sosal-budaya
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
163
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
4. Dalam menentukan faktor tata guna lahan terhadap pengembangan akses
Penunjang di bidang pendidikan lebih penting dari pada penunjang di
bidang sosial-budaya.
Penunjang di bid.sosial-budaya lebih penting dari pada penunjang
dibidang pendidikan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
5. Dalam menentukan faktor tata guna lahan terhadap pengembangan akses
Penunjang di bidang pendidikan lebih penting dari pada penunjang di
bidang perdagangan & jasa.
Penunjang di bid.perdagangan & jasa lebih penting dari pada
penunjang dibidang pendidikan
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
Bidang Pertanian Bidang Perdagangan & jasa
Bidang Pendidikan Bidang Sosal-budaya
Bidang Pendidikan Bidang Perdagangan - jasa
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
164
6. Dalam menentukan faktor tata guna lahan terhadap pengembangan akses
Penunjang di bidang sosial-budaya lebih penting dari pada penunjang
di bidang perdagangan & jasa.
Penunjang di bid.perdagangan & jasa lebih penting dari pada
penunjang dibidang sosial-budaya
Seberapa besar tingkat kepentingannya ?
Bidang Sosal – budaya Bidang Perdagangan - jasa
9 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 5 6 7 9 8 4 8
165
Tabel B.1 Daftar Peserta Responden Kode resp. Jabatan
R1 Bpk Asisten Pembangunan Setda Kab. Bangli R2 Kadis PU Kab.Bangli
R3 Kasi Pemeliharaan dan Rehab Jln Bid Bina Marga
R4 Kasi Peningkatan Jalan Bid Bina Marga R5 Staf Perencana Bid. Bina Marga R6 Kep Bid Fisik dan Prasarana Bappeda R7 Kasubdin Tata Ruang di Bappeda R8 Staf fisik Bappeda R9 Anggota DPRD Bangli Komisi C R10 Camat Kec. Bangli R11 Camat Kec. Susut R12 Camat Kec. Tembuku R13 Camat Kec. Kintamani R14 Kaur Pembangunan Kel Kawan Kec. Bangli R15 Kaur Pembangunan Ds.Bunutin Kec. Bangli
R16 Kaur Pembangunan Kel. Tegalalang Kec. Bangli
R17 Kaur Pembangunan Ds Susut Kec. Susut R18 Kaur Pembangunan Ds. Tiga Kec. Susut
R19 Kaur Pembangunan Ds.Penglumbaran Kec. Susut
R20 Kaur Pembangunan Ds.Undisan Kec. Tembuku
R21 Kaur Pembangunan Ds.Peninjoan Kec. Tembuku
R22 Kaur Pembangunan Ds Batur Selatan Kec.Kintamani
R23 Kaur Pembangunan Ds Sukawana Kec. Kintamani
R24 Kaur Pembangunan Ds Songan A Kec. Kintamani
R25 Kaur Pembangunan Ds. Manikliyu Kec. Kintamani
R26 Kaur Pembangunan Ds. Suter Kec. Kintamani Sumber : Hasil Analisis, 2010
166
LAMPIRAN C DATA SEKUNDER
(Penanganan Jalan Kabupaten di Kabupaten Bangli)
167
LAMPIRAN D ANALISIS DATA
(Penentuan Skala Prioritas Penanganan Jalan Kabupaten
di Kabupaten Bangli)