Download - Pendidikan nilai-di-era-global 2010
1
PENDIDIKAN NILAI DI ERA GLOBAL 1
Winarno Narmoatmojo, S Pd, M Si 2
PENDAHULUAN
Pencanangan pendidikan karakter oleh presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada peringatan hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2010 terkesan
tidak bergaung luas. Hal ini bisa jadi saat itu memang belum ada tindak
lanjut kebijakan mengenai pendidikan karakter. Namun demikian, trend
pendidikan karakter yang diawali melalui peringatan Hari Pendidikan
Nasional tersebut sekarang ini mulai mendapat respon berbagai pihak,
khususnya para pelaku pendidikan yang concern terhadap pendidikan
karakter.
Menindak lanjuti pencanangan tersebut, di lingkungan Kementrian
Pendidikan Nasional sekarang ini, program pendidikan karakter mulai
dikembangkan dan diupayakan penterjemahannya dalam praksis
pendidikan. Pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh
jenjang pendidikan yang dibinanya. Tidak terkecuali di pendidikan tinggi,
pendidikan karakter pun mendapatkan perhatian yang cukup besar.
Misalnya, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada tanggal 1 Juni 2010
mengadakan Rembuk Nasional dengan tema “ Membangun Karakter
Bangsa dengan Berwawasan Kebangsaan”. Acara yang digelar di Balai
Pertemuan UPI ini, dibidani oleh Pusat Kajian Nasional Pendidikan
Pancasila dan Wawasan Kebangsaan UPI dan dihadiri oleh Wakil Menteri
Pendidikan Nasional Prof.Dr.Fasli Jalal, Ph.D.
1 Makalah disajikan dalam Seminar Regional “ Implementasi Pendidikan Nilai Di Era
Global” tanggal 22 September 2010 di Aula Pascasarjana, UNISRI Surakarta 2 Dosen Program Studi PPKn FKIP UNS Solo
2
Sehari sebelumnya yaitu tanggal 31 Mei 2010, Komisi X, DPR-RI,
mengadakan Rapat Kerja yang membahas pendidikan karakter. Hadir di
rapat tersebut selain 25 anggota fraksi, adalah Menkokesra, Mendiknas,
Menag, Menbudpar, Menpora, Wamendiknas, Perwakilan Kementerian
Dalam Negeri, serta para pejabat eselon 1 kementerian terkait. Dalam Rapat
Kerja tersebut dibahas mengenai kesiapan masing-masing kementerian
mengenai pendidikan karakter. Menkokesra sebagai koordinator perumus
pendidikan karakter menyebutkan bahwa setiap kementerian yang terikat
memiliki program-program berencana mengenai pendidikan karakter yang
nantinya diajukan sebagai bahan untuk mengagas lahirnya Keppres
mengenai pendidikan karakter. Menkokesra pun menyebutkan bahwa
nantinya pendidikan karakter ini akan dijadikan aksi bersama dalam
pelaksanaannya.
Gerakan pendidikan karakter di sekolah sekolah sekarang inipun
mulai dicanangkan yaitu dengan mengintegrasikan pendidikan karakter
dalam kurikulum yang telah ada atau dimuatkan dalam mata pelajaran yang
telah ada. Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Fasli Jalal mengatakan
pendidikan karakter yang didorong pemerintah untuk dilaksanakan di
sekolah-sekolah tidak akan membebani guru dan siswa. Sebab, hal-hal yang
terkandung dalam pendidikan karakter sebenarnya sudah ada dalam
kurikulum, namun selama ini tidak dikedepankan dan diajarkan secara
tersurat. Selain itu, untuk menyukseskan program pendidikan karater,
pemerintah menggelar pelatihan bagi 263 ribu pengawas dan kepala sekolah
dan setiap tahun akan dilaksanakan pertemuan nasional untuk membahas
pendidikan karakter. (Kompas, 31 Agustus 2010).
Jika pendidikan karakter yang sekarang ini tengah gencar digelorakan
melalui kurikulum yang sudah ada yakni kurikulum 2006 atau dikenal
3
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sesungguhnya
melalui uji coba kurikulum 2004 kita telah mengenalnya melalui konsep
pendidikan budi pekerti. Program pendidikan budi pekerti berdasar
kurikulum 2004 tidak diwujudkan dalam mata pelajaran tetapi dilakukan
melalui kegiatan terintegrasi. Pendidikan budi pekerti terintegrasi terutama
ke dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan , agama dan mata
pelajaran lain yang relevan serta kegiatan ektra kurikuler. Beberapa buku
pelajaran PKn sekolah telah memasukannya melalui judul integrasi budi
pekerti.
Apabila kita menengok kebelakang lagi, pendidikan budi pekerti
sebelumnya telah muncul juga dalam bentuk pendidikan moral yaitu
melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) berdasar
kurikulum 1984 dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
berdasar kurikulum 1994. Baik PMP maupun PPKn saat itu sarat dengan
nilai-nilai moral yakni nilai moral Pancasila. PMP maupun PPKn
dimaksudkan sebagai pendidikan Pancasila yakni mengarah pada moral
yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, yang intinya
mencerminkan sikap dan perilaku yang berdasar nilai moral Pancasila.
Menyimak perkembangan yang ada, pendidikan karakter
sesungguhnya sudah ada sejak lama, hanya saja dengan istilah yang berbeda
yakni pendidikan moral, pendidikan budi pekerti dan sekarang ini
pendidikan karakter. Mungkin, istilah pendidikan karakter yang sekarang
sedang nge-trend ini, terpengaruh oleh literatur atau perkembangan yang
terjadi di luar negeri. Menurut Ratna Megawangi (2007) sekarang ini ada
kecenderungan di AS untuk mengganti istilah value/moral education dengan
character education. Selain istilah pendidikan karakter, pendidikan budi
pekerti dan pendidikan moral, terdapat pula istilah lain yang sepadan
4
seperti pendidikan akhlak, pendidikan afektif, pendidikan kesusilaan,
pendidikan watak dan pendidikan nilai.
Makalah ini akan mengulas tentang konsep pendidikan nilai, yang
menurut hemat penulis, konsep ini lebih bersifat generik dan mampu
mewadahi beberapa istilah sebelumnya. Akan diulas konteks nilai dengan
pendidikan, nilai kaitannya dengan globalisasi serta pendidikan nilai perihal
arti penting dan beberapa pendekatannya yang bisa dilakukan.
NILAI DAN PENDIDIKAN
Istilah pendidikan nilai (value education) dibangun dari dua kata yaitu
nilai (value) dan pendidikan (education). Kata nilai berasal dari value (bhs
Inggris, atau valere (bhs. Latin) yang bermakna harga. Nilai adalah sesuatu
yang bernilai atau sesuatu itu berharga. Perdefinisi nilai adalah
penghargaan/kualitas terhadap suatu hal yang dapat menjadi dasar penentu
tingkah laku manusia karena sesuatu itu menyenangkan (peasent), berguna
(useful), memuaskan (satifing), menguntungkan (profitable), menarik
(interesting), dan merupakan keyakinan (belief). Contoh nilai : keadilan,
kejujuran, tanggung jawab, keindahan, kerapian, keamanan, keharmonisan,
dan seterusnya. Nilai memiliki karakteristik sebagai berikut; a. suatu realitas
abstrak (tidak dapat ditangkap melalui indera tetapi ada), b. bersifat
normatif (yang seharusnya yang ideal, sebaiknya, diinginkan) dan c.
berfungsi sebagai daya dorong manusia (sebagai motivator) (Bambang
Daroeso; 1986)
Nilai banyak contohnya sebagaimana telah disebutkan di atas.
Beragam nilai tersebut dapat dimasukkan kedalam : klasifikasi nilai, kategori
nilai dan hierarki nilai. Klasifikasi nilai terdiri atas : nilai instrumental dan
nilai terminal (means values & end values); nilai ekstrinsik dan nilai instrinsik;
5
nilai personal dan nilai sosial; nilai subyektif dan nilai obyektif; nilai-nilai
nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Kategori
nilai meliputi nilai teoritik, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai sosial, nilai
agama, nilai politik. Sedangkan hierarki nilai dapat terdiri: nilai kenikmatan-
nilai kehidupan-nilai kejiwaan-nilai kerohanian (Max Scheller); nilai inti-nilai
sekuler-nilai operasional (James Lipman); nilai dasar-nilai instrumental-nilai
praksis (Filsafat Pancasila). Diantara ragam nilai tersebut kita bisa
menambahkannya lagi kategori nilai dasar yang terdiri atas : nilai logis
(kebenaran), nilai estetis (keindahan), dan nilai etis (kebaikan) (Rohmat
Mulyana, 2004)
Kata pendidikan memiliki pula beragam arti. Menurut KH Dewantoro
pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, yaitu
menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka
sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Driyarkara
berpendapat bahwa intisari atau eidos dari pendidikan ialah pemanusiaan
manusia-muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf insani, itulah yang
menjelma dalam semua perbuatan mendidik, yang jumlah dan macamnya
tak terhitung (imadiklus.com/pendidikan-dan-nilai-value-and-education).
Undang undang No 20 tahun 2003 tentang SPN menyatakan pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dari berbagai pendapat di atas, pendidikan Pendidikan dapat
dipandang dalam arti luas dan dalam arti teknis. Dalam artinya luas
6
pendidikan menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang
mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau
perkembangan jiwa (mind), watak (character), atau kemampuan fisik (physical
ability) individu. Pendidikan dalam artian ini berlangsung terus (seumur
hidup). Kita sesungguhnya belajar dari pengalaman seluruh kehidupan kita.
Dalam arti teknis, pendidikan adalah proses dimana masyarakat, melalui
lembaga-lembangan pendidikan (sekolah), dengan sengaja
mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan
keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi.
Nilai selalu berkaitan dengan pendidikan. Nilai adalah jantungnya
pendidikan.Tujuan pendidikan pada dasarnya adalah ketercapaiannya pada
suatu nilai. Tujuan pendidikan sebuah bangsa adalah mengembangkan
terwujudnya nilai pada peserta didiknya. Tujuan pendidikan nasional
Indonesia adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Ps 3 UU No 20 th 2003). Keimanan, akhlak
mulia, kesehatan, berilmu, kecakapan, kreatifitas, kemandirian, demokratis
dan bertanggung jawab adalah nilai-nilai yang ingin dicapai oleh pendidikan
nasional kita sekarang ini.
DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP NILAI
Sekarang ini kita memasuki era atau kurun masa yang disebut banyak
orang sebagai era global. Global artinya sejagat. Era global berarti era
kesejagatan. Menurut Malcolm Waters (1995) ada tiga tema atau dimensi
utama globalisasi yaitu economic globalization , political globalization dan
cultural globalization. Sejalan dengan pendapat tersebut isu globalisasi yang
7
meliputi economic, cultural dan environmental memiliki implikasi penting bagi
suatu negara bangsa (Kate Nash, 2000). Pendapat lain menyatakan
kecenderungan global secara umum meliputi : the global economy, technology
and comunication dan population and environment (Asiz Wahab, 2006). Dari
ketiga dimensi globalisasi, dimensi budayalah yang menurut hemat penulis
memiliki kaitan erat dengan nilai. Dari sisi budaya, globalisasi adalah gejala
tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga
menjadi budaya dunia atau world culture).
Apa dampak globalisasi budaya ini terhadap nilai? Globalisasi
memunculkan pergeseran nilai dimana nilai lama meredup sementara
muncul nilai-nilai baru. Globalisasi yang menyebabkan terjadinya interaksi
antar budaya, disamping mampu memunculkan pengaruh positif tetapi juga
telah menimbulkan pengaruh negatif, seperti semakin memudarnya
penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas sosial,
kekeluargaan, rasa cinta tanah air, serta berbagai perilaku yang tidak sesuai
dengan nilai, norma, dan pandangan hidup bangsa Indonesia. (RPJMN 2010-
2014) Proses globalisasi telah memperlemah atau melongsorkan bentuk-
bentuk identitas kultural suatu bangsa (Kalidjernih, 2007) Globalisasi juga
menciptakan konflik nilai yaitu antara nilai lokal versus nilai global.
Misalnya kasus goyang ngebor seorang penyanyi.
Selain globalisasi berdampak pada nilai, ia juga berdampak pada
pendidikan sebuah bangsa. Globalisasi khususnya dalam bidang teknologi
mengakibatkan pergeseran substansi pendidikan ke pengajaran. Makna
pendidikan yang syarat dengan nilai-nilai moral bergeser pada pengajaran
sebagai transfer pengetahuan, dengan tujuan agar mampu menjalankan
teknologi. Di sisi lain memunculkan pragmatisme dalam dunia pendidikan.
Pendidikan sebagai proses hominisasi dan humanisasi, telah terdepak oleh
8
nilai-nilai pragmatis demi mencapai tujuan materiil, khususnya
kemakmuran ekonomi. Globalisasi dapat memperkokoh kembalinya paham
behaviorisme dalam dunia pendidikan. Paham ini mengacu pada
pertimbangan atribut atribut luar seperti perubahan perilaku yang dapat
diamati, misal IPK sebagai ukuran kesuksesan. Globalisasi juga
menyebabkan lemahnya peran-peran penting pelaku pendidikan (guru, ortu,
tokoh) dan tripusat pendidikan (sekolah, keluarga dan masyarakat). Peran
pendidikan sekarang ini banyak didominasi oleh media (film, tv, internet,
koran, dan sebagainya )
Globalisasi tidak hanya berdampak pada nilai dan pendidikan, tetapi
juga pada pendidikan nilai (value education). Sekarang ini, pendidikan nilai
di era global terasa mengalami kemunduran. Orang meskipun mengakui
pentingnya pendidikan nilai tetapi tetap segan dan masa bodoh dengan
pendidikan nilai. Thomas Likcona dalam The Return of Character Education
(1993) mengistilahlahkan dengan Declined of Value education
in the 20th century. Sebab sebab kemunduran tersebut adalah sebagai
berikut; 1) Berkembangnya paham evolusi Darwinisme yang memandang
semua hal termasuk nilai/moral adalah berubah. Jadi tidak ada yang abadi
dalam kehidupan ini termasuk nilai 2) Berkembangnya aliran positivisme
radikal yang membedakan secara tegas antara fakta (teramati) dan nilai
(tidak terukur) sehingga nilai adalah relatif dan privat, 3) Berkembanganya
personalisme yang mengagungkan kebebasan, hak dan otonomi individu.
Sebagai akibatnya terjadi delegitimasi otorias moral baik dari pihak
keluarga, sekolah, lembaga agama dan negara, 4) Tumbuhnya gagasan
pluralisme yang bersifat pengakuan terhadap perbedaan termasuk
perbedaan nilai yang dianut dan 5) Menguatnya sekulerisme, yang mana
9
gagasan pendidikan nilai melanggar pemisahan antara lembaga agama dan
negara.
PENTINGNYA PENDIDIKAN NILAI
Pendidikan nilai dapat diartikan secara luas dan secara sempit. Dalam
arti luas, pendidikan nilai merupakan bentuk bimbingan kepada peserta
didik agar menyadari nilai kebenaran (logis), kebaikan (etis) dan keindahan
(estetis) melalui proses internalisasi nilai dan pembiasaan bertindak. Dalam
arti sempit, pendidikan nilai bermakna pemberian bimbingan kepada
peserta didik akan aspek /ranah/domain afektif, atau dalam hal ini nilai etis
(kebaikan). Pendidikan nilai dimaknai pula sebagai pendidikan afektif,
pendidikan akhlak, pendidikan watak, pendidikan budi pekerti, pendidikan
karakter, pendidikan kesusilaan, dan pendidikan moral. Tujuan pendidikan
nilai meliputi 1) menerapkan pembentukan nilai pada anak, 2)
menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai, dan 3) membimbing perilaku
yang konsisten dengan nilai (UNESCO, 1994).
Berkaitan dengan makna pendidikan nilai, maka pertanyaan pokok
yang perlu dicari jawab adalah “mengapa nilai (kebaikan) harus dibina dan
dibimbing? Sebelumnya merumuskan jawabannya, simak cerita di bawah
ini.
1. Kata-kata mutiara dari John Luther yang mengatakan bahwa “Karakter
yang baik adalah lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir
semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik adalah sebaliknya, tidak
dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit-
dengan pikiran, pilihan, keberanian dan usaha keras.
2. Dalil dalam Al Qur’an Surat Asy Syam ayat 7-10 yang intinya adalah
manusia diberi Allah potensi baik dan buruk (jalan ketagwaan dan jalan
10
keburukan) tergantung manusia itu sendiri mengusahakannya. Barang
siapa menuju ke kebaikan maka beruntunglah dia , sedangkan barang
siapa menuju pada keburukan maka merugilah dia.
3. Sebuah cerita yang sumbernya anonim, sebagai berikut; Alkisah ada
seorang kakek berkata kepada cucunya; ‘’Dalam diri saya ada dua
serigala, yaitu serigala baik dan jahat. Serigala yang baik tidak pernah
menyerang. Ia hidup damai tenteram dengan semua yang ada di
sekelilingnya. Ia hanya menyerang kalau memang ia harus
mempertahankan diri, dan itu pun dilakukannya dengan baik dan adil.’’.
‘’Tetapi serigala yang satu ini, wah ! penuh dengan kemarahan. Kejadian
sekecil apapun pasti akan membuatnya marah. Ia membenci dan
memerangi siapa saja,walaupun tanpa alasan yang jelas. Ia tidak pernah
bisa berpikir jernih, karena rasa kebencian dan kemarahannya telah
menguasai akal sehatnya”. Lanjut kakek, “Alangkah sulitnya hidup
dengan dua jenis serigala yang ada di dalam diri kakek ini ,karena
keduanya berusaha menguasai jiwa saya,dan saling bersaing. Kemudian
sang cucu memandang kakeknya dengan penuh rasa ingin tahu, dan
bertanya :”Serigala mana yang menang, kakek?” Kakek menjawab
dengan pandangan serius ,”Yang menang tentu saja yang saya beri
makan”. (Ratna Megawangi, 2007). Ternyata penulis mendapatkan cerita
yang anonim tersebut sesuai dengan suatu adegan dalam film Pathfinder
yang kurang lebih dialognya sebagai berikut;
Tokoh Perempuan : “ada dua serigala dalam diri manusia yaitu benci dan
cinta”
Tokoh Laki-laki : “mana yang akan menang?”
Tokoh Perempuan : “ yang kamu turuti”
11
Menyimak tiga cerita di atas, menunjukkan bahwa manusia agar
hidupnya berbuat dan bersikap menuju nilai kebaikan, maka diperlukan
baginya arahan, bantuan, dukungan, dan kemauan dalam dirinya sendiri
untuk berbuat dan menuju kebaikan. Tanpa itu maka potensi baik dalam
dirinya tidak akan berkembang. Pendidikan nilai membantu individu
mengenal akan hal yang baik (knowing the good), lebih dari itu pendidikan
nilai harus mampu pula mengarahkan individu agar mencintai kebaikan
(loving the good), menginginkan kebaikan (desiring the good) dan akhirnya
melakukan kebaikan (acting the good). Menurut Thomas Lickona, pendidikan
nilai memerlukan keempatnya dalan proses pendidikan, yaitu proses
knowing, loving, desiring dan acting the good. Dalam bahasa kita dapat
diterjemahkan kedalam 4 M; mengetahui, mencintai, menginginkan dan
melakukan kebaikan. Pendidikan nilai yang hanya mencapai proses knowing
the good, bukanlah kategori pendidikan nilai tetepi pembelajaran tentang
nilai.
Pentingnya pendidikan nilai, yang sebelumnya di Indonesia muncul
dalam bentuk pendidikan budi pekerti dan pendidikan moral, diakui pula
oleh mantan presiden Megawati Soekarno Putri yang menyatakan bahwa
persoalan pokok yang dihadapi dalam sistem pendidikan nasional saat ini
dan di masa yang akan datang adalah memperkokoh pendidikan budi
pekerti melalui proses pengajaran, pengasuhan pemberian bimbingan
kepada peserta didik. Pendidikan watak dan budi pekerti merupakan
elemen dasar yang sangat penting dalam pembangunan karakter bangsa.
Hasil seminar Pusat Inovasi, Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang) Kemendiknas (2004) menghasilkan kesepakatan bahwa (1)
semua pembicara sependapat tentang pentingnya peranan Pendidikan Budi
Pekerti dalam rangka pembinaan generasi muda; (2) Esensi Pendidikan Budi
12
Pekerti sebenarnya telah ada dalam kurikulum yang berlaku saat ini, yang
diajarkan melalui PMP dan PPKn, namun hasilnya belum sesuai dengan
harapan masyarakat; 3) Untuk masa yang akan datang ada dua
kemungkinan modus Pendidikan Budi Pekerti yang dapat dipilih, yakni:
pertama, berdiri sendiri sebagai suatu mata pelajaran, dan kedua
terintegrasikan dalam mata pelajaran civics, pendidikan agama, dan mata
pelajaran lain yang relevan.
Selanjutnya Thomas Lickona menunjukkan adanya 10 tanda dimana
dengan kemunculannya tersebut menunjukkan sebuah bangsa diambang
kehancuran dan di situlah pendidikan nilai memegang peranan penting.
Kesepuluh tanda tersebut adalah : 1. Meningkatnya kekerasan di kalangan
remaja. 2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk. 3. Pengaruh peer
group yang kuat dalam tindak kekerasan. 4. Meningkatnya perilaku yang
merusak diri seperti narkoba, sex bebas dan alkohol. 5. Kaburnya pedoman
moral baik dan buruk. 6. Penurunan etos kerja.7. Rendahnya rasa hormat
kepada orangtua dan guru. 8. Rendahnya rasa tanggungjawab baik sebagai
individu dan warganegara. 9. Ketidakjujuran yang telah membudaya dan 10.
Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesame. Jika kita
instrospeksi apakah dalam diri bangsa Indonesia sekarang ini menunjukkan
tanda-tanda tersebut?
Jika pendidikan nilai memang penting diselenggarakan, lalu nilai-
nilai apakah yang selayaknya menjadi isi bagi pembelajarannya? Menurut
Unesco (Rohmat Mulyana, 2004) martabat manusia sebagai nilai tertinggi
yang menjadi isi pokok pendidikan nilai. Nilai martabat manusia tersebut
didalamnya mencakup; Nilai kesehatan yakni: kebersihan, kebugaran fisik,
keharmonisan dengan alam; Nilai kebenaran yakni : pengetahuan, berfikir
kritis, kreatif; Nilai kasih sayang yakni: integritas, kejujuran, kasih sayang,
13
kebermaknaan diri, disiplin, spiritual (keyakinan kepada Tuhan); Nilai
tanggung jawab sosial yakni: saling menghormati, peduli, menghargai hak
asasi, kedamaian, keadilan sosial, partisipasi publik; Nilai efisiensi ekonomi
yakni: pemelihaaan sumber daya, etika kerja, produktivitas, kewirausahaan;
dan Nilai nasionalisme yakni rasa pesatuan, menghargai pahlawan,
kebanggaan, tanggung jawab publik, solidaritas, cinta negara.
Tentang nilai sebagai isi pendidikan nilai, pendapat lain menyatakan
mencakup honesty, compassion, courage, kindness, self-control, cooperation,
diligence or hard work, all the kinds of qualities that we need to both lead a fulfilling
life and to be able to live together harmoniously and productively (Thomas Lickona,
1992). Jujur, Tanggung Jawab, Disiplin, Kerjasama, Adil, Visioner, dan
Peduli sebagai The Seven Spiritual Core Values (Ary GA, ESQ 165) serta
Religius, Manusiawi, Bersatu, Demokratis dan Adil (filsafat Pancasila).
Mengenai sumber nilai dapat bersumber dari agama, nilai bersama
(common values) dan dari khasanah local. Pada masa Orde Baru, sumber
pendidikan nilai selalu dikaitkan dengan nilai-nilai dasar Pancasila (sebagai
filosofi atau pandangan-dunia bangsa Indonesia)_ Pancasila sebagai
common values_ yang kemudian disajikan dalam mata pelajaran PMP-
PPKn. Kecenderungan yang terjadi, pendidikan moral menjadi terlalu
negara-sentris, deduktif, kering, hambar, bahkan cenderung ideologis dan
pro-status quo. Perlu diketahui sebagaimana dikatakan Goods bahwa di
negara sekuler, pendidikan nilai dilaksanakan melalui pelajaran pendidikan
kewarganegaraan, sedang di negara agama pendidikan nilai dilaksanakan
melalui pelajaran agama (Syarkawi, 2006). Terkait dengan Indonesia yang
menyatakan diri sebagai bangsa yang religius maka pendidikan agama
mendapat tempat yang penting dalam rangka pendidikan nilai, disamping
dengan melalui pendidikan kewarganegaraan. Sekarang ini nampaknya
14
pendidikan (nilai) Pancasila kurang mendapat tempat yakni dengan
tiadanya pendidikan Pancasila di perguruan tinggi atau setidak tidaknya
tidak menggunakan lagi label mata pelajaran Pendidikan Pancasila dalam
kurikulum sekolah.
PENDEKATAN DALAM PENDIDIKAN NILAI
Bagaimana cara agar nilai dapat terinternalisasi dalam diri peserta
didik? Bagaimana peserta didik bisa mengalami proses knowing, loving,
desiring and acting the good? Dalam hal ini kita berbicara tentang pendekatan
dalam pendidikan nilai.
Para ahli telah membuat klasifikasi mengenai hal ini. Setidaknya ada
dua pendapat yang dapat dikemukakan di sini. Pendapat pertama
mengatakan ada 3 pendekatan dalam pendidikan nilai. Ketiga pendekatan
itu adalah: 1) Pendekatan Lawrence Kolhberg atau disebut Cognitive Moral
Development, 2) Pendekatan L Metccalf dan Iman al Ghozalli atau disebut
Affektive Moral Development dan 3) Pendekatan Albert Bandura dan Skiner
atau disebut Behavior Moral Development.
Pendapat kedua bersumber dari karya Douglas Superka yang
menyebutkan adanya 5 (lima) pendekatan, yakni 1) Pendekatan penanaman
nilai (inculcation approach), 2) Pendekatan perkembangan moral kognitif
(cognitive moral development approach), 3) Pendekatan analisis nilai (values
analysis approach), 4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach),
dan 5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) (Superka,
et. al. 1973).
Pendekatan penanaman nilai adalah pendekatan yang memberi
penekanan pada penanaman nilai-nilai dalam diri siswa. Pendekatan ini
sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Pendekatan ini dipandang
15
indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi
Pendekatan ini mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan Barat yang
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu namun, pendekatan
ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat, terutamanya
dalam penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya.
Pendekatan klarifikasi nilai memberi penekanan pada usaha
membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri
Pendekatan ini menanamkan nilai kepada subyek didik dengan melalui
kesadarannya sendiri. Dapat dikatakan bahwa teknik ini mengikuti aliran
konstruktivisme. Pendekatan analisis nilai memberikan penekanan pada
perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis dengan cara
menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial
Pendekatan ini lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang
memuat nilai-nilai sosial.
Pendekatan pertimbangan moral atau pendekatan Lawrence Kolhberg
memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya.
Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-
masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Proses
pembelajaran didasarkan pada dilemma moral dengan menggunakan
metoda diskusi kelompok , dimulai dengan penyajian cerita yang
mengandung dilemma. Dalam diskusi tersebut, siswa didorong untuk
menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat,
apa alasan-alasannya. Pendekatan ini memberi kebebasan penuh kepada
siswa untuk berpikir dan sampai pada kesimpulan yang sesuai dengan
tingkat perkembangan moral reasoning masing-masing. Pendekatan
pembelajaran berbuat memberikan kesempatan kepada siswa untuk
melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun
16
secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Pendekatan ini melibatkan
siswa sekolah dalam melakukan perubahan-perubahan sosial.
Menurut hemat penulis pendekatan penanaman nilai (inculcation
approach) adalah pendekatan yang masih layak dan tepat untuk digunakan
dalam pelaksanaan nilai atau pendidikan karakter di Indonesia. Pendekatan
ini lazim digunakan di Indonesia yang masyarakatnya cenderung memiliki
tradisi lisan. Walaupun pendekatan ini dikritik sebagai pendekatan yang
berbau indoktrinatif oleh penganut filsafat liberal, namun berdasarkan
kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan falsafah Pancasila,
pendekatan ini dipandang paling sesuai. Alasan-alasan untuk mendukung
pandangan ini antara lain sebagai berikut (Teuku Ramli Zakaria, 2001) :
Tujuan Pendidikan Nilai adalah penanaman nilai-nilai tertentu dalam
diri siswa. Pengajarannya bertitik tolak dari nilai-nilai sosial tertentu, yakni
nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia lainnya,
yang tumbuh dan berkembangan dalam masyarakat Indonesia.
Menurut nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan pandangan
hidup Pancasila, manusia memiliki berbagai hak dan kewajiban dalam
hidupnya. Setiap hak senantiasa disertai dengan kewajiban, misalnya: hak
sebagai pembeli, disertai kewajiban sebagai pembeli terhadap penjual; hak
sebagai anak, disertai dengan kewajiban sebagai anak terhadap orang tua;
hak sebagai pegawai negeri, disertai kewajiban sebagai pegawai negeri
terhadap masyarakat dan negara; dan sebagainya.
Dalam rangka Pendidikan Nilai, siswa perlu diperkenalkan dengan
hak dan kewajibannya, supaya menyadari dan dapat melaksanakan hak dan
kewajiban tersebut dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya, menurut konsep
Pancasila, hakikat manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa, makhluk
sosial, dan makhluk individu. Sehubungan dengan hakikatnya itu, manusia
memiliki hak dan kewajiban asasi, sebagai hak dan kewajiban dasar yang
melekat eksistensi kemanusiaannya itu. Hak dan kewajiban asasi tersebut
17
juga dihargai secara berimbang. Dalam rangka Pendidikan Nilai , siswa juga
perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajiban asasinya sebagai manusia.
Dalam pengajaran nilai di Indonesia, faktor isi atau nilai merupakan
hal yang amat penting. Dalam hal ini berbeda dengan pendidikan moral
dalam masyarakat liberal, yang hanya mementingkan proses atau
keterampilan dalam membuat pertimbangan moral. Pengajaran nilai
menurut pandangan tersebut adalah suatu indoktrinasi, yang harus dijauhi.
Anak harus diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan nilainya
sendiri. Pandangan ini berbeda dengan falsafah Pancasila dan budaya luhur
bangsa Indonesia, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya,
berzina, berjudi, adalah perhuatan tercela, yang harus dihindari; orang tua
harus dihormati, dan sebagainya. Nilai-nilai ini harus diajarkan kepada
anak, sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, dalam pendidikan nilai faktor isi nilai dan proses, keduanya sama-
sama dipentingkan.
PENUTUP
Nilai sebagai sesuatu yang berharga, berguna, menyenangkan dan
suatu keyakinan bagi manusia. Nilai bersifat realitas abstrak, normatif dan
menjadi daya dorong manusia dalam bertindak. Pendidikan sebagai proses
pendewasaan diri manusia pada dasarnya mengarah pada suatu nilai yang
ingin dicapai. Nilai merupakan jantungnya pendidikan.
Pendidikan nilai (values education) dalam arti luas adalah proses
bimbingan dan penciptaan suasana sedemikian rupa sehingga mampu
mengembangkan peserta didik akan nilai kebaikan, kebenaran dan
keindahan melalui proses internasisasi dan pembiasaan berbuat. Dalam
pengertian sempit pendidikan nilai adalah proses pengembangan ranah
afektif dalam diri anak. Dalam konteks ini pendidikan nilai dapat dimaknai
18
sebagai pendidikan afektif, pendidikan akhlak, pendidikan budi pekerti,
pendidikan nilai moral, pendidikan watak atau pendidikan karakter.
Globalisasi khususnya dalam dimensi budaya membawa dampak
terhadap nilai, pendidikan dan pendidikan nilai yang berlaku di suatu
bangsa. Pendidikan nilai semakin penting terutama di era global sebagai
akibat dari adanya pergeseran nilai, lunturnya identitas kultural dan
terjadinya konflik nilai. Di sisi lain pendidikan nilai penting dilakukan
sebagai bentuk bimbingan dalam diri manusia itu sendiri agar menemukan
nilai nilai yang dapat membawanya ke dalam jalan kebaikan. Pendidikan
nilai adalah proses homonisasi sekaligus humanisasi dalam diri manusia.
Pendekatan pendidikan nilai membicarakan bagaimana cara agar nilai
dapat terinternalisasi dalam diri peserta didik yang selanjutnya sebagai
acuan dalam sikap dan perilakunya. Pendekatan dalam pendidikan nilai
mencakup 1) Pendekatan Lawrence Kolhberg atau disebut Cognitive Moral
Development, 2) Pendekatan L Metccalf dan Iman al Ghozalli atau disebut
Affektive Moral Development dan 3) Pendekatan Albert Bandura dan Skiner
atau disebut Behavior Moral Development. Setiap pendekatan memiliki
kelemahan dan kelebihan. Di Indonesia , pendekatan penanaman nilai lazim
digunakan dan oleh karena itu masih layak dijalankan. Untuk menutupi
kelemahan pendekatan ini yakni cenderung indoktrnatif maka proses
pembelajarannya dapat dilengkapi dengan pendekatan lain yang lebih
bersifat mengembangkan partisipasi peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Ary Ginanjar Agustin. 2005. Emosional Spiritual Quetient, The Way 165. Jakarta
: Penerbit Agra
Aziz Toyibin & Kosasih Djahiri. 1997. Pendidikan Pancasila. Jakarta : Rineka
Cipta
19
Bambang Doroeso. 1986. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Semarang: Aneka
Ilmu
Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahannya
Kalidjernih, FK. 2007. Cakrawala Baru Kewarganegaraan , Refleksi Sosiologis
Indonesia . Jakarta; Regina
Lawrence Kohlberg. 1993. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta:
Kanisius
Naskah Akademik. 2001. Pendidikan Budi Pekerti. Depdiknas
Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014
Ratna Megawangi. 2007. Semua Berakar pada Karakter: Isu Isu Permasalahn
Bangsa . Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia
Rohmat Mulyana. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung :
Alfabeta
Syarkawi.2006. Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta : Bumi Aksara
Teuku Ramli Zakaria. 2001. Pendekatan dalam Pendidikan Nilai dalam Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta No 26, 479-495
Thomas Lickona. 1993. The Return of Character Education dalam
http://www.hi-ho.ne.jp/taku77
Undang undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional