UNIVERSITAS INDONESIA
PENANGANAN NYERI PADA PASIEN PASCA BEDAH
LAPAROTOMI
DI RUMAH SAKIT PRIMA MEDIKA DENPASAR BULAN
JANUARI-PEBRUARI TAHUN 2014
TESIS
CYNTHIA DEWI SINARDJA
NPM 1206301702
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI KAJIAN ADMINISTRASI RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS INDONESIA
UNIVERSITAS INDONESIA
PENANGANAN NYERI PADA PASIEN PASCA BEDAH
LAPAROTOMI
DI RUMAH SAKIT PRIMA MEDIKA DENPASAR BULAN
JANUARI-PEBRUARI TAHUN 2014
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Administrasi
Rumah Sakit
CYNTHIA DEWI SINARDJA
NPM 1206301702
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI KAJIAN ADMINISTRASI RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS INDONESIA
JULI 2014
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………...………………… ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS………………………… iii
SURAT PERNYATAAN………….…………………………………….. iv
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………… v
KATA PENGANTAR…………………………………………………… vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……………………………. viii
ABSTRAK………………………………………………………………. ix
ABSTRACT……………………………………………………………... x
DAFTAR ISI…………………………………………………………….. xi
DAFTAR TABEL……………………………………………………….. xiv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………. xv
DAFTAR GRAFIK……………………………………………………… xvi
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….. xvii
1. PENDAHULUAN…………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………. 1
1.2 Perumusan Masalah………………………….……………… 3
1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………. 3
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………… 4
1.5 Ruang Lingkup………………………………………………. 4
2. TINJAUAN PUSTAKA………..…………………………………….. 5
2.1 Definisi Nyeri………………………………………………… 5
2.2 Penilaian Nyeri……………………………………………….. 6
2.2.1 Instrumen Penilaian Nyeri………………………………….. 6
2.3 Nyeri Pasca Bedah Mayor…………………………………….. 8
2.4 Standard Operating Procedures (SOP)………………………... 8
2.5 Kepuasan Pasien Terhadap ProtokolNyeri Pasca Bedah……… 12
xii
3. GAMBARAN UMUM RUMAH SAKIT……………………………… 14
3.1 Profil Rumah Sakit Prima Medika Denpasar…………………. 14
3.2 Visi, Misi dan Moto Rumah Sakit Prima Medika Denpasar….. 14
3.2.1 Visi………………………………………………………...... 14
3.2.2 Misi………………………………………………………...... 14
3.2.3 Moto………………………………………………………… 15
3.3 Fasilitas dan Pelayanan……………………………………….. 15
3.3.1 Pelayanan Medik……………………………………………. 15
3.3.2 Pelayanan Penunjang………………………………………... 15
4. KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL………... 21
4.1 Kerangka Konsep…………………………………………….. 21
4.2 Definisi Operasional…………………………………………… 22
5. METODE PENELITIAN………………………………….………… 23
5.1 Rancangan Penelitian…………………………………………. 23
5.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………….. 23
5.3 Informan Penelitian………………………………………….. 23
5.4 Cara Pengumpulan Data……………………………………….. 23
5.5 Instrumen Pengumpulan Data………………………………….. 24
5.6 Tahapan Penelitian…………………………………………….. 24
5.7 Pengolahan Data……………………………………………….. 25
5.8 Analisis Data…………………………………………………… 25
6. HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………. 26
6.1 Pelaksanaan Penelitian………………………………………… 26
6.2 Karakteristik Informan………………………………………… 26
6.3 Keterbatasan Penelitian……………………………………….. 28
6.4 Keluhan Nyeri Pada Pasien Pasca Laparotomi………………… 28
6.5 Pengetahuan tentang Nyeri Pasca Bedah………………………. 36
6.6 Standar Pelayanan Nyeri……………………………………….. 39
xiii
6.7 Kepuasan Pasien……………………………………………. 44
7. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………….….. 45
7.1 Kesimpulan………………………………………………….. 45
7.2 Saran………………………………………………………… 46
DAFTAR PUSTAKA………………………………………..…………. 48
LAMPIRAN……………………………………………………………… 51
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Jenis operasi di rumah sakit prima medika denpasar
tahun 2013……………………………………………………………….. 3
Tabel 3.1 Data kegiatan Rumah Sakit Prima Medika tahun 2013………. 16
Tabel 3.2 Data kegiatan penunjang medis Rumah Sakit Prima Medika
tahun 2013………………………………………………………………… 17
Tabel 3.3 Data indikator mutu pelayanan Rumah Sakit Prima Medika
tahun 2013 ………………………………………………………………. 18
Tabel 6.1 Informan kelompok 2……….………………………………… 26
Tabel 6.2 Pasien yang menjalani laparotomi bulan Januari-Pebruari 2014
di RS Prima Medika Denpasar…………………………………………… 27
Tabel 6.3 Tingkat pendidikan pasien yang menjalani laparotomi
Bulan Januari-Pebruari 2014 di RS Prima Medika Denpasar……………. 28
Tabel 6.4 Teknik anesthesia yang digunakan……………………………. 28
Tabel 6.5 VAS diam dan bergerak pasien pasca laparotomi bulan
Januari-Pebruari 2014 di RS Prima Medika Denpasar…………………… 33
Tabel 6.6 Perbedaan nilai VAS pada pasien yang dikelola oleh dokter
anestesi dan dokter operator pada 48 jam pasca bedah…………………… 33
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Visual Analogue Scale (VAS)………………………………. 7
Gambar 4.1 Skema Kerangka Konsep…………………………………… 21
Gambar 6.1 Alur pasien di kamar operasi……………………………….. 29
xvi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 3.1 Jumlah Pasien Berdasarkan Gedung Rawat Inap
RS Prima Medika tahun 2013 ……………………………………………. 19
Grafik 3.2 BOR RS Prima Medika tahun 2013 …………………………… 20
Grafik 3.3 Pasien rawat inap RS Prima Medika tahun 2013………………. 20
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Informed Consent Persetujuan Informan Kelompok 1……… 51
Lampiran 2. Daftar Pertanyaan Informan Kelompok 1…………………... 52
Lampiran 3. Informed Consent Persetujuan Informan Kelompok 2……… 54
Lampiran 4. Daftar Pertanyaan Informan Kelompok 2…………………… 55
Lampiran 5. Matriks Hasil Wawancara…………………………………… 57
Lampiran 6. Data Diklat RS Prima Medika tahun 2013………………….. 64
Universitas Indonesia
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP, 2002),
nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya
jaringan atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.
Nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen obyektif (aspek fisiologi
sensorik nyeri) dan komponen subyektif (aspek emosional dan psikologi).
Pada tahun 1996, the American Pain Society mengemukakan bahwa “nyeri
merupakan tanda vital yang kelima” (Pain, tanpa tahun). Veteran Health
Administration (VHA) juga memasukkan nyeri sebagai tanda vital kelima
dalam kebijakan manajemen nyerinya (Anonim, 2000).
Nyeri pasca operasi merupakan salah satu penyebab tersering nyeri akut
yang disebabkan oleh prosedur pembedahan atau keadaan patologis penyakit
pasien. Manajemen nyeri pasca operasi yang kurang adekuat disebabkan oleh
beberapa faktor : sensasi dan pengalaman nyeri yang berbeda pada tiap
individu, tidak dilakukan evaluasi nyeri, kurangnya dokumentasi dan
penelusuran sistematis, kurangnya interaksi antara pasien dengan tenaga
medis dan perilaku negatif terhadap penggunaan analgetik (Svensson dkk,
2001). Penanganan nyeri pasca bedah yang tidak adekuat akan menimbulkan
masalah bagi pasien, antara lain mobilisasi dini akan terganggu,
menimbulkan gangguan pernapasan, penyembuhan luka lambat, timbul
trombosis vena dalam (deep vein thrombosis) akibat tidak mobilisasi.
Masalah-masalah tersebut akan memperpanjang masa rawat inap,
memerlukan obat-obatan dan perawatan lebih banyak dan pada akhirnya akan
meningkatkan biaya perawatan bagi pasien. Hal tersebut akan menimbulkan
ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan dokter dan ketidakpuasan terhadap
rumah sakit. Penanganan nyeri akut yang efektif merupakan komponen
fundamental dari pelayanan pasien yang berkualitas. Bagi pihak rumah sakit,
Universitas Indonesia
2
pelayanan pasien yang berkualitas tentu menunjukkan mutu pelayanan yang
baik dan meninggikan citra rumah sakit (Svensson dkk, 2001).
Secara umum derajat nyeri dibagi menjadi nyeri ringan, nyeri sedang, dan
nyeri berat. Sarana yang sering digunakan untuk menilai derajat nyeri adalah
Visual Analogue Scale (VAS), dimana VAS 1-3 merupakan nyeri ringan,
VAS 4-7 merupakan nyeri sedang, dan VAS 8-10 merupakan nyeri berat
(DeLoach dkk, 1998).
RS Sanglah sudah mengembangkan protokol nyeri pasca bedah sejak
tahun 2008, dimana nyeri pasca bedah dievaluasi dan ditangani oleh tim
Acute Pain Service yang merupakan bagian dari pelayanan anestesi. Tahun
2013 RS Sanglah mendapatkan akreditasi internasional berdasarkan joint
commisision international (JCI). Salah satu poin yang mendapat penilaian
baik adalah ACS, yang didalamnya menyebutkan juga mengenai
penatalaksanaan nyeri akut pasca bedah. Modalitas nyeri yang digunakan
menggunakan injeksi bolus, menggunakan pompa mekanik (syringe pump
atau PCA) dan oral analgesia. Penggunaan mikrodrip tidak lagi digunakan
karena sangat berbahaya bagi pasien, dimana tetesan kecepatan cairan obat
tak dapat dijamin konstan. Penggunaan pompa mekanik untuk meberikan
analgesia secara konntinyu terhadap pasien meningkatkan kemanan bagi
pasien (patient safety) (Pierce, 2013).
Keberadaaan tim acute pain service di RS Sanglah sangat berguna dalam
penanganan nyeri pada pasien. Tim ini bertanggung jawab untuk
mengevaluasi, mendokumentasikan dan memberikan terapi yang sesuai
dengan kebutuhan pasien. Hal ini tentu sangat memuaskan bagi pasien,
terutama bagi pasien-pasien pasca bedah karena rasa nyeri yang dirasakan
pasien-pasien pasca bedah di RS Sanglah bisa ditekan serendah mungkin dan
semuanya terdokumentasi dengan baik.
Rumah Sakit Prima Medika adalah rumah sakit swasta tipe C, dimana
jenis-jenis operasi yang bisa dikerjakan antara lain operasi bedah thoraks non
kardiak, bedah saraf, bedah onkologi, bedah digestif, bedah urologi, ortopedi,
bedah umum, operasi THT, operasi obstetri dan ginekologi. Namun di RS
Prima Medika belum ada protokol standar penanganan nyeri pasca bedah.
Universitas Indonesia
3
Dalam qualitative systematic review yang dilakukan oleh Hui Yun Vivian Ip
dkk (Anesthesiology, 2009) disimpulkan bahwa jenis operasi yang
menimbulkan intensitas nyeri pasca bedah yang berat adalah operasi abdomen
(laparotomi), operasi ortopedi yang melibatkan sendi-sendi besar dan bedah
thorak. P. Tilleul dkk (British Jounal of Anaesthesia, 2012) menyebutkan
operasi laparotomi berhubungan dengan nyeri akut intensitas berat pasca
bedah. Atas dasar ini peneliti mengkhususkan penilaian nyeri pasca bedah
pada pasien yang menjalani operasi laparotomi, dimana data RS Prima
Medika tahun 2013 menunjukkan jumlah laparotomi sebanyak 385 pasien,
ortopedi sebanyak 157 pasien dan bedah thorak sebanyak 2 pasien (data
register kamar operasi RSPM tahun 2013).
Tabel 1.1 Jenis Operasi di Rumah Sakit Prima Medika Denpasar tahun 2013
Jenis Operasi Jumlah Pasien
Laparotomi 385
Orthopedi 157
Bedah Thorax 2
Sumber : data register kamar operasi RSPM tahun 2013
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dibuat rumusan masalah penelitian
ini adalah belum ada protokol standar penanganan nyeri pasca bedah di RS
Prima Medika
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengukur intensitas nyeri pasca bedah di RS Prima Medika
2. Membuat protokol standar penanganan nyeri pasca bedah di RS Prima
Medika
3. Mengetahui kepuasan pasien yang mendapat protokol nyeri
Universitas Indonesia
4
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi RS Prima Medika Denpasar
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi RS Prima
Medika agar dapat memahami pentingnya penanganan nyeri pasca bedah
sehingga protokol standar penanganan nyeri pasca bedah dapat disusun
dengan baik dan dijalankan.
1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat memperkaya wawasan dalam ilmu pendidikan
manajemen administrasi rumah sakit FKM-UI
1.5 Ruang Lingkup
1.5.1. Lingkup Masalah
Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada intensitas nyeri pasca bedah di RS
Prima Medika Denpasar.
1.5.2. Lingkup Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di ruang rawat inap RS Prima Medika Denpasar.
1.5.3. Lingkup Sasaran
Sasaran penelitian ini adalah seluruh pasien yang di rawat inap setelah
menjalani operasi laparotomi di RS Prima Medika Denpasar.
1.5.4. Lingkup Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-Pebruari 2014
Universitas Indonesia
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Nyeri pasca bedah merupakan salah satu permasalahan yang menyertai
proses operasi dan sampai saat ini masih merupakan tantangan bagi seluruh tim
operasi. Nyeri sering ditangani secara kurang adekuat. Nyeri tetap dapat bertahan
lama meskipun telah terjadi penyembuhan jaringan.
Penanganan nyeri yang
kurang adekuat merupakan tindakan yang kurang manusiawi serta dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Penanganan nyeri pasca bedah yang
adekuat dan efektif memberikan keuntungan antara lain pasien merasa nyaman
sehingga meningkatkan kepuasan pasien, mobilisasi bisa lebih dini, menurunkan
resiko deep vein thrombosis, pemulihan lebih cepat dan pada akhirnya akan
mengurangi biaya perawatan.
2.1.Definisi Nyeri
Menurut The Internationale Association for the Study of Pain (IASP,
2002) nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial, atau yang
digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Berdasarkan definisi tersebut
nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik
nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis). Rasa nyeri ini
bersifat individualisme sehingga sulit dinilai secara obyektif dan harus dilakukan
observasi serta penilaian secara rutin dengan menggunakan alat bantu.
Nyeri bila tidak teratasi dengan baik dapat mempengaruhi aspek
psikologis dan aspek fisik dari penderita. Aspek psikologis meliputi kecemasan,
takut, perubahan kepribadian dan perilaku,gangguan tidur dan gangguan
kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri mempengaruhi peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas (Zimberg, 2003).
Universitas Indonesia
6
2.2. Penilaian Nyeri
Nyeri merupakan suatu hal yang kompleks, keadaan yang
multidimensional sebagai akibat dari kombinasi rangsang nyeri / nociception dan
kerusakan jaringan, pengalaman nyeri sebelumnya, kepercayaan pasien, budaya
dan kepribadian psien. Rasa nyeri ini bersifat individualisme sehingga sulit dinilai
secara obyektif dan harus dilakukan observasi serta penilaian secara rutin dengan
menggunakan alat bantu. Hal ini menjelaskan mengapa pasien dengan tingkat
stimulus nyeri dan kerusakan jaringan yang sama akan merasakan pengalaman
nyeri dengan sangat berbeda.
Pengukuran derajat nyeri sebaiknya dilakukan dengan tepat karena sangat
dipengaruhi oleh faktor subyektif seperti faktor fisiologi, psikologi, lingkungan
(pengalaman, budaya, prognosis, strategi mengatasi masalah, rasa takut, ansietas).
Karenanya, anamnesis berdasarkan pada pelaporan mandiri pasien yang bersifat
sensitif dan konsisten sangatlah penting (Kim et al, 2006). Saat ini derajat nyeri
ditetapkan sebagai tanda vital kelima yang bertujuan untuk meningkatkan
kepedulian akan rasa nyeri dan diharapkan dapat memperbaiki tatalaksana nyeri
akut. Pengukuran derajat nyeri yang reguler dan berulang akan membantu
mengetahui adekuat atau tidaknya terapi analgesia. Frekuensi pemeriksaan ulang
yang tepat ditentukan oleh lama dan beratnya nyeri, respon pasien, serta jenis
tatalaksana yang diberikan. Pengukuran nyeri sebaiknya dilakukan baik pada
posisi statik (istirahat) maupun dinamis (duduk, batuk). Pengukuran nyeri statik
berhubungan dengan kemampuan pasien untuk tidur, sedangkan pengukuran nyeri
dinamik berhubungan dengan hiperalgesia mekanik dan menentukan apakah
analgesia yang diberikan cukup untuk fungsi penyembuhan (McGillion et al,
2011). Bila nyeri tidak dapat dikendalikan, harus dipikirkan adanya diagnosis
deferensial lain seperti adanya komplikasi operasi atau adanya nyeri neuropatik.
2.2.1. Instrumen penilaian nyeri
Ada beberapa instrumen yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri,
antara lain Verbal descriptive scale (VDS), numerical rating scale ( NRS ), visual
analogue scale ( VAS ), McGill Pain Questionare ( MPQ).
Universitas Indonesia
7
Visual Analogue Scale (VAS) merupakan instrumen pengukur nyeri yang
paling luas digunakan dalam praktek klinis maupun dalam penelitian. VAS berupa
suatu garis lurus horizontal dengan panjang 100 mm, pada ujung kiri (0 mm)
ditandai dengan tidak ada nyeri sedangkan pada ujung kanan (100 mm) ditandai
dengan sangat nyeri, kemudian pasien diminta untuk memberi tanda pada garis
tersebut yang kemudian akan diukur jaraknya dari sebelah kiri. Interpretasi nilai
VAS yang paling banyak digunakan yaitu nilai < 30 mm sebagai nyeri ringan, 31-
70 mm sebagai nyeri sedang, dan > 70 mm sebagai nyeri berat (www.painedu.org,
tanpa tahun). Hasil dari penilaian VAS ini dapat digunakan sebagai salah satu
pedoman dalam menyesuaikan dosis obat anti nyeri yang diberikan. Skala ini
mempunyai keuntungan oleh karena sederhana, mudah dan cepat
menggunakannya, memungkinkan pasien menentukan sendiri tingkat nyerinya
dalam rentang yang cukup lebar. Akan tetapi dalam menentukan skala ini
diperlukan konsetrasi dan koordinasi yang cukup baik sehingga tidak dapat
dipergunakan pada anak-anak. Perubahan nilai VAS juga mempengaruhi tingkat
kepuasan pasien. Penurunan nilai VAS kira-kira 10 mm atau 15 % dikatakan
sebagai nyeri sedikit menurun, penurunan nilai 20-30 mm atau 33% dianggap
sebagai penurunan nyeri yang bermakna dari sudut pasien dan penurunan VAS
hingga 66% dianggap sebagai menghilangnya nyeri yang substansial (Avidan,
2003).
Gambar 2.1. Visual analogue scale ( VAS ) (diambil dari www.hospiceworld.org)
Universitas Indonesia
8
2.3. Nyeri Pasca Bedah Mayor
Gupta dkk. pada tahun 2004 melakukan penelitian terhadap nyeri pasca
bedah histerektomi abdominal dan mendapatkan nilai nyeri pada jam pertama
dalam keadaan istirahat dengan VAS rerata 5 dan pada saat batuk dengan nilai
VAS rerata 7. Sementara Chau-in dkk. pada tahun 2008 dalam penelitiannya
mendapatkan nilai VAS pasca bedah histerektomi abdominal saat istirahat pada
jam 1 adalah 4.7 cm dan saat aktivitas 6.2 cm dan setelah 24 jam dengan nilai
VAS 4.3 saat istirahat dan 7.0 saat aktivitas. Sementara Barton dkk. (2002)
mendapatkan nilai rerata VAS adalah 66.3 dalam 24 jam pertama periode paska
bedah laparotomi ginekologi. Jadi secara umum dapat disimpulkan bahwa nyeri
pasca bedah abdominal histerektomy maupun operasi laparotomi ginekologi
lainnya tergolong sebagai nyeri dengan intensitas sedang-berat.
Dalam qualitative systematic review terhadap prediktor nyeri pasca bedah
dan konsumsi analgetika yang dilakukan oleh Hui Yun Vivian IP dkk
(Anesthesiology, 2009) menyimpulkan bahwa jenis operasi, usia dan kecemasan
merupakan prediktor yang signifikan terhadap konsumsi analgetika. Jenis operasi
sangat menentukan timbulnya nyeri pasca bedah, dimana intensitas nyeri tertinggi
dialami oleh pasien yang menjalani operasi orthopedi yang melibatkan sendi-
sendi besar, bedah thoraks dan laparotomi.
2.4. Standard Operating Procedures (SOP)
Jika diurai kata per kata, standard, operating, dan procedure memiliki
definisinya masing-masing. Standard mengandung pengertian sebagai ketentuan
yang menjadi acuan pokok, dimana setiap anggotanya wajib mematuhi standard
tersebut. Standard memiliki ketentuan yang bersifat mengikat. Operating
mengandung pengertian aktivitas kerja yang aplikatif, dimana tergambar alur
kegiatan kerja baik yang rutin maupun non rutin, sesuai dengan kaidah-kaidah
atau standard yang diberlakukan. Procedure merupakan langkah-langkah atau
tahapan-tahapan yang berhubungan dengan proses dalam aktivitas kerja yang
terdeskripsi dengan jelas dan terperinci (Santosa, 2014).
Universitas Indonesia
9
Menurut Tambunan (2013) Standard Operating Procedures (SOP) adalah
suatu pedoman atau panduan langkah-langkah dalam melakukan suatu tindakan
dalam suatu organisasi agar tindakan tersebut tersebut berjalan efektif, efisien,
konsisten, standar dan sistematis. SOP membantu dalam mengurangi kesalahan
dan pelayanan dibawah standar (Nasution, 2013). SOP harus tertata dengan baik,
dalam bahasa yang mudah dimengerti agar semua orang yang membacanya
memiliki pemahaman yang sama. Di dalam SOP, dinyatakan secara lebih jelas
mengenai apa tugas yang dilaksanakan, apa tujuan melaksanakan tugas tersebut,
dimana ruang lingkup tugas tersebut, siapa yang harus melaksanakan tugas, kapan
dan bagaimana urutan waktu tugas tersebut harus dilaksanakan, sumber daya apa
yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tersebut, bagaimana hubungan antar
unit kerja dalam tugas tersebut, dan apa saja dokumentasi yang harus dibuat untuk
menunjukkan atau membuktikan bahwa tugas tersebut telah dilaksanakan
(Tathagati, 2014).
Dalam SOP yang sudah tertata dengan baik dalam bahasa yang mudah
dimengerti pun masih terdapat kemungkinan terjadi pemahaman yang berbeda
dari penggunanya. Hal ini disebabkan karena kurangnya pelatihan mengenai
penerapan hal-hal yang diatur dalam SOP tersebut, kurangnya sosialisasi
penerapan SOP tersebut dan SOP yang disusun tidak sesuai dengan kebutuhan
pengguna (Tambunan, 2013). Setelah disusun, setiap SOP harus disosialisasikan
kepada seluruh penggunanya dan diadakan pelatihan mengenai pelaksanaan SOP
tersebut. SOP dapat disosialisasikan dengan cara memberikan training untuk
mengajarkan langkah-langkah dalam SOP, memberikan briefing secara berkala
untuk mengingatkan kembali langkah-langkah yang ada dalam SOP, membuat
brosur, leaflet atau poster yang berisi langkah-langkah SOP dan diletakkan di
tempat-tempat yang mudah dilihat oleh pelaksananya (Tathagati, 2014).
Setelah SOP terbentuk, dilakukan uji lapangan terlebih dahulu sehingga
kemudian dianalisa kembali apakah SOP tersebut sudah layak untuk diaplikasikan
dan sudah sesuai dengan yang diharapakan. Jika SOP ternyata tidak sesuai dengan
kebutuhan, maka SOP tersebut harus diubah agar sesuai dengan yang dibutuhkan
(Budihardjo, 2014).
Universitas Indonesia
10
Tathagati (2014) juga menuliskan dalam bukunya, proses–proses kegiatan
yang wajib dibuatkan SOP adalah :
- proses yang berhubungan dengan pelanggan
- proses yang membutuhkan ketelitian dan keakuratan dalam
pelaksanaannya
- proses yang memerlukan otorisasi atau pengambilan keputusan
- proses yang memiliki risiko keselamatan kerja dan lindungan lingkungan
- proses dimana apabila tidak ada prosedur yang mengatur proses tersebut,
dapat mempengaruhi aktivitas atau keluaran dari proses tersebut
Menurut Tambunan (2013), peran dan manfaat SOP dalam suatu
organisasi adalah sebagai :
- Pedoman Kebijakan
SOP yang efektif disusun berdasarkan kebijakan yang ada dalam suatu
organisasi. SOP diperlukan agar kebijakan-kebijakan dalam suatu
organisasi dapat diterapkan dan memberikan manfaat secara optimal.
- Pedoman Kegiatan
SOP yang efektif mampu menyederhanakan setiap tindakan sehingga para
pelaksana tidak kesulitan, tidak terjadi pengulangan kerja yang tidak
diperlukan dan dapat menjadi kontrol kerja yang baik. Disamping itu,
sangat penting diperhatikan antara kompetensi pelaksana dengan SOP itu
sendiri haruslah seimbang.
- Pedoman Birokrasi
SOP diperlukan agar birokrasi suatu tindakan menjadi jelas dan tidak
berbelit-belit.
- Pedoman Administrasi
Dalam setiap SOP sebenarnya terkandung kegiatan administratif, yaitu
dilakukannya kegiatan pencatatan dan penyimpanan data dan informasi.
Pedoman administratif dalam SOP berarti dokumen, formulir atau blanko
Universitas Indonesia
11
yang terkait dalam pelaksanaan suatu SOP digunakan, didistribusikan dan
didokumentasikan.
- Pedoman Evaluasi Kinerja
Dengan diterapkannya SOP yang efektif, organisasi akan memiliki ukuran
kinerja yang baik. Penerapan SOP dapat membantu mengurangi
kesalahan, mengurangi konflik dan dapat menjadi parameter untuk menilai
mutu pelayanan.
- Pedoman Integrasi
Melalui penerapan SOP, organisasi akan memiliki rangkaian alur kerja
yang saling terkait dan terpadu antara yang satu dengan yang lainnya.
Tidak ada tindakan yang tumpang tindih dan kegiatan administratif dapat
berjalan dengan rapi.
Budihardjo (2014) mengatakan, dalam menyusun suatu SOP, perlu dikenali
hambatan-hambatan yang mungkin terjadi agar sejauh mungkin dapat disiapkan
antisipasinya. Secara garis besar, hambatan dalam penyusunan SOP antara lain :
- Hambatan Individu
Hambatan individu merupakan hambatan yang paling dominan. Tingkat
pendidikan yang kurang memadai menyebabkan seseorang kurang
memiliki kompetensi dalam mengaplikasikan SOP
- Hambatan Organisasi
Hambatan organisasi timbul karena struktur organisasi yang terlalu
kompleks sehingga dalam upaya sinkronisasi antara SOP yang berlaku
pada satu unit kerja dengan unit kerja lainnya seringkali menimbulkan
friksi
- Hambatan Manajerial
Hambatan manajerial disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan dari
beberapa anggota manajemen dalam penyusunan dan penerapan SOP
dalam unit kerja masing-masing departemen. Dalam organisasi yang
besar, hambatan ini tentu berpotensi menjadi hambatan yang besar.
Dalam dunia medis, dimana sangat rawan dengan tuduhan malpraktek,
SOP berfungsi melindungi rumah sakit dan petugas karena dalam SOP sudah
Universitas Indonesia
12
tertera alur dan pelaksanaan proses suatu kegiatan dalam penanganan pasien
(Nasution, 2013).
Nasution mengemukakan ada tiga jenis SOP dalam perumahsakitan, yaitu
SOP Profesi, SOP Pelayanan (Manajerial) dan SOP Administrasi. SOP Profesi
mengatur tentang proses kerja untuk diagnostik, terapi, tindakan dan asuhan. SOP
Profesi meliputi pelayanan medis, pelayanan keperawatan, pelayanan
laboratorium, pelayanan radiologi, pelayanan rehabilitasi medis dan pelayanan
farmasi. SOP Pelayanan (Manajerial) mencakup pelayanan medis secara umum,
baik itu pelayanan medis, keperawatan dan penunjang medis lainnya yang bersifat
manajerial atau administratif atau berhubungan dengan pelayanan pasien,
contohnya antara lain prosedur konsultasi medis, prosedur rujukan keluar rumah
sakit, prosedur keluar/masuk ICU, prosedur informed consent, prosedur triage,
prosedur sterilisasi, pedoman pengendalian infeksi nosokomial, dan lain
sebagainya. SOP Administrasi mengatur tentang tata cara kegiatan di unit-unit
non medis. Contohnya antara lain billing system, penyusunan anggaran, prosedur
asuransi, prosedur penerimaan pegawai, prosedur pengadaan, prosedur
pemeliharaan dan perbaikan alat dan lain sebagainya.
2.5. Kepuasan Pasien terhadap Protokol Nyeri Pasca Operasi
Nyeri pasca bedah merupakan nyeri akut yang diakibatkan oleh cedera
jaringan dan pembengkakan jaringan akibat pembedahan (Strode, 2009). Nyeri
merupakan pengalaman pribadi yang dirasakan oleh penderitanya. Respon
masing-masing orang terhadap nyeri tidak sama. Manajemen nyeri akut yang
efektif dan efisien memberikan pelayanan terhadap keluhan nyeri yang dirasakan
oleh pasien, memberikan penyesuaian terhadap dosis dan jenis obat yang
diberikan sehingga memberikan manfaat yang optimal dan meminimalkan efek
samping akibat pemberian analgetika (Viscusi, 2009).
Protokol penanganan nyeri yang jelas memberikan kenyamanan dan
kepuasan bagi pasien. Nyeri segera ditangani sehingga pasien bisa segera
mobilisasi, bisa beristirahat tanpa diganggu rasa nyeri, dan hal-hal buruk yang
timbul akibat penundaan mobilisasi tidak terjadi, seperti penyembuhan luka yang
Universitas Indonesia
13
lambat, gangguan pernapasan, dan trombobsis vena dalam (deep vein thrombosis)
(Svensson et al, 2001). Pemberian informasi dan edukasi kepada pasien dan
keluarganya mengenai nyeri pasca bedah juga terbukti meningkatkan kepuasan
pasien terhadap pelayanan yang diterimanya. Pasien merasa diberikan pelayanan
yang aman sehingga kepuasan pasien meningkat (Soejima et al, 2010)
Universitas Indonesia
14
BAB III
GAMBARAN UMUM RUMAH SAKIT
3.1. Profil Rumah Sakit Prima Medika Denpasar
Rumah Sakit Prima Medika Denpasar didirikan pada pertengahan tahun 2002.
Lokasinya cukup strategis, tidak jauh dari pusat kota Denpasar dan memiliki dua
akses jalan masuk, yaitu melalui Jalan Pulau Serangan dan Jalan Raya Sesetan.
Rumah Sakit Prima Medika menyediakan pelayanan kesehatan yang maksimal
dengan peralatan yang lengkap dan mengikuti perkembangan teknologi
kedokteran serta didukung oleh SDM yang terlatih dan berpengalaman. Rumah
Sakit Prima Medika terdiri dari dua gedung perawatan, dimana gedung rawat inap
barat diutamakan untuk perawatan pasien bedah dan gedung rawat inap timur
diutamakan untuk perawatan pasien wanita dan anak-anak. Jumlah kamar yang
tersedia di gedung barat sebanyak 22 kamar dan gedung timur tersedia 42 kamar
dengan total 125 tempat tidur.
3.2. Visi, Misi dan Moto Rumah Sakit Prima Medika Denpasar
3.2.1. Visi
Sebagai pusat pelayanan kesehatan yang mengutamakan kualitas yang paripurna
dan menekankan pada kemampuan yang tepat, cepat, akurat terpercaya dan
profesional dengan harga yang terjangkau serta senantiasa mengutamakan
kepuasan pelanggan
3.2.2. Misi
- Menjaga mutu pelayanan yang prima
- Minimalisasi rantai birokrasi
- Ramah, profesional, menjalin hubungan yang erat dan harmonis secara
berkesinambungan dengan pasien dan keluarganya
Universitas Indonesia
15
- Menciptakan rasa aman bagi seluruh pengguna jasa pelayanan RS
Prima Medika
- Terus menerus membentuk SDM yang beretika, berkinerja tinggi serta
adaptif dengan ilmu pengetahuan yang terus berkembang
3.2.3. Moto
“care with quality and hospitality”
3.3. Fasilitas dan Pelayanan
3.3.1. Pelayanan Medik
- Unit Gawat Darurat (Emergency Room)
- Poliklinik Umum dan Spesialis
- Rawat Inap
- Unit Perawatan Intensif (ICU dan NICU)
- Kamar Bedah
- Kamar Bersalin dan Kamar Bayi
- Rawat Singkat (One Day Care)
- Ruang Hemodialisa
- Cancer center
- Medical Check Up
- Endoscopy dan Colonoscopy
- Home Care Service
- Klinik Bayi Tabung (IVF Center)
3.3.2. Pelayanan Penunjang
- Farmasi
- Laboratorium
- Radiologi (USG 3/4D, CT-Scan)
- Echocardiography
Universitas Indonesia
16
- Physiotherapy
- Pathology Anatomy
- Café
- Salon and Spa
- Kid Ground
Sepanjang tahun 2013 kunjungan pasien UGD dan poli umum cenderung
menurun. Umumnya trend pasien lebih cenderung langsung ke poli spesialis
sehingga kunjungan pasien pada poli spesialis relatif lebih stabil. Jumlah operasi
di OK barat juga cenderung menurun sedangkan OK timur jumlah operasinya
lebih stabil. OK barat adalah OK untuk bedah secara umum, memiliiki tiga kamar
operasi sedangkan OK timur adalah OK kebidanan dan ginekologi, dengan dua
kamar operasi dan satu kamar operasi khusus untuk proses bayi tabung.
Tabel 3.1 Data Kegiatan Rumah Sakit Prima Medika tahun 2013
Bln UGD Poli
umum
Poli
spesialis
Ranap
barat
Ranap
timur
OK
barat
OK
timur
ICU
Jan 751 2205 2610 350 364 210 112 40
Peb 664 2179 2806 304 341 170 100 38
Mar 683 2205 2405 319 399 139 115 44
Apr 651 2177 2699 340 430 142 132 38
Mei 584 1684 2541 366 422 178 149 49
Jun 606 1694 2560 319 407 149 119 44
Jul 456 1254 3149 384 347 202 99 53
Ags 585 1200 2714 323 316 150 93 36
Sept 536 1118 2852 318 371 136 115 44
Okt 586 1107 3002 302 367 159 113 37
Nov 433 932 2993 322 334 183 118 41
Des 594 1614 2757 311 312 165 109 30
Universitas Indonesia
17
Kegiatan penunjang medis RS Prima Medika, yaitu laboratorium, patologi
anatomi, echocardiografi, endoskopi, radiologi, fisioterapi dan hemodialisa
sepanjang tahun 2013 relatif stabil. Penunjang medis melayani pasien RS Prima
Medika baik yang rawat inap maupun rawat jalan, dan memberikan pelayanan
bagi pasien dari luar RS Prima Medika.
Tabel 3.2 Data Kegiatan Penunjang Medis Rumah Sakit Prima Medika tahun
2013
Bln Lab PA Echo Endoskopi Radiologi Fisiotx HD EEG
Jan 7326 230 75 9 1288 532 149 27
Peb 7407 216 90 7 1364 506 157 22
Mar 6307 183 60 10 1006 363 156 24
Apr 6738 197 83 17 1208 458 155 26
Mei 6915 229 72 18 1075 407 171 25
Jun 6897 181 70 8 1119 401 170 37
Jul 6663 233 68 14 912 542 161 32
Ags 5653 213 58 9 939 397 188 16
Sept 6289 223 74 7 1123 473 156 20
Okt 5617 186 65 7 1206 427 180 24
Nov 5923 227 99 17 1184 444 160 24
Des 6521 211 74 11 1129 450 164 25
Data indikator mutu pelayanan RS Prima Medika sepanjang tahun 2013
menunjukkan BOR yang tinggi yaitu diatas 80%. Hal ini menunjukkan RS Prima
Medika masih menjadi pilihan bagi pasien yang membutuhkan perawatan. Lama
masa rawat pasien rata-rata tiga hari. Masa rawat pasien ini banyak dipengaruhi
oleh pasien kebidanan dan ginekologi, dimana rata-rata pasien tersebut sudah
diperbolehkan pulang pada hari ketiga pasca menjalani pembedahan. Demikian
pula dengan psien-pasien yang menjalani bedah umum dengan kategori minor
yang tidak membutuhkan masa rawat inap yang panjang. Tampak turn over
interval RS Prima Medika yang tinggi, kurang dari sehari tempat tidur rawat inap
RS Prima Medika sudah terisi pasien lagi.
Universitas Indonesia
18
Tabel 3.3 Data Indikator Mutu Pelayanan Rumah Sakit Prima Medika tahun 2013
Bln Jml Pasien
(Hidup+Mati)
Pasien
Keluar
(Mati)
(GDR)
Pasien
Keluar
Mati
48 jam
(NDR)
Indikator Pelayanan
BOR
(%)
LOS TOI BTO NDR
Jan 714 4 2 82,31 3,07 0,88 6,26 0.00280112
Peb 645 4 3 88,78 3,39 0,56 5,66 0.004651163
Mar 718 7 7 88,77 3,37 0,55 6,30 0.009749304
Apr 770 9 7 91,88 3,22 0,37 6,75 0.009090909
Mei 788 8 5 92,28 3,14 0,35 6,91 0.006345178
Jun 726 9 9 85,73 3,04 0,67 6,37 0.012396694
Jul 731 5 4 87,89 3,25 0,59 6,41 0.005471956
Ags 639 7 7 74,68 3,00 1,36 5,61 0.010954617
Sep 689 8 4 80,12 2,96 0,99 6,04 0.005805515
Okt 669 4 3 71,93 2,80 1,48 5,87 0.004484305
Nov 656 7 5 80,03 2,80 1,41 5,75 0.007621951
Des 680 4 2 81,24 2,91 1,29 5,61 0.002941176
Total 8425 75 58 0.006884273
Keterangan
BOR : Prosentase pemakaian tempat tidur pada satu satuan waktu tertentu
Nilai ideal > 75-85
Universitas Indonesia
19
LOS : Lama rawat seorang pasein
Nilai ideal 3-12
TOI : Rata-rata hari dimana tempat tidur tidak ditempati dari telah diisi ke saat
terisi berikutnya
Nilai ideal 1-3
BTO : Frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode
Nilai ideal 3-4
GDR (Gross Death Rate) : angka kematian umum untuk setiap 1000 penderita
keluar
NDR (Nett Death Rate) : angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk setiap
1000 penderita keluar
Grafik 3.1 Jumlah Pasien Berdasarkan Gedung Rawat Inap RS Prima Medika
tahun 2013
Jumlah Pasien Berdasarkan Gedung 2013
Gedung Timur
Gedung Barat
Universitas Indonesia
20
Grafik 3.2 BOR RS Prima Medika tahun 2013
Grafik 3.3 Pasien Rawat Inap RS Prima Medika tahun 2013
Grafik Berdasarkan BOR (%) 2013
Series1; DESEMBER;
680
GRAFIK PASIEN RAWAT INAP 2013
Universitas Indonesia
21
BAB IV
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
4.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan qualitative systematic review yang dilakukan oleh Hui Yun Vivian Ip
dkk (Anesthesiology, 2009) disimpulkan bahwa jenis operasi yang menimbulkan
intensitas nyeri pasca bedah yang berat adalah operasi abdomen (laparotomi).
Penelitian yang dilakukan oleh Soejima dkk (2010) juga berpusat pada pasien
nyeri pasca menjalani operasi laparotomi. Data kamar operasi RS Prima Medika
Denpasar menunjukkan jumlah pasien yang menjalani operasi pada tahun 2013
cukup banyak, yaitu sebanyak 385 pasien. Atas dasar tersebut, peneliti membuat
kerangka konsep dimana pasien yang menjalani operasi laparotomi dinilai
intensitas nyerinya kemudian diberikan protokol nyeri pasca bedah dan dilihat
kepuasan dan keamanan pasien tersebut pasca bedah.
- intensitas nyeri
Gambar. 4.1. Skema Kerangka Konsep
Operasi Laparotomi
Kepuasan pasien
Protokol Nyeri Pasca Bedah (SOP)
Universitas Indonesia
22
4.2. Definisi Operasional
1. Operasi laparotomi adalah : insisi pembedahan melalui dinding perut yang
membuka selaput perut (abdomen).
2. Intensitas nyeri adalah : tingkat nyeri pasca bedah yang dirasakan pasien
3. Protokol nyeri pasca bedah adalah : petunjuk penanganan nyeri pasca bedah
yang disusun dan disosialisasikan
4. Kepuasan pasien adalah : perasaan pasien yang muncul akibat pelayanan
kesehatan yang diperoleh pasien
Universitas Indonesia
23
BAB V
METODE PENELITIAN
5.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif.
5.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di ruang rawat inap RS Prima Medika Denpasar, pada
bulan Januari-Pebruari 2014.
5.3. Informan Penelitian
Informan penelitian ini adalah informan yang terdiri dari dua kelompok.
Untuk mengetahui intensitas nyeri pasca bedah laparotomi dilakukan
wawancara terhadap kelompok informan pertama, yaitu pasien dewasa
yang sadar baik dan dirawat inap setelah menjalani prosedur pembedahan
laparotomi di Rumah Sakit Prima Medika Denpasar pada bulan Januari-
Pebruari 2014, dimana kelompon informan pertama ini dibagi menjadi dua
lagi, yaitu kelompok pasien yang mendapat terapi dari dokter anestesi dan
kelompok pasien yang mendapat terapi dari dokter operator.
Kelompok informan kedua terdiri dari satu orang direksi, satu orang
manajer, satu orang kepala unit, satu orang perawat khusus, satu orang
perawat ruangan, satu orang bidan ruangan, satu orang dokter umum, satu
orang dokter operator dan satu orang dokter anestesi, untuk mengetahui
pendapat mereka tentang pelayanan nyeri yang sudah berjalan selama ini
di Rumah Sakit Prima Medika.
5.4.Cara Pengumpulan Data
Data primer diperoleh dari observasi intensitas nyeri pada kelompok
informan pertama, wawancara mendalam terhadap kelompok informan
kedua. Data sekunder diperoleh melalui rekam medik pasien.
Universitas Indonesia
24
5.5. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data untuk kelompok informan pertama dan
kedua menggunakan daftar pertanyaan yang ditanyakan kepada informan.
Intensitas nyeri pasien diukur menggunakan penggaris VAS, dimana
pasien ditunjukkan penggaris VAS dan diminta menunjuk angka yang
sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Intensitas nyeri
pasca operasi diukur sampai dua hari pasca bedah, dengan pertimbangan
rata-rata pasien dipulangkan dua hari pasca bedah.
5.6.Tahapan Penelitian
1. Mengumpulkan bahan kepustakaan dari berbagai sumber untuk menyusun
proposal penelitian.
2. Peneliti meminta ijin untuk melakanakan penelitian kepada direktur RS
Prima Medika dimana penelitian ini akan dilaksanakan.
3. Setiap pasien yang menjalani operasi laparotomi di kamar operasi Rumah
Sakit Prima Medika selama bulan Januari – Pebruari 2014 yang bersedia
diwawancara diikutkan sebagai informan penelitian. Pasien yang
menjalani operasi laparotomi dalam kurun waktu tiga minggu dari masa
penelitian akan dicatat intensitas nyeri mulai dari masa pasca bedah
sampai hari kedua pasca bedah. Pasien yang menjalani operasi laparotomi
dalam kurun waktu tiga minggu berikutnya akan dicatat intensitas nyeri
mulai dari masa pasca bedah sampai hari kedua pasca bedah, dimana
pasien yang memiliki intensitas nyeri pasca bedah dengan kriteria sedang-
berat akan mendapat intervensi langsung dari dokter anestesi.
4. Kelompok informan kedua akan dilakukan wawancara mendalam tentang
pelayanan nyeri yang selama ini sudah berjalan di Rumah Sakit Prima
Medika Denpasar.
5. Mengumpulkan data sekunder keluhan nyeri pasien pasca laparotomi dari
rekam medis pasien dan tindakan / obat yang diberikan.
6. Analisis data hasil penelitian
7. Penyampaian hasil penelitian
Universitas Indonesia
25
5.7. Pengolahan Data
a. Membuat transkrip dari hasil wawancara masing-masing responden.
b. Reduksi data dengan membuat rangkuman dan tidak merubah arti dari
pernyataan informan.
c. Membuat matriks, membandingkan jawaban antar informan berdasarkan
variabel yang diteliti.
5.8. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara triangulasi metode dan sumber
dimana peneliti melakukan wawancara dengan beragam informan,
melakukan observasi, dan telaah rekam medik pasien.
Universitas Indonesia
26
BAB 6
HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini diadakan di RS Prima Medika Denpasar pada bulan Januari-
Pebruari 2014. Data kualitatif berupa data primer yang diperoleh dengan
wawancara mendalam kepada informan yang berkaitan dengan penanganan nyeri
pasca bedah. Data sekunder yang diperoleh dengan telaah rekam medik pasien,
pengamatan, dokumen kebijakan dan SOP.
Data yang terkumpul kemudian diolah, dibuat transkrip dan matriknya,
diberi kode kemudian dikategorikan. Data yang telah dikategorikan ini
disandingkan kemudian dilakukan triangulasi antara sumber data dengan data
lainnya untuk diambil menjadi kesimpulan akhir.
6.2 Karakteristik Informan
Informan kelompok 2 dalam penelitian ini terdiri dari 9 orang dengan jenis
kelamin informan sebanyak 6 orang perempuan dan 3 orang laki-laki. Usia
informan bervariasi antara 25-49 tahun. Latar belakang pendidikan informan
hampir sama, yaitu D3, S1 dan Spesialis. Masa kerja informan antara 3-13 tahun.
Tabel 6.1 Informan Kelompok 2
No Informan Jenis Kelamin Tk. Pendidikan Jumlah
1 Direksi Perempuan S2 (Magister) 1 orang
2 Manajer Perempuan D3 1 orang
3 Kepala Unit Perempuan D3 1 orang
4 Perawat Khusus Perempuan D3 1 orang
5 Perawat Ruangan Perempuan S1 1 orang
6 Bidan Ruangan Perempuan D3 1 orang
7 Dokter Umum Laki-laki S1 1 orang
8 Dokter Operator Laki-laki Spesialis 1 orang
9 Dokter Anestesi Laki-laki Spesialis 1 orang
Universitas Indonesia
27
Informan kelompok 1 adalah pasien yang menjalani operasi laparotomi di
RS Prima Medika bulan Januari-Pebruari tahun 2014. Dalam kurun waktu dua
bulan tersebut didapatkan sebanyak 20 orang pasien yang menjalani laparotomi,
yang seluruhnya berjenis kelamin perempuan. Usia pasien berkisar antara 29-72
tahun. Sebanyak 17 orang menjalani laparotomi obgyn, 1 orang menjalani
laparotomi digestif, 1 orang menjalani laparotomi bedah umum, dan 1 orang
dilakukan operasi bersama obgyn dan digestif.
Tabel 6.2 Pasien yang menjalani laparotomi bulan Januari-Pebruari 2014 di RS Prima
Medika Denpasar
No Inisial Usia
(tahun)
Jenis
Kelamin
Diagnosa Operator
1 CN 44 P Kistoma Ovarii Obgyn
2 NKS 32 P KET Obgyn
3 NWS 32 P Kista terpluntir Obgyn
4 LKK 67 P Kistoma Ovarii Obgyn
5 RSR 45 P Kista terpluntir Obgyn
6 NLS 31 P HPP ec Atonia Uteri Obgyn
7 ERM 29 P Kistoma Ovarii Obgyn
8 SSL 36 P Kistoma Ovarii Obgyn
9 DNG 66 P Kistoma Ovarii Obgyn
10 OFL 38 P Myoma Uteri Obgyn
11 NMS 46 P Solid mass dd Kista Endometrium Obgyn+Digestif
12 DYA 45 P Kista Endometrium Obgyn
13 YST 72 P Ileus obstruksi ec tumor colon Digestif
14 AAOS 37 P Kistoma Ovarii terinfeksi Obgyn
15 JAS 35 P Myomatic uteri Obgyn
16 NWST 54 P PAI Bedah Umum
17 UMS 42 P Myoma Uteri Obgyn
18 IMA 44 P Kistoma Ovarii Obgyn
19 BDS 42 P Kistoma Ovarii + Myomatic uteri Obgyn
20 RNA 30 P KET Obgyn
Universitas Indonesia
28
Pasien yang menjalani laparotomi di rumah sakit prima medika pada bulan
Januari-Pebruari tahun 2014 sebanyak 2 orang memiliki tingkat pendidikan SD, 1
orang SMP, 7 orang SMA/SMK, dan 10 orang menjalani pendidikan sampai
jenjang S1.
Tabel 6.3 Tingkat pendidikan pasien yang menjalani laparotomi bulan Januari-Pebruari
tahun 2014 di RS Prima Medika Denpasar
Tingkat Pendidikan Jumlah
SD 2 orang
SMP 1 orang
SMA/SMK 7 orang
S1 10 orang
6.3 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah kesulitan menentukan waktu yang tepat
untuk wawancara karena kesibukan informan yang berbeda-beda.
6.4 Keluhan Nyeri Pada Pasien Pasca Laparotomi
Teknik anestesi yang digunakan yaitu sebanyak 5 pasien pembiusannya dikelola
dengan anestesia umum menggunakan pipa endotrakeal (ETT) dan sebanyak 15
pasien pembiusannya dikelola dengan anestesia regional blok subarachnoid
(BSA).
Tabel 6.4 Teknik Anestesi yang digunakan
TEKNIK ANESTESI JUMLAH
Anestesia Umum (OTT) 5
Anestesia Regional (BSA) 15
Total 20
Universitas Indonesia
29
Pemilihan teknik anesthesia dilakukan antara lain berdasarkan kondisi
umum pasien, ketinggian luka operasi, kemungkinan penyulit yang terjadi dan
keterampilan operator (Hines, 2004). Dari lima orang pasien yang menjalani
laparotomi dengan general anesthesia, yaitu pasien 1, pasien 6, pasien 9, pasien 13
dan pasien 16. Teknik tersebut dipilih karena pasien 6 menjalani operasi dalam
kondisi umum yang kurang stabil akibat perdarahan, pasien 1 dan pasien 9 diduga
mengalami perlengketan pada daerah operasi serta pasien 13 dan pasien 16
dengan ketinggian luka operasi diatas umbilikus, dimana penggunaan teknik
regional anestesi tidak cukup untuk menjangkau daerah operasinya. Setelah
operasi selesai, pasien dipindahkan dari ruang operasi ke ruang pemulihan untuk
diobservasi kondisi umum dan penyulit, efek samping obat atau komplikasi
pembedahan yang segera terjadi. Setelah pasien dalam kondisi umum yang stabil
dan tidak ada penyulit atau komplikasi pembedahan maupun efek samping obat,
pasien dipindahkan ke ruang rawat inap atau pasien diperbolehkan pulang jika
pasien tersebut berstatus one day care. Sedangkan pasien yang membutuhkan
perawatan intensif dan monitoring ketat pasca operasi, dari ruang operasi pasien
segera dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU).
Gambar 6.1 Alur pasien di kamar operasi
Pasien
datang
(UGD/Poli/
Ranap)
OK
Ranap
Ruang
Pemulihan
Ruang
Penerimaan
OK
Pulang
(ODC) ICU
Universitas Indonesia
30
Tilleul dkk (2012) mengatakan bahwa operasi laparotomi dikaitkan
dengan intensitas nyeri berat yang dirasakan oleh pasien segera pada periode
pasca bedah. Nyeri tersebut tentunya berpengaruh besar terhadap kepuasan pasien
dan menghambat proses penyembuhan pasien. Pada kedua puluh pasien dalam
penelitian ini, tidak ada yang mengeluh nyeri selama berada di ruang pemulihan.
Wawancara dengan informan kelompok dua mengenai keluhan nyeri pada
pasien pasca laparotomi, semua informan dalam kelompok dua menyatakan ada
pasien yang mengeluh nyeri pasca menjalani laparotomi, namun jumlahnya tidak
banyak.
“Sepertinya gak banyak yaa…..” (informan 1)
“Ada, tapi tidak banyak” (informan 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8)
Namun seperti yang disampaikan oleh informan 9, pasien yang mengeluh nyeri
pasca bedah pada umumnya tidak didata secara khusus sehingga tidak tahu secara
pasti jumlah kejadian nyeri dan intensitas nyeri pasca bedah terutama pasca bedah
laparotomi.
“Kalo sering, sy gag ada data…yg pasti, pasti ada yg ngeluh nyeri post op…..”
(informan 9)
Rasa nyeri yang dialami pasien tentunya membuat pasien merasa tidak
nyaman. Perawat merupakan tenaga profesional yang paling banyak berinteraksi
dengan pasien sehingga perawat pun harus menguasai manajemen nyeri yang
tepat. Manajemen nyeri yang baik harus dilakukan secara keseluruhan, baik
menggunakan pendekatan farmakologis maupun non farmakologis. Pendekatan
farmakologis dilakukan berdasarkan instruksi dokter. Pendekatan non
farmakologis dapat dilakukan oleh perawat tanpa menunggu instruksi dokter
(Kemp, 2010).
Pada penelitian ini, dalam menyikapi keluhan pasien tersebut, beragam
tindakan yang dilakukan oleh informan. Sebagian mengikuti peraturan yang
dibuat oleh pihak direksi, yaitu dalam kurun waktu 24 jam pasca operasi,
penanganan nyeri menjadi tanggung jawab dokter anestesi sedangkan jika nyeri
Universitas Indonesia
31
terjadi dalam waktu lebih dari 24 jam pasca operasi, penanganan nyeri menjadi
tanggung jawab operator.
“Sesuai dengan yang dibuat oleh dirut, kurang dari 24 jam suruh lapor ke dokter
anestesi, kalau lebih dari 24 jam lapor operator” (informan 1)
“Kalau terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam lapor dokter anestesi yang membius.
Kalau terjadi dalam waktu lebih dari 24 jam lapor operator, kalau operator
menyerahkan ke dokter anestesi baru lapor dokter anestesinya” (informan 2)
“…lihat instruksi dokter ada k/p atau tidak. Kalau tidak ada, dalam waktu kurang dari
24 jam lapor dokter anestesi, kalau lebih dari 24 jam lapor operator…” (informan 5,6)
Sebagian informan memilih untuk langsung melaporkan keluhan nyeri pasien
kepada dokter anestesi yang melakukan pembiusan.
“…lapor ke dokter anestesi yang membius tadi…” (informan 3,4)
Namun ada juga yang tidak pasti dalam menyikapinya, seperti yang disampaikan
oleh informan 7 dan 9.
“Kalau kurang dari 24 jam kan masih dapat drip dari anestesi, ya bingung juga mau
saya kasi apa lagi” (informan 7)
“Kalo sy lagi baik moodnya, sy kasi tau perawat bagaimana mengatasinya….” (informan
9)
Hasil wawancara tersebut menunjukkan langkah-langkah yang diambil
untuk menanggapi keluhan nyeri pasca bedah pasien tidak terarah dengan baik.
Tidak ada panduan tetap yang bisa diikuti oleh para informan sehingga keluhan
nyeri pasien pasca bedah bisa langsung teratasi. Peraturan yang dibuat oleh direksi
RS Prima Medika belum merupakan suatu panduan atau SOP. Menurut Tathagati
(2014), kebijakan adalah pernyataan resmi organisasi atau perusahaan yang
merefleksikan tekad dan komitmen sebagai landasan utama dan acuan aktivitas
organisasi daam rangka pencapaian visi dan misi organisasi. Sedangkan SOP
adalah dokumen yang dengan jelas dan terperinci menjabarkan metode yang
digunakan dalam mengimplementasikan dan melaksanakan kebijakan.
Universitas Indonesia
32
Berdasarkan teori tersebut, peraturan mengenai penanganan nyeri di RS Prima
Medika masih berupa kebijakan dan belum merupakan suatu SOP.
Dalam penelitian ini, penanganan nyeri periode 24 jam pasca bedah pada
seluruh pasien menggunakan drip kontinyu intravena melalui syringe pump.
Semua pasien (100%) merasakan nyeri ringan saat diam dan sebanyak 90%
merasakan nyeri ringan saat bergerak. Hanya 10% yang mengalami nyeri sedang
meskipun sudah mendapat analgetika secara kontinyu. Pada periode 48 jam pasca
bedah, 10 orang pasien mendapat intervensi langsung dari dokter anestesi yang
melakukan evaluasi nyeri pasca bedah, dimana sebanyak 7 pasien masih
mendapat drip kontinyu melalui syringe pump dan 3 orang lainnya mendapat
analgetika oral setelah drip kontinyu melalui syringe pump habis. Sementara
terhadap 10 orang pasien lainnya juga dilakukan evaluasi nyeri pasca bedah
namun pemberian analgetika diberikan oleh dokter operator. Pada periode 48 jam
pasca bedah ini, seluruh pasien merasakan nyeri ringan saat diam dan sebanyak
15% mengeluh nyeri sedang saat bergerak, dengan nilai VAS yang lebih rendah
pada pasien yang mendapat intervensi langsung dari dokter anestesi dibandingkan
dengan pasien yang dikelola oleh dokter operator. Hasil yang didapatkan pada
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurhafizah dan
Erniyati (2012), yang meneliti tentang strategi koping dan intensitas nyeri pada 54
orang pasien post operasi laparotomi di RS Adam Malik Medan, dimana dalam
penelitian tersebut, tidak didapatkan pasien yang mengalami nyeri berat pasca
laparotomi pada 48 jam pertama.
Pada kelompok pasien yang mendapat intervensi dari dokter anestesi pada
periode 48 jam pasca bedah, dokter anestesi melakukan penilaian terhadap nilai
VAS pasien saat diam dan saat bergerak, serta menanyakan pasien mengenai rasa
nyeri yang dirasakan, apakah tidurnya terganggu oleh rasa nyeri atau tidak,
dievaluasi catatan perawat mengenai keluhan dan tanda-tanda vital pasien.
Berdasarkan data-data tersebut kemudian dokter anestesi memutuskan apakah
pasien tersebut masih membutuhkan analgetika intravena secara kontinyu atau
sudah bisa diganti dengan analagetika oral. Jika intensitas nyeri pasien sudah
cukup rendah, pemberian analgetika oral diberikan sebelum analgetika intravena
Universitas Indonesia
33
habis atau dihentikan, sehingga ambang nyeri pasien belum sempat turun dan
pasien belum sempat merasakan nyeri. Jenis analgetika oral yang diberikan pun
masih multimodal. Pada kelompok pasien yang analgetika pada periode 48 jam
dikelola oleh dokter operator, didapatkan beberapa pasien yang masih mengalami
nyeri sedang. Hal ini disebabkan karena analgetika oral yang diberikan hanya
terbatas pada golongan obat anti inflamasi non steroid dan ada jeda waktu antara
pemberian obat analgetika oral dengan habisnya obat analgetika intravena yang
diberikan sehari sebelumnya.
Tabel 6.5 VAS diam dan bergerak pasien pasca laparotomi bulan Januari-Pebruari tahun
2014 di RS Prima Medika Denpasar
VAS 24 jam pasca bedah 48 jam pasca bedah
Jumlah (%) jumlah (%)
VAS diam Nyeri ringan 20 100 20 100
Nyeri sedang 0 0 0 0
Nyeri berat 0 0 0 0
VAS
bergerak
Nyeri ringan 18 90 17 85
Nyeri sedang 2 10 3 15
Nyeri berat 0 0 0 0
Tabel 6.6 Perbedaan nilai VAS pada pasien yang dikelola oleh dokter anestesi dan dokter
operator pada 48 jam pasca bedah
VAS Dikelola oleh
dokter anestesi
Dikelola oleh
dokter operator
VAS diam Nyeri ringan VAS 0-1 9 8
VAS 1-2 1 2
VAS bergerak Nyeri ringan VAS 1-2 9 5
VAS 2-3 1 2
Nyeri sedang VAS 3-4 0 2
VAS 4-5 0 1
Universitas Indonesia
34
Menurut Jensen dkk (2003), penurunan nilai VAS 10 mm atau 15%
dikatakan sebagai nyeri sedikit menurun, penurunan nilai VAS 20-30 mm atau
33% dianggap sebagai penurunan nyeri yang bermakna dari sudut pandang pasien
dan penurunan nilai VAS hingga 66% dianggap sebagai menghilangnya nyeri
yang substansial. World Federation of Societies of Anaesthesiologist (WFSA)
merekomendasikan, untuk memberikan upaya terbaik kepada semua pasien untuk
mencegah dan mengurangi nyeri pasca bedah dengan menggunakan obat-obatan
dan modalitas yang tepat. Umumnya untuk pengelolaan nyeri ini sejak awal
diserahkan kepada dokter anestesi yang terlibat dalam pembedahan pasien
tersebut (Alan F Merry dkk, 2010).
Nilai VAS pada pasien yang penanganan nyerinya dikelola oleh dokter
operator lebih bervariasi dibandingkan pasien yang dikelola oleh dokter anestesi.
Pada periode 48 jam pasca bedah, mediator-mediator nyeri masih aktif sehingga
pasien masih merasakan nyeri walaupun intensitasnya sudah mulai berkurang.
Perubahan nilai VAS tentunya mempengaruhi kepuasan pasien. Seperti yang
diutarakan oleh ibu Cn yang merupakan salah satu pasien yang penatalaksanaan
nyeri pada 48 jam pasca bedah dikelola oleh dokter operator, dimana pada 48 jam
pasca bedah ibu Cn belum berani bergerak, tampak dari raut wajahnya yang
mengernyit setiap kali ibu Cn menggeser posisi berbaringnya bahwa nyeri yang
dirasakan ibu Cn membuat ibu Cn tidak nyaman. Demikian pula dengan ibu OFL,
mengeluh nyeri pada daerah luka operasinya setelah infus dicabut dan diberikan
analgetika oral.
Dari 10 pasien yang penatalaksanaan nyeri pasca bedahnya dikelola oleh
dokter operator, sebanyak 2 orang mengalami reaksi alergi setelah analgetika
melalui drip syringe pump diganti menjadi analgetika suppositoria setelah lewat
24 jam pasca laparotomi. 1 orang diantaranya mengalami reaksi alergi yang cukup
berat dan memerlukan injeksi epinefrin. Pada kelompok pasien yang dikelola oleh
dokter anestesi, tidak didapatkan reaksi alergi maupun kejadian efek samping obat
analgesia.
Dalam penelitian ini, pengelolaan nyeri pasca operasi dilakukan dengan
menggunakan drip kontinyu menggunakan syringe pump dengan komposisi obat
Universitas Indonesia
35
dan kecepatan per jam yang bervariasi sesuai dengan berat badan pasien. Di RS
Prima Medika, penggunaan pompa mekanik syringe pump untuk pemberian
analgesia drip kontinyu merupakan kesepakatan dokter anestesi dan bukan
merupakan ketentuan dari rumah sakit. Menurut informan 3 dan 9, sebelum
penggunaan syringe pump ini, pernah ada kejadian nyaris cedera (near miss)
dimana analgesia yang diberikan melalui mikrodrip tetesannya meleset sehingga
obat analgesia opioid yang seharusnya habis dalam 24 jam dihabiskan dalam
waktu 2 jam. Efeknya terhadap pasien adalah pasien hampir mengalami gagal
napas akibat pemberian analgesia opioid yang terlalu cepat. Kejadian ini dapat
segera diatasi karena perawat di ruang pemulihan segera melapor kepada dokter
anestesi yang segera datang dan memberikan penanganan lebih lanjut kepada
pasien tersebut. Namun kejadian nyaris cedera seperti ini tidak didata dan tidak
ada tindak lanjut dari manajemen untuk mencegah kejadian ini. Penggunaan
syringe pump untuk pemberian analgetika kontinyu merupakan kesepakatan
internal dari dokter anestesi yang bekerja di RS Prima Medika. Pemberian drip
kontinyu menggunakan syringe pump ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Pierce dkk (2013) yang mendukung penggunaan pompa mekanik
(mechanical pumps) untuk meningkatkan ketepatan dan keamanan pemberian
obat dan cairan intravena.
Dalam buku pedoman penanganan nyeri RSUP Sanglah Denpasar (2012)
juga disebutkan pemberian obat analgesia secara sistemik menggunakan infus
kontinyu dengan mikrodrip tidak direkomendasikan kecuali menggunakan syringe
pump atau infusion pump dengan perhatian khusus terjadinya efek akumulasi obat
sistemik. Pasien adalah konsumen dalam pelayanan kesehatan, yang menerima
pelayanan jasa maupun obat-obatan dari petugas kesehatan (Edyarto, 2011). Oleh
karena itu secara umum pasien dilindungi dengan Undang-Undang No. 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satu hak konsumen yang disebutkan
dalam pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah hak atas
kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa. Perlindungan bagi pasien juga dijamin dalam Undang-Undang No. 29 tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran dan Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang
Universitas Indonesia
36
Rumah Sakit (Shanti, 2010). Oleh karena itu, penanganan nyeri pada pasien pasca
bedah harus menggunakan modalitas yang paling aman bagi pasien.
6.5 Pengetahuan tentang Nyeri Pasca Bedah
Wawancara dengan informan kelompok kedua mengenai nyeri pasca bedah
menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai nyeri pasca bedah tidak merata.
Tidak semua informan mengerti bagaimana cara untuk mengukur nyeri pasca
bedah dan tidak ada alat bantu yang dapat digunakan untuk menilai nyeri yang
dirasakan oleh pasien. Sebagian besar informan mengukur nyeri berdasarkan
keluhan pasien dan vital signnya.
“Keluhan pasien, vital sign nya, lihat pasiennya gelisah atau gak” (informan 3)
“Dari keluhan pasien, TD naik, N naik, raut wajahnya” (informan 4)
“Berdasarkan keluhan pasien” (informan 6,8)
Dua informan menyatakan mengukur nyeri menggunakan VAS
“Lihat Vital Sign pasiennya, VAS nya berapa” (informan 5)
“VAS, Nadi, Tensi” (informan 7)
Wawancara dengan informan mengenai pengetahuan tentang nyeri pasca bedah
mengungkapkan bahwa hanya sedikit orang yang mengerti tentang VAS (visual
analogue scale) yang didapat saat menjalani pendidikan sebelum bekerja.
“Tahu dari pelajaran waktu kuliah dulu…..Caranya dijelasin aja ke pasien, rentang 0-
10, 0 itu tidak nyeri, 10 itu nyeri sekali sampai menangis.” (informan 5)
“Tahu…dulu waktu kuliah diajarin….dikasi liat table atau penggaris yg berisi nilai skor
nyeri nanti pasien disuruh menunjuk di tingkat mana skor nyerinya….” (informan 9)
Namun karena tidak didukung dengan alat bantu visual untuk
mengaplikasikannya ke pasien (contoh seperti menggunakan kartu VAS), pasien
tidak terlalu mengerti dan asal menyebutkan angka skala nyeri yang dirasakannya.
Universitas Indonesia
37
“Tapi pasiennya kadang ga ngerti, bilang VAS 8 padahal meringis pun enggak. Mungkin
karena jelasinnya ga pakai gambar ya…..” (informan 5).
Sebagian informan menyatakan pernah mendengar tentang VAS namun tidak
mengetahuinya dengan pasti.
“Pernah denger kayaknya, tapi gak tau pasti” (informan 3)
“Pernah denger tapi gak hapal” (informan 4)
“Kurang lebih tau tapi gak fasih-fasih banget” (informan 7)
Sebagian informan bahkan sama sekali tidak pernah mendengar tentang VAS.
“Gak tahu. Waktu sekolah dulu gak dapat pelajaran tentang VAS….” (informan 6)
“Apa itu ya??” (informan 8)
Informan juga menyatakan bahwa di rumah sakit prima medika penilaian nyeri
pasca bedah tidak menjadi suatu keharusan dalam pengelolaan pasien pasca
bedah. Dalam catatan tanda-tanda vital pasien maupun dalam catatan keperawatan
di rekam medis pasien, evaluasi nyeri pasca bedah, dalam hal ini nilai VAS, tidak
dicantumkan. Dalam catatan keperawatan hanya ditulis keluhan pasien saja. Jika
pasien tidak mengeluh, maka nyeri pasca bedah tidak dievaluasi.
“Kalau dari rumah sakit sih gak ada ketentuan untuk menilai VAS….” (informan 5)
Svensson dkk (2001) menyebutkan manajemen nyeri pasca bedah yang
kurang adekuat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, sensasi dan
pengalaman nyeri yang berbeda pada tiap individu, tidak dilakukan evaluasi nyeri,
kurangnya dokumentasi dan penelusuran sistematis, kurangnya interaksi antara
pasien dengan tenaga medis dan perilaku negatif terhadap penggunaan analgetik.
Pengetahuan tentang nyeri pasca bedah yang tidak merata di rumah sakit Prima
Medika ini menyebabkan tidak semua petugas mampu menilai intensitas nyeri
dengan baik, sehingga keluhan pasien tidak tertangani dengan baik. Demikian
pula dengan pendokumentasian yang tidak diwajibkan oleh pihak rumah sakit,
sehingga nyeri pasca bedah tidak mendapat perhatian yang khusus. Hal ini
berkontribusi terhadap manajemen nyeri pasca bedah yang kurang adekuat.
Universitas Indonesia
38
Wawancara dengan informan mengenai penyegaran penilaian dan
penanganan nyeri mengungkapkan bahwa sebagian besar informan menyatakan
belum pernah dilakukan penyegaran atau informasi mengenai penilaian dan
penanganan nyeri terkini yang diselenggarakan oleh internal RS ini.
“….Masih belum semua orang mengerti tentang penilaian nyeri. Sosialisasi gak ada”
(informan 3)
“Gak semua tau tentang penilaian nyeri, sosialisasi juga kurang” (informan 5)
“Perlu ada penyegaran tentang penilaian nyeri …..Dari rumah sakit ga pernah ada
seminar tentang itu, padahal itu kan penting…..” (informan 6)
Namun ada responden yang menyatakan bahwa pernah dilakukan seminar tentang
nyeri di rumah sakit ini
“….Kalau ga salah dulu pernah kok ada seminar tentang nyeri….” (informan 1)
Data dari diklat RS Prima Medika Denpasar menunjukkan dalam 6 bulan terakhir
belum pernah dilakukan penyegaran atau pelatihan tentang nyeri. Hal ini tentu
berpengaruh besar terhadap pengetahuan dan kemampuan petugas medis dalam
menilai dan membantu pengelolaan nyeri pasca bedah. Wawancara dengan
informan mengungkapkan bahwa mereka ingin tahu lebih banyak mengenai
penilaian nyeri sehingga mereka dapat merespon dengan baik keluhan nyeri pasca
bedah yang disampaikan oleh pasien, seperti yang disampaikan oleh informan 6,7
dan 9 berikut ini.
“Perlu ada penyegaran tentang penilaian nyeri.” (informan 6)
“Perlu penyegaran tentang penilaian nyeri yg baik itu gimana, apa aja yang bisa kita
lakukan” (informan 7)
“…hrs ada penyegaran ttg manajemen nyeri yg intermiten tiap 1-2 bulan….” (informan
9)
Salah satu rumah sakit swasta yang tengah menanjak popularitasnya
adalah Rumah Sakit Bali Royal Denpasar (BROS). Salah satu kebijakan RS Bros
yang tertulis dalam prosedur tetap teknik penanganan nyeri akut perioperatif RS
BROS adalah dilakukannya pelatihan tentang nyeri kepada petugas medis di
Universitas Indonesia
39
rumah sakit tersebut secara berkala. Sehingga saat pasien mengeluh nyeri, perawat
memberikan laporan yang lengkap kepada dokter, baik dari komponen subyektif
yaitu keluhan pasien, maupun komponen obyektif yaitu tanda-tanda vital pasien
dan nilai VAS pasien (Prosedur Tetap Teknik Penanganan Nyeri Akut
Perioperatif Rumah Sakit Bali Royal Denpasar 2013).
Wawancara mengenai modalitas penanganan nyeri yang digunakan di
rumah sakit Prima Medika, hampir semua responden menjawab serupa.
“Syringe pump, infus set drip, bolus iv…” (informan 3)
“Bolus iv, syringe pump, epidural” (informan 4)
“Syringe pump, bolus, oral, suppositoria” (informan 5,6)
“oral, bolus iv, suppositoria” (informan 7)
“drip, bolus, oral, suppositoria” (informan 8)
Hasil wawancara tersebut menunjukkan semua responden mengetahui modalitas
penanganan nyeri yang dapat digunakan dan masih ada yang menggunakan infus
set drip meskipun tingkat keamanannya lebih rendah dibandingkan penggunaan
pompa mekanik.
6.6 Standar Pelayanan Nyeri
Manajemen nyeri menjadi salah satu isu penting dalam pemberian pelayanan
kesehatan bagi pasien. Untuk itu diperlukan standar pelayanan nyeri yang jelas.
Pada implementasinya, pelayanan bermutu diberikan dengan mempedulikan rasa
nyeri yang dialami oleh pasien, didukung dengan sarana pengkajian nyeri yang
sesuai dan terdokumentasi dengan baik. Dalam akreditasi Joint Commission
International (JCI) isu manajemen nyeri ini menjadi salah satu elemen penilaian
yang disyaratkan untuk dipenuhi oleh rumah sakit. Berbagai bentuk pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada pasien harus mengacu pada pedoman
pengelolaan nyeri, seperti yang tercantum dalam standar akreditasi JCI, antara lain
: Patient and Family Rights (PFR), Assessment of Patients (AOP) dan Care of
Patients (COP). PFR poin 2.4 menyebutkan rumah sakit mendukung hak pasien
Universitas Indonesia
40
untuk mendapatkan evaluasi dan pengelolaan rasa nyeri yang tepat. AOP poin 1.7
menyebutkan semua pasien rawat inap dan rawat jalan diperiksa apakah
mengalami rasa nyeri dan diperiksa mengenai rasa nyeri tersebut jika ada. COP
poin 6 menyebutkan pasien didukung secara efektif dalam mengelola rasa
nyerinya (Lucia, tanpa tahun).
Secara umum, standar pelayanan di Rumah Sakit Prima Medika menurut
beberapa informan masih belum jelas, masih belum terintegrasi dan berjalan
sendiri-sendiri. Khusus untuk standar pelayanan nyeri di RS ini belum ada SOP
dan belum ada pemahaman yang sama antara manajemen, operator dan anestesi.
“Sebenarnya ini kan masalah kompetensi ya…. Mungkin sebenarnya lebih baik anestesi
dilibatkan, cuman kan operator lebih sering bersentuhan dengan pasiennya….kalau ada
apa-apa misalnya kemahalan, operator yang akan dikomplin…” (informan 1)
“SOP di RS ini tidak terintegrasi, semuanya berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing
ruangan membuat SOP sendiri kemudian disetor. Nanti gak tau siapa yang mengedit
atau merevisi, jadi kapan boleh disosialisasikan juga gak jelas…..” (informan 3)
“Sebagai operator saya sih pengennya pasiennya aman, gak nyeri, gak komplin. Kalau
gak ada telpon pasien mengeluh nyeri ke saya sebenernya saya senang
sekali…….Sebenernya ini kan manajemen yang harus koordinasi sama anestesi, gimana
standar pelayanan nyeri yang bagus, aman dan biayanya gak terlalu mahal. Kayak saya
kan sebenernya kompetensinya lain, uda gak pernah lagi baca tentang perkembangan
pelayanan nyeri” (informan 8)
“Ini RS paling aneh menurut saya dalam penanganan nyeri…lucu terkadang..peraturan
selalu berubah-ubah, manajemen tidak punya pendirian yg tegas…kan beda hasilnya
kalo nyeri udah gag tertangani dari awal dg baik….” (informan 9)
Bagi perawat atau bidan atau dokter jaga yang berhadapan langsung dengan
pasien pasca bedah, standar pelayanan yang tidak jelas membuat pelayanan
terhadap pasien kurang maksimal.
“Sebenarnya tidak nyaman dengan aturan lebih dari 24 jam itu lapor ke operator, karena
kompetensi operator kan pada bedahnya…kalau analgetik lebih kompeten dokter
anestesi, belum lagi analgetik yang diberikan operator suka bertabrakan dengan terapi
anestesi sebelumnya. Kasian pasiennya” (informan 2)
Universitas Indonesia
41
“Prosedurnya belum jelas. Masih belum semua orang mengerti tentang penilaian nyeri.
Sosialisasi gak ada” (informan 3)
Di Rumah Sakit Sanglah Denpasar yang telah terakreditasi secara
internasional berdasarkan JCI, penanggulangan nyeri akut diatur dalam standar
pelayanan anestesi dimana penanganan efektif nyeri akut merupakan komponen
fundamental dari pelayanan pasien berkualitas. Dalam pedoman penanggulangan
nyeri akut disebutkan prinsip dalam penanggulangan nyeri akut antara lain
penanggulangan nyeri pasca bedah yang agresif dan atau preemptif dapat
mengurangi insiden nyeri kronik. Dalam penanggulangan nyeri pasca bedah juga
diperlukan penyesuaian komposisi obat analgesia pada setiap pasien. Selain itu,
penanggulangan efektif nyeri akut tergantung pada pendidikan dan pelatihan
semua staf, demikian pula dengan peran serta dan pendidikan pasien serta
keluarga yang merawatnya (standar pelayanan anesthesia-analgesia RSUP
Sanglah, 2012).
Dalam buku Pedoman Penanganan Nyeri RSUP Sanglah Denpasar (2012)
disebutkan dibentuknya unit penanganan nyeri SMF Anestesi yang memiliki tim,
fasilitas, sarana serta manajemen yang mandiri, dimana unit ini melakukan
penanganan nyeri pada pasien rawat inap dan rawat jalan. Nyeri yang dialami
pasien diatasi dengan cepat, tepat dan tanggap sehingga meningkatkan kepuasan
pasien. Pada pasien yang dilakukan operasi atau pembedahan, penanganan nyeri
dimulai dari periode perioperatif yaitu mulai dari preoperasi hingga pasca operasi,
minimal sampai hari ketiga pasca operasi atau selama dokter penanggung jawab
pelayanan pasien (DPJP) tetap mengkonsulkan kepada tim nyeri SMF Anestesi
untuk rawat bersama. Setiap pasien pada periode perioperatif harus dilakukan
penilaian secara menyeluruh untuk keperluan teknik penanganan nyeri yang
aman, efektif dan memuaskan pasien.
Penanganan nyeri pada periode preoperatif meliputi penanganan untuk
mengurangi kecemasan dan nyeri yang sudah ada sebelum operasi, melanjutkan
terapi nyeri yang sudah ada atau menyesuaikan terapi nyeri sebelumnya dan
memberikan premedikasi sebelum operasi yang merupakan bagian dari
multimodal analgesia. Pasien kemudian diberikan informed consent tentang teknik
Universitas Indonesia
42
penanganan nyeri yang akan dilakukan dan diberikan penjelasan mengenai
keuntungan dan resiko dari teknik penanganan nyeri tersebut.
Nyeri akut pasca operasi biasanya dengan intensitas nyeri sedang dan berat
dengan periode puncak dalam 72 jam sehingga memerlukan penanganan nyeri
yang adekuat. Monitoring dan dokumentasi hasil (outcome) dan efek samping
penanganan nyeri dilakukan oleh perawat ruangan, dokter jaga / dokter manager
on duty (MOD) dan dokter spesialis anestesi, dimana untuk nyeri ringan (VAS 0-
3) dilakukan setiap 6-8 jam, nyeri sedang (VAS 4-6) dilakukan setiap 2-4 jam,
dan untuk nyeri berat (VAS > 7) dilakukan setiap 1-2 jam. Dokumentasi
dilakukan di rekam medis pasien. Teknik penanganan nyeri akut menggunakan
modalitas penanganan nyeri yang sesuai dengan standar internasional.
Dalam pemberian analgetika terdapat beberapa teknik yang dilakukan oleh
dokter spesialis anestesiologi di Rumah Sakit Sanglah Denpasar, yang
memerlukan pengetahuan serta keterampilan medik dan asuhan keperawatan yang
lebih tinggi. Manajemen teknik tersebut dapat dilimpahkan oleh dokter spesialis
anestesiologi kepada tenaga medik lainnya atau perawat atau kepada Acute Pain
Service Team, dengan catatan personel yang dilimpahkan telah mendapat
pelatihan yang memadai dan dokter spesialis anestesiologi tersebut yakin terhadap
kompetensi personel yang dilimpahkan kewenangan tersebut. Teknik pemberian
analgetika tersebut antara lain infus opioid kontinyu, pemberian ketamin,
anestetik lokal, Patient controlled analgesia, analgesia epidural dan intratekal,
serta prosedur analgesia regional lainnya. Sebagai tambahan dari terapi
farmakologik dapat diberikan terapi non farmakologik, antara lain terapi
kognitif/perilaku, dimana pasien sejak awal sebelum dirawat dilatih untuk
meningkatkan toleransi terhadap nyeri (contohnya latihan pada kelas antenatal).
Selain itu dapat juga dilakukan terapi fisik, seperti misalnya pijat, pemanasan,
transcutaneous electrical nerve stimulation (standar pelayanan anesthesia-
analgesia RSUP Sanglah, 2012).
Penanganan nyeri pasca bedah di salah satu rumah sakit swasta di
Denpasar, yaitu Rumah Sakit Bali Royal (BROS) juga telah memiliki prosedur
tetap yang jelas dan telah disosialisasikan. Penanganan nyeri pasca bedah diatur
Universitas Indonesia
43
dalam prosedur tetap teknik penanganan nyeri akut perioperatif. Nyeri akut dapat
terjadi sejak periode sebelum operasi (preoperatif) dan pada periode pasca bedah.
Dalam prosedur tetap tersebut disebutkan penanganan nyeri di Rumah Sakit Bali
Royal dimulai dari periode preoperatif sehingga dipastikan pasien mendapatkan
penanganan nyeri yang adekuat, aman dan efektif sehingga dapat mempercepat
pemulihan dan menurunkan morbiditas pasien. Setiap pasien pada periode
perioperatif dilakukan penilaian secara menyeluruh oleh dokter spesialis anestesi
untuk keperluan teknik penanganan nyeri yang aman, efektif dan memuaskan
pasien. Kemudian pasien diberikan informed consent mengenai keuntungan dan
risiko dari teknik penanganan nyeri yang akan dilakukan. Dokter spesialis anestesi
menentukan teknik penanganan nyeri yang akan digunakan berdasarkan kondisi
pasien dan jenis operasi, dengan memilih salah satu dari tiga teknik yang
direkomendasikan di rumah sakit BROS, yaitu central regional analgesia (spinal
dan epidural), patient controlled analgesia dengan opioid sistemik intravena, atau
menggunakan analgesia dengan blok saraf tepi. Teknik penanganan nyeri oleh
dokter spesialis anestesi dilakukan selama periode puncak inflamasi, yaitu selama
72 jam atau diperpanjang bila diperlukan oleh pasien. Monitoring dan
dokumentasi outcome dan efek samping penanganan nyeri dilakukan oleh perawat
ruangan, dokter jaga atau dokter manager on duty (MOD) dan dokter spesialis
anestesi. Dokumentasi dilakukan di rekam medis pasien. (prosedur tetap teknik
penanganan nyeri akut perioperatif RS BROS, 2013)
Wawancara mengenai harapan atau saran yang ingin diberikan oleh informan
untuk perbaikan standar pelayanan di rumah sakit Prima Medika Denpasar,
sebagian informan menyatakan perlu dibuat prosedur yang jelas dan dilakukan
sosialisasi.
“Banyak SOP yang harus di revisi, apalagi ini mau akreditasi. Selama ini kita yang di
lapangan mencari-cari sendiri, seperti berjalan sendiri, ga nyambung sama manajemen”
(informan 2)
“SOP di RS ini tidak terintegrasi, semuanya berjalan sendiri-sendiri… perlu ditata lebih
baik lagi, supaya terintegrasi dan nyambung” (informan 3)
“Harus dibuat SOP yang jelas” (informan 4)
Universitas Indonesia
44
6.7 Kepuasan Pasien
Pelayanan terhadap pasien yang terarah dan terperinci dalam sebuah SOP
memberikan panduan bagi dokter dan perawat atau bidan yang bersentuhan
langsung dengan pasien untuk memberikan perawatan yang optimal. Perawatan
yang optimal tentunya akan meningkatkan kepuasan pasien (Edyarto, Pediantoro,
2011). Data kunjungan pasien di RS Prima Medika sepanjang tahun 2013
menunjukkan bahwa RS Prima Medika masih menjadi rumah sakit pilihan bagi
pasien-pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Jika penanganan nyeri
ditata dan dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin hunian di rumah sakit ini
akan semakin meningkat.
Pada penelitian ini, 10 orang pasien nyeri pasca laparotomi pada periode
lebih dari 24 jam dikelola oleh dokter anestesi dan 10 orang pasien dikelola oleh
dokter operator. Pada kelompok pasien yang dikelola oleh dokter anestesi sampai
periode lebih dari 24 jam, VAS pada saat diam dan saat bergerak masih dalam
kategori nyeri ringan sedangkan kelompok yang dikelola oleh dokter operator
VAS saat bergerak bervariasi antara nyeri ringan sampai nyeri sedang (data pada
tabel 6.6 hal 33). Ibu LKK, salah satu pasien yang nyeri pasca laparotominya
dikelola oleh dokter anestesi menyatakan sangat senang dengan pelayanan nyeri
yang dialaminya, pasca operasi bisa tidur dengan nyenyak tanpa diganggu rasa
nyeri dan ibu LKK bisa berjalan sendiri ke kamar mandi (mobilisasi dini) tanpa
merasa nyeri, hanya terasa sedikit kaku di luka operasinya. Demikian pula dengan
ibu DYA, yang merupakan seorang dokter gigi di daerah NTT. Ibu DYA
memiliki pengalaman operasi sebelumnya yaitu operasi section caesaria yang
dilakukan di NTT. Pengalaman ibu DYA, setelah operasi yang terdahulu pasca
operasi merasakan nyeri yang sangat hebat. Setelah ibu DYA merasakan
penanganan nyeri di RS Prima Medika yang nyerinya dikelola oleh dokter
anestesi, ibu DYA sangat senang karena pengalaman nyeri pasca bedah yang
pernah ia alami tidak ia rasakan di RS Prima Medika.
Universitas Indonesia
45
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan penelitian dapat disimpulkan bahwa penanganan
nyeri pasca bedah di rumah sakit Prima Medika Denpasar belum tertata dengan
baik.
Mengenai keluhan pasien, analgetika yang diberikan pasca bedah cukup
melindungi pasien dari nyeri pasca bedah walaupun masih ada sedikit pasien yang
mengeluh nyeri meskipun telah mendapatkan analgetika pada periode 24 jam.
Pada periode lebih dari 24 jam, nyeri pasca bedah bervariasi antara nyeri ringan
sampai nyeri sedang.
Dari penelitian tentang standar pelayanan nyeri, ditemukan permasalahan sebagai
berikut :
- Pengetahuan petugas medis tentang penilaian nyeri tidak merata, sebagian
hanya mengetahui sedikit, sebagian bahkan benar-benar tidak tahu
- Tidak ada alat bantu untuk mengaplikasikan penilaian nyeri (VAS) ke
pasien sehingga pasien tidak mengerti apa yang coba dijelaskan oleh
perawat / bidan mengenai penilaian nyeri
- Tidak adanya SOP penanganan nyeri pasca bedah di RS ini menyebabkan
pelayanan pasien yang kurang maksimal
- Belum ada kebijakan atau pedoman dari manajemen RS Prima Medika
mengenai pemberian analgetika kontinyu yang aman untuk pasien
Universitas Indonesia
46
7.2 SARAN
Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, maka disarankan untuk :
1. Saran tentang SOP
- Dari SOP yang sudah dibahas dalam penelitian ini, peneliti menyarankan
kepada manajemen untuk menggunakan SOP RS Sanglah yang sudah
mendapatkan akreditasi JCI sebagai referensi untuk membuat SOP
penanganan nyeri di RS Prima Medika.
- RS Prima Medika dapat menggunakan SOP penanganan nyeri sebagai
berikut ini :
a. Setiap pasien pada periode perioperatif harus dilakukan penilaian
secara menyeluruh oleh dokter anestesi untuk keperluan teknik
penanganan nyeri yang aman, efektif dan memuaskan bagi pasien
b. Penanganan nyeri dimulai pada periode perioperatif, yang meliputi
penanganan untuk mengurangi kecemasan dan nyeri yang ada sebelum
operasi
c. Pasien diberikan informed consent mengenai rencana teknik
penanganan nyeri yang akan dilakukan, dijelaskan mengenai
keuntungan dan kerugian teknik penanganan nyeri tersebut
d. Penentuan teknik penanganan nyeri dilakukan oleh dokter spesialis
anestesi dengan memilih antara lain pemberian opioid sistemik
intravena menggunakan syringe pump, analgesia dengan mengunakan
blok saraf tepi, atau menggunakan teknik central regional analgesia
(spinal atau epidural)
e. Teknik penanganan nyeri oleh dokter spesialis anestesi dilakukan
selama periode puncak inflamasi (72 jam) pasca bedah atau dapat
diperpanjang jika masih diperlukan oleh pasien
f. Monitoring dan dokumentasi hasil dan efek samping penanganan nyeri
dilakukan oleh perawat / bidan di ruangan, dokter jaga (MOD) dan
dokter spesialis anestesi, dimana untuk VAS 0-3 dilakukan setiap 6-8
Universitas Indonesia
47
jam, untuk VAS 4-7 dilakukan setiap 4-6 jam dan untuk VAS diatas 7
dilakukan setiap 2 jam. Dokumentasi dilakukan di rekam medis pasien
- Setelah SOP penanganan nyeri RS Prima Medika terbentuk, dilakukan
sosialisasi SOP penanganan nyeri kepada semua pihak yang terlibat secara
langsung dalam pengelolaan pasien pasca bedah.
- Membuat alat bantu untuk mengaplikasikan penilaian nyeri (VAS) kepada
pasien
2. Saran tentang pendidikan nyeri pasca bedah
Mengadakan penyegaran tentang nyeri secara berkala dengan nara sumber
yang berkompeten di bidang nyeri, terutama nyeri pasca bedah
3. Saran untuk peningkatan kepuasan pasien
- Membentuk tim nyeri akut untuk memberikan pelayanan yang lebih baik
bagi pasien-pasien nyeri, khususnya pada pasien pasca bedah.
Universitas Indonesia
48
DAFTAR PUSTAKA
International Association for the Study of Pain, 2002. Pain; 10: 5
_______. _______. Pain: Current understanding of assessment, management, and
treatments. Section II: Assessment of Pain. National Pharmaceutical
Council. www.americapainsociety.org diunduh 13 Juni 2014
_______. 2000. Pain as the fifth vital sign toolkit. Geriatrics and Extended Care
Strategic Healthcare Group. Veteran Health Administration.
www.va.gov/painmanagement/docs/toolkit.pdf diunduh 13 Juni 2014
Svensson I, Sjostrom B, Haljamae H. 2001. Influence of expectations and actual
pain experiences on satisfaction with postoperative pain management. Eur
J Pain; 5(2): 125-33
DeLoach, LJ., Higgins, MS., Caplan, AB., Stiff, JL. 1998. The Visual Analogue
Scale in the immediate postoperative period: intrasubject variability and
correlation with a numeric scale. Anesth Analg. Jan; 86(1) : 102-6
Hui Yun Vivian IP; et al. 2009. Predictors of Postoperative Pain and Analgesic
Consumption. A Qualitative Systematic Review. Anesthesiology. 111:657-
77
Hines, R.L. 2004. Adult Perioperative Anesthesia The Requisites In
Anesthesiology ch.1. Elsevier Mosby.
Tilleul, P., M. Aissou, F. Bocquet et al. 2012. Cost-effectiveness analysis
comparing epidural, patient controlled intravenous morphine, and
continuous wound infiltration for postoperative pain management after
open abdominal surgery. British Journal of Anesthesia. 108 (6): 998-1005
Santosa, Joko Dwi. 2014. Lebih Memahami SOP (standard operating procedure).
Cetakan pertama. Surabaya. Kata Pena
Tambunan, Rudi M. 2013. Pedoman Penyusunan Standard operating procedures
(SOP). Edisi kedua. Bekasi: Maiestas Publishing
Nasution, M. Pedoman penyusunan SOP untuk rumah sakit.
ngeblogarea.blogspot.com diunduh 13 Desember 2013
Tathagati, Arini. Step by step membuat SOP (standard operating procedure).
Cetakan pertama. Efata Publishing
Budihardjo, M. Ir. 2014. Panduan praktis menyusun SOP. Cetakan kedua. Jakarta:
Raih Asa Sukses
Strode, I., Logina, I. 2009. Assessment of postoperative pain in nursing. Acta
Chirurgica Latviensis. DOI: 10.2478/v10163-010-0015-4.
Universitas Indonesia
49
Viscusi, ER. 2009. Organization of an acute pain management service
incorporating regional anesthesia techniques. http//www.nysora.com
diunduh 23 Juni 2014
Soejima, K., Aya Goto, Phan Ton Ngoc Vu. 2010. Perception of anesthesia safety
and postoperative symptoms of surgery patients in Ho Chi Minh City,
Vietnam : a pioneering trial of postoperative care assessment in a
developing nation. Environ Health Prev Med 15: 333-343
Data Register Kamar Operasi Rumah Sakit Prima Medika Denpasar tahun 2012
Kim, H.S., Bjorn, S., Schwartz-Barcott. 2006. Pain assessment in the perspective
of action science. Research and theory for nursing pratice:An international
journal, Vol. 20, No 3
McGillion, M., Dubrowski, A., Stremler, R. et al. 2011. The postoperative pain
assessment skills pilot trial. Pain Res Manage; 16(6):433-439
Zimberg, Steve E. 2003. Reducing pain and costs with innovative postoperative
pain management. Managed Care Quarterly; ProQuest; 11,1
Anonim. Pain Assessment Scales.
www.painedu.org/nipc/pain_assessment_scales.pdf diunduh 10 Desember
2013
Avidan Michael. 2003. Perioperative care, anesthesia, pain management and
intensive care
Anonim. Pain. www.hospiceworld.org/book/pain.htm diunduh 10 Desember 2013
Pierce, E.T., Kumar, V., Hui Zheng., Peterfreund, R. A. 2013. Medication and
volume delivery by gravity-driven micro-drip intravenous infusion :
potential variations during “wide open” flow. Anesthesia & Analgesia
2013;116:614-18
Buku Pedoman Penanganan Nyeri RSUP Sanglah Denpasar 2012
Edyarto., Pediantoro, B. 2011. Pengendalian Mutu Rumah Sakit. PT Medva.
www.konsultanrumahsakit.com diunduh 3 Juli 2014
Shanti Rachmadsyah, SH. 2010. Hak pasien atas pelayanan kesehatan di rumah
sakit. www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2431/hak-pasien-atas-
pelayanan-kesehatan-di-rumah -sakit
Nurhafizah., Erniyati. 2012. Strategi koping dan intensitas nyeri pasien post
operasi di ruang rindu B2A RSUP H. Adam Malik Medan
Kemp., Charles. 2010. Klien sakit terminal : Seri asuhan keperawatan. Edisi 2.
Jakarta. EGC
Universitas Indonesia
50
Jensen, M.P., Chen, C., Brugger, A.M. 2003. Interpretation of visual analog scale
ratings and change scores : a reanalysis of two clinical trials of
postoperative pain. J Pain. 2003 Sept;4(7):407-14
Merry, Alan F., Cooper Jeffrey B., Olaitan Soyannwo et al. 2010. International
Standards for a Safe Practice of Anesthesia 2010. Can J Anesth/J Can
Anesth (2010) 57:1027-1034 diunduh 5 Mei 2014
Lucia Evi Indriarini, SE. tanpa tahun. Sakit tetapi tidak boleh nyeri : Standar
Manajemen Nyeri di RS.
mutupelayanankesehatan.net/index.php/component/content/article/19-
headline/513 diunduh 21 April 2014
Standar Pelayanan Dan Tatalaksana Anestesia-Analgesia Dan Terapi Intensif
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar 2012
Prosedur Tetap Teknik Penanganan Nyeri Akut Perioperatif Rumah Sakit Bali
Royal Denpasar 2013
51
Lampiran 1
INFORMED CONSENT
PERSETUJUAN RESPONDEN KELOMPOK 1
Bapak/Ibu/Saudara/i yang terhormat,
Perkenalkan nama saya dr Cynthia Dewi Sinardja SpAn, mahasiswa S2
Manajemen Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. Saya bermaksud melakukan penelitian yang berjudul
Penanganan Nyeri Pasca Bedah Laparotomi di Rumah Sakit Prima Medika
Denpasar Bulan Januari-Pebruari Tahun 2014. Penelitian ini dilakukan sebagai
syarat untuk menyelesaikan masa studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Saya berharap Bapak/Ibu/Saudara/i bersedia menjadi responden dalam penelitian
ini, dimana Bapak/Ibu/Saudara/i akan kami evaluasi intensitas nyeri pasca operasi
selama tiga hari pasca operasi. Kunjungan (visite) yang kami lakukan tidak akan
menimbulkan biaya tambahan (biaya visite) yang dibebankan kepada
Bapak/Ibu/Saudara/i. Kerahasiaan identitas Bapak/Ibu/Saudara/i akan kami jamin.
Hormat saya,
dr Cynthia Dewi Sinardja SpAn
52
Lampiran 2
DAFTAR PERTANYAAN
RESPONDEN KELOMPOK 1
I. DATA DEMOGRAFI
1. Inisial Nama :
2. Usia :
3. Jenis Kelamin :
4. BB / TB :
5. Tk. pendidikan :
6. Pekerjaan :
7. Cara Bayar :
8. Tanggal Operasi :
9. Diagnosa :
10. Operator :
11. Anestesi :
12. Status Fisik ASA :
13. Lama Operasi :
14. Jenis Anestesi :
15. KRS :
II. INTENSITAS NYERI
1. Jenis Analgetika :
2. VAS :
24 jam : VAS diam : VAS bergerak : Analgetika :
48 jam : VAS diam : VAS bergerak : Analgetika :
72 jam : VAS diam : VAS bergerak : Analgetika :
53
54
Lampiran 3
INFORMED CONSENT
PERSETUJUAN RESPONDEN KELOMPOK 2
Bapak/Ibu yang terhormat,
Sehubungan dengan akan dilakukannya penelitian tentang Penanganan Nyeri
Pasca Bedah Laparotomi di Rumah Sakit Prima Medika Denpasar Bulan Januari-
Pebruari Tahun 2014, saya harapkan kesediaan Bapak/Ibu utuk menjadi
responden dalam penelitian ini, dimana Bapak/Ibu akan saya wawancarai
mengenai penanganan nyeri yang sudah berlangsung selama ini di Rumah Sakit
Prima Medika ini. Identitas Bapak/Ibu akan kami rahasiakan dan hasil dari
penelitian ini mungkin akan dipublikasikan dengan tetap menjaga kerahasiaan
anda.
Dengan Hormat,
dr Cynthia Dewi Sinardja SpAn
55
Lampiran 4 DAFTAR PERTANYAAN
RESPONDEN KELOMPOK 2
I. DATA RESPONDEN
1. Inisial Nama :
2. Usia :
3. Jenis Kelamin :
4. Departemen :
5. Lama Bekerja di RS PM :
II. DAFTAR PERTANYAAN
1. Keluhan pasien
a. Apakah anda sering menjumpai pasien mengeluh nyeri pasca bedah,
terutama pasca bedah laparotomi di RS ini?
b. Jika ya, bagaimana anda menyikapinya?
2. Pengetahuan tentang nyeri pasca bedah
a. Bagaimana cara untuk mengukur nyeri pasca bedah?
b. Apakah anda tahu tentang VAS? Jika ya, tahu dari mana? Bagaimana
anda mengaplikasikannya ke pasien?
c. Apa saja modalitas yang digunakan untuk penanganan nyeri yang anda
ketahui ada di RS ini?
3. Standar pelayanan nyeri
56
a. Menurut anda bagaimana prosedur penanganan nyeri yang selama ini
berjalan di RS ini?
b. Adakah saran yang ingin anda berikan untuk perbaikan standar
pelayanan di RS ini?
57
Lampiran 5
Matrik Hasil Wawancara
“PENANGANAN NYERI PASCA BEDAH LAPAROTOMI DI RUMAH SAKIT PRIMA MEDIKA DENPASAR BULAN JANUARI-PEBRUARI
2014”
No Pertanyaan Informan 1 Informan 2
1 Keluhan Pasien
a Apakah anda sering menjumpai pasien
mengeluh nyeri pasca bedah, terutama
laparotomi di RS ini?
Sepertinya gak banyak yaa….. Ada, tapi tidak banyak
b Jika ya, bagaimana anda menyikapinya?
Sesuai dengan yang dibuat oleh dirut, kurang dari 24
jam suruh lapor ke dokter anestesi, kalau lebih dari 24
jam lapor operator.
KIE pasiennya, cek dosis analgetiknya, cek adakah
instruksi k/p, kalau ada, jalankan instruksi k/p nya.
Kalau terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam lapor
dokter anestesi yang membius. Kalau terjadi dalam
waktu lebih dari 24 jam lapor operator, kalau operator
menyerahkan ke dokter anestesi baru lapor dokter
anestesinya.
No Pertanyaan Informan 3 Informan 4
1 Keluhan Pasien
a Apakah anda sering menjumpai pasien
mengeluh nyeri pasca bedah, terutama
laparotomi di RS ini?
Ada aja sih yang mengeluh nyeri, tapi tidak banyak.
Biasanya mengeluh dingin atau mual
Ada, tapi tidak banyak
b Jika ya, bagaimana anda menyikapinya?
Lihat dulu vital sign nya, cek syringe pump nya jalan
atau tidak. Kalau syringe pump jalan bagus masih
ngeluh nyeri, lapor ke dokter anestesi yang membius
tadi. Setelah dapat advis dan diajalankan, biasanya
keluhan nyeri hilang. Tapi tergantung pasiennya juga,
kalau dari awal sudah takut/cemas, terbawa sampai ke
RR, jadi ngeluh nyeri padahal mungkin sebenernya
enggak, vital sign nya biasa aja.
Lapor dokter anestesi yang membius tadi
No Pertanyaan Informan 5 Informan 6
1 Keluhan Pasien
a Apakah anda sering menjumpai pasien
mengeluh nyeri pasca bedah, terutama
laparotomi di RS ini?
Ada, tapi tidak banyak Ada, tapi tidak banyak
58
b Jika ya, bagaimana anda menyikapinya?
Lihat dulu Vital Sign dan VAS pasien, setelah itu lihat
instruksi dokter ada k/p atau tidak. Kalau tidak ada,
dalam waktu kurang dari 24 jam lapor dokter anestesi,
kalau lebih dari 24 jam lapor operator. Rata2 pasien
yang mengeluh nyeri setelah dikasi obat keluhannya
mereda
Lihat instruksi dokter, ada k/p atau tidak. Kalau tidak
ada, dalam waktu kurang dari 24 jam lapor dokter
anestesi, kalau lebih dari 24 jam lapor operator.
No Pertanyaan Informan 7 Informan 8
1 Keluhan Pasien
a Apakah anda sering menjumpai pasien
mengeluh nyeri pasca bedah, terutama
laparotomi di RS ini?
Ada, tapi gak banyak. Biasanya sih dilaporin kalau
jam-jam gak enak, yaa diatas jam 12 mlm lah.
Biasanya ruangan gak berani lapor spesialis jam
segitu, jadi lapor ke kita deh
Ada, tapi kalau sering sih enggak. Ada satu yang
sampai kontrol ke praktek masih nyeri, cara jalannya
bungkuk, tapi masih bisa ditahan sih. Biasanya kalau
dari awal sebelum oprasi uda cemas berlebihan,
terbawa sampai post op jadi ngeluh nyeri. Tapi selama
ini sih gak banyak. Rasanya yang berkembang sampe
jadi nyeri kronis gak ada
b Jika ya, bagaimana anda menyikapinya?
Kalau kurang dari 24 jam kan masih dapat drip dari
anestesi, ya bingung juga mau saya kasi apa lagi
Kasi obat. Kalau yang dari awal uda kliatan cemas
berlebihan, biasanya saya minta sama anestesinya
untuk tetap kasi drip analgetik walau sudah lewat 24
jam. Bahkan ada yang sampai mau pulang baru dripny
a dicabut. Kalau standar saya sih, obat oral yang saya
kasi pasti yang kombinasi kyk acitram gitu, sudah ga
pernah lagi saya kasi mefinal aja. Kalau pasiennya gak
mampu, sebelum operasi saya KIE dulu tentang obat-
obatannya.
No Pertanyaan Informan 9
1 Keluhan Pasien
a Apakah anda sering menjumpai pasien
mengeluh nyeri pasca bedah, terutama
laparotomi di RS ini?
Kalo sering, sy gag ada data…yg pasti pasti ada,
bahkan operator kdg yg minta pasiennya gag nyeri,
berarti kan operator pernah diprotes ama pasien… yg
susah itu pasien paket krn dia menganggap nyeri itu
wajar krn dia bayar paket, sebenarnya bukan itu yg
kita inginkan…. Pasien apapun hrs bebas nyeri disini
seharusnya… obat gag harus yg mahal, cuma yg benar
aja kombinasi dan dosisnya…
59
b Jika ya, bagaimana anda menyikapinya?
Kalo sy lagi baik moodnya, sy kasi tau perawat
bagaimana mengatasinya…. Kalo operator nya resek,
sy suruh menghubungi operator aja…
No Pertanyaan Informan 3 Informan 4
2 Pengetahuan tentang nyeri pasca bedah
a Bagaimana cara untuk mengukur nyeri pasca
bedah?
Keluhan pasien, vital sign nya, lihat pasiennya gelisah
atau gak
Dari keluhan pasien, TD naik, N naik, raut wajahnya
b Apakah anda tahu tentang VAS? Jika ya, tahu
dari mana? Bagaimana anda
mengaplikasikannya ke pasien?
Pernah denger kayaknya, tapi gak tau pasti Pernah denger tapi gak hapal
c Apa saja modalitas yang digunakan untuk
penanganan nyeri yang anda ketahui ada di RS
ini?
Syringe pump, infus set drip, bolus iv. Kalau PCA kita
belum punya
Bolus iv, syringe pump, epidural
Informan 5 Informan 6
2 Pengetahuan tentang nyeri pasca bedah
a Bagaimana cara untuk mengukur nyeri pasca
bedah?
Lihat Vital Sign pasiennya, VAS nya berapa Berdasarkan keluhan pasien
b
Apakah anda tahu tentang VAS? Jika ya, tahu
dari mana? Bagaimana anda
Tahu dari pelajaran waktu kuliah dulu. Kalau dari
rumah sakit sih gak ada ketentuan untuk menilai VAS.
Caranya dijelasin aja ke pasien, rentang 0-10, 0 itu
tidak nyeri, 10 itu nyeri sekali sampai menangis. Tapi
Gak tahu. Waktu sekolah dulu gak dapat pelajaran
tentang VAS karena saya bidan…..Dari rumah sakit ga
pernah ada seminar tentang itu, padahal itu kan
penting, walau saya bidan tp sering juga merawat
60
mengaplikasikannya ke pasien?
pasiennya kadang ga ngerti, bilang VAS 8 padahal
meringis pun enggak. Mungkin karena jelasinnya ga
pakai gambar ya…..
pasien post op di ruangan……mungkin dokter anestesi
yang paling pas ngasi penyegaran tentang nyeri post
op….
c Apa saja modalitas yang digunakan untuk
penanganan nyeri yang anda ketahui ada di RS
ini?
Syringe pump, bolus, oral, suppositoria Syringe pump, bolus, oral, suppositoria
No Pertanyaan Informan 7 Informan 8
2 Pengetahuan tentang nyeri pasca bedah
a Bagaimana cara untuk mengukur nyeri pasca
bedah?
VAS, Nadi, Tensi Keluhan pasiennya, raut wajahnya, cara jalannya
b Apakah anda tahu tentang VAS? Jika ya, tahu
dari mana? Bagaimana anda
mengaplikasikannya ke pasien?
Visual analogue scale? Kurang lebih tau tapi gak fasih-
fasih banget. Saya gak pernah nilai nyeri pasien pake
VAS
Apa itu ya??
c Apa saja modalitas yang digunakan untuk
penanganan nyeri yang anda ketahui ada di RS
ini?
Bisa oral, bolus iv, suppositoria. Klo nyeri berat, kasi
bolus iv.
drip, bolus, oral, suppositoria
No Pertanyaan Informan 9 Informan 1
2 Pengetahuan tentang nyeri pasca bedah
a Bagaimana cara untuk mengukur nyeri pasca
bedah?
Banyak metode buat nilai nyeri… tgt metode yg
dipakai….semua metode psti ada kurangnya tapi bs
digunakan sebagai acuan tinggal melihat klinis
pasiennya aja…
Ya dari keluhan pasien
61
b Apakah anda tahu tentang VAS? Jika ya, tahu
dari mana? Bagaimana anda
mengaplikasikannya ke pasien?
Tahu…dulu waktu kuliah diajarin….dikasi liat table
atau penggaris yg berisi nilai skor nyeri nanti pasien
disuruh menunjuk di tingkat mana skor
nyerinya….sebenarnya gampang kalo mau
diaplikasikan ke pasien…
Tahu….dikasi tau sama dokter anestesi. Kalau ga salah
dulu pernah kok ada seminar tentang nyeri,
pembiacaranya dulu kalo gak salah dokter X SpAn
c Apa saja modalitas yang digunakan untuk
penanganan nyeri yang anda ketahui ada di RS
ini?
Banyak… yg pasti menangani nyeri itu harus multi
modal therapy untuk mengurangi efek samping…
kesannya lebih mahal tapi biaya akhir bs lebih murah
krn tidak perlu keluar obat untuk mengatasi efek
samping lg…
Bisa bolus, drip ato obat oral
No Pertanyaan Informan 1 Informan 2
3 Standar pelayanan nyeri
a Menurut anda bagaimana prosedur
penanganan nyeri yang selama ini berjalan di
RS ini?
Sebenarnya ini kan masalah kompetensi ya…. Mungkin
sebenarnya lebih baik anestesi dilibatkan, cuman kan
operator lebih sering bersentuhan dengan pasiennya,
pas kontrol, kalau ada apa-apa misalnya biayanya jadi
mahal, operatornya yang dikomplin sama
pasiennya….Akhirnya dicari jalan tengahnya, kurang
dari 24 jam msh jadi tanggung jawab anestesi. Gitu sih
aturan yang dibuat sama dirut. Buatnya atas
rekomendasi dari komite medik
Sebenarnya tidak nyaman dengan aturan lebih dari 24
jam itu lapor ke operator, karena kompetensi operator
kan pada bedahnya, kalau pemberian antibiotika
okelah, tapi kalau analgetik lebih kompeten dokter
anestesi, belum lagi analgetik yang diberikan operator
suka bertabrakan dengan terapi anestesi sebelumnya.
Kasian pasiennya.
b Adakah saran yang ingin anda berikan untuk
perbaikan standar pelayanan di RS ini?
Mungkin komunikasi antar operator dan anestesinya
perlu diperbaikin
Banyak SOP yang harus di revisi, apalagi ini mau
akreditasi. Selama ini kita yang di lapangan mencari-
cari sendiri, seperti berjalan sendiri, ga nyambung
sama manajemen. Seharusnya kita duduk bersama
untuk merevisi SOP di sini.
No Pertanyaan Informan 3 Informan 4
3 Standar pelayanan nyeri
62
a Menurut anda bagaimana prosedur
penanganan nyeri yang selama ini berjalan di
RS ini?
Prosedurnya belum jelas. Masih belum semua orang
mengerti tentang penilaian nyeri. Sosialisasi gak ada
Saya sih ngejalanin sesuai instruksi dokter anestesi aja
b
Adakah saran yang ingin anda berikan untuk
perbaikan standar pelayanan di RS ini?
SOP di RS ini tidak terintegrasi, semuanya berjalan
sendiri-sendiri. Masing-masing ruangan membuat SOP
sendiri kemudian disetor. Nanti gak tau siapa yang
mengedit atau merevisi, jadi kapan boleh
disosialisasikan juga gak jelas. SOP di sini perlu ditata
lebih baik lagi, supaya terintegrasi dan nyambung.
Harus dibuat SOP yang jelas
No Pertanyaan Informan 5 Informan 6
3 Standar pelayanan nyeri
a Menurut anda bagaimana prosedur
penanganan nyeri yang selama ini berjalan di
RS ini?
Ngikut aturan aja…. Saya sih ngikut aturan aja. Sekarang instruksinya lebih
dari 24 jam lapor nyeri ke operator ya saya ikuti. Nanti
kalau ada perubahan ya saya ikutin aja
b Adakah saran yang ingin anda berikan untuk
perbaikan standar pelayanan di RS ini?
Gak semua tau tentang penilaian nyeri, sosialisasi juga
kurang
Perlu ada penyegaran tentang penilaian nyeri. Apalagi
saya bidan, dulu waktu pendidikan gak dapet, padahal
kan perlu banget
No Pertanyaan Informan 7 Informan 8
3 Standar pelayanan nyeri
a Menurut anda bagaimana prosedur
penanganan nyeri yang selama ini berjalan di
RS ini?
Gimana ya…kita-kita yang jaga cuma jalanin
kebiasaan aja sih.
Sebagai operator saya sih pengennya pasiennya aman,
gak nyeri, gak komplin. Kalau gak ada telpon pasien
mengeluh nyeri ke saya sebenernya saya senang sekali.
Saya cumin perlu ngurusin antibiotiknya aja. Menurut
saya sih nyeri itu tergantung uang. Soalnya untuk
ngatasin nyeri itu kan perlu obat, obat perlu pake uang.
Biasanya saya kasi tau dulu pasiennya dipraktek
sebelum operasi, apalagi pasien paket, bahwa biaya
paket itu diluar obat.
63
b Adakah saran yang ingin anda berikan untuk
perbaikan standar pelayanan di RS ini?
Perlu penyegaran tentang penilaian nyeri yg baik itu
gimana, apa aja yang bisa kita lakukan
Sebenernya ini kan manajemen yang harus koordinasi
sama anestesi, gimana standar pelayanan nyeri yang
bagus, aman dan biayanya gak terlalu mahal. Kayak
saya kan sebenernya kompetensinya lain, uda gak
pernah lagi baca tentang perkembangan pelayanan
nyeri
No Pertanyaan Informan 9
3 Standar pelayanan nyeri
a Menurut anda bagaimana prosedur
penanganan nyeri yang selama ini berjalan di
RS ini?
Ini RS paling aneh menurut saya dalam penanganan
nyeri…lucu terkadang..peraturan selalu berubah-ubah,
manajemen tidak punya pendirian yg tegas… suatu
waktu nyeri adalah tanggung jawab anestesi, suatu
saat katanya operator yg paling pinter, tapi kalo udah
ada masalah pasti nyari anestesi, kan beda hasilnya
kalo nyeri udah gag tertangani dari awal dg baik….
Sebaiknya manajemennya disini diganti dulu….
b Adakah saran yang ingin anda berikan untuk
perbaikan standar pelayanan di RS ini?
Ganti manajemen dulu lah…. Baru bisa buat
perubahan ttg manajemen nyeri di RS ini…. Saya
pesimis disini bs membaik, perawat sih laporannya
baik2 aja tetapi kenyataan di lapangan pasti
beda….hrs ada penyegaran ttg manajemen nyeri yg
intermiten tiap 1-2 bulan….
Universitas Indonesia
64
Lampiran 6
Laporan Diklat Rumah Sakit Prima Medika Tahun 2013
No Kegiatan Diklat Narasumber Hari/Tanggal Tempat Peserta Keterangan 1 Penyegaran internal
keperawatan Tim Keperawatan
Jumat, 25 Januari 2013
Sunflower Room Keperawatan
2 Pelatihan TOT BTCLS Tim 118 Kamis-Minggu, 14-17 Februari 2013
Sunflower & Seruni Room
Eksternal
3 Pelatihan BLS Internal Tim BLS RSPM Sabtu, 20 April 2013
Sunflower Room Karyawan RSPM
4 Penyuluhan Deteksi Dini Kanker Payudara
Tim Bali Care Cancer Foundation / RSPM
28-30 April 2013 Klinik Prima Medika Nyuh Kuning Ubud
Banjar Nyuh Kuning, Banjar di Denpasar
5 Pelatihan Manajemen Rawat Luka
Ns. Juni S.Kep Sabtu, 4 Mei 2013
Sunflower Room Keperawatan Alexa Medica
6 Studi Banding Poltek Tegal
- Selasa, 7 Mei 2013
Sunflower Room
7 RTD Dislipidemia dr Junior SpJP Jumat, 10 Mei 2013
Melati Room Internal dokter umum
Pfizer
8 Seminar tentang SLE dr Ratih SpPD Jumat, 11 Mei 2013
Sunflower Room Umum Sanbe Farma
9 Seminar Pola Hidup Sehat
dr Pande SpPD Kamis, 16 Mei 2013
Meeting Room Nusa Dua Beach Hotel
Karyawan NDBH
Universitas Indonesia
65
10 Seminar Bayi Tabung dr Aucky SpAnd, dr Ilyas SpOG
Minggu, 19 Mei 2013
Sunflower & Seruni Room
Umum
11 Seminar RM Standar Akreditas
1 Petugas RM
12 Workshop Pemberian Cairan Intravena Secara Aman dan Pump Risk Management
Terumo Team Kamis, 13 Juni 2013
Sunflower Room Keperawatan Terumo
13 Pelatihan internal SOP Transport Pasien
Tim BLS RSPM Kamis, 27 Juni 2013
Sunflower Room Internal
14 Workshop Phlebotomy Grainer Rabu, 3 Juli 2013 Sunflower Room Internal 15 RTD Penanganan
Hepatitis dr Hensen SpPD Sabtu, 5 Juli
2013 Poliklinik Dokter jaga
16 Seminar Service Excellent
Kalbe Rabu, 10 Juli 2013
Sunflower Room Internal
17 Workshop internal palliative care dan persiapan pasien preoperasi
Prof. Tjakra SpB.onk
Jumat, 19 Juli 2013
Sunflower Room Internal
18 Kongres Nasional Anestesi
Agustus 2013 Bandung dr Kris Budiman dan perawat ICU
19 Seminar Hemodinamik Aston, Denpasar 20 Workshop internal
perawatan chemoport dr Andatusta SpB.onk
Jumat, 30 Agustus 2013
Sunflower Room Internal
21 Seminar Patient Safety September 2013 RS Balimed 4 orang perawat 22 Pelatihan Perawat ICU September 2013 RSUP Sanglah 2 orang perawat
ICU (Yogi, Eka)
23 Seminar tentang CAPD September 2013 RSUP dr Natalia
Universitas Indonesia
66
24 Seminar Chikungunya dr Made Suwidnya SpPD
September 2013 Hotel Melia, Nusa Dua
Karyawan Hotel Melia Nusa Dua
25 Seminar deteksi dini kanker payudara
Tim Bali Care Cancer Foundation / RSPM
September 2013 Bali Pink Ribbon Umum
26 Seminar tentang Vaksinasi
Dinas Kesehatan Propinsi
September 2013 Dinas Kesehatan Propinsi
1 orang perawat (Suharnaningsih)
27 Studi banding RSIA Siti Fatimah Makasar
Jumat, 20 September 2013
Sunflower Room
28 Kongres Pernefri Oktober 2013 Makasar 1 orang dokter umum (dr tjok)
29 Pelatihan PPI RSUP Sanglah Oktober 2013 RSUP Sanglah 2 orang perawat 30 Seminar Metanol Dinas Kesehatan Oktober 2013 RSUP Sanglah 2 orang dokter
umum (dr Arista, dr Joni)
31 RTD Variceal Esophageal Bleeding
dr Hensen SpPD Jumat, 8 November 2013
Sunflower Room Internal Novartis
32 RTD Penanganan Shock dr Junior SpJP Kamis, 28 November 2013
Sunflower Room Internal Pharos
33 Studi banding IBI Jabotabek
Selasa, 3 Desember 2013
Sunflower Room
34 RTD Gangguan perut pada bayi
dr Kardana SpA Jumat, 6 Desember 2013
Sunflower Room Internal Mead Johnson