Bab 1
Pendahuluan
Jalur infus subkutan biasanya digunakan untuk penanganan simptom dalam perawatan
paliatif untuk mengobati rasa nyeri dan gejala lainnya ketika jalur lain tidak sesuai atau tidak
efektif.[1] Jalur ini memberikan obat pada tingkat yang terkendali, mengontrol gejala dengan
pemberian obat melalui infus subkutan secara bolus dan kontinu (continuous subcutaneous
infusion – CSCI).[1] Jalur ini direkomendasikan apabila pasien tidak bisa minum obat per oral,
masih merasa mual dan muntah dan mempunyai daya absorpsi yang jelek.[2] Cara pemberian
analgesia melalui jalur infus subkutan ini tidak kurang efektivitasnya daripada pemberian oral
kecuali pasien mempunyai daya absorpsi yang kurang baik atau jelek. [2] Pemberian obat
secara infus subkutan tidak memerlukan keahlian khusus untuk inisiasi dan pemeliharaan,
serta dapat menghindari terjadinya komplikasi akibat hidrasi intravena. Selain itu, tersedia
cukup banyak tempat injeksi untuk akses subkutan sehingga pemberian relatif lebih mudah,
cepat, dan lebih ekonomis dibanding terapi intravena.[3]
Adapun indikasi pemasangan jalur infus subkutan seperti dehidrasi, disfagia dan
obstruksi gastrointestinal, terdapat kontraindikasi pemasangan pada pasien seperti dengan
infeksi atau parut pada kulit lokasi pemasangan serta pasien dengan gagal jantung. Lokasi
pemasangan yang paling baik adalah lokasi yang banyak jaringan subkutan seperti abdomen
dan dinding dada atas dan dipasang sama seperti infus intravena hanya menggunakan kanul
“butterfly wing”.[4] Sering timbul reaksi iritan di lokasi pemasangan infus tetapi diatasi
dengan memindahkan tempat tusukan serta mengganti kanul.[2,4]
Obat analgetik yang biasa digunakan untuk penanganan nyeri adalah Opiod. Morpin
dan hidromorfon adalah opiod yang paling sering digunakan melalui infus subkutan bagi
pasien yang tidak toleransi dengan obat-obat tersebut per oral.[4] Oxicodon dan alfentanil juga
digunakan dengan indikasi.[1]
1
Bab 2
Tinjauan Pustaka
2.1 Jalur Infus Subkutan
2.1.1 Definisi
Jalur infus subkutan adalah salah satu jalur parenteral yang digunakan apabila jalur
lain tidak efektif.[5] Biasanya jalur ini digunakan untuk penanganan symptom dalam
perawatan paliatif untuk mengobati rasa sakit dan gejala lainnya ketika jalur lain tidak sesuai
atau tidak efektif.[1] Misalnya, pasien tidak bisa minum obat lewat mulut, pasien merasa mual
dan muntah atau pasien mempunyai absorpsi yang jelek seperti pada pasien ileostomi. [2]
Efektivitas analgesia jalur subkutan ini sama dengan jalur intravena kecuali pada pasien
dengan masalah absorpsi.[1,2] Injeksi intravena (IV) dan intramuskuler (IM) lebih baik
dihindari karena lebih invasif dan menyakitkan.[2]
2.1.2 Indikasi Pemasangan
Jalur infus subkutan biasanya dipasang pada pasien dehidrasi serta pasien yang
mempunyai akses vena terbuka yang sangat terbatas.[6] Jalur ini adalah pilihan terbaik bagi
pasien yang tidak boleh toleransi pada terapi oral karena rasa mual, muntah dan disfagia.
Jalur ini juga memberikan rasa nyaman pada pasien karena menghindari tusukan berulang
untuk memasang infus serta sangat sesuai bagi pasien yang sering pusing, comatose dan
semi-comatose. Pemberian obat lewat jalur infus subkutan menghindari pasien daripada
mengkonsumsi tablet dalam jumlah yang besar.[2] Jalur ini juga sesuai digunakan pada pasien
konstipasi dan obstruksi gastrointestinal serta neurotoksisitas terinduksi dan hiperkalsemia
ulangan. Pasien yang menderita delirium yang dipercayai disebabkan oleh akumulasi
metabolit opioid juga sesuai dipasang jalur infus subkutan bagi administrasi cairan. [2,6] Kanula
pemasangan infus subkutan boleh dibiarkan terpasang untuk 72 jam atau lebih jika tidak ada
kemerahan atau inflamasi.[2] Adapun keuntungan jalur ini seperti disebut diatas, terdapat
beberapa kekurangan seperti kemungkinan iritasi atau inflamasi pada daerah infus,
kemungkinan bocor pada daerah infus subkutan dan kemungkinan reaksi alergi walaupun
jarang sekali kejadiannya.[2]
2
2.1.3 Kontraindikasi
Terapi melalui jalur infus subkutan adalah kontraindikasi apabila pasien mempunyai
integriti kulit yang jelek, misalnya jika terdapat jaringan parut atau infeksi pada kulit lokasi
pemasangan infus. Jalur ini sangat tidak disarankan pada pasien syok kardiovaskular, gagal
jantung edema pulmonary. Pasien dengan hiperosmolariti serta kelebihan cairan dalam tubuh
juga tidak sesuai menggunakan jalur infus subkutan untuk terapi.[6]
2.1.4 Pemilihan Lokasi dan Kanula Pemasangan Infus Subkutan
Biasanya, tusukan bagi infus subkutan dilakukan pada area dengan lemak subkutan
yang dalam yang tidak berdekatan dengan sendi serta area yang mudah diakses seperti dada
dan abdomen.[1] Pemilihan area tusukan yang sesuai adalah sangat penting untuk menghindari
masalah pada area tusukan seperti ketidaknyamanan pasien dan mungkin menyebabkan
masalah absorpsi yang akan mengganggu efektivitas obat itu sendiri. Pemilihan tempat
tusukan yang tepat meminimalkan perbatasan fungsi normal pasien.[1]
Area seperti lengan atas anterior, dinding abdomen anterior, paha bagian anterior,
bagian dada anterior dan bagian scapula dianggap sebagai area yang sesuai untuk
pemasangan infus subkutan yang memenuhi kriteria pemilihan.[1,2] Pemilihan lokasi
tergantung kondisi pasien, apakah pasien tenang atau gelisah. Bagian dada dan abdomen
adalah lokasi-lokasi yang biasanya dipilih, terutamanya bagian dinding dada atas anterior
diatas payudara dan jauh dari aksila karena mudah diakses, jarang oedema dan memudahkan
inspeksi lokasi.[1] Jika pasiennya masih gelisah, lebih baik dipasang di area scapula untuk
menghindari infus daripada terlepas.[1]
3
Area yang sesuai untuk tusukan infus subkutan
Terdapat beberapa region yang amat tidak sesuai sebagai lokasi pemasangan infus
subkutan. Antaranya, area limpoedema yang dapat mengurangkan absorpsi, area dimana
terdapat retakan kulit, area dimana terdapat jaringan parut dan area infeksi serta area kulit
yang diradiasi dalam jangka waktu yang singkat karena kulitnya mungkin skelosis dan
kekurangan peredaran darah pada area tersebut.[2] Area bertulang juga tidak sesuai karena
jaringan subkutan yang kurang dapat menurunkankan absorpsi. Area berdekatan sendi pula
tidak disarankan karena resiko displacement serta pasien akan tidak nyaman.[2] Area tumor,
lipatan kulit, area inflamasi, area ascites atau pitting edema, dan pada area dimana drainase
limpatik terganggu seperti pada wanita yang menjalani mesektomi juga tidak sesuai sebagai
lokasi pemasangan infus subkutan.[1,2]
2.1.5 Administrasi
Cairan yang disarankan untuk administrasi melalui infus subkutan adalah saline
o,45%, dextrose 2,5% atau dextrose 5% dengan normal saline.[4] Kadar dosis yang disarankan
adalah 75ml/jam dengan kadar maksimum 125ml/jam dan kadar minimal 20ml/jam bagi
mengelakkan saluran tersumbat. Administrasi maksimal setiap hari harus tidak melebihi
3000ml per pasien dan 2000ml per lokasi bagi mengelakkan edema.[4] Boleh digunakan dua
4
Pemasangan infus subkutan di region interskapula menggunakan “butterfly wing needle”
jalur infus secara bersama pada suatu pasien, misalnya, jika pasien membutuhkan 3000ml
setiap hari, boleh diadministrasi 1500ml per infus per hari.[4]
2.1.6 Teknik Pemasangan
Peralatan pemasangan infus subkutan adalah sama dengan pelatan pemasangan infus
intravena, hanya kanul yang digunakan adalah kanul berlubang kecil seperti 20G – 25G dan
dibutuhkan infusion pump atau syringe pump dengan tiang pemasangannya bagi CSCI.[4,6]
Tipe kanul yang sering digunakan adalah “Butterfly wing”. Kanul teflon pediatri Jelco juga
dikatakan sesuai. Setelah menjelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien dan
keluarga pasien serta mendapat persetujuan, kulit pada lokasi pemasangan infus dibersihkan
dengan alkohol atau cairan iodine.[4] Kulit yang dibersihkan diambil diantara jari pertama dan
jempol operator dan jarum ditusuk mengikut arah lipatan seiring dengan fascia dibawahnya
pada sudut 45 derajat.[1,2,4] Bagi pasien yang kurus, mungkin tusukan pada sudut 30 derajat
sudah cukup karena kekurangan jaringan subkutan.[1] Setelah ditempatkan, jarum difiksasi
dengan hipafix. Penempatan dan fiksasi yang teliti disarankan untuk mengelakkan luka pada
struktur atau jaringan yang berdekatan.[2,4]
5
A : Kanul “Butterfly wing” ; B : Kanul Teflon Jelco
2.1.7 Observasi dan Efek Samping
Inspeksi lokasi untuk efek samping harus dilakukan secara rutin, biasanya 4 jam
sekali, lebih sering jika terdapat komplikasi.[1,2] Hal ini akan mengarah pada deteksi dini dan
pengurangan komplikasi berhubung dengan lokasi. Saat inspeksi, diobservasi jika terdapat
tenderness pada lokasi pemasangan infus, apakah terjadi hematoma atau apakah ada
kebocoran pada kanul atau lokasi pemasangan.[1]
Apabila pemasangan gagal, atau didapatkan reaksi iritan pada lokasi atau darah mulai
keluar di kanul, kanul harus diganti dan dipasang di lokasi lain. Setelah kanul diganti dan
dipasang di lokasi lain karena iritasi dan kejadian berulang lagi, disarankan untuk
mengencerkan obat yang dipasang.[5] Lokasi pemasangan boleh diganti setelah 72 jam
pemasangan atau bisa sampai 7 hari jika tiada masalah.[1,2]
2.1.8 Pemberian Obat
Administrasi obat secara infus subkutan boleh diberikan secara bolus dan secara
CSCI.[1,2,5] Infus subkutan lebih dipakai pada perawatan paliatif karena infus subkutan kurang
menyakitkan berbanding secara intramuscular (IM) serta boleh digunakan sebagai CSCI.[2]
Harus diingat, dalam penggunaan infus subkutan untuk pemberian obat, absorpsi obat
mungkin lebih lama dan reaksi inflamasi diakibatkan oleh obat iritan lebih parah berbanding
secara IM. Selain itu, jumlah volume bagi injeksi bolus sangat kecil, yang disarankan
maksimal 1 ml, serta absorpsi obat pada pasien syok dan hipovolumik sangat terbatas.[2]
Nyeri adalah gejala yang harus dikendali namun, penggunaan infus subkutan tidak
terbatas untuk analgesia. Obat untuk mengatasi gejala seperti mual, muntah, disapneu, agitasi,
delirium dan ‘napas bising’ fase terminal juga boleh dipreskripsi untuk CSCI dan
menggunakan syringe yang sama.[2] Biasanya, dua hingga tiga, maksimal sampai empat obat
dicampur dalam satu syringe untuk infus subkutan. Makin banyak obat yang dicampur, makin
tinggi resiko presipitasi dan pengurangan efektivitas. Jika kompatibalitas obat yang dicampur
diragukan, mungkin penggunaan dua infus subkutan menjadi solusinya.[1]
Menurut kepustakaan Australia, gejala pada akhir hayat biasanya boleh dikontrol
dengan sembilan obat. Obat-obat ini termasuk:[1]
6
morphine sulphate/tartrate (opioid);
hydromorphone (Dilaudid, opioid);
haloperidol (Serenace, antipsychotic/antiemetic);
midazolam (Hypnovel, short acting benzodiazepine);
metoclopramide (Maxolon, antiemetic);
hyoscine hydrobromide (Hyoscine, antimuscarinic /antiemetic);
clonazepam (Rivotril, benzodiazepine);
hyoscine butylbromide (Buscopan, antimuscarinic); dan
fentanyl (narcotic).
Obat seperti antibiotic, diazepam, chlorpromazine dan prochlorperazine tidak harus
diberikan secara subkutan karena beresiko menimbulkan nekrosis jaringan.[2]
Obat diberikan secara berterusan untuk suatu jangka waktu yang dikira melalui CSCI dan
memberikan dosis obat yang konstan secara berterusan dalam jangka waktu tersebut. Obat-
obat yang biasanya digunakan untuk CSCI selain opiod analgesia, terutamanya morfin dan
diamorfin adalah antiemetic, obat sedative anxiolitik, kortikosteroids, non-steroidal anti-
inflammatory drugs (NSAIDs) dan antikolinergik.[2]
2.2 Jalur Pemberian Analgetik untuk Penanganan Nyeri
2.2.1 Pemberian Analgesia
Pengobatan infus subkutan adalah metode yang paling sering digunakan untuk
memberikan banyak obat-obatan yang tidak dapat diberikan melalui jalur lain. Nyeri adalah
gejala yang sering dikeluhkan yang harus dikendali. Walaupun analgesia bukanlah satu –
satunya tipe obat yang diberikan secara infus subkutan, analgesia adalah obat utama yang
membutuhkan metode infus subkutan.[1]
Obat analgetik yang biasanya digunakan untuk penanganan nyeri terbagi kepada non-
opiod dan Opiod.[5] Berdasarkan “WHO Three-Step Analgesic Ladder”, non-opiod diberikan
kepada pasien dengan nyeri ringan – sedang dan opiod diberikan kepada pasien dengan nyeri
sedang – berat dan berat serta pada pasien dengan nyeri yang tidak dapat ditangani dengan
7
non-opiod.[5] Opiod biasanya digunakan untuk penanganan nyeri berat dan berterusan, seperti
pada pasien kanker dan pasien pasca operasi.[2]
Opiod harus diadministrasi dengan jalur yang kurang invasif, mudah dan yang mampu
memberikan analgesia yang adekuat pada pasien.[5] Dalam rutin sehari-harian, didapatkan
jalur oral adalah jalur yang paling sesuai. Jalur non-invasif lain seperti rektal, sublingual dan
transdermal adalah sesuai kekadang untuk pasien yang mempunyai gangguan menelan atau
obstruksi gastrointestinal. Sediaan rektal yang terdapat di Amerika Serikat mengandungi
morpin, hidromorfon dan oksimorfon. Potensi obat yang diadministrasi secara rektal ini
dipercayai mempunyai potensi yang sama seperti obat oral.[5] Sediaan opiod sublingual
terdapat di beberapa Negara. Semua opiod diabsorpsi secara sublingual sampai suatu
perbatasan tertentu, namun fentanil dan methadone diabsorpsi dengan baik secara sublingual.[5]
Jalur administrasi parenteral harus dipertimbangkan untuk pasien dengan gangguan
menelan dan obstruksi gastrointestinal, pasien yang butuh “rapid-onset analgesia” serta
pasien yang membutuhkan analgesia dosis tinggi yang tidak dapat diadministrasi secara
nyaman dengan jalur selain parenteral.[2,5] Injeksi bolus parenteral berulang yang bisa
diberikan melalui jalur-jalur intravena (IV), intramuskuler (IM) dan subkutan tidak sesuai
dalam semua situasi karena biasanya menimbulkan komplikasi dengan efek bolus. Injeksi IM
yang berulang sering dipreskripsi, namun hal ini menimbulkan nyeri yang banyak, tiada
keuntungan dari segi farmakokinetik dan penggunaannya tidak disarankan. Maka, disarankan
pemberian bolus yang berulang kali atau berterusan menggunakan IV atau jalur infus
subkutan. Pemberian infus berterusan menghindari efek bolus yang akan muncul.[5]
Morpin dan hidromorfon adalah opiod yang paling sering digunakan melalui infus
subkutan bagi pasien yang tidak toleransi dengan obat-obat tersebut per oral.[4] Oxicodon dan
alfentanil juga digunakan namun hanya jika terdapat indikasi.[2] Opiod yang amat sesuai untuk
infus berterusan ini sifatnya harus melarut, mudah diabsorpsi dan non-iritan. Heroin,
hidromorfon, oksimorfon dan morfin didapatkan sesuai untuk infus subkutan yang berterusan
namun metadon yang bersifat iritatif tidak disarankan untuk penggunaan secara subkutan.[5]
Jalur infus subkutan berterusan membenarkan analgetik mengalir berterusan dalam
suatu jangka waktu yang ditetapkan pada dosis yang konstan.[2] Selain itu, kadar obat dalam
plasma darah didapatkan lebih stabil apabila menggunakan jalur infus subkutan berterusan
daripada jalur pemberian obat yang lain.[1,2]
8
2.2.2 Obat Analgetik dan Sediaan obat
Obat analgetik yang biasanya digunakan melalui CSCI dibagi menjadi penggunaaan
obat tunggal dan penggunaan obat campuran. Morfin yang merupakan opiod analgesik lini
pertama dianggap sebagai gold standar CSCI.[7] Morfin biasanya diberikan 10mg atau 30mg
dalam 1ml atau 60mg dalam 2ml.[2] Hidromorfon adalah opiod pilihan apabila dibutuhkan
analgesia dosis tinggi karena ia mempunyai konsentrasi tinggi dan keluar pada kadar yang
rendah pada infus subkutan.[7] Diamorfin juga adalah pilihan obat apabila dibutuhkan dalam
dosis tinggi. Obat ini boleh diencerkan dalam volume yang kecil. Sediaan diamorfin adalah
dalam bentuk ampul serbuk yang terdapat dalam 10mg, 30mg, 100mg dan 500mg.[2]
Oxycodon adalah obat analgesia lini kedua apabila morfin atau diamorfin tidak ditolerasi.
Obat ini terdapat dalam sediaan 10mg dalam 1ml dan 20mg dalam 2ml. Bagi obat Alfentanil
yang merupakan obat lini ketiga, sebaiknya dikonsul ke spesialis sebelum administrasi. Obat
ini disediakan 1mg (1000mikrogram) dalam 2ml dan 5mg dalam 10ml. Obat-obat ini
diberikan kepada nyeri yang responsif pada opioid dan apabila didapatkan sesak napas.[2]
Ketamin juga bisa diberikan melalui CSCI apabila terdapat nyeri kompleks. Namun,
pemberian ini adalah dengan supervisi spesialis.[2]
2.2.3 Pertukaran Dosis Opioid Oral kepada Dosis Opiod CSCI
Sebelum dosis oral ditukar ke dosis parenteral, harus menentukan dosis oral morfin
yang dikonsumsi oleh pasien dalam 24 jam. Dosis morfin CSCI sama dengan 1/3 daripada
dosis oralnya dalam 24 jam. Jika suatu opiod ditukar dengan opioid lain, misalnya morfin
ditukar kepada hidromorfon, harus dihitung dosis obat baru untuk 24 jam sebelum diganti.
Dosis parenteral hidromorfon adalah 1/6 daripada dosis pareteral morfin. Tetapi bagi
mengelakkan “Incomplete Cross Tolerance”, mengurangkan opioid baru sebanyak 30-50%
apabila mulai CSCI dengan opioid baru. Setelah dikurangi, dosisnya dibahagi 24 suntuk
mendapatkan dosis per jam. Dosis bolus untuk “Breakthrough Pain” biasanya 50-100%
daripada dosis per jam dan diberikan kepada pasien setiap 10 hingga 15 menit. Hidromorfon
yang digunakan pada akhir hayat biasanya berkonsentrasi tinggi, diantara 5-10mg/mL.[7]
9
Bab 3
Kesimpulan
Jalur infus subkutan biasanya digunakan untuk penanganan symptom dalam
perawatan paliatif untuk mengobati rasa sakit dan gejala lainnya ketika jalur lain tidak sesuai
atau tidak efektif.
Cara pemberian analgesia melalui jalur infus subkutan ini tidak kurang efektivitasnya
daripada pemberian oral kecuali pasien mempunyai daya absorpsi yang kurang atau jelek.
Pemasangan infuse subkutan diutamakan pada pasien seperti obstruksi gastrointestinal,
disfagia dan dehidrasi. Pada pasien dengan gangguan jantung terutamanya, prosedur ini bisa
menjadi kontraindikasi. Pemasangan jalur infus subkutan biasanya dilakukan pada lokasi
dengan banyak jaringan subkutan seperti abdomen menggunakan set intravena yang sama
hanya ditambah dengan infusion atau syringe pump serta menggunakan kanul ‘butterfly
wing’.
Obat analgetik yang biasa digunakan untuk penanganan nyeri berat adalah Opiod.
Morpin dan hidromorfon adalah opiod yang paling sering digunakan melalui infus subkutan
bagi pasien yang tidak toleransi dengan obat-obat tersebut per oral. Efektivitas penggunaan
jalur ini mungkin akan menimbulkan pertanyaan dan ketakutan pasien dan keluarga pasien,
namun harus dijelaskan kelebihan penggunannya daripada jalur-jalur lain.
Obat analgetik yang biasanya diberikan melalui CSCI boleh diberikan secara dosis
tunggal atau obat campuran yang maksimal dibenarkan untuk mencampur empat obat. Obat-
obat seperti morfin, hidromorfon, diamorfin, alfentanil, dan oxycodon boleh diberikan secara
dosis tunggal dan obat-obat ini tersedia dalam beberapa sediaan. Perhitungan pertukaran
dosis oral ke dosis parenteral dilakukan untuk mengelakkan overdosis serta memastikan
analgetik yang adekuat didapatkan oleh pasien.
Tenaga medis harus mempertimbangkan penggunaan jalur infus subkutan bagi
pengendalian symptom dan nyeri melalui pemberian analgetik infus subkutan apabila jalur
lain tidak efektif.
10
Daftar Pustaka
1. Centre for Palliative Care Research and Education, Guidelines for Subcutaneous
Infusion Devise Management in Palliative Care Second Edition; Queensland Health,
2010.
2. NHS Greater Glasgow and Clyde, Lanarkshire Guidelines for the Use of
Subcutaneous Medications in Palliative Care; Review 2011.
3. Recombinant Human Hyaluronidase (rHuPH20) Memfasilitasi Pemberian Obat
Subkutan, dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17683255, 2013
4. Lopez J.H., Reyes-Ortiz C.A., Subcutaneous Hydration by Hypodermoclysis,
Cambridge University Press, 2010; pg 4
5. Cherny N.I., Portenoy R.K., The Management of Cancer Pain, CA Cancer J Clin
1994; 44: 278-279
6. Sounth Eastern Sydney Local Health Network, SESLHN Procedure Palliative Care :
Administration of Adult Subcutaneous Fluid
7. Justad M et al, Hospice and Palliative Care Vol 27 no 3, dari
www.homehealthcarenurseonline.com, 2009
11