Download - Penanganan ARthrtitis Infektif Syifa (375)
BAB I
PENDAHULUAN
Artritis bacterial akut atau septik artritis atau artiritis infektif meruipakan
kegawatdaruratan rematologis dimana terjadi pengrusakan sendi secara cepat dan
dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Diagnosis yang
tepat dapat secara khusus menjadi tantangan pada pasien dngan penyakit inflamasi
sendi yang mendasarinya. (1; 2)
Replikasi bakteri di dalam sendi dan proses inflamasi yang terus terjadi
dapat menyebabkan kerusakan sendi lokal yang cepat, dan dapat disertai dengan
infeksi sistemik. Pengenalan yang cepat dari petugas kesehatan akan sendi yang
terinfeksi dan penerapan terapi yang tepat merupakan hal yang penting dan kritis
untuk mencegah morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan infeksi ini. (1)
Insidensi yang semakin meningkat dimungkikan akibat prosedur ortopedi
yang dilakukan dan seiring bertambahnya usia dimana semakin banyak psenyakit
sistemik dan sendi yang mendasarninya. Orang – orang yang berisiko terkena
septik artritis diantaranya oaring dengan penyakit radang sendi. Penggunaan yang
meningkat akan agen agen immunomodulator telah membuat diagnosis dan
managemen menjadi semakin sulit. Melalui makalh ini akan dibahas mengenai
manajemen arthrtitis infektif pada dewasa. (2)
BAB II
FAKTOR – FAKTOR RISIKO ARTHRITIS INFEKTIF
Faktor Risiko
Morfologi sendi yang tidak normal merupakan faktro risiko paling penting
dari artirtis infektif sebagaimana yang ditemukan pada atritis rheumatoid (RA),
terinduksi – Kristal, dan artropati charcot. Untuk alas an yang tidak begitu jelas,
risiko septik artritis meningkat 4 hingga 15 kali lipat pada pasien tanpa terapi.
Suatu hipotesis mengenai peningkatan risiko ini menyebutkan bahwa pada psien
RA terdapat suatu aktivitas bakteriosida cairan synovial yang berkutang dan
berkurangnya aktivitas fagositaosis oleh sel polymorfonuklear. Tambah lagi,
morflogi sendi yang tidak normal dapat mendukung mikoroorganisme untuk dapat
lolos dari fagositosis. Hubungan antara artirits septik dan gout kurang banyak
dilaporkan pada literature kedokteran, mungkin dikaenakan sifat episodic dari
serangan gout atau karena diagnosis yang kurang (underdiagnosis) akibat
gambaran klinis yang sama antara artitis infektif dan gout. (3; 2)
Meskipun penyakit sendi yang mendasari merupakan factor risiko utama
dari artritis infektif, obat anti – rematik termodifikasi – penyakit atau Disease –
Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARDs) yang dapat menghambat kerusakan
sendi akibat penyakit rheumatologis tampaknya secara bersamaan juga
meningkatkan risiko infeksi sendi. Suatu penelitian retrospektif pasien dengan RA
yang diobati dengan Tumor Necrosis Factor Inhibitor (anti – TNF) dan DMARDs
non – biologis secara berturut – turut menunjukkan angka insidensi artritis septik
sebesar 4.2/ 1000 pasien per tahun dan 1.8 / 1000 pasien per tahun. Anti – TNF
yang digunakan pada RA berkatian dengan risiko ganda artritis septik
dibandingkan dengan agen DMRADs non – biologis (2)
Frekuensi tindakan yang berkatian dengan artritis infektif juga meningkat
pada tahun – tahun ini sebagai akibat semakin banyaknya prosedur intraartikuler
yang dilakukan. Intervensi ortopedis dapat mengantarkan cairan terkontaminasi
yang menyebabkan meningkatnya insidensi artritis septik. Peningkatan ini telah
ditunjukkan di Eropa, dimana suatu penelitian retrospektif mengenai artritis
infeksi menunjukkan bahwa infeksi sendi bacterial 41.8% adalah iatrogenic;
insidensi artritis infektif (AI) meningkat dari 4.2 kasus /100000 di tahun 1990
menjadi 11.0 kasus /100000 di tahun 2002. Penelitian sebelumnya telah
menyarankan bahwa injeksi steroid intraartikuler dan hyaluronat meningkatkan
risiko infeksi sendi seperti yang ditemukan pada kasus – kasus AI setelah
dilakukan injeksi pada lutut dengan steroid yang terkontaminasi. (4)
BAB III
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Etiologi
Menentukkan organisme penyebab merupakan hal yang penting dalam
pengobatan artritis Infeksi (AI) yang optimal dan tepat. Banyak bakteri dapat
menjadi pathogen pada artritis infeksi. S. aureus merupakan organisme yang
paling umum ditemui pada AI dan sering berkaitan dengan selulitis, abses,
endocarditis, osteomyelitis kronik, dan penyalahgunaan obat. Methicillin resistant
Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan masalah darurat terutama pada
pengguna obat intravena, orang tua, dan infeksi ortopedi. Dulunya MRSA
berkaitan dengan pelayanan kesehatan, namun saat ini infeksi MRSA di
masyarakat yang tidak berkaitan dengan pelayanan kesehatan kerap terjadi.
Infeksi ii sering menunjukkan komplikasi supuratif yang meningkat dan demam
serta perawatan rumah sakit yang semakin lama diaandingkan dengan MSSA.
Arthritis infeksi Vancomycin – intermediate S. aureus (VISA, vancomycin MIC 4
– 8 µg/nl) dan S. aureus reduced Vancomycin susceptibility (SA – RVS,
vancomycin MIC ≥ 2 µg/ml) telah dilaporkan pada pasien dengan riwayat paparan
tempat – tempat pelayanan kesehatan yang sering, riwayat terpapar vancomycin
sebelumnya, dan riwayat infeksi MRSA sebelumnya. (3; 4)
Organisme gran negatif berhasil dikultur dari kira – kira 5 – 20 % pasien
dengan AI dan dari pasien tersebut sebagia besar adalah anak – anak, orang tua,
orang immunosupresif dan pengguna obat intravena. Prevalensio resistensi
terhadap enterobacteriaceae telah meningkat selama decade terakhir dengan
munculnya organisme yang menghasilkan β – lactamase spectrum luas atau
extened – spectrum β - lactamase (ESBL) dan karbamase. Beberapa
enterobacteriaceae penghasil carbapenemase atau carbapenemase – producing
Enterobacteriaceae (CRE) resisten terhadap semua antibiotic yang ada, meskipun
untungnya hanya sedikit laporan mengenai AI yang disebabkan oleh organisme
ini di Amerika Serikat. Sementara itu, dulunya, infeksi gonococcus merupakan hal
yang biasa sebagai penyebab sindroma dermatitis – artritis pada dewsa seksual
aktif, namun data terbaru menyarankan bahwa organisme ini sekarang jarang
ditemukan sebagai penyebab artritis infeksif di Eropa dan Amarika Utara. (5)
Pada pasien denga RA, S. aureusmasih menjadi organisme yang paling
sering dilaporkan dan menjadi penyebab dari sekitar 60 – 75 % kasus infeksi
sendi. Tambahan menganai S. aureus, pasien dengan terapi anti – TNF juga
menderita infeksi akibat organisme intraseluler termasuk Listeria dan Salmonella.
Lebih lanjut, spesies gram – negative mencakupe 50 % organisme pada pasien
DMARDs non biologis dan 10 % spesies pada pasien yang menjalani terapi anti –
TNF. Mengenai pathogen spesifik lain berkaitan dengan arthritis infeksi dapat
dilihat pada tabel 1. (2)
Tabel 1 : scenario klinis pathogen - spesifik artritis septik (2)
Riwayat klinis Keterkatian sendi patogen
Selulitis, infeksi kulit Monoartikuler,
poliartikuler
S. aureus, Streptococcus
Seksual aktif Poliartikkuler N. gonorrhea
Pasien tua dengan ISK,
pengeluasan kulit
Monoartikuler Gram-negative rods
Penyalahgunaan obat
suntik
Sternoclaviculer,
sacroiliaka, simfisis pubis
Pseudomonas, S. aureus
Berkebun, Luka tusuk
tanaman
Monoartikuler : lutut,
tangan, pergelangan
tangan
Pantoea agglomerans,
Nocardia asteroides,
Sporothrix schenckii
Arthritis rheumatoid Monoartikuler S. aureus
Terapi Anti – TNF Monoartikuler Salmonella, Listeria
Produk susu tak
tersterilisasi
Sendi sakroiliaka,
monoartritis, oligoartris
anggota gerak bawah
Brucellosis
Gigitan binatang Sendi kecil (jari, jempol) Pasteurella multocida,
Capnocytophaga
canimorsus, oral
aerobes/anaerobes
Pathogenesis
Lesi pada sendi menyebabkan tubuh melakukan usaha perbaikan dengan
mengahasilkan berbagai macam protein ekstra seluler; seperti fibronektin, elastin,
dan sialoprotein, dalam rangka penyembuhan sendi. Akan tetapi hal ini memiliki
sisi negative, dimana protein ekstraseluler tersebut menjadi lingkungan yang baik
bagi organisme, sehingga memudahkan mikroorganisme yang virulen menempel
pada selaput sendi dan mempermudah terjadinya infeksi sendi. Stafilokokus
memproduksi sejenis protein permukaan yang dapat melekat atau bersifat
adhesive ke berbagai permukaan sel tubuh. Protein ini disebut microbial surface
component recognizing adhesive matrix molecule (MSCRAM). MSCRAM ini
akan mempermudah stafilokokus untuk dapat bersembuni di dalam sel (osteoblast,
osteosit, atau leukosit) dari antibiotik maupun fagosit sehingga dapat bertahan
hidup. Adanya kuman intraseluler ini juga menyebabkan proses apoptosis dan
menyebabkan kematian sel – sel respon imun, akhirnya menyebabkan arthritis
infektif menjadi fulminant atau persisten. DNA kuman stafilokokus jenis
unmethylene dan enterotoksin merupakan antigen yang merangsang terjadinya
inflamasi serta memacu berbagai sitokin pro inflamasi (IL-1β, IL-6 dan TNF α)
serta enzim proteolitik yang keselurahnnya akan merusak jaringan sendi. (4; 5)
BAB IV
DIAGNOSIS ARHTRITIS INFEKTIF
Ketika mengevaluasi pasien dengan kecurigaan arthritis infeksi, klinisi
juga harus mempertimbangkan berbagai kondisi seperti kelainan rheumatologis
primer (seperti vasculitis, atrhtitidis cristalina), arthritits yang dinduksi obat, dan
arthrtits reaktif (misalnya sindroma diare postinfeksius, arthritis
postmeningococcal dan postgonococcal, arthritis penyakit perut dalam). (4)
Pada awal infeksi gonococcus yang luas, suatu tenosynovitis awal sering
didapati tanpa invasi sendi yang nyata seperti yang terjadi pada variasi lanjut
infeksi gonococcus luas. Suatu sindroa viral biasnya menimbulkan arthritis
poliartikuler. Lesi pustule konsisten dengan kondisi bacteremia stafilokokal
(selalu ada pada segala macam lesi kulit). Ketika terdapat vesikel, selalu pikirkan
infeksi stafilokokus (2)
Tidak seperti osteomyelitis salmonella, frekuensi arthritis akibat
salmonella tidak begitu meingkat pada pasien dengan anemia sel sabit. Namun,
ketika artritis infeksi terjadi, salmonella menjadi organisme yang lebih sering
teridentifiasi, (2)
Staphylococcus aureus masih merupakan agen infeksius yang paling
sering pada penyalahguna obat intravena. Meskipun begitu, angka infeksi yang
lebih tinggi dengan organisme gram negative, khususnya Pseudomonas
aeruginosa dan spesies Serratia, terjadi pada kasus – kasus artritis infeksi. Lebih
lagi angka infeksi dari jamur dan organisme anaerob juga lebih tinggi pada
pengguna obat ini. Lokasi sendi yang tidak umum juga kerap terjadi misalnya
sendi sternoclavicula. (4)
Arthrtitis infektif sebaiknya ikut dipikiran apabila menemui pasien dengan
arthritis monoartikuler atau oligoartikuler. Definisi kasus yang telah diterima luas
menenai artitis infektif bacterial telah diasjukan oleh Newman, dan didalamnya
memerlukan satu dari empat point diantaranya : (1) isolasi organisme dari sendi
yang terserang; (2) isolasi organisme dari sendi lain yang bengkak berulang, sendi
yang hangat, (3) tampilan klinis dan cairan sendi yang keruh dengan riwayat
pengobatan antibiotic sebelumnya, dan (4) buti histologis atau radiologis yang
sesuai dengan arthrtits infektif. Meskipun demikian, karena kriteria ini tidak
spesifik, diagnosis banding dari arthritis monoartikuler akut harus luas khususnya
ketika terdapat tanda inflamasi sistemik, riwayat paparan antibiotic, atau agen
immunosupresif yang semua itu dapat mengaburkan gambaran diagnosis arthrtits
infektif ini. (2)
Kebanyakan kasus arthrtitis infektif terjadis menyebar secara hematogen
ke membrane synovial satu atau lebih sendi. Sehingga, kultur darah merupakan
hal yang penting dalam evaluasi diagnostic awal pada pasien yang diurigai
memiliki artritis infektif. Kapanpun bilamana mungkin, kliis harus mendapatkan
paling tidak 2 set kultur darah sebelum memberikan terapi antibiotic. (5)
Laboratorium
Suatu kajian sistematis menunjukkan bahwa kombinasi hitung sel darah
putih cairan synovial dan presentase sel PMN pada cairan tersebut merupakan alat
diagnosis paling baik untuk memprediksi arthritis infektif sebelum hasl uji kulur
cairan synovial diketahui. Hitung leukosit airan synovial lebih dari 50,000
sel/mm3 sering digunakan sebagai predictor diagositik arthritis infektif. Meskipun
begitu hitung sel darah putih yang lebih rendah dapat juga terjadi pada artritis
infektif, khususnya mereka yang sudah diobati sebelumnya dengan antibiotic atau
memang kondisi pasien tersebut immunosupressi. Pada pasien yang telah memili
arthritis inflamasi seperti RA atau gout, terdapat tumpangtindih nilai diagnostic
arthritis inlamasi dan infektif. Oleh sebab itu, peningkatan inflamasi yang
mendadak pada satu atau dua sendi leih dari proporsi aktivitas penyakit haus
menimbulkan kecurigaan akan komplikasi arthritis bacterial. (1)
Jumlah leukosit darah perifer akan meninggi pada arthritis infektif anak –
anak, akan tetapi pada penderita arthritis infektif dewasa jumlah leukosit di
darah perifer biasanya normal tidak meninggi. Protein C reaktif akan
meninggi disertai kenaikan laju endap darah. Cairan sendi menunjukkan
gambaran turbid, viskositas rendah, dengan jumlah leukosit sebesar 50.000/mm3
atau lebih (range 25.000 – 75.000). pengecatan kuman cairan sendi dengan teknik
gram/BTA dapat menentukan penetapan diagnosis arthritis infektif, dan
membantu dalam pemilihan jenis antibiotika yang akan diberikan. Apabila hasil
kultur cairan sendi steril, akan tetapi kecurigaan terhadap arthritis infektif tinggi,
sebaiknya diambil dampel dari biopsy jaringan sendi kemudian dilakukan kultur
ulang atau teknik identifikasi yang lain. (1)
Suatu penelitian prospektif mengevaluasi gejala klinis dan marker
laboratoris dari kelompok pasien yang terbukti arthritis berdasarkan kultur (n =
47) dan kelompok curiga arthritis (n = 35) dan menemukan tidak ada perbedaan
ang bermakna pada riwayat, pemeriksaan klinis, marker laboratoris atau kematian
antara dua kelompok, sehingga adalah penting untuk menggarisbawahi terapi
arhtitis infektif meskipun kultur egatif. (2; 5)
Suatu alat baru dimanfaatkan untk diagnosis atau konfirmasi arthritis
infektif yaitu amplifikasi asam nukelat mikroba universal dan polymerase chain
reaction (PCR). Alat diagnostik molekuler ini terutama bermanfaat ketika kultur
egatif atau terapi antibiotic telah diberikan sebelum arthrocentesis. Meskiun
demikian, keutungan ni dibatasi oleh waktu yang lama, kurangnya gold standard,
dan tingginya positif palsu atau kontaminasi. (6)
Drainase cairan sendi
Terdapat berbagai teknik aspirasi cairan sendi pada penderita arthritis
infektif yaitu aspirasi jarum, irigasi tidal, tindakan atroskopi dan bedah.
Tindakan yang akan dipilih para dokter berdasarkan pertimbangan biaya, factor
invasive, efektivitas drainase, dan tersedianya alat dan sumber daya manusia.
Studi retrospektif yang telah dilakukan menunjukkan teknik drainase dengan
jarum (spuit 20 cc dan jarum no 18) efektif untuk drainase sendi perifer dengan
lokasi mudah terjangkau seperti sendi lutut, siku, pergelangan kaki, dan
pergelangan tangan. Untuk sendi yang lokasi sulit sendi aksial, sendi
panggul, bahu dan sternoklavikuler, maka tindakan drainase dilakukan dengan
artroskopik atau bedah drainase terbuka. Pengulangan drainase cairan sendi
dengan jarum dapat dilakukan pad ahari – hari minggu pertama ( 2-3 kali
setiap hari sampai beberapa hari). Apabila volume cairan sendi, jumlah sel,
dan persentasi sel polimortonuklear leukosit menunjukkan angka yang menurun
pada setiap aspirasi, maka keadaan menunjukkan keberhasilan terapi penderita
arthritis infektif. Apabila cairan sendi tetap persisten pada hari ke-7 makak
tindakan aspirasi cairan sendi tidak efektif dan sebaiknya dilakukan tindakan
artroskopi atau drainase terbuka oleh ahli bedah. (6; 1)
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologic penderita arthritis infektif bukan suatu
indicator yang abslut untukmenetapkan diagnosis arthritis infektif. Pada
beberapa hari pertama gambaran radiologic menunjukkan adanya
pembengkakan sendi atau jaringan sekitar sendi, dengan struktur sendi tidak
berubah. Apabila terjadi progresivitas infeksi, maka akan terjadi destruksi rawan
sendi atau penyempitan celah sendi. Pemeriksaan ultrasonografi mempunyai
keunggulan dalam mendeteksi adanya efusi cairan sendi (ketajaman sampai 1 – 2
ml). pemeriksaan imaging yang lebih canggih (magneting resonance
imaging/MRI) yang bertujuan untuk membantu penetapan diagnosis arthritis
infektif sering tidak diperlukan. (1; 4; 6)
BAB V
TERAPI ARTHRITIS INFEKTIF
Semua kasus arthritis infektif harus diobati dengan terapi anti – microbial
dengan segera. Pengobatan non – farmakologis dapat pula diindikasikan.
Meskipun demikian, bukti yang dapat dijadikan pedoman berkaitan dengan
manajemen medis dan bedah masih jarang.
Terapi Antibiotik
Belum ada uji klinis randomized controlled yang telah mengevaluasi suatu
agen antimikroba terhadap antmikrboa yang lain atau mengenau durasi
pangobatan antibiotik arthrtitis infektif. Suatu meta – analisis yang besar tidak
menunjukkan keuntungan pengggunaan satu regimen terapi terhadap regimen lain
untuk infeksi sendi, dan sehingga terapi antibiotic inisial dipilih berdasarkan
presentasi klinis pasien (Tabel 1) dan hasil pengecatan gram (Tabel 2). (2)
Ketika arthritis infekif dicuigai, terapi antimicrobial empiris harus sangat
hati – hati diberkan hinga data kulutur tersedia, bahkan pada kondisi terdapat hasil
pengecatan gram negative. Kemudian, untuk pasien dengan kecurigaan yang
tinggi akan arthritis infektif dan kultur negatif yang berespon terhadap terapi
empiris, melanjutkan pengobatan hingga tuntas merupakan hal yang bijaksana. (2)
Pemberian antibiotika segera diberikan, pemilihan jenis antibiotika
berdasarkan tampilan klinis empiris, rwayat penyakit, usia penderita, analisa
cairan sendi, pengecatan gram / kultur, serta saran dari ahli mikrobiologi berkaitan
dengan pengetahuan mengenai prevalensi resistensi patogen terhadap obat
didaerah tersebut. Antibiotika rata – rata diberikan selama 2 minggu. (2) (5)
Tabel 2. Terapi empiris arthrtitis infektif (2)
Pengecatan gram Antimikrobial (dosis disesuaikan dengan fungsi ginajl
Kokkus gram –
positive
Vancomycin 15 – 20 mg/kg IV q 8 – 12 h
Kokkus gram –
negative
Ceftriaxone 1 g IV q 24 h + azithromycin 1 g PO x 1 (atau
doxycycline 100 mg PO BID×7 hari)
Batang gram –
negative
Ceftazidime 2 grams IV q 8 h, cefepime 2 grams IV q 8 – 12
h, piperacillin/tazobactam 4.5 g IV q 6 h, atau carbapenem
(imipenem 500 mg IV q 6 h, meropenem 1 g IV q 8 h,
datauipenem 500 mg IV q 8 h)
Allergi B-lactam:
Aztreonam 2 g IV q 8 h atau fluatauoquinolone
(ciprofloxacin 400 mg IV q 12 h atau levofloxacin 750 mg
IV q 24 h)
Bakteri gram negative Pertimbangangan PMS: ceftriaxone 1 g IV q 24 h +
azithromycin 1 g PO×1 hari (atau doxycycline 100 mg PO
BID× 7 hari)
No STD risk:
Vancomycin 15 – 20 mg/kg IV q 8 – 12 h + ceftriaxone 1 g
IV q 24 h atau vancomycin 15 – 20 mg/kg IV q 8 – 12 h plus
cefepime 2 g IV q 8 – 12 h (untuk orang tua, pasien
immunocompromised, petugas kesehatan)
Pada pasien arthrtitis infektif tertapi pada pengecatan gram tidak
menunjukkanadanya kuman adalah cephalosporing generasi 3 / 4 yaitu injeksi
sefotaksim (1 gram / 8 jam) atau seftriakson (1 – 2 gram / 24 jam). Apabila
ditemukan kuman kokus gram positif. Maka antibiotika pilihan adalah derivate
penisilin oxacillin / nafcillin (2 gram/ 4 – 6 jam), apabila Metichilin – resistance
Staphylococcus aureus / MRSA telah banyak dijumpai pada rumah sakit tersebut,
maka injeksi vankomisin (1 gram / 12 jam) dianjurkan diberikan sebagai
pengganti oxacillin / nafcillin. Kombinasi aminoglikosida dan sefalosporin
generasi ke – 3 (injeksi seftazidim 1 gram / 8 jam) dapat diberikan pada arthritis
infektif yang diakibatkan kuman Pseudomonas aeruginosa. Sebagai alternative
jenis antibiotika yang lain adalah kombinasi injeksi aminoglikosida dengan
mezosili (penicillin) injeksi (3 gram / 4 – 6 jam). Apabila kuman yang dijumpai
adalah spesies streptokokus, maka dapat diberikan injeksi penicillin G (dosis 2
juta unit / 4 -6 jam). Untuk arthritis infektif yang diakibatkan kuman
Haemophylus influenza dapat diberikan injeksi sefotaksim / seftriakson. Apabila
kuman golongan streptokokus tersebut dijumpai sudah resisten terhadap
penicillin, maka pilihan antibiotika yang akan diberikanadalah kombinasi preparat
injeksi penicillin dengan gentamisin atau kombinasi dengan sefalosporin generasi
ke – 3. Apabila pengecatan menunjukkan kuman gram negative maka antibiotika
spectrum luas seperti sefalosporin (injeksi seftazidim 2 gram IV / 8 jam, atau
injeksi seftriakson 1 -2 gram / 24 jam) akan memadai untuk diberikan. Seftriakson
juga dianjurkan diberikan pada penderita infektif anak muda engan riwayat
seksual yang aktif. Injeksi antibiotika intra artikuler tidak diperlikan karena kadar
antibiotika dalam cairan sendi cukup baik pasca pemberian injeksi maupun oral.
Antibiotika intra artikuler serring menyebabkan sinovitis chemical. (1; 2; 4)
Pemberian antibiotika pada usia lanjut harus berhati – hati dengan
memperhitungkan kliren kreatinin ginjal, berat badan ideal dan adanya
polifarmasi yang sudah diberikan. Antibiotika pilihan untuk anak dibawah 5
tahun secara empiris umumnya dipakai sefuroksim, seftriakson, sefotaksim, atau
fosfomisin sambil menunggu hasil kultur darah atau sendi. (2)
Pada pasien yang memiliki arthritis monoartikuler akut dan dengan
infeksi gram negative yang mimilii risiko tinggi terkena penyakit menular seksual,
ceftriaxone ditambah azithromycin atau dozyccline dapat digunakan secara
empiris untuk mengobati infeksi akibat Gonococcus dan Chlamidia. Meskipun
demikian, pada kondisi gram negative dan risiko STD yang tidak jelas, terapi
empiris harus mecakup ceftriaxone ditambah satu agen yang aktif melawan
MRSA. (6)
Pada orag tua, immunocompromised , dan pasien dengan riwayat paparan
paelayanan kesehatan, suatu pilihan rasional yag empiris yang dapat diberikan
adalah vancomycin dikombinasikan dengan cephalosporin generasi ke 4
(cefepime) untuk aktivitas gram negatif yang lebih luas. Jika pasien memiliki
riwayat ESBL sebelumnya atau dicurigai mengidap organisme ini, pilihan
antibiotik harus mencakup carbapenem, suatu quinolone, atau efepime (Tabel 3).
(2)
Tabel 3. Rekomendasi pilihan empiris antibiotik awal pada suspek arthritis infektif
(inggris) (2; 1)
Kondisi pasien Pilihan antibiotik
Tidak memiliki faktor risiko untuk
organisme khusus
Flukloksasilin 2 gram (4 kali/hari inj IV)
plus asam fusidat 500mg (3 x sehari)
atau plus gentamisin inj alternatif;
klindamisin 450-600 mg 4 kali sehari
atau sefalosporin generasi 2 atau 3.
Risiko tinggi sepsis gram – negatif
(orang tua, kondisi lemah, ISK
berulang, setelah menjalani operasi
perut)
Inj sefalosporin generasi 2 atau 3
(sefuroksim) 1,5 gram/8 jam plus
flukloksasilin (kebijaksanaan local)
Risiko MRSA (MRSA yang telah
diketahui, pasien rawat inap, pasien
rawat di rumah, ulkus di kaki, pasien
dengan kateter.
Vankomisin plus generasi 2 atau 3
sefalosporin
Curiga gonococcus atau
meningococcus
Sefriakson
Pengguna obat intravena Konsiltasi ahli mikrobiologi
Pasein ICU Konsultasi ahli mikrobiologi
Pilihan antibiotik perlu dimodifikasi sedikit berkaitan dengan hasil pengecatan gram dan
kultur. Rencana terapi ini juga harus dikonsultasikan kepada departemen mikrobiologi
setempat. (Catherine J, Coakley G Current Opinion in Rheumatology, 2008. Balsa A, and
Mola EM, Septic Artritis, Rheumatology, 2011).
Pengguna obat injeksi harus diobati secara dini dengan obat seperti
vancomyci ditambah β lactam antipseudomonal yang aktif melawan MRSA dan
basil gra negative. Vancomycin merupakan terapi empiris yang masuk akal untuk
pasien dengan faktor risiko MRSA seperti hemodialysis, diabetes, perawatan
dirumah sakit, inkarserasi, atau tinggal lama di fasilitas kesehata. Arthritis infeksi
berkaitan dengan gigitan manusia, anjinga atau kucing harus mendapatkan suatu
kombinasi beta – lactam / beta – lactamase inhibitor seperti ampicillin –
silbactam utuk melawan bakteri anaerob dan flora oral. Ketika oganisme
penyebab teridentifikasi dan terdapat kecurigaan antimicrobial, terapi antibiotic
harus lebih dikhususkan. (6)
Pengobatan Non – Medikamentosa
Pengambilan materi purulen dari sendi yang terkena dipertimbangkan
merupakan suatu hal yang penting pada managemen efektif arthritis infektif,
meskipun hal ini berdasarkan saran dari para ahli bukan dari hasil uji coba klinis.
Hal ini dapat dilakukan baik dengan operatif menggunakan arthroskopi atau
arthrotomi terbuka atau melalui aspirasi jarum tertutup. Terdapat kontroversi
berkaitan dengan metode mana yang lebih baik, dan suatu kajian literatur
sistematis pada tahun 2007 tidak mengungkap adanya penelitian yang dapat
menjawab pertanyaan ini. Hal yang hanya diteliti pada orang deasa adalah
mengenai perbandingan drainase dengan aspirasi jarum dan operasi, melalui
analisis retrospektif pada pdnelitian sejak tahun 1975, menyarankan bahwa
aspirasi jarum, dapat, pada banyak kasus, lebih bermanfaat daripada bedah,
meskipun hasilnya tidak secara statistik bermakna. Smith dkk mempublikasikan
penelitian prospektif mengenai pengobatan sepsis bahu pada anak di Malawi.
Enam puluh satu anak diacak untuk mendapatkan terapi aspirasi jarum atau
arthrotomy dan washout. Keluaran klonis pada 2 kelompok tersebut secara
statistik tidak berbeda pada tingkatan manapun selama follow up 2 tahun. Hal ini
menyarankan bahwa tindakan aspirasi jarum tertutup adalah tindakan yang aman
dan dapat sebagai alternative arthrotomi. (2; 5; 6)
Steroids
Kerusakan sendi pada arthritis infektif utamanya digiatkan oleh respon
inflamasi terhadap organisme penyerang. Dengan pola piker ini, pemberian
kortikosteroid sistemik dapat dipertimbangkan sebagai terapi tambahan. Sakiniene
memberikan kortikosteroid intraperitoneal dengan cloxacillin pada tikus, yang
mana menghasilkan prevalensi dan keparahan arthrtits yang lebih lender dan
begitu juga tingkat mortalitasnya bila dibandingkan dengan kelompok tikus yang
biobati menggunakan cloxacillin saja. Pada suatu penelitian terkontrol placebo,
double blinded, anak dengan arhtirits infektif yang menerima suntukan intravena
obat dexamethasone ditambah antibiotic menunjukan durasi kesakitan dengan
kerusakan residual dan disfungsi sendi yang lebih kurang bila dibandingkan
dengan kelompok yang mendapatkan terapi antibiotik saja. Suatu penelitian
serupa yang lebih kecil, menunjukkan bahwa pemberian antibiotic ditambah
kortikosteroid sitemik berkaitan dengan durasi antibiotic intravena dan lama rawat
inap yang leih pendek pada anak – anak. (5)
Gambar 1. Algoritma Diagnostik Dan Terapeuti (5)
Belum ada data yang diterbitkan berkaitan dengan penggunaan steroid
pada pasien dewasa yang menarik kesimpulan serupa. Terdapat suatu penelitian
terhadap hewan mengenai penggunaan kortikosteroid intraartikuler pada arthritis
infektif, namun penelitian ini tidak secara cukup dapat diterapkan pada manusia
untuk aplikasi rutin. Kelinci – kelinci percobaan diberikan Staphylococcus
epidermidis menerima antibiotic sistemik atau antibiotic sistemik ditambah steroid
intraartikuler. Kelompok sterioid kurang memiliki inflamasi synovial bila
dibandingkan dengan kelompok yang menerima antibiotic saja. Sebagai informasi
tambahan, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa infeksi atau destruksi sendi
semakin parah ketika kortikosteroid intraartikuler diberikan bersama antibiotic. (5)
Bisphosphonates
Terapi bifosfinat telah diteliti pada hewan sebagai terapi tambahan untuk
bone loss pada arthrtitis infektif. Vardrengh menginfeksikan tikus dengan S.
aureus dan mengobatinya dengan antibiotic, bifosfinat, atau kombinasi antibiotic,
bifosfonat, dan steroid sistemik. Tikus yang diobati dengan kombinasi antibiotic
dan bifosfonat memiliki densitas tulang yang lebih tinggi, arthrtitis yang kurang
parah dan aktivitas osteoklasitik yang lebih rendah daripada yang diterapi
menggunakan antibiotic atau bifosfonat saja. Aktivitas osteoklastik kemudian
semakin berkurang dengan ditambahkannya steroid sistemik (2) (6)
Algoritma Diagnostik Dan Terapeutik
Salah satu kesulitan dalam diagnosis arthritis infeksi adalah kurangnya
pengalaman klinisi dalam management penyakit musculoskeletal. Ditambah lagi
pengobatan yang berdasar pada bukti masih sedikit. Pada tahun 2006, organisasi
rheumatology inggris atau Britihs Society for Rheumatology (BSR) menerbitkan
pegangan erbasis bukti untuk menmberikan endekatan yang terstruktur mengenai
penatalaksanaan sendi bengkaka dan arthritis infektif pada khususnya. Algoritma
diagnostic dan engobatan ditampilkan pada gambar 1. (5)
BAB VI
KESIMPULAN
Arthritis infeksi merupakan kegawatdaruratan medis yang memerlukan
diagnosis dan pengobatan yang cepat untuk menghindari morbiditas dan
mortalitas. Penyakit radang sendi yang mendasari, penggunaan agen
ummunomodulasi, dan prosedur ortipedis merupakan faktor – faktor risiko yang
menimbulkan arthritis infektif dan mungkin berkontribusi pada naiknya insidensi
penyakit ini seperti yang terjadi di Amerika serikat. Staphylococcus aureus
merupakan patogen penyebab yang paling umum, dan MRSA merupakan
penyebab penintg arthritis infektif akibat perawatan. Meskipun glikopeptida
masih menjadi pilihan untuk terapi infeksi MRSA, intoleransi terhadap
vancomisin dan meningkatnya resistensi menyebabkan perlunya antibiotic baru
untuk mengobati infeksi MRSA. Drainase ciran sendi merupakan hal yang
penting dilakukan pada manajemen arthrtisi infektif. Data yang lebih banyak
diperulkan sebelum terapi tambahan lain seperti steroid dan bifosfinat disarankan
untuk pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hadi, Suyanto. Artritis Infektif. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK Undip.
[Online] [Cited: September 28, 2013.]
http://ipd.fk.undip.ac.id/images/stories/pustaka/suyantohadi.pdf.
2. Septic Arthritis: Current Diagnostic And Therapeutic Algorithm. Coakley,
Catherine J. Mathews and Gerald. Curr Opin Rheumatol 20:457–462.
3. Fauci. Harrison's Priciples of Internal Medicine, 17 edition. New York :
McGraw - Hill, 2008.
4. Brush, John L. Septic Arthritis . Medscape. [Online] September 28, 2012.
[Cited: September 30, 2013.] http://emedicine.medscape.com/article/236299-
overview.
5. Clinical Management of Septic Arthritis. Sharff, Katie A., Richards, Eric P.
and Townes, John M. 2013, Curr Rheumatol Rep , pp. DOI 10.1007/s11926-
013-0332-4.
6. Brush, John L. Septic Arhritis Treatment and Management. Medscape.
[Online] September 28, 2012. [Cited: September 30, 2013.]
http://emedicine.medscape.com/article/236299-treatment.