PENAFSIRAN AYAT-AYAT KOMUNIKASI ORANG TUA
DAN ANAK: STUDI ANALISIS TAFSIR LAṬĀIF AL-ISHĀRĀT
KARYA AL-QUSHAYRĪ
Tesis
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Agama (M.Ag) dalam Bidang Tafsir
Oleh:
Suliyono
NIM. 2113034000016
PROGRAM MAGSITER (S2)
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2017 M.
ii
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Suliyono
NIM : 2113034000016
Judul Tesis : Penafsiran Ayat-ayat Komunikasi Orang Tua dan Anak: Studi
Analisis Tafsir Laṭāif Al-Ishārāt Karya Al-Qushayrī
menyatakan, bahwa tesis ini merupakan hasil karya asli penulis kecuali kutipan-
kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila ternyata di kemudian hari tidak
benar maka penulis bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar.
Jakarta, 03 Januari 2017
Yang bersangkutan,
Suliyono
iii
TIM PENGUJI TESIS
Tesis ini telah diuji pada Sidang Terbuka pada:
Hari, tanggal : Rabu, 22 Februari 2017
Pukul : 10.00 – 12.00 WIB
Pembimbing : Dr. Suryadinata, M.Ag
Ketua Sidang : Dr. Atiyatul Ulya, M.A
Sekretaris : Maulana, M.Ag
Penguji I : Dr. Ahsin Sakho Muhammad, M.A
Penguji II : Dr. Abd. Moqsith Gazali, M.A
v
ABSTRAK
Judul Tesis: Penafsiran Ayat-Ayat Komunikasi Orang Tua dan Anak: Studi
Analisis Tafsir Laṭāif Al-Ishārāt Karya Al-Qushayrī
Tesis ini merupakan penelitian tentang penafsiran ayat-ayat komunikasi
orang tua dan anak perspektif al-Qushayrī, dan bertujuan mengeksplorasi ragam
komunikasi dengan nilai pesan sufistik akhlāqī antara orang tua dan anak yang
menjadi obyek penelitian ini. Adapun keempat pasang orang tua dan anak yang
memenuhi kualifikasi yang menjadi obyek penelitian ini adalah Nabi Ibrāhīm dan
Ismā’īl, Luqmān al-Hakim dan anaknya, Ya’qūb, Yūsuf dan Saudara-saudaranya,
Nūḥ dan Kan’an. Pentingnya mengungkap sisi tasawuf, kaum sufistik menilai al-
Qur’an merupakan kitab yang tidak hanya membahas firman-firman Allah yang
bernuansa zahir, tapi al-Qur’an juga menyimpan pesan batin yang keluar dari
ayat-ayatnya. Ketika para sufi menafsirkan al-Qur’an, mereka jauh melampaui
pembacaan ayat-ayat secara zahir. Kalau kebanyakan tafsir sufi tendensi
penafsirannya merujuk ulama-ulama sufi, akan tetapi Laṭāif al-Ishārāt termasuk
tafsir sufistik moderat, yaitu tafsir sufistik yang mencantumkan hadis Nabi, asar
sahabat, perkataan para mufassir sebelumnya, aspek gramatikal dan latar belakang
ayat. Sebagai seorang mufassir lagi sufi, penafsiran al-Qushayrī tidak hanya
tertumpu pada makna batin ayat, tetapi juga berpegang pada makna lahirnya.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan metode
pengumpulan data menggunakan library research, dengan pendekatan tafsir yang
bercorak tasawuf, tasawuf yang dijadikan tolok ukur adalah khusus tasawwuf
akhlāqī, khususnya dalam pembahasan penelitian ini menggunakan metode
deskriptif-analisis. Adapun metode yang dipakai merupakan metode mauḍū’ī.
Metode mauḍū’ī dipilih karena dinilai paling tepat –setidaknya hingga saat ini–,
untuk mengkaji konsep-konsep al-Qur’an tentang suatu masalah, bila diharapkan
suatu hasil yang utuh dan komprehensif. Karena penelitian ini menyangkut al-
Qur’an secara langsung, maka sumber utama merujuk kepada kitab Tafsir Laṭaif
al-Ishārat karya Imam al-Qushayrī. Sumber lainnya meliputi kitab-kitab tafsir
untuk pembanding, buku, penelitian atau tulisan-tulisan lain yang terkait dengan
tema penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa al-Qur’an bukan hanya memiliki
makna lahir atau eksoteris semata, namun juga memiliki makna batin atau
esoteris. Setidaknya ada dua alasan yang menguatkan adanya makna esoteris al-
Qur’an. Pertama, al-Qur’an tidak hanya mempunyai makna lahir semata. Kedua,
pengaruh paham tasawuf yang berimplikasi dalam menfsirkan al-Qur’an. Dengan
demikian nilai sufistik yang dapat diambil dari ayat komunikasi orang tua dan
anak yang ditampilkan Nabi Ibrāhīm dan Ismā’īl, Luqmān al-Hakim dan anaknya,
Ya’qūb, Yūsuf dan Saudara-saudaranya, Nūḥ dan Kan’an dapat dipetakan sebagai
berikut: Nilai tauhid, Sabar, maḥabbah, murāqabah, raja’, riḍa, dan tawakal.
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Syukur alhamdulillah, penulis panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw,
sahabat dan keluarganya sekalian.
Sejauh pengetahuan penulis, pembahasan tesis tentang tafsir sufi jarang
dilakukan, beda halnya dengan kajian aspek kalam atau hukum. Dalam tesisi ini
penulis mencoba memabahas penafsiran al-Qushairī dengan menyorot komunikasi
orang tua dan anak dalam kajian tafsir sufi. Melihat kecenderungan sufistik pada
sebuah tafsir antara lain dapat diketahui kitab tafsir Laṭaif al-Ishārat merupakan
kitab tafsir yang bercorak tasawuf pertama lahir di kalangan umat Islam.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini banyak mengalami
kesulitan dan rintangan terutama dalam mengeksplorasi data. Sungguhpun begitu,
berkat rahmat Allah jua serta arahan dari dosen pembimbing yang tulus maka
pada akhirnya kesulitan-kesulitan tersebut dapat terlewatkan.
Berkenaan dengan hal itu, penulis sampaikan ucapan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada Dr. M. Suryadinata, M.Ag sebagai pembimbing yang
telah mencurahkan tenaga, pikiran dan waktunya untuk memberikan bimbingan,
saran dan arahan kepada penulis sehingga tesis ini dapat dirampungkan. Semoga
Allah swt memberikan balasan pahala yang sepadan kepada beliau.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
vii
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag, selaku Dekan beserta para
Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Atiyatul Ulya, M.Ag, selaku Ketua Program Magister dan
Bapak Maulana, M.Ag, selaku Sekretaris, para dosen, serta para
penguji dalam ujian tesis dan tak lupa kepada para staff di lingkungan
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu
menyampaikan gagasan serta petunjuk dan memberikan pelayanan
akademik dan administrasi dengan hati ikhlas.
4. Berbagai pihak dan kawan-kawan serta kerabat sanak famili yang tidak
dapat disebutkan satu persatu, mereka semua yang ikut memberikan
motivasi selama penulis menyelesaikan tesis ini.
Selanjutnya terima kasih dan penghormatan tiada terkira penulis
sampaikan kepada kedua orang tua penulis; H. Parto Pardi dan Hj. Taswitun.
Mereka berdua telah mendidik dan menanamkan kegigihan dalam menempuh
kehidupan ini. Terakhir, tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada isteri; Siti
Muawanah, S.Pd.I, SE, anak-anakku, Arifah Nabila Wildani dan Asyfa Rafifah
Lituhayu yang telah turut tabah menghadapi lika-liku perjuangan penulis selama
menjalani pendidikan di S2.
Untuk semua pihak yang penulis sebutkan, semoga Allah swt menerima
jasa baik mereka dan mendapatkan imbalan yang berlipat ganda. Amin!
viii
Sebagai kata penghujung dalam pengantar ini, perlu penulis sampaikan
bahwa karya tesis ini ibarat setangkai padi yang masih terdapat padanya padi yang
hampa. Oleh karena itu, dalam tesis ini tentu masih dijumpai kekurangan-
kekurangan baik dari bahasa ataupun analisisnya. Karena itu kepada semua pihak
diharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini. Di samping itu, penulis
juga mengharapkan bahwa dengan kemunculan tesis ini turut memperkaya kajian
keislaman.
Jakarta, Januari 2017
Penulis
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan
gh ═ غ r ═ ر ’ ═ ء
f ═ ف z ═ ز b ═ ب
q ═ ق s ═ س t ═ ت
k ═ ك sh ═ ش th ═ ث
l ═ ل ṣ ═ ص j ═ ج
m ═ م ḍ ═ ض ḥ ═ ح
n ═ ن ṭ ═ ط kh ═ خ
w ═ و ẓ ═ ظ d ═ د
h ═ ة/ه (ayn) ‘ ═ ع dh ═ ذ
y ═ ي
B. Vokal dan Diftong
Vokal Pendek Vokal Panjang Diftong
═ a ا— ═ ā ى ═ ī
═ i ى— ═ á و ═ aw
═ u و— ═ ū ي ═ ay
C. Keterangan Tambahan
1. Kata sandang ال (alif lam maʽrifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya
al-dhimmah. Kata sandang (الذمة) al-āthār dan (اآلثار) ,al-jizyah (الجزية)
ini menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat.
x
2. Tashdīd atau shaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya al-
muwaṭṭaʽ.
3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis
sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, hadis dan lainnya.
xi
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN ..............................................................................
TIM PENGUJI ......................................................................................
PERSETUJUAN PARA PENGUJI …....................................................
ii
iii
iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............. 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................ 10
D. Metodologi Penelitian ......................................................... 10
E. Tinjauan Pustaka ................................................................. 13
F. Sistematika Penulisan ......................................................... 17
BAB II AL-QUSHAYRĪ DAN TAFSĪR LAṬAIF AL-ISHĀRAT ..... 19
A. Biografi Al-Qushayrī .......................................................... 19
B. Kondisi Sosial Politik Al-Qushayrī .................................... 23
C. Profil Kitab Tafsīr Laṭaif al-Ishārat ................................... 24
D. Manhaj Al-Qushayrī dalam Tafsirnya ................................ 28
BAB III KOMUNIKASI DAN TAFSIR SUFI ……........................... 33
A. Tinjauan Komunikasi .......................................................... 33
1. Pengertian Komunikasi ................................................. 33
2. Unsur-unsur Komunikasi .............................................. 34
3. Model-model Komunikasi ............................................ 36
B. Tinjauan Tafsir Sufi ............................................................ 43
1. Pendekatan Ishārī dalam Tafsir..................................... 43
2. Tafsir Bāṭinī................................................................... 49
3. Perbedaan Tafsir Ishārī dan Tafsir Bāṭinī ..................... 50
xii
BAB IV ANALISIS KOMUNIKASI ORANG TUA DAN ANAK
DALAM TAFSĪR LAṬAIF AL-ISHĀRAT ............................
53
A. Ayat-ayat Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Tafsīr
Laṭaif al-Ishārat …………..................................................
53
1. Komunikasi Nabi Nūḥ dengan Kan’an ......................... 53
2. Komunikasi Nabi Ya’qūb dengan Anaknya ................. 57
3. Komunikasi Luqmān dengan Anaknya ......................... 63
4. Komunikasi Nabi Ibrāhīm dengan Ismā’īl .................... 69
B. Penafsiran Ayat Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam
Tafsir Sufi ...........................................................................
73
1. Komunikasi Nabi Nūḥ dengan Kan’an ......................... 74
2. Komunikasi Nabi Ya’qūb dengan Anaknya ................. 75
3. Komunikasi Luqmān dengan Anaknya ......................... 80
4. Komunikasi Nabi Ibrāhīm dengan Ismā’īl .................... 87
C. Nilai Sufistik dalam Tafsir Ayat Komunikasi Orang Tua
dan Anak ...........................................................................
93
1. Tauhid ........................................................................... 93
2. Sabar ............................................................................. 96
3. Cinta ............................................................................. 103
4. Murāqabah ................................................................... 110
5. Raja’ ............................................................................. 111
6. Riḍa .............................................................................. 113
7. Tawakal ........................................................................ 117
BAB V PENUTUP ............................................................................... 120
A. Kesimpulan ......................................................................... 120
B. Saran ................................................................................... 121
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 122
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial. Makhluk sosial sangat bergantung pada
komunikasi. Dengan melakukan komunikasi tersebut, manusia saling
memberikan manfaat.1 Karena manusia tidak bisa lepas dengan pentingnya
komunikasi ini, maka kajian komunikasi merupakan hal yang serius. Kesalahan
kecil dalam sebuah komunikasi mempunyai imbas yang besar terhadap hubungan
manusia.2 Salah satu lingkup komunikasi yang terkecil dan harus dijaga dengan
baik adalah keluarga.
Keluarga merupakan dan prototype sebuah masyarakat. Kesejahteraan
yang dimiliki oleh suatu bangsa, ataupun kebodohan dan keterbelakangannya,
adalah tercermin dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup pada masyarakat
tersebut. Hal ini merupakan kesimpulan pandangan para pakar dari berbagai
disiplin ilmu dan pakar-pakar agama Islam. Dari kesimpulan itu, agama Islam
memberikan perhatian yang sangat besar terhadap persoalan keluarga ini.3
Perhatian Islam dalam persoalan ini adalah dengan pembentukan keluarga
yang benar, yaitu diawali dengan pernikahan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam bentuk umum dan sederhana keluarga meliputi ayah, ibu – orang tua – dan
1 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosda-karya, 1996), cet.
xxv, h. Vii. 2 Kegagalan komunikasi menurut para pakar mengakibatkan efek atau akibat yang fatal
baik terhadap individu maupun sosial. Secara individu menimbulkan frustasi, demoralisasi,
alienasi, dan penyakit-penyakit jiwa yang lain. Secara sosial, kegagalan komunikasi menghambat
saling pengertian, toleransi, dan menghalangi pelaksanaan norma-norma sosial. Lihat Jalaluddin
Rakhmat, Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1994),
h.76. 3 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), h. 253.
2
anak. Komponen penting dalam sebuah keluarga adalah ayah dan ibu. Hal ini
karena orang tua sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak. Secara sederhana,
orang tua berpengaruh karena merekalah yang berperan sebagai pengasuh dan
pendidik utama bagi anak.4 Dalam proses pengasuhan dan pendidikan inilah,
peran komunikasi antara orang tua dan anak sangatlah penting.
Selain itu, dalam pembentukan sebuah keharmonisan dalam keluarga,
komunikasi adalah hal yang central. Komunikasi yang dibentuk dengan baik akan
meningkatkan emosi kedekatan dalam keluarga. Komunikasi juga memudahkan
bagi setiap anggota keluarga untuk menyampaikan pendapat, gagasan dan
perasaan dengan lebih mudah. Jadi, menciptakan komunikasi yang baik di dalam
keluarga adalah keharusan. Akan tetapi persoalan penerapannya, merupakan hal
yang tidak mudah.
Dalam hal komunikasi orang tua dan anak, al-Qur‟an pun menampilkan
dan mencontohkannya. Penyajian bentuk komunikasi tersebut, ditampilkan
dengan menarik dan memunculkan keteladanan-keteladanan, baik spiritual
maupun moral. Karena memang al-Qur‟an mempunyai tujuan utama menjadi
pedoman dalam menata kehidupan agar memperoleh kebahagiaan dunia dan
akhirat. Agar tujuan itu dapat direalisasikan, maka al-Qur‟an datang dengan
petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan, prinsip-prinsip, baik yang bersifat
global maupun terperinci, yang eksplisit maupun implisit, dalam berbagai
persoalan dan bidang kehidupan.5
4 Fuaduddin TM, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam (Jakarta: Lembaga
Kajian Agama dan Jender kerja sama dengan Perserikatan Solidaritas Perempuan, 1999), h. 5-6. 5 Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an (Bandung: Penerbit Pustaka,1998),
h.4.
3
Menyoroti lebih jauh komunikasi orang tua dan anak yang disebutkan
dalam al-Qur‟an, adalah sesuatu yang menarik. Lebih lagi karena al-Qur‟an
mempunyai karakteristik yang khas yaitu salah satunya dengan mencantumkan
kisah. Uniknya lagi, al-Qur‟an ketika mengkisahkan tidak menjelaskan secara
berurutan, kronologis dan tidak memuat secara panjang lebar.6 Selain itu, al-
Qur‟an ketika menyebutkan kisah-kisah seringkali diungkapkan secara berulang-
ulang di berbagai tempat dengan bentuk yang berbeda.7 Tapi, hal tersebut tidak
bisa mengurangi nilai al-Qur‟an sebagai wahyu untuk mengungkap petunjuk,
peringatan an sumber ilmu pengetahuan.
Selain al-Qur‟an, khazanah Islam pun mempunyai solusi lain, yaitu
tasawuf. Tasawuf bukan saja sebuah ajaran moral Islam, tapi tasawuf juga
merupakan sesuatu “revolusi spiritual” (thaurah ruḥiyyah)8 yang dapat menjadi
referensi penyelesaian perkara-perkara di setiap zaman, termasuk zaman sekarang
atau era modern.
Realitas dunia modern saat ini, sistem kehidupan manusia telah menggeser
nilai spiritual. Meskipun tidak menolak adanya Tuhan secara lisan, tapi banyak
yang menginkari Tuhan dalam bentuk perbuatan keseharian. Menurut Husen
Naser dalam Islam and the Pigh of Modern Men menyebutkan imbas dari
masyarakat modern yang mendewakan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang
terus berkembang pesat, membuat mereka kehilangan visi ketuhanan dan
6 Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1985), h. 59. 7 Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir AS (Jakarta: Litera
Antar Nusa, 1992), h. 433. 8 Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2006), 46.
4
membuat mereka meninggalkan pemahaman agama yang berdasarkan wahyu.9
Akibat krisis ketuhanan seperti ini, salah satu efeknya juga pasti berimbas kepada
perilaku manusianya dan lebih spesifik komunikasinya.
Contoh dalam konteks al-Qur‟an, tentang komunikasi antara Luqman dan
anaknya. Jika dilihat dalam perspektif tasawuf, tema atau nasehat yang diajarkan
Luqman kepada anaknya di antaranya adalah mengenai ma’rifah, ṣabr,
murāqabah dan lain-lain.10
Dalam mengupayakan kembalinya nilai-nilai ke-Tuhan-an, tasawuf adalah
salah satu piranti yang dapat digunakan untuk membedah problematika di
kehidupan manusia modern.11
Jadi, tasawuf dalam upaya menumbuhkan kembali
visi ke-Tuhan-an dan dirasa cocok untuk dijadikan petunjuk bagaimana konsep-
konsep tasawuf dapat dijadikan sebagai metode yang efektif dalam mengatasi
problematika modernitas yang semakin kompleks.
Terkait dengan tasawuf,12
kaum sufistik menilai al-Qur‟an merupakan
kitab yang tidak hanya membahas firman-firman Allah yang bernuansa zahir, tapi
9 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Peelajar, 1999), h. 112-113.
10 Lihat QS. Luqman [31]
11 Walaupun para ulama berbeda-beda dalam medefinisikan tasawuf, tapi mereka
sependapat bahwa tasawuf adalah moralitas yang berdasarkan adab Islam. Abdul Muhaya,
Tasawuf dan Krisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 23. 12
Berdasarkan perspektif etimologis yang populer, kata tasawwuf yang seakar dengan
kata sūfi, berasal dari kata bahasa Arab al-ṣūf, yang berarti kain wool. Ketika itu kelompok ini
menolak untuk berpenampilan glamor dan memakai baju yang terbuat dari kain wool sebagai
identitas mereka. Hal yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa pada masa formatif tersebut,
banyak kaum asketis dari kalangan Yahudi dan Kristiani yang juga hanya menutupi badanya
dengan wool, seperti ketika melakukan ritual pembaptisan di gurun (the baptist in the dessert).
Sebagian juga mengatakan kata tersebut berasal dari kata al-ṣafā yang berarti bersih atau suci.
Pendapat lain seperti yang dinyatakan Al-Biruni, menyatakan kata sūfi merupakan transposisi dari
kata berbahasa Yunani sophos, yang berarti orang bijak (sage). Lihat Titus Burckhardt, Introductionto Sufi Doctrine (Indiana: World Wisdom, 2008), h. 3
5
al-Qur‟an juga menyimpan pesan batin yang keluar dari ayat-ayatnya.13
Jadi,
ketika para sufi menafsirkan al-Qur‟an,14
mereka jauh melampaui pembacaan
ayat-ayat secara zahir.
Bisa dikatakan bahwa penafsiran sufistik mempunyai karakteristik yang
istimewa, yaitu cenderung menafsirkan al-Qur‟an lebih terfokus pada makna
isharah ayat dengan cara riyāẓah dan mujāhadah dan bertumpu pada kebersihan
kalbu, dari pada menafsirkan makna lahir yang bertumpu kepada kekuatan analisis
bahasa.15
Adapun salah satu di antara kitab tafsir yang dikenal dengan tafsir sufi
adalah tafsir Laṭāif al-Ishārāt yang merupakan kitab karangan ulama sufi16
yang
terkenal yaitu Imam al-Qushayrī.17
Dalam sejarah penafsiran al-Qur‟an terutama tafsir yang bercorak tasawuf,
kitab tafsir Laṭāif al-Ishārāt tersebut, merupakan kitab tafsir bercorak tasawuf
pertama yang lahir di kalangan umat Islam yang lengkap 30 juz, mulai dari surat
al-Fatiḥaḥ sampai surat al-Nās.18
13
Aik Ikhsan Anshori, Tafsir Ishāri : Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir Shaikh
‘Abd al-Qādir al-Jīlānī (Ciputat: Referensi, 2012), h. 1. 14
Al-Zarkashī menyebut bahwa ucapan kaum sufi ketika menafsirkan al-Qur‟an bukan
merupakan produk tafsir, tapi penemuan inspiratif ketika membaca al-Qur‟an. Lihat Al-Zarkashī,
Al-Burhān fī ‘Ulum al-Qur’ān (Kairo: Dār al-Turath, t.t), h. 171. 15
Abdul Munir, “Penafsiran Imām al-Qusyairī dalam Kitab Tafsir Laṭaif al-Isyārat (Studi
tentang Metode Penafsiran dan Aplikasinya)”(Disertasi: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2009), h. 10. 16
Dengan membuat karya tafsir, menjadi bukti bahwa Imam al-Qushayrī merupakan
seorang mufassir sufi. Lihat Shams al-Dīn Muḥammad ibn „Alī ibn Aḥmad al-Dāwudī, Ṭabaqāt
al-Mufassirīn (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.t), h. 344. 17
Ia adalah seorang sufi moderat yang hidup pada abab V H. ia merupakan pengikut
madzhab al-Asy‟ari dalam kalam dan mazhab al-Syafi‟i dalam fiqh. Selain itu, ia pun seorang
mufassir yang berjasa mengembalikan tasawuf pada landasan al-Qur‟an dan al-Ḥadīth. Lihat
Abdul Munir, “Penafsiran Imām al-Qusyairī dalam Kitab Tafsir Laṭaif al-Isyārat (Studi tentang
Metode Penafsiran dan Aplikasinya)”, h. 10. 18
Lihat Abdul Munir, “Penafsiran Imām al-Qusyairī dalam Kitab Tafsir Laṭaif al-Isyārat
(Studi tentang Metode Penafsiran dan Aplikasinya)”, h. 10.
6
Selain itu, Kristen Zahra Sands mengungkapkan dalam karya Sufi
Commentaries on The Qur’an in Islamic Classical Islam sebagaimana dikutip Aik
Iksan Anshori dalam tesisinya, bahwa menariknya meneliti kitab tafsir Laṭāif al-
Ishārāt yang pengarangnya sedikit ulasan biografi, catatan ringan dan
menyinggung metodologi taksonomis (pengelompokan-pengelompokan) satu
dengan lainnya.19
Al-Qushayrī berpendapat bahwa setiap syariat tanpa didukung
oleh hakikat maka tertolak dan setiap hakikat adalah saksi.20
Berbeda dengan
„Abd al-Qādir al-Jilānī. Ia berpendapat bahwa segala bentuk hakikat tanpa
disaksikan oleh syariat akan termasuk perbuatan heristis/zindiq.21
Kalau kebanyakan tafsir sufi tendensi penafsirannya merujuk ulama-ulama
sufi. Misalnya pada masa al-Sulami, penulis kitab Ḥaqāiq al-Tafsīr, (w. 412
H./1021 M.) sumber rujukan utamanya, yaitu Dhūn Nūn al-Miṣrī (w. 246 H./841
M.), Sahl al-Tustārī (w. 283 H./896 M), Abū Sa‟īd al-Kharrāj (w. 286 H/899 M),
al-Junayd (w. 298 H./910 M), Ibn „Aṭāl-„Adamī (w. 311 H./923 M), Abū Bakr al-
Wāsiṭī (w. 320 H./932 M), dan al-Shiblī (w. 334 H/946 M).22
Akan tetapi Laṭāif
al-Ishārāt termasuk tafsir sufistik moderat, yaitu tafsir sufistik yang
mencantumkan hadis Nabi, asar sahabat, perkataan para mufassir sebelumnya,
aspek gramatikal dan latar belakang ayat.23
19
Aik Iksan Anshori, Tafsir Isyari: Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir Syaikh ‘Abd
al-Qadir al-Jailani (Ciputat: Referensi, 2012), h. 19. 20
Ibrahim Basyuni dalam muqaddimah-nya. Lihat Al-Qushayrī, Laṭaif al-Ishārat, h. 6. 21
„Abd al-Mun‟im al-Hafani, al-Mawsu’ah al-Sufiyah (Kairo: Dar al-Rasyad, 1992), h.
114. 22
Asep Nahrul Musadad, “Tafsir Sufistik dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur‟an (Sejarah
Perkembangan dan Konstruksi Hermeneutis)”, Jurnal Farabi Volume 12 Nomor 1 Juni 2015 ISSN
1907-0993 E ISSN 2442-8264, h. 115. 23
Asep Nahrul Musadad, “Tafsir Sufistik dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur‟an (Sejarah
Perkembangan dan Konstruksi Hermeneutis)”, h. 116.
7
Sebagai seorang mufassir lagi sufi, penafsiran al-Qushayrī tidak hanya
tertumpu pada makna batin ayat, tetapi juga berpegang pada makna lahirnya. Hal
ini dapat dilihat ketika menafsirkan QS. al-Sāffāt [37]: 102,24
al-Qushayrī
menafsirkan tentang dialektika atau komunikasi dua arah antara orang tua dan
anak (nabi Ibrāhīm dan Ismā‟il).
Kronologis kejadian ayat ini adalah ketika nabi Ibrāhīm diperintahkan oleh
Allah swt. untuk menyembelih anaknya Ismā‟il. Di ayat ini, disebutkan bahwa
nabi Ibrāhīm mengajak anaknya untuk berdiskusi terkait perintah Tuhan itu.
Menariknya, ketika menafsirkan ayat ini al-Qushayrī menekankan kepada nilai
cinta dan saling menguatkan kesabaran25
di antara IbrāhÌm dan Ismā‟il.
Selain QS. al-Sāffāt [37]: 102 yang telah dijelaskan, di dalam al-Qur‟an
masih memuat banyak ayat-ayat lain terkait komunikasi orang tua dan anak.
Karenanya, penulis merasa penting untuk mengelompokan ayat-ayat tersebut dan
membahasnya dalam penelitian ini.
24
QS. al-Sāffāt [37]: 102 :
Artinya:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
Termasuk orang-orang yang sabar". 25
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Qushayrī menampilkan kisah-kisah sebagai penguat
pengungkapan makna batin. Dikisahkan bahwa nabi Isma‟il menguatkan hati ayahnya (nabi
Ibrahim) dengan mengatakan bahwa dia senang dikorbankan sebagai bentuk ketaatan orang tuanya
kepada Allah. Lihat Al-Qushayrī, Laṭaif al-Ishārat (Mesir: al-Hay`at al-Miṣriyyah al-„Āmah lil
Kitāb, t.t), jilid 3, h. 238.
8
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dapat diidentifikasikan
bahwa ada beberapa permasalahan yang menjadi acuan pembahasan, di antaranya:
Pertama, memperhatikan kecenderungan mufassir sufi menafsirkan al-
Qur‟an berdasarkan makna ishārah ayat ketimbang pada makna lahir ayat melalui
riyāḍah dan mujāhadah yang bertumpu pada kebersihan kalbu, sedangkan
mufassir lainnya cenderung menafsirkan al-Qur‟an berdasarkan makna lahir ayat
yang bertumpu pada analisis bahasa. Begitu juga dengan al-Qushayrī lebih
cenderung mengungkapkan makna ishārah ayat tanpa memperhatikan makna
literalnya. Maka secara metodologis hal ini menimbulkan sebuah problem
penafsiran. Dengan demikian timbul pertanyaan, bagaimana kaitan metode
penafsiran dengan ilmu sufi?
Kedua, sejarah penafsiran al-Qur‟an yang bercorak tasawuf, kitab tafsir
Laṭāif al-Ishārāt merupakan kitab tafsir bercorak tasawuf pertama yang lahir di
kalangan umat Islam yang lengkap 30 juz, mulai dari surat al-Fatiḥaḥ sampai surat
al-Nās. Hal ini penting ditelusuri, sejauh mana pembuktian sejarahnya, dan
bagaimana geneologi tafsir sufi?
Ketiga, ayat apa saja yang terkait dengan komunikasi orang tua dan anak
dalam al-Qur‟an?
Keempat, al-Qur‟an banyak menggambarkan banyak kisah yang saling
berkaitan atau berhubungan, baik hubungan komunikasi Tuhan dengan Rasul-
Nya, nabi dengan nabi yang lainnya, nabi dengan kaumnya, orang tua dengan
9
anak, dan lain sebagainya. Maka di sini timbul pertanyaan, bagaimana penafsiran
ayat-ayat al-Qur‟an mengenai komunikasi orang tua dan anak dalam perspektif
tafsir sufi? Bagaimana cara al-Qur‟an menampilkan gaya komunikasi? dan apa
pesan yang terkandung dari komunikasi orang tua dan anak dalam kisah-kisah al-
Qur‟an?
2. Pembatasan Masalah
Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang
kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap (attitude), perilaku
(behavior), atau pendapat (opinion), baik secara langsung (lisan), ataupun tak
langsung melaui media.26
Dari istilah ini, menunjukan bahwa komunikasi mempunyai dua jenis yaitu
komunikasi langsung dan tidak langsung. Maka, untuk membuat penelitian ini
lebih terfokus, penulis membatasi penelitian lebih spesifik membahas komunikasi
langsung di al-Qur‟an dengan memilih ayat-ayat tertentu saja.
Adapun kriteria ayat yang penulis pilih adalah ayat yang terdapat kata
kunci yaitu: يبنى dan يأبت. Dari penelusuran ini, penulis dapati ayat-ayat di
antaranya adalah QS. Hūd [11]: 42 dan 45, QS. Yūsuf [12]: 4, 5, 67, 87, QS.
Luqman [31]: 13, 16 dan 17, QS. al-Sāffāt [37]: 102. Dan juga penulis membatasi
hanya difokuskan terhadap kitab Tafsīr Laṭaif al-Ishārat.
26
Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1993), h. 13.
10
3. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, penulis merumuskan masalah dengan
pertanyaan: Apa penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an mengenai komunikasi orang tua
dan anak dalam perspektif tafsir al-Qushayrī?
C. Tujuan Penelitian
Semua penelitian pasti mempunyai tujuan tertentu. Dalam penelitian
penulis mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan ayat-ayat al-Qur‟an yang terkait komunikasi orang
tua dan anak.
2. Untuk mengetahui bagaimana Imam al-Qushayrī ketika menafsirkan ayat-
ayat komunikasi orang tua dan anak.
3. Untuk mengetahui pesan komunikasi orang tua dan anak perspektif tafsir
sufi.
D. Metodologi Penelitian
1. Metode pengumpulan data
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan metode
pengumpulan data menggunakan library research.27
Hal ini berarti semua data
penelitian diperoleh dari bahan-bahan yang tertulis yang bertemakan dengan tema
yang dibahas di dalamnya. Karena penelitian ini berkaitan langsung dengan al-
Qur‟an, maka sumber penelitian pertama adalah al-Qur‟an.
27
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Rineka
Cipta, 1993), h. 10.
11
Sumber primer lain yang penting adalah kitab Tafsīr Laṭaif al-Ishārat
karya al-Qushayrī yang menurut penulis representatif dengan penelitian ini,
karena bercorak sufi.28
Sebagai pembanding, penulis juga memasukan penjelasan-
penjelasan dari kitab Tafsīr al-Jīlanī karya „Abd al-Qadīr al-Jīlānī sebagai sumber
skunder.
Selain itu, kitab lain yang juga digunakan sebagai sumber skunder
penelitian ini adalah kitab seperti Al-Mufradat fī Gharīb al-Qur`ān karya Al-
Rāghib al-Aṣfahānī. Kitab ini digunakan untuk dijadikan referensi pembahasan
mengenai kata-kata dan term-term dalam al-Qur‟an. Selain itu untuk memudahkan
pelacakan ayat-ayat al-Qur‟an penulis menggunakan kitab Al-Mu’jam al-
Mufahras li Alfāẓ al-Qur`ān al-Karīm karya Fu‟ād „Abd al-Bāqī.
Karena penelitian ini berhubungan dengan tafsir sufi dan komunikasi
antara orang tua dan anak, maka penulis menggunakan buku-buku yang terkait
dengan pembahasan itu untuk membantu dalam pembahasan penelitian ini.
2. Metode pembahasan
Dalam pembahasan penelitian ini, penulis menggunakan metode
deskriptif-analisis. Adapun metode yang dipakai merupakan metode mauḍū’ī.
Lebih spesifik, penulis memakai langkah operasional29
yang dipakai adalah
sebagai berikut:
a. Memilih atau menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara
tematik.
28
Ibn al 'A„rabī menyebutkan bahwa tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis sesuai dengan
pandangan sufistik seorang sufi. Lihat Mannā „ Khalīl al Qaṭṭān, Mabāḥith fī ‘’Ulūm al Qur`ān
(Riyad: Manṣūrāt al „Aṣr al Ḥadīth 1973), 356. 29
Dalam penerapan metode mauḍu’ī„, penulis merujuk pada : Abd al-Hayy al-Farmawī,
Al-Bidayah fī al-Tafsīr al-Mauḍū’ī. Terj. Suryan A. Jamrah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1994), h. 45.
12
b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema
komunikasi orang tua dan anak yang telah ditetapkan.30
c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa
turunnya ayat atau asbāb al-nuzūl.31
d. Mengetahui kolerasi ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing
suratnya.
e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,
sempurna dan utuh.
f. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis bila perlu,
sehingga pembahasan menjadi semakin jelas.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh
dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian
serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khaṣ,
antara yang muṭlaq dan muqayyad, mengsingkronkan ayat-ayat yang
lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh,
sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa
perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap
sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
Dengan langkah tersebut, penulis menggambarkan secara cermat ayat-
ayat komunikasi orang tua dan anak, dengan merujuk kepada kitab Tafsīr Laṭaif
al-Ishārat karya Imam al-Qushayrī dan kemudian penulis juga menganalisa
pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dengan pendekatan tasawuf. Secara
diskripsi ayat yang dikumpulkan dijabarkan dengan penafsiran al-Qushayrī,
kemudian dibandingkan dengan mufassir lain.
3. Pendekatan dan analisis
Ayat al-Qur‟an tentang percakapan langsung orang tua dan anak yang
dijadikan objek materil dalam penelitian ini kemudian dianalisis dengan
menggunakan pendekatan sufistik. Pendekatan sufistik sebagai metode merupakan
objek formil dalam penelitian ini. Yang dimaksud sufistik sebagai metode
pendekatan dalam penelitian ini adalah konsep-konsep tasawuf dalam khazanah
30
Dalam pelacakan ini, penulis menggunakan kitab: Al-Rāgib Al-Aṣfahānī, Mu’jam
Mufradāt Alfāz al-Qur`ān (Beirut: Dār al-Fikr, t.t) 31
Dalam menyusun ayat-ayat penulis merujuk pada: Jalāluddin al-Suyūti, al-Itqān fī
‘Ulum al-Qur`ān (Beirut: Dār al-Fikr, t.t).
13
pemikiran Islam dijadikan sebagai tolok ukur dan acuan untuk memahami Ayat
al-Qur‟an tentang percakapan langsung orang tua dan anak tersebut. Adapun
konsep32
tasawuf yang dijadikan tolok ukur adalah khusus tasawwuf akhlāqī.33
4. Teknik penulisan
Teknik penulisan dalam penelitan ini, mengacu pada Buku Pedoman
Akademik Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi karya Tim UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2011.34
E. Tinjauan Pustaka
Untuk memastikan bahwa penelitian ini adalah penelitian yang belum
dibahas sebelumnya, maka penulis melakukan penelusuran karya-karya ilmiah
yang mempunyai kemiripan dengan penelitian ini. Dari penelusuran, didapati hasil
sebagai berikut:
Tesis karya Robitoh Widi Astuti yang berjudul Komunikasi Orang Tua
dan Anak Perspektif Kisah dalam Al-Qur’an.35
Dalam tesis ini, memuat hasil
penelitan bahwa ternyata komunikasi orang tua dan anak perspektif kisah al-
Qur‟an memiliki pola dan model Stimulus-Respons (S-R), mode ABX, serta Model
Interaksional. Komunikasi yang terjadi bisa dipetakan menjadi komunikasi
32
Konsep atau konsepsi adalah pengertian yang meliputi hal-hal yang parsial, tidak
mendasar, aplikatif, empiris, dan praktis. Sedangkan konsep merupakan pengertian abstrak yang
melliputi hal-hal yang bersifat universal,mendasar, filosofis, dan teoritis. Sebuah konsep dibangun
atas seperangkat konsepsi. 33
Menurut al-Taftazani, tasawwuf akhlaqi adalah tasawwuf yang berkonsentrasi pada
teori-teori prilaku, akhlak, atau perbaikan akhlak. Dengan metode yang telah dirumuskan,
tasawwuf seperti ini berupaya untuk menhindari akhlak madzmumah dan mewujudkan akhlak
mahmudah. Lihat Abū al-Wafa al-Taftazanī, Madkhal ila Tasawwuf al-Islamī (Kairo:Dar al-
Thaqafah, t.t), h. 180. 34
Hamid Nasuhi, dkk, Buku Pedoman Akademik Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011). 35
Robitoh Widi Astuti, “Komunikasi Orang Tua dan Anak Perspektif Kisah dalam Al-
Qur‟an” (Tesis: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011).
14
langsung dan komunikasi tidak langsung. Komunikasi langsung bisa berupa
komunikasi verbal, non verbal ataupun interpersonal. Sedangkan komunikasi
tidak langsung terjadi ketika komunikator dan komunikan dihubungkan oleh pihak
ketiga. Dalam penelitian ini juga disebut pesan dari komunikasi orang tua dan
anak bahwa al-Qur‟an telah mendeklarasikan pentingnya komunikasi dalam
sebuah keluarga sebagai pembentuk kepribadian anak.
Selain itu, penulis juga menemukan karya-karya yang mengkaji mengenai
Imam al-Qushayrī. Di antaranya adalah karya Moh. Toha Mahsun yang berjudul
Kisah Musa dan Khidir dalam Surat al-Kahfi (Studi Penafsiran Al-Qusyairī
dalam Kitab Laṭāif al-Isyarat).36
Penelitian ini menggambarkan bagaimana Imam
al-Qushayrī menafsirkan kisah nabi Musa dan nabi Khidir dalam QS. al-Kahfi
[18]: 60-80. Dalam penelitian ini didapati bahwa terkandung makna tersurat
bahwa diperintahkan untuk belajar dan memperoleh ilmu agar dapat mendekatkan
diri kepada Allah. Penelitian ini juga menyebut bahwa makna batin atau makna
tersirat yang terkandung dalam kisah nabi Musa dan Khidir adalah berupa penguat
dari adanya kewajiban mencari ilmu yaitu: kesabaran, baik sangka dan niat hanya
karena Allah.
Skripsi karya Dwi Ifadatus Sa‟adah yang berjudul Kalam Asy’ariyah
dalam Tafsir Sufistik Laṭaif al-Isyārat karya Al-Qushayrī.37
Penelitian ini
menelusuri ayat-ayat yang dijadikan pijakan Asy‟ariyah, sehingga banyak
36
Moh. Toha Muhsun, “Kisah Musan dan Khidir dalam Surat al-Kahfi (Studi Penafsiran
Al-Qusyairī dalam Kitab Laṭāif al-Isyarat)” (Skripsi: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga,
2009). 37
Dwi Ifadatus Sa‟adah, “Kalam Asy‟ariyah dalam Tafsir Sufistik Laṭaif al-Isyārat karya
Al-Qushayrī.” (Skripsi; Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran
Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015).
15
ditemukan bias-bias Asy‟ariyah dalam penafsiran tersebut. Dalam permasalahan
“wajah” Tuhan misalnya, ia berusaha menjelaskan penafsirannya sesuai konsep
yang dibawa Asy‟ariyah bahwa “wajah” tersebut merupakan sifat Tuhan yang قائمة
Ia juga menyatakan bahwa Tuhan memang bersemayam di atas „Arsy dan .بذاتو
berusaha menjelaskannya sesuai konsep Asy‟ariyah ال ىي ىو وال ىي غيره. Akan
tetapi melihat notabene-nya adalah seorang sufi, terdapat keunikan-keunikan
pendapat al-Qushayrī tentang kalam Asy‟ariyah yang tidak terdapat dalam tokoh
Asy‟ariyah lainnya. Misalnya, dalam permasalahan „Arsy, ia berpendapat bahwa
Allah memiliki dua „Arsy; di langit yang merupakan hal yang ma‟lum, dan „Arsy
yang di dunia yang bertempat di hati para ahl al-tauhid atau para ahli tasawuf.
Disertasi karya dari Abdul Munir yang berjudul Penafsiran Imām al-
Qusyairī dalam Kitab Tafsir Laṭaif al-Isyārat (Studi tentang Metode Penafsiran
dan Aplikasinya).38
Isi dari disertasi ini adalah menyebutkan bahwa al-Qushayrī
dalam kitabnya Laṭaif al-Ishārat menggunakan meode taḥlilī dalam bentuk bi al-
Ra’y dan bercorak tasawuf. Selain itu, disebutkan juga bahwa al-Qushayrī dalam
mengaplikasikan penafsirannya memperhatikan keterkaitan makna ishārah dan
makna lahir ayat serta memperhatikan riwayat untuk mendukung penafsirannya.
Mengenai konsistensi pengaplikasian metode penafsirannya, dalam karya ini
disebutkan bahwa al-Qushayrī tidak konsisten. Hal ini, dapat dilihat ketika
menafsirkan QS. al-Naḥl [16]: 15, QS. al-Naml [27]: 61 dan QS. al-Kahfi [18]: 47
serta penafsiranya terhadap penggalan huruf-huruf hijaiyah yang terletak di
pembukaan surat (fawatiḥ al-Suwār), karena al-Qushayrī dalam penafsirannya
38
Abdul Munir, “Penafsiran Imām al-Qusyairī dalam Kitab Tafsir Laṭaif al-Isyārat (Studi
tentang Metode Penafsiran dan Aplikasinya)”(Disertasi: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2009).
16
hanya cenderung pada makna ishārah dan mengabaikan pertautan makna lahir
ayat.
Dari beberapa penelitian sebelumnya secara khusus membahas tentang
komunikasi orang tua dan anak dengan pendekatan sufistik belum banyak
dilakukan. Maka, penulis merasa penting untuk melakukan penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisis materi dalam
penulisan tesis ini, maka berikut ini penulis jelaskan dalam sistematika penulisan.
Secara garis besar tesis ini terdiri dari lima bab, tiap bab dibagi menjadi sub bab,
dan dari setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing yang mana antara
satu dan lainnya saling berkaitan. Adapun lima bab yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini berisi pembahasan dengan
mengemukakan problem akademik yang melatarbelakangi permasalahan yang
akan dibahas. Kemudian permasalahan tersebut difokuskan dalam indikasi,
pembatasan dan pada akhirnya diperoleh sebuah rumusan masalah. Hal ini
bertujuan agar mendapatkan arah yang jelas dalam pembahasan. Bab ini juga
membahas metodologi penelitian dan kajian pustaka yang bertujuan untuk
menempatkan diri atas tema penelitian. Di akhir bab ini, penulis tampilkan
sistematika penelitian yang di dalamnya merupakan penguraian poin-poin yang
dibahas dalam penelitian ini. Bab ini penting dibahas untuk memberikan pijakan
yang kuat bahwa penelitian ini menarik untuk dibahas.
17
Bab kedua adalah Al-Qushayrī dan Tafsīr Laṭaif al-Ishārat. Di bab ini,
penulis membahas biografi, kondisi sosial politik Imam al-Qushayrī dan
memberikan gambaran profil mengenai tafsirnya, juga mengulas pendekatan
ishārī dalam tafsir baik dari legalitas pemakaian, prasyarat Bab ini penting untuk
dibahas karena sesuai dengan pembatasan masalah yang diuraikan terfokus
terhadap pemikiran al-Qushayrī, juga mengungkap sejauh mana gerakan
sufistiknya.
Bab ketiga membahas mengenai komunikasi dan tafsir sufi. Dimulai
dengan tinjauan komunikasi yang berisi pengertian, unsur-unsur dan model-model
komunikasi. Bab ini juga membahas tinjauan tafsir sufi yang berisi pendekatan
ishārī dalam tafsir, tafsir baṭini dan perbedaan tafsir ishārī dan tafsir baṭini.
Bab keempat adalah berisi analisis komunikasi orang tua dan anak dalam
Tafsīr Laṭaif al-Ishārat. Sub bab pertama merupakan ayat-ayat komunikasi orang
tua dan anak dalam tafsir al-Qushayrī. Sub bab kedua merupakan penafsiran ayat
komunikasi orang tua dan anak dalam tafsir sufi. Di kedua sub tersebut masing-
masing disajikan dengan tema-tema yaitu: komunikasi antara Nabi Nūḥ dengan
Kan‟an, Nabi Ya‟qūb dengan anaknya, Luqmān dengan anaknya, dan Nabi
Ibrāhīm dengan Ismā‟īl. Adapun sub bab ketiga berisi nilai sufistik dalam tafsir
ayat komunikasi orang tua dan anak yang berisi tauhid, sabar, cinta, murāqabah,
raja’, riḍa dan tawakal. Perlunya pembahasan bab ini adalah untuk menampilkan
unsur sufistik komunikasi orang tua dan anak yang diuraikan dalam penafsiran al-
Qushayrī.
18
Bab kelima merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan jawab
dari rumusan masalah penelitian ini, serta menemukan apa saja yang bisa diambil
atau dimanfaatkan sebagai saran dan rekomendasi setelah penelitian pemikiran al-
Qushayrī.
19
BAB II
AL-QUSHAYRĪ DAN TAFSIR LAṬĀIF AL-ISHĀRĀT
A. Biografi Al-Qushayrī
Nama lengkap al-Qushayrī adalah Abū al-Qasim „Abd al-Karim ibn
Hawazin ibn „Abdul Malik Zain al-Islām al-Qushayrī al-Naisābūrī, dikenal
dengan nama Abu al-Qāsim. Ia lahir tahun 376 H di pinggiran kawasan Naisabur.1
Ayahnya meninggal saat ia kecil, kemudian keluarganya mengarahkannya untuk
menuntut ilmu. Pada akhirnya, ia menjadi tokoh yang menguasai ilmu bahasa
Arab, Fiqh dan Ushul Fiqh sampai akhirnya ia wafat pada tahun 465 H.2
Selain ilmu-ilmu di atas, al-Qushayrī juga mempelajari Ṭariqat
Junaidiyyah3 dari bimbingan Abū al-Ḥasan ibn al-Daqqāq (w. 448 H)
4 yang
merupakan salah satu guru besar sufi di masanya.5 Ia berguru kepada Abū Bakar
al-Ṭusī6 pengarang kitab al-Lummā‟ (w. 378 H), Ibn Furak (w. 406 H),
7 al-
Asfarayainī (w. 418 H),8 lalu ia menyempurnakan studinya dengan mempelajari
1 Al-Sayyid Muḥammad „Alī Yāzī, al-Mufassirūn Hayatuhum wa Manhajuhum h. 603
2Al-Taftazanī, Madkhal ilā Tasawwuf al-Islāmī (kairo:Dār al-Thaqafah, t.t), h. 146.
3Aliran sufi yang disandarkan kepada Abū al-Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-
Baghdadī. 4 Nama lengkapnya adalah Abū „Ālī al-Ḥasan bin „Āli al-Nasaburī, yang populer dengan
nama al-Daqqāq. Lihat Abū al-Qāsim „Abd al-Karim ibn Hawazin al-Qushayrī, al-Risālat al-
Qushayrīyah fī „Ilm al-Taṣawwūf, terj. Mohammad Luqman Hakiem (Beirut: Dār al-Khair, tt), h.
xvii. 5Al-Sayyid Muḥammad „Alī Yāzī, al-Mufassirūn Hayatuhum wa Manhajuhum h. 603.
6 Nama lengkapnya adalah Muḥammad bin Abū Bakr al-Ṭusī (385-460 H./995-1067 M).
Al-Qushayrī belajar bidang fiqih kepadanya. Studi itu berlangsung tahun 408 H./1017 M. Lihat al-
Qushayrī, al-Risālat al-Qushayrīyah fī „Ilm al-Taṣawwūf, h. xvii. 7 Nama lengkapnya adalah Muḥammad Ibn al-Ḥusain bin bin Furak al-Anṣārī al-
Aṣbahānī (w. 406 H./1015 M). Ia adalah ulama ahli ilmu ushul. Kepadanya, al-Qushayrī belajar
ilmu kalam. Lihat al-Qushayrī, al-Risālat al-Qushayrīyah fī „Ilm al-Taṣawwūf, h. xvii. 8 Abu Isḥāq – Ibrāhīm bin Muḥammad bin Mahran al-Asfarayainī (w. 418 H./1027 M.). ia
adalah ulama fiqih dan ushul. Hadir di Asfarayain, di sana (Naisabur) ia dibangunkan sebuah
madrasah yang cukup besar, dan al-Qushayrī belajar di sana. Di antara karya Abū Isḥāq adalah al-
Jāmi‟ dan al-Risālah. Ia pernah pernah berpolemik dengan kaum Mu‟tazilah. Padanya al-Qushayrī
belajar Ushuluddin. Lihat al-Qushayrī, al-Risālat al-Qushayrīyah fī „Ilm al-Taṣawwūf, h. xvii.
20
kitab al-Baqīlānī al-Ash‟ārī (w. 403 H). Pada fase kedua studinya, ia menimba
ilmu kepada al-Daqqāq, ketika Imam al-Daqqāq wafat, ia belajar kepada „Abd al-
Raḥmān al-Sulamī.
Al-Qushayrī merupakan seorang tokoh besar sufi sekaligus seorang
mufassir yang hidup pada adab ke 5 H.9 Ajaran tasawufnya merupakan sintesa
dari ajaran shari‟ah dan ḥakikat tokoh besar sunni yang berusaha
mempertahankan dari pengaruh aqidah Mu‟tazilah, Karamiyyah, Mujassimah, dan
Shi‟ah.
Selain terkenal piawai dengan kajian tasawuf, ia juga biasa memberikan
sumbangan pemikirannya terhadap persoalan fikih. Terkait madzhab fiqih, ia
merupakan pengikut madzhab Shafi‟ī. Sedangkan madzhab kalamnya adalah
Ash‟ariyah.10
Karya-karyanya adalah
1. Al-Taysīr al-Kabīr yang lebih dikenal dengan al-Taysīr fī al-Tafsīr;
Dinamakan al-Taysīr al-Kabīr, merupakan kitab pertama yang disusun al-
Qushayrī pada tahun 410 H./1019 M). Tiga ulama besar: Ibn Khalkān, Taj
al-Dīn al-Subkī, dan Jalal al-Dīn al-Suyūthī mengatakan, “Kitab tafsir
susunan al-Qushayrī merupakan sebuah kitab tafsir yang paling bagus dan
jelas.”
9 Pendapat lain seperti Muhammad Tholhah Hasan dalam bukunya Wawasan Umum
Ahlussunnah wal Jama'ah menjelaskan tokoh sufi Sunni ini muncul pada abad ke-4 hijriyah (437
H/1045 M). Al-Qushayrī dikenal sejak menulis kitab al-Risalat atau lebih dikenal Risalat Al-
Qushayrīyah, sebuah kitab tasawuf yang mengangkat kerangka teoritis tasawuf walaupun
kajiannya agak umum dan ringkas. Kitab ini ditulis al-Qushayrī untuk menjawab kritik-kritik yang
dilontarkan oleh mereka yang tidak suka tasawuf dan untuk meluruskan meluruskan berbagai
pernyataan sufi yang menyimpang dari garis-garis kebenaran, yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan baik dari sisi agama, akal maupun alasan lain. Lihat Muhammad Tholhah
Hasan, Wawasan Umum Ahlussunnah wal Jama'ah (Jakarta: Lantabora, 2006), cet. 1, h. 57-58. 10
Al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt (Beirut: Dār al-Kutb al-„Ilmiyah, 2007), jilid 1, h. 3.
21
2. Al-Arba‟ūn fī al-Ḥādīth;
Dalam kitab ini al-Qushayrī memaparkan 40 hadis Rasulullah saw. yang
beliau dengar dari gurunya, Abu Ali Ad-Daqqāq dengan sanad yang
muttashil, yakni bersambung sambung hingga ke Nabi saw.
3. Laṭā‟if al-„Ishārāt;
Kitab ini yang sedang penulis teliti, tafsir al-Qur‟an lengkap 30 juz, yang
terdiri dari 6 jilid yang diterbitkan oleh Dār al-Kātib al-„Arabī Kairo tahun
1971 M., dengan pentaḥqīq Ibrāhīm Baisūnī dan kata pengantar Ḥasan
„Abbās Zakī.11
4. Al-Risālāt yang lebih dikenal dengan Risālat al-Qushayrī;
Kitab ini cukup sering dikutip oleh kitab-kitab yang muncul setelahnya.
Karangannya sekitar 17 mencakup dalam bidang tasawuf, tafsir, syair dan
hadis. Kitab Risālat al-Qushayrīyah disusun dilatar belakangi oleh
banyaknya orang yang salah faham mengenai ajaran tasawuf. Seiring
dengan meninggalnya para guru-guru sufi, banyak pengamal tasawuf yang
kemudian seakan meremehkan syariat. Mereka meremehkan perkara salat,
puasa dan lainnya. Hal ini menjadikan al-Qusyairī prihatin dan menyusun
kitab ini. Dalam kitab ini ia dokumentasikan tentang ajaran serta biografi
para sufi tekemuka agar bisa menjadi teladan dalam memahami tasawuf.
Kitab ini terbagi menjadi beberapa bagian. Bagian pengantar membahas
dasar-dasar tauhid yang difahami para sufi. Disusul kemudian fasal
pertama yang menjelaskan beberapa istilah yang dikenal dalam ilmu
11
Abū al-Qāsim „Abd al-Karim ibn Hawazin al-Qushayrī, Laṭāif al-Ishārāt (Kairo: Dār al-
Kātib al-„Arabī, 1971).
22
tasawuf. Fasal kedua menjelaskan tahapan-tahapan menapaki jalan
tasawuf, fasal ketiga menjelaskan berbagai keadaan (ḥal) yang dialami
para sufi serta pembahasan mengenai karamah. Fasal keempat berisi
biografi para sufi yang menjelaskan riwayat hidup serta ajaran-ajaran
mereka secara singkat. Ada sekitar 83 sufi yang biografinya dicantumkan
dalam kitab ini.12
5. Ādāb al-Ṣūfiyyah;
6. Aḥkām al-Simā‟;
7. Shikāyat Ahl al-Sunnah bi Ḥikāyah mā Nālahum min al-Miḥnah;
8. Tartīb al-Sulūk;
9. Ḥayāt al-Arwāḥ;
10. Naḥw al-Qulūb al-Ṣaghīr;
11. Naḥw al-Qulūb al-Kabīr;
12. Aḥkām al-Shar‟ī;
13. Balaghat al-Maqāṣid fī al-Tasawwuf;
14. Al-Tawḥīd al-Nabawī;
15. Al-Dhikr wa al-Dhākir;
16. Sharḥ Asma al-Ḥusnā;
17. Nāsikh al-Ḥadīth wa Mansūkhuh;
18. Al-Fuṣūl fī al-Uṣūl;
19. Al-Luma‟ fī al-I‟tiqad;
20. Al-Mi‟raj;
21. Al-Munājah;
22. Al-Taḥbīr fī Tadhkīr, dan lain-lain.
Dari banyaknya ragam karya yang dibuat oleh al-Qushayrī, menunjukan
kapasitasnya sebagai ulama yang mashur. Ia juga merupakan ulama yang diklaim
yang kontroversial dan tidak menyimpang dengan pemikiran Islam, meski ia
meskipun memiliki kapasitas dan kredibilitas pemahaman yang baik.13
Luasnya pengetahuan dan keilmuanya diperoleh dari banyak gurunya
seperti: Abū „Abdurraḥman Muḥammad ibn al-Ḥusin ibn Muḥammad al-Azdī al-
12
Diakses dari http://www.habiblutfi.net/index.php/artikel/item/452-mengenal-kitab-
risalah-qusyairiyah 13
Arsyad Abrar, Memahami Tafsir Sufi Sejarah, Sumber dan Metode (Ciputat: Cinta Buku
Media, 2015), h. 72.
23
Sulamī, Abū Bakr Muḥammad ibn Ḥusain al-Ṭūsī, Ibn Furak, al-Asfarayinī, dan
lain sebagainya.
B. Kondisi Sosial Politik al-Qushayrī
Tahun 205-259 H, Naisabur menjadi pusat kerajaan Thahiriyyah.14
Di
bawah dinasti ini, Naysabur menjadi pusat peradaban dan ekonomi. Pada
perkembangan selanjutnya, terjadi pergantian dinasti yaitu dari dinasti
Thahiriyyah ke dinasti Shafariyyah15
pada tahun 254 H. Kemudian, muncul
dinasti Samaniyyah (266-389 H).Pada masa dinasti tersebut, Naysabur menjadi
pusat kota Islam dan berada dalam masa keemasan di bidang pembangun dan
pemikiran. Pada masa tersebut berkembang madzhab fiqih Ḥanafiyyah dan
Shāfi„īyyah. Akhir abad ke-4, atau memasuki abad ke-5, Naysabur menjadi pusat
ilmu tasawuf.
Melihat keadaan sosial-politik dan intelektual singkat di atas, maka
keilmuan dan pemikiran al-Qushayrī mendapat pengaruh yang besar oleh keadaan
sosial-politik dan intelektual pada masa itu. Dalam pengaruh-pengaruh tersebut,
al-Qushayrī menjadi tokoh yang mensintesakan antara sisi eksoteris (syari‟at)
dengan sisi esoteris (tasawuf) Islam. Hal ini akan tercermin dalam komentarnya di
dalam tafsirnya.
Secara kategoris, tafsir dapat dipetakan menjadi dua pengertian, yakni
tafsir sebagai produk dan tafsir sebagai proses. Tafsir sebagai produk
14
Kerajaan Thahiriyyah merupakan kerajaan pertama yang mendirikan Negara semi-
independen di sebelah timur Baghdad yang dipimpin oleh Ṭāhir ibn al-Ḥusayn dari Khurasan.
Lihat Philip K. Hitti, History of The Arab (Jakarta: PT. Serambi Ikmu Semesta, 2010), h. 585. 15
Dinasti ini bermula di Sijistan yang berkuasa d Persia selama 41 tahun (867-908),
didirikan oleh Ya‟qub bn al-Laits al-Shaffar. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arab, h. 586.
24
(interpretation as product) adalah tafsir yang merupakan hasil dialektika seorang
mufassir dengan teks dan konteks yang melingkupinya, yang kemudian ditulis
dalam kitab-kitab tafsir, baik secara lengkap 30 juz, maupun hanya sebagian saja
dari ayat al-Qur‟an. Sementara tafsir sebagai proses (interpretation as process)
adalah aktivitas berfikir terus menerus yang dilakukan untuk mendialogkan teks
al-Qur‟an dengan realitas yang berkembang. Dialog komunikasi antara teks al-
Qur‟an yang terbatas dengan konteks yang tak terbatas selalu dilakukan oleh
mufassir sehingga tafsir merupakan sebuah proses yang tidak pernah selesai
sampai hari kiamat. Artinya, tafsir dalam pengertian ini bersifat dinamis karena
memang dimaksudkan untuk menghidupkan teks dalam konteks yang terus
berubah dan berkembang.16
C. Profil Kitab Laṭāif Al-Ishārāt
Secara umum, tafsir Laṭāif al-Ishārāt karya Abū al-Qāsim „Abd al-Karīm
ibn Hawazin ibn „Abd al-Mālik Zain al-Islām al-Qushayrī al-Naisābūrī, dikenal
dengan nama al-Qushayrī adalah tafsir al-Qur‟an lengkap 30 juz, yang terdiri dari
6 jilid yang diterbitkan oleh Dār al-Kātib al-„Arabī Kairo tahun 1971M., dengan
pen-taḥqīq Ibrāhīm Basūnī dan kata pengantar Ḥasan „Abbās Zakī.17
Adapun rincian setiap jilidnya sebagai berikut:
1. Jilid 1 berisi: pengantar, pembahasan tentang penasiran surat al-
Fatiḥah – surat Ali „Imrān.
2. Jilid 2 berisi: pembahasan penasiran surat al-Nisā` - al-Anfāl
16
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta:LKIS, 2010), h. 32. 17
Abū al-Qasim „Abd al-Karim ibn Hawazin al-Qushairī, Laṭāif al-Ishārāt (Kairo: Dār al-
Kātib al-„Arabī, 1971).
25
3. Jilid 3 berisi: pembahasan penasiran surat al-Taubah – al-Naḥl.
4. Jilid 4 berisi: pembahasan penasiran surat al-Isrā` - al-Furqān
5. Jilid 5 berisi: pembahasan penasiran surat al-Shu‟arā – al-Fatḥ
6. Jilid 6 berisi: pembahasan penasiran surat al-Ḥujurāt – al-Nās
Para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an menggunakan
metode penafsiran18
yang bermacam-macam sesuai dengan kecenderungannya
masing-masing, sosio-kultur, dan backgroud keilmuan yang mereka tekuni. Untuk
itu, sebelum menjelaskan metode al-Qushayrī dalam menafsirkan al-Qur‟an,
terlebih dahulu penulis perlu jelaskan diskursus tentang metode penfsiran, agar
dalam menganalisa metode penafsiran al-Qushayrī menjadi komprehensif dan
valid.
Berkaitan dengan metode penafsiran, sejauh pengamatan penulis telah
terjadi perbedaan format antara ulama yang satu dengan yang lain. Hal ini
misalnya ada di antara mereka yang membagi metode tafsir kepada tiga bagian,
yaitu: Metode tafsīr bi al-Ma‟thūr,bi al-ra‟yī, dan bi al-Ishārī.19
Sementara ulama
lain, seperti yang dipelopori oleh al-Farmawī membagi metode penafsiran kepada
empat macam, yaitu: Taḥlīlī, Ijmālī, Muqaran, dan Mauḍū‟ī.20
Terkait hal ini,
penulis dalam penelitian ini mengikuti metodenya al-Farmawi.
18
Metode penafsiran adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud oleh Allah swt. di dalam ayat-ayat al-Qur‟an.
Hal ini memberikan gambaran bahwa metode penafsiran merupaan perangkat dan tata kerja yang
digunakan oleh seseorang mufassir dalam proses penafsiran al-Qur‟an. Nasruddin Baidan,
Metodologi Penafsiran al-Qur‟an (Yogyakarta;Pustaka Pelajar,1998), h.2 19
Quraish Shihab sebagaimana dikutip oleh Gusmian, pernah menyebut tafsir bi al-
Ma‟thur sebagai corak, ditempat lain ia menyebutkan sebagai cara, pendekatan. Dan bi al-Ma‟thur
ini dikelompokkan ke dalam bagian metode tahlili. Lihat Islah Gusmian, Khazanah tafsir
Indonesia;Dāri Hermeneutik hingga Idiologi (Bandung:Teraju, 2003), h.113. 20
Abū Ḥayy Al-Farmāwī (selanjutnya disebut al-Farmāwī), Al-Bidayah fīTafsīr al-
Mauḍū‟ī, terjemahan:Suryan A. Jamrah (Jakarta:PT. Raja Grafindo,1996), h. 11.
26
Sebagaimana telah disinggung di atas, al-Qushayrī sebagai seorang yang
mempunyai backgroud sufi, secara metodis ia tidak membatasi hanya menafsirkan
makna lahir ayat yang bertumpu pada analisis bahasa saja, tetapi juga berusaha
menyingkap makna batin yang yang terdapat dari ayat tersebut. Penyingkapan
makna batin suatu ayat erat kaitannya dengan riyazah dan mujahadah. Hal itu
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibrāhīm Basūnī:
Bahwa tafsir ishari sangat erat kaitannya dengan riyazah dan mujahadah
yang dapat dihasilkan dengan kesucian hati dan ia merupakan buah dari
dua hal penting, yaitu perbuatan manusia yang bersifat kasbī dan karunia
Ilahī yang bersifat given.21
Jika bertitik tolak dari pandangan al-Farmāwī yang mengklasifikasikan
metode tafsir kepada empat bagian: taḥlīlī, ijmālī, muqāran dan mawḍū‟ī, maka
kitab tafsir Laṭāif al-Ishārāt menggunakan metode taḥlīlī, yakni menafsirkan al-
Qur‟an ayat per ayat dan surat demi surat secara berurutan sesuai dengan tartib
mushafi.22
Penafsiran tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandug ayat
yang ditafsirkan, mulai dari kosa kata, konotasi kalimat, Asbāb al-Nuzūl,
munasabah, dan pendapat-pendapat mengenai ayat tersebut baik dari Nabi saw.,
sahabat, tabiin atau ahli tafsir lainnya.23
Adapun metodologi al-Qushayrī dalam tafsirnya adalah:24
1. Membahas keseluruhan ayat al-Qur‟an
Kitab Laṭaif al-Ishārī memuat tafsiran dari keseluruhan ayat al-Qur‟an.
Hal ini berbeda dengan kitab tafsir bercorak sufi seperti Tafsīr al-Sulamī.
21
Ibrāhīm Bashūnī, al-Imām al-Qushairī:Sirātuh, Asāruh, madhhabuh fī al-Taṣawwuf
(Kairo:Majma‟ Buḥūs al-Islamiyyah,1972), h. 109. 22
Al-Farmāwī, al-Bidayah fīTafsīr al-Mauḍū‟ī, h. 11. 23
Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an, h.13 24
Musa‟id Muslim Ali Ja‟far, Manāhij al-Mufassirin (), h.228.
27
2. Mengungkapkan nilai-nilai tasawwuf
3. Tidak terjebak dengan permainan kata
4. Menjelaskan sisi fiqih
Tafsir Laṭaif al-Ishārī bisa juga disebut tafsir yang menggabungkan antara
tasawuf dan fiqih. Walau secara umum dalam tafsir ini tidak membahas
fiqih secara detail, tapi terkadang menjelaskan secara panjang dengan
menyertakan riwayat yang mendukung.25
Adapun ketika menjelaskan
masalah fiqih, maka hanya sebatas anjuran untuk mengungkapkan makna
batin dan mengetahui subtansinya. Contohnya ketika menafsirkan QS. al-
Isrā` [17]: 78.26
اللص ا ع بلعقفالعكتععاةلالص .وةجنمالعل مففععرةاللالص .وقزعال بةرويعدقعتر العدىشمفع وجعالن طسىالعفعرالعيىلقير. أى. ةلالص توعفر قداعدبععلعلنعكيل ات. مةليرعلالعومعيرالعفعطسبالعلإع
Shalat adalah kunci perbendaharaan dari pintu rizki. Shalat adalah wukūf
(berhentinya) hati yang terasyikkan di dalam munajat (pengharapan).
Shalat adalah istirahatnya hati di dalam merenungi kehendaknya dan
dikatakan shalat adalah berhentinya hati untuk menggapai ridha ilahi.
Adapun perbedaan waktu shalat agar hamba kembali kepada kesucian diri
pada kesinambungan siang dan malam.
5. Memuat bagian khusus yang disebut faṣl
Faṣl di tafsir Laṭaif al-Ishārī adalah bagian yang berisi pembahasan dan
uraian yang penting.
25
Contoh ketika menafsirkan persoalan bismillāh. 26
QS. al-Isrā` [17]: 78.
Artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh[865]. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).”
28
6. Menjelaskan sisi bahasa27
Seperti ketika membahas huruf “ba” dalam kata bismillah. Menurutnya,
huruf ba merupakan huruf taḍmin yang maksudnya bahwa dengan Allah
muncul segala yang baru, dengan-Nya ada makhluk dan tidak ada segala
yang ada di dunia kecuali karena adanya Allah.28
D. Manhaj Al-Qushayrī dalam Tafsirnya
Dalam teorinya al-Qushayrī lebih mengkompromikan dan menggabungkan
antara sisi zahir teks dan nilai batinnya. Karena kedua hal tersebut merupakan
dasar yang harus seimbang. Hal ini menunjukan bahwa ulama sufi tidak
selamanya identik dengan makna yang tidak terjangkau akal.29
Dalam tafsirnya,
kata ishārat atau isyarat adalah kata yang banyak ditemukan. Hal ini bisa
dijadikan karakteristik yang menunjukan bahwa ia bermaksud memunculkan
makna terdalam dari al-Qur‟an. Ia juga sangat sadar dengan banyaknya
menyertakan kata isyarat ini karena sangat penting. Karena pada masa nabi dan
sahabat pun telah ada tafsir ishārī yang menitik beratkan pada isyarat terdalam al-
Qur‟an seperti disebutkan al-Dhahabī.30
27
Terkait pembahasan bahasa, al-Qushayrī memberikan penjelasan bahwa bahasa punya
sisi spiritual yang berdampak kepada pemahaman yang berbeda dengan tafsir atau pemahaman
yang umum. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sisi spiritual berbeda dengan apa yang ada
dikajian sastra, karena sisi spiritual bahasa didapat secara intuitif. Lihat Arsyad Abrar, Memahami
Tafsir Sufi Sejarah, Sumber dan Metode, h. 106. 28
Al-Qushayrī, Laṭāif al-Ishārāt, jilid 1, h. 56. 29
Arsyad Abrar, Memahami Tafsir Sufi Sejarah, Sumber dan Metode (Ciputat: Cinta Buku
Media, 2015), h. 114. 30
Muḥammad Ḥusayn al-Dzahabī, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn (Kairo: Maktabah Wahbah,
2000), h. 261.
29
Walaupun banyak menggunakan kata isyarat, al-Qushayrī juga terkadang
langsung menjelaskan makna ayat tanpa menggunakan kata isyarat.31
Salah
satunya ketika ia menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 3, yang menyebut bahwa
hakikat iman adalah pembenaran (taṣdīq) dan penerapan (taḥqīq).32
Dalam menjelaskan isyarat al-Qur‟an dalam penafsirannya, al-Qushayrī
menggunakan metode penyajian yang bermacam-macam. Di antaranya adalah
sebagai berikut:
1. Pembahasan bahasa
Di dalam tafsirnya al-Qushayrī bertujuan menemukan isyarat-isyarat dan
rahasia simbolik sesuai yang dilakukan oleh ahli mujahadah dan alur iradah, dan
menyerukan jalan hakikat. Pada sisi lain, ketika menafsirkan suatu ayat, langkah
pertama yang ia lakukan adalah tetap berpegang pada metode umum, yakni
menafsirkan ayat dengan pendekatan lughāwī,33
langkah selanjutnya baru ia
menafsirkan dengan pendekatan ishārī. Sebagai contoh ketika ia menafsirkan QS.
al-Baqarah [2]: 193.
Isyarat yang dapat diambil dari ayat tersebut adalah tentang
mujāhadahdiri. Karena musuhmu itu adalah dirimu sendiri yang ada
disampingmu. Maksudnyadapatkanlah metode riyadhah sehingga tidak
ada sesuatu yang tersisa dari sisi manusiawi……….34
31
Arsyad Abrar, Memahami Tafsir Sufi Sejarah, Sumber dan Metode, h. 114. 32
Al-Qushayrī, Laṭāif al-Ishārāt, jilid 1, h. 68.. 33
Terkait pembahasan lughawi atau bahasa, al-Qushayrī memberikan penjelasan bahwa
bahasa punya sisi spiritual yang berdampak kepada pemahaman yang berbeda dengan tafsir atau
pemahaman yang umum. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sisi spiritual berbeda dengan apa
yang ada dikajian sastra, karena sisi spiritual bahasa didapat secara intuitif. Lihat Arsyad Abrar,
Memahami Tafsir Sufi Sejarah, Sumber dan Metode, h. 106.
Adapun contoh pembahasan bahasa adalah ketika membahas huruf “ba” dalam kata
bismillāh. Menurutnya, huruf ba merupakan huruf taḍmin yang maksudnya bahwa dengan Allah
muncul segala yang baru, dengan-Nya ada makhluk dan tidak ada segala yang ada di dunia kecuali
karena adanya Allah. 34
Al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt, Juz I, h.173.
30
Selain itu, al-Qushayrī juga berargumen bahwa setiap lafal dan huruf-
huruf al-Qur‟an mempunyai makna yang selalu baru, meskipun terulang-ulang
lafal, huruf dan ayatnya. Sebagai contoh tentang kalimat basmalah yang diulang
diawal setiap ayat kecuali surat al-Taubah, menurutnya mempunyai maksud dan
isyarat yang khusus bagi surat yang dibukanya.35
Ia mengatakan diawal tafsirnya ketika menafsirkan surat al-Fātiḥaḥ :
Maka ketika Allah swt. mengulang ayat ini yakni bismillāhi al-raḥmān al-
raḥīm dalam setiap surat dan menetapkan bahwa dalam setiap surat
tersebut Allah swt. ingin kami menyebutkan isyarat-isyarat ayat ini
dengan kata yang tidak diulang dan isyarat yang tidak berlawanan.36
Selanjutnya, al-Qushayrī juga tidak meninggalkan pembahasan mengenai
I‟rab bahasa. Seperti ketika menafsirkan QS. al-Fatiḥah [1]:
مضعالتفعحاللمسعافعءالب ،تعلاملخعتدجووا،وتثدالتهظللايع؛أيععنع،مقعسنعملصح،وقعلمعثدحنعممف ،درموجحنعميعغ،وبغوثأويعق العنم،وملكوق الع،وهدعجوق لعال إ-للعومكح،وللطومسعر،وجشومنعوفتععانعمفعوا،ود العنمدحجوا،ووح دنعوجدموب،فهدععق العلإ،وهؤدعا
.فتررعانعمل فتوا،و
Huruf ba (huruf tadmin) di dalam lafaz bismillāh. Maksudnya, dengan
Allah muncul segala yang baru dengan-Nya juga ada seluruh makhluk, dan
tidaklah ada segala yang ada di dunia ini kecuali dengan keberadaan diri-
Nya. Kerajaan Allah nyata, wujud Allah nyata dari Allah semua berawal
dan kembali kepada Allah. Karena Allah (ia) mengetahui orang yang
mengesakan dan karena (ia) Allah ia mengetahui orang yang melanggar
hukum, ia tahu orang yang berdosa yang mengakui dosanya dan (ia) Allah
mengetahui orang yang gagal dalam beribadah.
Meskipun membahas perihal bahasa, tapi tidak terjebak pembahasan yang
panjang, dan hanya menjelaskan secara singkat.
35
Musa‟id Muslim Ali Ja‟far, Manahij al-Mufassirin, h. 229. 36
Al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt, Juz I, h. 56.
31
2. Menjelaskan sisi fiqih
Tafsir Laṭaif al-Ishārī bisa juga disebut tafsir yang menggabungkan antara
tasawuf dan fiqih. Walau secara umum dalam tafsir ini tidak membahas fiqih
secara detail, tapi terkadang menjelaskan secara panang dengan menyertakan
riwayat yang mendukung.37
3. Memuat bagian khusus yang disebut faṣl
Faṣl di tafsir Laṭaif al-Ishārī adalah bagian yang berisi pembahasan dan
uraian yang penting.
4. Menafsirkan dengan ayat lain
Di banyak tempat, dalam penafsirannya al-Qushayrī menggunakan ayat
lain untuk menguatkan pendapatnya. Cotoh dalam menafsirkan QS. al-Baqarah
[2]: 8.
حملاونكنعمعالنعمعالرعأتعد تم لو أهنرعمهعلص هعه تريعذال فعالن نمثركعنفقيفالد رعكللعترون ،لهيرعف
امل فلمنالن ر{]النسء::}إن لعل[و541السع
.معهاارذعدعدزعيرلعمعهرفنعدممللقيرو :}واللللعتراللن إ،فالرعالعقدعصمعهععفنرعيرلعالحعالقدعاصع
ن{ نفقيلكذاهدإن امل ن:يشع [5]املنفق
Dan ketika ucapan-ucapan mereka sunyi dari makna (tak berarti yang ada
hanya dosa yang mereka lakukan kepada Allah, banyak memberikan efek
keraguan-raguan/ khayalan/ angan-angan karena Allah berfirman:
“sesungguhnya orang munafik mereka tentu tidak bertambah dosa”.
Ketika meniadakan ruhani yang benar masa perkataannya tidak bisa memberi
manfaat. Allah berfirman: “Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-
orang munafik itu benar-benar orang pendusta.”
37
Contoh ketika menafsirkan persoalan bismillāh.
32
5. Menafsikan dengan menggunakan hadis nabi
Selain menafsirkan dengan ayat lain, al-Qushayrī juga menggunakan hadis
nabi untuk menjelaskan makna al-Qur‟an. Contoh dalam menafsirkan QS. al-
Baqarah [2]: 7.
دوعرونععمعهارعلرتعلغشمعبعلرفعلئسملعاتقيرعقتعنلعجومعلالعاطخفاصم الأوذ،لصالعصلكلذن إ،وةطاسولامعهيعلعق العارسعأ الللىصالللعسرلامل سوويعلع « عممالعفعنكدعقل: ثر العذهفر«معفرتعم أفعنعكينعإفنمد د ثحما
ارنعمصعصمعمعلعالعبحصن أمكاصالعنمصعصمع .امالعيع
Maka adapun orang-orang yang khawās. Maka terbersitnya pengetahuan,
sehingga pengetahuan itu menjadi pem-filter (pemeriksa) masalah-masalah
dalam hatinya sehingga hatinya sibuk dengan wirid yang menghantarnya
tersingkapnya rahasia tanpa perantara dan itu hanya dicapai bagi hamba
yang khusūsi al-khusūs karena Nabi saw. bersabda: “sesungguhnya tiap-
tiap umat terdapat “muḥaddathūn” (orang yang diberi ilham). Maka jika
mereka dari umatku di dalamnya Umar ibn Khaṭṭāb adalah termasuk
kelompok tersebut. Orang yang diberi ilham ini khusus dari hamba yang
istimewa sebagaimana orang yang berilmu dikhususkan dari orang yang
awam (orang yang tidak berilmu).
Penafsiran al-Qushayrī di atas menunjukkan bahwa ketika ia menjelaskan
makna ayat terkadang memuat dan menampilkan hadis sebagai rujukkan.
33
BAB III
KOMUNIKASI DAN TAFSIR SUFI
A. Tinjauan Komunikasi
1. Pengertian Komunikasi
Secara etimologi, komunikasi mempunyai arti hubungan atau
perhubungan. Istilah “komunikasi” berasal dari bahasa Latin, yaitu
“communicatio” akar katanya “communis” yang berarti “sama”, dalam arti
“sama makna”, yaitu sama makna mengenai suatu hal.1
Sedangkan secara istilah, banyak yang memberikan penjelasan. Di
antaranya Teuku May Rudy yang menjelaskan bahwa komunikasi merupakan
proses penyampaian pengertian, informasi-informasi, pesan-pesan, atau gagasan
dengan menggunakan lambang-lambang yang mengandung arti atau makna,
secara verbal ataupun non verbal dari seseorang atau sekelompok orang kepada
seseorang atau kelompok lain agar mencapai pengertian atau kesepakatan
bersama.2 Kesepakatan bersama menjadi penting karena keberlangsungan
komunikasi berjalan baik, jika terdapat kesamaan makna mengenai suatu yang
dikomunikasikan.3
Komunikasi, biasanya mempunyai tujuan-tujuan khusus. Tapi, terkadang
komunikasi juga tidak mempunyai tujuan khusus, seperti sekedar memberi salam
1 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000),
cet. IV, h. 3. 2 Teuku May Rudy, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Internasional (Bandung: PT
Refika Adimata, 2005), h. 1. 3 Syaiful Bahri Djamarah,, Pola Komunikasi Orang Tua & Anak dalam Keluarga
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), h .11.
34
dan bertegur sapa. Adapun komunikasi yang mempunyai tujuan khusus sering
diistilahkan dengan komunikasi dalam pengertian paradikmatik.
Komunikasi dalam pengertian paradikmatik merupakan proses
penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain dengan tujuan memberi
tahu, memberikan pendapat (opinion), mengubah sikap (attitude) atau mengubah
perilaku (behavior) baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui
media.4
Jadi, pada umumnya komunikasi adalah proses menyampaikan suatu
pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Hal ini, menunjukan bahwa
komunikasi melibatkan sejumlah orang yang seseorang itu menyatakan sesuatu
kepada orang lain.5
2. Unsur-unsur Komunikasi
Dalam berkomunikasi terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Komunikator
Komunikator memegang peranan yang sangatlah penting dalam
komunikasi, karena komunikator adalah pihak yang mengirimkan pesan kepada
khalayak. Untuk itu, komunikator ini bisa disebut sebagai pengirim, sumber,
source, atau encoder.6
4 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, h. 5.
5 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, h. 4.
6 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), h. 89.
35
b. Pesan (massage)
Untuk memaknai pesan dengan mudah bisa dengan mengibaratkan ketika
seseorang berbicara, maka kata-kata yang diucapkan itu adalah pesan.7
c. Komunikan
Komunikan biasa diistilahkan dengan receiver atau penerima atau audien
adalah bagian dari target atau sasaran dari pesan.8
d. Enkoding (encoding)
Istilah enkonding dalam istilah bahasa Inggris “encoding” merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh sumber untuk menerjemah pikiran dan ide-idenya
ke dalam bentuk yang dapat diterima oleh indra penerima.9
e. Decoding (decoding)
Decoding merupakan kegiatan menerjemahkan atau menginterpretasikan
pesan-pesan fisik ke dalam suatu bentuk yang memiliki arti bagi penerima.10
f. Saluran (channel)
Saluran atau “channel” adalah jalan yang dilalui pesan sehingga pesan
tersebut sampai kepada penerima.
g. Umpan balik (feedback)
Umpan balik adalah tanggapan dari penerima pesan (komunikan) atas
pesan yang disampaikan.
7 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua & Anak dalam Keluarga (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2004), h. 14. 8 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua & Anak dalam Keluarga, h. 15.
9 Andy Corry Wardhany Morrisan, Teori Komunikasi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009),
h. 18. 10
Andy Corry Wardhany Morrisan, Teori Komunikasi, h. 20.
36
h. Gangguan (noise)
Unsur yang biasa terdapat pada komunikasi yang tidak boleh dilupakan
adalah gangguan. Gangguan merupakan salah satu unsur yang mengintervensi
proses pengiriman pesan. Apabila terdapat banyak gangguan pada komunikasi,
dapat menghambat sampainya pesan pada tujuan.11
Walaupun unsur komunikasi banyak, tapi dalam proses sebuah
komunikasi, paling tidak terdapat tiga unsur. Adapun ketiga unsur terpentingnya
adalah komunikator, pesan dan komunikan.12
Kalau ketiga unsur tersebut
terpenuhi, maka komunikasi bisa berjalan.
2.1 Diagram Proses Komunikasi Sederhana
3. Model-model Komunikasi
a. Komunikasi Verbal
Dalam berkomunikasi setidaknya dua orang saling mengirimkan lambang-
lambang yang memiliki makna tertentu. Lambang-lambang tersebut bisa bersifat
verbal berupa kata-kata.13
Komunikasi verbal sendiri adalah suatu kegiatan
komunikasi antara individu atau kelompok menggunakan bahasa sebagai
perhubungan. Dalam prosesnya, komunikasi bisa berlangsung dengan baik bila
11
Andy Corry Wardhany Morrisan, Teori Komunikasi, h. 21-22. 12
YS. Gunadi, Himpunan Istilah Komunikasi (Jakarta: Grasindo, 1988), h. 96. 13
Supraktiknya, Komunikasi Antarpribadi Tinjauan Psikologis (Yogjakarta: Kanisius,
1995), h. 30.
KOMUNIKATOR PESAN
(massage) KOMUNIKAN
37
komunikan dapat menafsirkan secara tepat pesan yang disampaikan oleh
komunikator melalui bahasa dalam bentuk kata-kata atau kalimat.14
Dalam
kaitannya dengan komunikasi antara orang tua dan anak, orang tua berusaha
mempergaruhi anak baik secara pikiran atau emosi. Hal ini, memungkinkan anak
berusaha menjadi pendengar yang baik untuk menafsirkan pesan-pesan yang
disampaikan oleh orang tua tersebut.15
b. Komunikasi Non Verbal
Komunikasi non verbal adalah komunikasi yang tidak menggunakan kata-
kata. Dalam komunikasi non verbal sering dipakai orang tua dalam
menyampaikan suatu pesan terhadap anak. pesan non verbal dapat
menerjamahkan gagasan, keinginan, atau maksud yang terkandung dalam hati
tanpa harus menggunakan kata-kata. Cukup menggunakan tepuk tangan, pelukan,
usapan tangan, dan sebagainya mampu mengekspresikan maksud, gagasan,
ataupun keinginan.16
c. Komunikasi Tulisan
Komunikasi tulisan adalah proses penyampaian pesan, dimana tidak
menggunakan kata-kata dalam pengucapkannya mereka hanya menggunakan
bahasa-bahasa non verbal, dan salah satunya adalah menyampaikan pesan secara
tertulis. Komunikasi tulisan ini salah satu yang digunakan dalam menjalin
komunikasi dalam antara orang tua dengan anak dalam suatu hubungan
14
Sayiful Bahri Jamarah, Pola Komunikasi Orang Tua & Anak dalam Keluarga, h. 43. 15
Sayiful Bahri Jamarah, Pola Komunikasi Orang Tua & Anak dalam Keluarga, h. 44. 16
Sayiful Bahri Jamarah, Pola Komunikasi Orang Tua & Anak dalam Keluarga, h. 45.
38
keluarga.17
Komunikasi ini mempunyai peran untuk menyampaikan pesan kepada
orang lain yang terkendala dengan jarak.
d. Komunikasi Simbol
Komunikasi yang terungkap lewat simbol adalah komunikasi lewat
ekspresi wajah, bahasa dan gerak tubuh, pemberian atau hadiah, menumbuhkan
kata-kata untuk menjelaskannya. Simbol merupakan dukungan yang bagus dan
penting dalam berkomunikasi. Tapi, penggunaan simbol tanpa kata-kata tidak
dapat digunakan dengan baik. Simbol bisa berfungsi dengan baik dalam
komunikasi bila disertai kata-kata sebagai penjelas.18
Dari beberapa model komunikasi di atas, pada penelitian ini difokuskan
kepada komunikasi verbal antara orang tua dengan anaknya. Untuk itu, penting
diketahui bahwa al-Qur‟an juga telah menunjukan prinsip-prinsip penyampaian
pesan melalui komunikasi lisan atau verbal yang diistilahkan dengan khiṭābah.
Sebagian besar komunikasi lisan ini diungkapkan dengan kata qāla (قال), naṭiqa
( قطن ) dan kalama ( مكل ) atau takallama (تكل م). Kata qāla dengan turunannya disebut
1722 kali di dalam al-Qur‟an pada 141 ayat dalam 57 surah. Naṭiqa disebut
dengan turunan katanya disebut 12 kali terdapat pada 16 ayat dalam 11 surah.
Sedangkan kata kallama dan takallama dengan berbagai turunan katanya disebut
75 kali terdapat pada 72 ayat dalam 35 surah.19
17
Sven Wahlroos, Komunikasi Keluarga: Panduan Menuju Kesehatan Emosional dan
Hubungan Pribadi yang Lebih Baik (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2002), h. 24. 18
Sayiful Bahri Jamarah, Pola Komunikasi Orang Tua & Anak dalam Keluarga, h. 46. 19
Muchlis Hanafi, Komunikasi dan Informasi (Tafsir Tematik) (Jakarta: Lajnah
Pentashihan, 2011), cet. I, h. 13.
39
Selain itu, al-Qur‟an juga menunjukan beberapa pola komunikasi verbal.20
Seperti:
1) Qaulan balīghā yaitu komunikasi yang efektif
Seperti pada QS. Al-Nisā`[4]: 63.
Artinya:
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di
dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan
berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan
yang berbekas pada jiwa mereka.
2) Qaulan karīmā yang merupakan komunikasi yang tidak merendahkan
komunikan
Seperti pada QS. Al-Isrā` [17]: 23.
Artinya:
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau
Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka Perkataan yang mulia.
20
Muchlis Hanafi, Komunikasi dan Informasi, cet. I, h. 15.
40
3) Qaulan maysūrā yang merupakan komunikasi yang mudah dimengerti
Seperti pada QS. Al-Isrā` [17]: 28.
Artinya:
Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari
Tuhanmu yang kamu harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka
Ucapan yang pantas.
4) Qaulan ma‟rūfā yaitu komunikasi yang baik dan simpatik
Seperti pada QS. Al-Baqarah [2]: 235.
Artinya:
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka)
dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin
dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada
mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu;
Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun.
41
Seperti pada QS. Al-Nisā`[4]: 5.
Artinya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan
pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-
kata yang baik
Pada QS. Al-Nisā`[4]: 8.
Artinya:
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan
orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik.
Pada QS. Al-Aḥzāb [33]: 32.
Artinya:
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain,
jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan
ucapkanlah Perkataan yang baik.
42
5) Qaulan layyinā yaitu komunikasi yang lembut dan rasional
Pada QS. Ṭāhā [20}: 44.
Artinya:
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang
lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut.
6) Qaulan sadīda yaitu komunikasi yang memuat informasi yang benar,
jujur dan apa adanya.
Pada QS. Al-Nisā`[4]: 9.
Artinya:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan Perkataan yang benar.
QS. Al-Aḥzāb [33]: 70.
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
Katakanlah Perkataan yang benar.
7) Qaulan ṣaqīlan yaitu komunikasi yang berbobot dan berkualitas
Pada QS. Muzammīl [73]: 5.
Artinya:
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu Perkataan yang
berat.
43
B. Tinjauan Tafsir Sufi
1. Pendekatan Ishārī dalam Tafsir
Al-Fārmawī memberikan klasifikasi corak tafsir, antara lain; 1) Tafsir Ṣūfī
(sufistik) yaitu kecenderungan mufassir untuk mengungkap sisi mistik dalam al-
Qur‟an melalui pendekatan tasawuf. Kecenderungan ini diwarnai dua aliran dalam
penafsiran al-Qur‟an, yaitu aliran tasawuf teoritis (naẓarī) dan aliran tasawuf
praktis („amalī). 2) Tafsir falsafī yaitu kecenderungan mufassir untuk
mengungkap sisi penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan logika atau
pemikiran yang bersifat liberal dan radikal melalui pendekatan filsafat. 3) Tafsir
„ilmī yaitu kecenderungan mufassir untuk mengungkap sisi fenomena-fenomena
alam dalam al-Qur‟an dengan didukung berbagai cabang ilmu pengetahuan
melalui pendekatan ilmiah. 4) Tafsir fiqh yaitu kecenderungan mufassir untuk
mengungkap sisi hukum-hukum atau aturan-aturan dalam al-Qur‟an melalui
pendekatan fikih. 5) Tafsir adabī ijtimā‟ī yaitu kecenderungan mufassir untuk
mengungkap sisi keindahan bahasa al-Qur‟an dan mukjizat-mukjizatnya;
menjelaskan makna-makna dan maksud-maksudnya; memperlihatkan aturan-
aturan al-Qur‟an tentang kemasyarakatan; dan mengatasi persoalan-persoalan lain
dengan pendekatan sosio-kultur.21
Dari aspek corak, tafsir Laṭā‟if al-Ishārāt dikategorikan bercorak ṣūfī
ishārī.22
Ishārat secara etimologi berarti penunjukan, memberi isyarat,23
atau
21
„Abd al-Hayy al-Fārmawī, Metode Tafsir Maudhu‟i, terj. Rosihon Anwar (Bandung:
Pustaka Setia, 2002), cet. I, h. 27-37. 22
„Abd al-Hayy al-Fārmawī, Metode Tafsir Maudhu‟i, terj. Rosihon Anwar, cet. I, h. 27-
37. 23
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001),
h. 97.
44
bermakna اإليماء. Adapun ‟ishārat secara terminologi adalah apa yang ditetapkan
(sesuatu yang bisa ditetapkan/dipahami, diambil) dari suatu perkataan hanya dari
mengira-ngira tanpa harus meletakkannya dalam konteksnya (sesuatu yang
ditetapkan hanya dari bentuk kalimat tanpa dalam konteksnya).24
Menurut al-Jahīz
bahwa ‟isyarat dan lafal adalah dua hal yang saling berserikat, isyarat banyak
menolong lafal (dalam memahaminya), dan tafsiran (terjemahan) sebaik-baiknya
lafal bila mengindahkan isyaratnya, banyak isyarat yang menggantikan lafal, dan
tidak perlu untuk dituliskan.25
Sedangkan definisi Tafsīr al-Ishārī menurut Imam al-Ghazālī adalah usaha
menta‟wilkan ayat-ayat al-Qur‟an bukan dengan makna zahirnya malainkan
dengan suara hati nurani, setelah sebelumnya menafsirkan makna zahir dari ayat
yang dimaksud.26
„Alī al-Ṣabūnī mendefinisikan Tafsīr al-Ishārī dengan pena‟wilan al-
Qur‟an yang berlainan dengan sisi Zahirnya, sebab isyarat-isyarat yang
tersembunyi yang tampak kepada sebagian orang yang berilmu, atau orang yang
ma‟rifat kepada Allah karena sulūk dan mujāhadah, juga dari seseorang yang
Allah berikan cahaya kepada penglihatannya, kemudian mereka mendapatkan sisi-
sisi tersembunyi al-Qur‟an dengan jalan ilhām al-Ilahi, atau fatḥ al-Rabbānī
24
Muslich Maruzi, Wahyu Al-Qur‟an, Sejarah dan Perkembangan Ilmu Tafsir (Jakarta:
Pustaka Amani, 1987), h. 78. 25
Khalid Abdur Rahman, Uṣūl al-Tafsīr wa Qawā‟iḍuhu (Damaskus: Dār al-Nafais,
1994), h. 207. 26
Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir, Berinteraksi dengan Alquran versi Imam Al-Ghazali,
(Bandung: Citapusaka Media, 2007), h. 190.
45
bersamaan dengan berkumpulnya antara batin dan zahir maksud dari ayat al-
Qur‟an al-Karīm.27
Dengan kata lain Tafsīr al-Ishāri adalah suatu tafsir yang mufassir-nya
berpendapat dengan makna lain tidak sebagai yang tersurat dalam al-Qur`an,
tetapi penafsiran tersebut tidak diketahui oleh setiap manusia kecuali bagi mereka
yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh Allah. Tafsir ini banyak dicetuskan
oleh para Sufi karena itu nama lain dari tafsir ini adalah Tafsīr Ṣūfi.28
a. Legalitas Pemakaian Tafsīr al-Ishāri
Golongan yang membolehkan Tafsīr al-Ishārī ini juga berpegang pada
tafsiran Ibn „Abbas ketika menafsirkan QS. Al-Naṣr [110]: 1.
Artinya :
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.
Ayat ini ditafsirkan oleh Umar Ibn al-Khaṭṭāb bahwa Allah swt. menyuruh
manusia untuk memuji-Nya, meminta ampun kepada-Nya apabila Allah
27
Muhammad Ali al-Ṣabunī, Al-Tibyān Fī „Ulūm al-Qur`ān (Jakarta: Dār al-Kutūb al-
Islamiyyah, 2003), h. 171. Definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dijelaskan oleh al-
Zarqānī. Lihat Muḥammad „Abd al-„Aẓīm al-Zarqānī, Manāhil al-„Irfān fī Ulūm al-Qur‟ān
(Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arabī, 1995), h.66 juz 2. 28
Al-Dzahabi lebih memakai istilah tafsīr ṣūfi yang lebih umum. Karena tafsīr al-ishārī
menurutnya, bagian Dāri tafsīr ṣūfi. Ia membagi tafsir ṣūfī kepada dua kategori, yakni tafsīr
ṣufinaẓarī dan tafsīr ṣūfī fayāḍī atau isḥārī. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa ada beberapa
perbedaan antara tafsīr ṣufi naẓarī dan tafsīr ṣūfī isḥārī, yakni:1) tafsir ṣūfī naẓārī terstruktur atas
pengetahuan ilmiah yang lahir Dāri fikiran seorang sufi kemudian menafsirkan al-Qur‟an setelah
itu, sedangkan tafsir ṣūfī ishārī tidak bersanDār pada pengetahuan ilmiah tetapi bersanDār pada
riyāḍat al-rūhiyyah yang didapat seorang sufi sampai mencapai derajat kashf; 2) bahwa tafsir ṣūfī
naẓārī penafsirnya memandang setiap ayat mempunyai kemungkinan makna, dan bukan di
belakang makna lain yang kemungkinan ayat tersebut membawa kepadanya. Sedangkan tafsir ṣūfī
ishārī, seorang sufi tidak memandang setiap penafsiran adalah yang dikendaki ayat, tetapi ia
memandang bahwa ada makna lain yang dimungkinkan Dāri ayat tersebut sebagai makna lahir
yang tersusun Dāri fikiran. Lihat Muḥammad Ḥusain al-Dzahabī, Al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), h. 252 dan 261. Adapun ulama lain seperti al-Zarqānī lebih
memilih menggunakan satu term yaitu tafsir ishārī. Lihat Muḥammad „Abd al-„Aẓīm al-Zarqānī,
Manāhil al-„Irfān fī „Ulūm al-Qur`ān, juz 2, h. 66.
46
swt. menolong dan memberi kemenangan, sedangkan Ibn Abbas berpendapat
bahwa itu menunjukkan bahwa Allah swt. memberitahu Rasul tentang ajalnya
sudah dekat, artinya Allah berfirman “Apabila telah datang pertolongan dan
kemenangan” maka itu pertanda ajalmu telah dekat (isyarat) “maka bertasbihlah
kepada Tuhanmu dan meminta ampunlah kepadanya (ayat)”. Umar saja lalu
berkata; “saya tidak mengetahui hal itu kecuali apa yang kamu katakan”.29
dalam
riwayat tersebut, penafsiran Ibn „Abbas bertentangan dengan „Umar, „Umar
menafsirkan secara makna tersurat ayat tersebut, sedangkan Ibn Abbas
menafsirkan ayat tersebut dengan makna tersirat (Tafsīr al-Ishārī) yang Allah
ilhamkan bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan „Umar pun mengakui
tafsiran Ibn „Abbas tersebut.
„Abdullāh Ibn „Abbās juga pernah berkata; “al-Qur‟an punya rasa sedih
dan seni (bisa diartikan cabang), punggung dan perut (yang jelas dan yang samar),
seluruh keajaibannya tidak akan tercapai, batasnya tidak akan terjalani, maka
barang siapa yang memasukinya dengan ramah (punya sandaran) maka ia akan
selamat, tapi barang siapa memasukinya dengan kasar (tidak punya pegangan)
maka ia akan celaka. Al-Qur‟an juga punya kabar, permisalan, halal dan haram,
nasikh dan mansukh, muhkam dan mutsyabih, zahir dan batin, zahirnya adalah
bacaannya (yang zahir adalah seperti yang tertulis ) dan yang bathin adalah ta‟wil,
karena itu pergaulilah ulama (untuk mengetahui hal itu), dan jauhilah orang-orang
bodoh.”30
29
Abū Abdillah Muhammad Ibn Ismā‟il Al-Bukhāri, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut:Dār Ibn
Kathīr, 2002), Kitab al-Tafsīr, bab Surat Idzā Jā`a Naṣrullah wa al-Fatḥ, hadis ke-4970, h. 1269-
1270. 30
Khalid Abdur Rahman, Usul Tafsir …, h. 208.
47
b. Prasyarat Tafsīr Al-Ishārī
Banyak ulama yang berpendapat bahwa tafsir isharī itu tidak boleh, karena
khawatir membuat kebohongan tentang Allah swt. dalam menafsirkan wahyunya,
tanpa ilmu ataupun petunjuk dan bukti yang jelas. Sedangkan ulama lain
berpendapat bahwa tafsir ini boleh, menetapkan beberapa syarat yaitu:
Adapun beberapa syarat-syarat tafsir ishārī adalah di antaranya:
1) Tidak bertentangan dengan makna (zhahir) ayat;
2) Maknanya sendiri shahih;
3) Pada lafaz yang ditafsirkan terdapat indikasi bagi (makna isyari)
tersebut;
4) Antara makna isyari dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat;
5) Tidak ada pertentangan antara syariat dan akal;
6) Tidak mengacaukan pemahaman manusia;
7) Tidak ada ta‟wil yang jauh lagi bodoh.31
Menurut „Alī ibn Abī Ṭālib, ayat al-Qur‟an mengandung empat makna.
Yaitu ẓāhir, baṭin, ḥad dan maṭla. Ẓāhir adalah bacaannya, baṭin merupakan
pemahaman al-Qur`an, adapun ḥad merupakan ibarat dan isyarat juga termasuk di
dalamnya hal-hal yang berkaitan dengan hukum halal dan haram, sedangkat Maṭla
lebih mengarah pada apa yang dipahami oleh seorang hamba dan menjadikan al-
Qur`an sebagai ibarat dan isyarat dari hakikat-hakikat.32
Seperti dalam sebuah
hadis yang dikutip oleh al-Sulami di bawah ini:
و ر ه ظ ة ي ا ل ك , ل ف ر اح ة ع ب ى س ل ل ع نز اهلل قال : إن القرآن ا رسول عن سعود عن عبد اهلل بن م .ع ل ط م د ح ل ك ل و د ح ف ر ح ل ك ل و ن ط ب
Artinya:
Dari „Abdillah ibn Mas‟ūd dari Rasulullah saw. bersabda: sesungguhnya
al-Qur`an diturunkan dalam tujuh huruf (dialek), setiap ayat mengandung
31
Muḥammad „Ali al-Ṣabunī, Al-Tibyan, h.177. 32
Abū al-Qasim al-Qushayrī al-Naisabury, Risalatul Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf
(Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 75.
48
makna Ẓāhir dan Baṭin dan pada setiap huruf mengandung makna ḥad
(aspek hukum) dan setiap ḥad ada makna yang selalu baru (terbarukan).33
Pendapat „Alī di atas, memberikan kesan dan kepastian bahwa pendekatan
esoterik pada dasarnya adalah inti dari tafsir al-Qur`an. Sebagai contoh adalah
perbedaan sahabat Nabi saw. dalam menafsirkan QS. Al-Nasr [110]: 1. Sebagian
sahabat memahami bahwa ayat tersebut merupakan perintah Allah agar selalu ber-
taḥmid dan memohon ampun. Adapun sahabat yang lain memahami ayat tersebut
merupakan isyarat bahwa ajal Nabi saw. sudah sangat dekat.34
Apabila ketujuh syarat ini dipenuhi maka tafsir mengenai isyarat itu (tafsīr
ishārī) merupakan istinbat yang baik dan dapat diterima. Apabila syarat di atas
tidak dipenuhi, maka tafsīr ishārī tidaklah dapat diterima, yang juga berarti
merupakan tafsir berdasarkan hawa nafsu dan ra‟yu semata, yang hal ini adalah
dilarang.
Ṭāhir Ibn „Ashūr memberikan batasan-batasan untuk tafsīr al-Ishārī ini,
sebagaimana yang dikutip oleh Quraish Shihab.
Pertama, merupakan sesuatu yang serupa keadaannya dengan yang
dilukiskan ayat.
Kedua, isyarat yang lahir dari dorongan sangka baik dan optimisme,
karena bisa jadi ada satu kalimat yang darinya terlintas satu makna, tapi bukan itu
makna yang dimaksud oleh kalimat itu. makna itu hadir ke benak karena ia dinilai
penting dan selalu terlintas dalam benak sang mufassir.
33
Menurut al-Sulami: hadis di atas menurut ulama memiliki kualitas ḍaif, sebagian dari
perawinya bermasalah. Lihat Al-Sulami, Ḥaqāiq al-Tafsīr (Beirut: Dār al-Kutb al-„Ilmiyah, 2001),
21-22. 34
Al-Qushayrī, Risalatul Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf, h. 75.
49
Ketiga, isyarat berupa hikmah dan pelajaran yang selalu ditarik oleh
orang-orang yang selalu ingat dan sadar dan menarik hikmah dari apa saja yang
terbentang. Ini tentu lebih-lebih lagi dengan pengamal tasawuf ketika mereka
membaca al-Qur‟an dan merenungkan maknanya.
Setelah mengemukakan ketiga hal di atas, Ibn „Ashūr menyatakan bahwa:
“Setiap isyarat yang melampaui ketiga makna di atas, maka isyarat itu mengarah
sedikit demi sedikit ke arah penafsiran Bāṭinīyyah/kebatinan.”35
Adapun kitab-kitab tafsir yang populer karena penggunaannya dengan
„Ishārī- nya adalahTafsīr al-Qur‟ān al-„Azhīm, karya Imām al-Tustārī (w.283 H),
Ḥaqā‟iq al-Tafsīr, karya Al-Allamah al-Sulāmī (w.412 H), Arais al-Bayān fī
Ḥaqā‟iq al-Qur‟ān, karya Imām al-Shyrāzī (w.606 H), dan Tafsīr wa Ishārat al-
Qur‟ān karya Muḥy al-Dīn Ibn „Arābī (w. 560-638 H/1165-1240 M).
2. Tafsir Bāṭinī
Bathiniyyah adalah kaum yang menolak mengambil sisi zahir al-Qur‟an
(untuk menafsirkan). Mereka mengatakan bahwa al-Qur‟an mempunyai sisi zahir
dan batin. Kaum Baṭiniyyah ini terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Al-Qarāmiṭah, kelompok yang dinisbahkan kepada Ḥamdan Qaramiṭ.
b. Al-Ismā‟iliyyah, kelompok yang dinisbahkan kepada Ismail putra tertua
dari Ja‟far al-Ṣadiq. Mereka berkeyakinan kepada Imamah.
c. Al-Sab‟iyyah, kelompok yang dinisbahkan kepada jumlah angka tujuh.
Mereka berkeyakinan bahwa Imam ada tujuh yang harus diikuti.
d. Al-Ḥurmiyyah, kelompok yang dinisbahkan kepada wanita.
e. Al-Babakiyyah, kelompok yang dinisbahkan kepada Babaka al-Kharmī.
f. Al-Maḥmarah, dinamakan demikian karena mereka memakai baju
merah.36
35
Muhammad Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 371-373. 36
Muḥammad „Ali al-Ṣabunī, Al-Tibyān Fī „Ulūm al-Qur`ān, h. 185-186.
50
Madzhab al-Baṭiniyyah secara umum terpengaruh dari kaum Majusi.
Sebagian dari ta‟wil mereka yang buruk adalah ketika mereka menafsirkan surah
al-Naml ayat 16: س ود وورث داو ليمن (dan Sulaiman mewarisi Dawud). Mereka
menafsirkan “Sesungguhnya Nabi Muhammad mewarisi ilmunya kepada Imam
„Ālī.
Lalu Mereka mengatakan juga: makna al-Janabah adalah melakukan
reaksi dengan membocorkan rahasia sebelum mendapatkan tingkat kebenaran.
Mereka juga menafsirkan Makna puasa dengan menahan dari ketersingkapnya
rahasia. Mereka juga mengatakan bahwa al Ka‟bah adalah Nabi Muhammad saw.,
al-Bāb berarti „Ālī.37
3. Perbedaan Tafsir Ishārī dan Tafsir Bāṭinī
Menurut al-Ṣābunī ada beberapa perbedaan yang mencolok antara tafsīr
ishārī dan tafsīr bāṭinī, di antaranya adalah :
Pertama, tafsīr ishārī merupakan produk tafsir yang dihasilkan dari orang-
orang yang ma‟rifat kepada Allah, sedangkan tafsīr bāṭinī merupakan produk
tafsir yang bersifat kebatinan dari orang zindiq yang mendistorsi makna al-
Qur‟an.
Kedua, tafsīr ishārī tidak menolak makna zhahir ayat, tetapi mereka
menjadikannya sebagai pijakan dan dasar, sedangkan Tafsir Bāṭinī menolak
makna zhahir ayat.38
Mereka menganggap bahwa makna tersiratlah yang
37
Al-Zarqani,Manahil al-Irfan (Beirut: Dār al-Kitāb al-Azali, t.th.), juz 2, h. 63. 38
Muḥammad „Ali al-Ṣabunī, Al-Tibyân Fi Ulūm al-Qur‟an, h. 174 -175
51
dimaksud oleh ayat, mereka mengklaim makna zhahir ayat hanya untuk orang-
orang awam, dan makna batin hanya untuk orang-orang khusus.
Menurut Mani „Abd al-Ḥalim Maḥmūd, model tafsir al-Qushayrī adalah:
Dalam muqaddimah tafsirnya, al-Qushayrī sudah mengungkapkan isi tafsir
tersebut, ia berkata:
Segala puji bagi Allah swt. yang memberikan keterangan hati bagi para
awliya„nya dan yang memberikan jalan kebenaran bagi mereka yang
mengikutinya. Tuhan yang menurunkan kitab al-Furqān sebagai penjelas
dan pemberi petunjuk kepada Nabi saw. dan menjadikannya sebagai
mukjizat dan pegangan bagi para ulama sesudah Rasulullah saw. Tuhan
yang memberikan kemuliaan kitab tersebut dengan menurunkan beberapa
kisah-kisah terdahulu dan menurunkan ayat-ayat lain, ada yang muḥkam
dan dan ada yang mutashabbih, ada yang nasikh da nada yang mansukh,
ada yang berupa ancaman dan ada yang berupa peringatan. Dengan kitab
al-Qur‟an tersebut Allah swt. menjadikan sinar bagi hati para hamba dan
awliyanya, yaitu para hamba Allah swt. yang mampu memahami rahasia-
rahasia ayat-ayat al-Qur‟an yang mengandung isyarat dari Allah swt.
Mereka adalah orang-orang yang dipilih Allah swt. untuk mendapatkan
cahaya kebenaran alam ghaib yang tidak mampu didapatkan oleh
kebanyakan manusia. Allah swt. juga memuliakan mereka dengan
memberikan ilham, ucapan-ucapan mereka mudah dipahami orang lain
dan isharat al-Qur‟an yang mereka dapatkan juga mampu mereka
utarakan kepada yang lain dengan bahasa yang mudah diterima orang
banyak.
Kitab ini mengandung isyarat-isyarat al-Qur‟an dengan pemahaman ahli
ma‟rifah, baik dari ucapan mereka maupun dari kaidah yang mereka buat.
Kami membuat buku ini dengan kedua metode tersebut, buku ini dibuat
dengan gaya ringkas dan simple agar tidak membosankan, dengan
berharap kepada Allah swt. agar memberikan karunianya, agar
menjauhkan dari kesalahan,memberikan petunjuk kepada kebenaran, serta
dengan salawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad saw. seorang
rasul utusan terakhir yang membawa kepada kebenaran dan karunia Allah
swt. Kitab ini ditulis mulai dari tahun 424 H dan kita berdoa semoga Allah
swt. menyempurnakan kitab ini dengan sebaik-baiknya.
Dari pemaparan-pemapan dalam mukadimahnya, pada garis besarnya
tafsir al-Qushayrī berisi tentang pemahaman isyarat-isyarat al-Qur‟an yang
dipahami oleh ahli ma‟rifat. Isyarat yang dimaksud adalah pemahaman hikmah
52
dengan cara halus, yaitu pemahaman berdasarkan hakikat. Sekalipun pemahaman
berdasarkan hakikat, tetapi tidak keluar dari syariat. Karena hakikat yang
melenceng dari syariat tidak benar dan syariat tanpa diiringi dengan hakikat
hasilnya sia-sia.
Penafsiran al-Qur‟an dengan style seperti ini memang tabu dalam tradisi
penafsiran yang berkembang pada saat itu. Pada umumnya, penafsiran al-Qur‟an
pada saat itu dilakukan dengan prosedur dan perangkat baku, mulai dari
berpegang dengan ilmu bahasa, ilmu-ilmu tafsir dan perangkat-perangkat baku
lainnya. Tafsir ini hanya berdasarkan pengaruh dari perasaan seorang sufi dalam
memahami ayat-ayat al-Qur‟an, pemahaman-pemahanan tersebut didapat setelah
melakukan mujāhadah dengan berpegang teguh pada karunia Allah swt.39
39
Mani‟ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, terjemah: Faisal Saleh dan
Syahdianor (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2006), h. 183-184.
53
BAB IV
ANALISIS PENAFSIRAN AYAT KOMUNIKASI ORANG TUA DAN
ANAK DALAM TAFSIR LAṬĀIF AL-ISHARĀT
A. Ayat-ayat Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Tafsir Laṭāif Al-
Isharāt
Pada bab ini, penulis mengurutkan pembahasan komunikasi orang tua dan
anak sesuai pengurutan surat pada al-Qur`an musḥaf uthmanī atau tartīb musḥafi.
Untuk itu penulis memulai dengan analisis pada QS. Hūd [11]: 42 dan 45 yang
menunjukan komunikasi antara Nabi Nūh dan anaknya.
1. Komunikasi Nabi Nūḥ dengan Kan’an
Kisah Nabi Nūh di al-Qur`an diabadikan dalam banyak ayat yaitu: QS.
„Ali „Imrān [3]: 33, QS. Al-Nisā` [4]: 163, QS. al-An‟ām [6]: 84, QS. al-A‟rāf [7]:
59-62. QS. Yūnus [10]: 71, QS. Hūd [11]: 25-49, QS. Al-Anbiyā` [21]: 76-77,
QS. Al-Shu‟arā` [26]: 105-122, QS. Al-„Ankabūt [29]: 14-15, QS. Al-Ṣāffāt [37]:
75-82, QS. Nūḥ [71]: 1-28, QS. Al-Qamar [54]: 9-16, QS. Al-Mu‟minūn [23]: 23-
31, QS. Al-Mu‟min [40]: 5-6.
Nabi Nūh hidup di kalangan kaum yang menyembah berhala. Kaum
tersebut mengharap kebaikan dan menolak keburukan kepada berhala itu. Berhala
tersebut ada dinamai dengan beragam nama seperti Waddan, Suwa dan Yaghuts.
Terkadang juga menyebut Ya‟uq dan Nasyran.1 Ketika diangkat sebagai Nabi oleh
Allah, ia senantiasa menyeru kepada umatnya untuk menghentikan penyembahan
kepada berhala. Tapi upayanya tersebut selalu dapat penentangan dari kaumnya.
1 Waddan, Suwa, Yaghuts, Ya‟uq dan Nasran adalah nama-nama yang diadopsi dari kaum
Nabi Nūh kepada bangsa Arab. Lihat Muḥammad Aḥmad Jādul Mawlā, Buku Induk Kisah-kisah
Al-Qur‟an (Jakarta: Zaman, 2015), h. 32.
54
Meskipun ada juga yang mengikutinya tapi hanya sedikit dari kaumnya.
Singkatnya, kaum Nabi Nūh ini, kemudian di azab dengan bencana banjir
bandang.
Meskipun dampak banjir tersebut sangat besar terhadap umat manusia, tapi
kehendak ilahi ini menunjukkan Allah swt. menghancurkan kejahatan dan
ketidakadilan dan bukan menghacurkan kehidupan. Karena bencana ini hanya
menimpa terhadap orang-orang yang berlaku tidak adil karena mendustakan
Allah.2 Salah satu orang yang mendapat azab banjir tersebut ternyata merupakan
anak Nabi Nūh sendiri. Hal ini menarik bukan hanya karena diazabnya putranya
sendiri, tapi komunikasi antara Nabi Nūh dan anaknya ketika terjadinya azab ini
juga hal yang sangatlah menarik untuk dianalisis.
Adapun ayat yang menunjukkan komunikasi antara orang tua dan anak –
Nabi Nūh dan anaknya terdapat pada QS. Hūd [11]: 42 dan 45:
Artinya:
dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana
gunung. dan Nuh memanggil anaknya, Sedang anak itu berada di tempat
yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama Kami dan
janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir."
Makna ma‟zil, menurut al-Rāzī adalah tempat yang terpisah dari yang lain,
asalnya adalah al-„Azl yang berarti menyingkirkan dan menjauhkan. Lebih lanjut
al-Rāzī mengatakan bahwa ada tiga pendapat tentang makna Sedang anak itu
2 Muhammad Ali, Sejarah Para Nabi (Studi Banding Qur‟an Suci dengan Alkitab)
(Jakarta: Darul Kutubi Islamiyah, 2007), h. 31.
55
berada di tempat yang jauh terpencil, yaitu pertama, anak Nabi Nūh berada di
tempat yang terpencil dari perahu, karena ia mengira gunung dapat mencegahnya
dari tenggelam. Kedua, anak Nabi Nūḥ berada terpisah dari nabi Nūḥ, saudaranya,
dan kaumnya. Ketiga, ia berada terpisah dari kekafiran seakan-akan ia menyendiri
dari kaumnya, lalu nabi Nūḥ mengira keadaan seperti itu yang diinginkan
anaknya.3 Pendapat yang tidak jauh berbeda dikatakan al-Qurṭūbī tentang kalimat
Sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, ia mengatakan bahwa ada
beberapa pendapat, ada yang mengatakan anaknya terpisah dari agama nabi Nūḥ,
ada juga yang mengatakan ia terpisah dari perahu, dan pendapat terakhir
mengatakan bahwa nabi Nūḥ tidak mengetahui anaknya dalam keadaan kafir,
sehingga ia mengiranya beriman.4
Menurut al-Qushayrī, ayat di atas menjelaskan secara nyata anak nabi Nuh
as. berada di tempat terpencil, dan secara sir pun ia juga sebenarnya ada di tempat
terpencil karena ia mendahului (untuk menyelematkan diri) nabi Nūḥ as. dan
pengikutnya. Lalu nabi Nūḥ berbicara dengan ucapan yang lembut, ia berkata: Hai
anakku, naiklah (ke kapal) bersama Kami dan janganlah kamu berada bersama
orang-orang yang kafir." Ia tidak berkata: “Jangan kamu termasuk dari orang-
orang kafir”. Karena, ketika itu keadaan anaknya masih samar-samar walaupun ia
membohongi nabi Nūḥ. Kemudian dikatakan kepada nabi Nūḥ: “Wahai Nūḥ
3Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīḥ al-Ghaib (Beirut:Dār al-Fikr, 1981), juz 17, h. 241.
4Al-Qurṭūbī, al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān (Beirut:Muassasah al-Risālah, 2006), Juz 11, h.
123.
56
sesungguhnya anakmu bersama orang-orang kafir, karena ia sebelumnya
memvonis kita termasuk orang-orang kafir”.5
Artinya:
Dan Nūḥ berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku,
Sesungguhnya anakku Termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji
Engkau Itulah yang benar. dan Engkau adalah hakim yang seadil-
adilnya."
Nabi Nūḥ berdoa kepada Allah swt. bahwa anaknya termasuk dalam
orang-orang yang dijanjikan Allah untuk diselamatkan dari banjir. Dengan kata
lain, nabi Nūḥ memohon kepada allah tentang anaknya, jangan Allah jadikan
anaknya termasuk golongan kaumnya yang kafir, karena menurutnya anaknya
beriman. Di satu sisi nabi Nūḥ memohon kehancuran orang-orang kafir, namun di
sisi lain ia memohon untuk diselamatkan sebagiannya, karena anaknya tidak
tampak kekafirannya, yang tampak adalah keimanannya. Setelah itu Allah
memberitahu Nūḥ bahwa Allah lebih mengetahui keadaan anaknya dari pada Nūḥ
sendiri.6
Menurut al-Rāzī, ayat di atas menegaskan pelajaran bahwa kekeluargaan
harus bersifat agama bukan kekerabatan karena keturunan. Dalam ayat di atas
kekeluargaan penekanannya bukan karena keturunan, akan tetapi kekeluargaan
karena agama sudah tentu Allah negasikan dalam ayat di atas.7
5 „Abd al-Karīm ibn Hawāzin al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt (Mesir: Matba‟ah al-
Thaqafah, 1970), juz 3, h.137. 6 Al-Qurṭūbī, al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, Juz 11, h. 133.
7 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīḥ al-Ghaib, juz 18, h. 3.
57
Nabi Nūḥ meminta berbicara dengan Allah swt. tentang anaknya dan
memohon dibelaskasihani, maka ia berkata: “Sesungguhnya anakku termasuk
keluargaku.” Lalu Allah swt.berkata kepada Nabi Nūḥ: “Sesungguhnya ia bukan
termasuk bagian keluargamu, walau secara nasab dan darah, ia adalah
keluargamu. Karena ia telah melakukan perbuatan yang tidak baik.8
2. Komunikasi Nabi Ya’qūb dengan Anaknya
Nabi Ya‟qūb merupakan anak dari Nabi Ishak dari istrinya yang bernama
Rafiqah binti Nahur yang merupakan anak pamannya sendiri. Nabi Ya‟qūb
memiliki saudara kembar yang bernama Ishu.9 Nabi Ya‟qūb memiliki 12 orang
anak laki-laki yang dijuluki al-Asbaṭ.10
Dari kedua belas anaknya tersebut, Nabi
Yūsuf adalah yang banyak dikisahkan dalam al-Qur‟an.
Kisah Nabi Yūsuf di al-Qur`an diabadikan dalam QS.Yūsuf [12]: 3-104
dan QS. Al-Mu‟minūn [23]: 34. Adapun kisah komunikasi antara orang tua dan
anak terdapat pada QS. Yūsuf [12]: 4. Dalam ayat itu, menyebutkan komunikasi
antara Nabi Ya‟qub dan Nabi Yūsuf.
8 Al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt, juz 3, h.139.
9 Muḥammad Aḥmad Jādul Mawlā, Buku Induk Kisah-kisah Al-Qur‟an, h. 135.
10 Para anaknya adalah sebagai berikut: Rawbin, Syam‟un, Lawiy, Yahuda, Yasakir, dan
Zabilun yang merupakan anak Nabi Ya‟qūb dari Layya. Dari rahim Rahil lahirlah Yūsuf dan
Bunyamin. Dari budak yang dihadiahkan oleh Rahil yang bernama Balhah lahirlah Dana dan
Naftali. Sedangkan dari budak yang dihadiahkan Layya yaitu Zulfah memiliki anak bernama Jada
dan Asyir. Mereka semua dilahirkan di Faddan Aram terkecuali Bunyamin yang dilahirkan di
Kan‟an. Lihat Muḥammad Aḥmad Jādul Mawlā, Buku Induk Kisah-kisah Al-Qur‟an, h. 144.
58
Artinya:
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku,
Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan
bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku." (QS. Yūsuf [12]: 4)
bermakna sebutkan kepada mereka ketika Yūsuf berkata, karena إذ قال ىسف
kata idh dalam ayat tersebut secara gramatikal bermakna ẓarf.11
Adapun
berkenaan dengan nama Yūsuf, menurut al-Zamakhsharī – sebagaimana dikutip
oleh al-Rāzī – berasal dari bahasa Ibrānī.12
Arti nama Yūsuf, menurut Abū al-
Ḥasan al-Aqṭa„ – sebagaimana dikutip al-Qurṭūbī – berasal dari kata al-Asaf yang
bermakna kesedihan, bisa juga berasal dari kata al-asīf yang bermakna hamba.13
Menurut al-Rāzī, makna ayat melihat sebelas bintang, matahari dan
bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku adalah sebelas bintang dimaknai dengan
sebelas orang dari saudara Yūsuf, kata matahari dan bulan dimaknai dengan
bapak dan ibu, dan makna sujud adalah merendahkan diri di hadapannya. Kata
sājidīn dalam ayat di atas disematkan kepada bintang , bulan, dan matahari,
sedangkan ketiganya adalah makhluk yang tidak berakal? Al-Rāzī menegaskan
bahwa bintang-bintang adalah makhluk yang hidup dan berbicara. Adapun
maksud pengulangan katan ru‟ya sebanyak dua kali, menurut al-Qaffāl –
sebagaimana dikutip al-Rāzī – bahwa kata ru‟ya yang pertama menunjukkan
bahwa Yūsuf menyaksikan langsung bintang. Matahari dan bulan, sedangkan
makna ru‟ya yang kedua adalah menunjukkan Yūsuf melihat langsung kejadikan
bintang, matahari, dan bulang sujud kepadanya.14
11
Al-Qurṭūbī, al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, Juz 11, h. 244. 12
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīḥ al-Ghaib, juz 18, h. 88. 13
Al-Qurṭūbī, al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, Juz 11, h. 244. 14
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīḥ al-Ghaib, juz 18, h. 89.
59
Al-Qushayrī berpendapat, ketika Yūsuf menjelaskan mimpinya kepada
ayahnya yaitu Ya‟qūb, ia mengetahui kebenaran mimpi Yūsuf. Karena selama
Ya‟qūb mengingatkan kepada Yūsuf tentang masa umpatan, dan ketika masa
umpatan tersebut sudah melampai batas, Ya‟qūb mengingatkan Yūsuf hingga
saudara-saudaranya berkata: “Demi Allah, sekalipun kamu mengingatkan Yūsuf,”
lalu Ya‟qūb berkata: “Sesungguhnya aku mengetahui tentang Allah swt. apa yang
tidak kalian ketahui.” Dari hal tersebut, maka Ya‟qūb mempunyai otoritas dalam
membenarkan mimpi Yūsuf.
Maka jika dikatakan, bagaimana menghukumi mimpinya jika ia masih
kecil, yang perbuatannya tidak dihukumi? Apa perbedaannya? Jawabannya,
sesungguhnya perbuatan dengan maksud memperoleh sesuatu, maka perbuatan
tersebut ditampilkan kekurangan pelakunya. Adapun mimpi, maka tidak dapat
dimaksudkan darinya lalu dinisbahkan kepada kekurangan.
Dikatakan juga bahwa kebenaran suatu rahasia adalah dengan
menyembunyikannya, walau kebenaran tersebut untuk orang yang dekat. Begitu
pun Yūsuf, ketika ia menunjukkan rahasia mimpinya kepada ayahnya, bisa
mendapat bencana bagi dirinya.15
Ayahnya:
berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada
saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk
membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagi manusia." (QS. Yūsuf [12]: 4)
15
„Abd al-Karīm ibn Hawāzin al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt, juz 3, h.167-168.
60
Menurut al-Zamakhsharī, Ya‟qūb mengetahui tanda mimpi bahwa Yūsuf
akan diberikan Allah swt. derajat dari hikmah, disucikan dengan kenabian, dan
diberi nikmat dengan diangkat di kehidupan dunia dan akhirat sebagaimana Allah
swt lakukan kepada bapak-bapaknya sehingga Ya„qūb takut kedengkian dan
kejahatan saudara Yūsuf. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Makna kata ru‟ya
berarti mimpi yang khusus dalam keadaan di dalam mimpi bukan dalam keadaan
terjaga.16
Adapun makna ayat tersebut menurut al-Rāzī, bahwa Ya„qūb sangat cinta
kepada Yūsuf dan saudaranya. Ketika saudaranya dengki kepada Yūsuf karena
sebab cinta ini dan tampak indikator-indikatornya kepada Ya„qūb, lalu saat Yūsuf
menceritakan mimpinya, dan Yūsuf mengetahui ta‟wil mimpinya bahwa saudara
dan ayahnya akan merendahkan diri kepadanya, maka Ya„qūb mengatan jangan
Yūsuf mencerikan mimpinya karena saudaranya mengetahui ta‟wilnya dan akan
berbuat dengki dengannya.17
Al-Qushayrī mengatakan bahwa jika datang ketentuan yang tidak
memberikan manfaat untuk pelajaran dan peringatan;karena sesungguhnya nasihat
dan peringatan tidak menambah sesuatu yang dinasihati Nabi Ya‟qūb kepada Nabi
Yūsuf. Tetapi, ketika takdir mendahului perintah kepada Yūsuf yang ia dapatkan
apa yang seharusnya ia dapatkan.
Diceritakan bahwa Yūsuf melanggar wasiat ayahnya dalam menceritakan
mimpinya, jika tidak menceritakan mimpinya ketika mereka membuat makar
16
Al-Zamakhsharī, al-Kashshāf (Riyādh:Maktabah al-Abikan, 1998), juz 5, h. 255. 17
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīḥ al-Ghaib, juz 18, h. 91.
61
untuk membeninasakannya, maka tidak ada kejahatan dikarenakan berpaling dari
ayahnya – karena Yūsuf masih muda – ia juga tidak kosong dari cobaan.
Artinya:
Dan Ya'qūb berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama)
masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang
yang berlain-lain; Namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu
barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. keputusan menetapkan
(sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan
hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah
diri". (QS. Yūsuf [12]: 67)
Menurut al-Qurṭūbī, ketika anak-anaknya Ya„qūb keluar, ia takut mata-
mata melihat anak-anaknya, lalu ia menyuruh anak-anaknya untuk tidak masuk
dari satu pintu, tetapi masuk dari empat pintu gerbang kota Mesir saat itu. lebih
lanjut al-Qurṭūbī mengatakan bahwa ayat di atas merupakan dalil untuk
berlindung dari mata-mata. 18
ه لىى وعل ل الوتىك فلتىك maknanya adalah bahwa setelah Ya„qūb meneguhkan
segala sesuatu dari Allah swt., ia teguhkan dalam hati bahwa ia bertawakkal
kepada Allah swt. karena menurut al-Rāzī, keinginan tidak akan ada kecuali ada
dua kemungkian, pertama kemungkinan ada namun tidak ada, kedua mencegah
dari perbuatan yang bersifat kontradiksi, itulah yang dinamakan ketentuan.19
18
Al-Qurṭūbī, al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, Juz 11, h. 399. 19
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīḥ al-Ghaib, juz 18, h. 179.
62
Menurut al-Qushayrī, maksud Ya‟qūb menginginkan anak-anaknya
berlainan dalam masuk adalah agar salah satu dari mereka melihat Yūsuf, karena
jika salah satu dari mereka melihat Yūsuf, mungkin yang lain bisa melihatnya.
Dikatakan juga, bahwa Ya‟qūb mengira bahwa anak-anaknya yang disuruh
mencari Yūsuf, mereka benar-benar menolong, dan Ya‟qūb tidak mengetahui
bahwa anak-anaknya tersebut tidak menyukai Yūsuf.
Artinya:
Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yūsuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum
yang kafir". (QS. Yūsuf [12]: 87)
Menurut al-Rāzī, cinta Ya„qūb kepada Yūsuf sangat besar, tidak layak
kecuali bagi orang yang lalai dari Allah swt. karena orang yang mengetahui Allah
swt. maka ia akan cinta kepada-Nya, dan orang yang mencintai Allah, maka
hatinya tidak diisi sesuatu kecuali Allah swt. ketika Ya„qūb hatinya tenggelam
dalam cinta kepada anaknya yaitu Yūsuf, maka ia menghindari, sehingga hatinya
tenggelam dalam cinta kepada Allah swt.20
Kata taḥassas bermakna mencari sesuatu dengan panca indra. Sedangkan
makna ayat walā tayasū min rauḥ Allāḥ menurut al-Qurṭūbī adalah jangan
berputus asa dari kelapangan rahmat Allah swt.21
20
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīḥ al-Ghaib, juz 18, h. 203. 21
Al-Qurṭūbī, al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, Juz 11, h. 433.
63
Ya‟qūb mengutus anak-anaknya untuk mencari Yūsuf, sedangkan saudara-
saudaranya Yūsuf pergi untuk mencari Yūsuf dengan maksud membunuhnya.
Maksud maka carilah berita tentang Yūsuf dan saudaranya yaitu perintah untuk
mencari Yūsuf dengan seluruh panca indra, dengan penglihatan, pendengaran,
penciuman. Namun, Ya‟qūb meragukan anak-anaknya untuk melakukan sesuai
dengan keinginannya. Lalu Ya‟qūb memacu mereka kepada karunia Allah ketika
berkata:”Janganlah berputus asa dari rahmat Allah swt. kecuali orang-orang
kafir”.
3. Komunikasi Luqmān dengan Anaknya
Luqman merupakan tokoh yang spesial, bahkan dalam al-Qur`an namanya
diabadikan sebagai nama surat. Tentang sosok Luqman para ulama telah banyak
menyebutkan. Di antaranya adalah Imam Baiḍawi yang menyebutkan dalam
tafsirnya bahwa Luqman adalah salah satu anak dari Azar, saudara sepupu Nabi
Ayyub. Ia hidup semasa Nabi Dawud dan pernah menjadi seorang mufti sebelum
diutusnya Nabi Dawud sebagai rasul. Lebih lanjut, Baiḍawi menyebutkan
berdasarkan pendapat mayoritas ulama, Luqman bukanlah seorang Nabi tapi
hanya seorang hakim.22
Pendapat yang sama disampaikan Wahbah al-Zuhaili
dalam Tafsīr al-Munīr, menjelaskan bahwa Luqman adalah salah-satu anak Azar,
saudara sepupu Nabi Ayyub dan ia bertubuh hitam berasal dari Sudan Mesir,
hidup sezaman dengan Nabi Dawud as. kemudian ia berguru kepadanya.23
22
Baiḍawi, Tafsīr Baiḍawy, h. 346. 23
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munīr, Juz XXI, (Beirut: Darul Fikri, 1991), h. 91.
64
Sedangkan menurut Musṭafa al-Maraghi, Luqman ialah seorang tukang
kayu, kulitnya hitam. 24 Hamka menjelaskan bahwa Luqman al-Hakim adalah
sosok yang selalu mendekatkan hatinya kepada Allah dan merenungkan
keagungan alam ciptaan-Nya pada sekelilingnya, sehingga mendapatkan kesan
yang mendalam, demikian juga renungannya terhadap kehidupan ini, sehingga
terbukalah baginya rahasia hidup (hikmah).25
Di al-Qur`an komunikasi antara Luqman dan anaknya terdapat pada QS.
Luqmān [31]: 13:
Artinya:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar".
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa Luqmān al-Ḥakīm. Menurut
Ibn Kathīr, Luqmān al-Ḥakīm adalah seorang budak dari Ḥabashah (sekarang
Ethiopia) dan juga seorang tukang kayu.26
Adapun al-Maraghī berpendapat,
Luqmān adalah seorang tukang kayu, kulitnya hitam dan ia termasuk penduduk
Mesir. Ia hidup sederhana, Allah swt. menganugerahkan hikmah dan kenabian
kepadanya.27
24
Aḥmad Musṭafa al-Maraghi, Tafsīr al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk
(Semarang: Karya Toha Putra, 1992), h. 145. 25
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz XXI (Surabaya: Yayasan Latimojong), 1991, h. 142. 26
Abū al-Fidā‟ Ismā„īl ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-Aẓīm (Mesir:Muassasah al-
Qurtubah, 2002), uz. 11 h. 49. 27
Musṭafā al-Maraghī, Tafsir al-Maraghī (t.t.:t.pn. 1946), juz 21, h. 78.
65
Dalam ayat di atas, Luqmān memulai nasehatnya dengan seruan
menghindar dari kesyirikan sekaligus mengandung pelajaran tentang wujud Allah
yang Maha Esa. Kata عظه berasal dari kata al-wa„ẓ yang berarti mengingatkan
kebaikan dengan ungkapan halus yang dapat meluluhkan hati.28
Allah swt. menghidangkan tentang kisah Luqmān dengan menyebutkan
bahwa seorang yang telah diberikan hikmah, lalu ia bersyukur atas nikmat yang
Allah swt berikan kepadanya. Setelah hal itu, Luqmān menjelaskan kepada
anaknya, bahwa perbuatan syirik adalah kezaliman yang besar.
Dalam sebuah riwayat, ketika ayat 82 dari surat al-An„ām turun,29
lalu
para sahabat merasa resah dan gelisah, mereka bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah
di antara kita yang tidak berbuat zalim kepada dirinya?”, lalu Nabi saw.
menjawab: ”Kezaliman di sini bukanlah seperti yang kalian pahami, tidakkah
kalian mendengar apa yang dikatakan hamba yang saleh (Luqmān), Sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar, jadi syirik adalah
kezaliman yang sesungguhnya.30
Dalam QS. Luqmān [31]: 13 sudah tertera cara mendidik anak serta ilmu
apa pertama kali yang harus ditanamkan oleh orangtua. Dari ayat ini dapat
menggunakan metode penyampaian nilai-nilai atau ajaran yang terdapat dalam al-
Qur`an, Luqmān senantiasa menyampaikan persoalan aqidah serta nasehat yang
28
Waḥbah al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr (Beirut:Dar al-Fikr,1991), juz 9, h. 564. 29
Ayat tersebut adalah :
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk. 30
Muḥammad Ibn Ismā„īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, kitab Imān bāb Zulm dūna Zulm
hadis ke-32.
66
indah kepada putranya, sebenarnya nasehat yang ditinggalkannya itu juga untuk
kita semua.31
Hal ini, nilai sufistik yang muncul adalah wujud kecintaan
(mahabbah) seseorang atau orang tua terhadap anak merupakan syarat kecintaan
Allah kepadanya.
Menurut al-Marāghī, sesudah Allah swt. menurunkan apa yang telah
diwariskan oleh Luqmān terhadap anaknya, yaitu agar ia bersyukur kepada Allah
swt. yang telah memberikan semua nikmat, yang tiada seorang pun bersekutu
dengan-Nya dalam menciptakan sesuatu. Setelah itu, luqmān menegaskan
bahwasanya syirik adalah perbuatan yang buruk, kemudian Allah swt mengiringi
hal tersebut dengan berbuat baik kepada orang tua, karena kedua orang tua adalah
penyebab pertama bagi keberadaan kita di dunia.32
Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Qushayrī berpendapat bahwa syirik ada
dua macam, yaitu syirik yang nyata dan syirik yang tersembunyi. Syirik yang
nyata yaitu menyembah berhala, sedangkan syirik yang tersembunyi adalah
mengharapkan sesuatu dari dua hal yang baru. Syirik juga dimaknai sebagai
penetapan selain berbarengan dengan menyaksikan yang ghaib. Ada juga yang
memaknai syirik sebagai kezaliman kepada hati, dan maksiat adalah kezaliman
kepada diri sendiri. Kezaliman kepada diri sendiri ditunjukkan ampunan,
sedangkan kezaliman kepada hati tidak ada cara untuk ditunjukkan ampunan.
31
Juwariyah, Dasar-dasar Pendidikan Anak dalam Al-Qur`an (Jogjakarta: Sukses Offset,
2010), h. 40. 32
Musṭafā al-Maraghī, Tafsir al-Maraghī, juz 21, h. 84.
67
Artinya:
(Luqmān berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di
dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
ف خثر artinya Maha Halus dalam mengeluarkan sesuatu yang seberat لط
biji sawi dan Maha Mengetahui tempatnya. Diriwayatkan bahwa anaknya Luqmān
bertanya kepadanya, “Apakah kamu mengetahui biji yang ada di dalam laut, Allah
swt mengetahuinya di mana pun biji tersebut berada, di tempat yang tersembunyi
pun Allah swt. mengetahui dengan ke-Maha lembutan-Nya.33
Al-Zajjāj
menegaskan bahwa perumpamaan dalam ayat di atas adalah untuk
mendeskripsikan perbuatan hamba bahwa Allah swt. akan menampakkan
perbuatannya pada hari kiamat, maka siapa yang melakukan perbuatan baik
maupun perbuatan buruk seberat biji sawi, Allah akan membalasnya.34
Pada ayat di atas, menurut al-Maraghī, Luqmān al-Ḥakīm melanjutkan
wasiatnya kepada anaknya dengan memberikan perumpamaan, yaitu jika
perbuatan baik dan perbuatan buruk sekalipun beratnya hanya sebiji sawi dan
berada di tempat yang tersembunyi, niscaya perbuatan itu akan diperlihatkan
Allah swt. pada hari kiamat, yaitu pada hari ketika Allah swt. meletakkan
timbangan amal perbuatan yang tepat. Setelah itu, pelakunya akan menerima
33
Al-Zajjāj, Ma„ān al-Qur`an wa I„rābuh (T.tp: Alim al-Kutūb, 1977), juz 4, h. 197. 34
Al-Zajjāj, Ma„ān al-Qur`an wa I„rābuh, juz 4, h. 197.
68
balasan amalnya, jika amalnya baik maka balasannya baik, namun jika sebaliknya,
amalnya buruk maka balasannya akan buruk pula.35
Menurut Al-Qushayrī, Jika ada sebiji sawi atau yang lebih kecil darinya
dan bagiannya tersebut melampauinya, maka tidak ada kondisi di mana ia sampai
kepada bagiannya tanpa … (Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha
Mengetahui.): ia Maha Mengetahui perkara yang halus dan tersembunyi.36
Artinya:
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Ayat الوج أقن الص menurut al-Qurṭūbī, menjelaskan tentang wasiat ث
Luqmān kepada anaknya untuk taat yaitu melalui salat, al-amr bi al-ma„rūf, dan
al-nahy an al-munkar.37
maksudnya adalah Luqmān meminta واصثر عل هآ أصاتك
kepada anaknya untuk dengan anjuran agar mengubah kemunkaran, dan hal ini
merupakan kebolehan bukan, sebuah keharusan. Adapun perintah untuk bersabar
adalah berkaitan dengan kesulitan di dunia seperti sakit, dan lain-lain. إى ذالك هي
– maksudnya menurut Ibn Abbās – sebagaimana dikutip al-Qurṭūbī عزم الهىر
adalah sabar terhadap sesuatu yang dibenci merupakan keimanan yang hakiki.
35
Musṭafā al-Maraghī, Tafsir al-Maraghī, juz 21, h. 84. 36
Al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt, juz 5, h. 132. 37
Al-Qurṭūbī, al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, juz 16, h. 479.
69
Ada juga yang berpendapat bahwa salat, al-amr bi al-ma„rūf, dan al-nahy an al-
munkar adalah sesuatu yang diwajibkan oleh Allah swt.38
Al-Qushayrī berkata, perintah berbuat kebaikan adalah dengan perkataan,
dan menyampaikannya dengan mencegah dirimu dari sesuatu yang dilarang. Siapa
yang tidak bisa me-manage dirinya, maka ia tidak bisa mengimplementasikan
kepada orang lain. Perbuatan baik yang wajib untuk perintah adalah sesuatu yang
dapat menyampaikan seorang hamba kepada Allah swt., dan perbuatan munkar
yang wajib dilarang adalah apa yang menyibukkan seorang hamba dari Allah
swt.39
(bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu) adalah sebuah peringatan
bagi orang yang taat kepada Allah swt. dengan benar, maka akan diuji. Cara
dalam menanggulangi ujian tersebut adalah dengan bersabar. Karena orang yang
bersabar kepada Allah swt. maka tidak akan merugi.
4. Komunikasi Nabi Ibrāhīm dengan Ismā’īl
Ibrahim merupakan nabi dalam agama Samawi. Ia bergelar Khalilullāh
(Kesayangan Allah). Ia dan Nabi Mūsa merupakan dua Nabi yang dikisahkan
secara panjang dalam al-Qur`an. Nabi Ibrāhīm dibicarakan sekitar 40 kali
sedangkan Nabi Mūsa sebanyak 50 kali. keutamaan Nabi Ibrāhīm karena ada
fakta bahwa ia diterima oleh tiga komunitas di Arab, yaitu: Yahudi, Kristen dan
38
Al-Qurṭūbī, al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, juz 16, h. 480. 39
al-Qushairī, Laṭā‟if al-Ishārāt, juz 5, h. 132.
70
penyembah berhala. Walaupun ketulusan Nabi Ibrāhīm secara faktual diakui
ketiga komunitas tersebut, tapi agamanya bukan agama salah satu dari mereka. 40
Banyak kisah yang terkenal mengenai Nabi Ibrāhīm seperti ketika ia saat
menghancurkan berhala-berhala,41
atau saat ia dibakar.42
Selain itu, kisah Nabi
Ibrāhīm yang tidak kalah terkenal adalah kisah mengenai peyembelihan yang
dilakukan Nabi Ibrāhīm terhadap anaknya yaitu Nabi Ismā‟īl. Nabi Ismā‟īl anak
Nabi Ibrāhīm dari pernikahannya dengan Siti Hajar. Pernikahan dengan Siti Hajar
ini, merupakan permintaan dari istrinya sebelumnya yaitu Siti Sarah dengan
mempertimbangkan kondisinya belum dikaruniai anak sehingga merasa iba
terhadap suaminya yang belum juga mendapatkan anak darinya.43
Terkait penyembelihan Nabi Ismā‟īl, ternyata memuat fakta adanya
komunikasi yang mempunyai makna yang dalam. Terkait komunikasi orang tua
dan anak ini, yaitu antara Nabi Ibrāhīm dan Nabi Ismā‟īl tercantum dalam QS. al-
Ṣaffāt [37]: 102;
Artinya:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-
sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat
dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
40
Muhammad Ali, Sejarah Para Nabi (Studi Banding Qur‟an Suci dengan Alkitab), h.
44-45. 41
Lihat QS. Al-Anbiyā` [21]: 52-68, QS. Al-Shu‟arā [26]: 69-102, dan QS. Al-„Ankabūt
[29]: 16,17 dan 34. 42
Lihat QS. Al-Anbiyā`[21]: 68-73, QS. Al-Ṣāffāt [37]: 97-99, dan QS. Al-„Ankabūt
[29]: 6, 17 dan 24. 43
Muhammad Ali, Sejarah Para Nabi (Studi Banding Qur‟an Suci dengan Alkitab), h.
103-104.
71
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk
orang-orang yang sabar".
Menurut Mujāhid – sebagaimana dikutip oleh al-Qurṭūbī – makna kata al-
sa„yā adalah Ismā„īl telah mencapai masa muda dan usahanya memperoleh usaha
Ibrāhīm.44
Sedangkan menurut al-Zajjāj, kata al-sa„yā berarti Ismā„īl melakukan
suatu perbuatan bersama Ibrāhīm, atau bisa juga bermakna bahwa Ismā„īl telah
mencapai usia 13 tahun.45
Al-Zamakhsharī berpendapat bahwa makna ا تلغ هعه فلو
ع adalah tatkala anak itu sampai untuk berusaha bersama Ayahnya dalam hal الس
kesibukan dan kebutuhannya.46
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang disuruh untuk
disembelih, apakah Ismā„īl atau Isḥāq? Sebagian besar ulama berpendapat bahwa
yang disembelih adalah Isḥāq, mereka berargumentasi tersebut adalah para
sahabat di antaranya Abbās ibn Abd al-Muṭallib, Ibn Abbās, Ibn Mas„ūd,
Ḥammād ibn Zaid secara marfū„ dari Nabi saw., dan keterangan dari tābi„īn
seperti Alqamah, al-Sha„bī, Mujāhid, Sa„īd Jubair, Ka„ab al-Aḥbār, dan lain-lain.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa yang disembelih adalah Ismā„īl,
mereka adalah sahabat seperti Abū Ḥurairah, Abū al-Ṭufail, dan dari golongan
tābi„īn di antaranya adalah Sa„īd ibn al-Musayyab, al-Kalbī, dan lain-lain.47
Dalam menafsirkan kalimat ( ) ع ا تلغ هعه الس فلو , al-Qushayrī mengatakan
bahwa ayat tersebut mengindikasikan waktu internalisasi hati kepada anak, Nabi
Ibrāhīm as. bermimpi di malam tarwiyyah bahwa ia disuruh untuk menyembelih
anaknya Ismā‟īl. Dinamakan malam tarwiyyah karena Nabi Ibrāhīm as.
44
Abū „Abdillāh Muḥammad al-Qurṭūbī, al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, juz 18 h. 61. 45
Abū Ishāq Ibn Ibrāhīm Al-Zajjāj, Ma„ān al-Qur`an wa I„rābuh, juz 4, h. 310. 46
Al-Zamakhshārī, al-Kashshāf, juz 5, h. 221. 47
Al-Qurṭūbī, al-Jāmi„ li Aḥkām al-Qur‟ān, juz 18 h. 63.
72
diceritakan kisahnya dalam waktu sepanjang hari. Lebih lanjut, al-Qushayrī
mengatakan bahwa kemudian Nabi Ibrāhīm bermimpi di malam selanjutnya
tentang kejadian tersebut, lalu ia mengetahui bahwa mimpi tersebut adalah benar,
maka dinamakan hari Arafah.48
Ketika peristiwa tersebut, Nabi Ismail berumur 13
tahun.
Menurut al-Qushayrī, peristiwa mimpi yang dialami oleh Nabi Ibrāhīm as.
terjadi sebanyak tiga kali.
Pertama, ketika ia hendak menyembelih anaknya, ia berkata kepada
Ismail, (Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!), lalu Ismāīl berkata, (Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu) maksudnya jangan kamu
putuskan dengan putusan mimpi, karena sesungguhnya mimpi itu terjadi dan ia
mempunyai ta‟wil. Jika di dalam mimpi tersebut terdapat perintah ini, maka
lakukanlah. Jika di dalam mimpi tersebut terdapat ta‟wil, maka yakinkan.
Dalam memahami ayat ستجد إى شآء للا, al-Qushayrī menafsirkan bahwa
ayat tersebut menunjukkan kesopanan yang tinggi, hal tersebut ditunjukkan
dengan penggunaan lafal al-istinshā‟. Adapun penggunaan kata yā bunayy dalam
ayat di atas menunjukkan kelembutan hati dari Ibrāhīm.49
Adapun inti ajaran komunikasi yang dapat diambil dari ayat ini yakni
komunikasi dengan metode dialog dan menggunakan bahasa yang indah.
Komunikasi yang terjadi dengan cara berdialog, ada pembagian kesempatan untuk
menyampaikan pendapat dan pesan antara Nabi Ibrāhīm dan Ismī‟il, sehingga
48
Al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt, juz 5, h. 238. 49
Al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt, juz 5, h. 239.
73
tidak terjadi pemaksaan. Hal ini akan menciptakan suasana yang harmonis dalam
keluarga yang masing-masing pihak saling menghargai dan menghormati pribadi
masing-masing, sehingga akan terbina rasa tanggung jawab yang dalam diri setiap
individu anggota keluarga.50
Alex Sobur menyatakan bahwa komunikasi dengan cara berdialog akan
menumbuhkan kewibawaan orang tua, karena menurutnya ketika anak mau
melakukan apa yang telah disampaikan oleh orang tua tanpa paksaan, karena
sudah memahami apa yang dikehendaki orang tua, ia akan menghormati orang
tuanya.51
B. Penafsiran Ayat Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Tafsir Sufi
Penulis dalam pembahasan ini menguraikan dan membandingkan antara
penafsiran al-Qushayrī dengan penafsir sufi yang lain sehingga akan kelihatan
apakah Imam al-Qushayrī mempunyai kesamaan dan perbedaan dalam
menafsirkan al-Qur`an, selain itu penulis juga akan melacak makna kata yang
mengindikasikan adanya komunikasi orang tua dan anak dalam kamus-kamus
bahasa Arab, sehingga pembahasan ini melahirkan uraian yang detail tentang
nilai tasawuf yang terkandung dalam komunikasi orang tua dan anak. Kemudian
pada akhirnya melahirkan konsep bahwa komunikasi mereka bisa dijadikan acuan
bagi orang tua dalam mendidik anak.
Penulis memulai uraian bab ini dengan mengikuti sistematika susunan ayat
sebelumnya, yaitu dimulai dengan percakapan Nabi Nūḥ dan anaknya yaitu
Kan‟an yang terdapat dalam QS. Hūd [11] : 42 dan 45.
50
Juwariyah, Dasar-dasar Pendidikan Anak dalam Al-Qur`an, h.74-75. 51
Alex Sobur, Komunikasi Orang tua dengan Anak (Bandung: Aksara,1986) h. 10.
74
1. Komunikasi Nabi Nūḥ dan Kan’an
Artinya:
Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana
gunung. dan Nūḥ memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat
yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama Kami dan
janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir."
Al-Jilāni mengawali penafsiran ayat dari perkata, تجر perahu, هىج air
yang tinggi disertai dengan angin yang kencang, كالجثال tinggi seperti gunung yang
tinggi. وادي ىح اته ketika Nabi Nūḥ telah berada di kapal dan air telah tinggi,
Nabi Nūḥ memanggil anaknya yaitu: Kan‟an. هعزل maknanya adalah kan‟an
sudah menghindar dari Nabi Nūḥ dan menjauh dari agama Nabi Nūḥ. اركة ا ت
lalu Nabi Nūḥ memangilnya dengan panggilan sayang untuk menaiki perahu هعا
bersamanya agar selamat, dan jangan dengan orang kafir sehingga dia
tenggelam.52
Artinya:
Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang
dapat memeliharaku dari air bah!" Nūḥ berkata: "tidak ada yang
melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha
Penyayang". dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; Maka
jadilah anak itu Termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.
52
„Abd al-Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, jilid 2 306.
75
Qala: kan‟an dalam keadaan menolak, Sāwi : lalu berlindung ke gunung
yang tinggi yang dianggap bisa menyelamatkannya dari air bah yang tinggi dan
besar. Kemudian Nabi Nūḥ menjawab dengan menyebutkan bahwa tidak ada yang
bisa melindungi dan menyelamatkan pada hari itu dari tadir Allah yang mubram
dan hukum Allah yang muḥkam. Kecuali yang disayang Allah dan Allah
menyelamatkannya, maka anaknya tenggelam dan hilang.53
2. Komunikasi Nabi Ya’qūb dan anaknya
Artinya:
(Ingatlah), ketika Yūsuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku,
Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan;
kulihat semuanya sujud kepadaku." (QS. Yūsuf: 4).
Dalam Tafsīr Muqātil dijelaskan bahwa ketika Nabi Yūsuf menyampaikan
mimpinya kepada ayahnya yaitu Nabi Ya‟qūb: “Wahai ayahandaku, aku melihat
dalam mimpi sebelas bintang, matahari dan bulan, semuanya sujud kepadaku”
yang dimaksud dengan sebelas bintang itu adalah saudara-saudara Nabi Yūsuf,
sedangkan matahari adalah ibunda Nabi Yūsuf yaitu Rāhilah Binti Lātan dan
Lātan adalah sepupu Nabi Ya‟qūb dan bulan adalah ayahandanya yaitu Ya‟qūb
ibn Ishāq ibn Ibrāhīm.54
Menurut Ibn „Ajibah ayat ini menjelaskan tentang cerita Nabi Yūsuf
menceritakan mimpinya kepada ayahnya Nabi Ya‟qūb bin Ishāq ibn Ibrāhīm:
“wahai ayahku sesunguhnya aku bermimpi ketika tidur ada bintang, matahari
53
„Abd al-Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, jilid 2 306. 54
Sulaiman, Tafsir Maqati Sulaiman, Jilid 3 h. 98
76
dan bulan bersujud mereka kepadaku”, pada waktu itu Nabi Yūsuf sedang tidur di
pundak ayahnya dan dalam hatinya55
ia berkata: “apakah kamu melihat ada
bintang, matahari dan bulan? dan ketika Yūsuf bangun dari tidurnya lalu ia
menceritakan mimpinya kepada ayahnya setelah diceritakan malah ayahnya
menangis. Lalu Nabi Yūsuf bertanya: kenapa menangis ayah?56
dan dijawab oleh
Nabi Ya‟qūb, ketika ada Makhluk sujud kepada Mahluk yang lain menandakan
adanya kesusahan dan musibah. Apakah kamu tahu tentang cerita Malaikat yang
diperintakan oleh Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam, lalu apa yang terjadi
Adam dikeluarkan dari Surga. Kemudian, Nabi Ya‟qūb berkata: “wahai anakku
bulan dan matahari itu adalah aku dan ibu yang telah meningeal dunia
sedangkan bintang-bintang adalah sebelas saudaramu.”57
Adapun Ibn „Abd al-Salam menafsiri ayat ini dengan mengatakan bahwa
banyak para mufassir yang menakwilkan kata matahari dengan ayahnya, bulan
dengan ibunya dan bintang dengan saudara-saudara Nabi Yūsuf, sedangkan kata
“ra`aytuhum” yang kedua adalah pengkuat terhadap “ra`aytu” yang ada
sebelumnya untuk menunjukan bahwa mereka benar-benar bersujud di hadapan
Nabi Yūsuf, sujud mereka seperti sujud ketika melaksanakan shalat. Setelah cerita
ini disampaikan kepada ayahnya, Nabi Yūsuf ketakutan atas kedengkian para
saudara-saudaranya dan ini merupakan mimpi yang tidak perlu dihiraukan.58
Maka jika dikatakan, bagaimana menghukumi mimpinya jika ia masih
kecil, yang perbuatannya tidak dihukumi? apa perbedaannya? jawabannya,
55
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, h. 234 56
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, h. 234 57
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, h. 456. 58
Ibn Abd al-Salām, Tafsir Ibn Abd al-Salām, h. 456.
77
sesungguhnya perbuatan dengan maksud memperoleh sesuatu, maka perbuatan
tersebut ditampilkan kekurangan pelakunya. Adapun mimpi, maka tidak dapat
dimaksudkan darinya lalu dinisbahkan kepada kekurangan.
Dikatakan juga bahwa kebenaran suatu rahasia adalah dengan
menyembunyikannya, walau kebenaran tersebut untuk orang yang dekat. Begitu
pun Yūsuf, ketika ia menunjukkan rahasia mimpinya kepada ayahnya, bisa
mendapat bencana bagi dirinya.59
Dari beberapa penafsiran yang penulis uraikan di atas membuktikan bahwa
antara al-Qushayrī dengan penafsir lainnya mempunya persamaan dan perbedaan
tetapi pada intinya meskipun para penafsir tidak semuanya mempunyai ijtihad
yang sama, tetapi pada dasanya hikmah yang bisa di ambil dari cerita mimpi Nabi
Yūsuf ini adalah bahwa ia diberi cobaan oleh Allah atas kedengkian para saudara-
saudaranya dan Nabi Yūsuf tetap sabar dalam menghadaapi cobaan ini, Nabi
Ya‟qūb adalah sosok ayah yang mengayomi kepada anak-anaknya. Dalam ayat
tersebut terjadi komunikasi anak dengan orang tua, karena ada penyampain pesan
Nabi Yūsuf penerima pesan Ayahnya dan ada pesan.
Artinya:
Dan Ya‟qūb berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama)
masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang
yang berlain-lain; Namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu
59
Abd al-Karīm ibn Hawāzin Al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt, juz 3, h.167-168.
78
barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. keputusan menetapkan
(sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan
hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri".
Menurut Ibn „Ajibah ayat ini menjelaskan tentang seruan atau nasehat
kepada anak-anak Nabi Ya‟qūb untuk tidak melewati satu pintu saja yaitu pintu
Mesir, ini sebagai salah satu dari trik atau cara Nabi Ya‟qūb menyelamatkan anak-
anaknya. Adapun pintu-pintu yang harus dilewati adalah pintu yang ada di Negara
Syam, Maroko, Yaman, Rum dan Thoilun. Khawatir di Mesir ada kekuatan besar
yang akan menyerang mereka. Selain itu, ini siasat Nabi Ya‟qūb untuk melindungi
Nabi Yūsuf dari kedengkian saudara-saudaranya, karena kebetulan waktu itu
posisi Nabi Yūsuf ada di Mesir. 60
(Dan Ya‟qūb berkata, "Hai anak-anakku! Janganlah kalian masuk) ke
negeri Mesir (dari satu pintu gerbang, tetapi masuklah dari pintu-pintu gerbang
yang berlainan) supaya kalian tidak menjadi sial karenanya (namun demikian aku
tidak dapat menghindarkan) menolak (diri kalian) dengan melalui saranku ini
(dari takdir Allah) huruf min di sini adalah zaydah (barang sedikit pun) yang telah
ditakdirkan-Nya terhadap kalian; sesungguhnya hal tersebut hanyalah terdorong
oleh rasa sayangku. (Tiada lain) (keputusan hanyalah hak Allah) semata (dan
hanya kepada-Nyalah aku bertawakkal) artinya hanya kepada-Nyalah aku percaya
(dan hanya kepada-Nyalah hendaknya orang-orang yang bertawakal berserah
diri.").61
Ya'qūb merasa mantap dengan janji anak-anaknya. Perasaan haru yang ada
dalam hatinya mendorongnya untuk memberikan pesan kepada mereka agar
60
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, h. 456. 61
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, h. 456.
79
mereka, dalam memasuki kota Mesir, melewati pintu yang berbeda-beda supaya
tidak menjadi pusat perhatian orang lain ketika mereka masuk dan agar tidak
diawasi. Sebab hal itu bisa berakibat tidak baik bagi mereka. "Sedangkan aku,"
kata Ya‟qūb, "tidak mampu melindungi kalian dari bahaya. Yang mampu
menahan aniaya hanyalah Allah. Dialah Yang Maha kuasa. Aku bertawakkal
kepada-Nya dan aku serahkan kepada-Nya perkaraku dan perkara kalian. Hanya
kepada-Nyalah seharusnya orang-orang beriman dan orang-orang yang
menyerahkan segala perkaranya itu bertawakal”.62
Adapun makna ayat tersebut menurut al-Rāzī, bahwa Ya„qūb sangat cinta
kepada Yūsuf dan saudaranya. Ketika saudaranya dengki kepada Yūsuf karena
sebab cinta ini dan tampak indikator-indikatornya kepada Ya„qūb, lalu saat Yūsuf
menceritakan mimpinya, dan Yūsuf mengetahui ta‟wil mimpinya bahwa saudara
dan ayahnya akan merendahkan diri kepadanya, maka Ya„qūb mengatakan jangan
Yūsuf mencerikan mimpinya karena saudaranya mengetahui ta‟wil-nya dan akan
berbuat dengki dengannya.63
Al-Qushayrī mengatakan bahwa jika datang ketentuan yang tidak
memberikan manfaat untuk pelajaran dan peringatan;karena sesungguhnya nasihat
dan peringatan tidak menambah sesuatu yang dinasihati Nabi Ya‟qūb kepada Nabi
Yūsuf. Tetapi, ketika takdir mendahului perintah kepada Yūsuf yang ia dapatkan
apa yang seharusnya ia dapatkan.
Diceritakan bahwa Yūsuf melanggar wasiat ayahnya dalam menceritakan
mimpinya, jika tidak menceritakan mimpinya ketika mereka membuat makar
62
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, h. 456. 63
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīḥ al-Ghaib, juz 18, h. 91.
80
untuk membinasakannya, maka tidak ada kejahatan dikarenakan berpaling dari
ayahnya – karena Yūsuf masih muda – ia juga tidak kosong dari cobaan.
3. Komunikasi Luqmān dan anaknya
Kemudian ayat berikutnya adalah QS. Luqmān [31]:13.
Artinya:
Dan (ingatlah) ketika Luqmān berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar".
Menurut Ibn „Ajibah ada beberapa identitas mengenai Luqmān al-Hakīm
ini, ada yang mengatakan dia adalah anak dari Baura‟ anak saudara perempuan
Nabi Ayūb. Baura‟ yang merupakan anaknya Azar dan hidup selama 1000 tahun,
Saudaranya Sadad ibn „Ad yang keduanya diberikan kelebihan masing-masing,
Sadad diberikan kekuatan sedangkan Luqmān diberikan hikmah. Ada pula yang
mengatakan bahwa dia hidup sebelum masa Nabi Dāwūd, setelah mengetahui
kemampuan Luqmān, Nabi Dāwūd belajar ilmu kepadanya, dia dikenal sebagai
orang yang memberikan fatwa sebelum diutusnya Nabi Dāwūd sebagai Nabi.
Namun setelah diutusnya Nabi Dāwūd, dia tidak lagi memberikan fatwa. Adapun
profesinya menurut ulama berbeda-beda, ada yang mengatakan tukang jahit,
pedagang, pemimpin dan hakim di bani Israil atau Ikrimah dan al-Sha‟bi
mengatakan bahwa dia adalah Nabi, namun Jumhur ulama sepakat bahwa dia
81
adalah hakim. Sedangkan menurut al-Nasaifi, dia pernah belajar pada 100 Nabi
dan pernah mengajari 100 Nabi.64
Ibn „Umar berkata sebagaimana dikutip oleh Ibn Ajībah, Luqmān bukan
seorang Nabi melainkan dia adalah budak yang mempunyai daya fikir yang tinggi,
ḥusnu al-yakīn, orang yang sangat zuhud dan cinta pada Allah melebih cinta pada
dirinya.65
Ketika Luqmān berkata kepada anaknya yang bernama An‟am atau Askum
atau Naran “Jangan menyekutukan Allah karena menyekutkan Allah merupakan
kezaliman yang besar karena mendzalami Allah sama saja dengan tidak
mensyukuri nikmat Allah, sedangkan yang memberikan nikmat adalah Allah.66
Syirik ada dua macam, yaitu syirik yang nyata dan syirik yang tersembunyi.
Syirik yang nyata yaitu menyembah berhala, sedangkan syirik yang tersembunyi
adalah mengharapkan sesuatu dari dua hal yang baru. Syirik juga dimaknai
sebagai penetapan selain berbarengan dengan menyaksikan yang ghaib. Ada juga
yang memaknai syirik sebagai kezaliman kepada hati, dan maksiat adalah
kezaliman kepada diri sendiri. Kezaliman kepada diri sendiri ditunjukkan
ampunan, sedangkan kezaliman kepada hati tidak ada cara untuk ditunjukkan
ampunan.67
Al-Alūsī68
menafsiri kandungan ayat di atas, dengan mengatakan bahwa
kata yabunaya yang menimbulkan beragam macam qira‟ah ada yang membaca ya
64
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, h. 675. 65
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, h. 674. 66
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, h. 677. 67
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, h. 678. 68
Al-Alusi adalah nama sebuah keluarga yang telah menampilkan banyak anggota
keluarganya menjadi intelektual-intelektual (ulama) terkemuka di Baghdad pada abad ke-19 dan
82
banī, yabunaya, ya Nabi dengan menggunakan dalil masing-masing ada yang
dikaitkan dengan ayat 16 dan 17 dan yang memakanai lain. Terlepas dari
perdebatan qira‟ah ini, al-Alūsī menafsir ayat yang artinya “Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah” anaknya Luqmān adalah kafir dan
diajarkan untuk tidak menyekutukan Allah sampai pada akhirnya anak tersebut
menjadi Islam bahkan ia megajari anaknya sampai meninggal.69
Ibn Abd al-Salam menafsirinya ayat yang artinya “Luqmān berkata
kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” mengajari kepada anaknya
untuk tidak menyekutukan Allah dan anak tersebut adalah kafir.70
تاهلل jangan syirik maknanya adalah menyucikan Allah dari
menyucikannya, menyerupainya dan dari membandingkan dan menyamakan.
ke-20. Nama itu berasal dari Alus, satu daerah di tepi barat sungai Eufrat antara Abū Kamal dan
Ramadi. Nenek moyang keluarga itu (yang pada ujungnya bersambung dengan al-Ḥasan dan al-
Ḥusain) putra „Alī ibn Abī Ṭālib, melarikan diri ke sana dari serangan Holago, dan anak cucunya
juga kemudian lari dan kembali ke Baghdad pada abad ke-11 H/17 M. Nama lengkapnya adalah
Abū Sana‟ Shihabu al-Dīn al-Sayyīd Maḥmud Afandī al-Alūsī al-Bagdadī. Beliau dilahirkan pada
hari Jumat tanggal 14 Sya‟ban tahun 1217 H/1802 M, di dekat daerah Kurkh, Baghdad, Irak.
Melalui kitab tafsirnya Ruḥ al-Ma‟ani fī Tafsīr al-Qur`ān al-„Aẓīm wa al-sab‟i al-Mathānī. Ia
adalah seorang yang genius, mula-mula belajar pada ayahnya sendiri yaitu Syeikh „Alī al-Suwaydi
yang juga ulama besar, kemudian pada Syeikh Khālid al-Naqshabandī. Ia pernah diberi tugas
untuk memimpin lembaga pendidikan al-Marjaniyyah, jabatan pimpinan yang hanya diberikan
kepada orang yang terpandai di dalam negeri. Beberapa bulan kemudian pada tahun 1248 H, ia
diserahi jabatan Mufti dalam Madzhab Hanafi yang dilepasnya pada tahun 1267 H. Ruḥ al-Ma‟ani
dapat dikatakan merupakan rangkuman-rangkuman kitab-kitab tafsir sebelumnya. Ia mengutip dari
tafsir Ibn „Aṭiyyah, Abī Hayyan, al-Khashaf, Abī Su‟ud, al-Baidhawī, al-Fakhr al-Razī, kecuali
dalam bidang fiqh ia berpihak pada madzhab Abū Hanifah. Dalam bidang aqidah (kalam), ia
adalah seorang Sunni dan menentang paham Mu‟tazilah dan Syi‟ah. Hasil karya tulisan beliau
antara lain: Hasyiyah „ala al-Qatr al-Salim tentang ilmu logika, al-Ajwibah al-„Iraqiyyah
Iraniyyah, Durrah al-Gawas fi Awham al-Khawass, al-Nafakhat al-Qudsiyyah fi Adab al-Bahs
Ruh al-Maani fi Tafsir al-Quran al-Azmi wa al-Sab‟i al-Masani dan lain-lain. Beliau wafat pada
tanggal 25 Zulhijjah 1270 H, dimakamkan di dekat kuburan Syaikh Ma‟ruf al-Karkhi, salah
seorang tokoh sufi yang sangat terkenal di kota Kurkh. Setelah meninggal, kitab Ruh al-Maani
disempurnakan oleh anaknya, as-Sayyid Nu‟man al-Alusi. 69
Al-Alusi, Tafsir Ruh al-Ma‟ni, (Bairut: Dār Fikr, 2000), Jilid 3 h. 67. 70
Ibn Abd al-Salām, Tafsir Ibn Abd al-Salām, h. 324.
83
Bahwasannya akhlak paling tinggi dan paling agung adalah tawḥīd dan tanzīh.
Tidak ada kezaliman yang paling besar dan keji selain syirik.71
Setelah Luqmān
menjelaskan kepada anaknya tentang tauhid dengan menafikan lawannya yaitu
syirik. Luqmān memperingatkan agar menjaga dirinya dengan adab bersama
Allah (adab ma‟a Allah) di segala kondisi dan tempat. dengan tidak
menyandarkan kepada sesuatu yang bertentangan dengan tauhid. 72
Dari beberapa penafsiran di atas ini menunjukkan bahwa pada dasarnya
banyak kesamaan dengan penafsiran al-Qushayrī. Bahkan kesamaan antara tafsir
Ibn Ajibah dengan tafsir al-Qushayrī bisa dibilang persis sama, berbeda dengan
tafsir yang lain yang sebagian ada kesamaan tetapi ada perbedaannya juga
terutama ketika menafsiri anak Luqmān, ada yang menafsiri orang kafir ada pula
yang tidak. Penulis menyimpulkan bahwa dalam penafsiran ayat ini terjadi
komunikasi antara anak dan bapak karena kalau kita berpatokan pada teori
komunikasi yaitu harus ada komunikan, pesan dan orang yang menerima pesan.
Dalam ayat ini memenuhi teori tersebut, di mana Luqmān sebagai komunikator
pesannya adalah untuk tidak syirik dan penerima pesannya adalah anaknya
Luqmān (komunikan). Adapun nilai tasawuf yang terkandung dalam ayat tersebut
adalah bagaimana tidak syirik pada Allah dan ini masuk dalam kategori tauhid
yang akan dijelaskan dalam sub bab berikutnya.
71
„Abd al-Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, jilid 4 h. 39. 72
„Abd al-Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, jilid 4 h. 40.
84
Artinya:
(Luqmān berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di
dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Ibn Abd al-Salam menafsiri kandungan ayat ini dengan mengatakan bahwa
kata yang artinya “seberat biji sawi” diartikan dengan perbuatan baik dan jelek,
“dalam batu” di bawah bumi yang ketujuh dan di atas langit yang paling tinggi di
mana tempat tersebut menjadi tempat pencatatan amal orang-orang kafir atau di
ujung gunung. “mendatangkannya (membalasinya)” balasan ini diukur dengan
perbuatannya apabila berbuat baik maka akan diganjar dengan pahala sebaliknya
apabila perbuatan jelek maka akan dibalas dengan kejelekan juga.73
Selain itu, Ibn „Ajibah juga menafsirkan kata ya bunayya dengan kisah
atau petuah, إى تك هثقال{} حثح هي خردل diartikan dengan perbuatan maksiat kecil
atau besar seperti biji sawi atau seberat biji yang buahnya besar, adapun batu
tempat menghitung amal dalam ayat tersebut adalah tempat yang tersembunyi,74
menurut Ibn Abbās terdapat di bawah bumi yaitu tempat munculnya air yang
aman tempat tersebut dijadikan sebagai tempat menghitung amal dan ada yang
mengatakan juga bahwa tempat tersebut adalah angin. Sedangkan pembalasan
terhadap amal perbuatan akan dilakukan pada hari kiamat. لطف خثر artinya Maha
Halus dalam mengeluarkan sesuatu yang seberat biji sawi dan Maha Mengetahui
tempatnya.75
Menurut al-Qushairī, jika ada sebiji sawi atau yang lebih kecil darinya dan
bagiannya tersebut melampauinya, maka tidak ada kondisi di mana ia sampai
73
Ibn „Abd al-Salām, Tafsir Ibn „„Abd al-Salām, h. 98 74
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, h. 456 75
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, h. 456
85
kepada bagiannya tanpa ……. (Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha
Mengetahui.): ia Maha Mengetahui perkara yang halus dan tersembunyi.76
Luqmān mengatakan kepada anaknya bahwa إها sesungguhnya watak atau
perbuatan yang buruk (yang menafikan tauhid) dan perbuatan yang baik kedunya
tidak lepas dari pengetahuan Allah. إى تك Jika perbuatan yang baik maupun buruk
sekecil atom, atau seukuran sesuatu yang paling kecil lalu berada di tempat paling
tersebunyi atau di langit yang paling tinggi dan di bumi paling dalam, perbuatan
itu Allah mengawasi dan Allah mengetahui keadaan itu kemudian membalasnya
sesuai iradah dan kehendaknya.77
لطف خثر إى للا sesungguhnya Allah menampakkan sesuatu yang
disembunyikan dan dirahasiakan. لطف خثر Maha Lembut dan semua tidak ada
yang tertutup dan terhalang di depan Allah.78
Setelah Luqmān menjelaskan tentang sifat ilmu dan qudrah Allah yang
meliputi seluruh makhluk-Nya dan menjelaskan bahwa sesuatu yang tersembunyi
bagi Allah nampak jelas. Setelah itu Luqmān menyuruh anaknya untuk senantiasa
melaksanakan shalat dengan konstan dengan seluruh rukun-rukunnya dengan
ikhlas dan kembali kepada Allah, menghindari dari hal-hal yang menyibukkan
selainnya.79
Dari beberapa penafsiran yang telah diuraikan di atas ini menunjukan
bahwa ada komunikasi antara Luqmān dan anaknya dan ada perbedaan penafsiran
masalah tentang sebiji sawi antara al-Qushayrī dengan penafsir lainnya yang
76
Al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt, juz 5, h. 132. 77
„Abd al-Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, jilid 4 h. 40. 78
„Abd al-Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, jilid 4 h. 40. 79
„Abd al-Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, jilid 4 h. 40.
86
condong memaknainya berbeda, akan tetapi sejauh pengamatan penulis ada nilai
sufistik yang terkandung dalam ayat tersebut yaitu harus muraqbah (mawas diri)
dalam menjalankan kehidupan ini.
Artinya;
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Menurut al-Jilanī, setelah Luqmān menjelaskan tentang sifat ilmu dan
qudrah Allah yang meliputi seluruh makhluk-Nya dan menjelaskan bahwa
sesuatu yang tersembunyi bagi Allah nampak jelas. Setelah itu, Luqmān
menyuruh anaknya untuk senantiasa melaksanakan shalat dengan konstan dengan
seluruh rukun-rukunnya disertai keikhlasan dan kembali kepada Allah,
menghindari dari hal-hal yang menyibukkan dari-Nya, juga mengosongkan hati
dari semua hal-hal yang bersifat manusiawi dan hawa nafsu. Selain itu, ia juga
menyuruh anaknya untuk bertauhid melalui kebaikan secara akal dan syariat, juga
melarang hal-hal yang merugikan secara akal dan syariat. 80
Ibn „Ajibah menafsiri kandungan ayat ini, dengan penjelasan sebagai
berikut; “wahai anakku sempurnakalah jiwamu dan dirikanlah shalat,
kerjakanlah yang baik dan jauhilah yang buruk dengan sempurna dan
bersabarlah dari ujian yang menimpa kamu, apabila diperintah untuk
mengerjakan yang baik kerjakanlah, apabila disuruh meninggalkan perbuatan
80
‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, jilid 4 h. 41.
87
yang buruk, maka tinggalkanlah dan sesunggungnya pekerjaan tersebut sudah
memenuhi perintah Allah. Dan perintah yang terdapat dalam ayat ini berlaku
bagi semua umat”.81
Al-Qushayrī berkata: “perintah berbuat kebaikan adalah dengan
perkataan, dan menyampaikannya dengan mencegah dirimu dari sesuatu yang
dilarang. kesibukan dan disifati dirimu dengan apa yang kamu perintahkan
kepada orang lain. Siapa yang tidak bisa me-manage dirinya, maka ia tidak bisa
mengimplementasikan kepada orang lain. Perbuatan baik yang wajib untuk
perintah adalah sesuatu yang dapat menyampaikan seorang hamba kepada Allah
swt., dan perbuatan mungkar yang wajib dilarang adalah apa yang menyibukkan
seorang hamba dari Allah swt”. 82
(Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu) adalah sebuah
peringatan bagi orang yang taat kepada Allah swt dengan benar, maka akan diuji.
Cara dalam menanggulangi ujian tersebut adalah dengan bersabar. Karena orang
yang bersabar kepada Allah swt. maka tidak akan merugi.
4. Komunikasi Nabi Ibrāhīm dan Ismā’īl
Artinya:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-
sama Ibrāhīm, Ibrāhīm berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat
dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
81
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, h. 456 82
Al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt, juz 5, h. 132.
88
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk
orang-orang yang sabar".
Ayat ini ditafsiri oleh Ibn „Ajībah (1747-1809 M)83
dengan mengatakan
bahwa kalimat: “maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)” ditafsiri
sampai pada masa baligh (dewasa), di kalangan para ulama ada perbedaan
pendapat tentang rentang umur yang dianggap sanggup. Ada yang mengatakan
tiga belas tahun dan ada pula yang mengatakan dua puluh tiga tahun”. Terlepas
dari kontroversi tersebut, esensi yang paling penting dari penafsiran ayat tersebut
yaitu menerimanya Nabi Ismā‟īl atas perintah Allah untuk menyembelih dirinya.84
Adapun Ibn „Abd al-Salam menafsiri ayat tersebut dengan mengatakan
yang dimaksud dengan “sampai umur yang sanggup” adalah mereka yang
mampu melaksanakan pekerjaan, ibadah atau pekerjaan (amal) untuk sesuatu yang
diperlukan dan kisaran umurnya adalah tiga belas tahun.85
Menurut Ismā‟īl al-Haqqi86
dalam Tafsir Ruḥ al-Bayan mengatakan bahwa
ا تلغ ) dimaknai dengan anak laki-laki yang duduk bersama Nabi Ibrāhīm (فلو
83
Ia lahir dari keluarga sharif di suku Anjra yang berkisar dari Tangier ke Tetuan
sepanjang pantai Mediterania Maroko. Sebagai seorang anak ia mengembangkan cinta
pengetahuan, menghafal al-Qur`an dan mempelajari mata pelajaran mulai dari tata bahasa Arab
klasik, etika agama, puisi, pembacaan al-Quran dan tafsir. Ketika ia mencapai usia delapan belas
tahun ia meninggalkan rumah dan melakukan studi pengetahuan eksoteris di Qasr al-Kabir di
bawah pengawasan Sidi Muhammad al-Susi al-Samlali. ia diperkenalkan studi dalam ilmu, seni,
filsafat, hukum dan tafsir al-Qur`an secara mendalam. Ia pergi ke Fes untuk belajar dengan
Mohammed al-Tawudi ibn Suda, Bennani, dan El-Warzazi, dan bergabung dengan Darqawiyya
baru di 1208 H (1793 M), yang ia adalah wakil di bagian utara dari wilayah Jbala. Dia
menghabiskan seluruh hidupnya di dalam dan sekitar Tetuan, dan meninggal karena wabah di
1224 H (1809 M). Dia adalah penulis dari sekitar empat puluh karya dan Fahrasa yang
memberikan informasi menarik mengenai pusat intelektual yang Tetuan telah menjadi pada awal
abad ke-19. Di antara keturunannya adalah saudara Ghumari terkenal, adapun nama tafsirnya Al-
Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd. 84
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, (Kairo: Dar Salam, tt), h.
449. 85
Ibn „Abd al-Salām, Tafsir Ibn Abd al-Salām (Kairo: Dar Harb, tt), Jilid 3 h. 67 86
Bursawi lahir pada tahun 1652 setelah ayahnya pindah ke kota Aydos di Balkanians,
ketika seluruh keluarga kehilangan rumah dan mebel mereka karena kebakaran hebat. Dia mulai
89
sembari mendengarkan dan menyimak cerita tentang mimpi Nabi Ibrāhīm untuk
menyembelih anak tesebut, anak tersebut memiliki akhlak yang sempurna dan
umurnya berkisar tiga belas tahun. 87
Adapun dalam Tafsīr al-Bahr dijelaskan bahwa ada seorang anak yang
duduk bersama ayahnya dengan pendengaran yang sungguh-sungguh, ia mengutip
pendapat Ibn Abbās, Mujahid, yang mengatakan bahwa al-Sa‟ya diartikan dengan
Ibadah, perbuatan dan pertolongan sedangkan menuru Imam al-Zamakhshari
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-Sa‟yu yaitu perkiraan tentang
rentrang umur yang dianggap baligh.88
Dari beberapa penafsiran ini, penulis dapat
menyimpulkan bahwa batasan umur yang dianggap mampu itu belum ada
kesepatakan di kalangan ulama.
Kelanjutan ayat berikutnya yang artinya: “hai anakku Sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. “Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
belajar fiqh, tafsir, kalam, hadits, tata bahasa dan linguistik serta logika pada usia dini. Ia juga
dikenal untuk menghasilkan salinan tulisan tangan tentang ilmu. Ketika ia menyelesaikan
pendidikannya, gurunya Osman Fadlee Efendy mengangkatnya ke kota Bursa. Dalam kata-katanya
sendiri, terlepas dari Osman Fadlee Efendy, Bursawi menyebutkan Muhyiddīn Arabi, Abd al-
Qadir al-Jilānī, Ibrāhīm Edhem dan Aziz Mahmood Hudayee sebagai master berpengaruh.
Kemudia ia dikirim ke kota Skobje. Sebelum melakukan perjalanan, gurunya memberi surat. Surat
itu terdiri dari nasihat agar memberitakan masyarakat untuk melakukan hal-hal yang baik yang
diajarkan agama. Melarang mereka untuk melakukan perbuatan salah dan hal yang jahat.
Bersiaplah untuk peringatan yang disebutkan dalam ayat 48 surah al-Qalam. Bersabar dan
bersyukur kepada Allah. Menghabiskan malam untuk menyembah kepada-Nya, takut kepada
Allah, meninggalkan hal-hal yang mungkin mengakibatkan keburukan. Bahkan jika diajak ke
tempat-tempat maksiat yang mungkin terjadi, agar tidak mengikutinya. Apa pun yang ia lakukan
adalah mengajak masyarakat untuk belajar “‟ilm” dan untuk melaksanakan perbuatan baik.
Mendidik mereka tentang tindakan mereka, serta tentang hal-hal iman mereka. Apakah mereka
berada di hadapan Anda atau tidak, berbicara sangat dari mereka. " Ismail Haqqi Bursawi
menghabiskan 10 tahun di Skobje dan kemudian pergi ke Bursa lagi untuk terus mendidik murid-
muridnya. Dia meninggal pada tahun 1725 di Bursa. 87
Ismail Haqqi, Tafsīr Rūḥ al-Bayān, (Beirut: Dār al-Fikr, 1995) Jilid 5, h. 76. 88
Ismail Haqqi, Tafsīr Rūḥ al-Bayān, Jilid 5, h. 77 .
90
sabar” ditafsiri oleh Ibn Abd al-Salam dengan mengatakan bahwa قال الرسىل للا
,(Artinya: bahwa mimpinya para Nabi adalah wahyu) عله وسلن: "رؤا الثاء وح"
dalam mimpi tersebut ada perintah kepada Nabi Ibrāhīm untuk menyembelih Nabi
Ismā‟īl, ini merupakan ujian yang dihadapi keluarga Nabi Ibrāhīm, namun mereka
sabar dalam menghadapi ujian tersebut. Kesabaran inilah yang kemudian akan
melahirkan kekuatan keberagamaannya, kepercayaan untuk taat terhadap perintah
Allah dan keinginannya cepat dikabulkan.89
Sedangkan Ibn „Ajibah menafsiri kata ( قال ات إ أري ف الوام أ أذتحك)
dengan mengartikan dalam mimpi tersebut Nabi Ibrāhīm menyembelih anaknya
(Ismā‟īl), mimpi para Nabi adalah wahyu sehingga meskipun perintah tersebut
diterima ketika tidur sama saja dengan ketika bangun karena semuanya wahyu
kerjakanlah apa yang diperintah yaitu dengan menyembelih (افعل ها تؤهر)
anaknya,90
meskipun hal ini terasa berat tetapi Nabi Ismā‟īl sebagai anak yang
diperintahkan menerima begitu saja, walaupun syaitan menggoda dengan cara
menakut-nakuti keluarga Nabi Ibrāhīm. Peristiwa mimpi yang dialami oleh Nabi
Ibrāhīm as.91
terjadi sebanyak tiga kali. Pertama dinamai dengan yaumu tarwiyah
yang kedua yaumu arafah dan ketiga yaumu al-naḥr. Nabi Ibrāhīm ketika
menceritakan mimpi tersebut sambil menangis dan Nabi Ismā‟īl pun ikut
menangis, namun kedua sama-sama menerima perintah tersebut dan Nabi Ismā‟īl
sebagai anak menerima apa yang diperintahkan kepadanya ini menunjukan bahwa
ia merupakan anak yang mempunyai budi luhur yang mulia.92
89
Ibn „Abd al-Salām, Tafsir Ibn „Abd al-Salām, Jilid 5 h. 78 90
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, h. 345 91
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, h. 345 92
Ibn „Ajibah, Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd, h. 346.
91
Menurut al-Jilānī, ketika Ismā‟il as. lahir dan ia mencapai usia anak-anak
dan tampak darinya al-Rusdu al-Fitri (pikiran yang suci) dan watak yang cedas.
Sampai ia berumur 7 tahun atau 13 tahun. ع ا تلغ هعه الس ”makna dari “al-sa‟ya فلو
berarti mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri dan kepentingan-
kepetingan yang berhubungan kehidupan (mandiri). Kemudian ia pergi dan datang
bersama ayahnya yaitu Nabi Ibrāhīm احتطاب dan kepekerjaannya dengan dibantu
Nabi Ibrāhīm dengan kasih sayang dan tidak membiarkan. Kemudian ketika kasih
sayang Nabi Ibrāhīm telah melekat dan hatinya telah terpaut, di saat bersamaan
Nabi Ibrāhīm telah mencapai kecintaan tertinggi pada Allah. Sampai dalam
mimpinya Nabi Ibrāhīm bertemu dengan Allah. Di dalam mimpi itu, Allah
menyuruh Nabi Ibrāhīm untuk menyembelih anaknya sebagai bukti cintanya.
Pada saat disembelih, Nabi Ismā‟il menampakkan kesabarannya pada ujian itu.
Namun Nabi Ibrāhīm was-was dalam mimpinya karena kengerian akan
penyembelihan tersebut, kemudian ia meminta ampun kepada Allah dan minta
pertolongan. Hal itu berulang sampai 3 kali. Akan hal itu, Nabi sadar dan
menyakini bahwa itu perintah dari Allah karena Nabi memiliki nūr al-nubuwwah.
Nabi melaksanakan perintah Allah masih dengan perasaan khawatir karena rasa
cintanya terhadap anaknya. Tapi Nabi lebih memilih Allah karena cintanya dan
melaksanakan perintah menyembelih anaknya.93
قال ا ت Nabi Ibrāhīm memanggil dan memanjakannya dengan kasih
sayang. Kemudian menceritakan mimpinya kepada anaknya tersebut. Kemudian
mengajak anaknya merenung dan meminta jawaban apakah bisa bersabar atau
93
„Abd al-Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, jilid 4, h. 217-218.
92
tidak. Ismā‟īl menjawabnya dengan menerima dan pasrah terhadap hal itu, demi
untuk menyempurnakan ketaatan dan ketundukan kepada hukum Allah.94
Nabi Ismā‟īl meminta agar melaksanakan penyembelihan ا أتت افعل ها تؤهر
itu untuk mendekatkan diri dan mencari ridha Allah. Selain itu, Nabi Ismā‟īl
menguatkan ayahnya agar jangan ragu untuk menyembelihnya dengan jangan
mempedulikan hubungan ayah-anak. Sekaligus berharap ayahnya menjadi orang
yang sabar.95
berarti mendapatiku bersabar juga ستجد setelah Nabi Ismā‟īl إى شاء للا
berharap mempunyai sifat sabar seperti ayahnya, ia menyandarkan diri kepada
iradah Allah. اتري هي الص mampu menanggung kesulitan dan musibah yang datang
dari sisi yang benar.96
Dari beberapa penafsiran di atas ini mengindikasikan adanya kesamaan
antara penafsiran Imam al-Qushayrī dengan beberapa penafsir lainnya, akan tetapi
ada perbedaan juga meskipun tidak banyak. Hampir sepakat bahwa ada hikmah
dalam ayat tersebut yaitu mengajarkan kesabaran dalam menghadapi ujian atau
cobaan yang diberikan oleh Allah pada manusia. Sebagai orang tua, Nabi Ibrāhīm
menyampaikan perintah tersebut tidak langsung memberikan perintah untuk
menyembelih, namun melalui proses musyawarah dalam keluarga dan Nabi
Ismā‟īl mengikuti apa yang diperintah oleh Allah kepada Nabi Ibrāhīm, ini
menunjukkan bahwa anak tersebut anak yang mempunyai akhlak yang mulia.
94
„Abd al-Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, jilid 4 219. 95
„Abd al-Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, jilid 4 220. 96
„Abd al-Qādir al-Jīlānī, Tafsīr al-Jīlānī, jilid 4 220.
93
C. Nilai Sufistik dalam Tafsir Ayat Komunikasi Orang Tua dan Anak
Pada sub judul ini penulis akan menjelaskan terminologi-terminologi
sufistik yang dianalisis dari ayat-ayat komunikasi orang tua dan anak. Adapun
terminologi sufistik yang dijadikan kajian adalah konsep tasawuf sunni al-
Qushayrī.
Dijadikannya konsep tasawuf sunni al-Qushayrī sebagai objek kajian,
dengan alasan untuk menemukan nilai sufistik yang terkandung dalam ayat-ayat
komunikasi orang tua dan anak yang dijadikan objek penelitian.
1. Tauhid
Dari segi etimologi berasal dari kata waḥada, yaḥidu waḥdan. Akar kata
aḥada adalah waḥada, kemudian huruf wawu diganti dengan ḥamzah, sebagian
huruf-huruf yang di-kasrah dan di-ḍammah diganti. Makna eksistensi Allah swt.
sebagai bersifat Esa didasarkan ucapan ilmu. Dikatakan, “adalah Dzat yang tidak
dibenarkan untuk disifati dengan penempatan dan penghilangan.” Berbeda
dengan ucapan manusia satu, berarti mengatakan, “manusia tanpa tangan dan
tanpa kaki”, sehingga dibenarkan hilangnya, sesuatu dari organ manusia.
Sedangkan Allah swt. adalah ketunggalan Dzat.97
Tauhid adalah menjauhkan langkah dari kebaruan (ḥudūts), berpaling dari
makhluk (hādith) dan menghadap kepada yang qadim, hingga hamba tidak
menyaksikan dirinya sendiri atau yang lainnya.98
Tauhid pada tahap awal adalah
menafikan keberpisahan dan berpegang pada penyatuan. Sedangkan pada tahap
akhir, orang yang bertauhid mungkin lebur dalam penyatuan sekalipun dalam
97
Abū al-Qasim al-Qushayrī al-Naisabury, Risalatul Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf
(Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 373. 98
Imam Ghazālī, Pilar-pilar Rohani (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000), cet 2, h. 24.
94
keadaan terpisah atau lebur dalam penyatuan dengan penyatuan itu sendiri dengan
memandang pada keberpisahan, yang masing-masing dari penyatuan dan
keberpisahan tidak menghalangi satu sama lain.99
Al-Hujwiri mengatakan bahwa tauhid adalah menyatakan keesaan sesuatu
dan memiliki pengetahuan yang sempurna tentang keesaannya. Karena tuhan itu
esa, tanpa ada sekutu, zat dan sifat-sifatnya, tanpa ada yang menyamainya dan
tanpa ada sekutunya dalam tindakan-tindakannya. Pengetahuan tentang keesaan
Allah adalah tauhid.100
Pengesaan ada tiga macam yaitu (1) pegesaan Tuhan akan Tuhan itu
sendiri, yaitu tentang pengetahuan-Nya tentang keesaan-Nya. (2) pengesaan
Tuhan akan makhluk-makhluk-Nya, yakni takdir-Nya bahwa manusia akan
menyatakan Esa dan penciptaan pengesaan di dalam hatinya (3) pengesaan
manusia akan Tuhannya yaitu pengetahuan mereka tentang keesaan Tuhan. Maka
dari itu, apabila ada orang-orang yang mengenal Tuhan. Kemudian ia bisa
mengemukakan keesaannya dan menyatakan bahwa Dia adalah satu, yang tidak
mengalami penyatuan dan pemisahan dan tidak mengenal dualitas.101
Beberapa ayat yang menjadi sampel untuk melihat bahwa ada nilai-nilai
tasawuf dalam komunikasi orang tua dan anak dalam al-Qur`an menunjukan
bahwa ayat yang mengandung komunikasi tentang persoalan tauhid adalah QS.
Luqmān [31]: 13 dan nampaknya tauhid yang digambarkan dalam ayat tersebut
tidak sedetail yang digambarkan oleh para sufi, tauhid yang diajarkan Luqmān
99
Imam Ghazālī, Pilar-pilar Rohani, cet 2, h. 25-26. 100
Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, Penerjemaah Abdul Hadi WM (Bandung: Mizan, 2015),
h. 265. 101
Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, h. 268.
95
kepada anaknya hanya tidak boleh menyekutukan Allah. Ini menunjukan bahwa
tauhid tersebut layak diajarkan kepada anak-anak dan tauhidnya termasuk
penegetahuan tentang tauhidnya orang awam menurut Imam al-Ghazālī. 102
Al-Qushayrī dalam menafsirkan QS. Luqmān [31]: 13 yang merupakan
ayat komunikasi orang tua dan anak ini, menyebut bahwa syirik ada dua macam,
yaitu syirik yang nyata dan syirik yang tersembunyi. Syirik yang nyata yaitu
menyembah berhala, sedangkan syirik yang tersembunyi adalah mengharapkan
sesuatu dari dua hal yang baru. Syirik juga dimaknai sebagai penetapan selain
berbarengan dengan menyaksikan yang ghaib. Ada juga yang memaknai syirik
sebagai kezaliman kepada hati, dan maksiat adalah kezaliman kepada diri sendiri.
Kezaliman kepada diri sendiri ditunjukkan ampunan, sedangkan kezaliman
kepada hati tidak ada cara untuk ditunjukkan ampunan.103
Hal ini menunjukan
dalam komunikasi antara Luqmān dan anaknya menitikberatkan kepada
pengajaran ketauhidan.
Al-Qushayrī dalam kitabnya Rishalat al-Qushairiyah, menyebut tauhid
merupakan suatu hukum bahwa Allah swt. Maha Esa, dan mengetahui bahwa
sesuatu itu satu. Dikatakan, waḥḥadatu jika menyifati-Nya dengan sifat
wahdaniyah. Seperti dikatakan, “anda berani dengan si Fulan bila anda
dihubungkan dengan sifat keberanian (shajā‟ah)”.104
Al-Ghazālī menggambarkan tentang tauhid sebagaimana dikutip oleh
Abdul Muqsith Ghazali, tauhid adalah pangkal atau dasar dari tasawuf adalah
102
Abdul Muqsith Ghazālī, “Tasawuf al-Ghazālī dan Relevansi dalam Konteks Sekarang”
dalam buletin Risalah Edisi Oktober 2016, h. 28-31. 103
Al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt, juz 3, h. 130. 104
Abū al-Qasim al-Qushayrī al-Naisabury, Risalatul Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf
(Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 373.
96
tauhid, bagi Imam Ghazali tauhid bagaikan laut yang tidak bertepi dan dia
membagi pada 4 bagian : (1) orang yang hanya mengucapkan kalimat lā ilāha illa
Allāh tapi hatinya melupakannya berarti imam mereka hanyalah pura-pura saja,
(2) kalimat tauhid yang diucapkan kemudian hatinya mengakuinya, maka ia akan
selamat dari siksa akhirat, (3) melihat Tuhan dengan melihat sesuatu lainnya,
inilah yang disebut dengan kedudukan orang yang dekat kepada Allah dan (3)
bahwa wujud ini hanya satu, Allah ini menunjukan orang tersebut sudah tidak
berwujud.105
2. Sabar
Kata sabar secara bahasa diambil dari bahasa Arab yaitu dari kata al-ḥabsu
(belenggu) atau al-Man‟u (larangan).106
Sedangkan secara istilah, seperti menurut
Zakaria al-Anṣarī yang mengungkapkan bahwa sabar merupakan kemampuan
seseorang untuk mengendalikan diri terhadap sesuatu yang terjadi, baik yang
disenangi maupun yang dibenci. Selain itu, menurut Qasim Junaydī, sabar adalah
mengalihkan perhatian dari urusan dunia kepada urusan akhirat.107
Menurut Ibn Faris, kata sabar dari akar kata ṣa ba ra yang mempunyai tiga
makna dasar. 1) menahan dan mengekang, 2) bagian yang tertinggi pada sesuatu,
dan 3) segala sesuatu yang keras seperti besi, batu dan lainnya.108
Kata Sabar
dengan berbagai turunannya, disebutkan dalam al-Qur`an sebanyak 103 kali yang
tersebar pada 45 surat, 40% dari keseluruhan surat dalam al-Qur`an yang
berjumlah 114, di 93 ayat.
105
Abdul Muqsith Ghazālī, “Tasawuf al-Ghazālī dan Relevansi dalam Konteks
Sekarang” dalam bultin Risalah Edisi Oktober 2016, h. 28-31. 106
Amru Muhammad Kholid, Sabar dan Santun (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, t.t), h. 6. 107
Supiana dan Karman, Materi Pendidikan Islam (Bandung: Rosda, 2003), h. 228. 108
Ibn Faris, Mu‟jam Maqāyis al-Lughah (Beirut: Dār al-Fikr, t.t), jilid 3, h. 257.
97
Menurut al-Iṣfahānī, sabar merupakan upaya menahan diri berdasar pada
tuntutan akal dan agama, atau menahan diri berdasarkan tuntutan akal dan agama,
atau menahan diri dari segala sesuatu yang harus ditahan dengan pertimbangan
akal dan agama. Jadi, sabar adalah kata yang memiliki makna umum. Istilahnya
bisa beragam sesuai perbedaan obyeknya. Apabila menahan diri dalam keadaan
mendapat musibah disebut sabar, kebalikannya adalah al-jaza‟u (sedih dan keluh
kesah).109
Seperti yang dijelaskan dalam QS. Ibrāhīm [14]: 21.110
Sedangkan menurut al-Ghazālī, sabar ada dua macam: pertama, bersifat
fisik, seperti menanggung penderitaan secara fisik dan berusaha tetap tegar
menghadapi. Kedua adalah al-Ṣabru al-Nafsi (menahan diri) dari segala bentuk
keburukan yang menyenangkan dan tuntutan hawa nafsu. 111
Sesuatu yang dinisbatkan kepada kesabaran adalah riyādhah dan tahdzīb
karena di antara buah kesabaran adalah riyādhah yang merupakan latihan
kezuhudan dan tahdzīb (penempaan adab). Ilmu untuk mendapatkannya adalah
dengan cara mempercayai Allah swt.112
Adapun objek sabar di antaranya adalah:
109
Al-Rāghib al-Iṣfahānī, Mu‟jam Mufradāt Alfāḍi al-Qur`an, h. 273. 110
QS. Ibrāhīm [14]: 21:
Artinya:
“Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat
Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong:
"Sesungguhnya Kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, Maka dapatkah kamu
menghindarkan daripada Kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? mereka
menjawab: "Seandainya Allah memberi petunjuk kepada Kami, niscaya Kami dapat
memberi petunjuk kepadamu. sama saja bagi kita, Apakah kita mengeluh ataukah
bersabar. sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri".” 111
Al-Baihaqī, Shu‟abu al-Imān, jilid 7, h. 426. 112
Imam Ghazālī, Pilar-pilar Rohani, cet 2, h. 130.
98
a. Sabar terhadap cobaan dunia
Seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: 155-157.
Artinya:
155. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka
mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun”.
157. mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat
dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk.
b. Sabar terhadap Dorongan Nafsu
Allah memang menguji manusia dengan penderitaan juga kesenangan.
Seperti disebutkan dalam QS. Al-Anbiyā [21]: 35.
Artinya:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-
benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.”
Ketika dalam keadaan emosi, seorang mukmin juga dituntut untuk dapat
menahan diri atau dengan balaslah yang setimpal dan tidak melampaui batas.
Seperti dalam QS. Al-Naḥl [16]: 126.
99
Artinya:
“Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan
yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. akan tetapi jika
kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang
yang sabar.”
c. Sabar dalam Melaksanakan Ketaatan Kepada Allah
Seperti disebutkan dalam QS. Maryam [19]: 65.
Artinya:
“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di
antara keduanya, Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam
beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama
dengan Dia (yang patut disembah)?”
d. Sabar terhadap Gangguan Orang Yang Tidak Beriman
Seperti dalam QS. Āli „Īmrān [3]: 186.
Artinya:
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan
(juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang
diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan
Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar
100
dan bertakwa, Maka Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk urusan
yang patut diutamakan.”
e. Sabar dalam Hubungan Sosial
Seperti dalam QS. Al-Hujurāt [49]: 4-5
Artinya:
4. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu)
kebanyakan mereka tidak mengerti.
5. dan kalau Sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui
mereka Sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
f. Sabar dalam Peperangan
Seperti dalam QS. Al-Anfāl [8]: 45-46.
Artinya:
45. Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan
(musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah
sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.
46. dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar.
Ayat-ayat komunikasi orang tua dan anak yang menjelaskan adalah
perkataan Nabi Ismā‟il atas pendapatnya ia memerintahkan ayahnya untuk
101
melakukan apa yang sudah diperintahkan Allah, menyatakan bahwa perkataan
Ismā‟il – “ya ayahku! Perbuatlah apa yang diperintahkan kepada engkau. Akan
engkau dapati aku -Insya Allah- termasuk orang-orang yang sabar. Alangkah
mengharukan sekali jawaban sang anak. Benar-benar terkabul doa ayahnya yang
memohon diberi keturunan yang terhitung orang yang ṣāliḥ.
Perkataan Ismā‟il dalam QS. al-Ṣaffat [37]:102 menunjukkan bentuk
kesabaran dan kerelaan hatinya atas segala perintah Allah, hal ini menunjukkan
tingginya akhlak dan sopan santunnya kepada Allah dan kesabarannya itu pun
Ismā‟il kaitkan dengan ketetapan Allah.
Ketetapan Allah atau takdir digambarkan oleh dua kata: qadar dan qaḍa.
Kedua-duanya bermakna ketetapan, tetapi memiliki nuansa yang berbeda. Qadar
merupakan makna: ketetapan yang ditentukan sepenuhnya oleh Allah, tanpa bisa
diganggu gugat. Sedangkan qaḍa adalah: ketetapan Allah yang ditentukan
berdasarkan usaha tertentu.
Nilai subtansi dalam tentang kisah percakapan Nabi Ibrāhīm dan Isma‟īl
terdapat pada ayat selanjutnya yaitu: Q.S al-Ṣaffat [37]: 103113
, yaitu bahwa
keduanya - ayah dan anak- aslama berserah diri. Aslamā, yuslimāni, keduanya
berserah diri, sebulatnya, sepenuhnya. Itulah Islam! Semuanya terpulang kepada
Allah. Dengan sikap penyerahan diri kepada Allah sepenuhnya dan sebulatnya
kepada Allah yang demikian itulah sebenar-benarnya agama di sisi Allah.
113
QS. al-Ṣaffat [37]:102
Artinya:
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrāhīm membaringkan anaknya atas
pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).
102
Begitulah bentuk kesabaran Nabi Ibrāhim dan Nabi Ismā‟il menunjukkan
bentuk akhlak yang tinggi kepada Allah, karena Allah telah menciptakan manusia
dengan sebaik-baiknya ciptaan sehingga manusia patut menyembah dan
menyerahkan segalanya kepada Allah karena hakikatnya semua ini merupakan
kepunyaan Allah.
Sabar menurut al-Qushayrī dibagi dalam beberapa macam: sabar terhadap
apa yang diupayakan, dan sabar terhadap apa yang tanpa diupayakan. Mengenai
sabar dengan upaya, terbagi menjadi dua: sabar dalam menjalankan perintah Allah
dan sabar dalam menjauhi larangan-Nya. Sedangkan sabar terhadap hal-hal yang
tidak melalui upaya dari si hamba, maka kesabarannya adalah dalam menjalani
ketentuan Allah yang menimbulkan kesukaran baginya.114
Jadi, bisa dikatakan
bahwa komunikasi antara Nabi Ibrāhīm dan Nabi Ismā‟il merupakan bentuk
kesabaran yang perlu diupayakan. Kesabaran Nabi Ibrāhīm dan Nabi Ismā‟il
terhadap ujian yang mengharuskan melakukan penyembelihan terhadap Ismā‟il
adalah bentuk upaya untuk menjalankan perintah Allah.
Selain QS. al-Ṣaffat [37]: 102, komunikasi orang tua dan anak terkait nilai
sufistik kesabaran terdapat pula pada QS. Luqmān [31]: 17. Sama halnya dengan
komunikasi antara Nabi Ibrāhīm dan Nabi Ismā‟il, di QS. Luqmān [31]: 17 juga
mengandung pesan sufistik mengenai kesabaran yang harus diupayakan oleh
manusia dalam menjalankan perintah Allah dan meninggalkan segala sesuatu
yang dilarang-Nya. Seperti yang dijelaskan al-Qushayrī, perintah berbuat
kebaikan adalah dengan perkatakan dan menyampaikannya dengan mencegah dari
114
Abū al-Qasim al-Qushayrī al-Naisabury, Risalatul Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf,
h. 209.
103
sesuatu yang dilarang. Siapa yang bisa mengatur dirinya, maka akan dapat
mengimplementasikan dirinya kepadan orang lain. Perbuatan baik yang dilakukan
dapat menyampaikan seorang hamba kepada Allah swt. dan kemungkaran adalah
sesuatu yang menyibukkan manusia dari Allah swt.115
3. Cinta
Maḥabbaḥ atau cinta menurut bahasa Indonesia adalah perasaan kasih
sayang; lupa akan kepentingan diri sendiri karena mendahulukan cintanya kepada
Allah.116
Kata maḥabbaḥ berasal dari bahasa Arab: aḥabba, yuḥibbu, maḥabbatan
yang arti harfiahnya adalah mencintai secara mendalam, atau kecintaan, cinta
yang mendalam.117
Secara istilah maḥabbah menurut Sa„īd al-Būṭī bahwa cinta adalah
ketergantungan hati kepada sesuatu sehingga menyebabkan kenyamanan di hati
saat berada di dekatnya atau perasaan gelisah di saat berada darinya.118
Cinta (maḥabbaḥ) merupakan warisan tauhid dan makrifat. Setiap maqam
dan keadaan spiritual (ḥāl) sebelumya kembali pada maḥabbah dan mengambil
manfaat darinya. Makrifat yang berkaitan dengan maḥabbah adalah setiap yang
berkaitan dengan zat Allah swt. dan sifat-sifatnya berupa penolakan kekurangan
dan penegasan kesempurnaan. Maḥabbah tidak memiliki makna selain
kecenderungan pada kelezatan yang sesuai.119
115
Al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt, juz 5, h. 132. 116
Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PT. Media Pustaka
Phoenix, 2012), h. 549. 117
Hamzah Tualeka dkk, Akhlak Tasawuf (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h. 317. 118
Said al-Buthy, Qur‟an Kitab Cinta (Jakarta: Hikmah, t.t), h. 13. 119
Imam Ghazālī, Pilar-pilar Rohani, cet 2, h. 54.
104
Dalam ajaran tasawuf atau kebatinan, hati manusia dipercayai punya
kemampuan rohani dan menjadi alat satu-satunya untuk ma‟rifat pada Zat
Tuhan dan untuk mengenal sifat rahasia alam gaib. Terkait hal ini, al-Ghazālī (w.
505 H) menjelaskan bahwa Zat Tuhan itu sebenarnya terang benderang. Hanya
karena terlalu terang maka tak tertangkap oleh mata manusia. Mata manusialah
yang tak mampu menangkap Zat Tuhan.120
Mengenai hal ini, al-Qushayrī lebih memperinci lagi. Ia menyatakan
bahwa di dalam hati terdapat ruh dan sir. Seterusnya sir dikatakan sebagai tempat
menyaksikan yang gaib, dan ruh merupakan tempat mencintai Tuhan dan hati
adalah tempat untuk ma‟rifat kepada zat Tuhan.
Lebih lanjut, al-Qushayrī mengistilahkan cinta (maḥabbah) sebagai
kondisi yang mulia yang telah disaksikan Allah swt. Melalui cinta itu bagi hamba,
dan dia telah mempermaklumkan cinta-Nya kepada si hamba pula. Karenanya
Allah swt. Disifati sebagai yang mencintai hamba, dan si hamba disifati sebagai
yang mencintai Allah swt. Cinta menurut para ulama berarti kehendak. Tapi yang
dimaksud kaum sufi bukan kehendak. Karena kehendak hamba tidak ada
kaitannya dengan yang qadim, kecuali jika menggunakan perkataan itu si hamba
memaksudkan kehendak untuk membawa pada kehendak mendekat kepada-Nya
dan mengagungkan-Nya.121
Al-Ghazālī juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang
menyebabkan tumbuhnya cinta. Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan
120
Abū al-Qasim al-Qushaīrī al-Naisabury, Risalatul Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf
(Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 4. 121
Abū al-Qasim al-Qushaīrī al-Naisabury, Risalatul Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf,
h. 399-400.
105
mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha
Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
a. Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan
keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun
mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya.
Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan
yang menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan
kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan
hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka ia pun akan mencintai
pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah
Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan
tumbuh. Semakin dalam ia mengenal Tuhannya, maka semakin dalam
pula cintanya kepada Tuhan.122
b. Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai
oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk
menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran
manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah
sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang
122
Abū Ḥamid al-Ghazālī, Ihya‟ Ulumuddin, Jilid 2 h. 64
106
dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif
tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.123
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang
dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka
kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih
mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya, ketika
seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga akan
mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa
menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk
melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan
kata lain, orang yang berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga
terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan
perintah Allah.124
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada
Allah, maka cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya
Allah yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih
apapun. Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia
disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari berbagai pamrih.
Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah
kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah
kepada makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh
siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul
123
Abū Ḥamid al-Ghazālī, Ihya‟ Ulumuddin, Jilid 2 h. 66. 124
Abū Ḥamid al-Ghazālī, Ihya‟ Ulumuddin, Jilid 2 h. 67.
107
arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik,
yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak
terhitung jumlahnya.125
c. Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak
dirasakan
Mencintai kebaikan seseorang merupakan watak dasar
manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat
baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut,
meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang
penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya, meskipun
si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang
penguasa. Sebaliknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu
akan dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung
kelaliman dan korupsi sang pejabat.126
d. Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah
maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang
cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta
kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam al-Shāfi‟ī, misalnya,
dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah
dan penampilan Imam al-Shāfi‟ī betul-betul menarik atau tidak.
Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah.
125
Abū Ḥamid al-Ghazālī, Ihya‟ Ulumuddin, Jilid 2 h. 68. 126
Abū Ḥamid al-Ghazālī, Ihya‟ Ulumuddin, Jilid 2 h. 68.
108
Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada
keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa
rusak dan sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih kekal.127
Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada
keindahan Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah
keindahan rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan
cahaya batin. Orang yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha
Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat kesempurnaan melekat
dalam zat-Nya, maka ia pun akan menyadari betapa indahnya Tuhan,
sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.128
e. Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul
ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa
akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan
mudah berteman dengan sesama dosen daripada dengan seorang
tukang becak. Ketika dua orang sudah saling mengenal dengan baik,
maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari
kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya,
jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena
memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya.
127
Abū Ḥamid al-Ghazālī, Ihya‟ Ulumuddin, Jilid 2 h. 69. 128
Abū Ḥamid al-Ghazālī, Ihya‟ Ulumuddin, Jilid 2 h. 69.
109
Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka
atau bahkan benci.129
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada
Tuhan akan muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini
bukanlah bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun
kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini
merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-Ghazālī
tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi
boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan
diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia,
misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.130
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal
yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada
yang mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang
terdapat dalam jiwa orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah,
sehingga ia mampu mencintai Allah dengan sepenuh hati, hanyalah
dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut adalah wilayah
misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul
mengalami cinta ilahiah.131
Ayat yang menguraikan masalah ini ada pada QS. Al-Sāffāt [37]: 102.
Pada ayat ini menunjukkan komunikasi antara Nabi Ibrāhīm dan Nabi Ismā‟īl
yang mendiskusikan perintah Allah terhadap nabi Ibrāhīm untuk mengorbankan
129
Abū Ḥamid al-Ghazālī, Ihya‟ Ulumuddin, Jilid 2 h. 69. 130
Abū Ḥamid al-Ghazālī, Ihya‟ Ulumuddin, Jilid 2 h. 70. 131
Abū Ḥamid al-Ghazālī, Ihya‟ Ulumuddin, Jilid 2 h. 70.
110
anaknya nabi Ismā‟īl. Komunikasi orang tua dan anaknya ini menunjukkan rasa
cinta yang besar terhadap Allah. Hal ini bisa dilihat dari pengorbanan ayah karena
cintanya terhadap Allah lebih besar dari pada cinta kepada anaknnya, maka ia pun
dengan tekad yang kuat merelakan anaknya dikorbankan. Selain itu, kerelaan
Nabi Ismā‟īl untuk dikorbankan juga menunjukkan kecintaan terhadap Allah lebih
besar dibandingkan rasa cintanya terhadap dirinya sendiri.
4. Murāqabah
Murāqabah berasal dari kata rāqaba, yurāqibu, Murāqabatab yang
artinya: melihat, menjaga, mengawasi. Murāqabah berasal juga dari nama Allah
yaitu: al-Raqīb yang artinya: penjaga segala sesuatu, pengawas segala sesuatu
yang tidak bisa sembunyi dari pengawasannya.132
Murāqabah terdiri atas dua tingkatan, yaitu murāqabah para ṣaddiqīn
(orang-orang yang benar dan tulus) dan murāqabah aṣhāb al-yamīn. Tingkat
pertama murāqabah para ṣaddiqīn adalah muqārabah pengagungan dan
pemuliaan. Yaitu kalbu tenggelam dalam pengawasan keagungan tersebut dan
tunduk di bawah haybah. Sama sekali tidak tersisa lagi baginya keleluasan untuk
berpaling kepada yang lain. Tingkat kedua adalah murāqabah orang yang wara‟
di antara aṣhāb al-yamīn. Mereka adalah kaum yang lahir dan batinnya dikuasai
pengawasan Allah swt. namun, pengawasan Yang Maha Agung itu tidak
menggelisahkan mereka.133
Maka, orang yang mempunyai penglihatan hati dari sejumlah hamba
mengetahui bahwa Allah swt. mengintai mereka dan mereka akan diperdebatkan
132
Ibrāhīm Musṭafā, dkk, Al-Mu‟jam al-Wasīṭ (Turki: al-Maktabah al-Islāmiyah Istambul,
t.t), h. 364. 133
Imam Ghazālī, Pilar-pilar Rohani, cet 2, h. 65-66.
111
dalam hisab dan dituntut dengan seberat atom dari goresan-goresan hati dan masa-
masa sekejap mata.134
Terkait pengertian Murāqabah, al-Qushayrī mengutip komentar dari „Ali
al-Daqqāq yang merujuk sabda Nabi: “jika engkau tidak melihat-Nya,
sesungguhnya dia melihatmu”. „Ali al-Daqqāq menjelaskan bahwa sabda Nabi
tersebut merupakan petunjuk mengenai keadaan mawas diri kepada Allah swt.
Atau yang diistilahkan Murāqabah. Sebab mawas diri adalah kesadaran hamba
bahwa Allah senantiasa melihat dirinya.135
Selain itu, al-Qushayrī juga mengutip
pendapat Ja‟far ibn Naṣr yang memaknai murāqabah dengan menjaga diri
terhadap perkara yang tidak baik dikarenakan adanya kesadaran akan pengawasan
Allah swt. Terhadap setiap bisikan.136
Pesan sufistik dalam ayat komunikasi orang tua dan anak, dapat dilihat
bahwa al-Qushayrī menekankan nilai murāqabah. Hal itu dapat dilihat pada
penafsiran al-Qushayrī terhadap QS. Luqmān [31]: 16 yang penjelasannya bahwa
Allah Maha Mengetahui perkara yang halus dan tersembunyi.137
5. Raja’
Secara etimologi, kata raja‟ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari 3
huruf yaitu: ra, jim dan „ain yang berarti radda (mengembalikan, menjawab,
meolak, memalingkan).138
134
Imam Ghazālī, Terjemah Ihyā` „Ulumuddīn. Terj. Moh. Zuhri, Muqoffin Mochtar dan
Muqorrobin Misbah (Semarang: CV. Asy Syifa‟, 1994), jilid IX, h. 119. 135
Abū al-Qasim al-Qushaīrī al-Naisabury, Risalatul Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf,
h. 218. 136
Abū al-Qasim al-Qushayrī al-Naisabury, Risalatul Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf,
h. 220. 137
Al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt, juz 5, h. 132. 138
Ibn Faris, Mu‟jam Maqāyis al-Lughah, jilid 2, h. 490.
112
Raja‟ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi
di masa yang akan datang, sebagaimana halnya takut adalah berkaitan dengan apa
yang akan terjadi di masa yang akan datang..139
Ibn Khubaiq menjelaskan bahwa ada tiga macam raja‟ yaitu: ada manusia
yang melakukan amal baik dengan harapan amal perbuatannya diterima oleh
Allah swt., ada orang yang melakukan keburukkan kemudian bertobat dengan
harapan memperoleh pengampunan. Ada juga orang yang tertipu diri sendiri, yang
terus melakukan dosa, sambil berkata “aku berharap untuk memperoleh
pengampunan.” Bagi yang tahu bahwa dirinya melakukan amal buruk, takut
selayaknya lebih berkuasa atas dirinya dari pada harap.140
Sedangkan „Alī al-Rudhbarī memberi penjelasan kaitan antara takut dan
harapan dia menyebut: “takut dan harap adalah seperti sepasang sayap burung.
Manakala kedua belah sayap itu seimbang, si burung pun akan terbang dengan
sempurna dan seimbang. Tetapi manakala salah satunya kurang berfungsi, maka
hal ini akan menjadikan si burung kehilangan kemampuannya untuk terbang.
Apabila takut dan harap keduannya tidak ada, maka si burung akan terlempar ke
jurang ke kematiaanya”.141
Menurut Imam al-Ghazālī, raja‟ merupakan sebagian maqamat para
sālikīn dan aḥwal orang-orang yang dalam pencariaan untuk dekat dengan Tuhan.
Hakikat dari mengharap (al-raja‟) dilengkapi pula dengan ḥal, „ilm dan amal. „Ilm
139
Abū al-Qasim al-Qushayrī al-Naisabury, Risalatul Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf,
h. 132. 140
Abū al-Qasim al-Qushayrī al-Naisabury, Risalatul Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf,
h. 133. 141
Abū al-Qasim al-Qushayrī al-Naisabury, Risalatul Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf,
h. 134.
113
sebagai sebab yang dapat menimbulkan ḥal, dan ḥal memerlukan adanya amal.
Sedang al-raja‟ adalah nama ketiganya.142
Terkait dengan komunikasi orang tua, ayat yang menunjukan pengharapan
ada pada QS. Hūd [11]: 45. Seperti yang dijelaskan al-Qushayrī bahwa Nabi Nūḥ
meminta untuk berbicara dengan Allah swt. berkaitan dengan anaknya dan ia juga
memohon belaskasihan-Nya dengan mengatakan bahwa anaknya merupakan
bagian dari keluarganya. Tapi Allah menolak dengan mengatakan bahwa anaknya
bukan bagian keluarganya walau secara nasab dan darah merupakan bagian
keluarga dikarenakan anaknya itu telah berlaku tidak baik.143
6. Riḍa
Menurut etimologi, kata riḍa berasal dari bahasa Arab raḍiya-yarḍā-riḍā
yang memiliki makna bermacam-macam tergantung huruf muta‟addi-nya. Kata
riḍa dalam al-Qur`an dalam bentuk aslinya tidak ditemukan. Tapi, dari kata
dasarnya terulang sebanyak 73 kali. Iṣfahānī membagi riḍa menjadi dua bagian.
Yaitu: pertama, riḍa hamba kepada Allah yaitu tidak membenci (menerima) apa
saja yang menjadi ketetapannya. Kedua, riḍa Allah kepada hamba yaitu: dia
melihat sebagai hamba senantiasa melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-
Nya. 144
Pendapat Abū „Ali al-Daqqāq: “bahwa riḍa bukanlah bahwa engkau tidak
mengalami cobaan, riḍa hanyalah bahwa engkau tidak keberatan dengan hukum
dan qaḍa Allah”. „Abd al-Wāhid ibn Zaid menjelaskan, “keridaan adalah
142
Imam Ghazālī, Terjemah Ihyā` „Ulumuddīn. Terj. Moh. Zuhri, Muqoffin Mochtar dan
Muqorrobin Misbah, 356. 143
Al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt, juz 3, h. 139. 144
Al-Rāghib al-Iṣfahānī, Mu‟jam Mufradāt Alfāḍi al-Qur`an, h. 203.
114
gerbang Allah yang terbesar dan surga dunia.” Maksudnya, siapa yang mendapat
kehormatan dengan riḍa, berarti telah disambut dengan sambutan paling
sempurna dan dihormati dengan penghormatan paling tinggi. Sedangkan Abū
„Abdurrahman al-Daranī menyatakan: “jika hamba membebaskan dirinya dari
ingatan terhadap hawa nafsu, maka akan mencapai riḍa”.145
Adapun sifat dan perilaku yang diridai Allah di antaranya adalah:
a. Ketaatan dan kepatuhan
Seperti disebutkan dalam QS. Al-Fatḥ [48]: 18
Artinya:
“Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika
mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Maka
Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan
ketenangan atas mereka dan memberi Balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat (waktunya).
b. Keteguhan iman
Seperti terdapat pada QS. Al-Taubah [9]: 100.
Artinya:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
145
Abū al-Qasim al-Qushayrī al-Naisabury, Risalatul Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf,
h. 243-244.
115
dengan baik, Allah rida kepada mereka dan merekapun ridha kepada
Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya.
Itulah kemenangan yang besar.”
c. Akidah yang benar
Seperti dijelaskan pada QS. Al-Maidah [5]: 119.
Artinya:
“Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-
orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang
dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-
lamanya; Allah rida terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling
besar”.
d. Saling mencintai karena Allah dan Rasul-Nya
Seperti dalam firman Allah dalam QS. Al-Mujādalah [58]: 22.
Artinya:
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-
anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah
116
orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan
dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka,
dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka
Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu
adalah golongan yang beruntung.
Al-Qushayrī banyak mengutip pendapat-pendapat terkait riḍa. Abū Bakr
ibn Ṭahir berkomentar bahwa keridhaan adalah menghilangkan kesedihan dari
hati hingga tidak sesuatu pun yang tinggal selain kebahagiaan dan kegembiraan.
Al-Wasiṭī mengajarkan: “manfaatkanlah keridaan sebesar-besarnya, dan jangan
biarkan ia memanfaatkan dirimu, agar kemanisan dan wawasannya tidak
menjauhimu dari kebenaran batin yang menyangkut penglihatanmu”. Sedangkan
Ibn Khafif berkata: “rida adalah tenangnya hati dengan ketetapan Allah swt. dan
keserasian hati dengan apa yang menjadikan Allah swt. ridha dan dengan apa
yang dipilih-Nya”.146
Pesan sufistik terkait riḍa pada komunikasi orang tua dan anak terdapat
pada QS. Hūd [11]: 45. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ayat ini
menunjukkan suatu pengharapan orang tua untuk anaknya agar mendapat
pengampunan Allah. Tapi, ayat ini juga memuat pesan sufistik lainnya yaitu riḍa.
Menerima ketetapan Allah bahwa pengharapan Nabi Nūḥ agar anaknya
diselamatkan karena cintanya terhadap anaknya tersebut ditolak.
Selain itu percakapan antara Nabi Ya‟qūb dan Nabi Yūsuf pada QS. Yūsuf
[12]: 4. Pada ayat tersebut berisi cerita mimpi Nabi Yūsuf yang diceritakan
kepada ayahnya Nabi Ya‟qūb. Sebenarnya, Nabi Ya‟qūb mengerti takwil akan
146
Abū al-Qasim al-Qushayrī al-Naisabury, Risalatul Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf,
h. 225.
117
mimpi tersebut, yaitu bahwa nabi Yūsuf akan mendapat kedengkian dari saudara-
saudaranya tapi Nabi Ya‟qūb tetap riḍa dengan musibah yang akan menimpa nabi
Yūsuf.
7. Tawakkal
Kata tawakkal berasal dari kata wakala, yakilu, waklan wa wukūlan yang
berarti menerima sesuatu, menyerahkan, dan merasa cukup dengannya.147
Sedangkan menurut al-Raghib al-Iṣfahānī tawakal adalah kamu menyandarkan
kepada selainmu dan menjadikannya penggantimu.148
Al-Ghazālī menjelaskan
bahwa tawakal adalah menyerahkan urusan kepadanya dan bersandar padanya.149
Ibn „Aṭā` menjelaskan bahwa tawakkal adalah bahwa hendaknya hasrat
yang menggebu-gebu terhadap perkara duniawi tidak muncul dalam dirimu, walau
sangat membutuhkannya, dan hendaknya senantiasa qana‟ah dengan Allah. Abū
Naṣr al-Sarraj mengemukakan bahwa keadaan bertawakkal kepada Allah adalah
seperti yang dikatakan Abū Turab al-Nakhshabī: “mengabdikan jasad untuk
beribadah, mengaitkan hati kepada Allah dan bersikap tenang dalam mencari
kebutuhan duniawi”. Sedangkan menurut Dhun Nūn al-Miṣrī tawakkal kepada
Allah swt. berarti meninggalkan daya upaya, sebab si hamba mampu bertawakkal
kepada-Nya jika ia mengetahui bahwa Allah Maha Tahu dan Maha Melihat akan
keadaanya.150
147
Ibrāhīm Musṭafā, dkk, Al-Mu‟jam al-Wasīṭ, h. 1054-1055. 148
Al-Rāghib al-Iṣfahānī, Mu‟jam Mufradāt Alfāḍi al-Qur`an (Beirut: Dār al-Fikr. T.t), h.
353. 149
Al-Ghazālī, Ihyā` Ulumuddīn (Semarang: Toha Putra, T.t), jilid IV, h. 238. 150
Abū al-Qasim al-Qushayrī al-Naisabury, Risalatul Qusyairiyyah, Induk Ilmu Tasawuf,
h. 181.
118
Tawakkal banyak disebutkan dalam al-Qur`an. Seperti yang disebut dalam
kitab Mu‟jam al-Mufahras li al-Faḍi al-Qur`an menyebut bahwa kata tawakkal
terhitung sebanyak 84 kali dalam 22 surat.151
Adapun ayat yang menerangkan adanya pesan tawakkal terdapat pada QS.
Yūsuf [12]: 67. Al-Qushayrī menjelaskan bahwa ayat ini berisi tentang perintah
Nabi Ya‟qūb kepada anak-anaknya agar berpencar ketika memasuki pintu gerbang
kota - dalam upayanya mencari Nabi Yūsuf - berharap salah satu dari mereka
menemukannya. Dikatakan juga, Ya‟qūb mengira anak-anak yang disuruh itu
benar-benar ingin menolong. Padahal sebaliknya, mereka punya urusan lain
dengan Nabi Yūsuf.152
Meskipun Nabi Ya‟qūb sangat berharap Nabi Yūsuf ditemukan, tapi ia
juga menyertai dengan kalimat berserah diri yaitu: “namun demikian aku tiada
dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah, keputusan
menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nyalah aku bertawakkal dan
hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri”. Hal
ini, menunjukan bahwa dalam komunikasi orang tua – khususnya komunikasi
Nabi Ya‟qūb dengan anaknya – memuat pesan sufistik yaitu berupa pesan
tawakkal (berserah diri).
151
Muhammad Fuad „Abd al-Baqi`, Mu‟jam al-Mufahras li al-Faḍi al-Qur`an, (T.tp: Dār
al-Ḥadīth, 2003), h. 734. 152
Al-Qushayrī, Laṭā‟if al-Ishārāt, juz 2, h. 194.
119
Dari keseluruhan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa dalam
komunikasi orang tua dan anak memuat pesan sufistik. Agar mudahnya, penulis
deskripsikan dalam bagan berikut:
S KOMUNIKATOR
- Nabi Ibrāhīm
- Nabi Ya’qūb
- Nabi Nūḥ
- Luqmān
PESAN
(Nilai Sufistik)
- Tauhid
- Sabar
- Maḥabbah
- Murāqabah
- Raja’ - Riḍa
- Tawakkal
KOMUNIKAN
- Nabi Ismā’īl
- Nabi Yūsuf dan
Saudara-
saudaranya
- Anaknya Nabi
Nūḥ )Kan’an(
- Anaknya Luqmān
120
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian dengan mengkaji penafsiran al-Qushayrī
dalam menfsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan komunikasi orang tua dan
anak, maka kesimpulan yang penulis dapatkan, yaitu:
Nilai sufistik dari ayat komunikasi orang tua dan anak yang ditampilkan
Nabi Ibrāhīm dan Ismā’īl, Luqmān al-Hakim dan anaknya, Ya’qūb, Yūsuf dan
Saudara-saudaranya, Nūḥ dan Kan’an dapat dipetakan sebagai berikut:
1. Tauhid di dalam komunikasi antara Luqmān al-Hakim dengan anaknya
yaitu pada QS. Luqmān [31]: 13.
2. Sabar di dalam komunikasi Nabi Ibrāhīm dan Ismāi’īl pada QS. al-Ṣaffāt
[37]: 102. Selain itu, komunikasi antara Luqmān al-Hakim dan anaknya
juga menunjukkan nilai sufistik kesabaran yaitu pada QS. Luqmān [31]:
17.
3. Maḥabbah di dalam komunikasi antara Nabi Ibrāhīm dan Ismāi’īl pada
QS. Al-Sāffāt [37]: 102
4. Murāqabah di dalam komunikasi antara Luqmān al-Hakim dan anaknya
pada QS. Luqmān [31]: 17.
5. Raja’ di dalam komunikasi antara Nabi Nūḥ dan anaknya pada QS. Hūd
[11]: 45.
121
6. Riḍa di dalam komunikasi antara Nabi Nūḥ dan anaknya pada QS. Hūd
[11]: 45. Selain itu, percakapan antara Nabi Ya’qūb dan Nabi Yūsuf juga
memuat pesan riḍa pada QS. Yūsuf [12]: 4.
7. Tawakal di dalam komunikasi antara Nabi Ya’qūb dan anak-anaknya pada
QS. Yūsuf [12]: 67.
B. Saran
Kajian terhadap Tafsir Sufi –khusunya Tafsīr al-Qushayrī– akan selalu
menarik untuk diteliti. Baik dari sisi sejarah perkembangannya, maupun
penafsirannya. Pada dasarnya, penulisan ini tentu terdapat banyak kekurangan.
Meskipun demikian, penulis berupaya memaksimalkan potensi penulis dalam
menyusun, mengembangkan dan meminimalisir kekurangannya. Setelah
menyusun tesis ini, penulis menyadari banyak sisi esoterik dalam setiap ayat al-
Qur’an. Sehingga perlu dikembangan lebih lajut, karena penelitian yang
berkembang dalam konteks penafsiran al-Qur’an lebih dominan pada sisi
eksoterisnya.
122
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an al-Karīm
Abrar, Arsyad. Memahami Tafsir Sufi Sejarah, Sumber dan Metode. Ciputat:
Cinta Buku Media, 2015.
Al-Aṣfahānī, Al-Rāgib. Mu’jam Mufradāt Alfāz al-Qur`ān. Beirut: Dār al-Fikr, t.t
Al-Alūsi. Rūḥ al-Ma’āni. Beirut: Dār al-Ihyā al-Turāth al-Arabi, t.t.
_______. Tafsir Ruh al-Ma’ni. Beirut: Dār Fikr, 2000.
Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta:
Rineka Cipta, 1993.
Arkoun, Muhammad. Kajian Kontemporer al-Qur’an. Bandung:Penerbit
Pustaka,1998.
Anshori, Aik Ikhsan. Tafsir Ishari: Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir
Shaikh ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī. Ciputat: Referensi, 2012.
Astuti, Robitoh Widi “Komunikasi Orang Tua dan Anak Perspektif Kisah dalam
Al-Qur‟an”. Tesis: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011.
Baidan, Nasruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta;Pustaka
Pelajar,1998.
Al-Baqi`, Muhammad Fuad „Abd. Mu’jam al-Mufahras li al-Faḍi al-Qur’an,
(T.tp: Dār al-Ḥadīth, 2003.
Bashūnī, Ibrāhīm. al-Imām al-Qushairī:Sirātuh, Asāruh, madhhabuh fī al-
Taṣawwuf. Kairo: Majma‟ Buḥūs al-Islamiyyah, 1972.
Al-Buthy, Said. Qur’an Kitab Cinta. Jakarta: Hikmah, t.t.
Al-Dāwudī, Shams al-Dīn Muḥammad ibn „Alī ibn Aḥmad. Ṭabaqāt al-
Mufassirīn. Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.t.
Al-Dzahabī, Muḥammad Ḥusayn Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Kairo: Maktabah
Wahbah, 2000.
Effendy, Onong Uchjana. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1993.
123
Al-Farmāwī , Abū Ḥayy. Al-Bidayah fīTafsīr al-Mauḍū’ī, terjemahan:Suryan A.
Jamrah. Jakarta:PT. Raja Grafindo,1996.
_______. Al-Bidāyah fī Tafsīr al-Mauḍū’ī. T.tp.: T.p, 1977.
Fuaduddin TM, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam. Jakarta: Lembaga
Kajian Agama dan Jender kerja sama dengan Perserikatan Solidaritas
Perempuan, 1999.
Al-Ghazālī, Pilar-pilar Rohani. Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000.
_______.
Terjemah Ihyā` ‘Ulumuddīn. Terj. Moh. Zuhri, Muqoffin Mochtar dan
Muqorrobin Misbah. Semarang: CV. Asy Syifa‟, 1994.
Gusmian, Islah. Khazanah tafsir Indonesia; Dari Hermeneutik hingga Idiologi.
Bandung:Teraju, 2003.
Hasan, Muhammad Tholhah. Wawasan Umum Ahlussunnah wal Jama'ah.
Jakarta: Lantabora, 2006.
Haqqi, Ismail. Tafsīr Rūḥ al-Bayān. Beirut: Dār al-Fikr, 1995.
Hitti, Philip K. History of The Arab. Jakarta: PT. Serambi Ikmu Semesta, 2010.
Al-Hujwiri. Kasyful Mahjub. Terj. Abdul Hadi WM. Bandung: Mizan, 2015.
Ibn „Ajibah. Al-Baḥr al-Madīd fī Tafsir al-Qur’ān al-Majīd. Kairo: Dār al-Salam,
t.t.
Ibn Faris. Mu’jam Maqāyis al-Lughah. Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
Ibn Kathīr, Abū al-Fidā‟ Ismā„īl. Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm. Mesir:Muassasah al-
Qurtubah, 2002.
Al-Jilānī, „Abd al-Qādir, Al-Fawātiḥ al-Ilahiyyah wa al-Mafātiḥ al-Ghaibiyyah li
al-Muwaḍḍiḥah li al-Kalim al-Qur`āniyyah wa al-Ḥikam al-Furqāniyyah
wa al-Ḥikam al-Furqāniyyah. Turki: Markaz al-Jilānī li al-Buhuth al-
„Ilmiyyah, 2009.
Juwariyah. Dasar-dasar Pendidikan Anak dalam Al-Qur’an. Yogjakarta: Sukses
Offset, 2010.
Kholid, Amru Muhammad. Sabar dan Santun. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, t.t.
Al-Maraghī, Musṭafā. Tafsir al-Maraghī. T.tp.: t.pn. 1946.
Muhaya, Abdul. Tasawuf dan Krisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
124
Munir, Abdul. “Penafsiran Imām al-Qusyairī dalam Kitab Tafsir Laṭaif al-Isyārat
(Studi tentang Metode Penafsiran dan Aplikasinya)”. Disertasi:
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.
Musṭafā, Ibrāhīm dkk, Al-Mu’jam al-Wasīṭ. Turki: al-Maktabah al-Islāmiyah
Istambul, t.t.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta:LKIS, 2010.
Nasuhi, Hamid dkk, Buku Pedoman Akademik Penulisan Skripsi, Tesis dan
Disertasi. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011.
Al-Qaṭṭān, Mannā „ Khalīl. Mabāḥith fī ‘’Ulūm al Qur`ān. Riyad: Manṣūrāt al
„Aṣr al Ḥadīth 1973.
--------------. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir AS. Jakarta: Litera Antar
Nusa, 1992.
Al-Qurṭūbī, Abū „Abdillāh Muḥammad. al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān.
Beirut:Muassasah al-Risālah, 2006.
Al-Qushayrī, Abū al-Qāsim „Abd al-Karim ibn Hawazin. al-Risālat al-
Qushayrīyah fī ‘Ilm al-Taṣawwūf, terj. Mohammad Luqman Hakiem.
Beirut: Dār al-Khair, t.t.
_______, Laṭāif al-Ishārāt. Kairo: Dār al-Kātib al-„Arabī, 1971.
_______. Laṭāif al-Ishārāt. Mesir: Dār al-Kātib al-„Arabī, 1974.
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda-karya,
1996.
--------------. Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim.
Bandung: Mizan, 1994.
Al-Rāzī, Fakhr al-Dīn. Tafsīr Mafātīḥ al-Ghaib. Beirut:Dar al-Fikr, 1981.
Al-Salām, Ibn „Abd. Tafsir Ibn Abd al-Salām. Kairo: Dār Harb, t.t.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1995.
Siroj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Bandung: PT. Mizan Pustaka,
2006.
Asy-Syirbashi, Ahmad. Sejarah Tafsir Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.
125
Sobur, Alex. Komunikasi Orang tua dengan Anak. Bandung: Aksara,1986.
Syukur, Amin. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Supiana dan Karman. Materi Pendidikan Islam. Bandung: Rosda, 2003.
Al-Suyūti, Jalāluddin. Al-Itqān fī ‘Ulum al-Qur`ān. Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
Al-Taftazanī, Abū al-Wafa. Madkhal ila Tasawwuf al-Islamī. Kairo:Dar al-
Thaqafah, t.t.
Tim Pustaka Phoenix. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Media
Pustaka Phoenix, 2012.
Tualeka, Hamzah dkk, Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN SA Press, 2011.
Al-Zajjāj, Abū Ishāq Ibn Ibrāhīm. Ma‘ān al-Qur’an wa I‘rābuh. T.tp: Alim al-
Kutūb, 1977.
Al-Zamakhshārī. al-Kashshāf. Riyādh:Maktabah al-Abikan, 1998.
Al-Zarkashī, Al-Burhān fī ‘Ulum al-Qur’ān. Kairo: Dār al-Turath, t.t.
Al-Zuhailī, Waḥbah. Tafsīr al-Munīr. Beirut:Dār al-Fikr,1991.
.