1
AMDAL SEBAGAI INSTRUMEN PENCEGAH BENCANA ALAM
(Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang,
ISSN: 0854-7254, Vol. VIII No. 16, Agustus 2002, h. 41-47)
Abdul Rokhim1
Abstrak
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) merupakan
instrumen hukum lingkungan yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan
mengenai suatu usaha atau kegiatan (proyek) yang diperkirakan menimbulkan
dampak besar dan penting bagi lingkungan. AMDAL sebagai sumber informasi yang
direkam dengan baik dapat membantu mencegah bencana alam, seperti banjir,
kekeringan, kebakaran, longsor, dan-lain, atau setidak-tidaknya mengurangi
kerugian atau kerusakan akibat bencana alam yang disebabkan atau dipicu oleh
akivitas orang.
Kata kunci: AMDAL; Pencegah; Bencana Alam
1. Pendahuluan
Frekuensi bencana alam di Indonesia pada akhir tahun 2001 dan awal tahun
2002, seperti banjir, tanah longsor, dan letusan gunung berapi terus meningkat serta
telah memakan korban ribuan manusia dan harta benda. Kerugian material yang
diderita oleh negara dan masyarakat tidak terhitung jumlahnya.
Secara garis besar, bencana alam dapat disebabkan oleh 2 (dua) peristiwa,
yakni: proses alam dan perbuatan manusia.
Sepanjang bencana alam yang disebabkan oleh proses alam, menurut Koesnadi
Hardjasoemantri (2002:3), maka upaya pencegahan dikaitkan dengan pencegahan
penderitaan yang akan dialami masyarakat apabila peristiwa tersebut terjadi. Apabila
terjadi tanah longsor karena hujan yang terus-menerus dan keadaan tanah di sekitar
itu labil, maka yang dapat dilakukan adalah membuat sistem peringatan dini (early
warning system), sehingga penduduk dapat mengungsi pada saat yang tepat.
Demikian pula bencana alam yang disebabkan oleh meletusnya gunung berapi,
sistem peringatan dini telah tersedia dengan memanfaatkan teknologi yang relatif
cangggih.
Sebaliknya, apabila bencana alam itu disebabkan oleh perbuatan manusia,
maka upaya pencegahan dikaitkan dengan penggunaan instrumen yang dapat
mencegah terjadinya bencana alam tersebut. Pencegahan terjadinya banjir yang
disebabkan oleh dibangunannya pemukiman penduduk di daerah resapan air dapat
dilakukan dengan menggunakan instrumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL). Kedudukan AMDAL dalam hal ini adalah sebagai instrumen pengaman
masa depan. Apabila hasil AMDAL menyatakan bahwa rencana kegiatan
pembangunan pemukiman tersebut tidak layak karena diperkirakan akan
menimbulkan dampak besar dan penting berupa perusakan/pencemaran lingkungan
1Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.
2
atau tidak sesuai dengan rencana tata ruang, maka rencana kegiatan tersebut harus
ditolak dan seharusnya izin tidak diberikan.
Persoalannya adalah sampai sejauh mana AMDAL dapat digunakan sebagai
instrumen pencegah terjadinya bencana alam?
Untuk membahas masalah tersebut di atas, berikut ini diuraikan sekilas tentang
pengertian, fungsi dan posisi AMDAL dalam sistem hukum lingkungan dan sistem
tata ruang Indonesia.
2. Pengertian AMDAL
Istilah dampak lingkungan merupakan terjemahan dari “Environmental
Impact”, sedangan istilah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
merupakan terjemahan dari “Environmental Impact Analysis” atau “Environmental
Impact Statement” atau “Environmental Impact Assessment” (Abdurrahman,
1986:73-74). Istilah AMDAL telah dipergunakan secara baku baik dalam UU No. 4
tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun undang-
undang penggantinya, yakni UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Pengertian AMDAL menurut Pasal 1 angka 10 UU No. 4 tahun 1982 adalah
“hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap
lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan”. Definisi
AMDAL ini kemudian direvisi oleh Pasal 1 angka 21 UU No. 23 tahun 1997
menjadi: “kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan
yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan”.
Perbedaan pengertian AMDAL menurut kedua undang-undang tersebut adalah
definisi yang pertama lebih menitikberatkan pada “hasil” dari analisis atau studi
mengenai dampak dari kegiatan (proyek) yang direncanakan itu, sedangkan definisi
yang kedua lebih menitikberatkan pada “proses” studi atau kajian mengenai dampak
besar dan penting2 dari proyek yang direncanakan itu.
Munadjat Danusaputro (1981:12) tidak menggunakan istilah AMDAL
melainkan istilah Analisa Dampak Lingkungan (ANDAL atau ADL) yang berarti:
“suatu studi yang mempelajari pengaruh dari suatu kegiatan manusia,
khususnya suatu proyek, terhadap lingkungan secara utuh dan menyeluruh
baik pengaruhnya yang positif maupun yang negatid dengan tujuan untuk
terakhirnya memperkecil pengaruh negatifnya dan memperbesar pengaruh
positifnya terhadap lingkungan”.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka jelaslah bahwa AMDAL pada
hakekatnya adalah suatu studi (analisis) yang di dalamnya mengandung suatu proses.
Proses itu menurut Munadjat Danusaputro (1981:13), mencakup antara lain:
a. pengumpulan data dan informasi;
b. penelitian dan penyelidikan data serta informasi tersebut;
2Menurut Penjelasan Pasal 15 UU No. 23 tahun 1997, kriteria “dampak besar dan penting”
dari proyek yang direncanakan, antara lain ditentukan oleh faktor-faktor:
a. besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan atau kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
3
c. penilaian (evaluasi) data dan informasi yang tersedia;
d. perkiraan tabiat dan akibat serta kemungkinan data dan informasi;
e. kesimpulan dan konsep penanganannya.
3. Fungsi dan Tujuan AMDAL
Pasal 1 angka 10 UU No. 4 tahun 1982 maupun Pasal 1 angka 21 UU No. 23
tahun 1997 sama-sama menegaskan bahwa AMDAL diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan. Dengan perkataan lain, studi AMDAL digunakan sebagai
alat bantu bagi proses pengambilan keputusan yang menjadi dasar diperkenankan
atau tidaknya suatu usulan proyek.
AMDAL merupakan bagian dari atau masukan pada siklus proyek atau project
cycle (ADB, 1997). Oleh karena itu, AMDAL selalu diintegrasikan pada studi
kelayakan sutau proyek atau kegiatan (Pasal 2 ayat (1) UU No. 23 tahun 1997) yang
diperkirakan mempunyai dampak besar dan penting (Pasal 15 UU No. 23 tahun
1997). Dengan perkataan lain, AMDAL tidak dapat digunakan untuk menilai suatu
proses alami, bahkan tidak mungkin dikenakan pada suatu kegiatan biasa yang
sifatnya non-project yang dilakukan oleh individu atau masyarakat (Silalahi,
2002:1).
AMDAL bertujuan untuk memahami dampak dari suatu kegiatan
pembangunan terhadap lingkungan fisik/kimia/biologi dan lingkungan sosial budaya
(termasuk sosial ekonomi) dari masyarakat yang dikaji secara interdisipliner.
Dengan mempelajari dan memanfaatkan hasil dari studi AMDAL, maka diharapkan
pembangunan akan dapat dilaksanakan dengan tetap memelihara keserasian
hubungan timbal balik antara manusia dengan sumber daya alam dan lingkungan
hidupnya. Karena itu, studi ini harus dilaksanakan dengan tujuan untuk dimanfaatkan
dalam proses pengambilan keputusan (baca: perizinan) dan perencanaan dari suatu
kegiatan pembangunan (Abdurrahman, 1986:85-86).
Sebagai salah satu instrumen kebijaksanaan lingkungan, AMDAL merupakan
proses yang meliputi penyusunan berturut-turut dokumen-dokumen kerangka acuan,
analisis dampak lingkungan (ADL) dan rencana pemantauan lingkungan. Proses ini
dalam bahasa Inggris disebut “Environmental Impact Assessment” atau
“Environmental Impact Analysis” atau dalam bahasa Belanda disebut “Milieu-
effectrapportage” (Rangkuti, 1996:110).
Oleh karena kegiatan pembangunan, seperti pengembangan kawasan industri,
perumahan, perkantoran, dan lain-lain, baik di daerah hulu maupun hilir dapat
menimbulkan dampak yang serius bagi lingkungan, misalnya berupa banjir dan tanah
longsor, maka sejak dini perlu dipersiapkan langkah untuk mencegah atau
mengurangi sedapat mungkin terjadinya dampak negatif melalui prosedur perijinan
lingkungan. AMDAL merupakan bagian dari proses perencanaan kegiatan yang
menjadi pangkal tolak pengaturan dalam prosedur perijinan lingkungan. Dengan
demikian, AMDAL juga bertujuan untuk menjaga agar kondisi lingkungan tetap
berada pada suatu derajat mutu tertentu demi menjamin kesinambungan
pembangunan (Sustainable Development).
Meskipun tak dapat disangkal bahwa secara normatif peranan AMDAL
sangatlah penting dan menentukan dalam upaya pelestarian lingkungan, namun
dalam tataran praksis semuanya bergantung pada kemauan dan kemampuan instansi
yang berwenang dalam memberikan keputusan mengenai izin AMDAL sesuai
dengan ukuran-ukuran dan syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan mengenai
4
AMDAL (baca juga: PP No. 51 tahun 1993 tentang AMDAL). Kecerobohan atau
penyalahgunaan wewenang dalam memberikan keputusan mengani AMDAL
tentunya sangat berbahaya bagi kelestarian dan keseimbangan lingkungan, yang pada
akhirnya disadari atau tidak dapat menimbulkan bencana alam sebagai akibat dari
kegiatan manusia yang salah dalam mengelola lingkungan.
4. Posisi AMDAL dalam Sistem Hukum Lingkungan
Posisi AMDAL dalam sistem hukum lingkungan Indonesia dapat ditelusuri
melalui ketentuan dalam Pasal 15 UU No. 23 tahun 1997 yang menyatakan bahwa
“setiap rencana usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki AMDAL”.
Atas dasar ketentuan tersebut, UU No. 23 tahun 1997 sebagai landasan AMDAL,
menurut Silalahi (2002:1-2), mengandung beberapa hal penting, yaitu:
a. AMDAL merupakan salah satu instrumen hukum penting dalam sistem hukum
lingkungan Indonesia, terutama sebagai alat prediksi secara dini kemungkinan
dampak besar dan penting yang dapat terjadi dari suatu kegiatan yang
direncanakan (aspek hukum preventif).
b. AMDAL juga merupakan instrumen pengelolaan kegiatan untuk meningkatkan
efisiensi dan mencegah atau mengurangi kemungkinan dampak yang tidak
diharapkan dalam sistem pengelolaan kegiatan, meningkatkan ketaatan pada
kebijakan lingkungan yang ditetapkan oleh pemerintah (aspek hukum pengelolaan
lingkungan).
c. AMDAL dapat pula berfungsi sebagai alat bukti hukum (scientific evidence) bagi
penyelesaian sengketa lingkungan dari berbagai kasus lingkungan melalui
transformasi hasil studi dampak lingkungan ke dalam bahasa hukum baku di
pengadilan dengan melibatkan saksi ahli (alat bukti ilmiah dalam sengketa
lingkungan).
d. AMDAL dapat pula membantu menyusun sistem informasi bagi rencana kegiatan
sejenis atau studi kelayakan kawasan di sekitarnya, sehingga dapat mempercepat
proses studi dan mengurangi biaya-biaya studi awal dari kegiatan berikutnya
(sistem informasi lingkungan).
e. AMDAL dapat meningkatkan kualitas proses pengambilan keputusan yang
informasinya mengandung pengertian teknis dan ilmiah ke dalam proses yang
melibatkan berbagai stakeholders.
5. Posisi AMDAL dalam Sistem Hukum Tata Ruang
Sistem hukum tataruang terbentuk melalui pengertian penataan ruang menurut
UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Yang dimaksud dengan “penataan
ruang” adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
Keterkaitan AMDAL dengan sistem hukum tata ruang diperlihatkan dalam
sistem perizinan menurut pasal 18 dan 19 UU No. 23 tahun 1997. Dalam
menerbitkan izin melakukan usaha da/atau kegiatan wajib diperlihatkan rencana tata
ruang (RTR). Dilihat dari ketentuan tersebut, pasisi AMDAL dalam sistem hukum
tata ruang, menurut Silalahi (2002:2), antara lain meliputi:
a. Dari siklus proyek, posisi AMDAL sangat sentral karena tahap awal dari siklus
proyek merupakan perencanaan umum (lihat: bentuk dan struktur konsep RTR
berdasarkan UU No. 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang, yang meliputi: RUTR,
5
RDTR, dan RTTR)3 dapat memberikan deskripsi faktual tentang kondisi dan
karakter lingkungan sebagai bagian dari studi kelayakan;
b. Dari hukum perencanaan (Planning Law) akan membantu studi AMDAL dari segi
peruntukan kawasan, mengurangi perbenturan rencana kegiatan melalui RTRW;
c. Dengan adanya AMDAL, informasi yang diperoleh berdasarkan penataan ruang,
seperti RTRW, termasuk konsep GIS (Geological Information System) yang
dikembangkan di Bappeda, dapat mengurangi terjadinya dampak besar dan
penting yang membahayakan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat dan risiko
atau kerugian lingkungan pada kegiatan yang direncanakan;
d. Perda tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dapat membantu rencana
pembangunan di daerah;
e. Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Perda
tentang RTRW Kabupaten/Kota di samping merupakan peluang
untukmeningkatkan investasi sekaligus juga merupakan sarana melakukan
perkiraan kemungkinan banjir, longsor dan peristiwa alam lainnya sebagai
instrumen preventif kebijakan pembangunan berdasarkan konsep tata ruang di
daerah.
6. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
a. AMDAL merupakan instrumen hukum lingkungan yang digunakan dalam proses
pengambilan keputusan mengenai suatu usaha/kegiatan (proyek) yang
diperkirakan menimbulkan dampak besar dan penting bagi lingkungan;
b. AMDAL dalam sistem hukum lingkungan Indonesia secara garis besar memiliki 2
fungsi, yaitu di satu sisi AMDAL merupakan studi kelayakan untuk melaksanakan
suatu rencana usaha/kegiatan dan di sisi lain AMDAL merupakan syarat yang
harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha/kegiatan;
c. Apabila mekanisme studi ilmiah dalam rangka pemberian atau penolakan
AMDAL telah dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang secara profesional,
obyektif, cermat dan bijaksana sesuai dengan syarat-syarat ilmiah dan prosedur
hukum yang benar, maka fungsi AMDAL sebagai alat prediksi terjadinya dampak
besar dan penting, khususnya bencana alam yang disebabkan oleh faktor kegiatan
manusia (bukan karena proses alam), dapat dicegah atau dalam batas-batas
tertentu dapat dikurangi dampak negatifnya;
d. Studi AMDAL sebagai sumber informasi yang direkam dengan baik (sistem
pelaporan lingkungan) dapat membantu mengurangi bencana alam yang
disebabkan oleh banjir, longsor dan pengaruh gunung berapi), setidak-tidaknya
mengurangi tingkat kerusakan/kerugian hingga pada kisaran tertentu, apabila hal
itu dijadikan kebijaksanaan pembangunan (Environmental Administrative
Control).
3RTR (Rencana Tata Ruang), RDTR (Rencana Detail Tata Ruang), dan RTTR (Rencana
Teknis Tata Ruang).
6
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman (1986), Pengantar Hukum Lingkungan, Alumni, Bandung.
Koesnadi Hardjasoemantri (2002), “Hukum Lingkungan dan Implementasinya
terhadap Keseimbangan Ekosistem di Indonesia”, Makalah, Seminar Nasional
Pengaturan Hukum mengenai Korban Bencana Alam, Kerjasama FH-UII dan
Jica Jepang, Yogyakarta.
----------, (1989), Hukum Tata Lingkungan, Ed. IV, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Munadjat Danusaputro (1981), “Dasar Hukum Pengaturan Kebijakan dalam
Pelaksanakan Analisa Dampak Lingkungan”, Makalah, Lokakarya Analisis
Dampak Lingkungan dalam Pembangunan Nasional, Bandung.
Rangkuti, Siti Sundari (1996), Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional, Cet. I, Airlangga University Press, Surabaya.
Silalahi, M. Daud (2002), “Peraturan Hukum mengenai Korban Bencana Alam
Akibat Banjir, Tanah Longsor dan Letusan Gunung Berapi”, Makalah, Seminar
Nasional Pengaturan Hukum mengenai Korban Bencana Alam, Kerjasama FH-
UII dan Jica Jepang, Yogyakarta.
7
8
9
10