Download - Paulo freire dan pemikirannya
BAB I
PENDAHULUAN
Paulo Freire lahir pada 19 september 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Brasil
bagian Timur Laut, wilayah kemiskinan dan keterbelakngan. Ayahnya Joaquim Temistocle
Freire adalah seorang anggota polisi militerdi Pernambuco yang berasa dari Rio do Norte, dia
penganut aliran kebatinan, tanpa menjadi anggota dari agama resmi, baik budi cakap dan
mampu untuk mencintai. Ibunya Edeltrus Neves Freire berasal dari Pernambuco, beliau
beragama katolik, lembut baik budi, dan adil. Merekalah dengan contoh dan cinta
mengajarkan kepada Paulo Freire untuk menghargai dialog dan menghargai pendapat orang
lain.
Pada tahun 1929 krisis ekonomi mulai melanda brasil, keluarga Freire adalah
termasuk keluarga kelas menengah dan mengalami kejatuhan financial yang hebat, sehingga
Freire terpaksa belajar mengerti apa artinya menjadi lapar bagi seorang anak sekolah.
Professor Richard Shaull dalam kata pengantar bahasa inggris pada buku Pendidikan Kaum
Tertindas mengungkapkan bahwa pengalaman mendalam akan kelaparan sewaktu masih
bocah menyebabkan Freire pada umru sebelas tahun bertekad untuk mengabdikan
kehidupannya pada perjuangan melawan kelaparan agar anak-anak lain jangan sampai
mengalami kesengsaraan yang tengah di alaminya itu. Setelah situasi keluarganya agak
membaik, Paulo Freire mampu menyelesaikan pendidikan sekolah lanjutan dan masuk
Universitas Recife dengan mengambil Fakultas Hukum. dia juga belajar filsafat dan sosiologi
bahasa dan menjadi guru penggal waktu bahasa Portugis di sekolah lanjutan.
Pada Tahun 1944, Freire menikah dengan Elza Maia Costa Oliviera, seorang guru
sekolah dasar yang berasal dari Recife dan memiliki tiga orang putri dan dua orang putra.
Pada masa itu perhatiannya mengenai teori-teori pendidikan mulai tumbuh, dia lebih banyak
1
membaca dan mempelajari tentang pendidikan dari pada tentang guru. Pada masa itu, dia
bekerja sebagai pejabat dalam bidang kesejahteraan, bahkan menjadi direktur bagian
pendidikan dan kebudayaan SESI (Pelayanan Sosial) di Negara bagian Pernambuco.
Pada tahun 1961 Presiden Brasil Janio Quadros di gantikan oleh Joao Goulart, pada
masa pemerintahan Goulart, Freire di tugaskan menjadi direktur Pelayanan Extension
Kultural Universitas Recife yang menerapkan program kenal aksara di kalangan petani di
daerah timur laut. Metode yang di pakai di kenal sebagai metode Paulo Freire, meskipun dia
sendiri tidak pernah mau menamakan demikian. Disaat itu Paulo Freire beserta timnya
berhasil menarik kaum tuna aksara untuk belajar membaca dan menulis dalam waktu cukup
singkat, yaitu tidak lebih dari 45 hari.
Pada tahun 1964 Puolo Freire di penjarakan dengan tuduhan menjalankan kegiatan
Subversif1, dan di bebaskan setelah mendekam dalam penjara selama tujuh puluh hari,
kemudian Freire hijrah ke Cili dan bekerja selama 5 Tahun di sana. Program-programnya
disetujui oleh di restui oleh pemerintah Cili pada waktu itu dan menarik perhatian
internasional khususnya UNESCO, tidak hanya berhenti di situ Freire juga diminta menjadi
penasehat dalam menata kembali pendidikan pertanian pada lembaga Penelitian dan Latihan
Agraria (ICIRA) yang bekerja sama dengan FAO. Menjelang tahun 1970 Freire mendapat
undangan dari Amerika Serikat untuk menjadi Tenaga Ahli Pusat Studi Pendidikan dan
Pembangunan, Universitas Harvard. Freire kemudian bekerja sebagai penasihat khusus
Kantor Pendidikan Dewan Gereja se-Dunia di Jenewa, dia juga menjabat Ketua Komite
Eksklusif Institut d’Action Culturelle (IDAC) yang berpusat di jenewa, lembaga itu
mengadakan sejumlah penelitian dan eksperimen atas dasar pemikiran-pemikiran Paulo
Freire, sampai pada pertengahan tahun 1979 Paulo freire tetap tidak di perbolehkan
1 Subversif yaitu gerakan dalam usaha atau rencana menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan menggunakan cara di luar undang-undang
2
menginjakkan kaki di tanah airnya.. dia di izinkan kembalin ke Brasil sewaktu Joao Batista
Figuelredo memerintah sebagai Presiden Brasil dan tahun berikutnya Freire bergabung
dengan partai buruh di Sao Paulo, dia di angakat menjadi guru besar di Universitas Negeri
Campinas dan Universitas Katolik Sao Paulo pada tahun 1986, istrinya Elza meninggal dunia
dan kemudian Freire menikahi Maria Araujo mantan mahasiswinya. Dua tahun setelah itu
Partai Buruh keluar sebagai pemenang pemilu di Brasil dan dia di angkat menjadi pimpinan
Sekertariat Pendidikan untuk kota Sao Paulo yang di jabatnya selama kurang lebih 2 tahun.
Pada tahun 1991 berdiri Institut Paulo Freire di Sao Paulo dengan 21 kelompok inti
cendekiawan yang tersebar di 18 Negara. Institut yang menyimpan arsip-arsip Freire tersebut
didirikan atas anjuran Paulo Freire. Pada tahun 1997, Paulo Freire meninggal dunia di rumah
sakit Albert Einstein pada usia 75 Tahun karena serangan jantung. Beberapa karya beliau
yang terkenal sampai saat ini adalah Pedagogy of the Oppressed (1970), Pedagogy of City
(1993), Pedagogy of Hope (1995), Pedagogy of Heart (1995), Pedagogy of Freedom (1998),
Pedagogy of Indignation (yang di terjemahkan kedalam bahasa inggris 2004). Beberapa buku
Paulo Freire yang telah di terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, seperti Politik Pendidikan
(1999), Pendidikan Sebagai Proses (1998), buku beliau yang paling terkenal adalah
Pedagogy of Oppressed yang di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul
Pendidikan Kaum Tertindas.
Dalam makalah ini penyusun dengan segalah keterbatasannya berupaya untuk
menjelaskan seperti apa pendidikan dalam perspektif seorang Paulo Freire dan berupaya
mendeskripsikan dengan jelas pandangan-pandangan, buah pemikiran, serta teori-teori beliau
yang sangat berpenggaruh dalam dunia pendidikan. tujuan utama dari penyusunan makalah
ini tidak lebih hanya untuk berusaha menambah wawasan para pembaca dalam mengenal
tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam dunia pendidikan terutama dalam mengetahui sosok
seorang Paulo Freire itu sendiri, penyusun berharap dengan adanya makalah ini tentunya
3
dapat membantu dengan mudah para pembaca dalam mempelajari tokoh-tokoh pendidikan
terutama dalam mempelajari sosok seorang Paulo Freire. Pada bagian pendahuluan telah di
jelaskan secara singkat perjalan hidup seorang Paulo Freira, di bab-bab berikutnya akan lebih
menjelaskan tetang pandangan-pandangan, buah pemikiran, serta teori-teori beliau dalam
dunia pendidikan.
4
BAB II
1. Penididikan dalam perspektif Paulo Freire
Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumalannya selama
bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat miskin dan tidak ber pendidikan,
masayarakat feodal (hirarkis) adalah struktrur masyarakat yang umum berpengaruh di
Amerika Latin saat itu. Dalam sistem masyarakat feodal yang hirarkis terjadi
perbedaan kelas antara masyarakat golongan atas dengan masayarakat golongan
bawah. Golongan atas menjadi penindas masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan
politik dan akumulasi kekayaan. Yang miskin menjadi semakin miskin akibat
penindasan golongan atas, dan yang kaya semakin kaya dengan segalah bentuk
penindasannya, dalam kehidupan masyarakat yang kontras itu lahirlah kebudayaan
yang Paulo freire sebut dengan “kebudayaan bisu”. Dalam kebudayaan bisu yang
demikian itu kaum tertindas hanya menerima begitu saja segalah perlakuan dari kaum
penindas bahkan adanya ketakutan dari kaum penindas akan adanya kesadaran akan
ketertindasan mereka, dan ini adalah suatu bentuk dehumanisasi. Dari keadaan
tersebut itulah yang membuat gelisah seorang Paulo Freire, dia merasa terpanggil
untuk mebebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah di bisukan.
Jadi dengan melihat konteks di atas hakikat pendidikan dari perspektif
seorang Paulo Freire adalah pendidikan yang bertujuan untuk “membebaskan” dan
“memanusiakan”. Membebaskan dari ketertindasan dan memanusiakan manusia yang
kemanusiaannya telah di rampas oleh si penindas (dehumanisasi). Secara kompleks
menurut Freire, tujuan utama dari pendidikan adalah membuaka mata peserta didik
guna menyadari realitas ketertindasannya untuk kemudian bertindak untuk melakukan
transformasi sosial. Kegiatan untuk menyadarkan peserta didik tentang realita
5
ketertindasannya ini di sebut sebagai konsientasi2. Konsientasi bertujuan untuk
“membongkar” apa yang di sebut oleh Freire sebagai “kebudayaan Bisu3” seperti
yang telah di jelaskan di atas. Danial Schipani menjelaskan bahwa Konsientasi dalam
pemahaman Freire adalah :
. . . Denotes an integrated procces of liberative learnign and teaching
as well as personal and societal transformation. Conscientization thus name
the process of emerging critical consciousness whereby people become a ware
of historical forces that shape their lives as well as their potential for freedom
and creativity; the term also connotes teh actual movement toward liberation
and human emergence in persons, communities, and societes.4
Paulo freire dikenal sebagai salah satu tokoh aliran rekonstruksionisme5.
George R. Knight mendaftarkan beberapa prinsip utama dari Rekonstruksionisme,
yang intinya adalah:Pertama, peradaban dunia sedang berada dalam krisis di mana
solusi efektifnya adalah penciptaan suatu tatanan sosial yang menyeluruh. Kedua,
pendidikan adalah salah satu agen utama untuk melakukan rekonstruksi terhadap
tatanan sosial. Oleh karenanya, seorang pendidik rekostruksionis harus secara aktif
mendidik demi perubahan sosial. Ketiga, metode pengajaran harus berdasarkan
prinsip-prinsip demokratis yang bertujuan untuk mengenali dan menjawab tantangan
2 Konsientasi adalah pemahaman mengenai keadaan nyata yang sedang dialami peserta didik.3 Kebudayaan Bisu adalah suatu kondisi di mana masyarakat di buat tunduk dan taat sedemikian rupa oleh penguasa sehingga masyarakat tidak bisa atau berani mempertanyakan keberadaannya, dan pada akhirnya cenderung menerima keadadaan itu secara fatalistik.4 Pasmino, Foundational Issues5 Rekonstuksionisme adalah aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dalam pendidikan dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak moderen.
6
sosial yang ada. Dari ke tiga prinsip ini dapat di ketahui bahwa di dalam
Rekonstruksionisme peranan pendidikan sekolah bukanlah sebagai transmitor
(penyampai) kebudayaan yang bersifat pasif-sebagaimana yang diyakini aliran-aliran
yang lebih tradisional, tetapi sebagai agen yang men jadi pionir yang aktif dalam
melakukan tranformasi reformasi sosial. Hal ini terlihat jelas dalam pemikiran Freire.
2. Pendidikan gaya bank sebagai sumber kritik Paulo freire
Tujuan utama dari seorang Paulo Freire adalah hanya ingin mengembalikan
hakikat pendidikan yang pada saat itu telah di distorsi oleh sistem yang ada, sistem
yang mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial yang begitu memprihatinkan,
sistem yang mengarah pada penindasan kepada masyarakat golongan bawah oleh para
golongan-golongan feodal yang cenderung paternalistik, Paulo Freire belajar dari
pengalaman hidupnya yang boleh dikatakan pahit dan menjadikannya sebagai
motivasi besar dalam perjuangannya dalam melawan penindasan dan
keterbelakangan, kesenjangan sosial yang semakin merajalela membuat Freire
tenggelam dalam kegelisahan yang begitu dalam dan memaksanya untuk melakukan
tindakan, tindakan kritis seorang Freire tentunya membawa Freire pada suatu
kesulitan yang besar karena upaya yang di lakukannya adalah melawan sistem yang
berlaku di saat itu, sehingga Freire pun di penjarakan karena di tuduh melakukan
tindakan yang subversif.
Kritik tajam yang di lakukan oleh Freire adalah kritik terhadap konsep
pendidikan yang mapan pada saat itu, menurutnya pendidikan tradisional di Brasil
pada saat itu di nilainya akan mengalami kegagalan dalam mendewasakan dan
memanusiakan manusia karena sifatnya yang cenderung menggurui dan hanya
7
mengarahkan kepada hafalan tanpa membimbing peserta didik untuk memahami
makna tentang apa yang di pelajarinya. Konsep pendidikan ini yang Paulo Freire
sebut dengan konsep “ Pendidikan Gaya Bank”.
Menurut Pulo Freire dalam konsep pendidikan gaya bank, pendidikan
bercerita, dengan guru sebagai pencerita, guru mengarahkan murud-murud untuk
menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang di ceritakan. Lebih buruk lagi, murid
di ubah menjadi “bejana-bejana”, wadah-wadah kosong untuk di isi oleh guru,
semakin penuh dia mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula seorang guru.
Semakin patuh wadah-wadah itu untuk di isi semakin baik pula mereka sebagai
murid. Menurut Freire, pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, di mana para
murud adalah celengan dan guru adalah penabungnya atau dengan kata lain anak
didik adalah objek investasi dan sumber depositi potensial. Mereka tidak berbeda
dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim di kenal. Devositor atau investornya
adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan
berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang di ajarkan
kepada anak didik. Anak didik pun lantas di perlakukan sebagai “bejana kosong”
yang akan di isi, sebagai sarana tabungan atau penanaman modal “ilmu pengetahuan”
yang akan di petik hasilnya kelak. Jadi , guru adalah subjek aktif, sedangkan anak
didik adalah objek pasif yang penurut, dan di perlakukan tidak berbeda atau menjadi
bagian dari realitas dunia yang di ajarkan kepada mereka, sebagai objek ilmu
pengetahuan teoritis yang tidak berkesudahan.
Menurut Paulo Freire, dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan
adalah merupakan sebuah anugerah yang di hibahkan oleh mereka yang menganggap
diri berpengetahuan kepeda mereka yang di anggap tidak memiliki pengetahuan apa-
apa. Menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain, sebuah ciri dari ideologi
8
penindasan, berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses
pencarian. Tidaklah mengherankan jika konsep pendidikan gaya bank memandang
manusia sebagai makhluk yang dapat di samakan dengan sebuah benda dan gampang
di atur6.
Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan “gaya
bank” itu sebagai berikut ;
1. Guru mengajar, murid belajar
2. Guru tahu segalanya, murid tak tahu apa-apa
3. Guru berfikir, murid di fikirkan
4. Guru berbicara, murid mendengarkan
5. Guru mengatur, murud di atur
6. Guru memilih dan melaksanakan pilihannya, murid menuruti
7. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan
tindakan gurunya
8. Guru memilih apa yang akan di ajrakan, murid menyesuaikan diri
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang
profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-
murid
10. Guru adalah subjek proses belajar, murud objeknya.
Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang
lumrah saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan seperti gurunya sebagai
prototip manusia ideal yang harus di tiru dan harus di teladani dalam semua hal.
Implikasinya lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid-murid akan benar-
6 Freire, Paulo, Pendidikan kaum tertindas (2011), hlm.54
9
benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru mereka dulu, dan pada saat
itulah akan lahir lagi generasi baru manusia-manusia penindas. Jika di antara mereka
ada yang menjadi guru atau pendidik, daur penindasan akan segera di mulai dalam
dunia pendidikan, dan demikian terjadi seterusnya. Bagi freire, sistem pendidikan
justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia.
3. Paulo Freire dan Pendidikan Hadap Masalah sebagai solusi terhadap konsep
Pendidikan Gaya Bank
Paulo Freire tentunya memiliki dasar yang sangat kuat dari kritikan kerasnya
terhadap konsep pendidikan gaya bank, kritik tanpa di sertai dengan dasar sama saja
omong kosong. Paulo Freire tentunya selalu menawarkan jalan keluar terhadap
masalah yang di anggapnya mapan, begitupun dengan kritik Freire terhadap konsep
pendidikan gaya bank, pergumulan Freire terhadap masalah tersebut membuat
konsistensinya terhadap masalah tersebut menjadi semakin kuat, dalam konteks
kritikan Freire terhadap konsep pendidikan gaya bank, Paulo Freire menawarkan
solusi yang menjadi antitesa terhadap konsep pendidikan gaya bank, Freire
menemakannya sebagai konsep “Pendidikan Hadap Masalah”.
Menurut Paulo Freire, Pendidikan Hadap Masalah (Problem Posing) yang
menjawab hakikat kesadaran, yakni Intensionalitas, akan menolak pernyataan-
pernyataan serta mewujudkan komunikasi. Konsep ini mewakili sifat khas dari
kesadaran: yakni sadar akan, tidak saja terhadap objek-objek tetapi juga berbalik
kepada dirinya sendiri, sehingga terbelah dalam pengertian Jaspers, yakni, kesadaran
sebagai kesadaran atas kesadaran7.
7 Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas (2011), hlm. 63.
10
Pendidikan Hadap Masalah adalah pendidikan alternatif yang di tawarkan oleh
Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang di jadikan
titik tolak dalam pendidikan hadap masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah
dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan
realitas dunia. Realitas itulah yang harus di perhadapkan kepada nara didik supaya
ada kesadaran akan realitas itu. Konteks pedagogis yang demikian di dasarkan pada
pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan
untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi, dan politik.
Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang di hadapi dan di
harapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri anak didik. Freire
membagi 4 tingkatan kesadaran manusia yaitu :
1. Kesadaran Intransitif, di mana seorang hanya terikat pada kebutuhan
jasmani tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang
menindas
2. Kesadaran Semi Intransitif, atau kesadaran magis, kesadaran ini terjadi
pada masyarakat berbudaya bisu, di mana masyarakatnya tertutup. Ciri
kesadaran ini adalah fatalistik. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan
orang lain atau hidup dalam ketergantungan.
3. Kesadaran Naif, pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk
mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih di tandai dengan
sikap yang primitif dan naif, seperti: mengidentifikasikan diri dengan elite,
kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap
emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.
4. Kesadaran Kritis Transitif, kesadaran kritis transitif di tandai dengan
kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi,
11
mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat
ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.
Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang
menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa seorang
mampu mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses
bergerak dari kesadaran nara didik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di
atasnya.
Dalam konteks belajar yang demikian kontradiksi guru murid (perbedaan guru
yang menjadi sumber segalah pengetahuan dengan murid sebagai orang yang tidak
tahu apa-apa) tidak ada. Menurut Freire, metode pendidikan hadap masalah tidak
membuat di kotomi kegiatan guru –murid ini; dia tidak “menyerap” pada suatu saat
serta “menceritakan” pada saat yang lain. Guru selalu “menyerap”, baik ketika dia
mempersiapkan bahan pelajaran maupun ketika dia berdialog dengan para murid. Dia
tidak akan menganggap obyek-obyek yang dapat di pahami sebagai milik pribadi,
tetapi sebagai obyek refleksi para murid serta dirinya. Dengan cara ini, pendidik
hadap masalah secara terus menerus memperbaharui refleksinya di dalam refleksi
para murid, murid yang bukan lagi pendengar yang penurut telah menjadi rekan
pengkaji yang kritis melalui dialog dengan guru8. Guru menyajikan pelajaran kepada
murid sebagai bahan pemikiran mereka, dan menguji kembali pemikirannya yang
terdahulu ketika murid mengemukakan hasil pemikira sendiri. Peran seorang pendidik
hadap masalah adalah menciptakan, bersama dengan murid suatu suasana di mana
pengetahuan pada tahap mantera (Doxa) di ganti dengan pengetahuan sejati (Logos).9
8 Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas (2011), hlm. 65.9 Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas (2011), hlm. 66.
12
4. Kontradiksi Antara “Pendidikan Gaya Bank” dengan “Pendidikan Hadap
Masalah”
Dapat di tarik kesimpulan bahwa Pendidikan Hadap Masalah merupakan
antitesa dari Pendidikan gaya Bank, terjadi kontradiksi antara ke duanya, menurut
Freire, kedua konsep dan praktek pendidikan dalam analisis ini terlihat saling
bertentangan. Paulo freire menjabarkan kontradiksi dari ke dua konsep pendidikan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Konsep Pendidikan gaya Bank (untuk alasan yang telah jelas) berusaha
dengan cara memitoskan realitas menyembunyikan fakta-fakta teretntu
yang menjelaskan cara manusia meng ada di dunia; sementara Pendidikan
Hadap Masalah memilih sendiri sendiri tugas untuk menghapuskan mitos
tersebut.
2. Pendidikan Gaya bank menolak dialog; sementara Pendidikan hadap
Masalah menganggap dialog sebagai prasyarat bagi laku pemahaman
untuk menguak realitas.
3. Pendidikan Gaya Bank memperlakukan murid sebagai objek yang harus di
tolong; sementara Pendidikan Hadap Masalah menjadikan mereka pemikir
yang kritis.
4. Pendidikan Gaya Bank menghalang-halangi kreativitas dan menjinakkan
(sekalipun tidak dapat membunuh sama sekali) Intensionalitas kesadaran
dengan cara mengisolasi kesadaran itu dari dunia, yang dengan demikian
menolak fitrah ontologis dan kesejarahan manusia untuk menjadi manusia
seutuhnya; sementara Pendidikan Hadap Masalah mendasari dirinya atas
kreativitas serta mendorong refleksi dan tindakan yang benar atas realitas
13
realitas, dan dengan cara itu menyambut fitrah manusia yang akan menjadi
makhluk sejati hanya jika terlibat dalam pencarian dan perubahan kreatif.
5. Singkatnya, Teori dan praktik Pendidikan Gaya Bank, sebagai kekuatan
yang membelenggu dan menekan, tidak mampu menampilkan manusia
sebagai makhluk menyejarah; teori dan praktek Pendidikan Hadap
Masalah menjadikan kesejarahan manusia sebagai pangkal otak.
14
BAB III
KESIMPULAN
Paulo freire dengan keteguhan hatinya berusaha untuk mengembalikan fungsi
pendidikan yang fitrahnya telah di renggut oleh keadaan yang menindas , dia mencoba untuk
mengutuhkan hakikat pendidikan sesuai dengan fitrahnya, hakikat penididikan menurut
seorang Paulo Freire adalah pendidikan itu membebaskan dan memanusiakan.
Menurut Paulo Freire, pembebasan adalah kelahiran, dan kelahiran itu menyakitkan.
Manusia yang lahir adalah manusia yang baru, yang hanya bisa muncul bila kontradiksi
penindas-tertindas di taklukkan oleh pemanusiaan seluruh manusia. Atau, dengan kata lain,
penyelesaian kontradiksi inilah yang di lahirkan ketika lahir manusia baru; yang ada bukan
lagi penindas dan yang yang di tindas, melainkan manusia yang sedang berproses mencapai
kebebasan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Freire, Paulo, 2008. Pendidikan Kaum tertindas, Jakarta: LP3S.
Freire, Paulo, 2007. Politik Pendidikan (kebudayaan, kekuasaan, dan pembebasan),
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk, 2009. Menggugat Pendidikan (fundamentalis,
konservatif, liberal, anarkis),Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
**
Manggeng, Marthen, 2005. Pendidikan yang membebaskan menurut Paulo Freire dan
Relevansinya dalam konteks Indonesia : INTIM-Jurnal Teologi Kontekstual.
Pramudya, Wahyu, 2001. Mengenal Filsafat Pendidikan Paulo Freire: Antara Banking
Concept of Education , Problem Posing Method, dan Pendidikan Kristen di Indonesia:
Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan.
16