OPTIMALISASI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM
MEMBERIKAN PEMBINAAN BAGI NARAPIDANA SEBAGAI
UPAYA MENCEGAH TERJADINYA RESIDIVIS DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KLAS IIB MEULABOH
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat
Memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar sasrjana sosial
SKRIPSI
OLEH:
MUHAMMAD YUNUS
NIM. 09C20201122
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH-ACEH BARAT
TAHUN 2014
i
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan Dalam
Memberikan Pembinaan Bagi Narapidana Sebagai Upaya
Mencegah Terjadinya Residivis di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh.
Nama Mahasiswa : Muhammad Yunus
NIM : 09C20201122
Program Studi : Ilmu Administrasi Negara
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Ketua,
Sudarman, S.Ag. M.Ag.
NIDN: 01-2504-7601
Anggota,
Saiful Asra, M.Soc.Sc.
NIDN: 01-1305-8201
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Ilmu Administrasi Negara,
Saiful Asra, M.Soc.Sc.
NIDN: 01-1305-8201
Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Sudarman, S.Ag., M.Ag.
NIDN: 01-2504-7601
Tanggal Lulus: 07 Juni 2014
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI
Skripsi dengan Judul Optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan Dalam Memberikan
Pembinaan Bagi Narapidana Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Residivis di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh. Atas nama Muhammad Yunus,
NIM 09C20201122 telah dipertahankan di depan sidang dewan penguji pada
tanggal, 07 Juni 2014 dan telah direvisi.
KOMISI PENGUJI
1. Sudarman, S.Ag., M.Ag. : ……………………
NIDN: 01-2504-7601 Ketua
2. Saiful Asra, M.Soc.Sc. : …………………….
NIDN: 01-1305-8201 Anggota
3. Muhammad Idris M.Pd : …………………….
NIDN: 0123037902 Anggota
4. Hilda Syahfitir Srg, SE : …………………….
NIDN: 0122088102 Anggota
Alue Peunyareng, 07 Juni 2014
Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Saiful Asra, M.Soc.Sc. NIDN: 01-1305-8201
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : MUHAMMAD YUNUS
NIM : 09C20201122
Program Studi : Ilmu Administrasi Negara
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas : Teuku Umar Meulaboh
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini benar dibuat oleh penulis sendiri dan
orisinil, serta belum pernah digunakan oleh orang lain untuk memperoleh gelar
sarjana akademik di suatu perguruan tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis disebutkan
dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam skripsi ini baik semua atau sebagian isinya terdapa
unsur-unsur plagiat saya akan bersedia skripsi ini digugurkan dan gelar akademik
yang saya peroleh dapat dicabut/dibatalkan serta dapat diproses sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Demikian surat pernyataan ini dibuat dan ditandatangani dalam keadaan sadar
tanpa tekanan/paksaan dari siapapun.
Meulaboh, 07 Juni 2014
Yang membuat pernyataan,
Muhammad Yunus
NIM. 09C20201122
iv
RIWAYAT HIDUP
Nama : Muhammad Yunus
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat/Tgl Lahir : Trieng Judo/13 Juli 1979
Agama : Islam
Status : Menikah
Nama Istri : Rini Anggreyani, Ama.Pd.
Nama Anak : 1. Khalis Maula Azis
2. Khalas Muazzam
Ayah : Alm. Ibrahim
Ibu : Hendon
Alamat : Jl. Nasional, Lr. Kuini No. 14, Gampong Ujong Baroe,
Kecamatan Johan Pahlawan.
Pendidikan formal
1. SD : 1985 s/d 1991 (SD Trieng Judo Pidie)
2. SMP : 1991 s/d 1994 (SMP Tiro)
3. SMEA : 1994 s/d 1997 (SMEA Negeri Sigli)
Pengalaman Organisasi
1. Ketua III Bagian Keamanan, Organiasasi Kepemudaan INSAN DAMAI,
Kajhu, Aceh Besar.
2. Ketua Komplek Perumahan Pola Keumala Kajhu, Aceh Besar.
3. Pengurus Satgas SAR Meulaboh Rescuer, Aceh Barat.
4. Pengurus Wilayah RAPI Meulaboh, Aceh Barat.
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dan seandainya semua pohon yang adadi bumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka
belum akan habis kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Lukman: 27)
Segenap tinta ini adalah wujud dari keagungan dan kasih sayang Allah. Setiap detik waktu menyelesaikan karya tulis ini merupakan hasil
getaran do’a kedua orang tua, istri dan anak-anak tercinta, saudara, dan orang-orang terkasih yang mengalir tiada henti.
SKRIPSI INI KUPERSEMBAHKAN UNTUK: Yang terkasih Ayahanda Alm. Ibrahim yang mesti tak dapat lagi
bertemu muka dan meliha kebahagian anaknya, namun dalam do’a semoga Ayahanda diberikan tempat yang agung di sisi Allah. Kepada
Ibunda Hendon yang telah melahirkan, membesarkan, membimbing, dan mendo’akan ananda sehingga dapat mencapai cita-cita ananda.
Yang tersayang, penyemangat dikala berjuang, penghibur di kala sedih, istriku yang tercinta Rini Anggreyani dan kedua buah hati kami, Khalis Maula Azis dan Khalas Muazzam. Terima kasih atas segala dukungan dan do’a yang diberikan kepada Abah. Segenap cinnta dan kasih Abah
terpulang kepada kalian bertiga.
Terima kasih kepada seluruh Dosen dan Staf Akademik FISIP Universitas Teuku Umar Meulaboh, yang telah menjadi bagian dari
keluarga baru penulis.Bersama Bapak dan Ibu semua, dimensi akademis penulis dapat terasah dengan baik. Maafkan segala kesahalan yang
pernah penulis lakukan baik sengaja maupun tidak sengaja yang menyinggung hati dan perasaan Dosen dan Staf Akademik.
Kepada teman-teman Ilmu Administrasi Negara Angkatan 2009, terima kasih sudah menerima penulis menjadi bagian dari keluarga kalian.
Terima kasih atas pertemanan dan pengalaman yang kalian berikan. Semoga persahabatan kita berlanjut hingga maut memisahkan.
“Do the best everytimi anda everywhere”
MUHAMMAD YUNUS
vi
ABSTRAK
MUHAMMAS YUNUS (09C20201122). Optimalisasi Lembaga
Pemasyarakatan Dalam Memberikan Pembinaan Bagi Narapidana Sebagai
Upaya Mencegah Terjadinya Residivis di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB
Meulaboh. (Pembimbing I Sudarman, S.Ag., M.Ag. dan Pembimbing II
Saiful Asra, M.Soc. Sc).
Pembinaan yang diberikan oleh lembaga pemasyarakatan seperti pelatihan kerja
atau keterampilan, seringnya hal itu tidak sesuai dengan karakteristik, minat dan
keinginan narapidana, atau sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kondisi
di luar lembaga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara
pelaksanaan pembinaan narapidana, hambatan yang dihadapi, serta upaya untuk
mengatasi hambatan dalam pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
klas IIB. Metode yang dipakai adalah kualitatif dengan pendekatan Yuridis
Sosiologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara pelaksanaan pembinaan
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, yaitu, melalui
aktivitas pembinaan narapidana dan ditunjang oleh sarana dan prasarana.
Hambatan yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh adalah
etnis yang berbeda, kurangnya jumlah petugas keamanan, tidak memadai sarana
dan prasarana, sarana fisik bangunan Lembaga Pemasyarakatan yang belum
rampung, kurangnya minat warga binaan khususnya bagi narapidana residivis.
Upaya untuk mengatasi hambatan sehingga terjadinya residivis dengan
menggunakan metode pendekatan humanistik (manusiawi).
Kata Kunci: Pembinaan Narapidana, Lembaga Pemasyarakatan, Meulaboh Aceh
Barat
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.
Atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis telah dapat menyusun skripsi
dengan judul Optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan Dalam Memberikan
Pembinaan Bagi Narapidana Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Residivis
di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh. Selama penyusunan skripsi
ini penulis banyak mendapat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak yang
menginginkan agar penulisan skripsi ini dapat mendekati kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis ingin berterima kasih kepada:
1. Drs. Alfian Ibrahim, MS., Rektor Universitas Teuku Umar Meulaboh.
2. Sudarman, S.Ag., M.Ag., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Teuku Umar dan Pembimbing I yang telah mengarahkan
dan membina sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Saiful Asra, M.Soc. Sc. Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara
dan Pembimbing II, yang telah membina dan mengarahkan agar skripsi
ini dapat segera diselesaikan.
4. Kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, Alm. Ibrahim dan Hendon, yang
telah dengan sabar membesarkan dan mendoakan penulis sampai saat
sekarang ini.
5. Kepada istri tercinta, Rini Anggreyani, Ama.Pd., yang selalu
mendampingi dalam susah dan senang dalam mencapai cita-cita. Serta
kedua buah hati tersayang, Khalis Maula Azis dan Khalas Muazzam
dimana kasih Abah berpulang kepada mereka berdua.
viii
6. Kepala Lapas Kelas IIB Meulaboh, Sulitiyono, Bc.IP. yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi serta
memberikan akses dalam penelitian.
7. Said Hidayat (Ka. Subsie Registrasi Lapas Klas IIB Meulaboh), Banta
Sidi (Kasie Binadik Lapas Klas IIB Meulaboh), Jasman (Ka. Subsie
Bimker Lapas Klas IIB Meulaboh), serta rekan-rekan di Lapas Klas IIB
Meulaboh yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih
atas bantuan dan dukungan yang selama ini diberikan.
8. Kepada informan dalam penelitian ini, yang telah membantu
memberikan data yang sebenar-benarnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
9. Kepada civitas akademik FISIP UTU terima kasih telah menjadi teman
dan sahabat baru bagi penulis.
10. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatukarena keterbatasan ruang dan terima kasih telah membantu
terselesaikannya skripsi ini tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan,
oleh karenga itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
penulis harapkan.
Meulaboh, 07 Juni 2014
Penulis
MUHAMMAD YUNUS
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI .......................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii
LEMBAR RIWAYAT HIDUP ......................................................................... iv
LEMBAR PERSEMBAHAN ........................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................... 8
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 8
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 8
1.5. Sistematika Penulisan ......................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 12
2.1. Kajian Umum Tentang Lembaga Pemasyarakatan ........................... 12
2.1.1. Sejarah dan Perkembangan Kepenjaraan di Indonesia........... 12
2.1.2. Lembaga Pemasyarakatan dan Sistem Pemasyarakatan ........ 18
2.2. Warga Binaan Pemasyarakatan dan Pembinaan Narapidana ........... 23
2.3. Konsep Pembinaan .............................................................................. 26
2.4. Macam-Macam Pembinaan ................................................................ 30
2.5. Tahap-Tahap Pembinaan Narapidana ................................................ 31
2.6. Kajian Umum Tentang Residivis ....................................................... 34
2.6.1. Pengertian Residivis ................................................................. 34
2.6.2. Residivis Dalam KUHP ........................................................... 37
2.7. Recidive Sebagai Dasar Pemberatan Pidana...................................... 44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 46
3.1. Metode Penelitian................................................................................ 46
3.2. Lokasi Penelitian ................................................................................. 46
3.3. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ................................... 47
3.3.1. Sumber Data .............................................................................. 47
3.3.2. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 48
3.4. Instrumen Penelitian ........................................................................... 51
3.5. Teknik Penentuan Informan ............................................................... 51
3.6. Teknik Analisis Data........................................................................... 53
3.7. Uji Kredibilitas Data ........................................................................... 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 58
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................. 58
4.1.1. Sejarah Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Meulaboh ....... 58
4.1.2. Letak Geografis dan Kondisi Fisik Bangunan ........................ 59
4.1.3. Struktur Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh ......... 62
4.1.4. Tugas dan Fungsi Pegawai Lembaga Pemasyarakatan .......... 64
4.1.5. Tim Pengamat Pemasyarakatan ............................................... 67
x
4.1.6. Petugas Pemasyarakatan .......................................................... 68
4.1.7. Keadaan Penghuni Lembaga Pemasyarakatan........................ 69
4.2. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana.................................................. 71
4.2.1. Tahap-tahap Pembinaan ........................................................... 71
4.2.2. Aktivitas Pembinaan Narapidana ............................................ 77
4.2.3. Sarana dan Prasarana Penunjang Pembinaan .......................... 82
4.3. Hambatan Dalam Membina Narapidana Residivis ........................... 86
4.4. Upaya Mengatasi Hambatan............................................................... 91
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 94
5.1. Kesimpulan .......................................................................................... 94
5.2. Saran .................................................................................................... 95
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 96
LAMPIRAN ........................................................................................................ 97
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ketika berbicara tentang kejahatan, maka kata yang pertama muncul adalah
pelaku kejahatan. Pelaku kejahatan ini biasa disebut dengan penjahat, kriminal,
atau lebih buruk lagi, sampah masyarakat, dan masih banyak lagi. Maka tidaklah
mengherankan bila upaya penanganan kejahatan masih terfokus hanya pada
tindakan penghukuman terhadap pelaku. Dengan memberikan hukuman kepada
pelaku masih dianggap sebagai obat manjur untuk menyembuhkan baik luka atau
derita korban maupun kelainan perilaku yang dinggap oleh pelaku kejahatan.
Dimana hukuman yang dimaksud yaitu merupakan suatu sanksi pidana
perampasan kemerdekaan sehingga diharapkan dapat memberikan efek jera
terhadap pelaku kejahatan tersebut.
Dengan pemberlakuan undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang
narkotika dan UU No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika, kemudian diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah
memberikan kewenangan kepada hakim yang memeriksa pecandu narkotika dapat
memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan
dan/atau perawatan apabila pecandu tersebut tidak terbukti bersalah melakukan
tindak pidana. Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2009
tentang Penempatan Pemakai Narkoba Ke Dalam Terapi Dan Rehabilitasi bahwa
masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkoba
sebagaimana tersebut diatas sebagai masa menjalani pidana.
2
Sanksi pidana yang berupa perampasan kemerdekaan dalam perundang
undangan di Indonesia dibedakan jenisnya yaitu pidana penjara, pidana kurungan,
dan pidana tutupan (pasal 10 KUHP dan Undang-undang No. 20 Tahun 1946)
yang penempatannya menjadi satu dalam lembaga pemasyarakatan.
Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kekuasaan bergerak
dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam
sebuah penjara dengan mewajibkan orang untuk mentaati semua peraturan dari
tata tertib yang berlaku di dalam penjara yang dikaitkan dengan suatu tindakan
tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
Pada awalnya rumah penjara sebagai tempat pelaksanaan pidana penjara
yang saat itu dibagi dalam beberapa bentuk antara lain:
1. Tuchtuis adalah rumah penjara untuk menjalankan pidana yang sifatnya
berat.
2. Rasphuis adalah rumah penjara dimana kepada para terpidana diberikan
pelajaran tentang bagaimana caranya melicinkan permukaan benda-
benda dari kayu dengan mempergunakan ampelas.
Menurut DR. Sahardjo, SH. yang ketika itu menjabat sebagai Menteri
Kehakiman Republik Indonesia mengatakan bahwa tujuan pidana penjara adalah
“Pemasyarakatan” sehingga membuat sebutan yang tadinya “Rumah Penjara”
otomatis diganti “Lembaga Pemasyarakatan”.
Lahirnya Undang-undang No. 12 Tahun 1995 penggantian istilah “Penjara”
menjadi “LembagaPemasyarakatan” tentu terkandung maksud baik yaitu bahwa
pemberian maupun pengayoman warga binaan tidak hanya terfokus pada itikad
menghukum (FunitifIntend) saja melainkan suatu berorientasi pada tindakan-
3
tindakan yang lebih manusiawi dan disesuaikan dengan kondisi dari warga binaan
itu.
Membicarakan kejahatan dapat dikatakan sebagai gejolak sosial yang tidak
berdiri sendiri, tetapi terkait juga dengan masalah budaya dan politik. Oleh karena
itu kejahatan tidak mungkin dibasmi secara tuntas, akan tetapi dapat dilakukan
pengendalian agar kejahatan tidak merajalela. Narapidana bukan hanya sebagai
objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dari manusia lainnya, yang
sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan dan dapat dikenai pidana, sehingga
yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan narapidana
berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama atau
kewajiban-kewajiban sosial lain.
Untuk dapat menanggulangi kejahatan-kejahatan tersebut diatas, merupakan
tugas utama dari pelaksana Undang-Undang antara lain yaitu, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan serta lembaga-lembaga lain
yang terkait. Peranan petugas negara dibidang hukum mempunyai mata rantai dari
tujuan perlengkapan negara mulai dari melakukan penyidikan perkara, penuntutan
perkara, mengadili terdakwa dan memasukkan terpidana ke Lembaga
Pemasyarakatan sampai mengeluarkan kembali kemasyarakat dengan sistem
pemasyarakatan.
Walaupun telah ada gagasan untuk menjadikan tujuan dari pidana penjara
itu suatu pemasyarakatan dan sebutan “rumah penjara” telah berganti menjadi
“Lembaga Pemasyarakatan” akan tetapi di dalam prakteknya ternyata gagasan
pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara tidak didukung dengan sarana yang
4
diperlukan dan bahkan perangkat peraturan yang merupakan landasan operasional
dari Lembaga Pemasyarakatan untuk mengayomi serta memasyarakatkan para
warga binaan pada saat itu masih mempergunakan perangkat peraturan
peninggalan kolonial Belanda, seperti, (1) Gestichten Reglement (Staatsblad
Tahun 1917 Nomor 708); (2) Dwang opvoeding (DOR Staatsblad 1917 Nomor
741); (3) Ordonansi Voorwaardelijke Huvijdsteling (VI) Staatsblad 1917 Nomor
749; dan (4) Voorwaardelijke Veroordeling (VV) Staatsblad 1917 No. 487.
Ke empat perangkat hukum di atas jelas merupakan peninggalan kolonial
Belanda dan sudah tidak berlaku lagi karena sekarang menggunakan Undang-
undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Konsep Lembaga Pemasyarakatan pada level empirisnya, sesungguhnya
tidak ada bedanya dengan penjara. Tujuan sistem pemasyarakatan sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 2 Uundang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan dinyatakan bahwa Sistem pemasyarakatan diselenggarakan
dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia
seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik
dan bertanggung jawab.
Hal Ini berarti bahwa tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan adalah
bersatunya kembali warga binaan pemasyarakatan dengan masyarakat, sebagai
warga negara yang baik dan bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan
warga binaan di masyarakat nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut
5
membangun masyarakat dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam
pembangunan.
Demikian halnya dengan kehadiran Lembaga Pemasyarakatan klas IIB
Meulaboh yang merupakan salah satu unit pelaksanaan dalam mengayomi serta
memasyarakatkan warga binaan yang berkedudukan di Kota Meulaboh kab. Aceh
Barat dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Meulaboh yang sangat diharapkan
peran sertanya di dalam mengayomi serta memasyarakatkan warga binaan yang
merupakan salah satu sumber daya manusia sesuai dengan program pemerintah,
karena pada kenyataannya sudah menjadi rahasia umum bahwa kondisi penjara di
Indonesia sangat tidak manusiawi, seperti jumlah narapidana yang melebihi
kapasitas adalah pemandangan umum di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan
mengapa banyak narapidana yang tidak mendapatkan sejumlah hak secara
proposional. Seperti tempat tidur yang layak, air bersih, makanan yang layak, hak
untuk informasi dan hiburan, ibadah, kesehatan, pendidikan dan pelatihan.
Sebenarnya pembinaan tidak bisa berjalan dengan efektif, dikarenakan
kondisi Lapas dan Rutan yang sudah tidak sehat lagi, serta outputnya yang tidak
sesuai dengan harapan dari pembinaan itu sendiri. Lapas seharusnya berisi banyak
pembinaan yang memberikan penyuluhan, agar orang tersebut tidak melakukan
hal yang sama (Residivis), tetapi seperti contoh kasus Roy Marten, membuktikan
bahwa sebenarnya pembinaan di dalam penjara belumlah efektif, itu hanya
sebagian kecil dari banyaknya kasus-kasus khususnya narkotika yang berulang
(Residivis).
Melihat realitas seperti itu, penjara memang tidak lebih dari sekumpulan
orang-orang jahat (melanggar hukum pidana), yang berkumpul dari yang klas teri
6
sampai klas kakap, dikumpulkan menjadi satu, lalu mereka bertukar pikiran, lalu
menjadi penjahat yang lebih tinggi klasnya sehingga tidak menutup kemungkinan
narapidana tersebut bila sudah keluar dari lembaga pemasyarakatan bukannya
menjadi lebih baik akan tetapi sebaliknya dia akan mengulangi kembali perbuatan
jahatnya tersebut yang kemudian menjadi penjahat kambuhan (Residivis). Selain
itu hal tersebut juga disebabkan karena tidak dapat dipisahkan lagi, mana penjahat
yang harus dibina sangat keras (Supermaximum security), seperti kejahatan klas
kakap, dengan pembinaan yang sangat lunak, sehingga tidak mustahil mereka
akan bertukar pikiran antara narapidana yang satu dengan narapidana yang
lainnya, karena jumlah sipir yang tidak seimbang dengan jumlah narapidananya.
Pembinaan yang diberikan oleh lembaga pemasyarakatan seperti pelatihan
kerja atau keterampilan, seringnya hal itu tidak sesuai dengan karakteristik, minat
dan keinginan narapidana, atau sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan
kondisi di luar lembaga. Ketertinggalan teknologi dan tidak bervariasinya
pemberian keterampilan justru menyebabkan kegiatan menjadi tidak efektif,
dengan biaya produksi yang tinggi dan hasil yang tidak maksimal. Bahkan ada
tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah sekolah kejahatan, sebab orang
justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di Lembaga
Pemasyarakatan. Ini menjadi salah satu faktor dominan munculnya seseorang
bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut dengan residivis.
Maka, tidak terlalu mengherankan bila hal tersebut menyebabkan
kebanyakan bekas narapidana menemui kesulitan untuk berintegrasi kembali ke
dalam masyarakat. Selain itu, tentu saja persoalan stigma negatif yang menempel
pada “label” bekas narapidana menyebabkan banyak perusahaan atau majikan
7
tidak mau menerima “eks napi” sebagai pegawainya. Apabila mantan napi tidak
diperlakukan secara adil sebagai warga masyarakat biasa yang telah menebus
kesalahan, maka akibat yang paling buruk adalah mereka akan dapat mengulangi
kembali tindakan pelanggaran hukumnya. Sebab manusia adalah mahluk yang
diciptakan oleh Allah Sang Maha Kuasa sebagai dapat berbuat dosa dan kesalahan
termasuk pelanggaran hukum pidana.
Mereka sudah beranggapan penjara ini sebagai tempat peristirahatan
beberapa bulan ketika tertangkap melakukan aksinya. Di Rutan atau Lembaga
Pemasyarakatan narapidana tidak menerima pembinaan yang memadai yang
mengarah mengembalikan narapidana tersebut kepada masyarakat, sehingga
ketika narapidana tersebut bebas dari penjara, tanpa bekal apa-apa, setelah di luar
Lembaga Pemasyarakatan mantan narapidana tersebut harus bisa mencari biaya
untuk makan, sedangkan uang di kantong tidak ada, bekal kerja juga tidak ada,
tetapi bekal gelar narapidana sudah dikantongi.
Umumnya di masyarakat agak disegani atau ditakuti bila seseorang baru
saja lepas dari penjara, orang tersebut pantas menyandang gelar preman. Sehingga
untuk mencari pekerjaan sulit, apalagi bila pekerjaan itu membutuhkan syarat ada
SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) dari kepolisian, akhirnya dengan
terpaksa yang mantan narapidana tersebut dapat mengulangi kejahatannya.
Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan kajian terhadap masalah
Optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan Dalam Memberikan Pembinaan
Bagi Narapidana Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Residivis di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh.
8
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
a. Bagaimana cara pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh?
b. Apa saja hambatan yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan klas IIB
Meulaboh dalam melakukan pembinaan narapidana dan bagaimana
upaya untuk mengatasi hambatan tersebut agar terjadinya recidive dapat
ditekan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana cara pelaksanaan pembinaan narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh.
b. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi dan upaya untuk mengatasi
hambatan tersebut agar terjadinya residivis dapat ditekan.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dilakukan untuk pengembangan pengetahuan Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik pada umumnya dan pada khususnya Ilmu Administrasi Negara yang
berkaitan dengan optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan dalam memberikan
pembinaan bagi narapidana sebagai upaya mencegah terjadinya residivis.
9
1.4.2. Manfaat Praktis
a. Bagi Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh.
1. Agar lebih optimal dalam memberikan pembinaan bagi warga
binaan khususnya narapidana residivis;
2. Agar petugas pembinaan dapat mengetahui usaha-usaha apa
yang harus ditempuh demi berhasilnya pengayoman bagi warga
binaan agar terjadinya residivice dapat ditekan.
b. Narapidana Residivis
1. Agar dapat memanfaatkan pembinaan yang diberikan oleh
petugas pembinaan Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh
sehingga tidak menjadi penjahat kambuhan lagi.
c. Bagi Masyarakat
1. Untuk menunjukkan bahwa seseorang mantan narapidana tidak
sepenuhnya tetap memiliki sifat jahat karena sebelumnya mantan
narapidana tersebut telah diberikan pembinaan oleh Lapas
sehingga hasil dari pembinaan tersebut diharapkan dapat
bermanfaat bagi masyarakat.
2. Sebagai bahan pertimbangan untuk menerima kembali seorang
mantan narapidana sehingga diharapkan dapat mengembalikan
status dan haknya sebagai warga sipil, bukan sebagai mantan
narapidana yang selalu dinilai sebagai seorang penjahat yang
hanya meresahkan masyarakat.
10
1.5. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang isi pembahasan
dalam penulisan ini, maka secara global disistematisir sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan pengantar dari keseluruhan penulisan yang memuat Latar
Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Memuat uraian secara konsepsional mengenai tinjauan umum tentang
Pengertian Lembaga Permasyarakatan, Pengertian Narapidana,
Pembinaan Narapidana, Pengertian Residivis, dan Macam-macam
Residivis.
BAB III METODE PENELITIAN
Metode penelitian membahas tentang jenis pendekatan, alasan
pemilihan lokasi, populasi dan sampel, tehnik pengumpulan data,
tehnik analisis data.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan pokok pembahasan dari permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini, yang meliputi gambaran umum
Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, pelaksanaan pembinaan
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, hambatan
yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh dalam
melakukan pembinaan narapidana residivis dan upaya yang dilakukan
11
untuk mengatasi hambatan tersebut agar terjadinya recidive dapat
ditekan.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bab akhir dari keseluruhan penulisan ini yang
berisi kesimpulan yang merupakan hasil dari kegiatan penelitian
mengenai permasalahan yang diangkat dengan menggunakan metode-
metode yang telah disebutkan. Bab ini juga menyertakan saran-saran
yang mungkin diperlukan bagi penelitian.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Umum Tentang Lembaga Pemasyarakatan
2.1.1. Sejarah dan Perkembangan Kepenjaraan di Indonesia
Pada awalnya tidak dikenal sistem pidana penjara di Indonesia. Sistem
pidana penjara baru dikenal pada zaman penjajahan. Pada zaman VOC pun belum
dikenal penjara yang seperti sekarang ini, yang ada ialah rumah tahanan yang
diperuntukkan bagi wanita tuna susila, pengangguran atau gelandangan pemabuk
dan sebagainya. Diberikan pula pekerjaan dan pendidikan agama, tetapi ini hanya
ada di Batavia terkenal dengan sebutan spinhuis dan rasphuis. Ada 3 macam
tempat tahanan demikian yaitu:
1. Bui yang terdapat di pinggir kota;
2. Tempat perantaian (kettingkwartier);
3. Tempat menampung wanita bangsa Belanda yang melakukan mukah
(overspel).
Perbaikan mulai dilakukan pada zaman Inggris (Raffles). Bui-bui yang kecil
dan sempit diperbaiki dan didirikan bui dimana ada pengadilan. Perbaikan
diteruskan oleh Belanda setelah berkuasa kembali, diadakan klasifikasi:
1. Kerja paksa dengan sistem rantai;
2. Kerja paksa dengan upah.
Perkembangan kepenjaraan selanjutnya pada permulaan zaman Hindia
Belanda dimulai dengan sistem diskriminasi, yaitu dengan dikeluarkannya
peraturan umum untuk golongan bangsa Indonesia (Bumiputera) yang dipidana
13
kerja paksa (Stbld 1826 No.16), sedangkan untuk golongan bangsa Eropa
(Belanda) berlaku penjara. Ada 2 macam pidana kerja paksa:
1. Kerja paksa dimana terpidana dirantai;
2. Kerja paksa biasa dan mendapat makanan tanpa upah.
Pada masa itu penjara disebut bui sesuai dengan keadaannya sebagai tempat
penyekapan, tempat menahan orang-orang yang disangka melakukan kejahatan,
orang-orang yang disandera, penjudi, pemabuk, gelandangan dan penjahat-
penjahat lain. Karena pada saat itu keadaan bui masih sangat buruk dan
menyedihkan, maka dibentuklah panitia untuk meneliti dan membuat rencana
perbaikan.
Pada tahun 1846 setelah bekerja selama 5 tahun panitia ini mengajukan
rencana perbaikan yang tidak pernah dilaksanakan. Diskriminasi perlakuan antara
orang pribumi dan orang Eropa (Belanda) sangat menyolok. Perawatan jauh lebih
baik dan pekerjaan lebih ringan bagi orang Eropa, begitu pula soal makanan,
kondisi kamar penjara dan fasilitasnya jauh lebih baik dari orang pribumi. Pada
tahun 1865 Stoet Van Beele berusaha memperbaiki keadaan penjara dengan
mengutus residen Riau untuk meninjau sistem pejara di Singapura.
Dikeluarkanlah peraturan baru yaitu Stbld 1871 No.28 dengan suatu sistem
klasifikasi.
Sistem pengelolaan penjara diperbaiki juga dengan administrasi yang lebih
rapi dengan disiplin yang lebih ketat. Pada tahun 1871 itu dirancang pula suatu
ordonansi yang berisi perbaikan menyeluruh terhadap sistem penjara, namun
rancangan ini tidak pernah terwujud. Antara tahun 1907-1961 dibentuk kantor
kepenjaraan (Gestichten Reglement) yang tercantum dalam Stbld 1917 No.708,
14
mulai berlaku 1 januari 1918. Reglemen inilah yang menjadi dasar peraturan
perlakuan terhadap narapidana dan cara pengelolaan penjara. Reglemen ini
didasarkan pada pasal 29 KUHP (Wvs) yang terdiri dari kurang lebih 114 pasal.
Dalam periode antara perang dunia kedua (1918-1942), pada umumnya di
Jawa dan Madura ada 3 jenis penjara:
1. Penjara pusat yang disebut Centrale Gevangenis Strafgevangenis.
Penjara pusat ini menampung terpidana yang agak berat (lebih dari 1
tahun) disitu terdapat perusahaan yang tergolong besar dan sedang serta
perbengkelan;
2. Penjara negeri yang disebut Landgevangenis. Penjara ini berfungsi
menampung narapidana yang tergolong ringan (di bawah 1 tahun)
pekerjaan yang dilakukan ialah kerajinan dan pekerjaan ringan yang lain
serta bengkel-bengkel kecil;
3. Rumah Tahanan yang disebut Huis van bewaring. Tempat ini
menampung para tahanan terpidana kurungan dan terpidana penjara
yang ringan, disini tidak ada pekerjaan yang pasti.
Bagi narapidana anak-anak, pada tahun 1921 telah didirikan ruangan khusus
untuk yang berumur dibawah 19 tahun, kemudian didirikan di Tanggerang penjara
anak-anak untuk yang berumur di bawah 20 tahun dan disusul di Pamekasan dan
Ambarawa pada tahun 1927.
Pada zaman pendudukan Jepang hampir tidak ada perubahan sistem
kepenjaraan. Hanya pekerjaan narapidana banyak dimanfaatkan untuk
kepentingan militer Jepang. Pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sendiri
dipenjara dan untuk kebutuhan tentara Jepang ditingkatkan, seperti bertani,
15
menangkap ikan di laut, termasuk juga narapidana wanita dan anak-anak.
Keadaan narapidana sangat menyedihkan, kurang makan, tetapi bekerja keras.
Pekerjaan kerajinan juga ditingkatkan terutama untuk kepentingan tentara Jepang.
Setelah Indonesia merdeka sistem pemenjaraan ada dua macam, yang satu
didaerah Republik dan yang lain berada didaerah yang diduduki Belanda.
Keadaan tidak banyak berbeda dari keadaan sebelum perang. Penjara dikelola
sepenuhnya sesuai dengan Reglemen Kepenjaraan Tahun 1917 Nomor 798, usaha
kearah sistem prevensi umum maupun khusus menjadi sebuah tujuan. Untuk
prevensi khusus terpidana di penjara agar tidak melakukan kejahatan (detterent)
dan untuk prevensi umum agar masyarakat takut untuk berbuat kejahatan.
Narapidana ditempatkan disamping sel-sel yang terbatas jumlahnya, juga di
bangsal-bangsal yang penuh sesak berbagai tipe penjahat sehingga perkelahian
dan pemerasan antar narapidana banyak terjadi. Ada golongan “jagoan” yang
menjadi “raja” di dalam penjara yang sering memeras sesamanya baik fisik
maupun pasaran memesan uang, barang atau makanan kepada keluarga
narapidana.
Munculnya ide sistem Pemasyarakatan untuk pertama kalinya dicetuskan
oleh Dr. Sahardjo, S.H sebagai menteri kehakiman, sewaktu penerimaan gelar
doktor honoris causa dari universitas Indonesia, pada tanggal 5 juli 1963. Menurut
Sahardjo tujuan pidana penjara itu adalah disamping menimbulkan rasa derita
pada terpidana dihilangkannya kemudahan bergerak namun juga bertujuan untuk
membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya narapidana tersebut
menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna, karena inti
dari tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan. Sehingga di Indonesia saat ini
16
bentuk dan namanya tidak rumah penjara lagi melainkan Lembaga
Pemasyarakatan, menurut almarhum DR. Sahardjo, SH. yang ketika itu menjabat
sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia mengatakan bahwa tujuan pidana
penjara adalah “Pemasyarakatan” sehingga membuat sebutan yang tadinya
“Rumah Penjara” otomatis diganti “Lembaga Pemasyarakatan”.
Dengan penggantian istilah “Penjara” menjadi “Lembaga Pemasyarakatan”
tentu terkandung maksud baik yaitu bahwa pemberian maupun pengayoman
warga binaan tidak hanya terfokus pada itikad menghukum (Funitif Intend) saja
melainkan suatu berorientasi pada tindakan-tindakan yang lebih manusiawi dan
disesuaikan dengan kondisi dari warga binaan itu. Walau istilah Pemasyarakatan
sudah muncul pada tanggal 5 Juli 1963, namun prinsip-prinsip mengenai
Pemasyarakatan itu baru dilembagakan setelah berlangsungnya konfrensi Bina
Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Bandung (Jawa Barat) tanggal 27 april
1964 dan dari hasil konfrensi tersebut dapat disimpulkan bahwa: Tujuan dari
pidana penjara bukanlah hanya untuk melindungi masyarakat semata-mata,
melainkan harus pula berusaha membina si pelanggar hukum, dimana pelanggar
hukum tidak lagi disebut sebagai penjahat dimana seorang yang tersesat akan
selalu bertobat dan ada harapan dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari
sistem pengayoman yang diterapkan kepadanya.
Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadappara
pelanggar hukum dan sebagai suatu keadilan yang bertujuan untuk
mencapaireintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan
Pemasyarakatan dengan masyarakat. Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin
mengatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan yang
17
dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi
manusia yang menyadari kesalahannya.
Dalam perkembangan selanjutnya Sistem Pemasyarakatan mulai
dilaksanakan sejak tahun 1964 dengan ditopang oleh UU. No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan. Undang-undang Pemasyarakatan itu menguatkan
usahausaha untuk mewujudkan suatu sistem Pemasyarakatan yang merupakan
tatanan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Hal tersebut sudah diatur
didalam pasal 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
disebutkan bahwa:
1. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga
Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara
pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam
tata peradilan pidana;
2. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas
serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan
Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang
dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung
jawab;
18
3. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah
tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan.
Sedangkan menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka
membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan
bertanggung jawab.
Dengan dilaksanakannya pidana penjara berdasarkan sistem
pemasyarakatan, maka posisi sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia,
disamping mengembalikan narapidana ke dalam masyarakat (reintegrasi sehat)
mengandung pula pengertian yang lebih luas yaitu juga berfungsi pencegahan
terhadap kejahatan. Dengan singkat tujuan pidana penjara ialah pemasyarakatan.
Sehingga sistem pemasyarakatan tersebut masih tetap berjalan dan terus
mengalami perubahan-perubahan sampai dengan sekarang namun perkembangan
tersebut harus tetap sesuai dengan visi dan misi lembaga pemasyarakatan itu
sendiri yaitu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat.
2.1.2. Lembaga Pemasyarakatan dan Sistem Pemasyarakatan
Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan
pengertian lembaga pemasyarakatan diatur pada pasal 1 angka 3 yaitu : “Lembaga
Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan". Jadi,
19
dapat disimpulkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat bagi
orang yang dihukum untuk dibina selama menjalani masa hukumannya.
Pokok dasar memperlakukan narapidana menurut kepribadian, menurut
Sahardjo ialah:
a. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia;
b. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang yang hidup
diluar masyarakat;
c. Narapidana hanya dijatuhi kehilangan kemerdekaan bergerak, jadi perlu
diusahakannya supaya narapidana mempunyai mata pencaharian.
Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 ketentuan pasal-pasal
yang berkaitan dengan sistem pemasyarakatan diatur pada pasal 1 angka 2, pasal
2, dan pasal 5 yaitu, Pasal 1 angka 2
“Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas,
serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan
Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina,
dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup
secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”
Pasal 2
“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga
Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan,dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
baik dan bertanggung jawab.”
Pasal 5
Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :
a) Pengayoman;
b) persamaan perlakuan dan pelayanan;
c) Pendidikan;
20
d) Pembimbingan;
e) penghormatan harkat dan martabat manusia;
f) kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan;
g) terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-
orang tertentu.
Teknik penyelenggaraan sistem pemasyarakatan secara penuh hanya dapat
dilaksanakan dalam lembaga-lembaga yang penghuninya sebagian besar
dipidanakan 1 tahun keatas, usaha ini dilaksanakan terus menerus bertahap-tahap
secara progressif terhadap tiap narapidana yang bersangkutan dari saat masuk
sebagai narapidana hingga sampai bebasnya. Bila dilihat secara umum tahap-
tahap pelaksanaan sistem pemasyarakatan dimulai dengan menerima narapidana
dan menyelesaikan pencatatannya secara administrasi, yang disusul dengan
observasi atau identifikasi mengenai pribadinya secara lengkap oleh suatu dewan
pemasyarakatan, setelah selesai kemudian ditentukan bentuk dan cara perlakuan
(treatment) yang akan ditempuh, penempatannya untuk tinggal, pekerjaan yang
diberikan, pendidikan-pendidikan atau pelajaran-pelajaran yang akan
ditempuhnya, disamping diberikan keterangan-keterangan tentang hak dan
kewajibannya serta tata cara hidup dalam lembaga.
Tahap-tahap tersebut juga dijelaskan dalam Undang-Undang No.12 Tahun
1995 yang diatur dalam pasal 10, pasal 11, dan pasal 12 yaitu:
Pasal 10
(1) Terpidana yang diterima di LAPAS wajib didaftar.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengubah status
Terpidana menjadi Narapidana.
(3) Kepala LAPAS bertanggung jawab atas penerimaan Terpidana dan
pembebasan Narapidana di LAPAS.
Pasal 11
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi:
a. Pencatatan:
21
1. putusan pengadilan;
2. jati diri;
3. barang dan uang yang dibawa.
b. Pemeriksaan kesehatan
c. Pembuatan pasfoto
d. Pengambilan sidik jari
e. Pembuatan berita acara serah terima Terpidana.
Pasal 12
(1) Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan
penggolongan atas dasar :
a. Umur
b. jenis kelamin
c. lama pidana yang dijatuhkan
d. jenis kejahatan
e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan
pembinaan.
(2) Pembinaan Narapidana Wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS
Wanita.
Selanjutnya setelah berjalan beberapa lama pertemuan dewan
pemasyarakatan diadakan lagi dengan mengikutsertakan narapidana yang
bersangkutan, dan dievaluasi keadaannya maju atau mundur tingkah lakunya.
Perlakuan selanjutnya ditentukan oleh dewan sesuai dengan kemajuannya dan
kemundurannya, setelah diadakan koreksi-koreksi seperlunya. Kegiatan tersebut
terus dilakukan secara berkala sehingga narapidana mengalami kemajuan dalam
sifatnya.
Dalam rangka mempersiapkan narapidana mengintegrasikan kembali ke
masyarakat, maka kepada narapidana perlu diberikan keterampilan kerja sebagai
bekal hidupnya. Keterampilan ini ditujukan kepada narapidana agar menjadi
tenaga yang terampil, seperti memberikan keterampilan mekanik, menjahit,
pendidikan, dan lain-lain. Dalam menjalani hukuman ini diharapkan narapidana
dapat interaksi sosial yang harmonis antara mantan narapidana dengan masyarakat
setelah bebas.
22
Kegiatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan bukan sekedar untuk
menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar
warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi
tindak pidana yang pernah dilakukan. Prinsip-prinsip pokok yang menyangkut
dasar perlakuan terhadap warga binaan dan anak didik yang dikenal dengan nama
Sepuluh (10) Prinsip Pemasyarakatan :
1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan
peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna;
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara;
3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat;
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat
daripada sebelum dijatuhi pidana;
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak
didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari
masyarakat;
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh
diberikan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dinas atau kepentingan
negara sewaktu-waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan
pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan
produksi;
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak
didik harus berdasarkan Pancasila;
8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah
manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia;
23
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan
sebagai salah satu derita yang dialaminya;
10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi
rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam Sistem Pemasyarakatan.
Dengan demikian jika warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan kelak
bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan
lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi Pemidanaan
tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan
reintegrasi sosial Warga Binaan yang ada didalam Lapas.
2.2. Warga Binaan Pemasyarakatan dan Pembinaan Narapidana
Para warga binaan harus dididik, diasuh dibimbing dan diarahkan pada
tujuan yang bermanfaat baik untuk diri sendiri dan keluarganya maupun bagi
masyarakat setelah pada waktunya dapat kembali kemasyarakat. Adapun warga
binaan pemasyarakatan yaitu terdiri atas :
1. Narapidana;
2. Orang-orang yang ditahan untuk sementara;
3. Orang-orang yang disandera;
4. Orang-orang lain yang dimasukkan dengan perintah walaupun tidak
menjalani pidana.
Dari kriteria warga binaan pemasyarakatan tersebut maka terhadap warga
binaan khususnya dilakukan penggolongan dalam beberapa klas yang menurut
pasal 50 Reglement penjara, bahwa orang hukuman tersebut dapat dibagi dengan
4 klas yaitu:
24
a) Klas I ialah narapidana yang telah dijatuhi pidana penjara seumur
hidup, akan tetapi sulit untuk dapat dikuasai atas sifat-sifatnya yang
bukan hanya bagi pegawai penjara;
b) Klas II ialah narapidana yang dihukum penjara sementara yang lebih
dari tiga bulan penjara yakni apalagi narapidana yang dipandang tidak
perlu untuk dimasukkan ke dalam golongan klas I;
c) Klas III ialah narapidana yang semula termasuk golongan klas II yang
karena selama 6 (enam) bulan berturut-turut telah menunjukkan
kelakuan yang baik, hingga perlu dipidanakan kegolongan klas III;
d) Klas IV ialah narapidana yang telah dijatuhi pidana penjara kurang dari
tiga bulan, mereka ini tidak boleh ditempatkan dalam satu bangunan
yang sama dimana lain-lain warga binaan telah ditempatkan seperti
tersebut di atas.
Selain itu macam-macam warga binaan pemasyarakatan menurut Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1995 diatur pada pasal 1 point ke 5, yaitu “Warga
Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan
Klien Pemasyarakatan”.
Penggolongan warga binaan yang diatur di dalam pasal 1 angka 5 tersebut
dibagi lagi dalam beberpa golongan warga binaan pemasyarakatan, yaitu:
1. Narapidana
a. Narapidana Laki-laki;
b. Narapidana Wanita.
2. Anak didik pemasyarakatan
25
a. Anak Pidana anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan
belas) tahun;
b. Anak negara anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan
pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling
lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c. Anak sipil anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak
paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
3. Klien pemasyarakatan
a. Terpidana bersyarat;
b. Narapidana, Anak Pidana, dan Anak Negara yang mendapatkan
pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas;
c. Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaannya
diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;
d. Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di
lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk,
bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial;
e. Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya
dikembalikan kepada orang tua atau walinya.
Sesuai UU No.12 Tahun 1995, pasal 1 angka ke 7 bahwa narapidana adalah
terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga
Pemasyarakatan. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-
hak narapidana yang tetap dili ndungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.
26
Dr.Sahardjo dalam pidato penganugerahan gelar doctor honoris causa dalam
ilmu hukum, pada tahun 1963 oleh universitas Indonesia, telah menggunakan
istilah nara-pidana bagi mereka yang telah dijatuhi pidana ”kehilangan
kemerdekaan”. Menurut Drs. Ac Sanoesi HAS istilah nara-pidana adalah sebagai
pengganti istilah orang hukuman atau orang yang terkena hukuman, dengan kata
lain istilah narapidana adalah untuk mereka yang telah divonis hakim dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pengertian pembinaan narapidana menurut PP No 31 Tahun 1999 diatur
dalam pasal 1 ayat 1, yaitu kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional,
kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
Adanya model pembinaan bagi narapidana didalam Lembaga
Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih
banyak memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan
setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas).
Sedangkan menurut Bahroedin Soerjobroto pada prinsipnya pembinaan
narapidana adalah suatu proses pembinaan untuk mengembalikan kesatuan hidup
dari terpidana. Jadi, istilah lembaga pemasyarakatan dapat disamakan dengan
resosialisasi dengan pengertian bahwa segala sesuatunya ditempatkan dalam tata
budaya Iandonesia, dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat
Indonesia.
2.3. Konsep Pembinaan
Sistem pemasyarakatan adalah bersatunya kembali Warga Binaan
Pemasyarakatan dengan masyarakat, sebagai warga Negara yang baik dan
27
bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan Warga Binaan di masyarakat
nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut membangun masyarakat dan
bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam pembangunan.
Dalam konteks tersebut diatas sistem pembinaan narapidana dengan
orientasi yang berbasis di masyarakat (Community - Based corrections) menjadi
pilihan yang efektif dalam sistem pemasyarakatan. Community – Based
corrections merupakan suatu metode baru yang digunakan untuk
mengintegrasikan narapidana kembali ke kehidupan masyarakat. Semua aktifitas
yang mengarah ke usaha penyatuan komunitas untuk mengintegrasikan
narapidana ke masyarakat. Melalui metode Community-based corrections
memungkinkan Warga Binaan Pemasyarkatan membina hubungan lebih baik,
sehingga dapat mengembangkan hubungan baru yang lebih positif.
Tujuan utama Community-based corrections ini adalah untuk
mempermudah narapidana berinteraksi kembali dengan masyarakat. Untuk
mencapai tujuan tersebut maka penerapan Community-based corrections perlu
didasarkan pada standar kriteria sebagai berikut:
a) Lokasi pembinaan yang memberikan kesempatan bagi narapidana untuk
berinteraksi dengan masyarakat;
b) Lingkungan yang memiliki standar pengawasan yang minimal;
c) Program pembinaan seperti pendidikan, pelatihan, konseling dan
hubungan yang didasarkan kepada masyarakat;
d) Diberikan kesempatan untuk menjalankan peran sebagai warga
masyarakat, anggota keluarga, siswa, pekerja dan lain lain;
e) Diberikan kesempatan untuk menumbuhkan dan mengembangkan diri.
28
Menurut Kartasasmita, penerapan Community-based corrections dapat
dilakukan dengan memberdayakan warga binaan pemasyarakatan melalui 3 upaya
sebagai berikut:
1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah
pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi
yang dapat dikembangkan;
2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat
(empowering) dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif
selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi
langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan
(input) serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities)
yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.
3. Memberdayakan mengandung pola melindungi, dalam proses
pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah
karena kurang berdaya menghadapi yang kuat.
Pembentukan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka sebagai implementasi dari
Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No: M.03.pr.0703
Tahun 2003 Tanggal 16 April 2003 perihal pembentukan LAPAS Terbuka
Pasaman, Jakarta, Kendal, Nusakambangan, Mataram dan Waikabubak,
merupakan pengejawantahan dari konsep Community-based corrections.
Lembaga Pemasyarakatan Terbuka merupakan suatu sistem pembinaan dengan
pengawasan minimum (Minimum Security) yang penghuninya telah memasuki
tahap asimilasi dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dimana
29
diantaranya telah menjalani setengah dari masa pidananya dan sistem pembinaan
serta bimbingan yang dilaksanakan mencerminkan situasi dan kondisi yang ada
pada masyarakat sekitar. Hal ini dimaksudkan dalam rangka menciptakan
kesiapan narapidana kembali ke tengah masyarakat.
Dengan sistem pembinaan yang berorientasi kepada masyarakat maka
LAPAS Terbuka seharusnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tidak ada sarana dan prasarana yang nyata-nyata berfungsi pencegah
pelarian (seperti tembok yang tebal dan tinggi, sel yang kokoh dengan
jeruji yang kuat dan pengamanan yang maksimal);
2. Bersifat terbuka dalam arti bahwa sistem pembinaan didasarkan atas
tertib diri dan atas rasa tanggung jawab Narapidana terhadap kelompok
dimana narapidana tersebut tergolong;
3. Berada di tengah-tengah masyarakat atau di alam terbuka.
Di dalam melaksanaan suatu pembinaan, secara ilmu pengetahuan dikenal
dengan teori Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial yang bertujuan untuk
mengembangkan beberapa program kebijakan pembinaan narapidana
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Program kebijakan itu meliputi:
a. Asimilasi
Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang
salah satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada
narapidana.
30
b. Reintegrasi Sosial
Dalam reintegrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program
pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.
c. Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa
syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua
pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-
kurangnya adalah selama sembilan bulan;
d. Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang
telah menjalani dua pertiga masa pidanannya, di mana masa dua pertiga
itu sekurang- kurangnya sembilan bulan.
2.4. Macam-Macam Pembinaan
Bentuk-bentuk pembinaan yang diberikan kepada warga binaan saat ini,
yaitu:
a. Pembinaan Mental, yaitu, pembinaan ini merupakan dasar untuk
menempa seseorang yang telah sempat terjerumus terhadap perbuatan
jahat, sebab pada umumnya orang menjadi jahat itu karena mentalnya
sudah turun (retardasi mental), sehingga untuk memulihkan kembali
mental seseorang seperti sedia kala sebelum dia terjerumus, maka
pembinaan mental harus benar-benar diberikan sesuai dengan porsinya.
b. Pembinaan Sosial, yaitu, pembinaan sosial ini diberikan kepada warga
binaan dalam kaitannya warga binaan yang sudah sempat disingkirkan
dari kelompoknya sehingga diupayakan bagaimana memulihkan
kembali kesatuan hubungan antara warga binaan dengan masyarakat
sekitarnya.
31
c. Pembinaan Keterampilan, yaitu, dalam pembinaan ini diupayakan untuk
memberikan berbagai bentuk pengetahuan mengenai keterampilan
misalnya bentuk pengetahuan mengenai keterampilan berupa pendidikan
menjahit, pertukangan, bercocok tanam dan lain sebagainya.
Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program
pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.
1. Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa
syarat kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua
pertiga dari masa pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-
kurangnya adalah selama sembilan bulan;
2. Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang
telah menjalani dua pertiga masa pidanannya, di mana masa dua pertiga
itu sekurang- kurangnya sembilan bulan.
2.5. Tahap-Tahap Pembinaan Narapidana
Pembinaan para tahanan dalam wujud perawatan tahanan, yaitu proses
pelayanan tahanan yang termasuk di dalamnya program-program perawatan
rohani maupun jasmani. Untuk mereka yang telah divonis hakim dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, yang kemudian disebut narapidana,
penempatannya di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Terhadap narapidana,
diberikan pembinaan, yaitu kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional,
kesehatan jasmani dan rohani warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang
dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu:
32
a. Kegiatan masa pengamatan, penelitian, dan pengenalan lingkungan
untuk menentukan perancanaan pelaksanaan program pembinaan
kepribadian dan kemandirian. Waktunya dimulai pada saat yang
bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 dari masa
pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan dalam Lapas dan
pengawasannya maksimum (maximum security);
b. Kegiatan lanjutan dari program pembinaan kepribadian dan kemandirian
sampai dengan penentuan perencanaan dan pelaksanaan program
asimilasi yang pelaksanaannya terdiri atas dua bagian;
c. Kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang
dimulai sejak berakhirnya masa pidana dari napi yang bersangkutan.
Menyadari bahwa pembinaan warga binaan berdasarkan sistem
pemasyarakatan merupakan kegiatan interaktif antara komponen narapidana,
petugas dan masyarakat, maka peran serta masyarakat merupakan salah satu hal
yang mutlak diperlukan. Tanpa peran serta masyarakat dalam pembinaan, tujuan
sistem pemasyarakatan melalui upaya reintegrasi warga binaan tidak akan tercapai
bagaimanapun baiknya kualitas program-program pembinaan yang diterapkan.
Bentuk-bentuk kemitraan yang dilakukan sebagai sarana kegiatan pembinaan,
antara lain peran serta masyarakat harus dipandang sebagai aspek integral dari
upaya pembinaan, sehingga dukungan masyarakat sangat diperlukan dalam
mencapai tujuan yang diinginkan dalam pembinaan warga binaan. Salah satu
bentuk peran serta masyarakat ini diwujudkan melalui program kemitraan dalam
bentuk berbagai kerjasama antara lapas atau bapas dengan masyarakat, baik
perorangan maupun kelompok.
33
Pembinaan pada tahap ini terdapat narapidana yang memenuhi syarat
diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dan pembinaannya
dilakukan di luar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (bapas) yang kemudian
disebut pembimbingan klien pemasyarakatan.
Tahap-tahap pembinaan tersebut sudah diatur di dalam pasal 7 dan pasal 9
PP No. 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan warga binaan
pemasyarakatan yaitu:
Pasal 7
(1) Pembinaan Narapidana dilaksanakan melalui beberapa tahap
pembinaan.
(2) Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas 3
(tiga) tahap, yaitu: (a) tahap awal; (b) Tahap lanjutan; dan (c) tahap
akhir.
(3) Pengalihan pembinaan dari satu tahap ke tahap lain ditetapkan melalui
sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan berdasarkan data dari Pembina
Pemasyarakatan, Pengaman Pemasyarakatan, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Wali Narapidana.
(4) Data sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) merupakan hasil
pengamatan, penilaian, dan laporan terhadap pelaksanaan pembinaan.
(5) Ketentuan mengenai pengamatan, penilaian, dan pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 9
(1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
huruf a bagi Narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus
sebagai Narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana.
(2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2) huruf b meliputi:
a. Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal
sampai dengan 1/2 (satu per dua) dari masa pidana;
b. Tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan
pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana.
(3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
huruf c dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan
berakhirnya masa pidana dari Narapidana yang bersangkutan.
34
Dari penjelasan pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa tahap-tahap
pembinaan narapidana menurut PP No.31 Tahun 1999 dibagi dalam tiga tahap,
yaitu:
1. Pembinaan Tahap Awal (Pasal 9 (1) PP 31/99) Pembinaan ini dilakukan
baik bagi Tahanan maupun bagi narapidana. Pembinaan pada tahap ini
terdapat narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang
bebas atau pembebasan bersyarat dan pembinaannya dilakukan diluar
Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (bapas) yang kemudian disebut
pembimbingan klien pemasyarakatan.
2. Pembinaan Tahap Lanjutan (Pasal 9 (2) a PP 31/99) Waktunya dimulai
sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½ dari masa pidananya.
Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam lapas dan
pengawasannya sudah memasuki tahap medium security.
3. Pembebasan tahap akhir (Pasal 9 (3) PP 31/99) Pada tahap ini dimulai
sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa
pidananya. Pada tahap ini pengawasan kepada narapidana memasuki
tahap minimum security. Dalam tahap lanjutan ini, narapidana sudah
memasuki tahap asimilasi. Selanjutnya, napi dapat diberikan cuti
menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dengan pengawasan
minimum security.
2.6. Kajian Umum Tentang Residivis
2.6.1 Pengertian Residivis
Berkaitan dengan penjatuhan pidana, dalam kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) diatur mengenai ketentuan-ketentuan yang dapat menghapus,
35
meringankan, dan memperberat pidana (hukuman). Hal yang dapat meringankan
pidana antara lain percobaan (pasal 53 KUHP) dan pembantuan (pasal 55 KUHP).
Sedangkan hal-hal yang dapat menghapus pidana adalah pertumbuhan jiwa yang
tidak sempurna atau terganggu karena sakit, daya paksa atau overmatch (pasal 48
KUHP), pembelaan terpaksa (pasal 51 KUHP), melaksanakan Undang-undang
(pasal 50 KUHP) dan melaksanakan perintah jabatan (pasal 51 KUHP).
Sedangkan yang dapat memperberat pidana antara lain pengulangan
kejahatan (recidive) yang diatur dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP,
perbarengan (concorsus) yang diatur dalam pasal 63 KUHP dan tindak pidana
yang dilakukan oleh pejabat atau tindak pidana dengan menggunakan bendera
kebangsaan yang diatur dalam pasal 52 KUHP. Dalam hal ini penulis akan
membahas mengenai residivis (pengulangan) sebab sesuai dengan tujuan
penelitian yang dilakukan.
Residivis adalah berasal dari bahasa prancis yang diambil dua kata latin,
yaitu re dan cado, re berarti lagi dan cado berarti jatuh. Recidive berarti suatu
tendensi berulang kali dihukum karena berulangkali melakukan kejahatan, dan
mengenai orangnya disebut residivis. Oleh karena itu mengenai recidive adalah
berbicara tentang hukuman yang berulang kali sebagai akibat perbuatan yang
sama atau serupa.
Sedangkan pengertian recidive menurut Wirjono Prodjodikoro adalah
seorang yang sudah dijatuhi hukuman perihal suatu kejahatan, dan kemudian,
setelah selesai menjalani hukuman, melakukan suatu kejahatan lagi, yang
berakibat bahwa hukuman yang akan dijatuhkan kemudian, malahan diperberat,
yaitu dapat melebihi maximum.
36
Dalam hukum pidana, recidive dapat diartikan seseorang melakukan
beberapa tindak pidana dan diantara tindak pidana itu telah mendapatkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pengertian recidive menurut Moch. Anwar, adalah dalam hal seseorang
telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak
pidana yang berdiri sendiri, diantara perbuatan-perbuatan mana satu atau lebih
telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan.
Ada 2 arti pengulangan atau recidive, yang satu menurut masyarakat
(sosial), dan yang lainnya dalam arti hukum pidana. Menurut arti yang pertama,
masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah dipidana, menjalaninya
yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, disini ada pengulangan, tanpa
memperhatikan syarat-syarat lainnya. Tetapi dalam arti hukum pidana, yang
merupakan dasar pemberat pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat berulangnya
melakukan tindak pidana, tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang
ditetapkan undang-undang.
Dengan adanya residivis dapat menjadi salah satu bukti yang menunjukkan
bahwa seseorang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani hukuman penjara di
Lembaga Pemasyarakatan hal ini juga yang menjadi salah satu faktor dominan
munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa
disebut dengan residivis tersebut.
Penjara yang telah melakukan segala usaha untuk merehabilitasi penjahat
tidaklah lebih berhasil dari pada penjara yang membiarkan penghuninya
“melapuk”. Sedangkan David Rothman mengatakan bahwa rehabilitasi adalah
kebohongan yang diagung-agungkan. Pernyataan Rothman ini muncul setelah
37
melihat kenyataan yang sebenarnya bahwa penjara mengasingkan penjahat dari
cara hidup yang wajar sehingga tidak siap untuk hidup di jalan yang benar setelah
dibebaskan dari penjara dan juga pada kenyataan adanya kekerasan dalam penjara
yang merendahkan martabat manusia di penjara.
Pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan
"pelayanan" yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku
kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam
institusi penjara, Restorative justice adalah salah satu bentuk proses pembinaan
dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu
bersamasama memecahkan masalah bagaimana menangani akibatnya di masa
yang akan datang.
2.6.2. Residivis Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dikenal ada beberapa sistem
kambuhan atau recidive. Sebagai sistem pokok, ada 2 (dua) sistem yaitu :
1. Kambuhan Umum (General Recidive)
Menurut sistem kambuhan umum, terjadi suatu kambuhan apabila
seseorang setelah melakukan tindak pidana dan atas tindak pidana yang
dilakukan itu, telah dijatuhi pidana kemudian melakukan tindak pidana
lagi, baik tindak pidana yang sama, sejenis maupun tindak pidana
lainnya.
2. Kambuhan Khusus (Special Recidive) Sebaliknya kambuhan khusus
terjadi apabila seseorang setelah melakukan tindak pidana dan atas
tindak pidana yang dilakukan itu telah dijatuhi pidana, kemudian
melakukan tindak pidana yang sama.
38
Disamping kedua sistem tersebut terdapat sistem kambuhan tengah
(Tussenstelsel) yaitu, kambuhan yang terjadi apabila seseorang telah melakukan
tindak pidana dan atas tindak pidana yang dilakukan telah dijatuhi pidana
kemudian melakukan tindak pidana yang termasuk kelompok tindak pidana yang
karena sifatnya dianggap sama.
Undang-undang sendiri tidak mengatur mengenai pengulangan umum
(General Recidive) yang artinya menentukan pengulangan berlaku untuk dan
terhadap semua tindak pidana. Mengenai pengulangan ini KUHP mengatur,
Pertama, menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-indak pidana tertentu
dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan
hanya terbatas pada tindak pidana tertentu yang disebutkan di dalam pasal 486,
487, 488 KUHP, dan kedua di luar kelompok kejahatan dalam pasal 386, 387, dan
388 itu, KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang
dapat terjadi pengulangan, misalnya pasal 216 ayat (3), 489 ayat (2), 495ayat (2),
501 ayat (2), 512 ayat (3) KUHP. Pada tindak pidana lain yang tidak masuk pada
yang diterangkan pada butir 1 dan 2 tersebut diatas, tidak dapat terjadi
pengulangan. Oleh karena tidak mengenal general recidive inilah, maka
pengaturannya tidak dimuat dalam buku I (pertama), melainkan dikelompokkan
pada ketiga pasal tersebut dalam buku II (kedua) dan pasal-pasal tertentu lainnya
dalam buku II (kejahatan) maupun buku ke III (pelanggaran).
Pada prinsipnya KUHP Indonesia menganut sistem kambuhan tengah
(Tussenstelsel), akan tetapi dalam KUHP terdapat pula beberapa tindak pidana
yang menganut sistem kambuhan khusus (Speciale Recidive). Ketentuan-
39
ketentuan yang mengatur sistem kambuhan tengah (Tussenstenlsel) terdapat pada
pasal 486, 487, 488 KUHP, yaitu:
Pasal 486 KUHP, Pidana penjara yang ditentukan dalam pasal 127, 204 ayat
pertama, 244 248, 253-260 bis, 263, 264, 266-268, 274, 362, 363, 365 ayat
pertama, kedua, dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua sepanjang di situ ditunjuk
kepada ayat kedua dan ketiga pasal 465, pasal 369, 372, 374, 375, 378, 389, 381-
383, 385- 388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425, 432 ayat penghabisan, 452, 466,
489 dan 481, begitupun pidana penjara selama waktu tertentu yang dijatuhkan
menurut pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua sepanjang di
situ ditunjuk kepada ayat keempat pasal 365, dapat ditambah dengan sepertiga,
jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak
menjalani untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal
itu, maupun karena salah satu kejahatan, yang dimaksud dalam salah satu dari
pasal 140-143, 145 dan 149, Kitab Undangundang Hukum Pidana Tentara, atau
sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan (kwijtgescholeden)
atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana
tersebut belum daluwarsa.
Pasal tersebut mengatur tentang recidive atau kambuhan tindak pidana
terhadap harta kekayaan, kelompok tindak pidana kejahatan yang sejenis yang
tercantum dalam pasal 486 KUHP ini adalah: (1) Dalam keadaan perang
melakukan tipu muslihat penyerahan barang (pasal 127 KUHP); (2) Menedarkan
barang yang membahayakan nyawa dan kesehatan orang (pasal 204 ayat 1
KUHP); (3) Pemalsuan uang (pasal 224-248 KUHP); (4) Pemalsuan merk (pasal
40
253-260 bis); (5) Pemalsuan surat (pasal 263, 264, 266, 268, 274 KUHP); (6)
Pencurian (pasal 263, 264, 266, 268, 274 KUHP); (7) Pemerasan dan
pengancaman (pasal 368, 369 KUHP); (8) Merugikan piutang (pasal 299, 400,
402 KUHP); (9) Penipuan (pasal 378, 380, 381, 385, 388 KUHP); (10)
Penggelapan (pasal 372, 374, 375 KUHP); (11) Tindak pidana kejahatan
pelayaran (pasal 452, 466 KUHP); (12) Penadahan (pasal 480, 481 KUHP).
Pasal 487 KUHP. Pidana penjara yang ditentukan dalam pasal 130 ayat
pertama, 131, 133, 140 ayat pertama, 141, 170, 213, 214, 338, 341, 342, 344, 347,
348, 351, 353-355, 438-443, 459 dan 460, begitupun pidana penjara selama waktu
tertentu yang dijatuhkan menurut pasal 104, 105, 130 ayat kedua dan ketiga, pasal
140 ayat kedua dan ketiga, 339, 340 dan 444, dapat ditambah sepertiga. Jika yang
bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani
untuk seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik
karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal-pasal itu, maupun
karena salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam pasal 106 ayat kedua dan
ketiga, 107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, 109, sejauh kejahatan yang
dilakukan itu atau perbuatan yang menyertainya menyebabkan luka-luka atau
mati, pasal 131 ayat kedua dan ketiga, 137 dan 138 KUHP Tentara, atau sejak
pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan, atau jika pada waktu
melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum daluwarsa.
Pasal tersebut mengatur tentang recidive atas tindak pidana terhadap tubuh
atau nyawa manusia, kelompok tindak pidana yang dianggap sejenis dalam pasal
487 KUHP, adalah: (1) Penyerangan terhadap presiden (pasal 131 KUHP); (2)
Penyerangan terhadap kepala negara sahabat (pasal 140 ayat 1 dan141 KUHP);
41
(3) Bersama-sama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang (pasal 170
KUHP); (4) Melawan pejabat dengan kekerasan (pasal 213 dan 214 KUHP); (5)
Kejahatan terhadap nyawa (pasal 338, 341, 342, 344, 347, 348 KUHP); (6)
Penganiayaan (pasal 153, 351, 355 KUHP); (7) Pembajakan (pasal 438-443
KUHP); (8) Karena kelalaian menyebabkan orang mati atau luka berat (pasal 359
dan 360 KUHP); (9) Kejahatan terhadap keamanan negara (pasal 359 dan 360
KUHP).
Pasal 488 KUHP. Pidana yang ditentukan dalam pasal 134-138, 142-144,
207, 208, 310-321, 483 dan 484, dapat ditambah sepertiga, jika yang bersalah
ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk
seluruhnya atau sebagian, pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, karena salah
satu kejahatan diterangkan pada pasal itu, atau sejak pidana tersebut baginya sama
sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan
menjalani pidana tersebut belum daluwarsa.
Pasal tersebut mengatur kambuhan atas tindak pidana kejahatan terhadap
kehormatan orang. Kelompok tindak pidana yang dianggap sejenis dalam pasal
488 KUHP adalah:
1. Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden (pasal 134-138
KUHP);
2. Penghinaan terhadap kepala negara sahabat (pasal 141-144 KUHP);
3. Penghinaan terhadap penguasa umum (pasal 207 dan 208 KUHP);
4. Penghinaan (pasal 310-321 KUHP);
5. Tindak pidana pers (pasal 483 dan 484 KUHP)
42
Dalam pasal 486, 487, 488 KUHP tersebut diatas ditentukan juga
syaratsyarat terjadinya residivis, yaitu:
1. Tindak pidana yang dilakukan harus sejenis;
2. Tindak pidana yang kemudian dilakukan dalam kurun waktu lima tahun
sejak terpidana menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya atas tindak pidana terdahulu.
Sedangkan ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem kambuhan (recidive)
khusus terdapat baik dalam kejahatan maupun dalam pelanggaran.
a. Kambuhan khusus dalam kejahatan diatur dalam :
1. Pasal 137 ayat 2 KUHP
Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan
pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak
adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam
itu juga, maka dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
Pasal tersebut merupakan ketentuan kambuhan atau recidive yang diatur
dalam pasal 137 ayat 1 KUHP.
2. Pasal 157 ayat 2 KUHP
Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut pada waktu
menjalankan pencarian, dan pada saat itu belum lewat lima tahun
sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan
semacam itu juga, maka dapat dilarang menjalankan pencarian
tersebut.
Pasal tersebut merupakan ketentuan kambuhan atau recidive yang diatur
dalam pasal 157 ayat 1 KUHP.
43
3. Pasal 161 bis. ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau
residivis yang diatur dalam pasal 161 bis. ayat 1 KUHP.
b. Kambuhan khusus dalam pelanggaran antara lain adalah :
1. Pasal 489 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau
recidive yang diatur dalam pasal 489 ayat 1 KUHP;
2. Pasal 492 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau
recidive yang diatur dalam pasal 492 ayat 1 KUHP;
3. Pasal 501 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau recidive
yang diatur dalam pasal 501 ayat 1 KUHP;
4. Pasal 512 ayat 3 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau
recidive yang diatur dalam pasal 512 ayat 1 dan 2 KUHP;
5. Pasal 536 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau
recidive yang diatur dalam pasal 536 ayat 1 KUHP;
6. Pasal 540 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau
recidive yang diatur dalam pasal 540 ayat 1 KUHP;
7. Pasal 541 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau
recidive yang diatur dalam pasal 541 ayat 1 KUHP;
8. Pasal 544 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau
recidive yang diatur dalam pasal 544 ayat 1 KUHP;
9. Pasal 545 ayat 2 KUHP, merupakan ketentuan kambuhan atau
recidive yang diatur dalam pasal 545 ayat 1KUHP;
10. Kambuhan khusus juga terdapat dalam pasal 549 ayat 3 KUHP.
44
2.7. Recidive Sebagai Dasar Pemberatan Pidana
Alasan hukum dari pengulangan sebagai dasar pemberatan hukum ini adalah
bahwa seseorang yang telah dijatuhi hukuman dan mengulang kembali melakukan
kejahatan, membuktikan, bahwa telah memiliki tabiat yang jahat dan karenanya
dianggap sangat berbahaya bagi keamanan dan ketertiban masyarakat.
Adapun rasio dasar pemberatan pada pengulangan ini adalah terletak pada 3
(tiga) faktor, ialah:
1. Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana;
2. Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena
tindak pidana yang pertama;
3. Pidana itu telah dijalankannya pada yang bersangkutan.
Pemberatan pada recidive atau pengulangan dianggap penting karena
penjatuhan pidana karena melakukan tindak pidana dianggap sebagai suatu
peringatan dari negara atas perbuatan yang dilakukannya. Melakukan tindak
pidana yang kedua kalinya dianggap tidak mengindahkan peringatan dari negara.
Sehingga wajar apabila recidive atau pengulangan pemidanaannya diperberat.
Pada dasarnya di dalam ilmu hukum pidana recidive dibedakan menjadi 2
(dua) macam, yaitu:
1. Accidentele recidive atau kambuhan kebetulan. Kambuhan kebetulan
maksudnya pembuat melakukan tindak pidana yang kedua kalinya itu
disebabkan oleh hal-hal yang bukan karena sifat atau perangainya yang
buruk, akan tetapi oleh sebab-sebab lain yang memang dia tidak mampu
mengatasinya, misalnya karena akibat dari kehilangan pekerjaan dari
sebab masuk Lembaga Pemasyarakatan karena mencuri uang
45
majikannya, setelah keluar Lapas kemudian mencuri sepotong roti
karena kelaparan, dalam hal seperti ini sepatutnya tidak dijadikan alasan
pemberat pidana.
2. Habituale recidive atau kambuhan kebiasaan. Kambuhan karena
kebiasaan, menunjukkan perangai yang buruk. Tidak jarang narapidana
yang setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan tidak menjadikan
perangai yang lebih baik, justru pengaruh pergaulan didalam Lapas
menambah sifat buruknya, kemudian melakukan kejahatan lagi, dan
disini memang wajar pidananya diperberat.
Perbedaan recidive ini mempunyai arti penting sebagai bahan pertimbangan
bagi hakim dalam menjatuhkan pidana dalam peristiwa konkret, Habitule
Recidive tentu lebih berat dari pada Accidentele Recidive. Namun KUHP yang
berlaku di Indonesia tidak membedakan antara 2 (dua) jenis pengulangan tersebut.
46
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis
Sosiologis (Sociologys Legal Research). Secara yuridis dengan mengkaji
peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan optimalisasi sistem
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai upaya mencegah terjadinya
residivis, antara lain pasal-pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan. Secara sosiologi dengan cara melihat kenyataan
yang ada di lapangan berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti dipandang
dari sudut penerapan hukum.
3.2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB
Meulaboh, yang terletak di daerah gampong Paya Peunaga kecamatan Meureubo
kabupaten Aceh Barat, karena Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh
merupakan salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang menampung dua kabupaten
yaitu Aceh Barat dan Nagan Raya yang sering menerima pelaku-pelaku kejahatan
kambuhan (residivis). Hal ini terbukti dari hasil pra survey yang penulis lakukan
di Lembaga Pemsyarakatan klas IIB Meulaboh bahwa jumlah residivis yang
masuk per Agustus tahun 2013 baik yang masih berstatus tahanan maupun yang
sudah berstatus narapidana yaitu sebanyak 29 orang residivis.
47
3.3. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
3.3.1. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder.
a. Data Primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari lapangan yang
diperoleh melalui:
1. Observasi, yaitu suatu teknik dengan mengamati langsung serta
mencatat hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang diteliti
(Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, 2004: h.76-77); Pada
penelitian kualitatif, observasi merupakan salah satu
mengumpulkan data yang populer. Untuk terlaksananya observasi
dengan baik perlu disusun instrumen, yaitu pedoman observasi.
Pedoman tersebut biasanya dalam bentuk daftar cek (chek list) atau
daftar isian. Adapaun aspek yang diobservasi meliputi
keperilakuan, keadaan fisik, pertumbuhan dan perkembangan
subjek tertentu dan sebagainya (Danim, 2002: h.140).
2. Wawancara, teknik pengumpulan data dengan sebuah percakapan
antara dua orang atau lebih, yang pertanyaannya diajukan oleh
peneliti kepada subjek atau sekelompok subjek penelitian untuk
dijawab (Danim, 2002: h.130). Instrumen yang digunakan dalam
melakukan wawancara yaitu pedoman wawancara. Wawancara
biasanya dilakukan kepada sejumlah responden/informan yang
jumlahnya relatif terbatas dan memungkinkan bagi peneliti untuk
48
mengadakan kontak langsung secara berulang-ulang sesuai dengan
keperluan.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh baik yang belum diolah
maupun telah diolah, baik dalam bentuk angka maupun uraian. Dalam
penelitian ini data-data sekunder yang diperlukan antara lain literatur
yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, artikel,
makalah, peraturan-peraturan, struktur organisasi, jadwal, waktu,
petunjuk pelaksana, petunjuk teknis dan lain-lain yang memiliki
relevansi dengan masalah yang diteliti.
3.3.2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Observasi, yaitu suatu teknik dengan mengamati langsung serta
mencatat hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang diteliti (Chalid
Narbuko dan Abu Achmadi, 2004. h:76-77). Pada penelitian kualitatif,
observasi merupakan salah satu mengumpulkan data yang populer.
Untuk terlaksananya observasi dengan baik perlu disusun instrumen,
yaitu pedoman observasi. Pedoman tersebut biasanya dalam bentuk
daftar cek (chek list) atau daftar isian. Adapaun aspek yang diobservasi
meliputi keperilakuan, keadaan fisik, pertumbuhan dan perkembangan
subjek tertentu dan sebagainya. (Danim, 2002. h:140). Dalam hal ini,
pengamatan dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:
49
a. Pengamat berperan serta, yaitu seorang pengamat melakukan dua
peran sekaligus sebagai pengamat dan menjadi anggota resmi dari
objek atau kelompok yang diamati.
b. Pengamatan tanpa berperan serta, yaitu seorang pengamat hanya
berfungsi untuk melakukan pengamatan saja, tanpa ikut menjadi
anggota dari objek yang diteliti.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode observasi langsung
yaitu pada pihak pegawai Lembaga Pemasyarakatan bagian pembinaan.
Pengamatan dilakukan sendiri secara langsung ditempat yang menjadi objek
penelitian, sedangkan objek yang diamati adalah bagaimana proses pembinaan
nara pidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh.
2. Wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong,
2002. h:135). Ada bermacam-macam cara pembagian jenis wawancara
yang dikemukakan dalam kepustakaan, diantaranya dikemukakan oleh
Patton (dalam Moleong, 2002:h:197) dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan dua model wawancara yaitu :
a. Pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara, yaitu jenis
wawancara yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1) Pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok
yang dinyatakan dalam proses wawancara.
50
2) Penyusunan pokok-pokok itu dilakukan sebelum wawancara
dilakukan.
3) Pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan secara
berurutan.
4) Penggunaan dan pemilihan kata-kata untuk wawancara dalam
hal tertentu tidak perlu dilakukan sebelumnya.
5) Petunjuk wawancara hanya berisi petunjuk secara garis besar
tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok-
pokok yang direncanakan dapat tercakup seluruhnya.
b. Wawancara baku terbuka, yaitu jenis wawancara yang
menggunakan seperangkat pertanyaan baku. Urutan pertanyaan,
kata-katanya dan cara penyajiannya pun sama untuk setiap
responden.
3. Dokumentasi. Teknik dokumentasi adalah teknik mengumpulkan data
melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga
buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum dan lain-
lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Dokumen dalam
penelitian ini digunakan sebagai sumber data karena dalam banyak hal
dokumen sebagai sumber data dapat dimanfaatkan untuk menguji,
menafsir, bahkan untuk meramalkan (Moleong, 2002. h:191).
Pada dasarnya proses studi dokumentasi bukan merupakan kegiatan yang
berdiri sendiri, akan tetapi seringkali bersamaan dengan penggunaan teknik
pengumpulan data yang lainnya. Disaat kita mempelajari dokumentasi pasti
diawali dengan wawancara terutama yang menyangkut pembicaraan yang ada
51
kaitannya dengan dokumen yang akan dipelajari. Teknik dokumentasi dalam
penelitian ini digunakan hanya sebagai pelengkap dari teknik pengumpulan data
lainnya.
3.4. Instrumen Penelitian
Penelitian yang menggunakan metode kualitatif adalah suatu metode
penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alami, maka
peneliti adalah sebagai instrumen kunci (Moleong, 2002:h:4). Peneliti merupakan
instrumen kunci utama, karena peneliti sendirilah yang menentukan keseluruhan
skenario penelitian serta langsung turun ke lapangan melakukan pengamatan dan
wawancara dengan informan.
Penggunaan peneliti sebagai instrumen penelitian dimaksudkan untuk
mendapatkan data-data yang valid dan realible. Namun, untuk membantu
kelancaran dalam melaksanakannya, peneliti juga didukung oleh instrumen
pembantu sebagai panduan wawancara. Oleh karena itu, sebelum turun ke
lapangan maka peneliti akan membuat terlebih dahulu panduan wawancara untuk
memudahkan pelaksanaan penelitian di lapangan. Alat bantu yang digunakan
dalam pengumpulan data yaitu dokumen, laporan-laporan dan lain sebagainya.
3.5. Teknik Penentuan Informan
Informan adalah sebagian dari seluruh individu yang menjadi objek
penelitian, yang bertujuan untuk memperoleh keterangan mengenai objek
penelitian dengan cara mengamati hanya sebagian dari populasi, suatu reduksi
terhadap jumlah objek penelitian (Mardalis, 2003:h:56). Penelitian yang dilakukan
oleh penulis tidak melakukan analisa terhadap populasi, karena semua responden
52
yang penulis wawancarai merupakan informan yang dianggap mengetahui secara
menyuluruh tentang permasalahan penelitian ini. Penulis langsung menentukan
siapa saja orang-orang yang dianggap sebagai informan.
Dalam melakukan teknik pengambilan informan penulis menggunakan
metode non probability sampling di mana dalam teknik ini jumlah atau ukuran
informan disesuaikan dengan masalah dan tujuan dari penelitian ini. Spesifikasi
metode non probability sampling yang dipakai penulis adalah purposive sampling,
yakni teknik penentuan sampel (informan) secara sengaja dengan pertimbangan
tertentu (Sugiyono, 2006. h:96).
Maksudnya, peneliti menentukan sendiri informan yang akan di ambil
karena ada pertimbangan tertentu. Jadi, informan yang diambil tidak secara acak,
tetapi ditentukan sendiri oleh peneliti. Adapun yang menjadi informan dalam
penelitian ini penulis bagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu dari pihak pegawai
Lembaga Pemasyarakatan dan beberapa narapidana kambuhan (residivil)
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh.
Informan dari pihak pegawai Lembaga Pemasyarakatan terdiri dari: kepala
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh, Kepala Seksi Pembinaan dan
Pendidikan (BINARDIK) Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh, Kepala
Sub Seksi Bimbingan Kerja (BIMKER) Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Meulaboh, dan Kepala Sub Seksi Registerasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Meulaboh.
Sedangkan dari pihak narapidana peneliti memilih lima orang narapidana
kambuhan (residivis) di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh. Dalam
penelitian kualitatif, jumlah sampel tidak dapat ditentukan lebih dahulu, namum
53
jumlah sampel tersebut akan muncul di lapangan saat penelitian dilakukan, yaitu
pada saat peneliti telah menemukan para informan telah memberikan jawab yang
sama tentang masalah penelitian atau telah mencapai titik jenuh dan telah dapat
diambil sebuah kesimpulan sehingga penarikan sampel dapat dihentikan.
3.6. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
dan dapat dirumuskan hipotesis kerja (Moleong, 2002. h:103). Analisa data
menggunakan metode deskriptif kualitatif, dimana pembahasan penelitian serta
hasilnya diuraikan melalui kata-kata berdasarkan data empiris yang diperoleh.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data yang bersifat kualitatif, maka
analisis data yang digunakan non statistik.
Analisis data dalam penelitian kualitatif berlangsung secara interaktif,
dimana pada setiap tahapan kegiatan tidak berjalan sendiri-sendiri. Meskipun
tahap penelitian dilakukan sesuai dengan kegiatan yang direncanakan, akan tetapi
kegiatan ini tetap harus dilakukan secara berulang antara kegiatan pengumpulan
data, reduksi data, penyajian data serat verifikasi atau penarikan suatu kesimpulan.
Untuk menganalisa data dalam penelitian ini, digunakan langkah-langkah atau
alur yang terjadi bersamaan yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data
dan penarikan kesimpulan atau balur verifikasi data (Miles, 2007. h:15-19).
Reduksi data, adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan data kasar yang muncul dari catatan-catatan yang
tertulis di lapangan (Miles dan Huberman, 2007:h:17). Reduksi data ini bertujuan
untuk menganalisis data yang lebih mengarahkan, membuang yang tidak perlu
54
dan mengorganisasikan data agar diperoleh kesimpulan yang dapat ditarik atau
verifikasi. Dalam penelitian ini, proses reduksi data dilakukan dengan
mengumpulkan data dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi kemudian
dipilih dan dikelompokkan berdasarkan kemiripan data.
Penyajian data, adalah pengumpulan informasi tersusun yang memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Miles dan
Huberman, 1992. h:18). Dalam hal ini, data yang telah dikategorikan tersebut
kemudian diorganisasikan sebagai bahan penyajian data. Data tersebut disajikan
secara deskriptif yang didasarkan pada aspek yang diteliti.
Verifikasi data dan penarikan kesimpulan. Verifikasi data adalah sebagian
dari suatu kegiatan utuh, artinya makna-makna yang muncul dari data telah
disajikan dan diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya (Miles dan
Huberman, 1992. h:19). Penarikan kesimpulan berdasarkan pada pemahaman
terhadap data yang disajikan dan dibuat dalam pernyataan singkat dan mudah
dipahami dengan mengacu pada pokok permasalahan yang diteliti.
3.7. Uji Kredibilitas Data
Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian
kualitatif antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan
ketentuan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat dan
member check. Digunakannya uji ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang
lebih mendalam mengenai subyek penelitian (Sugiyono, 2008:h:270). Adapun
pengujian kredibilitas data adalah sebagai berikut :
1. Perpanjangan Pengamatan. Perpanjangan pengamatan perlu dilakukan
karena berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, dirasakan data
55
yang diperoleh masih kurang memadai. Menurut Moleong (2001.
h:327) perpanjangan pengamatan berarti peneliti tinggal di lapangan
penelitian sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai.
2. Peningkatan ketekunan, berarti melakukan pengamatan secara lebih
mendalam untuk memperoleh kepastian data. Meningkatkan ketekunan
dilakukan dengan membaca berbagai referensi baik buku maupun
dokumen yang terkait dengan temuan yang diteliti sehingga berguna
untuk memeriksa data apakah benar dan bisa dipercaya atau tidak.
3. Triangulasi. Analisa triangulasi merupakan suatu metode analisis untuk
mengatasi masalah akibat dari kajian mengandalkan suatu teori saja,
satu macam data atau satu metode penelitian saja (Sugiono, 2007.
h:225). Triangulasi dapat diartikan sebagai pengecekan data dari
berbagai sumber dengan berbagai cara. Menurut (Sugiono, 2008:h:273-
274), terdapat minimal 3 (tiga) macam triangulasi, yaitu :
a. Triangulasi sumber data. Pada triangulasi ini, data di cek
kredibilitasnya dari berbagai sumber data yang berbeda dengan
teknik yang sama, misalnya mengecek sumber data antara
bawahan, atasan dan teman.
b. Triangulasi teknik pengumpulan data. Data di cek kredibilitasnya
dengan menggunakan berbagai teknik yang berbeda dengan sumber
data yang sama.
c. Triangulasi waktu pengumpulan data. Data di cek kredibilitasnya
dengan waktu yang berbeda-beda namun dengan sumber data dan
teknik yang sama. Triangulasi menjadikan data yang diperoleh
56
dalam penelitian menjadi lebih konsisten, tuntas dan pasti serta
meningkatkan kekuatan data (Sugiyono, 2008:h:241)
4. Pemeriksaan teman sejawat. Dilakukan dengan mendiskusikan data
hasil temuan dengan rekan-rekan sesama mahasiswa maupun teman
yang bukan mahasiswa. Melalui diskusi ini diharapkan akan ada saran
atau masukan yang berguna untuk proses penelitian.
5. Analisis kasus negatif. Menurut Sugiyono (2008. h:275) melakukan
analisis kasus negatif berarti peneliti mencari data yang berbeda atau
bahkan bertentangan dengan data yang telah ditemukan.
6. Member Check. Dilakukan dengan cara mendiskusikan hasil penelitian
kepada sumber-sumber yang telah memberikan data untuk mengecek
kebenaran data dan interprestasinya. Menurut Moleong (2002. h:336)
pengecekan dilakukan dengan jalan:
a. Penilaian dilakukan oleh responden;
b. Mengkoreksi kekeliruan;
c. Menyediakan tambahan informasi;
d. Memasukkan responden dalam kancah penelitian, menciptakan
kesempatan untuk mengikhtisarkan sebagai langkah awal analisa
data;
e. Menilai kecukupan menyeluruh data yang dikumpulkan.
Pengujian kredibilitas (credibility) bertujuan untuk menilai kebenaran dari
temuan penelitian kualitatif. Kredibilitas ditunjukkkan ketika partisipan
mengungkapkan bahwa transkrip penelitian memang benar-benar sebagai
57
pengalaman dirinya sendiri. Dalam hal ini peneliti akan memberikan data yang
telah ditranskripkan untuk dibaca ulang oleh partisipan/informan.
58
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penulis akan mengemukakan beberapa hal tentang gambaran umum
Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, diantaranya:
4.1.1. Sejarah Singkat Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh
Berdasarkan catatan historis Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh
didirikan pada jaman penjajahan Belanda , bertempat di kelurahan Suak Indra Puri
kecamatan Johan Pahlawan pada waktu itu masih bernama penjara karena
merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda, dimana maksud dan
tujuannya adalah tempat untuk memenjarakan orang-orang yang melanggar
terhadap peraturan kolonial Belanda. Nama ini berlaku sampai Tahun 1964 dan
setelah itu berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan, perubahan ini terjadi
setelah diadakannya kongres di Bandung, yang menghasilkan Instruksi Kepala
Direktorat Pemasyarakatan Nomor J. H. G. 8/506 tanggal 17 juni 1964.
Dalam sejarahnya Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh merupakan
tempat tahanan karena pada waktu itu belum dikenal adanya lembaga
pemasyarakatan yang kemudian pada zaman kolonial Belanda digunakan untuk
mendidik para narapidana yang melakukan tindak pidana. Namun dalam
perkembangannya lembaga tersebut lebih difungsikan untuk menahan para
pejuang yang menurut pemerintah Hindia Belanda dianggap sebagai penjahat.
Pada tahun 1945, tepatnya setelah hari kemerdekaan bangsa Indonesia
terjadi perubahan kekuasaan dari pemerintah Belanda ke pemerintah Republik
59
Indonesia yang didalamnya terjadi juga pengalihan aset-aset dan gedung-gedung
yang semula dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda secara bertahap dialihkan
ke pemerintah Republik Indonesia termasuk salah satunya Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh. Sampai saat ini Lembaga Pemasyarakatan
tersebut tetap digunakan untuk mendidik para narapidana yang melakukan tindak
pidana sehingga memahami akan perbuatannya yang melanggar perundang-
undangan.
4.1.2. Letak Geografis dan Kondisi Fisik Bangunan
Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh terletak dikawasan gampong
Paya Peunaga Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat, yang dibangun oleh
BRR pada tahun 2006 setelah bangunan lama di Suak Indrapuri hancur oleh
Gempa dan Tsunami pada tanggal 26 desember 2004. Bangunan baru ini
dibangun diatas tanah seluas ± 4 hektar dengan daya tampung atau kapasitas
sebesar kurang lebih 500 orang, sedangkan pada saat penelitian tepatnya 19
September 2013, jumlah narapidana yang menjalani masa pidana di Lembaga
Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh sudah mencapai 298 orang. (hasil
wawancara bagian Registrasi Lembaga Pemasyarakatan pada tanggal 19
September 2013). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh begitu cepat meningkat, sehingga
membutuhkan pembinaan dan pengawasan yang ketat.
Dalam rangka menjaga dan meningkatkan keamanan, bangunan Lembaga
Pemasyrakatan ini dibatasi oleh 4 (empat) buah menara pantau dengan dikelilingi
dinding dalam setinggi 7 meter dan diatas dinding tersebut terdapat kawat berduri,
jarak diding luar dengan dinding dalam (blok penghuni) berjarak kurang lebih 10
60
meter, jarak antar dinding tersebut dimanfaatkan sebagai areal pertanian. Menara
pantau disebut juga sebagai pos atas berdiri disetiap sudut bangunan.
Lembaga Pemasyarakatan diklasifikasikan dalam 3 (tiga) klas yaitu:
1) Lembaga Pemasyarakatan klas IA;
2) Lembaga Pemasyarakatan klas IIA;
3) Lemabaga Pemasyarakatan klas IIB.
Klasifikasi tersebut didasarkan atas kapasitas tempat kedudukan, dan
kegiatan kerja. Lembaga Pemasyarakatan klas IA berkapasitas 1000 orang keatas,
klas IIA kapasitasnya 500-1000 dan klas IIB kapasitas kurang lebih 500-1 orang,
jadi berdasarkan hal diatas, Lembaga Pemasyarakatan Meulaboh tergolong klas
IIB, karena secara terperinci jumlah narapidana yang menempati Lembaga
Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh pada bulan Agustus 2013 sudah mencapai 298
orang.
Di dalam Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, juga terdapat
bangunan dan beberapa sarana yang merupakan faktor penunjang dalam proses
pembinaan terhadap warga binaan (Narapidana), diantaranya:
a. Perkantoran;
b. Klinik;
c. Dapur;
d. Ruang sarana kerja (ruang binker)
e. Bangunan Ibadah (Masjid);
f. Sarana olahraga, antara lain : lapangan badminton, lapangan Volley-
ball, lapangan sepak bola, (namun hanya setengah lapangan saja), tenis
meja;
61
g. Blok-blok hunian warga binaan.
Untuk merealisasikan apa yang merupakan hak dari narapidana, dalam
kaitannya dengan tempat tinggal yang layak, maka di Lembaga Pemasyarakatan
klas IIB Meulaboh menyediakan 3 (tiga) Blok dengan 90 buah kamar dan 10
buah sel isolasi sebagai tempat tinggal, dengan klasifikasi penghuninya sebagai
berikut:
1. Blok A dipergunakan untuk tahanan dan narapidana laki-laki. Untuk
blok A terdapat 30 kamar dan 10 Sel isolasi.
2. Sel Isolasi didalam Blok A , dipergunakan untuk tahanan dan
narapidana yang melanggar tata tertib.
3. Blok B dipergunakan untuk tahanan dan narapidana anak (wisma anak),
terdapat 30 kamar.
4. Blok C dipergunakan untuk narapidana dan tahanan wanita, blok ini
terdapat 30 kamar.
Fasilitas-fasilitas lain diantaranya; rruang ruang perpustakaan dan kantin.
Menurut Banta Saidi, SE. dalam sistem pemasyarakatan, warga binaan
(narapidana), harus tetap mendapatkan hak-haknya yang tentunya diatur sesuai
dengan undang-undang yakni hak keperdataan (makan, tempat tidur, rekreasi, dll).
Pelaksanaan sistem pembinaan harus berdasarkan nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam pancasila. (hasil wawancara dengan Kasi Binadik rasi
Lembaga Pemasyarakatan pada tanggal 30 September 2013).
Selama dalam pelaksanaan tehnik pemasyarakatan, Lembaga
Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh yang menampung, merawat, dan membina
narapidana atau peserta didik di dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan sistem
62
pemasyarakatan, yaitu suatu sistem pembinaan narapidana yang mengacu pada
falsafah Pancasila dimana selain mereka diperlakukan sebagai individu juga
diperlakukan sebagai anggota masyarakat. Artinya di dalam pembinaan para
narapidana tersebut tidak bisa dipisahkan hubungannya dengan masyarakat dan
tidak lepas dari tanggung jawab mereka terhadap pembinaan yang dilakukan.
4.1.3. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh merupakan unit pelaksanaan
teknis pemasyarakatan yang menampung, merawat, membina warga binaan
(narapidana) pada umumnya dan narapidana recidive pada khususnya. Agar dapat
melaksanakan tugas-tugas tersebut maka petugas pemasyarakatan selayaknya
harus memahami mekanisme kerja sesuai dengan bidangnya masing-masing,
sehingga dapat menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Penulis
akan memberikan gambaran tentang struktur Lembaga Pemasyarakatan klas IIB
Meulaboh melalui bagan berikut ini:
63
Bagan 1. Struktur Organisasi
Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Meulaboh
Sumber: Data Sekunder Penelitian, 2013
K A L A P A S
KA. SUBAG T.U
KA. KPLP
KA.URS. UMUM
KA.URS.KEPEG/
KEUANGAN
KASI ADM.
KEAMANAN DAN
TATA TERTIB
KASI BIMB.
NAPI/ANDIK &
KEGIATAN KERJA
PETUGAS
PENGAMANAN
KASUBSI
KEAMANAN
KASUBSI REG.
BIM. PAS
KASUBSI
PELAPORAN &
TATA TERTIB
KASUBSI
PERAWATAN NAPI
KASUBSI
KEGIATAN KERJA
64
4.1.4. Tugas dan Fungsi Pegawai Lembaga Pemasyarakatan
1. Kepala Lembaga Pemasyarakatan
Bertugas memimpin secara keseluruhan terhadap bagian atau seksi yang ada
dalam lingkup organisasi Lembaga Pemasyarakatan dan bertanggung jawab
terhadap kegiatan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB
Meulaboh.
2. Kepala Bagian Tata Usaha
Bertugas mengkoordinasi pelaksanaan tugas Tata Usaha meliputi bidang
kepegawaian, keuangan, perlengkapan dan kerumah tanggaan sesuai ketentuan
dan peraturan yang berlaku dalam rangka pelayanan administratif dan fasilitatif
Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh. Seksi Tata Usaha terdiri atas :
a. Kepala Urusan Kepegawaian dan Keuangan.
Bertugas melakukan urusan kepegawaian dan bertugas melakukan
urusan keuangan.
b. Kepala Urusan Umum.
Bertugas melaksanakan urusan tata persuratan, perlengkapandan
kerumah tanggan Lembaga Pemasyarakatan untuk memberikan
pelayanan administratif dan fasilitatif.
3. Kepala Seksi Bimbingan /Pendidikan dan Kegiatan Kerja.
Bertugas memberi bimbingan pada narapidana/anak didik melalui dasar
pembinaan Pemasyarakatan dan mempersiapkan narapidana/anak didik agar dapat
kembali kemasyarakat dengan baik serta menentukan program pembinaan sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
65
a. Kepala Sub. Seksi Registrasi
Bertugas melakukan pendataan/pencatatan narapidana/anak didik
dengan mencatat kedalam buku register serta membuat statistik dan
dokumentasi narapidana/anak didik sesuai ketentuan yang berlaku, agar
memudahkan pencatatan data dalam rangka pelaksanaan tugas
pemasyarakatan.
b. Kepala Sub. Seksi Perawatan Narapidana
Bertugas menyelenggarakan bimbingan dan pembinaan dibidang pisik,
mental dan rohani serta meningkatkan pengetahuan asimilasi dan
perawatan narapidana/anak didik sesuai peraturan maupun petunjuk
yang berlaku dalam rangka pelaksanaan sebagian tugas
pemasyarakatan.
c. Kepala Sub. Seksi Kegiatan Kerja
Bertugas memberikan petunjuk dan membimbing kerja dalam rangka
memberikan ketrampilan kepada narapidana/anakn didik dalam
lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.
4. Kepala Seksi administrasi Keamanan dan Tata Tertib
Bertugas mengkoordinasikan kegiatan Keamanan dan Tata tertib dengan
mengatur jadwal petugas, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas
pengamanan sesuai peraturan dan ketentuan yang berlaku dalam rangka
terciptanya suasana aman dan tertib dilingkungan LembagaPemasyarakatan.
Bidang administrasi keamanan tata tertib terdiri atas:
66
a. Kepala Sub. Seksi keamanan
Bertugas menyelenggarakan tugas pengamanan dan ketertiban dengan
mengatur/membuat jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan
pembagian tugas pengamanan sesuai peraturan dan petunjuk yang
berlaku, agar tercipta suasana aman dan tertib dilingkungan Lembaga
Pemasyarakatan.
b. Kepala Sub. Seksi Pelaporan dan tata tertib
Bertugas melakukan tugas pelaporan Keamanan dan Tata Tertib secara
berkala berdasarkan laporan harian acara yang dibuat pleh satuan
pengamanan yang bertugas, dalam rangka menegakkan keamanan dan
ketertiban Lembaga Pemasyarakatan sesuai peraturan yang berlaku.
c. Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (Ka. KPLP)
Bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan tugas pengamanan dan
ketertiban sesuai jadwal tugas agar tercapai suasana aman dan tertib ban
dilingkungan Lembaga Pemasyarakatan.
4.1.5. Tim Pengamat Pemasyarakatan
Menurut Banta Sidi, SE. Tim pengamat pemasyarakatan terdiri dari pejabat-
pejabat Lembaga Pemasyarakatan, Balai Pemasyarakatan, atau pejabat terkait
lainnya: (wawancara dengan Banta Sidi,SE Kasi Binadik rasi Lembaga
Pemasyarakatan pada tanggal 3 Oktober 2013).
1. Tim pengamat pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan bertugas
memberikan saran serta pertimbangan kepada kepala Lembaga
Pemasyarakatan mengenai:
67
a. Bentuk dan program pembinaan narapiadana atau anak didik
pemasyarakatan;
b. Penilaian atau evaluasi terhadap pelaksanaan terhadap program
pembinaan narapidana atau anak didik pemasyarakatan;
c. Menerima keluhan dari narapidana atau anak didik
pemasyarakatan;
d. Pelanggaran ketertiban oleh narapidana atau anak didik
pemasyarakatan agar diambil tindakan tepat dan masalah lain yang
muncul dalam proses pembinaan narapidana atau anak didik
pemasyarakatan.
2. Dalam pelaksanaan tugasnya tim pengamat pemasyarakatan berperan
dalam hal:
a. Membuat perencanaan persidangan;
b. Melakukan tertib administrasi persidangan, inventarisasi dan
dokumentasi;
c. Membuat rekomendasi dan risalah sidang tim pengamat
pemasyarakatan kepada kepala lembaga pemasyarakatan;
d. Memantau pelaksanaan pembinaan narapidana/anak didik
pemasyarakatan.
3. Wali narapidana atau anak didik pemasyarakatan adalah petugas
pemasyarakatan yang mengamati, menangani dan mendampingi secara
langsung dan khusus dalam hal pembinaan narapidana atau anak didik
pemasyarakatan.
68
4.1.6. Petugas Pemasyarakatan
Dalam melaksanakan proses pembinaan narapidana, pegawai atau petugas
pemasyarakatan merupakan salah satu unsur penting. Pegawai tersebut harus
memiliki kemampuan, khususnya dibidang kemasyarakatan dan didukung oleh
tingkat pendidikian yang dimiliki oleh masing-masing petugas tersebut. Hal ini
berkaitan dengan kemampuan untuk mengarahkan narapidana berdasarkan tujuan
dari sisten pemasyarakatan.
Berikut penulis, memberikan gambaran tentang keadaan petugas di
Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, berdasarkan:
Tabel 1 Petugas Berdasarkan Golongan dan Pendidikan
No Pangkat Gol
Jenis
kelamin Pendidikan
L P SMP SMU D-III S1 S2
1 Pembina Tk I IV/b - - - - - - -
2 Pembina IV/a 1 - - - 1 - -
3 Penata Tk I III/d 3 1 - - - 4 -
4 Penata III/c 2 - - - - 2 -
5 Penata Muda Tk I III/b 12 2 - 5 - 9 -
6 . Penata Muda III/a 1 - - - - 1 -
7 Pengatur Tk I II/d 2 2 - 2 1 1 -
8 Pengatur II/c 4 1 - 4 - 1 -
9 Pengatur Muda Tk I II/b 6 1 - 7 - - -
10 Pengatur Muda II/a 6 1 - 7 - - -
Jumlah 37 8 - 25 2 18 -
Sumber: hasil penelitian, 2013.
69
Sehingga dapat peneliti simpulkan bahwa tingkat pendidikan pegawai
Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh yang paling banyak adalah SMU
dan Sederajat dan Sarjana sedangkan pendidikan yang paling sedikit adalah D-III
hanya satu orang. Hal ini menunjukkan bahwa dengan tingkat pendidikan yang
dimiliki pegawai Lembaga Pemasyarakatan seharusnya dapat lebih optimal lagi
dalam memberikan pembinaan kepada warga binaan Lembaga Pemasyarakatan
klas IIB Meulaboh, bukan sebaliknya yaitu seperti yang terjadi pada saat sekarang
ini bahwa pembinaan yang diberikan lebih cenderung memakai cara kekerasan
bukan pemasyarakatan.
4.1.7. Keadaan Penghuni Lembaga Pemasyarakatan
Menurut Banta Sidi, SE tidak semua yang menempati Lembaga
Pemasyaraktan adalah narapidana, tetapi ada juga yang berstatus sebagai tahanan,
yang dimaksud dengan tahanan adalah terdakwa yang dititipkan di Lembaga
Pemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
dalam proses persidangan di pengadilan. (wawancara dengan Banta Sidi, SE Kasi
Binadik Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh tanggal 21 Oktober
2013).
Khusus narapidana residivis sendiri yang ada di Lembaga Pemasyarakatan
klas IIB B Meulaboh jumlahnya per agustus tahun 2013 saja sudah mencapai 10
orang recidive baik yang sudah berstatus tahanan maupun yang berstatus
narapidana, berbeda dengan jumlah narapidana recidive yang diterima Lembaga
Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh pada tahun 2011 yang menerima 19
narapidana recidive. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadinya penurunan
angka jumlah narapidana recidive yang diterima antara tahun 2011 dan tahun
70
2012, walaupun penurunannya tidak begitu banyak setidaknya hal tersebut
menunjukkan bahwa lembaga pemasyarakatan klas IIB Meulaboh sudah berhasil
dan melaksanakan secara optimal dalam memberikan pembinaan bagi warga
binaannya khususnya residivis. (hasil wawancara pada bagian Registrasi
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh tanggal 4 Nopember 2013).
“…bila tetap terjadinya residivis itu bukanlah suatu hal yang dapat
menunjukkan berhasil atau tidaknya pembinaan yang diberikan, karena hal
tersebut juga harus didukung oleh tindakan yang harus dilakukan oleh
masyarakat umum dan kesadaran diri narapidana itu sendiri. Sehingga dapat
disimpulkan, bahwa terjadinya kembali residivis itu lebih banyak karena
faktor diri narapidana itu sendiri dan faktor masyarakat sekitarnya.” (hasil
wawancara dengan Kasi Binadik Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Meulaboh tanggal 19 Nopember 2013).
Berikut ini penulis akan memberikan latar belakang 5 (lima) orang khusus
narapidana recidive yang berdasarkan tindak kejahatan yang dilakukan, lamanya
hukuman, banyaknya pengulangan tindak pidana yang dilakukan, pekerjaan
sebelum masuk Lembaga Pemasyarakatan, pendidikan terakhir, serta faktor-faktor
yang menyebabkan narapidana recidive tersebut mengulangi lagi perbuatan
pidananya, yaitu: (hasil wawancara dengan narapidana residivis di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh tanggal 25 Nopember 2013).
Dari hasil wawancara tersebut peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa
dilihat dari faktor penyebabnya seorang bekas narapidana melakukan kembali
perbuatannya yaitu karena faktor ekonomi dan kejiwaan (mental) narapidana
tersebut, namun bila dilihat dari segi pendidikan bahwa faktor penyebab seorang
bekas narapidana dapat melakukan kembali kejahatannya dapat juga karena
rendahnya ilmu pengetahuan yang dimiliki narapidana recidive tersebut. Hal ini
dapat dilihat pada tabel di atas bahwa residivis yang paling sering mengulangi
kejahatannya yaitu berpendidikan SD, sehingga faktor intelektual juga dapat
71
menjadi penyebab terjadinya seorang bekas narapidana mengulangi kembali
kejahatannya sehingga menjadi residivis.
4.2. Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIB Meulaboh
4.2.1. Tahap-tahap Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Meulaboh
Pembinaan yang dilakukan harus berdasarkan pada Pancasila dan konsep
pemasyarakatan. Pada hakikatnya proses pembinaan narapidana dimulai sejak
narapidana tersebut masuk ke Lembaga Pemasyarakatan sampai berakhirnya masa
pidana (bebas). Tahap-tahap yang harus dilalui dalam proses pembinaan
narapidana adalah admisi dan orientasi atau pengenalan, tahap pembinaan, tahap
asimilasi, dan tahap integrasi dengan lingkungan masyarakat.(wawancara dengan
bagian bimbingan kerja Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh tanggal 25
Nopember 2013).
Tahap-tahap dari pembinaan tersebut yaitu:
a. Tahap admisi dan orientasi atau pengenalan
Tahap ini lebih dikenal dengan istilah Mapenaling (masa pengenalan
lingkungan). Setiap narapidana yang masuk ke dalam Lembaga
Pemasyarakatan diberi pengarahan tentang situasi di dalam Lembaga
Pemasyarakatan, blok mana yang harus ditempati oleh narapidana
tersebut, hak dan kewajibannya, dan peraturan-peraturan yang
ditetapkan di Lembaga Pemasyarakatan. Tujuannya adalah agar dapat
memperbaiki tingkah laku narapidana dan mengarahkannya ke jalan
yang benar.
72
Pada tahap ini narapidana akan diteliti tentang segala hal ikhwal perihal
dirinya, termasuk sebab-sebab melakukan tindak pidana, tempat tinggal
narapidana, situasi ekonominya, latar belakang pendidikan, dan
sebagainya. Untuk keperluan admisi dan orientasi narapidana
ditempatkan di blok khusus (karantina), maksudnya disamping untuk
keperluan pembinaan dan juga untuk keperluan pemeriksaan kesehatan
apakah ada penyakit yang menular atau tidak.
Admisi dan orientasi merupakan tahap yang kritis bagi narapidana yang
baru masuk ke lembaga pemsyarakatan, karena dari dunia luar yang
bebas dan luas memasuki situasi Lembaga Pemasyarakatan yang sempit
dan terkekang. Pada tahap ini dilakukan dengan pengawasan yang
sangat ketat (maximum security). Narapidana akan merasakan hilangnya
kebebasan, pelayanan, dan lain-lain. Sangat diharapkan agar narapidana
dapat menyesuaikan diri dalam masa transisi tersebut, sehingga dapat
hidup secara normal di Lembaga Pemasyarakatan.
Pada tahap ini juga ditunjuk seorang petugas untuk menjadi wali dari
narapidana dan bertindak sebagai pendamping, sehingga apabila
narapidana mengalami kesulitan atau masalah dapat disampaikan ke
walinya untuk mendapat pengarahan atau jalan keluar dari masalah
tersebut. Tahap ini dilakukan sejak awal masuk sampai 1/3 dari masa
pidana.
b. Tahap pembinaan
Tahap pembinaan merupakan kelanjutan dari tahap admisi dan
orientasi. Tahap ini dilakukan apabila narapidana telah menjalani 1/3
73
masa pidana sampai 1/2 masa pidananya dengan medium security.
Bentukbentuk pembinaan diantaranya, pembinaan kepribadian (mental
dan spiritual) serta pembinaan kemandirian. Untuk kepentingan
pembinaan narapidana akan didata mengenai bakat dan minatnya
masing-masing dan juga jenjang pendidikan yang pernah ditempuh.
c. Tahap asimilasi
Pembinaan narapidana pada tahap ini dapat dimulai dari 1/2 masa
pidana sampai 2/3 dari masa pidananya dan menurut penilaian team
pembinaan pemasyarakatan sudah memiliki kemajuan fisik, mental,
dan keterampilan. Pada tahap ini pengawasan terhadap narapidana
relatif berkurang (minimum security).
Asimilasi secara harafiah adalah diperdayakan. Asimilasi
diklasifikasikan menjadi 2 bentuk yakni asimilasi di dalam lembaga
pemasyarakatan, dan asimilasi luar Lembaga Pemasyarakatan.
Narapidana yang menjalani asimilasi di dalam Lembaga
Pemasyaraktan, diantaranya narapidana yang bekerja di kantor-kantor
di dalam Lembaga Pemasyarakatan, dan narapidana yang mengajar di
Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan untuk asimilasi di luar
kegiatannya dapat berupa kerja pada salah satu pabrik, kerja bakti
bersama masyarakat, kerja sendiri, dan lain-lain. Dari tahun 2011
sampai saat ini kegiatan asimilasi luar diantaranya bekerja di kebun
pertanian milik Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh dan
bekerja di sekitar Lembaga Pemasyarakatan seperti menjaga parkiran di
halaman depan Lembaga Pemsyarakatan klas IIB Meulaboh.
74
Pada tahap ini program pembinaan diperluas, bukan saja di dalam
lingkungan lembaga pemasyarakatan, tetapi juga membaurkan
narapidana dengan masyarakat tertentu. Program ini dilaksanakan
secara bertahap, mulai dari kegiatan yang sempit lingkungannya dan
mengarah pada kegiatan masyarakat yang lebih luas sesuai dengan
bakat dan keterampilan yang dimiliki oleh masing-masing narapidana.
Dalam melaksanakan setiap program kegiatan asimilasi, petugas atau
pembina pemasyarakatan harus selektif dan kegiatan tersebut harus
direncanakan secara matang dan terpadu. Hal ini bertujuan agar
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada narapidana dan
merugikan masyarakat dimana narapidana tersebut diasimilasikan.
d. Tahap integrasi dengan lingkungan masyarakat
Tahap ini adalah tahap akhir pada proses pembinaan narapidana dan
dikenal dengan istilah integrasi. Apabila proses pembinaan dari tahap
admisi dan orientasi atau pengenalan, pembinaan, asimilasi dapat
berjalan dengan lancar dan baik serta masa pidana yang sebenarnya
telah dijalani 2/3 atau sedikitnya 9 bulan, maka kepada narapidana
tersebut diberikan pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.
Dalam tahap ini proses pembinaannya dilaksanakan di masyarakat luas
sedangkan pengawasannya semakin berkurang sehingga narapidana
akhirnya dapat hidup dengan masyarakat.
Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas
dilaksanakan di bawah pengawasan langsung oleh Balai
Pemasyarakatan bukan lagi pihak Lembaga Pemasyarakatan.
75
Narapidana dapat menjalani sisa dari masa pidana atau 2/3 di rumah
dan masa percobaan selama 1 (satu) tahun, selain itu narapidana yang
bersangkutan harus wajib melaporkan diri ke Balai Pemasyarakatan.
Jika pada tahap integrasi tersebut narapidana kembali melakukan tindak
pidana, maka narapidana tersebut harus kembali menjalani sisa masa
pidananya itu di dalam lembaga pemasyarakatan, ditambah lagi dengan
sanksi pidana yang baru dilakukan tersebut.
Tahap-tahap pembinaan tersebut diatas secara umum dapat dikatakan
sebagai tahap pembinaan standart yang diberikan oleh lembaga pemasyarakatan
klas IIB Meulaboh dalam membina warga binaan, kecuali bagi narapidana khusus
tindak pidana narkoba selain mendapatkan pembinaan-pembinaan tersebut juga
mendapatkan pembinaan yang disebut dengan hypnotherapy yang bertujuan untuk
menghilangkan rasa keinginan narapidana untuk menggunakan narkoba lagi.
Namun berbeda lagi dengan narapidana recidive, dari hasil penelitian yang
penulis lakukan diketahui bahwa khusus untuk narapidana recidive sendiri pada
umumnya mendapatkan pembinaan yang sama dengan narapidana lainnya, tetapi
perbedaannya hanya terletak pada saat pelaksanaan baik pembinaan asimilasi
maupun pembinaan integrasi. Perbedaan tersebut yaitu bila narapidana recidive
untuk mendapatkan pembinaan asimilasi dirasakan masih sangat sulit. Hal
tersebut disebabkan oleh karena status narapidana recidive itu sendiri yang
menyebabkan pihak Lembaga Pemasyarakatan harus lebih ekstra lagi dalam
memberikan pembinaan. Padahal disisi lain pembinaan asimilasi tersebut
merupakan salah satu hak bagi warga binaan untuk mendapatkannya. (wawancara
76
dengan Banta Sidi,SE Kasi Binadik Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh
tanggal 2 Desember 2013).
Mengenai hak asimilasi tersebut, penulis mendapatkan informasi yang
diberikan oleh salah satu narapidana recidive yang ada di Lembaga
Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh. Narapidana recidive tersebut mengatakan
bahwa untuk mendapatkan asimilasi itu dirasakan sangat sulit sekali, selain
statusnya sebagai residivis hal lain yang menyebabkan susahnya mendapatkan hak
asimilasi yaitu adanya pungutan liar yang dilakukan oleh pegawai Lembaga
Pemasyarakatan kepada narapidana yang mengajukan permohonan hak tersebut.
Sulitnya narapidana recidive untuk mendapatkan haknya juga terjadi pada hak
untuk mendapatkan pembinaan integrasi, dimana pembinaan tersebut sangat
berpengaruh sekali pada mental para narapidana karena pembinaan tersebut
berperan sangat penting bagi narapidana untuk dapat merasakan secara langsung
dekat dengan masyarakat maupun dengan keluarganya agar tidak selalu merasa
kalau statusnya sudah menjadi narapidana maka semua orang pasti sudah tidak
mau lagi menerimanya dan sulit untuk dipercaya lagi sehingga membawa dampak
yang kurang baik seperti adanya kemungkinan bahwa karena narapidana tersebut
sudah merasa seperti yang disebutkan diatas dan kemudian mengulangi kembali
perbuatannya, pada akhirnya memiliki status sebagai residivis.
Hal ini bukan hanya terjadi pada narapidana recidive saja namun berlaku
juga bagi narapidana-narapidana lainnya. Jadi, walaupun ada narapidana recidive
yang mendapatkan hak asimilasi maupun hak integrasi itu pun pasti narapidana
yang tingkat ekonominya menengah keatas yang sanggup memenuhi nominal
77
pungutan liar yang ditawarkan tersebut. (hasil wawancara dengan salah satu
narapidana residivis tanggal 2 Desember .
4.2.2. Aktivitas Pembinaan Narapidana
Aktifitas pembinaan narapidana yang dilakukan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan sangatlah jauh dari apa yang dipikirkan oleh masyarakat yang
ada di luar tembok Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, pada saat
penulis memasuki daerah blok-blok narapidana di Lembaga Pemasyarakatan klas
IIB Meulaboh sekilas pembinaan yang dilakukan oleh pegawai Lembaga
Pemasyarakatan sangat berjalan dengan baik dan sesuai dengan pedoman
pembinaan baik yang diatur di dalam undang-undang, peraturan pemerintah,
maupun yang diatur di dalam Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri.
Bila melihat pembinaan yang sesungguhnya, yaitu berdasarkan ketentuan
pasal 6 Undang-undang Nomor12 Tahun 1995, dinyatakan bahwa pembinaan
warga binaan pemasyarakatan (narapidana) dilakukan di Lembaga
Pemasyarakatan. Ada dua proses pembinaan yang dilakukan di Lembaga
Pemasyarakatan, diantaranya secara internal (di dalam Lembaga Pemasyarakatan)
dan secara eksternal (di luar Lembaga Pemasyarakatan).
a. Pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (internal).
Pembinaan yang diterapkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan klas
IIB Meulaboh mencakup pembinaan kepribadian (mental dan spiritual)
serta pembinaan kemandirian. Adapun target yang hendak dicapai
melalui pembinaan yang diterapkan disini adalah agar narapidana
menyadari kesalahan yang telah dilakukannya (insaf) serta berhasil
78
menata masa depan dan ketika selesai menjalani masa pidananya dapat
berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dua pola pembinaan tersebut merupakan realisasi dari pasal 14 dan15
Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
1. Pembinaan kepribadian mencakup:
a) Pendidikan mental
b) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara. Bentuk dari
pembinaan tersebut adalah melalui penyuluhan-penyuluhan
dengan maksud agar narapidana kembali menjadi warga
negara yang berbakti kepada bangsa dan negara.
2. Pembinaan kesadaran hukum. Bentuk pembinaan ini dimaksudkan
agar narapidana tidak mengulangi perbuatannya sehingga
keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat kembali tercipta.
3. Pembinaan kemampuan intelektual. Program pendidikan dan
pembelajaran yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB
Meulaboh meliputi kegiatan belajar paket B untuk SLTP, dan
paket C untuk SMU.
Dalam hal ini Lembaga Pemasyarakat klas IIB Meulaboh bekerja sama
dengan dinas pendidikan.
1. Pembinaan spiritual (rohani). Pembinaan spiritual dilaksanakan
terhadap narapidana tujuannya adalah agar menggugah hati
narapidana bahwa tindakan yang dilakukannya adalah merupakan
perbuatan dosa. Untuk merealisasikan pembinaan tersebut, maka
79
Lembaga Pemasyarakatan bekerja sama dengan Departemen
Agama.
2. Pembinaan Jasmani. Bentuk pembinaan jasmani dilaksanakan
melalui beberapa olah raga volley-ball dan senam pagi pada setiap
pagi kecuali hari jumat dan minggu.
3. Pembinaan kemandirian mencakup:
a) Pendidikan Keterampilan. Setiap narapidana yang masuk ke
Lembaga Pemasyarakatan didata mengenai bakat dan
kemampuan yang dimilikinya. Hal tersebut bertujuan agar
pada tahap asimilasi narapidana yang bersangkutan dapat
bekerja sesuai dengan kemampuan dan bakat yang dimilikinya.
Contoh: narapidana yang bisa mengoprasikan komputer dapat
bekerja dikantor (membantu pegawai lembaga
pemasyarakatan).
b) Bimbingan Kerja. Menurut Jasman tujuan pembinaan
kemandirian adalah sebagai bekal bagi narapidana agar bisa
hidup mandiri (minimal bisa menghidupi dirinya sendiri dan
keluarga) dan mampu menciptakan lapangan kerja ketika
selesai menjalani masa pidananya.(wawancara dengan Ka
Subsi Bimbingan Kerja Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Meulaboh tanggal 7 Desember 2013).
Narapidana juga dapat diarahkan dalam jenis kegiatan kerja tertentu,
antara lain:
1) Bimbingan kerja di kerajinan kayu (membuat kursi dan meja);
80
2) Kerajinan las (membuat tempat parkir,dan meja dari plat besi);
3) Di bidang pertanian, tanaman yang ditanam adalah cabe, kacang
tanah, jagung, kacang panjang dan lain-lain. Lembaga
pemasyarakatan klas IIB Meulaboh menyediakan lahan khusus
untuk perkebunan, yakni di belakang gedung bangunan.
4) Di bidang peternakan, hewan ternak yang di pelihara adalah
kambing, ayam dan bebek.
b. Pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan (eksternal)
Pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan bertujuan agar narapidana
lebih mendekatkan diri dengan masyarakat dan merupakan realisasi dari
salah satu prinsip pemasyarakatan yakni selama kehilangan
kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat
dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Bentuk pembinaan ini
merupakan pendidikan sosial kemasyarakatan yang diadakan bagi
narapidana. Pembinaan secara eksternal yang dilakukan di Lembaga
Pemasyarakatan disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan narapidana
yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka
ke dalam kehidupan masyarakat.
Ada pun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh narapidana yang
menjalani pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan adalah:
a. Syarat-syarat pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan
1) Narapidana yang bersangkutan telah memperlihatkan
kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang telah
dilakukannya.
81
2) Narapidana telah memperlihatkan perkembangan budi pekerti
dan moral yang positif.
3) Narapidana telah mengikuti program pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan dengan tertib.
4) Masyarakat sudah dapat menerima program kegiatan
pembinaan narapidana yang bersangkutan.
5) Selama menjalani masa pidananya narapidana tidak pernah
mendapat sanksi Indisipliner (daftar “F”) sekurang-kurangnya
dalam waktu 1 tahun terakhir.
b. Pembinaan secara eksternal yang dilakukan di Lembaga
Pemasyarakatan disebut asimilasi. Bentuk-bentuk dari asimilasi,
yaitu Cuti Mengunjungi Keluarga, selama 2 hari atau 2 x 24 jam,
sebanyak dua kali dalam setahun bagi narapidana yang masa
pidananya tiga sampai lima tahun. Sebanyak 3 kali dalam setahun
bagi narapidana yang masa pidananya lima tahun keatas.
c. Pembinaan secara eksternal juga dilakukan oleh Balai
Pemasyarakatan yang disebut integrasi. Bentuk-bentuk dari
integrasi, diantaranya Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang
Bebas.
d. Narapidana yang tidak diijinkan untuk mengikuti pembinaan di luar
Lembaga Pemasyarakatan, diantaranya:
1) Narapidana recidive
2) Narapidana yang terancam jiwanya (dari pihak korban)
3) Narapidana WNA (warga negara asing).
82
Agar mencapai pembinaan yang baik, partisipasi bukan hanya datang dari
petugas melainkan dari masyarakat dan narapidana itu sendiri. Di dalam
pembinaan petugas atau pembina pemasyarakatan harus bertindak berdasarkan
prinsip-prinsip pemasyarakatan. Seorang petugas pemasyarakatan dapat dianggap
berpartisipasi jika sanggup menunjukan sikap, tindakan, dan kebijaksanaannya
dalam mencerminkan pengayoman baik terhadap narapidana maupun masyarakat.
Pernyataan yang diberikan oleh kepala bagian pembinaan tersebut sangat
betolak belakang dengan pernyataan yang diberikan oleh salah seorang narapidana
recidive yang mengatakan bahwa sebenarnya untuk pembinaan yang dilakukan di
dalam Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh memang sudah sesuai dengan
program yang ada, sedangkan untuk pembinaan yang dilakukan di luar Lembaga
Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh khusus narapidana recidive haknya tersebut
dibatasi hanya karena statusnya yang sebagai residivis. Namun dari semua
pembinaan yang diberikan baik internal maupun eksternal bagaimanapun status
narapidananya tetap saja harus menyiapkan sejumlah uang untuk mendapatkan
haknya tersebut. (wawancara dengan Kasubsi Registrasi Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh tanggal 9 Desember 2013)
4.2.3. Sarana dan Prasarana Penunjang Pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh.
Sarana dan prasarana bukan hanya sebagai penunjang pembinaan-
pembinaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Meulaboh, tetapi juga
untuk mengantisipasi meningkatnya seorang narapidana menjadi recidive dan
sebagai sarana bila para narapidana mengalami kejenuhan diwaktu menjalani
pidana. Sarana dan prasarana yang dimaksud antara lain:
83
a. Sarana dan prasarana pembinaan agama.
Mesjid adalah salah satu hal yang dianggap penting dalam mengatasi
terjadinya recidve karena dengan meyakini kepercayaan dari agama
masing-masing maka akan mendapatkan hikmah yaitu ketenangan hati.
Di mesjid yang letaknya di dalam Lembaga Pemasyarakatan ini,
merupakan tempat pembinaan agama bagi narapidana yang beragama
Islam, yang dilaksanakan dalam bentuk sholat berjama’ah, ceramah
keagamaan, istiqosah, membaca surat yasin, dan mengaji bersama.
Pembinaan mental narapidana ditujukan untuk meningkatkan mental
narapidana sehingga dapat mempunyai mental yang lebih baik setelah
dilaksanakan pembinaan. Dalam pembinaan mental selama penulis
melakukan pengamatan dilapangan, dijumpai bahwa para narapidana
diberi ceramah agama yang dilakukan oleh tokoh agama baik dari
dalam maupun dari luar Lembaga Pemasyarakatan.
Hal ini dilakukan untuk memberikan pembekalan yang lebih mendalam
agar para narapidana dapat memahami bahwa perbuatannya dapat
merusak mental. Khusus bagi narapidana recidive selain mendapat
pembinaan mental, juga mendapatkan pembinaan keterampilan,
kerajinan, dan pendidikan yang ditujukan agar narapidana recidive
dapat mengatasi kejenuhan dan memiliki keahlian yang sebagai modal
setelah bebas nanti sehingga tidak mengulangi kembali perbuatan
jahatnya.
84
b. Sarana dan prasarana pembinaan olahraga
Untuk menunjang berlangsungnya kegiatan pembinaan olahraga, maka
diperlukan sarana dan prasarana olahraga. Hal ini dikarenakan olahraga
adalah salah satu pilihan yang sangat bagus apabila digunakan untuk
mengisi waktu luang, atau untuk menghilangkan kejenuhan.
Sarana dan prasarana olahraga di Lembaga Pemasyarakatan antara lain,
lapangan sepak bola, lapangan volly, lapangan bulu tangkis. Pembinaan
dalam bidang olahraga ditujukan supaya para narapidana dapat mengisi
waktu luangnya dengan melakukan kegiatan yang berguna dan
bermanfaat, yaitu untuk menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh.
c. Sarana dan prasarana pembinaan kesehatan
Usaha Lembaga Pemasyarakatan untuk memperhatikan kesehatan
narapidana dengan membuka klinik yang bisa melayani narapidana dan
tahanan yang sakit, klinik didalam lembaga pemasyarakatan digunakan
sebagai tempat perawatan bagi narapidana yang sedang sakit. Tetapi
apabila ada narapidana yang sakit parah dan klinik didalam Lembaga
Pemasyarakatan sudah tidak sanggup lagi untuk mengobati narapidana
tersebut, maka narapidana tersebut akan dibawa kerumah sakit Cut
Nyak Dhien (RSUCND) Meulaboh.
d. Sarana dan prasarana pembinaan keterampilan
Sarana dan prasarana pembinaan keterampilan di Lembaga
Pemasyarakatan yaitu dengan sudah tersedianya alat-alat seperti: mesin
jahit, alat-alat las, ruang kerja beserta peralatan kerja seperti mesin
85
gergaji, mesin bor dan lain-lain. Di Lembaga Pemasyarakatan juga
menyediakan prasarana pertanian dalam bentuk lahan pertanian.
e. Sarana dan prasarana pembinaan sosialisasi
Sarana dan prasarana pembinaan sosialisasi di Lembaga
Pemasyarakatan yaitu dengan sudah tersedianya ruang kunjungan atau
tempat pertemuan. Ruang kunjungan sebagai tempat narapidana atau
tahanan untuk menerima kunjungan dari saudara atau keluarga, teman,
dan orang-orang luar yang mempunyai kepentingan dengan narapidana
atau tahanan tersebut.
Dari pembahasan tentang pelaksanaan pembinaan yang dilakukan Lembaga
Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh tersebut, secara umum sudah sesuai dengan
pedoman pembinaan yang ada pada Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh.
Namun disini penulis akan memberikan sedikit gambaran tentang pembinaan
yang diberikan Lembaga Pemasyarakatan klas II B Meulaboh menurut narapidana
recidive khususnya, yaitu: (wawancara dengan salah satu narapidana residivis
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh tanggal 10 Desember 2013).
a. Recidive pasal 365 mengatakan bahwa, pembinaan yang diberikan
sebenarnya sangat bermanfaat sekali bagi warga binaan, tetapi bila
pembinaan tersebut diberikan sesuai dengan tujuannya. Namun yang
saya alami sungguh berbeda dan menyakitkan.
b. Recidive pasal 363 mengatakan bahwa, satu kata yang hanya dapat saya
katakan bahwa pembinaan yang diberikan sangat tidak memadai. Baik
lahir maupun batin.
86
c. Recidive pasal 378 mengatakan bahwa, tidak semua pembinaan yang
dapat saya terima. Ada beberapa pembinaan yang tidak saya terima
disini seperti hak asimilas, selain itu terlalu banyak aturan dan terlalu
ketat.
d. Recidive pasal 363 mengatakan bahwa, yang dibutuhkan para
narapidana disini bukanlah pembinaan tetapi hanyalah uang.Karena
pembinaan yang baik baru didapatkan seorang napi bila ada uang untuk
memenuhi pungutan liar yang ditawarkan pegawai Lembaga
Pemasyarakatan.
Bila dilihat dari pengakuan narapidana recidive tersebut, penulis dapat
menyimpulkan bahwa pembinaan yang diberikan oleh Lembaga Pemasyarakatan
klas IIB Meulaboh tidak benar-benar tersampaikan dengan baik seluruhnya
kepada narapidana (warga binaan). Hal ini disebabkan karena adanya perbuatan
oknum-oknum pegawai Lembaga Pemasyarakatan klas II B Meulaboh yang hanya
memikirkan untuk mendapatkan penghasilan tambahan di luar penghasilannya
sebagai pegawai Lembaga Pemasyarakatan, yang kemudian tidak lagi memikirkan
hak-hak narapidana untuk mendapatkan pembinaan yang sesuai dengan pedoman
pemasyarakatan dan berlandaskan Pancasila.
4.3. Hambatan Dalam Membina Narapidana Residivis
Dalam melaksanakan proses pembinaan terhadap narapidana khususnya
residivis terdapat hambatan atau kendala yang harus diatasi oleh petugas atau
pembina pemasyarakatan. Hambatan atau kendala dalam pembinaan narapidana
adalah sebagai berikut: (wawancara dengan Banta Sidi,SE Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh tanggal 10 Desember 2013).
87
Lembaga Pemasyarakatan ini merupakan Lembaga Pemasyarakatan Klas
IIB , yang menampung dan membina narapidana yang berasal dari berbagai latar
belakang budaya dan etnis yang berbeda, yang menjadi persoalannya adalah setiap
narapidana masih terpola dengan adat dan kebudayaan yang dimilikinya, baik
dalam berbahasa, berfikir, dan bertingkah-laku. Hal ini bukanlah suatu persoalan
yang mudah bagi petugas atau pembina pemasyarakatan dalam membina dan
mengarahkan narapidana.
Sarana fisik bangunan Lembaga Pemasyarakatan dewasa ini merupakan
bangunan baru yang dibangun oleh BRR sampai dengan saat ini belum rampung
100 % ini salah satu hambatan utama dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan
di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh. Dengan kondisi fisik Bangunan
yang belum rampung sangat rentan bagi narapidana untuk melarikan diri, waktu
yang semestinya digunakan untuk pelatihan ketrampilan akan tetapi menjadi
kesempatan untuk melarikan diri. Masyarakat masih tetap berasumsi bahwa tidak
ada perbedaan antara penjara dengan Lembaga Pemasyarakatan dalam mendidik
dan membina narapidana.
Dalam pelaksanaan pembinaan tentunya petugas pemasyarakatan
mengalami kesulitan, karena kurangnya jumlah tenaga petugas atau pembina
pemasyarakatan, jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan warga binaan.
Disamping itu keamanan dan ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan harus tetap
diciptakan, alagi dengan kondisi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh
yang masih belum rampung seratus persen tentu sangat besar peluang warga
binaan untuk melarikan diri. Oleh karena itu kurangnya jumlah petugas keamanan
88
dan bangunan belum rampung merupakan suatu kendala dalam mengatasi jumlah
penghuni yang melebihi kapasitas lembaga pemasyarakatan tersebut.
Sebenarnya hambatan yang sampai saat ini dirasakan masih sulit untuk
diatasi adalah masih kurangnya minat warga binaan khususnya bagi narapidana
residivis untuk mengikuti setiap pembinaan yang diberikan khususnya dalam
pembinaan pendidikan (intelektual), dimana pembinaan tersebut sangat penting
dan berguna bila warga binaan bebas nanti. Hal ini dapat dilihat dari fakta yang
terjadi dan hasil penelitian bahwa masih banyaknya narapidana residivis di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh, bahkan ada beberapa narapidana
yang sudah menjadi residivis lebih dari 3x (tiga) kali.
Dari informasi yang didapat dari salah seorang narapidana yang sudah 3
(tiga) kali menjadi residivis pada kasus pencurian kendaraan bermotor yang
bernama Roma Farma mengatakan bahwa, faktor utama yang menyebabkan
narapidana menjadi seorang residivis bukanlah terletak pada kesalahan dari
serangkaian pembinaan yang sudah diberikan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Meulaboh, tetapi karena faktor lingkungan dan belum ada pekerjaan tetap setelah
keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Walaupun terkadang masih adanya sedikit
kekurangan dalam pelaksanaan pembinaan tersebut namun kekurangan tersebut
hanya sebatas fasilitas saja dan masih bisa diatasi sedikit demi sedikit.
Tetapi faktor utama yang menyebabkan terjadinya residivis adalah dari diri
narapidana itu sendiri, karena dari seluruh residivis yang ada beralasan melakukan
residivis 70% karena masalah ekonomi sedangkan sisanya 30% mengenai
berbagai macam alasan seperti, kurangnya perhatian dari keluarga, tidak adanya
modal setelah bebas, mengalami depresi atau tekanan batin dari lingkungan
89
sekitar, karena faktor pergaulan, dan karena memang bawaan sifat narapidana itu
sendiri.
Adapun hambatan-hambatan yang terjadi di beberapa bidang pembinaan
adalah sebagai berikut:
a. Hambatan dibidang pembinaan intelektual.
Salah satu faktor penyebab timbulnya kejahatan adalah rendahnya
sumber daya manusia. Faktanya, sebagian besar narapidana masih
berpendidikan rendah, bahkan masih ada yang tergolong buta huruf.
Untuk itu program pendidikan mendapat prioritas dalam pembinaan
yang diterapkan di lembaga pemasyarakatan. Adapun hambatan yang
dialami di bidang pembinaan intelektual, diantaranya:
1) Kurangnya fasilitas dalam proses belajar mengajar (buku dan alat-
alat tulis).
2) Kurangnya tenaga profesional (guru) yang mengajar di lembaga
pemasyarakatan.
3) Belum tersedianya dana atau bantuan dari pemerintah khususnya
perlengkapan perpustakaan yang sebagai salah satu sarana dalam
membangkitkan minat baca dan meningkatkan pengetahuan warga
binaan lembaga pemasyarakatan.
4) Perpustakaan masih menyediakan sumber bacaan dalam jumlah
yang terbatas.
Hambatan-hambatan tersebut dapat mengakibatkan turunnya minat atau
kemauan dari narapidana untuk mengenyam pendidikan dan
pembelajaran di Lembaga Pemasyarakatan, namun dari pengakuan
90
salah satu warga binaan yang saya wawancara mengatakan bahwa ada
satu lagi faktor lain yang menyebabkan kurangnya minat warga binaan
untuk mengikuti pendidikan tersebut yaitu kurangnya sosialisasi
petugas pembinaan dalam menjelaskan tujuan dan manfaat diadakannya
program pendidikan tersebut kepada warga binaan sehingga warga
binaan merasa yakin bahwa dengan mengikuti pendidikan tersebut
dapat memberikan manfaat untuk dirinya dan masa depannya setelah
bebas nanti.
b. Hambatan di bidang keterampilan.
Banyak narapidana yang masuk ke Lembaga Pemasyarakatan,
tergolong tidak memiliki keterampilan khusus. Dalam hal ini Lembaga
Pemasyarakatan berkewajiban untuk mendidik narapidana agar menjadi
manusia yang terampil, namun dalam prosesnya dirasakan masih
kurangnya peralatan dan bahan-bahan serta tenaga pengajar yang
diperlukan dalam mendidik keterampilan narapidana, selain itu tidak
semua warga binaan dapat mengikuti pendidikan keterampilan tersebut
karena hanya warga binaan yang memiliki minat dan bakat dasar dalam
membuat keterampilan saja yang bisa mengikuti program tersebut.
Sehingga program tersebut tidak dapat dijalan kan secara merata kepada
warga binaan Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh.
c. Hambatan asimilasi.
Masih adanya pandangan negatif masyarakat terhadap narapidana
sehingga, menimbulkan rasa rendah diri pada narapidana dalam
berinteraksi dengan masyarakat. Berbagai upaya harus ditempuh oleh
91
petugas atau pembina pemasyarakatan, agar mengembalikan citra
narapidana sebagai manusia seutuhnya di tengah masyarakat.
Sikap masyarakat yang seolah memberikan label negatif sangat
diarasakan oleh para narapidana khususnya residivis sebagai sebuah
hinaan yang luar biasa. Seakan tidak ada lagi kesempatan untuk
memperbaiki citra diri dan kondisi yang demikian ini berpengaruh besar
terhadap kemungkinan kembalinya narapidana mengulangi kembali
perbuatannya sehingga menjadi seorang residivis. Masyarakat tetap
menganggap bekas narapidana bukan lebih baik, malah sebaliknya. Hal
ini terlihat manakala terjadi suatu tindak pidana, maka yang lebih
dicurigai sebagai pelaku adalah bekas narapidana. Penolakan terhadap
bekas narapidana memberikan kesan bahwa masyarakat ternyata tidak
mampu kurang respon untuk membina bekas narapidana. Seharusnya
sikap positif masyarakat terhadap mantan narapidana perlu ditingkatkan
agar mantan narapidana dapat hidup bermasyarakat dengan baik.
4.4. Upaya Mengatasi Hambatan Agar Terjadinya Recidive Dapat Ditekan
Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, adapun cara yang ditempuh
oleh petugas atau pembina pemasyarakatan dalam mengatasi hambatan atau
kendala yang muncul dalam proses pembinaan, adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengatasi keanekaragaman etnis atau budaya di kalangan
narapidana maka, petugas pemasyarakatan dalam membina atau
mendidik narapidana menggunakan metode pendekatan humanistik
(manusiawi). Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan secara
kekeluargaan. Tujuannya agar tidak ada jurang pemisah antara petugas
92
atau pembina dengan yang dibina (narapidana), sehingga proses
pembinaan dapat berjalan dengan baik.
b. Untuk mengatasi kurangnya jumlah petugas keamanan yang ada di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Meulaboh, pihak lembaga akan
berusaha untuk menambah petugas penjaga keamanan yang ada di
Lembaga Pemasyarakatan.
c. Cara untuk mengatasi hambatan di bidang pembinaan intelektual
(pendidikan dan pembelajaran) adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengatasi kekurangan jumlah guru (teungku) di Lembaga
Pemasyarakatan maka, petugas Lembaga Pemasyarakatan di bantu
oleh narapidana yang sebelumnya berprofesi sebagai guru atau
teungku.
2) Terus berupaya meminta bantuan kepada pemerintah dan
masyarakat untuk melengkapi perlengkapan perpustakaan di
Lembaga Pemasyarakat.
d. Di bidang keterampilan, pihak Lembaga Pemasyarakatan akan bekerja
sama dengan BLK (Balai Latihan Kerja). Tenaga pelatih atau instruktur
didatangkan dari pihak balai latihan kerja provinsi, termasuk semua
peralatan yang diperlukan untuk pendidikan keterampilan tersebut.
Penyelenggaraan untuk masing-masing keterampilan berlangsung
selama 2 (dua) bulan.
e. Sedangkan untuk mengatasi hambatan masyarakat di luar Lembaga
Pemasyarakatan yang berhubungan dengan pembinaan asimilasi,
masyarakat di luar Lembaga Pemasyarakatan terlalu mempunyai
93
pikiran negatif terhadap mantan narapidana khususnya narapidana
recidive. Sehingga upaya yang dilakukan adalah pada waktu kembali
kemasyarakat sebaiknya narapidana berperan aktif dalam kegiatan
keagamaan, misalnya bagi yang beragama Islam harus mengikuti sholat
berjema’ah dimesjid. Selanjutnya adalah berperan aktif pada kegiatan
sosial di daerahnya seperti, selalu berperan aktif dalam kegiatan gotong
royong yang ditujukan untuk membersihkan lingkungan. Kemudian
dalam bersosialisasi dengan masyarakat tunjukkan bahwa diri anda
sudah berubah, bersikap sopan dan harus bikin suasana menjadi ceria.
Namun upaya-upaya tersebut tetap tidak akan berhasil bila tidak adanya
peran dari masyarakat dan diri narapidana itu sendiri, agar terwujudnya peran
masyarakat maka, pihak Lembaga Pemasyarakatan juga memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk berkunjung ke dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Tujuannya adalah supaya masyarakat dapat mengetahui tentang rutinitas dari
narapidana dan memberikan kritik dan saran terhadap pelaksanaan pembinaan
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Masyarakat juga harus mendukung
setiap pelaksanaan program pembinaan eksternal lembaga pemasyarakatan.
94
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari semua uraian yang telah penulis kemukakan dalam bab-bab yang
mengenai “Optimalisasi Lembaga Pemasyarakatan Dalam Memberikan
Pembinaan Bagi Narapidana Sebagai Upaya Mencegah Terjadinya Residivis
(Studi di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh)”, ada beberapa hal yang
dapat penulis tarik sebagai kesimpulan. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Cara pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
klas IIB Meulaboh adalah dengan cara melalui, tahap-tahap pembinaan
Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh, aktivitas pembinaan
narapidana, serta sarana dan prasarana dalam menunjang pembinaan-
pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan klas IIB
Meulaboh.
2. Hambatan yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan klas IIB Meulaboh
dalam melakukan pembinaan narapidana recidive adalah dilihat dari segi
fasilitas dan kwantitas: etnis yang berbeda, kurangnya jumlah petugas
keamanan, tidak memadai sarana dan prasarana, saarana fisik bangunan
Lembaga Pemasyarakatan yang belum rampung serta masih kurangnya
minat warga binaan khususnya bagi narapidana residivis. Sedangkan
dilihat dari segi pelaksanaan pembinaan hambatan yang dihadapi yaitu,
dibidang pembinaan intelektual, di bidang keterampilan, di bidang
bimbingan kerja, dan dalam pemberian asimilasi. Upaya untuk mengatasi
95
hambatan sehingga terjadinya recidive dapat ditekan adalah untuk
mengatasi keanekaragaman etnis atau budaya dengan menggunakan
metode pendekatan humanistik (manusiawi), untuk mengatasi kurangnya
jumlah petugas keamanan dengan berusaha untuk menambah petugas
penjaga keamanan, untuk mengatasi hambatan pada pembinaan
intelektual dengan cara meminta bantuan dari instansi pemerintah maupun
swasta serta masyarakat, dibidang keterampilan pihak Lembaga
Pemasyarakatan akan bekerja sama dengan BLK (Balai Latihan Kerja),
dibidang bimbingan kerja petugas pemasyarakatan akan mengadakan
pameran hasil kerja atau karya dari narapidana, pada pelaksanaan
asimilasi baik Lembaga Pemasyarakatan, masyarakat, maupun narapidana
harus berperan aktif bekerja sama agar tujuan dari pemasyarakatan dapat
tercapai.
5.2. Saran
Adapun saran yang dikemukakan penulis sehubungan dengan tema yang
penulis angkat sebagaimana tersebut diatas adalah sebagai berikut:
1. Falsafah pancasila harus benar-benar dijunjung tinggi dalam
melaksanakan sistem pemasyarakatan, untuk menghindari pembinaan-
pembinaan yang melanggar hak asasi manusia.
2. Pembinaan sebaiknya lebih difokuskan pada narapidana recidive agar
para residivis tersebut dapat benar-benar menyadari bahwa perbuatannya
itu dapat merugikan orang lain, dengan dibantu sikap positif masyarakat
terhadap mantan narapidana agar mantan narapidana dapat hidup
bermasyarakat dengan baik dan tidak mengulangi perbuatannya.
96
DAFTAR PUSTAKA
Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Hamzah, Andi. 1983. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia; Dari Retribusi
ke Reformasi. Jakarta: PT Pradana Paramita.
Atmasasmita, Ramli. 1982. Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum Dalam
Kerriteks Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni.
Bawengan, Gerson W. 1979. Hukum Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta:
PT. Pradana Pramita.
Lamintang P.A.F. 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Armico.
Rubai, Masruchin. 2001. Asas-asas Hukum Pidana. Malang: UM Press.
Anwar, Mochammad. 1986. Beberapa Ketentuan Umum Dalam Buku Pertama
KUHP. Bandung: Penerbit Alumni.
Petrus & Irwan Panjaitan. 1995. Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif
Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Soemitrom, Ronny Hanitidjo. 1983. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Graha
Indonesia.
Sahardjo, 1964. Pohon Beringin Pengayoman, Rumah Pengayoman Sukamiskin,
Bandung.
Prodjodikoro, Sirjono. 2001. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Eresco,
Jakarta-Bandung.
Soedjono D. 1972. Usaha Pembaharuan Sistem Kepenjaraan dan Pembinaan
Narapidana (Dasar-Dasar Penologi). Bandung: Penerbit Alumni.
Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Penerbit Alumni,
Bandung.
_______. 1990. Hukum Pidana. Semarang: Yayasan Sudarto dan FH UNDIP.
Tim Analisa Jabatan. 1991. Uraian Jabatan Struktural. Jakarta: Penerbit
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Perundang-undangan:
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan.
Staatsblad Reglemen Penjara 708 Tahun 1917.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan.
Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara.
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.