Download - Naskah Akademik Lh Prov. Bengkulu
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara besar yang giat-giatnya sedang membangun.
Secara umum sebagai negara berkembang, banyak masalah-masalah yang dihadapi
oleh negara kita, yakni tingkat hidup yang masih rendah, produksi bahan makanan
yang belum cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduknya, sanitasi lingkungan
rendah, ekploitasi sumberdaya alam (hutan) yang berlebihan, pertambahan penduduk
yang tinggi, dan masalah lingkungan lainnya. Pembangunan yang dilakukan
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya yang sekaligus
meningkatkan kualitas lingkungan. Dengan dilakukannnya pembangunan, sebagian
masalah tersebut dapat dipecahkan atau diperingan; akan tetapi pembangunan yang
dilakukan juga akan berdampak negatif pada kondisi lingkungan. Adanya dampak
negatif ini, memerlukan pertimbangan secara matang dan tepat akan untung ruginaya
pembangunan yang akan dilakukan. Pada satu pihak kita tidak boleh takut
melakukan pembangunan, karena tanpa pembangunan bangsa kita akan mundur,
terbelakang, dan ambruk; di pihak lain, harus diperhitungkan dampak negatif yang
timbul dengan berusaha untuk menekan sekecil-kecilnya. Dengan kata lain
pembangunan yang dilakukan haruslah pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan.
Prof Zoerain (2005) dalam bukunya yang berjudul Tantangan Lingkungan
dan Lanskap Hutan Kota, menjelaskan bahwa pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan adalah pembangunan dengan penghematan penggunaan
sumberdaya alam dengan pertimbangan jauh ke depan; yakni pembangunan yang
dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan generasi mendatang. Makna pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan adalah:
1. Dalam pembangunan berkelanjutan sumberdaya alam yang digunakan dijaga
keutuhan fungsi ekosistemnya;
2. Dampak pembangunan terhadap lingkungan diperhitungkan dengan
menerapkan sistem AMDAL sehingga dampak negatif dapat dikendalikan dan
dampak positif dikembangkan;
3. Mempertimbangkan kepentingan generasi masa depan;
4. Pembangunan dengan wawasan jangka penjang karena perubahan lingkungan
pada umumnya berlangsung dalam jangka panjang;
1
5. Hasil pengelolaan sumberdaya alam harus memperhitungkan sumberdaya alam
yang semakin berkurang akibat proses pembangunan.
Propinsi Bengkulu, saat ini juga sedang giat-giatnya membangun dalam
rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Dengan motor penggerak di
masing-masing kabupaten, berbagai bidang pembangunan sedang digalakkan sesuai
dengan potensi sumberdaya alam yang dimiliki. Berbagai potensi yang dimiliki
diantaranya adalah : kandungan bahan tambang (emas, batu bara, dan bijih besi),
potensi air (PLTA, bendungan), potensi hutan (kayu), potensi lahan (perkebunan,
transmigrasi, pertanian), dan potensi sumberdaya manusia. Turunan dari potensi
lahan yang ada, berkembang pesat juga industri pengolahan hasil perkebunan,
seperti : industri pengolahan karet, kelapa sawit, dan berbagai bentuk penambangan
galian C (batu gunung, pasir, batu kali) dan sebagainya. Hanya saja perlu diingat dan
diperhatikan dengan seksama bahwa pembangunan yang dilakukan akan selalu
berhadapan dengan dampak negatif dari pembangunan.
Pembangunan yang dilakukan akan berhadapan dengan konsekwensi
terjadinya perubahan pada tatanan lingkungan alamnya. Jadi jelaslah bahwa
pembangunan secara sadar ditujukan untuk mengubah keseimbangan lingkungan;
dan tidak mungkin dilakukan pembangunan yang tidak mengganggu keseimbangan
lingkungan. Dalam batas-batas kemampuannya, lingkungan akan berusaha untuk
mencapai keseimbangan baru dalam upaya peningkatan kualitas lingkungannya. Jika
batas kemampuan lingkungannya terlampaui, maka tidak akan terbentuk
keseimbangan baru yang berarti telah terjadi permasalahan dalam bidang lingkungan.
Peristiwa yang mengindikasikan telah terlampaui daya dukung lingkungan
diantaranya adalah terjadi banjir, tanah longsor, kekeringan, pencemaran udara,
pencemaran tanah, pencemaran air, sedimentasi, dan lain sebagainya. Hal ini berarti,
telah terjadi permasalahan pada lingkungan hidupnya. Potensi permasalahan
lingkungan utama yang terjadi di Propinsi Bengkulu adalah tidak optimal fungsi
hutan karena rusaknya hutan akibat illegal logging dan perambahan masyarakat,
pencemaran air dan tanah akibat kegiatan pertanian, pertambangan, industri, dan
pengelolaan limbah sampah.
Pada saat ini kondisi lingkungan di Provinsi Bengkulu menunjukkan adanya
kerusakan akibat berbagai kegiatan usaha. Kegiatan pertambangan dan industri
perkebunan menyumbang kerusakan yang cukup besar bagi permasalahan
lingkungan di Provinsi Bengkulu. Pencemaran air sungai udara, menumpuknya
sampah yang tidak terkelola menjadi indikator telah terjadi kerusakan lingkungan
hidup. Salah satu di antara beberapa faktor kurang optimalnya upaya pengendalian
kerusakan lingkungan di wilayah Provinsi Bengkulu, selain disebabkan masih
2
rendahnya kesadaran masyarakat terhadap fenomena kerusakan lingkungan, juga
lemahnya penerapan pemanfaatan ruang, karena belum mantapnya penegakkan
peraturan perundangan dalam memberikan sanksi yang memadai terhadap pelanggar
lingkungan. Di sisi lain kepekaan sebagaian masyarakat terhadap kerusakan kualitas
lingkungan, sering dijadikan sebagai isu dalam memacu pertentangan pendapat antar
berbagai pihak yang berkepentingan.
Belum maksimalnya koordinasi dan sinergitas program antar instansi di
kabupaten/kota dan atau provinsi, juga ikut menjadi penyebab terjadinya percepatan
proses pengrusakan lingkungan. Kabupaten hulu seperti : Kabupaten Lebong, Rejang
Lebong dan Kepahiang mempunyai peran yang penting untuk melindungi kabupaten
daerah hilirnya. Rusaknya ekosistem hulu tersebut merupakan satu kesatuan
permasalahan atas ancaman bencana lingkungan di Provinsi Bengkulu.
Kondisi saat ini, perangkat hukum yang ada belum dapat menyentuh esensi
kompleksitas permasalahan pengendalian dan kerusakan lingkungan. Kebijakan
Pemerintah Daerah belum menyentuh hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan
usaha yang berdampak pada kerusakan lingkungan, serta belum mengatur langsung
pada permasalahan mendasar yang dihadapi akibat kerusakan lingkungan. Saat ini
penuangan kebijakan tentang lingkungan yang ada, baru diatur dalam peraturan
tentang penataan ruang wilayah Provinsi Bengkulu dan peraturan mengenai baku
mutu air, sedangkan peraturan daerah yang mengatur tentang pengendalian dan
kerusakan lingkungan akibat berbagai aktivitas masyarakat dan badan usaha hingga
saat ini belum ada. Akibatnya, secara sistematis cukup banyak wilayah di Provinsi
Bengkulu yang menjadi rusak dan tercemar yang disebabkan alih fungsi lahan hutan
menjadi pertanian, pencemaran air sungai, kerusakan pesisir pantai, pencemaran
udara, pencemaran tanah, dan menumpuknya timbunan sampah. Oleh karena itu
perlu segera disiapkan perangkat hukum baru dalam bentuk Peraturan Daerah untuk
mengatur upaya-upaya pencegahan dan pengendalian pencemaran dan kerusakan
lingkungan di Provinsi Bengkulu.
Untuk memberikan arah, kejelasan, dan kemudahan dalam penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu tentang pengendalian pencemaran
dan kerusakan lingkungan, maka dipandang perlu terlebih dahulu dibuat naskah
akademik mengingat naskah akademik merupakan suatu gambaran secara global
tentang kondisi empiris masyarakat. Selain itu, naskah akademis paling tidak telah
memberikan format mengenai pokok-pokok pikiran yang seharusnya diatur dalam
Peraturan Daerah.
3
B. Sasaran Yang Akan Diwujudkan
Salah satu tugas dan tanggungjawab negara adalah mensejahterahkan seluruh
rakyatnya. Dalam konstitusi Indonesia disebutkan bahwa salah satu tujuan negara adalah
memajukan kesejahteraan umum. Dengan menyikapi kondisi sosial sebagaimana yang telah
diuraikan dan secara yuridis formal bahwa negara memiliki kewenangan dalam hal
pemanfaatan dan pengaturan pendayagunaan seluruh sumber daya yang dimiliki demi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk dalam hal memberikan perlindungan kepada
rakyat terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
Sasaran yang ingin diwujudkan dengan dibentuknya rancangan peraturan daerah
tentang pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup adalah sebagai upaya
untuk mengatur dan meminimalisir pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang
disebabkan oleh aktivitas masyarakat maupun badan usaha. Pengendalian ini mutlak segera
diatur agar pencemaran dan kerusakan lingkungan yang telah terjadi saat ini dapat dicegah
agar tidak semakin parah dan mengakibatkan kualitas lingkungan hidup di Provinsi semakin
menurun. Selain itu juga diharapkan agar pemanfaatan setiap sumber daya alam dapat
dilakukan dengan terencana dan terukur dengan tetap memperhatikan upaya-upaya
pelestarian lingkungan hidup.
C. Identifikasi Masalah
1. Bagaimanakah penyelenggaraan pengendalian pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup di Provinsi Bengkulu, apa saja permasalahan yang dihadapi
dan upaya apa yang telah dilakukan untuk mengatasinya, serta bagaimanakah
perkembangan konsep, teori, dan pemikiran mengenai pelaksanaan
pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup ?
2. Bagaimanakah pengaturan mengenai pengendalian pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup dan mengapa diperlukan Rancangan Peraturan Daerah
Pengendalian Pencemaran Dan Kerusakan Lingkungan Hidup?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis
dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah mengenai pengendalian
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup ?
4
4. Bagaimanakah ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan serta
tujuan pengaturan mengenai pengendalian pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup?
D. Tujuan Dan Kegunaan
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan
pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di Provinsi
Bengkulu, serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut.
2. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi
permasalahan dalam penyelenggaraan pengendalian pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup.
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis
dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengendalian
Pencemaran Dan Kerusakan Lingkungan Hidup.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengendalian Pencemaran Dan Kerusakan Lingkungan Hidup.
E. Metode Penelitian
1. Tehnik Pengumpulan Data.
Teknik pengumpulan data dalam menyusun naskah akademik ini
dilakukan menggunakan 2 (dua) metode yakni :
a. pengumpulan data sekunder1
1 Sri mamuji,dkk. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,cetakan pertama,2005,halaman 28-31. Disebutkan bahwa Sumber Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan, mencakup: 1. Sumber Data Sekunder/Bahan Pustaka dalam bidang Non Hukum berupa buku, makalah-makalah , surat kabar, skripsi, tesis dan peaturan perundang-undangan; 2. Sumber Data Sekunder/Pustaka Hukum dilihat dari kekuatan mengikatnya yang dibedakan atas: a. Sumber Primer meliputi : Norma Dasar, Peraturan Dasar, TAP MPR, UU,PP,Kepres dll; b. Sumber Sekunder berupa RUU, Laporan Penleitian, Makalah berbagai pertemuan ilmiah, dll; c. Sumber tersier meliputi abstrak, almanak, kamus, dll. Lihat : RonnyHanitijo Soemitro, Metodologi Penelitia Hukum, Galilea Indonesia,; Cetakan Kedua 1985, Hal 24. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji , Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat , PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, Cetakan Ketuju 2003 Hal 13.
5
Untuk memperoleh data tersebut, akan dilakukan Inventarisasi Peraturan
Perundang-Undangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup
khususnya pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup
serta dilengkapi dengan data-data lain yang berasal dari hasil kajian atau
pendapat pakar dalam berbagai literatur yang ada baik berupa buku,
makalah seminar, surat kabar, internet dan bahan-bahan kepustakaan
lainnya.
b. pengumpulan data primer2.
Pengumpulan data primer ini dilakukan dengan melakukan wawancara
baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pihak-pihak yang
dianggap mengetahui tentang lingkugan hidup di Provinsi Bengkulu.
Untuk itu, akan dilakukan wawancara atau pengamatan langsung pada
pihak-pihak yang terkait dengan ketenagalisrikan di wilayah Provinsi
Bengkulu.
2. Tehnik Pengolahan dan Analisis Data.
Data yang telah diperoleh baik melalui pengumpulan data sekunder
maupun pengumpulan data primer selanjutnya diedit3, untuk memeriksa apakah
data tersebut layak atau valid untuk dilanjutkan kemudian serta untuk
menjamin apakah data tersebut sudah dapat dipertanggungjawabkan sesuai
dengan kenyataan, untuk selanjutnya dianalisis untuk memperoleh suatu
kesimpulan.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-
analitis, yaitu suatu metode penulisan yang menggunakan data atau fakta yang
ada dengan menggambarkan setiap aspeknya sebagaimana adanya.
2 Sri Mamudji,dkk.Ibid. Halaman 49-50. Yang dimaksud dengan data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat yang dapat dilakukan melalui pengamatan dan/atau wawancara.
3 Sri Mamudji,dkk, ibid halaman 62. Lihat Juga : Ronny Hanitjo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat. Alumni. Bandung , 1982, halaman 80.
6
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis
B. Asas Dan Prinsip
C. Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada, Serta Permasalahan Yang
Dihadapi Masyarakat.
D. Implikasi Penerapan Sistem Baru
7
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TERKAIT
B.1. Kondisi Umum Provinsi Bengkulu
Propinsi Bengkulu merupakan salah satu propinsi di Pulau Sumatera yang secara
geografis terletak antara 2o-5o LS dan 101o – 104o BT dan berada di bagian Barat sebelah
Selatan Pulau Sumatera. Di sebelah Utara, Propinsi Bengkulu berbatasan dengan Propinsi
Sumatera Barat, di sebelah Selatan dengan Propinsi Lampung, sebelah timur dengan
Propinsi Jambi dan Sumatera Selatan, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera
Hindia. Luas wilayah Propinsi Bengkulu adalah 1.978.870 hektar dengan bentuk wilayah
relatif memanjang sejajar garis pantai, dengan panjang garis pantai sekitar 525 km. Lebar
daratan dari garis pantai bervariasi, dari yang tersempit sekitar 32,5 km dan yang terlebar
sekitar 102 km. Fisiografi wilayahnya terdiri atas jalur dataran rendah dan jalur dataran
tinggi. Jalur dataran rendahnya tidak begitu lebar, membentang dari ujung bagian Utara ke
bagian Selatan di sebelah barat sejajar dengan garis pantai; sedangkan dataran tingginya
umumnya terletak disebelah Timur yang merupakan gugusan Pegunungan Bukit Barisan.
Topografi wilayah di Propinsi Bengkulu didominasi oleh topografi yang curam (>
25 %) sekitar 44,45 % dari total luas seluruh wilayah, daerah yang datar/landai (0-15%)
hanya sekitar 18,12 % dari total luas wilayah. Ketinggian tempatnya berkisar 0-1600 meter
dari permukaan laut. Secara geomorfologi, wilayah Propinsi Bengkulu memiliki 4 karakter
utama yakni dataran pantai, dataran aluvial, zona lipatan, dan zona vulkanik. Tipe iklim di
daerah ini didominasi oleh Tipe A sistem Schimth Ferguson dengan curah hujan tahunan
berkisar antara 3.000 – 4.000 mm, dengan 130 – 200 jumlah hari hujan. Arah dan pola
aliran sungai dapat dikelompokkan menjadi 3 pola utama, yaitu sungai-sungai yang
mengalir ke Samudera Hindia (Barat), sungai-sungai yang mengalir ke Selat Bangka
(Timur) dan sungai-sungai di Pulau Enggano yang mengalir ke Samudera Hindia. Sungai-
sungai besarnya diantaranya adalah Sungai Musi, Sungai Ketahun, Sungai Majunto, dan
Sungai Manna. Daerah aliran sungainya (DAS) ada yang mencangkup antar propinsi,
seperti DAS Majunto (Bengkulu-Jambi), DAS Musi (Bengkulu-Sumatera Selatan), DAS
Manula (Bengkulu-Lampung).
8
Jumlah penduduk di Provinsi Bengkulu adalah 1.715.518 jiwa, dengan komposisi
berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki berjumlah 877.159 jiwa dan perempuan
berjumlah 838.359 jiwa (BPS Provinsi Bengkulu, 2011). Laju pertumbuhan pada kurun
waktu 2010-2011 adalah sebesar 2,92 %. Mata pencaharian penduduknya berdasarkan
umur produktif sebagian besar adalah petani (58,06 %). Tantangan dalam bidang
kependudukan adalah masalah jumlah angkatan kerja yang semakin banyak, masalah
infrastruktur pendidikan, kesehatan, sosial, serta masalah urbanisasi dan lingkungan. Dari
sisi lingkungan, sebagai daerah agraris, peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan
meningkatnya permintaan lahan pertanian. Di lain pihak, jumlah lahan pertanian tetap.
Saat ini, cukup banyak masyarakat yang menyerobot lahan hutan menjadi lahan garapan.
Permasalahan penyerobotan lahan hutan menjadi lahan garapan hampir terjadi di semua
kabupaten di Provinsi Bengkulu.
B.2. Sumberdaya Alam di Provinsi BengkuluB.2.1. Kawasan Hutan
Hutan merupakan asosiasi kehidupan masyarakat tumbuh-tumbuhan dan binatang,
yang menyimpan banyak sekali bahan yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan umat
manusia, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Hutan dapat menjaga kualitas
sumberdaya tanah dapat meningkatkan kesuburannya. Selain itu hutan dapat memberikan
manfaat ekonomi berupa hasil kayu dan non kayu. Disamping memberikan manfaat
sebagai penyedia barang yang diperlukan manusia, hutan juga menghasilkan jasa yang
dapat menjaga kualitas lingkungan hidup agar tidak mengalami kemunduran. Manfaat
hutan sebagai perlindungan lingkungan adalah sebagai pengatur tata air, perlindungan
kesuburan tanah, perlindungan sumber genetik, dan penyegar udara dengan cara menyerap
karbon dioksida dari berbagai sumber di alam dan mengeluarkan oksigen yang diperlukan
oleh manusia dan hewan. Dewasa ini, rusaknya hutan tropis dianggap sebagai salah satu
terjadinya pemanasan global di bumi ini.
Berdasarkan tata guna lahannya, wilayah Propinsi Bengkulu terdiri dari wilayah
kawasan hutan seluas 920.753,50 hektar (46,53 %) dan sisanya seluas 1.058.116,5 hektar
(53,47 %) berupa areal pemanfaatan lain di luar sektor kehutanan seperti pemukiman,
perkebunan, pertanian, dan sebagainya. Berdasarkan fungsinya, kawasan hutan di Propinsi
Bengkulu terdiri dari : hutan lindung seluas 251.269,70 hektar (27,29 %); hutan konservasi
seluas 444.397,80 hektar (48,26 %); hutan produksi seluas 218.221 hektar (23,71 %); dan
fungsi khusus hutan (Pusat Pelatihan Gajah) seluas 6.865 ha (0,75 %).
B.2. 2. Pertanian Tanaman Pangan
Komoditi utama sektor pertanian tanaman pangan di Propinsi Bengkulu adalah
padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan kacang kedelai.
9
Selain tanaman pangan, di beberapa kabupaten Provinsi Bengkulu seperti Kabupaten
Kepahiyang dan Rejang Lebong, juga terkenal sebagai penghasil tanaman holtikultura
seperti sayur-sayuran, buah-buahan semusim, buah-buahan tahunan, dan biofarmaka. Jenis
sayur-sayuran yang dihasilkan diantaranya adalah kol, wortel, kentang, cabe merah, tomat,
sawi, dan sayuran lainnya; sedangkan jenis buah-buahannya adalah pepaya, pisang,
alpokat, durian, dan buah-buahan lainnya. Pada umumnya pengelolaan pertanian tanaman
pangan ini masih pada skala rumah tangga. Berdasarkan RTRW Propinsi Bengkulu tahun
2011, kawasan yang berpotensi digunakan untuk penghasil tanaman pangan luasnya sekitar
212.290 hektar atau 10, 60 % dari luasan wilayah Provinsi Bengkulu.
B.2.3. Perkebunan
Komoditas perkebunan yang dikembangkan dan mempunyai nilai ekonomi di
Propinsi Bengkulu adalah Kelapa Sawit, Karet, Kopi Robusta, Kopi Arabika, Kakao,
Kelapa, Lada, Cengkeh, Aren, Kayu Manis, Pinang, Kapuk, Kemiri, dan Teh. Komoditas
pekebunan yang paling luas adalah perkebunan kopi arabika, diikuti oleh kelapa sawit dan
karet. Pengelolaan komoditas perkebunan dilakukan oleh masyarakat (perkebunan rakyat),
negara (PTPN/PBN), dan swasta (PBS). Luas perkebunan rakyat adalah sekitar 349.940
hektar, perkebunan negara seluas 11.100 hektar dan perkebunan swasta sekitar 62.546
hektar. Luas areal perkebunan aktif keseluruhan adalah sekitar 423.586 hektar (Dinas
Perkebunan Provinsi Bengkulu, 2010). Saat ini tanaman kelapa sawit menjadi primadona
bagi masyarakat di Provinsi Bengkulu. Telah banyak lahan masyarakat yang
dikembangkan untuk usaha perkebunan sawit. Sejalan dengan itu, pihak swasta pun
banyak yang membuka perkebunan kelapa sawit beserta dengan membangun industri
pengolahannya. Berdasarkan RTRW Propinsi Bengkulu tahun 2011, potensi
pengembangan perkebunan mencapai luasan 491.395, 36 hektar atau sekitar 24,21 % dari
luas wilayah total Provinsi Bengkulu.
Industri pengolahan hasil perkebunan yang ada di Propinsi Bengkulu adalah
industri pabrik CPO kelapa sawit, minyak goreng, industri pengolahan daun teh, dan
pengolahan karet. Beberapa industri hasil perkebunan dan kapasitasnya disajikan dalam
tabel berikut.
Tabel 1. Perusahaan Perkebunan di Provinsi Bengkulu
No. Nama Perusahaan Jenis olahan Kapasitas Lokasi1. PT. Agricinal Kelapa Sawit 45 Ton/Jam BU
2. PTPN VII PIR Talo Pino Kelapa Sawit 30 Ton/Jam Seluma
3. PT. Agri Andalas Kelapa Sawit 60 Ton/Jam Seluma
4. PT. Bio Nusantara Tekn. Kelapa Sawit 30 Ton/Jam Benteng
5. PT. Mitra Puding Mas Kelapa Sawit 60 Ton/Jam BU
6. PT. Daria Darma Pratama Kelapa Sawit 60 Ton/Jam Mukomuko
10
7. PT. Agromuko SBE Kelapa Sawit 60 Ton/Jam Mukomuko
8. PT Bengkulu Mandiri CPO 200 ltr/jam BU
9. PT. Agromuko Karet 5.400 ton/th Mukomuko
10. PTPN VII Padang Plawi Karet 12.000
ton/th
Seluma
11. PT. BAM Karet 30.000
ton/th
BU
12. PT. Pamor Ganda Karet 5.400 ton/th BU
13. PTPN VII Ketahun Karet 3.000 ton/th BU
14. PT. Sarana Mandiri Mukti The - Kepahyang
15. PT. Bumi Mentari Karya Kelapa Sawit 45 Ton/Jam Mukomuko
16. PT. Mukomuko Indah
Lestari
Kelapa Sawit 45 Ton/Jam Mukomuko
17. PT. Sapta Sentosa Jaya
Abadi
Kelapa Sawit 30 Ton/Jam Mukomuko
18. PT. Alno Agro Utama Kelapa Sawit 45 Ton/Jam BU
19. PT. Sandabi Indah Lestari Kelapa Sawit 30 Ton/Jam BU
20. PT. Agro Sawitindo Kelapa Sawit 45 Ton/Jam Benteng
21. PT. Jembar Agro Lestari Kelapa Sawit Kaur
22. PT. Sepang Makmur
Perkasa
Kelapa Sawit Kaur
23. PT. Era Guna Mitra Kelapa Sawit Kaur
24. PT. Dinamika Selaras Jaya Kelapa Sawit Kaur
Sumber : Dinas Perkebunan Propinsi Bengkulu, 2006 dan 2010; BLH Kabupaten Kaur,
2011.
B.2.4. Pertambangan Dan Energi
Sektor pertambangan di Propinsi Bengkulu belum dimanfaatkan secara optimal,
padahal cukup banyak sumber-sumber bahan tambang yang potensial. Wilayah Propinsi
Bengkulu terbentang dan berada di jalur pegunungan bukit barisan. Aktifitas magmatis
yang terjadi selama puluhan juta tahun menghasilkan beberapa jenis mineral, maupun
galian golongan C, terdistribusi diberbagai tempat dengan potensi yang berbeda-beda.
Potensi alam untuk sektor pertambangan ini sebagian besar belum dapat dikembangkan,
namun pada masa yang akan datang sangat berpotensi untuk digarap dan dikembangkan
oleh Pemerintah Daerah atau para investor.
Beberapa bahan tambang yang diperkirakan terdapat di Propinsi Bengkulu
diantaranya adalah batu bara, emas, tembaga, pasir besi, andesit, obsidian, batu apung, dan
11
pasir vulkanik. Untuk bahan tambang emas, batu bara, dan tembaga pada umumnya terletak
di dalam kawasan hutan lindung sehingga dalam pengelolaannya harus dipertimbangkan
secara arif dan terintegrasi.
Tabel 2. Perusahaan Pertambangan di Provinsi Bengkulu
No. Nama Perusahaan Jenis BT Luas (Ha) Lokasi Keterangan
1. PT. Berrick Service Inter Emas 230.400 Kaur, BS, Seluma
Penyelidikan
2. PT. Nusa Palapa Mineral Emas 249.989 Muko2, BU, RL Penyelidikan3. PT. Aneka Tambang Bijih besi 18.891 BU Penyelidikan4. PT. Pandu Adi Jaya Batu Bara 25.000 Kaur Ekplorasi5. PT. Konstruktor Batu Bara 217 BU Ekplorasi6. PT. Ratu Samban Mining Batu Bara 3.849 BU Ekplorasi7. PT. Indonesia Ria SAC Batu Bara 3.980 BU Ekplorasi8. PT. Bukit Sunur Batu Bara 885 BU Ekploitasi9. PT. Danau Mas Hitam Batu Bara 800,65 BU Ekploitasi10. PT. Bara Indah Lestari Batu Bara 995 Seluma Ekploitasi11. PT. Firman Ketahun Batu Bara 959,90 BU Ekploitasi12. PT. Semaku Selatan Sakti Pasir Besi 1.922 Seluma Ekploitasi13. PT. Famiaterdio Nagara Pasir Besi 3.645 Seluma Ekploitasi14. PT. Kresna Tambang
SawahEmas 398,60 Lebong Ekploitasi
Sumber : Dinas Pertamanagan Propinsi Bengkulu, Mei 2007
Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan Provinsi Bengkulu, per bulan Mei tahun
2007, perusahaan pertambangan yang melakukan penyelidikan umum untuk bahan tambang
emas dan mineral biji besi berjumlah 3 perusahaan, dengan luas areal penyelidikan
499.279,85 hektar. Perusahaan pertambangan yang melakukan kegiatan ekplorasi untuk
bahan tambang batu bara sebanyak 5 perusahaan dengan luasan sekitar 34.474 hektar,
sedangkan perusahaan pertambangan yang telah dan sedang melakukan ekplotasi adalah
sebanyak 23 perusahaan dengan luas KP sekitar 53.782,62 hektar.
Selain pertambangan milik perusahaan, ada juga pertambangan yang dikelola sendiri
oleh masyarakat, seperti pertambangan galian C dan beberapa pertambangan emas rakyat.
Pertambangan emas rakyat banyak terdapat di Kabupaten Lebong dan Kabupaten Bengkulu
Utara. Umumnya petambangan emas rakyat ini berupa pertambangan tanpa ijin, dengan
lokasi pertambangan sebagian besar di dalam kawasan hutan.
Disamping bahan galian tersebut diatas, Propinsi Bengkulu mempunyai sumber daya
air yang saat ini sudah dimanfaatkan sebagai pembangkit Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA)
yakni PLTA Musi di Kepahiyang dan PLTA Tes di Lebong. PLTA Musi yang akan
menghasilkan daya listrik sebesar 3 x 70 MW. PLTA ini diharapkan menjadi salah satu
sumber energi listrik di Propinsi Bengkulu, sehingga permasalahan krisis listrik diberbagai
daerah di Bengkulu dapat diatasi. Sumber energi listrik lainnya adalah PLTD di masing-
12
masing kabupaten. Khusus di Kota Bengkulu, di suplay dari PLTD Suka Merindu dan
PLTD Pulau Baai.
B.3. Permasalahan Pembangunan di Provinsi Bengkulu
Di negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, tingkat kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakatnya masih rendah, kehidupan penduduknya serba kurang di
bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Oleh karena itu pembangunan perlu dilakukan
untuk meningkatkan tingkat kesejateraan masyarakatnya. Pembangunan yang dilakukan
akan berhadapan dengan konsekwensi terjadinya perubahan pada tatanan lingkungan
alamnya. Jadi jelaslah bahwa pembangunan secara sadar ditujukan untuk mengubah
keseimbangan lingkungan; dan tidak mungkin dilakukan pembangunan yang tidak
mengganggu keseimbangan lingkungan. Dalam batas-batas kemampuannya, lingkungan
akan berusaha untuk mencapai keseimbangan baru dalam upaya peningkatan kualitas
lingkungannya. Jika batas kemampuan lingkungannya terlampaui, maka tidak akan
terbentuk keseimbangan baru yang berarti telah terjadi permasalahan dalam bidang
lingkungan. Peristiwa yang mengindikasikan telah terlampaui daya dukung lingkungan
diantaranya adalah terjadi banjir, tanah longsor, kekeringan, pencemaran udara,
pencemaran tanah, pencemaran air, sedimentasi, dan lain sebagainya. Hal ini berarti, telah
terjadi permasalahan pada lingkungan hidupnya. Potensi permasalahan lingkungan utama
yang terjadi di Propinsi Bengkulu adalah tidak optimal fungsi hutan karena rusaknya hutan,
pencemaran air dan tanah akibat kegiatan pertanian, pertambangan, industri, dan
pengelolaan limbah sampah.
Permasalahan lingkungan yang terjadi di Propinsi Bengkulu adalah :
1. Terjadinya kerusakan hutan akibat penebangan liar dan perambahan hutan oleh
masyarakat menjadi kebun.
2. Terjadinya benturan tata ruang dalam pembangunan; seperti kawasan hutan yang di
dalamnya terdapat bahan tambang (kasus : di Kabupaten Lebong, Kepahiyang,
Bengkulu Utara, Seluma, dll). Di beberapa kabupaten, ditemukan kawasan hutan yang
telah beralih fungsi mejadi perkebunan rakyat, dan bahkan perkebunan swasta besar.
3. Pengelolaan sampah yang belum optimal, dibeberapa ibu kota kabupaten belum
memiliki TPA yang permanen.
4. Pencemaran air sungai karena kegiatan pertanian (pupuk dan pestisida), pertambangan
(emas, batu bara, bijih besi), ataupun industri lain (pabrik kelapa sawit, karet, dll).
Beberapa sungai yang tersebar di Provinsi Bengkulu telah mengalami pencemaran
akibat limbah pabrik kelapa sawit, karet, dan kegiatan pertambangan batu bara. Masih
13
banyak perusahaan perkebunan atau kegiatan pertambangan yang membuang
limbahnya ke sungai; baik secara langsung ataupun tidak langsung.
5. Pencemaran udara yang diakibatkan oleh asap kendaraan bermotor, cerobong asap
pabrik kelapa sawit dan karet dan beberapa industri pembangkit listrik.
6. Terjadi kerusakan yang cukup tinggi pada ekosistem terumbu karang; dimana
persentase karang hidupnya termasuk katagori sangat rendah.
C. Pentingnya Peraturan Daerah Pengendalian Kerusakan Lingkungan
Propinsi Bengkulu, saat ini juga sedang giat-giatnya membangun. Dengan motor
penggerak di masing-masing kabupaten, berbagai bidang pembangunan sedang digalakkan
sesuai dengan potensi sumberdaya alam yang dimiliki. Berbagai potensi yang dimiliki
diantaranya adalah : kandungan bahan tambang (emas, batu bara, pasir besi, dll), pabrik
semen, potensi air (PLTA, bendungan), potensi hutan (kayu), potensi lahan (perkebunan,
transmigrasi, pertanian), dan potensi sumberdaya manusia; telah siap untuk dikembangkan
dan dibangun untuk kesejahteraan masyarakatnya. Hanya saja perlu diingat dan
diperhatikan dengan seksama bahwa pembangunan yang dilakukan akan selalu berhadapan
dengan dampak negatif dari pembangunan.
Upaya yang harus dilakukan dalam pembangunan ini agar dapat meraih hasil yang
diharapkan, adalah dengan mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang dimiliki dan
melakukan efisiensi dan efektifitas. Sektor andalan yang dimiliki perlu diprioritaskan
untuk dikelola, akan tetapi tetap memperhatikan keseimbangan pembangunan dan
lingkungan. Pengelolaan sumber daya sekarang, tidak berarti melupakan kebutuhan sumber
daya tersebut untuk dimasa depan. Apabila sumber daya yang dikelola tersebut adalah
sumber daya yang dapat diperbaharui, maka setelah dimanfaatkan/dieksploitasi, segera
harus di perbaharui.
Mengacu pada pendapat Prof Zoeraini, alangkah tepatnya jika pembangunan di
Provinsi Bengkulu beazaskan pada pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan. Dengan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan akan terjadi
penghematan penggunaan sumberdaya alam dengan pertimbangan jauh ke depan. Dengan
konsep ini, keberadaan sumberdaya alam akan dijaga keutuhan ekosistemnya, dalam setiap
pembangunan dianalisis dampak negatif dan positifnya sehingga dampak negatif dapat
dikendalikan dan dampak positif dikembangkan (AMDAL dan atau UPL/UKL), dalam
pemanfaatannya akan mempertimbangkan kepentingan generasi masa depan sehingga hasil
sumberdaya alam yang akan diekplotasi tetap harus memperhitungkan sumberdaya alam
yang semakin berkurang akibat proses pembangunan.
Dalam upaya mengantisipasi pelanggaran-pelanggaran lingkungan yang
diakibatkan oleh kegiatan usaha, perlu disusun seuatu peraturan daerah yang melingkupi
upaya-upaya untuk pengendalian kerusakan lingkungan.
14
C.1. Landasan Filosofis
Sumber Daya Alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan
manfaat untuk kesejahteraan manusia, seperti tercantum dalam pasal 33 ayat 3 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Sumber daya alam merupakan sumber daya yang belum
tergantikan dalam memberikan dukungan dan kehidupan bagi seluruh mahluk hidup.
Sehingga keberadaannya harus dijadikan prioritas utama dalam pelestariannya untuk
memberikan kehidupan bagi seluruh mahluk hidup.
C.2. Landasan Sosiologis
Sumber daya alam adalah mutlak diperlukan oleh manusia dan mahluk hidup lainnya,
serta mempunyai arti dan peran penting dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Sumber
daya alam yang memiliki sifat multi sektoral ini, semakin berkembang dan maju tingkat
penghidupan masyarakat semakin banyak banyak kegiatan yang mungkin akan
menurunkan kualitas sumber daya alam tersebut. Kegiatan-kegiatan yang bias memberikan
dampak negatif terhadap kualitas lingkungan hidup antara lain adalah kegiatan di bidang
industri, kegiatan bidang pertambangan, kegiatan bidang pertanian, kegiatan bidang
perkebunan, kegiatan bidang kehutanan, kegiatan bidang perumahan dan bidang kegiatan
usaha lainnya. Dampak negative dari kegiatan-kegiatan tersebut harus diminimalisir agar
kualitas lingkungan hidup dapat dipertahankan untuk kepentingan hidup dan kehidupan
manusia. Berkenaan dengan hal tersebut perlu adanya pengaturan untuk pengendalian
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup agar sumber daya alam dan lingkungan hidup
yang ada dapat terjaga kelestariannya.
C.3. Landasan Yuridis
Diundang-undangkannya Undang-Undang No 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No 11 tahun 2009 Tentang Indonesia
Hijau telah menetapkan bahwa sejalan dengan pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Negara menjamin setiap orang untuk mendapatkan pemenuhan pokok
masyarakat sehari-hari, untuk itu sumber daya alam dan lingkungan hidup harus dijaga
kelestariannya. Sumber daya alam adalah bukan merupakan warisan dari nenek moyang
tetapi merupakan sumber daya yang nantinya harus dapat dinikmati oleh generasi yang
akan datang.
Selain itu, penguasaan negara atas sumber daya alam diselenggarakan oleh
pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak ulayat sepanjang keberadaannya masih diakui,
15
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik
Indonesia. Hal ini seiring pula dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah, maka perlu dibuatnya sebuah produk peraturan
perundang-undangan berupa peraturan daerah di wilayah di provinsi Bengkulu tentang
Pemulihan dan Perusakan Lingkungan Hidup.
16
BAB II. KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIS EMPIRIS
A. Landasan Teoritis
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Sedangkan sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya
hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem. Sumber
daya alam perlu dilakukan perlindungan untuk mencegah dan atau mengurangi kerusakan
yang disebabkan karena adanya kegiatan-kegiatan yang berpotensi terhadap menurunnya
kualitas lingkungan hidup. Penurunan kualitas lingkungan hidup tersebut disebabkan oleh
berbagai kegiatan. Kegiatan-kegiatan yang berpotensi untuk memberikan sumbangan
terhadap penurunan kualitas lingkungan tersebut diantaranya adalah :
A. Kegiatan Pertambangan
B. Kegiatan industri
C. Kegiatan rumah tangga
D. Kegiatan perkebunan dan pertanian
E. Kegiatan kehutanan
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
A. Kegiatan Penambangan Batubara
Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dampak lingkungan didefinisikan sebagai suatu perubahan
lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu dan atau kegiatan. Sementara itu,
Soemarwoto (2005) mendefinisikan dampak sebagai suatu perubahan yang terjadi sebagai
akibat suatu aktivitas di mana aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik,
dan biologi. Lebih lanjut didefinisikan dampak pembangunan terhadap lingkungan adalah
perbedaan antara kondisi lingkungan sebelum ada pembangunan dan yang diperkirakan
akan ada setelah ada pembangunan. Pembangunan yang dimaksud termasuk kegiatan
penambangan batubara yang dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan secara
umum.
17
Gambar 1.Dampak yang timbul akibat aktifitas penambangan
-'Dampak penambangan batubara berarti perubahan lingkungan yang disebabkan
oleh kegiatan usaha eksploitasi batubara baik perubahan sosial, ekonomi, budaya,
kesehatan maupun lingkungan alam. Dampak penambangan batubara bisa positif bila
perubahan yang ditimbulkannya menguntungkan dan negatif, jika merugikan, mencemari,
dan merusak lingkungan hidup. Dampak yang diakibatkan oleh penambangan batubara
menjadi penting bila terjadi perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar. Adapun
kriteria dampak penting, yaitu : (1) jumlah manusia yang akan kena dampak, (2) luas
wilayah penyebaran dampak, (3) intensitas dan lamanya dampak berlangsung, (4)
banyaknya komponen lingkungan yang terkena dampak, (5) sifat komulatif dampak, dan
(6) berbalik (reversible) atau tidak berbalik (ireversible).
Konsekuensi dari sebuah pembangunan akan dapat membawa dampak terhadap
lingkungan baik dampak positif maupun negatif. Semua manusia berkeinginan bahwa
adanya sebuah kegiatan (usaha) atau pembangunan akan dapat meningkatkan kesejateraan
masyarakat dan mengelola dampak negatif dengan sebaik-baiknya sehingga dapat
dieliminir sehingga kehadiran usaha atau pembangunan tersebut dapat berhasil guna bagi
semua mahluk hidup (manusia, flora dan fauna, air, tanah dan ekosistem lainnya).
Kegiatan pertambangan batubara merupakan kegiatan eksploitasi sumberdaya alam
yang tidak dapat diperbaharui dan umumnya membutuhkan investasi yang besar terutama
untuk membangun fasilitas infrastruktur. Karakteristik yang penting dalam pertambangan
batubara ini adalah bahwa pasar dan harga sumberdaya batubara ini yang sangat prospektif
18
menyebabkan industri pertambangan batubara dioperasikan pada tingkat resiko yang tinggi
baik dari segi aspek fisik, perdagangan, sosial ekonomi maupun aspek politik.
Kegiatan penambangan khususnya batubara dikenal sebagai kegiatan yang dapat
merubah permukaan bumi. Karena itu, penambangan sering dikaitkan dengan kerusakan
lingkungan. Disamping itu kualitas lingkungan di tempat penambangan meningkat dengan
tajam, bukan saja menyangkut kualitas hidup manusia yang berada di lingkungan tempat
penambangan itu, namun juga alam sekitar menjadi tertata lebih baik, dengan kelengkapan
infrastrukturnya. Kegiatan penambangan dapat menjadi daya tarik, sehingga penduduk
banyak yang berpindah mendekati lokasi penambangan tersebut. Sering pula dikatakan
bahwa bahwa kegiatan penambangan telah menjadi lokomotif pembangunan di daerah
tersebut. Kegiatan penambangan dapat menimbulkan dampat negatif terhadap lingkungan,
terutama penambangan yang hanya mementingkan laba, yang tidak menyisihkan dana yang
cukup untuk memulihkan lingkungannya.
Hal ini dapat dipahami jika disadari bahwa investasi telah menelan banyak biaya,
yang bila semuanya dihitung dengan harga dana, yaitu bunga pinjaman, maka faktor yang
paling mudah dihapuskan adalah faktor lingkungan. Kesadaran manusia untuk
meningkatakan kualitas lingkungan dan memperhitungkannya sebagai biaya dalam
kegiatan tersebut, atau dikenal sebagai internasionalisasi biaya eksternal, menyebabkan
perhitungan cost-benefit suatu penambangan berubah. Dalam hal ini, faktor harga
komoditas mineral sangat penting, tetapi lebih penting lagi pergeseran cut off grade, yaitu
pada tingkat dimana suatu jebakan mineral dapat disebut ekonomis.
Sistem penambangan batubara yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang
beroperasi di Provinsi Bengkulu adalah system tambang terbuka (Open Cut Mining).
Penambangan batubara dengan system tambang terbuka dilakukan dengan membuat
jenjang (Bench) sehingga terbentuk lokasi penambangan yang sesuai dengan kebutuhan
penambangan. Metode penggalian dilakukan dengan cara membuat jenjang serta
membuang dan menimbun kembali lapisan penutup dengan cara back filling per blok
penambangan serta menyesuaikan kondisi penyebaran deposit sumberdaya mineral.
Dampak negatif yang ditimbulkan kegiatan penambangan berskala besar, baik
dalam ukuran teknologi maupun investasi, dapat berukuran besar pula. Namun
pengendaliannya lebih memungkinkan ketimbang pertambangan yang menggunakan
teknologi yang tidak memadai apalagi danannya terbatas.
Memang pada kenyataannya, perubahan permukaan bumi yang disebabkan oleh
kegiatan penambangan terbuka dapat mempengaruhi keseimbangan lingkungan. Hal ini
disebabkan kerena dengan mengambil mineral seperti Mangan tubuh tanah atau soil harus
dikupas sehingga hilanglah media untuk tumbuh tumbuhan dan pada akhirnya merusak
19
keanekaragaman hayati yang ada di permukaan tanah yang memerlukan waktu ribuan
tahun untuk proses pembentukannya.
Di samping pengupasan tubuh tanah atau soil dan bopeng-bopengnya permukaan
bumi, penambangan juga menghasikan gerusan batu, mulai dari yang kasar sampai yang
halus yang merupakan sisa atau ampas buangan disebut Tailing. Dan biasanya selalu
menggunung di lokasi penambangan atau dibuang ke sungai sehingga menyebabkan banjir
dan sungai mengalami kedangkalan. Selain itu juga bisa berakibat pada pencemaran sungai
yang menyebabkan ekosistem sungai bisa terganggu. Manusia yang ditinggal disekitar
sungai juga akan terkena dampak dari pencemaran ini.
Dampak Negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan adalah masalah
lingkungan dan dapat diuraikan sebagai berikut :
Pertama, usaha pertambangan dalam waktu yang relatif singkat dapat mengubah
bentuk topografi dan keadaan muka tanah (land impact), sehingga dapat mengubah
keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya;
Kedua, usaha pertambangan dapat menimbulkan berbagai macam gangguan antara
lain; pencemaran akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air, limbah air,
tailing serta buangan tambang yang mengandung zat-zat beracun. Gangguan juga
berupa suara bising dari berbagai alat berat, suara ledakan eksplosif (bahan peledak)
dan gangguan lainnya;
Ketiga, pertambangan yang dilakukan tanpa mengindahkan keselamatan kerja dan
kondisi geologi lapangan, dapat menimbulkan tanah longsor, ledakan tambang,
keruntuhan tambang dan gempa.
Dampak hidrologi akibat pertambangan ini berpengaruh pada penggunaan air
akuifer dangkal, dimana dapat menurunkan level air di sekitarnya dan juga dapat
mengubah arah aliran dalam akuifer; pencemaran akuifer akibat aktivitas
penambangan terjadi karena infiltrasi atau perkolasi air tambang, serta akibat
peningkatan infiltrasi curah hujan pada tumpukan batubara. Pada tumpukan
batubara, akibat adanya infiltrasi air hujan pada tumpunkan batubara dapat
mengakibatkan peningkatan limpasan air yang mempunyai kualitas buruk serta
membawa material yang tererosi. Hal ini mengakibatkan terjadinya peresapan air
dengan kualitas rendah pada akuifer air tanah dangkal, atau terjadinya aliran air
dengan kualitas buruk menuju sungai, sehingga dapat mencemari air tanah dalam
jangka panjang baik pada akuifer dangkal maupun sungai. Danau yang terbentuk
akbat penambangan batubara, airnya cenderung bersifat asam.Sementara itu asam
sulfat yang terbentuk ketika mineral yang mengandung sulfida teroksidasi pada saat
terjadinya kontak udara dapat menyebabkan terjadinya hujan asam. Di samping itu
20
sisa-sisa bahan kimia dari bahan peledak biasanya bersifat racun dan meningkatkan
jumlah air yang terce-
mar dalam jangka waktu panjang.
B.Kegiatan Industri
Perkembangan industri yang sangat cepat di Provinsi Bengkulu baik industri karet
(pabrik karet), industri sawit (pabrik CPO), mengahsilkan limbah dalam jumlah yang relatif
besar. Pembuangan limbah yang kurang terkontrol karena kurangnya teknologi untuk
membuat limbah menjadi barang yang terurai atau ramah lingkungan mengakibatkan
terjadinya penurunan terhadap kualitas lingkungan.
Limbah yang dihasilkan dari kegiatan industri harus dilakukan pengolahan terlebih
dahulu untuk mengurangi dampak terhadap kualitas lingkungan. Limbah adalah buangan
yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga,
yang lebih dikenal sebagai sampah) atau juga dapat dihasilkan oleh alam yang
kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena
tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan
kimia organik dan anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah
dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga
perlu dilakukan penanganan terhadap limbah.penanganan limbah ini tentunya tidak hanya
sekedar mengolahnya/ mendaur ulangnya langsung tanpa memperhatikan jenis limbah dan
cara penangannanya klarena dari setiap limbah yang ada mempunyai ciri berbeda terhadap
dampak yang ditimbulkanya.
Dampak yang ditimbulkan limbah terutama limbah kimia biasanya tidak sekedar
berdampak pada orang yang terkena tetapi dapat mengakibatkan turunannya mengalami hal
serupa. Dari karakteristik limbah di atas pencemaran limbah juga didukung oleh adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi pencemaran limbah terhadap lingkungan diantaranya:
1.Volume Limbah.
Tentunya semakin banyak limbah yang dihasilkan oleh oleh suatu industry tertentu
dampak yang akan ditimbulkan semakin besar pula terasa.
2.Kandungan Bahan Pencemar
Kandunngan yang terdapat di limbah ini mengakibatkan pencemaran lingkungan
apabila kandunganya berbahaya dapat mengakibatkan pencemaran yang fatal bahkan
dapat membunuh manusia serta mahluk hidup sekitar.
3.Frekuensi Pembuangan Limbah
Pada saat sekarang ini pembuangan limbah semakin naik frekuensinya dikarenakan
banyaknya industry yang berdiri. Dengan semakin banyak frekuensi limbah tentunya
pembuangan limbah menjadi tidak terkandali dan usaha untuk mengolahnya tidak
21
dapat maksimal dikarenakan pengolahan limbah yang masih jauh dari harapan kita
semua.
C.Kegiatan Rumah Tangga
Aktivitas sehari-hari yang kita lakukan seperti mandi, mencuci dan berbagai
aktifitas lain yang kita anggap sepele namun menghasilkan sisa buangan, ternyata dapat
membahayakan bagi manusia dan lingkungan. Dari sekian banyak aktifitas manusia
ternyata yang paling berbahaya adalah limbah rumah tangga. Walaupun kita tidak hidup di
wilayah dengan jumlah limbah industri yang tidak diolah dapat membahayakan manusia
dengan limbah rumah tangga yang tidak diolah serta dihasilkan setiap hari. Dapat
dikatakan kerusakan karena limbah rumah tangga lebih besar dari pada limbah industri.
Limbah rumah tangga yang dirasa sangat berbahaya bagi lingkungan antara lain
limbah bahan kimia baik dari MCK, emisi gas CO2 maupun aktifitas lain dan sampah
plastik. Limbah plastik merupakan salah satu musuh besar yang banyak diperangi oleh
berbagai pihak yang peduli terhadap lingkungan. Berikut adalah dampak negatif dari
limbah rumah tangga yang masuk ke dalam lingkungan laut:
1. Eutrofikasi, penyebab terbesar adalah sungai yang bermuara di laut, limbah yang
terbawa salah satunya adalah bahan kimia yang digunakan sebagai pupuk dalam
pertanian maupun limbah dari peternakan dan manusia. Salah satu yang paling sering
ditemukan adalah detergen. Eutrofikasi adalah perairan menjadi terlalu subur sehingga
terjadi ledakan jumlah alga dan fitoplankton yang saling berebut mendapat cahaya untuk
fotosintesis. Karena terlalu banyak maka alga dan fitoplankton di bagian bawah akan
mengalami kematian secara massal, serta terjadi kompetisi dalam mengkonsumsi O2
karena terlalu banyak organisme pada tempat tersebut. Sisa respirasi menghasilkan
banyak CO2 sehingga kondisi perairan menjadi anoxic dan menyebabkan kematian
massal pada hewan-hewan di perairan tersebut.
2. Peningkatan emisi CO2 akibat dari banyaknya kendaraan, penggunaan listrik berlebihan
serta buangan industri akan memberi efek peningkatan kadar keasaman laut.
Peningkatan CO2 tentu akan berakibat buruk bagi manusia terkait dengan kesehatan
pernafasan. Salah satu fungsi laut adalah sebagai penyerap dan penetral CO2 terbesar di
bumi. Saat CO2 di atmosfir meningkat maka laut juga akan menyerap lebih banyak CO2
yang mengakibatkan meningkatnya derajat keasaman laut. Hal ini mempengaruhi
kemampuan karang dan hewan bercangkang lainnya untuk membentuk cangkang. Jika
hal ini berlangsung secara terus menerus maka hewan-hewan tersebut akan punah dalam
jangka waktu dekat.
3. Plastik, yang menjadi masalah terbesar dan paling berbahaya. Banyak hewan yang hidup
pada atau di laut mengkonsumsi plastik karena kesalahan,karena tak jarang plastik yang
22
terdapat di laut akan tampak seperti makanan bagi hewan laut. Plastik tidak dapat
dicerna dan akan terus berada pada organ pencernaan hewan ini, sehingga menyumbat
saluran pencernaan dan menyebabkan kematian melalui kelaparan atau infeksi. Plastik
terakumulasi karena mereka tidak mudah terurai, mereka akan photodegrade (terurai
oleh cahaya matahari) pada paparan sinar matahari, tetapi hanya dapat terpjadi dalam
kondisi kering. Sedangkan dalam air plastik hanya akan terpecah menjadi potongan-
potongan yang lebih kecil, namun tetap polimer, bahkan sampai ke tingkat molekuler.
Ketika partikel-partikel plastik mengambang hingga seukuran zooplankton dan
dikonsumsi oleh hewan lain yang lebih besar, dengan cara inilah plastik masuk ke
dalam rantai makanan. Banyak dari potongan plastik ini berakhir di perut burung-
burung laut dan hewan laut lain termasuk penyu. Bahan beracun yang digunakan dalam
pembuatan bahan plastik dapat terurai dan masuk ke lingkungan ketika terkena air.
Racun ini bersifat hidrofobik (berikatan dengan air) dan menyebar di permukaan laut.
Dengan demikian plastik jauh lebih mematikan di laut daripada di darat. Kontaminan
hidrofobik juga dapat terakumulasi pada jaringan lemak, sehingga racun plastik
diketahui mengganggu sistem endokrin ketika dikonsumsi, serta dapat menekan sistem
kekebalan tubuh atau menurunkan tingkat reproduksi.
23
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. KETERKAITAN DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945
Merencanakan dan menyusun suatu peraturan daerah tentu tidak bisa dipisahkan
dengan eksistensi dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI Tahun 1945) yang merupakan landasan hukum tertinggi di Indonesia. Suatu
peraturan daerah tidak dapat dibentuk jika substansi hukum yang akan diatur
bertentangan dengan kaidah yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup dijelaskan bahwa Lingkungan Hidup
merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Berdasarkan bunyi
ketentuan tersebut, dapat diketahui secara eksplisit bahwa lingkungan hidup merupakan
suatu kesatuan unsur-unsur lingkungan hidup yang keberadaannya tidak dapat
dipisahkan dengan manusia dan kehidupannya termasuk makhluk hidup lainnya. Hal
ini berarti, segala sesuatu yang terjadi dalam kaitannya dengan lingkungan hidup secara
langsung maupun tidak langsung akan memberi dampak pada aktivitas manusia serta
makhluk hidup lainnya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada dasarnya
manusia serta makhluk hidup lainnya menjadikan lingkungan hidup sebagai lahan
untuk hidup dan beraktivitas.
UUD NRI Tahun 1945 sangat mengakomodir akan pentingnya lingkungan
hidup. Hal ini tercermin secara tegas dalam Pasal 28 A bahwa setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan penghidupannya. Selain itu,
pentingnya arti lingkungan hidup bagi manusia ditegaskan juga dalam Pasal 28 H ayat
(1) yang menyebutkan bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah daerah yang
telah diberikan berdasarkan Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 untuk membuat
produk hukum daerah, dapat mengatur sendiri terkait dengan perlindungan,
pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup di daerahnya selama pengaturan tersebut
selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada di dalam Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.
24
KETERKAITAN DENGAN UNDANG-UNDANG
1. Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1960 tentang Peraturan tentang Dasar
Pokok-pokok Agraria;
Secara umum Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1960 tentang Peraturan
tentang Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) dapat dikatakan lebih berorientasi
kepada konservasi sumber daya alam (SDA) khususnya tanah. Dengan tegas
dinyatakan dalam Pasal 15 UUPA, bahwa dengan memperhatikan pihak taraf
ekonomi lemah, maka setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai
hubungan hukum dengan tanah wajib memelihara tanah itu, termasuk menambah
kesuburannya serta mencegah kerusakannya. UUPA bahkan mengancam pelanggar
ketentuan itu dengan pidana atau hukuman kurungan selama-lamanya 3 Bulan
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000 (Pasal 52 ayat (1)).
Orientasi konservasi dari UUPA juga dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (2)
huruf a. Amanah untuk memelihara bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya tidak hanya dibebankan kepada setiap orang yang
mempunyai hubungan hukum dengannya tetapi juga merupakan tanggung jawab
dan wewenang Negara. Di samping berwenang untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang
angkasa, Negara juga mengatur dan menyelenggaraan pemeliharaannya. Hal ini
ditujukan agar bumi, air dan ruang angkasa tersebut dapat memberi manfaat kepada
bangsa Indonesia secara berkelanjutan atau sepanjang masa. Di samping
berorientasi konservasi, UUPA juga mengandung prinsip nasionalisme, bahwa
bumi, air dan ruang angkasa Indonesia harus dimanfaatkan utamanya untuk
kepentingan Warga Negara Indonesia (WNI). Hanya warga-negara Indonesia dapat
mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa (Pasal
9 ayat (1)).
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan ketentuan Pokok
Pertambangan;
Sejak dari konsiderans sudah terlihat bahwa undang-undang ini beorientasi
kepada eksploitasi. Ketentuan “Menimbang” pada huruf a menyatakan, bahwa guna
mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi Nasional dalam menuju
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, materil dan nonmateril berdasarkan
Pancasila maka perlulah dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan
membina segenap kekuatan ekonomi potensiil di bidang pertambangan menjadi
kekuatan ekonomi riil. Secara yuridis, peraturan mengenai pertambangan tidak
hanya terdiri dari undang-undang nomor 11 tahun 1967, ada sumber-sumber hukum
25
pertambangan lain4 yang cenderung bersifat khusus (ius special) yang substansi
pengaturannya disesuaikan dengan kebutuhan dunia pertambangan terkini. Namun
yang terpenting, kegiatan pertambangan tentu memiliki korelasi yang erat dengan
keberlangsungan lingkungan hidup terutama dalam mengendalikan pencemaran dan
kerusakan lingkungan.
3. Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya;
Berdasarkan konsiderans dan batang tubuhnya terlihat bahwa secara
keseluruhan undang-undang ini berorientasi kepada konservasi, bukan kepada
produksi. Konsiderans “Menimbang” huruf a menyatakan, bahwa SDA hayati
Indonesia dan ekosistemnya perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras,
serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan
umat manusia pada umumnya, baik masa kini mau pun masa depan. Sejalan dengan
itu, Konsiderans “Menimbang” huruf d juga menegaskan, bahwa untuk menjaga
agar pemanfaatan SDA hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, maka
diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga selalu terpelihara dan mampu
mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri. Oleh
karena itu, Pasal 2 undang-undang ini memuat “asas” konservasi SDA hayati dan
ekosistemnya yaitu pelestarian kemampuan dan pemanfaatan SDA hayati dalam
ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Hal itu dikuatkan lagi oleh Pasal 3 yang
menyatakan tujuan konservasi SDA hayati dan ekosistemnya adalah untuk
mengusahakan terwujudnya kelestarian SDA hayati serta keseimbangan
ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Peraturan ini juga menyatakan bahwa kewajiban menjaga kelangsungan
fungsi perlindungan wilayah juga merupakan kewajiban setiap pemegang hak atas
tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan
(Pasal 9 ayat (1)). Secara rinci, orientasi konservasi dari UU ini dapat dilihat dari
ruang lingkup kegiatan dalam pengelolaan sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Pasal 5 undang-undang ini menyatakan, konservasi SDA hayati dan
ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:
a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alami hayati dan ekosistemnya.
4 H. Salim HS., SH, Hukum Pertambangan di Indonesia, 2005, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 17.
26
4. Undang-Undang Nomor 41 Nomor 1999 tentang Kehutanan;
Jika dilihat secara keseluruhan mulai dari konsiderans sampai kepada batang
tubuhnya, maka tergambar bahwa undang-undang ini secara normatif berorientasi
pada eksploitasi dan konservasi. Mungkin hal ini dapat dimaklumi karena lebih dari
3 (tiga) dekade sebelumnya, hutan Indonesia sudah (hampir) hancur akibat dari
eksploitasi yang difasilitasi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Konsiderans “Menimbang” huruf a menunjukkan kecenderungan seperti itu, bahwa
hutan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara wajib disyukuri, diurus, dan
dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang mau pun generasi mendatang.
Para pembentuk undang-undang ini menyadari bahwa hutan cenderung
menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara
optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia,
adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat (huruf b).
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Pemanfaatan hutan bertujuan
untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat
secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya (Pasal 23). Kemudian,
Pasal 24 memberi kelonggaran bagi usaha pemanfaatan kawasan hutan, bahwa
pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali
pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Bahkan,
kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru
pun masih bisa dimanfaatkan yang diatur sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (Pasal 25). Begitu juga dengan hutan lindung juga dapat
dimanfaatkan untuk pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan
bukan kayu (Pasal 26 ayat (1)). Hutan produksi dapat dimanfaatkan untuk
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu
dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu (Pasal28 ayat
(1)).
5. Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air;
Undang-Undang ini memberikan perhatian secara sungguh-sungguh
terhadap keseimbangan antara peningkatan nilai ekonomis produksi air dengan
konservasi Sumber Daya Alam (SDA). Bahkan jika dicermati sejak dari pasal-pasal
awal sampai akhir, nuansa konservasi SDA lebih mewarnai. Ungkapan ini
dikemukakan untuk tidak menyatakan bahwa UUSDA ini sebenarnya lebih berat
memberikan perhatian terhadap upaya mengkonservasi atau melestarikan SDA.
Dalam setiap tahapan pengelolaan SDA terdapat ketentuan yang menekankan pada
27
upaya konservasi. Bahkan dalam ketentuan mengenai pemanfaatan SDA secara
komersialpun masih mencantumkan dengan tegas perlunya melestarikan SDA.
Keseimbangan perhatian terhadap nilai ekonomis produksi dengan
konervasi sudah ditunjukkan dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4. Dalam ketiga
Pasal tersebut dinyatakan :
a. SDA mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang harus
diujudkan secara selaras. SDA di satu pihak mempunyai fungsi ekonomi dalam
artian air dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan nilai ekonomis tertentu atau
keuntungan tertentu baik secara langsung seperti penjualan air itu sendiri
maupun tidak langsung seperti pemanfaatan daya air untuk menghasilkan sesuatu
yang lain yang kemudian dijual. Namun di pihak lain, fungsi sosial dan
lingkungan hidup dari air tidak boleh diabaikan dan bahkan wajib diselaraskan
dengan fungsi ekonomisnya. Air dari sudah lingkungan hidup mempunyai fungsi
untuk melestarikan unsur-unsur dari SDA lainnya seperti tanah pertanian,
pepohonan, pencegahan terjadinya tanah kritis, dan hutan. Kelestarian unsur-
unsur SDA lain tersebut pada gilirannya akan dapat mencegah terjadinya daya
rusak air. Ketika daya rusak air dapat diminimalisir, maka nilai ekonomis
produksi air akan juga dapat diujudkan;
b. SDA harus dikelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan
hidup. Ketentuan ini mengarahkan agar pengelolaan SDA sejak dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi harus diarahkan pada
upaya keselarasan antara konservasi dan pendayagunaan SDA serta pengendalian
daya rusak air. Begitu juga pengelolaan SDA harus melibatkan lintas sektor,
lintas pemilik kepentingan, dan lintas wilayah administratif. Terakhir,
pengelolaan SDA harus dilaksanakan dengan memperhatikan keseimbangan
ekosistemmdan daya dukung lingkungan; dan
c. Pengelolaan SDA berlandaskan pada asas kelestarian dan keseimbangan.
6. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
UU ini memberikan perhatian yang relatif seimbang terhadap peningkatan
produksi dan upaya memelihara konservasi sumberdaya ikan. Pasal 2 dan Pasal 3
memberikan gambaran yang jelas tentang perhatian yang seimbang tersebut. Kedua
Pasal tersebut secara tekstual menentukan, yaitu:
a. Di antara asas-asas yang harus digunakan dalam pengelolaan perikanan adalah
asas efisiensi dan kelestarian berkelanjutan. Efisiensi memberikan arahan agar
pengelolaan sumberdaya ikan dapat menghasilkan ikan baik perikanan laut
maupun darat (tambak) sebanyak-banyaknya dengan biaya yang relatif ditekan
28
serendah mungkin. Dengan asas demikian, proses terjadinya eksploitasi
terhadap sumberdaya ikan terutama perikanan laut mendapat pembenaran dari
asas tersebut. Namun demikian, pengelolaan sumberdaya perikanan juga
dituntut untuk mendasarkan juga asas lainnya yaitu kelestarian sumberdaya ikan
secara berkelanjutan. Penggunaan dua konsep yaitu kelestarian dan
berkelanjutan yang mempunyai semangat yang sama menunjukkan
kesungguhan pada upaya melestarikan sumberdaya ikan. Kelestarian
mengandung makna bahwa sumberdaya ikan di satu sisi boleh dimanfaatkan
melalui kegiatan penangkapan, namun di sisi lain hendaknya tidak melakukan
penangkapan secara eksploitatif. Sumberdaya ikan harus terbuka kemungkinan
untuk berkembang-biak dan hal ini hanya dapat diupayakan jika benih-benih
atau ikan-ikan yang kecil tidak terjaring. Berkelanjutan mempunyai arti bukan
hanya sumberdaya ikan yang terus berkembang biak dengan membiarkan anak-
anak ikan terus tumbuh dan bertelur, juga bermakna sebagai pemberian
kesempatan kepada generasi bangsa Indonesia yang akan datang untuk
menikmati sumberdaya ikan.
b. Di antara tujuan yang hendak diujudkan dari peraturan tersebut adalah
peningkatan produksi dan konservasi sumberdaya ikan.
7. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ;
Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya ketersediaannya
tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal tersebut, dan untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, undang-undang ini mengamanatkan
perlunya dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam
dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber
daya alam dan sumber daya buatan, serta yang dapat memberikan pelindungan
terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup
akibat pemanfaatan ruang.
Kaidah penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam
setiap proses perencanaan tata ruang wilayah, sebagaimana dijelaskan dalam
Penjelasan Umum butir 3. Dengan kata lain, orientasi penataan ruang dalam hal ini
adalah dalam rangka mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional dengan :
29
a. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber
daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. Terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Pasal 3).
8. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil;
Secara umum, peraturan ini beorientasi konservasi dan eksploitasi secara
relatif berimbang. Hal itu terlihat sejak dari konsiderans “Menimbang” huruf a dan
b. Ketentuan ini menyatakan bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
(WP3K) perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan
datang. Sebagai bagian dari SDA, WP3K memiliki keragaman potensi SDA yang
tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya,
lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa. Oleh karena itu perlu dikelola
secara berkelanjutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan
partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang sejak dari konsiderans
“Menimbang” huruf a dan b. Ketentuan ini menyatakan bahwa Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (WP3K) perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi
generasi yang akan datang.
Sebagai bagian dari SDA, WP3K juga memiliki keragaman potensi SDA
yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya,
lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa. Oleh karena itu perlu dikelola
secara berkelanjutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan
partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum
nasional berdasarkan norma hukum nasional.
9. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah; dan
Kehadiran undang-undang ini cukup relevan kiranya untuk dilihat sebagai
upaya solutif atas persoalan sampah. Dalam konteks sebagai upaya solutif tersebut,
maka regulasi muncul dan diperlukan guna memberi (jaminan) kepastian hukum,
kejelasan tanggungjawab dan kewenangan Pemerintah, Pemda, serta peran
masyarakat dan dunia usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara
proporsional, efektif dan efisien (Konsiderans huruf d).
30
Namun, karena UU ini relatif masih baru, maka belum dapat dilihat sejauh
mana peraturan tersebut dapat berjalan dan berlaku secara efektif dalam
menyelesaikan persoalan lingkungan melalui pengelolaan sampah. Sekalipun
demikian, permasalahan sampah juga merupakan permasalahan lingkungan hidup
sehingga layak untuk ditelaah terkait regulasi dan penegakannya.
10. Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
Peraturan tersebut pada dasarnya telah memberikan perhatian yang sama
terhadap peningkatan produksi di satu pihak dan konservasi sumberdaya mineral
dan batubara (minerba) sendiri dan lingkungannya. Kewenangan negara untuk
mengelola sumberdaya mineral, di samping dijalankan oleh Pemerintah pusat, juga
dilakukan oleh Pemda baik provinsi maupun kabupaten/kota. Bahkan dalam kondisi
tertentu DPRRI dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga dilibatkan
dalam pelaksanaan kewenangan Negara. Hal Ini menunjukkan bahwa semangat
otonomi daerah sudah mendasari pembentukan peraturan mengenai pertambangan
mineral dan batubara.
11. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Pemrakarsa Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup sepertinya menyadari akan pentingnya lingkungan
hidup yang berkualitas bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Hal ini tercermin
pada landasan filosofis dalam butir koniderans undang-undang tersebut yang
menjelaskan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi
setiap warga negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H Undang-Undang
Dasara Negara Republik Indonesia.
Sebagaimana digambarkan dalam konsiderans huruf b undang-undang
tersebut, dengan terbitnya Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup disadari merupakan salah satu indikator keberhasilan dari
bagian rencana strategi pemerintah dalam mewujudkan program pembangunan
ekonomi nasional. Tanpa adanya pengaturan yuridis mengenai lingkungan hiduo
tentu akan membawa dampak negatif yang sangat luas di masyaarakat.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan hidup secara umum pada prinsipnya telah mengakomodir
permasalahan lingkungan hidup, pencegahan dari kerusakan dan pencemaran serta
penegakan hukumnya. Sektor-sektor tersebut meliputi limbah industri,
pertambangan, perkebunan dan lain sebagainya. Namun, kehadiran Undang-
Undang ini tidak serta merta dapat menjawab setiap permasalahan yang ada secara
31
spesifik di daerah-daerah. Untuk itu diperlukan adanya peraturan tindak lanjut atau
pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan
Menteri dan Peraturan Daerah.
12. UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PERKEBUNAN
Perkebunan merupakan segala kegiatan yang mengusahakan tanaman
tertentu pada tanah dan/ atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai,
mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen. Mencermati definisi
tersebut, secara intristik dapat diketahui bahwa Perkebunan merupakan suatu
kegiatan usaha yang dilakukan secara sistematis. Dalam mengusahakan suatu
kegiatan perkebunan, selain dilakukan secara personal oleh warga masyarakat juga
dilakukan melalui badan hukum. Permasalahan yang muncul adalah apabila dalam
melakukan kegiatan usaha perkebunan tersebut adalah permasalahan limbah
pembunagan. Usaha perkebunan yang dilakukan oleh suatu badan hukum seperti
Perseroan Terbatas pada umumnya memiliki izin-izin tertentu yang meliputi aspek
perlindungan lingkungan hidup seperti Izin Analisi Mengenai Dampak Lingkungan,
Surati Izin Usaha Perkebunan dan izin lainnya. Menyimak pada izin-izin tersebut
dapat dipahami bahwa praktek kegiatan dalam usaha perkebunan dapat
mempengaruhi kualitas lingkungan sekitar.
B. KETERKAITAN DENGAN INSTRUMEN INTERNASIONAL
Permasalahan lingkungan hidup juga tidak bisa dilepaskan dengan berbagai
perjanjian internasional (convention/treaty/conference) yang dibentuk negara-negara
baik melalui kerja sama multilateral ataupun global. Perjanjian internasional yang
berkaitan dengan lingkungan hidup dibentuk dengan berdasarkan pada suatu prinsip
bahwa permasalahan lingkungan hidup beserta ekosistem di dalamnya merupakan
kebutuhan universal yang suka atau tidak suka menjadi masalah yang harus menjadi
daftar tunggu pengaturan oleh setiap negara. Ekses lingkungan hidup yang lintas
regional juga merupakan alasan betapa penting setiap wilayah perlu juga mengacu pada
berbagai perjanjian internasional yang ada sekalipun secara konkrit belum tentu suatu
negara telah meratifikasi perjanjian internasional tertentu.
Cukup banyak perjanjian internasional yang bersinggungan dengan lingkungan
hidup yang perlu untuk diketahui untuk dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
membuat suatu regulasi terutama peraturan daerah. Diantaranya adalah Konferensi
Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hukum Laut (United Nations Conference on the
Law of the Sea) pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika. Dalam konverensi ini telah
32
ditandatangani suatu perjanjian internasional yang mencakup hampir seluruh
permasalahan di bidang kelautan. Disamping itu terdapat juga konferensi internasional
tentang perubahan iklim, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 Tentang Pengesahan
United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) yang diselenggarakan di Bali
pada tahun 2007. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto
Protokol To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Protokol
Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan
Iklim). Keseluruhan bentuk kerja sama internasional tersebut menunjukkan bahwa
secara luas, masyarakat universal amat menyadari pentingnya lingkungan hidup yang
bermutu baik.
C. KETERKAITAN DENGAN PERATURAN PEMERINTAH
Ada banyak Peraturan Pemerintah yang merupakan tindak lanjut atau
pelaksanaan dari Undang-Undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup
sebagaimaana yang telah disebutkan. Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izini Lingkungan. Peraturan Pemerintah dimaksud
dibuat untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33, Pasal 41, dan Pasal 56 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Peraturan Pemerintah tersebut mendeskripsikan mengenai izin lingkungan yaitu Izin
Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan Usaha
dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin Usaha dan/atau
Kegiatan. Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup oleh peraturan pemerintah ini wajib memiliki Amdal.
1. Peraturan Pemerintah 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan;
Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pendelegasian dari Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan
pemerinta tersebut juga merupakan suatu bentuk konkrit dari parameter penilaian
kualitas atau mutu lingkungan hidup. Dengan adanya parameter tersebut,
diharapkan peraturan pemerintah tersebut dapat meminimalisir dampak lingkungan
hidup yang timbul sebagai akibat dari aktivitas, kegiatan atau setiap usaha yang
dilakukan manusia sebagaimana tersebut dalam isi konsideran.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas dan
Pengendalian Pencemaran Air;
33
Peraturan pemerintah ini merupakan pendelegasian dari Undang-Undang Nomor 07
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Disadari bahwa air merupakan komponen
lingkungan hidup yang penting bagi kelangsungan hidup dan perikehidupan
manusia. Secara obyektif pada dasarnya peraturan pemerintah ini merupakan aturan
pelaksanaan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan hidup. Peraturan pelaksanaan tersebut dianggap
perlu sebagai bentuk pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
secara bijaksana dengan memperlihatkan kepentingan generasi sekarang dan
mendatang serta keseimbangan ekologis.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran
Udara;
Udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta
mahluk hidup lainnya dipandang penting untuk dijaga dan dipelihara kelestarian
fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan manusia serta
perlindungan bagi makhluk hidup lainnya. Peraturan pemerintah tersebut Udara
dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup, maka
udara perlu dipelihara, dijaga dan dijainin mutunya melalui pengendalian
pencemaran udara
4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran
dan atau Perusakan Laut;
Menurut peraturan pemerintah ini lingkungan laut beserta sumber daya alamnya
yang berdasarkan Wawasan Nusantara merupakan salah satu bagian lingkungan
hidup yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, berfungsi sebagai ruang
bagi kehidupan Bangsa. Pengelolaan lingkungan laut beserta sumber daya alamnya
bertujuan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat
dan kelangsungan hidup makhluk hidup lainnya baik masa sekarang maupun masa
yang akan datang. Meningkatnya kegiatan pembangunan di darat dan di laut
maupun pemanfataan laut beserta sumber daya alamnya dapat mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan laut yang akhirnya menurunkan mutu
serta fungsi laut.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan Dan
Atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan
Dan Atau Lahan;
Hutan dan atau lahan merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai
fungsi, baik ekologi, ekonomi, sosial maupun budaya, yang diperlukan untuk
menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, karena itu perlu
dilakukan pengendalian terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan
34
hidup. Kebakaran hutan dan atau lahan merupakan salah satu penyebab kerusakan
dan atau pencemaran lingkungan hidup, baik berasal dari lokasi maupun dari luar
lokasi usaha dan atau kegiatan. Kebakaran hutan dan atau lahan telah menimbulkan
kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, baik nasional maupun lintas
batas negara, yang mengakibatkan kerugian ekologi, ekonomi, sosial dan budaya.
Untuk itu diperlukan adanya legislasi yang tegas untuk mengakomodir
permasalahan tersebut.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun;
Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat dengan B3 adalah bahan
yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup,
dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup
manusia serta makhluk hidup lainnya Meningkatnya kegiatan pembangunan di
berbagai bidang terutama bidang industri dan perdagangan, terdapat kecenderungan
semakin meningkat pula penggunaan bahan berbahaya dan beracun. Untuk
mencegah terjadinya dampak yang dapat merusak lingkungan hidup, kesehatan
manusia, dan makhluk hidup lainnya diperlukan pengelolaan bahan berbahaya dan
beracun secara terpadu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestraian Alam;
Peraturan pemerintah tersebut merupakan pelaksanaan dari UndangUndang Nomor
5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
dipandang perlu mengatur kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
dengan Peraturan Pemerintah.. Kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
merupakan kekayaan alam yang sangat tinggi nilainya, karena itu perlu dijaga
keutuhan dan kelestarian fungsinya untuk dapat dimanfaatkan bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan;
Peraturan Pemerintah ini untuk melaksanakan Pasal 22, Pasal 39, Pasal 66, Pasal
80, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan setelah
diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan
Kawasan Hutan. Untuk mengatasi aju pertumbuhan pembangunan nasional
berkelanjutan yang semakin tinggi diperlukan beberapa langkah strategis yang
35
dapat mendorong pertumbuhan investasi, percepatan pembangunan hutan tanaman,
pengendalian degradasi hutan dan peningkatan perekonomian nasional termasuk
perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar hutan melalui deregulasi dan
debirokratisasi yang dilandasi prinsip good governance dan pengelolaan hutan
lestari.
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan
yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang
berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah
hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah
topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh
aktivitas daratan. Sesuai ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, dengan terjadinya penurunan daya dukung Daerah Aliran
Sungai yang dicirikan dengan terjadinya banjir, tanah longsor, erosi, sedimentasi
dan kekeringan, yang dapat mengakibatkan terganggunya perekonomian dan tata
kehidupan masyarakat, maka daya dukung Daerah Aliran Sungai harus segera
ditingkatkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air, sebagian kewenangan pemerintah dalam
pengelolaan sumber daya air dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah, dalam
rangka mendukung terselenggaranya pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
D. KETERKAITAN DENGAN PERATURAN MENTERI
Peraturan Menteri meupakan peraturan perundang-undangan yang tidak
termasuk hierarki peraturan perundang-undangan namun merupakan salah satu jenis
peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan
Menteri pada dasarnya merupakan peraturan internal kelembagaan sebagai bentuk
pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi untuk melaksanakan
kegiatan yang bersifat teknis sesuai dengan kelembagaan masing-masing.Peraturan
Menteri yang berkaitan dengan lingkungan hidup banyak sekali yang sudah diterbitkan.
Diantaranya adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006
tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Peraturan ini dibuat untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup telah ditetapkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001 tentang Jenis Usaha dan/atau
36
Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup.
E. PERATURAN DAERAH
Provinsi Bengkulu diketahui belum mengatur secara kompleks regulasi
mengenai lingkungan hidup. Padahal sebagai salah satu Provinsi yang telah diberikan
hak otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, Provinsi Bengkulu
perlu untuk mengatur secara hukum peraturan daerah tentang Lingkungan Hidup.
Terlebih lagi, dengan tingkat kemajuan ekonomi daerah yang cukup baik dan seiring
dengan semakin banyak dan maraknya investor, industri, perkebunan, pertambangan
dan lain sebagainya di Provinsi Bengkulu, harus disadari akan memberikan dampak
yang luas terhadap lingkungan hidup di Provinsi Bengkulu. Peraturan daerah menjadi
penting untuk diatur terutama untuk menghindari terjadinya pencemaran dan
kerusakan lingkungan di Provinsi Bengkulu yang tentunya lambat laun dapat
merugikan penghidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Pengaturan tentang lingkungan hidup dalam bentuk peraturan daerah pada
dasarnya telah diterbitkan melalui Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu Nomor 06
Tahun 2005 tentang Penetapan Baku Mutu Air dan Kelas Air Sungai Lintas
Kabupaten/Kota Dalam Provinsi Bengkulu. Namun, substansi yuridis dari peraturan
daerah tersebut dirasa belum cukup untuk memberikan pengaturan secara komperhensif
mengenai lingkungan hidup. Sehingga. pengaturan baru tentang lingkungan hidup di
Provinsi Bengkulu mutlak diperlukan.
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
37
A. LANDASAN FILOSOFIS
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
Tahun 1945) merupakan landasan hukum utama (fundamental) dalam
merumuskan arah dan dasar pengambilan kebijakan sosial, politik dan hukum
kenegaraan. Pengambilan kebijakan ini pada dasarnya disesuaikan dengan dasar
kebutuhan hukum dan kondisi sosial yang terjadi termasuk dengan memberi
ruang pengaturan secara khusus mengenai lingkungan hidup. Dalam Pembukaan
(Preambule) UUD NRI Tahun 1945 Alenia ke- IV disebutkan bahwa :
UUD NRI Tahun 1945:
PEMBUKAAN (Preambule)
…Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia…
Secara eksplisit, dalam pengertian yang termaktub dalam serangkaian kalimat
tersebut tercermin beberapa tujuan nasional bangsa Indonesia. Lingkungan hidup
sebagai salah satu aspek penting demi keberlangsungan dan keberlanjutan kehidupan
yang harus dilindungi, dikelola, dan dilestarikan mutlak harus diperhatikan oleh negara
dan segenap masyarakat. Tentunya tindakan untuk melindungi, mengelola dan
melestarikan lingkungan hidup tersebut tidak cukup dilakukan dengan cara-cara
tradisional semata. Perlu dilakukan upaya untuk melegalisasi berbagai aspek tentang
lingkungan hidup secaa tegas. Sehingga, dengan adanya perlindungan secara hukum
tersebut diharapkan tujuan nasional sebagaimana telah disebutkan dapat tercapai.
Selain sebagai landasan hukum utama, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 juga merupakan pengintegrasian landasan falsafah dan nilai-nilai
moral bangsa Indonesia. Berbagai aspek yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945
mengisyaratkan cara berfikir dan cerminan kehendak bangsa Indonesia yang salah
satunya adalah menghendaki terjaganya lingkungan hidup beserta ekosistem yang ada
di dalamnya. Senantiasa melindungi, merawat dan melestarikan lingkungan hidup
bukan barang baru di mata bangsa Indonesia. Menjaga lingkungan hidup merupakan
suatu penghargaan terhadap alam yang merupakan salah satu sumber penghidupan
masyarakat sejak dahulu.
Di Sumatera Barat, dikenal dengan tanah ulayat beserta hak-hak masyarakat
adat di dalamnya. Tanah Ulayat merupakan tanah adat yang harus dilindungi dan dijaga
kelestariannya untuk keberlangsungan hidup masyarakat setempat terutama di sebagian
38
wilayah di Sumatera Barat. Di lokasi tanah ulayat, masyarakat terutama pendatang luar
dilarang keras untuk merusak dan mencemarkan tanah tersebut. Bagi yang melanggar,
pelaku perusakan dan pencemaran tanah ulayat tersebut akan diberikan sanksi tegas
oleh para pemangku adat. Pelrindungan terhadap lingkungan hidup beserta
ekosistemnya sebagaimana yang terjadi di Sumatera Barat juga ditemui di berbagai
pelosok daerah di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa sejak dahulu masyarakat
Indonesia sangat menghargai alam dan lingkungannya.
Pentingnya melindungi, mengelola dan melestarikan lingkungan hidup diatur secara
implisit dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UUD NRI Tahun 1945:
BAB XA
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 28 A
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya”.
Pasal 28 H ayat (1)
‘Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan’
Pasal-pasal tersebut memberikan suatu pengertian yang jelas dan konkrit bahwa
UUD NRI Tahun 1945 pada hakikatnya menjamin kehidupan dan penghidupan yang
baik dan sehat yang diperuntukkan bagi setiap orang tanpa terkecuali. Adanya jaminan
tersebut menunjukkan bahwa secara filosofis yuridis, lingkungan hidup beserta
ekosistemnya perlu diatur secara yuridis oleh pemerintah sebagai unsur penyelenggara
negara terutama Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu.
B. LANDASAN SOSIOLOGIS
Pada hakikatnya, pembangunan merupakan campur tangan manusia terhadap
hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan hidupnya dalam upaya
memanfaatkan sumber daya alam bagi kepentingannya. Sejak saat itu dirasakan bahwa
segala upaya manusia tersebut telah menimbulkan permasalahan di berbagai bidang
ilmu yang mengkaji tentang saling keterkaitan antar unsur/komponen lingkungan. Saat
39
itu juga dapat dicatat sebagai awal tahun tujuh puluhan sebagai akibat dari kesadaran
akan permasalahan lingkungan, yaitu merosotnya kualitas lingkungan yang disebabkan
oleh tidak berfungsinya unsur-unsur atau komponen-komponen lingkungan hidup,
seperti air, tanah, udara, vegetasi dan lain sebagainya (sumber daya alam hayati dan
sumber daya alam non hayati) karena ulah manusia dalam memanfaatkan unsur-unsur
tersebut berkat kemajuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.5
Kualitas lingkungan harus diakui merupakan nilai yang demiliki oleh unsur-
unsur lingkungan bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, di samping nilai
intristik yang ada dalam lingkungan itu sendiri. Penurunan (degradasi) dan peningkatan
(increase) kualitas lingkungan hidup menjadi indikator apakah sistem perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup telah berjalan dengan baik atau belum.
Di Provinsi Bengkulu, penurunan kualitas lingkungan menimbulkan
permasalahan-permasalahan di bidang lingkungan hidup. Tidak jarang permasalahan
lingkungan hidup yang terjadi menghambat dan mengganggu kehidupan masyarakat
setempat. Permasalahan tersebut terjadi dapat dengan berupa tindakan pencemaran dan
kerusakan lingkungan baik yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa transendent seperti
bencana alam ataupun akibat dari campur tangan manusia itu sendiri.
Provinsi Bengkulu sebagai salah satu wilayah yang sedang dalam fase tumbuh
kembang pembangunan menjadi suatu episentrum pertumbuhan ekonomi yang meliputi
berbagai sektor. Pembangunan menjadi pendorong bagi perkembangan sektor-sektor
strategis seperti sektoor kehutanan, sektor industri, sektor perkebunan, sektor pertanian,
sektor lingkungan rumah tangga, sektor pariwisata, dan sektor-sektor lainnya. Adapun
bebeberapa permasalahan lingkungan yang bersifat faktual yang merupakan hasil
kajian empiris yang terjadi di Propinsi Bengkulu adalah :
1. Terjadinya kerusakan hutan akibat penebangan liar dan perambahan hutan oleh
masyarakat menjadi kebun.
2. Terjadinya benturan tata ruang dalam pembangunan; seperti kawasan hutan yang di
dalamnya terdapat bahan tambang (kasus : di Kabupaten Lebong, Kepahiyang,
Bengkulu Utara, Seluma, dan lain-lain). Di beberapa kabupaten, ditemukan
kawasan hutan yang telah beralih fungsi mejadi perkebunan rakyat, dan bahkan
perkebunan swasta besar.
3. Pengelolaan sampah yang belum optimal, dibeberapa ibu kota kabupaten belum
memiliki TPA yang permanen.
4. Pencemaran air sungai karena kegiatan pertanian (pupuk dan pestisida),
pertambangan (emas, batu bara, bijih besi), ataupun industri lain (pabrik kelapa
sawit, karet, dll). Beberapa sungai yang tersebar di Provinsi Bengkulu telah
5 Prof. Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, PT Citra Aditya Bakti, 1993, hlm 2.
40
mengalami pencemaran akibat limbah pabrik kelapa sawit, karet, dan kegiatan
pertambangan batu bara. Masih banyak perusahaan perkebunan atau kegiatan
pertambangan yang membuang limbahnya ke sungai; baik secara langsung ataupun
tidak langsung.
5. Pencemaran udara yang diakibatkan oleh asap kendaraan bermotor, cerobong asap
pabrik kelapa sawit dan karet dan beberapa industri pembangkit listrik.
6. Terjadi kerusakan yang cukup tinggi pada ekosistem terumbu karang; dimana
persentase karang hidupnya termasuk katagori sangat rendah.
Menurunnya kualitas lingkungan harus disadari akan memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap kualitas kehidupan masyarakat di Provinsi Bengkulu.
Penurunan tersebut dapat terjadi karena faktor-faktor sebagaimana berikut6 :
1. Permasalahan kependudukan;
Permasalahan kependudukan yang diantaranya meliputi perhitungan koefisiensi
antara luas wilayah, jumlah penduduk, laju pertumbuhan penduduk, wilayah hunian
penduduk dan proses migrasi penduduk lokal dengan penduduk pendatang.
Semakin bertambahnya jumlah penduduk jelas dapat mempengarui kadar kualitas
lingkungan di sekitarnya;
2. Permasalahan Pemukiman;
Permasalahan pemukiman yang meliputi keadaan ekonomi per Rumah tangga,
infrastruktur pembunagan limbah rumah tangga termasuk pembuangan sampah,
tempat pembuangan air tinja tanpa tanki septic menjadi salah satu indikator
perubahan kualitas lingkungan hidup.
3. Permasalahan Kesehatan;
Keterkaitan antara kualitas lingkungan hidup dengan kesehatan lebih disebabkan
oleh pembuangan limbah di luar ambang batas normal yang mengakibatkan
terjadinya pencemaran lingkungan hidup sehingga mengakibatkan timbulnya
berbagai penyakit kesehatan pada masyarakat.
4. Permasalahan di Bidang Pertanian;
Luas lahan sawah dan perkebunan, jumlah hewan ternak yang dipelihara di atas
lahan, jumlah perkiraan pelepasan emisi gas metan (CH4) dari lahan sawah dan
peternakan serta jumlah perkiraan pelepasan emisi gas karbondioksida (CO2) dari
penggunaan pupuk urean ikut memberikan dampak terhadap lingkungan hidup.
5. Permasalahan di Bidang Industri;
Jumlah industri atau kegiatan usaha kecil, menengah dan besar serta beban
pencemaran limbah cair yang dikeluarkan dari industri tersebut dapat
mempengaruhi kualitas lingkungan hidup.
6 Buku Data Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Bengkulu Tahun 2010.
41
6. Permasalahan di Bidang Pertambangan;
Luas areal dan produksi serta jenis dan klasifikasi pertambangan termasuk
pertambangan rakyat ikut memberikan dampakterhadap kualitas lingkungan hidup.
7. Permasalahan di Bidang Energi;
Jumlah kendaraan bermotor menurut jenis kendaraan serta bahan bakar yang
digunakan, perkiraan jumlah pelepasan emisi karbondioksida (CO2), jumlah
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), Stasiun Pengisian Bahan Bakar
Elpiji (SPBE) serta konsumsi masyarakat terhadap ke-2 (dua) jenis bahan bakar
tersebut ikut memicu terjadinya perubahan kualitas lingkungan hidup.
8. Permasalahan di Bidang Transportasi;
Tingkat mobilitas penduduk yang semakin tinggi seiring dengan semakin
meningkatnya tingkat kemajuan ekinomi di Provinsi Bengkulu menuntut
peningkatan pembangunan jalan, sarana terminal, pelabuhan laut, sungai, danau dan
udara serta perkiraan jumlah limbah padat dari sarana transportasi mempengaruhi
kualitas lingkungan hidup.
9. Permasalahan di Bidang Pariwisata; dan
Lokasi obyek wisata, luas kawasan wisata, perkiraan pembuangan limbah cair dan
limbah cair merupakan salah satu pemicu perubahan kualitas lingkungan hidup.
10. Permasalahan Limbah B3.
Semakin marak berdirinya perusahaan terutama penghasil limbah B3 dapat
mempengaruhi perubahan kualitas lingkungan hidup sehingga dapat berdamnpak
pada degradasi kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat.
C. LANDASAN YURIDIS
Permasalahan lingkungan hidup merupakan permasalahan kompleks yang
memberikan ekses pada sendi-sendi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, lingkungan hidup didefinisaikan
sebagai Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan,
dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain. Ketentuan Pasal 1 angka 1 apabila dikaitkan dengan Ekologi sebagai salah satu
bidang ilmu, memang lingkungan hidup tidak mengenal batas wilayah, baik wilayah
negara maupun wilayah administrasi. Namun apabila lingkungan hidup itu dikaitkan
dengan pengelolaan sebagai suatu kegiatan (aktivitas), maka batas wilayah itu harus
42
jelas, karena akan menyangkut kewenangan pengelola. Batas kewenangan pengelolaan
ini harus jelas karena berkaitan dengan tanggung jawab pengelola7.
Peraturan Daerah di Provinsi Bengkulu yang berkaitan dengan lingkungan
hidup baik yang mengatur secara umum (ius generalis) ataupun secara khusus (ius
specialis) belum begitu banyak diterbitkan dan diatur secara lengkap (kompleks).
Peraturan Perundang-undangan di level daerah yang pernah dibuat adalah Peraturan
Daerah Provinsi Bengkulu Nomor 06 Tahun 2005 tentang Penetapan Baku Mutu Air
dan Kelas Air Sungai Lintas Kabupaten.Kota Dalam Provinsi Bengkulu. Dalam butir
konsiderans huruf (c) diketahui bahwa peraturan daerah tersebut dibuat untuk
melaksanakan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
Kabupaten/Kota Dalam Provinsi Bengkulu. Dalam butir konsiderans itu juga
disebutkan bahwa salah satu tujuan dibuat dan disusunnya peraturan daerah yang
bersangkutan adalah untuk melestarikan fungsi air termasuk sungai yang merupakan
salah satu sumber daya alam yang sangat penting dalam kehidupan manusia di Provinsi
Bengkulu. Menilik dari bunyi kaidah peraturan tersebut cukup jelas bahwa dapat
dipahami bahwa peraturan daerah tersebut mengatur tentang sebahagian aspek-aspek
lingkungan, yaitu pemeliharaan dan pengelolaan sumber daya alam berupa air.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) diketahui bahwa pemerintah daerah
berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan. Berdasarkan hal tersebut, secara eksplisit bisa
ditegaskan bahwa pada dasarnya pemerintah daerah dapat membuat suatu peraturan
sendiri dengan syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan.
Pada prinsipnya, peraturan perundang-undangan telah cukup banyak
mengakomodir permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Peraturan
perundang-undangan tersebut diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 05 Tahun
1960 tentang Peraturan tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang
Nomor 05 Tahun 1960 tentang Peraturan tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
dan Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya. Selain peraturan perundang-undangan sebagaimana
disebutkan, terdapat juga peraturan teknis pelaksana Undang-Undang berupa Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Menteri seperti Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012
tentang Izin Lingkungan dan .
7 Prof. Hermien Hadiati Koeswadji, SH, Hukum Pidana Lindkungan, PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hlm 111.
43
Namun, mengingat telah lahirnya telah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, pemerintah daerah pada dasarnya diberikan kewenangan
secara luas untuk mengatur daerahnya sendiri. Pengaturan tersebut secara yuridis dapat
berupa produk-produk hukum seperti Peraturan Daerah Provinsi, Kabupaten atau Kota,
Peraturan Gubernur, Walikota atau Bupati, Peraturan DPRD termasuk Peraturan Desa.
Sejumlah bentuk peraturan daerah sebagaimana yang telah disebutkan adalah salah satu
wujud konkrit dari pemerintah untuk menyelenggarakan sistem pembangunan yang
merata.
Dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa materi muatan peraturan daerah
provinsi dan peraturan daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa pada prinsipnya pembuatan peraturan
daerah lebih menitik beratkan kepada hak eksklusif pemerintah daerah untuk mengatur
daerahnya sendiri dengan tetap pada platform peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi sebagimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Secara konkrit, ada beberapa alasan perlu diakomodir permasalahan mengenai
lingkungan hidup di dalam suatu peraturan daerah, yaitu :
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan merupakan pengaturan yang bersifat umum yang efektivitas
penerapannya masih harus disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik masing-
masing daerah yang tentunya memiliki diferensial permasalahan lingkungan hidup;
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan
memberikan landasan hukum yang kuat bagi pemerintah daerah untuk mengatur
permasalahan lingkungan hidup secara mandiri selama substansi yang diatur tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan
3. Peraturan daerah yang sudah ada di Provinsi Bengkulu yang mengatur tentang
lingkungan hidup yaitu Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2005 tentang Penetapan
Baku Mutu Air dan Kelas Air Sungai Lintas Kabupaten//Kota Dalam Propinsi
Bengkulu belum sepenuhnya mengatur secara umum permasalahan lingkungan
hidup yang ada di Provinsi Bengkulu.
44
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU
A. KETENTUAN UMUM
Ketentuan Umum dalam Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan rangkaian
batasan pengertian atau definisi dari kata-kata yang tersebar dalam yang memerlukan
penjabaran atau penjelasan lebih lanjut. Bab dalam ketentuan umum juga untuk
memberikan penafsiran yang tegas, lugas dan memberikan kepastian hukum. Secara
spesifik, ketentuan umum dalam suatu peraturan berisikan :
1. Batasan pengertian atau definisi ;
45
2. Singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi;
dan/atau
3. Hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi Pasal atau beberapa Pasal
berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan
tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.
Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu dengan judul Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur aspek pluralisme aspek ingkungan
hidup. Dalam menjabarkan pengaturan tersebut, tidak sedikit yang harus
dirumuskan suatu ketentuan definisi atau istilah dalam suatu bab tersendiri
yaitu bab tentang ketentuan umum. Secara konkrit, kaidah-kaidah yang
terkandung dalam bab ketentuan umum adalah sebagai berikut :
BAB IKETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Kota adalah Kota Bengkulu.
2. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bengkulu
4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Bengkulu.
5. Instansi yang bertanggungjawab adalah instansi yang bertanggungjawab di bidang
pengendalian dampak lingkungan hidup Provinsi Bengkulu.
6. Instansi yang berwenang adalah instansi yang memberikan keputusan izin usaha dan/atau kegiatan.
7. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
8. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan secara kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktifitas lingkungan hidup.
9. Keanekaragaman hayati adalah keaneragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk diantaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya mencakup keaneragaman di dalam spesies, antara spesies dan
46
ekosistem.
10. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
11. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
12. Pengendalian lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
13. Pencegahan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk mempertahankan fungsi lingkungan hidup melalui cara-cara yang tidak member peluang berlangsungnya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup.
14. Penanggulangan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk menghentikan meluas dan meningkatnya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup serta dampaknya.
15. Pemulihan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk mengembalikan fungsi lingkungan hidup sesuai dengan daya dukungnya.
16. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
17. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan kedalamnya.
18. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energy atau komponen yang ada/atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
19. Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, kecuali air
laut dan air fosil.
20. Air Bawah Tanah adalah semua air yang terdapat dalam lapisan pengandung air di bawah permukaan tanah, termasuk di dalamnya mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah.
21. Pesisir adalah lingkungan perairan pantai, lingkungan pantai itu sendiri dan lingkungan daratan pantai.
22. Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan
47
kepada aspek fungsional.
23. Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.
24. Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak maupun sumber tidak bergerak spesifik.
25. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan meliputi limbah cair, limbah padat, limbah gas dan limbah B3.
26. Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh usaha/kegiatan yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan.
27. Limbah padat adalah limbah dalam wujud padat yang dihasilkan oleh usaha/kegiatan yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan.
28. Limbah domestik adalah limbah yang berasal dari kegiatan/aktivitas permukiman, rumah sakit dan sarana pelayanan medis, dan restoran.
29. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.
30. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah setiap bahan yang karena sifat atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk lainnya.
31. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia, serta makhluk hidup lainnya.
32. Pengelolaan limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengelolaan dan penimbunan limbah B3.
33. Bahan galian golongan C adalah golongan bahan galian yang tidak termasuk dalam golongan A (strategis) atau golongan B (vital) yang tidak dianggap langsung mempengaruhi hajat hidup orang banyak, baik karena sifatnya maupun karena kecilnya jumlah letakan (leposit) bahan galian itu digolongkan ke dalam golongan ketiga.
34. Dampak Lingkungan Hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang di akibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.
35. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik
48
direncanakan maupun tidak.
36. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
37. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budi daya.
38. Benda cagar budaya adalah:
a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurangkurangnya 50 (limapuluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; dan
b. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
39. Usaha dan/atau kegiatan adalah usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai potensi menimbulkan pencemaran Lingkungan Hidup.
40. Pemrakarsa atau penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan adalah orang yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
41. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
42. Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan yang selanjutnya disingkat UKL-UPL adalah rencana kerja atau pedoman kerja yang berisi program pengelolaan lingkungan yang dibuat secara sepihak oleh pemrakarsa yang sifatnya mengikat.
43. Kajian Dampak Lingkungan Hidup merupakan dokumen yang berisikan kajian dampak terhadap lingkungan hidup sebagai akibat adanya kegiatan usaha yang sudah beroperasional.
44. Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan yang selanjutnya disingkat SPPL adalah surat yang dibuat oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL dan tidak wajib melakukan UKL-UPL.
45. Komisi penilai adalah komisi di tingkat Daerah yang bertugas menilai dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
46. Audit lingkungan hidup adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menilai tingkat ketaatan terhadap persyaratan hukum yang berlaku dan/atau kebijaksanan dan standar yang ditetapkan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
47. Pengawasan adalah tindakan yang dilakukan untuk memantau dan menilai tingkat ketaatan pelaksana usaha dan/atau kegiatan dalam menjalankan usaha dan/atau kegiatannya yang menimbulkan dampak lingkungan baik berupa pencemaran maupun kerusakan lingkungan dan sumber daya alam terhadap peraturan yang
49
berlaku.
48. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum.
49. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terbentuk atas kehendak dan keinginan sendiri ditengah masyarakat yang tujuan dan kegiatannya di bidang lingkungan hidup.
50. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antar 2 (dua) pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
51. Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah yang selanjutnya disingkat PPLHD adalah Pegawai Negeri Sipil yang berada pada Instansi yang bertanggung jawab di Daerah yang memenuhi persyaratan tertentu dan diangkat oleh Gubernur.
52. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat PPNS Lingkungan Hidup adalah penyidik pegawai negeri sipil yang diangkat oleh Menteri Kehakiman dan HAM yang tugas dan fungsinya melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
53. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah pejabat penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah.
54. (definisi/pengertian lain diubahsuaikan sesuai dengan kebutuhan Peraturan Daerah)
B. MATERI YANG AKAN DIATUR
Materi pokok yang akan diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah aspek-aspek yang
mencakup :
1. Sistem perlindungan lingkungan hidup dilakukan melalui pendekatan ekosistem,
yang memadukan kepentingan sosial, ekonomi, budaya, dan fungsi lingkungan
hidup sesuai dengan batas kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah.
Perlindungan lingkungan hidup dalam Rancangan Peraturan Daerah ini
diimplementasikan dalam bentuk tahapan-tahapan yang tereduksi di dalam bab-bab
pengaturan secara tersendiri. Tahapan-tahapan tersebut berupa pemberlakuan hak-
hak dan kewajiban masyarakat dan pemerintah, tindakan pemeliharaan, tindakan
pengawasan dampak lingkungan hidup, dan peran serta masyarakat ; dan
2. Sistem pengendalian lingkungan hidup meliputi perumusan kebijakan di bidang
perencanaan, pelaksanaan, tahap pemanfaatan, tahap pemantauan dan pemulihan
50
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, dan tahap penegakan hukum.
Muatan materi yang berkaitan dengan aspek-aspek lingkungan hidup perlu
diterapkan sesuai selaras dan bersandarkan asas-asas sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan hidup, yaitu :
1. Tanggung jawab daerah 8. Ekoregion
2. Kelestarian dan keberlanjutan 9. Keanekaragaman hayati
3. Keserasian dan keseimbangan 10. Pencemar membayar
4. Keterpaduan 11. Partisipatif
5. Manfaat 12. Kearifan local
6. Kehati-hatian 13. Tata kelola pemerintahan yang baik
7. Keadilan 14. Otonomi daerah
Untuk memberikan suatu kesatuan pemahaman dalam pembuatan Naskah
Akademik terutama jika mencermati definisi dari lingkungan hidup sebagaimana telah
dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup yang memberikan interprestasi
mengenai aspek lingkungan hidup yang begitu luas terutama yang berkaitan dengan
kegiatan pencemaran dan kerusakan lingkungan, maka perlu diklasifikasikan jenis
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, yaitu :
1. Pencemaran air permukaan dan air bawah tanah;
2. Pencemaran udara;
3. Pencemaran tanah;
4. Limbah padat dan limbah domestik; dan
5. Bahan dan limbah B3.
Mencermati begitu luasnya aspek lingkungan berdasarkan definisi lingkungan
hidup itu sendiri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengendalian Lingkungan Hidup,
perlu dilakukan pengkalisifikasian sektor lingkungan hidup yang menjadi bagian
muatan materi dalam Peraturan Daerah provinsi Bengkulu tentang Perlindngan dan
Pengendalian Lingkungan Hidup. Pengklasifikasian sektor lingkungan hidup
diperlukan untuk membatasi ruang pengaturan yang akan diatur dalam Peraturan
Daerah. Adapun sektor-sektor lingkungan hidup yang diatur dalam Peraturan Daerah
adalah sebagai berikut :
1. Sektor Limbah Industri;
2. Sektor Limbah Pertambangan;
3. Sektor Pemukiman Termasuk Pengelolaan Sampah;
51
4. Sektor Transportasi;
5. Sektor Pariwisata;
6. Setor Perkebunan;
7. Sektor Kehutanan;
8. Sektor Sumber Daya Alam (SDA) hayati dan non hayati di Air, Laut dan Udara.
C. KETENTUAN SANKSI
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan hidup menjelaskan bahwa Lingkungan Hidup merupakan
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Dari batasan
pengertiaan tersebut, dapat diartikan bahwa lingkungan hidup merupakan sistem yang
meliputi lingkungan alam hayati (flora dan fauna), lingkungan alam non hayati (bumi,
air, tanah dan udara), lingkungan buatan (Budaya, pabrik, jembatan, waduk) dan
lingkungan sosial (kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat) yang
mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lainnya. Unsur-unsur yang disebutkan itu satu dengan yang lain saling berkaitan
dan merupakan satu sistem, sehingga kalau salah satu unsur (komponennya) mengalami
perubahan akan berpengaruh lebih lanjut pada komponen yang lain8.
Suatu peraturan mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada
dasarnya dibentuk untuk melindungi berbagai unsur-unsur lingkungan hidup agar selalu
berada dalam ambang batas normal sesuai dengan daya dukung lingkungan hidup.
Ambang batas normal yang sesuai dengan daya dukung lingkungan hidup dapat
menghindari dari degradasi negatif lingkungan hidup sendiri. Bahkan, besar
kemungkinan untuk terciptanya lingkungan hidup yang berkualitas, bersih, dan sehat .
Melindungi dan mengelola suatu lingkungan hdup dapat dilakukan dengan cara
menciptakan peraturan yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Peraturan yang
dibentuk pada dasarnya merupakan buah kesadaran dan kebijakan (policy) pemerintah
untuk melndungi dan mengendalikan lingkungan hidup. Peraturan tersebut agar dapat
lebih berjalan efektif dan efisien tentu membutuhkan penerapan sanksi di dalamnya.
Penerapan sanksi diberikan adalah untuk mencegah dan menindak pihak-pihak yang
terindikasi mencemarkan atau merusak lingkungan hiduo itu sendiri.
Peraturan Daerah sebagai suatu jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan dapat mencantumkan pemberian sanksi. Pencantuman
sanksi dalam suatu peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan
8 Hukum Pidana Lingkungan, hlm 111
52
ketentuan peraturan yang ada diatasnya berdasarkan hierarki peraturan
perundang-undangan. Ketentuan penerapan sanksi dalam suatu Peraturan
Daerah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
BAB III
JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 15
1. Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam :
c. Undang-Undang;
d. Peraturan Daerah Provinsi; atau
e. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa
ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
3. Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat
ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
Mencermati ketentuan sebagaimana bunyi Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan apabila dikaitkan
dengan legalitas suatu Peraturan Daerah mengenai perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan :
1. Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dapat memuat sanksi pidana kurungan
atau denda namun tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi berdasarkan jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan;
2. Secara implisit sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 ayat (3), selain dapat memuat
ancaman pidana kurungan atau pidana denda suatu Peraturan Daerah dapat memuat
ketentuan pidana sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lain seperti sanksi administratif dan sanksi moral; dan
53
3. Penerapan sanksi diluar apa yang diatur dalam Pasal 15 akan mengakibatkan
muatan materi mengenai penerapan sanksi dalam suatu peraturan daerah
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga besar kemungkinan suatu
Peraturan Daerah akan dibatalkan.
Sebagaimana diketahui bahwa aspek pengaturan dalam rancangan peraturan
daerah disusun berdasarkan 2 (dua) teritori pengaturan yaitu tahap perlindungan
lingkungan hidup yang meliputi penerapan hak dan kewajiban masyarakat dan
pemerintah, pemeliharaan lingkungan hidup dan tindakan pengawasan aparatur
pemerintah melalui Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) terkait serta aspek
pengendalian lingkungan hidup yang meliputi tahap perencanaan, tahap pelaksanaan,
tahap pemanfaatan, tahap pemantauan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup, dan tahap penegakan hukum.
Sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, penerapan sanksi
direncanakan akan tersebar dalam berbagai tahapan upaya perlindungan dan
pengendalian lingkungan hidup. Tidak semua tahap dapat memuat sanksi. Penerapan
sanksi tersebut menyesuaikan dengan materi muatan yang diatur berdasarkan substansi
materi yang diatur dalam Peraturan Daerah. Sanksi-Sanksi yang dimuat dalam
Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu tentang Perlindungan dan pengendalian
lingkungan hidup terbagi menjadi beberapa jenis sanksim yaitu :
1. Sanksi Moral ;
Sanksi moral dilekatkan dalam Bab-Bab yang mengatur masalah perlindungan
lingkungan hidup dan Bab-Bab yang mengatur tentang pengendalian lingkungan
hidup yang tercermin dalam tahapan-tahapan.
2. Sanksi Admnistrasi ;
Sanksi Administrasi dilekatkan dalam Bab-Bab yang mengatur mengenai tahapan
pengendalian lingkungan hidup yang meliputi tahap perencanaan, tahap
pengendalian, dan tahap pemanfaatan. Sanksi Administrasi yang diterapkan
meliputi tindakan paksa dari pemerintah (Bestuursdwang) pencabutan izin-izin
tertentu, pencabutan hak dan pembayaran ganti rugi (dwangsom) ; dan
3. Sanksi Pidana (tahap penegakan hukum) yang akan dicantumkan dalam Bab
tersendiri.
Sanksi pidana berupa sanksi pidana kurungan dan sanksi pidana denda akan
ditempatkan dalam suatu Bab tersendiri pada tahap penegakan hukum yang memuat
tentang
D. KETENTUAN PERALIHAN
54
Ketentuan Peralihan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu tentang
Perlindungan dan Pengendalian Lingkungan Hidup ini memuat penyesuaian pengaturan
tindakan hukum atau hubungan yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang lama terhadap peraturan perundang-undangan yang baru, yang
bertujuan untuk :
a. Menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. Menjamin kepastian hukum;
c. Memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan
ketentuan Peraturan Perundang-Undangan; dan
d. Mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Selain sebagaimana yang telah disebutkan, secara konkrit Peraturan Daerah
Provinsi Bengkulu tentang Perlindungan dan Pengendalian Lingkungan Hidup juga
memuat mengenai ketidak berlakuan Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu Peraturan
Daerah Nomor 06 Tahun 2005 tentang Penetapan Baku Mutu Air dan Kelas Air Sungai
Lintas Kabupaten//Kota Dalam Propinsi Bengkulu yang secara substansi menjadi
bagian pengaturan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu tentang Perlindungan
dan Pengendalian Lingkungan Hidup.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Keseluruhan materi muatan yang ada dalam Naskah Akademik ini perlu diatur dalam
suatu Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu, karena :
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (6) memberikan kewenangan bagi
pemerintah daerah untuk menetakan peraturan daerah dan peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan;
2. Seiring dengan semakin bertambah tingginya pertumbuhan jumlah penduduk,
persebaran pemukiman, Pertambangan, Perkebunan, Transportasi, Industri,
Pariwisata dan juga dipicu dengan bermekarannya beberapa daerah menjadi
kabupaten baru di Provinsi Bengkulu secara langsung maupun tidak langsung akan
mempengaruhi kualitas lingkungan hidup sehingga dapat memberi dampak yang
luas terhadap sektor kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
3. Bahwa semangat otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan
kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sehingga daerah yaitu Provinsi
55
Bengkulu perlu membuat suatu Peraturan Daerah yang sesuai dengan karakteristik
permasalahan dan kebutuhan di Provinsi Bengkulu; dan
4. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan disebutkan bahwa materi muatan peraturan daerah provinsi
dan peraturan daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Upaya Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ssebagimana yang
diatur dalam naskah akademik ini pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan asas
sebagaimana termuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, namun disesuaikan
dengan kewenangan dan kebutuhan di Provinsi Bengkulu, yaitu :
1. Tanggung jawab daerah;
2. Kelestarian dan keberlanjutan;
3. Keserasian dan keseimbangan;
4. Keterpaduan;
5. Manfaat;
6. Kehati-hatian;
7. Keadilan;
8. Ekoregion;
9. Keanekaragaman hayati;
10. Pencemar membayar;
11. Partisipatif;
12. Kearifan lokal;
13. Tata kelola pemerintahan yang baik; dan
14. Otonomi daerah.
B. SARAN
1. Perlu penmilahan substansi Naskah Akademik yang berkaitan dengan Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atas Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
yang akan dibentuk agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
diatasnya sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
56
2. Merekomendasikan agar penyusunan dan pembahasan Naskah Akademik beserta
Rancanngan Peraturan Daerah Provinsi ini menjadi skala prioritas dalam Program
Legislasi Daerah (Prolegda) Provinsi Bengkulu;
3. Untuk materi muatan yang memerlukan peraturan pelaksanaan dari Peraturan
Daerah Provinsi Bengkulu tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup disarankan perlu segera untuk mempersiapkan membuat Peraturan Gubernur
Provinsi Bengkulu;
4. Untuk menjamin kepastian hukum di Provinsi Bengkulu, perlu disegerakan untuk
membuat Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai pencabutan Peraturan
Daerah Provinsi Nomor 06 Tahun 2005 tentang Penetapan Baku Mutu Air dan
Kelas Air Sungai Lintas Kabupaten//Kota Dalam Propinsi Bengkulu; dan
5. Dalam penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
Bengkulu tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Naskah
Akademik ini berdasarkan Pasal … Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2005
tentang Tata Cara … dapat dijadikan acuan atau rujukan untuk pemnyusunan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
57
DAFTAR PUSTAKA
58